ungkin akan berpikir dua
kali sebelum membuka usaha sendiri. Dan, sungguh situasi legal
ini menghambat kewirausahaan. Orang-orang takut memulai
bisnis baru dan menanggung risiko ekonominya. Nyaris tidak
ada untungnya mengambil kesempatan yang bisa membawa
keluarganya jatuh ke kemelaratan.
Itulah mengapa orang mulai secara kolektif membayangkan
eksistensi perusahaan liabilitas terbatas. Perusahaan-perusahaan
semacam itu secara legal independen dari orang yang mendiri-
kannya, atau menginvestasikan uang ke dalamnya, atau mengelola-
nya. Selama beberapa abad terakhir ini, perusahaan semacam
itu telah menjadi pemain-pemain utama dalam arena ekonomi,
dan kita semakin terbiasa dengannya sehingga kita lupa bahwa
perusahaan seperti itu hanya eksis dalam imajinasi kita. Di
Amerika Serikat, istilah teknis untuk perusahaan liabilitas terbatas
yaitu “korporasi”, yang ironis, sebab istilah itu berasal dari
“corpus” (tubuh dalam bahasa Latin)—satu hal yang tidak dimiliki
oleh korporasi-korporasi ini. Meskipun tidak memiliki tubuh
riil, sistem legal Amerika memperlakukan korporasi-korporasi
sebagai person legal, seakan-akan mereka yaitu daging-dan-
darah makhluk manusia.
Demikian pula halnya dengan sistem legal Prancis pada 1896,
saat Armand Peugeot, yang mewarisi dari kedua orangtuanya
sebuah bengkel logam yang memproduksi pegas, gergaji, dan
sepeda, memutuskan untuk memasuki bisnis otomotif. Untuk
keperluan itu, dia mendirikan sebuah perusahaan liabilitas
terbatas.
Dia menamai perusahaan itu dari namanya sendiri, namun
perusahaan itu independen dari dirinya. Jika salah satu mobil
rusak, pembeli bisa menuntut Peugeot, namun bukan Armand
Peugeot. Jika perusahaan meminjam jutaan franc dan kemudian
gulung tikar, Armand Peugeot tidak berutang pada pemberi kredit
satu franc pun. Pinjaman itu, bagaimanapun, sudah diberikan
ke Peugeot, perusahaan, bukan kepada Armand Peugeot, sang
Homo sapiens. Armand Peugeot meninggal pada 1915. Peugeot,
perusahaan itu, masih hidup dan sehat.
Bagaimana sesungguhnya Armand Peugeot, orangnya,
menciptakan Peugeot, perusahaan? Caranya sama dengan para
pendeta dan dukun menciptakan tuhan dan setan sepanjang
sejarah, dan cara yang di dalamnya ribuan curés (ahli pengobatan)
Prancis masih menciptakan tubuh Kristus setiap Minggu di
gereja-gereja. Semua itu berkisar pada penceritaan kisah-kisah,
dan upaya meyakinkan orang agar memercayainya. Dalam kasus
curés Prancis, kisah krusialnya yaitu bahwa kehidupan dan
kematian Kristus sebagaimana diceritakan oleh Gereja Katolik.
Menurut cerita ini, pendeta Katolik yang mengenakan kain suci
mengatakan penuh khidmat kata-kata yang tepat pada saat yang
tepat, roti anggur duniawi berubah menjadi daging dan darah
Tuhan. Pendeta berseru “Hoc est corpus meum!” (ungkapan Latin
yang berarti ‘Ini tubuh saya’) dan hocus pocus—roti berubah
menjadi daging Kristus. Melihat teratur dan khidmatnya pendeta
menjalakan semua prosedur itu, jutaan pemeluk Katolik Prancis
berperilaku seakan-akan Tuhan benar-benar ada dalam roti dan
anggur yang disucikan itu.
Dalam kasus Peugeot SA, kisah krusialnya yaitu ayat
hukum, sebagaimana ditulis oleh parlemen Prancis. Menurut
para legislator Prancis, jika seorang pengacara bersertifikat
mengikuti semua liturgi dan ritual yang benar, menulis semua
mantra dan sumpah yang diwajibkan pada selembar kertas yang
dihiasi sangat bagus, dan membubuhkan tanda tangannya yang
penuh hiasan di bagaian bawah dokumen, maka abrakadabra...
sebuah perusahaan baru telah didirikan. saat Armand Peugeot,
pada 1896, ingin menciptakan perusahaannya, dia membayar
seorang pengacara menjalankan semua prosedur suci itu. Begitu
pengacara selesai melakukan ritual yang benar dan melafalkan
semua mantra dan sumpah yang diperlukan, jutaan penduduk
Prancis yang berdiri tegak berperilaku seakan-akan perusahaan
Peugeot benar-benar ada.
Menceritakan kisah-kisah yang efektif tidaklah mudah.
Kesulitannya tidak terletak pada bagaimana menceritakan kisah
itu, namun pada bagaimana meyakinkan setiap orang lain untuk
memercayainya. Banyak sejarah berkisar pada pertanyaan ini:
bagaimana seseorang bisa meyakinkan jutaan orang untuk yakin
pada kisah-kisah tertentu tentang Tuhan, negara, atau perusahaan
liabilitas terbatas? Namun, saat berhasil, kisah itu memberi
Sapiens kekuatan besar, sebab memungkinkan jutaan orang
asing mau bekerja sama dan bekerja menuju tujuan bersama.
Coba saja bayangkan betapa sulitnya menciptakan negara, gereja,
atau sistem hukum jika kita hanya mampu bicara tentang hal-hal
yang benar-benar ada, seperti sungai, pohon, dan singa.
Selama bertahun-tahun orang-orang memintal jalinan cerita
yang luar biasa rumit. Dalam jalinan itu, fiksi-fiksi seperti
Peugeot tidak hanya ada, namun juga mengakumulasi kekuatan
besar. Jenis hal yang diciptakan orang dalam jalinan kisah-kisah
itu dikenal di kalangan akademisi sebagai “fiksi”, “konstruk
sosial”, atau “realitas yang dibayangkan”. Sebuah realitas yang
dibayangkan bukanlah kebohongan. Saya bohong kalau saya
mengatakan ada seekor singa dekat sungai saat saya tahu
sepenuhnya bahwa tidak ada singa di sana. Tidak ada yang
istimewa tentang kebohongan. Monyet hijau dan simpanse bisa
berbohong. Seekor monyet hijau, misalnya, pernah diobservasi
menyeru “Awas! Ada singa!” saat tidak ada seekor pun singa
di sekitarnya. Peringatan itu dengan mudah menakutkan seekor
monyet yang baru saja menemukan sebuah pisang, meninggalkan
pembohongnya mencuri rezeki itu untuk dirinya.
Tak seperti kebohongan, realitas yang dibayangkan yaitu
sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan sepanjang kepercayaan
bersama itu ada, realitas yang dibayangkan mendatangkan
kekuatan di dunia. Pematung Gua Stadel mungkin saja secara
jujur meyakini keberadaan arwah penjaga, manusia singa, itu.
Sebagian dukun yaitu penipu, namun sebagian besar secara jujur
meyakini keberadaan Tuhan dan setan. Sebagian besar miliuner
secara jujur percaya akan keberadaan uang dalam perusahaan
liabilitas terbatas. Sebagian besar aktivis hak asasi manusia secara
jujur meyakini adanya hak-hak asasi manusia. Tak seorang pun
berbohong saat , pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menuntut agar pemerintah Libya menghormati hak-hak asasi
manusia warganya, sekalipun PBB, Libya, dan hak-hak asasi
manusia semuanya yaitu isapan jempol dari imajinasi kita
yang subur.
Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian
hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai,
pohon, dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan
tentang Tuhan, negara, dan korporasi. Seiring berjalannya waktu,
realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini
sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada
kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara, dan
korporasi.
Memintas Genom
Kemampuan untuk menciptakan realitas yang dibayangkan dengan
kata-kata memungkinkan banyak orang asing bisa bekerja sama
secara efektif. Namun, ia juga menghasilkan sesuatu yang lebih
besar. sebab kerja sama manusia dalam skala besar didasarkan
pada mitos, cara orang bekerja sama bisa diganti dengan
mengganti mitosnya—dengan menceritakan kisah yang berbeda.
Dalam keadaan yang tepat mitos bisa berubah sangat cepat. Pada
1789, populasi Prancis beralih dalam sekejap dari memercayai
mitos hak ilahiah raja ke memercayai mitos kedaulatan rakyat.
Akibatnya, sejak munculnya Revolusi Kognitif, Homo sapiens
bisa merevisi perilakunya dengan cepat sesuai kebutuhan yang
berubah-ubah. Ini membuka jalur cepat evolusi kultural, memintas
kemacetan-kemacetan lalu lintas evolusi genetika. Menyusuri
jalur cepat ini, Homo sapiens segera jauh mengungguli semua
spesies manusia dan binatang lain dalam hal kemampuan untuk
bekerja sama.
Perilaku binatang-binatang sosial lainnya sebagian besar
di tentukan oleh gen mereka. DNA bukanlah otokrat. Perilaku
binatang juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan dan kebiasaan-
kebiasaan individu. Bagaimanapun, dalam satu lingkungan
tertentu, binatang-binatang dari spesies yang sama cenderung
berperilaku dengan cara yang sama. Perubahan-perubahan
signifikan dalam perilaku sosial tidak bisa terjadi, pada umumnya,
tanpa mutasi gen. Misalnya, simpanse-simpanse biasa memiliki
kecenderungan genetik untuk hidup dalam kelompok-kelompok
hierarkis yang dipimpin oleh seekor jantan alfa. Spesies yang
terhubung dekat dengan simpanse, bonobo, biasanya hidup dalam
kelompok-kelompok yang lebih egaliter, yang didominasi oleh
aliansi-aliansi betina. Simpanse-simpanse betina biasa tidak bisa
mengambil pelajaran dari kerabat mereka, bonobo, dan kemudian
melancarkan revolusi feminis. Simpanse-simpanse jantan tidak
bisa berkumpul dalam majelis konstitusi untuk menghapuskan
kantor jantan alfa dan mendeklarasikan bahwa dari sini semua
simpanse diperlakukan setara. Perubahan-perubahan dramatis
dalam perilaku semacam itu hanya terjadi jika sesuatu berubah
dalam DNA simpanse.
Dengan alasan yang sama, manusia-manusia kuno tidak
menginisiasi revolusi apa pun. Sejauh yang bisa kita ceritakan,
perubahan-perubahan pola-pola sosial, penemuan teknologi baru
dan penempatan habitat-habitat asing menghasilkan mutasi-mutasi
genetik dan tekanan lingkungan lebih dari inisiatif kultural.
Itulah mengapa manusia butuh ratusan tahun untuk mencapai
langkah ini. Dua juta tahun lalu, mutasi-mutasi gen menghasilkan
munculnya spesies manusia baru yang disebut Homo erectus.
Kemunculannya disertai perkembangan teknologi alat baru, yang
kini dikenali sebagai ciri khas spesies ini. Selama Homo erectus
tidak mengalami perubahan genetik labih lanjut, alat-alat batu
kurang lebih tetap seperti sama—selama hampir 2 juta tahun!
Secara kontras, sejak adanya Revolusi Kognitif, Sapiens
mampu mengubah perilaku mereka dengan cepat, meneruskan
perilaku-perilaku baru ke generasi berikutnya tanpa perlu
perubahan genetik maupun lingkungan. Satu contoh yang sangat
bagus, lihatlah perulangan kaum elite tak beranak, seperti
kepastoran Katolik, ajaran monastik Buddha dan birokrasi
orang kasim China. Eksistensi orang-orang elite semacam itu
berlawanan dengan prinsip-prinsip paling fundamental dari
seleksi alam sebab para anggota dominan warga itu secara
sukarela meninggalkan peran sebagai ayah. Kalau jantan alfa
simpanse memakai kekuasaannya untuk berhubungan seks
dengan sebanyak mungkin betina—dan konsekuensinya menjadi
ayah dari barisan muda dalam jumlah besar—jantan alfa Katolik
abstain sepenuhnya dari hubungan seksual dan perawatan anak.
Pilihan abstain itu bukan akibat dari kondisi lingkungan yang unik
seperti kelangkaan pangan yang parah atau keinginan pasangan
potensial. Bukan pula hasil dari perilaku tertentu akibat mutasi
genetik. Gereja Katolik telah bertahan selama berabad-abad,
tidak dengan memintas “gen selibat” dari satu paus ke paus
berikutnya, melainkan dengan cerita-cerita Perjanjian Baru dan
hukum kanon Katolik.
Dengan kata lain, sementara pola-pola perilaku manusia
kuno bersifat tetap selama puluhan ribu tahun, Sapiens bisa
mentransformasi struktur-struktur sosial, sifat hubungan
interpersonal, dan sejumlah besar perilaku lain hanya dalam waktu
satu atau dua dekade. Bayangkan seorang warga Berlin, yang lahir
pada 1900 dan hidup selama seratus tahun. Dia menghabiskan
masa kanak-kanaknya dalam Imperium Hohenzollern Wilhelm
II; tahun-tahun dewasanya berada di bawah Republik Weimar,
rezim Third Reich Nazi dan Jerman Timur Komunis; dan dia
meninggal sebagai seorang warga Jerman bersatu yang demokratis.
Dia berhasil menjadi bagian dari lima sistem sosio-politik yang
berbeda walaupun DNA-nya tetap benar-benar sama.
Inilah kunci dari sukses Sapiens. Dalam perkelahian satu-
lawan-satu, seorang Neanderthal mungkin akan mengalahkan
Sapiens. Namun, dalam konflik ratusan orang, Neanderthal
tidak akan mampu bertahan. Neanderthal bisa berbagi informasi
tentang keberadaan singa, namun mereka mungkin tidak akan bisa
menceritakan—dan merevisi—cerita tentang arwah suku. Tanpa
kemampuan mengarang fiksi itu, Neanderthal tidak mampu
bekerja sama secara efektif dalam jumlah besar, juga tidak mampu
menyesuaikan perilaku sosial mereka dengan tantangan-tantangan
yang berubah dengan cepat.
Meskipun kita tidak bisa masuk ke dalam pikiran Neanderthal
untuk memahami bagaimana cara berpikir mereka, kita punya
bukti tidak langsung tentang keterbatasan kognisi mereka
dibandingkan dengan rival Sapiens-nya. Para arkeologis yang
menggali situs-situs Sapiens yang berusia 30.000 tahun di jantung
Eropa sesekali menemukan di sana kerang-kerang laut dari
pesisir Mediteran dan Atlantik. Kemungkinannya, kerang-kerang
itu sampai ke pedalaman benua itu melalui perdagangan jarak
jauh antara berbagai kawanan Sapiens yang berbeda. Situs-situs
Neanderthal tidak punya bukti perdagangan semacam itu. Setiap
6. Pria alfa Katolik abstain
dari hubungan seksual dan
perawatan anak, sekalipun
tidak ada alasan genetik
maupun ekologis untuk
melakukannya.
grup membuat alat-alat sendiri dari material lokal.4
Satu contoh lagi datang dari Pasifik Selatan. Kelompok-
kelompok Sapiens yang hidup di Pulau Irlandia Baru, sebelah
utara Nugini, memakai kaca vulkanik yang disebut obsidian
untuk membuat alat-alat tajam dan sangat kuat. Namun, Irlandia
baru tidak punya cadangan alam obsidian. Uji-uji laboratorium
mengungkapkan bahwa obsidian yang mereka gunakan dibawa
dari cadangan di Britania Baru, sebuah pulau 400 kilometer
jauhnya. Sebagian dari penghuni pulau-pulai ini pasti navigator
ulung yang berdagang dari pulau ke pulau menempuh jarak
yang jauh.5
Perdagangan mungkin tampak sebagai kegiatan yang sangat
pragmatis, yang tak memerlukan dasar-dasar fiktif. Namun,
faktanya tidak ada binatang selain Sapiens yang terlibat dalam
perdagangan, dan semua jaringan perdagangan Sapiens yang
tentangnya kita punya bukti terperinci didasarkan pada fiksi-fiksi.
Perdagangan tidak bisa muncul tanpa kepercayaan, dan sangat
sulit untuk memercayai orang asing. Jaringan perdagangan global
saat ini didasarkan pada kepercayaan kita pada entitas-entitas
fiksional seperti dolar, Federal Reserve Bank, dan lambang-
lambang korporasi. saat dua orang asing dalam warga
suku ingin berdagang, mereka akan membangun kepercayaan
dengan memohon kepada Tuhan, leluhur mitos, atau binatang
lambang yang sama.
Jika Sapiens kuno yang meyakini fiksi-fiksi semacam itu
memperdagangkan kerang dan obsidian, maka masuk akal bahwa
mereka juga bisa memperdagangkan informasi, dan sebab itu
menciptakan jalinan pengetahuan yang lebih padat dan lebih
luas ketimbang yang dimiliki Neanderthal dan manusia-manusia
kuno lainnya. Teknik berburu memberi ilustrasi perbedaan-
perbedaan ini. Neanderthal biasanya berburu sendirian atau
dalam kelompok-kelompok kecil.
Sapiens, di sisi lain, mengembangkan teknik-teknik yang
bertumpu pada kerja sama berpuluh-puluh individu, dan
mungkin bahkan antarkawanan. Satu metode yang sangat
efektif yaitu mengepung seluruh kawanan binatang, seperti
kuda liar, kemudian memburunya dalam ngarai yang sempit
yang dengan mudah menghabisinya secara massal. Jika semua
berjalan seperti rencana, kawanan-kawanan manusia itu akan
memanen berton-ton daging, lemak, dan kulit binatang dalam
upaya kolektif di satu sore saja, dan entah mengonsumsi harta
ini dalam pesta besar, atau mengeringkan, mengasapi atau (di
area-area Arctic) membekukannya untuk dimakan lain waktu.
Para arkeolog menemukan situs-situs di mana seluruh kawanan
binatang dibantai setiap tahun dengan cara itu. Bahkan, ada
situs-situs di mana pagar-pagar dan penghalang didirikan dalam
rangka menciptakan perangkap artifisial dan lahan pembantaian.
Kita mungkin berasumsi bahwa Neanderthal tidak senang
melihat lahan perburuan tradisional mereka berubah menjadi
lahan pembantaian yang dikuasai Sapiens. Namun, jika kerusuhan
meletus antara kedua spesies itu, nasib Neanderthal tidak terlalu
lebih baik dari kuda-kuda liar. Lima puluh Neanderthal yang
bekerja sama dalam pola-pola tradisional yang statis bukanlah
tandingan bagi 500 Sapiens yang lincah dan inovatif. Dan,
andaipun Sapiens kalah di babak pertama, mereka bisa dengan
cepat menemukan tipu daya yang memungkinkan mereka menang
lain waktu.
Apa yang Terjadi dalam Revolusi
Kognitif?
Kemampuan Baru Konsekuensi Lebih Luas
Kemampuan
menyampaikan informasi
dalam jumlah lebih
besar tentang dunia yang
mengelilingi Homo sapiens.
Merencanakan dan
melaksanakan aksi-aksi
rumit, seperti menghindari
singa dan memburu bison.
Kemampuan Baru Konsekuensi Lebih Luas
Kemampuan
menyampaikan informasi
dalam jumlah lebih besar
tentang hubungan sosial
Sapiens.
Kelompok yang lebih
besar dan lebih kohesif,
berjumlah sampai 150
individu.
Kemampuan
menyampaikan informasi
tentang hal-hal yang tidak
benar-benar ada, seperti
arwah, negara, perusahaan
liabilitas terbatas, dan hak-
hak asasi manusia.
a. Kerja sama di antara
orang asing dalam jumlah
sangat besar
b. Inovasi pesat perilaku
sosial.
Sejarah dan Biologi
Besarnya keragaman dari realitas yang dibayangkan yang
ditemukan Sapiens, dan keragaman pola-pola perilaku yang
dihasilkannya, yaitu komponen utama dari apa yang kita sebut
“budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti
berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak
terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.
Revolusi Kognitif dengan demikian yaitu titik di mana
sejarah mendeklarasikan kemerdekaannya dari biologi. Sampai
dengan Revolusi Kognitif, perbuatan-perbuatan semua spesies
manusia berada dalam ranah biologi, atau, jika Anda lebih
menyukai, prasejarah (Saya cenderung menghindari istilah
“prasejarah” sebab itu secara keliru membawa makna, bahkan
sebelum Revolusi Kognitif, manusia ada dalam kategorinya
sendiri). Sejak Revolusi Kognitif dan seterusnya, narasi-narasi
sejarah menggantikan teori-teori biologi sebagai sarana utama
kita dalam menjelaskan perkembangan Homo sapiens. Untuk
memahami munculnya Kristianitas atau Revolusi Prancis, tidak
44
cukup dengan memahami interaksi gen-gen, hormon-hormon, dan
organisme-organisme. Diperlukan pula untuk mempertimbangkan
interaksi ide-ide, gambar-gambar, dan fantasi-fantasi.
Ini tidak berarti bahwa Homo sapiens dan kebudayaan
manusia terkecualikan dari hukum-hukum biologi. Kita masih
tetap binatang dan kemampuan fisik, emosional, dan kognitif
kita masih dibentuk oleh DNA kita.
warga kita dibentuk dari blok-blok bangunan yang
sama sebagaimana warga Neanderthal atau simpanse, dan
semakin jauh kita mencermati blok-blok bangunan ini—sensasi,
emosi, ikatan keluarga—semakin sedikit perbedaan yang kita
temukan antara kita dan kera-kera lain.
Meskipun demikian, keliru kalau kita mencari perbedaan-
perbedaan pada level individual dan keluarga. Satu lawan satu,
atau bahkan sepuluh lawan sepuluh, kita secara mengejutkan
serupa dengan simpanse. Perbedaan-perbedaan signifikan baru
mulai muncul saat kita melampaui ambang batas 150 individu,
dan saat kita mencapai 1.000 sampai 2.000 individu, perbedaan-
perbedaan itu mencengangkan. Jika Anda mengumpulkan ribuan
simpanse di Lapangan Tiananmen, Wall Street, Vatikan, atau
markas besar PBB, hasilnya akan semrawut. Bandingannya,
Sapiens bisa berkumpul secara rutin dalam jumlah ribuan di
tempat-tempat semacam itu. Bersama-sama, mereka menciptakan
pola-pola teratur—seperti jaringan perdagangan, perayaan
massal, dan institusi-institusi politik—yang belum pernah mereka
ciptakan secara terpisah. Perbedaan riil antara kita dan simpanse
yaitu mitos pengikat yang merekatkan individu, keluarga, dan
kelompok dalam jumlah besar. Perekat itu membuat kita ulung
dalam penciptaan.
Tentu saja, kita juga butuh keterampilan lain, seperti
kemampuan untuk membuat dan memakai alat. Meskipun
demikian, pembuatan alat yaitu konsekuensi kecil kalau tidak
digabung kan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan
banyak orang lain. Bagaimana bisa kita sekarang memiliki misil
antarbenua dengan hulu ledak nuklir, sementara 30.000 tahun
lalu kita hanya punya batang dengan mata pisau batu? Secara
psikologis, tidak ada perbaikan signifikan dalam kapasitas kita
dalam pembuatan alat selama 30.000 tahun terakhir. Albert
Einstein jauh kurang tangkas tangannya dibandingkan dengan
seorang manusia kuno pemburu-penjelajah. Namun, kapasitas
kita untuk bekerja sama dengan orang asing dalam jumlah besar
membaik secara dramatis. Mata pisau batu kuno dibuat hanya
dalam beberapa menit oleh satu orang, yang bergantung pada
saran dan bantuan beberapa teman dekat. Produksi hulu ledak
nuklir modern membutuhkan kerja sama jutaan orang asing di
seluruh dunia—dari pekerja yang menambang bijih uranium di
kedalaman Bumi sampai ke para ahli fisika teoretis yang menulis
rumus-rumus matematika panjang untuk menjelaskan interaksi
partikel-partikel atom.
Berikut ini yaitu ringkasan hubungan antara biologi dan
sejarah setelah Revolusi Kognitif:
a. Biologi membuat parameter-parameter dasar perilaku dan
kapasitas Homo sapiens. Keseluruhan sejarah berlangsung
dalam batasan-batasan arena biologis ini.
b. Meskipun demikian, area ini luar biasa besar, memungkinkan
Sapiens memainkan ragam permainan yang mencengangkan.
Berkat kemampuan mereka dalam menemukan fiksi, Sapiens
bisa menciptakan permainan-permainan yang semakin
rumit dan semakin rumit, yang berarti setiap generasi
mengembangkan dan mengelaborasi lebih jauh.
c. Akibatnya, dalam rangka memahami bagaimana perilaku
Sapiens, kita harus menjelaskan evolusi sejarah tindakan-
tindakan mereka. Merujuk hanya pada hambatan-hambatan
biologis seperti penyiar radio olahraga yang, saat meliput
kejuaraan sepak bola Piala Dunia, menyampaikan kepada
para pendengarnya penjelasan terperinci tentang lapangan
permainan, bukan penjelasan tentang apa yang sedang
dilakukan pemain.
Permainan apa yang dilakukan leluhur Abad Batu kita dalam
arena sejarah? Sejauh yang kita ketahui, orang-orang yang
memahat patung manusia singa Stadel sekitar 30.000 tahun lalu
memiliki kemampuan fisik, emosional, dan intelektual yang sama
dengan yang kita miliki. Apa yang mereka lakukan saat bangun
di pagi hari? Apa yang mereka makan untuk sarapan—dan makan
siang? Seperti apa warga mereka? Apakah mereka punya
hubungan monogami? Apakah mereka melakukan upacara, punya
aturan-aturan moral, malakukan kontes olahraga, dan ritual-
ritual keagamaan? Apakah mereka berperang? Bab selanjtunya
akan mengintip apa di balik tirai abad-abad yang menjelaskan
seperti apa kehidupan dalam milenium-milenium pemisah antara
Revolusi Kognitif dan Revolusi Pertanian.
Sehari dalam Kehidupan
Adam dan Hawa
Untuk memahami alam, sejarah, dan psikologi, kita harus
masuk ke dalam kepala para leluhur, para pemburu-penjelajah.
Hampir sepanjang keseluruhan sejarah spesies kita, Sapiens
hidup sebagai penjelajah makanan. Masa 200 tahun terakhir,
yang di dalamnya Sapiens dalam jumlah yang terus bertambah
mendapatkan makanan harian mereka dari pekerjaan menjadi
buruh urban dan pekerja kantoran, dan 10.000 tahun sebelumnya,
yang di dalamnya sebagian besar Sapiens hidup sebagai petani
dan penggembala, ibarat sekedipan mata dibandingkan dengan
puluhan ribu tahun yang di dalamnya para leluhur kita berburu
dan mengumpulkan makanan.
Psikologi evolusi yang semakin maju menjelaskan bahwa
banyak sifat sosial dan psikologis kita masa kini yang
dibentuk dalam era panjang pra-agrikultural ini. Bahkan sekarang,
menurut para ahli di bidang ini, otak dan pikiran kita beradaptasi
dengan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan.
Kebiasaan makan, konflik-konflik, dan seksualitas kita semua
yaitu hasil dari cara pikiran pemburu-penjelajah berinteraksi
dengan lingkungan pasca-industri kita saat ini, dengan kota-
kota raksasa, pesawat, telepon, dan komputernya. Lingkungan
memberi kita lebih banyak sumber daya material dan kehidupan
yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dirasakan oleh
generasi mana pun sebelumnya, namun itu sering membuat kita
merasa terasing, tertindas, dan tertekan.
Untuk memahami penyebabnya, menurut para ahli psikologi
evolusi, kita perlu menyelam ke dunia pemburu-penjelajah yang
membentuk kita, dunia yang dalam alam bawah sadar masih
kita huni.
Mengapa, misalnya, orang-orang menyantap makanan tinggi
kalori yang tak banyak manfaatnya bagi tubuh? Kini warga -
warga makmur berada dalam penderitaan bencana obesitas,
yang dengan cepat menyebar ke negara-negara berkembang.
Sebuah teka-teki, mengapa kita gandrung dengan makanan paling
manis dan paling berminyak yang bisa kita jumpai, sampai kita
mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan makan para leluhur
kita. Di savana dan hutan-hutan yang mereka tempati, makanan
manis tinggi kalori sangat jarang dan persediaan makanan secara
umum sangat sedikit. Pada masa 30.000 tahun lalu, satu individu
hanya memiliki akses ke satu jenis makanan manis—buah yang
matang. Jika seorang perempuan Zaman Batu menemukan
sebuah pohon berderak menjuntai dengan beban buah-buah ara,
hal yang paling masuk akal untuk dilakukan yaitu memakan
buah-buah itu sebanyak yang bisa dia lakukan di tempat, sebelum
kawanan babon lokal memetiknya. Naluri untuk menggandrungi
makanan tinggi kalori dibentuk dalam gen-gen kita. Kini kita
mungkin hidup di apartemen-apartemen yang tinggi menjulang
dengan kulkas-kulkas yang penuh persediaan, namun DNA kita
masih berpikir kita berada di savana. Itulah yang membuat kita
menyendok tandas seliter Ben & Jerry saat menemukannya di
freezer dan mencuci-bersih tenggorokan kita dengan Coke jumbo.
Teori “gen-penyantap” ini diterima secara luas. Teori-teori
lain jauh lebih kontroversial. Misalnya, kalangan psikologi evolusi
berpendapat bahwa kawanan-kawanan pencari makan kuno
tidak tersusun atas keluarga-keluarga nuklir berintikan pasangan-
pasangan monogami. Namun, para pencari makan hidup dalam
kelompok-kelompok (komun) tanpa properti pribadi, hubungan
monogamis, bahkan peran keayahan. Dalam kawanan seperti
itu, seorang perempuan bisa melakukan hubungan seks dan
membentuk ikatan-ikatan intim dengan beberapa laki-laki (dan
perempuan) secara simultan, dan semua orang dewasa dalam
kawanan bekerja sama dalam hal merawat anak-anak. sebab
tidak ada laki-laki yang tahu pasti anak mana yang merupakan
anaknya, para laki-laki menunjukkan kepedulian yang sama
terhadap semua anak.
Struktur sosial semacam itu bukanlah utopia Akuarian.
Itu terdokumentasikan dengan baik pada binatang, terutama
kerabat terdekat kita, simpanse dan bonobo. Bahkan, ada
sejumlah kultur manusia masa kini yang di dalamnya peran ayah
bersama dipraktikkan, misalnya di kalangan suku Indian Barí.
Menurut keyakinan kelompok warga seperti itu, seorang
anak tidak dilahirkan dari sperma seorang pria tunggal, namun
dari akumulasi sperma dalam rahim perempuan. Seorang ibu
yang baik akan memastikan untuk melakukan hubungan seks
dengan beberapa laki-laki, terutama saat dia sedang hamil,
agar anaknya menikmati kualitas (dan perawatan paternal) tidak
hanya dari pemburu terbaik, namun juga dari pencerita terbaik,
petarung terkuat, dan pencinta yang paling penuh perhatian. Jika
ini terdengar bodoh, pikirkan bahwa sebelum berkembangnya
studi embriologikal modern, orang tidak punya bukti kuat
bahwa bayi-bayi selalu dihasilkan oleh satu ayah tunggal, bukan
banyak laki-laki.
Para pendukung teori “komun kuno” ini berpendapat bahwa
perselingkuhan yang kerap terjadi yang mencirikan pernikahan
modern, dan tingginya angka perceraian, belum lagi tumpah
ruahnya penyakit-penyakit psikologis yang membuat anak-anak
dan orang dewasa sama-sama menderita, semuanya merupakan
akibat dari pemaksaan manusia untuk hidup dalam keluarga-
keluarga nuklir dan hubungan monogami yang tidak cocok
dengan perangkat lunak biologis kita.1
Banyak ahli menolak mentah-mentah teori ini, dengan
menekankan bahwa baik monogami maupun pembentukan
keluarga-keluarga nuklir yaitu inti dari perilaku manusia.
Meskipun warga -warga pemburu-penjelajah kuno
cenderung lebih komunal dan egaliter ketimbang warga
modern, para periset berpendapat mereka tetap terdiri dari sel-
sel terpisah, yang masing-masing berisi pasangan pencemburu
dan anak-anak yang mereka besarkan bersama. Inilah mengapa
kini hubungan monogami dan keluarga-keluarga nuklir menjadi
norma dalam banyak kultur, mengapa laki-laki dan perempuan
cenderung sangat posesif atas pasangan dan anak-anak mereka,
dan mengapa bahkan dalam negara-negara modern seperti Korea
Utara dan Suriah otoritas politik diwariskan dari ayah kepada
anak.
Untuk menyelesaikan kontroversi ini dan memahami
seksualitas, warga , dan politik, kita perlu mempelajari
sesuatu tentang kondisi-kondisi yang masih ada dari para
leluhur kita, untuk menelaah bagaimana Sapiens hidup di antara
masa Revolusi Kognitif 70.000 tahun lalu, dan awal Revolusi
Agrikultural sekitar 12.000 tahun lalu.
Sayang sekali, tak banyak hal yang pasti berkaitan dengan
kehidupan leluhur pengembara kita. Perdebatan antara aliran
“komun kuno” dan “monogami kekal” didasarkan pada bukti
sumir. Kita jelas tidak punya catatan-catatan tertulis dari abad
pengembara itu, dan bukti arkeologis berisi utamanya tulang-
tulang fosil dan alat-alat batu. Artefak-artefak yang terbuat dari
bahan-bahan mudah rusak—seperti kayu, bambu, atau kulit—
hanya bisa bertahan dalam kondisi tertentu. Kesan umum bahwa
manusia-manusia pra-agrikultur hidup pada Zaman Batu yaitu
miskonsepsi yang didasarkan pada bias arkeologis. Zaman Batu
seharusnya lebih tepat disebut Zaman Kayu sebab sebagian
besar alat yang dipakai oleh para pemburu-penjelajah terbuat
dari kayu.
Setiap rekonstruksi atas kehidupan pemburu-penjelajah kuno
dari artefak-artefak yang selamat benar-benar problematik. Salah
satu perbedaan yang paling mencolok antara pengembara kuno
dan keturunan agrikultural dan industrial mereka yaitu bahwa
para pengembara memiliki artefak yang sangat sedikit untuk
dijadikan titik awal, dan secara komparatif artefak-artefak ini
memainkan peranan rendah dalam kehidupan mereka. Sepanjang
hidupnya, seorang anggota warga modern yang makmur
akan memiliki beberapa juta artefak—mulai dari mobil dan
rumah sampai ke kain lap sekali pakai dan kotak-kotak susu.
Hampir tidak ada aktivitas, keyakinan, atau bahkan emosi yang
tidak dimediasi oleh benda-benda yang kita rancang. Kebiasaan
makan kita dimediasi oleh kumpulan hasil pemikiran berupa
item-item seperti sendok dan gelas sampai laboratorium rekayasa
genetik dan kapal-kapal raksasa penjelajah samudra. Dalam
bermain, kita memakai bertumpuk-tumpuk mainan, mulai
dari kartu-kartu plastik sampai ke stadion berkapasitas 100.000
kursi. Hubungan romantis dan seksual kita ditemani cincin,
tempat tidur, pakaian bagus, pakaian dalam seksi, kondom,
restoran modern, motel murah, ruang tunggu bandara, gedung-
gedung upacara pernikahan, dan perusahaan katering. Agama
membawakan kesakralan ke dalam hidup kita dengan gereja-
gereja Gothic, masjid Muslim, ashram Hindu, lembaran-lembaran
Taurat, roda doa Tibet, jubah pastor, lilin, dupa, pohon Natal,
bola matzah, batu nisan, dan patung-patung.
Kita tidak menyadari betapa banyaknya barang-barang kita
sampai harus pindah ke sebuah rumah baru. Para pengembara
pindah rumah setiap bulan, setiap pekan, dan kadang-kadang
bahkan setiap hari, mengusung apa pun yang mereka punya di
punggung. Tidak ada perusahaan jasa pemindahan, kereta, atau
bahkan binatang-binatang pengangkut untuk berbagi beban.
Akibatnya mereka harus melakukannya hanya dengan benda-
benda miliknya yang paling pokok. Maka, masuk akal untuk
berasumsi bahwa banyak bagian dari kehidupan mental, religius,
dan emosional mereka yang dilakukan tanpa bantuan artefak.
Seorang arkeolog yang bekerja 100.000 tahun setelah masa kini
mungkin akan bisa membuat gambaran utuh tentang keyakinan
dan praktik kaum Muslim dari berlimpahnya benda-benda
yang bisa ditemukan dari reruntuhan masjid. Namun, secara
garis besar kita kehilangan jejak untuk memahami keyakinan
dan ritual para pemburu-penjelajah kuno. Kurang lebih dilema
yang sama akan dihadapi oleh para sejarawan masa depan jika
mereka harus menggambarkan dunia sosial remaja Amerika abad
ke-21 dengan semata-mata berdasarkan pada “surat siput” (surat
yang dikirim lewat pos)—sebab tidak ada catatan yang tersedia
tentang percakapan telepon, surel, blog, dan pesan-pesan teks.
Pengandalan pada artefak dengan demikian akan membiaskan
penjelasan tentang kehidupan pemburu-penjelajah kuno. Satu
cara untuk memperbaiki ini yaitu dengan melihat warga -
warga penjelajah modern. Ini bisa dipelajari secara langsung,
dengan observasi antropologis. Namun, ada alasan bagus untuk
sangat berhati-hati dalam membayangkan kemungkinan dari
warga penjelajah modern untuk warga kuno.
Pertama, semua warga penjelajah yang bertahan sampai
ke era modern dipengaruhi oleh warga agrikultur dan
industrial yang bertetangga. Akibatnya, ada risiko bila berasumsi
bahwa apa yang benar tentang mereka juga benar tentang puluhan
ribu tahun lalu.
Kedua, warga -warga penjelajah modern bertahan
terutama di area-area dengan kondisi iklim sulit dan lahan yang
tak bisa dihuni, dan kurang cocok untuk agrikultur. warga -
warga yang telah beradaptasi dengan kondisi-kondisi
ekstrem di tempat-tempat seperti Gurun Kalahari di Afrika
bagian selatan bisa memberi model yang sangat menyesatkan
untuk memahami warga kuno di area-area subur seperti
Lembah Sungai Yangtze. Secara khusus, kepadatan populasi
di area seperti Gurun Kalahari jauh lebih rendah dari sekitar
Yangtze kuno, dan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas
untuk pertanyaan-pertanyaan kunci tentang ukuran dan struktur
kawanan manusia dan hubungan-hubungan di antara mereka.
Ketiga, sifat yang paling menonjol dari warga -
warga pemburu-penjelajah yaitu betapa berbedanya satu
sama lain. Mereka berbeda tidak hanya dari satu bagian dunia
dengan bagian dunia lain, bahkan di wilayah yang sama. Satu
contoh bagus yaitu besarnya keragaman para pemukim pertama
Eropa yang ditemukan di antara warga Aborigin Australia.
Sebelum penaklukan oleh Inggris, sekitar 300.000 sampai
700.000, pemburu-penjelajah hidup di benua itu dalam 200
sampai 600 suku, yang masing-masing terbagi menjadi beberapa
kawanan.2 Setiap suku memiliki bahasa, agama, norma, dan aturan
sendiri. Mereka hidup di sekitar tempat yang kini dikenal sebagai
Adelaide di Australia selatan dalam beberapa klan patrilineal yang
mengedepankan garis keturunan dari pihak ayah. Klan-klan ini
terikat menjadi suku-suku atas dasar teritorial yang ketat. Secara
kontras, beberapa suku di Australia selatan lebih mengedepankan
leluhur maternal seseorang dan identitas kesukuan seseorang
bergantung pada lambang ketimbang teritorialnya.
Maka, sangat masuk akal bahwa keragaman etnis dan kultural
di antara pemburu-penjelajah kuno sama mengesankannya, dan
bahwa 5 juta sampai 8 juta penjelajah yang menghuni dunia
menjelang Revolusi Agrikultural terbagi ke dalam ribuan suku
terpisah dengan ribuan bahasa dan budaya yang berbeda.3 Maka,
ini merupakan salah satu warisan utama dari Revolusi Kognitif.
Berkat kemunculan fiksi, bahkan orang dengan susunan genetik
sama yang tinggal dalam kondisi ekologis yang serupa bisa
menciptakan realitas-realitas imajinatif yang sangat berbeda,
yang memanifestasikan diri dalam norma-norma dan nilai-nilai
yang berbeda-beda.
Misalnya, selalu tersedia alasan untuk percaya bahwa satu
kawanan penjelajah yang hidup 30.000 tahun lalu di tempat
Universitas Oxford kini berdiri memakai bahasa yang berbeda
dari kawanan yang hidup di tempat Cambridge kini berada. Satu
kawanan mungkin gemar berkelahi dan yang lain lebih damai.
Mungkin kawanan Cambridge bersifat komunal sementara yang
berada di Oxford didasarkan pada keluarga-keluarga nuklir.
Orang-orang Cantabrige mungkin menghabiskan waktu berjam-
jam memahat patung kayu arwah penjaga mereka, sementara
orang-orang Oxonian mungkin beribadah melalui tarian. Yang
pertama mungkin memercayai reinkarnasi, sedang yang kedua
menganggap itu omong kosong. Di satu warga , hubungan
sesama jenis kelamin mungkin diterima, sementara di warga
lain yaitu tabu.
Dengan kata lain, meskipun observasi antropologis terhadap
warga penjelajah modern bisa membantu kita memahami
sebagian kemungkinan yang tersedia untuk warga penjelajah
kuno, horizon kuno tentang kemungkinan-kemungkinan itu
sangat luas, dan sebagian besar tersembunyi dari pandangan kita.*
Perdebatan yang memanas tentang “cara hidup alamiah” Homo
*“Cakrawala kemungkinan” berarti seluruh spektrum keyakinan, praktik, dan
pengalaman yang terbuka sebelum warga tertentu, mengingat keterbatasan
ekologi, budaya, dan teknologi. Setiap warga dan setiap individu biasanya
mengeksplorasi hanya sebagian kecil dari cakrawala kemungkinan mereka
sapiens meleset dari poin utamanya. Sejak Revolusi Kognitif, tidak
ada satu cara hidup natural tunggal untuk Sapiens. Yang ada
hanyalah pilihan-pilihan kultural, dari palet besar kemungkinan-
kemungkinan.
warga Makmur yang Asli
Jika demikian, generalisasi seperti apa yang bisa kita buat
tentang kehidupan dunia pra-agrikultural? Tampaknya aman
untuk mengatakan bahwa mayoritas besar orang hidup dalam
kawanan-kawanan kecil berjumlah beberapa puluh orang atau
paling banyak beberapa ratus individu, dan bahwa semua individu
yaitu manusia. Penting untuk mencatat poin terakhir ini sebab
ini masih jauh dari jelas. Sebagian besar anggota warga
agrikultural dan industri yaitu binatang-binatang yang sudah
terdomestikasi. Mereka tidak sama dengan tuan-tuan mereka,
tentu saja, namun semua sama-sama menjadi anggotanya. Kini,
warga menyebut Selandia Baru terdiri dari 4,5 juta Sapiens
dan 50 juta domba.
Hanya ada satu pengecualian untuk aturan umum ini: anjing.
Anjing yaitu binatang pertama yang didomestikasi Homo
sapiens, dan ini terjadi sebelum Revolusi Agrikultural. Para ahli
berbeda pendapat tentang masa pastinya, namun kita telah memiliki
bukti tak terbantahkan tentang domestikasi anjing sejak sekitar
15.000 tahun lalu. Mereka mungkin telah bergabung dengan
kawanan manusia ribuan tahun sebelumnya.
Anjing dipakai untuk berburu dan berkelahi, dan sebagai
sistem tanda bahaya terhadap binatang-binatang buas dan
manusia-manusia penyusup. Dengan bergulirnya generasi demi
generasi, penuh perhatian pada kebutuhan dan perasaan rekan
manusia nya mendapatkan perawatan dan makanan ekstra, dan
lebih berpeluang untuk bertahan. Secara simultan, anjing belajar
memanfaatkan orang untuk kebutuhannya sendiri. Ikatan selama
15.000 tahun telah menghasilkan pemahaman dan afeksi yang
jauh lebih mendalam antara manusia dan anjing ketimbang antara
manusia dan binatang lain.4 Dalam beberapa kasus, anjing bahkan
dikuburkan dengan upacara, sangat mirip dengan manusia.
Para anggota kawanan saling mengenal sangat intim, dan
sepanjang hidupnya dikelilingi teman dan kerabat. Kesendirian dan
privasi jarang ada. Kawanan-kawanan yang bertetangga mungkin
bersaing untuk sumber daya dan bahkan saling berperang, namun
mereka juga melakukan kontak-kontak bersahabat. Mereka
bertukar anggota, berburu bersama, bertukar kemewahan,
membuat aliansi-aliansi politik, dan merayakan perayaan-perayaan
keagamaan. Kerja sama seperti itu merupakan salah satu ciri
khas Homo sapiens, dan memberinya keunggulan krusial atas
spesies-spesies manusia lainnya. Terkadang hubungan-hubungan
dengan kawanan tetangga cukup erat sehingga mereka bersama-
7. Piaraan pertama? Sebuah kuburan berusia 12.000 tahun ditemukan
di bagian utara Israel (Museum Kibbutz Ma’ayan Baruch). Kuburan
itu berisi kerangka perempuan berusia 50 tahun di samping kerangka
anjing (di sudut kanan atas). Anjing itu dikuburkan dekat dengan
kepala perempuan. Tangan kanan perempuan itu menyandar pada
anjing dengan cara yang bisa diartikan koneksi emosional. Tentu
saja, ada kemungkinan penjelasan lain. Misalnya, mungkin anjing itu
merupakan hadiah dari penjaga gerbang dunia berikutnya.
sama merupakan satu suku, memakai bahasa yang sama,
mitos yang sama, dan norma-norma serta nilai-nilai yang sama.
Meskipun demikian, kita tidak boleh berlebihan memandang
pentingnya hubungan eksternal semacam itu. Sekalipun pada
masa-masa krisis kawanan-kawanan yang bertetangga menjadi
semakin dekat, dan sekalipun mereka kadang-kadang berkumpul
untuk berburu atau berpesta bersama, mereka masih menghabiskan
sebagian besar waktu dalam isolasi dan independensi penuh.
Perdagangan umumnya terbatas pada item-item prestise seperti
kerang, batu amber, dan pewarna. Tidak ada bukti bahwa orang-
orang berdagang barang-barang persediaan seperti buah-buahan
dan daging, atau bahwa eksistensi satu kawanan bergantung
pada impor barang dari kawanan yang lain. Relasi-relasi sosial
juga cenderung sporadis. Suku tidak berfungsi sebagai kerangka
politik permanen, dan sekalipun suku memiliki tempat-tempat
pertemuan berkala, tidak ada kota atau institusi permanen.
Rata-rata orang hidup selama berbulan-bulan tanpa melihat atau
mendengar manusia dari luar atau dari kawanannya sendiri, dan
sepanjang hidupnya dia hanya bertemu dengan beberapa ratus
manusia. Populasi Sapiens tersebar di teritori yang sangat luas.
Sebelum Revolusi Agrikultural, populasi manusia di segenap
penjuru planet lebih kecil dari Kairo hari ini.
Sebagian besar kawanan Sapiens hidup di jalanan, berkelana
dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan. Gerakan
mereka dipengaruhi oleh pergantian musim, migrasi tahunan
binatang dan siklus hidup tumbuh-tumbuhan. Mereka biasanya
bepergian bolak-balik di satu teritorial yang sama, sebuah area
antara beberapa puluh sampai ratusan kilometer persegi.
Terkadang, kawanan-kawanan berkelana ke luar wilayah
kekuasaan mereka dan mengeksplorasi tanah-tanah baru, entah
sebab bencana alam, konflik kekerasan, tekanan demografis,
atau inisiatif pemimpin karismatis. Pengembaraan ini merupakan
mesin dari ekspansi manusia di seluruh dunia. Jika satu kawanan
penjelajah terpecah sekali setiap empat puluh tahun dan kelompok
pecahan bermigrasi ke teritori baru sejauh seratus kilometer ke
timur, jarak dari Afrika Timur ke China akan bisa ditempuh
selama sekitar 10.000 tahun. Dalam kasus-kasus pengecualian,
saat sumber makanan sangat melimpah, kawanan-kawanan
menetap dalam kamp-kamp sementara, bahkan permanen. Teknik-
teknik pengeringan, pengasapan, dan pembekuan makanan juga
memungkinkan mereka untuk menetap dalam periode yang lebih
lama. Yang paling penting, di sepanjang laut dan sungai yang kaya
makanan laut dan unggas air, manusia membuat perkampungan
nelayan—permukiman permanen pertama dalam sejarah, jauh
sebelum Revolusi Agrikultural. Perkampungan-perkampungan
nelayan mungkin sudah muncul di pesisir-pesisir Indonesia sejak
45.000 tahun lalu. Perkampungan-perkampungan ini bisa jadi
merupakan pangkalan bagi Homo sapiens untuk melancarkan
parade lintas samudra pertamanya: invasi terhadap Australia.
Pada sebagian besar habitat, kawanan-kawanan Sapiens
menghidupi diri dalam cara yang elastis dan oportunistis. Mereka
mencari rayap, memetik beri, menggali akar, mengejar kelinci,
dan berburu bison dan mamut. Terlepas dari citra populernya
sebagai “manusia pemburu”, pengumpulan makanan merupakan
aktivitas utama Sapiens, dan itu memberi mereka sebagian besar
kalori, di samping bahan-bahan baku seperti batu, kayu, dan
bambu.
Sapiens tidak menjelajah hanya untuk makanan dan bahan.
Mereka menjelajah untuk pengetahuan juga. Untuk bertahan,
mereka memerlukan peta terperinci dalam kepala mereka tentang
teritori mereka. Untuk memaksimalkan efisiensi pencarian
makanan harian, mereka membutuhkan informasi tentang
pola-pola pertumbuhan setiap tumbuhan dan perilaku tiap-tiap
binatang. Mereka perlu tahu makanan mana yang menyehatkan,
mana yang membuat sakit, dan bagaimana memakai yang
lain untuk pengobatan. Mereka perlu tahu perkembangan musim
dan tanda-tanda peringatan apa yang mendahului hujan badai
atau musim kering. Mereka mempelajari setiap arus, setiap pohon
kenari, setiap gua beruang, dan setiap cadangan batu pemantik
di areanya. Setiap individu harus mengerti bagaimana membuat
pisau batu, bagaimana memperbaiki jubah yang robek, bagaimana
memasang perangkap kelinci, bagaimana menghadapi longsoran,
gigitan ular, atau singa lapar. Penguasaan tiap-tiap keterampilan
ini memerlukan magang dan praktik bertahun-tahun. Rata-rata
penjelajah kuno bisa mengubah batu menjadi benda tajam dalam
beberapa menit. Kalau kita mencoba meniru keterampilan itu,
kita akan gagal sia-sia. Sebagian besar kita tak punya pengetahuan
bagaimana mengupas properti batu dan basal dan keterampilan
motorik halus untuk mengerjakan itu secara cermat.
Dengan kata lain, rata-rata seorang penjelajah memiliki
pengetahuan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih
beragam tentang alam sekeliling mereka ketimbang sebagian
besar keturunan modern mereka. Kini, kebanyakan orang dalam
warga industri tidak perlu tahu banyak tentang alam untuk
bertahan hidup. Apa yang benar-benar Anda perlu tahu untuk
bisa menjadi seorang insinyur komputer, agen asuransi, guru
sejarah, atau pekerja buruh? Anda tak perlu tahu banyak tentang
bidang keahlian kecil Anda sendiri, namun untuk sebagian besar
kebutuhan hidup, Anda mengandalkan secara buta bantuan ahli
lain, yang pengetahuannya juga terbatas pada satu bidang keahlian
kecil. Secara kolektif manusia memang memiliki pengetahun
yang lebih jauh daripada kawanan-kawanan kuno. Namun, pada
level individual, para penjelajah kuno yaitu orang yang paling
berpengetahuan dan paling terampil dalam sejarah.
Ada suatu bukti bahwa ukuran rata-rata otak Sapiens
sebetulnya menurun sejak abad penjelajahan.5 Pada masa itu,
untuk bertahan hidup membutuhkan kemampuan mentalitas
yang mumpuni dari setiap orang. saat pertanian dan industri
datang, orang semakin bisa mengandalkan keterampilan orang lain
untuk bertahan hidup, dan terbukalah “ceruk-ceruk baru untuk
orang-orang bodoh” (niches for imbeciles). Anda bisa bertahan
dan melampaui gen-gen biasa-biasa Anda ke generasi berikutnya
dengan bekerja sebagai seorang pengangkut air atau pekerja
perakitan. Para penjelajah menguasai tidak hanya dunia binatang,
tumbuhan, dan benda-benda di sekelilingnya, namun juga dunia
internal tubuh dan indra mereka sendiri. Mereka mendengarkan
gerakan yang paling kecil di rerumputan untuk mengetahui
apakah ada ular sedang merayap di sana. Mereka dengan cermat
mengamati dedaunan pohon untuk menemukan buah-buahan,
sarang lebah, dan sarang burung. Mereka bergerak dengan usaha
dan suara minimum, dan tahu cara duduk, berjalan, dan berlari
dengan gerakan yang paling gesit dan efisien. Pengerahan tubuh
dengan cara yang beragam dan terus-menerus membuat mereka
setangguh pelari maraton. Mereka memiliki ketangkasan fisik
yang tidak mampu dicapai oleh orang-orang masa kini, bahkan
setelah bertahun-tahun berlatih yoga atau tai chi.
Cara hidup pemburu-penjelajah berbeda secara signifikan
antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu musim
dengan musim lain, namun seluruh penjelajah tampak menikmati
gaya hidup yang lebih nyaman dan lebih membawa manfaat
dibandingkan sebagian besar petani, penggembala, buruh, pekerja
kantoran yang mengikuti jejak mereka.
Sementara dalam warga makmur masa kini, bekerja
rata-rata empat puluh sampai empat puluh lima jam per pekan,
dan orang di dunia berkembang bekerja enam puluh bahkan
delapan puluh jam per pekan, para pemburu-penjelajah yang kini
hidup di habitat-habitat yang paling sulit dihuni—seperti Gurun
Kalahari—bekerja rata-rata hanya tiga puluh jam sampai empat
puluh jam per pekan. Mereka berburu hanya satu dari tiga hari,
dan mengumpulkan hasilnya hanya tiga sampai enam jam per
hari. Dalam waktu-waktu normal, ini cukup untuk menghidupi
kawanan. Maka, sangat mungkin jika para pemburu-penjelajah
kuno hidup di zona-zona yang lebih subur ketimbang Kalahari,
menghabiskan waktu bahkan lebih sedikit untuk mendapatkan
makanan dan bahan-bahan baku. Di atas itu semua, para
penjelajah menikmati beban pekerjaan rumah tangga yang lebih
ringan. Mereka tak punya piring untuk dicuci, karpet untuk
divakum, lantai untuk dipoles, popok untuk diganti, dan tagihan
untuk dibayar.
Ekonomi penjelajah menyediakan kehidupan yang lebih
menarik bagi sebagian besar orang dibandingkan ekonomi
pertanian atau industri. Kini, seorang pekerja pabrik China
meninggalkan rumah sekitar pukul tujuh pagi, menempuh jalan-
jalan berpolusi ke pabrik garmen, dan di sana mengoperasikan
mesin yang sama, dengan cara yang sama, sepanjang hari selama
sepuluh jam yang panjang dan mematikan pikiran, pulang ke
rumah sekitar pukul tujuh malam untuk mencuci piring dan
menyetrika pakaian. Tiga puluh ribu tahun lalu, seorang penjelajah
China mungkin meninggalkan kamp bersama beberapa rekannya,
katakanlah, pukul delapan pagi. Mereka menjelajahi hutan-hutan
dan padang rumput terdekat, mengumpulkan jamur, menggali
akar-akar yang bisa dimakan, menangkap katak, dan sesekali
berlari menghindari macan. saat siang datang, mereka sudah
kembali di kamp untuk makan siang. Mereka punya banyak
waktu untuk bergosip, bercerita, bermain dengan anak-anak,
dan kongko-kongko. Tentu saja terkadang macan menangkap
mereka atau ular menggigit mereka, namun di sisi lain mereka
tidak berurusan dengan kecelakaan mobil dan polusi industri.
Di sebagian besar tempat dan sebagian besar masa,
penjelajahan memberi nutrisi ideal. Itu bukan hal yang
mengejutkan—sudah menjadi menu makanan selama ratusan
ribu tahun, dan tubuh manusia cocok dengannya. Bukti dari
tulang-tulang fosil menunjukkan bahwa para penjelajah kuno
sangat kecil kemungkinan menderita kelaparan atau malnutrisi,
dan umumnya lebih tinggi dan lebih sehat daripada keturunan
mereka yang menjadi petani. Rata-rata harapan hidup tampaknya
hanya tiga puluh sampai empat puluh tahun, namun ini umumnya
disebabkan sebab tingginya angka kematian anak-anak. Anak-
anak yang lolos dari tahun-tahun pertama memiliki peluang
bagus untuk mencapai usia enam puluh tahun, dan sebagian
bahkan sampai delapan puluhan. Di antara penjelajah modern,
perempuan berusia empat puluh lima tahun bisa berharap hidup
sampai dua puluh tahun kemudian, dan sekitar 5 sampai 8 persen
populasi berusia di atas enam puluh tahun.6
Rahasia sukses kaum penjelajah, yang melindungi mereka
dari kelaparan dan malnutrisi, yaitu keragaman diet. Para
petani cenderung makan makanan yang sangat terbatas dan tidak
berimbang. Terutama pada masa-masa pramodern, sebagian besar
asupan kalori untuk populasi agrikultur berasal dari satu panen
tunggal—seperti gandum, kentang, atau beras—yang tak memiliki
sejumlah vitamin, mineral, dan bahan-bahan nutrisi lain yang
dibutuhkan manusia. Petani tradisional di China biasa makan nasi
untuk sarapan, nasi untuk makan siang, dan nasi untuk makan
malam. Jika beruntung, mereka bisa berharap makan makanan
yang sama esok harinya. Bandingkan, para penjelajah kuno secara
teratur makan puluhan jenis makanan yang berbeda. Para leluhur
petani yang hidup menjelajah mungkin makan beri dan jamur
untuk sarapan; buah, bekicot, dan penyu untuk makan siang;
steik kelinci dengan bawang liar untuk makan malam. Esoknya
menu bisa benar-benar berbeda. Keragaman itu menjamin bahwa
para penjelajah kuno menerima semua nutrisi yang dibutuhkan.
Lebih dari itu, dengan tidak bergantung pada satu jenis
makanan tunggal, mereka lebih tahan menghadapi kesulitan
saat satu sumber makanan tertentu gagal. warga agrikultur
dilanda kelaparan saat musim kering, terjadi kebakaran, atau
gempa bumi memorak-porandakan panen padi atau kentang
tahunan mereka. warga penjelajah memang tidak kebal
pada bencana alam, penderitaan dari periode-periode paceklik
dan kelaparan, namun mereka biasanya mampu mengatasi bencana
itu dengan lebih mudah. Jika mereka kehilangan satu tumpukan
persediaan makanan, mereka bisa mengumpulkan atau berburu
spesies lain, atau pindah ke area yang kurang terdampak bencana.
Para penjelajah kuno juga lebih sedikit menderita dari
penyakit menular. Sebagian besar penyakit menular yang melanda
warga agrikultur dan industri (seperti cacar, campak, dan
TBC) berasal dari binatang-binatang yang didomestikasi dan
ditularkan ke manusia baru setelah Revolusi Agrikultur. Para
penjelajah kuno, yang mendomestikasi hanya anjing, bebas dari
momok itu. Lebih dari itu, sebagian besar orang dalam warga
agrikultur dan industri hidup dalam permukiman permanen
yang padat dan tidak higienis—sarang ideal bagi penyakit. Para
penjelajah menjelajahi tanah dalam kawanan-kawanan kecil yang
tidak bisa melanggengkan epidemi.
Diet yang menyeluruh dan beragam, pekan kerja yang
relatif singkat, dan jarangnya penyakit menular membuat para
ahli mendefinisikan warga penjelajah pra-agrikultur sebagai
“warga makmur yang asli”. Namun, keliru jika mengidealkan
kehidupan warga kuno ini. Meskipun mereka menikmati
kehidupan yang lebih baik dari sebagian besar warga
agrikultur dan industri, dunia mereka masih keras dan tanpa
ampun. Periode-periode paceklik dan kesulitan bukan hal yang
tidak biasa, tingkat kematian anak tinggi, dan kecelakaan yang
pada masa kini termasuk kecil bisa menjadi hukuman mati.
Kebanyakan orang mungkin menikmati keintiman dekat dalam
kawanan penjelajah, namun orang-orang bernasib buruk yang
menyulut permusuhan atau ejekan terhadap sesama anggota
kawanan mungkin akan sangat menderita. Para penjelajah modern
terkadang meninggalkan atau bahkan membunuh orangtua atau
orang cacat yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kawanan.
Bayi-bayi dan anak-anak yang tidak diinginkan bisa dibunuh, dan
bahkan ada kasus-kasus pengorbanan manusia yang terilhami
ajaran religius.
warga Aché, pemburu-penjelajah yang hidup di belantara
Paraguay sampai tahun 1960-an, memberi gambaran sekilas
tentang sisi gelap warga penjelajah. saat seorang anggota
kawanan yang dihormati meninggal, suku Aché membunuh
seorang anak perempuan dan mengubur keduanya bersama-sama.
Para antropolog yang mewawancarai Aché merekam sebuah kasus
di mana satu kawanan meninggalkan seorang pria setengah baya
yang sakit dan tak bisa mengikuti gerak kawanan. Dia ditinggalkan
di bawah pohon. Beberapa burung bangkai bertengger di atasnya,
menanti makanan yang sudah pasrah. Namun, orang itu sembuh,
dan, dengan berjalan cepat, dia berhasil bergabung kembali
dengan kawanan. Tubuhnya penuh dengan kotoran burung,
sehingga dia dijuluki “Tahi Burung Bangkai”.
saat seorang perempuan tua Aché menjadi beban bagi
kawanan, salah satu pemuda akan menyelinap di belakangnya
dan membunuhnya dengan ayunan kapak di kepala. Seorang
pria Aché mengisahkan kepada para antropolog kisah-kisahnya
pada masa-masa di hutan. “Saya terbiasa membunuh seorang
perempuan tua. Saya bisa membunuh para bibi saya.... Perempuan-
perempuan itu takut kepada saya. Kini, di sini bersama orang-
orang kulit putih, saya menjadi lemah.” Bayi yang lahir tanpa
rambut, yang dianggap tidak berkembang, langsung dibunuh.
Seorang perempuan mengenang bahwa bayi pertamanya seorang
perempuan dibunuh sebab para pria dalam kawanan tidak
menginginkan ada anak perempuan lagi. Dalam peristiwa lain,
seorang pria membunuh anak laki-laki sebab dia “perasaannya
sedang buruk dan anak itu menangis”. Seorang anak lainnya
dikubur hidup-idup sebab “tampak lucu dan anak-anak lain
mentertawainya”.7
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menghakimi Aché
terlalu cepat. Para antropolog yang hidup bersama mereka selama
bertahun-tahun melaporkan bahwa kekerasan antara orang
dewasa sangat jarang. Baik perempuan maupun laki-laki bebas
berganti pasangan sesukanya. Mereka tersenyum dan tertawa
terus, tak ada hierarki hubungan, dan umumnya menghindari
orang-orang dominan. Mereka luar biasa dermawan dengan harta
miliknya yang sedikit, dan tidak terobsesi dengan sukses atau
kekayaan. Hal-hal yang paling mereka hargai dalam kehidupan
yaitu interaksi sosial yang bagus dan pertemanan yang sangat
berkualitas.8 Mereka memandang pembunuhan anak, orang
sakit, dan orang tua sama seperti banyak orang pada masa kini
memandang aborsi dan euthanasia. Harus dicatat pula bahwa
orang Aché diburu dan dibunuh tanpa ampun oleh para petani
Paraguay. Kebutuhan untuk menghindari musuh mungkin
memicu Aché menerapkan sikap sangat keras terhadap
siapa pun yang mungkin menjadi beban bagi kawanan.
Yang benar yaitu bahwa warga Aché, sebagaimana
setiap warga manusia, sangat rumit. Kita harus hati-hati
untuk tidak mengutuk atau mengidealkannya berdasarkan
perkenalan superfisial. Aché bukan malaikat dan juga bukan
iblis—mereka manusia. Jadi, begitu pula para pemburu-penjelajah
kuno.
Membicarakan Hantu
Apa yang bisa kita katakan tentang kehidupan spiritual dan
mental kaum pemburu-penjelajah kuno? Dasar dari ekonomi
penjelajah bisa direkonstruksi dengan cukup meyakinkan
berdasarkan faktor-faktor yang bisa dihitung dan objektif.
Misalnya, kita bisa mengalkulasi berapa banyak kalori per hari
yang dibutuhkan seseorang agar bertahan hidup, berapa banyak
kalori yang didapat dari satu kilogram kenari, dan berapa banyak
kenari yang bisa dikumpulkan dari hutan seluas satu kilometer
persegi. Dengan data ini, kita bisa membuat perkiraan terpelajar
tentang pentingnya kenari dalam diet mereka. Namun, apakah
mereka menganggap kenari sebagai kelezatan atau makanan
yang membosankan? Apakah mereka percaya bahwa pohon
kenari dihuni arwah? Apakah mereka menganggap daun-daun
kenari itu indah? Jika seorang anak penjelajah ingin membawa
seorang anak perempuan penjelajah ke tempat romantis, apakah
bayangan pohon kenari sudah mencukupi? Dunia pikiran,
keyakinan dan perasaan berdasarkan definisi jauh lebih rumit
untuk digambarkan.
Sebagian besar ahli sepakat bahwa keyakainan-keyakinan
animistik lazim di antara para penjelajah kuno. Animisme (dari
kata anima, ‘jiwa’ atau arwah dalam bahasa Latin) yaitu
keyakinan bahwa setiap tempat, setiap binatang, setiap tumbuhan,
dan setiap fenomena alam memiliki kesadaran dan perasaan,
dan bisa berkomunikasi langsung dengan manusia. Jadi, kaum
animis mungkin percaya bahwa batu besar di puncak bukit
memiliki hasrat dan kebutuhan. Batu itu mungkin marah terhadap
sesuatu yang dilakukan orang dan senang terhadap tindakan
yang lain. Batu itu mungkin menegur atau meminta dukungan.
Manusia bisa berbicara dengan batu itu, untuk meredakan atau
mengancam batu itu. Tidak hanya batu, namun juga pohon ek di
dasar bukit yaitu makhluk berjiwa, dan begitu juga arus sungai
yang mengalir di bawah bukit, mata air di hutan, semak-semak
yang tumbuh di sekitarnya, jalan menuju ke sana, tikus tanah,
rubah, dan gagak yang minum di sana. Dalam dunia animis,
benda-benda dan makhluk hidup bukan satu-satunya makhluk
berjiwa. Ada juga entitas-entitas non-materi—arwah orang-orang
mati, serta makhluk bersahabat dan jahat, jenis yang pada masa
kini kita sebut setan, peri, dan malaikat.
Kaum animis percaya bahwa tidak ada penghalang antara
manusia dan makhluk lain. Mereka semua bisa berkomunikasi
langsung melalui ucapan, lagu, tarian, dan upacara. Seorang
pemburu bisa berbicara kepada sekawanan rusa dan meminta
salah satu dari mereka mengorbankan diri. Jika perburuan sukses,
pemburu bisa meminta kepada binatang yang mati itu untuk
memberinya maaf. saat seseorang jatuh sakit, seorang dukun
bisa mengontak arwah yang memicu sakit dan berusaha
berdamai atau menakut-nakutinya. Jika diperlukan, dukun itu
bisa meminta bantuan dari arwah-arwah lain. Yang mencirikan
se