• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label prasejarah songkeplek 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prasejarah songkeplek 1. Tampilkan semua postingan

prasejarah songkeplek 1

 








GLOSARIUM

Acheulean:

Ciri-ciri utama Paleolitik awal yang kaya akan kapak genggam (dalam bahasa Inggris: hand

axe) dan kapak pembelah (dalam bahasa Inggris: cleaver).

Alat batu:

Istilah umum untuk menggambarkan batu-batu yang dipangkas oleh manusia prasejarah.

Sebagian dari batu ini dipergunakan sebagai alat dan sebagian lagi sebagai senjata.

Aigoritme:

Istilah yang berasal dari matematika, yang di sini berarti serangkaian kegiatan yang diatur

untuk mencapai tujuan (memproduksi serpih) secara biner, cepat dan efisien. Dalam kasus

skema pemangkasan yang dipergunakan oleh para pemangkas prasejarah di Song Keplek, hal

ini merupakan rangkaian pertentangan sederhana dataran pukullbidang pangkasan.

Batu inti:

Istilah umum untuk menggambarkan bongkahan bahan baku (rijang, dll.) dari mana serpih￾serpih, bilah-bilah atau bilah-bilah kecil dipangkas dan lalu diubah menjadi alat dengan

meretus tepinya.

Batu pukul (perkutor):

Sejenis palu alamiah yang biasanya berupa batu yang dipakai untuk memangkas

bongkahan batu.

Bidang pangkasan (BP):

Bidang yang memiliki kecembungan yang diinginkan dan dicari oleh pemangkas batu untuk

melepaskan serangkaian pangkasan dari dataran pukul.

Bilah bergigir:

Bilah atau serpih memanjang dengan gigir yang terbentuk di bagian dorsal sebagai pertemuan

bidang pangkasan bifasial. Bilah ini khususnya penting dalam istilah teknologi karena

pemangkasan biasanya dimulai dengan alat iniBilah kecil:

Bilah yang semua ukurannya lebih kecil. Rata-rata sebuah bilah kecil dapat berukuran 3 cm

panjang dan 0,7 cm lebar serta 0,3 cm tebal (dalam bahasa Inggris: bladelet).

Bilah:

Serpih yang memanjang sedemikian rupa sehingga panjangnya dua kali atau lebih dari lebar￾nya (dalam bahasa Ingris: blade).

Dataran pukul (DP):

Bidang yang biasanya licin terbentuk lewat beberapa pangkasan tetapi kadang-kadang masih

mengandung korteks dan datar. Bidang ini penting dalam rangkaian operasional, karena

rnerupakan tempat untuk melepaskan serangkaian pemangkasan. Bagian dari bidang pukul

yang terlepas pada saat serpih terpangkas. Dalam hal pernangkasan tanpa persiapan khusus,

maka dataran pukul tertutup korteks, jadi alamiah. Dataran pukul dapat juga licin dan

memiliki bekas negatif pangkasan-pangkasan sebelumnya.

Diedral:

Istilah tentang morfologi dataran pukul yang menampakkan bekas negatif pemangkasan yang

terdahulu dan yang masing-rnasing dipisahkan oleh rusuk.

Diskoid:

Pemangkasan serpih dengan arah berpusar dan berulang kali pada satu atau kedua bidang batu

inti sehingga tampak seperti piringan pipih (dilihat dari atas). Kekhasan serpih-serpih yang

diperoleh ialah bahwa bentuknya biasanya segi tiga dan cukup tebal.

Distal:

Istilah yang menunjukkan bagian terjauh dari tempat di mana ditemukan dataran pukul,

bulbus, dU.

Gurdi:

Alat yang memperlihatkan sebuah lancipan yang dibentuk oleh retus bilateral curam atau

kadang-kadang oleh retus silih-berganti.

Hinged:

Serpih yang ketika dilepaskan, bidang patahannya tiba-tiba melengkung dan rnemotong

kembali bidang atasnya. Kecelakaan pernangkasan ini sama sekali berlawanan dengan serpih

yang lengkungannya melebar.

Holosen:

Masa kini era Kuarter yang dirnulai dari sekitar 10 ribu tahun yang la1u, dan ditandai oleh

pemanasan iklim dan naiknya perrnukaan 1aut.

Homo erectus:

Manusia fosil bertengkorak tebal, dengan kapasitas antara 800 sampai 1350 cm3. Hidup di

Afrika (Homo ergaster), Eropa dan Asia antara 1,5 juta tahun dan 300 ribu tahun yang lalu.

Manusia ini merupakan yang pertama dari sekian banyak lainnya yang berusaha keluar dari

Afrika untuk menjelajahi dunia. Kita menghubungkannya dengan bentuk-bentuk primitif

sampai yang paling modern serta budaya Acheulean dan penemuan api. Wajah Homo erectusyang paling lengkap dan yang paling terkenal di Asia pastilah wajah Sangiran XVII yang

ditemukan di situs Sangiran di Jawa Tengah.

Homo sapiens:

Semuah manusia fosil dan manusia masa kini, dengan tengkorak berbentuk bulat, otak yang

besar, wajah dan rahang yang lebih halus daripada pendahulu-pendahulunya dan mempunyai

dagu.

Kapak genggam:

Alat dengan bermacam-macam bentuk yang merupakan lambang budaya Acheulean (Paleolitik

bawah). Alat ini mempunyai kekhasan karena dipangkas pada kedua sisinya sehingga

menciptakan simetri poros dan dua sisi. Retus dapat menyeluruh, memenuhi semua atau hanya

sebagian saja menurut keadaannya dan bentuknya yang menjorok. Alat dua sisi ini banyak

ditemukan di Jawa Tengah dan Sumatra Selatan.

Kapak pembelah:

Serpih berukuran besar, yang kedua sisinya diretus untuk mendapatkan tajaman melintang

distal yang berhadapan dengan dataran pukul dan tegak lurus pada poros morfologinya. Alat

yang merupakan simbol budaya Acheulean ini sering kali dibuat dari serpih yang dipangkas

dan dibentuk, dan sebagian besar ditemukan kembali dalam rangkaian benda-benda

Paleolitik bawah.

Kapak penetak:

Alat yang biasanya dibuat dari batu dan mempunyai dua sisi dengan ketajaman yang berkeluk￾keluk dan tajam. Kapak penetak dan kapak perimbas merupakan dua alat yang sering terdapat

dalam industri Paleolitik awal-tengah di Asia dan juga di Eropa atau di Afrika.

Kapak perimbas:

Alat dari batu satu sisi yang tajamannya dapat melintang atau distal. Dalam pengertian ini alat￾alat tersebut merupakan serut ujung yang masif.

Korteks:

Perubahan kurang lebih tebal dari bagian luar bongkahan bahan baku yang belum diolah:

semacam kulit batu yang alamiah.

Laminer:

Istilah yang berarti produksi bilah atau bilah kecil, dihasilkan melalui persiapan khusus

batu inti.

Lancipan:

Lihat mata panah.

Levallois (metode):

Konsep Levallois menghimpun sejumlah metode pemangkasan, yaitu memangkas serangkaian

serpih atau lancipan khusus yang sudah ditentukan sebelumnya dari sebuah batu inti, yang

dibentuk menurut beberapa kriteria yang sangat khusus dan diketahui oleh pemangkas batu.

Dalam kasus Levallois, pembentukan batu inti secara cermat menunjukkan di sini awal yang

menentukan dalam pikiran manusia yang kompleks dan abstrak (oleh E. Boëda).Limas:

Serpih yang sering kali lancip dan rendah-padat, dengan retus yang cukup curam di sekeliling

alat itu. Alat ini tetap mempunyai bidang korteks di sisi atas atau di punggungnya.

Mata panah:

Benda-benda yang selanjutnya digolongkan sebagai senjata ini, sudah ada sejak Mesolitik.

Pada zaman Neolitik, mata-mata panah ini lebih mirip dengan mata-mata panah yang kita kenal

sebab mudah dibandingkan dengan model-model sejarah. Ada duajenis mata panah: yang satu

berujung runcing dan yang Iain berujung tajam-melebar.

Melengkung (atau baling-baling/torso):

Serpih menyerupai torso, berasal dari pecahan memilin, dan terbentuk secara tidak sengaja di

kala pemangkasan.

Mesial:

Istilah yang menunjukkan bagian dataran pukul pada serpih.

Mesolitik :

Zaman Batu "tengah" ini meliputi periode peralihan antara akhir Paleolitik atas dan Neolitik.

Ciri-ciri utamanya dikenali dari proyektil-proyektilnya dari batu dan kerangka-kerangka

mikrolit lainnya yang dihubungan dengan adanya busur.

Metode:

Dalam teknologi prasejarah, metode ialah segenap langkah dan kegiatan yang dipikirkan baik￾baik untuk mencapai tujuan: memperoleh support (misalnya: serpih dan bilah) untuk diubah

menjadi alat atau senjata. Dalam hal ini kita berbicara tentang metode pembentukan dan

pemangkasan.

Mikrolit:

Seperti namanya, benda-benda ini merupakan elemen-elemen kecil geometris (juring

lingkaran, trapesium, segi tiga, dll.) atau yang bukan geometris, yang dibuat dari bilah

atau bilah kecil. Panjangnya boleh dikatakan tidak lebih dari 2,5 cm, dan kadang-kadang

ditemukan dengan tangkai (hingga 1 cm). Benda-benda ini merupakan kerangka lembing,

serampang, atau anak panah.

Mousteroid:

Kata sifat yang digunakan untuk menyebutkan jenis-jenis alat yang mencakup sejumlah besar

serut samping, serut gerigi, serut cekung, dll. Alat-alat dari serpih ini merupakan ciri-ciri khas

budaya Mousterien dari Eropa Barat yang banyak ditemukan dalam sebagian besar rentang

Paleolitik tengah.

Negatif pemangkasan:

Istilah umum yang menghimpun semua kegiatan pemangkasan batu-batu keras yang sengaja

dilakukan dan yang dapat dibaca menurut bekas-bekasnya (rusuk, gelombang, dsb.).

Misalnya: pada batu inti, bekas-bekas/negatif-negatif ini disebut sebagai bidang pangkasan

yang dibuat oleh pelepasan serpih.

Nodul :

Lihat batu inti.Paleolitik:

Periode prasejarah yang meliputi era Kuarter (sejak sekitar 1,6 juta tahun yang lalu) sampai

akhir zaman Es sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Jejak-jejak Paleolitik yang paling tua terungkap

sejak ditemukannya alat-alat Afrika yang pertama, yang berumur kira-kira 2,8 juta tahun.

Periode yang sangat panjang ini meliputi hampir seluruh sejarah kehidupan manusia dan dapat

dibagi dalam beberapa periode: Paleolitik bawah, tengah dan atas.

Pangkasan pertama:

Serpih disebut "serpih pangkasan pertama" apabila merupakan serpih pertama yang dipangkas

dari bongkahan. Serpih ini mempunyai bidang alamiah (korteks) pada dataran pukul dan pada

bidang atas.

Pecahan:

Kepingan tak berbentuk yang berasal dari pemangkasan, kadang-kadang disebut juga sebagai

"sisa pemangkasan".

Pemangkasan:

Istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan yang sengaja dilakukan dalam memecah

bongkahan sehingga serpih-serpih dan bilah-bilahnya dapat diubah menjadi alat.

Pembentukan:

Proses pemangkasan untuk memperoleh sebuah alat khusus dengan menetak sejumlah bahan

baku (bongkahan rijang atau serpihan besar). Pembuatan alat bifasial terrnasuk dalam jenis

proses ini. Pembuatannya terdiri dari beberapa tahap, dari perrnulaan hingga penyelesaian.

Plestosen:

Era Kuarter yang berlangsung dari 1,8 juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu. Periode yang

panjang ini dibagi menjadi tiga bagian (bawah, tengah dan atas).

Polisemik:

Ciri-ciri batu inti multi-arah, yaitu batu inti yang memperlihatkan beberapa bidang pangkasan

yang tidak mempunyai susunan teratur dan yang mengikuti beberapa arah.

Poros morfologis:

Poros yang paling simetris dalam sebuah bidang, yaitu bagian panjang yang teIjauh.

Poros pemangkasan:

Poros yang menunjukkan arah dari mana serpih dilepaskan dari batu inti.

Rangkaian operasional:

Konsep ini diciptakan di Prancis dan diadopsi pada arkeologi prasejarah oleh A. Leroi￾Gourhan. Dalam studi tentang rangkaian batu, rangkaian operasional meliputi semua proses

sejak dari penyediaan bahan baku di lingkungan sekitamya, tahap-tahap

pembuatan alat sampai alat tersebut ditinggalkan orang. Konsep ini memberi kerangka analitis

kepada peneliti sehingga memungkinkannya mengupas pembuatan alat batu tersebut setahap

demi setahap, dan pada akhimya menyampaikan biografi teknis yang selengkap mungkin.

Retus:

"Meretus alat" adalah kegiatan menggosok untuk membuang serpih-serpih kecil atau sisik dan

mengasah tepi sebuah serpih agar menjadi tajam, untuk dijadikan mata pisau. Analisisterhadap retus dapat sangat cennat, seperti: arahnya, Iokasinya, atau juga penamaannya (sisik

sederhana, skalarifonn, paraIel, datar-cembung, curam, setengah curam, menutup, melintang￾paraIel, dIL).

Rijang:

Istilah umum yang dipakai dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan berbagai bentuk batu

besar yang keras dan mengandung silika (dalam bahasa Inggris: chert).

Serpih:

Istilah umum untuk menggambarkan sebuah pecahan batu yang dipangkas dari bongkahan,

yang dalam hai ini disebut sebagai batu inti,

Serut cekung:

Istilah untuk menggambarkan profil sebuah tepi yang bergigir, yang biasanya cekung, Serut

cekung dapat dibuat pada sisi sebuah serpih meIaIui retus yang halus. Jika kegiatan ini

diperoleh dengan sekali pukulan dengan batu pukul, serut cekung disebut sebagai

"clactonian", Serangkaian serut cekung yang dibuat pada tepi yang sama disebut sebagai serut

gengl.

Serut gerigi:

Alat yang pada beberapa tepinya memperlihatkan serangkaian serut cekung yang berbatasan

dengan retus kecii atau serut cekung dari jenis " clactonian ", Apabila cekungan itu kurang

daIam, aIatnya disebut serut bergerigi keciL

Serut pemotong alami:

Alat dari serpih atau bilah yang memperlihatkan ketajaman alamiah di satu sisi, dan bidang

kortikai di sisi Iain. Jejak-jejak makro penggunaannya tampak nyata pada mata pisau.

Serut samping:

Alat dari serpih, serpih memanjang atau bilah yang diperoleh dari retus terjal, atau bersisik

pada satu atau beberapa tepinya agar dapat memperoleh mata pisau yang tajam (lurus,

cembung, cekung).

Serut ujung:

Alat dari serpih yang paling sedikit satu ujungnya diretus bersambung dan mendatar sehingga

menciptakan bagian depan yang membulat. Ada beberapa tipe serut ujung, seperti serut ujung

berkarinasi, dU.

Sileks:

Lihat rijang.

Skalariform:

Llihat retus. Rangkaian retus khas berbentuk "sisik".

Sudut pecahan:

Sudut yang terbentuk antara dataran pukui dan bidang ventral.

Sudut pukul:

Sudut yang terbentuk antara bidang dataran pukui dan arah pangkasan.Sumatralit :

Alat dari batu yang berbentuk memanjang dan dibuat dengan retus pada satu bidang sisi, yaitu

di sekeliling dan di sebelah atasnya saja. Alat-alat dari batu ini berhubungan dengan ide

tentang besamya ukuran asli yang datar-cembung. Orang menyebutnya sebagai batu

"Hoabinhian" dan dihubungkan dengan Homo sapiens di Asia Tenggara daratan dan

kepulauan (bagian timur laut Sumatra). Budaya Hoabinhian ditemukan pada abad yang lalu di

situs Hoa-Binh, salah satu dari sejumlah besar gua batu kapur di sebelah utara Vietnam.

Support:

Lihat serpih dan bilah.

Teknik:

Dalam teknologi batu, teknik adalah keseluruhan cara yang dilakukan untuk memangkas rijang

atau batu-batu keras lainnya. Misalnya: teknik pukulan langsung dengan batu pukul keras.

Tekno-tipe ("invarian"):

lenis serpih-acuan yang sangat banyak dijumpai dalam himpunan arkeologis dan yang bidang

atasnya mempunyai ciri-ciri morfoteknologis yang khas dari suatu tahap rangkaian operasional.

Ulir (atau pHin):

Morfologi serpih yang berasal dari bidang pecahan berbentuk spiral, yang tidak sengaJa

dilakukan pada waktu pemangkasan.








Kita sudah lazim mendengar dunia India dan Cina, sementara Asia Tenggara tampak

mencakup sejumlah dunia yang berbeda-beda, namun menyatu dalam wujud daratan dan

kepulauan. Asia Tenggara merupakan alam yang kaya sehingga terkesan sebagai perpaduan

dari keseluruhan dunia Asia, terlepas dari cirinya yang Iain sebagai dunia maritim.

Dengan demikian Indonesia, berdasarkan letak geografisnya sebagai kutub pengaruh,

menempati posisi yang kompleks dengan keanekaragaman tradisi dan warisan budaya yang

disebarkan dari Asia Tenggara Daratan (Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar dan

Vietnam).

Dijuluki sebagai "Pojok Asia" (Mus, 1977), kepulauan terbesar di dunia ini

senantiasa memainkan peran yang aktual sebagai tempat pembauran migrasi manusia menuju

wilayah-wilayah yang mengarah ke Oseania, seperti Papua Nugini, Australia, dan lebihjauh ke

timur, pulau-pulau di Lautan Pasifik.

Fenomena ini telah diamati dengan mengambil zaman prasejarah sebagai titik tolak dan

menjadikan Indonesia sebagai tempat menetap terakhir, persilangan, dan hulu dari berbagai

aliran genetis dan budaya.

Orientasi geografi dan struktur kepulauan Indonesia merupakan bukti artikulasi

sebelah utara dan selatan khatulistiwa yang menandai suatu gerakan ke arah timur, menjauhi

daratan Asia.

Dengan tekad semakin kuat untuk memahami alam serta pengaruhnya pada ke1ompok

sosial manusia, ahli prasejarah mencoba mengumpulkan dan kemudian menyatukan potongan￾potongan informasi hasil persinggungan kondisi lingkungan dan keanekaragaman

budaya, dalam keadaan geografis yang tercerai-berai oleh beberapa lautan, selat dan

alur penyeberangan.

Keadaan Geografis Masa Kini dan Masa Lampau

Asia Tenggara merupakan kawasan budaya yang sangat kompleks, membentang

hampir seluas 6.000 km, mulai dari Myanmar sampai ke timur jauh, di kawasan Wallacea

(Sumba, Flores, Timor, dU., yang menjadi bagian dari Nusa Tenggara). Di kawasan ini dapat

diamati tidak hanya suku-suku yang berbeda, spesies hewan dan tumbuhan yang beragam,

tetapi juga iklim, relief, serta bencana alam yang ekstrim (llustrasi 1).Sebagai mosaik yang mengesankan, tersusun dari pulau-pulau, situs-situs arkeologi,

fosil-fosil manusia, fauna dan flora, serta industri-industri prasejarah, Indonesia merupakan

sebuah wilayah interaksi dengan Asia Tenggara Daratan. Kawasan ini juga merupakan suatu

kesatuan yang unik, bervariasi, dan mendapat pengaruh-pengaruh luar. Singkatnya, Kepulauan

Indonesia dapat dilihat sebagai titik persilangan migrasi sejak zaman prasejarah.

Sama seperti pendahulunya, Homo erectus, manusia modem dalam perjalanannya

menuju cakrawala baru lebih memilih mendiami beberapa pulau dengan akses yang lebih

mudah, seperti pulau-pulau di Paparan Sunda. Pada periode penyusutan air laut di zaman

Kuarter (zaman es), pulau-pulau utama di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Bali, dan

Kalimantan (Bomeo) menyatu dengan daratan Asia.

"Sundaland", nama pemberian orang-orang berbahasa Inggris, merupakan sebuah

kawasan yang luas, kira-kira sepanjang 2.000 km dari timur ke barat, mulai dari pesisir barat

Sumatra hingga bagian timur laut Kalimantan dan menyentuh Garis Wallacea pada pesisir

timur Bali.

Keunikan Zaman Prasejarah Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, keunikan zaman prasejarah Indonesia tidak saja terletak

pada keadaan geografinya, tetapi juga pada kesulitan menentukan patokan kronologi

budayanya, mengingat putusnya peradaban-peradaban di sepanjang zaman.

Pada umumnya sangat sulit menandai dengan pasti tekno-kompleks yang mungkin

bisa dijadikan sebagai patokan kronologi Indonesia yang diakui dalam konteks prasejarah

Asia Tenggara secara menyeluruh. Tekno-kompleks tersebut bergantung pada hukum perse￾baran geografis, di mana masih terdapat banyak kekosongan di antara kala Paleolitik awal dan

kala Neolitik.

Oleh karena itu, sebuah rangka kronostratigrafis yang jelas, seperti halnya rangka

kronostratigrafis Eropa, sulit dihadirkan di wilayah ini. Lagi pula pada saat ini Asia Tenggara

sama sekali luput dari studi penyusunan sintesis mengenai urutan budaya prasejarah yang

berdasarkan pada kelompok-kelompok industri.

Di Indonesia sendiri belum terdapat kronologi tipologi apapun juga yang teratur,

seperti yang ditemukan di Eropa Barat atau lebih dekat lagi, di benua Australia. Untuk

wilayah ini kronologi yang menyatakan secara "otomatis" suatu tanggal, suatu lapisan

arkeologi, suatu kelompok serta sebuah himpunan artefak merupakan hal yang tidak realistis.

Seperti contoh, sukar untuk menghubungkan secara pasti lapisan yang mengandung alat batu

atau alat tulang di Pulau Jawa, antara akhir kala Plestosen atas dan awal Neolitik, dengan

suatu peradaban tertentu.

Data yang diperoleh pada masa ini masih jauh dari memuaskan dan lebih merupakan

sebuah jejak ketimbang bukti khas sebuah peradaban yang ciri-cirinya sebetulnya bisa

diungkapkan melalui penyelidikan produk-produk keterampilan (alat batu, alat tulang, alat

kerang, alat bambu, dU.).

Salah satu fenomena yang menonjol dalam prasejarah Indonesia ialah kesinambungan

hasil "e1ementer" berupa serpih dan alat serpih yang berbentuk "Mousteroid", baik yang

tersendiri maupun yang bersama alat batu besar yang dipangkas dari kerakal seperti kapak

perimbas, kapak penetak, alat bantu inti, serut tebal atau serut berpunggung, dU. (Bordes danDortch, 1977). Fenomena kebudayaan ini terdapat sejak zaman tertua hingga munculnya Homo

sapiens sapiens, bahkan sampai berkembangnya budaya umbi-umbian dan padi-padian.

Model perkembangan industri litik Eropa yang berdasarkan pelanjutan bertahap

seperti "fenomena bilah", lalu peringanan dan pengecilan artefak litik seperti "fenomena

mikrolitisme", tidak bisa diterapkan di Indonesia maupun di situs-situs Asia Tenggara lainnya.

Di kawasan ini ditemukan suatu tekno-kompleks yang Iain dari yang Iain, yaitu "Hoabinhian"

yang akan kita bahas di bab 1.

Sebuah percobaan menggunakan model Iain telah diupayakan untuk membedakan

wilayah-wilayah berdasarkan fakta-fakta teknis. Hasilnya adalah pemisahan keseluruhan

artefak litik ke dalam himpunan industri kapak genggam dan tanpa kapak genggam: industri

kapak genggam di barat India dan bentukan kerakal yang dipangkas di kawasan timumya

(Movius, 1948). Percobaan tersebut tidak berhasil. Model ini banyak mendapat kritikan

karena dianggap terlalu sederhana untuk menjelaskan persebaran artefak-artefak litik

sepanjang ribuan kilometer, dari Asia tengah, India, sampai Cina. Bahkan sekarang kita telah

mengetahui bahwa model ini tidak bisa dipakai, karena temyata banyak juga kapak genggam

ditemukan di Cina, Vietnam, Sumatra dan Jawa.

Selain soal wilayah yang sangat luas, kesulitan yang dihadapi ialah tidak adanya situs￾situs yang digali dengan menggunakan metode modem, juga tidak adanya pembedaan

geologis dalam stratigrafi serta tidak adanya pembedaan dalam perubahan-perubahan metode

dan teknik pemangkasan artefak litik yang dapat membedakan suatu fasies budaya dengan

yang Iain.

Indonesia tidak luput dari problem ini dan dalam hal ini Pulau Jawa akan menjadi fokus

perhatian kami.

Permasalahan dan Pilihan Pokok Bahasan

Indonesia tergolong wilayah yang masih baru dalam dunia arkeologi. Hingga saat ini,

Indonesia belum menjadi obyek penelitian teknologi pada periode-periode akhir (akhir kala

Plestosen dan awal kala Holosen). Yang terdapat hanyalah sejumlah sintesis tentang tipologi

alat yang bertujuan untuk mencari semacam kesatuan budaya di dalam satu wilayah yang

beranekaragam secara geografis. Dalam hal ini, oleh karena sedikit data saja yang dapat

digunakan, maka hasilnya terlalu sederhana (Hutterer, 1976 dan 1977; Bellwood, 1997

dan 2000).

Penelitian kami bertujuan untuk menyelidiki kelompok-kelompok industri preneolitik

di Jawa Timur pada awal kala Holosen (antara 10.000-5.000 SM). Memang pada umumnya,

posisi kronologis, baik untuk situs yang tingkat (lapisan) huniannya dari akhir kala Plestosen

Atas maupun untuk industri preneolitik di kala Holosen, sangatlah kabur.

Penelitian ini berkaitan dengan situs yang tingkat penghuniannya dimulai pada akhir kala

Plestosen atas atau industri preneolitik di kala Holosen yang letak kronologisnya kurang dike￾tahui. Periode prasejarah ini tidak begitu menarik perhatian ahli-ahli arkeologi ketimbang

situs-situs besar fosi! Pithecanthropus di Jawa Tengah atau penyelidikan asal mula dan ciri-ciri

khas industri Pacitanian (Sungai Baksoko) di Jawa Timur (Movius 1948; Heekeren, 1955;

Bartstra 1976 dan 1978; Sémah et al., 1990).Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu

Periode yang berkenaan dengan awal kala Holosen mengindikasikan adanya

kedatangan kelompok-kelompok manusia secara besar-besaran yang ditandai dengan

penghunian situs-situs gua dan tempat berteduh lainnya, seperti yang ditemukan di wilayah

Gunung Sewu (bahasa Jawa untuk menyebut Gunung Seribu) di Jawa Timur, yang merupakan

daerah penelitian kami. Keadaan ini sama dengan pulau-pulau lainnya, seperti Sulawesi, yaitu di

lembah Maros, tempat ditemukannya sejumlah situs dari kurun waktu yang sama (preneolitik).

Kegiatan kami dipusatkan pada penelitian Song Keplek, sebuah situs gua di Jawa Timur

dari masa antara 10.000 sampai 5.000 tahun yang lalu. Situs ini terletak di wilayah Gunung

Sewu, beberapa kilometer dari desa Punung, tidak jauh dari kota Pacitan.

Dengan menganalisis tipo-teknologi artefak-artefak litik dari situs ini, kami akan

mengungkapkan karakter industri litik yang secara keliru telah dikenal sebagai "mesolitik",

karena dicocokkan dengan kronologi budaya Eropa.

Karena itulah dalam buku ini, kami akan menggunakan istilah "Preneolitik" untuk

menghindari kesulitan yang timbul apabila menggunakan istilah yang berlaku, yaitu

"Mesolitik", oleh karena istilah tersebut menurut kami tidak tepat untuk menjelaskan produk

industri litik yang sama sekali tidak berkaitan dengan definisi Eropa untuk peradaban ini.

Metodologi

Kami akan meneliti ciri asli artefak litik melalui pemahaman teknologi dan tipologi

industri litik, berdasarkan sekumpulan temuan yang belum lama ini diperoleh. Kegiatan ini

merupakan percobaan untuk mendefinisikan sejumlah kelompok produk litik dari Jawa Timur,

tetapi juga terutama dari sebuah periode dalam prasejarah Indonesia.

Percobaan tersebut akan ditempatkan dalam sebuah kronologi budaya yang masih

samar. Kronologi tersebut mengatur secara pasti dua ujung yang sangat nyata dalam waktu,

yakni kala Paleolitik lama, ataupun sangat lama, yang disebut Pacitanian (serpih-serpih besar,

kapak genggam, kapak pembelah, dU.) dan desa-desa agraris penghasil gerabah (kapak dan

beliung yang diupam).

Tujuan utama penelitian bukan hendak mendiskusikan atau menamai sebuah realitas

baru dalam dunia arkeologi, tetapi menyampaikan hasil pemikiran tentang variabilitas alat-alat

di suatu wilayah kepulauan yang terbesar di dunia.

Kerangka Acuan dalam Buku Ini

Buku ini terdiri atas lima bab:

- Bab 1 akan membahas tentang dimensi ruang dan waktu, seperti uraian mengenai

situs-situs utama dan tekno-kompleks yang ditemukan di daerah kepulauan dan

daratan Asia Tenggara sejak sekitar satu juta tahun. Bagian ini juga akan

membicarakan himpunan alat yang dikaitkan dengan jenis manusia purba

(Homo erectus).

- Bab II akan membahas tentang lingkungan geografis dan ekologis situs-situs yang

diteliti, yaitu wilayah Gunung Sewu dalam konteks umum Pulau Jawa. Lalu, bab iniakan menguraikan penelitian-penelitian sebelumnya di Jawa Timur pada periode

10.000 hingga 5.000 tahun yang lalu (awal Holosen). Akhimya, bab ini juga akan

memaparkan keadaan geografi, stratigrafi, penarikhan, zona-zona ekskavasi, temuan￾temuan paleontologis dan temuan-temuan alat batu dari penggalian Song Keplek.

- Bab III merupakan bab yang membahas dasar-dasar teori dan metodologi yang

menjadi landasan penelitian artefak arkeo1ogis: uraian kembali permasalahan umum,

tujuan, dan pemilihan 10kasi penelitian. Pada bab ini, kami akan mengutarakan teknik￾teknik analisis yang diterapkan pada penelitian, melalui perumusan kemba1i tujuan￾tujuan dan perangkat penelitian.

Pada bagian akhir bab III akan diuraikan hasi1-hasi1 percobaan i1miah. Bagian ini akan

memaparkan hasil-hasi1 eksperimen dalam bentuk skema teknis. Da1am ha1 ini tujuan

yang hendak dicapai ada1ah memahami secara dinamis proses pemangkasan batu yang

berlangsung dan hubungan sebab-akibat antara batu inti dan hasi1 produksi, yaitu

serpih.

Bab IV akan mengupas analisis industri litik di Song Kep1ek. Bab ini sangat penting,

baik dari segi jum1ah serpih yang diteliti (ribuan), maupun dari segi teoretis. Da1am

bab ini akan diletakkan 1andasan-1andasan awal teknologi dan tipo1ogi bahan baku

(serpih rijang, chert) dari ka1a awa1 Ho1osen.

Pada bagian kesimpu1an, kami akan menyusun sebuah sintesis tentang tipo1ogi (ciri￾ciri utama peralatan batu) dan teknologi (kekhasan skema produksi, skema teknik

pemangkasan, dll.) di wi1ayah penelitian yang dikembangkan o1eh manusia prasejarah

pada awa1 Ho1osen.


Bab ini bertujuan memperkenalkan konteks luas kelompok industri Holosen pada masa

Preneolitik di Jawa Timur dan analisis tipo-teknologi dari himpunan industri preneo1itik Holosen.

Dengan melihat sebaran data arkeologi, waktu penggalian-penggalian arkeo1ogi

dilakukan, definisi fasies-fasies budaya yang sering kali kurang jelas, ketidakakuratan analisis￾analisis antropologis, kekurangan kronostratigrafi yang meyakinkan, ditambah lagi dengan

kekurangan kronologi iklim, maka akan kami coba paparkan sebuah konteks geo-budaya

global, yaitu persebaran industri-industri litik di Asia Tenggara pada masa prasejarah.

Asia Tenggara: Daratan dan Kepulauan

Pertentangan antara daratan dengan kepulauan sudah barang tentu merupakan faktor

kunci dalam menentukan letak geografis kelangsungan hidup manusia dan bahkan menjadi

perhatian kami, khususnya tentang pilihan-pilihan tekno-budaya mereka.

Keanekaragaman wilayah hayati mendorong pelipatgandaan bentuk-bentuk hunian

manusia dalam suatu wilayah yang amat luas tanpa gurun pasir. Keanekaan dalam hal hunian

ini terdapat dalam beberapa bidang, antara Iain: strategi pemilihan lokasi situs, tempat yang

digemari untuk memperoleh bahan baku, keanekaragaman flora dan fauna di setiap pulau,

area-area perburuan, dU.


Alasan utama pembagian Asia Tenggara dalam dua kesatuan besar disebabkan oleh

adanya pertentangan antara topografi dengan bobot keanekaragaman hayati,

Marilah kita membahas kembali secara singkat elemen-elemen yang menimbulkan

perbedaan pada dua kesatuan besar tersebut:

- Pertentangan topografis, melalui kekontrasan laut-daratan dan semenanjung

kepulauan yang berperan sebagai "penyaring" (de Vos et ai., 1993) ketika fauna dan

manusia bermigrasi pada era Kuarter ke arah Nusantara,

- Pertentangan hidrogeografis, yang ditandai oleh keberadaan lembah-Iembah aliran

sungai dan delta-delta yang luas di bagian daratan, tetapi berkurang di kepulauan,

Poros-poros besar aliran sungai di Asia Daratan, seperti Sungai Irrawadi, Sungai

Salonen, Sungai Mekong, dst., merupakan jalur komunikasi yang mengesankan, dan

terkadang mendorong terbentuknya teras-teras Kuarter masa lampau, mungkin tempat

ditemukannya industri-industri tertua manusia, berupa kerakal yang dipangkas (kapak

perimbas dan kapak penetak) dan fosil kayu (Movius, 1944 dan 1948). Lembah￾lembah tersebut juga biasa menjadi tempat hunian manusia pada masa-masa yang

datang kemudian (Preneolitik dan Neolitik). Dalam konteks ini, sebagian besar

kegiatan ekonomi mereka dipusatkan pada kekayaan sumber daya laut di sekitar

perairan delta yang penuh dengan lumpur (kjokkenmoddings atau kitchenmidden:

contohnya bukit kerang di Vietnam, Malaysia, atau di bagian utara Sumatra

(Bellwood, 1997; Higham, 2002).

- Pertentangan etnolinguistis, yang masih sangat kentara sampai saat sekarang.

Daratan menunjukkan adanya keanekaragaman rumpun bahasa yang sangat berlainan,

contohnya: rumpun bahasa Austro-Asiatik (Vietnam dan Kamboja), Sino-Tibet

(Myanmar), Tai-Kadai (Thailand), dl!. Sementara Indonesia dan Filipina berasal dari

rumpun bahasa yang sama, yakni Austronesia, seperti halnya Semenanjung Melayu,

satu-satunya perkecualian di daratan (Tryon 1995).

Sebenarnya perbedaan antara Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan bukan terletak

pada pembagian berdasarkan dua kesatuan tertutup, melainkan lebih merupakan transisi yang

dihubungkan oleh Tanah Genting Kra dan perpanjangannya di Semenanjung Melayu.

Perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan kondisi kepulauan agaknya sudah

berlangsung sejak zaman prasejarah, di mana ketiadaan kesatuan dalam ruang menciptakan

jaringan yang kompleks pada jalur-jalur migrasi, situs-situs paleontologis atau prasejarah, dan

pada berlimpahnya kelompok industri.

Pada masa kini, kondisi ini terwujud dalam keanekaragaman etnis yang luar biasa dan

sejalan dengan kemajemukan geografi Asia Tenggara. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan

arkeologi kawasan ini menjadi rumit.

Dalam bab ini, agar lebih praktis, kami memilih untuk mempertahankan perbedaan

antara Asia Tenggara Daratan dengan Kepulauan.

Pemaparan ini hanya terbatas pada industri-industri litik, ciri-ciri utama tipologi dan

variabilitasnya. Bilamana literatur arkeologi memungkinkan, kami akan menggambarkan,

meskipun secara singkat, beberapa data tentang fauna, fungsi dari situs hunian atau tentang

alat-alat tulang.Asia Tenggara: Teknologi Vegetasi?

Sebelum menggambarkan semua jenis peralatan batu yang dipangkas untuk setiap

tekno-kompleks, kita tidak bisa begitu saja menyampingkan peralatan Iain yang kurang baik

konservasinya, karena semuanya memegang kedudukan penting dalam ekonomi manusia

prasejarah dalam konteks tropis.

Berkaitan dengan hal tersebut, menarik untuk dikemukakan bahwa variabilitas kompo￾sisi peralatan di Asia Tenggara terdiri atas tumbuh-tumbuhan dan tulang-tulang di satu sisi, dan

mineraI (litik) di sisi Iain.

Data-data yang dihasilkan oleh penelitian etnografis di bidang teknik yang digunakan

oleh para pemburu dan pengumpul makanan kontemporer mungkin bisa menyatakan

pentingnya bahan-bahan seperti bambu dalam sebuah peradaban yang berusia ribuan tahun

yang disebut sebagai "peradaban vegetasi" oleh P. Gourou (Gourou, 1948). Bambu terkenal

dengan sifatnya yang multifungsi, misalnya untuk membuat api, bambu runcing, wadah, tali

atau sekadar bahan untuk pendirian tempat berteduh (Dinh Throng Hieu, 1992).

Sangat menarik untuk dicatat bahwa bambu runcing dan senjata-senjata bambu

lainnya masih digunakan untuk berburu oleh beberapa penduduk pegunungan di

Vietnam (Le Thanh Koi, 1987).

Masyarakat-masyarakat pemburu dan pengumpul makanan, seperti orang Agta di utara

Pulau Luzon, Filipina (Estioko-Griffin dan Griffin, 1981), orang Mentawai di Pulau Siberut,

Sumatra Barat (Schefold, 1991; Forestier et al., 2006) dan orang Semang di Malaysia

(Dunn, 1975), sampai sekarang masih menunjukkan penggunaan tumbuh-tumbuhan seperti

bambu atau kayu-kayu keras sebagai alat. Namun alat-alat ini sering disertakan dengan alat￾alat besi yang perlahan-Iahan menggantikan bahan-bahan organik yang tidak tahan lama.

Orang Negrito di Filipina masih memproduksi mata-mata panah yang amat tajam dari ketiga

jenis bahan tersebut: tumbuhan, tulang, dan mineraI.

Oleh karena itu, melihat pentingnya alam hutan di wilayah-wilayah tersebut, dapat

diperkirakan bahwa manusia prasejarah pada periode akhir Plestosen atas, kira-kira

40.000 tahun yang lalu, dapat beralih pada kegiatan ekonomi yang sebagian besar dipusatkan

pada sumber daya vegetasi, seperti yang digarisbawahi oleh Alain Testard: "Dengan demikian,

Asia Tenggara pada masa prasejarah dapat digambarkan sebagai wilayah peradaban vegeta￾si" (Testard, 1977).

Van Heekeren, dalam karya sintesisnya "The Stone Age of Indonesia" juga

memperkuat pendapat tersebut:

"Untuk mendapatkan gambaran yang tepat tentang kala Paleolitik di daerah-daerah tropis, kita harus

memperhitungkan kondisi-kondisi iklim dan ciri-ciri khas hutan tropis, yang membuka peluang bagi

suku-suku pemburu dan peramu yang berpindah-pindah untuk mengembangkan budaya yang lebih

khusus yang didasarkan pada keberadaan bambu, kayu keras dan rotan. Budaya ini bahkan mampu

bertahan hingga masa sekarang. Sangat masuk akaljika bahan organik semacam itu memainkan peran

penting dalam pembuatan bermacam-macam perlengkapan dan hal itu dapat mengarah pada penga￾baian teknik pembuatan alat batu pada kala Paleolitik dan lebih lanjut lagi, pada periode Mesolitik

(...)" (van Heekeren, 1972, hlm. 77).Hipotesis yang sangat kuat mengenai penggunaan bambu sebagai bahan pembuatan alat

berdasarkan hasil-hasil penelitian etnografis ini agaknya tidak hanya pada kehidupan Homo

sapiens, tetapi juga pada kehidupan Homo erectus berdasarkan ciri khas etologi primata itu

sendiri (Schick dan Toth, 1993; Westergaard dan Suomi, 1995).

Dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, pengaruh menentukan dari tipe alam

ini pasti lebih kuat, tidak hanya dalam bidang ekonomi masyarakat tersebut, melainkan juga

dalam bidang teknologi mereka. Contohnya pemilihan bahan-bahan untuk membuat perkakas

dan senjata.

Di daerah-daerah tersebut, vegetasi yang berlimpah dan bervariasi menunjukkan

keanekaan bahan yang dapat digunakan penduduk dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

bambu atau kayu-kayu lainnya tidak bertahan lama dibandingkan dengan batu, maka kita tidak

dapat mengetahui berapa sebenamya pengaruh kedua jenis bahan tersebut dalam ekonomi

mereka. 01eh karenanya, harus kita ingat bahwa vegetasi hampir pasti telah sering dipakai,

mungkin seintensif batu, tetapi tanpa bukti-bukti arkeologi yang ditemukan dalam situs.

Tambahan lagi, mengingat pentingnya kegunaan bambu yang tetap berlanjut sampai

sekarang, baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam ekspresi budaya di Asia (lukisan,

puisi, taman, dan terutama simbolisme agama), sulit untuk tidak membayangkan bahwa nenek

moyang pendahulu manusia sekarang telah mencetuskan ide untuk mendayagunakannya.

Asia Tenggara: Sebuah Mosaik Industri Litik

Dalam konteks wilayah tanpa kesatuan regional, di pusat suatu kesatuan yang terbagi

secara alami, kita menghadapi keadaan di mana jumlah data mengenai industri batu yang

dipangkas boleh dikatakan fragmentaris.

Kita akan melihat bahwa satu-satunya tekno-kompleks yang mungkin bisa mencirikan

adanya kesatuan regional Asia Tenggara ialah Hoabinhian, karena merupakan satu-satunya

yang telah terdefinisi dan menyumbangkan sebuah fosil pemandu dalam bentuk kerakal yang

dipangkas (sumatralit) (Colani, 1929; Gorman, 1971; Glover, 1973; Ha Van Tan, 1997; Moser,

2001; Forestier, 2000 dan Forestier et al., 2005b). Kita akan membahas tekno-kompleks ini

secara lebih rinci di bagian berikutnya, terutama menyangkut istilah, persebaran, letak

kronologis dan keunikannya.

Kurangnya penarikhan (bahkan yang relatif sekali pun) mendorong kita untuk

membagi pemaparan ini secara arbitrer dalam tiga periode:

- Kala tertua (Plestosen bawah dan tengah), masa hidup Homo erectus.

- Kala yang berhubungan dengan akhir kala Plestosen atas, saat munculnya manu￾sia modem di wilayah-wilayah ini (antara kira-kira 40.000 sampai 10.000 tahun

yang lalu).

- Kala Preneolitik pada awal kala Holosen (kira-kira 10.000 sampai 5.000 tahun

yang lalu).

Meskipun Cina tidak termasuk dalam wilayah Asia Tenggara yang sesungguhnya, kami

akan mencoba menyinggungnya secara singkat pada awal bagian-bagian yang akan dibahas

kemudian. Cina dan lautnya merupakan wilayah yang sangat penting dalam proses

pendudukan, karena wilayah itu sering diasimilasikan sebagai zona peralihan menuju wilayah- wilayah yang lebih ke selatan (Shutler, 1995). Cina merupakan tanah asal dari segi

antropologi, budaya dan linguistik. Baik Homo erectus ataupun Homo sapiens sapiens meng￾huni Asia Tenggara dengan Cina sebagai latar belakang (Bellwood, 1997; Bowdler, 1992 dan

1993; Wu, 1992).

Kami tidak akan membahas peradaban neolitik yang sangat kompleks, terutama untuk

wilayah daratan, yang menandai peralihan dari ekonomi berburu dan meramu ke ekonomi

bercocok-tanam sejak sekitar 4.000-5.000 tahun yang lalu.

Untuk masa Neolitik di Asia Tenggara, perlu disertasi khusus untuk membahasnya. Hal

ini disebabkan karena, dipandang dari segi geografis, kekayaan komposisi industri dan

inovasi-inovasinya (seni, penataan ruang, pendirian kampung, pertanian dll.) relatifhomogen.

Kala Neolitik menempati posisi penting dalam sejarah manusia modem dan ilmu

tekniknya di Asia Tenggara, serta berperan sebagai masa transisi dan/atau masa putusnya

hubungan dengan peradaban-peradaban awal kala Holosen yang mendahuluinya, seperti

ditunjukkan oleh situs penelitian kami di sebelah timur Jawa.

Dari aspek teknik, mungkinkah tekno-kompleks dari masa Holosen Preneolitik ini lebih

erat kaitannya dengan tradisi paleolitik yang lebih tua atau apakah mereka mempunyai

persamaan dengan masa Neolitik?

Dibandingkan dengan wilayah-wilayah Iain di dunia, karena alasan geografis

(kelompok-kelompok etnis yang terisolasi), kita sulit mendapatkan gambaran terperinci

tentang budaya-budaya preneolitik dan neolitik dengan mencari ciri-ciri khas dan asal-usul

mereka, sambil berusaha menemukan kemungkinan kemiripan-kemiripan pada evolusi

budaya-budaya tersebut (bila terdapat evolusi). Sebagaimana ditulis oleh 1. Garanger:

"Masih sulil membedakan dengan tepat Epipaleolitik dengan Mesolitik di Asia Tenggara, karena

kurangnya pengetahuan mengenai akhir masa Paleolitik (vang di beberapa daerah mungkin masih

berlanjut sampai ke kala Holosen) dan kurangnya pengetahllan tentang permlllaan pertanian dan

peternakan di wilayah yang merupakan tempat-tempat penemllan dan peniruan" (Garanger,

1992, hlm. 660).

Kesulitan dalam analisis kami ialah untuk menempatkan tekno-kompleks yang

dijumpai dalam ruang geografis dan waktu serta mendiskusikan tingkat kesamaan dan

perbedaannya.

Saat ini kita masih bergantung pada sumber-sumber lama dan masih sangat kurang

mengenal kondisi serta urutan budaya prasejarah dan pertaliannya di Asia Tenggara, belum

termasuk aliran-aliran pengaruh besar yang sangat mungkin datang dari utara. Menurut hemat

kami, usaha untuk memaparkan data arkeologis yang memerikan kejadian-kejadian secara

menyeluruh, lengkap dengan sebuah kronologi yang pasti, dapat dipastikan akan gagal.

Dalam konteks mosaik tekno-kompleks ini, yang terkadang kelihatan agak "kacau",

kita akan menghadapi sejumlah istilah yang dijadikan "budaya" dengan makna, ambiguitas,

dan kemumian istilah tersebut. Namun demikian, istilah-istilah itu merupakan pedoman

mentalitas dari suatu masa, yaitu suatu masa prasejarah, khususnya di Indocina antara kedua

Perang Dunia: Anyathian, Bacsonian, Cabalwanian, Hoabinhian, Tampanian, Lannathian,

Liwanian, Nguomian, Fingnoian, Sonviian, Toalian, Tabonian, Sampungian, Cabengian, dan

juga Pacitanian.

Perlu diingatkan bahwa dalam periode tertua, di mana sebagian besar budaya￾budaya tadi berkembang, stratigrafinya kurang terperinci dan tidak ada penarikhan yang

bersifat absolut.

Sebaliknya, pada periode-periode yang lebih muda, yang mencakup masa 40.000 tahun

terakhir, kita memiliki lebih banyak data yang dapat diandalkan, yang diperoleh melalui metode C14. Dengan demikian, kita dapat memaparkan data-data tersebut dalam sebuah peta

sintetis (tidak lengkap) untuk memudahkan pembacaan teks buku ini (Ilustrasi 10).

1) INDUSTRI-INDUSTRI ASIA TENGGARA DARATAN

1.1) Industri-Industri Tertua

Homo erectus dianggap sebagai penghuni awal kawasan ini pada kala Plestosen bawah.

Dalam periode ini, untuk zaman yang meliputi 1 hingga 0,3 juta tahun, fosil-fosil Homo

erectus telah ditemukan di Cina, terkadang bersama tinggalan-tinggalan litik. Namun sayang,

tinggalan-tinggalan tersebut masih terlalu sedikit untuk dapat mendefinisikan sebuah

tekno-kompleks purba secara terperinci. Situs Lantian contohnya, telah menghasilkan sekitar

dua puluh batu yang dipangkas (Wu, 1991 dan 1992). Industri yang dikaitkan dengan situs

Yuanmou dianggap sebagai situs tertua di Cina dan di Asia (berasal dari sekitar 1,5 sampai 1

juta tahun) dengan hanya terdiri atas beberapa alat kecil dari kuarsa (lia, 1985; Wu dan Olsen,

1985; Cuong 1992).

Alat-alat kapak genggam (biface/hand axe), serut samping, batu inti dengan permukaan

berfaset dari batu kuarsa dan serpih-serpih berbentuk segitiga dengan retus konvergen dari batu

rijang, telah ditemukan pada situs-situs seperti Lantian dan Zhoukoudian (Zhang, 1985). Situs￾situs yang paling kaya akan alat-alat ini terdiri atas situs-situs yang lebih muda, lebih kurang

250.000 hingga 100.000 tahun yang lalu (Homo sapiens arkais). Contohnya, Dali dengan

industri litik (serpih) yang dikaitkan dengan tengkorak kepala manusia Dali (Wu, 1991)

(Ilustrasi 2).

Periode yang sangat lampau ini kurang mendapat perhatian karena kurangnya data,

kurangnya ekskavasi-ekskavasi stratigrafis yang dilakukan dengan tepat, kurangnya

penarikhan yang bisa dipercaya, dan juga akibat pengaruh kuat model-model yang masih

dipakai untuk menerangkan permulaan migrasi-migrasi manusia dan urutannya

sepanJang zaman.

Model yang paling terkenal ialah model ciptaan H. L. Movius (1948), yang dipakai

kemudian oleh F. Bordes pada tahun 1970-an. Model ini memisahkan Asia Timur dan Asia

Tenggara dalam dua wilayah yang luas: wilayah dengan alat bifasial di sebelah barat India

(Punjab), dan wilayah yang disebut Soanian dengan kapak perimbas dan kapak penetaknya

(chopping-tool) mengarah ke timur menuju Cina dan wilayah-wilayah yang jauh di selatan

(Bordes, 1968, hlm. 138-139).

Seperti yang dapat kita amati, terdapat suatu budaya materiil pada Homo erectus.

Meskipun jumlah temuan masih sedikit, kelompok ini memerlukan analisis teknologi yang

akurat pada masa yang akan datang.

Meskipun tidak ada sintesis yang bisa diajukan, tidak diragukan lagi bahwa alat-alat

litik yang dipangkas oleh Homo erectus merupakan industri-industri tertua di Asia Tenggara,

baik di daratan maupun di kepulauan. Namun masalah tetap ada, yakni menyangkut letak

stratigrafis yang tepat dari alat-alat tersebut, urutannya dalam waktu, demikian juga hubun￾gannya dengan temuan-temuan paleontologis yang masih terus diperdebatkan.

Kami akan memaparkan bentuk-bentuk peralatan dari kala Paleolitik Asia Tenggara yang

sangat tua.Penghunian wi1ayah-wi1ayah ini oleh Homo erectus bermula sekitar 1-1,5 juta tahun

yang lalu dan berlanjut hingga 300.000-200.000 tahun yang lalu (Bellwood, 1997; Sémah,

1986; Sémah et al., 1993,2000 dan 2003; Cuong, 1992).

Sampai sekarang, penelitian-penelitian prasejarah lebih menekankan pada persebaran

geografis temuan-temuan arkeologis (lihat: garis Movius) dibandingkan dengan usaha untuk

mendapatkan stratigrafi yang lebih tepat atau bahkan penelitian tentang lapisan-lapisan hunian.

Kami hanya akan membahas tiga dari lima negara Asia Tenggara Daratan, karena baik

Kamboja, Laos dan Malaysia, saat ini tidak dapat diandalkan untuk memberi bukti nyata

apapun juga tentang keberadaan Homo erectus berdasarkan tinggalan-tinggalan paleontologis

atau artefak-artefak.Harus dicermati bahwa dalam hal Semenanjung Melayu, alat-alat yang (katanya)

sangat tua dari situs Kota Tampan (situs yang namanya dipakai dalam istilah Tampanian) telah

dikembalikan ke dalam jajaran industri Holosen setelah penelitian lanjutan oleh Z. Majid

(Majid dan Tjia., 1988; Majid, 2003). Kami akan membicarakan lagi situs ini dalam

pembahasan industri-industri Plestosen atas.

1.1.1 Myanmar

Berkenaan dengan situs-situs besar yang telah menghasilkan fosil Homo erectus di Asia

Daratan, kami sempat bimbang menyebut kawasan Myanmar karena jenis dan jumlah temuan

antropologis serta posisi stratigrafis dan kronologisnya masih belum jelas. Namun demikian,

harus dicermati bahwa daerah Arakan Yoma di utara Myanmar oleh beberapa ahli dianggap

sebagai sebuah "daerah istimewa dari segi antropologi", suatu area perbatasan Cina-Myanmar

yang strategis untuk jalur migrasi Homo erectus dari Cina menuju Jawa (Shutler dan Braches,

1988 ; Shutler, 1995).

Pada tahun 1980-an, penelitian-penelitian yang dilakukan di lembah Chindwin, dekat

desa New Gwe, Myanmar tengah, tampaknya telah menghasilkan dua fragmen tulang rahang

yang dianggap dari Homo erectus berdasarkan hasil analisis gigi (geraham dan geraham

depan) (Maw, 1993).

Tingga1an kegiatan manusia pada masa lampau telah berhasil diidentifikasi di teras

lembah Sungai Irrawadi sejak tahun 30-an oleh H.L. Movius. Tinggalan itu mengacu pada

budaya Plestosen yang dikenal sebagai Anyathian (Ilustrasi 3). Budaya ini terdiri atas industri

kerakal pangkasan (kapak perimbas dan kapak penetak) dan serpih-serpih besar fosil kayu atau

tufa vulkanis. Movius tidak dapat memberi penarikhan meyakinkan apapun juga untuk

kelompok artefak tersebut. Dengan mengacu pada teras-teras Kuarter, dia mengusulkan kala

Plestosen bawah-tengah, kala Plestosen atas ataupun ka1a Holosen bawah (Movius,

1948, hlm. 355).

1.1.2 Thailand

"Alat-alat kuno" yang paling awal di Thailand ditemukan pada tahun 40-an, sewaktu

dilakukan survei oleh van Heekeren di lembah Sungai Fing Noi ("Sungai Kwai"), tidak jauh

dari Sungai Lam Phachi di barat laut Thailand (Ilustrasi 3). Di daerah yang sama terdapat situs

gua Ong Bah. Alat-alat tersebut telah dinamai Fingnoian, sebuah istilah yang sudah

ketinggalan zaman. Industri ini terdiri atas kerakal yang dipangkas, yang terkadang dari tufa,

dan mengingatkan kita pada budayaAnyathian di Myanmar (Brézillon, 1969, hlm. 100).

Sebuah istilah muncul sekitar tahun 1960-1970 untuk menunjukkan suatu industri

Plestosen bawah-tengah yakni Lannatian (S0rensen dan Hatting, 1967). Ditemukan di Provinsi

Lan Na, tekno-komp1eks dari utara Thailand yang sangat arkais ini antara Iain berupa alat-alat

dari kerakal dan fosil kayu yang dipangkas. Alat-alat tersebut diduga merupakan produk Homo

erectus. Zaman tekno-kompleks ini sangat diperdebatkan dan diperkirakan berusia antara

900.000 dan 600.000 tahun.Masih di utara Thailand, di Provinsi Lampang, situs Ban Mae Tha dan Ban Do Mun

telah menghasilkan alat-alat berbentuk kerakal dari batu kuarsa dan basal. Alat-alat dari basal

ditemukan dalam sebuah lapisan yang terletak di bawah sebuah lapisan basal yang te1ah

ditarikhkan 0,7 juta tahun berdasarkan paleomagnetisme (Pope et al., 1987). Menurut Pope,

alat-alat tersebut jelas berusia lebih dari 700.000 tahun dan dihasilkan oleh Homo erectus. Jika

benar, alat-alat tersebut merupakan alat-alat yang paling tua ditemukan, bukan hanya di

Thailand tetapi juga di Asia Tenggara.

1.1.3 Vietnam

Situs-situs di Vietnam (Ilustrasi 3) secara keseluruhan juga berrnasalah, karena

kurangnya ekskavasi stratigrafis dan penarikhan yang tepat. Sebagian besar lapisan tanah yang

berkaitan dengan keberadaan Homo erectus dan industrinya tidak ditarikh. Kebanyakan meru￾pakan bengkel perrnukaan yang disebut "Acheulean", contohnya di Gunung Do (Nui Do),

Gunung Quân Yên, Tàn Mài, dU. Sesungguhnya, Gunung Do merupakan salah satu dari situs￾situs besar di alam terbuka yang disebut Acheulean atau "bengkel Paleolitik bawah". Di situs

itu, sejak tahun 60-an, telah ditemukan banyak kapak perimbas dan kapak penetak. Juga dite￾mukan pecahan alat batu berbentuk persegi empat dalam jumlah yang lebih sedikit

(Boriskovsky, 1967; Ha Van Tan, 1980).

Situs Xuan Lôc, yang ditemukan oleh E. Saurin sekitar tahun 1970-1980, telah

menghasilkan sebuah industri tua yang kaya, terdiri atas kapak genggam, kapak pembelah, batu

berfaset, dan kapak perimbas (Saurin, 1971).

Satu-satunya bekas fosil manusia lampau ditemukan di gua Thâm Khuyen dan Thâm

Hai (Provinsi Lang Son di utara Vietnam) berupa sejumlah gigi Homo erectus bersama sisa￾sisa hewan purba (Ha Van Tan, 1980; Ciochon dan Olsen, 1986).

Berdasarkan temuan sisa hewan dari era Kuarter bawah (keberadaan Mastodon sp.,

Stegodon preorientaliis, Equus yunnanensis dan Hyaena brevirostris licenti), kedua situs ter￾sebut dapat dikaitkan dengan penghunian awal manusia di wilayah Vietnam yang mungkin

berasal dari sekitar 250.000 tahun yang lalu (Cuong, 1992). Semua situs yang kurang jelas

stratigrafinya di bagian utara Vietnam ini menghasilkan fragmen tulang-be1ulang binatang

masa lampau dan sisa manusia, tetapi tanpa bercampur dengan peralatan litik yang dipangkas.

Masa prasejarah purba di Vietnam masih kurang dikenal. Pemaparan penemuan di

tingkat intemasional masih kurang. Namun demikian, pegunungan-pegunungan karst sebelah

utara merupakan suatu daerah istimewa karena kaya akan pemukiman gua atau ceruk, alat-alat

batu yang dipangkas dan sisa-sisa tulang.

1.2) Industri-Industri di Penghujung Plestosen dan di Awal Holosen

Industri-industri yang akan kami paparkan ialah industri-industri manusia modem.

Setelah penemuan-penemuan antropologis di Liujiang (Wu, 1991 dan 1992), diperkirakan

bahwa di Cina Selatan manusia modem muncul sejak 60.000 tahun yang lalu. Hingga kini,

tidak ada inforrnasi apapun juga tentang budaya materiil Homo sapiens awal dari situs

tersebut. Tempurung kepala dari Liujiang yang ditemukan pada tahun 1958 dengan morfologimenyerupai Mongoloid masa kini telah menimbulkan polemik, mengingat pOSISI

stratigrafisnya yang belum jelas dan kondisi-kondisi pada saat penemuannya oleh sejumlah

petani (Vandermeersch, 1995).Secara umum industri-industri litik di Cina kurang dikenal, tetapi memiliki kedalaman

diakronis yang menarik. Sesungguhnya industri-industri tersebut memperlihatkan kesinambungan

tekno-kompleks sepanjang zaman, sehingga memungkinkan para ahli prasejarah menyusun

periode-periode kronobudaya seperti di Eropa: Paleolitik bawah, Paleolitik tengah, dan

Paleolitik atas, lalu peradaban Holosen mikrolitik dan Neolitik (Wu dan Olsen, 1985).

Tampaknya, pembagian-pembagian ini lebih didasarkan pada aneka tipe manusia yang

dijumpai seperti Homo erectus, Homo sapiens arkais dan Homo sapiens sapiens, daripada

perkembangan bentuk peralatan menurut tingkatan teknis yang berbeda.

Di Cina bagian selatan, sejak kala Plestosen tengah hingga penghujung Plestosen atas

dibuat banyak serpih dengan cara benturan langsung dengan menggunakan penetak tebal. Batu

intinya sangat keras. Hal tersebut membuktikan adanya teknik pemangkasan bipolar yang

menyerupai kegiatan manusia yang paling awal, pada sekitar satu juta tahun yang lalu (lia dan

Huang, 1985; Qiu, 1985). Keberadaan industri besar bercirikan ''pebble culture" tidak berarti

berasal dari periode-periode paling tua dari kala Plestosen, sebagaimana juga keberadaan

tradisi Levallois Cina yang kelihatannya belum terbukti dari kala Plestosen tengah (Qiu, 1985;

Zhonglang, 1992).

Sepanjang hampir sejuta tahun sejarah manusia, apa pun tipe-tipe antropologis yang

dijumpai, Cina terkesan memperlihatkan sedikit perubahan dalam industri litik yang

dipangkas. Mulai dari situs-situs awal Homo erectus hingga penghujung kala Plestosen atas

terdapat semacam kesinambungan dari segi artefak dan setelah itu seolah-olah terhenti pada kala

Holosen dengan dimulainya mikrolitisasi dan perkembangan secara bertahap menuju neolitisasi.

Asia Tenggara Daratan tidak mengikuti kronologi perkembangan di Cina (meskipun

arbitrer) pada masa Kuarter. Sesungguhnya, tampak ada kekosongan antara kala-kala Homo

erectus dan kala-kala manusia modem. Kemungkinan besar manusia modem ini muncul pada

sekitar penghujung kala Plestosen atas, kira-kira 30.000 tahun yang lalu. Sebaliknya, dan untuk

pertama kali, muncul Hoabinhian, sebuah tekno-kompleks budaya yang nampak homogen

dalam ruang geografis dan waktu dan yang mengungkapkan kegiatan-kegiatan manusia

modem sepanjang masa peralihan, antara penghujung kala Plestosen atas dan permulaan

Holosen.

Kita akan membahas asal mula penciptaan tekno-kompleks tersebut dan komposisinya,

yang menjadikannya sebagai patokan kronologis dan teknologis, berdasarkan kekhasan tetapi

juga ke1emahan definisinya. Ke1emahan tersebut terutama menyangkut kesatuan lapisan

tersebut di tingkat Asia Daratan.

Tampaknya Hoabinhian tetap merupakan (walaupun masih samar) petunjuk kronologis

yang paling "meyakinkan" untuk masa prasejarah Asia Tenggara Daratan, dan bahkan mungkin

untuk wilayah Nusantara.

1.2.1 Vietnam

Vietnam merupakan tempat asal tekno-kompleks budaya utama manusia modem di Asia

Tenggara.

Secara urutan kronologis, sebelum menegaskan unSUf-unsur Hoabinhian sebagai tekno￾kompleks utama di zona daratan ini, perlu dibicarakan suatu tekno-kompleks yang te1ah lama

dianggap sebagai pendahulunya, yaitu Sonviian. Situs eponimnya, Son Vi, terletak di barat laut

Hanoi, di lembah Sungai Merah. Meski luasnya sangat relatif, daerah situs-situs Sonviiandalam wilayah utara ini mencakup banyak situs Iain seperti: Cum Don, Pông, Nâm Tun, Chu,

dU. (Ha Van Tan, 1980). Tekno-kompleks ini berasal dari 25.000 tahun yang lalu dan tampak

terbatas di utara daerah situs-situs Hoabinhian (Ha Van Tan, 1978, dan 1980; Moser, 2001).

Sonviian menghasilkan kumpulan temuan yang tidak berbeda sedikit pun dengan

temuan Hoabinhian, sehingga menimbulkan banyak kritik. Dalam susunan tipologisnya,

ditemukan banyak kerakal yang dipangkas dan alat-alat serpih yang kebanyakan dari batu

kuarsa dan kuarsit.

Jauh sebelum ditetapkan sebagai industri Homo sapiens sapiens, industri Hoabinhian

kelihatan kasar, diperkirakan sebagai industri paleolitik dan lama dianggap sebagai sebuah

budaya tertua di Vietnam dan di negara-negara Iain. Industri ini telah menarik perhatian

banyak peneliti sejak ditemukan di Tonkin pada tahun 30-an. Hoabinhian berasal dari bagian

utara Vietnam, di daerah karst Hoa-Binh. Industri ini ditemukan oleh M. Colani pada saat

penggalian gua (Colani, 1927 dan 1929).

Benemuan M. Colani merupakan buah kerja lapangan raksasa di sekitar lima puluh

situs, termasuk situs-situs yang terkenal di daerah Hoa Binh atau Sao Dong dan juga X-Xham,

M-Khang, Trieng-Xen, dU. Kecuali mungkin Sao Dong, hasil-hasil sebagian besar penggalian

ini tidak menunjukkan data menyangkut tempat dan lapisan di mana telah ditemukan artefak￾artefak litik (Ilustrasi 4 dan 5).

Baru pada kongres pertama ahli prasejarah Timur Jauh pada tahun 1932 di Hanoi

ditetapkan secara resmi istilah "Hoabinhian" dan definisinya sebagai sebuah peradaban

prasejarah, khusus untuk daerah Asia Tenggara:

"Peradaban yang terdiri atas a/at-a/at yang umumnya dipangkas dengan tipe yang cukup

beranekaragam dan menggunakan gaya bentukan yang cukup sederhana. Kebudayaan ini

dicirikan a/eh pera/atan yang sering dipangkas di satu sisi. batu puku/. artefak berbentuk irisan

subsegitiga yang besar, cakram. kapak pendek, a/at-a/at berbentuk buah amanda, serta a/at-a/at

tu/ang yang berjum/ah cukup banyak" (Praehistorica Asiae Orientalis, 1932, hlm. Il, dalam

Jérémie dan Vacher, 1992).

Kongres tersebut berjasa dalam memberikan definisi pertama Hoabinhian, tetapi

seperti semua tekno-kompleks yang Iain, pada Hoabinhian juga diterapkan "Hukum

pembagian dalam tiga bagian" (la loi de la division par trois). Jadilah Hoabinhian secara

arbitrer dibagi dalam tiga sub-bagian, Hoabinhian 1 hingga Hoabinhian III, mulai dari yang

paling kasar sampai kepada yang lebih halus.

Hoabinhian tetap menjadi masalah sampai sekarang karena data mengenai peralatan

sering kali merupakan hasil pengumpulan pada permukaan atau ekskavasi lama yang tidak

jelas stratigrafinya dan kurang tepat penarikhannya.

Walau Hoabinhian sebagai budaya telah banyak diperdebatkan, tekno-kompleks itu

mencirikan sebuah industri yang pada hakikatnya terdiri atas alat-alat yang berbentuk kerakal

lonjong, cukup datar, dengan potongan subsegitiga, melalui pangkasan langsung secara mono￾fasial atau bifasial dengan menggunakan batu pukul keras.

Artefak-artefak yang kelihatan "kasar dan berat" ini disebut "sumatralit", dan terka￾dang ditemukan bersama-sama dengan alat-alat serpih berukuran kecil atau juga dengan sisa

industri tulang yang meliputi sudip, pengasah dan mata panah. Tipe pemangkasan ini menghasilkan bentuk-bentuk yang dapat mengingatkan kita

pada alat berpinggang dari Australia: alat-alat (berbentuk angka 8 atau buah pir) yang diretus

tepinya dan menunjukkan adanya cekungan samping yang jelas hasil rangkaian peretusan

yang curam.

Kelompok artefak Hoabinhian yang diwakili alat-alat yang sangat khas dan merupakan

"fosil pemandu" (Bordes, 1950) sejati ini, disertai alat-alat besar yang lebih klasik dari

kerakal, seperti kapak perimbas dan kapak penetak, juga beberapa alat serpih yang susunan

tipologisnya masih kurang jelas.

Dari sudut pandang tipologis, tidak dapat disangkallagi bahwa Hoabinhian merupakan

suatu kesatuan yang nyata. Meskipun demikian, analisis teknologi dari tekno-kompleks ini

sepertinya tidak menggugah perhatian banyak peneliti, kecuali dalam beberapa penelitian awal

yang menggunakan metode eksperimental (Gouédo, 1987; Jérémie dan Vacher, 1992; Forestier

et al., 2005c).

Dewasa ini, Hoabinhian dipandang sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya tekno￾kompleks dari kala-kala Plestosen atas hingga awal Holosen. Pandangan ini kelihatannya

ditegaskan berdasarkan lamanya, homogenitas dan kesatuan tertentu dalam ruang waktu dan

geografis (Matthews, 1964; Gorrnan, 1970 dan 1971; Glover, 1977).

Tekno-kompleks ini tidak hanya ditemukan di Vietnam dan di Thailand, tetapi juga di

negara-negara Iain di Asia Tenggara Daratan. Keadaan ini kurang diketahui karena sedikit situs

yang diteliti, misalnya situs Padah-Lin di Myanmar (Aung, 1969) atau situs Laang Spean di

Kamboja (Mourer et al., 1970 dan 1973; Mourer, 1977).

Laos merupakan daerah yang paling kurang dikenal karena jarangnya penelitian.

Namun penelitian M. Colani di lembah Kubur-Kubur Tempayan (Plaine des Jarres) menyebut

keberadaan kerakal yang dipangkas bertipe Hoabinhian di perrnukaan tanah (Colani, 1935).

Hoabinhian terlihat pada sejumlah besar situs-situs di pesisir timur laut Sumatra yang

berhadapan dengan Malaysia, dan mungkin juga di Filipina.

Berkaitan dengan penemuan lapisan-lapisan Hoabinhian di Filipina, banyak peneliti

memilih untuk tetap bersikap hati-hati. Sebenarnya tidak ada informasi baru sejak awal tahun

80-an tentang penemuan ini. Industri-industri yang menyerupai Hoabinhian mungkin pernah

ditemukan di Pulau Palawan (Kress, 1977a dan 1977b) dan di situs Pintu di Timur Laut Pulau

Luzon (Peterson, 1974).

Seperti yang diindikasikan namanya, kerakal Hoabinhian yang masih dinamakan

"sumatralit" juga ditemukan pada banyak situs di timur laut Sumatra. Memang, sepanjang

hampir 100 kilometer di daerah pesisir antara Aceh (Sungai Tamiang) dan Percut, terdapat

situs-situs Hoabinhian berupa bukit-bukit kecil yang terdiri atas timbunan cangkang-cangkang

kerang yang dikonsumsi, tulang-tulang yang dipecah, dan kerakal-kerakal yang dipangkas

(Soejono, 1984; Simanjuntak, 1995).

McKinnon menetapkan perrnulaan pembentukan timbunan-timbunan kerang tersebut

(Meretrix) pada kurun waktu sekitar 11.000-12.000 tahun yang lalu. Bukit kerang tersebut

bercampur dengan alat-alat yang dipangkas, sisa-sisa gajah, badak, beruang, rusa, kura-kura,

kepiting dan ikan (McKinnon, 1990).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada dua tipe situs Hoabinhian, yaitu situs-situs

Hoabinhian pesisir dan situs-situs Hoabinhian pegunungan.Thailand mernpakan negara yang terbanyak mempunyai situs Hoabinhian dalam gua.

Situs-situs dari kala Holosen ini terletak di pedalaman, di sepanjang bagian barat Thailand,

dekat sekali dengan perbatasan Myanmar: Spirit Cave (Gorman, 1972), Tham Pha Chan

(Bronson dan White, 1992), gua-gua Banyan Valley (Reynolds, 1992), Obluang (Santoni et al.,

1986 dan 1988), Ongbah Cave (S0rensen, 1988), Khao Talu dan Heap Caves (Pookajorn,

1984), Pak Om dan Buang Baeb (Fine Arts Department, 1986; Srisuchat, 1987), Tham Khao

Khi Chan (Reynolds, 1989), Hhao Thao Ha (Chaimongkon, 1989), Lang Rongrien

(Anderson, 1990).

Situs-situs Hoabinhian pesisir biasanya lebih muda dan terletak di sepanjang pesisir

timur laut Sumatra dan pesisir barat Malaysia serta di Vietnam.

Titik persamaan semua situs tersebut nyata sekali masih terdapat pada artefak

sumatralit. Tetapi hubungan ekonomi yang mungkin terjalin antara dua populasi tersebut,

yakni pesisir dan pedalaman, belum dapat dijelaskan.

1.2.3 Hoabinhian: Sebuah Sintesis

Kronologi umum dari Hoabinhian sukar dipastikan, karena tekno-kompleks tersebut

menempati wilayah yang luas mulai dari Vietnam hingga timur laut Sumatra, dan berlangsung

pada masa peralihan dari kala Plestosen menuju kala Holosen.

Berdasarkan sejumlah temuan dan penarikhan dari situs Gua Spirit (Thailand), lama

diduga bahwa peradaban ini muncul sejak 12.000-13.000 tahun yang lalu (Glover, 1973). Spirit

Cave mungkin juga telah menghasilkan tinggalan tembikar paling tua yang mungkin berasa1

dari 10.000 tahun yang lalu (Gorman, 1970). SeIain itu, analisis-analisis karpologi dan

palinologi nampaknya cenderung mendukung hipotesis adanya awal kegiatan pertanian

(Gorman, 1977).

Selama bertahun-tahun masyarakat ilmiah telah menganggap situs Spirit Cave sebagai

sebuah percontohan untuk menunjukkan adanya pernbahan mata pencaharian (peralihan dari

mata pencaharian berburn dan memetik ke mata pencaharian yang lebih menetap dan lebih ke

pertanian) (Bellwood, 1997; Moser, 2001).

Temuan barn mengenai Hoabinhian membuat umurnya menjadi lebih tua, sekitar

30.000 tahun sebelah timur laut Thailand (Ilustrasi 6). Hasil tersebut terdapat pada lapisan￾lapisan bawah situs Tham Lod yang terletak di daerah Mae Hon Son (Shoocongdej, 2006).

Oleh karena itu, penarikhan barn ini telah menempatkan budaya Hoabinhian sebagai

salah satu industri terawal manusia modern dalam wilayah itu dan terntama sebagai sebuah

tekno- kompleks yang sezaman dengan "budaya Sonviian". Pada hakekatnya, kita tidak bisa

lagi menganggap bahwa Sonviian, dengan industri kasamya yang memakai kerakal yang

dipangkas, mendahului Hoabinhian. Ini anggapan yang sering muncul sejak tahun 50-an

(Bellwood, 1997).

Situs Iain yang mungkin dapat digolongkan ke dalam Hoabinhian adalah situs Sai Yok

di barat Thailand, tidak jauh dari situs gua Ong Bah. Situs ini belum mempunyai penarikhan

yang baik (Heekeren dan Knuth, 1967). Sama halnya dengan situs-situs di Vietnam yang

berasal dari penghujung kala Plestosen atas dan awal kala Holosen, di mana telah

ditemukan alat-alat yang berbentuk kerakal Hoabinhian (Ha Van Tan, 1978).Di situs-situs utara Vietnam, Hoabinhian dianggap sebagai "mesolitik", karena masih

berlangsung pada awal kala Holosen. Tekno-kompleks ini nampaknya melebur dalam suatu

tekno-kompleks di tingkat wilayah yang bemama Bacsonian (tekno-kompleks yang "Iebih

neolitik"), yang juga terletak di bagian utara Vietnam pada sekitar 10.000-8.000 tahun

yang lalu.

Bacsonian dianggap sebagai sebuah varian danlatau evolusi lokal dari Hoabinhian.

Bacsonian ditemukan oleh H. Mansuy pada awal abad yang lalu di gua-gua pegunungan

Bacson (Mansuy, 1924 dan 1925).Tekno-kompleks ini terdiri atas alat-alat besar yang bertipe Hoabinhian, kapak-kapak

pendek bersisi tajam diupam, alat-alat tulang, dan juga teknik membuat tembikar yang disebut

"hias tali" (corded marked pottery). Budaya Bacsonian juga dikaitkan dengan kegiatan perta￾nian. Dalam hal ini Bacsonian kadang-kadang dianggap sebagai budaya "neolitik awal" yang

mendahului budaya neolitik dalam arti sempit (Bellwood, 1997; Higham, 1989 dan 2002),

misalnya di situs Da But, Quynh Van dan Cai Beo untuk zaman Neolitik pertengahan dan Bao

Tro, Ha Long, dan Phung N'Guyen untuk zaman Neolitik akhir (I1ustrasi 7).Terlebih dahulu perlu diingat bahwa model peralihan Hoabinhian-Bacsonian yang

"hampir sempuma" ini tidak ditemukan di wilayah selatan seperti di Malaysia dan bahkan di

beberapa situs di Thailand (Bellwood, 1997; Moser, 2001; Higham, 2002). Seb