• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label tata negara majapahit 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tata negara majapahit 3. Tampilkan semua postingan

tata negara majapahit 3


 djuan negara.

X : Penduduk dan orang Nusantara.

X I : Mandala Nusantara.

X II: PenierinLahan.


PASAL X.

TUDJUAN NEGARA MADJAPAHIT.


PASAL X.

A. TUDJUAN NEGARA.

219. Bahwa sesualu negara harus mempunjai sjarat mutlak jang 

menjalakan perhubungan antara pemerintah dengan daerah per- 

kampungan-manusia jang taat-patuh berkediaman diatasnja sudah 

lama mendjadi fikiran ahli-negara dan alili filsafat. Terutama 

bangsa Amerika Serikat jang banjak berfikir kedjurusan itu dan 

ineninggalkan djedjak dalam beberapa piagam dan undang-undang 

dasar. Sebelum Amerika Serikat memerdekakan dirinja, maka 

dalam proklarnasi Massachusetts tanggal 22 Januari 1776 telah 

dinjatakan oleh Mahkamah jang bersidang diteluk Massachusetts 

itu, bahwa kebahagiaanlah jang mendjadi satu-satunja tudjuan 

pemerintah: As the happiness of the people is the sole end of govern­

ment, so the consent of the people is the only foundation of it, in 

reason, morality, and the natural fitness of things. Maka beberapa 

bulan sesudah itu, tudjuan kebahagiaan bertambah lagi dengan 

hidup-hidajat dan kemerdekaan jang didjadikan pula tudjuan tiap- 

tiap pemerintah. Untuk melindungi hak manusia jang tiga itu, 

maka sekumpul manusia diatas sebidang tanali membentuk peme­

rintah tempat mereka berlindung. Atas djasanja Thomas Jefferson 

maka dalam piagam Pernjataan Kemerdekaan Amerika Serikat 

tanggal 4 Juli 1776 jang ditanda tangani oleh parawakil Negara 

jang XIII, dapatlah dibatja kalimat ini: JVe hold these truths to 

he self-evident, that all men are created equal, that they are endowed 

by their Creator with certain, unalienable Rights; that among these 

are Life, Liberty and the pursuit of Happiness. That to secure these 

rights, Governments are instituted among Men, deriving their just 

power from the consent of the governed.

Empat tahun sesudah pernjataan dan masih ditengah-tengah 

perdjuangan kemerdekaan maka didalam Undang-undang Dasar 

negara Massachusetts (1780) dinjatakan pula dengan djelas apakah 

maksud pemerintah: The end of the institution, maintenance, and 

administration of government, is to secure the existence of the body 

politic; to protect it, and to furnisc.h the individuals tvho compose 

it with the poiver of enjoying in safety and tranquility, their natural 

rights, and the blessing of life. Negara baru seperti Iowa-pun me- 

nempatkan tiang negara itu dalam Konsiitnsinja (sec. 2, art. 1): 

Government is instituted for the protection, security and benefit of 

the people.

Tudjuan dan maksud pemerintah seperti dimaklumkan dalam 

piagam Pernjataan Kemerdekaan memang tak didapat kembali

99

dalam mukaddimah atau batang tubuh Konstitusi Republik Amerika 

Serikat (1786), tetapi Mahkamali dan para-juris Amerika dalam 

abad ke-19 dan 20 tetap mengemukakan baliwa pemerintah negara 

ada tudjuannja. Ketua Mahkamah-Agung Taney memutuskan dalam 

tahun 1837 suatu perkara dengan berisi kalimat: The object and 

end of all government is to promote the happiness and prosperity 

of the community by which it is established. Dan pengarang 

Woodrow Wilson, Presiden Amerika jang meinbawa peperangan 

dunia menudju kemenangan berkata dalam naskah nja The State 

(Ch. XVI) :  The end of government is the facilitation of the objects 

of society. The rule of governmental action is necessary co-operation. 

The method of political development is conservative adaptation, 

shapingeld habits into new ones, modifying old means to accomplish 

new end. Dalam perpustakaan Marxisine maka terdapat pula tu­

djuan negara sebagai perkakas kelas proletariat untuk membentuk 

masjarakat jang memakmurkan kelas itu; tudjuan dilahirkan oleh 

filasafat historis-materialisme jang memandang negara itu perkakas 

bagi kemadjuan segolongan manusia.

Tudjuan kebahagiaan itu dirumuskan dalam kata-pembukaan 

Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dengan kalimat 

berbunji: untuk memadjukan kesedjahteraan urnum, mentjerdas- 

kan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia 

jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan 

sosial.

Djikalau fikiran jang mendjadikan tudjuan-negara itu djadi tiang 

atau sjarat mutlak bagi pembetukan badan-politik jang bernama ne- 

gara diturut dan dipakai dalam pemeriksaan negara Madjapahit, ma- 

ka dengan keterangan diatas hilanglah rasanja segala kegandjilan 

dan kekakuan. Dan pemeriksaan dengan segera menundjukkan bah­

wa negara Madjapahit mempunjai tudjuan dan maksud, walaupun 

sangat berlainan dari pada tudjuan negara-negara demokrasi dan 

Sovjet jang diuraikan diatas. Dalam abad ke-14 maka tudjuan negara 

Madjapahit dalam melaksanakan usalia pemerintahan kedjajaan 

atau dengan perkataan Djawa-lama: kedigwidjajaan (kadig'wijayan).

Seperti telah diuraikan pada pasal III, maka tudjuan itu tertjan- 

tuin dalam Negarakertagama, sarga 94; l l 2, sebagai penutup 

karangan. Kalimat kadigwijayan ira narendra ring praja disalin 

oleh Prof. Kern dengan „perdjalanan Sang Perabu dalam keradja- 

an” , jaitu berhubungan dengan perdjalanan mengidari Djawa-Tirfmr 

dalam tahun 1359; VG, III, 1918; h. 116. Karena dipengaruhi olcli 

salinan Prof. Berg (Inleiding p. 61) akan perkataan Negarakerta­

gama dengan „sedjarah ketumbuhan dan berkembangnja keradjaan 

(de geschiedenis van de groei en den bloei van het rijk )” , maka 

Prof. Krom dalam naskah nja H.J.B. (1931. p. 17) menjalin kalimat 

diatas dengan „kekuasaan-memerintah jang berbahagia oleh Sang 

Perabu bagi keradjaannja (’skonings kadigwijayan, zegevierende

100

heerschappij over zijn rijk)” . Dengan mengingat segala perbedaan 

salinan maka kalimat itu kita salin dengan ,-kebahagiaan-pemerintah^ 

Sang Perabu bagi Rakjat” . Kebahagiaan pemerintah inilah jang v 

dikarangkan oleh rakawi Prapantja dalam naskah nja jang terkenal 

itu, dan jang berisi lebili luas dan lebili banjak dari pada hanja 

perdjalanan-kemegahan mengidari Djawa-Timur.

Istilah Djawa-lama kadigwijayan berasal dari kata digwijaya 

dengan bertjantuman ke — an; kata Sangsekerta digwijaya berisi 

urat-kata, satu dari pada seribu dhatn-patha jang ditentukan 

Panini, ji =  jnya berarti menangmegah dengan berawalan dig- 

dan wi-.

Menurut kamus Sir Monier-Willems (1951) hal. 480, 

maka dig — jaya atau dig — vijaya itu berarti: the conquest of 

various countries in all directions; the victories of Yudlii -shthira, 

victories over various sects. Awalan digwi- dipakai hanjalah untuk 

pengeras, dan sama arti dan kuatnja dengan awalan ivi-. Dalam 

bahasa Indonesia dapatlah perkataan kedigwidjajaan itu disalin 

dengan: kemenangan, kemegalian bersumarak, kebesaran, bahagia 

atau djaja. Tjita-tjita kedigwidjajaan itu diringkaskan mendjadi 

kedjajaan; djaja-pun jalah kata sembojan untuk meugharapkan 

kebesaran kepala negara.

Istilah jang menundjukkan tudjuan negara Madjapahit itu sama 

maksudnja dengan perkataan „kebahagiaan” , atau dengan istilah^"" 

„kesedjahteraan” menurut Undang-undang Dasar Proklamasi Ke­

merdekaan Indonesia.

Djadi njatalah, bahwa tudjuan supaja pelaksanaan pemerintah 

menimbulkan bahagia bagi rakjat dan seluruh negara didapat djuga 

dalam Nagr. Kebahagiaan negara itu tidaklah tertjantum dalam 

nama Madjapahit, melainkan mendjadi tudjuan pimpinan jang di- 

kendalikan oleh pusat-kesaktian dikeraton Madjapahit. Berlainan 

balnja dengan kedatuan Seriwidjaja, jang tudjuan itu benar-benar 

dilekatkan pada liamanja sendiri; pada kedatuan ini maka tudjuan 

itu dikuatkan dengan mengambil berkat kekota Pelembang, seperti 

ternjata dari pada beberapa batu-bertulis dari abad ke-YII jang 

menjebutkan, bahwa Siddhayatra dilaksanakan dikota dan kekota 

itu untuk menambah kekuatan-sakti negara Seriwidjaja. Keadaan 

itu dapat pula difahamkan, karena kedatuan itu mempunjai pusat- 

kesaktian dibukit atau Gunung Dapunta Hiang dikota tersebut, 

jaitu: Siguntang Mahameru.

Teranglah bahwa tudjuan kedikwidjajaan itu memang ada ter- 

simpul dalam nama Seriwidjaja dan dimuliakan dalam zaman 

sedjarah Madjapahit, serta kedjajaan jalah pula tudjuan negara 

dalam perdjuangan kemerdekaan jang membentuk Republik Indo­

nesia dalam abad ke-XX, seperti dirumuskan dengan istilah kese- 

djahleraan-umum dalam kata-pembukaan Undang-undang Dasar

1945.

101

Kebahagiaan negara adalah isi dari pada tudjuan kedikwidjajaan ,

itu. Tudjuan ini mendjadi kewadjiban jang harus dilaksanakan dan 

dipenulii oleh pimpinan-negara. Sebab itulah maka tudjuan-negara 

itu dinamai djuga nagaradharmma, seperti tersebut pada prasasti 

Gunung Butak (1294), dalam kalimat kesatu. <

Kebahagiaan pemerintah ditentukan isi dan maksiulnja oleh per- 

buatan pelaksanaan kekuasaan. Adalah tiga perbuatan jang menu rut 

pendapat kami termasuk kedalamnja, jaitu: keutamaan Sang Perabu, 

kemakinuran Rakjat dan persatuan negara. Boleh djadi ada bebe­

rapa bagian lagi jang mungkin termasuk kedalamnja, tetapi jang 

tiga itulah jang dengan segera sangat menarik perhatian d jikalau 

perubahan dan kemadjuan kekuasaan dalam abad ke 13— 15 

diperliatikan.

Keutamaan Sang Perabu (kottamannrpali) menurut peman- 

dangan dan pengalaman Prapantja bermula sekali karena niem- 

t punjai pengetalman luhur dan bersih ( jnaniviccsa quddha), sehing­

ga dapat memadamkan keburukan orang djahat; tidak dikatakan 

dimanakah pengetahuan itu mungkin didapat, tetapi njala itulah 

dasar jang menimbulkan kebaikan dan kebadjikan untuk bersama.

Selainnja dari pada itu dipudjikan supaja Sang Perabu m e l i h a t k a n

tingkah Iaku jang menundjukkan belas-kasihan kepada anak buah 1

(kaparahitun ning praju). Kedua-dua sifat itu disempurnakan pula

dengan watak kelakuan jang membuktikan sifat kelaki-lakian atau

keberanian (kaivlryyan) dan kemegahan atau kebesaran (wibhaiva). l

Oleh karena keempat sifat ini adalah keutamaan Ajam Wuruk,

maka Sang Perabu itu dipudji-pudji oleh Prapantja sebagai pen-

djelmaan Sugata-Buda dan Mahadewa Sjiwa jang memadjukan

kebahagiaan-dunia: agaive jagaddhita. Adapun maksud pudjian itu i

jalah untuk memberi dasar, bahwa menurut perinlah Sang ]Jerabu

berarti lepas dari segala bentjana dan akan liidup dengan bahagia,

sedangkan barangsiapa berani melanggar titah atau perintah-radja

akan melakukan kesalahan dan mcndapat tjelaka.

Setelah memudjikan keempat sifat keutamaan ini, maka barulah 

Prapantja dalam Ngr. k. 92; III memberi kesimpulan dengan me­

makai ikatan Wikrti seperti Ardjuna JFiiuaha 3:

JSahanhelu ni kottama nrpati kaprakaqita pinujlng jagattraya.

sakweh ning jana madhyamottamakanista pada rnujarakcn 

swara siuti.

anging sot nika mogha langgeng atmvuh tvnkira sira pangoban 

ing sarat.

astivanirwa lawas bhatara Raivi Candrama sumclehi bhunii- 

mandala.

102

Salinannja:

„Ilulah sebabnja maka keutamaan Sang Perabu mendjadi 

ternama dan dimuliakan dalam ketiga lingkungan bumi. Segala 

manusia, baik jang tinggi, tengah atau jang rendah sekalipun 

rata-rata mengutjapkan pudjian belaka; permohonan mereka lianja- 

]ah supaja beliau dipandjangkan usianja, seperti bukit mendjadi 

tempat berlindung seluruli dunia. Moga moga beliau selama-lama- 

njalah seperti Sang Matahari dan Sang Rembulan menjinari 

lingkaran bumi” .

Pudjian itu tidaklah kalimat jang berisi ikatau kata jang muluk- 

muluk belaka, melainkan mengandung isi jang membandingkan 

keutamaan-radja dengan sinar Matahari dan Bulan jang terus- 

menerus menurunkan bahagia bagi anak-buah segala manusia jang 

hendak berlindung dibawah kekuasaan-pemerintah. Pudjian itu 

tidaklah semata-mata menurut perasaan agama; Sang Perabu 

dibandingkan dengan pendjelmaan Buda dan Sjiwa, sehingga per- 

bandingan itu hanja dapat difahamkan apabila jang dimaksud jalah 

keutamaan sakti jang bersumber pada kepala negara. Perasaan itu 

memang dilahirkan dengan membandingkan Sang Perabu dengan 

tenaga mahasakti.

Tiulj uau hendak memakmurkan Rakjat keliliatan pada berbagai- 

bagai perbuatan untuk kebaikan sawah-ladang dan lalu-lintas. Iverta-. 

wardana, aiahanda Aiam Wuruk memangku djabatan jang istimewa 

menientingkan urusan tanah dan nekarangan.j_Perhubungan antara 

Xota Madjapaliit dengan bagian sebelali ke-udik dipandang benar 

sebagai sjarat untuk mentjukupkan makanan. Segala lial jang ber- 

hubungan dengan usalia kemakmuran ini akan ditindjau lebili lan- 

djut pada bagian kesedjahteraan. (|'Cemakmuran-bersama dipandang 

oleh Ngr. s. 00; l l 3 sebagai kesedjahteraan daerah (kahajengan 

ning pradega). ^

((Persatuan-negara sebagai usalia kedigwidjajaan pemerintah 

dengan umumnja mengenai persatuan daerali bersama-sama dengan 

penduduk jang berdiam diatasnja) Bagaimana tali persatuan jang 

mengikat daerah itu dalam lingkaran keradjaan sebagian besar 

berganlung kepada mat jam perhubungan jang akan dikupas pula 

dibawah ini pada angka IV. Usalia mempersatukan daerah dapat 

diperhatikan pada beberapa peristiwa dan perbuatan untuk ke- 

pentingan itu.

Kertaradjasa dan Djajanegara berhasil mempersatukan kembali 

t daerah Tumapel lama dengan tanah Kadiri (Daha) jang incmbe-

rontak: seluruli pulau Djawa disebelah timur gunung Wilis bersatu 

kembali seperti dizaman Radjasa-Kertanegara, kini dengan Madja­

pahit sebagai pusat, selama dan apabila dalam ikatan-persatuan 

daerah itu dapat ditenteramkan dari pada bermatjam-matjam 

pemberontakan. Sesudah Gadjah Mada membentangkan rantjangan 

politiknja hendak inempersatukan daerah-daerah dikepulauan

103

Nusantara dimuka paseban keraton Madjapahit, maka usaha per­

satuan didjalankan sebagai rantjangan negara karena dikuatkan 

oleh perabu isteri Teribuanauttunggadewi; waktu Ajam  Wuruk 

naik tachta maka rantjangan itu sebagian besar telah berhasil 

dengan baik. Perabu-muda itu memperluas daerah asli Djenggala- 

Dalia dengan daerah Djawa Tengah sampai ke-Mataram dan 

kepantai utara sampai ke-Lasem, dan didaerah pusat jang dilebarkan 

itu berkuasa para-ratu jang hampir semuanja kaluarga Sang Perabu.

Persatuan negara jang ditinggalkan Gadjali Mada dan Ajam  Wuruk 

sesudah ditangan Wikramawardana mendjadi petjah, sehingga 

kesudahan abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 itu jalah kerim- 

tulian persatuan jang dibentuk dengan berbagai-bagai djalan usaha.

Pada tahun 1446 ketika Sang Perabu Parakramawidjaja berkuasa, 

memang disebutkan dalam pertulisan Surodakan, bahwa negara 

Madjapahit masih meliputi 14 negara daerah, jang semuanja ter- 

letak dipula Djawa. Pada pengliabisan abad ke-15 maka kemun- 

duran persatuan sudah sampai kembali seperti pada pengliabisan 

abad ke-13; menurut piagam-lojang dari Sendang Sedati (Bodjo- 

negoro) jang memakai tarich 1473 maka waktu itu keradjaan 

Yawabhumi sudah berdiri kembali hanja atas Djenggala dan Kadiri 

dibawah kekuasaan Singawikramawardana. Beberapa tahun sesudah 

itu, dalam tahun 1486, daerah jang ketjil itu sudah penuli perteng- 

karan, walaupun seolah-olah bersatu dalam tangan Sang Perabu 

Seri-inderawardana. Dan pada permulaan abad ke-16 maka sisa-sisa 

persatuan keradjaan Madjapahit sudah liilang kekuasaannja, dan 

pada tahun 1525 telah liilang sebagai negara dan lalu mendjadi 

sebagian keradjaan Islam dibawah Adipati Junus jang berkedudukan 

di Demak.

Adapun perbuatan-perbuatan dan tindakan membentuk persatuan i

daerah itu selalu terantjam oleh bahaja perpetjahan dari dalam 

dan dari kekuatan sakti. Tenaga sakti telah pernah digerakkan oleh 

mahajogiiswara Empu Barada waktu memetjalikan keradjaan Air- 

langga mendjadi Djenggala dan Daha. Pengaruh gerakan sakti itu 

tidak dapat dimatikan begitu sadja, karena dirasakan terlalu kuat 

dan selalu memberikan djedjak bagi keradjaan-keradjaan jang se* 

sudabnja. Maka dalam sedjarah adalah empat usaha terkenal 

menahan pengaruh perpetjahan itu. Tangkal pertama dilaksanakan 

oleh Kertanegara, tiga tahun sebelum beliau meninggal. Dalam 

tahun 1289 itu maka didirikanlah dikuburan Wurare, ditempat 

Empu Barada mengumpulkan tenaga sakti menegakkan suatu patung; 

berupa Djaka Dolog (Kertanegara) dengan maksud supaja bidji 

perpetjahan kena tangkis tangkal itu, sehingga jang berkuasa 

hanjalah gerakan-sakti untuk kebaikan persatuan. Itulah sebabnja 

maka pada patung itu didapat kalimat berbunji: „untuk kebaha- 

giaannja jang tak putus-putusnja bagi segala putera, tjutju dan

104

permaisurinja, clan untuk persatuan negara” . Bagian kalimat jang 

paling achir ini jalah salinan kalimat Sangsekerta Ksjitjeklbh'aiva- 

karanat menurut pendapat Prof. Berg (GNI, 1938 hal. 34). Tangkisan 

Kertanegara, jang meminta supaja Singasari dan Daha tetap bersatu, 

ternjata tidak berhasil, karena dalam talnm 1292 gerakan pemetjah 

Empu Barada mendapat kemenangan pula. Setelah Kertaradjasa dan 

puteranda Djajanegara berhasil mempersatukan dan menenteramkan 

kedua belah pusat keradjaan di-Timur clan di-Barat gunung Kawi, 

maka persatuan jang telah tertjapai hendak diluaskan oleh Gadjah 

Mada sampai djuga meliputi Sunda, Bali dan beberapa daerah 

ditanah seberang. Pidato jang berisi rantjangan politik persatuan 

itu ditulupnja dengan perdjandjian tidak akan makan palapa se- 

lama tudjuan itu belum tertjapai. Walaupun apa djuga artinja kata 

palapa, jang menimbulkan berbagai-bagai sangkaan itu, terang 

kalimat itu berisi suatu pantang (Sunda; pemali) untuk penguatkan 

tudjuan persatuan jang diutjapkannja clan untuk pelemahkan usaha 

pemetjah negara, seperti dilaksanakan oleh Empu Barada kira-kira 

tudjuli perempat abaci lebili dahulu itu.

179. Lebili djelas lagi penangkisan pengaruh kesaklian jang 

pernah digerakkan itu pada perajaan serada (Qradda) jang dilaksa­

nakan oleh Ajam Wuruk dalam tahun 1362 untuk memperingati 

Nenek Rahiang Seri Radjapatni, puteri Kertanegara jang menegak- 

kan patung Djaka Dolok Wurare seperti tersebut diatas. Perajaan 

serada ini diriwajatkan pandjang lebar dalam Nagr. sarga 63— 67: 

Prof. Berg telah berdjasa menundjukkan, bahwa patung Radjapatni 

ditegakkan di-Pradjnja- paramitapuri di Bhajalange, sedangkan 

j Kamalpandak tempat pakaian Empu Barada tersangkut dan mele- 

I lakkan gendinja jang berisi air sakti (Nagr. ke-68, IV) jalah tempat 

rumah sutji jang dalam tahun 1351 disuruh dirikan oleh Sang 

Perabu. Maka maksud perajaan dan menegakkan sudarma itu jalah 

supaja pulau Djawa tetap bersatu sebagai penangkal pemetjalian 

Empu Barada dan supaja persatuan-negara mendapat perlindungan. 

Nagr. sarga 68; V. 2-4 berbunji:

Hetunyan ivinangun sudharnutia ualuya ng bhumi Jaiva- 

t img gala

sthitya raja sablmmi kawruhana ning rat dlaha tan linggara 

cihnagrl-nrpati n-1 jay eng sakalabhumi n-cakraivartlprabhu

disalin kebahasa Indonesia: Itulah jang mendjadi alasan mengapa 

disana didirikan rumah persembahan, supaja tanah Djawa bersatu 

kembali; supaja radja clan tanah mendjadilali tetap dan rakjat 

djangan kebingungan, supaja mendjadi tandalah bahwa Sang 

Perabu djaja diseluruh dunia sebagai pemerintah-bumi.

105

Menumpukkan tenaga sakti untuk melindungi persatuan negara 

ditempat tenaga perpetjahan jang digerakkan dizaman jang lampau 

adalah berarti menegakkan tangkal penangkis ketjelakaan perpe­

tjahan dan menguatkan pantang-pemali untuk nienimbuikan ke- 

baikan-persatuan seperti telah beratus-ratus taliun diharap-harapkan.

Djuga sekali ini harapan itu tidak berhasil; kepanasan dan 

kekuatan tenaga sakti Empu Barada rupa-rupanja djauh lebih keras 

dari pada tenaga sakti Mpungkwing Paruh jang memimpin upatjara 

perajaan serada. Beberapa puluh tahun sesudah perajaan itu, maka 

mulailah pula perpetjahan jang achirnja membawa keradjaan me- 

nudju kemusnahan.

Adapun perajaan serada jang dilaksanakan oleh putera Singa- 

wikramawardana dalain tahun 1486 di Madjapahit djuga dengan 

maksud untuk melindungi persatuan keradjaan; perajaan itu jalah 

pula meminta perlindungan kepada turunan Daha, bernama Singa- 

wikramawardana, oleh puteranja jang merebut Madjapahit dalam 

tahun 1478; perajaan serada itu berlaku 12 tahun sesudah ajahnja 

meninggal dalam tahun 1474 di Dahanapura dan dipimpin oleh 

mahapurohita bernama Brahmaradja Ganggadara. Djuga pengum- 

pulan sakti untuk turunan Girindrawardana itu tak berhasil, karena 

pada tahun 1525 negara Madjapahit telah hilang musnah untuk 

selama-lamanja.

Nagr. 68, V jang disalinkan diatas berhubungan dengan pemba- 

ngunan sudarma ditempat pohon-asam Kamalpandak, jang mendjadi 

tanda perwatasan sedjak abad ke-11 itu, mendjelaskan keempat 

tiang negara: raja, b h u m i ,  rat dan grl-nrpati n- jayeng s a k a l a b l m m i  

n- cakrawarttlprabhu; dalam kalimat itu lersimpan tudjuan negara 

dengan ikatan lambang: Ivedjajaan Sang Perabu diseluruli bumi 

sebagai Pemerintah-bumi Tjakrawarti.

Kedjajaan atau kedigwidjajaan sebagai tudjuan negara Madja­

pahit, seperti telah dinjatakan diatas tadi itu, tidaklah sama dengan 

tudjuan negara lain, karena tudjuan itu dipengarulii oleli hawa, 

iklim, waktu dan tudjuan hidup. Bandingkanlali buali fikiran alili- 

pemikir orang Filipino, Joze Rizal, jang telali melajangkan peman- 

dangannja kedjurusan itu, dalam naskah nja: The Reign of Greed 

(hal. 142; dalam salinan bahasa Inggeris oleh Charles Derbyshire) ; 

pengarang itu berkata: Governments arc established for the welfare 

of the people, and in order to accomplish this purpose property  

they have to folloiv the suggestions of the citizens, who are the 

ones best qualified to understand their own needs. Tudjuan peme- 

rintah inilali (the purpose of government) jang tak dilupakan 

merentjanakannja dalam naskah -naskah  hukum-negara di Filipina dan 

Indonesia dalam abad ke-XX.

106

Penjelidikan diatas memberi basil, baliwa dalam j>erdjalanan 

sedjarah ternjata tiga negara selalulah .berturut-turut mempunjai 

Ludjuan: kewidjajaan berisi kebaktian dalam kedatuan Seriwidjaja, 

kccljajaan dalam keperabuan Madjapahit dan kesedjahteraan dalam 

kepresidenan Republik Indonesia. Ivetiga istilah itu menandakan 

sikap-ruhani terhadap negara dari sesuatu bangsa jang bertudjuan- 

hidup nasional.

107


PASAL X.[

PENDUDUK MADJAPAHIT DAN ORANG NUSANTARA.


PASAL XI.

B. PENDUDUK DAN ORANG NUSANTARA.

1. Pengartian penduduk.

219. Penduduk Indonesia menurut tjatjah djiwa tahun 1930 

telah 60,7 djuta banjaknja, sedangkan menurut Panitia Pemilihan 

Indonesia angka itu pada penghabisan tahun 1954 telah meningkat 

mendjadi 79 djuta djiwa. Menurut pengarang Sir Stamford Raffles 

penduduk itu dalam zamannja, djadi pada permulaan abad ke-19 

tidaklah lebih dari 5 djuta. Angka itu dibenarkan oleh Huender 

dan Van Gelderen. Menurut persangkaan kita, maka dalam abad 

ke-14 penduduk Indonesia takkan lebih dari 3 djuta, diantaranja 

kira-kira 2 djuta dipulau Djawa. Angka-angka itu perlu dikemuka- 

kan sekedar untuk membatasi fikiran terhadap penduduk Madjapa­

hit jang tak mengenai angka-angka tjatjali-djiwa jang sampai 

kepada kita.

Penduduk jang tak begitu banjaknja itu tidaklah terkampung 

dalam ikatan bangsa-negara (Nation); pengartian liukuin itu lahir 

di-Amerika Serikat dan Iiropah Barat pada penghabisan abad 

ke-XVIII dan selandjutnja dalam abad ke-XIX. Walaupun demikian 

penduduk jang berdiain atau berumah diatas daerah-tanah Madja­

pahit mempunjai perhubungan dengan negara tersebut. Perhubung­

an itu jalah soal peristiwa; mana jang mengandung arti basi hukum- 

negara akan kita selidiki dibawah ini.

Serupa dengan istilah anak buah, anak negeri, bumiputera 

menurut hukum-adat Indonesia sekarang, maka perhubungan dengan 

daerah atau negara Madjapahit dinamai anak. Penduduk d6sa 

seluruhnja dinamai: sama-sanak, anak-thanij djuga perhubungan 

sanak (dahulu dan sekarang) berasal dari kata Sa-anak.

2. Orang Nusantara.

Perbedaan besar sekali kelihatan dalam masjarakat antara tin"- 

katanHkaluarga radja dengan kaluarga orang biasa. Masing-masing 

mempunjai nama dengan istilah jang tetap.

Golongan kaluarga radja dinamai samasanak atau paraxvangga. 

Kedua-dua istilah itu tersebut beberapa kali dalam prasasti Ajam 

Wuruk 1378. Djuga pada prasasti Beluluk kedua istilah itu dapat 

dibatja, sedangkan dalam tulisan itu paraicangga dinamai djuga 

wangqa ningong. Istilah jang pertama rupa-rupanja djauh lebih tua 

dari pada jang kedua, karena prasasti Airl angga (KO, V, hal. 12) 

dan tulisan Gandasuli dalam bahasa Indonesia-lama telah menje- 

butkannja dengan memakai edjaan: samasanak. Perkataan itu jalah

111

kata Austronesia asli dan ditempa dari kata sanak, berasal dari sa- 

anak, seperti djuga pada waktu ini masih hidup dipakai dalam kata 

kembar sanak-saudara atau menurut istilah hukum-adat Minang- 

kabau dansanak (dusanak) dengan awalan kemuliaan: da dengan 

berarti kaum-kaluarga seperut-ibu.

Dalam zaman perabu Ajam Wuruk istilah samasanak itu tidaklah 

mengandung arti seperti pada abad ke-VIII, melainkan ternjata 

meliputi hanja kaum-kaluarga radja jang karena pernah ber-ibu 

atau berkawin dengan anggota golongan tersebut; begitu pula 

dengan istilah perawangsa, jang mendjadi sebagian dari pada ting- 

katan kaum-kaluarga radja jang lebili luas dengan bernama warga 

adji.

Pada zaman perabu Ajam Wuruk maka tingkatan turunan atau 

karena pernah berhubungan perkawinan dinamai ivragaji dan 

tingkatan kedua dinamai wong lembah. Kedua istilah itu tersebut 

pada tulisan Ajam Wuruk 1378.

Menurut Dr. Pigeaud maka istilah ivragaji itu mungkin dituliskan 

djuga ivargaji, jang berasal dari katakembar warga-haji, artinja 

kaum-kerabat radja. Warga atau werga memperingatkan kita kepada 

istilah wargi menurut hukum-kebiasaan Bali, jaitu meliputi orang- 

orang jang masuk kasta ketiga; anggota-anggota tingkatan wargi itu 

diakui oleli radja, karena ibu atau isterinja masuk terhitung kedalam 

lingkungannja^Itulali sebabnja maka menurut Pigeaud tingkatan 

wragaji jalah lingkaran kaum-kaluarga radja dan dapat disamakan 

dengan santana dalem ditanah keraton Djawa-Tengah. Tingkatan- 

radja itu dikepalai oleh beberapa orang landa atau djuru. Istilah 

warga haji telah dipakai sedjak abad ke-XII, karena putusan radja 

Kediri bernama Sarwa-isjwara (O.J.O. LXXIII, hal. 177) menjebut- 

kan warga haji katandan dan golongan itu kiranja sama dengan 

golongan jang dimaksudkan prasasti Ajam Wuruk 1378 pada kalimat 

pengliabisan: parawangqa ring wragaji.

Selainnja daripada bangsawan kaluarga radja seperti tersebut 

diatas, jang lapisannja tidak begitu tebal, didapat pula golongan 

Rakjat jang meliputi murba biasa dan bangsawan daerali. Istilali 

jang dipakai untuk menjatakan lapisan besar dan tebal itu berbunji 

menurut prasasli Ajam Wuruk 1378: wong lembah; seperti disebut- 

kan diatas, maka kedalam lapisan kedua itu termasuk pula bangsa­

wan sang anden jang dapat disamakan dengan bangsa raden-raden 

daerah. Jang mengepalai lapisan itu jalah kuwu atau akuivu dengan 

mempunjai kemerdekaan terbatas terhadap pemerintah-pusat jang 

sebagian besar dikendalikan tangan bangsawan warga-adji.# _ D  D  c ' J

Pendjelasan diatas memberi alasan, bahwa peraturan liukum 

Hindu jang membagi anggota masjarakat alas empat warna (kasta) 

memang dikenal oleh ahli agama sebagai pengetahuan. Beberapa 

prasasti dan naskah  sastera menjebulkan keempat kasla itu dengun

112

tljcliis• berahmana, sateria, %vaisja dan sudera, tetapi peraturan 

agama Hindu itu tidaklah sesuai dengan kenjataan dalam masjarakat 

Madjapahit, Minangkabau dan Ball waktu dahulu.

Menurut tingkatan tinggi-rendah penduduk, maka adalah dalam 

masjarakat Madjapahit: tingkatan atas, tengah dan bawah. Keselu- 

ruhannja dinamai dengan kata paduan: J»iadhya<itiottamak(inisla 

(Ngkr. p. XCII, 3). I eisatuan itu dilukiskan sebagai figa bumi 

( jagat11 aya) jang teitjeiai, tetapi bersatu inemuliakan keutamaan 

Sang Perabu. TiilisanJTelaga Batu (dz M. 686) incnjebutkan istilah: 

hi tic: m adltya mot am ajal i. Tunduk kepada keutamaan ratu itu 

jalah perhubungan orang ( jana, jati) dengan negara. Tidak disebut- 

kan siapa jang masuk golongan-putjuk ( nitnmaka), golongan tengah 

(madhyama) dan golongan-rendah (nista. hina), tetapi dapat dima- 

djukan persangkaan dengan beralasan. Golongan putjuk baik dipusat 

negara ataupun dipusat daerah jalah anggota kaluarga Snna- PpmKr, 

jjan  para ratu, anggota kojnenterian dan bacf_an_ upayatti. Golongan 

rend ah meliputi segala orang biasa didesa, janglTia'sanja kaum tani. 

Lapisan itu dinamai djuga: kanaklhanyan (ke-anaktani-an),

menurut prasasti Air-langga (Poerbatjaraka, TVITL dan V, 1936; 

hal. 385). Jang selebihnja masuk golongan-tengah dan meliputi 

orang keraton, abdidalam dan paratukang. Tidak ternjata apakah 

kasta sudera masuk pula kedalam golongan rendah itu; mungkin 

sekali tidak. Sekiranja tidak, maka ketiga lapisan madhyamottama- 

kanista itu samalah lapisan dan artinja dengan lapisan triwangsa 

dipulau Bali saii'pai keabad XX. Ivoiiga golongan IVJadiapahit itu 

tak dapat dipisahkan dengan garis jang djelas, karena tingkatan itu 

dibnat menurut pangkat, turunan dan pengliargaan ian<y"fliW ik n n  

. Maka pada rapat dipaseban atau keraton, seperti berka- 

(i-kali omabarkan dalam Xcgarakortagama, dapat dip—‘xatikan 

bahwa golongan rendah tidak dibawa ikut serta, sedangkan kedua 

golongan jang lain mendapat tempat jang menentukan tinggi-rendah 

djawatan dan turunan. cc

Pembagian atas tiga golongan masjarakat itu bukanlah sekali-kali 

pembagian kasla alau nama. Peikataan Berahmana, Sateria, Waisja 

dan Sudera memang dikenal sepeiti teisebnt dalam prasasti Gunung 

Butak He mb a ran XII b'), bunjinja C’atnr icarnna: brahme.ne., ksii- 

triya, ivecya, cud™. Djuga prasasti Padang Artja Q286) menjebutkan 

keempat. kasta itu (brahmatiali k^atiiya va icy a sudra). tetapi segala 

orang jang mendjadi anggota masmg-masing-kasta itu tidaklah oleh 

karena turunan atau oleh karena mendjabat sesuatu pangkat. 

Segala kaluarga radja berkasta saleria, karena dalam kaluarganja 

ada jang mendjadi radja (ratu) alau pernali dahulu memerintah 

sebagai ratu (perabu). Begitu djuga orang mendjadi berahmana, 

misalnja karena mendjadi anggota badan kehakiman upapati jang 

tudjuh. Anggota waisja bukanlah karena turun-temurun bekerdja

113

150/B (8).

tangan semata-mata, melainkan oleh karena hidup mentjari nafkali 

dengan memakai tangan. Sudera jalah kata pengliargaan dan orang 

tidak mendjadi anggota kasta jang rendah itu karena pernah beribu 

berbapak orang sudera. Pembagian atas empat kasta itu dikenal 

dalam kitab-kitab agama dan kesusasteraan, tetapi tidaklah menun­

djukkan pembagian masjarakat j a n g  s e s u n g g u h n ja .  Pertukai an kasta 

djuga berlaku dan diizinkan oleh masjarakat, seperti Gadjali Madu 

pernah mendjadikan orang berahmana masuk kaluarga Kepakisan 

mendjadi orang sateria.

Keadaan dipulau Bali pada waktu ini jang membagi penduduk 

antara triwangsa atau jang diluarnja, mendjadi teladan untuk menge­

tahui bagaimana keadaan dahulu-kala dalam negaia i a japa ut 

jang sesungguhnja.

Pembagian masjarakat mendjadi tiga golongan dan hidup berkaata 

seperti diuraikan diatas tidaklah berisi pengartian, a0annana per 

hubungan antara orang penduduk dengan negara, pem a0ian 1 u 

hanja memberi tjorak kepada perhubungan-negara.

3. Orang, Madjapahit.

Perhubungan itu dapat dibeda-bedakan menurut keadaan. ^ian

tara penduduk kota M adjapahit maka terma&u ' -e(.a am apuun

n*■ i . i J i L-nlmr^a Sang Perabu danorang Madjapahit jang sesungguhnja k a h ^ c  djad ; , all.

kaluarga paramanten dan para-upapa i Ja^ , , jkola J(l aerah sekeli- 

atas Keadaan jang sedem.kian d.dapal pi (liibu.ne„ ara oran„

ling Sang Ratu. Selainnia dari pada itu niu«*i-ivt • , J i nPfKrliubung antara negaraNusantara jang berdiam disana sebagai pen^ o n

dan daerah. Orang pen^hubung itu dinamai ka laiva . „i i_ -pi f. T-r- dengan orang tawanan,ba-raba Prof. Kern menjalm perkataan itu = Kahawat me-

sehingga menimbulkan persangkaan jang w*. :u nt. ...... t

mang didalamnja didapat nrat kata Djawa

kata hawat itu hidup djuga dalam perkataan ham.ba c -n  *a™ «  .

kebat (Ian hawat mendekati kata kahawat, ja °  m .■

1 7 - 1  -j • inn" meraniau m .uaujapa-

orang dalam ikatan tawanan, ■'•e,am k“ n ,]a'n'’ kota itu dengan daerah 

hit untuk menghubungkan atau mengikat van ()r;nl,, I)eng]nlbim

masing-masing. Negarakertagama menje, »  ^ ertane ,cta ; tak

jang berasal dari tanah seberang P«rta :ak dikota Madjapahit.

menjebutkan apakah orang itu masin

4. Orang using.

Orang asing jang berasal dari daratan  

beberapa orang pandita ( S a n g p a iid iten g  a W  • , ! tp  t ld a k

dinjatakan apakah m ereka b erd iam  dikota M a  J I «■

A  Selain dari pada orang Madjapahit diibni kota maka dianggap

djuga setjara tidak langsung penduduk daerah jengg a, aha dan 

daerah mantjanegara mempunjai perhubungan warga t engan negara.

114

Terutama persangkaan itu ditudjukan kepada negara-daerali jang 

kepala negaranja mendjadi anggota kaluarga Sang Perabu, seperti: 

Mataram, Paguhan, Matahun dan Lasem.

Persangkaan jang tersebut diatas dilandjutkan kepada penduduk 

segala desa jang tunduk kepada negara-daerali atau pusat Madja­

pahit. Apakah sesuatu desa itu masuk kekuasaan sesuatu negara, itu 

adalah semata-mata soal peristiwa belaka.

Perhubungan warga diatas, bagaimana djuga lialus dan tipisnja, 

mempunjai akibat dan arti bagi ilmu-hukum. Siapa terang-terangan 

memutuskan perhubungan itu dengan perlawanan kekerasan, maka 

orang itu dianggap nista, tidak bakti atau mendurhaka; begitu 

djuga halnja dengan seorang ratu jang bersama-sama dengan daerah 

dan rakjatnja berani memberonlak mengadakan perlawanan kepada 

tindakan pemerintah pusat. Pendurhaka diperlakukan sebagai 

orang jang tidak mempunjai hak apa-apa, sehingga boleh dibina- 

sakan, ditangkap atau dibunuh sekalipun. Tidaklah sadja apabila 

ada tindakan memutuskan perhubungan, tetapi djuga dalam keadaan 

damai dan tenteram perhubungan itu ada akibatnja.

115


LVII.

MANDALA NUSANTARA MENURUT NEGARAKERTAGAMA 

(1365) DALAM SARGA XIII SAMPAI XV.


PASAL XII.

C. MANDALA NUSANTARA.

220. naskah -ketjil ini membedakan beberapa nama daerah, seperti: 

Nusantara, Indonesia, Austria, Austronesia dan daerah Madjapahit. 

Kelima istilah itu tidaklah sama arti dan maksudnja.

Mandala Nusantara jalah benua-kepulauan sebagai kesatuan- 

geopolitik antara dua benua dan dua samudera: benua Asia dan 

Australia, serta samudera India dan Pasifik. Mandala itu meliputi 

beberapa pulau, besar dan ketjil, serta satu djazirah: Semenandjung 

Melaju disebelah selatan Gentingan Kera. Benua-kepulauan 

Nusantara itu dinjatakan pada namanja dengan perkataan nusa, 

jang hampir sama artinja dengan kata-kata: pulau, island, insula, 

nesos dan^dwipa^ Kata nusa hidup dalam baliasa-baliasa sebagai 

anggota faini^im^Sanasa Austronesia, seperti dalam bahasa Malagasi 

dipulau Madagaskar dan bahasa Fidji dilautan Pasifik. Mandala 

Nusantara jalah tanah-air atau lempat-kediaman sedjak zaman 

permulaan-sedjarah Indonesia bagi sebagian dari pada kesatuan 

bangsa-bangsa jang hidupnja b<frteKaran dikepulauan Austronesia 

didaerah Indo-Pasifik. Mandala itu mendjadi pula dacrali-perim- 

bangan kekuasaan nasional, jang setjara geopolitis menundjukkan 

kesatuan kedunia luaran. Djadi benua-kepulauan (mandala) Nusan­

tara memperlihatkan sifat alam jang utama, jaitu berupa sekumpul 

nusa; masuk djuga kedalamnja Semenandjung Melaju (Peninsula 

Malaya =  Melaju jang hampir merupakan nusa), karena berbentuk 

sebuah tandjung disebelah pantai Asia-selatan. Perkataan Austrone­

sia pulau jalah kata-paduan, berasal dari dmpu-laut — jang 

menguasai air-laut, dan pengartian itu terdapat djuga dalam istilah 

archipelago, berasal dari kata archein =  memerintah, dan palago =  

laut.

Istilah tandjung terhentuk atas dua perkalaan jang berpadu men­

djadi satu; tanali dan udjung.

Nama Nusantara tidak sadja dapat dibatja dalam Negarakerta­

gama dan beberapa prasasti Djawa-kuna, tetapi djuga tersebut dalam 

kitab Sedjarah Melaju; nama itu djuga tertulis diatas peta jang 

digambar oleh kartograf Portugis bernama Manuel Elgodinho de 

Eredia (1601) turunan Indonesia karena tjutju radja Supa dari 

pulau Sulawesi.

Daerah Madjapahit jalah sebagian dari pada mandala Nusantara, 

jang sewaktu-waktu mengalami kekuasaan politik dan ekonomi dari 

pemerintahan Madjapahit; perhubungan politik dan ekonomi itu

119

r

L

tidaklah merata atau sama luasnja selama negara itu berdiri, melain- 

kan mengalami turun-naik dan ada pula tegang-kendurnja. Bagai­

mana lukisan daerah Madjapahit itu pada tahun 1365 ketika 

Prapantja menghabisi naskah  karangannja, akan ditindjau lebih 

dalam dibawah ini.

Nusantara dinamai djuga dengan sebutan lain: SachnpantTira 

(pertulisan Tjamunda, 1332) dan DwTpantaru, Deqantara atau 

Digantara, menurut Nagkr. XV, 1; XV, 3; XVI, 1.

Daerah Austronesia meliputi segala pulau-pulau antara cm pat 

benua (Afrika, Asia, Australia dan Amerika) dilautan Pasifik dan 

India. Istilah itu ditempa oleh sardjana-bahasa pater W. Schmidt 

dalam karangannja Die Mon-Khmer-Volker (1906) ; penempaau itu 

jalah untuk pengganti istilah lama Malayo-Polynesia jang dianggap- 

nja kurang tepat, karena bahasa Melaju dan Polinesia bukanlali 

bahasa jang diudjung sekali dipakai didaerah tersebut, m<*ngingat 

ad an j a bahasa Malagasi, Hawai, Maori dan Rapuni sebagai anggota 

dari satu rumpun bahasa. Bagian benua Asia sebelah Selatan, tempat 

bertebarnja bahasa-bahasa jang masuk satu rumpun pula sepeni 

bahasa-bahasa Munda di-India, Mon di-Birma dan Kemir di India- 

belakang, dinamai oleh sardjana-bahasa itu: Austro-Asia; sebagian 

Semandjung Melaju termasuk .kedalamnja" Kedua daerah ilu, 

Austronesia dan Austro-Asia, dinamai Austria =  wilajat Selatan. 

Pendapat dan penempaan ketiga istilali oleh sardjana pater Schmidt 

itu dibenarkan oleh sardjana bahasa Prof. H. Kern dalam karangan- 

nja: Austronesisch en Austroasiatisch (1908* V O . XIV . hal. 

319 — 325).

Austro-Asia dan Austronesia jalah sedjak perbakala daerah 

pengembaraan bangsa-bangsa Austronesia.

Wilajat Indonesia jalah seluruh daerah-kedaulatan R e p u b lik  

Indonesia, jaitu sama dengan bekas daerah India B e la n d a  d a l u i h i :  

kedalamnja termasuk daerali Irian-Barat.

telah mendiadi isfilq^ jan£"a  ̂ Agustus 1945 perkataan Indonesia 

dalam J” *  ‘ cn.n ar,i Z  maksudnja, maka

mandala Nusantara jam/t^k ^ r ’ banJak bagian-bagjan

Tentang sedjarah dan

pada bagian lain. Jndonesia kita bitjarakan

Dalam naskah  ini maka istilali TV. 

zimkan oleh Prapantia dahm L usantara kita pakai seperti dila-

nnsa jang delapnn dengan ‘ perah-an1 g l” n]a ^ kr'\ j ai!U ," c llI,|l,ti* perairan dan pulau-pulau ketjil seke-

120

lilingnja. Dan istilali Austronesia, Austro-Asia, dan Austria kita 

pakai seperti diusulkan oleh Sclimidt-Kern. Istilah Indonesia kita 

pakai seperti dimaksud oleh Undang-undang Dasar I—III Republik 

Indonesia sedjak hari Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan pengartian 

tentang daerah Madjapahit akan kita balasi menurut peristiwa- 

sedjarah, seperti dibawah ini akan lebih didjelaskan.

Pcrbandingan sesuatu negara Indonesia dengan negara-negara 

Eropah Barat berhubungan dengan daerah-tanahn ja boleh djadi 

menjesatkan atau menimbulkan pemandangan jang tak benar. Per­

watasan daerah negara Eropah Barat dilentukan oleh garis-pesisir 

dau garis-tanah antara pantjang-pantjang jajig ditanam menurut 

persetudjuan kedua belah pihak: perwatasan negara disana berarti 

garis pemisah antara dua negara. Keadaan dengan daerah negara 

Madjapahit tidaklah begitu. Pengartian daerah berhubungan lang­

sung dengan keadaan kepulauan tanah Indonesia, dengan kegunaan 

dan pemandangan lerhadap garis perwatasan.

Dengan sendirinja maka pengartian batas menurut adjaran 

susunan negara-tetangga ('nabuurstelsel) tidaklah dapat dipakai bagi 

negara Indonesia. Kcsusahan dan kesukaran atjapkali ditimbulkan 

bagi pengetahuan kita tentang daerah negara-negara Indonesia lama, 

oleh karena tidak adanja peta alam-kepulauan jang sampai kezaman 

sekarang dan perdjandjian antara negara, atau oleh kurang penger- 

tian tentang iaham-iaham asli lerhadap soal itu, seperti mungkin 

ternjata dalam perdjalanan sedjarah dan hukum-adat, djikalau 

penjelidikan dilaksanakan.

Pengartian daerah-negara berhubung langsung dengan adanja 

lautan dan daratan jang mendjadi bagiannja.

Batas biasanja disalin dengan :istilah wates, tapel atau tapel-ivates.

Tanda perwatasan berupa pohon atau lugu dinamai tarnbai, seperli 

batang-asam di-Kamalpandak sesudah daeiah keradjaan Airlangga 

Lerbagi dua.

Sebagai dasar pembitjaraan tentang daerah jang dikuasai atau 

jang berhubungan dengan pusat-negara Madjapahit, kita petiklah 

Negarakertagama sarga XIII dan XIV. Kedua sarga itu, walaupun 

sampai tahun 1957 belum pernah disalin seluruhnja kedalam bahasa 

apapun, telah menimbulkan berbagai-bagai pemandangan jang tidak 

beralasan dan berlitwanan. Sarga XV menjebutkan nama negara- 

sahnbat di-Asia Tenggara, jang akan kita biljarakan pada bagian 

lain. Maka setelah dibawah ini S. XIII dan XIV ditardjamahkan 

kedalam bahasa Indonesia, kedua sarga itu akan ditindjau lebih 

laiuljut. Menurut batjaan Kern, maka bunjinja dalam bahasa asli 

adalah seperli berikut:

Sarga X III:

Lwir ning nusa pranTisa pramuka sakahawat ksorii ri Malayu 

ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmma- 

qraya tumTit Kandis Kahivas Manangkabwa ri Siyak i RekTin 

Kampar mvcang i Pane

Kampe harw Tithaive Mandahiling i Tumi hang Parllak mwang 

i Barat.

(h ) i Livas lawan Samudra mwang i Lamuri Batan Lampung 

mwang i Barus yekadhinyang watek bhumi Malayu satanah 

kapwamateh ariut

len tckang nusa Tanjungnagara ri Kapuhas lawan ri Katingan 

Sampit mwang Kula Lingga mwang i Kuta Waringin Sambas 

mwang i Lawai.

Sarga XIV:

Kadungdungan i Landa len ri Samedang Tirem tan kasah 

ri Sedu Bunineng ri Kalka Saludung ri Solot Pasir 

Baritw i Sawaku muwah ri Tabalung ri Tafijung Kute 

lawan ri Malano makapramuka (tang) ri Tanjungpurl. (1)

Ikang sakahaivan Pahang pramuka tang Hujungmediru 

ri. Lengkasuka len ri Saimwang i Kalanien i Tringgano 

Xagor Pakamuwar I)ungun ri Tumasik ri Sanghyang 

Hujutig

Kelang Keda Jere ri Kanjapiniran sanusTipupul. f - '1

Sawotan ikanang tanah Jaiva muwah ya —  warnanen 

ri Balli makamukya tang Badahulu mwang i Lwagajah 

Gurun makamuke Sukun ri Taliwang ri Dompo Sapi 

ri Sanghyang A pi Bhima Qeran i Hutan Kadalyapupul. (3)

Muwah tang i Gurun san7i.su mangaran ri Lombok Mirah 

lawan tikang i Saksakadi nikalun kahajyan kabeh 

muwah tanah i h~Mayan pramuka Bantayan len Luivuk 

tekeng Udamakatrayadhi nikanang sanusapupul. (4)

Ikang sahasanilsariTlsa Makasar Butun Banggawi 

Kunir Ggaliyao mwang i(ng) Salaya Sumba Solot Muar 

Muwah tikang i Wandan Ambwan athawH) Maloko Wa anin 

ri So ran i Timur makadi ning angeka nTusTitutiir. <•>)

187. Salinannja:

I. Djawa

]I. Sunuitera

Sarga XIII:  Selandjutnja maka dari pada pulau-pulau m aka

pulau peuting jang seluruhnja bcrhnbungan dengan wilajat M e la ju ,  

jalali: Djam bi. Pelembang, Karitang, Tebo  dan Darm aseraja semua-

122

njapun/turut. Seterusnja: Kandis. Kawas, Minangkabau, Siak,

Rekan, Kampar, Panai, Kampai, Aru, atau Mandaliiling, Temiang, 

Perlak dan Barat. Seterusnja: Gaju Luas dan Samudera serta 

Lamuri, Batan, Lampung dan Barns; itulah semuanja jang mendjadi 

dasar bumi Melaju, dan segala tanah itu lurut masuk kedalamnja.

III. Kalimantan

Selain dari pada itu sampailah kita kepulau Tandjung-negara 

meliputi: Kapuas dan Katingan, Sampit dan Kota Lingga, dan Kota 

Waringin, Sambas dan Lawai.

Sarga X IV :  Kadandangan, Landak dan Samedang, Tiram tak

terpisali; Sedu, Buruneng, Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Baritu, 

Sawaku dan Tabalung, Tundjung Kutai, dan Malano: itulah ter- 

penling di Tandjungpura.

IV. Semandjung Melaju

Jang terutama di-Udjung Tanah jalah seluruh Pahang. Lengka- 

suka, Sai dan Kelantan, Terangganu, Nasjor, Paka, Muar, Dungun. 

Tumasik, Sang hiang Udjung, Kelang, Kedah, Djerai, Kandjap dan 

Niran, semuanja terkumpul didaerah semandjung itu.

V. Nusa Tenggar a

Disebelali Timur tanah Djawa akan diuraikan; pula: jang teruta- 

ma dipulau Bali jalah Bedahulu dan Lwagadjah: Suku terpenting 

di-Nusa Penida, Taliwang, Dompo, Sapi, Sangliiang Api, Bima, 

Seram, Hutan, Kadali sekumpul lagi. Sesudah Gurun maka sampai­

lah kita kedaerah sepulau Lombok Mirali dengan Saksak jang 

ulama.

VI. Sulawesi

VII. Maluku

VIII. Irian-Barat

Seterusnja dipulau Bantaja terletak kota Bantaja dan Luwuk, 

bersama Udamakatraya ulama semuanja *erkumpul didaerah 

sepulau. Jang terletak sepulau itu djuga jalah Makasar, Bulun, Bang- 

gawi, Kunir, Gelijau, Salaja; selandjutnja: Sumba, Solot, Muar, 

Wandan, Ambon atau Meluku, Wanin dan Serang dan Timur, seolali- 

olali terkumpul-bersatu dalam satu Nusa.

Dengan sekali membatja sadja agaknja sudah mulai ternjata, 

bahwa kedua sarga itu berisi nama-nama ilmu-bumi, jang diantara- 

nja dengan segera dapat dikenal, karena sampai pada liari ini masili 

hampir-hampir berbunji seperti diguriskan Prapantja. Memang bagi 

geografi Indonesia dalam abad ke-14 kedua sarga itu sangat penting 

untuk mengetahui letak dan nama pusat kekuasaan dikepulauan

123

Nusantara. Sarga XIII — X\ seolah-olah menjebutkan beberapa 

nama jang dibatja diatas peta bumi Asia-Tenggara jang bentuk 

pulau-pulaunja seperli sekarang, telapi kerangka pela itu berisi 

nama pusat kekuasaan jang kini hampir tak dikenal lagi.

Dengan teratur sarga itu mentjeriterakan sebidang permukaan- 

bumi dengan menempatkan pulau Djawa (tanah Yania, Yaiuadha- 

rani) ditengah-tengahnja. Daerah jang luas terbagi atas bagian-barat 

dan bagian-timur j)ulau Djawa I saicotan ikanang tanah Jawu). 

Bagian barat itu terbagi atas Bumi Melaju (bliliimi Malaya),  pulau 

Kalimantan (1 anjungnag'ara) dan Semandjung Melaju (Hujung- 

medirii) A Bagian timur terbagi atas beberapa pulau jang susunannja 

dalam ScM'gu agak terkatjau, apabila dibandingkan menurut peta 

timur Indonesia sekarang. Tetapi apabila beberapa nama buat se­

mentara kita singkirkan, seperti Guliyao, Lombok, Sumba dan 

Timur, maka djelaslah bagi kita, bahwa dalam angan-angan penulis 

Negarakertagama daerah disebelah timur dan timur-iaut pulau 

Djawa itu dapat dibagi atas dua baris kepulauan. Barisaji jang 

sebelah selatan berisi pulau -Bali—<Bcdahulu di Gianjar dan Lwa- 

gajah =  Goa Gadjah),_Nusa Penida (Gurun dengan ibu-negerin ia 

Sukun)., Sumbawa (Taliwang, Dompo, Sapi), Gunung Api 

(Sangeang — Sangliyang Api),  dan Bhima. Deretan jang: disebelah 

Utara berisi pulau Sulawesi I tersebut dipulau itu Bantayan =  

Bonthain) Luwuk ditepi sungai Paleng atau diteluk Boni, kepu­

lauan Talaud =  Udamakalraya, Makasar, Butun, Banggawi =  

Banggai pulau Kunjit (Kanir) Salaja (Salajar) Solor (Solot). 

Saparua (Muar), Banda-Ambon (Wandan-Ambwan), Ternate 

iMaloko) dan wilajat Irian-Barat (Wivanin) — Onin: Scran =  

Kowiai) jang barangkali djuga dinamai pulau Timur, karena ter­

letak diudjung Nusantara dipihak wet an. Rupa-rupanja kekatjauan 

jang ditimbulkan oleh nama-nama pulau jang kita singkirkan itu 

adalah karena perbuatan pengarang dengan sewenang-wenang hen­

dak menjisipkan pulau-pulau itu diantara dua barisan-kcpulauan 

jang lebih agak teratur, supaja mcndapat ikatan sja’ir jang seni- 

purna, ataulah karena dapat dibatja diatas sehelai peta jang memang 

berisi beberapa kekeliruan apabila dibandingkan dengan pela dalam 

abad ke-XX.

Selainnja dari pada kekatjauan itu, maka ununnnju nama geograii 

jang tersimpan dalam kedua sarga tadi itu menundjukkan tempat- 

tempat jang memang terletak diatas pulau, dan tak ada jang keliru 

berhubung dengan daerah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sula- 

_wesi, N u sa  Tenggara, Maluku dan -Irian-Barat. Pun kedua sarga 

itu menjatakan, bahwa dalam abad ke-14 telah umuni pengetahuan, 

bahwa pulau-pulau jang tersebut diatas jalah kesatuan nusa jang 

tidak terbagi-bagi lagi: pengetahuan jang sedemikian dalamnja itu 

tentulah dibangkitkan oleh pengetahuan karena pelajaran melalui

124

selat-selat antara pulau-pulau tersebut. Perhubungan antara pusat- 

pusat kekuasaan jang tersebut dalam sarga XIII dengan daerah 

kekuasaan Melaju dilukiskan dengan kata jan" tak berwarna, jaitu 

tumut dan^~affui, terbentuk dari perkataan tut =  turut, artinja: 

jkut atau ter masuk kcdalnm lingkungan daerah. Untuk mengatakan 

balnva beberapa tempat terletak atau tergabung diatas sebuah pulau 

dipakai perkataan apupul Iberkumpul) atau lebih tegas lagi: 

sunusapifpirf, artinja terkumpul disatu daerah pulau. Berlainan 

dengan anggapan ilmu-bumi sekarang. maka pulau-pulau Banda 

(Wandan), Ambon (Ambwan), Maluku (Maloko =  Ternate) dan 

Irian (Wwanin =  Onin), Seran dipandang sebagai persatuan ren- 

tengan pulau. Lebih menarik perhatian pengetahuan tentang 

Semandjung Melaju: daerah ini dinamai HujungmcdinT artinja 

"TanaK atau honfancTfung. Nama itu memberi alasan kepada persang- 

kaan bahwa Semandjung Melaju bukanlah pulau, melainkan sebuah 

udjung atau taiuljung hernia Asia-Tenggara, sesuai dengan pengeta­

huan jang sesungguhnja karena daerah itu jalah djazirah atau 

peninsula. Pendapat kami berlainan dengan pendapat Ivrom, jang 

menjangka bahwa jang dimaksud dengan nama itu jalah kota 

Djolior. Hujungmedini jalah tandingan bagi nama Kanaka-Medini 

(tanah Emas), jaitu nama pulau Sumatera dalam abad ke-XIV 

djuga, seperti dapat dibatja pada batu bcrtulis di-Kubu-radja jang 

menggelari Aditiawarman. jalah radja jang menguasai pulau Emas 

(Kanakumedinindra). Maka segala alasan jang dimadjukan itu 

tjukup kuat rasanja untuk memadjukan sangkaan, bahwa Prapantja 

membalja segala daerah pulau-pulau itu bersama-sama dengan segala 

pusat kekuasaan jang tersebut dalam keliga sarga tersebut diatas 

selembar peta Asia-Tenggara, terutama jang meliputi India-Belakang 

dan daerah kepulauan antara pulau Sumatera dan Irian-Timur. Peta 

itu agak sempurna, walaupun djaidi kurang sempurna dari pada 

peta zaman sekarang. Pe‘ta itu dilukis tentulah dengan memakai 

bahan, jang dibawa oleh orang pelajaran, pendita, pedagang dan 

angkatan sendjata jang pulang pergi ke Djawa Timur dari tempat* 

tempat di Asia Tenggara. Dan apakah nama daerah kepulauan jang 

didjelaskan oleh Negarakertagaina sarga XIII dan XV itu?

Sjair jang tak begitu pandjangnja itu berulang-ulang menjebutkan 

perkataan nusa: dan garis pertama pada Sarga XV berkata: nahan 

livir iting degantara sungguhlah selainnja dari pada daerah Nu­

santara (diatas). Dalam beberapa Sarga lain maka berkali-kali 

dipakai kata nusunlara, jang selalu disalin oleh Kern dengan: pulau- 

pulau lain, jaitu jang diseberang pulau Djawa. Menurut pendapat 

kami, maka nusantara jalah nama bagi daerah kepulauan jang ter­

sebut dalam Sarga XIII dan XIV, jaitu: pulau Djawa dan bagian 

daerah kumpulan pulau jang terletak disebelali Timur (dan Timur- 

laut) serta disebelali Barat (dan Barat-laut). Maka kedalam daerah

125

Nusantara itu termasuk pulau Irian-Barat, Semandjung Melaju dan 

djuga pulau Solot (Solor, Sulu) jang dalam tahun 1898 diambil 

menurut perdjandjian tambahan dengan negara Sepanjol oleh 

Republik Amerika Serikat sebagai daerah Filipina jang diserahkan 

seluruhnja dalam perdjandjian perdamaian dikota Paris tanggal 10 

Desember tahun itu. Maka pada bagian ini kita hendak memakai 

kesempatan memberi pendjelasan tentang sedjarah perkataan Indo­

nesia dan Austronesia jang beberapa kali ditemui dalam naskah  ini. 

Semendjak Logan dan Bastian membuat dan memakai perkataan 

Indonesia untuk menjatakan persamaan dilapangan ilmu-bangsa 

pada penduduk-asli di Asia Tenggara, maka dalam abad ke-XX 

istilah itu dipakai pula oleh ilrnu perbandingan bahasa, hukum-adat 

dan penglaksanaan politik. Pada ketika ini istilah Indonesia jalah 

nama daerah jang sebelum peperangan dunia kedua dinamai India- 

Belanda, sedangkan bahasa Indonesia jalah bahasa Melaju jang 

karena naiknja perasaan kebangsaan mendjadi bahasa persatuan 

dan kebudajaan antara penduduk Asia Tenggara. Maka dengan 

memakai perkataan Indonesia dalam pengartian jang terbatas itu, 

kelihatanlah perbedaan antara maksud perkataan itu pada waktu 

sekarang dengan maksud seperti dilazimkan dalam ilniu pengela- 

huan sampai kepada permulaan peperangan dunia kedua. Untuk 

menghilangkan keragu-raguan jang ditimbulkan oleh peralihan arti 

kata itu, maka selalulah kita memakai kata Indonesia dalam arti 

jang terbatas dan tertentu menurut undang-undang Uasar Republik 

Indonesia, sedangkan untuk menjatakan persamaan jang terbukti 

dilapangan ilmu-bumi, hukum adat, bahasa dan ilmu bangsa dila­

pangan jang lebih luas dari daerah Indonesia sekarang, kita pakai 

perkataan Austronesia, jang sedjak tahun 1906 telah dipakai seperti 

diusulkan oleh pater W. Schmidt.

Setelali mendahulukan beberapa tjatatan seperti diatas, inaka 

bolehlah kini kita bertanja: Segala pulau atau tempat jang diurai­

kan dalain Nagkr. Sarga XIII dan XIV itu bagaimanakali perhu- 

bungannja dengan negara Madjapahit?

Pertanjaan itu telah menimbulkan beberapa djawaban jang tak 

sama maksud dan isinja. Kern dan Krorti berpendapat, bahwa daerah 

Nusantara jang diuraikan itu jalah da^rl î-tcllcl^ukah (onderhorige 

gebieden) dalam lingkaran negara Madjapahit. Kedua sardjana itu 

tidak memberi alasan bagi pendapat jang dibentuk atas kedua sarga 

jang belum diselidiki dengan saksama, malahan jang beluni ditar- 

djamahkan dengan sempurna. Pendapat kedua pengarang itu besar 

pengaruhnja bagi penjusunan sedjarah Indonesia dan menurut 

pendapat kami mungkin menjesatkan sebelum dibanding dengan 

bahan-bahan sedjarah sedjak tahun 1918 dan dengan pengetahuan 

jang tersimpan dalam karangan Prapantja itu sendiri. Krom  pun 

meminta perhatian, bahwa orang boleh bertukar fikiran tentang

126

keras-lunaknja kekuasaan jang dilaksanakan oleh Madjapahit kese- 

luruh Nusantara (HJG. p. 418), sehingga atas beberapa timbangan 

jang beralasan bolehlah kita inemadjukan pendapat jang berbeda 

dari pada pendapat kedua ahli sedjarah itu.

Pertama jalah tentang daerah Melaju jang tersebm dalam Sarga 

XIII, 1,2. Segala nama jang tersebut dalam sjair itu bukanlah daerah 

Madjapahit melainkan masuk negara Melaju. Keradjaan ini belum 

dikenal oleh Prof. Kern, waktu beliau menjalin selurnh Negara­

kertagama (1908 — 1910). Barulali setelah Krom dalam tahun 1916 

dapat membatja tulisan bahasa Indonesia-lama diart ja Padang Rot jo 

dekat sungai Langsat didaerah Batanghari, jang sekarang disimpan 

digedung artja di-Djakarta, bahwa sebagai akibat pcngiriman per- 

angkatan Pamalayu oleh Kertanegara dari Singasari, maka naiklah 

keradjaan Melaju berpusat di-Dhannmagraya dibawah kekuasaan 

seorang rad ja bernama Qrlniat Tribhuwan'ira ja Mauliivarmmadewa, 

dapat dipastikan adanja suatu negara disebelah keudik di' Sumatera- 

Tengah. Sesudah karangan Coedes dan Ferrand tentang naiknja 

keradjaan Indonesia kadatuan Qrlwijaya, diterbitkan pada tahun 

1918, maka sembilan tahun sesudah itu Coedes berhasil pula mem­

batja tarich 1183 pada tulisan dipatung Buda dari Djaiya disebelah 

utara Semandjung Melaju, kini disimpan di-Bangkok, jang berisi 

bahwa Mahasenapati Talanai telah mendapat perintah membuat 

patung itu dari seorang radja bernama Qrimat Trailokyaraja Mauli- 

bhusaiia Warmmadeiva. Maka menurut Coedes keradjaan itu jalah 

keradjaan Melaju di Sumatera Tengah jang didatangi oleh angkatan 

Kertanegara itu djuga, seperti tersebut diatas. Beralasanlali persang­

kaan bahwa dalam tahun_1178 negara Seriwidjaja telah runtuh 

dibinasakan dari dalam oleh keradjaan Melaju jang menerima segala 

pusaka dan kekuasaannja. Dan apabila keradjaan itu kita perhatikan 

landjutan sedjarahnja, maka ternjata menurut beberapa tulisan batu 

dari Minangkabau, bahwa sekembalinja dari Madjapahit maka 

keradjaan Melaju itu dikepalai oleh MaJharadja-diradja Aditiawar- 

man. Keradjaan Melaju itu merdeka dan mempunjai kekuasaan 

'dalam penghabisan abad ke-XTV7 diseluruh pulau Sumatera. Dan 

kebulatan fikiran tentang keadaan itu memang dapat didengarkan 

dalam Negarakertagama sarga XIII-X1V. Prapantja kenal akan 

Aditiawarman waktu beliau bekerdja dipuri Madjapahit sebelum 

kembali ke-Sumatera Tengah; dan mengetaluii pula akan berkem- 

bangnja kekuasaan negara Melaju dibawah Maharadja-diradja Adi­

tiawarman. Pengetahuann ja itu diperlihatkannja dalam kidung 

tersebut; sampai dua kali pengarang itu mcmperingatkan kepada 

pembatjanja, bahwa dipulau Sumatera berktiasa negara Melaju. 

Pada permulaan sarga XIII pudjangga itu mcnulis: Licir ning nusa 

pranusa pramuka sakahawat ksoni ri Malayu artinja: diluar pulau 

(Djawa), maka selurnh pulau utama (jaitu pulau Sumatera) bersatu

127

dengan daerah Melaju. Wilajat itu dinamai Prapantja dasar-daerah 

Melaju atau uatek bhUmi Malayu. Praiiusa pramuka jalah nusa 

jang terkemuka, barangkali tidaklah sadja karena terdaliulu sekali 

akan diriwajatkan dalam Nagkr. melainkan karena pudjangga lnein- 

beri pula kepada pulau itu suatu nama lambang jang berisi pudjian. 

Sakaicat jang diterka oleh Kern berarti tawanan dengan tidak 

memberi alasan kepada persangkaan itu, jalah perkataan tcrbuat 

dari Sa (seluruli) dan kahawat; kahawat berisi ural kata haivat =  

hambat, masih hidup dalam kata kawat =  pengikal dan berarti teri- 

kat atau dapat disalin dengan kala jang sebunji dan seural dengan- 

nja: terkebat atau dikemudikan atau bersatu dengan. Perkataan sa- 

kahawat menundjukkan talihukum antara sebidang daerah alau 

rakjat dengan suatu pusat kekuasaan. Djadi segala nania tempat atau 

daerah tersebut antara Djambi-Pelembang dan Lampung-Barus da­

lam sarga XIII itu bukanlah dimaksud untuk menjatakan mend jadi 

daerah-negara Madjapahit. melainkan turut bersatu dengan negara 

Melaju jang pada waktu Prapantja sambil menulis kitabnja itu, 

sedang berkembang dengan meriah dipulau Sumatera. Seolalx-olah 

untuk menguatkan pemandangan itu maka sesudah meriwa jatkan 

daerah-daerah Melaju dipulau jang terkemuka ilu, maka sekali lagi 

Prapaiii^aHberkata: YekZdlunyang watek bhumi Malayu salanah- 

kapwumatch anut, salinannja: Ilulah jang mendjadi dasar bumi 

Melaju; seluruli tanah jang tersebut itu turut termasuk kedalamnja. 

Djadi bagi Prapautja djelaslali baginja apa jang dituli^kannja. 

sehingga kekeliruan tidaklah berasal dari padanja sebagai penulis. 

Sajang -sekali penulis tidak menjebutkan bagaimana menurut peman- 

dangannja perhubungan Madjapahit dengan pulau-pulau Nusantara 

jang lain, berlurut-turut sesudah Sumatera disebulnja p u s a t -p u s a l  

kekuasaan dipulau lain, semata-mata hanja hendak melihatkan p<‘* 

ngetahuan ilmu-buini jang luas. Tetapi pada pernuilaan Sarga 

penulis mengeluarkan perkataan jang monarik perhalian. A ah an 

heir ning dgunlara kacaya dp Qn-narapal i —  katanja lertudju kepa 

da seluruli daerah jang tersebut diatas: Seperti berikul maka diluar 

Nusantara jang ditjahajai oleh Sang Perabu ilu, dan s e s u d a h  

kalimat ini disebutkan negara-negara seleman dipantai  ̂e n g g a r a  

benua Asia. Maka menurut Prapantja antara Sang Perabu M adja­

pahit dengan daerah Nusantara adalah perhubungan jang dilukis- 

kan dengan perkataan pertmipamaan: ditjahajai. Menurut Prapantja 

maka Madjapahit dengan seluruli daerah jang tersebut dalam Sarga 

(?an atau dengan segenap Nusantara d i p e r h u b u n g k a n

oleh tjahaja sinar Seri Narapati Sang Perabu jang meiierbitkairsinar 

itu kesegala psndjuru alam, lebih keras dan lebih kuat dari pada 

jang berasal dari sumber-sinar lain-Iain jang ada di Nusan­

tara kira-kira pada perlengahan abad ke-14. Atas s e b a b -a e b a b  jang 

tersebut diatas maka besarlah keberatan jang dapat dimadjukan

128

kepada pendapat Kem-krom jang membentuk perhubungan djadjah- 

an atau taklukan dengan memakai sarga XIII dan XIV  sebagai batu 

lontjatan atau alasan. Dengan melepaskan itu, maka kita hendak 

mentjoba memadjukan perubahan faham terhadap perhubungan 

antara negara Madjapahit dengan daerah-tanahnja.

Adapun_sarga XIII dan XIV  itti~melukiskan suatu daerah jang 

terbatas benua-kepulauan Nusantara. Daerah mandala itu mempu­

njai perhubungan setjara ilmu-hukum dengan Madjapahit dan 

perhubungan itu akan bertambah djelas djika difahamkan perhu­

bungan jang dikenal ilmu masjarakat dan hukum-kebiasaan. 

Kemadjuan kedua ilmu itu dalam abad ke-20 ini memberi pengartian 

kepada kita, bahwa perhubungan antara manusia dengan manusia 

atau antara perkampungan dengan perkampungan dipelihara oleh 

jang bersangkutan, sehingga biasanja ada perimbangan jang menje- 

n a n g k a n .  Dari mana asalnja keingman hendak memelihara perim­

bangan itu. adalah bermatjam-matjam pendjelasan; orang Junani 

berusaha supaja hidup berharmoni dengan tenaga katakosmon; 

penduduk lingkungan adat Minangkabau berusaha tunduk kepada 

aturan uagari dan hak tanah, karena sudah begitu diatur oleh orang 

dahulu-dahulu nan mantjantjang, nan malaiieh; terutama jang mem* 

buat tjupttk djo gantang, jaitu ketika penghulu pembentuk adat: 

Datuk Ketemanggungan, Datuk Maharadjadiradja dan Datuk Per- 

patih nan Sebatang masih hidup bermula di Parahiangan Padang* 

Pandjang dan menurut tindjauan hidup diseluruh lingkaran data 

Austronesia, maka keinginan hidup berimbangan atau tenggang- 

menenggang itu jalah disebabkan karena kemauan Sang Hiang Sakti 

dialami sudah begitu perimbangan itulah jang mendjadi eendi 

segala aturan masjarakat dan tatanegara sehingga terbentuk sekum- 

U1 aturan hukum-adat Austronesia jang mempunjai suasana, tjorak 

dan asal-usul sendiri. Pengetahuan tentang perkampungan-hidup 

dan persekutuan-hukum dalam lingkungan adat itu memberi peman­

dangan dan keinsjafan pula bahwa perhubungan antaranja menim- 

bulkan ^e^uasaari mula-mula karena berdasarkan

k e k u a t a n  atas tenaga sendjaia, melainkan karena tindjauan kenja- 

taan bahwa tjahaja, sen atau pengaruh pusat kesaktian lebih keras 

dari p a ^  jang lam; primus inter pares dalam dunia kesaktian 

ditentukan djuga o le i k rena lebih kuat dilapangan pusaka, asal- 

nsul dan tuah-kesakuan. Djadi mandala Nusantara seperti jang 

^ je la sk a n  dalam Negarakertagama XIII dan XIV  itu m eniruf 

entlapat kami eckali-kali bukanlah untuk menjatakan luasnja 

negara Madjapahit, melainkan jalah wilajat kesatuan- 

nlitik jang ditentukan Sang Alam sebagai tumpah-darah tempat 

nan Bangsa Indonesia jang sedjak permulaan sedjarah 

ked . n dan mendjaga perimbangan-kekuasaan terhadap keluar 

j 1CI1̂ kedalam dilingkungan mandala tanah dan air Nusantara itu.

129

150/B (9)

Dengan pemandangan masjarakat dan tatanegara jang diperoleh 

karena menindjau susunan masjarakat dan persekutuan hukum- 

adat dalam abad ke-20 itu, maka dapatlah lebih sempurna mema- 

hamkan arti dan maksud daerah kepulauan Nusantara jang diurai- 

kan dalam sarga XIII-XIV diatas tadi itu.

Pada pertengahan abad ke-XIV maka usia negara Madjapahit 

telah berlangsung lebih dari limapuluh tahun lamanja. Maka pada 

ketika itu daerah-negara dapat dibedakan a|as tiga djenis: daerah 

asli jang^iiga, mantjanegara dan daerah/perinibangan. Kepada tiga 

djenis daerah itu adalah pula~menimbulkan tiga mat jam perliu- 

bungan-daerah jang akan kita djelaskan.

Adapun usaha pertama jang didjalankan oleh Kertaradjasa dan 

Djajanegara (13 —  1328) jalah mengembalikan daerah-Tumapel 

jang terganggu dan~terpisah untuk sementara waktu karena tindakan 

Djajakatong. Dengan memindalikan pusat negara ketempat lain serta 

membawa pusaka dan tatanegara lama kepusat baru itu, maka ter- 

tegaklah negara baru jang sudah tenteram, terbentuk atas tiga 

daerah jang bernama: Djenggala, Daha dan Kahuripan. Masing- 

masing daerah ini mempunjai sedjarah sendiri-sendiri.

*7 K,9\W^jenSSa â (Djanggala) mempunjai pusat didekat dan disebelah 

'utara kota Malang sekarang; sedjarahnja dapat disusul 6ampai 

kepada abad ke-8, ketika kira-kira disekeliling Dinaja memerintah 

radja-radja turunan Dewasinga. Walaupun sedjarahnja antara abad 

tersebut sampai kepada permulaan abad ke-XIII sangat gelap, ka­

rena tidak meniggalkan bahan pemeriksaan jang tertulis, tetapi 

ketika Ken Arok bertindak melawan kekuasaan Daha, maka 

kegiatannja berlangsung didaerah jang pusatnja tetap seperti kera­

djaan Dewasinga dahulu. Bagaimana sedjarah Tumapel (Singasari- 

Djenggala) antara tindakan Ken Arok dengan tiwasnja Kertanegara 

telah ditindjau pada halaman lain, sehingga ketika Madjapahit 

berdiri maka Djenggala dapat membawa pusat kekuasaan jang telah 

berumur lebih dari pada 500 tahun dengan mempunjai pusaka 

dan sedjarah Djawa Timur.

Dibelakang Daha (Kediri) dapat pula dibatja, bahwa ketika nega­

ra Madjapahit dibentuk, maka perdjalanan sedjarahnja tak kurang 

lamanja dari pada sedjarah Djenggala-Tumapel. Keradjaan Daha 

jalah landjutan kekuasaan Djawa Tengah, dan sedjarahnja dapat 

disusun djuga sampai keabad ke-8, seperti ternjata pada batu ber- 

tulis Sukabumi didaerah Pare jang memakai taricli 784 dan berisi 

pemebentukan daerah perdikan Harindjing untuk kepentingan 

bangun-bangunan perairan, seperti diatur oleh Sang bhagawanta 

dari Tjulanggi. Pada zaman Balitung (898 —  910) tanah Kediri keli- 

hatan madju kedepan, sedangkan menurut Goris dan K rom  dari 

sanalah keradjaan Mataram dibentuk jang meliputi Djawa Tengah 

dan Djawa Timur disebelah barat gunung Kawi. Nam a-nam a radja

130

r

Daksa (915) dan Tulodong (919 —  921) masih berhubungan langsung 

dengan daerah Kediri. Sesudah Airlangga berkuasa, maka mulailah 

zaman ICadiri jang berachir dengan runtuhnja Kertadjaja, dibina- 

gakan oleh sendjata Tumapel. Ketika Singasari-Madjapahit berkuasa 

tanah Daha mendjadi bagian jang berarti sampai pada penghabisan 

abad ke-15. Perlulah mendjadi perhatian, bahwa Daha dan Djeng­

gala dalam perdjalanan sedjarah selalu dua negara jang bergan- 

dingan dan atjap kali bertempur rebut-merebut kekuasaan, sehingga 

turun-naiknja kedua daerah itu jalah perdjuangan antara dua pusat 

politik, jang masing-masing bertulang-punggung kepada Rakjat 

dibarat dan ditimur gunung Kawi. ^

Daerah jang ketiga, tanah Kahutifran, terletak disebelali utara 

pergunungan Welirang-Andjasmara,~da~EL~didaerah itu berlangsung 

sedjarah jang diketaliui 6edjak tahun 873 ketika Sang Hadyan 

Kuluptera mendirikan ditanah Waharu sebidang perdikan dan lagi 

menurut tulisan lojang jang didapat di-Gedangan dekat Sidoardjo. 

Menurut Krom tulisan itu tak mungkin bertarich Sjaka 782, me­

lainkan semestinja Sjaka 872, jaitu sama dengan 950 A.D., ketika 

Lakapala memerintah (Krom, HJG. p. 161); tulisan itu jalah 

piagam mendirikan daerah perdikan Kantjana bagi orang beragama 

bernama Bodhimimba. Dalam zaman Airlangga maka menurut 

nama-nama J