luarga; rumah-tangga = rumah dan tangga-rumali, maksudnja
tempat kediaman; korong-kampung, tanah-air.
Pradja artinja Rakjat, dipakai dalam pertulisan Padang Rotjo.
Rakjat Seriwidjaja dapat dibagi atas tiga lapisan, jaitu: lapisan
atas, tengah dan bawah. Istilah jang menjatakan keseluruhan Rakjat
berbunji: hina-madhyamottamajati.
Perkataan hina-dina berarti seluruh Rakjat dalam bahasa Indo
nesia baru, memperingatkan kita kepada istilah tiga tingkatan itu,
seperti djuga dikenal dizaman Madjapahit.
b. Wilajat.
Untuk menjatakan daerah tanah dipakai istilah:
bhumi
tanah
watak.
Provinsi atau sebagian wilajat Seriwidjaja dinamai djuga
mandala.
216
Kata air masih tersimpan dalam istilah air-niminum (air imtuk
diminum) dan maksudnja: air minum.
Wilajat jang dikuasai oleh Seriwidjaja bernama „kadatuan
(^rlvijaya” , seluruli wilajah negara Seriwidjaja dinamai: Sakala
mandalana kadatuan.
c. Pemerintahan.
Istilah untuk menjatakan pegawai, buruh atau kepala-negara jang
mendjalankan pemerintahan, didapat dalam beberapa pertulisan,
seperti dilampirkan dibelakang, dan terutama dalam pertulisan
Telaga Batu.
Diantara istilah itu jalah:
Kepala negara dinamai datu, indera-radja, maharadja, hadji, nir-
pati, isjwara-bupati. Kepala-negara Seriwidjaja dipulau Emas
(Sumatera) dinamai menurut Piagam Nalanda: Suwarnadwipadhi-
maliaradja, dan kepala negara Seriwidjaja dinamai dalam pertu
lisan Ligor: Qrivijayanrpati, Qrivijayeqwarabhupati dan QrTvijayen-
draraja.
Dibawah datu berkuasa menteri dan pegawai-tinggi dibawah mar-
tabat menteri dinamai parvvanda.
Dari istilah ini berasal kata bendahara dan bendoro, jang berarti
penting dalam ketatanegaraan Melaju, Malaka dan Mataram.
Nama-nama pegawai jang lain jalah:
Radja-muda atau putera-mahkota dinamai:
bhupati
yuvaraja
pratiyuvaraja
rajakumara
(Telaga Batu, garis 20, 21 dan 22).
Pengangkatan mendjadi datu atau pegawai tinggi dinamai
samwarddhi.
Pegawai lain, baik dipusat atau didaerah dinamai:
rajaputra
samantaraja.
Pegawai pelaksana hakim dan panglima perang dipakai istilah:
seiiapati (panglima)
nayaka
pratyaya
Jiajipratyaya
dandanayaka (hakim)
murdhaka
217
Martabat menteri (amatya) terbagi atas:
mantri
kuniaramatya
cathabhata
adhikarana
Pegawai technici dikenal dengan nama:
kayastha
sthapaka (arsitek)
puhavam (pawang, serang)
vaniyaga (orang berniaga)
pratisara
marsT haji
hulun haji
Perlakuan pemerintahan jang harus dipatuhi, dikuatkan dengan
sumpah. Kesetiaan kepada negara dinamai: bhakti. Pengcnana an
( tida bhakti) kepada negara dinamai: durhaka, jang disa m ca am
pertulisan Kota Kapur dan Karang Berahi = drohaka. usu
negara: paracaksu.
Hukuman pengcliianatan jalah: bunuh atau: ivunuh, wan gun.
Hukum denda: dandaku danda (aku denda dengan denda).
d. Tudjuan negara Seriwidjaja.
Tudjuan negara jalah djaja atau kedjajaan, seperti tersimpul
dalam nama negara Seriwidjaja sendiri. Kedjajaan artinja e
menangan, kebesaran, sumarak atau kemegahan. Untuk e 1
menegaskan tudjuan kedjajaan itu, maka dalam pertulisan Ke u 'an
Bukit (683) disebutkan „QrIvijaya-jaya” , djadi dengan memakai
kata djaja sampai dua kali, seolah-olah pada waktu itu tida t ira
sakan lagi arti djaja dalam nama negara Seriwidjaja. Iva ima
Kedukan Bukit itu berbunji dengan lengkap: „QrTvijaya jaya
siddhayatra subhiksa” jang disalin oleh Prof. Dr. Poerbatjara a
kedalam bahasa Indonesia Baru mendjadi: Qrlvijaya (dari se a
dapat) menang (karena) perdjalanan sutji; lebih tegas kita me
njalin: djajalah Seriwidjaja dalam pengambilan berkat-selamat.
Djadi dalam nama negara Seriwidjaja tersimpul kata djaja ber
arti kedjajaan, jang mendjadi tudjuan negara. Kedjajaan itu
dikuatkan dengan mengambil berkat ketempat jang sakti. Ziarah
untuk mengambil (mangalap) berkat dinamai: Siddhayatra^
Pengalapan berkat itu, supaja mendapat „QrIvijaya-jaya-siddhayatra
disebutkan dengan djelas, seperti telah diterangkan diatas tadi itu,
dalam pertulisan Kedukan Bukit bertaricli 683, ketika kedatuan
Seriwidjaja dibentuk dengan berpusat dikota Pelembang sekarang
ini.
218 1
H. KEKUASAAN RADJAKULA SJAILfiNDERA JANG ME-
NGENDALIKAN PEMERINTAHAN NEGARA SERIWIDJAJA.
A. Radjakula Sjailendera.
B. Anggota radjakula Sjailendera.
A. Radjakula Sjailendera.
Adapula pengartian dinasti atau radjakula jang bernama Sjailen
dera itu tersimpul dalam istilah Qailendera-ivamga; anggota radja
kula Sjailendera itu dinamai hiasan dinasti Sjailendera atau
Qailendrawanca-tilakah. Istilah wanqa memang tempat asalnja
perkataan Indonesia bangsa, tetapi wanga tidaklah berarti susunan
masjarakat jang sama maksudnja dengan nation, seperti dalam
istilah Bangsa Indonesia, melainkan berarti radjakula atau dinasti
monarchi jang beranggota kepala negara jang memegang kekuasaan
pemerintahan.
B. Anggota radjakula Sjailendera.
Nama-nama anggota radjakula Sjailendera telah banjak jang dike-
taliui, baik tentang bunji djulukannja ataupun tarich-tahunnja.
Banjak pula nama jang masih gelap dan tariclinja belum dapat
ditetapkan. Penjelidikan tentang kedua hal itu masih berdjalan.
Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja dinamai dalam bahasa Indo-
nesia-lama dengan kata-gelar Datu; djuga kepala mandala (provinsi)
jang tunduk kepada pusat pemerintahan negara Seriwidjaja bergelar
datu. Datu dipusat pemerintahan bergelar dalam bahasa Sangsekerta
Seri Maharadja. Sebagai peninggalan dalam adat-kebiasaan Minang
kabau maka gelar Datuk Seri Maharadja (Datuak Sari Maharadjo
dirad jo ) jalah waris pusaka dalam suku Koto-Piliang; disana gelar
waris itu ditegakkan sedjak Aditiawarman, barangkali djuga sebagai
pemegang-waris dari keradjaan Melaju sebelum abad XIV.
Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja dinamai dalam bahasa Sang
sekerta dengan memakai istilali-liukum menurut pertulisan Vat
Sema M uVng (BEFEO, XVIII, 6; hal. 29-30)
Qrlvijayend ra ra ja
Qrivijayeqvarabhupati
Q rlvijayanrpat i
Qrimaliaraja.
Istilah inderaradja, isjwarabhupati, nrpati dan seri maharadja
jalah gelar-kebesaran serta pada hakekatnja salinan dari pada gelar-
asli datu jang berkuasa dipusat negara Seriwidjaja.
219
B. Anggota radjakula Sjailendera.
Dibawah ini dimadjukan beberapa nama jang mendjadi anggota
radjakula Sjailendera dan Siguntang, sebagai tjabang dari pada
radjakula Sjailendera jang menguasai negara Seriwidjaja. Nama-
nama itu berasal dari beberapa pertulisan berbahasa Indonesia-
lama, Djawa-lama, Sangsekerta, Tamil, Arab dan Tionghoa.
1. Djajanaga; Dapunta Hiang.
Nama Dapunta Hiang Seri Djajanaga tersebut dalam pertulisan
berbahasa Indonesia-lama dengan bertarich 684 Masehi dan berasal
dari sebuah kampung dikota Pelembang Hilir bernama Talang Tua.
Krom membatja Djajanasja, sedangkan Stutterheim: Djajawaga.
Nama Djajanaga memperingatkan kita kepada kata djaja dalam
nama negara Seriwidjaja, sedangkan naga memperingatkan kita
kepada ular-naga berkepala tudjuh (sapta-sarpantaka) jang mema-
jungi pertulisan Telaga Batu. Gelar Dapunta Hiang tertulis pada
pertulisan jang bertarich tertua di Asia Tenggara, jaitu pertulisan
Kedukan Bukit bertarich 682. Dapunta Hiang jalah Jang Dipertuan
dan maksudnja Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja. Beliaulah jang
meinbuat aman Seri-Setra (Qrlksetra) dikota Pelembang sebagai
perdjandjian nazar, bahwa segala tumbuhan jang ditanam dan keba-
djikan jang dibuat adalah untuk kebaikan machluk jang hidup-
Perdjandjian jang sedemikian, menurut Coedes adalah pranidhana
jang dikenal kepustakaan agama Buda. Pada zaman Djajanaga itu
telah berkembang pula agama Buda Tantera, seperti dinjatakan
dengan istilah ivajracarira pada pertulisan Talang Tua, djadi sesuai
dengan adjaran Yogacarya jang waktu itu berkembang ditanah
Benggala seperti diadjarkan oleh pudjangga di Perguruan Tinggi
Nalanda, dan tersiar ketanah Djawa dengan melalui kedatuan Seri-
widjaja dizaman Djajanaga.
Bat jalah Krom, HJG, hal. 122.
2. Seri Maharadja Djita-indera.
Menurut Dr. Brandes adalah dalam zaman Sjailendera di Djawa
Tengah sedjilid naskah agama bernama Amaramala, jang mungkin
disalin dari naskah Amarakosa karangan Amarasimha dalam bahasa
Sangsekerta. Dalam naskah itu terdapat kamus Tjandakirana diatas.
Dr. Brandes. Opstellen, I, 1889; hal. 130.
Pada permulaan naskah-lontar Tjandakirana jang ditemui oleh
pelukis Raden Saleh tersebut nama Seri Maharadja Djita-indera,
anggota kaluarga Sjailendera.
220
Menurut Dr. Brandes naskah itu mungkin berasal dari tahun Sjaka
700. Menurut persangkaan kami, setelah pembatjaan pertulisan Ke-
Iurak oleh Dr. Bosch, maka Djita-indera mungkin dapat disamakan
dengan Dharani-indera, djadi memberi alasan kepada persangkaan
Dr. Brandes dari tahun 1882.
Kepustakaan tentang Djita-indera adalah sebagai berikut:
Holle : Het Sanskrit-oud. Jav. woordenboek, TITLV,
X V I; hal. 461.
H. Kern : Travaux du 6-me Congres des orientalistes,
III, 2, hal. I.
Dr. Brandes : Opstellen, I, 1889; hal. 130.
Dr. A' J. Krom : HJG, Amaramala, hal. 149-152.
3. Lieou-t’eng-wei-kong, 742.
Radja Fo-Che (Seriwidjaja) bernama Lieou-Teng-Wei-Kong
mengirimkan puteranda pada tahun 728 dan 742 sebagai utusan
ketanah Tiongkok. Bagaimana nama Tiongkok itu harus dibatja
dengan bunji Indonesia, belumlah djelas. Batjaan Prof. Poerba-
tjaraka supaja berbunji Raeng way agong = „Radja diair besar”
atau „Radja dilautan besar” (Poerb. Riwajat Indonesia I, hal. 47;
Damais: BEFEO, 1957; hal. 625), dianggap oleh Damais sangat aneh,
karena seorang kepala negara Seriwidjaja memakai nama dalam
bahasa Djawa-baru.
4. Seri Dharani-warman.
Menurut Paul Pelliot dalam karangannja Deux itineraires (hal.
334-335), maka pada tahun 724 kepala negara Seriwidjaja (roi du
Che-li-fo-che; Ferrand, L’empire sumatranais, hal. 217) mengirim
kan utusan ke-Tiongkok dan mendapat gelar Che-li-t’o-lo-pa-mo,
jang dibatja oleh Ferrand, walaupun dengan tanda tanja: Qrindra-
varman (Ferrand, hal. 8). Menurut dugaan kami penjalinan nama
itu ada djuga harganja, karena dalam nama Che-li-p’o-ta-t’o-a-la-pa-
mo, radja Cho-p’o pada tahun 435, djuga tersembunji kata seri dan
warman. Adapun gelar jang diberikan radja Tiongkok kepada Seri
Indera Warman berbunji: tso-wei-wei-ta-tsing-kiem belumlah dapat
dibatja, tetapi Damais mcnjalinnja dengan: Grand qeneral de la
garde de l’Oisseau d’Or de gauche. Tepat sekali pendapat Damais
jang menjamakan nama kandji itu dengan Seri Dhara ('nij-warmma
dengan menghilangkan suku kata Ni, dan menjalin t’o-lo dengan
Dha-ra. Daraniwarman jalah Indera-darani-warman menurut pertu
lisan Kelurak, bertarich 782. Sekiranja ini benar, maka Darani
warman meninggal paling achir pada tahun 744, djadi tarich ini
sangat terlalu tua djikalau dibandingkan dengan tahun 782 menurut
tarich pertulisan Kelurak, jang berbeda 42 tahun; perbedaan tarich
itu belum dapat didjelaskan.
221
Nama radja diatas dengan djelas dikatakan masuk radjakula
Qailendravangatilaka, seperti tersebut dalam pertulisan Kelurak ber
bahasa Sangsekerta dan bertarich Sjaka 704 (Masehi 782), seperti
disalin dan disiarkan oleh Prof. Dr. F.D.K. Bosch.
Dalam pertulisan Kelurak djuga tersebut nama anggota Sjailen
dera Warawairnvarawirawi-mardana dan Dharnvasetu, pada baris 13
dan nama Qri Sanggramadhanamjaya pada baris 20. Menurut ke-
terangan diatas, maka jang memakai nama abiseka Dliaranindra-
warman jalah rupa-rupanja Waisriwarawiraivi-mardani sendiri, jang
mendjadi nenek Balaputera-dewa atau ajah Samaragra. Beliau
mungkin meninggal pada permulaan abad VIII, djadi niungkin
sekali masih berkuasa pada ketika pertulisan Kelurak diguris pada
tahun 782 Masehi.
5. W airi-war a-wirw-mardana.
^7fmmTvailgg*ta ? jail6ndera ini tersebut pada pertulisan Kelurak
j. ama itu diulang sebagai anggota Sjailendera dalam pertu-
isan ieor an berbunji: Sarwwari-madawi-matJiana, sedangkan
menurut pertulisan Nalanda jang tidak bertarich itu berbunji:
anggota bjailendera Wira-wairi-mathana. Artinja ketiga nama itu
*{T7K\ JaitU Pe.mblln.uh Musuh Pahlawan. Dalam pertulisan Kalasan
nama itu djuga ditemui dan berbunji: Dhara ni-indera-
warman. J
w i^ 6nUr,i t Per.tl̂ *san Nalanda maka ditegaskan, bahwa Wairi-wara-
/’Y jhaT'v!!" 3n**\ seorang radja jang memerintah ditanah Djawa
tilnk ̂ masuk radjakula Sjailendera (^ailendra-wain^a-
dewJT 3n • erPuterakan Samaragri-grawira, dan berkawin dengan
Emas Pu*era Balaputera-dewa, radja Pulau
pada^ahun^ft^1 dltetaP^an bahwa radja Samaragrawira meninggal
berapli’ L- i ’ m a dapat dikirakan bahwa W.w.W.-marda-na
m u n .lc ilu iaSaann]a pada Perinulaan abad V III; oleh sebab itu
m e n u t 3 *a ^ radja Sjailendera Dharan-indra (warman)
le DremiA61/^ lsan Kalasan 778: on constate que vers 775 /778 ,.......
ennemis” * * e. ra d’Indonesie, Dharanindra, ’ ’tueur des lieros
Rtrniait exercait sa souverainete sur le centre de Java ou il con-
contRriiirA meme, 8 temples boudhuiques (Kelurak) ou en faissait
(Kala«an\ & ra â ôca ̂ Panangkaran successeur de Sanjaya
m a lZ ^ U g o r 'B T V e T P 8 f * “ 8Ur leRon kr-itnn * • u sa residence, if l’emplacement de
taines” Di-Tl- 1J?c®nnu> et ses relations avec Qrlvijaya restent incer-
Wairi-wara-wirp.i!, aPJltera anak Samarauttungga atau tjutju
Siailendpra * £Via’ n ^etiga-tiganja anggota radjakula
kidatuan Seri^Ijaja 83 di‘anah Dji>Wa da“ Sumatera dala“
222
6. Samara-agrawira-tungga.
Dalam pertulisan Karang Tengah 824 tersebut nama Samara
tungga sebagai radja Sjailendera, dan nama itu disamakan dengan
Samaragrawira menurut pertulisan Nalanda. Djadi dialali jang
mendjadi ajat Balaputera-dewa dan puteri Pramodawarddhani.
Menurut pertulisan Ratu Baka bertarich 856, maka pada tahun itu
Balaputera berpindah dari tanah Djawa menudju Pulau Emas
(Sumatera) dan mendjadi kepala negara Seriwidjaja. Radjakulanja
tetap Sjailendera.
7. Pramoda-wardani.
Nama Pramodawardani tersebut dalam pertulisan Karang Tengah
bertarich 842 dalam bagian berbahasa Sangsekerta sebagai anak-
puteri Samaratungga, hiasan kaluarga Sjailendera, Prass. hal. 45-46.
Dr. de Casparis menjamakan puteri Pramodawardani dengan Seri
Kehuluan menurut pertulisan (Jrl Kahuluan. Prass. Indon. I.
Djadi apabila pertulisan Karang Tengah ditemukan dengan per
tulisan Nalanda, maka njatalah bahwa Puteri Pramodawardani
jalah kakak Balaputera-dewa, jang berpindah pada tahun 856 dari
Tanah Djawa kepulau Sumatera, menurut pertulisan Ratu Baka
856. Perkataan bala dalam nama Balaputera menundjukkan bahwa
dia jalah putera bungsu jang berkakak Pramodawardani.
Karena nama puteri itu ditulis pada tjandi Plaosan disebelah
nama Ratu Rake Pikatan, maka Dr. de Casparis dengan beralasan itu
menjangka, bahwa puteri itu sebagai anggota Sjailendera berkawin
dengan Rake Pikatan (Rake Garung) sebagai anggota radjakula
Sendjaja. Prass. Indo. I.
Setelah tahun 856, maka nama Sjailendera hilang lenjap dari
pulau Djawa, tetapi turunan Pramoda-Pikatan terus memperingati
turunannja dengan memakai kata tunggal (Tonggak dalam nama
abiseka: barang mendjulang, jaitu Sjailendera) pada nama kebe-
sarannja.
8. Balaputera-dewa.
Dua kali namanja tersebut, jaitu dalam pertulisan Nalanda jang
tak bertarich, tetapi sebelum perang dunia II telah dikirakan oleh
Dr. Bosch berasal kira-kira dari tahun 860. Sesudah pertulisan Ratu
Baka ditemui, dibatja dan disalin oleh Dr. de Casparis sesudah
perang dunia II, maka ternjata tarich dugaan itu mungkin sekali.
Oleh karena pertulisan Karang Tengah membuat nama samaratung
ga jang dinamakan dengan Samaragrawira menurut pertulisan Na
landa, maka njatalah Balaputera-dewa dan puteri Pramoda-wardani
itu bersaudara, apalagi karena kata Balaputera artinja anak-bungsu,
sehingga puteri Pramodawardani jalah anak sulung, jang bertinggal
dipulau Djawa ketika Balaputera pada tahun 856 berpindah ke-
223
pulau Emas (Suwarnabhumi). Jang mendjadi ibunja jalah Dewi
Tara, anak Darmasetu jang bukan anggota Sjailendera, melainkan
menurut pertulisan Nalanda masuk bangsa Bulan (Soma-wangsa).
Timbullah pertanjaan siapa jang bernama Darmasetu itu.
Dengan tegas ternjata, bahwa Balaputera baik dipulau Djawa
ataupun sesudah bersemajam dipulau Sumatera tetap mendjadi
anggota radjakula Sjailendera. Dialah jang berpindah dari Djawa
Tengah sebagai mandala Seriwidjaja di Djawa Tengah dibawah
kekuasaan radjakula Sjailendera menudju kepulau Sumatera dan
mendjadi kepala negara Seriwidjaja, jang memberi wakaf lima
desa ke Biara Besar di-Nalanda, kira-kira pada tahun 860.
Balaputera jalah jang mempunjai turunan radja Seriwidjaja
masuk radjakula Sjailendera dalam abad-abad sesudali abad X,
dengan namanja:
Tjuda-mani-ivarman
Seri Marawidjaja-uttunggawarman
Sanggrama-widjaja-uttu nggawa rman
Adji Sumatera-bhumi.
9. Tjuda-mani-warma-dewa, 1003 — 1005.
Dalam abad kesebelas pemerintahan negara Seriwidjaja berturut-
turut dikenalkan oleh enara kepala-negara, jaitu:
1. Seri Tjuda-mani-warma-dewa
2. Mara-widjaja-uttungga-warman
3. Seri Darmapala
4. Adji Sumatera-bhumi
5. Sanggrama-widjaja-uttungga-warman
6. Seri Dewa
Dalam naskah babad Song Che (960-1279) disebutkan, bahwa pada
tahun 1003 v 1
ui ;
radja Sseuli-tchou-lo-wou-ni-fo-ma-tiap-houa (Coedes:
^rTculamanivarmadeva) mengirimkan dua orang duta dengan mem-
bawa kabar, bahwa dinegerinja telah dibangun Tjandi Bungsu. ̂
Nama radja Seriwidjaja itu tersebut lagi dalam Piagam Raja
jang kini disimpan dikota Leiden, jang menjebutkan bahwa beliau
jalah ajahanda radja Mara-widjaja-uttungga-warman.
10. Mcirci-tuidjaja-uttungga-warnian.
Nama beliau tersebut dalam Piagam Raja dikota Leiden sebagai
putera radja Tjuda-mani-warma-dewa, seperti didjelaskan diatas.
11. Adji-sumutera-bhumi, 1017.
Kepala negara Seriwidjaja bernama Hia-tch*e Sou-wou-tch*a- p ’on-
mi mengirimkan duta ke Tiongkok membawa seputjuk 6urat tertulis
dan surat.
224
Dalam nama dengan aksara kandji itu tersimpan nama gelar
Hadji (kepala negara, radja) dan bumi Sumatera, pertama kalinja
dalam sedjarah. INama Samudera tak tersimpul dalamnja. Su-matra
dan Su-warna (dwipa) adalah satu pengertian dengan dua perkataan,
karena warna dan matra dalam kedua nama (Suwarna =
emas) dan Su-matra = dapat difahamkan lebih lekas
dari pada membawa pengartian Samudera = Lautan kedalamnja.
12. Seri dewa, 1028.
Menurut babad Song Che, maka pada tahun 1028 dalam bulan
ke-8 radja San-fo-ts’i (Seriwidjaja) bernama Che-li-tie-houa (Ch. 1.
t.-hwa) mengirimkan duta ke-Tiongkok. Nama itu disalin oleh
Ferrand mendjadi £rldewa. (J.A. 1922; n : 20, hal. 20).
HI. KESIMPULAN.
Selandjutnja penjelidikan sedjarah dapat disimpulkan, bahwa
pemerintahan Seriwidjaja, baik dipusat ataupun dimandala, diken-
dalikan oleh radjakula Sjailendera, sehingga ternjata hubungan
antara negara dengan pemerintahan, jang tak dapat dipisah-pisah-
kan. Kita memadjukan hanja beberapa alasan jang memperkuat
pendirian itu.
Pertama:) Balaputera, jang berpindah dari Djawa ke Sumatera
pada tahun 856, tetap mendjadi anggota radjakula Sjailendera, baik
ketika di Djawa Tengah sebelum tahun 856 ataupun sesudah tahun
itu ketika sudah mendjadi kepala-negara Seriwidjaja dipulau
Sumatera.
Kesimpulan jalah: Sjailendera nama dina&ti dan Seriwidjaja nama
negara jang dikuasai oleh dinasti tersebut.
Kedua: Kepala negara Seriwidjaja dinamai menurut pertulisan
Vieng Sa QrTwijayewarabliupati, Qriwijayendraraja dan menurut
pertulisan Nalanda Suwarnadwipadhipamaharajct, dan dengan tegas
ternjata bahwa segala kepala negara itu jalah anggota dinasti Sjai
lendera, sehingga menimbulkan kesimpulan jang sama pada angka
pertama.
Ketiga: Menurut Piagam Raja dikota Leiden maka anggota
radjakula Sjailendera bernama Marawidjaja-uttunggawarman putera
Tjudamaniwarman, mendjadi radja menguasai Kataha dan Seriwi
djaja, sehingga ternjata lagi hubungan antara negara dan dinasti
dalam rangka kesatuan tatanegara.
Keempat: Istilah Qailendra-vanqa, Qailendraraja sama isi dan
maksudnja dengan istilah Radja-radja Melaju atau Radja-radja
turunan Siguntang, karena dalamnja tersimpan urat kata Sjaila-
malai-gunung, jang membawa hubungan jang sangat rapi antara
225
150/B (15)
\
naluri sedjarah dengan kepertjajaan dan kesatuan tatanegara, itupun
lepas dari djawaban pertanjaan dimanakah lelaknja Malayu atau
Bukit Siguntang.
Sampailah tindjauan ini kepada bagian penutup. Pada saat itu
penulis berasa gembira dapat menghidangkan hasil pembatjaan dan
penjusunan kembali negara Seriwidjaja jang getua keradjaan
Rumawi karena mengisi ruangan waktu, selama satu millenium
atau 10 abad. Hasil penjelidikan jang memuaskan hati penulis itu
adalah dimungkinkan oleh karena dapat mempergunakan balian-
bahan lama dan baru jang ditemui sebelum dan sesudah perang
dunia kedua dan dengan mempergunakan pula ilmu penge-
taliuan hukum-negara Indonesia sebagai ilmu pembantu dan selan-
djutnja karena berhasil memberi tempat kepada hasil penjelidikan
itu kedalam kerangka sedjarah nasional Indonesia jang kini mem*
perhitungkan faktor kemerdekaan dalam penjusunan-kembali
sedjarah negara nasional Indonesia jang kesatu Seriwidjaja dibawah
kekuasaan radjakula pemerintahan Sjailendera. Hal itu baru mung
kin setelah semangat penjelidikan didorongkan oleh Amanat Pro
klamasi Kemerdekaan 1945 kepada dunia kesardjanaan Indonesia.
Kita tidak mentjari tempat asalnja itu Sjailendera keluar tanah
Indonesia, melainkan hanja meminta perhatian, bahwa dalam
pemudjaan nenek-mojang orang Indonesia sedjak purbakala
melakukan pemudjaan „barang jang mendjulang kelangit
(gunung, bukit, pohon, lingga, tiang, tunggak) dan kepertjajaan
ini adalah asli dan sesuai dengan kepertjajaan kesaktian. Dalam
istilah Sjailendera dan Malayu tersimpul pemudjaan gunung atau
bukit: sjaila, malai, gunung, giri, dan prawata. Nama Siguntang
adalah ringkasan dari si-gunung-dapun-tahiang, seperti 6ebagiau
tersebut dalam nama Dapunta-biang, kepala negara Seriwidjaja
pada pengliabisan abad VH. Radjakula Sjailendera jalah radjakula
Indonesia asli, jang berurat kepada kepertjajaan dan keperihadian
Indonesia sendiri.
Pembatjaan kembali seluruh kepustakaan Seriwidjaja sedjak
tahun 1876 dan kini dengan memperhitungkan faktor kemerdekaan
dan menurutkan pendapat Prof. A. Toynbee, sehingga dapatlah
sedjarah Seriwidjaja selama seribu tahun dibagi atas 4 dewasa,
jaitu: zaman terbit (genesis; abad IY-683); zaman pertumbuhan
(growth; 683-1178); zaman keruntuhan (breakdown; 1178-1286) dan
zaman hilang-tenggelam (disintegration; 1286-1406). Dengan demi-
kian maka dapatlah ditempatkan sedjarah negara Seriwidjaja
dibawah radjakula Sjailendera dalam rangka kesatuan-tatanegara
pada babakan nasional, jang berachir dengan Singasari-Madjapahit
zaman kedua dalam babakan ketiga ditahun 1525.
226
Hasil penjelidikan jang menggirangkan diatas mungkin meng-
gembirakan pula sardjana hukum adat van Vollenhoven, jang men-
tjurahkan perhatian kepada kehidupan sedjarah hukum Indonesia,
itupun sekiranja beliau masih hidup, karena sardjana itulah jang
kagum melihat kemadjuan penjelidikan sedjarah Indonesia dalam
zaman 1918-1928, sehingga pada 1931 dapatlah dibatja djeritan
djiwa seorang ahli jang ikut bersuka hati melihat perkembangan
jang memuaskan, seperti dituliskannja dalam naskah nja 9iHet Adat-
recht” (II, hal. 8067; tentang Rechtsverleden van Indonesiers):
Van de adatreclitsstudie der toekomst moet, als maar het historisch
materiaal genoegzaam kan worden verrijkt en door rechtsvergelijking
sprekend kan worden gemaakt, de liistorische beschrijving niet een
aanhangsel blijven, maar het raam, de lijst, het kader worden. Ook
hier gelden de gedachten, die in 1815 Van Savigny, Eichhom en
Goschen bewogen tot hun Zeitschrift fiir geschichtliche Rechtswis-
senschaft. Binnen zoo korten tijd is, door een reeks gelukkige
vondsten, een gansclie historie van oud-Sumatra en oud- Java op-
gedoken voor ons verraste oog, dat ook voor de historie van het
Indonesische recht moedeloosheid niet past” .
Dan kongres MIPI pertama dikota Malang memasukkan sedjarah
Seriwidjaja kepintu gerbang pembatjaan dan penjusunan kembali
dan pada kongres kedua dapatlah kita siarkan hasil jang tertjapai
sampai ketahun 1962, tahun pembebasan Irian Barat.
227
PASAL XVL
PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN MADJAPAHIT
DARI 1293 SAMPAI 1525 MASEHI
PASAL XVI.
PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN MADJAPAHIT
DARI 1293 SAMPAI 1525 MASEHI
231. Dalam pasal X telah kita bentangkan tentang pertumbuhan
hukum Madjapahit. Hal itu kita lakukan tentang hukum Madjapahit
setjara umum. Dalam pasal XVI jang kita hadapi ini tindjauan
hukum itu kita beratkan dan pusatkan kepada hukum ketatanega
raan Madjapahit, djadi hanja tertudju kepada bagian ketatanegara
an sedjak dari tahun 1293 ketika bermulanja negara Madjapahit
sampai kepada acliirnja, kira-kira pada tahun 1525 Masehi. Bidang
itu tjukup luasnja untuk diselidiki dan liasil-hasil penjelidikan itu
kita eimpulkan.
Hukum tatanegara dan tatapradja, serta hukum pidana jang ber
laku dalam masjarakat Madjapahit jalah hukum-kebiasaan Indone
sia. Hukum agama Sjiwa dan Buda hanjalah berhubungan langsung
dengan gerak-gerik kesusilaan dan hidup kebatinan manusia;
hukuman pelanggaran kesusilaan hampir tak ada hubungannja
dengan liukuman-pidana nasional, malahan diantara pelanggaran
kesusilaan banjaklah jang tidak diantjam dengan hukuman duniawi,
melainkan tjukup dit.impa dengan tjelaan belaka atau hukuman-
mazhab atau desa pada liari acliirat. Memang hukum-kesusilaan itu
banjak pengaruhnja kepada peradaban, kebatinan dan tingkah-laku
manusia, tetapi hukuman duniawi sebagai sanction jang berupa
hukuman denda, hukuman-bunuh atau bermatjam-matjam hukuman
lain jang benar-benar berlaku dalam masjarakat tidaklah mendjadi
unzur azasi pada hukiun-kesusilaan Indonesia selama pemerintahan
Madjapahit berkuasa.
Ada kalanja dalam kepustakaan lama dipakai istilah hukum Hindu
dalam rangka hukum kebiasaan dizaman Madjapahit. Pemakaian
istilah itu banjak menjesatkan; oleh sebab itu harus dibatasi dan
didjelaskan.
Adapun perkataan Hindu dalam istilah hukum-Hindu berhubung
an hanja dengan gedjala-gedjala agama dan peraturan ibadat belaka,
dan tidaklah menundjukkan perseorangan atau kebangsaan. Walau-
pun ditanah Birma dikenal hukum Buda berupa dlmmmasatth atau
dharmagastra, tetapi dalam kepustakaan Djawa-lama dan Bali
tidaklah hal jang sedemikian. itu dikenal, seperti Sailan tidak me-
ngenalnja. Sangatlah gandjil oleh sebab itu tempatnja naskah hukum
Hindu berbahasa Djawa-lama didudukkan dalam naskah Hindulaw
and Custum karangan Julius Jolly (1928) pada pasal § 13. Buddhist
lawbooks (hal. 89— 95), walaupun seperti diketahui van Vollen-
231
hoven telali memperingatkan kechilafan itu dalam naskah nja Het
Adatrecht II (hal. 132) sudah pada tahun 1931 ketika karangannja
diterbitkan berhubungan dengan naskah Jolly itu jang berbahasa
Djerman Recht und Sitte (1896 hal. 41— 44).
Seluk-beluknja peraturan-agama Hindu dengan kehidupan hukum
kebiasaan, seperti berlangsung dalam perdjalanan sedjarah Indo
nesia, telah diselidiki sedjak permulaan abad ke-19 sampai keabad
sekarang, jaitu diantaranja oleh sardjana: Raffles, Crawfurd, Jonker,
Juynboll, Friederich, Brandes, Kern, Krom, Vollenhoven, Korn,
Lekkerkerker, Soebroto dan Naerssen. naskah karangan para-sardjana
itu didapat dibagian kepustakaan. Dalam karangan ini penjelidikan
itu dilandjutkan dalam batasan pertanjaan, kitab hukum Hindu
manakah jang dikenal selama negara Madjapahit berkuasa dan
bagaimanakah perhubungannja dengan kehidupan-hukum Indo
nesia pada babakan jang bersangkutan, serta sampai kemanakah
kitab-kitab hukum Hindu itu mempengaruhi kesusilaan dan kehi
dupan-hukum kebangsaan.
Kitab peraturan hukum Hindu seperti dikenal dalam sedjarah
kebudajaan Indonesia mula-mulanja dikemukakan pada permulaan
abad ke-XIX oleh dua orang pengarang Inggeris, jaitu: Raffles
dalam naskah nja The history of Java (1817, hal. 438 dll.) dan
Crawfurd dalam karangannja History of the Indian Archipelago
etc (1820). Lebih mendalam pengetahuan Friederich tentang hal
tersebut, sebagai bagian dari pada kepustakaan Djawa lama dipulaii
Bali; disebutkannja dalam naskah nja Voorloopig Verslag v.h. Eilan
Bali (VBG, 1849) tidak kurang dari pada 12 nama kitab liukuni
sastera.
Dengan mengumpulkan kedua-belas nama kitab hukum Hindu
jaitu: DJmrmagastra atau Smrti jang pernah dikenal dipulau Djawa
dan Bali seperti dikemukakan oleh sardjana Dr. Juynboll (BKI,
LXXI, hal. 568 — 569) dan Dr. Friederich (Bali, )? maka
Dr. R. C. Majumdar dalam naskah nja Suvarnadvipa (1938; hal. 1 3)
menjebutkan satu-persatu, jakni: 1. Sarasamuccaya; 2. Syara Jamba;
3. Sjiwasjasana; 4. Purvadhigama; 5. Purvtuigama berbahasa Bali;
6. Deyagama (Krtopapati); 7. Kutaramanava; 8. Gadjah Mada;
9. Adigama; 10. Kerta Sima; 11. Kerta Sima Subak dan 12. Pasvara.
Diantara segala kitab jang 12 buah itu tidaklah semuanja berhu
bungan langsung dengan dunia-liukum Madjapahit.
Adapun peraturan-peraturan agama Sjiwa pada mulanja bersom
ber kepada pemudjaan Manu jang dimuliakan ditanah India atau-
pun djuga dahulu dibeberapa bagian ditanah Indonesia sebagai
pembentuk, penjusun atau pentjipta peraturan-peraturan keagainaan
Hindu. Malahan didalam kitab Cewaqasana sebagai pembuat per
aturan agama dimuliakan dengan nama „bhattura prabhu Manu,
paduka gri maharaja” jang berkuasa sebagai rahyangta ri Mdang
232
(Pigeaud, Tantu Panggelaran, 1924, hal. 300 — 301). Begitu pulalah
halnja sampai kezaman Madjapahit jang memangku paduan agama
berpilin tiga: tindjauan ruhani kesaktian, Kesjiwaan dan Keasauga-
taan. Seperti diketaliui peraturan hukum-agama dinamai vyavahara
sebagai bagian dari pada keagamaan dan kesusilaan; kitab hukum-
agama bernama dharma^astra.
Peraturan-peraturan Mann telah beberapa kali diterbitkan selu-
ruhnja di Eropah dan di India, baik dalam bahasa Sangsekerta
ataupun menurut salinannja. Dalam abad jang lampau Georg Buhler
menerbitkan peraturan Manu dalam Sacred Books of the East 1886,
dan oleh Nurayan Mandlik dalam Manava-dharma Satra (1886).
Setahun sesudah itu pada tahun 1887 telah diterbitkan pula
karangan J. Jolly berisi peraturan-peraturan Manu dengan bernama
Manava Dharma Sastra berbahasa Sangsekerta dengan berhuruf
dewanegari; kitab hukum itu terbagi atas 12 naskah .
240. Sebelumnja kita menindjau lebih landjut tentang perkem
bangan hukum Hindu di Indonesia terutama pada zaman Madja-
p ah it, maka lebih dahulu kita madjukan tjatatan berisi beberapa
istilah Sangsekerta seperti pernah dipakai dalam kepustakaan Djawa-
lama.
Kesatuan-liukum desa dengan berhak autonomi menurut hukum
adat Indonesia pada waktu sekarang, dikenal djuga dalam piagam
(gasana; prasasti) dengan nama lain, jaitu: swa grama (grama); kota
tempat kediaman bernama pura. Pertulisan Pelumpungan (752)
menamai desa Hampran (Prampelan) dengan perkataan: Hampra-
grama. Jang mendjadi inti dari pada susunan masjarakat jalah
kesatuan-kaluarga jang dinamai hula; dan diatas kesatuan ini ter-
susun kesatuan jang lebih tinggi, jaitu gotra, jang beranggota
eenama (gotraja; sagotra). Kesatuan-kaluarga jalah bersifat persa
tuan harta-benda, perumahan, penjembalian nenek-mojang, dan
kedewaan bersama. Perkumpulan didirikan untuk mengerdjakan
perusahaan-hidup dan untuk kepentingan agama dengan memakai
pelbagai nama, seperti: gana, puga dan greni.
Kesatuan-desa dan kesatuan kaluarga disalin dalam bahasa
Inggeris dengan nama: joint villages (village communities) dan joint
families. Jang mengepalai kaluarga bernama grhin.
Berhubungan dengan perseorangan dalam masjarakat dikenal
istilah warna jaitu kasta jang empat: berahmana, seteria, waisja dan
sudera. Ketiga kasta jang paling tinggi dianggap mendjalani pen-
djelmaan jang dua kali (dwidja). Orang tani dizaman Madjapahit
dianggap meliputi djuga orang 6audagar. Wakaf didirikan menurut
surat wakaf (gasana).
233
Hukum Hindu mengenal dewan dewa (sabha), selainnja dan pada
pengurus jang melaksanakan pemerintah desa (samuha). Kepala
desa (gramadhipa, gramani) diangkat oleh radja dan pangkat 1 u
diwariskan turun-temurun untuk mendjalankan keamanan a
pemungutan tjukai.
Menurut darmasastera maka radja djuga mempunjai kekuasaan
memberi putusan dalam peradilan, baik sendiri ataupun dengan
bantuan beberapa anggota jang bernama sabhyah. Apabila radja
berhalangan, maka beliau digantikan oleh wakil jang ahh c aam
hukum Hindu oleh pradiwaka. Adalah hakim rendah (dliarmastha),
dan ada pula jang bagian tinggi (prndestar). Dewan-hakim atau
mahkamah-agama berlainan dari pada rapat-ulama ( pan 5
tidak memutuskan peradilan, melainkan bersidang untu
hilangkan pertikaian pengartian terhadap isi kitab sa&tera
agama. Hakim agama dinamai: dharmadhikarin; naina ra , J* »
dipakai dipulau Bali, tidak dikenal dalam hukum Hin n.
dyaksa atau adhyaksa jalah pedjabat jang mengawasi tana a
(perdikan), dan dapat dibandingkan dengan kedudukan menten
urusan wakaf ditanah Mesir.
Radja berhak menurut darmasastera men-anugeralikan *a*ja
kepunjaan negeri kepada orang berahmana, dan penjera an a
itu ditetapkan dalam prasasti; begitu pula masuk kepada wewena „
radja menjerahkan hak-tanah kepada orang lain, memeti
hasilan dari tanah itu atau rumah dan bagian desa; “ a UvTC/7 *
ini didasarkan kepada pemberian tanah (b h u d a n a , ^
anugraha). Agak berlainan dari pada penjerahan tana 1 P
hadiah, jalah adanja suatu tatahan-hukum jang lain, sehingga p
tikan tjukai untuk radja dipindahkan kepada orang jang men aP
hadiah; kedudukan kesatuan atau orang jang menerima^ anucer
itu dinamai swatantra. Hasil tanah disembahkan sebagian se agai
upeti kepada radja, dan bernama utpatti.
Radja mempunjai kekuasaan mengatur tatapradja pasar a
pekan, tjukai dan timbangan. Ivekajaan dinamai 1 a
Dibedakan antara kepunjaan p e rse o ra n g a n ( swatawa, steamy
dengan hak-milik (bhukti, bhoga); jang mempunjai hak Per*an™
bernama swamin; dan pemilik: bhokter atau upabhoktr. i erbeaa
antara eigendom dan milik tidaklah sama dengan perbedaan menl1™
hukum Rumawi, melainkan oleh van Vollenlioven (Adatrecht i ,
hal. 146) disamakan perbedaannja antara hak daduh dan muwe
(gadah) menurut hukum-adat Djawa waktu sekarang.
Menurut hukum Hindu tidaklah dibedakan antara urusan perdata
dan urusan pidana; hanjalah ada perbedaan perkara utang-piutang
berupa mata uang (dhanasamudbhawa) dan perkara karena Pe“ S‘
hinaan (himsasamudbhawa). Kata-kata Sangsekerta jang kita pungu
234
dari pelbagai naskah liukum Hindu, tidaklah kita madjukan untuk
mentjegah timbulnja pikiran, bahwa seolah-olah hukum Hindulah
jang berlaku dengan segala kenjataannja dalam masjarakat Indo
nesia. Djaminan jang sedemikian sungguh tak ada. Memang ada
djuga berlaku bahwa beberapa tatahan hukum menurut sastera
Hindu bersama-sama dengan istilah berbahasa Sangsekerta masuk
mendjadi bagian hukum kebiasaan Indonesia jang dinamai oleh
Prof. V. van Vollenhoven „godsdienstig deel van het adatrecht (Het
Adatrecht II, 1931, hal. 126, 130), tetapi sungguhlah tidak sedikit
djumlahnja tatahan-hukum Indonesia jang dinamai dengan istilah
Sangsekerta menurut sastera Hindu; pemindjaman kata dan istilali-
hukum tidaklah berarti pengambilan isi tatahan-hukum. Pemin
djaman atau pemasukan kata-kata asing dari dunia hukum Hindu,
Islam dan Kristen oleh hukum adat Indonesia, harus dibedakan dari
pada soal pemasukan hukum asing kedalam hukum nasional Indo
nesia.
Kita pusatkan perhatian kepada tudjuh kitab hukum jang utama,
jaitu: Agama, Adi-agama, Sarasamutjaja, Radjapratigundala,
Sjiwasjasana, Ivutaramanawa dan Purwadigama.
Diantara kitab-hukum Hindu berbahasa Djawa-lama telah ada
jang disalin kedalam bahasa Indonesia dan Bali-tinggi, baik dengan
huruf Latin ataupun dengan aksara Bali; empat naskah itu jalah:
Agama, Adi-agama, Kutara-agama dan Purwa-agama. Pada tahun
1928 ditjetak salinan Kutara Agama dalam bahasa Indonesia dan
Bali-tinggi (89 katja), salinan Purwa Agama (49 katja) dan salinan
Agama (89 katja); salinan dilaksanakan oleh I Gusti Patu Djelantik.
Bersama-sama dengan Ida Bagus Oka penjalin itu telah mentar-
djamahkan sembilan tahun lebih dahulu dari pada ketiga terbitan
diatas tadi; salinan itu telah ditjetak djuga dikota Djakarta, jaitu
kitab liukum-Hindu: A g a m a sebagai salinan dari Kutaramanawa,
jang tebalnja 100 katja berhuruf Latin dan 140 katja beraksara
Bali, dan kedua: Adiagama, jang tebalnja 93 katja berhuruf Latin
dan 129 katja beraksara Bali. Kelima-lima kitab hukum itu ada
hubungannja dengan kitab berbahasa Djawa-lama seperti akan di-
uraikan dibawah ini.
1. Kitab Agama jalah kitab Kutaramanawa, jang terkumpul men
djadi satu dari dua petjahan asali jaitu kitab Kutara tjiptaan
Bhregu dan Manawa tjiptaan Manu. Kitab Agama atau Kutara
manawa ini banjak samanja dengan kitab asali Mamiicadharmaqastra,
selainnja berisi beberapa tatahan hukum kebiasaan Indonesia jang
djuga kadang-kadang didapat didalanmja. Kitab Agama inilali jang
sebagian besar diterbitkan dan disalin kedalam bahasa Belanda oleh
Dr. Jonker (1885; terbagi atas........... pasal), tidaklah disebutkan
apabila dan oleh siapa naskah -hukum itu disusun.
235
2. Dalam kitab Adi-agama disebutkan, bahwa penjusunannja
berlangsung pada tahun 1323 Sjaka oleh seorang radja Madjapahit,
djadi oleh perabu Wikramawardana (1389 — 1429); djuga tersebut
didalamnja peraturan jang harus didjalankan oleh patih Tuan
Kanaka, jang berkuasa menurut Brandes dan Krom dari tahun 1413
sampai 1430, djadi jang memang mungkin sekali mendjadi patih-
mangkubumi dibawah perabu Wikramawardana (Parr. hal. 168
169; dan Krom HJG, hal. 445). Kitab Adi-agama banjak samanja
dengan Kutaramanawa, jang menimbulkan kesan berusia lebih tua
dari kitab pertama. Menurut dugaan kami kitab-hukuni Kutara
manawa berasal dari abad ke-14 jaitu disusun pada ketika perabu
Ajam Wuruk dan patih Gadjah Mada berkuasa, djadi kira-kira pada
tahun 1360.
3. Dan kini marilah kita tindjau naskah jang ketiga: Purwadi-
gama.
Prof. Krom (HJG, hal. 230) memadjukan tiga matjam naskah
Sjiwasjasana, jaitu: Sjiwasjasana jang menjebutkan djuga nama
pada achirnja nama jang lebih pandjang: Qiwagasanasasaroddhrta
(Friederich, VGB 1849; XXn, hal. 23 — 28); kedua: Qiwa&sana
seperti dimaksud dan tersebut dalam daftar Yuynboll (Suppl. Cat.
Jav. handsch. 1911; II, hal. 195 d ll.); ketiga: Qewaqasana; seperti
dimaksud dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924, hal. 300 — 302).
Kitab-hukum jang pertama itu biasanja dinamai dalam kepustakaan
Purwadhigama; dipulau Bali dikenal pula naskah -hukum Purwa
Agama, jang lebih muda usianja dari pada kitab jang tersebut lebih
dahulu itu.
Purwadigama jang kita maksud pada bagian ini dipakai sebagai
pedoman dalam abad ke-XIV dalam masjarakat para-ulama Madja
pahit.
Adapun kitab Purwadigama itu seperti telah diterakan dinamai
djuga Sjiwasjasana, seperti berkali-kali tersebut pada beberapa
naskah kitab Purwadigama dipulau Bali. Perlulali dikemukakan,
bahwa kitab hukum itu jalah penjusunan Madjapahit dan tidak
berasal dari kitab Sjiwasjasana abad ke-X.
Berdasarkan Van der Tuuk (Kamus K.B.N.) maka Prof. Krom me-
njangka, bahwa Purivadhigama seolah-olah menjebutkan didalamnja
nama gr“ Dharmawangqa teguh Anantawikramotunggadewa, jang
menerbitkan pertulisan Sjaka 913, liingga timbullah pendapat Krom,
bahwa Purivadhigama itu seolah-olah berasal dari babakan-sedjarah
sebelum perabu Airlangga berkuasa dalam abad ke-XI Masehi;
tetapi kitab sastera Purwadhigama .itu sendiri tidaklah menjebutkan
nama Seri Darmawangsa tadi itu, melainkan benarlah ada tersebut
hanja dalam glossarium Bali. Menurut Dr. van Naerssen keadaan
demikian dalam kenjataannja sangat berlainan dengan pendapat
commentator kitab Bali, jang djauh lebih muda dari pada sastera
jang asli.
236
i
Dengan menjalahkan pendapat Krom tadi itu, maka selandjutnja
menurut pendapat kami Dr. van Naerssen berhasil menempatkan
kitab-hukum Purwadhigama pada pertengahan abad ke-XIV; pada
waktu itulah bentuk achir tersusun. Kita salinkan satu dua alasan
bagi pendapat itu. Pertama ternjata, bahwa tatahan hukum sekitar
dewan-agama dan dewan-pengadilan jang bernama pragwiwaka dan
i ivyaivaharawichedaka meliputi darmadjaksa jang dua dan hakim
upapati jang tudjuh; selandjutnja beberapa kalimat jang serupa
dalam Purwadhigama mengarahkan dan menimbulkan fikiran,
bahwa kitab sastera itu tersusun dalam babakan-sedjarah jang diisi
oleh pertulisan Gunung Butak, Terawulan, Sidateka, Bandasari dan
Sekar (=± 1294 — 1360) dan baru selesai disusun sempurna men
djadi naskah kira-kira pada tahun 1364. Alasan Dr. van Naerssen jang
» lain jaitu pendapatnja, bahwa patik gundala menurut utjapan
pudjangga Prapantja (Nagkr. sarga LXXXI) jalah nama naskah -
hukum tentang lial dan kewadjiban, dan jang dimaksud diantaranja
jalah kitab-sastera Punvadhigama, sehingga kitab itu sebelum tahun
1365 sudah selesai menurut bentuk dan isinja. Djadi ringkasnja
menurut Dr. van Naerssen maka kitab sastera Purwadhigama itu
tidaklah berasal dari abad ke-X, melainkan adalah susunan Madja
pahit antara 1294 dan 1364, atau lebih tegas lagi kira-kira pada
pertengahan abad ke-XIV.
Hasil penjelidikan itu tidak mengandung pendapat, bahwa kehi-
dupan hukum Madjapahit adalah menurut atau berdasarkan Purwa
dhigama. Sekali-kali tidaklah sedemikian. Pertama-tama kitab itu
adalah kitab peraturan agama jang mendjadi pedoman bagi
kesusilaan, sedangkan dikalangan Rakjat atau didaerah dan desa-
desa jang berlaku jalah liukum-kebiasaan.
Pendapat itu dapat djuga dibatja pada beberapa pertulisan. Kitab
Punvadhigama dipakai sebagai pedoman kesusilaan menurut per
aturan agama, dan sikap' berpedoman itu dinamai dengan istilah
„matanggwan” ( ) dan prayoga ( ) : tanggwan jalah:
boleh dipertjaja dan prayoga: baik, lajak, patut dilakukan.
D.irasakan pula menurut kesedaran hukum sikap berpedoman itu
berlainan dari pada sikap harus tunduk kepada peraturan hukum.
Dunia hukum seolah-olah terbagi atas dua pihak (belah), jang
pertama dengan berpedoman tanpa akibat hukuman duniawi, dan
jang kedua kepatulian kepada peraturan sehari-hari (laukika) dan
peraturan menurut isi-keterangan ivyawahara jang 18; keterangan
itu dinamai padartha.
Menurut bentuk susunannja, maka kitab Purwadigama jalah
sematjam prasasti dengan menjebutkan nama-nama pegawai peme
rintahan, agama dan kehakiman, hak radja dan pada bagian penutup
diachiri dengan utjapan sumpah. Kitab sastera itu dinamai djuga
Qiwagasana, artinja suatu piagam bagi para-ulama agama Sjiwa. Dari
237
nama ini ternjata pula bahwa naskah sastera Purwadigama itu jalah
naskah peraturan agama jang diarahkan untuk mendjadi pedoman
para ulama agama Sjiwa, atau menurut kalimat: para mpungku
makabehan, sahana sang gumego Qiwagama (para-ulama semuanja,
seadanja jang mematuhi agama Sjiwa). Kuatlah pendapat Dr. van
Tsfaerssen jang menjatakan menurut hasil penjelidikan, bahwa
Purwadigama jalah suatu leidraad, sedangkan pemakaian hukum
kebiasaan dirumuskannja: In de dessa’s heerschte het adatreclit voor
honderd procent, doch uit de oorkonden en uit de geschriften van
het soort waartoe de Purwadhigama behoort, krijgen wij den sterken
indruk dat in de kraton dit adatreclit, zooveel als mogelijk was,
aangepast werd aan het klassische Hindoerecht. Dr. Naerssen, De
astadaqaivyawahara dll. (B.K.I., bag. 100, 1941; hal. 358, 363).
Djadi berpedoman kepada Purwadigama dan disesuaikan kepada
hukum Hindu; hukum jang disesuaikan serta jang diarahkan itu
jalah hukum-kebiasaan, jang berlaku dikalangan Rakjat dan
didesa-desa. Purwadigama jalah hukum mazhab, pedoman bagi para-
ulama Sjiwa dalam usaha hendak mentjapai hidup kesusilaan jang
sempurna menurut adjaran agama.
4. Kitab Sjeums jasana tersebut dalam Tantu Panggelaran
(1924, hal. 300 — 302). Bagaimanakah liubungannja kitab Sjewa-
sjasana dipulau Bali dengan kitab Sjiwasjasana dalam zaman
Darmawangsa ?
Kitab-hukum Sjewasjasana (Qewacasana) disebutkan dalam
Juynboll (Suppl. Cat. Jav. Handscli. 1911, II, hal. 195 dll.). Kitab
itu tersebut dalam pertulisan Sendang Kamal (Magetan) jang berisi
dan berhubungan dengan nama ratu Medang „gr~ Dharmmawangga
teguh anantawikramottunggadewa” dalam bahasa Djawa-lama de
ngan bertarich Masehi 991. Brandes OJO. LVII. Pada ketika itu seri
maharadja perabu menganugerahkan kepada samegat kenuruhan
bernama Pu Burung ( turunyaanugraha Qrl maharaja i samgat kanu-
ruhan pu burung) dan pemberian tanah itu dilaksanakan dengan
memperhatikan kitab-hukum Siiwasiasana (kabhyasan sang hyang
Qtwacana).
Dihalaman lain telah dinjatakan, bahwa adalah tiga buah kitab-
hukum jang dikenal dengan nama Sjiwasjasana, jaitu diantaranja
jang kedua jalah kitab Purwadigama, jang pada achimja menamai
dirinja kitab Qiwacasanasaroddhrta; jang ketiga jalah kitab Qewa
casana. Kitab-hukum jang pertama menurut pertulisan Sendang
Kamal tidaklah menjebutkan nama kepala-negara; dan nama Pu
Dharmmasanggrumawikrurita jang tersebut pada baris ke-2 diper-
tulisan batu itu rupa-rupanja jalah nama seorang pedjabat tinggi.
Tarich 991 menjatakan, bahwa Lokapala tak memerintah lagi,
sedangkan Darmawangsa (991 — 1005) mulai berkuasa, Krom, HJO,
hal. 222, 225, 230.
238
Kitab-hukum Qewacasana menjebutkan didalamnja raliyangta ri
Mdung dan prabhw Manu paduka Qrl maharaja ri Mdang, dan tahun
Sjaka 226, 230 jang tak mungkin dan tak diketahui maksudnja. Isi-
nja mengenai liak-hak orang ulama Sjiwa terliadap radja. Kitab
itulah jang tersebut dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924 hal.
300 — 302).
5. naskah hukum Suxiradlambu ( Swarajambhu) disebutkan dalam
Lekkerkerker (hal. 38) dan Juynboll (BKI, 1916, LXXXI, hal. 569)
dan jalah salinan dari naskah ke VIII dari Manaivadharmagastra
(J. Jolly, Manava dharmagastra, hal. 150 — 192).
Perkembangan peraturan Manu bagi orang Hindu ditanah India
telah ditindjau dengan mendalam oleh beberapa sardjana, seperti
J.S. Siromani (Commentery on The Hindu Law d, 1884) dan Julius
Jolly (Hindu Law and Custum, 1928); dalam naskah ini tidaklah
mendjadi bahan-penjeliclikan lagi. Lain halnja dengan perkembang
an peraturan Manu di Indonesia dizaman jang lampau, jang di-
selidiki sampai kemanakah hukum-agama itu sesungguhnja berlaku
dalam masjarakat dan bagaimana perhubungan bertimbal-balik
dengan hukum kebiasaan Indonesia.
Adapun kitab-hukum berbahasa Sangsekerta jang bernama Mana-
wadharmagastra besar sekali pengaruhnja kepada kitab-hukum
Indonesia-lama berbahasa Djawa-kuna. Kitab Swaradjambu (Swara
jambhu) misalnja jalah berasal dari naskah VIII dari pada Manaiva
dharmagastra. Pengetahuan jang berasal dari Dr. Naerssen itu
eangatlah penting, karena dengan demikian, maka kitab Astadaca-
wyawahara sebagai sebagian dari pada Swaradjambu berbahasa
Djawa-lama dapatlah dikenal asal-usulnja dan dapat pula diselidiki
unzur-unzur hukuni-kebiasaan Indonesia jang terselip kedalamnja,
karena para-penjalin atau penjadur hendak mentjoba menjesuaikan
dengan keadaan masjarakat jang sesungguhnja.
Misalnja kepada hukuman denda jang dinjatakan dalam bahasa
Sangsekerta dengan uang krsnala, dharana dan pana ditambahkan
pula hukuman-denda berupa mata-uang Indonesia ma, su, ku (rnusa,
suwarna, kupang). Teladan jang lain jaitu hal-penjebutan istilah-hu-
kum dalam bahasa Djawa-lama sebagai pengganti termini technici
berbahasa Sangsekerta, sehingga 18 matjam hukum-atjara menurut
naskah astadagawywahara diatas adalah disebutkan dan dinamai
dengan 18 kali dua matjam istilah dalam dua bahasa. Misalnja
perbuatan dengan kekerasan dalam bahasa Djawa-lama menurut
Swaradjambu dinamai ulah safuisOj jalah sama dengan istilah baha3a
Sangsekerta (sahasam, Swdj; sahasam Caiwa, Man. dh.; kahucapa-
ning wates (Dj. lama, Swdj.) sama dengan istilah Sangsekerta
sTmawiwadadharmmagca (Swdj.) atau simawiivadadharmagca (Man.
dli.).
Menurut pendapat Brandes maka kitab Kutaramanawa itu terbagi
atas dua bagian, jaitu Kutara jang ditjiptakan oleh Bhrgii dan
Manawa jang ditjiptakan oleh Manu. Kitab Kutara dikatakan ber
asal dari Parasju Rama (Kutur. pasal 121), dan dengan demikian
maka dapatlah didjelaskan nama Kutara = Kuthara = Parasju =
Kampak.
Tetapi kitab Kutara-sastera belumlah sampai kini dikenal dalam
kepustakaan Sangsekerta. Kitab manawa-sastera memang dikenal
dalam kepustakaan tersebut dengan nama: Manawa-dharmasastra
atau Manusanikita. Dari kitab inilah asalnja kitab sastera berbahasa
Djawa-lama, seperti misalnja dalam Bhomakavya (1.5); dan dalam
Tjeritera Parahiangan atau sebagai Manusjasana dalam Prasasti
Bhuwana dan Purusjadasanta.
Menurut persangkaan Dr. van Naerssen, jang alasan-alasannja
menurut pendapat kami adalah kuat, kitab manawarthaivi ti
karangan Sarwagna Narayana, jang hidup dalam abad ke-14 ditanah
India, dan sampai kepulau Djawa dalam abad itu djuga, jaitu ketika
perhubungan kebudajaan antara India dan Madjapaliit sedang rapat,
seperti ditjatat oleh pudjangga Prapantja dalam karangannja Nagkr.
(sarga LXXXII dan X C M ). Dan pada zaman Ajam Wuruk itu
pulalah tersusun dalam bahasa Djawa-lama naskah astadagawyawar
hara sebagai intisari dari kitab manawadharmagastra. Dengan demi
kian dapatlah dimadjukan pendirian bahwa djuga kitab-hukum itu
berasal dari zaman-emas Madjapahit diabad ke-14.
Begitu pula tatahan hukum-tanah Indonesia seperti sanda-gadai
berulang-ulang diatur dalam naskah Kutaramanawa (Pasal 6, 94, 116,
206; Jonker hal. 96, 122); didalam hal itu ditjoba menjesuaikan
peraturan hukum Hindu dengan dunia-hukum jang sesungguh-
sungguhnja berlaku. Djangankan tentang tatahan-hukum, djuga
istilah sanda adalah umum dilingkaran hukum Austronesia: sanra
(Bugis), sindor (Batak), sanla (Tagalog, Bisaja), sando (Minang-
kabau), sanda (Sunda, Banten), sanda (Pertulisan Dj awa-lama ber
tarich Masehi 996). Hal itu telah diselidiki oleh Dr. Soebroto dalam
naskah nja Indonesische sawah-verpanding, 1925, hal. 187: Voor de
oorspronkelijkheid van de sawah-verpanding pleiten daarentegen
o.i. de daaraan in Indonesie algemeen gebruikelijke en eveneens
van den Kutara Manawa voorkomende termen, die alle zuiver Indo-
nesisch zijn.
6. Kini kita selidiki naskah hukum jang keenam: Kutaramanawa.
Penting pula kitab-hukum Sjiwasjasana (Qiwagasana), seperti
disebutkan dalam Juynboll (Suppl. Cat. Jav. Handsch. 1911, II, hal.
195 dll.). Kitab itu tersebut dalam pertulisan jang berhubungan
dengan nama ratu Medang „grT Dharmmawangga teguh anantawi-
kramottunggadewa,” dengan bertanggal Sjaka 991.
240
Dalam pertulisan Terawulan (sepululi muka; O.V.* lampiran K,
1918, hal. 108 — 112 dan Brandes, OJO, CXIX; I, kepingan 3, baris
5 — 6) dari zaman Ajam Wuruk dengan bertarich Masehi 1358
dapat dibatja kalimat: KutaramanaivadUgastra wiwecanatatpara,
kapiva sama-sama cakte katviivaJcsaning Qastra makadi kutara-
manaiva.
Kitab-hukum Sjiwasjasana disangka oleh Prof. Krom jalah tempat
asalnja kitab Sastera Purwadigama dipulau Bali, karena menurut
Friederich naskah ini pada achirnja menjebutkan nama Qiwacasana-
saroddhrta (Krom, HJG hal. 230). Seperti telah didjelaskan diatas,
maka kitab-sastera Purwadigama itu berasal dari zaman Madjapahit,
sedangkan ada pula kitab sastera Qiwacasana jang mungkin jalah
sama atau berasal dari Ciwacasana, apalagi karena didalamnja ter
sebut nama radja Medang.
7. Kitab-hukum jang ketudjuh jalah Sarasanuccaya, jang telah
diketahui sedjak tahun 1876 oleh Friederich dan sedjak tahun 19
oleh Majumdar. Menurut Pigeaud, jang telah membatja naskah
SZrasanuccaya dinegeri Belanda (Cod. 5037 dalam daftar Juynboll II,
hal. 194), maka banjak jang tersebut dala'm naskah -liukum Djawa-
lama jang diterbitkan oleh Prof. Jonker sudah tersebut dalamnja.
Diantaranja disebutkan peraturan papitapitan, jaitu peraturan mem
buat pekarangan rumah jang dikelilingi oleh pekan dan sungai.
Menurut Juynboll (Sppl. Cat. n , hal. 193) kitab hukum ini berisi
seloka Sangsekerta serta salinan berbahasa Djawa-lama. Djuga
Gedung Artja di Djakarta menjimpan sebuali kitab hukum itu.
NBG XXV, 1888, hal. 140 dan XXVI hal. 26. Menurut Brandes
naskah itu jalah Radja Nistjaja seperti tersebut dalam Pepakem
Tjerbon (Hazeu, hal. 47, 124 dll.). Tersebut dalam Lekkerkerker
(hal. 38) diantara naskah Swaradjambu dan Wrati^asana.
Seperti namanja Sarasanuccaya jang berarti bunga'-rampai per
aturan, maka didalamnja dapat dibatja pelbagai ketentuan agama.
Menurut Cense (De kroniek van Bandjarmasin, 1928; hal. 172)
maka perkataan Samurtjaja dalam nama Sangsekerta dan Djawa-
lama Sara-samurtjaja itu, mendjadi simbur-tjaliaja dalam bahasa
Indonesia. Undang-undang Simbur Tjaliaja jang dikenal sebagai
kodifikasi Van den Bosch bagi Sumatera Selatan jalah salinan dari
kitab-hukum Sara-samurtjaja berbahasa Djawa-lama dengan me
makai Simbur Tjahaja Karta Ampat Bitjara Lima sebagai perantara-
an. Pendapat Cense itu memang tepat, karena dengan mempertim-
bangkan isi, nama serta sedjarah kedua kitab hukum Samurtjaja
dan Simbur Tjahaja.
8. Kini kitab-hukum jang kedelapan jang bernama Radja-
patigundala (Rajapatigundala). Kitab ini didaftarkan dalam
Juynboll sebagai Cod. 5055 (II, hal. 200) dan ringkasan isinja
241
150; B (16)
didapat dalam karangan Pigeaud (Tantu Panggelaran, 1924; hal.
291 — 294).
Didalamnja didapat peraturan agama tentang tjara mendjadi
jogi-isjwara, dewaguru, wiku, kili dan bedanja orang berahmana
dipulau Djawa dengan orang berahmana ditanah Seberang. Begitu
pula tentang pantjapatapan: prthiwi, hapah, teja, bayu, Itakaqa.
Sampai sekarang belum ditjoba memberi tarich kepada kitab itu.
Pada permulaannja diseru nama-nama dewa dan seri maharadja
paduka Kertanegara, sehingga paling tua kitab itu mulai disusun
sesudah tahun 1275. Menurut dugaan kami kitab itulah jang
dimaksud Prapantja dalam Nagkr. (LX X XI), dengan perkataan
patigundala; oleli sebab itu maka paling muda kitab itu selesai
pada tahun 1365. Kami menempatkan lahirnja kitab itu pada
pertengahan abad ke-XIV, jaitu kira-kira pada tahun 1355.
Dalam kepustakaan Djawa-lama dan Bali dikenal beberapa nama
naskah -hukum Hindu jang lain, diluar naskah jang delapan diatas.
Pigeaud memadjukan dalam Tantu Panggelaran kitab: Deivaqa-
sana Pratastibhuivaiia, W ratiqasana, Rsiqasana, Qilakrama, Adi-
purana, Brahmandapuruna, Anngastyaparwiva, Caturpaksopadeqa
dan Korawacrama, jang djauh perhubungannja dengan peraturan
hukum Hindu, walaupun tidak sedikit berisi andjuran dan pedo
man bagi perhubungan orang berahmana dengan radja dan rakjat.
Batjaan Pigeaud dari beberapa lontar jang tersiinpan dinegeri
Belanda adalah dituliskan ringkasannja dalam naskah nja jang tersebut
diatas, dan kami pakai untuk bahan jang menimbulkan kesan jan?
beralasan, bahwa hampir tak ada hubungannia dengan kehidupan-
hukum Madjapahit.
Untuk menguatkan naskah -naskah hukum Hindu jang berasal dari
sang Manu dan sang Bergu dari tanah India itu, maka oleh penjalin
atau komentator Indonesia diberilah naskah -naskah itu tjorak dan warn a
Indonesia dengan menempatkan didalamnja nama-nama sedjarah
Indonesia. Beberapa kali nama penguasa Medang atau Medang Wana,
jang menurut prasasti ( ) digelari djuga dengan nama
rahiangta ramuhun, sehingga temjatalah bahwa banjak keropak itu
disusun sesudah Belitung dan Sindok di Dpawa Timur. Begitu pula
se a i disebutkan nama Kertanegara dan Dandang Gendis (jaitu:
Kertadjaja) sehingga angka-angka tarich jang berhubungan dengan
se jara itu dapat didjadikan tjagak babakan penjusunan naskah ,
wa aupun penjebutan nama itu menimbulkan kesukaran. jang berupa
kecmlafan ingatan sipenulis jang umpamanja bekerdja beberapa
ratus tahun sesudah nama-nama itu masih hidup, satu hal jang
dapat difahamkan.
236. Adalah pula nama patih-mangkubumi Gadjah Mada dan
Kanaka, disebutkan dalam naskah -hukum Patih Gadjah Mada dan
beberapa naskah-keropak jang tersebar didalam simpanan perpusta-
242
kaan Amsterdam, Leiden dan London. Bat jalah: Pararaton hal. 196;
BKI, 1854, hal. 343; TNI, 1870, II, hal. 176; dan Juynboll Sppl.
Catal. n , 1911, hal. 442.
naskah jang kedua, Kutaramanawa, berasal dari Kutaragastra, dan
telah dipakai dipulau Djawa sedjak zaman Kediri dalam abad
ke-XII. Kitab OJO, LXXXV baris 5 b. 5-6a. 1 ); kalimat itu tersebut
pula dalam pertulisan lain (Cohen Stuart, KO, XVI, la, 2-3).
Salinan kalimat itu dapat dibatja pada halaman lain dan kita telah
meminta perhatian kepada istilah Qastra-drsta (peraturan agama
menurut kitab sastera), dena-drsta (peraturan hukum adat jang tak
dituliskan), udnharana (keputusan jang telah pernah berlaku),
gurukaka (peraturan guru orang tjedik-tjendekia jang berlaku
sedjak dahulu); rasngama (isi, maksud, tafsir); pinamelaken (di
banding, diudji) dan makatanggwan (berpedoman).
Didalam pada itu perbuatan-hukum dilaksanakan menurut kese*
daran kesusilaan, terutama pada golongan para ulama, baik jang
sesuai dengan tindjauan-hidup ash ataupun jang bersumber kepada
peraturan agama.
Peraturan kesusilaan hanjalah memberi tjorak dan wama kepada
sesuatu perbuatan hukum menurut hukum-kebiasaan, dan tidaklah
mengendalikannja sebagai ugaran-hukum, karena umumnja tanpa
berakibat pembatalan atau hukum-duniawi dalam hal pelanggaran-
nja.
Memang ada bagian hukum kesusilaan menurut agama itu masuk
mendjadi bagian dari pada hukum-kebiasaan, sehingga benarlah
pendirian van Vollenhoven (Het Adatrecht II, 1931, hal. 126 — 148)
jang menamainja bagian-keagamaan dalam hukum-adat: godsdienstig
deel van het adalrechl. Djadi dengan umumnja jang berkuasa dalam
masjarakat dan penjusunan tata-negara, jalah: hukum-kebiasaan
Indonesia. Dikenal djuga beberapa naskah -sastera hukum Hindu, jaitu
eemata-mata sebagai pengendali kesedaran kesusilaan. Sedjak abad
ke-XII sampai sekarang ini, maka berangsur-angsur kesedaran
kesusilaan jang bersumber kepada hukum Hindu itu berganti
dengan kesedaran kesusilaan bersumberkan hukum Islam dan
Keristen. Tetapi dalam segala keadaan keliliatan kemadjuan berlaku-
nja hukum kebiasaan Indonesia jang dilahirkan oleh tindjauan
ruhani asli, sedjak dahulu sampai sekarang. <"
196. Menurut Nagkrv (S.\I*XXXV; 2) maka pada tiap-tiap permula- ' '
an bulan Caitra, jaitu sesudah bulan Phalguua, dihatjalcan oleh Sang
Perabu Ajam Wuruk didepan rapat balatentara suatu naskah -hukum
bernama Rajakapakapa, supaja adjaran-adjaran dari dalamnja di-
turut (kapwamutajar) jaitu: larangan tingkah laku jang tama’ah
( tan lamlama ni sabala) larangan menempuh djalan jang salah
(hywangambah ri tan lakwa) dan larangan merusak barang-rbarang
243
kepunjaan dewata ( dewaswadinya Satan purugen). Tudjuannja
supaja negara mengalami keselamatan dan kesedjahteraan
(swasthang pura sada).
Menurut tjatatan Kern, maka sepandjang Jav. Wdb (1901; I,
509) Kapakapa itu jalah nama Adipati Rajakapakapa, jang menu I is
naskah -hukum bernama Lajang Kapakapa; dan naskah itu jalah sama
dengan jang disebutkan oleh Pudjangga Prapantja dalam Nagkr. itu.
Perlu pula diingat, bahwa menurut kamus tersebut maka naskah -
hukum itu diturunkan kepada Begdaja oleh Danistvara, jaitu
Dhaneqawara = Kubera. Menurut Brandes maka dalam Babad
Tanah Djawi tersebut pula nama naskah Serat Radja Kapakapa
(VGB. LI; 1900, IV ; hal. 15 — 17; 186 — 201), jang dinamai djuga
Serat Wadu Adji.
244
PRANITI RADJA KAPA-KAPA
RADJA KAPA-KAPA.
232. Sudah sedjak abad ke-14 lontar peladjaran Andjar ing
Radja Kapa-kapa dikenal baik, seperti djuga namanja tersebut
dalam Negarakertagama sarga LXXXV. Dalam bahasa Djawa-baru
dikenal naskah itu dalam ikatan Danidang-gula dan ikatan Asmara-
dana. Bentuk pertama itulah jang disalin dalam risalah ini; lontar
dalam bahasa Djawa-lama belum didapat naskahnja.
247
P R A N I T I R A J A K A P A - K A P A .
Metre: Dandang-gula, stanzas of 10 verses each:
verse 1 :; 10 syllables, vowel of last syllable : i
99 2 : 10 55 55 99 99 „ : a
99 3 : 8 95 9? 9 9* „ e or o
15 4 : 7 99 99 9* 95 „ : u
55 5 : 9 99 99 9? 99 „ : i
95 6 : 7 99 79 99 99 : a
99 7 : 6 99 99 99 99 : u
99 8 : 8 99 99 99 99 : a
95 9 : 12 95 9» 79 : i
99 10 : 7 59 9? 95 99 : a
Stanza 1: nihan namarna reh pranitinning
raja kapa kapa pinnardika
marinci basa mantrinne
tegesse mapan luhung
tri titiga setya kang diflin
sadu kaping kalihnya
kaping tiga tuhu
wrdining setya winarna
milweng lara duka wirangnya hung gusti
lwirring sadu h in u ca p '//
Stanza 2: hajrih yen nanriyinnana kapti
nora medar kekerraning natha
lwir ringkang tuhu karppe
tansah cadang ning kayun
nora gingsir hing sanggup nenggih
tan rumasa yen gadah
hing pangwasannipun
hiya hiku hingkang naran
basa mantri tuwin ta hinucap malih
mantri moncanagara / /
Stanza 3: tumenggung demang lan rongga nenggih
kanduruwan lan patih punnika
denin ta patih wrdine
kang nampurnakken niku
parentahhe qri naraphathi
tampa sacipteng natha
249
denne ta tumenggung
hingkang ngahulah gagaman
lan nawruhhi kongkonaning naraphathi
denin wrdinning demang / /
Stanza 4: kang nahulah pangnangge sakyehning
raja kaputren lan pangnanggennya
kang para mantri sakehhe
kang kasarireng phrabhu
lwirring ronga kang nulah nenggih
sisikon padalmman
nira Qan aphrabhu
myang rakitting pasangrahhan
kanduruwan kang namnampunnakken nenggih
parentahhung papatya / ? /
Stanza 5: yata jeneiiingkang para mantri
bujongga harya manuri lawan
haryra leka lan maliye
harya jamba punniku
harya tiron harya papati
harya tiron punnika
binubuhhan sagung
ning pakarya denne harya
hamanuri bubuhhanne hanampunni
mantri bujongga samya / /
Stanza 6: tegessingkang manuri winarni
wani mati kalawan prayoga
andamohi hing tegesse
pan jang jiwa punniku
pandeleggan kang nulah nenggih
tenung gegering nika
jomba leka nengguh
Iwifna hamot hulah hulam
lawan malih punika wanenning mantri
bujonggarya tironnya / /
Stanza 7: hangrapetken kang narngang nenggih
lan haujaganni lagannin mengsah
mantri paseppanning praje
harja wirasineku
harya wiraraja lan mali)}
harya sinasarika
dening tegessipun
paseppan punniku apan
langlang dalu kang riasor saking punniki
nenggih harya pamottan / /
250
Stanza 8: palimpingnan pakulutan malih
surantanni pan bubuhhannira
hanglepasken kagungnanne
lan hanrksa kadatun
dening jenening genapliathi
sina kang nuduhhena
king parentah hiku
wenang naran senaphatya
dening mantri panalasan niku nenggih
pura liangraramunya / /
Stanza 9: kyehhing mantri satus seket nenggih
kalih belali sewn patya tanda
wadyaji hanabehine
tanda lan malilihipun
ya phanji handaka lan malih
kajinemman denne ta
malil.i hingsorripun
hadiphathi kuwu lawan
sang nanden bubuyut panalassan nenggih
panakatenning natha / /
Stanza 10: samya liulah kang sineren nenggih
sakatahhe wong krida punnika
titi tammat pranitine
raja kapa-kapeku
mugestuwa panakasamanning
tunna langkungning basa
binastuweng kayun
nira gang maha pamasa
santosarja sarajya lir tarumaking
sedeng muwah kawarsan / /
Adapun salinan Praniti Radja Kapa-kapa kedalam baliasa Inggeris
menurut Dr. Th. Pigeaud (Java in the 14-th century, D jilid III,
halaman 139-140) berbunji sebagai berikut:
Stanza 1: This is describing the order of the Management of the
Raja Kapa-kapa, explained. Determining the word man
tri, the meaning of ma is: exalted, tri means three.
Loyalty is the first, the second is Modesty, the third
Faithfulness. The sense of loyalty may be described thus:
in illness, distress and disgrace keeping to the master.
Stanza 2: to refrain from boldness in lust, not to lay open the
Prince’s secrets. The meaning of faithfulness is : always
waiting to receive orders, not being untrue to given
promises, not feeling as if one were in the free possession
of the King’s power. This is the meaning of the word
mantri. Further are to be discussed the Mantris Manca-
nagara (mandarins vested with authority in town).
Stanza 3: The Tumenggung, the Demang and the Rangga, the
Kanduruhan and the Patih are those. As to the Patih s
significance: he is the executor of the Illustrious Prince s
orders and the receiver of all the Protector’s plans. As
to the Tumenggung, he occupies himself with military
affairs and he knows all about the Prince’s missions.
As to the Demang’s significance.
Stanza 4: he is the man who occupies himself with the attire
of all the immates of the Royal zenana and with
the attire of all the mantris who are employed in the
Prabhu’s private service. What the Rangga is like: he
is the man who occupies himself with the ground-plan
of the Prabhu’s Interior Compound and with the lay-out
of the lodges. The Kanduruwan is the man who executes
the Patih’s '(? ) orders.
Stanza 5: There are the titles of the Mantris Bhujangga (man
darins ecclesiastical o fficers): the Arya Manguri, and
the Arya Leka, and further the Arya Jamba, the Arya
Tiron, the Arya Papati. The Arya Tiron is in charge
of all pakaryas (ceremonies?). As to the Arya Manguri,
his charge is to act as empu (? master) of the Mantris
Bhujangga altogether.
252
Stanza 6:
Stanza 7:
Stanza 8 :
Stanza 9 :
Stanza 10:
The meaning of Papati is described as: not afraid to
die. With prayoga (expedients) is Andamohi’s meaning.
The Panjang-jiwa occupies himself with pandelegan
(chronology, divination?). The magic of disease is
Jamba’s. Leka is like a man occupying himself with
handling meat (or fish). And once more this is a de
finition of the Mantri Bhujangga Arya Tangar ( ? ) :
to fit together what is split and to give heed to the
enemy’s fighting. The Mantris Pasepan of the Realm
are: Arya Wirasinga, Arya Wiraraja, and further Arya
Singasari. As to the meaning of pasepan, that is: to go
about keeping watch at night. Their inferior is the Arya
Pamotan.
The Palimpingan, the Pakulutan too. The Surantani is
charged with the releasing of the King’s possessions and
the guarding of the Royal Court. As to the title Senapati,
anybody who can give orders has a right to be called
Senapati. As to the Ma