ang
berarti bangkrut. Jika satu spesies menggaungkan banyak salinan
DNA, ia sukses dan spesies itu subur. Dari perspektif semacam
itu, 1.000 salinan selalu lebih baik dari 100 salinan. Inilah esensi
dari Revolusi Agrikultur: kemampuan untuk mempertahankan
Kecurangan Terbesar Sejarah
99
lebih banyak orang hidup di bawah kondisi lebih buruk.
Meskipun demikian, mengapa pula seseorang harus peduli
dengan kalkulus evolusi ini? Mengapa pula satu orang yang
sama menurunkan standar hidupnya hanya untuk menggandakan
jumlah salinan gen Homo sapiens? Tak seorang pun setuju dengan
kenyataan ini: Revolusi Agrikultur yaitu sebuah perangkap.
Perangkap Mewah
Peningkatan pertanian yaitu perkembangan yang sangat
perlahan, menyebar selama berabad-abad dan beberapa milenium.
Satu kawanan Homo sapiens yang mengumpulkan jamur dan
kacang serta berburu rusa dan kelinci tidak tiba-tiba mendiami
sebuah desa permanen, membajak tanah, menyemai gandum
dan mengangkut air dari sungai. Perubahan itu berjalan tahap
demi tahap, masing-masing disertai hanya perubahan kecil dalam
kehidupan sehari-hari.
Homo sapiens mencapai Timur Tengah sekitar 70.000 tahun
lalu. Selama 50.000 tahun kemudian para leluhur kita tumbuh
subur di sana tanpa pertanian. Sumber daya alam area itu cukup
untuk menopang populasi manusianya. Pada satu masa subur
banyak orang punya anak, dan pada masa sulit lebih sedikit yang
punya anak. Manusia, seperti mamalia pada umumnya, memiliki
mekanisme hormonal dan genetik yang membantu mengendalikan
perkembangbiakan. Pada masa yang baik, perempuan mencapai
pubertas lebih awal, dan peluang mereka untuk hamil sedikit
lebih tinggi. Pada masa buruk, pubertas datang lebih lambat dan
kesuburan menurun.
Selain kendali populasi alamiah ini, datang pula mekanisme
kultural. Bayi-bayi dan anak-anak kecil, yang bergerak lamban
dan menuntut perhatian lebih besar, menjadi beban bagi para
pengembara nomaden. Orang-orang berusaha menjarangkan
kelahiran anak tiga sampai empat tahun. Perempuan melakukan
itu dengan mengasuh anak sepanjang waktu dan sampai usia
anak lebih tua (penyusuan sepanjang waktu secara signifikan
menurunkan peluang untuk hamil). Metode-metode lain yaitu
100
pantangan seks penuh atau sebagian (didukung mungkin oleh
tabu-tabu kultural), aborsi, dan kadang-kadang pembunuhan bayi.
Selama milenium-milenium panjang ini orang terkadang
makan biji gandum, namun ini bagian yang sangat marginal dari
menu makanan mereka. Sekitar 18.000 tahun lalu, zaman es
terakhir membuka jalan bagi periode pemanasan global. saat
suhu naik, demikian pula curah hujan. Iklim baru menjadi ideal
bagi gandum Timur Tengah dan sereal lain, yang berbiak dan
menyebar. Orang-orang mulai memakan lebih banyak gandum,
dan sebagai gantinya mereka secara tak sengaja menyebarkan
pertumbuhannya. sebab tidak mungkin makan biji-bijian liar
tanpa menampinya dulu, menggiling, dan memasaknya, orang-
orang harus mengumpulkan biji-bijian ini di tempat-tempat
tinggal sementara untuk memprosesnya. Biji-biji gandum cukup
kecil dan banyak sehingga tak terelakkan sebagian jatuh dalam
perjalanan ke tempat tinggal dan hilang. Dari waktu ke waktu
semakin banyak gandum tumbuh di sepanjang jalur favorit
manusia dan dekat tempat tinggal mereka.
saat manusia membakar hutan dan semak-semak, ini
juga membantu gandum. Api melenyapkan pohon-pohon dan
semak belukar, memungkinkan gandum dan rumput-rumut lain
memonopoli sinar Matahari, air, dan nutrisi. Di tempat-tempat
yang tersedia gandum melimpah, binatang serta sumber-sumber
makanan lain juga banyak, kawanan manusia pun pelan-pelan
meninggalkan gaya hidup nomaden serta tinggal di kamp-kamp
musiman, bahkan permanen.
Mula-mula mereka mungkin tinggal selama empat pekan
pada musim panen. Satu generasi kemudian, saat tumbuhan
gandum berbiak dan menyebar, kamp panen bertahan sampai
lima pekan, kemudian enam pekan, dan akhirnya menjadi sebuah
desa permanen. Bukti permukiman semacam itu telah ditemukan
di seluruh Timur Tengah, terutama di Levant, di mana kultur
Natufian tumbuh subur dari 12.500 SM sampai 9500 SM.
Orang-orang Natufian yaitu pemburu-penjelajah yang hidup
dengan puluhan spesies liar, namun mereka hidup di desa-desa
permanen dan menghabiskan banyak waktu untuk pengumpulan
dan pemrosesan secara intensif sereal liar. Mereka membangun
Kecurangan Terbesar Sejarah
101
rumah-rumah batu dan lumbung. Mereka menyimpan biji-bijian
untuk masa-masa sulit. Mereka menemukan alat-alat baru seperti
sabit batu untuk memanen gandum, dan penumbuk serta mortir
dari batu untuk menghaluskannya.
Pada tahun-tahun setelah 9500 SM, para keturunan Natufian
terus mengumpulkan dan memproses sereal, namun mereka juga
mulai menanamnya dengan cara yang semakin teliti. saat
mengumpulkan biji-bijian liar, mereka menyisihkan sebagian dari
hasil panen untuk disemai di ladang musim berikutnya. Mereka
menemukan bahwa dengan menyemai biji-bijian ke dalam tanah,
mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih baik, dibandingkan
menaburnya secara asal-asalan di permukaan tanah. Jadi, mereka
mulai mencangkul dan membajak. Pelan-pelan mereka juga mulai
menyemai di ladang, menjaganya dari parasit, dan mengairi serta
menyuburkannya. Dengan semakin banyak upaya dilakukan untuk
menanam sereal, semakin sedikit waktu untuk mengumpulkan
dan memburu spesies liar. Pengembara pun menjadi petani.
Tak ada satu pun jejak yang membedakan perempuan
pengumpul gandum liar dengan perempuan yang bercocok-
tanam gandum domestikasi sehingga sulit untuk menyatakan
secara pasti kapan transisi menentukan ke agrikultur itu
terjadi. Namun, sampai dengan 8500 SM, Timur Tengah
dipadati desa-desa permanen seperti Jericho, yang penghuninya
menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menanam
beberapa sepesies domestikasi.Dengan pergerakan ke desa-
desa permanen dan naiknya pasokan makanan, populasi mulai
menanam. Meninggalkan gaya hidup nomaden memungkinkan
kaum perempuan memiliki anak setiap tahun. Bayi-bayi disapih
lebih awal—mereka bisa disuapi bubur dan adonan. Tenaga ekstra
sangat dibutuhkan di ladang. Namun, mulut-mulut ekstra dengan
cepat menyapu bersih surplus makanan sehingga bahkan semakin
banyak ladang harus ditanami. saat orang mulai hidup di
permukiman-permukiman yang dipenuhi penyakit, saat anak-
anak lebih banyak disuapi sereal dan lebih sedikit susu ibu, dan
saat setiap anak bersaing untuk mendapatkan bubur dengan
lebih banyak saudara-saudaranya, tingkat kematian anak pun
mencuat. Di banyak warga agrikultur sedikitnya satu dari
102
setiap tiga anak sebelum mencapai usia 20 tahun.4 Meskipun
demikian, kenaikan angka kelahiran masih di atas naiknya angka
kematian; manusia tetap punya anak yang jumlahnya lebih besar.
Seiring waktu, “daya tawar gandum” menjadi beban yang
semakin berat dan semakin berat. Anak-anak mati berbondong-
bondong, dan orang dewasa makan dengan keringat bercucuran
di kening. Rata-rata orang di Jericho pada 8500 SM hidup lebih
sulit ketimbang rata-rata orang di Jericho pada 9500 SM atau
13.000 SM. Namun, tak seorang pun menyadari apa yang sedang
terjadi. Setiap generasi terus hidup seperti generasi sebelumnya,
hanya membuat perbaikan-perbaikan kecil di sana sini dan
dalam cara mengerjakan sesuatu. Secara paradoks, serangkaian
“perbaikan”, yang masing-masing berarti menjadikan hidup lebih
mudah, menambahkan satu batu gerinda di leher para petani ini.
Mengapa orang membuat kalkulasi fatal semacam itu?
Penyebabnya sama dengan miskalkulasi yang dilakukan orang-
orang sepanjang sejarah. Orang tidak mampu memahami
sepenuhnya konsekuensi-konsekuensi dari keputusan-keputusan
mereka. Setiap kali mereka memutuskan untuk mengerjakan
sedikit pekerjaan ekstra—taruhlah untuk mencangkul ladang,
bukan menabur benih di permukaan—orang mengira “Ya, kita
harus bekerja lebih keras, namun panen akan berlimpah! Kita
tidak perlu khawatir dengan tahun-tahun mendatang. Anak-anak
tidak akan pernah lagi tidur kelaparan”. Masuk akal. Jika Anda
bekerja lebih keras, Anda akan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik. Itulah rencananya.
Bagian pertama dari rencana itu berjalan mulus. Orang-
orang benar-benar bekerja lebih keras. Namun, orang-orang
tidak bisa melihat bahwa jumlah anak akan bertambah, yang
berarti bahwa ekstra gandum akan dibagi dengan lebih banyak
anak. Para petani awal itu juga tidak mengerti bahwa menyuapi
anak-anak dengan lebih banyak bubur dan lebih sedikit susu
ibu akan memperlemah sistem kekebalan mereka, dan bahwa
permukiman-permukiman permanen akan menjadi sarang bagi
penyakit-penyakit menular. Mereka tidak melihat bahwa dengan
menaikkan ketergantungan pada satu sumber makanan tunggal,
mereka sesungguhnya memapar diri dengan ancaman bahaya
Kecurangan Terbesar Sejarah
103
kekeringan. Para petani itu juga tidak melihat pada tahun-tahun
baik lumbung-lumbung mereka yang berlimpah akan mengundang
pencuri dan musuh, memaksa mereka mulai membangun dinding
dan melakukan tugas-tugas penjagaan.
Lalu, mengapa manusia tidak meninggalkan perladangan
saat rencananya mendatangkan kesulitan? Sebagian, sebab
perlu beberapa generasi bagi perubahan-perubahan kecil untuk
berakumulasi dan mentransformasi warga , dan pada
masa itu, tak seorang pun mengingat bahwa mereka pernah
hidup secara berbeda. Dan, sebagian sebab pertumbuhan
populasi membakar perahu-perahu kemanusiaan. Jika dengan
pencangkulan populasi sebuah desa naik dari 100 menjadi 110,
maka siapa 10 orang yang harus rela kelaparan agar yang lain
bisa kembali ke keadaan baik pada masa lalu? Tidak ada yang
bisa kembali. Perangkap sudah terkunci.
Perburuan kehidupan yang lebih mudah menghasilkan lebih
banyak kesulitan, dan itu bukan yang terakhir. Itu terjadi pada
kita hari ini. Berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi
mengambil pekerjaan berat di perusahaan-perusahaan padat
karya, dengan berjanji bahwa mereka akan bekerja keras untuk
mendapatkan uang yang memungkinkan mereka pensiun dan
mengejar kesenangan pada usia 35 tahun? Namun, saat usia
itu tercapai, mereka punya beban besar, anak-anak ke sekolah,
rumah di pinggiran yang membutuhkan sedikitnya dua mobil
per keluarga, dan hidup tak terasa nikmatnya tanpa anggur dan
liburan di luar negeri. Apa yang harus mereka lakukan, kembali
menggali akar? Tidak, mereka melipatgandakan upayanya dan
tetap diperbudak.
Salah satu hukum sejarah yaitu bahwa kemewahan
cenderung menjadi keharusan dan melahirkan beban-beban
baru. Begitu orang terbiasa dengan satu kemewahan tertentu,
mereka menerimanya sebagai kebiasaan. Kemudian, mereka mulai
menjadikannya kebutuhan. Akhirnya mereka mencapai satu titik
saat mereka tidak bisa hidup tanpanya. Mari ambil contoh
lain yang populer pada masa kita. Selama beberapa dekade
terakhir, kita telah menemukan tak terhitung alat penghemat
waktu yang diharapkan menjadikan hidup lebih santai—mesin
104
cuci, vacuum cleaner, pencuci piring, telepon, ponsel, komputer,
surel. Sebelumnya, butuh banyak pekerjaan untuk menulis
sepucuk surat, menulis alamat, membeli prangko dan amplop, dan
membawanya ke kotak surat. Perlu beberapa hari atau beberapa
pekan, bahkan mungkin beberapa bulan, untuk mendapatkan
jawaban. Kini, saya bisa menulis surel, mengirimnya sejauh
setengah putaran Bumi, dan (jika yang dituju sedang online)
menerima jawaban semenit kemudian. Saya menghemat waktu
dan tenaga, namun apakah saya menikmati kehidupan yang lebih
santai?
Sayangnya tidak. Pada era surat-bekicot dulu, orang-orang
biasanya menulis surat saat mereka punya sesuatu yang penting
untuk disampaikan. Bukan menulis apa yang pertama muncul
di kepala, mereka mempertimbangkan hati-hati apa yang ingin
mereka katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Mereka
berharap menerima jawaban yang dipertimbangkan masak-masak
juga. Sebagian orang menulis dan menerima hanya segelintir
surat dalam sebulan dan jarang merasa terpaksa untuk membalas
segera. Kini, saya menerima puluhan surel setiap hari, semua
dari orang-orang yang mengharapkan balasan secepatnya. Kita
mengira menghemat waktu; yang terjadi kita malah mempercepat
treadmill kehidupan sepuluh kali lebih cepat sehingga membuat
hari-hari kita lebih mencemaskan dan menggelisahkan.
Di mana-mana ada seorang Luddite* yang berkeras menolak
membuka akun surel, sebagaimana ribuan tahun lalu kawanan-
kawanan manusia menolak ikut berladang, dan menghindari
perangkap kemewahan. Namun, Revolusi Agrikultur tak butuh
setiap kawanan di daerah tertentu bergabung. Yang dibutuhkan
cuma satu kawanan. Begitu ada kawanan yang bermukim
dan mulai mengolah tanah, entah itu di Timur Tengah atau
Amerika Tengah, pertanian tak bisa dibendung. sebab pertanian
menciptakan kondisi-kondisi bagi pertumbuhan demografis cepat,
para petani biasanya mampu mengatasi para pengembara dengan
keunggulan jumlah. Para pengembara bisa lari, meninggalkan
* Sebuah istilah yang merujuk kelompok pekerja di Inggris, yang merusak
mesin, terutama pemintalan kapas dan bulu sebab menganggap mesin-mesin itu
mengancam pekerjaan mereka—penerj.
Kecurangan Terbesar Sejarah
105
tanah perburuan mereka ke ladang dan padang rumput, atau
ikut mengolah tanah. Pilihan yang mana pun, kehidupan lama
pun hilang.
Cerita perangkap kemewahan membawa serta satu pelajaran
penting. Pencarian manusia akan kemudahan hidup menghasilkan
kekuatan besar perubahan yang mentransformasi dunia dengan
cara yang tak pernah dibayangkan atau diinginkan siapa pun.
Tak seorang pun merencanakan Revolusi Agrikultur atau
mengupayakan ketergantungan manusia pada penanaman sereal.
Serangkaian keputusan kecil yang ditujukan terutama untuk
mengisi beberapa perut dan mendapatkan sedikit keamanan
memiliki efek kumulatif yang memaksa para pengembara kuno
menghabiskan hari-hari mereka membawa kantong-kantong air
di bawah sengatan Matahari.
Campur Tangan Tuhan
Skenario di atas menjelaskan Revolusi Agrikultur sebagai
sebuah miskalkulasi. Itu sangat masuk akal. Sejarah penuh
dengan miskalkulasi yang jauh lebih idiotik. Namun, tidak ada
kemungkinan lain. Mungkin bukan pencarian kehidupan yang
lebih mudah yang melahirkan transformasi itu. Mungkin Sapiens
memiliki aspirasi-aspirasi lain, dan secara sadar bersedia membuat
hidup mereka lebih berat dalam rangka mencapainya.
Para ilmuwan biasanya berusaha merujukkan perkembangan-
perkembangan sejarah kepada faktor-faktor dingin ekonomi dan
demografis. Ini memang lebih cocok dengan metode rasional
dan matematis mereka. Dalam kasus sejarah modern, para ahli
tidak bisa menghindari pertimbangan faktor-faktor non-material
seperti ideologi dan budaya. Bukti tertulis memaksa tangan
mereka. Kita punya cukup dokumen, surat, dan memoar untuk
membuktikan bahwa Perang Dunia Kedua tidak disebabkan oleh
kekurangan makanan atau tekanan psikologis. Namun, kita tidak
punya dokumen dari budaya Natufian, jadi saat menangani
periode kuno aliran materialis menunjukkan kekuasaannya. Sulit
untuk membuktikan bahwa warga praliterasi dimotivasi
106
oleh agama ketimbang kebutuhan ekonomi.
Meskipun demikian, dalam kasus-kasus yang langka, kita
cukup beruntung menemukan petunjuk-petunjuk. Pada 1995
para arkeologis mulai mengekskavasi situs di wilayah tenggara
Turki yang dikenal dengan nama Göbekli Tepe. Di lapisan
tertua mereka tak menemukan tanda-tanda permukiman, rumah-
rumah, atau aktivitas keseharian. Namun, mereka menemukan
struktur-struktur pilar monumental berhiaskan pahatan-pahatan
spektakuler. Setiap batu pilar memiliki berat 7 ton dan mencapai
ketinggian 5 meter. Di sebuah tambang dekat sana, mereka
menemukan pilar pahatan setengah jadi seberat 50 ton. Secara
keseluruhan, mereka menemukan lebih dari sepuluh struktur
monumental, yang terbesar lebarnya hampir 30 meter.
Para arkeologis terbiasa dengan struktur-struktur monumental
semacam itu dari berbagai situs di seluruh dunia—contoh yang
paling terkenal yaitu Stonehenge di Inggris. Namun, setelah
mereka mempelajari Göbekli Tepe, mereka menemukan sebuah
Kecurangan Terbesar Sejarah
107
fakta yang menakjubkan. Stonehenge bertarikh 2500 SM, dan
dibangun oleh sebuah warga agrikultur yang sudah maju.
Struktur-struktur di Göbekli Tepe bertarikh sekitar 9500 SM,
dan semua bukti yang tersedia menunjukkan bahwa struktur-
struktur itu dibangun oleh pemburu-penjelajah. Komunitas
arkeologis mula-mula kesulitan menghargai temuan-temuan ini,
namun pengujian demi pengujian memastikan tarikh struktur-
struktur itu dan warga pra-agrikultur para pembangunnya.
Kemampuan para pengembara kuno, dan kompleksitas kultur
mereka tampaknya jauh lebih mengesankan dari yang sebelumnya
diduga.
Mengapa satu warga pengembara membangun struktur-
struktur semacam itu? Mereka tak punya tujuan sengaja yang
jelas. Struktur-struktur itu juga bukan rumah jagal mamut,
juga bukan tempat berteduh dari hujan atau bersembunyi dari
singa. Maka, yang tersisa bagi kita yaitu teori bahwa struktur-
struktur itu dibangun untuk tujuan kultural yang misterius, yang
sangat menyulitkan para ahli untuk menguraikannya. Apa pun
13. Kiri: Sisa-sisa struktur monumental
dari Göbekli Tepe.
Kanan: Salah satu pilar batu berdekorasi
(tinggi sekitar 5 meter).
108
itu, para pengembara berpandangan struktur itu pantas dibuat
dengan menghabiskan tenaga dan waktu. Satu-satunya cara untuk
membangun Göbekli Tepe yaitu ribuan pengembara dari banyak
kawanan dan suku yang berbeda bekerja sama dalam rentang
waktu yang cukup lama. Hanya sistem religius atau ideologis
canggih yang bisa memelihara upaya semacam itu.
Göbekli Tepe menyimpan rahasia lain yang sensasional.
Selama bertahun-tahun, para ahli genetika telah melacak asal-
muasal gandum domestikasi. Penemuan-penemuan mutakhir
menunjukkan bahwa sedikitnya satu varian domestikasi, gandum
einkorn, berasal dari Perbukitan Karacadag—sekitar tiga puluh
kilometer dari Göbekli Tepe.5
Sulit untuk mengatakannya sebagai kebetulan. Sangat mungkin
bahwa pusat kultural Göbekli Tepe terkoneksi dengan domestikasi
gandum sebelumnya oleh manusia dan domestikasi manusia oleh
gandum. Untuk menghidupi orang-orang yang membangun dan
yang memakai struktur-struktur monumental itu, makanan
dalam jumlah yang sangat banyak dibutuhkan. Kemungkinan
para pengembara beralih dari mengumpulkan gandum liar ke
penanaman gandum secara intensif, bukan untuk menaikkan
pasokan makanan normal mereka, melainkan untuk menopang
pembangunan dan pengelolaan sebuah kuil. Dalam gambaran
konvensional, para pelopor mula-mula membangun sebuah
desa, lalu saat desa itu makmur, mereka mendirikan kuil di
tengah-tengahnya. Namun, Göbekli Tepe menunjukkan bahwa
kuil mungkin mula-mula dibangun, dan sebuah desa tumbuh
belakangan di sekitarnya.
Korban-korban Revolusi
Tawar-menawar Faustian antara manusia dan biji-bijian bukanlah
satu-satunya perkara yang diputuskan oleh spesies kita. Perkara
lainnya yang diputuskan yaitu menyangkut nasib binatang-
binatang seperti domba, kambing, babi, dan ayam. Kawanan-
kawanan nomaden yang memburu domba liar pelan-pelan
mengubah konstitusi tentang kawanan binatang yang mereka
Kecurangan Terbesar Sejarah
109
mangsa. Proses ini tampaknya dimulai dengan perburuan
selektif. Manusia belajar bahwa tak ada untungnya memburu
domba dewasa, domba tua, atau domba sakit saja. Mereka
menyisakan domba-domba betina yang subur dan domba muda
untuk menjaga vitalitas jangka panjang kawanan binatang lokal.
Langkah kedua kemungkinan yaitu mempertahankan secara aktif
kawanan binatang itu dari predator, mengusir singa, serigala,
dan kawanan-kawanan musuh manusia. Kawanan itu kemudian
mungkin membentengi kawanan domba di sebuah ngarai
sempit agar lebih mudah mengontrol dan mempertahankannya.
Akhirnya, mereka mulai melakukan seleksi lebih teliti dalam
rangka mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan manusia.
Domba-domba yang paling agresif, yakni yang menujukkan
perlawanan paling hebat terhadap kontrol manusia, disembelih
dulu. Begitu pula betina-betina paling kurus dan paling berisik.
(Penggembala tak menyukai domba yang berisiknya membuat
mereka menjauh dari gembalanya.) Dengan berlalunya generasi
demi generasi, domba menjadi semakin gemuk, lebih mudah
diatur, dan semakin tidak berisik. Voilà ! Mary punya domba
kecil dan ke mana pun Mary pergi domba kecil itu pasti ikut.
Alternatif lain, para pemburu mungkin menangkap seekor
domba, menggemukkannya pada bulan-bulan subur dan
menyembelih nya pada musim buruk. Pada tahap tertentu mereka
mulai memelihara domba semacam itu dalam jumlah lebih besar.
Sebagian dari domba-domba itu mencapai pubertas dan mulai
berbiak. Domba-domba yang paling agresif dan paling sulit
diatur yang mula-mula disembelih. Yang paling penurut dan
paling bagus dibiarkan hidup lebih lama dan berbiak. Hasilnya
yaitu kawanan domba domestikasi dan penurut.
Binatang-binatang domestikasi semacam itu—domba, ayam,
keledai, dan lain-lain—memasok makanan (daging, susu, telur),
bahan baku (kulit, bulu), dan kekuatan otot. Transportasi,
pembajakan, penumbukan, dan tugas-tugas lain, yang sampai
sekarang dilakukan dengan otot manusia, kian banyak yang
dilakukan oleh binatang. Di kebanyakan warga pertanian,
orang fokus pada penanaman tumbuhan; memelihara binatang
menjadi aktivitas sekunder. Namun, satu jenis warga baru
110
juga muncul di sejumlah tempat, yang terutama didasarkan pada
eksploitasi binatang: suku-suku penggembala binatang.
saat manusia menyebar ke seluruh dunia, begitu pula
binatang-binatang domestikasi mereka. Sepuluh ribu tahun
lalu, tidak lebih dari beberapa juta domba, sapi, kambing, babi
hutan, dan ayam hidup di ceruk-ceruk Afro-Asia yang terbatas.
Kini dunia berisi sekitar 1 miliar domba, 1 miliar babi, lebih
dari 1 miliar sapi, dan lebih dari 25 miliar ayam. Dan, mereka
ada di seluruh dunia. Ayam domestikasi yaitu yang paling
luas penyebarannya. Menyusul manusia, sapi-sapi, babi-babi,
dan domba domestikasi berada di urutan kedua, sedang
urutan ketiga dan keempat ditempati mamalia-mamalia besar.
Dari persepektif evolusi sempit, yang mengukur hanya dengan
jumlah salinan DNA, Revolusi Agrikultur merupakan anugerah
luar biasa bagi ayam, sapi, babi, dan domba.
Sayang sekali, persepektif evolusi itu merupakan ukuran
sukses yang tidak lengkap. Ia hanya mengukur segalanya dengan
kriteria survival dan reproduksi, tanpa mempertimbangkan
penderitaan dan kebahagiaan individu. Ayam-ayam dan sapi-sapi
domestikasi akan menjadi kisah sukses evolusi, namun mereka juga
termasuk makhluk paling merana yang pernah hidup. Domestikasi
binatang dijalankan dengan serangkaian praktik brutal yang hanya
menjadi semakin brutal seiring abad-abad berlalu.
Rentang masa hidup ayam liar sekitar 7 sampai 12 tahun,
dan sapi sekitar 20 sampai 25 tahun. Di alam liar, sebagian besar
ayam dan sapi memang mati jauh sebelum itu, namun mereka
masih punya kesempatan yang memadai untuk hidup lebih lama.
Sebaliknya, mayoritas besar ayam dan sapi domestikasi disembelih
pada usia antara beberapa pekan sampai beberapa bulan sebab
ini selalu menjadi usia penyembelihan yang paling optimal dari
perspektif ekonomi (Mengapa pula memelihara seekor ayam
selama 3 tahun jika ia sudah mencapai berat maksimum setelah
usia 3 bulan?)
Ayam-ayam petelur, sapi perah, dan binatang-binatang
pengangkut kadang-kadang dibiarkan hidup lebih lama. Namun,
harga yang dibayar yaitu penindasan dalam kehidupan yang
benar-benar asing bagi kehendak dan keinginan mereka. Maka,
Kecurangan Terbesar Sejarah
111
masuk akal untuk dikemukakan, misalnya, bahwa kerbau lebih
suka menghabiskan hari-hari mereka berkeliaran di dataran
terbuka dalam kawanan kerbau dan sapi ketimbang menarik
gerobak dan membajak di bawah arahan si pemegang cemeti.
Untuk mengubah kerbau, kuda, keledai, dan otan menjadi
binatang pengangkut yang patuh, maka naluri alamiah dan
hubungan-hubungan sosial mereka harus dihancurkan, agresi dan
seksualitas mereka ditundukkan, dan kebebasan gerak mereka
dibatasi. Para petani mengembangkan teknik-teknik seperti
mengunci binatang dalam kandang dan kurungan, mengekang
mereka dengan tali dan cambuk, melatih mereka dengan cemeti
14. Sebuah lukisan dari kuburan Mesir, 1200 SM: sepasang sapi
membajak ladang. Di alam liar, sapi berkeliaran sesukanya bersama
kawanan dengan struktur sosial yang rumit. Sapi jantan yang dikebiri
dan didomestikasi menjalani kehidupan dalam deraan cemeti dan
dalam kandang sempit, bekerja sendiri atau berpasangan dengan cara
yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuhnya maupun emosionalnya.
saat seekor sapi jantan tak bisa lagi menarik bajak, ia disembelih.
(Perhatikan posisi membungkuk petani Mesir, yang sangat mirip sapi,
menghabiskan waktu hidupnya bekerja keras menyiksa tubuh, pikiran,
dan hubungan-hubungan sosialnya.)
112
dan pelecut, dan memutilasi mereka. Proses penundukan hampir
selalu melibatkan pengebirian pejantan. Ini bisa menghambat
agresi jantan dan memungkinkan manusia secara selektif
mengontrol perkembangbiakan binatang.
Pada banyak warga Papua Nugini, kekayaan seseorang
secara tradisional ditentukan oleh jumlah babi yang dia miliki.
Untuk memastikan bahwa babi-babi itu tidak lari, para petani di
bagian utara Papua Nugini mengiris hidung babi. Ini memicu
nyeri hebat setiap kali babi itu berusaha mengendus. sebab
babi tidak bisa menemukan makanan atau bahkan mencari
jalan tanpa mengendus, mutilasi ini membuat mereka benar-
benar tergantung pada manusia pemiliknya. Di area lain Papua
Nugini, ada kebiasaan mencongkel mata babi sehingga binatang
itu bahkan tidak tahu ke mana mereka akan pergi.6
Industri susu punya cara sendiri dalam memaksa binatang
melakukan kehendaknya. Sapi, kambing, dan domba menghasilkan
susu hanya setelah melahirkan dan hanya sepanjang binatang-
binatang muda itu menyusui. Untuk meneruskan pasokan susu
binatang, petani perlu memiliki anak-anak sapi, anak domba, dan
anak kambing untuk menyusu, namun harus mencegah mereka
memonopoli susu. Satu metode yang umum dalam sejarah yaitu
dengan begitu saja menyembelih anak-anak sapi segera setelah
lahir, memerah susu induk sebanyak yang bisa dikeluarkannya,
dan kemudian membuat induknya bunting lagi. Ini teknik yang
menyebar luas. Di banyak ladang susu modern, seekor sapi
perah biasanya hidup sekitar 5 tahun sebelum disembelih. Selama
masa 5 tahun itu dia hampir terus-menerus bunting dan subur
kembali dalam 60 sampai 120 hari setelah melahirkan, dalam
rangka mempertahankan produksi susu maksimum. Anak-anak
sapinya dipisahkan dari induknya segera setelah lahir. Yang
betina disisihkan untuk menjadi generasi sapi perah berikutnya,
sementara yang jantan diserahkan ke industri daging.7
Metode lainnya yaitu memelihara anak-anak sapi dan
domba dekat induknya, namun mencegah mereka dengan berbagai
siasat dari menyusu terlalu banyak. Cara yang paling sederhana
untuk melakukan itu yaitu membiarkan anak sapi atau domba
mulai menyusu, namun menyingkirkannya begitu susu mulai
Kecurangan Terbesar Sejarah
113
mengalir. Cara ini biasanya menimbulkan perlawanan dari anak
maupun induknya. Sebagian suku penggembala biasa membunuh
keturunan, memakan dagingnya, dan kemudian menyimpan
kulitnya. Anak sapi yang tinggal kulit itu kemudian disodorkan
ke induknya agar kehadirannya bisa mendorong produksi susu.
Suku Nuer di Sudan selama ini melumuri kulit anak sapi dengan
15. Seekor anak sapi modern di lahan ternak daging industri.
Segera setelah lahir anak sapi dipisahkan dari induknya dan
dikurung dalam kerangkeng mungil yang tak jauh lebih besar
daripada tubuh anak sapi itu sendiri. Di sana anak sapi
menghabiskan seluruh hidupnya—rata-rata sekitar 4 bulan. Ia
tidak pernah meninggalkan kandang, atau dibolehkan bermain
dengan anak-anak sapi lain atau bahkan berjalan—sehingga otot-
ototnya tidak tumbuh kuat. Otot-otot yang lembut berarti steik
yang lembut dan lezat. Untuk kali pertama anak sapi mendapat
kesempatan untuk berjalan, meregangkan otot-ototnya, dan
menyentuh anak-anak sapi lain dalam perjalanan menuju rumah
jagal. Dalam terminologi evolusi, sapi merepresentasi salah satu
spesies binatang yang paling sukses yang pernah ada. Pada saat
yang sama, mereka yaitu sebagian dari binatang-binatang paling
menderita di muka Bumi.
114
urine induknya, untuk memberi aroma palsu anak sapi hidup.
Teknik Nuer lainnya yaitu mengikatkan cincin onak di sekitar
mulut anak sapi, sehingga menusuk induknya dan memicu
induk menolak disusu.8 Para penggembala unta Tuareg di Sahara
biasa menusuk memotong bagian dari hidung dan bibir atas unta
muda untuk membuat penyusuan menjadi menyakitkan sehingga
mencegah mereka mengonsumsi terlalu banyak susu.9
Tak semua warga agrikultur sekejam itu terhadap
binatang-binatang piaraannya. Kehidupan sebagian binatang
domestikasi bisa saja cukup bagus. Domba yang dipelihara untuk
diambil bulunya, anjing dan kucing piaraan, kuda perang dan
kuda pacu sering menikmati kondisi yang nyaman. Kaisar Romawi
Caligula diduga berniat menunjuk kuda favoritnya, Incitatus,
untuk tugas konsulat. Para penggembala dan petani sepanjang
sejarah menunjukkan kasih sayang terhadap binatang-binatang
mereka dan memberi perawatan yang baik, sebagaimana banyak
pemilik budak merasakan kasih sayang dan kepedulian pada
budak mereka. Bukan kebetulan bahwa raja-raja dan nabi-nabi
bergaya sebagai penggembala dan menyerupakan cara mereka dan
Tuhan mencintai umatnya dengan cara penggembala menyayangi
piaraannya.
Meskipun demikian, dari sudut pandang binatang piaraan,
bukan dari sudut pandang penggembala, sulit untuk menghindarkan
kesan bahwa bagi mayoritas besar binatang domestikasi, Revolusi
Agrikultur yaitu bencana yang parah. “Sukses” evolusi mereka
tak bermakna. Seekor badak liar langka yang berada di tubir
kepunahan mungkin lebih enak hidupnya ketimbang seekor
sapi yang menghabiskan hidup singkatnya dalam kotak mungil,
digemukkan untuk menghasilkan daging steik yang lezat. Badak
yang beruntung tak kurang beruntungnya menjadi yang terakhir
dari jenisnya. Sukses numerikal spesies sapi yaitu hiburan kecil
untuk penderitaan yang dialami individu sapi.
Perbedaan antara sukses evolusi ini dan penderitaan individu
mungkin pelajaran paling penting yang bisa kita tarik dari
Revolusi Agrikultur. saat kita mempelajari narasi tumbuhan
seperti gandum dan jagung, mungkin itu perspektif evolusi yang
murni masuk akal. Namun, dalam hal binatang-binatang seperti
Kecurangan Terbesar Sejarah
115
sapi, domba, dan Sapiens, masing-masing dengan dunia sensasi
dan emosinya yang kompleks, kita harus mempertimbangkan
bagaimana sukses evolusi diterjemahkan ke pengalaman individu.
Pada bab-bab berikut ini kita akan melihat dari waktu ke waktu
bagaimana peningkatan dramatis kekuatan kolektif dan sukses
nyata spesies kita berjalan beriringan dengan banyak penderitaan
individu.
6
Membangun Piramida
Revolusi Agrikultur yaitu salah satu peristiwa paling
kontroversial dalam sejarah. Sebagian pendukung mengklaim
bahwa revolusi itu menempatkan manusia di jalan menuju
kemakmuran dan kemajuan. Yang lain menyatakan revolusi itu
mengarah kepada kehancuran. Kata mereka, inilah titik balik
saat Sapiens membuang simbiosis intimnya dengan alam dan
berlari menuju ketamakan dan alienasi. Ke mana pun arah jalan
menuju, tak ada kata kembali. Perladangan memungkinkan
populasi naik begitu radikal dan cepat sehingga tak ada warga
agrikultur kompleks yang pernah bisa lagi mempertahankan diri
jika ia kembali ke perburuan dan pengumpulan. Sekitar 10.000
SM, sebelum transisi menuju agrikultur, Bumi dihuni sekitar 5
sampai 8 juta pengembara nomaden. Pada abad ke-1 Masehi
(M), hanya 1 sampai 2 juta pengembara yang tersisa (terutama
di Australia, Amerika, dan Afrika), namun jumlah mereka tak
ada apa-apanya dibandingkan dengan 250 juta petani dunia.1
Mayoritas besar petani hidup di permukiman-permukiman
permanen; hanya sedikit yang menjadi penggembala nomaden.
Bermukim memicu sebagian besar wilayah orang menyusut
secara dramatis. Para pemburu-penjelajah kuno biasanya hidup
dalam teritori yang meliputi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus
kilometer persegi. “Rumah” yaitu teritori menyeluruh, dengan
perbukitan, sungai-sungai, hutan-hutan, dan langit terbuka. Para
petani, di sisi lain, menghabiskan sebagian besar hari-harinya
bekerja di sebuah ladang kecil atau kebun buah, dan kehidupan
domestik mereka terpusat pada satu struktur reot kayu, batu,
atau tanah liat, berukuran tak lebih dari beberapa puluh meter—
rumahnya. Petani biasanya mengembangkan keterikatan sangat
kuat dengan struktur ini. Inilah revolusi yang berjangkauan
Membangun Piramida
117
luas itu, yang berdampak psikologis sekaligus arsitektural. Oleh
sebab itu, keterikatan dengan “rumah saya” dan keterpisahan
dari tetangga menjadi penanda psikologis dari makhluk yang
semakin memusatkan diri.
Teritori-teritori agrikultur baru tidak hanya jauh lebih kecil
dari teritori pengembara kuno, namun juga jauh lebih artifisial.
Selain penggunaan api, para pemburu-penjelajah hanya sedikit
membuat perubahan-perubahan sengaja atas tanah yang menjadi
tempat mereka berkelana. Di sisi lain, para petani hidup dalam
pulau-pulau artifisial manusia, yang mereka iriskan dengan usaha
keras dari alam bebas di sekelilingnya. Mereka memangkas
hutan-hutan, menggali saluran-saluran, membersihkan ladang,
membangun rumah-rumah, menggali parit, dan menanam pohon-
pohon buah dalam barisan-barisan rapi. Habitat artifisial yang
dihasilkan hanya ditujukan bagi manusia dan tumbuh-tumbuhan
serta binatang-binatang “mereka”, dan sering dipagari dengan
dinding dan pelindung. Keluarga-keluarga petani melakukan
semua yang bisa mereka lakukan untuk mengenyahkan bibit-
bibit yang bertingkah dan binatang-binatang yang liar. Jika ada
penyusup masuk, mereka mengusirnya. Jika melawan, para
manusia antagonis mencari cara untuk melenyapkan mereka.
Pertahanan-pertahanan yang sangat kuat dibuat di sekitar rumah.
Sejak awal masa agrikultur sampai masa kini, miliaran manusia
bersenjatakan ranting, pemukul, sepatu, dan semprotan beracun
tak henti-henti terlibat dalam perang melawan semut-semut gigih,
kecoak-kecoak gesit, laba-laba petualang, dan kumbang-kumbang
tersesat yang terus menginfiltrasi domisili manusia.
Pada sebagian besar rentang sejarah, enklave-enklave buatan
manusia ini tetap sangat kecil, dikelilingi oleh hamparan alam
yang tak tersentuh. Permukaan Bumi memiliki luas sekiar 510 juta
kilometer persegi, 155 juta di antaranya berupa daratan. Sampai
dengan 1400 M, mayoritas besar petani beserta tumbuhan dan
binatang-binatang mereka, terhimpun dalam area hanya 11 juta
kilometer persegi—2 persen dari permukaan Bumi.2 Area lain
di mana pun terlalu dingin, terlalu panas, terlalu kering, terlalu
basah, yang tidak cocok untuk pertanian. Dalam irisan mungil
2 persen dari permukaan Bumi inilah sejarah berkembang.
118
Orang sulit meninggalkan pulau-pulau artifisial mereka.
Mereka tidak bisa meninggalkan rumah-rumah, ladang-ladang,
dan lumbung-lumbung tanpa risiko kehilangan yang mengerikan.
Lebih dari itu, dari waktu ke waktu mereka mengakumulasi
semakin banyak dan semakin banyak barang—benda-benda,
yang tak mudah diangkut, yang mengikat mereka. Para petani
kuno bagi kita mungkin miskin dan kotor, namun satu keluarga
biasa memiliki lebih banyak artefak dari satu suku pengembara.
Datangnya Masa Depan
Sementara ruang agrikultur menyempit, masa bercocok tanam
mengembang. Para pengembara biasanya tidak menghabiskan
waktu untuk memikirkan pekan depan atau bulan depan. Para
petani mengumbar imajinasinya hingga ke tahun-tahun dan
dekade-dekade pada masa depan.
Para pengembara tidak memikirkan masa depan sebab
mereka hidup dari tangan dan mulut dan hanya menyimpan
makanan atau mengumpulkan harta benda dengan susah payah.
Tentu saja, mereka jelas terlibat dalam suatu perencanaan yang
maju. Para perancang seni Gua Chauvet, Lascaux, dan Altamira
hampir pasti meniatkan itu semua bertahan dari generasi ke
genarsi. Aliansi-aliansi sosial dan persaingan politik yaitu
urusan-urusan jangka panjang. Sering butuh beberapa tahun untuk
melunasi dukungan atau membalas kesalahan. Bagaimanapun,
dalam ekonomi penghidupan yang bergantung pada berburu
dan mengumpulkan, tidak ada batas yang jelas tentang rencana
jangka panjang semacam itu. Secara paradoks, itu menyelamatkan
para pengembara dari banyak kecemasan. Tidak ada gunanya
khawatir tentang hal-hal yang tidak bisa mereka pengaruhi.
Revolusi Agrikultur menjadikan masa depan jauh lebih penting
dari yang pernah terjadi sebelumnya. Para petani harus selalu
memikirkan masa depan dan harus bekerja untuknya. Ekonomi
agrikultur didasarkan pada siklus musim produksi, yang berisi
bulan-bulan panjang penanaman diikuti periode panen puncak
yang singkat. Pada malam setelah akhir panen yang berlimpah,
Membangun Piramida
119
para petani mungkin merayakan segala yang mereka capai, namun
dalam sepekan atau lebih mereka kembali lagi bangun pagi untuk
bekerja sepanjang hari di ladang. Meskipun ada makanan yang
cukup untuk hari ini, pekan depan, dan bahkan bulan depan,
mereka harus cemas tentang tahun depan dan tahun sesudahnya.
Kecemasan akan masa depan berakar tidak hanya pada
siklus-siklus musim produksi, namun juga pada ketidakpastian
fundamental agrikultur. sebab sebagian besar desa hidup dari
menaman tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang domestikasi
dengan keragaman yang sangat terbatas, nasib mereka tergantung
pada kekeringan, banjir, dan wabah. Para petani harus
memproduksi lebih banyak dari yang mereka konsumsi agar
bisa menyimpan cadangan-cadangan. Tanpa benih di lumbung,
guci-guci minyak zaitun dalam tanah, keju di dapur, dan sosis
yang menggantung dari kasau, mereka bisa kelaparan pada
tahun-tahun buruk. Dan, tahun-tahun buruk pasti datang, cepat
atau lambat. Seorang petani hidup dengan asumsi bahwa hidup
tak selamanya berjalan dengan baik.
Akibatnya, sejak masa paling awal agrikultur, kecemasan
tentang masa depan menjadi pemain utama dalam teater pikiran
manusia. saat petani bergantung pada hujan untuk mengairi
ladang, permulaan musim hujan berarti setiap pagi petani menatap
horizon, mengendus angin, dan menebarkan pandangan matanya.
Apakah itu awan? Akankah hujan turun tepat waktu? Apakah
akan cukup? Apakah badai besar menyapu benih dari ladang
dan mengaduk-aduk tanaman? Sementara itu, di lembah-lembah
Sungai Eufrat, Indus, dan Kuning, para petani lain tak kalah
hebohnya memantau ketinggian air. Mereka membutuhkan air
naik untuk menyebarkan kesuburan tanah bagian atas dataran
tinggi ke bawah, dan membuat sistem irigasi besar mereka terisi
air. Namun, banjir yang meluap terlalu tinggi atau datang pada
saat yang tidak tepat bisa menghancurkan ladang mereka, sama
buruknya dengan kekeringan.
Para petani khawatir dengan masa depan, bukan hanya
sebab banyak yang mereka khawatirkan, melainkan juga
sebab mereka bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Mereka
bisa membersihkan ladang lain, menggali saluran irigasi lain,
120
menyemai lebih banyak bibit. Petani yang gelisah sama repotnya
dan sama kerja kerasnya dengan semut pemanen pada musim
panas, berkeringat untuk menanam pohon-pohon zaitun yang
minyaknya bisa diperas oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka,
menunda makan makanan yang dipanen hari ini sampai musim
dingin atau tahun berikutnya.
Stres bertani mengakibatkan dampak sangat jauh. Itu menjadi
fondasi sistem politik dan sosial berskala besar. Sedihnya, para
petani yang rajin hampir tidak pernah mencapai keamanan
ekonomi pada masa depan yang mereka ukir melalui kerja
keras pada masa kini. Di mana-mana, para penguasa dan elite
bermunculan, hidup dari surplus makanan petani dan memberi
mereka hanya bagian yang cukup untuk bertahan hidup.
Pengorbanan surplus makanan ini menghidupi politik,
perang, seni, dan filsafat. Mereka membangun istana-istana,
benteng-benteng, dan kuil-kuil. Sampai dengan era modern
belakangan, lebih dari 90 persen manusia yaitu petani yang
bangun tidur pada pagi hari untuk mengolah tanah dengan
keringat dari kening mereka. Lebihan hasil produksi mereka
menghidupi minoritas elite—raja, pejabat pemerintah, tentara,
pendeta, artis, dan pemikir—yang mengisi Artikel -Artikel sejarah.
Sejarah yaitu sesuatu yang dilakukan oleh sangat sedikit orang,
sedang semua orang lainnya membajak sawah dan memikul
kantong-kantong air.
Sebuah Tatanan yang Diimajinasikan
Surplus-surplus makanan yang diproduksi para petani,
digabungkan dengan teknologi transportasi baru, pada akhirnya
memungkinkan lebih banyak dan lebih banyak lagi orang yang
berjejalan pertama-tama ke desa-desa, kemudian ke kota-kota
kecil, dan akhirnya kota-kota besar, semua dipersatukan oleh
kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan komersial baru.
namun untuk bisa mengambil keuntungan dari peluang-
peluang baru ini, surplus-surplus makanan dan transportasi
yang membaik tidaklah cukup. Fakta bahwa satu orang bisa
Membangun Piramida
121
menghidupi 1.000 orang di satu kota yang sama atau 1 juta
orang di satu kerajaan yang sama tidak menjamin mereka bisa
setuju tentang bagaimana membagi tanah dan air, bagaimana
menyelesaikan pertikaian dan konflik, dan bagaimana bertindak
pada masa-masa kekeringan atau perang. Dan, jika tidak ada
kesepakatan yang bisa dicapai, percekcokan meluas, sekalipun
gudang-gudang berlimpah. Bukan kekurangan makanan yang
memicu sebagian besar perang dan revolusi dalam sejarah.
Revolusi Prancis digalang oleh para pengacara makmur, bukan
oleh petani-petani yang kelaparan. Republik Romawi mencapai
puncak kekuasaannya pada abad ke-1 M, saat armada-armada
laut dari seluruh Mediterania memperkaya orang-orang Romawi
melampaui impian paling liar para leluhur mereka. Namun,
pada masa kemakmuran maksimum itulah tatanan politik
Romawi runtuh menjadi serangkaian perang saudara mematikan.
Yugoslavia, pada 1991, memiliki sumber daya yang cukup untuk
menghidupi semua penghuninya, dan masih terdisintegrasi dalam
pertumpahan darah yang mengerikan.
Problem dari akar bencana-bencana itu yaitu bahwa manusia
berevolusi selama jutaan tahun dalam kawanan-kawanan kecil
berisi beberapa puluh individu saja. Beberapa milenium yang
memisahkan Revolusi Agrikultur dari kemunculan kota-kota,
kerajaan-kerajaan, dan imperium-imperium bukanlah waktu
yang cukup untuk memberi ruang bagi bergulirnya kerja sama
massal yang naluriah.
Meskipun tidak ada naluri biologis semacam itu, pada era
pengembaraan, ratusan orang asing bisa bekerja sama berkat
kesamaan mitos mereka. Namun, kerja sama ini longgar dan
terbatas. Setiap kawanan Sapiens terus menempuh kehidupan
independen dan mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan
hidup masing-masing. Seorang sosiologis arkeologi yang hidup
20.000 tahun lalu, yang tak punya pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa setelah Revolusi Agrikultur, sangat mungkin
menyimpulkan bahwa mitologi memiliki cakupan yang amat
terbatas. Kisah-kisah tentang arwah leluhur dan benda keramat
suku cukup kuat untuk membuat 500 orang berdagang kerang
laut, merayakan perayaan aneh, dan ikut pasukan untuk menyapu
122
bersih satu kawanan Neanderthal, namun tidak lebih dari itu.
Mitologi, mungkin pikir sosiolog kuno ini , tidak mungkin
bisa membuat jutaan orang asing bekerja sama dalam keseharian
mereka.
namun ternyata itu salah. Mitos, sebagaimana yang
terjadi, lebih kuat dari yang bisa dibayangkan oleh siapa
pun. saat Revolusi Agrikultur membuka peluang-peluang
terciptanya kota-kota padat dan imperium-imperium besar, orang
menemukan cerita-cerita tentang dewa-dewa besar, tanah air
dan perusahaan-perusahaan saham gabungan untuk memenuhi
hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan. Sementara evolusi
manusia merangkak sebagaimana biasa dalam kecepatan bekicot,
imajinasi manusia membangun jaringan-jaringan kerja sama yang
mencengangkan, tak seperti yang pernah terlihat di muka Bumi.
Pada sekitar 8500 SM permukiman-permukiman terbesar
di dunia yaitu desa-desa seperti Jericho, yang berisi beberapa
ratus individu. Sampai dengan 7000 SM Kota Çatalhöyük di
Anatolia berisi antara 5.000 sampai 10.000 individu. Mungkin
itu permukiman terbesar di dunia pada masa itu. Dalam
milenium ke-4 dan ke-5 SM, kota-kota dengan puluhan ribu
penghuni bertebaran di Bulan Sabit Subur itu, dan masing-masing
berkuasa atas desa-desa di dekatnya. Pada 3100 SM, segenap
wilayah hilir Lembah Nil tersatukan ke dalam Kerajaan Mesir.
Mungkin Fir’aun menguasai ribuan kilometer persegi dan ratusan
ribu orang. Sekitar 2250 SM Sargon Yang Agung menyatukan
imperium pertama, Akkadia. Kerajaan itu menaungi satu juta
penduduk dan angkatan perang 5.400 tentara. Antara 1000
SM dan 500 SM, mega-imperium pertama muncul di Timur
Tengah: Imperium Assyria, Imperium Babylonia, dan Imperium
Persia. Mereka menguasai berjuta-juta penduduk dan memiliki
puluhan ribu tentara.
Pada 221 SM, Dinasti Qin menyatukan China, dan tak lama
sesudahnya Romawi menyatukan lembah Mediterania. Pajak yang
dibebankan pada 40 juta penduduk Qin dibayar untuk mendanai
angkatan perang berkekuatan ratusan ribu tentara dan birokrasi
kompleks yang mempekerjakan lebih dari 100.000 pejabat.
Imperium Romawi pada masa kejayaannya menghimpun pajak
Membangun Piramida
123
dari 100 juta penduduk. Pendapatan ini mendanai angkatan
perang 250.000 sampai 500.000 tentara, jaringan jalan yang
masih dipakai 1.500 tahun kemudian, dan teater-teater serta
amfiteater yang menampung penonton hingga hari ini.
Jelas mengesankan, namun kita tidak boleh melabuhkan ilusi
optimis tentang “jaringan kerja sama massal” yang beroperasi di
Mesir era Fir’aun atau Imperium Romawi. “Kerja sama” terdengar
sangat altruistik, namun itu tidak selalu sukarela dan terkadang
egaliter. Sebagian besar jaringan kerja sama manusia digerakkan
menuju penindasan dan eksploitasi. Para petani membayar
untuk kerja sama yang berkembang itu dengan surplus-surplus
16. Batu prasasti
bertuliskan Undang-
Undang Hammurabi
1776 SM
124
makanan mereka yang sangat berharga, yang menyengsarakan
saat pengumpul pajak menyapu bersih seluruh hasil kerja keras
setahun penuh dengan satu goresan pena kerajaan. Amfiteater
terkenal Romawi sering dibangun oleh budak-budak sehingga
orang-orang kaya penganggur Romawi bisa menonton budak-
budak lain terlibat dalam pertarungan gladiator yang kejam.
Bahkan, penjara dan kamp-kamp konsentrasi yaitu jaringan
kerja sama, dan hanya bisa berfungsi sebab ribuan orang asing
berhasil mengoordinasi aksi-aksi mereka.
17. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditandatangani
pada 4 Juli 1776
Membangun Piramida
125
Semua jaringan kerja sama ini—dari kota-kota Mesopotamia
kuno sampai imperium Qin dan Romawi—yaitu “tatanan-tatanan
yang diimajinasikan”. Norma-norma sosial yang memelihara
mereka bukan didasarkan pada naluri-naluri bawaan maupun
perkenalan-perkenalan personal, melainkan pada kepercayaan
yang sama pada mitos.
Bagaimana mitos bisa menjaga imperium-imperium itu? Kita
sudah membahas contoh semacam itu: Peugeot. Kini mari kita
mencermati dua mitos paling terkenal dalam sejarah: Undang-
Undang Hammurabi dari 1776 SM, yang menjadi panduan kerja
sama bagi ratusan ribu penduduk Babylonia kuno; dan Deklarasi
Kemerdekaan Amerika pada 1776 M, yang kini masih menjadi
panduan kerja sama bagi ratusan juta orang Amerika modern.
Pada 1776 SM, Babylon yaitu kota terbesar di dunia.
Imperium Babylonia mungkin yang terbesar di dunia, dengan
lebih dari satu juta penduduk. Babylonia menguasai sebagian besar
Mesopotamia, termasuk Irak modern dan bagian-bagian yang kini
menjadi Suriah dan Iran. Raja Babylonia yang paling terkenal
kini yaitu Hammurabi. Kemasyhurannya terutama disebabkan
oleh naskah yang memuat namanya, Undang-Undang Hammurabi.
Ini yaitu kumpulan undang-undang dan keputusan-keputusan
yudisial yang tujuannya untuk menjadikan Hammurabi sebagai
sosok raja teladan yang adil, menjadi dasar bagi sistem legal
yang seragam di seluruh imperium Babylonia, dan mengajarkan
kepada generasi-generasi masa depan tentang apa itu keadilan
dan bagaimana seorang raja yang adil bertindak.
Generasi-generasi masa depan memperhatikan. Elite
intelektual dan birokrasi Mesopotamia kuno mengundangkan
naskah itu, dan ahli-ahli kitab suci terus menyalinnya jauh setelah
Hammurabi meninggal dan imperiumnya hancur berkeping-
keping. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hammurabi menjadi
sebuah sumber bagus untuk memahami tatanan sosial ideal
Mesopotamia kuno.3
Naskah itu dimulai dengan pernyataan bahwa dewa Anu,
Enlil, dan Marduk—dewa-dewa utama dalam keagamaan
Mesopotamia—menunjuk Hammurabi “untuk menjaga keadilan
di tanah ini, untuk melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk
126
mencegah yang kuat menindas yang lemah”.4 Naskah itu
kemudian dilanjutkan dengan daftar sekitar 300 putusan, yang
dibuat dengan rumusan “Jika begini dan begitu terjadi, maka
putusannya yaitu ....” Misalnya, hukum 196–199 dan 209–214
yang berbunyi:
196. Jika seorang kalangan atas membutakan mata orang
kalangan atas, mereka akan membutakan matanya.
197. Jika dia mematahkan tulang orang kalangan atas lainnya,
mereka akan mematahkan tulangnya.
198. Jika dia membutakan mata orang biasa atau mematahkan
tulang orang biasa, dia harus membayar 60 shekel perak.
199. Jika dia membutakan mata seorang budak milik orang
kalangan atas atau mematahkan tulang seorang budak
milik orang kalangan atas, dia harus membayar 1,5 nilai
budak (dalam perak).5
209. Jika seorang dari kalangan atas menyerang seorang
perempuan dari kelas atas dan memicu keguguran
janin, dia harus membayar 10 shekel untuk janinnya.
210. Jika perempuan itu mati, mereka akan membunuh
putrinya.
211. Jika dia memicu perempuan dari kalangan biasa
keguguran janin dengan pemukulan, dia harus membayar
5 shekel perak.
212. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 30 shekel
perak.
213. Jika dia menyerang budak perempuan milik orang
kalangan atas dan memicu keguguran janin, dia
harus membayar 2 shekel perak.
214. Jika perempuan itu mati, dia harus membayar 20 shekel
perak.6
Setelah membuat daftar hukuman itu, Hammurabi kembali
mendeklarasikan bahwa
Membangun Piramida
127
Ini yaitu keputusan-keputusan yang adil yang ditetapkan oleh
Hammurabi, raja yang cakap, dan dengan demikian mengarahkan
negeri ini ke jalan kebenaran dan jalan hidup yang benar ...
Saya Hammurabi, raja yang mulia. Saya tidak gegabah atau abai
terhadap manusia, menganugerahkan kepedulian saya atas nama
Dewa Enlil, dan bersama mereka yang bersama Dewa Marduk
mengutus saya.7
Undang-Undang Hammurabi menegaskan bahwa tatanan
sosial Babylonia berakar pada prinsip-prinsip keadilan universal
dan abadi, yang didiktekan oleh para dewa. Prinsip hierarki
yaitu hal paling penting. Menurut undang-undang itu, orang
dibagi menjadi dua gender dan tiga kelas: kelas atas, orang
biasa, dan budak. Para anggota tiap gender dan kelas memiliki
nilai yang berbeda-beda. Hidup perempuan biasa bernilai 30
shekel perak dan budak perempuan 20 shekel perak, sementara
mata orang laki-laki biasa 60 shekel perak. Undang-undang
itu juga menetapkan hierarki ketat dalam keluarga, antara lain
anak-anak bukanlah pribadi yang merdeka, melainkan hak milik
orangtua mereka. Oleh sebab itu, jika seorang pria kalangan atas
membunuh putri pria kalangan atas lainnya, putri pembunuh akan
dibunuh sebagai hukuman. Bagi kita terasa aneh bahwa pembunuh
tetap tak tersentuh sementara putrinya yang tak berdosa dibunuh.
Namun, bagi Hammurabi dan warga Babylonia ini keadilan
yang sempurna. Undang-Undang Hammurabi didasarkan pada
premis bahwa jika seluruh rakyat raja menerima posisi mereka
dalam hierarki dan bertindak sesuai posisinya, imperium
berpenghuni jutaan orang itu akan mampu bekerja sama secara
efektif. Maka, warga mereka bisa memproduksi makanan
yang cukup bagi anggotanya, mendistribusikannya secara efisien,
melindungi mereka dari musuh, dan memperluas teritori agar
dapat memperoleh kekayaan lebih banyak dan jaminan yang
lebih baik.
Sekitar 3.500 tahun setelah kematian Hammurabi, para
penduduk koloni ketiga belas Inggris di Amerika Utara merasakan
bahwa raja Inggris memperlakukan mereka secara tidak adil. Para
perwakilan mereka berkumpul di Kota Philadelphia, dan pada
128
4 Juli 1776 koloni itu mendeklarasikan bahwa para penduduk
tidak lagi berada di bawah kekuasaan Mahkota Inggris. Deklarasi
Kemerdekaan menyatakan prinsip-prinsip keadilan yang universal
dan abadi, yang, sebagaimana Undang-Undang Hammurabi,
terilhami oleh kekuasaan Tuhan. Meskipun demikian, prinsip
paling penting yang diajarkan oleh dewa Amerika sedikit berbeda
dari prinsip yang diajarkan oleh dewa-dewa Babylonia. Deklarasi
Kemerdekaan Amerika menegaskan bahwa:
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh
Pencipta dengan hak-hak yang tak bisa diambil, antara lain hak
hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
Seperti halnya Undang-Undang Hammurabi, dokumen
pendirian Amerika menjanjikan bahwa jika tindakan manusia
sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang sakral, jutaan orang akan
bisa bekerja sama secara efektif, hidup aman dan damai dalam
warga yang adil dan makmur. Seperti halnya Undang-Undang
Hammurabi, Deklarasi Kemerdekaan Amerika bukan hanya
sebuah dokumen yang terikat waktu dan tempat—ia diterima
oleh generasi-generasi masa depan juga. Selama lebih dari 200
tahun, anak-anak sekolah Amerika menyalin dan mempelajarinya
dengan sepenuh hati.
Kedua naskah itu menyodorkan kepada kita sebuah dilema
yang jelas. Keduanya, yakni Undang-Undang Hammurabi
dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, mengklaim pernyataan
prinsip-prinsip keadilan universal dan abadi, namun menurut
orang Amerika semua orang setara, sementara menurut orang
Babylonia setiap orang sudah pasti tidak setara. Tentu saja, orang
Amerika akan mengatakan bahwa merekalah yang benar, dan
Hammurabi salah. Secara alamiah, Hammurabi akan menyergah
dialah yang benar, dan orang Amerika salah. Faktanya, keduanya
salah. Hammurabi dan para Pendiri Amerika sama-sama
mengimajinasikan sebuah realitas yang diatur oleh prinsip-prinsip
keadilan yang universal dan kekal, seperti kesetaraan atau hierarki.
Padahal, satu-satunya tempat yang memungkinkan prinsip-prinsip
uniersal semacam itu yaitu dalam imajinasi subur Sapiens, dan
Membangun Piramida
129
dalam mitos yang mereka ciptakan dan sebarkan. Prinsip-prinsip
ini tidak punya validitas objektif.
Mudah bagi kita untuk menerima bahwa pembagian orang
menjadi “kelas atas” dan “orang biasa” yaitu sebuah isapan
jempol imajinasi. Namun, ide bahwa seluruh manusia setara
juga sebuah mitos. Dalam pengertian apa seluruh manusia setara
dengan yang lainnya? Adakah realitas objektif, di luar imajinasi
manusia, yang di dalamnya kita semua benar-benar setara? Apakah
seluruh manusia setara dengan yang lainnya secara biologis? Mari
kita coba menerjemahkan baris paling terkenal dari Deklarasi
Kemerdekaan Amerika ke dalam terminologi biologis:
Kami berpendirian kebenaran ini ada dengan sendirinya, bahwa
semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dibekali oleh
Pencipta dengan hak-hak pasti yang tak bisa diambil, antara lain
hak hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan.
Menurut ilmu Biologi, orang tidak “diciptakan”. Mereka
berevolusi. Dan, mereka pasti tidak berevolusi untuk menjadi
“setara”. Ide kesetaraan terjalin erat dengan ide penciptaan.
Orang-orang Amerika mendapatkan ide kesetaraan dari Kristen,
yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki jiwa ciptaan
ilahi, dan seluruh jiwa setara di hadapan Tuhan. Namun, jika
kita tidak memercayai mitos Kristen tentang Tuhan, penciptaan,
dan jiwa, lalu apa maknanya bahwa setiap orang “setara”?
Evolusi didasarkan pada perbedaan, bukan pada kesetaraan.
Setiap orang membawa kode genetik yang berbeda-beda, dan
terpapar sejak lahir pada pengaruh-pengaruh lingkungan yang
berbeda-beda pula. Ini memicu perkembangan kualitas
yang berbeda-beda yang menjadikan peluang survival mereka
juga berbeda-beda. Oleh sebab itu, “diciptakan setara”, harus
diterjemahkan menjadi “berevolusi secara berbeda”.
Sebagaimana orang-orang tidak pernah diciptakan, maka
demikian pula, menurut ilmu Biologi, tidak ada “Pencipta”
yang “membekali” mereka dengan apa pun. Hanya ada proses
evolusi yang buta, tanpa tujuan apa pun, yang mengarah pada
kelahiran individu-individu. “Dibekali oleh pencipta mereka”
harus diterjemahkan begitu saja menjadi “dilahirkan”.
130
Demikian pula, tidak ada sesuatu yang dinamakan hak dalam
biologi. Yang ada hanyalah organ-organ, kemampuan-kemampuan,
dan sifat -sifat . Burung-burung terbang bukan
sebab mereka memiliki hak untuk terbang, melainkan sebab
mereka memiliki sayap. Dan, tidak benar bahwa organ-organ,
kemampuan-kemampuan, dan sifat -sifat ini “tak
bisa diambil”. Banyak dari mereka mengalami mutasi-mutasi yang
konstan, dan bisa hilang sama sekali dari waktu ke waktu. Burung
unta yaitu burung yang kehilangan kemampuannya untuk
terbang. Jadi, hak yang “tak bisa diambil” harus diterjemahkan
menjadi “ciri-ciri yang bisa bermutasi”.
Dan, apa sesungguhnya sifat yang berevolusi pada
manusia? “Kehidupan”, pasti. Namun, “kebebasan”? Tidak ada
hal seperti itu dalam biologi. Sebagaimana kesetaraan, hak,
dan liabilitas terbatas perusahaan, kebebasan yaitu sesuatu
yang diciptakan orang dan ada hanya dalam imajinasi mereka.
Dari sudut pandang biologi, tidak ada artinya mengatakan
bahwa manusia dalam warga demokratis yaitu bebas,
sedang manusia dalam kediktatoran tidak bebas. Dan,
bagaimana dengan “kebahagiaan”? Sejauh ini riset biologi gagal
menyodorokan definisi yang jelas tentang kebahagiaan atau
cara untuk mengukurnya secara objektif. Sebagian besar studi
biologi mengakui hanya eksistensi kesenangan, yang lebih mudah
didefinisikan dan diukur. Jadi, “kehidupan, kebebasan, dan
pencarian kebahagiaan” harus diterjemahkan menjadi “kehidupan
dan pencarian kesenangan”.
Maka, inilah garis dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika
yang diterjemahkan ke dalam terminologi biologi:
Kami mengakui bahwa kebenaran untuk ada dengan sendirinya,
bahwa semua manusia berevolusi secara berbeda, bahwa mereka
dilahirkan dengan sifat -sifat tertentu yang bisa
bermutasi, dan bahwa di antaranya yaitu kehidupan dan
pencarian kebahagiaan.
Para pendukung kesetaraan hak-hak manusia mungkin
jengkel dengan garis pemikiran ini. Respons mereka mungkin
begini, “Kami tahu bahwa orang-orang memang tidak setara
Membangun Piramida
131
secara biologis! Namun, jika kita yakin bahwa kita semua setara
secara esensi, itu akan memungkinkan kita menciptakan sebuah
warga yang stabil dan makmur”. Saya tak mau menentang
argumentasi itu. Inilah sesungguhnya yang saya maksud dengan
“tatanan yang diimajinasikan”. Kita memercayai suatu tatanan
tertentu bukan sebab secara objektif benar, melainkan sebab
memercayainya memungkinkan kita bekerja sama secara efektif
dan membangun warga yang lebih baik. Tatanan yang
diimajinasikan bukanlah konspirasi jahat atau fatamorgana yang
sia-sia, melainkan itulah satu-satunya cara manusia dalam jumlah
besar bisa bekerja sama secara efektif. Namun, camkan bahwa
Hammurabi mungkin akan mempertahankan prinsip hierarkinya
dengan memakai logika yang sama: “Saya tahu bahwa
orang-orang kalangan atas, orang biasa, dan budak, memang
tidak secara inheren jenis orang berbeda-beda. Namun, jika
kita yakin bahwa mereka berbeda, itu akan memungkinkan kita
menciptakan warga yang stabil dan makmur”.
Pe