• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Sapiens 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sapiens 2. Tampilkan semua postingan

Sapiens 2



 ungkin akan berpikir dua 

kali sebelum membuka usaha sendiri. Dan, sungguh situasi legal 

ini menghambat kewirausahaan. Orang-orang takut memulai 

bisnis baru dan menanggung risiko ekonominya. Nyaris tidak 

ada untungnya mengambil kesempatan yang bisa membawa 

keluarganya jatuh ke kemelaratan. 

Itulah mengapa orang mulai secara kolektif membayangkan 

eksistensi perusahaan liabilitas terbatas. Perusahaan-perusahaan 

semacam itu secara legal independen dari orang yang mendiri-

kannya, atau menginvestasikan uang ke dalamnya, atau mengelola-

nya. Selama beberapa abad terakhir ini, perusahaan semacam 

itu telah menjadi pemain-pemain utama dalam arena ekonomi, 

dan kita semakin terbiasa dengannya sehingga kita lupa bahwa 

perusahaan seperti itu hanya eksis dalam imajinasi kita. Di 

Amerika Serikat, istilah teknis untuk perusahaan liabilitas terbatas 

yaitu  “korporasi”, yang ironis, sebab  istilah itu berasal dari 

“corpus” (tubuh dalam bahasa Latin)—satu hal yang tidak dimiliki 

oleh korporasi-korporasi ini. Meskipun tidak memiliki tubuh 

riil, sistem legal Amerika memperlakukan korporasi-korporasi 

sebagai person legal, seakan-akan mereka yaitu  daging-dan-

darah makhluk manusia.

Demikian pula halnya dengan sistem legal Prancis pada 1896, 

saat  Armand Peugeot, yang mewarisi dari kedua orangtuanya 

sebuah bengkel logam yang memproduksi pegas, gergaji, dan 

sepeda, memutuskan untuk memasuki bisnis otomotif. Untuk 

keperluan itu, dia mendirikan sebuah perusahaan liabilitas 

terbatas.

Dia menamai perusahaan itu dari namanya sendiri, namun  

perusahaan itu independen dari dirinya. Jika salah satu mobil 

rusak, pembeli bisa menuntut Peugeot, namun  bukan Armand 

Peugeot. Jika perusahaan meminjam jutaan franc dan kemudian 

gulung tikar, Armand Peugeot tidak berutang pada pemberi kredit 

satu franc pun. Pinjaman itu, bagaimanapun, sudah diberikan 

ke Peugeot, perusahaan, bukan kepada Armand Peugeot, sang 

Homo sapiens. Armand Peugeot meninggal pada 1915. Peugeot, 

perusahaan itu, masih hidup dan sehat.

Bagaimana sesungguhnya Armand Peugeot, orangnya, 

menciptakan Peugeot, perusahaan? Caranya sama dengan para 

pendeta dan dukun menciptakan tuhan dan setan sepanjang 

sejarah, dan cara yang di dalamnya ribuan curés (ahli pengobatan) 

Prancis masih menciptakan tubuh Kristus setiap Minggu di 

gereja-gereja. Semua itu berkisar pada penceritaan kisah-kisah, 

dan upaya meyakinkan orang agar memercayainya. Dalam kasus 

curés Prancis, kisah krusialnya yaitu  bahwa kehidupan dan 

kematian Kristus sebagaimana diceritakan oleh Gereja Katolik. 

Menurut cerita ini, pendeta Katolik yang mengenakan kain suci 

mengatakan penuh khidmat kata-kata yang tepat pada saat yang 

tepat, roti anggur duniawi berubah menjadi daging dan darah 

Tuhan. Pendeta berseru “Hoc est corpus meum!” (ungkapan Latin 

yang berarti ‘Ini tubuh saya’) dan hocus pocus—roti berubah 

menjadi daging Kristus. Melihat teratur dan khidmatnya pendeta 

menjalakan semua prosedur itu, jutaan pemeluk Katolik Prancis 

berperilaku seakan-akan Tuhan benar-benar ada dalam roti dan 

anggur yang disucikan itu.

Dalam kasus Peugeot SA, kisah krusialnya yaitu  ayat 

hukum, sebagaimana ditulis oleh parlemen Prancis. Menurut 

para legislator Prancis, jika seorang pengacara bersertifikat 

mengikuti semua liturgi dan ritual yang benar, menulis semua 

mantra dan sumpah yang diwajibkan pada selembar kertas yang 

dihiasi sangat bagus, dan membubuhkan tanda tangannya yang 

penuh hiasan di bagaian bawah dokumen, maka abrakadabra... 

sebuah perusahaan baru telah didirikan. saat  Armand Peugeot, 

pada 1896, ingin menciptakan perusahaannya, dia membayar 

seorang pengacara menjalankan semua prosedur suci itu. Begitu 

pengacara selesai melakukan ritual yang benar dan melafalkan 

semua mantra dan sumpah yang diperlukan, jutaan penduduk 

Prancis yang berdiri tegak berperilaku seakan-akan perusahaan 

Peugeot benar-benar ada.

Menceritakan kisah-kisah yang efektif tidaklah mudah. 

Kesulitannya tidak terletak pada bagaimana menceritakan kisah 

itu, namun  pada bagaimana meyakinkan setiap orang lain untuk 

memercayainya. Banyak sejarah berkisar pada pertanyaan ini: 

bagaimana seseorang bisa meyakinkan jutaan orang untuk yakin 

pada kisah-kisah tertentu tentang Tuhan, negara, atau perusahaan 

liabilitas terbatas? Namun, saat  berhasil, kisah itu memberi 

Sapiens kekuatan besar, sebab  memungkinkan jutaan orang 

asing mau bekerja sama dan bekerja menuju tujuan bersama. 

Coba saja bayangkan betapa sulitnya menciptakan negara, gereja, 

atau sistem hukum jika kita hanya mampu bicara tentang hal-hal 

yang benar-benar ada, seperti sungai, pohon, dan singa.

Selama bertahun-tahun orang-orang memintal jalinan cerita 

yang luar biasa rumit. Dalam jalinan itu, fiksi-fiksi seperti 

Peugeot tidak hanya ada, namun  juga mengakumulasi kekuatan 

besar. Jenis hal yang diciptakan orang dalam jalinan kisah-kisah 

itu dikenal di kalangan akademisi sebagai “fiksi”, “konstruk 

sosial”, atau “realitas yang dibayangkan”. Sebuah realitas yang 

dibayangkan bukanlah kebohongan. Saya bohong kalau saya 

mengatakan ada seekor singa dekat sungai saat  saya tahu 

sepenuhnya bahwa tidak ada singa di sana. Tidak ada yang 

istimewa tentang kebohongan. Monyet hijau dan simpanse bisa 

berbohong. Seekor monyet hijau, misalnya, pernah diobservasi 

menyeru “Awas! Ada singa!” saat  tidak ada seekor pun singa 

di sekitarnya. Peringatan itu dengan mudah menakutkan seekor 

monyet yang baru saja menemukan sebuah pisang, meninggalkan 

pembohongnya mencuri rezeki itu untuk dirinya.

Tak seperti kebohongan, realitas yang dibayangkan yaitu  

sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan sepanjang kepercayaan 

bersama itu ada, realitas yang dibayangkan mendatangkan 

kekuatan di dunia. Pematung Gua Stadel mungkin saja secara 

jujur meyakini keberadaan arwah penjaga, manusia singa, itu. 

Sebagian dukun yaitu  penipu, namun  sebagian besar secara jujur 

meyakini keberadaan Tuhan dan setan. Sebagian besar miliuner 

secara jujur percaya akan keberadaan uang dalam perusahaan 

liabilitas terbatas. Sebagian besar aktivis hak asasi manusia secara 

jujur meyakini adanya hak-hak asasi manusia. Tak seorang pun 

berbohong saat , pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 

menuntut agar pemerintah Libya menghormati hak-hak asasi 

manusia warganya, sekalipun PBB, Libya, dan hak-hak asasi 

manusia semuanya yaitu  isapan jempol dari imajinasi kita 

yang subur.

Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian 

hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai, 

pohon, dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan 

tentang Tuhan, negara, dan korporasi. Seiring berjalannya waktu, 

realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini 

sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada 

kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara, dan 

korporasi.

Memintas Genom

Kemampuan untuk menciptakan realitas yang dibayangkan dengan 

kata-kata memungkinkan banyak orang asing bisa bekerja sama 

secara efektif. Namun, ia juga menghasilkan sesuatu yang lebih 

besar. sebab  kerja sama manusia dalam skala besar didasarkan 

pada mitos, cara orang bekerja sama bisa diganti dengan 

mengganti mitosnya—dengan menceritakan kisah yang berbeda. 

Dalam keadaan yang tepat mitos bisa berubah sangat cepat. Pada 

1789, populasi Prancis beralih dalam sekejap dari memercayai 

mitos hak ilahiah raja ke memercayai mitos kedaulatan rakyat. 

Akibatnya, sejak munculnya Revolusi Kognitif, Homo sapiens 

bisa merevisi perilakunya dengan cepat sesuai kebutuhan yang 

berubah-ubah. Ini membuka jalur cepat evolusi kultural, memintas 

kemacetan-kemacetan lalu lintas evolusi genetika. Menyusuri 

jalur cepat ini, Homo sapiens segera jauh mengungguli semua 

spesies manusia dan binatang lain dalam hal kemampuan untuk 

bekerja sama.

Perilaku binatang-binatang sosial lainnya sebagian besar 

di tentukan oleh gen mereka. DNA bukanlah otokrat. Perilaku 

binatang juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan dan kebiasaan-

kebiasaan individu. Bagaimanapun, dalam satu lingkungan 

tertentu, binatang-binatang dari spesies yang sama cenderung 

berperilaku dengan cara yang sama. Perubahan-perubahan 

signifikan dalam perilaku sosial tidak bisa terjadi, pada umumnya, 

tanpa mutasi gen. Misalnya, simpanse-simpanse biasa memiliki 

kecenderungan genetik untuk hidup dalam kelompok-kelompok 

hierarkis yang dipimpin oleh seekor jantan alfa. Spesies yang 

terhubung dekat dengan simpanse, bonobo, biasanya hidup dalam 

kelompok-kelompok yang lebih egaliter, yang didominasi oleh 

aliansi-aliansi betina. Simpanse-simpanse betina biasa tidak bisa 

mengambil pelajaran dari kerabat mereka, bonobo, dan kemudian 

melancarkan revolusi feminis. Simpanse-simpanse jantan tidak 

bisa berkumpul dalam majelis konstitusi untuk menghapuskan 

kantor jantan alfa dan mendeklarasikan bahwa dari sini semua 

simpanse diperlakukan setara. Perubahan-perubahan dramatis 

dalam perilaku semacam itu hanya terjadi jika sesuatu berubah 

dalam DNA simpanse.

Dengan alasan yang sama, manusia-manusia kuno tidak 

menginisiasi revolusi apa pun. Sejauh yang bisa kita ceritakan, 

perubahan-perubahan pola-pola sosial, penemuan teknologi baru 

dan penempatan habitat-habitat asing menghasilkan mutasi-mutasi 

genetik dan tekanan lingkungan lebih dari inisiatif kultural. 

Itulah mengapa manusia butuh ratusan tahun untuk mencapai 

langkah ini. Dua juta tahun lalu, mutasi-mutasi gen menghasilkan 

munculnya spesies manusia baru yang disebut Homo erectus. 

Kemunculannya disertai perkembangan teknologi alat baru, yang 

kini dikenali sebagai ciri khas spesies ini. Selama Homo erectus 

tidak mengalami perubahan genetik labih lanjut, alat-alat batu 

kurang lebih tetap seperti sama—selama hampir 2 juta tahun!

Secara kontras, sejak adanya Revolusi Kognitif, Sapiens 

mampu mengubah perilaku mereka dengan cepat, meneruskan 

perilaku-perilaku baru ke generasi berikutnya tanpa perlu 

perubahan genetik maupun lingkungan. Satu contoh yang sangat 

bagus, lihatlah perulangan kaum elite tak beranak, seperti 

kepastoran Katolik, ajaran monastik Buddha dan birokrasi 

orang kasim China. Eksistensi orang-orang elite semacam itu 

berlawanan dengan prinsip-prinsip paling fundamental dari 

seleksi alam sebab  para anggota dominan warga  itu secara 

sukarela meninggalkan peran sebagai ayah. Kalau jantan alfa 

simpanse memakai  kekuasaannya untuk berhubungan seks 

dengan sebanyak mungkin betina—dan konsekuensinya menjadi 

ayah dari barisan muda dalam jumlah besar—jantan alfa Katolik 

abstain sepenuhnya dari hubungan seksual dan perawatan anak. 

Pilihan abstain itu bukan akibat dari kondisi lingkungan yang unik 

seperti kelangkaan pangan yang parah atau keinginan pasangan 

potensial. Bukan pula hasil dari perilaku tertentu akibat mutasi 

genetik. Gereja Katolik telah bertahan selama berabad-abad, 

tidak dengan memintas “gen selibat” dari satu paus ke paus 

berikutnya, melainkan dengan cerita-cerita Perjanjian Baru dan 

hukum kanon Katolik.

Dengan kata lain, sementara pola-pola perilaku manusia 

kuno bersifat tetap selama puluhan ribu tahun, Sapiens bisa 

mentransformasi struktur-struktur sosial, sifat hubungan 

interpersonal, dan sejumlah besar perilaku lain hanya dalam waktu 

satu atau dua dekade. Bayangkan seorang warga Berlin, yang lahir 

pada 1900 dan hidup selama seratus tahun. Dia menghabiskan 

masa kanak-kanaknya dalam Imperium Hohenzollern Wilhelm 

II; tahun-tahun dewasanya berada di bawah Republik Weimar, 

rezim Third Reich Nazi dan Jerman Timur Komunis; dan dia 

meninggal sebagai seorang warga Jerman bersatu yang demokratis. 

Dia berhasil menjadi bagian dari lima sistem sosio-politik yang 

berbeda walaupun DNA-nya tetap benar-benar sama.

Inilah kunci dari sukses Sapiens. Dalam perkelahian satu-

lawan-satu, seorang Neanderthal mungkin akan mengalahkan 

Sapiens. Namun, dalam konflik ratusan orang, Neanderthal 

tidak akan mampu bertahan. Neanderthal bisa berbagi informasi 

tentang keberadaan singa, namun  mereka mungkin tidak akan bisa 

menceritakan—dan merevisi—cerita tentang arwah suku. Tanpa 

kemampuan mengarang fiksi itu, Neanderthal tidak mampu 

bekerja sama secara efektif dalam jumlah besar, juga tidak mampu 

menyesuaikan perilaku sosial mereka dengan tantangan-tantangan 

yang berubah dengan cepat.

Meskipun kita tidak bisa masuk ke dalam pikiran Neanderthal 

untuk memahami bagaimana cara berpikir mereka, kita punya 

bukti tidak langsung tentang keterbatasan kognisi mereka 

dibandingkan dengan rival Sapiens-nya. Para arkeologis yang 

menggali situs-situs Sapiens yang berusia 30.000 tahun di jantung 

Eropa sesekali menemukan di sana kerang-kerang laut dari 

pesisir Mediteran dan Atlantik. Kemungkinannya, kerang-kerang 

itu sampai ke pedalaman benua itu melalui perdagangan jarak 

jauh antara berbagai kawanan Sapiens yang berbeda. Situs-situs 

Neanderthal tidak punya bukti perdagangan semacam itu. Setiap 

6. Pria alfa Katolik abstain 

dari hubungan seksual dan 

perawatan anak, sekalipun 

tidak ada alasan genetik 

maupun ekologis untuk 

melakukannya.


grup membuat alat-alat sendiri dari material lokal.4

Satu contoh lagi datang dari Pasifik Selatan. Kelompok-

kelompok Sapiens yang hidup di Pulau Irlandia Baru, sebelah 

utara Nugini, memakai  kaca vulkanik yang disebut obsidian 

untuk membuat alat-alat tajam dan sangat kuat. Namun, Irlandia 

baru tidak punya cadangan alam obsidian. Uji-uji laboratorium 

mengungkapkan bahwa obsidian yang mereka gunakan dibawa 

dari cadangan di Britania Baru, sebuah pulau 400 kilometer 

jauhnya. Sebagian dari penghuni pulau-pulai ini pasti navigator 

ulung yang berdagang dari pulau ke pulau menempuh jarak 

yang jauh.5

Perdagangan mungkin tampak sebagai kegiatan yang sangat 

pragmatis, yang tak memerlukan dasar-dasar fiktif. Namun, 

faktanya tidak ada binatang selain Sapiens yang terlibat dalam 

perdagangan, dan semua jaringan perdagangan Sapiens yang 

tentangnya kita punya bukti terperinci didasarkan pada fiksi-fiksi. 

Perdagangan tidak bisa muncul tanpa kepercayaan, dan sangat 

sulit untuk memercayai orang asing. Jaringan perdagangan global 

saat ini didasarkan pada kepercayaan kita pada entitas-entitas 

fiksional seperti dolar, Federal Reserve Bank, dan lambang-

lambang korporasi. saat  dua orang asing dalam warga  

suku ingin berdagang, mereka akan membangun kepercayaan 

dengan memohon kepada Tuhan, leluhur mitos, atau binatang 

lambang yang sama.

Jika Sapiens kuno yang meyakini fiksi-fiksi semacam itu 

memperdagangkan kerang dan obsidian, maka masuk akal bahwa 

mereka juga bisa memperdagangkan informasi, dan sebab  itu 

menciptakan jalinan pengetahuan yang lebih padat dan lebih 

luas ketimbang yang dimiliki Neanderthal dan manusia-manusia 

kuno lainnya. Teknik berburu memberi  ilustrasi perbedaan-

perbedaan ini. Neanderthal biasanya berburu sendirian atau 

dalam kelompok-kelompok kecil.

Sapiens, di sisi lain, mengembangkan teknik-teknik yang 

bertumpu pada kerja sama berpuluh-puluh individu, dan 

mungkin bahkan antarkawanan. Satu metode yang sangat 

efektif yaitu  mengepung seluruh kawanan binatang, seperti 

kuda liar, kemudian memburunya dalam ngarai yang sempit

yang dengan mudah menghabisinya secara massal. Jika semua 

berjalan seperti rencana, kawanan-kawanan manusia itu akan 

memanen berton-ton daging, lemak, dan kulit binatang dalam 

upaya kolektif di satu sore saja, dan entah mengonsumsi harta 

ini dalam pesta besar, atau mengeringkan, mengasapi atau (di 

area-area Arctic) membekukannya untuk dimakan lain waktu. 

Para arkeolog menemukan situs-situs di mana seluruh kawanan 

binatang dibantai setiap tahun dengan cara itu. Bahkan, ada 

situs-situs di mana pagar-pagar dan penghalang didirikan dalam 

rangka menciptakan perangkap artifisial dan lahan pembantaian.

Kita mungkin berasumsi bahwa Neanderthal tidak senang 

melihat lahan perburuan tradisional mereka berubah menjadi 

lahan pembantaian yang dikuasai Sapiens. Namun, jika kerusuhan 

meletus antara kedua spesies itu, nasib Neanderthal tidak terlalu 

lebih baik dari kuda-kuda liar. Lima puluh Neanderthal yang 

bekerja sama dalam pola-pola tradisional yang statis bukanlah 

tandingan bagi 500 Sapiens yang lincah dan inovatif. Dan, 

andaipun Sapiens kalah di babak pertama, mereka bisa dengan 

cepat menemukan tipu daya yang memungkinkan mereka menang 

lain waktu.

Apa yang Terjadi dalam Revolusi 

Kognitif?

Kemampuan Baru Konsekuensi Lebih Luas

Kemampuan 

menyampaikan informasi 

dalam jumlah lebih 

besar tentang dunia yang 

mengelilingi Homo sapiens.

Merencanakan dan 

melaksanakan aksi-aksi 

rumit, seperti menghindari 

singa dan memburu bison.


Kemampuan Baru Konsekuensi Lebih Luas

Kemampuan 

menyampaikan informasi 

dalam jumlah lebih besar 

tentang hubungan sosial 

Sapiens.

Kelompok yang lebih 

besar dan lebih kohesif, 

berjumlah sampai 150 

individu.

Kemampuan 

menyampaikan informasi 

tentang hal-hal yang tidak 

benar-benar ada, seperti 

arwah, negara, perusahaan 

liabilitas terbatas, dan hak-

hak asasi manusia.

a. Kerja sama di antara 

orang asing dalam jumlah 

sangat besar

b. Inovasi pesat perilaku 

sosial.

Sejarah dan Biologi

Besarnya keragaman dari realitas yang dibayangkan yang 

ditemukan Sapiens, dan keragaman pola-pola perilaku yang 

dihasilkannya, yaitu  komponen utama dari apa yang kita sebut 

“budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti 

berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak 

terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.

Revolusi Kognitif dengan demikian yaitu  titik di mana 

sejarah mendeklarasikan kemerdekaannya dari biologi. Sampai 

dengan Revolusi Kognitif, perbuatan-perbuatan semua spesies 

manusia berada dalam ranah biologi, atau, jika Anda lebih 

menyukai, prasejarah (Saya cenderung menghindari istilah 

“prasejarah” sebab  itu secara keliru membawa makna, bahkan 

sebelum Revolusi Kognitif, manusia ada dalam kategorinya 

sendiri). Sejak Revolusi Kognitif dan seterusnya, narasi-narasi 

sejarah menggantikan teori-teori biologi sebagai sarana utama 

kita dalam menjelaskan perkembangan Homo sapiens. Untuk 

memahami munculnya Kristianitas atau Revolusi Prancis, tidak 


 

44

cukup dengan memahami interaksi gen-gen, hormon-hormon, dan 

organisme-organisme. Diperlukan pula untuk mempertimbangkan 

interaksi ide-ide, gambar-gambar, dan fantasi-fantasi.

Ini tidak berarti bahwa Homo sapiens dan kebudayaan 

manusia terkecualikan dari hukum-hukum biologi. Kita masih 

tetap binatang dan kemampuan fisik, emosional, dan kognitif 

kita masih dibentuk oleh DNA kita.

warga  kita dibentuk dari blok-blok bangunan yang 

sama sebagaimana warga  Neanderthal atau simpanse, dan 

semakin jauh kita mencermati blok-blok bangunan ini—sensasi, 

emosi, ikatan keluarga—semakin sedikit perbedaan yang kita 

temukan antara kita dan kera-kera lain.

Meskipun demikian, keliru kalau kita mencari perbedaan-

perbedaan pada level individual dan keluarga. Satu lawan satu, 

atau bahkan sepuluh lawan sepuluh, kita secara mengejutkan 

serupa dengan simpanse. Perbedaan-perbedaan signifikan baru 

mulai muncul saat  kita melampaui ambang batas 150 individu, 

dan saat  kita mencapai 1.000 sampai 2.000 individu, perbedaan-

perbedaan itu mencengangkan. Jika Anda mengumpulkan ribuan 

simpanse di Lapangan Tiananmen, Wall Street, Vatikan, atau 

markas besar PBB, hasilnya akan semrawut. Bandingannya, 

Sapiens bisa berkumpul secara rutin dalam jumlah ribuan di 

tempat-tempat semacam itu. Bersama-sama, mereka menciptakan 

pola-pola teratur—seperti jaringan perdagangan, perayaan 

massal, dan institusi-institusi politik—yang belum pernah mereka 

ciptakan secara terpisah. Perbedaan riil antara kita dan simpanse 

yaitu  mitos pengikat yang merekatkan individu, keluarga, dan 

kelompok dalam jumlah besar. Perekat itu membuat kita ulung 

dalam penciptaan.

Tentu saja, kita juga butuh keterampilan lain, seperti 

kemampuan untuk membuat dan memakai  alat. Meskipun 

demikian, pembuatan alat yaitu  konsekuensi kecil kalau tidak 

digabung kan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan 

banyak orang lain. Bagaimana bisa kita sekarang memiliki misil 

antarbenua dengan hulu ledak nuklir, sementara 30.000 tahun 

lalu kita hanya punya batang dengan mata pisau batu? Secara 

psikologis, tidak ada perbaikan signifikan dalam kapasitas kita 

dalam pembuatan alat selama 30.000 tahun terakhir. Albert 

Einstein jauh kurang tangkas tangannya dibandingkan dengan 

seorang manusia kuno pemburu-penjelajah. Namun, kapasitas 

kita untuk bekerja sama dengan orang asing dalam jumlah besar 

membaik secara dramatis. Mata pisau batu kuno dibuat hanya 

dalam beberapa menit oleh satu orang, yang bergantung pada 

saran dan bantuan beberapa teman dekat. Produksi hulu ledak 

nuklir modern membutuhkan kerja sama jutaan orang asing di 

seluruh dunia—dari pekerja yang menambang bijih uranium di 

kedalaman Bumi sampai ke para ahli fisika teoretis yang menulis 

rumus-rumus matematika panjang untuk menjelaskan interaksi 

partikel-partikel atom.

Berikut ini yaitu  ringkasan hubungan antara biologi dan 

sejarah setelah Revolusi Kognitif:

a. Biologi membuat parameter-parameter dasar perilaku dan 

kapasitas Homo sapiens. Keseluruhan sejarah berlangsung 

dalam batasan-batasan arena biologis ini.

b. Meskipun demikian, area ini luar biasa besar, memungkinkan 

Sapiens memainkan ragam permainan yang mencengangkan. 

Berkat kemampuan mereka dalam menemukan fiksi, Sapiens 

bisa menciptakan permainan-permainan yang semakin 

rumit dan semakin rumit, yang berarti setiap generasi 

mengembangkan dan mengelaborasi lebih jauh.

c. Akibatnya, dalam rangka memahami bagaimana perilaku 

Sapiens, kita harus menjelaskan evolusi sejarah tindakan-

tindakan mereka. Merujuk hanya pada hambatan-hambatan 

biologis seperti penyiar radio olahraga yang, saat  meliput 

kejuaraan sepak bola Piala Dunia, menyampaikan kepada 

para pendengarnya penjelasan terperinci tentang lapangan 

permainan, bukan penjelasan tentang apa yang sedang 

dilakukan pemain.

Permainan apa yang dilakukan leluhur Abad Batu kita dalam 

arena sejarah? Sejauh yang kita ketahui, orang-orang yang 

memahat patung manusia singa Stadel sekitar 30.000 tahun lalu 

memiliki kemampuan fisik, emosional, dan intelektual yang sama 

dengan yang kita miliki. Apa yang mereka lakukan saat  bangun 

di pagi hari? Apa yang mereka makan untuk sarapan—dan makan 

siang? Seperti apa warga  mereka? Apakah mereka punya 

hubungan monogami? Apakah mereka melakukan upacara, punya 

aturan-aturan moral, malakukan kontes olahraga, dan ritual-

ritual keagamaan? Apakah mereka berperang? Bab selanjtunya 

akan mengintip apa di balik tirai abad-abad yang menjelaskan 

seperti apa kehidupan dalam milenium-milenium pemisah antara 

Revolusi Kognitif dan Revolusi Pertanian.


Sehari dalam Kehidupan 

Adam dan Hawa

Untuk memahami alam, sejarah, dan psikologi, kita harus 

masuk ke dalam kepala para leluhur, para pemburu-penjelajah. 

Hampir sepanjang keseluruhan sejarah spesies kita, Sapiens 

hidup sebagai penjelajah makanan. Masa 200 tahun terakhir, 

yang di dalamnya Sapiens dalam jumlah yang terus bertambah 

mendapatkan makanan harian mereka dari pekerjaan menjadi 

buruh urban dan pekerja kantoran, dan 10.000 tahun sebelumnya, 

yang di dalamnya sebagian besar Sapiens hidup sebagai petani 

dan penggembala, ibarat sekedipan mata dibandingkan dengan 

puluhan ribu tahun yang di dalamnya para leluhur kita berburu 

dan mengumpulkan makanan.

Psikologi evolusi yang semakin maju menjelaskan bahwa 

banyak sifat  sosial dan psikologis kita masa kini yang 

dibentuk dalam era panjang pra-agrikultural ini. Bahkan sekarang, 

menurut para ahli di bidang ini, otak dan pikiran kita beradaptasi 

dengan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. 

Kebiasaan makan, konflik-konflik, dan seksualitas kita semua 

yaitu  hasil dari cara pikiran pemburu-penjelajah berinteraksi 

dengan lingkungan pasca-industri kita saat ini, dengan kota-

kota raksasa, pesawat, telepon, dan komputernya. Lingkungan 

memberi kita lebih banyak sumber daya material dan kehidupan 

yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dirasakan oleh 

generasi mana pun sebelumnya, namun  itu sering membuat kita 

merasa terasing, tertindas, dan tertekan.

Untuk memahami penyebabnya, menurut para ahli psikologi 

evolusi, kita perlu menyelam ke dunia pemburu-penjelajah yang 

membentuk kita, dunia yang dalam alam bawah sadar masih 

kita huni.

Mengapa, misalnya, orang-orang menyantap makanan tinggi 

kalori yang tak banyak manfaatnya bagi tubuh? Kini warga -

warga  makmur berada dalam penderitaan bencana obesitas, 

yang dengan cepat menyebar ke negara-negara berkembang. 

Sebuah teka-teki, mengapa kita gandrung dengan makanan paling 

manis dan paling berminyak yang bisa kita jumpai, sampai kita 

mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan makan para leluhur 

kita. Di savana dan hutan-hutan yang mereka tempati, makanan 

manis tinggi kalori sangat jarang dan persediaan makanan secara 

umum sangat sedikit. Pada masa 30.000 tahun lalu, satu individu 

hanya memiliki akses ke satu jenis makanan manis—buah yang 

matang. Jika seorang perempuan Zaman Batu menemukan 

sebuah pohon berderak menjuntai dengan beban buah-buah ara, 

hal yang paling masuk akal untuk dilakukan yaitu  memakan 

buah-buah itu sebanyak yang bisa dia lakukan di tempat, sebelum 

kawanan babon lokal memetiknya. Naluri untuk menggandrungi 

makanan tinggi kalori dibentuk dalam gen-gen kita. Kini kita 

mungkin hidup di apartemen-apartemen yang tinggi menjulang 

dengan kulkas-kulkas yang penuh persediaan, namun  DNA kita 

masih berpikir kita berada di savana. Itulah yang membuat kita 

menyendok tandas seliter Ben & Jerry saat  menemukannya di 

freezer dan mencuci-bersih tenggorokan kita dengan Coke jumbo.

Teori “gen-penyantap” ini diterima secara luas. Teori-teori 

lain jauh lebih kontroversial. Misalnya, kalangan psikologi evolusi 

berpendapat bahwa kawanan-kawanan pencari makan kuno 

tidak tersusun atas keluarga-keluarga nuklir berintikan pasangan-

pasangan monogami. Namun, para pencari makan hidup dalam 

kelompok-kelompok (komun) tanpa properti pribadi, hubungan 

monogamis, bahkan peran keayahan. Dalam kawanan seperti 

itu, seorang perempuan bisa melakukan hubungan seks dan 

membentuk ikatan-ikatan intim dengan beberapa laki-laki (dan 

perempuan) secara simultan, dan semua orang dewasa dalam 

kawanan bekerja sama dalam hal merawat anak-anak. sebab  



tidak ada laki-laki yang tahu pasti anak mana yang merupakan 

anaknya, para laki-laki menunjukkan kepedulian yang sama 

terhadap semua anak.

Struktur sosial semacam itu bukanlah utopia Akuarian. 

Itu terdokumentasikan dengan baik pada binatang, terutama 

kerabat terdekat kita, simpanse dan bonobo. Bahkan, ada 

sejumlah kultur manusia masa kini yang di dalamnya peran ayah 

bersama dipraktikkan, misalnya di kalangan suku Indian Barí. 

Menurut keyakinan kelompok warga  seperti itu, seorang 

anak tidak dilahirkan dari sperma seorang pria tunggal, namun  

dari akumulasi sperma dalam rahim perempuan. Seorang ibu 

yang baik akan memastikan untuk melakukan hubungan seks 

dengan beberapa laki-laki, terutama saat  dia sedang hamil, 

agar anaknya menikmati kualitas (dan perawatan paternal) tidak 

hanya dari pemburu terbaik, namun  juga dari pencerita terbaik, 

petarung terkuat, dan pencinta yang paling penuh perhatian. Jika 

ini terdengar bodoh, pikirkan bahwa sebelum berkembangnya 

studi embriologikal modern, orang tidak punya bukti kuat 

bahwa bayi-bayi selalu dihasilkan oleh satu ayah tunggal, bukan 

banyak laki-laki.

Para pendukung teori “komun kuno” ini berpendapat bahwa 

perselingkuhan yang kerap terjadi yang mencirikan pernikahan 

modern, dan tingginya angka perceraian, belum lagi tumpah 

ruahnya penyakit-penyakit psikologis yang membuat anak-anak 

dan orang dewasa sama-sama menderita, semuanya merupakan 

akibat dari pemaksaan manusia untuk hidup dalam keluarga-

keluarga nuklir dan hubungan monogami yang tidak cocok 

dengan perangkat lunak biologis kita.1

Banyak ahli menolak mentah-mentah teori ini, dengan 

menekankan bahwa baik monogami maupun pembentukan 

keluarga-keluarga nuklir yaitu  inti dari perilaku manusia. 

Meskipun warga -warga  pemburu-penjelajah kuno 

cenderung lebih komunal dan egaliter ketimbang warga  

modern, para periset berpendapat mereka tetap terdiri dari sel-

sel terpisah, yang masing-masing berisi pasangan pencemburu 

dan anak-anak yang mereka besarkan bersama. Inilah mengapa 

kini hubungan monogami dan keluarga-keluarga nuklir menjadi 

norma dalam banyak kultur, mengapa laki-laki dan perempuan 

cenderung sangat posesif atas pasangan dan anak-anak mereka, 

dan mengapa bahkan dalam negara-negara modern seperti Korea 

Utara dan Suriah otoritas politik diwariskan dari ayah kepada 

anak.

Untuk menyelesaikan kontroversi ini dan memahami 

seksualitas, warga , dan politik, kita perlu mempelajari 

sesuatu tentang kondisi-kondisi yang masih ada dari para 

leluhur kita, untuk menelaah bagaimana Sapiens hidup di antara 

masa Revolusi Kognitif 70.000 tahun lalu, dan awal Revolusi 

Agrikultural sekitar 12.000 tahun lalu.

Sayang sekali, tak banyak hal yang pasti berkaitan dengan 

kehidupan leluhur pengembara kita. Perdebatan antara aliran 

“komun kuno” dan “monogami kekal” didasarkan pada bukti 

sumir. Kita jelas tidak punya catatan-catatan tertulis dari abad 

pengembara itu, dan bukti arkeologis berisi utamanya tulang-

tulang fosil dan alat-alat batu. Artefak-artefak yang terbuat dari 

bahan-bahan mudah rusak—seperti kayu, bambu, atau kulit—

hanya bisa bertahan dalam kondisi tertentu. Kesan umum bahwa 

manusia-manusia pra-agrikultur hidup pada Zaman Batu yaitu  

miskonsepsi yang didasarkan pada bias arkeologis. Zaman Batu 

seharusnya lebih tepat disebut Zaman Kayu sebab  sebagian 

besar alat yang dipakai  oleh para pemburu-penjelajah terbuat 

dari kayu.

Setiap rekonstruksi atas kehidupan pemburu-penjelajah kuno 

dari artefak-artefak yang selamat benar-benar problematik. Salah 

satu perbedaan yang paling mencolok antara pengembara kuno 

dan keturunan agrikultural dan industrial mereka yaitu  bahwa 

para pengembara memiliki artefak yang sangat sedikit untuk 

dijadikan titik awal, dan secara komparatif artefak-artefak ini 

memainkan peranan rendah dalam kehidupan mereka. Sepanjang 

hidupnya, seorang anggota warga  modern yang makmur 

akan memiliki beberapa juta artefak—mulai dari mobil dan 

rumah sampai ke kain lap sekali pakai dan kotak-kotak susu. 

Hampir tidak ada aktivitas, keyakinan, atau bahkan emosi yang 

tidak dimediasi oleh benda-benda yang kita rancang. Kebiasaan 

makan kita dimediasi oleh kumpulan hasil pemikiran berupa 



item-item seperti sendok dan gelas sampai laboratorium rekayasa 

genetik dan kapal-kapal raksasa penjelajah samudra. Dalam 

bermain, kita memakai  bertumpuk-tumpuk mainan, mulai 

dari kartu-kartu plastik sampai ke stadion berkapasitas 100.000 

kursi. Hubungan romantis dan seksual kita ditemani cincin, 

tempat tidur, pakaian bagus, pakaian dalam seksi, kondom, 

restoran modern, motel murah, ruang tunggu bandara, gedung-

gedung upacara pernikahan, dan perusahaan katering. Agama 

membawakan kesakralan ke dalam hidup kita dengan gereja-

gereja Gothic, masjid Muslim, ashram Hindu, lembaran-lembaran 

Taurat, roda doa Tibet, jubah pastor, lilin, dupa, pohon Natal, 

bola matzah, batu nisan, dan patung-patung.

Kita tidak menyadari betapa banyaknya barang-barang kita 

sampai harus pindah ke sebuah rumah baru. Para pengembara 

pindah rumah setiap bulan, setiap pekan, dan kadang-kadang 

bahkan setiap hari, mengusung apa pun yang mereka punya di 

punggung. Tidak ada perusahaan jasa pemindahan, kereta, atau 

bahkan binatang-binatang pengangkut untuk berbagi beban. 

Akibatnya mereka harus melakukannya hanya dengan benda-

benda miliknya yang paling pokok. Maka, masuk akal untuk 

berasumsi bahwa banyak bagian dari kehidupan mental, religius, 

dan emosional mereka yang dilakukan tanpa bantuan artefak. 

Seorang arkeolog yang bekerja 100.000 tahun setelah masa kini 

mungkin akan bisa membuat gambaran utuh tentang keyakinan 

dan praktik kaum Muslim dari berlimpahnya benda-benda 

yang bisa ditemukan dari reruntuhan masjid. Namun, secara 

garis besar kita kehilangan jejak untuk memahami keyakinan 

dan ritual para pemburu-penjelajah kuno. Kurang lebih dilema 

yang sama akan dihadapi oleh para sejarawan masa depan jika 

mereka harus menggambarkan dunia sosial remaja Amerika abad 

ke-21 dengan semata-mata berdasarkan pada “surat siput” (surat 

yang dikirim lewat pos)—sebab  tidak ada catatan yang tersedia 

tentang percakapan telepon, surel, blog, dan pesan-pesan teks.

Pengandalan pada artefak dengan demikian akan membiaskan 

penjelasan tentang kehidupan pemburu-penjelajah kuno. Satu 

cara untuk memperbaiki ini yaitu  dengan melihat warga -

warga  penjelajah modern. Ini bisa dipelajari secara langsung, 

dengan observasi antropologis. Namun, ada alasan bagus untuk 

sangat berhati-hati dalam membayangkan kemungkinan dari 

warga  penjelajah modern untuk warga  kuno.

Pertama, semua warga  penjelajah yang bertahan sampai 

ke era modern dipengaruhi oleh warga  agrikultur dan 

industrial yang bertetangga. Akibatnya, ada risiko bila berasumsi 

bahwa apa yang benar tentang mereka juga benar tentang puluhan 

ribu tahun lalu.

Kedua, warga -warga  penjelajah modern bertahan 

terutama di area-area dengan kondisi iklim sulit dan lahan yang 

tak bisa dihuni, dan kurang cocok untuk agrikultur. warga -

warga  yang telah beradaptasi dengan kondisi-kondisi 

ekstrem di tempat-tempat seperti Gurun Kalahari di Afrika 

bagian selatan bisa memberi  model yang sangat menyesatkan 

untuk memahami warga  kuno di area-area subur seperti 

Lembah Sungai Yangtze. Secara khusus, kepadatan populasi 

di area seperti Gurun Kalahari jauh lebih rendah dari sekitar 

Yangtze kuno, dan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas 

untuk pertanyaan-pertanyaan kunci tentang ukuran dan struktur 

kawanan manusia dan hubungan-hubungan di antara mereka. 

Ketiga, sifat  yang paling menonjol dari warga -

warga  pemburu-penjelajah yaitu  betapa berbedanya satu 

sama lain. Mereka berbeda tidak hanya dari satu bagian dunia 

dengan bagian dunia lain, bahkan di wilayah yang sama. Satu 

contoh bagus yaitu  besarnya keragaman para pemukim pertama 

Eropa yang ditemukan di antara warga  Aborigin Australia. 

Sebelum penaklukan oleh Inggris, sekitar 300.000 sampai 

700.000, pemburu-penjelajah hidup di benua itu dalam 200 

sampai 600 suku, yang masing-masing terbagi menjadi beberapa 

kawanan.2 Setiap suku memiliki bahasa, agama, norma, dan aturan 

sendiri. Mereka hidup di sekitar tempat yang kini dikenal sebagai 

Adelaide di Australia selatan dalam beberapa klan patrilineal yang 

mengedepankan garis keturunan dari pihak ayah. Klan-klan ini 

terikat menjadi suku-suku atas dasar teritorial yang ketat. Secara 

kontras, beberapa suku di Australia selatan lebih mengedepankan

leluhur maternal seseorang dan identitas kesukuan seseorang 

bergantung pada lambang ketimbang teritorialnya.

Maka, sangat masuk akal bahwa keragaman etnis dan kultural 

di antara pemburu-penjelajah kuno sama mengesankannya, dan 

bahwa 5 juta sampai 8 juta penjelajah yang menghuni dunia 

menjelang Revolusi Agrikultural terbagi ke dalam ribuan suku 

terpisah dengan ribuan bahasa dan budaya yang berbeda.3 Maka, 

ini merupakan salah satu warisan utama dari Revolusi Kognitif. 

Berkat kemunculan fiksi, bahkan orang dengan susunan genetik 

sama yang tinggal dalam kondisi ekologis yang serupa bisa 

menciptakan realitas-realitas imajinatif yang sangat berbeda, 

yang memanifestasikan diri dalam norma-norma dan nilai-nilai 

yang berbeda-beda.

Misalnya, selalu tersedia alasan untuk percaya bahwa satu 

kawanan penjelajah yang hidup 30.000 tahun lalu di tempat 

Universitas Oxford kini berdiri memakai  bahasa yang berbeda 

dari kawanan yang hidup di tempat Cambridge kini berada. Satu 

kawanan mungkin gemar berkelahi dan yang lain lebih damai. 

Mungkin kawanan Cambridge bersifat komunal sementara yang 

berada di Oxford didasarkan pada keluarga-keluarga nuklir. 

Orang-orang Cantabrige mungkin menghabiskan waktu berjam-

jam memahat patung kayu arwah penjaga mereka, sementara 

orang-orang Oxonian mungkin beribadah melalui tarian. Yang 

pertama mungkin memercayai reinkarnasi, sedang  yang kedua 

menganggap itu omong kosong. Di satu warga , hubungan 

sesama jenis kelamin mungkin diterima, sementara di warga  

lain yaitu  tabu. 

Dengan kata lain, meskipun observasi antropologis terhadap 

warga  penjelajah modern bisa membantu kita memahami 

sebagian kemungkinan yang tersedia untuk warga  penjelajah 

kuno, horizon kuno tentang kemungkinan-kemungkinan itu 

sangat luas, dan sebagian besar tersembunyi dari pandangan kita.* 

Perdebatan yang memanas tentang “cara hidup alamiah” Homo 

*“Cakrawala kemungkinan” berarti seluruh spektrum keyakinan, praktik, dan 

pengalaman yang terbuka sebelum warga  tertentu, mengingat keterbatasan 

ekologi, budaya, dan teknologi. Setiap warga  dan setiap individu biasanya 

mengeksplorasi hanya sebagian kecil dari cakrawala kemungkinan mereka

sapiens meleset dari poin utamanya. Sejak Revolusi Kognitif, tidak 

ada satu cara hidup natural tunggal untuk Sapiens. Yang ada 

hanyalah pilihan-pilihan kultural, dari palet besar kemungkinan-

kemungkinan.

warga  Makmur yang Asli

Jika demikian, generalisasi seperti apa yang bisa kita buat 

tentang kehidupan dunia pra-agrikultural? Tampaknya aman 

untuk mengatakan bahwa mayoritas besar orang hidup dalam 

kawanan-kawanan kecil berjumlah beberapa puluh orang atau 

paling banyak beberapa ratus individu, dan bahwa semua individu 

yaitu  manusia. Penting untuk mencatat poin terakhir ini sebab  

ini masih jauh dari jelas. Sebagian besar anggota warga  

agrikultural dan industri yaitu  binatang-binatang yang sudah 

terdomestikasi. Mereka tidak sama dengan tuan-tuan mereka, 

tentu saja, namun  semua sama-sama menjadi anggotanya. Kini, 

warga  menyebut Selandia Baru terdiri dari 4,5 juta Sapiens 

dan 50 juta domba.

Hanya ada satu pengecualian untuk aturan umum ini: anjing. 

Anjing yaitu  binatang pertama yang didomestikasi Homo 

sapiens, dan ini terjadi sebelum Revolusi Agrikultural. Para ahli 

berbeda pendapat tentang masa pastinya, namun  kita telah memiliki 

bukti tak terbantahkan tentang domestikasi anjing sejak sekitar 

15.000 tahun lalu. Mereka mungkin telah bergabung dengan 

kawanan manusia ribuan tahun sebelumnya.

Anjing dipakai  untuk berburu dan berkelahi, dan sebagai 

sistem tanda bahaya terhadap binatang-binatang buas dan 

manusia-manusia penyusup. Dengan bergulirnya generasi demi 

generasi, penuh perhatian pada kebutuhan dan perasaan rekan 

manusia nya mendapatkan perawatan dan makanan ekstra, dan 

lebih berpeluang untuk bertahan. Secara simultan, anjing belajar 

memanfaatkan orang untuk kebutuhannya sendiri. Ikatan selama 

15.000 tahun telah menghasilkan pemahaman dan afeksi yang 

jauh lebih mendalam antara manusia dan anjing ketimbang antara 

manusia dan binatang lain.4 Dalam beberapa kasus, anjing bahkan 

dikuburkan dengan upacara, sangat mirip dengan manusia.

Para anggota kawanan saling mengenal sangat intim, dan 

sepanjang hidupnya dikelilingi teman dan kerabat. Kesendirian dan 

privasi jarang ada. Kawanan-kawanan yang bertetangga mungkin 

bersaing untuk sumber daya dan bahkan saling berperang, namun  

mereka juga melakukan kontak-kontak bersahabat. Mereka 

bertukar anggota, berburu bersama, bertukar kemewahan, 

membuat aliansi-aliansi politik, dan merayakan perayaan-perayaan 

keagamaan. Kerja sama seperti itu merupakan salah satu ciri 

khas Homo sapiens, dan memberinya keunggulan krusial atas 

spesies-spesies manusia lainnya. Terkadang hubungan-hubungan 

dengan kawanan tetangga cukup erat sehingga mereka bersama-

7. Piaraan pertama? Sebuah kuburan berusia 12.000 tahun ditemukan 

di bagian utara Israel (Museum Kibbutz Ma’ayan Baruch). Kuburan 

itu berisi kerangka perempuan berusia 50 tahun di samping kerangka 

anjing (di sudut kanan atas). Anjing itu dikuburkan dekat dengan 

kepala perempuan. Tangan kanan perempuan itu menyandar pada 

anjing dengan cara yang bisa diartikan koneksi emosional. Tentu 

saja, ada kemungkinan penjelasan lain. Misalnya, mungkin anjing itu 

merupakan hadiah dari penjaga gerbang dunia berikutnya.

sama merupakan satu suku, memakai  bahasa yang sama, 

mitos yang sama, dan norma-norma serta nilai-nilai yang sama.

Meskipun demikian, kita tidak boleh berlebihan memandang 

pentingnya hubungan eksternal semacam itu. Sekalipun pada 

masa-masa krisis kawanan-kawanan yang bertetangga menjadi 

semakin dekat, dan sekalipun mereka kadang-kadang berkumpul 

untuk berburu atau berpesta bersama, mereka masih menghabiskan 

sebagian besar waktu dalam isolasi dan independensi penuh. 

Perdagangan umumnya terbatas pada item-item prestise seperti 

kerang, batu amber, dan pewarna. Tidak ada bukti bahwa orang-

orang berdagang barang-barang persediaan seperti buah-buahan 

dan daging, atau bahwa eksistensi satu kawanan bergantung 

pada impor barang dari kawanan yang lain. Relasi-relasi sosial 

juga cenderung sporadis. Suku tidak berfungsi sebagai kerangka 

politik permanen, dan sekalipun suku memiliki tempat-tempat 

pertemuan berkala, tidak ada kota atau institusi permanen. 

Rata-rata orang hidup selama berbulan-bulan tanpa melihat atau 

mendengar manusia dari luar atau dari kawanannya sendiri, dan 

sepanjang hidupnya dia hanya bertemu dengan beberapa ratus 

manusia. Populasi Sapiens tersebar di teritori yang sangat luas. 

Sebelum Revolusi Agrikultural, populasi manusia di segenap 

penjuru planet lebih kecil dari Kairo hari ini.

Sebagian besar kawanan Sapiens hidup di jalanan, berkelana 

dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan. Gerakan 

mereka dipengaruhi oleh pergantian musim, migrasi tahunan 

binatang dan siklus hidup tumbuh-tumbuhan. Mereka biasanya 

bepergian bolak-balik di satu teritorial yang sama, sebuah area 

antara beberapa puluh sampai ratusan kilometer persegi.

Terkadang, kawanan-kawanan berkelana ke luar wilayah 

kekuasaan mereka dan mengeksplorasi tanah-tanah baru, entah 

sebab  bencana alam, konflik kekerasan, tekanan demografis, 

atau inisiatif pemimpin karismatis. Pengembaraan ini merupakan 

mesin dari ekspansi manusia di seluruh dunia. Jika satu kawanan 

penjelajah terpecah sekali setiap empat puluh tahun dan kelompok 

pecahan bermigrasi ke teritori baru sejauh seratus kilometer ke 

timur, jarak dari Afrika Timur ke China akan bisa ditempuh 

selama sekitar 10.000 tahun. Dalam kasus-kasus pengecualian,

saat  sumber makanan sangat melimpah, kawanan-kawanan 

menetap dalam kamp-kamp sementara, bahkan permanen. Teknik-

teknik pengeringan, pengasapan, dan pembekuan makanan juga 

memungkinkan mereka untuk menetap dalam periode yang lebih 

lama. Yang paling penting, di sepanjang laut dan sungai yang kaya 

makanan laut dan unggas air, manusia membuat perkampungan 

nelayan—permukiman permanen pertama dalam sejarah, jauh 

sebelum Revolusi Agrikultural. Perkampungan-perkampungan 

nelayan mungkin sudah muncul di pesisir-pesisir Indonesia sejak 

45.000 tahun lalu. Perkampungan-perkampungan ini bisa jadi 

merupakan pangkalan bagi Homo sapiens untuk melancarkan 

parade lintas samudra pertamanya: invasi terhadap Australia.

Pada sebagian besar habitat, kawanan-kawanan Sapiens 

menghidupi diri dalam cara yang elastis dan oportunistis. Mereka 

mencari rayap, memetik beri, menggali akar, mengejar kelinci, 

dan berburu bison dan mamut. Terlepas dari citra populernya 

sebagai “manusia pemburu”, pengumpulan makanan merupakan 

aktivitas utama Sapiens, dan itu memberi mereka sebagian besar 

kalori, di samping bahan-bahan baku seperti batu, kayu, dan 

bambu.

Sapiens tidak menjelajah hanya untuk makanan dan bahan. 

Mereka menjelajah untuk pengetahuan juga. Untuk bertahan, 

mereka memerlukan peta terperinci dalam kepala mereka tentang 

teritori mereka. Untuk memaksimalkan efisiensi pencarian 

makanan harian, mereka membutuhkan informasi tentang 

pola-pola pertumbuhan setiap tumbuhan dan perilaku tiap-tiap 

binatang. Mereka perlu tahu makanan mana yang menyehatkan, 

mana yang membuat sakit, dan bagaimana memakai  yang 

lain untuk pengobatan. Mereka perlu tahu perkembangan musim 

dan tanda-tanda peringatan apa yang mendahului hujan badai 

atau musim kering. Mereka mempelajari setiap arus, setiap pohon 

kenari, setiap gua beruang, dan setiap cadangan batu pemantik 

di areanya. Setiap individu harus mengerti bagaimana membuat 

pisau batu, bagaimana memperbaiki jubah yang robek, bagaimana 

memasang perangkap kelinci, bagaimana menghadapi longsoran, 

gigitan ular, atau singa lapar. Penguasaan tiap-tiap keterampilan 

ini memerlukan magang dan praktik bertahun-tahun. Rata-rata 

penjelajah kuno bisa mengubah batu menjadi benda tajam dalam 

beberapa menit. Kalau kita mencoba meniru keterampilan itu, 

kita akan gagal sia-sia. Sebagian besar kita tak punya pengetahuan 

bagaimana mengupas properti batu dan basal dan keterampilan 

motorik halus untuk mengerjakan itu secara cermat.

Dengan kata lain, rata-rata seorang penjelajah memiliki 

pengetahuan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih 

beragam tentang alam sekeliling mereka ketimbang sebagian 

besar keturunan modern mereka. Kini, kebanyakan orang dalam 

warga  industri tidak perlu tahu banyak tentang alam untuk 

bertahan hidup. Apa yang benar-benar Anda perlu tahu untuk 

bisa menjadi seorang insinyur komputer, agen asuransi, guru 

sejarah, atau pekerja buruh? Anda tak perlu tahu banyak tentang 

bidang keahlian kecil Anda sendiri, namun  untuk sebagian besar 

kebutuhan hidup, Anda mengandalkan secara buta bantuan ahli 

lain, yang pengetahuannya juga terbatas pada satu bidang keahlian 

kecil. Secara kolektif manusia memang memiliki pengetahun 

yang lebih jauh daripada kawanan-kawanan kuno. Namun, pada 

level individual, para penjelajah kuno yaitu  orang yang paling 

berpengetahuan dan paling terampil dalam sejarah.

Ada suatu bukti bahwa ukuran rata-rata otak Sapiens 

sebetulnya menurun sejak abad penjelajahan.5 Pada masa itu, 

untuk bertahan hidup membutuhkan kemampuan mentalitas 

yang mumpuni dari setiap orang. saat  pertanian dan industri 

datang, orang semakin bisa mengandalkan keterampilan orang lain 

untuk bertahan hidup, dan terbukalah “ceruk-ceruk baru untuk 

orang-orang bodoh” (niches for imbeciles). Anda bisa bertahan 

dan melampaui gen-gen biasa-biasa Anda ke generasi berikutnya 

dengan bekerja sebagai seorang pengangkut air atau pekerja 

perakitan. Para penjelajah menguasai tidak hanya dunia binatang, 

tumbuhan, dan benda-benda di sekelilingnya, namun  juga dunia 

internal tubuh dan indra mereka sendiri. Mereka mendengarkan 

gerakan yang paling kecil di rerumputan untuk mengetahui 

apakah ada ular sedang merayap di sana. Mereka dengan cermat 

mengamati dedaunan pohon untuk menemukan buah-buahan, 

sarang lebah, dan sarang burung. Mereka bergerak dengan usaha 

dan suara minimum, dan tahu cara duduk, berjalan, dan berlari 

dengan gerakan yang paling gesit dan efisien. Pengerahan tubuh 

dengan cara yang beragam dan terus-menerus membuat mereka 

setangguh pelari maraton. Mereka memiliki ketangkasan fisik 

yang tidak mampu dicapai oleh orang-orang masa kini, bahkan 

setelah bertahun-tahun berlatih yoga atau tai chi.

Cara hidup pemburu-penjelajah berbeda secara signifikan 

antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu musim 

dengan musim lain, namun  seluruh penjelajah tampak menikmati 

gaya hidup yang lebih nyaman dan lebih membawa manfaat 

dibandingkan sebagian besar petani, penggembala, buruh, pekerja 

kantoran yang mengikuti jejak mereka.

Sementara dalam warga  makmur masa kini, bekerja 

rata-rata empat puluh sampai empat puluh lima jam per pekan, 

dan orang di dunia berkembang bekerja enam puluh bahkan 

delapan puluh jam per pekan, para pemburu-penjelajah yang kini 

hidup di habitat-habitat yang paling sulit dihuni—seperti Gurun 

Kalahari—bekerja rata-rata hanya tiga puluh jam sampai empat 

puluh jam per pekan. Mereka berburu hanya satu dari tiga hari, 

dan mengumpulkan hasilnya hanya tiga sampai enam jam per 

hari. Dalam waktu-waktu normal, ini cukup untuk menghidupi 

kawanan. Maka, sangat mungkin jika para pemburu-penjelajah 

kuno hidup di zona-zona yang lebih subur ketimbang Kalahari, 

menghabiskan waktu bahkan lebih sedikit untuk mendapatkan 

makanan dan bahan-bahan baku. Di atas itu semua, para 

penjelajah menikmati beban pekerjaan rumah tangga yang lebih 

ringan. Mereka tak punya piring untuk dicuci, karpet untuk 

divakum, lantai untuk dipoles, popok untuk diganti, dan tagihan 

untuk dibayar.

Ekonomi penjelajah menyediakan kehidupan yang lebih 

menarik bagi sebagian besar orang dibandingkan ekonomi 

pertanian atau industri. Kini, seorang pekerja pabrik China 

meninggalkan rumah sekitar pukul tujuh pagi, menempuh jalan-

jalan berpolusi ke pabrik garmen, dan di sana mengoperasikan 

mesin yang sama, dengan cara yang sama, sepanjang hari selama 

sepuluh jam yang panjang dan mematikan pikiran, pulang ke 

rumah sekitar pukul tujuh malam untuk mencuci piring dan 

menyetrika pakaian. Tiga puluh ribu tahun lalu, seorang penjelajah 

China mungkin meninggalkan kamp bersama beberapa rekannya, 

katakanlah, pukul delapan pagi. Mereka menjelajahi hutan-hutan 

dan padang rumput terdekat, mengumpulkan jamur, menggali 

akar-akar yang bisa dimakan, menangkap katak, dan sesekali 

berlari menghindari macan. saat  siang datang, mereka sudah 

kembali di kamp untuk makan siang. Mereka punya banyak 

waktu untuk bergosip, bercerita, bermain dengan anak-anak, 

dan kongko-kongko. Tentu saja terkadang macan menangkap 

mereka atau ular menggigit mereka, namun  di sisi lain mereka 

tidak berurusan dengan kecelakaan mobil dan polusi industri.

Di sebagian besar tempat dan sebagian besar masa, 

penjelajahan memberi nutrisi ideal. Itu bukan hal yang 

mengejutkan—sudah menjadi menu makanan selama ratusan 

ribu tahun, dan tubuh manusia cocok dengannya. Bukti dari 

tulang-tulang fosil menunjukkan bahwa para penjelajah kuno 

sangat kecil kemungkinan menderita kelaparan atau malnutrisi, 

dan umumnya lebih tinggi dan lebih sehat daripada keturunan 

mereka yang menjadi petani. Rata-rata harapan hidup tampaknya 

hanya tiga puluh sampai empat puluh tahun, namun  ini umumnya 

disebabkan sebab  tingginya angka kematian anak-anak. Anak-

anak yang lolos dari tahun-tahun pertama memiliki peluang 

bagus untuk mencapai usia enam puluh tahun, dan sebagian 

bahkan sampai delapan puluhan. Di antara penjelajah modern, 

perempuan berusia empat puluh lima tahun bisa berharap hidup 

sampai dua puluh tahun kemudian, dan sekitar 5 sampai 8 persen 

populasi berusia di atas enam puluh tahun.6

Rahasia sukses kaum penjelajah, yang melindungi mereka 

dari kelaparan dan malnutrisi, yaitu  keragaman diet. Para 

petani cenderung makan makanan yang sangat terbatas dan tidak 

berimbang. Terutama pada masa-masa pramodern, sebagian besar 

asupan kalori untuk populasi agrikultur berasal dari satu panen 

tunggal—seperti gandum, kentang, atau beras—yang tak memiliki 

sejumlah vitamin, mineral, dan bahan-bahan nutrisi lain yang 

dibutuhkan manusia. Petani tradisional di China biasa makan nasi 

untuk sarapan, nasi untuk makan siang, dan nasi untuk makan 

malam. Jika beruntung, mereka bisa berharap makan makanan 

yang sama esok harinya. Bandingkan, para penjelajah kuno secara 

teratur makan puluhan jenis makanan yang berbeda. Para leluhur 

petani yang hidup menjelajah mungkin makan beri dan jamur 

untuk sarapan; buah, bekicot, dan penyu untuk makan siang; 

steik kelinci dengan bawang liar untuk makan malam. Esoknya 

menu bisa benar-benar berbeda. Keragaman itu menjamin bahwa 

para penjelajah kuno menerima semua nutrisi yang dibutuhkan.

Lebih dari itu, dengan tidak bergantung pada satu jenis 

makanan tunggal, mereka lebih tahan menghadapi kesulitan 

saat  satu sumber makanan tertentu gagal. warga  agrikultur 

dilanda kelaparan saat  musim kering, terjadi kebakaran, atau 

gempa bumi memorak-porandakan panen padi atau kentang 

tahunan mereka. warga  penjelajah memang tidak kebal 

pada bencana alam, penderitaan dari periode-periode paceklik 

dan kelaparan, namun  mereka biasanya mampu mengatasi bencana 

itu dengan lebih mudah. Jika mereka kehilangan satu tumpukan 

persediaan makanan, mereka bisa mengumpulkan atau berburu 

spesies lain, atau pindah ke area yang kurang terdampak bencana.

Para penjelajah kuno juga lebih sedikit menderita dari 

penyakit menular. Sebagian besar penyakit menular yang melanda 

warga  agrikultur dan industri (seperti cacar, campak, dan 

TBC) berasal dari binatang-binatang yang didomestikasi dan 

ditularkan ke manusia baru setelah Revolusi Agrikultur. Para 

penjelajah kuno, yang mendomestikasi hanya anjing, bebas dari 

momok itu. Lebih dari itu, sebagian besar orang dalam warga  

agrikultur dan industri hidup dalam permukiman permanen 

yang padat dan tidak higienis—sarang ideal bagi penyakit. Para 

penjelajah menjelajahi tanah dalam kawanan-kawanan kecil yang 

tidak bisa melanggengkan epidemi.

Diet yang menyeluruh dan beragam, pekan kerja yang 

relatif singkat, dan jarangnya penyakit menular membuat para 

ahli mendefinisikan warga  penjelajah pra-agrikultur sebagai 

“warga  makmur yang asli”. Namun, keliru jika mengidealkan 

kehidupan warga  kuno ini. Meskipun mereka menikmati 

kehidupan yang lebih baik dari sebagian besar warga  

agrikultur dan industri, dunia mereka masih keras dan tanpa 

ampun. Periode-periode paceklik dan kesulitan bukan hal yang 

tidak biasa, tingkat kematian anak tinggi, dan kecelakaan yang 

pada masa kini termasuk kecil bisa menjadi hukuman mati. 

Kebanyakan orang mungkin menikmati keintiman dekat dalam 

kawanan penjelajah, namun  orang-orang bernasib buruk yang 

menyulut permusuhan atau ejekan terhadap sesama anggota 

kawanan mungkin akan sangat menderita. Para penjelajah modern 

terkadang meninggalkan atau bahkan membunuh orangtua atau 

orang cacat yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kawanan. 

Bayi-bayi dan anak-anak yang tidak diinginkan bisa dibunuh, dan 

bahkan ada kasus-kasus pengorbanan manusia yang terilhami 

ajaran religius.

warga  Aché, pemburu-penjelajah yang hidup di belantara 

Paraguay sampai tahun 1960-an, memberi gambaran sekilas 

tentang sisi gelap warga  penjelajah. saat  seorang anggota 

kawanan yang dihormati meninggal, suku Aché membunuh 

seorang anak perempuan dan mengubur keduanya bersama-sama. 

Para antropolog yang mewawancarai Aché merekam sebuah kasus 

di mana satu kawanan meninggalkan seorang pria setengah baya 

yang sakit dan tak bisa mengikuti gerak kawanan. Dia ditinggalkan 

di bawah pohon. Beberapa burung bangkai bertengger di atasnya, 

menanti makanan yang sudah pasrah. Namun, orang itu sembuh, 

dan, dengan berjalan cepat, dia berhasil bergabung kembali 

dengan kawanan. Tubuhnya penuh dengan kotoran burung, 

sehingga dia dijuluki “Tahi Burung Bangkai”.

saat  seorang perempuan tua Aché menjadi beban bagi 

kawanan, salah satu pemuda akan menyelinap di belakangnya 

dan membunuhnya dengan ayunan kapak di kepala. Seorang 

pria Aché mengisahkan kepada para antropolog kisah-kisahnya 

pada masa-masa di hutan. “Saya terbiasa membunuh seorang 

perempuan tua. Saya bisa membunuh para bibi saya.... Perempuan-

perempuan itu takut kepada saya. Kini, di sini bersama orang-

orang kulit putih, saya menjadi lemah.” Bayi yang lahir tanpa 

rambut, yang dianggap tidak berkembang, langsung dibunuh. 

Seorang perempuan mengenang bahwa bayi pertamanya seorang 

perempuan dibunuh sebab  para pria dalam kawanan tidak 

menginginkan ada anak perempuan lagi. Dalam peristiwa lain, 

seorang pria membunuh anak laki-laki sebab  dia “perasaannya 

sedang buruk dan anak itu menangis”. Seorang anak lainnya 

dikubur hidup-idup sebab  “tampak lucu dan anak-anak lain 

mentertawainya”.7

Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menghakimi Aché 

terlalu cepat. Para antropolog yang hidup bersama mereka selama 

bertahun-tahun melaporkan bahwa kekerasan antara orang 

dewasa sangat jarang. Baik perempuan maupun laki-laki bebas 

berganti pasangan sesukanya. Mereka tersenyum dan tertawa 

terus, tak ada hierarki hubungan, dan umumnya menghindari 

orang-orang dominan. Mereka luar biasa dermawan dengan harta 

miliknya yang sedikit, dan tidak terobsesi dengan sukses atau 

kekayaan. Hal-hal yang paling mereka hargai dalam kehidupan 

yaitu  interaksi sosial yang bagus dan pertemanan yang sangat 

berkualitas.8 Mereka memandang pembunuhan anak, orang 

sakit, dan orang tua sama seperti banyak orang pada masa kini 

memandang aborsi dan euthanasia. Harus dicatat pula bahwa 

orang Aché diburu dan dibunuh tanpa ampun oleh para petani 

Paraguay. Kebutuhan untuk menghindari musuh mungkin 

memicu  Aché menerapkan sikap sangat keras terhadap 

siapa pun yang mungkin menjadi beban bagi kawanan.

Yang benar yaitu  bahwa warga  Aché, sebagaimana 

setiap warga  manusia, sangat rumit. Kita harus hati-hati 

untuk tidak mengutuk atau mengidealkannya berdasarkan 

perkenalan superfisial. Aché bukan malaikat dan juga bukan 

iblis—mereka manusia. Jadi, begitu pula para pemburu-penjelajah 

kuno.

Membicarakan Hantu

Apa yang bisa kita katakan tentang kehidupan spiritual dan 

mental kaum pemburu-penjelajah kuno? Dasar dari ekonomi 

penjelajah bisa direkonstruksi dengan cukup meyakinkan 

berdasarkan faktor-faktor yang bisa dihitung dan objektif. 

Misalnya, kita bisa mengalkulasi berapa banyak kalori per hari 

yang dibutuhkan seseorang agar bertahan hidup, berapa banyak 

kalori yang didapat dari satu kilogram kenari, dan berapa banyak 

kenari yang bisa dikumpulkan dari hutan seluas satu kilometer

persegi. Dengan data ini, kita bisa membuat perkiraan terpelajar 

tentang pentingnya kenari dalam diet mereka. Namun, apakah 

mereka menganggap kenari sebagai kelezatan atau makanan 

yang membosankan? Apakah mereka percaya bahwa pohon 

kenari dihuni arwah? Apakah mereka menganggap daun-daun 

kenari itu indah? Jika seorang anak penjelajah ingin membawa 

seorang anak perempuan penjelajah ke tempat romantis, apakah 

bayangan pohon kenari sudah mencukupi? Dunia pikiran, 

keyakinan dan perasaan berdasarkan definisi jauh lebih rumit 

untuk digambarkan.

Sebagian besar ahli sepakat bahwa keyakainan-keyakinan 

animistik lazim di antara para penjelajah kuno. Animisme (dari 

kata anima, ‘jiwa’ atau arwah dalam bahasa Latin) yaitu  

keyakinan bahwa setiap tempat, setiap binatang, setiap tumbuhan, 

dan setiap fenomena alam memiliki kesadaran dan perasaan, 

dan bisa berkomunikasi langsung dengan manusia. Jadi, kaum 

animis mungkin percaya bahwa batu besar di puncak bukit 

memiliki hasrat dan kebutuhan. Batu itu mungkin marah terhadap 

sesuatu yang dilakukan orang dan senang terhadap tindakan 

yang lain. Batu itu mungkin menegur atau meminta dukungan. 

Manusia bisa berbicara dengan batu itu, untuk meredakan atau 

mengancam batu itu. Tidak hanya batu, namun  juga pohon ek di 

dasar bukit yaitu  makhluk berjiwa, dan begitu juga arus sungai 

yang mengalir di bawah bukit, mata air di hutan, semak-semak 

yang tumbuh di sekitarnya, jalan menuju ke sana, tikus tanah, 

rubah, dan gagak yang minum di sana. Dalam dunia animis, 

benda-benda dan makhluk hidup bukan satu-satunya makhluk 

berjiwa. Ada juga entitas-entitas non-materi—arwah orang-orang 

mati, serta makhluk bersahabat dan jahat, jenis yang pada masa 

kini kita sebut setan, peri, dan malaikat.

Kaum animis percaya bahwa tidak ada penghalang antara 

manusia dan makhluk lain. Mereka semua bisa berkomunikasi 

langsung melalui ucapan, lagu, tarian, dan upacara. Seorang 

pemburu bisa berbicara kepada sekawanan rusa dan meminta 

salah satu dari mereka mengorbankan diri. Jika perburuan sukses, 

pemburu bisa meminta kepada binatang yang mati itu untuk 

memberinya maaf. saat  seseorang jatuh sakit, seorang dukun

bisa mengontak arwah yang memicu  sakit dan berusaha 

berdamai atau menakut-nakutinya. Jika diperlukan, dukun itu 

bisa meminta bantuan dari arwah-arwah lain. Yang mencirikan 

se