sebab mereka
tidak akan menjalankan permainan dengan aturan-aturan yang
sama. Jika di India yang dikuasai Inggris, seorang Paria, seorang
Brahmana, seorang Katolik Irlandia, dan seorang Inggris Protestan
164
mengembangkan ketajaman bisnis yang persis sama, mereka
tidak mungkin memiliki peluang yang sama untuk menjadi kaya.
Permainan ekonomi tentulah dipasangi batasan-batasan legal dan
sistem tak resmi yang tidak adil.
Lingkaran Setan
Semua warga didasarkan pada hierarki yang diimajinasikan,
namun tidak dengan sendirinya hierarki yang sama. Apa yang
memengaruhi perbedaan-perbedaan itu? Mengapa warga
tradisional India mengklasifikasi orang menurut kasta, warga
Ottoman dengan agama, dan warga Amerika menurut ras?
Pada sebagian besar kasus, hierarki bermula sebagai akibat dari
seperangkat keadaan sejarah yang aksidental dan kemudian
dilanggengkan serta diperbaiki dari generasi ke generasi seiring
berkembangnya kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
Misalnya, banyak ahli menduga bahwa sistem kasta
Hindu mendapatkan bentuknya saat orang-orang Indo-Arya
menginvasi anak benua India sekitar 3.000 tahun lalu, dengan
menaklukkan penduduk setempat. Para penginvasi menciptakan
warga berstrata, yang di dalamnya mereka—tentu saja—
menduduki posisi-posisi terkemuka (pendeta dan prajurit)
sehingga penduduk asli hanya bisa menjadi pelayan dan budak.
Para penginvasi, yang jumlahnya sedikit, takut kehilangan status
hak-hak istimewa dan identitas unik mereka. Untuk mencegah
bahaya ini, mereka membagi populasi ke dalam kasta-kasta,
yang masing-masing diharuskan mencari jabatan tertentu atau
peranan tertentu dalam warga . Masing-masing memiliki
status hukum, hak-hak istimewa, dan tugas-tugas yang berbeda-
beda. Penggabungan kasta—interaksi sosial, perkawinan, bahkan
berbagi makanan—dilarang. Dan, pembagian-pembagian ini tidak
hanya bersifat legal—namun dimasukkan menjadi bagian inheren
dalam mitologi dan praktik keagamaan.
Para penguasa berdalih bahwa sistem kasta mencerminkan
realitas kosmik abadi, bukan perkembangan historis yang
kebetulan. Konsep-konsep kemurnian dan ketidakmurnian
Tiada Keadilan dalam Sejarah
165
menjadi unsur-unsur esensial dalam agama Hindu, dan itu
semua dimanfaatkan untuk menopang piramida sosial. Orang-
orang Hindu yang patuh diajari bahwa kontak dengan anggota
kasta yang berbeda bisa mencemari tidak hanya mereka secara
pribadi, namun juga warga secara keseluruhan, dan sebab
itu harus dibenci. Ide-ide semacam itu bukan khas Hindu saja.
Sepanjang sejarah, dan di hampir semua warga , konsep-
konsep tentang polusi dan kemurnian memainkan peran penting
dalam memperkuat pembagian-pembagian sosial dan politik,
dan telah dieksploitasi oleh banyak kelas penguasa untuk
mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Meskipun demikian,
ketakutan pada polusi bukan sepenuhnya bikinan para pendeta
dan pangeran. Kemungkinan itu berakar dari mekanisme survival
biologis yang membuat manusia merasakan kemuakan naluriah
terhadap pembawa-pembawa penyakit, seperti orang sakit dan
mayat. Jika Anda ingin menjaga kelompok manusia mana pun
terisolasi—perempuan, Yahudi, Romawi, gay, kulit hitam—cara
terbaik untuk melakukannya yaitu meyakinkan setiap orang
bahwa orang-orang ini yaitu sumber polusi.
Sistem kasta Hindu dan hukum-hukum kemurnian yang
menyertainya menjadi semakin dalam tertempel dalam budaya
India. Jauh sesudah invasi Indo-Arya terlupakan, orang-orang
India terus meyakini sistem kasta yang sama dan membenci
polusi yang disebabkan oleh penggabungan kasta. Kasta-kasta
dibagi menjadi sub-sub kasta. Pada akhirnya, empat kasta asal
berubah menjadi 3.000 kelompok berbeda yang disebut jati
(yang secara harfiah berarti ‘kelahiran’). Namun, proliferasi
kasta ini tidak mengubah prinsip dasar dari sistem itu, yang
menetapkan setiap orang lahir dalam derajat tertentu, dan setiap
pelanggaran terhadap prinsip itu mencemari orang ini
dan warga secara keseluruhan. Jati seseorang menentukan
profesinya, makanan yang boleh dia makan, tempat tinggalnya,
dan pasangan yang boleh dinikahi. Biasanya seseorang bisa
menikah hanya dalam kastanya, dan menghasilkan anak-anak
yang mewarisi status itu.
Setiap kali ada satu profesi baru berkembang atau satu
kelompok orang baru muncul, maka profesi atau kelompok itu
166
harus diakui sebagai sebuah kasta agar bisa menerima tempat
yang sah dalam warga Hindu. Kelompok-kelompok yang
tidak mau mendapatkan pengakuan sebagai sebuah kasta, secara
harfiah, yaitu kelompok buangan—dalam warga berstrata
ini, mereka bahkan tidak menduduki jenjang terendah sekalipun.
Mereka dikenal sebagai Paria. Mereka harus hidup terpisah dari
semua orang dan mengais-ngais kehidupan dengan cara yang
hina dan menjijikkan, seperti mengorek-ngorek sampah untuk
mencari barang rongsokan. Bahkan, para anggota kasta terendah
menghindari berbaur dengan mereka, makan bersama mereka,
menyentuh mereka, dan sudah barang tentu menikahi mereka.
Dalam India modern, masalah pernikahan dan pekerjaan masih
sangat dipengaruhi oleh sistem kasta, sekalipun ada upaya-
upaya oleh pemerintahan demokratis India untuk meruntuhkan
pembedaan-pembedaan semacam itu dan meyakinkan umat Hindu
bahwa tidak ada pencemaran dari percampuran kasta.3
Kemurnian di Amerika
Lingkaran setan serupa melanggengkan hierarki rasial dalam
Amerika modern. Dari abad ke-16 sampai ke-18, para penakluk
dari Eropa mengimpor jutaan budak Afrika untuk bekerja
di pertambangan dan perkebunan Amerika. Mereka memilih
mengimpor budak dari Afrika, bukan Eropa atau Asia Timur
sebab tiga faktor penopangnya. Pertama, Afrika lebih dekat
sehingga lebih murah mengimpor budak dari Senegal ketimbang
dari Vietnam.
Kedua, di Afrika sudah ada perdagangan yang berkembang
baik (mengekspor budak terutama ke Timur Tengah), sedang
perbudakan di Eropa sangat jarang. Jelas sangat jauh lebih mudah
membeli budak di pasar yang sudah ada ketimbang menciptakan
pasar baru dari nol.
Ketiga, dan yang paling penting, perkebunan Amerika di
tempat-tempat seperti Virginia, Haiti, dan Brasil dilanda malaria
dan demam kuning, yang berasal dari Afrika. Orang-orang Afrika
sudah turun-temurun membawa imunitas genetik parsial terhadap
Tiada Keadilan dalam Sejarah
167
penyakit-penyakit itu, sedang orang Eropa sama sekali tak
punya pertahanan dan mati bergelimpangan. Akibatnya, lebih
bijak bagi pemilik perkebunan untuk mengivestasikan uangnya
dalam budak Afrika ketimbang budak atau buruh paksa dari
Eropa. Secara paradoks, superioritas genetik (dalam hal imunitas)
menjelma menjadi inferioritas sosial: persis sebab orang Afrika
lebih cocok di iklim tropis ketimbang di Eropa, maka nasib
mereka pun berakhir menjadi budak-budak dari para tuan Eropa!
sebab faktor-faktor pendukung ini, warga -warga
baru Amerika yang tengah berkembang terbagi menjadi kasta
penguasa yang terdiri dari orang-orang kulit putih Eropa dan
kasta hamba sahaya orang-orang kulit hitam Afrika.
namun orang tidak mau mengatakan bahwa mereka
mempertahankan budak dari ras atau asal wilayah tertentu sebab
secara ekonomis menguntungkan. Seperti para penakluk Arya atas
India, orang-orang kulit putih Eropa di Amerika ingin dipandang
tidak hanya sukses secara ekonomi namun juga saleh, adil, dan
objektif. Mitos-mitos religius dan ilmiah dipaksa melayani untuk
menjustifikasi pembedaan ini. Para teolog berpendapat bahwa
orang-orang Afrika yaitu keturunan Ham, putra Nuh, yang
dipelanai ayahnya dengan kutukan bahwa keturunannya akan
menjadi budak-budak. Para ahli Biologi berpendapat bahwa orang
kulit hitam kurang pandai ketimbang kulit putih dan pemahaman
moral mereka kurang berkembang. Para dokter menuduh bahwa
orang kulit hitam hidupnya penuh kotoran dan menyebarkan
penyakit—dengan kata lain, mereka yaitu sumber polusi.
Mitos-mitos semacam itu membentuk sebuah perpaduan
dalam budaya Amerika, dan budaya Barat pada umumnya.
Mereka terus mendesakkan pengaruh jauh sesudah kondisi-
kondisi pencipta perbudakan musnah. Pada awal abad ke-19
Kerajaan Inggris melarang perbudakan dan menghentikan
perdagangan budak trans-Atlantik, dan dalam beberapa dekade
sesudahnya perbudakan berangsur-angsur dilarang di seluruh
kontinen Amerika. Patut dicatat, inilah kali pertama dan satu-
satunya dalam sejarah bahwa warga penganut perbudakan
secara sukarela menghapuskan perbudakan. Namun, sekalipun
para budak itu dibebaskan, mitos-mitos rasis yang menjustifikasi
168
perbudakan tetap ada. Pemisahan ras dipertahankan oleh legislasi
dan norma-norma sosial rasis.
Hasilnya yaitu siklus sebab-akibat yang menguat dengan
sendirinya, sebuah lingkaran setan. Perhatikan, misalnya, Amerika
Serikat bagian selatan sesaat setelah Perang Saudara. Pada 1865,
Amandemen Ke-13 atas Konstitusi Amerika melarang perbudakan
dan Amandemen Ke-14 menetapkan bahwa kewarganegaraan
dan perlindungan setara di hadapan hukum tidak bisa diingkari
berdasarkan ras. Namun, dua abad perbudakan berarti bahwa
sebagian besar keluarga kulit hitam jauh lebih miskin dan jauh
lebih tak terdidik ketimbang sebagian besar keluarga kulit
putih. Sehingga, orang kulit hitam yang lahir di Alabama pada
1865 memiliki kesempatan jauh lebih kecil untuk mendapatkan
pendidikan yang baik dan pekerjaan berupah bagus ketimbang
para tetangganya yang berkulit putih. Anak-anaknya, yang
lahir pada 1880-an dan 1890-an, memulai kehidupan dengan
ketidakberuntungan yang sama—mereka juga lahir dalam keluarga
miskin tak terdidik.
namun ketidakberuntungan ekonomi bukanlah
keseluruhan cerita. Alabama dulu juga rumah bagi banyak
kulit putih miskin yang tak mendapat kesempatan sebagaimana
saudara-saudari satu ras mereka yang lebih kaya. Selain itu,
Revolusi Industri dan gelombang imigrasi menjadikan Amerika
Serikat sebuah warga yang luar biasa cair sehingga kaum
gembel bisa saja dengan cepat menjadi orang kaya. Jika hanya
uang yang punya arti, perbedaan tajam antar-ras mestinya segera
mengabur, paling tidak melalui pernikahan campuran.
namun itu tidak terjadi. Sampai 1865, orang kulit
putih, juga banyak orang kulit hitam, memandang sebagai sebuah
kenyataan belaka bahwa orang kulit hitam memang kurang
pandai, lebih keras dan lebih cabul secara seksual, lebih malas
dan kurang peduli pada kebersihan diri ketimbang kulit putih.
Mereka, dengan demikian, menjadi pelaku-pelaku kekerasan,
pencurian, pemerkosaan, dan penyakit—dengan kata lain,
polusi. Jika seorang kulit hitam Alabama pada 1895 secara ajaib
berhasil mendapatkan pendidikan yang baik kemudian melamar
pekerjaan terhormat seperti petugas bank, peluang baginya untuk
Tiada Keadilan dalam Sejarah
169
diterima jauh lebih buruk ketimbang kandidat kulit putih yang
kualifikasinya sama. Stigma yang melabeli orang kulit hitam
secara alamiah tak bisa diandalkan, pemalas, dan kurang pandai
menjadi sandungan baginya.
Anda mungkin berpikir bahwa orang akan pelan-pelan
memahami bahwa stigma-stigma itu yaitu mitos dan bukan
fakta dan bahwa orang kulit hitam dari waktu ke waktu akan
bisa membuktikan diri mereka punya kemampuan, taat hukum,
dan bersih sebagaimana kulit putih. Faktanya, yang terjadi justru
sebaliknya. Prasangka-prasangka ini menjadi lebih dan lebih
menggila dari waktu ke waktu. sebab semua pekerjaan terbaik
dipegang kulit putih, maka semakin mudah untuk meyakini
bahwa kulit hitam memang benar-benar inferior. “Lihat”, rata-
rata orang akan berkata, “orang kulit hitam sudah bebas selama
beberapa generasi, namun hampir tidak ada kulit hitam yang
menjadi profesor, pengacara, dokter, atau bahkan pegawai bank.
Bukankah itu bukti bahwa orang kulit hitam memang kurang
pandai dan kurang bekerja keras?” Terperangkap dalam lingkaran
setan ini, orang kulit hitam tidak dipekerjakan untuk pekerjaan-
pekerjaan kerah putih sebab mereka sudah ditakdirkan tidak
pandai, dan bukti inferioritas mereka yaitu langkanya orang
kulit hitam di pekerjaan kerah putih.
Lingkaran setan tidak berhenti di situ. Dengan tumbuh
semakin kuatnya stigma-stigma antikulit hitam, keadaan itu
menjelma menjadi sebuah sistem hukum dan norma “Jim Crow”
yang dimaksudkan untuk melindungi tatanan rasial itu. Orang
kulit hitam dilarang memberi suara dalam pemilihan umum,
belajar di sekolah-sekolah kulit putih, membeli di toko-toko
kulit putih, makan di restoran kulit putih, tidur di hotel kulit
putih. Justifikasi untuk semua ini yaitu bahwa kulit hitam
memang kotor, malas, kejam sehingga orang kulit putih harus
dilindungi dari mereka. Orang kulit putih tidak mau tidur di
hotel yang sama dengan orang kulit hitam atau makan di restoran
yang sama sebab takut penyakit. Mereka tidak mau anak-anak
mereka belajar di sekolah yang sama dengan anak-anak kulit
hitam sebab mencemaskan brutalitas dan pengaruh buruknya.
Mereka tidak ingin orang kulit hitam memberi suara dalam
170
pemilihan umum sebab orang kulit hitam bodoh dan tak
bermoral. Ketakutan-ketakutan ini diperkuat oleh studi-studi
ilmiah yang “membuktikan” bahwa orang kulit hitam memang
kurang terdidik sehingga berbagai macam penyakit lebih umum
di kalangan mereka, dan bahwa kejahatan mereka jauh lebih
tinggi (studi-studi mengabaikan fakta bahwa “fakta-fakta” itu
dihasilkan dari diskriminasi terhadap orang kulit hitam).
Sampai dengan pertengahan abad ke-20, segregasi dalam
bekas negara-negara Konfederasi mungkin lebih buruk dari
akhir abad ke-19. Clennon King, seorang pelajar kulit hitam
yang melamar ke Universitas Mississippi pada 1958, dipaksa
masuk rumah sakit jiwa. Hakim yang mengetuai persidangan
memutuskan bahwa orang kulit hitam pasti benar-benar gila
bila berpikir bahwa dia bisa diterima di Universitas Mississippi.
Tak ada yang lebih menggemparkan bagi orang selatan
Amerika (dan banyak orang utara) dari hubungan seksual dan
pernikahan antara pria kulit hitam dan perempuan kulit putih.
Hubungan seks antar-ras menjadi tabu paling besar dan setiap
pelanggaran, atau yang diduga pelanggaran, dipandang pantas
mendapat balasan langsung dan dihukum mati tanpa pengadilan.
Ku Klux Klan, organisasi rahasia penganut supremasi kulit putih,
melakukan banyak pembunuhan semacam itu. Mereka tentu bisa
Kebetulan sejarah
Kontrol kulit putih atas kulit hitam
Hukum diskriminatif
Kemiskinan dan ketiadaan
pendidikan bagi kulit hitam
Prasangka-prasangka kultural
Lingkaran setan:
suatu situasi historis
yang berlaku
menjelma menjadi
sebuah sistem sosial
yang kaku.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
171
mengajari kaum Brahmana Hindu satu atau dua hal tentang
hukum kemurnian.
Seiring berjalannya waktu, rasisme menyebar semakin
meluas ke arena kultural. Kultur aestetik Amerika dibangun di
seputar standar-standar keindahan kulit putih. Atribut-atribut
fisik ras kulit putih—misalnya kulit terang, rambut pirang dan
lurus, hidung mancung—dipandang indah. Ciri-ciri khas kulit
hitam—kulit gelap, rambut gelap tebal, hidung pesek—dipandang
buruk. Prakonsepsi-prakonsepsi ini menanamkan hierarki yang
diimajinasikan, bahkan pada level yang lebih dalam pada
kesadaran manusia.
Lingkaran-lingkaran setan semacam itu bisa berlangsung
berabad-abad dan bahkan milenium, mengabadikan hierarki yang
diimajinasikan yang muncul dari kebetulan sejarah. Diskriminasi
yang tidak adil sering menjadi semakin buruk, alih-alih membaik,
dari waktu ke waktu. Uang memperbesar uang, dan kemelaratan
memperburuk kemelaratan. Pendidikan memperbaiki pendidikan,
dan kebodohan memperburuk kebodohan. Mereka yang
dikorbankan oleh sejarah berkemungkinan menjadi korban lagi.
Dan, mereka yang diistimewakan oleh sejarah menjadi semakin
lebih diistimewakan lagi.
Sebagian besar hierarki sosiopolitik tidak memiliki basis
logika maupun biologis—semua itu tak lebih dari pelanggengan
kebetulan-kebetulan yang didukung oleh mitos-mitos. Itulah salah
satu alasan yang bagus untuk belajar sejarah. Jika pembagian
menjadi kulit hitam dan kulit putih atau Brahmana dan Shudra
didasarkan pada realitas biologis—yakni, jika kaum Brahmana
memang benar-benar memiliki otak yang lebih baik ketimbang
Shudra—biologi tentu sudah cukup untuk memahami warga
manusia. sebab pembagian oleh biologi atas Homo sapiens
menjadi kelompok-kelompok yang berbeda-beda sesungguhnya
bisa diabaikan, biologi tak bisa menjelaskan lika-liku dinamika
rasial warga India dan Amerika. Kita hanya bisa memahami
fenomena-fenomena itu dengan mempelajari peristiwa-peristiwa,
keadaan-keadaan, dan relasi-relasi kuasa yang mentransformasi
isapan jempol imajinasi menjadi struktur-struktur sosial yang
kejam—dan sangat riil.
172
Laki-laki dan Perempuan
warga -warga yang berbeda-beda mengadopsi jenis
hierarki yang diimajinasikan yang berbeda-beda pula. Ras sangat
penting bagi orang Amerika modern, namun relatif tidak signifikan
bagi Muslim abad pertengahan. Kasta yaitu masalah hidup dan
mati dalam abad pertengahan India, sedang dalam Eropa
modern itu praktis tidak ada. Meskipun demikian, ada satu
hierarki yang menjadi urusan tertinggi dalam semua warga
manusia yang pernah ada: hierarki gender. Di mana-mana orang-
orang menggolongkan diri laki-laki dan perempuan. Dan, hampir
di mana-mana laki-laki memiliki kedudukan lebih baik, paling
tidak sejak Revolusi Agrikultur.
Sebagian dari naskah-naskah paling awal China yaitu
tulang belulang ramalan, bertarikh 1200 SM, yang dipakai
untuk meramalkan masa depan. Di salah satu tulang terpahat
pertanyaan “Akankah yang dilahirkan Putri Hao beruntung?”
Pertanyaan itu dijawab secara tertulis: “Jika anaknya lahir pada
hari ding, beruntung; jika pada hari geng, harapan berlimpah”.*
Naskah pada tulang itu diakhiri dengan uraian hasil pengamatan
yang muram: “Tiga pekan dan satu hari sesudahnya, pada hari
jiayin, anak itu lahir. Tidak beruntung. Ia seorang perempuan”.4
Lebih dari 3.000 tahun kemudian, saat China Komunis
memberlakukan kebijakan “satu anak”, banyak keluarga China
terus memandang kelahiran seorang anak perempuan yaitu
nasib buruk. Orangtua terkadang menelantarkan atau membunuh
bayi perempuan yang baru lahir dalam rangka mengupayakan
untuk mendapatkan anak laki-laki.
Di banyak warga perempuan dijadikan begitu saja
sebagai properti laki-laki, kebanyakan oleh ayah mereka,
suami, atau saudara laki-lakinya. Pemerkosaan, pada banyak
sistem hukum, masuk dalam kategori pelanggaran properti—
* Dalam kalender China dikenal sepuluh patokan hari yang dikombinasikan
dengan satu dari dua belas nama binatang. Kesepuluh patokan itu yaitu jia, yi,
bing, ding, wu, ji, geng, xin, ren, dan gui, yang tidak ada padanannya dalam bahasa
Inggris maupun bahasa lain. sedang kedua belas nama binatang itu yaitu zi
(tikus), chou (sapi), yin (macan), mao (kelinci), chen (naga), si (ular), wu (kuda),
wei (domba), shen (monyet), you (unggas), jia (anjing) dan hai (babi).—penerj.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
173
dengan kata lain, korban bukanlah perempuan yang diperkosa,
melainkan laki-laki yang memilikinya. Dalam keadaan seperti itu,
penyelesaian hukumnya yaitu transfer kepemilikan—pemerkosa
diwajibkan membayar mahar kepada ayah atau saudara laki-laki
perempuan itu, dan si perempuan menjadi properti pemerkosa.
Injil menyatakan bahwa “Jika seorang laki-laki bertemu dengan
seorang perawan yang belum bertunangan, lalu merengkuh dan
tidur bersamanya dan mereka ketahuan, maka laki-laki yang tidur
bersama perempuan itu harus membayar kepada ayah perempuan
muda itu lima puluh shekel perak, dan perempuan itu menjadi
istrinya” (Ulangan 22:28–29). Kaum Ibrani kuno memandang
ini pengaturan yang masuk akal.
Memerkosa seorang perempuan yang bukan milik pria
mana pun tidak dianggap kejahatan sama sekali, sebagaimana
layaknya memungut sebuah koin yang hilang di jalanan sibuk
tidak dianggap sebagai pencurian. Nyatanya, ide bahwa seorang
suami bisa memerkosa istrinya yaitu sebuah oksimoron. Menjadi
seorang suami artinya memiliki kendali penuh atas istri secara
seksual. Mengatakan bahwa seorang suami “memerkosa” istrinya
yaitu tidak logis, seperti mengatakan seorang pria mencuri
dompetnya sendiri. Pemikiran semacam itu tidak terbatas di
Timur Tengah kuno saja. Pada 2006, masih ada lima puluh
tiga negara di mana seorang suami tidak bisa dituntut sebab
memerkosa istrinya. Bahkan di Jerman, hukum pemerkosaan baru
diamandemen pada 1997 untuk menciptakan kategori hukum
pemerkosaan marital.5
Apakah pembagian laki-laki dan perempuan itu produk
imajinasi, seperti halnya sistem kasta di India dan sistem rasial di
Amerika, atau merupakan pembagian alamiah dengan akar-akar
biologis yang mendalam? Dan, jika benar pembagian alamiah,
adakah juga penjelasan-penjelasan biologis untuk preferensi yang
diberikan kepada laki-laki dan perempuan?
Sebagian dari disparitas kultural, legal, dan politis antara
laki-laki dan perempuan mencerminkan perbedaan-perbedaan
biologis yang jelas di antara kedua jenis kelamin. Melahirkan
selalu menjadi pekerjaan perempuan sebab laki-laki tidak punya
rahim. Namun, di sekitar inti universal yang keras ini, setiap
174
warga mengakumulasi lapisan demi lapisan ide-ide dan
norma-norma kultural yang tak banyak berhubungan dengan
biologi. warga -warga mengasosiasi sejumlah atribut
pada maskulinitas dan femininitas yang, untuk hampir semua
bagian, tak memiliki basis biologis yang kuat.
Misalnya, di Athena demokratis abad ke-5 SM, seorang
individu yang memiliki rahim tidak punya status legal independen
dan dilarang berpartisipasi dalam majelis umum atau menjadi
hakim. Dengan beberapa pengecualian, individu seperti itu tak
bisa mendapatkan manfaat dari pendidikan yang baik, juga
tidak terlibat dalam bisnis atau percaturan filsafat. Tidak ada
pemimpin politik Athena, tak seorang pun filsuf, orator, artis,
atau pedagangnya yang hebat memiliki rahim. Apakah dengan
memiliki rahim seseorang menjadi tidak cocok secara biologis
untuk profesi-profesi ini? Orang Athena kuno berpikir demikian.
Orang Athena modern tidak setuju. Di Athena masa kini,
perempuan memberi suara, dipilih menjadi pejabat publik,
menyampaikan pidato, mendesain apa pun, dari perhiasan
sampai bangunan dan perangkat lunak, dan kuliah di universitas.
Rahim-rahim mereka tidak menghalangi melakukan hal-hal ini
sebagaimana dilakukan kaum pria yang berhasil. Benar, mereka
masih kurang terwakili dalam politik dan bisnis—hanya sekitar
12 persen anggota parlemen Yunani yaitu perempuan. Namun,
tidak ada hambatan legal apa pun bagi partisipasi mereka dalam
politik, dan kebanyakan orang Yunani modern berpikir cukup
normal bagi seorang perempuan mengabdi di jabatan-jabatan
publik.
Banyak orang Yunani modern juga berpikir bahwa salah
satu bagian integral dari menjadi pria yaitu menarik secara
seksual hanya bagi perempuan. Mereka tidak melihat ini sebagai
bias kultural, namun lebih sebagai realitas biologis—relasi antara
2 orang berlainan jenis kelamin yaitu alamiah, dan antara 2
orang sesama jenis kelamin tidak alamiah. Namun faktanya, Ibu
Pertiwi tidak keberatan jika ada sesama laki-laki saling tertarik.
Hanya ibu-ibu manusia yang sudah terendam dalam kultur-kultur
tertentu yang gaduh jika putranya punya hubungan asmara
dengan anak laki-laki tetangganya. Tantrum ibu bukanlah titah
Tiada Keadilan dalam Sejarah
175
biologis. Sejumlah signifikan kultur manusia memandang relasi
homoseksual tidak hanya absah, namun bahkan secara sosial
konstruktif, dan Yunani kuno merupakan contoh yang paling
termasyhur. Iliad tidak menyebutkan bahwa Theti berkeberatan
terhadap hubungan putranya, Achille, dengan Patroclus. Ratu
Olympia dari Macedon yaitu salah satu perempuan paling
temperamental dan ganas di dunia kuno, dan bahkan suaminya
sendiri, Raja Philip, dibunuhnya. Namun, dia tidak sreg saat
putranya, Alexander Yang Agung, membawa kekasihnya,
Hephaestion ke rumah untuk makan malam.
Bagaimana kita bisa membedakan apa yang ditentukan
secara biologis dari apa yang hanya diupayakan orang untuk
menjustifikasi mitos-mitos biologis. Ada satu rumus yang
bagus, “Jika Biologi membolehkan, Kultur melarang”. Biologi
berkenan menoleransi spektrum kemungkinan yang sangat
luas. Kulturlah yang mewajibkan orang mewujudkan sebagian
kemungkinan dan melarang kemungkinan yang lain. Biologi
memungkinkan perempuan memiliki anak—sebagian kultur
mewajibkan perempuan mewujudkan kemungkinan itu. Biologi
memungkinkan laki-laki menikmati seks dengan sesamanya—
sebagian kultur melarang mereka mewujudkan kemungkinan itu.
Kultur cenderung berdalih bahwa ia melarang hanya hal-hal
yang tidak alamiah. Namun, dari perspektif biologis, tidak ada
yang tidak natural. Apa pun yang mungkin berdasarkan definisi
yaitu juga natural. Satu perilaku yang benar-benar tidak alamiah,
yakni yang melawan hukum alam, sudah pasti tidak bisa terjadi
sehingga tidak membutuhkan larangan. Tidak ada kultur yang
pernah repot-repot melarang laki-laki melakukan fotosintesis,
perempuan berlari lebih cepat dari kecepatan cahaya, atau
elektron-elektron bermuatan negatif ditempelkan satu sama lain.
Yang benar, konsep-konsep kita tentang “natural” dan
“tidak natural” bukan diambil dari biologi, melainkan dari
teologi Kristen. Makna teologis dari “natural” yaitu “sesuai
dengan niat Tuhan yang menciptakan alam”. Para teolog Kristen
berpendapat bahwa Tuhan menciptakan tubuh manusia, dengan
memperuntukkan setiap bagian dan organ tubuh pada tujuan
tertentu. Jika kita memakai bagian dan organ tubuh kita
untuk tujuan yang ditetapkan Tuhan, maka itu yaitu aktivitas
natural. memakai nya secara berbeda dari yang ditetapkan
Tuhan berarti tidak natural. Namun, evolusi tidak punya tujuan
apa pun. Organ-organ tidak berevolusi sesuai dengan tujuan, dan
cara organ itu dipakai terus berubah-ubah. Tidak ada satu pun
organ dalam tubuh manusia yang hanya melakukan tugas yang
dilakukan prototipenya saat kali pertama muncul ratusan juta
tahun lalu. Organ-organ berevolusi untuk menjalankan fungsi
tertentu, namun begitu terlaksana, organ-organ itu juga bisa
diadaptasi untuk penggunaan-penggunaan lain. Mulut, misalnya,
ada sebab organisme multisel paling awal memerlukan cara
untuk memasukkan zat makanan ke dalam tubuh mereka. Kita
masih memakai mulut untuk tujuan itu, namun kita juga
memakai nya untuk mencium, berbicara dan, jika kita Rambo,
menarik picu dari granat. Apakah ada di antara penggunaan-
penggunaan ini yang tidak natural hanya sebab para leluhur
kita yang seperti cacing 600 juta tahun lalu tidak melakukan
hal-hal ini dengan mulut mereka?
Demikian pula, sayap tidak tiba-tiba muncul dengan semua
kemegahan aerodinamisnya. Sayap berkembang dari organ-organ
yang dulunya memiliki fungsi lain. Menurut satu teori, sayap
serangga berevolusi jutaan tahun lalu dari tonjolan tubuh pada
serangga-serangga yang tidak bisa terbang. Serangga-serangga
dengan tonjolan memiliki area permukaan yang lebih besar
ketimbang yang tidak punya tonjolan, dan ini memungkinkan
mereka menyerap lebih banyak cahaya Matahari sehingga bisa
tetap hangat. Dalam proses evolusi lambat, pemanas dengan
sinar Matahari ini tumbuh membesar. Struktur yang sama bagus
untuk penyerapan maksimum cahaya Matahari—banyak area
permukaan, beratnya kecil—juga, secara kebetulan, membantu
serangga sedikit mengangkat tubuhnya saat melompat-lompat.
Serangga-serangga dengan tonjolan lebih besar bisa melompat
lebih jauh. Sebagian serangga mulai memakai perlengkapan
itu untuk meluncur, dan dari sanalah langkah kecil menuju sayap
yang dapat benar-benar melontarkan serangga ke udara. saat
pada kemudian hari seekor nyamuk mendengung di telinga Anda,
tentu Anda akan menuduh nyamuk berperilaku tidak natural.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
Jika dia berperilaku dengan benar dan tunduk pada kemauan
Tuhan yang memberinya, dia tentu memakai sayapnya hanya
sebagai panel surya.
Bentuk multiperan yang sama itu berlaku juga pada organ-
organ seksual dan perilaku kita. Seks pertama-tama berevolusi
untuk ritual-ritual pembuahan dan percumbuan sebagai cara
untuk menyesuaikan dengan ukuran calon pasangan. Namun,
banyak binatang kini juga menempatkan fungsi seks untuk
tujuan-tujuan sosial yang majemuk, yang tak ada hubungannya
dengan urusan membuat salinan kecil dari diri mereka. Simpanse,
misalnya, memakai seks untuk memperkuat aliansi politik,
menciptakan keintiman dan meredakan ketegangan. Apakah itu
tidak natural?
Seks dan Gender
Betina = sebuah kategori
biologis
Perempuan = sebuah kategori
kultural
Athena Kuno Athena
Modern
Athena Kuno Athena
Modern
Kromosom
XX
Kromosom
XX
Tak Punya
Hak Suara
Punya Hak
Suara
Rahim Rahim Tak Bisa Jadi
Hakim
Bisa Jadi
Hakim
Kandung
Telur
Kandung
Telur
Tak Bisa Jadi
Pejabat
Bisa Jadi
Pejabat
Sedikit
Testosteron
Sedikit
Testosteron
Tak Bisa
Memutuskan
Sendiri
Menikah
denggan Siapa
Bisa
Memutuskan
Sendiri
Menikah
dengan Siapa
Banyak
Estrogen
Banyak
Estrogen
Buta Huruf Melek Huruf
Menghasilkan
Susu
Menghasilkan
Susu
Secara
Hukum Milik
Ayah atau
Suami
Secara
Hukum
Independen
Persis sama Sama sekali berbeda
Maka, kurang masuk akal mengatakan bahwa fungsi alamiah
dari perempuan yaitu melahirkan, atau bahwa homoseksualitas
itu tidak natural. Sebagian besar hukum, norma, hak-hak,
dan kewajiban-kewajiban yang mendefinisikan kejantanan dan
kebetinaan lebih mencerminkan imajinasi manusia ketimbang
realitas biologis. Secara biologis, manusia terbagi menjadi
laki-laki dan perempuan. Satu Homo sapiens laki-laki yaitu
makhluk yang punya satu kromosom X dan satu kromosom Y;
sedang perempuan yaitu makhluk dengan dua kromosom
X. Namun, “pria” dan “wanita” menunjukkan kategori sosial,
bukan biologis. Sementara dalam mayoritas besar kasus pada
kebanyakan warga manusia laki-laki yaitu jantan dan
perempuan yaitu betina, terma-terma sosial membawa banyak
bawaan yang hanya memiliki hubungan tipis, kalaupun ada,
dengan terma-terma biologis. Seorang pria bukanlah Sapiens
dengan kualitas biologis tertentu seperti kromosom XY, bandulan,
dan banyak testosteron. Namun, dia cocok dengan celah tertentu
dalam tatanan sosial yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos
budayanya menugasi dia untuk peran-peran maskulin (seperti
terlibat dalam politik) hak-hak (seperti memilih) dan tugas-
tugas (seperti pengabdian militer). Demikian pula, seorang
perempuan bukan Sapiens dengan dua kromosom X, satu rahim
dan banyak estrogen. Namun, dia yaitu betina anggota tatanan
yang diimajinasikan manusia. Mitos-mitos dalam warga nya
menugasi dia untuk peran-peran feminin yang unik (membesarkan
anak), hak-hak (perlindungan dari kekerasan), dan tugas-tugas
(patuh pada suami). sebab mitos-mitos itu, bukan biologi, yang
mendefinisikan peran, hak dan tugas laki-laki dan perempuan,
makna “kejantanan” dan “kebetinaan” beragam sangat luas antara
satu warga dan warga lainnya.
Agar tidak terlalu membingungkan, para ahli biasanya
membedakan antara “jenis kelamin” yang merupakan kategori
biologis, dan “gender” sebagai kategori kultural. jenis kelamin
dibagi menjadi jantan dan betina, dan kualitas dari pembedaan
ini bersifat objektif dan tetap sepanjang sejarah. Gender
dibagi menjadi laki-laki dan perempuan (dan sebagian kultur
mengakui kategori lainnya). Apa yang disebut sebagai kualitas
Tiada Keadilan dalam Sejarah
22. Maskulinitas abad ke-18:
Sebuah potret resmi Raja Louis XIV Prancis. Perhatikan wig
panjang, stoking, sepatu hak tinggi, postur penari—dan pedang
besar. Dalam Amerika kontemporer, semua ini (kecuali pedang)
akan dipandang sebagai lambang banci. Namun, pada masanya
Louis yaitu teladan sempurna kejantanan dan keperkasaan.
23. Maskulinitas abad ke-21: sebuah potret resmi Barack Obama.
Apa yang terjadi dengan wig, stoking, sepatu berhak tinggi—
dan pedang? Para laki-laki dominan tidak pernah tampil begitu
hambar seperti yang terlihat pada masa kini. Hampir sepanjang
sejarah, para laki-laki dominan tampil megah dan flamboyan,
seperti para pemimpin Indian Amerika dengan penutup kepala
berhiaskan bulu unggas dan para maharaja Hindu yang
bergelimang sutra dan permata. Dalam kerajaan binatang,
pejantan cenderung lebih megah dan lebih beraksesoris ketimbang
betina—bayangkan ekor merak dan surai singa.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
181
“maskulin” dan “feminin” bersifat intersubjektif dan mengalami
perubahan-perubahan terus-menerus. Misalnya, ada perbedaan
yang cakupannya luas dalam perilaku, hasrat, pakaian, bahkan
postur tubuh yang diharapkan dari perempuan pada masa klasik
Athena dan perempuan dalam Athena modern.6
Jenis kelamin ibarat mainan anak-anak; sedang gender
yaitu urusan serius. Untuk bisa menjadi anggota berjenis kelamin
jantan yaitu hal paling sederhana di dunia. Anda hanya butuh
dilahirkan dengan satu kromosom X dan satu kromosom Y.
Untuk menjadi perempuan pun sama sederhananya. Sepasang
kromosom X bisa mencukupinya. Secara kontras, menjadi laki-
laki dan perempuan sangat rumit dan memerlukan upaya. sebab
sebagian besar kualitas maskulin dan feminin bersifat kultural
dan bukan biologis, tak ada warga yang secara otomatis
memahkotai setiap jantan menjadi laki-laki dan setiap betina
menjadi perempuan. Gelar-gelar ini juga bukan mahkota yang
bisa dipasangkan sesaat saat diraih. Pejantan harus membuktikan
maskulinitas mereka secara terus-menerus, dalam kehidupan
mereka, dari buaian sampai liang lahat, dalam serangkaian ritual
dan pertunjukan tiada henti. Dan, pekerjaan seorang perempuan
tidak pernah selesai—dia harus terus meyakinkan diri dan orang
lain bahwa dia cukup feminin.
Keberhasilan tidak terjamin. Para pejantan khususnya hidup
terus dalam ancaman kehilangan hak kejantanan. Sepanjang
sejarah, seorang laki-laki bersedia mengambil risiko dan bahkan
mengorbankan hidup mereka, hanya agar orang berkata “Dia
memang pria sejati”.
Apa Hebatnya Laki-laki?
Paling tidak sejak Revolusi Agrikultur, sebagian besar warga
manusia merupakan warga patriarkal yang menghargai laki-
laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Terlepas dari bagaimana
sebuah warga mendefinisikan “laki-laki” dan “perempuan”,
menjadi seorang laki-laki selalu lebih baik. warga patriarkal
mengedukasi para laki-laki untuk berpikir dan bertindak dengan
cara maskulin dan kaum perempuan untuk berpikir dan bertindak
secara feminin, menghukum siapa pun yang berani melampaui
batas itu. Meskipun demikian, mereka tidak memberi imbalan
setara kepada mereka yang mematuhinya. Kualitas-kualitas yang
dipandang maskulin dinilai lebih dari kualitas-kualitas feminin,
dan para anggota warga yang memersonifikasi feminin
ideal mendapatkan lebih sedikit dari mencapai maskulin ideal.
Lebih sedikit sumber daya yang diinvestasikan dalam kesehatan
dan pendidikan perempuan; mereka mendapatkan kesempatan
ekonomi yang lebih kecil, kekuasaan politik lebih kecil, dan
gerak kebebasan yang lebih kecil. Gender yaitu sebuah ras
yang di dalamnya para pesaing hanya berkompetisi untuk medali
perunggu.
Benar bahwa segelintir perempuan mencapai posisi alfa,
seperti Cleopatra dari Mesir, Permaisuri Wu Zetian dari China
(700 M), dan Elizabeth I dari Inggris. Namun, mereka yaitu
pengecualian-pengecualian yang justru membuktikan adanya
aturan itu. Selama 45 tahun masa kekuasaan Elizabeth, seluruh
anggota Parlemen yaitu laki-laki, semua perwira di Angkatan
Laut Kerajaan dan Angkatan Darat yaitu laki-laki, seluruh
hakim dan pengacara yaitu laki-laki, seluruh uskup dan uskup
agung yaitu laki-laki, seluruh mahasiswa dan profesor di semua
universitas dan sekolah tinggi yaitu laki-laki, seluruh walikota
dan kepala polisi daerah yaitu laki-laki, dan hampir semua
penulis, arsitek, penyair, filsuf, pelukis, pemusik, serta ilmuwan
yaitu laki-laki.
Patriarki telah menjadi norma di hampir semua warga
agrikultur dan industri. Ia dengan kokoh bertahan melewati
pergolakan-pergolakan politik, revolusi-revolusi sosial, dan
transformasi-transformasi ekonomi. Mesir, misalnya, ditaklukkan
berkali-kali selama berabad-abad. Assyiria, Persia, Macedonia,
Romawi, Arab, Mamluk, Turki, Inggris mendudukinya—
warga nya selalu tetap patriarkal. Mesir diperintah dengan
hukum Fir’aun, hukum Yunani, hukum Romawi, hukum
Islam, hukum Ottoman, hukum Inggris—dan mereka semua
mendiskriminasi warga yang bukan “laki-laki sejati”.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
sebab patriarki begitu universal, ia tidak bisa menjadi
produk dari lingkaran setan yang dipicu oleh kebetulan. Yang
sangat pantas dicatat, bahkan sebelum 1492, sebagian besar
warga di Amerika maupun Afro-Asia yaitu patriarkal,
sekalipun terputus jarak selama ribuan tahun. Jika patriarki di
Afro-Asia muncul dari kebetulan, mengapa warga Aztec
dan Inca patriarkal? Kemungkinan yang jauh lebih besar yaitu
bahwa sekalipun definisi persis “laki-laki” dan “perempuan”
beragam di antara banyak budaya, ada suatu penyebab biologis
universal mengapa semua budaya menghargai kejantanan di atas
kebetinaan. Kita tidak tahu apa penyebabnya. Ada banyak sekali
teori, tak satu pun meyakinkan.
Kekuatan Otot
Teori paling umum menunjuk ke fakta bahwa laki-laki lebih kuat
daripada perempuan, dan bahwa mereka memakai kekuatan
fisik yang lebih besar untuk memaksa perempuan tunduk. Sebuah
versi yang lebih subtil dari klaim ini mengemukakan bahwa
kekuatan laki-laki memungkinkan mereka memonopoli tugas-
tugas yang menuntut kerja keras manual, seperti membajak dan
memanen. Ini memberi mereka kontrol atas produksi makanan,
yang pada gilirannya menjelma menjadi pengaruh politik.
Ada dua problem dalam pendapat yang menekankan kekuatan
otot. Pertama, pernyataan bahwa “laki-laki lebih kuat daripada
perempuan” hanya benar secara rata-rata, dan hanya berkenaan
dengan jenis-jenis kekuatan tertentu. Perempuan pada umumnya
lebih tahan pada kelaparan, penyakit, dan kelelahan ketimbang
laki-laki. Banyak juga perempuan yang bisa berlari lebih cepat
dan mengangkat beban lebih berat ketimbang banyak laki-laki.
Lebih dari itu, dan paling problematik dalam teori ini, perempuan
sepanjang sejarah telah disisihkan dari banyak pekerjaan yang
membutuhkan upaya fisik ringan (seperti kependetaan, hukum,
dan politik), dengan tetap terlibat dalam pekerjaan kasar di
ladang-ladang, kerajinan, dan rumah tangga. Jika kekuatan sosial
dibagi dalam kaitan langsung dengan kekuatan fisik atau stamina,
perempuan tentulah mendapat bagian yang jauh lebih besar.
Yang lebih penting lagi, tidak ada yang namanya hubungan
langsung antara kekuatan politik dan kekuatan sosial di kalangan
manusia. Orang-orang dalam usia enam puluhan biasanya
menjalankan kekuasaan atas orang-orang usia dua puluhan,
sekalipun usia dua puluhan jauh lebih kuat daripada para sesepuh
mereka. Pemilik perkebunan di Alabama pada pertengahan abad
ke-19 tentu sudah tersungkur di tanah dalam beberapa detik saja
oleh kekuatan para budak yang menggarap ladang-ladang kapas
mereka. Pertandingan-pertandingan tinju tidak dipakai untuk
memilih Fir’aun Mesir atau paus Katolik. Dalam warga
pengembara, dominasi politik umumnya berdiam pada orang yang
memiliki keterampilan sosial terbaik, bukan orang yang paling
berotot. Dalam kejahatan terorganisasi, bos besar tidak dengan
sendirinya pria yang paling kuat. Dia sering pria tua yang sangat
jarang memakai tinjunya sendiri; dia menyuruh orang-orang
yang lebih muda dan lebih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan
kotor untuknya. Seorang laki-laki yang berpikir bahwa cara untuk
mengambil alih sindikat yaitu dengan mengalahkan don** tak
mungkin bisa hidup cukup lama untuk belajar dari kesalahannya.
Bahkan, di kalangan simpanse, jantan alfa meraih posisinya
dengan membangun koalisi yang stabil dengan pejantan-pejantan
dan betina-betina, bukan melalui kekerasan tanpa perhitungan.
Faktanya, sejarah manusia menunjukkan bahwa sering ada
relasi terbalik antara keperkasaan fisik dan kekuatan sosial. Di
sebagian besar warga , kelas rendahlah yang melakukan
pekerjaan kasar. Ini bisa mencerminkan posisi Homo sapiens
dalam rantai makanan. Jika hanya kemampuan fisik liar yang
punya arti, Sapiens tentu terdesak ke posisi tengah. Namun,
kemampuan mental dan sosial menempatkan mereka di puncak.
Oleh sebab itu, natural belaka bahwa rantai kekuatan dalam
spesies-spesies juga akan lebih ditentukan oleh kemampuan
mental dan sosial ketimbang kekuatan brutal. Oleh sebab itu,
sulit memercayai bahwa hierarki sosial yang paling berpengaruh
dan paling stabil dalam sejarah bertumpu pada kemampuan fisik
manusia untuk memaksa perempuan.
** Pemimpin organisasi kejahatan.—penerj.
Tiada Keadilan dalam Sejarah
Sampah warga
Satu teori lain menjelaskan bahwa dominasi maskulin bukan
merupakan hasil dari kekuatan, melainkan dari agresi. Jutaan
tahun evolusi telah menjadikan laki-laki jauh lebih kasar
ketimbang perempuan. Perempuan bisa menandingi laki-laki
dalam urusan kebencian, ketamakan, dan pelanggaran, namun
saat mendapat tekanan, laki-laki jauh lebih siap untuk terlibat
dalam kekerasan fisik yang liar. Itulah mengapa sepanjang sejarah
peperangan selalu menjadi hak prerogatif maskulin.
Pada masa perang, kendali laki-laki atas pasukan bersenjata
membuat mereka menjadi tuan-tuan dalam warga sipil
juga. Mereka kemudian memakai kontrol atas warga
sipil untuk melancarkan perang demi perang, dan semakin besar
jumlah perang, semakin besar kontrol laki-laki atas warga .
Lingkaran umpan balik ini menjelaskan merajalelanya perang
dan merajalelanya patriarki. Studi-studi mutakhir tentang sistem
horman dan kognitif laki-laki dan perempuan memperkuat asumsi
bahwa laki-laki memang memiliki kecenderungan kekerasan
lebih besar sehingga lebih cocok untuk menjadi tentara biasa.
Meskipun demikian, mengingat bahwa semua tentara biasa
yaitu laki-laki, apakah itu berarti bahwa orang yang mengatur
peran dan menikmati hasilnya pasti juga laki-laki? Itu tidak
masuk akal. Itu seperti berasumsi bahwa sebab semua budak
yang menggarap ladang-ladang kapas yaitu kulit hitam, pasti
para pemilik perkebunan berkulit hitam juga. Sebagaimana satu
pasukan kerja yang semuanya kulit hitam mungkin dikendalikan
oleh satu manajemen yang semuanya kulit putih, mengapa
pasukan tentara yang kesemuanya laki-laki tidak bisa dikendalikan
oleh pasukan yang semuanya perempuan, atau paling tidak
pemerintahan dengan sebagian perempuan? Faktanya, dalam
banyak warga sepanjang sejarah, para perwira tertinggi
tidak meniti karier pekerjaannya dari pangkat prajurit. Kaum
aristokrat, orang kaya, dan terdidik secara otomatis ditempatkan
di pangkat perwira dan tidak pernah bertugas sehari pun di
pangkat bawah.
saat Pangeran Wellington, musuh bebuyutan Napoleon,
diterima di Angkatan Darat Inggris pada usia 18 tahun, dia
langsung ditugaskan sebagai seorang perwira. Dia tidak banyak
merasakan sebagai tentara biasa dalam pasukannya. “Kami dalam
dinas memiliki sampah bumi para tentara biasa”, dia menulis ke
sesama aristokrat saat peperangan melawan Prancis. Para tentara
biasa ini biasanya direkrut dari kalangan sangat miskin atau dari
etnis minoritas (seperti Katolik Irlandia). Peluang mereka untuk
naik pangkat sangat kecil. Pangkat senior dikhususkan bagi para
bangsawan, pangeran, dan raja. Namun, mengapa hanya untuk
para bangsawan, bukan putri?
Imperium Prancis di Afrika didirikan dan dibela dengan
keringat dan darah orang Senegal, Aljazair, dan kelas pekerja
Prancis. Namun, persentase orang Prancis dari kalangan berada
dalam elite kecil yang memimpin angkatan perang Prancis,
menguasai imperium dan menikmati buahnya sangatlah tinggi.
Mengapa hanya laki-laki Prancis dan bukan perempuan Prancis?
Di China, ada tradisi yang berlangsung lama untuk
menundukkan angkatan perang di bawah birokrasi sipil sehingga
orang-orang Mandarin yang tidak pernah memegang pedang
sering memimpin perang. “Anda tidak perlu menyia-nyiakan besi
yang bagus untuk membuat pancing”, demikian pepatah China
yang berarti bahwa orang-orang yang benar-benar berbakatlah
yang bisa bergabung dalam birokrasi sipil, bukan angkatan perang.
Lalu, mengapa semuanya yaitu laki-laki Mandarin?
Orang tak bisa beralasan secara masuk akal bahwa kelemahan
fisik atau rendahnya tingkat testosteron menghalangi perempuan
menjadi orang Mandarin yang sukses, jenderal, dan politisi. Untuk
bisa berhasil dalam sebuah perang, Anda tentu membutuhkan
stamina, namun bukan kekuatan fisik atau keagresifan. Perang
bukanlah perkelahian di pub. Perang yaitu proyek yang
sangat kompleks yang membutuhkan derajat organisasi yang
luar biasa, kerja sama dan penenangan. Kemampuan untuk
mempertahankan ketenangan di dalam negeri, mencari sekutu di
luar, dan memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran orang
lain (terutama musuh Anda) biasanya menjadi kunci kemenangan.
sebab itu seorang brutal agresif sering menjadi pilihan terburuk
untuk memimpin perang. Yang jauh lebih baik yaitu orang
Tiada Keadilan dalam Sejarah
yang kooperatif yang tahu bagaimana menenangkan, bagaimana
memanipulasi, dan bagaimana melihat keadaan dari berbagai
perspektif yang berbeda. Inilah bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk menciptakan para pembangun imperium. Augustus yang
tidak berkompeten secara militer berhasil menciptakan rezim
imperium yang stabil, mencapai sesuatu yang lolos dari capaian
Julius Caesar dan Alexander Yang Agung, dua jenderal yang jauh
lebih mumpuni. Para pengagum kontemporer dan sejarawan
modern sering merujukkan kehebatan itu pada keunggulannya
dalam hal yang dinamakan clementia—kelembutan dan
ketenangan.
Perempuan sering di-stereoptipe sebagai pemanipulasi
dan penenang yang lebih bagus ketimbang laki-laki, dan
terkenal sebab kemampuan hebatnya untuk melihat sesuatu
dari perspektif orang lain. Jika ada bagian yang benar dari
stereotipe ini, maka mestinya perempuan bisa menjadi politisi
dan pembangun imperium yang hebat sehingga bisa menyerahkan
pekerjaan kasar di arena pertempuran kepada kaum macho yang
bermuatan testosteron dan berpikiran sederhana. Meskipun
marak dalam mitos-mitos populer, ini jarang terjadi di dunia.
Sama sekali tidak jelas mengapa bisa begitu.
Gen-Gen Patriarkal
Satu lagi penjelasan biologis yang tak terlalu menekankan
pentingnya kekuatan brutal dan kekerasan, dan menjelaskan bahwa
selama jutaan tahun evolusi, laki-laki dan perempuan berevolusi
secara berbeda dalam strategi survival dan reproduksi. saat
laki-laki bersaing dengan sesamanya untuk meraih kesempatan
menghamili perempuan subur, peluang satu individu untuk
bereproduksi bergantung yang paling utama pada kemampuannya
mengungguli dan mengalahkan laki-laki lain. Seiring berjalannya
waktu, gen-gen maskulin berkembang menjadi generasi paling
ambisius, paling agresif, dan paling kompetitif.
Seorang perempuan, di sisi lain, tak punya masalah dalam
menemukan laki-laki yang bersedia menghamilinya. Namun,
188
jika dia ingin anak-anaknya memberi cucu, dia perlu membawa
mereka 9 bulan yang melelahkan dalam kandungan, dan
kemudian mengasuhnya selama bertahun-tahun. Dalam masa itu
dia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mendapatkan
makanan, dan membutuhkan banyak bantuan. Dia membutuhkan
seorang laki-laki. Untuk menjamin survivalnya sendiri dan anak-
anaknya, perempuan tak punya banyak pilihan selain menyetujui
apa pun syarat yang ditetapkan laki-laki sehingga laki-laki bisa
tetap bersamanya dan ikut menanggung beban. Seiring berjalannya
waktu, gen-gen feminin berkembang menjadi generasi perempuan
pengasuh yang paling submisif. Perempuan yang menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk perang memperebutkan kekuasaan
tidak menyisakan gen-gen kuat itu untuk generasi masa depan.
Hasil dari strategi survival yang berbeda ini—demikian
menurut teori—yaitu bahwa laki-laki telah diprogram untuk
menjadi ambisius dan kompetitif, dan moncer dalam politik
dan bisnis, sedang perempuan cenderung menyingkir dan
mendedikasikan hidup mereka untuk membesarkan anak-anak.
namun pendekatan ini juga tampaknya diingkari oleh
bukti empiris. Yang terutama problematis yaitu asumsi bahwa
ketergantungan perempuan pada bantuan eksternal menjadikan
mereka bergantung pada laki-laki, bukan pada perempuan lain,
dan bahwa daya saing menjadikan laki-laki dominan secara sosial.
Banyak spesies binatang, seperti gajah dan simpanse bonobo, yang
dalamnya dinamika antara betina yang bergantung dan pejantan
yang kompetitif menghasilkan warga matriarkal. sebab
betina membutuhkan bantuan eksternal, mereka diwajibkan
untuk mengembangkan keterampilan sosialnya dan belajar
bagaimana bekerja dan menenangkan. Mereka mengonstruksi
jaringan sosial khusus betina yang saling membantu membesarkan
anak. Sementara itu, para pejantan menghabiskan waktu untuk
berperang dan bersaing. Kemampuan sosial dan ikatan sosial
tetap kurang berkembang.
warga bonobo dan gajah dikontrol oleh jaringan betina
yang kooperatif, sementara pejantan yang egois dan tak kooperatif
terdesak ke tepi. Meskipun betina-betina bonobo lebih lemah
secara rata-rata ketimbang pejantan, betina sering bertindak
Tiada Keadilan dalam Sejarah
keroyokan untuk mengalahkan pejantan yang melampaui garis
batas mereka.
Jika itu bisa terjadi pada bonobo dan gajah, mengapa tidak
pada Homo sapiens? Sapiens yaitu binatang yang relatif lemah,
yang keunggulannya terletak pada kemampuan untuk bekerja
sama dalam jumlah besar. Jika demikian, kita harus berekspektasi
bahwa kaum perempuan yang dependen, sekalipun mereka
bergantung pada laki-laki, akan memakai keterampilan
sosial mereka yang superior untuk bekerja sama mengalahkan
dan memanipulasi laki-laki yang agresif, otonom, dan egois.
Bagaimana itu bisa terjadi, bahwa dalam satu spesies yang
suksesnya bergantung terutama pada kerja sama, individu-individu
yang dianggap kurang kooperatif (laki-laki) mengontrol individu-
individu yang dianggap lebih kooperatif (perempuan)? Saat ini
kita belum punya jawaban yang bagus. Mungkin asumsi-asumsi
umumnya memang salah. Mungkin laki-laki dari spesies Homo
sapiens tercirikan bukan pada kekuatan fisik, keagresifan dan
daya saing, namun lebih pada kemampuan sosial yang superior
dan kecenderungan besar untuk bekerja sama. Kita tidak tahu.
namun yang kita tahu yaitu bahwa dalam abad
yang lalu peran-peran gender telah mengalami revolusi yang
dahsyat. Semakin banyak dan semakin banyak warga masa
kini memberi laki-laki dan perempuan status hukum, hak-hak
politik, dan kesempatan ekonomi yang setara. Meskipun jurang
gender masih signifikan, peristiwa-peristiwa bergerak dengan
kecepatan yang mencengangkan. saat , pada 1913, gerakan
kaum perempuan menghebohkan publik Amerika Serikat dalam
tuntutan ganjil untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan,
siapa yang pernah bermimpi bahwa pada 2013, lima hakim
Mahkamah Agung Amerika Serikat, tiga di antaranya perempuan,
memutuskan setuju melegalkan pernikahan sesama jenis
(menggugurkan keputusan penolakan dari empat hakim laki-laki)?
Perubahan-perubahan dramatis inilah tepatnya yang membuat
sejarah gender begitu membingungkan. Jika, sebagaimana terlihat
begitu jelas pada masa kini, sistem patriarkal lebih didasarkan
pada mitos-mitos tak berdasar ketimbang fakta-fakta biologis,
maka apa yang memicu universalitas dan stabilitas sistem ini?
24. Jamaah haji mengitari Ka’bah di Mekkah.
Bagian Tiga
Penyatuan Manusia
Anak Panah Sejarah
Setelah Revolusi Agrikultur, warga -warga manusia
tumbuh semakin besar dan semakin kompleks, sementara
konstruk-konstruk yang diimajinasikan yang memelihara tatanan
sosial juga menjadi lebih rumit. Mitos-mitos dan fiksi-fiksi
membiasakan warga , hampir sejak momen kelahiran, untuk
berpikir dalam cara-cara tertentu, dan menjalankan aturan-
aturan tertentu. Dengan demikian, mitos-mitos dan fiksi-fiksi itu
menciptakan naluri-naluri artifisial yang memungkinkan jutaan
orang asing bekerja sama secara efektif. Jaringan naluri artifisial
ini disebut “budaya”.
Dalam paruh pertama abad ke-20, para ahli mengajarkan
bahwa setiap budaya bersifat lengkap dan harmonis, memiliki
esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya.
Setiap kelompok manusia memiliki pemandangan atas dunia dan
sistem pengaturan sosial, hukum, dan politik masing-masing, yang
berjalan semulus planet-planet di sekeliling Matahari. Dalam
pandangan ini, kultur-kultur yang sudah mapan tidak berubah.
Kultur-kultur itu hanya bergerak dengan kecepatan sama dan
ke arah yang sama. Hanya kekuatan yang diaplikasikan dari
luar yang bisa mengubahnya. Oleh sebab itu, para antropolog,
sejarawan, dan politisi merujuknya sebagai “Kultur Samoa” atau
“Kultur Tasmania” seakan-akan keyakinan-keyakinan, norma-
norma, dan nilai-nilai yang sama sudah mencirikan warga
Samoa dan Tasmania sejak masa yang sudah lama sekali.
Kini, sebagian besar ahli budaya menyimpulkan sebaliknya.
Setiap budaya memiliki keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan
nilai-nilai yang khas, namun semua itu terus bergerak. Budaya
bisa mentransformasi diri merespons perubahan-perubahan dalam
lingkungannya atau melalui interaksi dengan budaya-budaya
sekitar. Namun, budaya-budaya juga menjalani transisi-transisi
berkat dinamika internalnya sendiri. Bahkan, budaya yang benar-
benar terisolasi yang ada dalam suatu lingkungan yang stabil
secara ekologis tidak bisa menghindari perubahan. Tak seperti
hukum fisika, yang bebas dari inkonsistensi, setiap tatanan
ciptaan manusia tersusun dengan kontradiksi-kontradiksi internal.
Budaya-budaya terus berusaha merekonsiliasi kontradiksi-
kontradiksi ini, dan proses ini menggerakkan perubahan.
Misalnya, dalam Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan
meyakini Kristianitas dan kekesatriaan. Seorang bangsawan biasa
pergi ke gereja pada pagi hari, dan mendengarkan pendeta
berbicara tentang kehidupan para santa. “Kesombongan yaitu
kesombongan,” kata Pendeta. “Kekayaan, nafsu, dan kehormatan
yaitu godaan yang berbahaya. Anda harus naik di atasnya, dan
mengikuti jejak-jejak Kristus. Jadilah lembut seperti Dia, hindari
kekerasan dan kemegahan, dan jika ditampar, sodorkan pipi
yang satunya.” Pulang ke rumah dalam suasana hati yang lembut
dan tafakur, bangsawan itu akan berganti pakaian dengan sutra
terbaiknya dan pergi ke perjamuan di istana rajanya. Di sana
anggur mengalir seperti air, penyanyi menyanyikan Lancelot and
Guinevere, dan para tamu bertukar kelakar kotor dan kisah-kisah
perang berdarah. “Lebih baik mati daripada hidup menanggung
malu,” seru para baron. Jika seseorang mempertanyakan
kehormatanmu, hanya darah yang bisa menghapuskan penghinaan
itu. Dan, apa yang lebih baik dalam kehidupan dibandingkan
dengan melihat musuh-musuhmu lari tunggang langgang di
hadapanmu, dan putri-putri cantik mereka gemetaran di kakimu?
Kontradiksi tak pernah terselesaikan sepenuhnya. Namun,
saat kaum bangsawan, pendeta, dan orang biasa berjibaku
dengannya, budaya mereka berubah. Salah satu upaya untuk
memahaminya menghasilkan Perang Salib. Pada Perang Salib, para
kesatria bisa menunjukkan keperkasaan militer dan kesalehan
religius mereka dengan satu tebasan. Kontradiksi yang sama
menghasilkan tatanan-tatanan militer seperti para kesatria Templar
dan Hospitaller, yang berusaha menghubungkan cita-cita Kristen
dan kesatria lebih erat lagi. Kontradiksi juga bertanggung jawab
atas bagian besar dari seni dan literatur abad pertengahan, seperti
Anak Panah Sejarah
kisah-kisah King Arthur dan Holy Grail. Bukankah Camelot*
yaitu sebuah upaya untuk membuktikan bahwa seorang kesatria
yang baik bisa dan harus menjadi Kristen yang baik, dan bahwa
Kristen yang baik menjadi kesatria yang baik?
Contoh lain yaitu tatanan politik modern. Sejak Revolusi
Prancis, orang-orang di seluruh dunia perlahan-lahan bisa
melihat kesetaraan dan kebebasan individu sebagai nilai-nilai
fundamental. Meskipun demikian, kedua nilai itu kontradiktif
satu sama lain. Kesetaraan hanya bisa dijamin dengan membatasi
kebebasan mereka yang punya nasib lebih baik. Menjamin bahwa
setiap individu akan bebas melakukan sesuai kehendaknya, tak
terelakkan mengubah kesetaraan. Keseluruhan sejarah politik
dunia sejak 1789 bisa dilihat sebagai serangkaian upaya untuk
merekonsiliasi kontradiksi ini.
Siapa pun yang sudah membaca novel Charles Dickens tahu
bahwa rezim-rezim liberal abad ke-19 Eropa memberi prioritas
kepada kebebasan individu sekalipun itu berarti menjebloskan
keluarga-keluarga miskin papa ke penjara dan tak memberi para
yatim kecil pilihan selain ikut bersekolah untuk mencopet. Siapa pun
yang sudah membaca novel Alexander Solzhenitsyn tahu bagaimana
cita-cita egaliter Komunisme menghasilkan tirani-tirani brutal
yang berusaha mengontrol setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Politik kontemporer Amerika juga beredar di sekitar
kontradiksi ini. Orang Demokrat menginginkan warga yang
lebih adil, sekalipun itu berarti menaikkan pajak untuk mendanai
program-program guna membantu kaum miskin, usia lanjut, dan
lemah. Namun, itu membatasi kebebasan individu-individu untuk
membelanjakan uang sekehendak mereka. Mengapa pemerintah
harus memaksa saya untuk membeli asuransi kesehatan kalau
saya lebih suka memakai uang untuk menyekolahkan
anak ke perguruan tinggi? Orang Republiken, di sisi lain, ingin
memaksimalkan kebebasan individu, sekalipun itu berarti bahwa
jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin membesar dan
bahwa banyak orang Amerika tidak akan sanggup membiayai
perawatan kesehatan.
* Istana yang dihubungkan dengan sosok King Arthur.—penerj.
Sebagaimana kultur abad pertengahan tak berhasil memadukan
kekesatriaan dengan Kristianitas, demikian pula dunia modern
gagal memadukan kebebasan dan kesetaraan. Namun, ini bukan
aib. Kontradiksi-kontradiksi semacam itu yaitu bagian tak
terpisahkan dari setiap budaya manusia. Faktanya, kontradiksi
yaitu bahan bakar budaya, yang bertanggung jawab atas
kreativitas dan dinamika spesies kita. Sebagaimana saat dua
not musik yang berbenturan dimainkan bersama menghasilkan
sepotong musik, demikian pula pertentangan pemikiran, ide-
ide, dan nilai-nilai memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi
ulang, dan mengkritisi. Konsistensi yaitu arena bermain bagi
pikiran-pikiran yang bodoh.
Jika ketegangan, konflik, dan dilema-dilema yang tak teratasi
menjadi bumbu bagi setiap budaya, maka seorang manusia dari
kultur tertentu mana pun pasti memegang keyakinan-keyakinan
kontradiktif dan terbelah oleh nilai-nilai yang tidak saling
bersesuaian. Hanya dengan ciri penting itulah setiap budaya
bahkan memiliki nama: disonansi kognitif. Disonansi kognitif
sering dipandang sebagai kegagalan (jiwa) psyche manusia.
Faktanya, ia justru aset vital. Kalaulah orang tidak mampu
memegang keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang kontradiktif,
maka mustahil tercipta dan terpelihara budaya manusia mana pun.
Jika Anda benar-benar ingin memahami, katakanlah, warga
Muslim yang datang ke masjid di tengah perkampungan, jangan
coba mencari seperangkat nilai-nilai murni yang dijunjung tinggi
setiap Muslim. Namun, cobalah dalami catch-22** tentang kultur
Muslim, tempat-tempat di mana aturan-aturan berbenturan dan
standar-standar bertentangan. Di titik tempat kaum Muslim maju-
mundur antara dua perintah, di situlah Anda bisa memahami
mereka dengan baik.
Satelit Mata-Mata
Kultur-kultur manusia terus mengalir. Apakah aliran ini benar-
benar acak atau memiliki pola-pola yang menyeluruh? Dengan
** Istilah untuk menggambarkan situasi paradoks, yang diambil dari novel satiris
karya Joseph Heller, terbit pada 1961.—penerj.
Anak Panah Sejarah
kata lain, apakah sejarah memiliki arah?
Jawabannya yaitu ya. Selama beribu-ribu tahun, kultur-
kultur kecil sederhana pelan-pelan bersatu menjadi peradaban-
pe