• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Sapiens 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sapiens 6. Tampilkan semua postingan

Sapiens 6

 







sebab  mereka 

tidak akan menjalankan permainan dengan aturan-aturan yang 

sama. Jika di India yang dikuasai Inggris, seorang Paria, seorang 

Brahmana, seorang Katolik Irlandia, dan seorang Inggris Protestan 


 

164

mengembangkan ketajaman bisnis yang persis sama, mereka 

tidak mungkin memiliki peluang yang sama untuk menjadi kaya. 

Permainan ekonomi tentulah dipasangi batasan-batasan legal dan 

sistem tak resmi yang tidak adil.

Lingkaran Setan

Semua warga  didasarkan pada hierarki yang diimajinasikan, 

namun  tidak dengan sendirinya hierarki yang sama. Apa yang 

memengaruhi perbedaan-perbedaan itu? Mengapa warga  

tradisional India mengklasifikasi orang menurut kasta, warga  

Ottoman dengan agama, dan warga  Amerika menurut ras? 

Pada sebagian besar kasus, hierarki bermula sebagai akibat dari 

seperangkat keadaan sejarah yang aksidental dan kemudian 

dilanggengkan serta diperbaiki dari generasi ke generasi seiring 

berkembangnya kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Misalnya, banyak ahli menduga bahwa sistem kasta 

Hindu mendapatkan bentuknya saat  orang-orang Indo-Arya 

menginvasi anak benua India sekitar 3.000 tahun lalu, dengan 

menaklukkan penduduk setempat. Para penginvasi menciptakan 

warga  berstrata, yang di dalamnya mereka—tentu saja—

menduduki posisi-posisi terkemuka (pendeta dan prajurit) 

sehingga penduduk asli hanya bisa menjadi pelayan dan budak. 

Para penginvasi, yang jumlahnya sedikit, takut kehilangan status 

hak-hak istimewa dan identitas unik mereka. Untuk mencegah 

bahaya ini, mereka membagi populasi ke dalam kasta-kasta, 

yang masing-masing diharuskan mencari jabatan tertentu atau 

peranan tertentu dalam warga . Masing-masing memiliki 

status hukum, hak-hak istimewa, dan tugas-tugas yang berbeda-

beda. Penggabungan kasta—interaksi sosial, perkawinan, bahkan 

berbagi makanan—dilarang. Dan, pembagian-pembagian ini tidak 

hanya bersifat legal—namun  dimasukkan menjadi bagian inheren 

dalam mitologi dan praktik keagamaan.

Para penguasa berdalih bahwa sistem kasta mencerminkan 

realitas kosmik abadi, bukan perkembangan historis yang 

kebetulan. Konsep-konsep kemurnian dan ketidakmurnian 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

165

menjadi unsur-unsur esensial dalam agama Hindu, dan itu 

semua dimanfaatkan untuk menopang piramida sosial. Orang-

orang Hindu yang patuh diajari bahwa kontak dengan anggota 

kasta yang berbeda bisa mencemari tidak hanya mereka secara 

pribadi, namun  juga warga  secara keseluruhan, dan sebab  

itu harus dibenci. Ide-ide semacam itu bukan khas Hindu saja. 

Sepanjang sejarah, dan di hampir semua warga , konsep-

konsep tentang polusi dan kemurnian memainkan peran penting 

dalam memperkuat pembagian-pembagian sosial dan politik, 

dan telah dieksploitasi oleh banyak kelas penguasa untuk 

mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Meskipun demikian, 

ketakutan pada polusi bukan sepenuhnya bikinan para pendeta 

dan pangeran. Kemungkinan itu berakar dari mekanisme survival 

biologis yang membuat manusia merasakan kemuakan naluriah 

terhadap pembawa-pembawa penyakit, seperti orang sakit dan 

mayat. Jika Anda ingin menjaga kelompok manusia mana pun 

terisolasi—perempuan, Yahudi, Romawi, gay, kulit hitam—cara 

terbaik untuk melakukannya yaitu  meyakinkan setiap orang 

bahwa orang-orang ini yaitu  sumber polusi.

Sistem kasta Hindu dan hukum-hukum kemurnian yang 

menyertainya menjadi semakin dalam tertempel dalam budaya 

India. Jauh sesudah invasi Indo-Arya terlupakan, orang-orang 

India terus meyakini sistem kasta yang sama dan membenci 

polusi yang disebabkan oleh penggabungan kasta. Kasta-kasta 

dibagi menjadi sub-sub kasta. Pada akhirnya, empat kasta asal 

berubah menjadi 3.000 kelompok berbeda yang disebut jati 

(yang secara harfiah berarti ‘kelahiran’). Namun, proliferasi 

kasta ini tidak mengubah prinsip dasar dari sistem itu, yang 

menetapkan setiap orang lahir dalam derajat tertentu, dan setiap 

pelanggaran terhadap prinsip itu mencemari orang ini  

dan warga  secara keseluruhan. Jati seseorang menentukan 

profesinya, makanan yang boleh dia makan, tempat tinggalnya, 

dan pasangan yang boleh dinikahi. Biasanya seseorang bisa 

menikah hanya dalam kastanya, dan menghasilkan anak-anak 

yang mewarisi status itu.

Setiap kali ada satu profesi baru berkembang atau satu 

kelompok orang baru muncul, maka profesi atau kelompok itu 


 

166

harus diakui sebagai sebuah kasta agar bisa menerima tempat 

yang sah dalam warga  Hindu. Kelompok-kelompok yang 

tidak mau mendapatkan pengakuan sebagai sebuah kasta, secara 

harfiah, yaitu  kelompok buangan—dalam warga  berstrata 

ini, mereka bahkan tidak menduduki jenjang terendah sekalipun. 

Mereka dikenal sebagai Paria. Mereka harus hidup terpisah dari 

semua orang dan mengais-ngais kehidupan dengan cara yang 

hina dan menjijikkan, seperti mengorek-ngorek sampah untuk 

mencari barang rongsokan. Bahkan, para anggota kasta terendah 

menghindari berbaur dengan mereka, makan bersama mereka, 

menyentuh mereka, dan sudah barang tentu menikahi mereka. 

Dalam India modern, masalah pernikahan dan pekerjaan masih 

sangat dipengaruhi oleh sistem kasta, sekalipun ada upaya-

upaya oleh pemerintahan demokratis India untuk meruntuhkan 

pembedaan-pembedaan semacam itu dan meyakinkan umat Hindu 

bahwa tidak ada pencemaran dari percampuran kasta.3

Kemurnian di Amerika

Lingkaran setan serupa melanggengkan hierarki rasial dalam 

Amerika modern. Dari abad ke-16 sampai ke-18, para penakluk 

dari Eropa mengimpor jutaan budak Afrika untuk bekerja 

di pertambangan dan perkebunan Amerika. Mereka memilih 

mengimpor budak dari Afrika, bukan Eropa atau Asia Timur 

sebab  tiga faktor penopangnya. Pertama, Afrika lebih dekat 

sehingga lebih murah mengimpor budak dari Senegal ketimbang 

dari Vietnam.

Kedua, di Afrika sudah ada perdagangan yang berkembang 

baik (mengekspor budak terutama ke Timur Tengah), sedang  

perbudakan di Eropa sangat jarang. Jelas sangat jauh lebih mudah 

membeli budak di pasar yang sudah ada ketimbang menciptakan 

pasar baru dari nol.

Ketiga, dan yang paling penting, perkebunan Amerika di 

tempat-tempat seperti Virginia, Haiti, dan Brasil dilanda malaria 

dan demam kuning, yang berasal dari Afrika. Orang-orang Afrika 

sudah turun-temurun membawa imunitas genetik parsial terhadap 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

167

penyakit-penyakit itu, sedang  orang Eropa sama sekali tak 

punya pertahanan dan mati bergelimpangan. Akibatnya, lebih 

bijak bagi pemilik perkebunan untuk mengivestasikan uangnya 

dalam budak Afrika ketimbang budak atau buruh paksa dari 

Eropa. Secara paradoks, superioritas genetik (dalam hal imunitas) 

menjelma menjadi inferioritas sosial: persis sebab  orang Afrika 

lebih cocok di iklim tropis ketimbang di Eropa, maka nasib 

mereka pun berakhir menjadi budak-budak dari para tuan Eropa! 

sebab  faktor-faktor pendukung ini, warga -warga  

baru Amerika yang tengah berkembang terbagi menjadi kasta 

penguasa yang terdiri dari orang-orang kulit putih Eropa dan 

kasta hamba sahaya orang-orang kulit hitam Afrika.

namun  orang tidak mau mengatakan bahwa mereka 

mempertahankan budak dari ras atau asal wilayah tertentu sebab  

secara ekonomis menguntungkan. Seperti para penakluk Arya atas 

India, orang-orang kulit putih Eropa di Amerika ingin dipandang 

tidak hanya sukses secara ekonomi namun  juga saleh, adil, dan 

objektif. Mitos-mitos religius dan ilmiah dipaksa melayani untuk 

menjustifikasi pembedaan ini. Para teolog berpendapat bahwa 

orang-orang Afrika yaitu  keturunan Ham, putra Nuh, yang 

dipelanai ayahnya dengan kutukan bahwa keturunannya akan 

menjadi budak-budak. Para ahli Biologi berpendapat bahwa orang 

kulit hitam kurang pandai ketimbang kulit putih dan pemahaman 

moral mereka kurang berkembang. Para dokter menuduh bahwa 

orang kulit hitam hidupnya penuh kotoran dan menyebarkan 

penyakit—dengan kata lain, mereka yaitu  sumber polusi.

Mitos-mitos semacam itu membentuk sebuah perpaduan 

dalam budaya Amerika, dan budaya Barat pada umumnya. 

Mereka terus mendesakkan pengaruh jauh sesudah kondisi-

kondisi pencipta perbudakan musnah. Pada awal abad ke-19 

Kerajaan Inggris melarang perbudakan dan menghentikan 

perdagangan budak trans-Atlantik, dan dalam beberapa dekade 

sesudahnya perbudakan berangsur-angsur dilarang di seluruh 

kontinen Amerika. Patut dicatat, inilah kali pertama dan satu-

satunya dalam sejarah bahwa warga  penganut perbudakan 

secara sukarela menghapuskan perbudakan. Namun, sekalipun 

para budak itu dibebaskan, mitos-mitos rasis yang menjustifikasi 


 

168

perbudakan tetap ada. Pemisahan ras dipertahankan oleh legislasi 

dan norma-norma sosial rasis.

Hasilnya yaitu  siklus sebab-akibat yang menguat dengan 

sendirinya, sebuah lingkaran setan. Perhatikan, misalnya, Amerika 

Serikat bagian selatan sesaat setelah Perang Saudara. Pada 1865, 

Amandemen Ke-13 atas Konstitusi Amerika melarang perbudakan 

dan Amandemen Ke-14 menetapkan bahwa kewarganegaraan 

dan perlindungan setara di hadapan hukum tidak bisa diingkari 

berdasarkan ras. Namun, dua abad perbudakan berarti bahwa 

sebagian besar keluarga kulit hitam jauh lebih miskin dan jauh 

lebih tak terdidik ketimbang sebagian besar keluarga kulit 

putih. Sehingga, orang kulit hitam yang lahir di Alabama pada 

1865 memiliki kesempatan jauh lebih kecil untuk mendapatkan 

pendidikan yang baik dan pekerjaan berupah bagus ketimbang 

para tetangganya yang berkulit putih. Anak-anaknya, yang 

lahir pada 1880-an dan 1890-an, memulai kehidupan dengan 

ketidakberuntungan yang sama—mereka juga lahir dalam keluarga 

miskin tak terdidik.

namun  ketidakberuntungan ekonomi bukanlah 

keseluruhan cerita. Alabama dulu juga rumah bagi banyak 

kulit putih miskin yang tak mendapat kesempatan sebagaimana 

saudara-saudari satu ras mereka yang lebih kaya. Selain itu, 

Revolusi Industri dan gelombang imigrasi menjadikan Amerika 

Serikat sebuah warga  yang luar biasa cair sehingga kaum 

gembel bisa saja dengan cepat menjadi orang kaya. Jika hanya 

uang yang punya arti, perbedaan tajam antar-ras mestinya segera 

mengabur, paling tidak melalui pernikahan campuran. 

namun  itu tidak terjadi. Sampai 1865, orang kulit 

putih, juga banyak orang kulit hitam, memandang sebagai sebuah 

kenyataan belaka bahwa orang kulit hitam memang kurang 

pandai, lebih keras dan lebih cabul secara seksual, lebih malas 

dan kurang peduli pada kebersihan diri ketimbang kulit putih. 

Mereka, dengan demikian, menjadi pelaku-pelaku kekerasan, 

pencurian, pemerkosaan, dan penyakit—dengan kata lain, 

polusi. Jika seorang kulit hitam Alabama pada 1895 secara ajaib 

berhasil mendapatkan pendidikan yang baik kemudian melamar 

pekerjaan terhormat seperti petugas bank, peluang baginya untuk 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

169

diterima jauh lebih buruk ketimbang kandidat kulit putih yang 

kualifikasinya sama. Stigma yang melabeli orang kulit hitam 

secara alamiah tak bisa diandalkan, pemalas, dan kurang pandai 

menjadi sandungan baginya.

Anda mungkin berpikir bahwa orang akan pelan-pelan 

memahami bahwa stigma-stigma itu yaitu  mitos dan bukan 

fakta dan bahwa orang kulit hitam dari waktu ke waktu akan 

bisa membuktikan diri mereka punya kemampuan, taat hukum, 

dan bersih sebagaimana kulit putih. Faktanya, yang terjadi justru 

sebaliknya. Prasangka-prasangka ini menjadi lebih dan lebih 

menggila dari waktu ke waktu. sebab  semua pekerjaan terbaik 

dipegang kulit putih, maka semakin mudah untuk meyakini 

bahwa kulit hitam memang benar-benar inferior. “Lihat”, rata-

rata orang akan berkata, “orang kulit hitam sudah bebas selama 

beberapa generasi, namun  hampir tidak ada kulit hitam yang 

menjadi profesor, pengacara, dokter, atau bahkan pegawai bank. 

Bukankah itu bukti bahwa orang kulit hitam memang kurang 

pandai dan kurang bekerja keras?” Terperangkap dalam lingkaran 

setan ini, orang kulit hitam tidak dipekerjakan untuk pekerjaan-

pekerjaan kerah putih sebab  mereka sudah ditakdirkan tidak 

pandai, dan bukti inferioritas mereka yaitu  langkanya orang 

kulit hitam di pekerjaan kerah putih.

Lingkaran setan tidak berhenti di situ. Dengan tumbuh 

semakin kuatnya stigma-stigma antikulit hitam, keadaan itu 

menjelma menjadi sebuah sistem hukum dan norma “Jim Crow” 

yang dimaksudkan untuk melindungi tatanan rasial itu. Orang 

kulit hitam dilarang memberi suara dalam pemilihan umum, 

belajar di sekolah-sekolah kulit putih, membeli di toko-toko 

kulit putih, makan di restoran kulit putih, tidur di hotel kulit 

putih. Justifikasi untuk semua ini yaitu  bahwa kulit hitam 

memang kotor, malas, kejam sehingga orang kulit putih harus 

dilindungi dari mereka. Orang kulit putih tidak mau tidur di 

hotel yang sama dengan orang kulit hitam atau makan di restoran 

yang sama sebab  takut penyakit. Mereka tidak mau anak-anak 

mereka belajar di sekolah yang sama dengan anak-anak kulit 

hitam sebab  mencemaskan brutalitas dan pengaruh buruknya. 

Mereka tidak ingin orang kulit hitam memberi  suara dalam 


 

170

pemilihan umum sebab  orang kulit hitam bodoh dan tak 

bermoral. Ketakutan-ketakutan ini diperkuat oleh studi-studi 

ilmiah yang “membuktikan” bahwa orang kulit hitam memang 

kurang terdidik sehingga berbagai macam penyakit lebih umum 

di kalangan mereka, dan bahwa kejahatan mereka jauh lebih 

tinggi (studi-studi mengabaikan fakta bahwa “fakta-fakta” itu 

dihasilkan dari diskriminasi terhadap orang kulit hitam).

Sampai dengan pertengahan abad ke-20, segregasi dalam 

bekas negara-negara Konfederasi mungkin lebih buruk dari 

akhir abad ke-19. Clennon King, seorang pelajar kulit hitam 

yang melamar ke Universitas Mississippi pada 1958, dipaksa 

masuk rumah sakit jiwa. Hakim yang mengetuai persidangan 

memutuskan bahwa orang kulit hitam pasti benar-benar gila 

bila berpikir bahwa dia bisa diterima di Universitas Mississippi.

Tak ada yang lebih menggemparkan bagi orang selatan 

Amerika (dan banyak orang utara) dari hubungan seksual dan 

pernikahan antara pria kulit hitam dan perempuan kulit putih. 

Hubungan seks antar-ras menjadi tabu paling besar dan setiap 

pelanggaran, atau yang diduga pelanggaran, dipandang pantas 

mendapat balasan langsung dan dihukum mati tanpa pengadilan. 

Ku Klux Klan, organisasi rahasia penganut supremasi kulit putih, 

melakukan banyak pembunuhan semacam itu. Mereka tentu bisa 

Kebetulan sejarah

Kontrol kulit putih atas kulit hitam

Hukum diskriminatif

Kemiskinan dan ketiadaan 

pendidikan bagi kulit hitam

Prasangka-prasangka kultural

Lingkaran setan: 

suatu situasi historis 

yang berlaku 

menjelma menjadi 

sebuah sistem sosial 

yang kaku.


Tiada Keadilan dalam Sejarah

171

mengajari kaum Brahmana Hindu satu atau dua hal tentang 

hukum kemurnian.

Seiring berjalannya waktu, rasisme menyebar semakin 

meluas ke arena kultural. Kultur aestetik Amerika dibangun di 

seputar standar-standar keindahan kulit putih. Atribut-atribut 

fisik ras kulit putih—misalnya kulit terang, rambut pirang dan 

lurus, hidung mancung—dipandang indah. Ciri-ciri khas kulit 

hitam—kulit gelap, rambut gelap tebal, hidung pesek—dipandang 

buruk. Prakonsepsi-prakonsepsi ini menanamkan hierarki yang 

diimajinasikan, bahkan pada level yang lebih dalam pada 

kesadaran manusia.

Lingkaran-lingkaran setan semacam itu bisa berlangsung 

berabad-abad dan bahkan milenium, mengabadikan hierarki yang 

diimajinasikan yang muncul dari kebetulan sejarah. Diskriminasi 

yang tidak adil sering menjadi semakin buruk, alih-alih membaik, 

dari waktu ke waktu. Uang memperbesar uang, dan kemelaratan 

memperburuk kemelaratan. Pendidikan memperbaiki pendidikan, 

dan kebodohan memperburuk kebodohan. Mereka yang 

dikorbankan oleh sejarah berkemungkinan menjadi korban lagi. 

Dan, mereka yang diistimewakan oleh sejarah menjadi semakin 

lebih diistimewakan lagi.

Sebagian besar hierarki sosiopolitik tidak memiliki basis 

logika maupun biologis—semua itu tak lebih dari pelanggengan 

kebetulan-kebetulan yang didukung oleh mitos-mitos. Itulah salah 

satu alasan yang bagus untuk belajar sejarah. Jika pembagian 

menjadi kulit hitam dan kulit putih atau Brahmana dan Shudra 

didasarkan pada realitas biologis—yakni, jika kaum Brahmana 

memang benar-benar memiliki otak yang lebih baik ketimbang 

Shudra—biologi tentu sudah cukup untuk memahami warga  

manusia. sebab  pembagian oleh biologi atas Homo sapiens 

menjadi kelompok-kelompok yang berbeda-beda sesungguhnya 

bisa diabaikan, biologi tak bisa menjelaskan lika-liku dinamika 

rasial warga  India dan Amerika. Kita hanya bisa memahami 

fenomena-fenomena itu dengan mempelajari peristiwa-peristiwa, 

keadaan-keadaan, dan relasi-relasi kuasa yang mentransformasi 

isapan jempol imajinasi menjadi struktur-struktur sosial yang 

kejam—dan sangat riil.


 

172

Laki-laki dan Perempuan

warga -warga  yang berbeda-beda mengadopsi jenis 

hierarki yang diimajinasikan yang berbeda-beda pula. Ras sangat 

penting bagi orang Amerika modern, namun  relatif tidak signifikan 

bagi Muslim abad pertengahan. Kasta yaitu  masalah hidup dan 

mati dalam abad pertengahan India, sedang  dalam Eropa 

modern itu praktis tidak ada. Meskipun demikian, ada satu 

hierarki yang menjadi urusan tertinggi dalam semua warga  

manusia yang pernah ada: hierarki gender. Di mana-mana orang-

orang menggolongkan diri laki-laki dan perempuan. Dan, hampir 

di mana-mana laki-laki memiliki kedudukan lebih baik, paling 

tidak sejak Revolusi Agrikultur.

Sebagian dari naskah-naskah paling awal China yaitu  

tulang belulang ramalan, bertarikh 1200 SM, yang dipakai  

untuk meramalkan masa depan. Di salah satu tulang terpahat 

pertanyaan “Akankah yang dilahirkan Putri Hao beruntung?” 

Pertanyaan itu dijawab secara tertulis: “Jika anaknya lahir pada 

hari ding, beruntung; jika pada hari geng, harapan berlimpah”.* 

Naskah pada tulang itu diakhiri dengan uraian hasil pengamatan 

yang muram: “Tiga pekan dan satu hari sesudahnya, pada hari 

jiayin, anak itu lahir. Tidak beruntung. Ia seorang perempuan”.4 

Lebih dari 3.000 tahun kemudian, saat  China Komunis 

memberlakukan kebijakan “satu anak”, banyak keluarga China 

terus memandang kelahiran seorang anak perempuan yaitu  

nasib buruk. Orangtua terkadang menelantarkan atau membunuh 

bayi perempuan yang baru lahir dalam rangka mengupayakan 

untuk mendapatkan anak laki-laki.

Di banyak warga  perempuan dijadikan begitu saja 

sebagai properti laki-laki, kebanyakan oleh ayah mereka, 

suami, atau saudara laki-lakinya. Pemerkosaan, pada banyak 

sistem hukum, masuk dalam kategori pelanggaran properti—

*  Dalam kalender China dikenal sepuluh patokan hari yang dikombinasikan 

dengan satu dari dua belas nama binatang. Kesepuluh patokan itu yaitu  jia, yi, 

bing, ding, wu, ji, geng, xin, ren, dan gui, yang tidak ada padanannya dalam bahasa 

Inggris maupun bahasa lain. sedang  kedua belas nama binatang itu yaitu  zi 

(tikus), chou (sapi), yin (macan), mao (kelinci), chen (naga), si (ular), wu (kuda), 

wei (domba), shen (monyet), you (unggas), jia (anjing) dan hai (babi).—penerj.


Tiada Keadilan dalam Sejarah

173

dengan kata lain, korban bukanlah perempuan yang diperkosa, 

melainkan laki-laki yang memilikinya. Dalam keadaan seperti itu, 

penyelesaian hukumnya yaitu  transfer kepemilikan—pemerkosa 

diwajibkan membayar mahar kepada ayah atau saudara laki-laki 

perempuan itu, dan si perempuan menjadi properti pemerkosa. 

Injil menyatakan bahwa “Jika seorang laki-laki bertemu dengan 

seorang perawan yang belum bertunangan, lalu merengkuh dan 

tidur bersamanya dan mereka ketahuan, maka laki-laki yang tidur 

bersama perempuan itu harus membayar kepada ayah perempuan 

muda itu lima puluh shekel perak, dan perempuan itu menjadi 

istrinya” (Ulangan 22:28–29). Kaum Ibrani kuno memandang 

ini pengaturan yang masuk akal.

Memerkosa seorang perempuan yang bukan milik pria 

mana pun tidak dianggap kejahatan sama sekali, sebagaimana 

layaknya memungut sebuah koin yang hilang di jalanan sibuk 

tidak dianggap sebagai pencurian. Nyatanya, ide bahwa seorang 

suami bisa memerkosa istrinya yaitu  sebuah oksimoron. Menjadi 

seorang suami artinya memiliki kendali penuh atas istri secara 

seksual. Mengatakan bahwa seorang suami “memerkosa” istrinya 

yaitu  tidak logis, seperti mengatakan seorang pria mencuri 

dompetnya sendiri. Pemikiran semacam itu tidak terbatas di 

Timur Tengah kuno saja. Pada 2006, masih ada lima puluh 

tiga negara di mana seorang suami tidak bisa dituntut sebab  

memerkosa istrinya. Bahkan di Jerman, hukum pemerkosaan baru 

diamandemen pada 1997 untuk menciptakan kategori hukum 

pemerkosaan marital.5

Apakah pembagian laki-laki dan perempuan itu produk 

imajinasi, seperti halnya sistem kasta di India dan sistem rasial di 

Amerika, atau merupakan pembagian alamiah dengan akar-akar 

biologis yang mendalam? Dan, jika benar pembagian alamiah, 

adakah juga penjelasan-penjelasan biologis untuk preferensi yang 

diberikan kepada laki-laki dan perempuan?

Sebagian dari disparitas kultural, legal, dan politis antara 

laki-laki dan perempuan mencerminkan perbedaan-perbedaan 

biologis yang jelas di antara kedua jenis kelamin. Melahirkan 

selalu menjadi pekerjaan perempuan sebab  laki-laki tidak punya 

rahim. Namun, di sekitar inti universal yang keras ini, setiap 


 

174

warga  mengakumulasi lapisan demi lapisan ide-ide dan 

norma-norma kultural yang tak banyak berhubungan dengan 

biologi. warga -warga  mengasosiasi sejumlah atribut 

pada maskulinitas dan femininitas yang, untuk hampir semua 

bagian, tak memiliki basis biologis yang kuat.

Misalnya, di Athena demokratis abad ke-5 SM, seorang 

individu yang memiliki rahim tidak punya status legal independen 

dan dilarang berpartisipasi dalam majelis umum atau menjadi 

hakim. Dengan beberapa pengecualian, individu seperti itu tak 

bisa mendapatkan manfaat dari pendidikan yang baik, juga 

tidak terlibat dalam bisnis atau percaturan filsafat. Tidak ada 

pemimpin politik Athena, tak seorang pun filsuf, orator, artis, 

atau pedagangnya yang hebat memiliki rahim. Apakah dengan 

memiliki rahim seseorang menjadi tidak cocok secara biologis 

untuk profesi-profesi ini? Orang Athena kuno berpikir demikian. 

Orang Athena modern tidak setuju. Di Athena masa kini, 

perempuan memberi  suara, dipilih menjadi pejabat publik, 

menyampaikan pidato, mendesain apa pun, dari perhiasan 

sampai bangunan dan perangkat lunak, dan kuliah di universitas. 

Rahim-rahim mereka tidak menghalangi melakukan hal-hal ini 

sebagaimana dilakukan kaum pria yang berhasil. Benar, mereka 

masih kurang terwakili dalam politik dan bisnis—hanya sekitar 

12 persen anggota parlemen Yunani yaitu  perempuan. Namun, 

tidak ada hambatan legal apa pun bagi partisipasi mereka dalam 

politik, dan kebanyakan orang Yunani modern berpikir cukup 

normal bagi seorang perempuan mengabdi di jabatan-jabatan 

publik.

Banyak orang Yunani modern juga berpikir bahwa salah 

satu bagian integral dari menjadi pria yaitu  menarik secara 

seksual hanya bagi perempuan. Mereka tidak melihat ini sebagai 

bias kultural, namun  lebih sebagai realitas biologis—relasi antara 

2 orang berlainan jenis kelamin yaitu  alamiah, dan antara 2 

orang sesama jenis kelamin tidak alamiah. Namun faktanya, Ibu 

Pertiwi tidak keberatan jika ada sesama laki-laki saling tertarik. 

Hanya ibu-ibu manusia yang sudah terendam dalam kultur-kultur 

tertentu yang gaduh jika putranya punya hubungan asmara 

dengan anak laki-laki tetangganya. Tantrum ibu bukanlah titah 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

175

biologis. Sejumlah signifikan kultur manusia memandang relasi 

homoseksual tidak hanya absah, namun  bahkan secara sosial 

konstruktif, dan Yunani kuno merupakan contoh yang paling 

termasyhur. Iliad tidak menyebutkan bahwa Theti berkeberatan 

terhadap hubungan putranya, Achille, dengan Patroclus. Ratu 

Olympia dari Macedon yaitu  salah satu perempuan paling 

temperamental dan ganas di dunia kuno, dan bahkan suaminya 

sendiri, Raja Philip, dibunuhnya. Namun, dia tidak sreg saat  

putranya, Alexander Yang Agung, membawa kekasihnya, 

Hephaestion ke rumah untuk makan malam.

Bagaimana kita bisa membedakan apa yang ditentukan 

secara biologis dari apa yang hanya diupayakan orang untuk 

menjustifikasi mitos-mitos biologis. Ada satu rumus yang 

bagus, “Jika Biologi membolehkan, Kultur melarang”. Biologi 

berkenan menoleransi spektrum kemungkinan yang sangat 

luas. Kulturlah yang mewajibkan orang mewujudkan sebagian 

kemungkinan dan melarang kemungkinan yang lain. Biologi 

memungkinkan perempuan memiliki anak—sebagian kultur 

mewajibkan perempuan mewujudkan kemungkinan itu. Biologi 

memungkinkan laki-laki menikmati seks dengan sesamanya—

sebagian kultur melarang mereka mewujudkan kemungkinan itu.

Kultur cenderung berdalih bahwa ia melarang hanya hal-hal 

yang tidak alamiah. Namun, dari perspektif biologis, tidak ada 

yang tidak natural. Apa pun yang mungkin berdasarkan definisi 

yaitu  juga natural. Satu perilaku yang benar-benar tidak alamiah, 

yakni yang melawan hukum alam, sudah pasti tidak bisa terjadi 

sehingga tidak membutuhkan larangan. Tidak ada kultur yang 

pernah repot-repot melarang laki-laki melakukan fotosintesis, 

perempuan berlari lebih cepat dari kecepatan cahaya, atau 

elektron-elektron bermuatan negatif ditempelkan satu sama lain.

Yang benar, konsep-konsep kita tentang “natural” dan 

“tidak natural” bukan diambil dari biologi, melainkan dari 

teologi Kristen. Makna teologis dari “natural” yaitu  “sesuai 

dengan niat Tuhan yang menciptakan alam”. Para teolog Kristen 

berpendapat bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia, dengan 

memperuntukkan setiap bagian dan organ tubuh pada tujuan 

tertentu. Jika kita memakai  bagian dan organ tubuh kita 

untuk tujuan yang ditetapkan Tuhan, maka itu yaitu  aktivitas 

natural. memakai nya secara berbeda dari yang ditetapkan 

Tuhan berarti tidak natural. Namun, evolusi tidak punya tujuan 

apa pun. Organ-organ tidak berevolusi sesuai dengan tujuan, dan 

cara organ itu dipakai  terus berubah-ubah. Tidak ada satu pun 

organ dalam tubuh manusia yang hanya melakukan tugas yang 

dilakukan prototipenya saat  kali pertama muncul ratusan juta 

tahun lalu. Organ-organ berevolusi untuk menjalankan fungsi 

tertentu, namun  begitu terlaksana, organ-organ itu juga bisa 

diadaptasi untuk penggunaan-penggunaan lain. Mulut, misalnya, 

ada sebab  organisme multisel paling awal memerlukan cara 

untuk memasukkan zat makanan ke dalam tubuh mereka. Kita 

masih memakai  mulut untuk tujuan itu, namun  kita juga 

memakai nya untuk mencium, berbicara dan, jika kita Rambo, 

menarik picu dari granat. Apakah ada di antara penggunaan-

penggunaan ini yang tidak natural hanya sebab  para leluhur 

kita yang seperti cacing 600 juta tahun lalu tidak melakukan 

hal-hal ini  dengan mulut mereka?

Demikian pula, sayap tidak tiba-tiba muncul dengan semua 

kemegahan aerodinamisnya. Sayap berkembang dari organ-organ 

yang dulunya memiliki fungsi lain. Menurut satu teori, sayap 

serangga berevolusi jutaan tahun lalu dari tonjolan tubuh pada 

serangga-serangga yang tidak bisa terbang. Serangga-serangga 

dengan tonjolan memiliki area permukaan yang lebih besar 

ketimbang yang tidak punya tonjolan, dan ini memungkinkan 

mereka menyerap lebih banyak cahaya Matahari sehingga bisa 

tetap hangat. Dalam proses evolusi lambat, pemanas dengan 

sinar Matahari ini tumbuh membesar. Struktur yang sama bagus 

untuk penyerapan maksimum cahaya Matahari—banyak area 

permukaan, beratnya kecil—juga, secara kebetulan, membantu 

serangga sedikit mengangkat tubuhnya saat melompat-lompat. 

Serangga-serangga dengan tonjolan lebih besar bisa melompat 

lebih jauh. Sebagian serangga mulai memakai  perlengkapan 

itu untuk meluncur, dan dari sanalah langkah kecil menuju sayap 

yang dapat benar-benar melontarkan serangga ke udara. saat  

pada kemudian hari seekor nyamuk mendengung di telinga Anda, 

tentu Anda akan menuduh nyamuk berperilaku tidak natural. 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

Jika dia berperilaku dengan benar dan tunduk pada kemauan 

Tuhan yang memberinya, dia tentu memakai  sayapnya hanya 

sebagai panel surya.

Bentuk multiperan yang sama itu berlaku juga pada organ-

organ seksual dan perilaku kita. Seks pertama-tama berevolusi 

untuk ritual-ritual pembuahan dan percumbuan sebagai cara 

untuk menyesuaikan dengan ukuran calon pasangan. Namun, 

banyak binatang kini juga menempatkan fungsi seks untuk 

tujuan-tujuan sosial yang majemuk, yang tak ada hubungannya 

dengan urusan membuat salinan kecil dari diri mereka. Simpanse, 

misalnya, memakai  seks untuk memperkuat aliansi politik, 

menciptakan keintiman dan meredakan ketegangan. Apakah itu 

tidak natural?

Seks dan Gender

Betina = sebuah kategori 

biologis

Perempuan = sebuah kategori 

kultural

Athena Kuno Athena 

Modern

Athena Kuno Athena 

Modern

Kromosom 

XX

Kromosom 

XX

Tak Punya 

Hak Suara

Punya Hak 

Suara

Rahim Rahim Tak Bisa Jadi 

Hakim

Bisa Jadi 

Hakim

Kandung 

Telur

Kandung 

Telur

Tak Bisa Jadi 

Pejabat

Bisa Jadi 

Pejabat

Sedikit 

Testosteron

Sedikit 

Testosteron

Tak Bisa 

Memutuskan 

Sendiri 

Menikah 

denggan Siapa

Bisa 

Memutuskan 

Sendiri 

Menikah 

dengan Siapa

Banyak 

Estrogen

Banyak 

Estrogen

Buta Huruf Melek Huruf

Menghasilkan 

Susu

Menghasilkan 

Susu

Secara 

Hukum Milik 

Ayah atau 

Suami

Secara 

Hukum 

Independen

Persis sama Sama sekali berbeda


 

Maka, kurang masuk akal mengatakan bahwa fungsi alamiah 

dari perempuan yaitu  melahirkan, atau bahwa homoseksualitas 

itu tidak natural. Sebagian besar hukum, norma, hak-hak, 

dan kewajiban-kewajiban yang mendefinisikan kejantanan dan 

kebetinaan lebih mencerminkan imajinasi manusia ketimbang 

realitas biologis. Secara biologis, manusia terbagi menjadi 

laki-laki dan perempuan. Satu Homo sapiens laki-laki yaitu  

makhluk yang punya satu kromosom X dan satu kromosom Y; 

sedang  perempuan yaitu  makhluk dengan dua kromosom 

X. Namun, “pria” dan “wanita” menunjukkan kategori sosial, 

bukan biologis. Sementara dalam mayoritas besar kasus pada 

kebanyakan warga  manusia laki-laki yaitu  jantan dan 

perempuan yaitu  betina, terma-terma sosial membawa banyak 

bawaan yang hanya memiliki hubungan tipis, kalaupun ada, 

dengan terma-terma biologis. Seorang pria bukanlah Sapiens 

dengan kualitas biologis tertentu seperti kromosom XY, bandulan, 

dan banyak testosteron. Namun, dia cocok dengan celah tertentu 

dalam tatanan sosial yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos 

budayanya menugasi dia untuk peran-peran maskulin (seperti 

terlibat dalam politik) hak-hak (seperti memilih) dan tugas-

tugas (seperti pengabdian militer). Demikian pula, seorang 

perempuan bukan Sapiens dengan dua kromosom X, satu rahim 

dan banyak estrogen. Namun, dia yaitu  betina anggota tatanan 

yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos dalam warga nya 

menugasi dia untuk peran-peran feminin yang unik (membesarkan 

anak), hak-hak (perlindungan dari kekerasan), dan tugas-tugas 

(patuh pada suami). sebab  mitos-mitos itu, bukan biologi, yang 

mendefinisikan peran, hak dan tugas laki-laki dan perempuan, 

makna “kejantanan” dan “kebetinaan” beragam sangat luas antara 

satu warga  dan warga  lainnya. 

Agar tidak terlalu membingungkan, para ahli biasanya 

membedakan antara “jenis kelamin” yang merupakan kategori 

biologis, dan “gender” sebagai kategori kultural. jenis kelamin 

dibagi menjadi jantan dan betina, dan kualitas dari pembedaan 

ini bersifat objektif dan tetap sepanjang sejarah. Gender 

dibagi menjadi laki-laki dan perempuan (dan sebagian kultur 

mengakui kategori lainnya). Apa yang disebut sebagai kualitas 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

22. Maskulinitas abad ke-18:

Sebuah potret resmi Raja Louis XIV Prancis. Perhatikan wig 

panjang, stoking, sepatu hak tinggi, postur penari—dan pedang 

besar. Dalam Amerika kontemporer, semua ini (kecuali pedang) 

akan dipandang sebagai lambang banci. Namun, pada masanya 

Louis yaitu  teladan sempurna kejantanan dan keperkasaan.



23. Maskulinitas abad ke-21: sebuah potret resmi Barack Obama. 

Apa yang terjadi dengan wig, stoking, sepatu berhak tinggi—

dan pedang? Para laki-laki dominan tidak pernah tampil begitu 

hambar seperti yang terlihat pada masa kini. Hampir sepanjang 

sejarah, para laki-laki dominan tampil megah dan flamboyan, 

seperti para pemimpin Indian Amerika dengan penutup kepala 

berhiaskan bulu unggas dan para maharaja Hindu yang 

bergelimang sutra dan permata. Dalam kerajaan binatang, 

pejantan cenderung lebih megah dan lebih beraksesoris ketimbang 

betina—bayangkan ekor merak dan surai singa.


Tiada Keadilan dalam Sejarah

181

“maskulin” dan “feminin” bersifat intersubjektif dan mengalami 

perubahan-perubahan terus-menerus. Misalnya, ada perbedaan 

yang cakupannya luas dalam perilaku, hasrat, pakaian, bahkan 

postur tubuh yang diharapkan dari perempuan pada masa klasik 

Athena dan perempuan dalam Athena modern.6

Jenis kelamin ibarat mainan anak-anak; sedang  gender 

yaitu  urusan serius. Untuk bisa menjadi anggota berjenis kelamin 

jantan yaitu  hal paling sederhana di dunia. Anda hanya butuh 

dilahirkan dengan satu kromosom X dan satu kromosom Y. 

Untuk menjadi perempuan pun sama sederhananya. Sepasang 

kromosom X bisa mencukupinya. Secara kontras, menjadi laki-

laki dan perempuan sangat rumit dan memerlukan upaya. sebab  

sebagian besar kualitas maskulin dan feminin bersifat kultural 

dan bukan biologis, tak ada warga  yang secara otomatis 

memahkotai setiap jantan menjadi laki-laki dan setiap betina 

menjadi perempuan. Gelar-gelar ini juga bukan mahkota yang 

bisa dipasangkan sesaat  saat diraih. Pejantan harus membuktikan 

maskulinitas mereka secara terus-menerus, dalam kehidupan 

mereka, dari buaian sampai liang lahat, dalam serangkaian ritual 

dan pertunjukan tiada henti. Dan, pekerjaan seorang perempuan 

tidak pernah selesai—dia harus terus meyakinkan diri dan orang 

lain bahwa dia cukup feminin.

Keberhasilan tidak terjamin. Para pejantan khususnya hidup 

terus dalam ancaman kehilangan hak kejantanan. Sepanjang 

sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan 

mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata “Dia 

memang pria sejati”.

Apa Hebatnya Laki-laki?

Paling tidak sejak Revolusi Agrikultur, sebagian besar warga  

manusia merupakan warga  patriarkal yang menghargai laki-

laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Terlepas dari bagaimana 

sebuah warga  mendefinisikan “laki-laki” dan “perempuan”, 

menjadi seorang laki-laki selalu lebih baik. warga  patriarkal 

mengedukasi para laki-laki untuk berpikir dan bertindak dengan 

cara maskulin dan kaum perempuan untuk berpikir dan bertindak 

secara feminin, menghukum siapa pun yang berani melampaui 

batas itu. Meskipun demikian, mereka tidak memberi imbalan 

setara kepada mereka yang mematuhinya. Kualitas-kualitas yang 

dipandang maskulin dinilai lebih dari kualitas-kualitas feminin, 

dan para anggota warga  yang memersonifikasi feminin 

ideal mendapatkan lebih sedikit dari mencapai maskulin ideal. 

Lebih sedikit sumber daya yang diinvestasikan dalam kesehatan 

dan pendidikan perempuan; mereka mendapatkan kesempatan 

ekonomi yang lebih kecil, kekuasaan politik lebih kecil, dan 

gerak kebebasan yang lebih kecil. Gender yaitu  sebuah ras 

yang di dalamnya para pesaing hanya berkompetisi untuk medali 

perunggu.

Benar bahwa segelintir perempuan mencapai posisi alfa, 

seperti Cleopatra dari Mesir, Permaisuri Wu Zetian dari China 

(700 M), dan Elizabeth I dari Inggris. Namun, mereka yaitu  

pengecualian-pengecualian yang justru membuktikan adanya 

aturan itu. Selama 45 tahun masa kekuasaan Elizabeth, seluruh 

anggota Parlemen yaitu  laki-laki, semua perwira di Angkatan 

Laut Kerajaan dan Angkatan Darat yaitu  laki-laki, seluruh 

hakim dan pengacara yaitu  laki-laki, seluruh uskup dan uskup 

agung yaitu  laki-laki, seluruh mahasiswa dan profesor di semua 

universitas dan sekolah tinggi yaitu  laki-laki, seluruh walikota 

dan kepala polisi daerah yaitu  laki-laki, dan hampir semua 

penulis, arsitek, penyair, filsuf, pelukis, pemusik, serta ilmuwan 

yaitu  laki-laki.

Patriarki telah menjadi norma di hampir semua warga  

agrikultur dan industri. Ia dengan kokoh bertahan melewati 

pergolakan-pergolakan politik, revolusi-revolusi sosial, dan 

transformasi-transformasi ekonomi. Mesir, misalnya, ditaklukkan 

berkali-kali selama berabad-abad. Assyiria, Persia, Macedonia, 

Romawi, Arab, Mamluk, Turki, Inggris mendudukinya—

warga nya selalu tetap patriarkal. Mesir diperintah dengan 

hukum Fir’aun, hukum Yunani, hukum Romawi, hukum 

Islam, hukum Ottoman, hukum Inggris—dan mereka semua 

mendiskriminasi warga  yang bukan “laki-laki sejati”.


Tiada Keadilan dalam Sejarah

sebab  patriarki begitu universal, ia tidak bisa menjadi 

produk dari lingkaran setan yang dipicu oleh kebetulan. Yang 

sangat pantas dicatat, bahkan sebelum 1492, sebagian besar 

warga  di Amerika maupun Afro-Asia yaitu  patriarkal, 

sekalipun terputus jarak selama ribuan tahun. Jika patriarki di 

Afro-Asia muncul dari kebetulan, mengapa warga  Aztec 

dan Inca patriarkal? Kemungkinan yang jauh lebih besar yaitu  

bahwa sekalipun definisi persis “laki-laki” dan “perempuan” 

beragam di antara banyak budaya, ada suatu penyebab biologis 

universal mengapa semua budaya menghargai kejantanan di atas 

kebetinaan. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Ada banyak sekali 

teori, tak satu pun meyakinkan.

Kekuatan Otot

Teori paling umum menunjuk ke fakta bahwa laki-laki lebih kuat 

daripada perempuan, dan bahwa mereka memakai  kekuatan 

fisik yang lebih besar untuk memaksa perempuan tunduk. Sebuah 

versi yang lebih subtil dari klaim ini mengemukakan bahwa 

kekuatan laki-laki memungkinkan mereka memonopoli tugas-

tugas yang menuntut kerja keras manual, seperti membajak dan 

memanen. Ini memberi mereka kontrol atas produksi makanan, 

yang pada gilirannya menjelma menjadi pengaruh politik.

Ada dua problem dalam pendapat yang menekankan kekuatan 

otot. Pertama, pernyataan bahwa “laki-laki lebih kuat daripada 

perempuan” hanya benar secara rata-rata, dan hanya berkenaan 

dengan jenis-jenis kekuatan tertentu. Perempuan pada umumnya 

lebih tahan pada kelaparan, penyakit, dan kelelahan ketimbang 

laki-laki. Banyak juga perempuan yang bisa berlari lebih cepat 

dan mengangkat beban lebih berat ketimbang banyak laki-laki. 

Lebih dari itu, dan paling problematik dalam teori ini, perempuan 

sepanjang sejarah telah disisihkan dari banyak pekerjaan yang 

membutuhkan upaya fisik ringan (seperti kependetaan, hukum, 

dan politik), dengan tetap terlibat dalam pekerjaan kasar di 

ladang-ladang, kerajinan, dan rumah tangga. Jika kekuatan sosial 

dibagi dalam kaitan langsung dengan kekuatan fisik atau stamina, 

perempuan tentulah mendapat bagian yang jauh lebih besar.

Yang lebih penting lagi, tidak ada yang namanya hubungan 

langsung antara kekuatan politik dan kekuatan sosial di kalangan 

manusia. Orang-orang dalam usia enam puluhan biasanya 

menjalankan kekuasaan atas orang-orang usia dua puluhan, 

sekalipun usia dua puluhan jauh lebih kuat daripada para sesepuh 

mereka. Pemilik perkebunan di Alabama pada pertengahan abad 

ke-19 tentu sudah tersungkur di tanah dalam beberapa detik saja 

oleh kekuatan para budak yang menggarap ladang-ladang kapas 

mereka. Pertandingan-pertandingan tinju tidak dipakai  untuk 

memilih Fir’aun Mesir atau paus Katolik. Dalam warga  

pengembara, dominasi politik umumnya berdiam pada orang yang 

memiliki keterampilan sosial terbaik, bukan orang yang paling 

berotot. Dalam kejahatan terorganisasi, bos besar tidak dengan 

sendirinya pria yang paling kuat. Dia sering pria tua yang sangat 

jarang memakai  tinjunya sendiri; dia menyuruh orang-orang 

yang lebih muda dan lebih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan 

kotor untuknya. Seorang laki-laki yang berpikir bahwa cara untuk 

mengambil alih sindikat yaitu  dengan mengalahkan don** tak 

mungkin bisa hidup cukup lama untuk belajar dari kesalahannya. 

Bahkan, di kalangan simpanse, jantan alfa meraih posisinya 

dengan membangun koalisi yang stabil dengan pejantan-pejantan 

dan betina-betina, bukan melalui kekerasan tanpa perhitungan.

Faktanya, sejarah manusia menunjukkan bahwa sering ada 

relasi terbalik antara keperkasaan fisik dan kekuatan sosial. Di 

sebagian besar warga , kelas rendahlah yang melakukan 

pekerjaan kasar. Ini bisa mencerminkan posisi Homo sapiens 

dalam rantai makanan. Jika hanya kemampuan fisik liar yang 

punya arti, Sapiens tentu terdesak ke posisi tengah. Namun, 

kemampuan mental dan sosial menempatkan mereka di puncak. 

Oleh sebab  itu, natural belaka bahwa rantai kekuatan dalam 

spesies-spesies juga akan lebih ditentukan oleh kemampuan 

mental dan sosial ketimbang kekuatan brutal. Oleh sebab  itu, 

sulit memercayai bahwa hierarki sosial yang paling berpengaruh 

dan paling stabil dalam sejarah bertumpu pada kemampuan fisik 

manusia untuk memaksa perempuan.

**  Pemimpin organisasi kejahatan.—penerj.


Tiada Keadilan dalam Sejarah

Sampah warga 

Satu teori lain menjelaskan bahwa dominasi maskulin bukan 

merupakan hasil dari kekuatan, melainkan dari agresi. Jutaan 

tahun evolusi telah menjadikan laki-laki jauh lebih kasar 

ketimbang perempuan. Perempuan bisa menandingi laki-laki 

dalam urusan kebencian, ketamakan, dan pelanggaran, namun  

saat  mendapat tekanan, laki-laki jauh lebih siap untuk terlibat 

dalam kekerasan fisik yang liar. Itulah mengapa sepanjang sejarah 

peperangan selalu menjadi hak prerogatif maskulin.

Pada masa perang, kendali laki-laki atas pasukan bersenjata 

membuat mereka menjadi tuan-tuan dalam warga  sipil 

juga. Mereka kemudian memakai  kontrol atas warga  

sipil untuk melancarkan perang demi perang, dan semakin besar 

jumlah perang, semakin besar kontrol laki-laki atas warga . 

Lingkaran umpan balik ini menjelaskan merajalelanya perang 

dan merajalelanya patriarki. Studi-studi mutakhir tentang sistem 

horman dan kognitif laki-laki dan perempuan memperkuat asumsi 

bahwa laki-laki memang memiliki kecenderungan kekerasan 

lebih besar sehingga lebih cocok untuk menjadi tentara biasa. 

Meskipun demikian, mengingat bahwa semua tentara biasa 

yaitu  laki-laki, apakah itu berarti bahwa orang yang mengatur 

peran dan menikmati hasilnya pasti juga laki-laki? Itu tidak 

masuk akal. Itu seperti berasumsi bahwa sebab  semua budak 

yang menggarap ladang-ladang kapas yaitu  kulit hitam, pasti 

para pemilik perkebunan berkulit hitam juga. Sebagaimana satu 

pasukan kerja yang semuanya kulit hitam mungkin dikendalikan 

oleh satu manajemen yang semuanya kulit putih, mengapa 

pasukan tentara yang kesemuanya laki-laki tidak bisa dikendalikan 

oleh pasukan yang semuanya perempuan, atau paling tidak 

pemerintahan dengan sebagian perempuan? Faktanya, dalam 

banyak warga  sepanjang sejarah, para perwira tertinggi 

tidak meniti karier pekerjaannya dari pangkat prajurit. Kaum 

aristokrat, orang kaya, dan terdidik secara otomatis ditempatkan 

di pangkat perwira dan tidak pernah bertugas sehari pun di 

pangkat bawah.

saat  Pangeran Wellington, musuh bebuyutan Napoleon, 

diterima di Angkatan Darat Inggris pada usia 18 tahun, dia 

langsung ditugaskan sebagai seorang perwira. Dia tidak banyak 

merasakan sebagai tentara biasa dalam pasukannya. “Kami dalam 

dinas memiliki sampah bumi para tentara biasa”, dia menulis ke 

sesama aristokrat saat peperangan melawan Prancis. Para tentara 

biasa ini biasanya direkrut dari kalangan sangat miskin atau dari 

etnis minoritas (seperti Katolik Irlandia). Peluang mereka untuk 

naik pangkat sangat kecil. Pangkat senior dikhususkan bagi para 

bangsawan, pangeran, dan raja. Namun, mengapa hanya untuk 

para bangsawan, bukan putri?

Imperium Prancis di Afrika didirikan dan dibela dengan 

keringat dan darah orang Senegal, Aljazair, dan kelas pekerja 

Prancis. Namun, persentase orang Prancis dari kalangan berada 

dalam elite kecil yang memimpin angkatan perang Prancis, 

menguasai imperium dan menikmati buahnya sangatlah tinggi. 

Mengapa hanya laki-laki Prancis dan bukan perempuan Prancis? 

Di China, ada tradisi yang berlangsung lama untuk 

menundukkan angkatan perang di bawah birokrasi sipil sehingga 

orang-orang Mandarin yang tidak pernah memegang pedang 

sering memimpin perang. “Anda tidak perlu menyia-nyiakan besi 

yang bagus untuk membuat pancing”, demikian pepatah China 

yang berarti bahwa orang-orang yang benar-benar berbakatlah 

yang bisa bergabung dalam birokrasi sipil, bukan angkatan perang. 

Lalu, mengapa semuanya yaitu  laki-laki Mandarin?

Orang tak bisa beralasan secara masuk akal bahwa kelemahan 

fisik atau rendahnya tingkat testosteron menghalangi perempuan 

menjadi orang Mandarin yang sukses, jenderal, dan politisi. Untuk 

bisa berhasil dalam sebuah perang, Anda tentu membutuhkan 

stamina, namun  bukan kekuatan fisik atau keagresifan. Perang 

bukanlah perkelahian di pub. Perang yaitu  proyek yang 

sangat kompleks yang membutuhkan derajat organisasi yang 

luar biasa, kerja sama dan penenangan. Kemampuan untuk 

mempertahankan ketenangan di dalam negeri, mencari sekutu di 

luar, dan memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran orang 

lain (terutama musuh Anda) biasanya menjadi kunci kemenangan. 

sebab  itu seorang brutal agresif sering menjadi pilihan terburuk 

untuk memimpin perang. Yang jauh lebih baik yaitu  orang 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

yang kooperatif yang tahu bagaimana menenangkan, bagaimana 

memanipulasi, dan bagaimana melihat keadaan dari berbagai 

perspektif yang berbeda. Inilah bahan-bahan yang dibutuhkan 

untuk menciptakan para pembangun imperium. Augustus yang 

tidak berkompeten secara militer berhasil menciptakan rezim 

imperium yang stabil, mencapai sesuatu yang lolos dari capaian 

Julius Caesar dan Alexander Yang Agung, dua jenderal yang jauh 

lebih mumpuni. Para pengagum kontemporer dan sejarawan 

modern sering merujukkan kehebatan itu pada keunggulannya 

dalam hal yang dinamakan clementia—kelembutan dan 

ketenangan.

Perempuan sering di-stereoptipe sebagai pemanipulasi 

dan penenang yang lebih bagus ketimbang laki-laki, dan 

terkenal sebab  kemampuan hebatnya untuk melihat sesuatu 

dari perspektif orang lain. Jika ada bagian yang benar dari 

stereotipe ini, maka mestinya perempuan bisa menjadi politisi 

dan pembangun imperium yang hebat sehingga bisa menyerahkan 

pekerjaan kasar di arena pertempuran kepada kaum macho yang 

bermuatan testosteron dan berpikiran sederhana. Meskipun 

marak dalam mitos-mitos populer, ini jarang terjadi di dunia. 

Sama sekali tidak jelas mengapa bisa begitu.

Gen-Gen Patriarkal

Satu lagi penjelasan biologis yang tak terlalu menekankan 

pentingnya kekuatan brutal dan kekerasan, dan menjelaskan bahwa 

selama jutaan tahun evolusi, laki-laki dan perempuan berevolusi 

secara berbeda dalam strategi survival dan reproduksi. saat  

laki-laki bersaing dengan sesamanya untuk meraih kesempatan 

menghamili perempuan subur, peluang satu individu untuk 

bereproduksi bergantung yang paling utama pada kemampuannya 

mengungguli dan mengalahkan laki-laki lain. Seiring berjalannya 

waktu, gen-gen maskulin berkembang menjadi generasi paling 

ambisius, paling agresif, dan paling kompetitif.

Seorang perempuan, di sisi lain, tak punya masalah dalam 

menemukan laki-laki yang bersedia menghamilinya. Namun, 


 

188

jika dia ingin anak-anaknya memberi cucu, dia perlu membawa 

mereka 9 bulan yang melelahkan dalam kandungan, dan 

kemudian mengasuhnya selama bertahun-tahun. Dalam masa itu 

dia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan 

makanan, dan membutuhkan banyak bantuan. Dia membutuhkan 

seorang laki-laki. Untuk menjamin survivalnya sendiri dan anak-

anaknya, perempuan tak punya banyak pilihan selain menyetujui 

apa pun syarat yang ditetapkan laki-laki sehingga laki-laki bisa 

tetap bersamanya dan ikut menanggung beban. Seiring berjalannya 

waktu, gen-gen feminin berkembang menjadi generasi perempuan 

pengasuh yang paling submisif. Perempuan yang menghabiskan 

terlalu banyak waktu untuk perang memperebutkan kekuasaan 

tidak menyisakan gen-gen kuat itu untuk generasi masa depan.

Hasil dari strategi survival yang berbeda ini—demikian 

menurut teori—yaitu  bahwa laki-laki telah diprogram untuk 

menjadi ambisius dan kompetitif, dan moncer dalam politik 

dan bisnis, sedang  perempuan cenderung menyingkir dan 

mendedikasikan hidup mereka untuk membesarkan anak-anak.

namun  pendekatan ini juga tampaknya diingkari oleh 

bukti empiris. Yang terutama problematis yaitu  asumsi bahwa 

ketergantungan perempuan pada bantuan eksternal menjadikan 

mereka bergantung pada laki-laki, bukan pada perempuan lain, 

dan bahwa daya saing menjadikan laki-laki dominan secara sosial. 

Banyak spesies binatang, seperti gajah dan simpanse bonobo, yang 

dalamnya dinamika antara betina yang bergantung dan pejantan 

yang kompetitif menghasilkan warga  matriarkal. sebab  

betina membutuhkan bantuan eksternal, mereka diwajibkan 

untuk mengembangkan keterampilan sosialnya dan belajar 

bagaimana bekerja dan menenangkan. Mereka mengonstruksi 

jaringan sosial khusus betina yang saling membantu membesarkan 

anak. Sementara itu, para pejantan menghabiskan waktu untuk 

berperang dan bersaing. Kemampuan sosial dan ikatan sosial 

tetap kurang berkembang.

warga  bonobo dan gajah dikontrol oleh jaringan betina 

yang kooperatif, sementara pejantan yang egois dan tak kooperatif 

terdesak ke tepi. Meskipun betina-betina bonobo lebih lemah 

secara rata-rata ketimbang pejantan, betina sering bertindak 


Tiada Keadilan dalam Sejarah

keroyokan untuk mengalahkan pejantan yang melampaui garis 

batas mereka.

Jika itu bisa terjadi pada bonobo dan gajah, mengapa tidak 

pada Homo sapiens? Sapiens yaitu  binatang yang relatif lemah, 

yang keunggulannya terletak pada kemampuan untuk bekerja 

sama dalam jumlah besar. Jika demikian, kita harus berekspektasi 

bahwa kaum perempuan yang dependen, sekalipun mereka 

bergantung pada laki-laki, akan memakai  keterampilan 

sosial mereka yang superior untuk bekerja sama mengalahkan 

dan memanipulasi laki-laki yang agresif, otonom, dan egois.

Bagaimana itu bisa terjadi, bahwa dalam satu spesies yang 

suksesnya bergantung terutama pada kerja sama, individu-individu 

yang dianggap kurang kooperatif (laki-laki) mengontrol individu-

individu yang dianggap lebih kooperatif (perempuan)? Saat ini 

kita belum punya jawaban yang bagus. Mungkin asumsi-asumsi 

umumnya memang salah. Mungkin laki-laki dari spesies Homo 

sapiens tercirikan bukan pada kekuatan fisik, keagresifan dan 

daya saing, namun  lebih pada kemampuan sosial yang superior 

dan kecenderungan besar untuk bekerja sama. Kita tidak tahu.

namun  yang kita tahu yaitu  bahwa dalam abad 

yang lalu peran-peran gender telah mengalami revolusi yang 

dahsyat. Semakin banyak dan semakin banyak warga  masa 

kini memberi laki-laki dan perempuan status hukum, hak-hak 

politik, dan kesempatan ekonomi yang setara. Meskipun jurang 

gender masih signifikan, peristiwa-peristiwa bergerak dengan 

kecepatan yang mencengangkan. saat , pada 1913, gerakan 

kaum perempuan menghebohkan publik Amerika Serikat dalam 

tuntutan ganjil untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan, 

siapa yang pernah bermimpi bahwa pada 2013, lima hakim 

Mahkamah Agung Amerika Serikat, tiga di antaranya perempuan, 

memutuskan setuju melegalkan pernikahan sesama jenis 

(menggugurkan keputusan penolakan dari empat hakim laki-laki)?

Perubahan-perubahan dramatis inilah tepatnya yang membuat 

sejarah gender begitu membingungkan. Jika, sebagaimana terlihat 

begitu jelas pada masa kini, sistem patriarkal lebih didasarkan 

pada mitos-mitos tak berdasar ketimbang fakta-fakta biologis, 

maka apa yang memicu  universalitas dan stabilitas sistem ini?



24. Jamaah haji mengitari Ka’bah di Mekkah.

 Bagian Tiga

Penyatuan Manusia



Anak Panah Sejarah

Setelah Revolusi Agrikultur, warga -warga  manusia 

tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, sementara 

konstruk-konstruk yang diimajinasikan yang memelihara tatanan 

sosial juga menjadi lebih rumit. Mitos-mitos dan fiksi-fiksi 

membiasakan warga , hampir sejak momen kelahiran, untuk 

berpikir dalam cara-cara tertentu, dan menjalankan aturan-

aturan tertentu. Dengan demikian, mitos-mitos dan fiksi-fiksi itu 

menciptakan naluri-naluri artifisial yang memungkinkan jutaan 

orang asing bekerja sama secara efektif. Jaringan naluri artifisial 

ini disebut “budaya”.

Dalam paruh pertama abad ke-20, para ahli mengajarkan 

bahwa setiap budaya bersifat lengkap dan harmonis, memiliki 

esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya. 

Setiap kelompok manusia memiliki pemandangan atas dunia dan 

sistem pengaturan sosial, hukum, dan politik masing-masing, yang 

berjalan semulus planet-planet di sekeliling Matahari. Dalam 

pandangan ini, kultur-kultur yang sudah mapan tidak berubah. 

Kultur-kultur itu hanya bergerak dengan kecepatan sama dan 

ke arah yang sama. Hanya kekuatan yang diaplikasikan dari 

luar yang bisa mengubahnya. Oleh sebab  itu, para antropolog, 

sejarawan, dan politisi merujuknya sebagai “Kultur Samoa” atau 

“Kultur Tasmania” seakan-akan keyakinan-keyakinan, norma-

norma, dan nilai-nilai yang sama sudah mencirikan warga  

Samoa dan Tasmania sejak masa yang sudah lama sekali.

Kini, sebagian besar ahli budaya menyimpulkan sebaliknya. 

Setiap budaya memiliki keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan 

nilai-nilai yang khas, namun  semua itu terus bergerak. Budaya 

bisa mentransformasi diri merespons perubahan-perubahan dalam 

lingkungannya atau melalui interaksi dengan budaya-budaya 


sekitar. Namun, budaya-budaya juga menjalani transisi-transisi 

berkat dinamika internalnya sendiri. Bahkan, budaya yang benar-

benar terisolasi yang ada dalam suatu lingkungan yang stabil 

secara ekologis tidak bisa menghindari perubahan. Tak seperti 

hukum fisika, yang bebas dari inkonsistensi, setiap tatanan 

ciptaan manusia tersusun dengan kontradiksi-kontradiksi internal. 

Budaya-budaya terus berusaha merekonsiliasi kontradiksi-

kontradiksi ini, dan proses ini menggerakkan perubahan.

Misalnya, dalam Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan 

meyakini Kristianitas dan kekesatriaan. Seorang bangsawan biasa 

pergi ke gereja pada pagi hari, dan mendengarkan pendeta 

berbicara tentang kehidupan para santa. “Kesombongan yaitu  

kesombongan,” kata Pendeta. “Kekayaan, nafsu, dan kehormatan 

yaitu  godaan yang berbahaya. Anda harus naik di atasnya, dan 

mengikuti jejak-jejak Kristus. Jadilah lembut seperti Dia, hindari 

kekerasan dan kemegahan, dan jika ditampar, sodorkan pipi 

yang satunya.” Pulang ke rumah dalam suasana hati yang lembut 

dan tafakur, bangsawan itu akan berganti pakaian dengan sutra 

terbaiknya dan pergi ke perjamuan di istana rajanya. Di sana 

anggur mengalir seperti air, penyanyi menyanyikan Lancelot and 

Guinevere, dan para tamu bertukar kelakar kotor dan kisah-kisah 

perang berdarah. “Lebih baik mati daripada hidup menanggung 

malu,” seru para baron. Jika seseorang mempertanyakan 

kehormatanmu, hanya darah yang bisa menghapuskan penghinaan 

itu. Dan, apa yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan 

dengan melihat musuh-musuhmu lari tunggang langgang di 

hadapanmu, dan putri-putri cantik mereka gemetaran di kakimu?

Kontradiksi tak pernah terselesaikan sepenuhnya. Namun, 

saat kaum bangsawan, pendeta, dan orang biasa berjibaku 

dengannya, budaya mereka berubah. Salah satu upaya untuk 

memahaminya menghasilkan Perang Salib. Pada Perang Salib, para 

kesatria bisa menunjukkan keperkasaan militer dan kesalehan 

religius mereka dengan satu tebasan. Kontradiksi yang sama 

menghasilkan tatanan-tatanan militer seperti para kesatria Templar 

dan Hospitaller, yang berusaha menghubungkan cita-cita Kristen 

dan kesatria lebih erat lagi. Kontradiksi juga bertanggung jawab 

atas bagian besar dari seni dan literatur abad pertengahan, seperti 


Anak Panah Sejarah

kisah-kisah King Arthur dan Holy Grail. Bukankah Camelot* 

yaitu  sebuah upaya untuk membuktikan bahwa seorang kesatria 

yang baik bisa dan harus menjadi Kristen yang baik, dan bahwa 

Kristen yang baik menjadi kesatria yang baik?

Contoh lain yaitu  tatanan politik modern. Sejak Revolusi 

Prancis, orang-orang di seluruh dunia perlahan-lahan bisa 

melihat kesetaraan dan kebebasan individu sebagai nilai-nilai 

fundamental. Meskipun demikian, kedua nilai itu kontradiktif 

satu sama lain. Kesetaraan hanya bisa dijamin dengan membatasi 

kebebasan mereka yang punya nasib lebih baik. Menjamin bahwa 

setiap individu akan bebas melakukan sesuai kehendaknya, tak 

terelakkan mengubah kesetaraan. Keseluruhan sejarah politik 

dunia sejak 1789 bisa dilihat sebagai serangkaian upaya untuk 

merekonsiliasi kontradiksi ini.

Siapa pun yang sudah membaca novel Charles Dickens tahu 

bahwa rezim-rezim liberal abad ke-19 Eropa memberi prioritas 

kepada kebebasan individu sekalipun itu berarti menjebloskan 

keluarga-keluarga miskin papa ke penjara dan tak memberi para 

yatim kecil pilihan selain ikut bersekolah untuk mencopet. Siapa pun 

yang sudah membaca novel Alexander Solzhenitsyn tahu bagaimana 

cita-cita egaliter Komunisme menghasilkan tirani-tirani brutal 

yang berusaha mengontrol setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Politik kontemporer Amerika juga beredar di sekitar 

kontradiksi ini. Orang Demokrat menginginkan warga  yang 

lebih adil, sekalipun itu berarti menaikkan pajak untuk mendanai 

program-program guna membantu kaum miskin, usia lanjut, dan 

lemah. Namun, itu membatasi kebebasan individu-individu untuk 

membelanjakan uang sekehendak mereka. Mengapa pemerintah 

harus memaksa saya untuk membeli asuransi kesehatan kalau 

saya lebih suka memakai  uang untuk menyekolahkan 

anak ke perguruan tinggi? Orang Republiken, di sisi lain, ingin 

memaksimalkan kebebasan individu, sekalipun itu berarti bahwa 

jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin membesar dan 

bahwa banyak orang Amerika tidak akan sanggup membiayai 

perawatan kesehatan.

*  Istana yang dihubungkan dengan sosok King Arthur.—penerj.


Sebagaimana kultur abad pertengahan tak berhasil memadukan 

kekesatriaan dengan Kristianitas, demikian pula dunia modern 

gagal memadukan kebebasan dan kesetaraan. Namun, ini bukan 

aib. Kontradiksi-kontradiksi semacam itu yaitu  bagian tak 

terpisahkan dari setiap budaya manusia. Faktanya, kontradiksi 

yaitu  bahan bakar budaya, yang bertanggung jawab atas 

kreativitas dan dinamika spesies kita. Sebagaimana saat  dua 

not musik yang berbenturan dimainkan bersama menghasilkan 

sepotong musik, demikian pula pertentangan pemikiran, ide-

ide, dan nilai-nilai memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi 

ulang, dan mengkritisi. Konsistensi yaitu  arena bermain bagi 

pikiran-pikiran yang bodoh.

Jika ketegangan, konflik, dan dilema-dilema yang tak teratasi 

menjadi bumbu bagi setiap budaya, maka seorang manusia dari 

kultur tertentu mana pun pasti memegang keyakinan-keyakinan 

kontradiktif dan terbelah oleh nilai-nilai yang tidak saling 

bersesuaian. Hanya dengan ciri penting itulah setiap budaya 

bahkan memiliki nama: disonansi kognitif. Disonansi kognitif 

sering dipandang sebagai kegagalan (jiwa) psyche manusia. 

Faktanya, ia justru aset vital. Kalaulah orang tidak mampu 

memegang keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang kontradiktif, 

maka mustahil tercipta dan terpelihara budaya manusia mana pun.

Jika Anda benar-benar ingin memahami, katakanlah, warga  

Muslim yang datang ke masjid di tengah perkampungan, jangan 

coba mencari seperangkat nilai-nilai murni yang dijunjung tinggi 

setiap Muslim. Namun, cobalah dalami catch-22** tentang kultur 

Muslim, tempat-tempat di mana aturan-aturan berbenturan dan 

standar-standar bertentangan. Di titik tempat kaum Muslim maju-

mundur antara dua perintah, di situlah Anda bisa memahami 

mereka dengan baik.

Satelit Mata-Mata

Kultur-kultur manusia terus mengalir. Apakah aliran ini benar-

benar acak atau memiliki pola-pola yang menyeluruh? Dengan 

**  Istilah untuk menggambarkan situasi paradoks, yang diambil dari novel satiris 

karya Joseph Heller, terbit pada 1961.—penerj.


Anak Panah Sejarah

kata lain, apakah sejarah memiliki arah?

Jawabannya yaitu  ya. Selama beribu-ribu tahun, kultur-

kultur kecil sederhana pelan-pelan bersatu menjadi peradaban-

pe