DAFTAR SINGKATAN
AHPA : Analisis Hasil Penelitian Arkeologi
BPA : Berita Penelitian Arkeologi
BT : Bujur Timur
cm : centimeter
DAS : Daerah Aliran Sungai
dkk : dan kawan-kawan
ed : editor
et al : et alli
FIB UI : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
FS UGM : Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
ha : hektar are
km : kilometer
LS : Lintang Selatan
m : meter
PIA : Pertemuan Ilmiah Arkeologi
Puslitarkenas : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
IAAI : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
VKI : Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor taal, land, en
volkenkunde
Penelitian ini memfokuskan pada situs-situs megalitik yang berada di sub DAS
Klawing, karena daerah DAS ini dekat dengan Gunung Slamet di bagian tenggara.
Temuan-temuan tersebut tersebar di wilayah administratif di Kecamatan Karangreja,
Kecamatan Bobotsari, Kecamatan Mrebet dan sebagian Kecamatan Karanganyar.
Tinggalan-tinggalan megalitik terdapat di wilayah administratif penelitian ini tersebar
di 4 kecamatan, (9 desa/kelurahan), 7 dukuh yaitu: Kecamatan Karangreja di Desa
Karangjambu Dukuh Bandingan, di Kecamatan Karanganyar Desa Buara. Di
Kecamatan Bobotsari Desa Dagan (Dukuh Pamujan dan Dukuh Glempang). Di
Kecamatan Mrebet, terdapat di Desa Cipaku (Dukuh Bataputih dan Pangubonan),
Campakoah, Pangalusan (Dukuh Brengkol), Onje, Serayularangan, dan
Serayukaranganyar.
Situs-situs megalitik di daerah tenggara Gunung Slamet atau barat laut
Purbalingga atau daerah sub DAS Klawing adalah situs-situs dengan jarak ke sumber
air kurang dari 100 m (7 situs), ketinggian 100-500 m (9 situs), kelerengan 15-25% (6
situs), batuan kuarter muda (Qvs) (8 situs) dan bentuk medan perbukitan gelombang
(Pgl) (7 situs). Situs-situs tersebut banyak memiliki tinggalan menhir, lumpang dan
punden berundak.
Situs-situs megalitik di DAS Klawing Purbalingga atau di lereng tenggara
Gunung Slamet hanya menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan
penguburan, situs pemujaan dan situs-situs dengan objek tunggal. Di daerah penelitian
ini tidak ada jenis situs penguburan. Situs-situs yang menunjukan karakteristik
pemujaan ini terdapat di situs Buara, Gerngenge, Brengkol, dan Serayukaranganyar.
Situs-situs yang menunjukan ciri pemujaan dan penguburan terdapat di situs situs
Bandingan dan situs Onje. Sedangkan situs-situs di daerah penelitian yang
menunjukan karakteristik situs objek tunggal adalah situs Glempang, Pamujan,
Serayularangan, Bataputih dan Pangubonan.
1.1. Latar Belakang
Kata atau istilah megalitik yang berarti batu besar berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata megas ‘besar’ dan lithos ‘batu’ atau menunjuk pada monumen yang terbuat
dari batu besar (Whitehouse, 1983: 313). Monumen atau bangunan ini menunjuk pada
kepercayaan akan adanya yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan
adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan warga dan
kesuburan tanaman. Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat
singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati (Soejono, 1993: 205).
Tinggalan megalitik di Indonesia tidak terlepas dari wilayah Asia Tenggara
hingga wilayah Oceania, sedangkan di Indonesia banyak ditemukan di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, di kepulauan Enggano, dan Mentawai (van Heekeren,
1958: 44). Menurut van Heekeren1 (1975: 50—51) pada Jaman Logam Awal (± 300
SM) diperkirakan sudah ada berbagai macam tradisi megalitik. Tradisi megalitik yang
tertua berawal dari periode neolitik dan di lain tempat pada saat ini masih berdiri yaitu
di Assam (Vietnam), Burma, dan di Indonesia saat ini masih ditemukan di Nias,
Sumba, Flores, dan Sulawesi Selatan (van Heekeren, 1955: 54—55).
1 Menurutnya setelah Jaman Logam Awal berlangsung, kemudian dilanjutkan dengan Jaman Logam
Akhir (1000—2000 tahun yang lalu), kondisi lingkungan tropis dan sudah didominasi oleh ras palaeo-
mongoloid. Kondisi warga mulai berubah dimana banyak menggunakan peralatan dari besi, dan
sedikit dengan perunggu, manik-manik, gerabah-gerabah berbentuk bulat, serta beraneka ragam benda-
benda megalitik seperti dolmen, peti kubur batu, peti batu, menhir dan arca menhir. Keadaan ekonomi
menggambarkan hasil-hasil tanaman dibidang pertanian, rute perdagangan darat dan laut, perahu-perahu,
perburuan, kelas stratifikasi, pengorbanan binatang, upacara-upacara, dan pemujaan terhadap arwah
leluhur, dan domestifikasi hewan-hewan seperti babi, kuda, anjing, dan unggas
Bukti arkeologi dan linguistik menunjukan bahwa pada awal milenuim pertama
sebelum Masehi telah terjadi hubungan dengan luar Indonesia dengan Indonesia pada
bagian timur laut dan bagian barat. Orang-orang Austronesia kemungkinan telah
mendiami wilayah barat Indonesia pada 3000 tahun yang lalu diikuti oleh orang-orang
Mongoloid pada Jaman Logam. Seiring dengan hal tersebut, monumen-monumen
megalitik yang menyebar hingga Oceania telah dibawa oleh orang-orang Austronesia
pada milenium pertama sebelum Masehi. Pendapat lain ada juga yang menyatakan
bahwa megalitik yang dibawa oleh orang-orang Austronesia berasal dari Cina
(Bellwood, 1978: 225—6).
Menurut R.von Heine Geldern tradisi megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik
dibagi menjadi dua tradisi besar, yaitu Megalitik Tua yang berusia kurang lebih 2500—
1500 SM dan Megalitik Muda yang berusia kira-kira 1000 S.M. Bentuk-bentuk
Megalitik Tua di antaranya berupa menhir, dolmen, dan peti kubur batu. Sedangkan
Megalitik Muda merupakan perkembangan Megalitik Tua dengan variasi lokal seperti
tempat penguburan seperti, bilik batu, kalamba atau bejana batu, waruga, batu kandang
dan temu gelang
Van der Hoop membagi jenis temuan megalitik menjadi 8, yaitu batu tegak
(menhir), dolmen, lumpang batu, jalan-jalan batu (stone avenues), peti kubur batu
(stone cist), arca (stone images), batu dakon dan punden berundak (van der Hoop,
1932: 66). Megalitik tidak hanya terkait dengan batu-batu besar saja, tetapi juga dengan
struktur-struktur batu kecil di beberapa tempat atau mungkin tanpa
monumen batu besar . Tradisi dan tinggalan megalitik tersebar luas
di seluruh wilayah Indonesia seperti di Nias, Samosir (Sumatera Utara), Baduy (Jawa
Barat), Bali, Toraja (Sulawesi Selatan), Lembah Bada (Sulawesi Tengah), Kodi
(Sumba Barat), Sawu (Timor Timur), Rote (Pulau Kecil di Pantai Timor), dan
Yamdena (Kepulauan Tanimbar di Lautan Arafuru) Temuan
megalitik juga terdapat di Jawa Tengah seperti di Pekalongan, Pemalang, Tegal,
Brebes, Rembang, Pati, dan daerah tengah seperti Klaten, Wonogiri, Magelang,
Karanganyar, Blora dan Gunung Kidul (Yogyakarta)
Purworejo dan Purbalingga.
Mengacu pada bangunan atau monumen megalitik, para ahli mengaitkan artefak
tinggalan masa megalitik dikategorikan sebagai artefak-artefak yang berkaitan dengan
religi (Prijono, 2005: 26). Terkait dengan religi, dinyatakan bahwa posisi benda
megalitik biasanya diarahkan ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh warga
megalitik. Tempat-tempat suci yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah
nenek moyang antara lain gunung dan pulau seberang
Kebudayaan megalitik juga terlihat pada batu-batu besar yang disusun teratur menurut
suatu pola tertentu, yang terutama di temukan di puncak-puncak bukit dengan orientasi
timur-barat atau menghadap ke gunung
Penelitian arkeologi bidang prasejarah di Purbalingga pertama kali pernah
diteliti situs-situs perbengkelan neolitik yang banyak ditemukan di daerah Ponjen dan
Limbasari yang diadakan sejak tahun 1976 berturut-turut pada tahun 1986; 1990 oleh
Tim dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan Balar Yogya.
Dalam penelitian yang ditulis oleh Nitihaminoto (1976 dan 1989) dan Atmosudiro
(1980) tersebut, terdapat indikasi tentang tinggalan megalitik di daerah Purbalingga.
Kemudian oleh Priyatno HS dkk (2000) dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang meneliti
tentang pola sebaran situs megalitik di Lereng Gunung Slamet. Penelitian ini mencakup
situs-situs megalitik di sekitaran Gunung Slamet termasuk di Kabupaten Banyumas,
Purbalingga, Tegal, Brebes, dan Pemalang.
Penelitian kali ini memfokuskan pada situs-situs megalitik yang berada di sub
DAS Klawing, karena daerah DAS ini dekat dengan Gunung Slamet di bagian barat
laut. Temuan-temuan tersebut tersebar di wilayah administratif di Kecamatan
Karangreja, Kecamatan Bobotsari, Kecamatan Mrebet dan sebagian Kecamatan
Karanganyar.
Situs megalitik di Kecamatan Karangreja terdapat di Desa Karangjambu, Dukuh
Bandingan. Temuan di daerah ini berupa punden, menhir, dan meja batu. Temuan di
daerah Karanganyar terdapat di Desa Buara. Temuan tersebut berupa struktur pagar
batu, lumpang, dan menhir. Sturktur pagar batu tersusun dari batu-batu basalt setinggi
50 cm
Di Kecamatan Bobotsari, di Desa Dagan Dukuh Mujan terdapat 2 kelompok
menhir dengan temuan serta yang lainnya berupa 4 buah kapak persegi, 2 buah kapak
perunggu, sebuah gelang batu (stone ring) berserta sisa pengeborannya2
Di tempat lain, sebuah tinggalan dolmen terdapat di dukuh
2 Menurut keterangan penduduk setempat, temuan-temuan di daerah ini berasal dari tahun 1930-an dan
1968 Waktu benda benda-benda itu ditemukan, kemudian oleh penduduk setempat disimpan sebagai
benda keramat . Kini temuan tersebut telah disimpan di Museum daerah
Purbalingga.
Glempang, yang oleh penduduk setempat disebut dengan istilah watu tumpang
Temuan di Kecamatan Mrebet berupa batu dakon dan meja batu ditemukan di
Desa Onje. Temuan lain berupa lumpang batu dan batu telur ditemukan di Dukuh
Bataputih, Desa Cipaku, sebanyak 2 buah yang oleh penduduk setempat dinamakan
sendang tirtamaya. Masih di Desa Cipaku, yaitu di Dukuh Pangubonan terdapat
tinggalan menhir dan lumpang, selain itu juga terdapat prasasti Batutulis. Temuan di
Dukuh Brengkol, Desa Pangalusan, terdapat peninggalan berupa bangunan berundak,
lumpang batu, menhir, batu pipisan, dan yoni. Penduduk menyebutnya (kecuali yoni)
sebagai candi kenteng, sedangkan yoni disebut watu pengilon
Tinggalan-tinggalan megalitik di atas adalah salah satu data arkeologi.
Arkeologi sendiri dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hasil aktivitas manusia
masa lalu menyangkut seluruh aspek kehidupannya melalui kebudayaan materi . Kebudayaan tersebut dapat dilihat sebagai suatu hubungan
dengan lingkungan bio-fisik, seperti data-data tentang topografi, flora, fauna, dan
sumber daya alam yang dapat digunakan untuk penyimpulan data arkeologi Lingkungan dapat dijadikan pertimbangan sebagai faktor dinamis yang
dapat dianalisis (Butzer, 1982: 4). Data-data lingkungan tersebut dapat
menggambarkan aktivitas manusia masa lalu pada kurun waktu tertentu
Tinggalan-tinggalan megalitik di Purbalingga merupakan salah satu data
arkeologi yang dianggap sebagai situs (site). Situs adalah suatu tempat yang menempati
dimensi keruangan (spatial) yang tersebar
mengandung artefak, fitur dan ekofak Situs juga
merupakan suatu indikator dari hasil okupasi manusia dan kegiatannya melalui
hubungan-hubungannya di dalam satuan-satuan ruang, yang mencerminkan sistem-
sistem teknologi, sosial, dan ideologi dari warga masa lalu
Situs-situs megalitik di Purbalingga tersebar di wilayah kawasan hulu-hulu sub
DAS Klawing. Dimana persebaran tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut merupakan
petunjuk okupasi manusia beserta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan itu,
diasumsikan sebagai perwujudan dari gagasan dan tindakan manusia masa lalu. Pola
persebaran dari bukti-bukti kegiatan manusia tersebut dapat menjadi sumber data bagi
pola pikir dan pola tindakan warga masa lalu
Dengan mengetahui secara lokasional situs arkeologi berada dan kondisi
lingkungan fisik terkait dengan situs arkeologi, mengindikasikan pola pemukiman
(settlement pattern) warga masa lalu yang merupakan pengejawantahan (ekspresi)
dari konsepsi manusia mengenai ruang, serta hasil upayanya untuk mengubah dan
memanfaatkan lingkungan fisik berdasarkan atas pandangan dan pengetahuan yang
mereka miliki mengenai lingkungan tersebut
Penelitian tentang megalitik dengan lingkungan fisik pernah ditulis oleh Gunadi
(1994) yang membahas tentang situs-situs megalitik Watu Kandang di Lembah Sungai
Kali Samin, Karanganyar, Jawa Tengah yang mengkaitkan dengan lingkungan fisik
setempat, Rr. Triwuryani (2004) tentang megalitik di DAS Sekampung yang
menunjukan pemukiman dari hulu ke hilir di sepanjang sungai Sekampung, Propinsi
Lampung. Eriawati (2004) yang membahas tentang distribusi tinggalan megalitik yang
kaitannya dengan potensi lingkungan alam yang dilandasi pada konsep pemanfaatan
ruang serta melihat pada bentuk-bentuk tinggalan beserta kuantitasnya, dan
bentuk/jenis bahan baku beserta bentang-lahan.
Yuniawati (2000) tentang persebaran situs-situs megalitik di Sulawesi Utara
yang mempunyai kecenderungan berada di dekat daerah aliran-aliran sungai, juga situs-
situs megalitik tersebut kebanyakan berada di daerah unit bentang-lahan perbukitan dan
dataran berbukit, dan Prijono (2005) yang membahas tentang interaksi antara manusia
pendukung budaya religi di kawasan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Banten dengan
lingkungan yang berkaitan dengan sumberdaya alam (tanah) dan material yang
diketahui melalui bangunan monumen menhir dan sumur batu.
1.3. Rumusan Masalah
Wilayah dalam penelitian ini mencakup kawasan hulu-hulu di sub DAS
Klawing. Penelitian ini diarahkan pada pendekatan regional
Dimana penempatan megalitik terutama dilihat dari lingkungan fisik menjadi salah
satu pertimbangan tersendiri dalam penempatannya. Penelitian ini menggunakan model
pendekatan determinasi lingkungan (environmental determinism) yang menyatakan
secara sederhana bahwa kebudayaan adalah produk lingkungan fisik yang terdiri dari
topografi, lokasi geografis, iklim, dan sumberdaya alam (Rambo, 1983: 3—4;
Ramelan, 1989: 233). Alam mempengaruhi sosial dan budaya manusia, manusia
beradaptasi dengan alam dan alam sebagai faktor yang terbatas untuk diubah oleh
manusia (Moran, 1979: 26).
Secara sepintas situs-situs megalitik di Purbalingga banyak terdapat dekat
dengan sumber air yakni pada daerah-daerah hulu3 sungai. Biasanya suatu daerah atau
kawasan dialiri oleh lebih dari satu sungai dan anak sungai atau yang lebih dikenal
dengan istilah Daerah Aliran Sungai (DAS). Situs-situs megalitik di Purbalingga
banyak berada di daerah kawasan hulu (daerah perbukitan) di Sub DAS Klawing4 atau
sebelah tenggara gunung Slamet. Jadi persebaran situs-situs tidak terjadi secara random
tetapi menepati zona-zona tertentu (non-random spatial pattern) (Hodder dan Orton,
1976:9). Beberapa faktor dalam pengambilan keputusan untuk menempatkan situs
tersebut berdasarkan fungsi situs, topografi setempat, dan ketersediaan sumber daya
dan lingkungan mikro pada saat menghabitasi (Shackley, 1985: 18).
Melihat tinggalan-tinggalan megalitik di daerah tenggara gunung Slamet atau
sub DAS Klawing, diperkirakan bahwa pada masa lalu sudah ada hubungan manusia
dengan lingkungannya. Dalam hal ini tercermin dalam penempatan dan persebaran
situs-situs megalitik di kawasan tersebut. Sesuai dengan keadaan di atas, pertanyaan
yang diajukan adalah (1) bagaimana karakter situs-situs serta bentuk-bentuk megalitik
3 Daerah hulu yang dimaksudkan di adalah daerah dalam ekosistem DAS yang secara biogeofisik
dicirikan oleh hal-hal seperti adalah daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,
daerah dengan kemiringan >15%, bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh sistem drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan (Asdak, 2004: 11).
4 Berdasarkan peta daerah aliran sungai dan pola aliran terbitan Kantor Pertanahan Kabupaten
Pubalingga, 1995 (peta terlampir).
apa saja yang berada di sub DAS Klawing Purbalingga. (2) Lalu sejauh mana variabel-
variabel seperti kelerengan, ketinggian tempat, jarak dengan sumber air (DAS), batuan,
dan bentuk medan yang mempengaruhi latar penempatan situs-situs megalitik.
Luas wilayah hulu pada penelitian ini berdasarkan administratifnya meliputi
Kecamatan Karangreja, Kecamatan Bobotsari, Kecamatan Mrebet dan sebagian
Kecamatan Karanganyar. Secara keseluruhan wilayah tersebut termasuk dalam daerah
hulu di Purbalingga yang meliputi sub DAS Klawing
Tinggalan-tinggalan megalitik terdapat di wilayah administratif penelitian ini
tersebar di 4 kecamatan, (9 desa/kelurahan), 7 dukuh yaitu: Kecamatan Karangreja di
Desa Karangjambu Dukuh Bandingan, di Kecamatan Karanganyar Desa Buara. Di
Kecamatan Bobotsari Desa Dagan (Dukuh Pamujan dan Dukuh Glempang). Di
Kecamatan Mrebet, terdapat di Desa Cipaku (Dukuh Bataputih dan Pangubonan),
Campakoah, Pangalusan (Dukuh Brengkol), Onje, Serayularangan, dan
Serayukaranganyar.
Data yang menjadi acuan penulisan ini adalah tinggalan situs-situs megalitik
yang pernah dilaporkan oleh penelitian terdahulu laporan inventaris museum daerah dan survei penulis sesuai dengan
permasalahan dan tujuan penelitian di atas.
Data yang dikumpulkan adalah data megalitik dan data lingkungan. Mengenai
data megalitik yang digunakan adalah data yang berkaitan dengan lokasi atau keletakan
setiap situs megalitik (nama situs, nama dusun, kelurahan, koordinat, dan pemeriannya)
dan melakukan pencatatan baik secara verbal mapun piktorial. Data lingkungan yaitu
kondisi atau situasi sungai dan geologi yang berasal dari masa kini, dengan anggapan
bahwa pada prinsipnya keadaan lingkungan fisik masa kini dapat dijadikan dasar untuk
memberikan gambaran tentang keadaan lingkungan masa lalu yang diperoleh melalui
peta-peta tematis.
Pengumpulan data terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan. Dalam studi
pustaka ditelaah kepustakaan yang membahas tentang megalitik baik berupa konsepsi
maupun bentuk-bentuknya di Indonesia pada umumnya yang pernah ditulis oleh
sarjana-sarjana seperti H.R van Heekeren, A.N.J.Th.a.Th. van der Hoop, Peter
Bellwood, R.P.Soejono, Haris Sukendar dan Teguh Asmar. Laporan-laporan penelitian
yang diterbitkan oleh instansi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional dan Balai Arkeologi.
Data-data lingkungan fisik diperoleh dari peta-peta lingkungan fisik (tematis),
berupa peta geologi skala 1:100.000 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Geologi
Bandung (2001), peta-peta dari Kantor Pertanahan Purbalingga (1995), di antaranya
peta geologi, peta daerah aliran sungai dan pola aliran, dan peta lereng, semuanya
dengan skala yang sama yaitu 1:50.000. Untuk keperluan penelitian ini, semua peta
dijadikan berskala sama, yaitu 1: 200.000 agar diperoleh peta dengan ukuran yang
seragam sehingga bisa ditumpang-susunkan.
Penelitian ini menggunakan teknik survei permukaan (site surface survey) yang
memfokuskan pada tinggalan-tinggalan megalitik di daerah Purbalingga dan mencatat
artefak lepas yang pernah ditemukan yang terkait dengan tinggalan megalitik tersebut,
yang kini disimpan di museum daerah Purbalingga. Survei permukaan dipusatkan pada
situs-situs megalitik dan variabel-variabel lingkungan fisik dimana situs-situs berada.
Data lokasi situs diperoleh dari catatan administratif (nama dukuh, desa/kelurahan, dan
kecamatan) maupun secara astronomis (koordinat garis lintang dan garis bujur) sebagai
dasar pengeplotingan (plotting) dengan GPS (Global Positioning System).
Data lingkungan fisik situs-situs di lapangan diperoleh setelah melakukan
pencatatan astronomis, ketinggian di atas permukaan laut, dan mengukur jarak ke
sumber air pada situs-situs megalitik yang dilakukan dengan bantuan alat GPS lalu
diplotkan pada peta sebaran situs. Peta tersebut digunakan sebagai peta kerja sebelum
dilakukan pengolahan untuk memperoleh hasil kaitan situs dengan lingkungan fisik.
Data megalitik berupa lokasi atau keletakan setiap situs megalitik (nama situs,
nama dusun, kelurahan, dan koordinat), kemudian diplotkan pada peta kerja (peta
rupabumi Bakosurtanal skala 1:25.000 lembar Bobotsari dan Karanganyar) untuk
kemudian dibuat peta sebaran situs-situs megalitik. Untuk mengetahui penafsiran
antara situs-situs megalitik tersebut dengan variabel-variabel sungai, geologi (batuan)
kelerengan dan ketinggian, peta-peta lingkungan fisik setempat maka peta yang
skalanya sudah disamakan atau diseragamkan lalu ditumpang-susunkan (overlay
technique) dengan peta sebaran situs-situs megalitik yang kemudian diolah dengan
bantuan piranti lunak GIS (Geographical Information System) ArcView versi 3.3
menjadi peta situs dan lingkungan fisik.
Setelah dihasilkan peta sebaran situs hasil dari overlay tersebut, maka terlihat
ketersebaran situs-situs megalitik di wilayah sub DAS Klawing Purbalingga. Melalui
ketersebarannya situs-situs megalitik tergambar keterkaitannnya dengan variabel-
variabel DAS, batuan, kelerengan, ketinggian, dan bentuk medan. Hal ini didukung
dengan konsepsi yang melatarbelakangi dalam peletakan situs-situs megalitik pada
umumnya dan di Purbalingga pada khususnya.
1.5.3. Penafsiran Data
Melalui identifikasi baik terhadap situs-situs megalitik tersebut akan didapat
gambaran tentang kaitan antara situs megalitik dengan lingkungan fisik setempat sesuai
dengan variabel-variabel di atas. Selain itu juga akan dapat dilihat gambaran persebaran
dan peletakan situs-situs di daerah tersebut.
Setelah dijabarkan tentang tinggalan-tinggalan di masing-masing situs maka
melalui pendekatan lingkungan fisik daerah setempat dapat dihasilkan persebaran situs-
situs megalitik di Purbalingga dengan mengkaitkannya melalui variabel-variabel
lingkungan fisik seperti jarak dengan sumber air, ketinggian, kelerengan, batuan, dan
bentuk medan. Hasilnya berupa gambaran situs-situs megalitik di Purbalingga dengan
lingkungan fisiknya berikut penjelasan artefaktual (temuan) dan karateristik situs.
berdasarkan wilayah administratifnya yaitu di kecamatan-kecamatan: Karangjambu
(situs Bandingan), Karanganyar (situs Buara), Bobotsari (situs Pamujan dan
Glempang), Mrebet (situs Bataputih, Pangubonan, Gerngenge, Brengkol, Onje,
Serayularangan, Serayukaranganyar).
Bab 4 berisi hubungan antara tinggalan megalitk dengan lingkungan fisik
tempat seperti variabel jarak dengan sumber air (DAS), ketinggian, kelerengan, batuan,
dan bentuk medan. Disertai pula penjelasan artefatual dan karakteristik situs.
berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, serta saran akan penelitian lebih lanjut.
Daerah Purbalingga secara umum termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah
bagian baratdaya, memiliki posisi astronomis 7°10’-7°29’ LS dan 109°11’-109°35’ BT;
dengan batas-batas administratif di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Pemalang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, dan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Banyumas. Purbalingga mempunyai luas 77.764,122 ha
atau 777,64 km2 dan terbentang antara ketinggian 35—1.124 m di atas permukaan laut.
Secara administratif terdiri dari 18 kecamatan dan 222 desa serta 15 dukuh
Situs-situs megalitik di Purbalingga yang disurvei berada pada wilayah sub
DAS Klawing yang secara administratif berada di 4 kecamatan, 9 desa/kelurahan dan 7
dukuh yaitu: (1) Kecamatan Karangreja di Desa Karangjambu Dukuh Bandingan, (2)
Kecamatan Karanganyar Desa Buara, (3) Kecamatan Bobotsari Desa Dagan (Dukuh
Pamujan dan Dukuh Glempang), (4) Kecamatan Mrebet, terdapat di Desa Cipaku
(Dukuh Bataputih dan Pangubonan), Campakoah, Pangalusan (Dukuh Brengkol), Onje,
Serayularangan, dan Serayukarangan.
Topografi
Jumlah situs-situs megalitik yang disurvei ada 11 situs yang tersebar di 4
kecamatan, 9 desa/kelurahan, 5 dukuh terletak pada wilayah ketinggian antara 95—710
m di atas permukaan air laut dengan wilayah kelerengan antara 0-2% hingga lebih dari
40%. Topografi daerah ini merupakan daerah perbukitan (34.318,096 ha) pada bagian
tenggara dan timur Gunung Slamet (3.428 m) atau tepatnya sebelah utara dan barat laut
Kota Purbalingga. Bentang alam daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang
berbukit-bukit dengan variasi kemiringan lereng hingga lebih dari 40% dengan
ketinggian antara 100 hingga lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut
2.3. Geologi dan Geomorfologi
Secara fisiografis daerah Purbalingga termasuk ke dalam Wilayah Serayu Utara
(North Serayu Range) Pada wilayah mencakup luas sekitar 30—50 km yang pada
bagian barat dibatasi oleh Gunung Slamet (3428 m) dan pada bagian timur dibatasi
dengan pegunungan vulkanik muda Rogojembangan (2177 m); kompleks Dieng
(Gunung Prahu 2565 m); dan Gunung Ungaran (2050 m) dengan garis batas pada
Wilayah Bogor (Bogor-Range) di Jawa Barat hingga daerah Prupuk-Bumiayu-
Ajibarang
Pada wilayah fisiografis ini terbagi menjadi 3 zona penting yaitu (a) Zona
vulkanik kuarter; (b) Zona pegunungan Serayu Utara; dan (c) Zona pusat depresi Jawa
Tengah. Zona vulkanik kuarter terbentuk oleh batuan gunungapi berupa lelehan lava
berongga dan sebagian masif yang terdapat di lereng timur Gunung Slamet, bersusunan
andesitik hingga basaltik. Zona pegunungan Serayu Utara berkomposisi batuan
sediment (batupasir gampingan dan napal) dan batuan gunungapi (lahar dengan
bongkahan batu andesitik-basalt) terdapat di bagian tengah Purbalingga. Zona Pusat
depresi Jawa Tengah di bagian selatan ditutupi oleh batuan sedimen dan endapan
aluvial (kerikil, pasir, lanau, dan lempung) (van Bemmelen, 1970:29). Penulis lain
menyebut daerah ini secara geomorfologis adalah bagian dari cekungan daerah aliran
sungai Serayu (Serayu River Basin) yang meliputi unit-unit punggung lipatan, puncak
dan lembah lipatan, depresi struktural, dataran banjir, dan kipas aluvial
Sebagian besar luas wilayah daerah Purbalingga termasuk zona depresi tengah
dari dataran rendah dan strato vulkano. Dimana arus vulkanis dari Sindoro, Dieng dan
lain-lain gunung menggunakan depresi ini memotong miring pegunungan Serayu
selatan sehingga pegunungan Serayu selatan semakin sempit dan jadi rendah pada
sebelah barat tempat dimana terjadinya anteseden Sungai Serayu. Dari sini ke arah
barat zona tengah bercampur dengan igir-igir yang sejajar menuju zona utara.
Penurunan baru terjadi di daerah ini sebab adanya endapan aluvial dan daratan pantai
yang telah masuk ke dalam sebagian besar lembah-lembah
Secara stratigrafis Pembentukan batuan (stratigrafi) di Purbalingga diawali
dengan pengendapan batuan Formasi Halang dan Formasi Kumbang pada Jaman
Miosen Tengah-Pliosen. Pada Kala Pleosen diendapkan batuan-batuan dari Formasi
Tapak, Anggota Breksi Formasi Tapak, Anggota Batugamping Formasi Tapak dan
Formasi Kalibiuk yang diendapkan pada lingkungan darat hingga marin. Pada Kala
Plestosen terbentuk batuan-batuan dari Anggota Lempung Formasi Ligung, Formasi
Ligung, Lava Gunung Slamet, Endapan Undak dan Endapan Lahar. Batuan termuda
terbentuk pada Kala Holosen terdiri dari Endapan Lahar Gunung Slamet dan Endapan
Aluvial. Struktur geologi yang terdapat di wilayah Purbalingga berupa lipatan, sesar,
kelurusan dan kekar yang melibatkan batuan berumur Tersier sampai Holosen
Berdasarkan pemerian morfologis wilayah Purbalingga, situs-situs megalitik
yang menjadi data penelitian ini berada di wilayah lereng timur dan tenggara Gunung
Slamet. Adapun pembagian satuan morfologis ini adalah (1) Morfologi dataran
menempati bagian tengah dan selatan Purbalingga. Ketinggian berkisar 0-200 meter
diatas permukaan laut dan kemiringan lereng kurang dari 13%. Morfologi ini terbentuk
oleh batuan aluvial dan endapan undak. Aliran sungai berbentuk sub-meander hingga
meander dengan lembah-lembah sungai berbentuk U yang menunjukkan sungai
berstadium erosi tua.
(2) Morfologi perbukitan bergelombang menempati bagian barat, utara,
timurlaut, dan bagian tengah Purbalingga. Ketinggian berkisar 200-500 meter diatas
permukaan laut dan kemiringan lereng berkisar 14—55%. Morfologi ini terbentuk oleh
batuan sedimen dan batuan gunungapi. Pola aliran sungai berbentuk dendritik, paralel
dan rektangular dengan lembah-lembah sungai berbentuk U yang menunjukkan sungai
berstadium erosi dewasa.
(3) Morfologi pegunungan atau morfologi daerah perbukitan berpunggung pipih
(Pardyanto, dkk, 1971: 8) menempati bagian barat, utara dan timurlaut Purbalingga.
Ketinggian berkisar lebih dari 500 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lereng
berkisar lebih dari 55%. Morfologi ini terbentuk oleh sebagian besar batuan gunungapi
dan sebagian kecil batuan sedimen. Pola aliran sungai berbentuk dendritik dan paralel
dengan lembah-lembah sungai berbentuk V yang menunjukkan sungai berstadium erosi
muda
Banyaknya situs-situs megalitik yang menjadi data penelitian ini terdapat di daerah
bermorfologi perbukitan gelombang dengan berbagai variasi ketinggian dan
kelerengan.
2.4. Gambaran Lingkungan Fisik berdasarkan Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang dijadikan variabel lingkungan fisik situs adalah:
sumber air (sungai), ketinggian, kelerengan, geologi (batuan), dan bentuk medan.
Adapun pemeriannya adalah sebagai berikut.
2.4.1. Sumber Air
Sumber air atau sungai di Purbalingga berjumlah 66 kali dengan panjang total
643 km, dengan Kali Klawing yang merupakan kali yang terbesar di Purbalingga
dimana sebagian besar segmennya melalui daerah hutan, persawahan dan hanya
sebagian kecil yang melalui tepi kota (Purbalingga). Kali ini pada awalnya berupa kali
kecil yang terletak di antara dua bukit yaitu Bukit Gunung Welirang (793 m dpl) dan
Gunung Sidingklik (820 m dpl) di Kecamatan Karangreja (Pemda Tk. II Purbalingga,
1981). Kali tersebut kemudian bersatu dengan Kali Tungtunggunung di Bantar Agung
(Bobotsari), Kali Laban di Tangkisan (Bobotsari), Kali Soso di Onje (Bobotsari), Kali
Lembang di Karang Pakel (Mrebet), Kali Pekacangan di Kedung Maling (Bukateja),
Kali Pelus di Kedung Jati (Kec. Kemangkon), dan pada akhirnya bertemu dengan Kali
Serayu di Somakaton (Kec. Somagede) di daerah Congot. Mulai dari Congot kali
tersebut disebut sebagai Kali Serayu karena bertemu dengan Kali Serayu yang berasal
dari dataran tinggi Dieng. Panjang total Kali Klawing dari hulu sampai Congot 55,5
km
Daerah aliran sungai (DAS) atau dengan sebutan istilah lain daerah tangkapan
air (DTA) atau catchment area adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik
dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air untuk
kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2004: 1—4). Jika
dilihat dari udara, jaringan aliran sungai (sistem drainase) sepintas tampak menyerupai
percabangan pohon (dendritic). Tapi bila dilihat lebih dekat, pola drainase tersebut
dapat menyerupai percabangan pohon, segi empat (rectangular), trellis (terali), annular
(lingkaran), dan jari-jari lingkaran (radial)
Berdasarkan pada peta daerah aliran sungai dan pola aliran daerah Purbalingga,
terbagi 3 sub DAS yaitu: (a) sub DAS Klawing yang meliputi sebagian besar wilayah
administratif dari utara yaitu: Kecamatan Karangreja, Bobotsari, Mrebet, Bojongsari,
Kutasari, Padamara, Kalimanah, Purbalingga, Kaligondang, Pangadegan, dan
Kemangkon, (b) sub DAS Gintung yang meliputi Kecamatan Karangmoncol,
Rembang, dan sebagian dari Kecamatan Karanganyar yang berbatasan di sebelah
baratnya dengan sub DAS Klawing, dan (c) sub DAS Pekacangan yang merupakan
bagian paling timur yang wilayah administratifnya Kecamatan Kejobong, Bukateja,
dan Kemangkon.
Dalam penelitian ini wilayah penelitian dibatasi pada sungai-sungai besar yang
mengalir dari hulu (utara) ke selatan yang termasuk ke dalam sub DAS Klawing
dengan konsentrasi tinggalan-tinggalan megalitik yang terbanyak di daerah hulu sub
DAS ini atau daerah tenggara Gunung Slamet atau sebelah barat laut kota Purbalingga.
Kali yang termasuk dalam ruang lingkup penelitian di sini, yaitu sub DAS Klawing
antara lain: Kali Soso, Kali Klawing, Kali Tungtunggunung dan Kali Laban lalu
menyatu menjadi Kali Klawing ke hilirnya dan menyatu dengan Kali Gintung yang
mengalir dari sub DAS Gintung di daerah hulunya (utara) dan mengalir menjadi kali
besar yaitu Kali Klawing di hilir (selatan) dengan luas wilayah hulu berdasarkan
administratifnya meliputi Kecamatan-Kecamatan: Karangreja (120 km2), Karanganyar
(68,32 km2), Bobotsari (32,28 km2), Mrebet (47,88 km2) dan secara keseluruhan
wilayah tersebut termasuk dalam daerah hulu di Purbalingga yang meliputi sub DAS
Klawing seluas kurang lebih 268, 48 km2.
Berdasarkan keterkaitan dengan sumber air, dalam hal ini bisa sungai, anak
sungai maupun mata air yang mengalir ke sungai. Berdasarkan pada jarak yang dapat
ditempuh dengan survei permukaan (site surface survey) antara situs megalitik dengan
sumber air (sungai) dengan menggunakan piranti GPS maka jarak dengan sumber air
terdekat dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: jarak kurang dari 100 m
dikategorikan dekat dengan sumber air; jarak 100—200 m cukup dekat; dan lebih dari
200 m jauh. Secara sepintas jarak situs-situs megalitik dengan sumber air berada pada
jarak kurang dari 100 m. Ini berarti kedekatan dengan sumber air menjadi
pertimbangan.
2.4.2. Ketinggian
Dari 14 situs yang tersebar di 4 kecamatan, 9 desa/kelurahan, 7 dukuh terletak
pada wilayah ketinggian antara 95—710 m di atas permukaan air laut. Topografi
daerah ini merupakan daerah perbukitan (34.318,096 ha) pada bagian tenggara dan
timur Gunung Slamet (3.428 m) atau tepatnya sebelah utara dan barat laut Kota
Purbalingga. Bentang alam daerah ini merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit-
bukit dengan variasi kemiringan lereng hingga lebih dari 40% dengan ketinggian antara
100 hingga lebih dari 500 meter di atas permukaan air laut (Ensikolpedi Nasional
Indonesia, 1990: 459).
Seperti telah diuraikan di atas bahwa topografi daerah Purbalingga terbagi
menurut klasifikasi ketinggian wilayah Purbalingga, dimana yang terluas daerah
perbukitan pada bagian utara dan timur dan dataran rendah pada sebelah selatan dan
barat dan daerah pegunungan terbentang dengan ketinggian antara 35—1.124 m di atas
permukaan laut dan pada bagian barat laut berbatasan langsung dengan Gunung Slamet
(3.428 m) (Kantor Pertanahan Purbalingga, 1995). Bentang alam wilayah terdapatnya
situs-situs megalitik beraneka ragam, meliputi dataran rendah, perbukitan, dan lereng
gunung dan yang banyak berada di daerah perbukitan sebelah barat laut dan utara
Purbalingga.
2.4.3. Kelerengan
Kelerengan adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dengan bidang
horisontal, dinyatakan dalam persen (%). Lereng dibuat dengan mengukur jarak
trasnsis pada peta kontur atau topografi. Adapun rumus lereng adalah:
d= C.I x 100
L.S
d = jarak antara 2 garis kontur
C.I = kontur interval (m)
L = lereng
S = skala
Dengan pembagian kelas lereng yaitu 0-2% (datar), 2-8% (agak landai), 8-15% (agak
terjal), 15-25% (terjal), 25-40% (curam), >40% (sangat curam) (Kartono dkk, 1998:
91).
Berdasarkan pada peta kelerengan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Purbalingga tahun 1995 terbagi menjadi Adapun pemerian lereng daerah Purbalingga
berdasarkan Peta Lereng Dinas Pertanahan Purbalingga (1995) adalah sebagai berikut:
(1) lereng 0—2 % meliputi wilayah di daerah selatan di antaranya: Kecamatan
Kemangkon, Bukateja, Kalimanah, Purbalingga, sebagian kecamatan Kaligondang,
Bojongsari, dan Padamara; (2) lereng 2—8 % meliputi daerah kecamatan Kutasari,
Mrebet, dan sebagian dari Kecamatan Bojongsari, Bobotsari, Karanganyar,
Karangmoncol, Pengadegan dan Kejobong; (3) lereng 8—15 % meliputi daerah
Kecamatan Bobotsari, Karanganyar serta sebagian Rembang; (4) lereng 15—25 %
meliputi daerah sebagian utara daerah Kecamatan Bobotsari, Karanganyar, dan
Rembang; (5) lereng 25—40 % meliputi daerah Kecamatan Karangreja, dan sebagian
daerah utara Kecamatan Bobotsari, Karanganyar, dan Rembang.
2.4.4 Batuan
Berdasarkan pemerian litologi batuan daerah Purbalingga5 terdiri dari wilayah
(a) fasis aluvium vulkanik (Qls), yang terbentuk dari endapan lahar Gunung Slamet tua,
terdiri dari bahan-bahan tak mengeras yang mengandung bongkah-bongkah batuan
gunung api bersusun andesit sampai basalt. Kelulusan rendah sampai tinggi bergaris
tengah 10—50 cm yang sebarannya meliputi daerah di tengah seluas 6.156.250 Ha,
yaitu sebagian Kecamatan Bobotsari, Karanganyar, Mrebet, Bojongsari, Padamara, dan
Kutasari.
(b) kuarter muda (Qvs), berasal dari batuan gunung api Slamet tak terurai dan
endapan vulkanik muda yang terdiri dari: breksi, lava, lapili, dan tufa dengan
kelulusannya sedang sampai tinggi terdapat pada bagian baratlaut seluas 14.943.750
Ha (19,22%) wilayah ini, yaitu sebagian Kecamatan Karangreja, Bobotsari, Mrebet dan
Kutasari. (c) sedimentasi Pliosen (Tmpk) atau formasi kumbang, yang merupakan
5 Berdasarkan pada Peta Geologi terbitan Kantor Pertanahan Kabupaten Purbalingga (1995) dan Peta
Geologi Lembar Tegal dan Purwokerto Jawa Skala 1: 100.000 terbitan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Direktorat Jendral Geologi Bandung (1996).
endapan vulkanik tua yang terdiri dari aliran lava yang bersifat andesit sampai basalt
dan breksi dengan kelulusannya rendah sampai sedang, yang meliputi wilayah seluas
23.490.622 Ha, yang meliputi daerah bagian tengah, sebagian Kecamatan Bobotsari,
Karanganyar, Mrebet, Bojongsari, Kaligondang, Kejobong, Pangadegan,
Karangmoncol dan Rembang. (d) fasis sedimentasi Miosen (Tmph) atau formasi
Halang, yang terdiri dari batupasir tufaan, batupasir, konglomerat, tufa breksi dan
lempung dengan kelulusan rendah. Fasis sedimentasi miosen meliputi daerah utara
wilayah ini mencakup seluas 14.231.250 Ha sebagian Kecamatan Karangreja,
Bobotsari, Karanganyar, dan Rembang.
(e) aluvium (Qa), yang merupakan endapan daratan dan sungai yang tersusun
oleh pasir, kerikil, lempung dan lanau sebagai endapan sungai dan pantai dengan tebal
sekitar 150 cm dengan kelulusan sedang sampai tinggi. Wilayah yang termasuk adalah
daerah selatan meliputi Kecamatan Kemangkon, Kalimanah, Purbaliingga, dan
sebagian Bukateja dan Kaligondang seluas 14.823.500 Ha. (f) fasis sedimentasi
Plestosen (Qps) yang merupakan endapan sungai yang tersusun dari batupasir agak
padu, pasir tufa, konglomerat, dan breksi tufaan dan kelulusannnya sedang. Wilayah
dengan litologi ini terdapat di selatan meliputi sebagian Kecamatan Kejobong dan
Bukateja seluas 3.956.750 Ha (4,62%) (Kantor Pertanahan Purbalingga, 1995 dan
Djuri, et al., 1996). Secara sepintas situs-situs megalitik banyak terdapat di wilayah
berlitologi kuarter muda (Qvs) gunung api Slamet yang banyak terdapat di lereng
bagian barat laut Purbalingga.
2.4.5. Bentuk Medan
Bentuk medan dalam penelitian ini merupakan hasil pemerian morfologi daerah
Purbalingga yang dibagi menjadi 3 satuan medan yaitu dataran, perbukitan gelombang,
dan pegunungan. Dataran (dt) menempati bagian tengah dan selatan wilayah kabupaten
Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 40%. Elevasi berkisar 0—200 meter
diatas permukaan laut dan kemiringan lereng dibawah 10° (0—14%). Morfologi ini
terbentuk oleh batuan aluvial dan endapan undak. Aliran sungai berbentuk sub-
meander hingga meander dengan lembah-lembah sungai berbentuk U yang
menunjukkan sungai berstadium erosi tua. Satuan ini mencakup wilayah seluas 453, 69
km2 mulai dari Kecamatan Kemangkon, Bukateja, Kalimanah, Purbalingga, sebagian
kecamatan Kaligondang, Bojongsari, Padamara, Kutasari, Mrebet, dan sebagian dari
Kecamatan Bojongsari, Bobotsari, Karanganyar, Karangmoncol, Pengadegan dan
Kejobong.
(b) Perbukitan bergelombang (pgl) menempati bagian barat, utara, timurlaut,
dan bagian tengah wilayah kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar
35%. Elevasi berkisar 200—500 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lereng
berkisar 10°-40° (± 15—40 %). Morfologi ini terbentuk oleh batuan sedimen dan
batuan gunungapi. Pola aliran sungai berbentuk dendritik, paralel dan rektangular
dengan lembah-lembah sungai berbentuk U yang menunjukkan sungai berstadium erosi
dewasa. Wilayah dengan morfologi ini mencakup seluas 174,32 km2 yang meliputi
bagian utara daerah Kecamatan Bobotsari, Karanganyar, dan Rembang; sebagian
kecamatan Kaligondang, Bojongsari, Padamara, Kutasari, Mrebet, dan sebagian dari
Kecamatan Bojongsari, Bobotsari, Karanganyar, Karangmoncol, Pengadegan dan
Kejobong. (c) Pegunungan (Pg) menempati bagian barat, utara dan timurlaut wilayah
Kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah sekitar 25%. Elevasi berkisar 500—
3.428 meter (Gunung Slamet) di sebelah barat laut di atas permukaan laut dan
kemiringan lereng berkisar 45°-85° (>40 %). Morfologi ini terbentuk oleh sebagian
besar batuan gunungapi dan sebagian kecil batuan sedimen. Pola aliran sungai
berbentuk dendritik dan paralel dengan lembah-lembah sungai berbentuk V yang
menunjukkan sungai berstadium erosi muda, yang meliputi daerah Kecamatan
Karangreja, dan daerah-daerah di lereng barat Gunung Slamet yang mencakup wilayah
seluas 149,62 km2
Tinggalan megalitik di lereng tenggara gunung Slamet atau sub DAS Klawing
tersebar hampir di seluruh kawasan yang mencakup wilayah administratif 4 kecamatan,
9 desa/kelurahan, 7 dukuh yaitu: (1) Kecamatan Karangreja di Desa Karangjambu
Dukuh Bandingan, (2) Kecamatan Karanganyar Desa Buara, (3) Kecamatan Bobotsari
Desa Dagan (Dukuh Pamujan dan Dukuh Glempang), (4) Kecamatan Mrebet, terdapat
di Desa Cipaku (Dukuh Bataputih dan Pangubonan), Campakoah, Pangalusan (Dukuh
Brengkol), Onje, Serayularangan, dan Serayukaranganyar.
Gambaran keadaan situs di Purbalingga diperoleh dari berbagai macam sumber
di antaranya melalui laporan penelitian terdahulu, maupun setelah melakukan survei
permukaan (site surface survey). Situs-situs yang akan diuraikan merupakan situs-situs
yang memiliki tinggalan megalitik dan tercatat di berbagai dokumen inventarisasi.
Adapun perian situs-situs di Purbalingga berdasarkan pembagian wilayah administratif
adalah sebagai berikut:
3.1. Situs Bandingan
Di Kecamatan Karangjambu, hanya satu situs yang temuan megalitiknya
dipakai sebagai data penelitian ini. Situs ini secara administratif terletak di Dukuh
Bandingan, Desa Karangjambu, Kecamatan Karangjambu, Kabupaten Purbalingga.
Secara astronomis berada pada 07°13'22″LS dan 109°23'54″ BT dengan ketinggian 710
m dari permukaan air laut. Situs ini terletak pada gundukan tanah yang menyerupai
bukit kecil dan seolah-olah membentuk teras-teras bertingkat (punden) yang oleh
penduduk setempat dinamakan candi. Punden tersebut dapat dibagi menjadi 3 tingkat
atau teras dengan luas sekitar 174 m2 (Museum Purbalingga, 2007), pada teras I
ditemukan sebanyak 7 buah makam-makam berorientasi utara-selatan. Diperkirakan
makam-makam tersebut adalah makam-makam Islam walaupun pada bagian nisannya
maupun badan makamnya masih menggunakan batu-batu menhir sebanyak 14 buah.
Pada teras ke I terdapat tinggalan berupa menhir, batu datar, batu berukir, batu
berlubang, dan jalan-jalan batu. Tinggalan di teras II yaitu berupa kelompok pertama
menhir, batu datar, dan batu berlubang adalah menhir I berukuran panjang 20 cm, lebar
10 cm, dan tinggi 45 cm. Ukuran batu datar adalah panjang 50 cm, lebar 33 cm dan
batu berlubang dengan panjang 23 cm, dan lebar 19 cm dengan diameter lubang 5 cm
dan kedalaman lubang 5 cm.
Kelompok tinggalan kedua dari teras I berada dekat dengan kelompok tinggalan
I sekitar 3 m ke timur. Adapun tinggalan kelompok tinggalan kedua berupa sebuah 3
menhir, dan batu berukir. Menhir I berukuran lebar 15 cm, dengan tinggi 45 cm dan
tebal sekitar 10 cm; menhir II berukuran tinggi 50 cm, lebar 23 cm dan tebal 10 cm;
menhir III berukuran lebar terkecil 10 cm, lebar terbesar 17 cm, dan tinggi 25 cm; batu
berukir berukuran tinggi 30 cm, dan lebar 20 cm. Belum dapat diperkirakan ukiran apa
yang terdapat di batu tersebut, namun kemungkinan sementara “ukiran” yang tidak
dapat diketahui.
Pada teras II dari situs ini memiliki luas 84 m2 (Museum Purbalingga, 2007)
terdapat tinggalan berupa struktur batu dengan 2 buah menhir di atasnya yang
berorientasi utara-selatan dengan jarak kira-kira 130 cm. Luas teras ini lebih kecil
dibandingkan 2 teras sebelumnya. Luas struktur batu sekitar panjang 457 cm, dan lebar
400 cm. Adapun ukuran menhir I di teras III adalah dengan tinggi 35 cm, lebar 15 cm,
panjang 5 cm. Sedangkan menhir II berada pada posisi merebah dengan berukuran
panjang 5 cm, lebar 16 cm, dan tinggi 50 cm .
teras III yang memiliki luas 24 m2 (Museum Purbalingga, 2007) berada di
sebelah timur terdapat tangga batu yang menuju sisi timur dari teras III ini. Pada teras
III sisi timur ini terdapat tinggalan berupa 2 buah menhir yang berada pada bangunan
batu dengan ukuran kira-kira 300 cm2, dan terdapat pecahan gerabah. Adapun menhir
pada teras III sisi timur kedua-duanya berada dalam posisi condong 50° dengan ukuran
menhir I yaitu tinggi 40 cm, dan lebar 12 cm. Serta menhir II dengan ukuran tinggi 38
cm dan lebar 15 cm. Tidak jauh dari situs Bandingan ke arah timur sekitar <100 m
terdapat Kali Lempayang, dan sebelah barat dekat situs ini terdapat sumber mata air.
Situs ini berada pada wilayah kelerengan 15-25% (terjal), bermorfologi perbukitan
gelombang dengan daerah batuan fasis sedimentasi miosen (Tmph).
3.2. Situs Buara
Peninggalan di situs ini merupakan sebuah struktur pagar batu, sebuah lumpang
di bagian tengahnya dan 3 menhir berada di sampingnya. Situs ini terletak sekitar 200
m di sebelah selatan Balai Desa Buara, Kecamatan Karanganyar. Struktur pagar batu
ini tersusun dari batu-batu basalt (Simanjuntak dkk, 1986: 30b) dengan tinggi sekitar
50 cm, membentuk denah empat persegi panjang ukuran 8,5 x 7,7 m. Di sisi timur dan
barat terdapat pintu masuk selebar 1 m. Di bagian tengah bangunan terdapat sebuah
batu lumpang berbentuk bulat dengan panjang dan lebar 80 cm, garis tengah 50 cm,
tinggi 39 cm, dan kedalaman lubang 27 cm. Selain itu juga terdapat menhir sebanyak 3
buah dengan ukuran paling besar tinggi 50 cm, lebar 30 cm, menhir ke dua berukuran
tinggi 45 cm, lebar 15 cm dan menhir paling kecil setinggi 10 cm dan lebar 10 cm.
Penduduk setempat menghubungkan peninggalan ini dengan cerita seorang tokoh yang
bernama Nyai Gadung Melati. Siapa sebenarnya tokoh ini tidak diperoleh keterangan
secara jelas.
Situs ini terletak pada posisi astronomis 07°16'36″LS dan 109°23'01″BT dengan
ketinggian dari permukaan air laut 160 m. Situs ini berbatasan dengan pekarangan
penduduk, di sebelah utara dengan pekarangan penduduk dan kanal irigasi, sebelah
barat dengan sawah dan pekarangan penduduk dan sebelah timur dengan pekarangan
penduduk dan kebun. Situs ini memiliki orientasi barat-timur dan sekitar 200 m ke arah
selatan terdapat Kali Tungtunggunung. Situs ini berada pada wilayah kelerengan 2—
8% (agak landai) dengan wilayah bermorfologi dataran dan litologi fasis sedimentasi
miosen (Tmpk).
3.3. Situs Pamujan
Secara administratif Situs ini terletak di Dukuh Pamujan, Desa Dagan,
Kecamatan Bobotsari. Situs ini terdiri dari 2 kelompok menhir yang terletak secara
astronomis pada 07°17'01″ LS dan 109° 22'16″BT dengan ketinggian sekitar 250 m di
atas permukaan laut. Situs ini memiliki jarak sekitar 200 m dengan sumber air yaitu
Kali Klawing ke arah timur laut. Temuan di situs ini adalah menhir yang terbuat dari
batu andesit. Situs ini berada pada wilayah kelerengan 0—8% (agak landai),
bermorfologi dataran dan litologi kuarter muda (Qvs).
Di situs ini terdapat temuan 2 kelompok menhir dan 4 buah kapak persegi,
sebuah gelang batu (stone ring) (Nitihaminoto, 1976: 8). Kini temuan artefak tersebut
di simpan di Museum Purbalingga. Dua kelompok menhir masing-masing terletak di
sebelah timur dan barat dengan jarak sekitar 40 M. Menhir I terletak di pinggir halaman
rumah salah seorang penduduk. Batu tegak yang tertinggi memiliki ukuran 167 cm,
dengan lebar 50 cm dengan keadaan miring (500). Sedangkan batu yang terendah
berukuran tinggi 85 cm dan lebar 30 cm (Nitihaminoto, 1976: 8).
Kelompok menhir II terletak di sebelah barat, berada dalam posisi berjajar
seperti menhir I. Pada kelompok menhir II terdapat 2 buah menhir dengan ukuran pada
menhir yang terbesar berukuran tinggi 90 cm dan lebar 60 cm, panjang 50 cm, lalu
menhir yang kecil berukuran tinggi 50 cm dan panjang 30 cm, lebar 30 cm. Menhir I
maupun II dibuat dari batu besar tanpa dikerjakan (Atmosudiro, 1980: 100).
3.4. Situs Glempang
Situs ini terletak pada posisi astronomis 07°16'51″LS dan 109°21'16″BT dengan
ketinggian 260 m. Orientasi situs ini menghadap barat-timur. Kurang dari 100 m ke
arah tenggara terdapat sumber air kecil berupa Kali Susukan, yang merupakan anak
dari Kali Klawing. Situs ini berbatasan di timur sejauh 100 m terdapat Bukit Sambeng
dan sebelah utaranya terdapat Bukit Kelir. Secara administratif situs ini terletak di
Dukuh Glempang, Kelurahan Dagan, Kecamatan Bobotsari.
Di situs ini terdapat temuan berupa dolmen yang terbuat dari batu andesit. Batu-
batu itu berukuran batu datar 63 cm x 50 cm, lalu batu di bawahnya berukuran 27 cm x
23 cm dan 36 cm x 20 cm. Penduduk setempat menyebutnya dengan istilah “watu
tumpang” (batu yang bertumpang). Situs ini berada pada wilayah kelerengan 8—15%
(agak terjal), bermorfologi perbukitan gelombang dan dengan litologi kuarter muda
(Qvs).
3.5. Situs Bataputih
Situs ini terletak pada keletakan astronomis 07°18'54″LS dan 109°19'50″BT dan
dengan ketinggian kira-kira 210 m di atas permukaan laut. Pada sebelah utara situs ini
berbatasan dengan persawahan penduduk, sebelah selatan dengan persawahan dan mata
air, yang oleh penduduk setempat dinamakan mata air telogo, dan sebelah timur juga
dengan kebun-kebun penduduk, dan sebelah barat berbatasan dengan sawah dan mata
air. Kurang dari 100 m ke selatan situs ini terdapat mata air telogo. Situs ini masuk ke
dalam Dukuh Bataputih, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet.
Situs ini dinamakan oleh penduduk setempat dengan nama sendang tirtamaya.
Peninggalan di situs ini antara lain semacam batu yang menyerupai telur sebanyak 2
buah dan batu lumpang yang terbuat dari bahan andesit, dengan ukuran batu telur
pertama memiliki tinggi 45 cm dan garis tengah 23 cm. Lalu batu telur kedua memiliki
ukuran yang lebih kecil setinggi 32 cm dan garis tengahnya 25 cm. Sedangkan batu
lumpang masih terbenam dalam tanah, pada bagian atasnya terdapat lubang berbentuk
oval dengan garis tengah terpanjang 55 cm dan garis tengah terpendek 44 cm dengan
kedalaman lubang 27 cm. Situs ini berada pada daerah berlereng 8—15% (agak terjal),
dengan morfologi perbukitan bergelombang dan berlitologi kuarter muda (Qvs).
3.6. Situs Onje
Situs ini terletak pada keletakan astronomis 07°20'02″LS dan 109°22'04″BT
dengan ketinggian sekitar 100 m. Secara administratif terdapat di Desa Onje
Kecamatan Mrebet. Situs yang berupa punden berundak ini berada pada suatu tanah
yang agak tinggi dengan orientasi tenggara-barat laut yang kurang dari 100 m di
sebelah utara, barat, timur dan selatannya dikelilingi Kali Paingen dan Kali Tlahab,
yang merupakan pertemuan 2 kali kecil yang berasal dari arah barat dan selatan. Sekitar
200 m ke sebelah selatannya berbatasan dengan kuburan penduduk, sebelah timur
sekitar 300 m terdapat pemukiman penduduk, dan sebelah barat situs ini berbatasan
langsung dengan kuburan yang menggunakan batu sebagai nisan kubur. Batu-batu kini
sudah tertutupi oleh semak-semak yang sangat lebat, sehingga sukar diketahui berapa
luas dan jumlahnya. Situs ini berada pada wilayah kelerengan 2—8% (agak landai),
bermorfologi dataran dengan wilayah batuan fasis aluvium vulkanik (Qls).
Di situs ini terdapat tinggalan berupa batu dakon dengan ukuran panjang 68 cm,
lebar 56 cm, dan tebal 18 cm. Pada permukaannya terdapat 10 buah lubang yang tidak
sama ukurannnya, baik besar maupun dalamnya. Lubang yang besar mempunyai garis
tengah sekitar 16 cm, sedang lubang yang kecil bergaris sekitar 10 cm dengan
kedalaman lubang kira-kira 5 cm. Bahan batu yang terdapat di situs ini adalah batu
andesit.
Lalu sekitar 2 m, arah ke bawah batu dakon terdapat meja batu. Nama meja batu
ini diberikan oleh penduduk setempat untuk menyebut sebongkah batu andesit yang
mempunyai permukaan rata, sedangkan sisi-sisinya kasar. Batu ini berukuran panjang
kira-kira 75 cm dan lebar 60 cm. Letak kedua temuan tersebut seolah-olah membentuk
suatu tingkatan (Atmosudiro, 1980: 103).
Kurang dari 500 m ke arah utara dari situs punden dan batu dakon ini terdapat
sebuah arca. Arca ini berada di dekat jalan desa Onje menuju Desa Kraenan yang
sebelah utara berbatasan dengan rumah-rumah penduduk, sebelah selatan dengan jalan
desa dan rumah-rumah penduduk begitu juga sebelah barat dan timur dengan rumah-
rumah penduduk. Arca ini berada dalam struktur batu persegi dengan luas sekitar 3,5 x
3,5 m dengan tinggi sekitar 30 cm, dimana arca tersebut terdapat di sudut timurlaut
dengan menghadap ke selatan. Tempat dimana arca tersebut berada di atas susunan
batu dengan luas sekitar 50 x 50 cm, setinggi 12 cm. Arca tersebut memiliki ukuran
tinggi 63 cm, panjang 14 cm dan tebal 11 cm. Arah orientasi struktur ini menghadap
barat laut-tenggara.
3.7. Situs Brengkol
Situs ini terletak pada 07°17'21″ LS dan 109°19'01″BT dengan ketinggian
sekitar 425 m di atas permukaan laut, dengan wilayah kelerengan 15—25% (terjal),
bermorfologi perbukitan gelombang dengan daerah batuan kuarter muda (Qvs). Situs
ini berbatasan sebelah utara dengan kebun-kebun penduduk, sebelah selatan dengan
kebun-kebun penduduk, sebelah timur kebun dan sungai, sebelah barat kebun dan
sungai. Kurang dari 100 m ke sebelah utara dari situs ini tedapat sumber mata air yang
oleh penduduk setempat menamakan mata air “bacok”. Situs ini secara administratif
berada di Desa Pangalusan Kecamatan Mrebet. Tinggalannya berupa bangunan
berundak, lumpang batu, menhir, batu pipisan, dan yoni, penduduk menyebutnya
(kecuali yoni) sebagai candi kenteng, sedang yoni disebut watu pengilon (Simanjuntak
dkk, 1986: 30b).
Temuan yang ada pada situs di ini adalah sebuah sebuah temuan batu lumpang,
3 buah menhir dan satu yoni, yang di samping-sampingnya dikelilingi batu-batu kali
yang seolah sengaja disusun melingkar membentuk struktur dengan luas 2 m x 4 m.
Batu lumpang dan menhir terbuat dari batu andesit, batu lumpang berukuran tinggi 45
cm, lebar 53 cm dan panjang 59 cm ukuran lubang 18 cm x 13 cm dengan kedalaman
25 cm. Sedangkan batu menhir berturut-turut berukuran tinggi 40 cm, panjang 10 cm,
tebal 5 cm, tinggi 40 cm, panjang 10 cm, tebal 7 cm dan tinggi 40 cm, panjang 10 cm
tebal 5 cm. Ukuran yoni panjang sekitar 50 cm, tinggi 35 cm, lebar 25 cm.
Sekitar 50 m ke arah utara dari temuan di atas, terdapat gundukan tanah yang
meninggi yang kemungkinan merupakan bangunan berundak sesuai dengan laporan
sebelumnya yang memiliki arah orientasi barat laut-tenggara. Di bawah gundukan
terdapat batu lumpang II yang terbuat dari bahan andesit tinggi 40 cm, panjang 37 cm,
lebar 34 cm, dan lubang 18 cm x 20 cm dan kedalaman lubang 25 cm. Pada bagian
paling atas terdapat yoni II, berbahan batu andesit dengan ukuran panjang 102 cm,
lebar 102 cm, dan tinggi 94 cm. Sekitar 500 m dari situs ini ke arah timur terdapat situs
Grengenge.
3.8. Situs Pangubonan
Situs ini terletak secara astronomis berada pada 07°18'38″LS dan 109°19'05″BT
dengan ketinggian sekitar 320 m, daerah berlereng 15—25% (terjal), bermorfologi
perbukitan gelombang dan batuan kuarter muda (Qvs). Ke arah baratdaya lebih dari
100 m terdapat Kali Lembarang. Situs ini terletak secara administratif di Dukuh
Pangubonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet. Situs ini berada di lingkungan rumah
Bpk. Mintoharjo (selaku pemilik tanah di situs ini). Di situs ini selain terdapat temuan 3
buah lumpang, menhir dan batu bertulis. Temuan lumpang I berukuran tinggi 70 cm,
lebar 30 cm panjang 25 cm, dengan diameter lubang 6 cm x 6 cm, lumpang II
berukuran panjang 50 cm, lebar 33 cm, tinggi 15 cm, dan diameter lubang 26 cm x 7
cm, lumpang III berukuran tinggi 34 cm, lebar 26 cm, panjang 20 cm dan diameter
lubang 15 cm x 13cm.
Sekitar 30 m kearah barat terdapat temuan berupa batu “bertulis”, yang terdiri
dari 2 baris tulisan. Tulisan tersebut tidak begitu jelas, banyak goresan-goresan tangan
usil di sekitarnya. Hasil pembacaan baris pertama memperlihatkan bahwa huruf-
hurufnya merupakan huruf Jawa Kuna dan membacanya berbunyi
“Indrawardhayawiramadewa”. Sedangkan baris kedua belum terbaca (BPA No 42,
1986: 30a). Tidak jauh dari batu tulis tersebut terdapat temuan arca Ganesa yang
keadaannya sudah aus dengan tinggi 39 cm, lebar 30 cm, dan tebal 25 cm. Kini arca
tersebut disimpan di rumah Bpk. Mintohardjo.
3.9. Situs Serayukaranganyar
Situs ini terletak pada posisi 07°17'45″LS dan 109°20'11″BT dengan ketinggian
275 m. Secara administratif situs ini terletak di Desa Serayukaranganyar Kecamatan
Mrebet. Kurang dari 100 m ke arah utara situs ini terdapat kali kecil, yaitu Kali Tanjlik.
Situs ini berupa gundukan tanah yang meninggi. Sekitar 30 m ke barat terdapat SDN
Serayukaranganyar. Sebelah barat dari situs ini berbatasan dengan kebun-kebun dan
rumah-rumah penduduk, sebelah timur berbatasan dengan kebun dan kanal irigasi,
sebelah selatan berbatasan dengan kebun-kebun penduduk. Situs ini berada pada
wilayah kelerengan 15—25% (terjal), bermorfologi perbukitan gelombang dan batuan
kuarter muda (Qvs).
Temuan di situs ini dikelilingi batu-batu yang disusun seluas kira-kira 4 m x 5
m, dengan batu lumpang di bagian tengahnya. Batu lumpang memiliki ukuran panjang
53 cm, lebar 36 cm, dengan diameter panjang lubang 45 cm, diameter lebar lubang 25
cm, dan dalam lubang kira-kira 5 cm. Ke arah utara sekitar 1200 m situs ini terdapat
situs lumpang dan menhir Serayularangan.
Di situs ini terdapat batu lumpang dan menhir yang kondisinya sudah hampir
tidak dapat dikenali. Secara administratif situs ini masuk wilayah Desa Serayuserang,
Kecamatan Mrebet. Situs ini terletak pada 07°17'22″LS dan 109°19'58″BT dengan
ketinggian 310 m, daerah berlereng 15—25% (terjal), bermorfologi perbukitan
gelombang dan batuan bercorak kuarter muda (Qvs). Situs ini terdapat menhir dengan
ukuran tinggi 25 cm, panjang 40 cm, tebal 33 cm, pada kondisi sudah patah. Adapun
ukuran lumpang panjang 37 cm, lebar 48 cm, tinggi 10 cm dan terdapat 2 lubang
dengan diameter lubang yang terbesar 16 cm dan yang kecil 10 cm.
Di sebelah utaranya, situs ini berbatasan dengan jembatan irigasi dan jalan,
sebelah selatan berbatasan dengan jalan dan pekarangan penduduk, dan timur
berbatasan dengan sungai dan kebon penduduk. Kurang dari 100 m ke arah barat
terdapat sumber mata air yang mengalir, yang oleh penduduk setempat dinamakan mata
air “dandang”.
Situs Gerngenge
Situs ini terletak pada 07°17’23″LS dan 109°19'12″BT dengan ketinggian
sekitar 425 m, dengan wilayah kelerengan 15—25% (terjal). Situs ini terdapat di tanah
yang meninggi membentuk bukit kecil setinggi 20 m dari dataran tanah perkampungan
yang berlokasi di Dukuh Brengol, Desa Campakoah, Kecamatan Mrebet, dengan batas
utara adalah kebun dan pekarangan penduduk, sebelah selatan berbatasan dengan
rumah penduduk dan kebun, begitu juga sebelah barat dan timur berbatasan dengan
kebun-kebun dan pekarangan penduduk. Situs ini memiliki luas sekitar 50 m2. Situs ini
tertutup oleh pohon-pohon besar dan semak belukar, sehingga sulit ditentukan
bagaimana bentuk aslinya. Situs ini berada pada daerah morfologi perbukitan
gelombang dan batuan kuarter muda (Qvs).
Di situs ini terdapat temuan berupa menhir setinggi 50 cm, panjang 14 cm, lebar
10 cm. Terdapat Juga pula temuan berupa batu-batu yang disusun seperti altar seluas 5
m x 4 m. Situs ini dinamakan oleh penduduk dengan nama gerngenge, yang berarti ger
(dari kata geger=punggung) dan ngenge (dari kata srengenge=matahari). Jadi matahari
di balik punggung yang kemungkinan berorientasi timur-barat. Di sebelah timur sekitar
>100 m terdapat sumber mata air “sirah” (kepala) yang masih digunakan oleh
penduduk sekitar dengan menggunakan selang-selang yang dialirkan ke rumah-rumah.
3.12. Situs dan Bentuk Tinggalan Megalitik di Lereng Tenggara Gunung Slamet
Jumlah keseluruhan ada 11 situs megalitik yang disurvei. Berbagai bentuk-
bentuk tinggalan-tinggalan megalitik seperti menhir, lumpang, punden berundak, jalan
batu, meja batu, pagar batu, arca, dolmen, altar, batu dakon dan batu telur. Temuan
menhir banyak ditemukan di situs Bandingan berjumlah 8 buah, situs pamujan
berjumlah 4 buah, situs Brengkol 3 buah dan masing-masing sebuah terdapat di situs
Pangubonan, Gerngenge, Serayularangan, dan Serayukaranganyar.
Temuan lumpang sebanyak 9 buah terdapat di situs pangubonan berjumlah 3
buah, situs Brengkol berjumlah 2 buah, dan masing-masing sebuah terdapat di situs
Buara, Bataputih, Serayularangan, dan Serayukaranganyar. Tinggalan punden
berjumlah 3 buah masing-masing sebuah terdapat di situs Bandingan, Brengkol, dan
Onje. Tinggalan berupa jalan batu sebanyak 2 buah terdapat di situs Bandingan. Meja
batu terdapat di situs Bandingan, Gerngenge, dan Onje yang jumlah keseluruhannya 3
buah. Lalu tinggalan pagar batu terdapat di situs Buara sebuah, dan situs Brengkol
masing-masing sebuah.
Kemudian tinggalan sebuah arca ditemukan di situs Onje. Diikuti tinggalan batu
telur sebanyak 2 buah hanya di situs Bataputih. Lalu tinggalan dolmen, altar dan batu
dakon yang masing-masing sebuah terdapat di situs Glempang, Gerngenge dan Onje.
Ini berarti temuan menhir merupakan temuan yang terbanyak 21 buah, kemudian
diikuti temuan lumpang berjumlah 9 buah, masing-masing 3 buah temuan berupa
punden, meja batu dan pagar batu; 2 buah temuan jalan batu, dan batu telur; serta
masing-masing sebuah temuan arca, dolmen, altar, dan batu dakon.
Bab ini akan berisi tentang situs-situs megalitik yang dikaitkan dengan
lingkungan fisik setempat. Situs-situs megalitik di sub daerah hulu sungai Klawing di
Purbalingga atau tenggara gunung Slamet tercatat ada 11 situs yaitu di antaranya situs
Bandingan, situs Buara, situs Pamujan, situs Glempang, situs Bataputih, situs Onje,
situs Brengkol, situs Pangubonan, situs Serayukaranganyar, situs Serayularangan, dan
situs Gerngenge. Situs-situs tersebut diketahui secara lokasional lalu dikaitkan dengan
variabel-variabel lingkungan fisik yang kemudian ditumpang-susunkan dengan peta-
peta lingkungan fisik. Sesuai dengan pemilihan variabel-variabel lingkungan fisik
yang digunakan adalah: jarak dengan sumber air, kelerengan, ketinggian, dan batuan.
Kaitan antara situs-situs megalitik dengan variabel lingkungan fisik dapat terlihat
sebagai berikut:
4.1. Situs dan Sumber air
Berdasarkan pada jarak situs dengan sungai terdekat maka didapat jarak situs
dengan sumber air terdekat kurang dari 100 m (kategori dekat), jarak situs dengan
sumber air 100—200 m (sedang), sedangkan jarak situs dengan sumber air lebih dari
200 m (jauh).
Ada sekitar 9 situs dengan jarak ke sumber air kurang dari 100 m (cukup
dekat), yang terdiri dari situs Bandingan, Glempang, Bataputih, Onje, Brengkol,
Serayukaranganyar, dan Serayularangan yang kesemuanya terletak di daerah anak-anak
Sungai bagian hulu, yaitu anak sungai Kali Soso dan anak Kali Klawing.
Ada 3 situs dengan jarak lebih dari 200 m, yaitu situs Buara di daerah induk
kali, yaitu Kali Tungtunggunung, situs Pamujan dekat dengan induk kali, yaitu Kali
Klawing. Serta ada 2 situs cukup jauh dengan sumber air dengan jarak ke sumber air
antara 100—200 m (sedang), yaitu situs Pangubonan dan Gerngengge yang terletak di
daerah hulu Kali Soso.
Menurut klasifikasi Kartono dkk (1998: 62) dinyatakan bahwa suatu daerah
secara topografik dibagi berdasarkan ketinggian yang memperhitungkan suhu,
kelerengan, curah hujan, vegetasi, dan tata guna tanah yaitu ketinggian antara 0-7 m
(tanah datar dan rendah, banyak bentuk endapan), 7-25 m (tanah datar), 25-100 m
(permukaan cukup terecah, lereng banyak dan daerah datar terbatas), 100-500 m
(permukaan datar ada, tetapi tidak banyak), 500-1000 m (daerah peralihan menuju
terjal), dan lebih dari 1000 m (terjal, kelerengan 40%). Berdasarkan ketinggian situs-
situs megalitik di Purbalingga banyak terdapat di daerah ketinggian 95-760 m di atas
permukaan air laut.
Hasil tabel di atas menunjukan ada 9 situs berada pada ketinggian dengan
kategori terjal yaitu antara 100-500 m di atas permukaan laut. Ada sebuah situs yaitu
situs Onje yang berada pada ketinggian kurang dari 100 m, dan hanya situs Bandingan
yang berada pada kategori curam (lebih dari 500 m). Hal ini berarti banyak situs
megalitik pada daerah dengan kondisi permukaan datar ada, meskipun tidak banyak.
Situs dan Kelerengan
Berdasarkan hasil pengeplotan terhadap peta kelerengan, situs-situs megalitik di
Purbalingga berada pada kelerengan kelerengan antara 0-2% hingga lebih dari 40%.
Berdasarkan kelas lereng menurut Kartono dkk (1998: 91) situs-situs megalitik di
Purbalingga berada pada kelas lereng 0-2% (datar), 2-8% (agak landai), 8-15% (agak
terjal), 15-25% (terjal), dan lebih dari 40% (sangat curam).
Ada 6 situs megalitik di Purbalingga berada pada daerah dengan kelerengan 15-
25% yang termasuk dalam kategori terjal. 3 situs berada di kelerengan 2-8% atau agak
landai. Ada 2 buah situs berada di kelerengan 2-8% atau datar, masing-masing sebuah
situs pada daerah kelerengan 8-15% dan lebih dari 40%.
4.4. Situs dengan Geologi (batuan)
Berdasarkan persebarannya maka situs-situs megalitik di daerah Purbalingga
meliputi wilayah litologi meliputi (1) fasis aluvium vulkanik (Qls), (2) sedimentasi
Pliosen (Tmpk), (3) kuarter muda (Qvs), (4) aluvium (Qa), dan (5) fasis sedimentasi
Miosen (Tmph).
Dari tabel di atas menunjukan terdapat 8 situs dengan karakteristik wilayah
batuan Kuarter Muda (Qvs), yaitu situs Pamujan, Glempang, Bataputih, Brengkol,
Pangubonan, Serayukaranganyar, Serayularangan, dan Gerngenge. Pada daerah batuan
ini terbentang di daerah barat laut Purbalingga, dan kebanyakan situs-situs di atas
tersebar dalam wilayah ini.
Ada 2 situs yaitu situs Bandingan dan Buara yang berada pada wilayah batuan
fasis sedimentasi Miosen (Tmph) dan sebuah situs berada pada wilayah corak batuan
fasis aluvium vulkanik (Qls) situs Onje.
4.5. Situs dan Bentuk Medan
Berdasarkan bentuk medan, situs-situs megalitik di Purbalingga terdapat di
daerah yang berkategori perbukitan gelombang menempati bagian barat, utara,
timurlaut, dan bagian tengah wilayah kabupaten Purbalingga dengan cakupan wilayah
sekitar 35%. Ketinggian berkisar mulai 200—500 meter diatas permukaan laut dan
kemiringan lereng berkisar 15—40 %. Morfologi ini terbentuk oleh batuan sedimen
dan batuan gunungapi. Pola aliran sungai berbentuk dendritik, paralel dan rektangular
dengan lembah-lembah sungai berbentuk U yang menunjukkan sungai berstadium erosi
dewasa. Situs-situs dengan morfologi ini mencakup seluas 174,32 km2 yang meliputi
daerah administratif bagian utara daerah Kecamatan Bobotsari, Karanganyar, sebagian
kecamatan Kaligondang, Mrebet, dan sebagian dari Kecamatan Karangmoncol.
Hasil di atas menunjukan banyak situs-situs megalitik berada di daerah
perbukitan gelombang yaitu sebanyak 7 situs. Ada 3 situs megalitik yang termasuk
dalam kategori dataran yaitu Buara, Pamujan, Onje dan hanya sebuah situs yaitu situs
Bandingan yang masuk dalam kategori wilayah pegunungan.
Kaitan Situs Megalitik dan Lingkungan Fisik
Berdasarkan permasalahan yang diajukan yaitu faktor apa yang dapat
menjelaskan keberadaan situs-situs megalitik di sub DAS Klawing di Purbalingga atau
tepatnya bagian barat laut Purbalingga. Adalah Lingkungan fisik yang menjadi
variabel-variabel penelitian ini yaitu variabel jarak ke sumber air, ketinggian,
kelerengan, dan batuan dijadikan pertimbangannya.
Hasil di atas menunjukan situs-situs megalitik dan karakter lingkungan fisik 7
situs dengan jarak ke sumber air kurang dari 100 m (cukup dekat), yang terdiri dari
situs Bandingan, Glempang, Bataputih, Onje, Brengkol, Serayukaranganyar, dan
Serayularangan. 9 situs berada pada ketinggian dengan kategori terjal yaitu antara 100-
500 m di atas permukaan laut, daerah ini kondisi permukaan datar ada, meskipun tidak
banyak, yaitu diantaranya situs Buara, Glempang, Pamujan, Bataputih, Pangubonan,
Gerngenge, Brengkol, Serayularangan dan Serayukaranganyar. Ada 6 situs dengan
kelerengan 15-25% yaitu situs Glempang, situs Pangubonan, situs Gerngenge, situs
Brengkol, situs Serayularangan, dan situs Serayukaranganyar. Ada 8 situs dengan
karakteristik wilayah batuan kuarter muda (Qvs), yaitu situs Pamujan, Glempang,
Bataputih, Brengkol, Pangubonan, Serayukaranganyar, Serayularangan, dan
Gerngenge. Ada 7 situs berada di daerah bentuk medan perbukitan gelombang (pgl)
yaitu situs Glempang, Bataputih, Pangubonan, Gerngenge, Brengkol,
Serayukaranganyar, dan Serayularangan.
Berdasarkan hasil di atas dan pemerian Bab 3, dari 11 situs-situs megalitik yang
di survei, banyak ditemukan di Kecamatan Mrebet (7 situs), di Kecamatan Bobotsari
terdapat 2 situs, dan masing-masing sebuah pada kecamatan-kecamatan Karangjambu,
dan Karanganyar. Adapun temuan yang paling banyak adalah di Kecamatan Mrebet,
yaitu di situs-situs Bataputih, Pangubonan, Gerngenge, Brengkol, Onje,
Serayularangan, dan Serayukaranganyar adalah lumpang (8 buah), menhir (6 buah),
punden, meja batu, dan batu telur masing-masing 2 buah, dan masing-masing sebuah
arca, altar, batu dakon dan pagar batu.
Kelompok situs di Kecamatan Bobotsari, yaitu terdapat di situs Pamujan dan
Glempang ditemukan menhir (4 buah), dan sebuah dolmen. Di situs Bandingan
Karangjambu terdapat temuan menhir (8 buah), dan masing-masing sebuah punden,
lumpang, meja batu, dan pagar batu.
Dari hasil di atas menunjukan bahwa daerah sub DAS Klawing banyak terdapat
tinggalan megalitik berupa berturut-turut yaitu menhir, lumpang, punden, meja batu,
jalan batu, batu telur, pagar batu, arca, dolmen, altar dan batu dakon.
4.7. Bentuk-Bentuk Tinggalan Megalitik dan Karakteristik Situs
Dari hasil penelitian di atas, dapat diidentifikasi bahwa temuan menhir adalah
temuan yang terbanyak berjumlah 21 buah, diikuti lumpang sebanyak 9 buah, 3 buah
berupa punden dan meja batu, 2 buah berupa jalan batu, batu telur dan pagar batu, serta
masing-masing sebuah arca, dolmen, altar, dan batu dakon. Ada pun pemerian betuk-
bentuk tinggalan megalitik adalah sebagai berikut:
4Menhir
Berdasarkan hasil survei di sub DAS Klawing, temuan menhir sebanyak 21
buah. Berdasarkan konteks temuan, maka menhir dikelompokkan menjadi 2 yaitu (1)
menhir yang berada di situs pemujaan yang memiliki konteks dengan punden berundak,
lumpang, batu altar, dan batu dakon, (2) menhir yang digunakan sebagai penanda kubur
(3) menhir yang berada di lingkungan penduduk tidak memiliki konteks dengan
bangunan megalitik lain dan Menhir yang berada pada
konteks pemujaan berjumlah 17 buah. Sedangkan menhir yang berada di lingkungan
penduduk berjumlah 4 buah yang semuannya terdapat di situs Pamujan. Sedangkan
menhir sebagi penanda (nisan) kubur hanya ditemukan di situs Bandingan sebanyak 14
buah. Menurut Sukendar (1985: 7) berdasarkan konteksnya menhir berfungsi sebagai
tanda kubur dan media pemujaan. Menhir yang tidak memiliki konteks dengan temuan
lain tidak menunjukan fungsi yang jelas. Dalam pengertian umum biasanya menhir
dianggap berfungsi sebagai media untuk menghormati seorang tokoh, baik tokoh yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal.
. Lumpang Batu
Lumpang batu atau batu lumpang merupakan istilah lokal di Jawa “watu
lumpang” yang berupa sebuah megalit yang berlubang (bisa sebuah atau lebih), dengan
lubang berbentuk lingkaran (Soejono, 1993: 320-321).
Lumpang batu di daerah sub DAS Klawing terdapat berjumlah 9 buah, yang
terdapat di situs Buara, situs Bataputih, situs Pangubonan, situs Brengkol, situs
Serayularangan dan situs Serayukaranganyar. Kesemuanya berada dalam konteks
dengan temuan lain. Dalam konteks di Purbalingga, keletakan lumpang di situs Buara,
Brengkol, dan Serayukaranganyar berada di tengah bangunan pagar batu. Menurut hasil
penelitian Priyatno H.S. dkk (2000: 18-19) lumpang yang diberi pagar batu ini
berfungsi sebagai pelindung selain juga memiliki peranan yang penting bagi kehidupan
megalitik di Purbalingga. Penempatan lumpang sebagai obyek utama dari suatu
struktur batu menunjukan bahwa lumpang adalah benda sakral, yakni sebagai sarana
upacara pemujaan.
Punden Berundak
Punden berundak merupakan sebuah bangunan berundak-undak yang dataran
atasnya biasanya mengandung benda-benda megalitik atau makam seseorang yang
dikeramatkan dan berfungsi sebagai tempat upacara dalam menghubungkan dengan
pemujaan leluhur
Bangunan punden berundak di sub DAS Klawing Purbalingga sebanyak 3 buah
yaitu terdapat di situs Bandingan, situs Brengkol, dan situs Onje. Di daerah penelitian,
punden berundak semuannya memiliki teras persegi, berorientasi barat laut-tenggara
(kecuali situs Bandingan berorientasi utara-selatan) serta semuannya memiliki objek di
undakan teratas berupa menhir, lumpang, batu dakon, dan yoni (situs Brengkol).
Temuan-Temuan Lain
Temuan-temuan lain berupa 3 buah meja batu dan pagar batu. Temuan tersebut
juga berkonteks dengan temuan lainnya terdapat di situs Bandingan, situs Gerngenge,
dan situs Brengkol. Begitu juga temuan-temuan jalan batu sebanyak 2 buah di situs
Bandingan. Batu telur yang berjumlah 2 buah di situs Bataputih berkonteks dengan
temuan lumpang. Temuan-temuan lain seperti arca, dolmen, altar, batu dakon
semuannya berada dengan temuan-temuan lain, kecuali dolmen yang ditemukan di
situs Glempang. Selain temuan-temuan di atas terdapat juga temuan-temuan berupa
batu tegak sebagai penanda (nisan) kubur di situs Bandingan (14 buah) dan di situs
Onje.
Mengacu pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Priyatno H.S., dkk
(2000: 21-22) yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta diperoleh hasil bahwa
karakter situs-situs megalitik di Lereng Gunung Slamet Bagian Timur atau seluruh
Purbalingga berdasarkan jenis bangunannya, situs-situs megalitik dikelompokkan
menjadi 3 jenis, yaitu (1) kelompok situs penguburan, (2) kelompok situs pemujaan, (3)
kelompok situs campuran antara penguburan dan pemujaan.
Berdasarkan hasil pemerian situs di bab 3, menunjukan hasil bahwa situs-situs
megalitik di DAS Klawing Purbalingga atau di lereng tenggara Gunung Slamet hanya
menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan penguburan, situs pemujaan
dan situs-situs dengan objek tunggal. Di daerah penelitian ini tidak ada jenis situs
penguburan.
Situs-situs yang menunjukan karakter pemujaan dicirikan oleh bangunan atau
benda yang berfungsi sebagai sarana upacara pemujaan, antara lain jenis bangunan
berundak, altar, arca, lumpang batu, batu dakon, dan menhir. Bangunan pemujaan pada
umumnya berbentuk ruangan dengan ukuran tertentu dibatasi dengan oleh pagar batu
dan memiliki pintu pada salah satu sisinya. Di dalam bangunan pemujaan pada
umumnya terdapat salah satu atau beberapa bagian benda unsur pemujaan tersebut di
atas (Priyatno dkk, 2000: 21-22). Situs-situs yang menunjukan karakteristik ini terdapat
di situs Buara, Gerngenge, Brengkol, dan Serayukaranganyar.
Sedangkan karakter situs pemujaan dan penguburan ditunjukkan oleh gabungan
karakter pemujaan yang dicirikan oleh bangunan atau benda yang berfungsi sebagai
sarana upacara seperti berundak, altar, arca, lumpang batu, batu dakon, dan menhir
serta karakter penguburan berupa bangunan yang berfungsi sebagai tanda kubur yang
berupa struktur batu dan menhir. (Priyatno dkk, 2000: 21). Ini ditunjukkan di situs
Bandingan dan situs Onje.
Selain itu terdapat juga situs dengan objek tunggal (single objects) (Soejono,
1999: 73) yaitu situs-situs yang hanya terdiri dari baik satu batu besar maupun kecil, di
antaranya batu tegak (menhir), dolmen, batu lumpang, batu lesung, batu dakon dan
arca batu. Situs-situs di daerah penelitian yang menunjukan karakteristik ini adalah
situs Glempang, Pamujan, Serayularangan, Bataputih dan Pangubonan.
4.8. Kaitan Lingkungan Fisik dengan Kepercayaan Megalitik
berdasarkan tempat ditemukannya benda-
benda megalitik di dalam tradisi atau kebudayaan megalitik, arah suatu benda megalitik
sangat penting untuk diketahui. Mengenai budaya megalitik ini, terkait dengan konsep
religi. Religi yang diartikan sebagai segala sistem tingkah laku manusia untuk
mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan
kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang
menempati alam, dan yang mengontrol alam dan kehidupan manusia yang diikuti
dengan kepercayaan dan praktek
Berdasarkan pengertian di atas dan menurut hasil penelitian ini yang terkait
juga dengan karakter lingkungan fisik setempat, maka situs-situs megalitik di daerah
tenggara Gunung Slamet atau barat laut Purbalingga atau daerah sub DAS Klawing
adalah situs-situs dengan jarak ke sumber air kurang dari 100 m (7 situs), ketinggian
100-500 m (9 situs), kelerengan 15-25% (6 situs), batuan kuarter muda (Qvs) (8 situs)
dan bentuk medan perbukitan gelombang (Pgl) (7 situs). Situs-situs tersebut banyak
memiliki tinggalan menhir, lumpang dan punden berundak dengan karakter situs
pemujaan dan penguburan.
Mengacu pada pengertian umum, bahwa kebudayaan megalitik terlihat pada
keletakan batu-batu besar yang disusun teratur menurut suatu pola tertentu, yang
terutama di temukan di puncak-puncak bukit dengan orientasi timur-barat atau
menghadap ke gunung. Orientasi timur-barat merupakan konsep yang disejajarkan
dengan perjalanan matahari yang melambangkan kehidupan dan kematian
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik berdasarkan kepercayaan akan
adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan adanya
pengaruh kuat dari yang mati terhadap kesejahteraan warga dan kesuburan tanah
(Soejono 1993: 205) disertai juga dengan mempertimbangkan variabel lingkungan
fisik setempat seperti jarak ke sumber air, ketinggian, kelerengan, batuan (geologi), dan
bentuk medan menjadi faktor dalam peletakannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan keterkaitan antara situs dan lingkungan fisik
setempat. Situs-situs megalitik di daerah tenggara Gunung Slamet atau barat laut
Purbalingga atau daerah sub DAS Klawing adalah situs-situs dengan jarak ke sumber
air kurang dari 100 m (7 situs), ketinggian 100-500 m (9 situs), kelerengan 15-25% (6
situs), batuan kuarter muda (Qvs) (8 situs) dan bentuk medan perbukitan gelombang
(Pgl) (7 situs). Situs-situs tersebut banyak memiliki tinggalan menhir, lumpang dan
punden berundak, meja batu, pagar batu, jalan batu dan batu telur.
Situs-situs megalitik di DAS Klawing Purbalingga atau di lereng tenggara
Gunung Slamet hanya menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan
penguburan, situs pemujaan dan situs-situs dengan objek tunggal. Di daerah penelitian
ini tidak ada jenis situs penguburan. Situs-situs yang menunjukan karakteristik
pemujaan ini terdapat di situs Buara, Gerngenge, Brengkol, dan Serayukaranganyar.
Situs-situs yang menunjukan ciri pemujaan dan penguburan terdapat di situs situs
Bandingan dan situs Onje. Sedangkan situs-situs di daerah penelitian yang
menunjukan karakteristik situs objek tunggal adalah situs Glempang, Pamujan,
Serayularangan, Bataputih dan Pangubonan.
Hasil penyimpulan dari pengolahan data menunjukkan kaitan situs-situs
megalitik di sub DAS klawing Purbalingga, Jawa Tengah dengan pertimbangan dalam
peletakannya terhadap aspek lingkungan fisik setempat, seperti faktor kedekatan
dengan sumber air (DAS), ketinggian dan kelerengan, geologi (batuan), dan bentuk
medan. Selain faktor lingkungan, ternyata faktor religi juga mempengaruhi dalam
bentuk dan karakteristik situs.
Bisa saja terdapat penyangkalan sebaliknya bahwa tidak ada hubungan tertentu
antara sebaran situs-situs megalitik dengan variabel-variabel jarak ke sumber air,
kelerengan, geologi, dan ketinggian tempat dan bentuk medan serta faktor religi yang
mempengaruhinya. Penyangkalan terhadap peletakan-peletakan, bentuk-bentuk serta
karakteristik tinggalan megalitik bisa saja dilihat berdasarkan pertimbangan lain untuk
melihat suatu kebudayaan megalitik dengan sudut pandang lain di Indonesia pada
umumnya dan di Purbalingga khususnya.