• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ksatria penjaga majapahit 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ksatria penjaga majapahit 1. Tampilkan semua postingan

ksatria penjaga majapahit 1

  



PARA KSATRIA PENJAGA MAJAPAHIT 

Karya Ki Arief “Sandikala” Sujana 

HARI itu adalah dua hari sesudah  hari raya manis Galungan 

di ujung barat Jawadwipa. 

Matahari pagi bersinar begitu cerah, memutihkan udara langit 

diatas Sungai Cisadane ketika dua ekor elang muda melintas jauh 

ke ujung batas pandang di bawah lengkung langit biru terang. 

Dua orang pemuda menatap air sungai yang hijau jernih diatas 

sebuah perahu sampan didayung dua orang prajurit muda 

melawan arah arus air menuju hulu Sungai Cisadane. 

“Perjalanan panjang menuju arah jalan pulang”, berkata 

seorang pemuda kepada kawannya diatas perahu sampan itu. 

“Pangeran dapat selalu mencari arah jalan pulang, sementara 

aku setiap saat selalu mencari ujung perjalananku yang tidak 

pernah sampai”, berkata kawannya masih menatap riak air 

sungai jernih di ujung kayu dayung seorang prajurit muda. 

Siapakah dua orang muda diatas perahu sampan itu yang 

tengah didayungi oleh dua orang prajurit muda itu? 

Kedua anak muda diatas sampan itu adalah Pangeran 

Jayanagara dan Gajahmada yang baru saja meninggalkan 

Kotaraja Rakata. 

Sudah hampir dua kali Hari Raya Galungan mereka berada di 

Istana Rakata. Berat hati Gajahmada harus meninggalkan Istana 

Rakata, berpisah dengan kakeknya Raja Pulau Api dan ayah 

kandungnya sendiri, Pendeta Darmayasa. 

“Aku begitu yakin bahwa di dalam dirimu telah bersemayam 

jiwa seekor raja elang perkasa yang akan menemukan sarangnya 

di puncak tebing tinggi. Pergilah wahai elangku, jadilah penguasa 

samudera menyatukan nusa dan daratan yang terpisah lautan, 

lengkingmu akan terus bergema sepanjang masa”, berkata Raja 

Pulau Api kepada Gajahmada ketika melepasnya pergi 

meninggalkan istana Rakata. 

“Wahai putraku, bawalah bersamamu segenggam tanah 

Rakata ini, agar kamu selalu ingat bahwa disinilah darah 

dagingmu berasal, di atas tanah terapung ada dan kadang 

menghilang. Janganlah bersedih manakala kamu tidak melihat 

lagi Gunung Api Rakata berdiri diatas selat sunda ini, sebab  

tanah Rakata telah kamu bawa, telah kamu simpan bersama hati 

dan kerinduan kami”, berkata Pendeta Darmayasa kepada 

putranya, Gajahmada. Ketika melepasnya meninggalkan istana 

Rakata bersama Pangeran Jayanagara. 

Sementara itu, perahu sampan yang dinaiki oleh Gajahmada 

dan Pangeran Jayanagara terlihat sudah mendekati dermaga 

Pangkalan Jati. Sebuah dermaga di tepian Sungai Cisadane yang 

biasa di gunakan para pedagang memulai pelayaran mereka ke 

berbagai tempat hingga ke ujung muaranya. 

“Terima kasih telah mengantar kami”, berkata Pangeran 

Jayanagara dan Gajahmada bersamaan sambil melompat ke atas 

dermaga kayu kepada dua orang prajurit muda yang mengantar 

mereka menyusuri Sungai Cisadane itu. 

“Kami akan merindukan tuan-tuan”, berkata salah seorang 

prajurit muda itu kepada mereka berdua. 

Terlihat Gajahmada dan Jayanagara melambaikan tangannya 

kepada dua orang prajurit muda itu diatas sampan perahu 

mereka yang terus bergerak meluncur mengikuti air Sungai 

Cisadane menuju muara. 

Mata Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih tetap 

memandang perahu sampan dan kedua prajurit itu sampai tidak 

terlihat lagi menghilang di ujung sebuah tikungan sungai yang 

dirimbuni rumpun bambu memenuhi tepian Sungai Cisadane. 

Matahari merangkak perlahan kearah puncaknya, namun 

sinarnya terhalang kerimbunan rumpun bambu diatas tanah yang 

menaik curam, terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara 

berjalan mendaki menjauhi dermaga Pangkalan Jati itu. 

Demikianlah, mereka berdua terlihat berjalan menyusuri arah 

hulu Sungai Cisadane lewat jalan darat. Sungai Cisadane yang 

luas itu terlihat seperti seekor naga besar tengah merayap di 

bawah dua buah tebing perbukitan. 

Jalan tanah keras yang tengah dilalui oleh Gajahmada dan 

Pangeran Jayanagara adalah jalan tanah keras di sebuah 

perbukitan menuju hutan Rumpin. Mereka kadang bertemu 

bersisipan jalan dengan beberapa orang pedagang yang berjalan 

secara berkelompok. 

sesudah  gerombolan Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi yang 

telah ditumpas habis, jalan perdagangan dari pedalaman menuju 

arah pesisir barat Jawadwipa nampaknya telah menjadi jalan 

yang aman. Namun bukan berarti para perampok sudah tidak ada 

lagi, mereka adalah orang-orang pemalas yang melihat 

kesempatan. Berbekal ilmu kanuragan dan sedikit kekebalan 

mereka menghimpun kawan menjadi para perampok kambuhan. 

Namun ada beberapa pedagang yang pandai mencoba berdamai 

dengan mereka, memberikan sebuah upeti agar barang dagangan 

mereka aman. Jadilah para perampok ini sebagai raja-raja kecil 

menguasai beberapa tempat dan daerah di sepanjang jalan 

perdagangan itu. 

Teduh dan sepi manakala mereka mulai memasuki daerah 

hutan Rumpin. 

Suara kicau burung memenuhi suasana udara hutan Rumpin 

ketika kedua anak muda ksatria Majapahit itu semakin memasuki 

hutan lebat itu. 

“Suara pertempuran”, berkata Gajahmada kepada Pangeran 

Jayanagara manakala mereka mendengar suara denting senjata 

dan teriakan orang-orang yang tengah bertempur. 

Ternyata dugaan mereka tidak meleset, kedua anak muda itu 

telah melihat sebuah pertempuran di hutan Rumpin itu. 

“Nampaknya dua kelompok perampok memperebutkan 

wilayah”, berkata Pangeran Jayanagara menilai dua kelompok 

yang tengah bertarung itu, melihat sikap kasar sebagian besar 

orang-orang yang tengah bertempur itu. 

“Aku ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka”, berkata 

Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara sambil terus melangkah 

mendekati arah pertempuran itu. 

Terlihat Gajahmada perlahan melepas cambuk pendek yang 

melingkar di pinggangnya. 

Gelegar !!! 

Gelegar !!! 

Gelegar !!! 

Tiga kali Gajahmada menghentakkan cambuk pendeknya 

dengan sentakan sendal pancing. 

Suara itu benar-benar memekakkan telinga siapapun yang 

mendengarnya. Juga semua orang yang tengah bertempur itu.  

Suara gelegar cambuk pendek Gajahmada telah menghentikan 

pertempuran, orang-orang itu seperti terkejut dan segera 

melompat mengambil jarak dengan lawan masing-masing. 

Gajahmada melihat sekitar dua puluh orang dari dua 

kelompok yang tengah bertempur itu seketika berhenti 

bertempur, arah pandang mereka semua tertuju kepada dirinya. 

“Kalian telah berbuat onar di wilayah kekuasaanku”, berkata 

Gajahmada dengan wajah dan suara keren penuh wibawa. 

“Siapa kamu mengaku-ngaku sebagai penguasa wilayah hutan 

ini?”, berkata salah seorang diantara mereka. 

“Ketika Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi masih hidup, 

kalian bersembunyi. Ketika kedua orang itu mati, kalian keluar 

seperti tikus-tikus pengecut keluar dari lubang persembunyian”, 

berkata Gajahmada sambil bertolak pinggang. 

Mendengar perkataan Gajahmada yang menyebut nama Ki 

Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi, semua orang nampaknya 

membenarkan, dan nama kedua orang itu memang masih 

membekas di hati mereka, terutama kekejamannya yang tidak 

mengenal ampun. 

Namun salah seorang diantara mereka nampaknya punya 

kebencian tersendiri, merasa muak dengan nama Ki Guntur Geni 

dan Ki Guntur Bumi terdengar ditelinganya. 

“Jangan sebut nama itu lagi dihadapanku, atau mulutmu 

kusumpal dengan golok ini”, berkata salah seorang diantara 

mereka maju beberapa langkah mendekati Gajahmada dengan 

sikap mengancam. 

“Benar Ki Badra, kita habisi satu orang ini, baru kita 

selesaikan kembali urusan kita”, berkata seorang dari kelompok 

lain yang berseberangan dengan kelompok orang yang dipanggil 

dengan nama Ki Badra itu. 

“Mari mendekatlah, kalian akan tahu bahwa aku lebih kejam 

dari pada Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi”, berkata 

Gajahmada dengan sikap menantang. 

“Habisi anak muda sombong ini!!”, berteriak Ki Badra sambil 

menunjuk ke arah Gajahmada. 

Teriakan Ki Badra itu telah menggerakkan dua puluh orang 

melangkah langsung mengepung Gajahmada dengan golok 

panjang terangkat keatas, siap mencincang tubuh Gajahmada. 

Namun Gajahmada telah bergerak lebih dulu mendahului 

gerakan mereka. 

Gerakan Gajahmada begitu cepat, mata orang biasa tidak 

dapat mengikutinya. 

Hanya dengan sekerdipan mata saja, semua orang yang 

hendak mencincang Gajahmada beramai-ramai itu terlihat 

tercengang merasakan tangan mereka tergetar panas dan dengan 

terpaksa melepas golok panjang dari genggaman tangan mereka, 

membiarkannya jatuh ke tanah. 

Ternyata Gajahmada dengan gerakan yang sangat begitu cepat 

telah melecut satu persatu golok di tangan mereka melambari 

cambuknya dengan sedikit tenaga sakti sejatinya. 

Belum habis rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja Gajahmada 

telah bergerak dengan sangat cepat sekali mendekati Ki Badra. 

Gerakan itu begitu cepat membuat Ki Badra tidak sempat berbuat 

apapun, hanya tersadar merasakan lehernya tertarik dengan kuat 

oleh libatan cambuk Gajahmada membuat orang itu terseret 

dengan tali cambuk yang masih melibat batang lehernya. Seketika 

Ki Badra merasakan nafasnya tersengal. Terlihat tangan kuat 

Gajahmada sudah berada di belakang leher Ki Badra yang tidak 

berani berbuat apapun, takut dengan sekali hentakan nyawanya 

lepas melayang. 

“Dengar oleh kalian, aku lebih kejam dari Ki Guntur Geni dan 

Ki Guntur Bumi. Namun perlu kalian ketahui bahwa kawanku itu 

bahkan lebih kejam dariku”, berkata Gajahmada dengan suara 

lantang. 

Kaget juga Pangeran Jayanagara bahwa dirinya tiba-tiba saja 

dilibatkan, namun Pangeran Jayanagara yang tidak jauh berdiri 

dari Gajahmada sudah dapat mengerti keinginan kawannya itu 

dengan langsung bersikap garang layaknya seorang perampok 

berhati bengis dan kejam. 

“Hari ini nyawamu ku ampuni”, berkata Gajahmada sambil 

mendorong tubuh Ki Badra yang masih terjerat oleh cambuknya 

itu. 

Maka dorongan itu telah membuat tubuh Ki Badra terjerumus 

kedepan dan berguling di tanah kotor. 

Semua orang yang mengenal Ki Badra sebagai Jawara nomor 

satu diantara mereka seperti tidak percaya dengan apa yang 

mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Ki Badra di 

hadapan anak muda itu seperti sebatang bambu kering yang tidak 

berdaya. 

“Sebarkan kepada siapapun bahwa mulai hari ini wilayah 

hutan Rumpin ini adalah milik sepasang rampok bercambuk 

Guntur, itulah nama panggilan kami. Dan kami tidak ingin 

berbagi dengan siapapun, dengan perampok manapun. Pergilah 

kalian, hari ini kami masih bermurah hati tidak ingin membunuh 

tikus-tikus seperti kalian”, berkata Gajahmada dengan wajah 

begitu angker, layaknya seorang perampok sungguhan yang 

berhati kejam biasa membunuh nyawa manusia tanpa berkedip 

sedikit pun. 

Tanpa menunggu apapun, para perampok yang tengah berebut 

wilayah kekuasaan itu pun telah bergeser menjauh pergi dari 

pandangan dan penglihatan Gajahmada. 

 

“Sepasang rampok bercambuk Guntur, sebuah nama yang 

hebat”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada 

manakala sudah tidak terlihat siapapun orang di hutan itu. 

“Sangat kejam dan angker terdengar, terutama oleh tikus-tikus 

sawah”, berkata Gajahmada tersenyum. 

“Setidaknya telah membuat para perampok gentar untuk 

mendatangi wilayah sekitar hutan Rumpin ini”, berkata Pangeran 

Jayanagara memuji cara Gajahmada membuat jera para 

perampok. 

“Semoga wilayah hutan Rumpin ini aman untuk sementara 

waktu”, berkata Gajahmada. 

Terlihat mereka berdua telah berjalan kembali, melanjutkan 

perjalanan mereka yang tertunda masuk ke hutan Rumpin lebih 

kedalam lagi. 

Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara terus 

berjalan keluar masuk hutan, mendaki perbukitan dan lembah 

gunung, melewati banyak padukuhan di beberapa tempat. Orang-

orang melihat mereka hanya sebagai dua anak muda pengembara 

biasa, tidak ada yang mengetahui bahwa salah satu dari anak 

muda itu adalah seorang putra mahkota Majapahit. 

sesudah  menempuh perjalanan yang cukup panjang itu, 

akhirnya mereka berdua telah mendekati kaki Gunung 

Galunggung. 

Matahari belum terjatuh rebah di barat bumi manakala 

mereka berdua telah berada di Padepokan Prabu Guru 

Darmasiksa. Prabu Guru Darmasiksa menyambut mereka berdua 

dengan perasaan penuh suka cita. 

“Terima kasih telah membawa kembali sarung Kujang 

Pangeran Muncang”, berkata Prabu Guru Darmasiksa manakala 

menerima sarung Kujang Pangeran Muncang dari tangan 

Gajahmada. 

Dan mereka pun saling bercerita selama perpisahan diantara 

mereka selama itu. 

Kepada Prabu Guru Darmasiksa, mereka menyampaikan 

rencana mereka berdua untuk kembali ke Majapahit. 

“Beristirahatlah kalian di sini dua tiga hari, kalian baru saja 

tiba dari sebuah perjalanan yang sangat melelahkan”, berkata 

Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran 

Jayanagara. 

Demikianlah, mereka berdua mengikuti permintaan Prabu 

Guru Darmasiksa untuk beristirahat sekitar dua hari di 

Padepokan yang teduh dan asri itu. 

Namun dua hari bagi Gajahmada adalah sebuah waktu yang 

sangat panjang, selama di padepokan itu wajah Andini seperti 

kadang hadir tengah berjalan di atas halaman muka Padepokan 

dengan senyumnya. Terbayang kembali hari-hari dalam 

kebersamaan mereka saat menuju Rawa Rontek, juga saat selama 

mereka berdua di rumah kediaman Patih Anggara. 

“Cinta dan angan-angan ini adalah sebuah penjara hati, aku 

harus keluar membebaskan diriku”, berkata Gajahmada dalam 

hati mencoba meredam perasannya sendiri. 

Dan pagi itu langit diatas lereng Gunung Galunggung begitu 

pekat berselimut kabut tebal, sebagai sebuah pertanda bahwa 

hari itu akan menjadi begitu cerah tanpa hujan. 

Terlihat dua orang cantrik tengah menyiapkan dua ekor kuda 

di depan halaman padepokan Prabu Guru Darmasiksa. 

“Kami di Tanah Pasundan ini akan merindukan kalian 

berdua”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mengantar Gajahmada 

dan Pangeran Jayanagara yang telah menuruni anak tangga 

pendapa Padepokan menuju halaman mendekati kuda-kuda 

mereka yang telah dipersiapkan itu. 

Langit pagi diatas Padepokan Prabu Guru Darmasiksa begitu 

teduh manakala sekumpulan awan tertiup angin menutupi 

matahari pagi. 

“Kami akan merindukan kalian semua”, berkata Gajahmada 

dan Pangeran Jayanagara sambil melambaikan tangan mereka 

berdua kepada para cantrik dan Prabu Guru Darmasiksa yang 

mengantar mereka berdua keluar dari regol pintu gerbang 

Padepokan. 

Prabu Guru Darmasiksa dan para cantrik masih terus 

memandang Gajahmada dan Pangeran Jayanagara diatas 

kudanya hingga tak terlihat lagi menghilang di ujung jalan yang 

menurun. 

“Mari kita berpacu”, berkata Pangeran Jayanagara ketika 

dihadapannya terlihat padang ilalang terhampar luas di jalan 

yang menurun. 

“Aku akan mengejarmu”, berkata Gajahmada manakala telah 

melihat Pangeran Jayanagara telah memacu kudanya 

mendahuluinya. 

Terlihat dua ekor kuda telah terpacu berlari membelah padang 

ilalang di bawah langit pagi yang cerah. 

Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara seperti 

dua ekor elang muda yang akan kembali menuju tanah merdeka, 

tanah Majapahit yang telah lama mereka tinggalkan selama ini. 

Sorot dan sinar mata mereka terlihat begitu jernih dan tajam 

memandang kedepan sebagai pertanda kematangan jiwa dan 

kepercayaan diri yang tinggi. Dua orang muda yang telah 

memiliki tataran kesaktian yang tinggi di jamannya, seusia muda 

mereka yang mungkin akan masih terus berkembang lagi. 

sesudah  menempuh perjalanan sehari semalam, akhirnya 

langkah kedua kuda mereka telah membawa mereka sampai di 

bandar Muara Jati. 

“Selamat bertemu kembali Ki Gedeng Tirta”, berkata 

Gajahmada kepada seorang tua yang ditemuinya di sebuah 

rumah tidak jauh dari bandar Muara Jati. 

“Senang bertemu dengan angger berdua”, berkata orang tua 

itu yang dipanggil sebagai Ki Gedeng Tirta itu yang masih ingat 

kepada mereka berdua. 

“Ternyata daya ingat Ki Gedeng Tirta masih sangat tajam”, 

berkata Pangeran Jayanagara kepada Ki Gedeng Tirta. 

“Siapa yang lupa dengan cucu buyut junjunganku sendiri”, 

berkata Ki Gedeng Tirta sambil tersenyum. 

Kepada Ki Gedeng Tirta, mereka berdua menyampaikan 

rencana mereka untuk kembali ke Majapahit. 

“Anger berdua sangat beruntung, perhitunganku nanti malam 

akan berlabuh jung Majapahit yang datang dari Tanah Melayu”, 

berkata Ki Gedeng Tirta kepada mereka berdua. 

Demikianlah, mereka berdua beristirahat di rumah Ki Gedeng 

Tirta sambil menunggu kedatangan Jung Majapahit yang datang 

dari Tanah Melayu. 

Ternyata perhitungan Ki Gedeng Tirta sebagai seorang 

Syahbandar di Muara Jati itu tidak jauh meleset. Malam itu Jung 

Majapahit memang telah datang merapat di Bandar Muara Jati. 

“Mereka akan membongkar sedikit muatan di sini, besok 

malam Jung Majapahit akan melanjutkan pelayarannya kembali”, 

berkata Ki Gedeng Tirta kepada Gajahmada dan Pangeran 

Jayanagara di rumahnya memberi kabar tentang kedatangan 

Jung Majapahit itu. 

Ketika pagi harinya, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara 

bersama Ki Gedeng Tirta datang ke Bandar pelabuhan Muara Jati 

untuk sekedar melihat-lihat keadaan di sana. 

Bukan main gembira hati mereka manakala mengetahui 

bahwa Rakyan Argalanang, seorang pejabat Majapahit yang 

mengurusi perdagangan Majapahit ada bersama Jung besar itu. 

“Pangeran sudah menjadi seorang pemuda”, berkata Rakyan 

Argalanang kepada Pangeran Jayanagara. ”Dan kamu pasti 

adalah Mahesa Muksa, putra Patih Mahesa Amping sahabatku”, 

berkata kembali Rakyan Argalanang dengan penuh gembiranya 

dapat bertemu kedua anak muda itu di Bandar Muara Jati. 

Kepada Ki Gedeng Tirta, Rakyan Argalanang bercerita bahwa 

dirinyalah yang telah membawa Pangeran Jayanagara dari Tanah 

Melayu menemui ayahnya Baginda Sanggrama Wijaya yang saat 

itu tengah berjuang melawan penguasa Kediri. 

“Baginda Sanggrama Wijaya telah memintaku untuk 

mengantar putranya ini mengungsi ke Balidwipa yang 

selanjutnya bersama keluarga istana Singasari kami mengungsi 

ke tempat jauh, di Tanah Wangi-wangi”, bercerita Rakyan 

Argalanang mengenang masa-masa perjuangan mereka dahulu. 

“Sebelum Majapahit berdiri seperti sekarang ini, pastilah 

kalian orang-orang muda yang punya semangat dan cita-cita yang 

hebat”, berkata Ki Gedeng Tirta kepada Rakyan Argalanang. 

Demikianlah, ketika hari berganti menjelang malam terlihat 

Jung Majapahit telah menjauhi dermaga Bandar Muara Jati 

melanjutkan pelayarannya. 

Sepanjang malam, Rakyan Argalanang diatas pelayarannya 

banyak bercerita kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara 

tentang petualangan dirinya bersama Baginda Sanggrama 

Wijaya, Mahesa Amping dan Ranggalawe di Tanah Melayu dan 

beberapa tempat lainnya. Sebuah cerita yang selama ini tidak 

pernah mereka dengar. 

“Petualangan para ksatria Majapahit”, berkata Gajahmada 

sangat tertarik dengan cerita itu. 

Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran ikut berlayar bersama 

jung Majapahit menyusuri Jawadwipa sebelah utara yang singgah 

di beberapa bandar pelabuhan pada saat itu seperti Bandar 

Pragota, juga pantai Rembang dan Tuban. 

“Mengapa paman tidak menjumpai Adipati Ranggalawe?”, 

berkata Pangeran Jayanagara kepada Rakyan Argalanang 

manakala Jung Majapahit tengah bergeser menjauhi pantai 

Tuban. 

“Pamanmu ini pernah menemuinya ketika Jung Majapahit ini 

merapat di Tuban. Namun sahabatku itu sudah sangat berbeda 

jauh, menerimaku tidak sebagai seorang sahabat lagi. Pamanmu 

tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Sejak saat itu pamanmu 

ini tidak lagi ada keinginan datang menjumpainya”, berkata 

Rakyan Argalanang bercerita tentang sikap Ranggalawe 

kepadanya. 

Tidak terasa, Jung Majapahit telah semakin menjauhi pantai 

Tuban meluncur membelah laut malam. Sementara itu hati 

Gajahmada sudah seperti terbang di Kotaraja Majapahit. Sebuah 

tempat yang sudah seperti begitu lama di tinggalkan, dimana 

disana ada ibu kandungnya yang mungkin juga tengah 

merindukannya. 

“Sedang apa gerangan saat ini kamu wahai ibundaku?”, 

berkata Gajahmada dalam hati sambil memandang wajah bulan 

yang terpotong terhalang awan hitam di malam itu. 

Sementara itu tujuh tiang kayu penyangga kain layar kadang 

berdenyit menahan angin barat yang berhembus kuat dan penuh 

mendorong Jung terbesar di jamannya saat itu terus meluncur 

membelah ombak laut malam meninggalkan garis buih putih 

yang panjang. 

Akhirnya, manakala langit malam perlahan berubah warna 

kemerahan, Jung Majapahit telah mendekati Tanah Ujung Galuh. 

“Turunkan layar!!”, terdengar suara teriakan lantang dari atas 

anjungan. 

Terlihat beberapa orang pelaut Majapahit menaiki tangga tali 

tiang layar. Nampaknya mereka sudah begitu terbiasa dan sangat 

mahir sekali naik dan berjalan diantara tali temali itu. 

“Pamanmu melihat kalian berdua seperti tidak sabar berharap 

segera sampai merapat di Bandar Tanah Ujung Galuh”, berkata 

Rakyan Argalanang kepada kedua anak muda itu yang tengah 

berdiri di lambung Jung Majapahit. 

Mendengar perkataan Rakyan Argalanang, terlihat kedua anak 

muda itu saling berpandangan sambil tersenyum, merasa telik 

Rakyan Argalanang atas perasaan mereka berdua tidak meleset 

jauh. 

“Bila melihat kalian berdua, pamanmu jadi teringat kepada 

Patih Mahesa Amping dan Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, 

berkata Rakyan Argalanang. 

“Apa yang paman lihat dari kami berdua?”, bertanya 

Gajahmada. 

“Persahabatan kalian, seperti persahabatan mereka berdua”, 

berkata Rakyan Argalanang menjawab pertanyaan Gajahmada 

kepadanya. 

Pagi itu, jung Majapahit telah merapat di Tanah Ujung Galuh. 

“Kita berpisah disini”, berkata Gajahmada di depan sebuah 

barak prajurit. 

“Salam untuk ibumu”, berkata Pangeran Jayanagara sambil 

terus melangkah menuju istana yang sudah tidak begitu jauh lagi. 

Terlihat Gajahmada telah memasuki barak prajurit itu, sebuah 

barak pasukan khusus para prajurit wanita dimana Nyi Nariratih 

dipercaya sebagai pimpinan tertinggi pasukan khusus itu. 

“Putraku!!”, berkata Nyi Nariratih sambil menghampiri dan 

memeluk putranya itu. 

Penuh kegembiraan kedua ibu dan anak itu sesudah  berpisah 

cukup lama saling bercerita. 

“Jadi kamu telah bertemu muka dengan ayahmu sendiri?”, 

berkata Nyi Nariratih penuh kegembiraan manakala Gajahmada 

telah bercerita tentang ayahnya. 

“Ayah pula yang telah memercikkan air suci, mengembalikan 

nama asliku, Gajahmada”, berkata Gajahmada. 

Bukan main gembiranya Nyi Nariratih mendengar itu. 

“Doaku ternyata dipenuhi oleh Gusti yang Maha Agung, 

namamu telah dipuput oleh ayahmu sendiri”, berkata Nyi 

Nariratih dengan wajah penuh tangis suka cita mendengar semua 

cerita putranya selama dalam pengembaraan di Tanah Pasundan. 

Dengan berat hati, Gajahmada bercerita juga tentang Pendeta 

Gunakara kepada ibundanya. 

“Orang tua itu telah begitu penuh kasih menjadi 

pembimbingmu selama ini”, berkata Nyi Nariratih mengenang 

Pendeta Gunakara sejak Gajahmada masih dalam pangkuannya. 

“Pekan lalu, Kakang Putu Risang mu, telah kembali ke 

Balidwipa untuk menjadi pemimpin Padepokan Pamecutan yang 

dibangun oleh Patih Mahesa Amping dan Empu Dangka”, berkata 

Nyi Nariratih bercerita tentang kembalinya Putu Risang ke tanah 

asalnya di Balidwipa. 

“Bila saja Kediri tidak jauh, mungkin aku sudah berlari hari ini 

menemui ayah angkatku itu”, berkata Gajahmada kepada 

ibundanya. 

“Kediri memang jauh, namun ayah angkatmu itu sudah tiga 

hari ini berada di istana Majapahit”, berkata Nyi Nariratih. 

“Benarkah yang ibunda katakan?”, berkata Gajahmada 

berharap ibundanya tidak tengah bercanda. 

“Aku tidak bercanda, temuilah segera Tuan Patih Mahesa 

Amping di istana”, berkata Nyi Nariratih kepada Gajahmada. 

“Putramu akan menemuinya”, berkata Gajahmada yang masih 

rindu kepada ibunya itu berkemas dan pamit diri untuk menemui 

Patih Mahesa Amping di istana. 

Matahari di atas Kotaraja Majapahit sudah bergeser dari 

puncaknya, manakala Gajahmada tengah melangkahkan kakinya 

memasuki gerbang pintu istana. 

“Aku ingin bertemu dengan Patih Mahesa Amping, dimana 

aku dapat menemuinya?”, bertanya Gajahmada kepada seorang 

prajurit penjaga yang juga telah mengenalnya dengan baik. 

“Aku akan mengantarmu, sahabat”, berkata prajurit itu kepada 

Gajahmada. 

Demikianlah, prajurit itu telah membawa Gajahmada ke 

sebuah pura khusus untuk para tamu agung bermalam di istana 

Majapahit. 

Bukan main gembiranya Patih Mahesa Amping manakala 

melihat Gajahmada datang menemuinya. 

“Baru tadi pagi, aku mendapatkan tentang kedatangan kamu 

dan Pangeran Jayanagara dari Tanah Pasundan, kupikir baru 

besok kamu datang menemuiku”, berkata Patih Mahesa Amping 

kepada Gajahmada. 

Dan mereka pun saling bercerita selama banyak waktu selama 

mereka saling berpisah. 

“Berbahagialah bahwa kamu telah dipertemukan dengan ayah 

kandungmu sendiri, dan berbahagialah kalian, Prabu Guru 

Darmasiksa telah mewariskan ilmu adi luhung itu kepada kalian”, 

berkata Patih Mahesa Amping ketika mendengar cerita 

Gajahmada tentang pengembaraannya di tanah Pasundan. 

“Kapan ayahanda kembali ke Kediri?”, bertanya Gajahmada 

kepada Patih Mahesa Amping. 

Patih Mahesa Amping tidak langsung menjawab. Sebagai 

seorang yang telah lama mengenal ayah angkatnya itu, 

Gajahmada dapat melihat bahwa Patih Mahesa Amping 

nampaknya tengah menghadapi sebuah masalah besar. Wajah 

lelaki yang selalu riang itu dilihat oleh Gajahmada seperti 

terhalang sebuah kabut yang mengganggu keceriaan hatinya. 

“Apakah putramu boleh mengetahui apa yang tengah 

mengganjal hati dan pikiran ayahandaku?”, bertanya Gajahmada 

kepada ayah angkatnya itu. 

“Aku memang tengah mencari seseorang untuk berbagi, wahai 

putraku”, berkata Patih Mahesa Amping penuh senyum 

memandang Gajahmada bukan lagi sebagai seorang anak kecil, 

tapi seorang pemuda dewasa. 

“Aku putramu, siap mendengarnya wahai ayahandaku”, 

berkata Gajahmada. 

“Aku mempercayakan dirimu, wahai putraku”, berkata Patih 

Mahesa Amping sambil mengeluarkan sebuah gulungan rontal 

dari balik pakaiannya. ”Rontal ini adalah surat tangan 

Ranggalawe kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Untuk 

inilah aku dipanggil datang di istana Majapahit ini. Kupercaya 

dirimu untuk ikut membacanya, wahai putraku”, berkata Patih 

Mahesa Amping sambil memberikan gulungan rontal itu kepada 

Gajahmada. 

Terlihat Gajahmada menerima gulungan rontal itu, 

membacanya kata demi kata. 

Isi gulungan rontal yang tengah di baca oleh Gajahmada isinya 

adalah seperti ini : 

“Kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya, junjungan 

dan sahabatku. 

Masih ingatkah tuan tentang sebuah cerita seekor anak 

harimau yang terluka, tersisih dari lingkungannya? 

Ayahku telah datang menyelamatkan harimau itu, 

membesarkannya agar dapat kembali mengenal padang 

perburuannya. 

Ayahku telah datang kepadaku, tidak mempermasalahkan 

tentang jabatan Patih Amangkubumi di Majapahit, tidak 

mempermasalahkan tentang patih di Daha, ayahku juga 

tidak meminta separuh kekuasaan sebagaimana janji yang 

pernah tuan berikan kepadanya. 

Ayahku hanya meminta tuan untuk memberikan 

kekuasaan daerah Tuban kepadaku, sedikit dari separuh 

kekuasaan Majapahit yang besar ini. 

Dari Ranggalawe, putra Arya Wiraraja.” 

Demikian Gajahmada membaca dalam hati sebuah rontal yang 

ternyata dari Ranggalawe untuk Baginda Raja Sanggrama Wijaya. 

“Wahai putraku, Baginda Raja telah berbagi hati tentang surat 

ini kepadaku. Dan aku telah berbagi hati kepadamu. Inilah 

tentang sebuah perasaan hati kebimbangan manakala lawan kita 

adalah sahabat sendiri. Aku, Baginda Raja dan Ranggalawe 

seperti tiga jariku ini, begitu dekat”, berkata Patih Mahesa 

Amping kepada Gajahmada. 

Terlihat Gajahmada terdiam, teringat akan cerita Rakyan 

Argalanang ketika mereka merapat di Bandar pelabuhan Tuban. 

“Putramu pernah singgah di Bandar pelabuhan Tuban dalam 

pelayaran pulang”, berkata Gajahmada. 

“Tuban adalah sebuah daerah yang kecil, namun melepas 

kekuasaan Tuban sama artinya menutup pintu Majapahit, yang 

akan dapat mati secara perlahan sebab  Tuban ibarat sebuah 

batang leher dari Majapahit ini. Itulah yang ada dalam pikiran 

ayah Ranggalawe, pemikir ulung, ahli siasat perang yang tidak 

ada duanya di dunia ini, Adipati Sunginep, Arya Wiraraja”, 

berkata Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada. 

Kembali Gajahmada terlihat terdiam, nampaknya tengah 

merenungi arti sebuah persahabatan dan kekuasaan. 

“Tuan Jayakatwang selalu berkata kepadaku, tidak ada 

pertemanan abadi dalam kancah kekuasaan”, berkata Gajahmada 

seperti berbicara kepada dirinya sendiri. 

“Kamu benar wahai putraku, persahabatan harus di pisahkan 

dari kekuasaan”, berkata Patih Mahesa Amping seperti 

menemukan sebuah jawaban dari perkataan Gajahmada itu. 

Tidak terasa matahari diatas istana Majapahit telah terlihat 

bergeser mendekati ujung barat cakrawala. Sementara itu terlihat 

dua orang prajurit pengawal berjalan memasuki pura 

peristirahatan Patih Mahesa Amping. 

“Nampaknya Baginda Raja memerlukanku”, berkata Patih 

Mahesa Amping ketika melihat dua orang prajurit pengawal itu 

mendekati pendapa pura. ”Datanglah besok pagi menemuiku 

disini”, berkata kembali Patih Mahesa Amping sambil berdiri. 

Terlihat Gajahmada ikut berdiri mengantar Patih Mahesa 

Amping yang telah menuruni anak tangga pura, dan melihat 

lelaki gagah itu telah berjalan diiringi dua orang prajurit 

pengawal istana yang akan mengantarnya menemui Baginda Raja 

Sanggrama Wijaya. 

Gajahmada masih melihat ayah angkatnya itu di ujung sebuah 

lorong jalan istana dan menghilang di sebuah tikungan jalan. 

“Seorang ksatria penjaga Majapahit yang setia”, berkata 

Gajahmada dalam hati begitu bangga kepada ayah angkatnya itu 

yang begitu setia, menyerahkan segala hati, pikiran dan juga 

jiwanya bagi kerajaan Majapahit. 

Matahari putih, awan putih dan langit putih meneduhi 

langkah kaki Gajahmada berjalan di Kotaraja Majapahit yang 

sudah terlihat mulai sepi itu, hari telah berada di ujung senja. 

Pura pasanggrahan Jayakatwang terletak di sebuah bukit kecil 

di Tanah Ujung Galuh, di sanalah langkah kaki Gajahmada 

tertuju. 

“Selamat datang kembali wahai putraku”, berkata 

Jayakatwang di pura pasanggrahannya menyambut kedatangan 

Gajahmada. 

sesudah  menyampaikan keselamatan masing-masing, mereka 

berdua saling bercerita beberapa peristiwa selama perpisahan 

diantara mereka. 

Namun manakala mereka asyik bercerita berbagai peristiwa, 

muncul dari ruang dalam Nyimas Turukbali bersama dua orang 

gadis mengiringi dibelakangnya. 

“Ternyata pahlawan hatiku telah kembali pulang”, berkata 

Nyimas Turukbali menyambut kehadiran Gajahmada yang sudah 

dianggap sebagai putranya sendiri. 

“Wahai dua orang gadis jelita, mengapa masih berdiri 

mematung?”, berkata Jayakatwang menggoda dua orang gadis 

yang masih berdiri canggung penuh malu. 

“Mari duduk bersama kami, bibimu akan memperkenalkan 

kalian kepada Gajahmada”, berkata Nyimas Turukbali meminta 

kedua gadis itu duduk bersama mereka di pendapa pura. 

Mendengar perkataan Nyimas Turukbali, Terlihat kedua gadis 

itu ikut duduk bersama mereka. 

Gajahmada memandang kedua gadis jelita itu yang juga 

tengah memandangnya dengan sebuah senyum tersungging 

penuh malu dari keduanya. 

“Dua gadis manis yang tengah berkembang”, berkata 

Gajahmada dalam hati 

“Yang manis selalu tersenyum itu adalah Dyah Gajatri. 

Sementara di sebelahnya adalah adiknya bernama Dyah Wiyat. 

Mereka berdua adalah kemenakanku sendiri, putri kandung 

Baginda Raja Sanggrama Wijaya,” berkata Nyimas Turukbali 

memperkenalkan kepada Gajahmada. “Ibunya Ratu Gajatri telah 

mempercayakan mereka tinggal bersama kami”, berkata kembali 

Nyimas Turukbali kepada Gajahmada. 

“Ketika di istana, aku tidak pernah melihat kalian berdua”, 

berkata Gajahmada yang merasa heran tidak pernah melihat 

kedua gadis manis itu. 

“Di Istana Majapahit sudah tentu mereka berdua dipingit tidak 

boleh kemana-mana keluar dari pura keputrian”, berkata Nyimas 

Turukbali menjelaskan. 

Demikianlah, perjumpaan mereka di pura Jayakatwang itu 

dilanjutkan dengan perjamuan makan malam. 

Terlihat Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat sudah mulai tidak 

canggung lagi berhadapan dengan Gajahmada. Ternyata aslinya 

mereka adalah dua gadis yang sangat periang. Dan malam di 

pendapa pura Jayakatwang menjadi penuh canda ceria diantara 

mereka. 

“Aku sudah merasa tidak sepi lagi tinggal di pura ini”, berkata 

Nyimas Turukbali. 

“Aku juga telah mendapat teman berbincang lagi”, berkata 

pula Jayakatwang. 

“Tidak terasa, hari sudah larut malam”, berkata Nyimas 

Turukbali mengingatkan semuanya untuk segera beristirahat. 

Dan malam pun terlihat bergelayut dengan suara sepi denging 

malam, dengan suara daun dan batang cabang pohon yang 

bergesek ditiup angin, juga debur ombak malam pantai Tanah 

Ujung Galuh seperti suara nyanyian gending mengalun sepanjang 

malam, mengantar tidur hati yang telah letih, terlelap dan 

tertidur di peraduan mimpi. 

Hingga akhirnya sang pagi datang memenuhi janjinya, diawali 

dengan suara sayup ayam jantan bersahutan hingga terdengar 

semakin dekat dan begitu jelas dari sebuah padukuhan sebelah. 

Dan pagi itu Gajahmada telah merasa berada di rumahnya 

sendiri, sesudah  melewati sebuah pengembaraan yang panjang di 

Tanah Pasundan. 

“Patih Mahesa Amping telah meminta aku untuk menemuinya 

di istana”, berkata Gajahmada kepada Jayakatwang ketika 

mereka bersama menikmati sarapan pagi di pendapa pura. 

“Tingkat ilmu kepandaian Patih Mahesa Amping sudah begitu 

tinggi, berbahagialah Majapahit ini mempunyai seorang Patih 

seperti dirinya”, berkata Jayakatwang. 

“Kesetiaan seorang sahabat”, berkata Gajahmada. 

Akhirnya ketika pagi sudah menjadi terang tanah, Gajahmada 

berpamit diri untuk berangkat ke istana Majapahit bertemu 

dengan Patih Mahesa Amping. 

Ketika Gajahmada tengah memasuki halaman pura 

peristirahatan Patih Mahesa Amping, ternyata di pendapa pura 

sudah ada tamu lain. 

“Senang melihatmu kembali, wahai anak muda”, berkata 

seorang tua yang tidak lain adalah Ki Sandikala, sang Patih 

Mangkubumi adanya yang mempunyai nama asli sebagai Empu 

Nambi. 

“Semoga kedatangan hamba tidak mengganggu kunjungan 

tuan Patih Mangkubumi”, berkata Gajahmada penuh hormat 

kepada orang tua itu yang sudah dikenalnya dari kecil di tanah 

pengungsian, di Balidwipa dan di Tanah Wangi-wangi. 

“Justru aku datang untuk menemuimu”, berkata Patih 

Mangkubumi dengan wajah penuh senyum keramahan yang 

selalu menghiasi dirinya. 

“Menemui hamba?”, balik bertanya Gajahmada. 

“Aku akan menjelaskan kepadamu”, berkata Patih Mahesa 

Amping kepada Gajahmada. 

Terlihat Gajahmada bergeser duduknya, mencoba menyimak 

apa gerangan yang akan disampaikan oleh dua orang paling 

dihormati di Majapahit itu. 

“Kemarin, kami berdua telah berbincang banyak dengan 

Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, berkata Patih Mahesa Amping 

memulai penjelasannya kepada Gajahmada. ”Perbincangan kami 

menyangkut perihal daerah Tuban dan Adipati Ranggalawe”, 

berkata kembali Patih Mahesa Amping melanjutkan. 

Terlihat Patih Mahesa Amping diam sejenak, memberi 

kesempatan Gajahmada menunggu pembicaran selanjutnya. 

“Kami bertiga telah sepakat untuk menjadikan daerah Tuban 

sebagai sebuah daerah yang memerlukan sebuah pengawasan

khusus”, berkata Patih Mahesa Amping melanjutkan 

penjelasannya. 

Kembali Patih Mahesa Amping terdiam sejenak, memberikan 

kesempatan Gajahmada mengerti dengan jelas apa yang telah 

disampaikannya itu. 

“Untuk selanjutnya, biarlah Patih Mangkubumi menjelaskan 

kepadamu”, berkata Patih Mahesa Amping kepada Patih 

Mangkubumi. 

“Kami perlu seseorang yang dapat dipercaya mengawasi gerak-

gerik daerah Tuban. Dan kami telah menemukan orang itu. 

Kamulah Gajahmada yang kami anggap patut melaksanakan 

pengawasan khusus itu”, berkata langsung Patih Mangkubumi 

kepada Gajahmada. 

“Hamba siap melaksanakan tugas ini, semoga hamba tidak 

mengecewakan kepercayaan yang telah di letakkan di pundak 

hamba ini”, berkata Gajahmada dengan wajah penuh semangat. 

“Namun sebaiknya kamu berangkat sesudah  upacara 

penobatan Pangeran Jayanagara menjadi Raja muda di Kediri”, 

berkata patih Mahesa Amping kepada Gajahmada. 

“Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda di Kediri?” berkata 

Gajahmada penuh tanda tanya. 

“Sudah lama istana Kediri kosong tanpa seorang pun mengisi 

tahta singgasananya”, berkata Patih Mahesa Amping. 

“Sebagai seorang putra Mahkota Kerajaan Majapahit, sudah 

waktunya Pangeran Jayanagara belajar mengendalikan sebuah 

kerajaan, dimulai dari kerajaan Kediri”, berkata Patih 

Mangkubumi menambahkan. 

“Aku akan selalu berada disampingnya”, berkata Patih Mahesa 

Amping sambil tersenyum seakan dapat membaca arah pikiran 

Gajahmada tentang Pangeran Jayanagara. 

“Pada saatnya kami akan tua dan mati, aku menjadi yakin 

bahwa dirimu adalah salah satunya yang akan menggantikan 

kami, menjaga kerajaan ini tetap terus berkibar, bahkan lebih 

berkembang dan meluas dari sekarang ini”, berkata Patih 

Mangkubumi kepada Gajahmada. 

“hamba bangga telah mengenal tuan Patih Mangkubumi, 

seorang empu yang mempunyai pengikut besar di Jawadwipa dan 

Balidwipa ini. Namun tuan telah melepas semua itu, hanya untuk 

sebuah kesetiaan. Sebagaimana ayahandaku, patih Mahesa 

Amping yang telah meninggalkan istana Tanah Melayu, juga 

demi sebuah kesetiaan. Ijinkan hamba, Gajahmada bersumpah 

untuk meninggalkan segala kesenangan sendiri, hanya mengabdi 

kepada sebuah kesetiaan Kerajaan gula kelapa ini”, berkata 

Gajahmada merasa terharu melihat dua orang terhormat di 

hadapannya yang telah mengorbankan diri dan masa depannya 

untuk sebuah kesetiaan. 

Dan seperti kemarin, terlihat dua orang prajurit pengawal Raja 

telah terlihat memasuki halaman pura. 

“Masih ada sepekan ini untuk kita saling bertemu, sebelum 

upacara penobatan Pangeran Jayanagara”, berkata Patih Mahesa 

Amping sambil berdiri kepada Gajahmada. 

Ternyata kedua prajurit pengawal itu memang ditugaskan oleh 

Baginda Raja untuk memanggil kedua orang kepercayaannya itu, 

Patih Mahesa Amping dan Patih Mangkubumi. 

Gajahmada ikut berdiri mengantar keduanya menuruni anak 

tangga pendapa pura. 

Dengan pandangan matanya, Gajahmada mengikuti langkah 

mereka berdua yang di kawal oleh dua orang prajurit pengawal 

yang akhirnya tidak terlihat lagi, menghilang di sebuah tikungan 

jalan lorong istana. 

“Aku akan ke sanggar istana”, berkata Gajahmada dalam hati.  

Namun sebelum ke sanggar istana, terlihat Gajahmada 

melangkahkan kakinya ke pura kasatrian untuk menemui 

Pangeran Jayanagara. 

“Selamat atas rencana penobatanmu sebagai Raja muda di 

Kediri”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara yang 

telah ditemuinya. 

“Telingamu begitu tajam, mengetahui segala apapun di istana 

ini”, berkata Pangeran Jayanagara. 

“Patih Mahesa Amping yang memberitahukannya kepadaku”, 

berkata Gajahmada. 

Terlihat kedua anak muda itu telah berjalan menuju arah 

sanggar istana. 

“Apakah Pangeran ada perasaan rindu kepada Kakang Putu 

Risang?” berkata Gajahmada ketika mereka telah memasuki 

ruang dalam sanggar istana. 

“Benar-benar merindukannya”, berkata Pangeran Jayanagara. 

“Aku juga sangat merindukannya”, berkata pula Gajahmada 

menyampaikan perasaan hatinya. 

“Kakang Putu Risang selalu menemani kita disini”, berkata 

kembali Pangeran Jayanagara sambil memandang kearah 

tonggak-tonggak dan balok perintang kayu keseimbangan. 

“Dia pula yang mengajari kita menggunakan berbagai jenis 

senjata”, berkata Gajahmada sambil memandang ke arah tempat 

rak senjata dari berbagai jenis. 

“Kenangan yang indah”, berkata Pangeran Jayanagara sambil 

berdiri menghadap sebuah tonggak kayu yang berjajar dari 

rendah sampai tinggi. 

Terlihat Pangeran Jayanagara seperti menarik nafas dalam-

dalam.  

Ternyata dirinya tengah bersiap diri untuk melakukan sebuah 

latihan rintangan dan keseimbangan. 

Hup !!! 

Pangeran Jayanagara telah melompat di sebuah tonggak kayu 

dan hinggap berdiri hanya dengan sebuah kaki. 

Perlahan Pangeran Jayanagara terus melompat dari satu 

tonggak kayu ke tonggak kayu lainnya dan berjalan dengan 

keseimbangan penuh diatas sebuah titian bambu. 

Gerakan Pangeran Jayanagara terlihat begitu lincah dan 

cekatan. 

Akhirnya, Pangeran Jayanagara telah menerapkan tenaga 

sejati dirinya, maka gerakannya menjadi terlihat begitu cepat 

bahkan hanya terlihat seperti bayangan yang melesat kesana 

kemari. 

Melihat apa yang dilakukan oleh Pangeran Jayanagara, 

ternyata telah membuat Gajahmada tertarik untuk melakukan 

yang sama. 

Terlihat Gajahmada sudah langsung seperti terbang hinggap di 

sebuah tonggak kayu dan langsung melesat mendekati arah 

Pangeran Jayanagara seperti tengah mengejarnya. 

Maka, di dalam ruang sanggar kedua anak muda itu seperti 

tengah bermain, menguji kecepatan gerak mereka seperti ingin 

mengatakan, “Lihatlah wahai kakang Putu Risang, aku sudah 

bukan anak kecil lagi”, begitulah mereka berdua melepas rasa 

rindu mereka kepada guru mereka yang kini sudah sangat jauh di 

Balidwipa. 

Bila saja ada orang yang tidak sengaja masuk ke sanggar istana 

itu, pasti akan menyangka ada dua siluman terbang, sebab  

keduanya sudah terlihat seperti dua bayangan yang melesat 

begitu cepat. 

sesudah  merasa bosan dengan apa yang telah mereka berdua 

lakukan di sanggar istana itu, melesat dan hinggap dari satu 

tonggak kayu ke tonggak lainnya. Maka mereka pun terlihat telah 

turun dan berhenti bersama. 

“Aku ingin kembali pulang”, berkata Gajahmada kepada 

Pangeran Jayanagara 

“Hari belum mendekati sore, atau sebab  di Pura Jayakatwang 

ada dua bunga yang semerbak mulai berkembang?”, berkata 

Pangeran Jayanagara mulai menggoda. 

“Tidak ada hubungannya dengan dua gadis itu, aku ingin cepat 

pulang sebab  Ki Sabah hari ini sakit, tidak ada yang menyiapkan 

kayu bakar untuk perapian”, berkata Gajahmada kepada 

Jayanagara. 

“Bila kamu tidak ingin mendekati mereka, biarlah aku yang 

akan mendekatinya”, berkata Pangeran Jayanagara. 

“Pangeran adalah saudara tiri mereka, adat dan aturan 

manapun melarangnya”, berkata Gajahmada. 

“Kamu benar, tapi menurutku mereka memang sangat cantik 

rupawan”, berkata Pangeran Jayanagara. 

“Benar Pangeran, mereka memang cantik rupawan seperti 

bunga yang baru mekar”, berkata Gajahmada dengan polos dan 

jujur. 

“Nah, apa kataku, kamu ternyata sudah tertarik kepada 

mereka”, berkata Pangeran Jayanagara kembali menggoda. 

“Aku hanya ingin berkata sejujurnya”, berkata Gajahmada 

sambil tersenyum tidak dapat mengelak lagi bahwa dirinya 

memang mengagumi kedua gadis itu, Dyah Gajatri dan Dyah 

Wiyat. 

Demikianlah, Pangeran Jayanagara akhirnya tidak dapat 

mencegah keinginan Gajahmada untuk kembali ke Pura 

Jayakatwang. 

Sebagaimana yang dikatakan kepada Pangeran Jayanagara, 

hari itu seorang pelayan yang bernama Ki Sabah memang tengah 

sakit dan tidak bisa bekerja. Maka ketika sampai di Pura 

Jayakatwang, terlihat Gajahmada sudah langsung ke belakang 

Pura untuk menyiapkan kayu untuk perapian. 

Ketika Gajahmada tengah bekerja membelah kayu menjadi 

lebih kecil, terlihat dua orang gadis tengah melangkah 

mendekatinya. 

“Bolehkah kami ikut membantu?”, berkata salah seorang dari 

gadis itu yang lebih tua umurnya yang ternyata adalah Dyah 

Gajatri. 

“Tidak perlu, nanti telapak tanganmu jadi keras seperti tukang 

panggul di bandar pelabuhan”, berkata Gajahmada sambil 

menghentikan kerjanya dan memandang kedua gadis itu. 

“Bukankah ibundamu sendiri adalah seorang pemimpin 

prajurit wanita di Kerajaan Majapahit ini?”, berkata Dyah Gajatri 

kepada Gajahmada. 

Mendengar perkataan Dyah Gajatri telah membuat 

Gajahmada berpikir untuk membenarkannya. 

“Tuan putri benar, ibu hamba memang seorang prajurit 

wanita, sudah terbiasa menggunakan berbagai macam senjata. 

Tapi bila boleh jujur hamba katakan bahwa hamba lebih 

menyukai ibu hamba di rumah memegang jarum sulam 

merangkai hiasan diatas jarik”, berkata Gajahmada kepada Dyah 

Gajatri. 

“Wanita tidak lebih dari sebuah hiasan di mata seorang lelaki”, 

berkata Dyah Gajatri sambil mencibirkan bibir mungilnya 

menjadi terlihat begitu manis. 

Dan tidak sengaja Gajahmada menikmatinya, dan tidak 

sengaja berujar, “wanita memang seperti kembang mekar 

penghias taman bunga”. 

“Aku akan membuktikan bahwa wanita tidak hanya menjadi 

hiasan di taman bunga istana, tapi wanita dapat juga menjadi 

seorang Raja, memerintah kaum lelaki”, berkata Dyah Gajatri 

dengan penuh semangat. 

Terkejut Gajahmada mendengar ucapan Dyah Gajatri, namun 

dihadapan dua gadis ini tidak ingin berseteru panjang, apalagi 

berbicara tentang perbedaan antara lelaki dan wanita. 

“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, apapun kehendak 

yang Maha Agung dapat saja terjadi”, berkata Gajahmada seperti 

ingin menuntaskan pembicaraan tentang perbedaan itu. 

“Jadi, apakah kami sudah dapat membantu membelah kayu?”, 

berkata Dyah Gajatri sambil tersenyum. 

“Tanggung, sudah tinggal sedikit lagi yang belum dibelah”, 

berkata Gajahmada sambil tertawa. 

“Katakan saja bahwa kamu memang tidak ingin kami 

membantumu”, berkata Dyah Gajatri sambil menggandeng 

tangan adiknya pergi melangkah. 

Terlihat Gajahmada mencoba mencuri pandang langkah kaki 

mereka. Diam-diam menilai sikap gadis yang bernama Dyah 

Gajatri sebagai seorang wanita yang sangat tegas, tidak canggung 

untuk menyampaikan sebuah pendapatnya, meski usianya 

terhitung masih begitu belia. 

“Gadis itu nampaknya telah mewarisi sifat kepemimpinan 

ayahnya, Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, berkata Gajahmada 

dalam hati. 

Dan ketika wajah senja mulai redup berganti malam, 

Gajahmada melihat suasana di pringgitan menjadi lebih hangat 

dengan kehadiran kedua gadis itu. 

Waktu itu, Gajahmada dan Jayakatwang tengah berbincang-

bincang di pendapa, Nyimas Turukbali, Dyah Gajatri dan Dyah 

Wiyat datang ikut bergabung di pendapa pura. 

“Apakah harus bibimu yang mengatakannya kepada 

Gajahmada?”, berkata Nyimas Turukbali sambil memandang 

kearah dua anak gadis itu. 

Terlihat kedua gadis itu mengangguk penuh malu kepada 

Nyimas Turukbali. 

Sementara itu, Gajahmada dan Jayakatwang terlihat 

mengerutkan keningnya sebagai tanda tidak mengerti ada 

keperluan apakah dari mereka bertiga. 

“Gajahmada”, berkata Nyimas Turukbali kepada Gajahmada 

sambil tersenyum dan diam sebentar sambil menoleh kearah dua 

gadis itu, semakin membuat hati Gajahmada semakin bertanya-

tanya. 

“Dengarlah”, berkata kembali Nyimas Turukbali kepada 

Gajahmada. “kedua keponakanku ini meminta dirimu untuk 

membimbingnya dalam berlatih olah kanuragan”, berkata 

Nyimas Turukbali kepada Gajahmada. 

Gajahmada tidak langsung menjawab, terlihat tersenyum 

memandang kearah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat. Gajahmada 

melihat kedua gadis itu seperti penuh harap menunggu jawaban 

darinya. 

“Hamba bersedia menjadi pembimbing mereka”, berkata 

Gajahmada kepada Nyimas Turukbali sambil tersenyum. 

Mendengar kesediaan dari Gajahmada, terlihat kedua gadis itu 

seperti tengah menarik nafas lega. 

“Bergembiralah wahai Gajahmada, ada dua orang putri Raja 

meminta bimbingan darimu”, berkata Jayakatwang menggoda. 

“Namun salah satu dari mereka nampaknya masih meragukan, 

apakah dirimu dapat menjadi seorang pembimbing yang layak, 

bukankah begitu Gajatri?”, berkata kembali Jayakatwang sambil 

memandang kearah Dyah Gajatri. 

Mendengar perkataan Jayakatwang ditujukan langsung 

kepada dirinya, telah membuat Dyah Gajatri tersenyum, pikirnya 

bahwa pamannya ini sudah dapat membaca jalan pikirannya. 

“Bukan maksudku meragukan kakang Gajahmada, tapi aku 

hanya ingin meyakinkan saja”, berkata Dyah Gajatri kepada 

Jayakatwang. 

“Kamu dengar sendiri, wahai anak muda?, sang putri 

meragukan dirimu”, berkata Jayakatwang sambil tertawa kepada 

Gajahmada.  

“Tunggu apa lagi, lekas kalian berdua turun ke halaman”, 

berkata kembali Jayakatwang sambil menepuk bahu Gajahmada. 

“Ternyata untuk menjadi seorang pembimbing putri Raja, 

harus melewati sebuah ujian”, berkata Gajahmada sambil berdiri 

tersenyum. 

Terlihat Gajahmada telah melangkahkan kakinya menuruni 

anak tangga pendapa diikuti oleh Dyah Gajatri. 

Jayakatwang, Nyimas Turukbali dan Dyah Wiyat telah melihat 

Gajahmada dan Dyah Gajatri sudah saling berhadapan di 

halaman depan pendapa. 

“Hamba sudah siap tuan putri”, berkata Gajahmada kepada 

Dyah Gajatri. 

Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Dyah Gajatri telah 

bersiap diri untuk memulai sebuah serangan pertamanya. 

Demikianlah, sejak malam itu hampir di setiap awal senja 

terlihat Gajahmada tengah membimbing dua putri Majapahit, 

Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat. 

Dan hubungan mereka bertiga akhirnya sudah menjadi begitu 

dekat, kadang mereka terlihat tengah berjalan bersama di jalan 

Kotaraja Majapahit. 

Gajahmada masih juga menyempatkan diri bertemu dengan 

ibunya, pemimpin tertinggi pasukan prajurit wanita. Gajahmada 

juga masih sering datang ke istana menemui Pangeran 

Jayanagara. 

Namun ada satu hal yang membuat Gajahmada merasa sangat 

penasaran sekali, bahwa dirinya tidak pernah sekalipun bertemu 

dengan Ratu Gayatri, ibu kandung dari Dyah Gajatri dan Dyah 

Wiyat. 

Diam-diam Gajahmada mulai mencari tahu ada apa dengan 

Ratu Gayatri itu, putri bungsu Raja Singasari terakhir, Raja 

Kertanegara. 

Berkat kedekatannya dengan beberapa abdi dalem istana 

Majapahit, akhirnya Gajahmada telah mengetahui sebuah rahasia 

yang tidak banyak orang umum mengetahuinya, hanya beberapa 

orang terdekat dari Ratu Gayatri sendiri. 

Ternyata Ratu Gayatri telah mengasingkan diri menjadi 

seorang Bhiksuni. Sementara dimana beliau mengungsi, tidak 

seorang pun dapat mengetahuinya. Yang diketahui oleh 

Gajahmada bahwa beberapa prajurit dan abdi dalem istana telah 

berangkat bersamanya. 

Apa yang terjadi pada diri putri bungsu Raja terakhir Singasari 

itu ? 

Semula orang menganggap bahwa pengasingan diri Ratu 

Gayatri adalah akibat kekecewaannya kepada Baginda Raja 

Sanggrama Wijaya yang telah memilih Dara Petak sebagai 

seorang permaisuri raja. Namun dugaan orang itu ternyata 

meleset jauh. Ratu Gayatri mengungsi dan mengasingkan diri 

bukan sebab  kekecewaannya tidak terpilih menjadi permaisuri 

raja, tapi jauh sebelum itu dirinya telah menemukan sebuah 

ajaran suci kebenaran, sebuah ajaran suci yang mengajarkan 

bahwa setiap insani berhak mencapai nirwana. Sebuah ajaran 

suci baru yang mengajarkan bahwa tingkat tertinggi dalam 

mencapai makna hakikat ajaran suci bukan hanya milik seorang 

Brahmana. Sebuah ajaran suci baru yang mulai meresap 

perlahan-lahan di lingkungan istana. 

Semakin Ratu Gayatri menekuninya, semakin dirinya 

menemukan hakikat hidup sebenarnya. Maka akhirnya tekadnya 

telah bulat untuk menjauhi maraknya dunia, menjauhi segala 

keinginan nafsu duniawi dengan pergi jauh mengasingkan diri 

menjadi seorang Bhiksuni. 

Sebelum berangkat mengasingkan diri, Ratu Gayatri telah 

menitipkan kedua putrinya kepada Nyimas Turukbali yang masih 

saudaranya sendiri, sama-sama putri Raja Singasari. Ratu Gayatri 

berharap Nyimas Turukbali dapat membimbing kedua putrinya 

itu 

Demikianlah, sesudah  mengetahui hal ikhwal keadaan Ratu 

Gayatri itu, telah membuat Gajahmada lebih sayang lagi kepada 

Dyah Gajatri dan adiknya itu. Gajahmada telah berniat 

mengangkat kedua putri itu menjadi seorang yang berilmu tinggi, 

seorang yang mumpuni meski lahiriah mereka seorang wanita. 

Pagi itu kabut baru saja terkuak ditembusi sang fajar yang 

baru terbangun, namun titik embun seperti mutiara masih 

menjuntai di ujung pucuk daun muda. Gerumbul hijau 

pepohonan seperti baru muncul sesudah  sepanjang malam 

terhalang kegelapan. 

“Hari ini hamba minta ijin untuk membawa Dyah Gajatri dan 

Dyah Wiyat ke perbukitan terdekat untuk melatih ketahanan 

mereka”, berkata Gajahmada di pagi itu kepada Jayakatwang di 

pendapa pura. 

“Aku percaya mereka berada dalam pengawasanmu”, berkata 

Jayakatwang memberikan ijin kepada Gajahmada. 

Demikianlah, pagi itu terlihat Gajahmada bersama Dyah 

Gajatri dan adiknya tengah berjalan keluar dari halaman pura 

Jayakatwang. 

Seperti yang dikatakan kepada Jayakatwang, nampaknya 

Gajahmada telah membawa kedua gadis itu menuju sebuah 

perbukitan yang tidak begitu jauh dari Kotaraja Majapahit. 

Terlihat wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat memerah, 

keringat telah membasahi wajah dan tubuh mereka ketika 

langkah kaki mereka bertiga telah mendekati sebuah puncak 

perbukitan. 

“Puncak bukit yang indah”, berkata Dyah Wiyat terlihat penuh 

gembira ketika telah berada diatas puncak bukit menatap alam 

sekitarnya yang nampak hijau. 

“Beristirahatlah sejenak, sesudah  itu kalian dapat berlatih 

tanding disini”, berkata Gajahmada kepada kedua gadis itu. 

Puncak bukit itu hanya sebuah bulakan kecil yang dikelilingi 

oleh hutan belukar, dari atas puncak itu Kotaraja Majapahit dapat 

terlihat. 

Namun mereka bertiga sama sekali tidak menyadari bahwa 

ada sepasang mata tengah memperhatikan mereka yang 

terhalang sebuah gerumbul semak belukar. 

Ternyata pemilik sepasang mata itu adalah seorang wanita. 

Mungkin siapapun yang kebetulan melihat wanita itu pasti akan 

tertegun terpesona menganggap bahwa seorang bidadari telah 

jatuh ke bumi. sebab  tubuh dan paras wajah wanita itu begitu 

sempurna, layaknya sebuah lukisan bidadari yang biasa terukir 

menghias batu candi. 

“Pantas, selama ini dia tidak pernah memikirkan diriku”, 

berkata wanita itu dalam hati. 

Sekilas pemilik wajah rupawan itu terlihat seperti menarik 

nafas panjang, menahan rasa sedih yang menghimpit. 

Terlihat mata yang indah itu sudah mulai berkaca-kaca. 

Akhirnya tanpa disadari telah mengalir dua tiga tetes air mata 

jatuh melewati kulit wajahnya yang kuning langsat itu. 

Dan tiba-tiba saja wanita itu telah berdiri dan berbalik badan. 

Terlihat telah menghentakkan kakinya dan berlari jauh menuruni 

bukit itu. 

Wanita itu masih terus berlari sambil menangis. 

Nampaknya ketahanan wanita itu begitu kuat, sesudah  sekian 

lama berlalu tidak terlihat kelelahan sedikitpun. Sementara di 

wajahnya masih terlihat air mata yang tiada henti membasahinya. 

Akhirnya daya tahan tubuhnya semakin melemah, terlihat 

langkah kakinya tidak berlari lagi, namun masih tetap melangkah 

meski dengan tubuh yang sedikit goyah. Sementara itu isak 

tangisnya masih juga belum reda. 

Hari ke hari wanita itu masih terus berjalan tanpa arah, 

rambut dan pakaian wanita itu terlihat kusam dan kotor, 

mungkin sudah beberapa kali terjatuh tersangkut akar di hutan 

atau tersandung batu dan terjatuh di tanah kotor. 

Hingga akhirnya, di sebuah tempat terlihat wanita itu berjalan 

dengan sedikit limbung, mungkin sudah beberapa hari tidak 

memikirkan kebutuhan tubuhnya untuk makan dan minum. 

Di sebuah tanah sepi, tubuh wanita itu terlihat jatuh terkulai 

lemas tak sadarkan diri. 

Lama tubuh wanita itu tergeletak di tanah sepi belum juga 

sadarkan diri. 

Beruntung, dua orang wanita terlihat tengah berjalan di tanah 

sepi itu dan melihatnya. 

“Nyi Ajeng Nglirip, wanita ini masih hidup”, berkata seorang 

wanita kepada seseorang didekatnya yang dipanggil dengan 

sebutan Nyi Ajeng Nglirip. 

Terlihat wanita yang dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu telah 

berjongkok memeriksa lebih teliti lagi. 

“Benar, wanita ini masih hidup”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

kepada wanita didekatnya 

“Apakah kamu membawa madu?”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

kepada wanita didekatnya. 

Wanita di dekatnya itu tidak menjawab, tapi sudah langsung 

mengeluarkan sebuah bubu bambu dari balik pakaiannya dan 

memberikannya kepada Nyi Ajeng Nglirip. 

Perlahan Nyi Ajeng Nglirip meneteskan cairan hitam dari 

dalam bubu itu di bibir wanita itu yang dengan tangan lain telah 

merenggangkan bibir wanita yang masih tak sadarkan diri itu. 

“Bawalah ke tempat teduh”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada 

wanita didekatnya itu yang nampaknya adalah seorang 

pelayannya. 

Terlihat Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya menunggui wanita 

yang belum siuman itu yang telah diletakkan dibawah sebuah 

pohon yang cukup rindang. 

“Lihatlah, wanita ini sudah mulai bergerak”, berbisik Nyi 

Ajeng Nglirip kepada pelayannya. 

Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya itu memang tengah melihat 

bahwa wanita itu sudah mulai bergerak, kelopak matanya 

perlahan terbuka. 

“Dimanakah aku?”, berkata wanita itu sambil memandang 

berkeliling dengan matanya. 

“Kamu ada di tempat aman bersamaku”, berkata Nyi Ajeng 

Nglirip merasa kasihan dengan wanita itu. 

“Siapa kamu?”, berkata wanita itu sambil memandang dengan 

tajam ke arah Nyi Ajeng Nglirip. 

“Orang-orang di sekitarku memanggilku dengan panggilan Nyi 

Ajeng Nglirip”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada wanita itu. “Apa 

yang terjadi atasmu, wahai anakku”, berkata kembali Nyi Ajeng 

Nglirip kepada wanita itu penuh dengan kelembutan hati. 

Namun pertanyaan Nyi Ajeng Nglirip itu telah membuat 

wanita itu seperti tengah menerawang, teringat kembali apa yang 

telah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri bahwa 

Gajahmada tengah bersama dengan dua orang gadis di puncak 

bukit tidak jauh dari Kotaraja Majapahit. 

Kembali wanita itu merasakan hatinya seperti teriris-iris 

sembilu, begitu pedih. 

Dan kelembutan hati Nyi Ajeng Nglirip di dekatnya itu seperti 

melihat ibundanya sendiri. Maka tanpa disadari wanita itu telah 

memeluk Nyi Ajeng Nglirip begitu erat sambil menangis tersedu-

sedu. 

“Menangislah wahai anakku, tumpahkanlah seluruh perasaan 

hatimu”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil membelai rambut 

wanita itu. 

Benar apa yang dikatakan oleh Nyi Ajeng Nglirip, wanita itu 

merasa dadanya menjadi sedikit lega sesudah  memuaskan dirinya 

dalam tangis. 

Tangis wanita itu sudah mulai reda, namun masih didalam 

pelukan Nyi Ajeng Nglirip. 

“Tengok dan tiliklah wajah Gusti Yang Maha Agung di relung 

hatimu yang terdalam, pandang dan tataplah, kamu akan melihat 

kekuasaanNya, kamu akan melihat kebesaranNya, 

kemurahanNya yang tak terbatas”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

dengan suara begitu lembut seperti menembus hati dan perasaan 

wanita itu. “Masuk dan berlindunglah kamu bersama_Nya. 

Dialah sumber lautan kasih, Dialah samudra tempat semua 

tertuju, wahai anakku”, berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip. 

Nampaknya wanita itu telah mengikuti semua perkataan Nyi 

Ajeng Nglirip, merasakan wajah Gusti Yang Maha Agung dalam 

cermin hatinya. 

“Tetap dan jagalah dirimu dalam wajahNya”, berkata Nyi 

Ajeng Nglirip melihat wanita itu seperti telah menemukan dirinya 

sendiri. ”Dia tidak akan pernah berpaling darimu, di saat semua 

manusia berpaling darimu, Dia tidak akan pernah memusuhimu, 

di saat semua manusia memusuhimu. Berjalanlah kamu 

kepadaNya, maka dia akan mendekatimu dengan berlari. 

Rasakan bahwa sesungguhnya Dia lebih dekat dari batang 

lehermu”, berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip dengan suara penuh 

kasih sayang dan kelembutan seorang ibu kepada anaknya. 

Terlihat wanita itu perlahan melepas pelukannya dan 

memandang ke arah Nyi Ajeng Nglirip. 

“Bawalah aku bersamamu, agar aku dapat tetap bertahan dari 

jeratan kepedihan luka ini. Bawalah aku bersamamu, agar aku 

dapat tetap dalam penyinaran cahaya kasih abadi”, berkata 

wanita itu sambil memegang erat kedua tangan Nyi Ajeng Nglirip. 

“Siapa namamu, wahai anakku?”, bertanya Nyi Ajeng Nglirip 

“Andini”, berkata wanita itu menyebut namanya. 

“Nama yang bagus”, berkata Nyi Ajeng Nglirip, meski di 

kepalanya begitu banyak yang ingin ditanyakannya tapi hanya 

sampai di ujung lidahnya, takut pertanyaannya akan membuka 

kembali luka di hati gadis itu. 

“Mari ikut bersamaku”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil 

memegang tangan Andini membantunya berdiri. 

Matahari di atas tanah sepi itu terlihat telah bergeser jauh dari 

puncaknya, sinarnya tidak lagi menyengat. 

Terlihat Andini telah berjalan bersama Nyi Ajeng Nglirip dan 

pelayannya. 

Sementara itu di waktu yang sama, di istana Majapahit baru 

saja berlangsung wisuda penobatan Pangeran Jayanagara 

menjadi Raja Muda di Kediri. Sudah hampir dapat dipastikan 

bahwa upacara penobatan Putra Mahkota Majapahit itu 

sangatlah meriah. Semua tokoh-tokoh besar agama dan 

padepokan besar di Majapahit telah diundang untuk datang 

menghadirinya, termasuk para perwakilan kerajaan yang berada 

dibawah kedaulatan Majapahit Raya dan para Adipati. Namun 

dari semua yang hadir, hanya perwakilan dari Tu