• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label tata negara majapahit 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tata negara majapahit 6. Tampilkan semua postingan

tata negara majapahit 6


 luarga; rumah-tangga =  rumah dan tangga-rumali, maksudnja 

tempat kediaman; korong-kampung, tanah-air.

Pradja artinja Rakjat, dipakai dalam pertulisan Padang Rotjo. 

Rakjat Seriwidjaja dapat dibagi atas tiga lapisan, jaitu: lapisan 

atas, tengah dan bawah. Istilah jang menjatakan keseluruhan Rakjat 

berbunji: hina-madhyamottamajati.

Perkataan hina-dina berarti seluruh Rakjat dalam bahasa Indo­

nesia baru, memperingatkan kita kepada istilah tiga tingkatan itu, 

seperti djuga dikenal dizaman Madjapahit.

b. Wilajat.

Untuk menjatakan daerah tanah dipakai istilah: 

bhumi 

tanah 

watak.

Provinsi atau sebagian wilajat Seriwidjaja dinamai djuga 

mandala.

216

Kata air masih tersimpan dalam istilah air-niminum (air imtuk 

diminum) dan maksudnja: air minum.

Wilajat jang dikuasai oleh Seriwidjaja bernama „kadatuan 

(^rlvijaya” , seluruli wilajah negara Seriwidjaja dinamai: Sakala 

mandalana kadatuan.

c. Pemerintahan.

Istilah untuk menjatakan pegawai, buruh atau kepala-negara jang 

mendjalankan pemerintahan, didapat dalam beberapa pertulisan, 

seperti dilampirkan dibelakang, dan terutama dalam pertulisan 

Telaga Batu.

Diantara istilah itu jalah:

Kepala negara dinamai datu, indera-radja, maharadja, hadji, nir- 

pati, isjwara-bupati. Kepala-negara Seriwidjaja dipulau Emas 

(Sumatera) dinamai menurut Piagam Nalanda: Suwarnadwipadhi- 

maliaradja, dan kepala negara Seriwidjaja dinamai dalam pertu­

lisan Ligor: Qrivijayanrpati, Qrivijayeqwarabhupati dan QrTvijayen- 

draraja.

Dibawah datu berkuasa menteri dan pegawai-tinggi dibawah mar- 

tabat menteri dinamai parvvanda.

Dari istilah ini berasal kata bendahara dan bendoro, jang berarti 

penting dalam ketatanegaraan Melaju, Malaka dan Mataram.

Nama-nama pegawai jang lain jalah:

Radja-muda atau putera-mahkota dinamai:

bhupati

yuvaraja

pratiyuvaraja

rajakumara

(Telaga Batu, garis 20, 21 dan 22).

Pengangkatan mendjadi datu atau pegawai tinggi dinamai 

samwarddhi.

Pegawai lain, baik dipusat atau didaerah dinamai: 

rajaputra 

samantaraja.

Pegawai pelaksana hakim dan panglima perang dipakai istilah:

seiiapati (panglima)

nayaka

pratyaya

Jiajipratyaya

dandanayaka (hakim)

murdhaka

217

Martabat menteri (amatya) terbagi atas: 

mantri

kuniaramatya

cathabhata

adhikarana

Pegawai technici dikenal dengan nama: 

kayastha

sthapaka (arsitek)

puhavam (pawang, serang)

vaniyaga (orang berniaga)

pratisara

marsT haji

hulun haji

Perlakuan pemerintahan jang harus dipatuhi, dikuatkan dengan 

sumpah. Kesetiaan kepada negara dinamai: bhakti. Pengcnana an 

( tida bhakti) kepada negara dinamai: durhaka, jang disa m ca am 

pertulisan Kota Kapur dan Karang Berahi =  drohaka. usu 

negara: paracaksu.

Hukuman pengcliianatan jalah: bunuh atau: ivunuh, wan gun. 

Hukum denda: dandaku danda (aku denda dengan denda).

d. Tudjuan negara Seriwidjaja.

Tudjuan negara jalah djaja atau kedjajaan, seperti tersimpul 

dalam nama negara Seriwidjaja sendiri. Kedjajaan artinja e 

menangan, kebesaran, sumarak atau kemegahan. Untuk e 1 

menegaskan tudjuan kedjajaan itu, maka dalam pertulisan Ke u 'an 

Bukit (683) disebutkan „QrIvijaya-jaya” , djadi dengan memakai 

kata djaja sampai dua kali, seolah-olah pada waktu itu tida t ira 

sakan lagi arti djaja dalam nama negara Seriwidjaja. Iva ima 

Kedukan Bukit itu berbunji dengan lengkap: „QrTvijaya jaya

siddhayatra subhiksa”  jang disalin oleh Prof. Dr. Poerbatjara a 

kedalam bahasa Indonesia Baru mendjadi: Qrlvijaya (dari se a 

dapat) menang (karena) perdjalanan sutji; lebih tegas kita me 

njalin: djajalah Seriwidjaja dalam pengambilan berkat-selamat.

Djadi dalam nama negara Seriwidjaja tersimpul kata djaja ber­

arti kedjajaan, jang mendjadi tudjuan negara. Kedjajaan itu 

dikuatkan dengan mengambil berkat ketempat jang sakti. Ziarah 

untuk mengambil (mangalap) berkat dinamai: Siddhayatra^

Pengalapan berkat itu, supaja mendapat „QrIvijaya-jaya-siddhayatra 

disebutkan dengan djelas, seperti telah diterangkan diatas tadi itu, 

dalam pertulisan Kedukan Bukit bertaricli 683, ketika kedatuan 

Seriwidjaja dibentuk dengan berpusat dikota Pelembang sekarang 

ini.

218 1

H. KEKUASAAN RADJAKULA SJAILfiNDERA JANG ME- 

NGENDALIKAN PEMERINTAHAN NEGARA SERIWIDJAJA.

A. Radjakula Sjailendera.

B. Anggota radjakula Sjailendera.

A. Radjakula Sjailendera.

Adapula pengartian dinasti atau radjakula jang bernama Sjailen­

dera itu tersimpul dalam istilah Qailendera-ivamga; anggota radja­

kula Sjailendera itu dinamai hiasan dinasti Sjailendera atau 

Qailendrawanca-tilakah. Istilah wanqa memang tempat asalnja 

perkataan Indonesia bangsa, tetapi wanga tidaklah berarti susunan 

masjarakat jang sama maksudnja dengan nation, seperti dalam 

istilah Bangsa Indonesia, melainkan berarti radjakula atau dinasti 

monarchi jang beranggota kepala negara jang memegang kekuasaan 

pemerintahan.

B. Anggota radjakula Sjailendera.

Nama-nama anggota radjakula Sjailendera telah banjak jang dike- 

taliui, baik tentang bunji djulukannja ataupun tarich-tahunnja. 

Banjak pula nama jang masih gelap dan tariclinja belum dapat 

ditetapkan. Penjelidikan tentang kedua hal itu masih berdjalan.

Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja dinamai dalam bahasa Indo- 

nesia-lama dengan kata-gelar Datu; djuga kepala mandala (provinsi) 

jang tunduk kepada pusat pemerintahan negara Seriwidjaja bergelar 

datu. Datu dipusat pemerintahan bergelar dalam bahasa Sangsekerta 

Seri Maharadja. Sebagai peninggalan dalam adat-kebiasaan Minang­

kabau maka gelar Datuk Seri Maharadja (Datuak Sari Maharadjo 

dirad jo ) jalah waris pusaka dalam suku Koto-Piliang; disana gelar 

waris itu ditegakkan sedjak Aditiawarman, barangkali djuga sebagai 

pemegang-waris dari keradjaan Melaju sebelum abad XIV.

Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja dinamai dalam bahasa Sang­

sekerta dengan memakai istilali-liukum menurut pertulisan Vat 

Sema M uVng (BEFEO, XVIII, 6; hal. 29-30)

Qrlvijayend ra ra ja 

Qrivijayeqvarabhupati 

Q rlvijayanrpat i 

Qrimaliaraja.

Istilah inderaradja, isjwarabhupati, nrpati dan seri maharadja 

jalah gelar-kebesaran serta pada hakekatnja salinan dari pada gelar- 

asli datu jang berkuasa dipusat negara Seriwidjaja.

219

B. Anggota radjakula Sjailendera.

Dibawah ini dimadjukan beberapa nama jang mendjadi anggota 

radjakula Sjailendera dan Siguntang, sebagai tjabang dari pada 

radjakula Sjailendera jang menguasai negara Seriwidjaja. Nama- 

nama itu berasal dari beberapa pertulisan berbahasa Indonesia- 

lama, Djawa-lama, Sangsekerta, Tamil, Arab dan Tionghoa.

1. Djajanaga; Dapunta Hiang.

Nama Dapunta Hiang Seri Djajanaga tersebut dalam pertulisan 

berbahasa Indonesia-lama dengan bertarich 684 Masehi dan berasal 

dari sebuah kampung dikota Pelembang Hilir bernama Talang Tua.

Krom membatja Djajanasja, sedangkan Stutterheim: Djajawaga. 

Nama Djajanaga memperingatkan kita kepada kata djaja dalam 

nama negara Seriwidjaja, sedangkan naga memperingatkan kita 

kepada ular-naga berkepala tudjuh (sapta-sarpantaka) jang mema- 

jungi pertulisan Telaga Batu. Gelar Dapunta Hiang tertulis pada 

pertulisan jang bertarich tertua di Asia Tenggara, jaitu pertulisan 

Kedukan Bukit bertarich 682. Dapunta Hiang jalah Jang Dipertuan 

dan maksudnja Kepala-negara kedatuan Seriwidjaja. Beliaulah jang 

meinbuat aman Seri-Setra (Qrlksetra) dikota Pelembang sebagai 

perdjandjian nazar, bahwa segala tumbuhan jang ditanam dan keba- 

djikan jang dibuat adalah untuk kebaikan machluk jang hidup- 

Perdjandjian jang sedemikian, menurut Coedes adalah pranidhana 

jang dikenal kepustakaan agama Buda. Pada zaman Djajanaga itu 

telah berkembang pula agama Buda Tantera, seperti dinjatakan 

dengan istilah ivajracarira pada pertulisan Talang Tua, djadi sesuai 

dengan adjaran Yogacarya jang waktu itu berkembang ditanah 

Benggala seperti diadjarkan oleh pudjangga di Perguruan Tinggi 

Nalanda, dan tersiar ketanah Djawa dengan melalui kedatuan Seri- 

widjaja dizaman Djajanaga.

Bat jalah Krom, HJG, hal. 122.

2. Seri Maharadja Djita-indera.

Menurut Dr. Brandes adalah dalam zaman Sjailendera di Djawa 

Tengah sedjilid naskah  agama bernama Amaramala, jang mungkin 

disalin dari naskah  Amarakosa karangan Amarasimha dalam bahasa 

Sangsekerta. Dalam naskah  itu terdapat kamus Tjandakirana diatas. 

Dr. Brandes. Opstellen, I, 1889; hal. 130.

Pada permulaan naskah-lontar Tjandakirana jang ditemui oleh 

pelukis Raden Saleh tersebut nama Seri Maharadja Djita-indera, 

anggota kaluarga Sjailendera.

220

Menurut Dr. Brandes naskah itu mungkin berasal dari tahun Sjaka 

700. Menurut persangkaan kami, setelah pembatjaan pertulisan Ke- 

Iurak oleh Dr. Bosch, maka Djita-indera mungkin dapat disamakan 

dengan Dharani-indera, djadi memberi alasan kepada persangkaan 

Dr. Brandes dari tahun 1882.

Kepustakaan tentang Djita-indera adalah sebagai berikut:

Holle : Het Sanskrit-oud. Jav. woordenboek, TITLV,

X V I; hal. 461.

H. Kern : Travaux du 6-me Congres des orientalistes,

III, 2, hal. I.

Dr. Brandes : Opstellen, I, 1889; hal. 130.

Dr. A' J. Krom : HJG, Amaramala, hal. 149-152.

3. Lieou-t’eng-wei-kong, 742.

Radja Fo-Che (Seriwidjaja) bernama Lieou-Teng-Wei-Kong 

mengirimkan puteranda pada tahun 728 dan 742 sebagai utusan 

ketanah Tiongkok. Bagaimana nama Tiongkok itu harus dibatja 

dengan bunji Indonesia, belumlah djelas. Batjaan Prof. Poerba- 

tjaraka supaja berbunji Raeng way agong =  „Radja diair besar” 

atau „Radja dilautan besar”  (Poerb. Riwajat Indonesia I, hal. 47; 

Damais: BEFEO, 1957; hal. 625), dianggap oleh Damais sangat aneh, 

karena seorang kepala negara Seriwidjaja memakai nama dalam 

bahasa Djawa-baru.

4. Seri Dharani-warman.

Menurut Paul Pelliot dalam karangannja Deux itineraires (hal. 

334-335), maka pada tahun 724 kepala negara Seriwidjaja (roi du 

Che-li-fo-che; Ferrand, L’empire sumatranais, hal. 217) mengirim­

kan utusan ke-Tiongkok dan mendapat gelar Che-li-t’o-lo-pa-mo, 

jang dibatja oleh Ferrand, walaupun dengan tanda tanja: Qrindra- 

varman (Ferrand, hal. 8). Menurut dugaan kami penjalinan nama 

itu ada djuga harganja, karena dalam nama Che-li-p’o-ta-t’o-a-la-pa- 

mo, radja Cho-p’o pada tahun 435, djuga tersembunji kata seri dan 

warman. Adapun gelar jang diberikan radja Tiongkok kepada Seri 

Indera Warman berbunji: tso-wei-wei-ta-tsing-kiem belumlah dapat 

dibatja, tetapi Damais mcnjalinnja dengan: Grand qeneral de la 

garde de l’Oisseau d’Or de gauche. Tepat sekali pendapat Damais 

jang menjamakan nama kandji itu dengan Seri Dhara ('nij-warmma 

dengan menghilangkan suku kata Ni, dan menjalin t’o-lo dengan 

Dha-ra. Daraniwarman jalah Indera-darani-warman menurut pertu­

lisan Kelurak, bertarich 782. Sekiranja ini benar, maka Darani­

warman meninggal paling achir pada tahun 744, djadi tarich ini 

sangat terlalu tua djikalau dibandingkan dengan tahun 782 menurut 

tarich pertulisan Kelurak, jang berbeda 42 tahun; perbedaan tarich 

itu belum dapat didjelaskan.

221

Nama radja diatas dengan djelas dikatakan masuk radjakula 

Qailendravangatilaka, seperti tersebut dalam pertulisan Kelurak ber­

bahasa Sangsekerta dan bertarich Sjaka 704 (Masehi 782), seperti 

disalin dan disiarkan oleh Prof. Dr. F.D.K. Bosch.

Dalam pertulisan Kelurak djuga tersebut nama anggota Sjailen­

dera Warawairnvarawirawi-mardana dan Dharnvasetu, pada baris 13 

dan nama Qri Sanggramadhanamjaya pada baris 20. Menurut ke- 

terangan diatas, maka jang memakai nama abiseka Dliaranindra- 

warman jalah rupa-rupanja Waisriwarawiraivi-mardani sendiri, jang 

mendjadi nenek Balaputera-dewa atau ajah Samaragra. Beliau 

mungkin meninggal pada permulaan abad VIII, djadi niungkin 

sekali masih berkuasa pada ketika pertulisan Kelurak diguris pada 

tahun 782 Masehi.

5. W airi-war a-wirw-mardana.

^7fmmTvailgg*ta ? jail6ndera ini tersebut pada pertulisan Kelurak 

j. ama itu diulang sebagai anggota Sjailendera dalam pertu- 

isan ieor an berbunji: Sarwwari-madawi-matJiana, sedangkan

menurut pertulisan Nalanda jang tidak bertarich itu berbunji: 

anggota bjailendera Wira-wairi-mathana. Artinja ketiga nama itu 

*{T7K\ JaitU Pe.mblln.uh Musuh Pahlawan. Dalam pertulisan Kalasan

nama itu djuga ditemui dan berbunji: Dhara ni-indera- 

warman. J

w i^ 6nUr,i t Per.tl̂ *san Nalanda maka ditegaskan, bahwa Wairi-wara- 

/’Y jhaT'v!!" 3n**\ seorang radja jang memerintah ditanah Djawa

tilnk  ̂ masuk radjakula Sjailendera (^ailendra-wain^a-

dewJT 3n • erPuterakan Samaragri-grawira, dan berkawin dengan 

Emas Pu*era Balaputera-dewa, radja Pulau

pada^ahun^ft^1 dltetaP^an bahwa radja Samaragrawira meninggal 

berapli’ L- i ’ m a dapat dikirakan bahwa W.w.W.-marda-na

m u n .lc ilu  iaSaann]a pada Perinulaan abad V III; oleh sebab itu 

m e n u  t  3  *a ^  radja Sjailendera Dharan-indra (warman)

le DremiA61/^  lsan Kalasan 778: on constate que vers 775 /778 ,.......

ennemis”  * * e. ra d’Indonesie, Dharanindra, ’ ’tueur des lieros

Rtrniait exercait sa souverainete sur le centre de Java ou il con- 

contRriiirA meme, 8 temples boudhuiques (Kelurak) ou en faissait 

(Kala«an\ & ra â ôca  ̂ Panangkaran successeur de Sanjaya

m a lZ ^  U g o r 'B T V e T P 8 f *  “  8Ur leRon kr-itnn * • u sa residence, if l’emplacement de

taines”  Di-Tl- 1J?c®nnu> et ses relations avec Qrlvijaya restent incer-

Wairi-wara-wirp.i!, aPJltera anak Samarauttungga atau tjutju

Siailendpra * £Via’ n ^etiga-tiganja anggota radjakula

kidatuan Seri^Ijaja 83 di‘anah Dji>Wa da“ Sumatera dala“

222

6. Samara-agrawira-tungga.

Dalam pertulisan Karang Tengah 824 tersebut nama Samara­

tungga sebagai radja Sjailendera, dan nama itu disamakan dengan 

Samaragrawira menurut pertulisan Nalanda. Djadi dialali jang 

mendjadi ajat Balaputera-dewa dan puteri Pramodawarddhani. 

Menurut pertulisan Ratu Baka bertarich 856, maka pada tahun itu 

Balaputera berpindah dari tanah Djawa menudju Pulau Emas 

(Sumatera) dan mendjadi kepala negara Seriwidjaja. Radjakulanja 

tetap Sjailendera.

7. Pramoda-wardani.

Nama Pramodawardani tersebut dalam pertulisan Karang Tengah 

bertarich 842 dalam bagian berbahasa Sangsekerta sebagai anak- 

puteri Samaratungga, hiasan kaluarga Sjailendera, Prass. hal. 45-46. 

Dr. de Casparis menjamakan puteri Pramodawardani dengan Seri 

Kehuluan menurut pertulisan (Jrl Kahuluan. Prass. Indon. I.

Djadi apabila pertulisan Karang Tengah ditemukan dengan per­

tulisan Nalanda, maka njatalah bahwa Puteri Pramodawardani 

jalah kakak Balaputera-dewa, jang berpindah pada tahun 856 dari 

Tanah Djawa kepulau Sumatera, menurut pertulisan Ratu Baka 

856. Perkataan bala dalam nama Balaputera menundjukkan bahwa 

dia jalah putera bungsu jang berkakak Pramodawardani.

Karena nama puteri itu ditulis pada tjandi Plaosan disebelah 

nama Ratu Rake Pikatan, maka Dr. de Casparis dengan beralasan itu 

menjangka, bahwa puteri itu sebagai anggota Sjailendera berkawin 

dengan Rake Pikatan (Rake Garung) sebagai anggota radjakula 

Sendjaja. Prass. Indo. I.

Setelah tahun 856, maka nama Sjailendera hilang lenjap dari 

pulau Djawa, tetapi turunan Pramoda-Pikatan terus memperingati 

turunannja dengan memakai kata tunggal (Tonggak dalam nama 

abiseka: barang mendjulang, jaitu Sjailendera) pada nama kebe- 

sarannja.

8. Balaputera-dewa.

Dua kali namanja tersebut, jaitu dalam pertulisan Nalanda jang 

tak bertarich, tetapi sebelum perang dunia II telah dikirakan oleh 

Dr. Bosch berasal kira-kira dari tahun 860. Sesudah pertulisan Ratu 

Baka ditemui, dibatja dan disalin oleh Dr. de Casparis sesudah 

perang dunia II, maka ternjata tarich dugaan itu mungkin sekali.

Oleh karena pertulisan Karang Tengah membuat nama samaratung­

ga jang dinamakan dengan Samaragrawira menurut pertulisan Na­

landa, maka njatalah Balaputera-dewa dan puteri Pramoda-wardani 

itu bersaudara, apalagi karena kata Balaputera artinja anak-bungsu, 

sehingga puteri Pramodawardani jalah anak sulung, jang bertinggal 

dipulau Djawa ketika Balaputera pada tahun 856 berpindah ke-

223

pulau Emas (Suwarnabhumi). Jang mendjadi ibunja jalah Dewi 

Tara, anak Darmasetu jang bukan anggota Sjailendera, melainkan 

menurut pertulisan Nalanda masuk bangsa Bulan (Soma-wangsa). 

Timbullah pertanjaan siapa jang bernama Darmasetu itu.

Dengan tegas ternjata, bahwa Balaputera baik dipulau Djawa 

ataupun sesudah bersemajam dipulau Sumatera tetap mendjadi 

anggota radjakula Sjailendera. Dialah jang berpindah dari Djawa 

Tengah sebagai mandala Seriwidjaja di Djawa Tengah dibawah 

kekuasaan radjakula Sjailendera menudju kepulau Sumatera dan 

mendjadi kepala negara Seriwidjaja, jang memberi wakaf lima 

desa ke Biara Besar di-Nalanda, kira-kira pada tahun 860.

Balaputera jalah jang mempunjai turunan radja Seriwidjaja 

masuk radjakula Sjailendera dalam abad-abad sesudali abad X, 

dengan namanja:

Tjuda-mani-ivarman

Seri Marawidjaja-uttunggawarman

Sanggrama-widjaja-uttu nggawa rman 

Adji Sumatera-bhumi.

9. Tjuda-mani-warma-dewa, 1003 —  1005.

Dalam abad kesebelas pemerintahan negara Seriwidjaja berturut- 

turut dikenalkan oleh enara kepala-negara, jaitu:

1. Seri Tjuda-mani-warma-dewa

2. Mara-widjaja-uttungga-warman

3. Seri Darmapala

4. Adji Sumatera-bhumi

5. Sanggrama-widjaja-uttungga-warman

6. Seri Dewa

Dalam naskah  babad Song Che (960-1279) disebutkan, bahwa pada 

tahun 1003 v 1

ui ; 

radja Sseuli-tchou-lo-wou-ni-fo-ma-tiap-houa (Coedes:

^rTculamanivarmadeva) mengirimkan dua orang duta dengan mem- 

bawa kabar, bahwa dinegerinja telah dibangun Tjandi Bungsu.  ̂

Nama radja Seriwidjaja itu tersebut lagi dalam Piagam Raja 

jang kini disimpan dikota Leiden, jang menjebutkan bahwa beliau 

jalah ajahanda radja Mara-widjaja-uttungga-warman.

10. Mcirci-tuidjaja-uttungga-warnian.

Nama beliau tersebut dalam Piagam Raja dikota Leiden sebagai 

putera radja Tjuda-mani-warma-dewa, seperti didjelaskan diatas.

11. Adji-sumutera-bhumi, 1017.

Kepala negara Seriwidjaja bernama Hia-tch*e Sou-wou-tch*a- p ’on-

mi mengirimkan duta ke Tiongkok membawa seputjuk 6urat tertulis 

dan surat.

224

Dalam nama dengan aksara kandji itu tersimpan nama gelar 

Hadji (kepala negara, radja) dan bumi Sumatera, pertama kalinja 

dalam sedjarah. INama Samudera tak tersimpul dalamnja. Su-matra 

dan Su-warna (dwipa) adalah satu pengertian dengan dua perkataan, 

karena warna dan matra dalam kedua nama (Suwarna =  

emas) dan Su-matra =  dapat difahamkan lebih lekas

dari pada membawa pengartian Samudera =  Lautan kedalamnja.

12. Seri dewa, 1028.

Menurut babad Song Che, maka pada tahun 1028 dalam bulan 

ke-8 radja San-fo-ts’i (Seriwidjaja) bernama Che-li-tie-houa (Ch. 1. 

t.-hwa) mengirimkan duta ke-Tiongkok. Nama itu disalin oleh 

Ferrand mendjadi £rldewa. (J.A. 1922; n :  20, hal. 20).

HI. KESIMPULAN.

Selandjutnja penjelidikan sedjarah dapat disimpulkan, bahwa 

pemerintahan Seriwidjaja, baik dipusat ataupun dimandala, diken- 

dalikan oleh radjakula Sjailendera, sehingga ternjata hubungan 

antara negara dengan pemerintahan, jang tak dapat dipisah-pisah- 

kan. Kita memadjukan hanja beberapa alasan jang memperkuat 

pendirian itu.

Pertama:) Balaputera, jang berpindah dari Djawa ke Sumatera 

pada tahun 856, tetap mendjadi anggota radjakula Sjailendera, baik 

ketika di Djawa Tengah sebelum tahun 856 ataupun sesudah tahun 

itu ketika sudah mendjadi kepala-negara Seriwidjaja dipulau 

Sumatera.

Kesimpulan jalah: Sjailendera nama dina&ti dan Seriwidjaja nama 

negara jang dikuasai oleh dinasti tersebut.

Kedua: Kepala negara Seriwidjaja dinamai menurut pertulisan

Vieng Sa QrTwijayewarabliupati, Qriwijayendraraja dan menurut 

pertulisan Nalanda Suwarnadwipadhipamaharajct, dan dengan tegas 

ternjata bahwa segala kepala negara itu jalah anggota dinasti Sjai­

lendera, sehingga menimbulkan kesimpulan jang sama pada angka 

pertama.

Ketiga: Menurut Piagam Raja dikota Leiden maka anggota

radjakula Sjailendera bernama Marawidjaja-uttunggawarman putera 

Tjudamaniwarman, mendjadi radja menguasai Kataha dan Seriwi­

djaja, sehingga ternjata lagi hubungan antara negara dan dinasti 

dalam rangka kesatuan tatanegara.

Keempat: Istilah Qailendra-vanqa, Qailendraraja sama isi dan

maksudnja dengan istilah Radja-radja Melaju atau Radja-radja 

turunan Siguntang, karena dalamnja tersimpan urat kata Sjaila- 

malai-gunung, jang membawa hubungan jang sangat rapi antara

225

150/B (15)

\

naluri sedjarah dengan kepertjajaan dan kesatuan tatanegara, itupun 

lepas dari djawaban pertanjaan dimanakah lelaknja Malayu atau 

Bukit Siguntang.

Sampailah tindjauan ini kepada bagian penutup. Pada saat itu 

penulis berasa gembira dapat menghidangkan hasil pembatjaan dan 

penjusunan kembali negara Seriwidjaja jang getua keradjaan 

Rumawi karena mengisi ruangan waktu, selama satu millenium 

atau 10 abad. Hasil penjelidikan jang memuaskan hati penulis itu 

adalah dimungkinkan oleh karena dapat mempergunakan balian- 

bahan lama dan baru jang ditemui sebelum dan sesudah perang 

dunia kedua dan dengan mempergunakan pula ilmu penge- 

taliuan hukum-negara Indonesia sebagai ilmu pembantu dan selan- 

djutnja karena berhasil memberi tempat kepada hasil penjelidikan 

itu kedalam kerangka sedjarah nasional Indonesia jang kini mem* 

perhitungkan faktor kemerdekaan dalam penjusunan-kembali 

sedjarah negara nasional Indonesia jang kesatu Seriwidjaja dibawah 

kekuasaan radjakula pemerintahan Sjailendera. Hal itu baru mung­

kin setelah semangat penjelidikan didorongkan oleh Amanat Pro­

klamasi Kemerdekaan 1945 kepada dunia kesardjanaan Indonesia.

Kita tidak mentjari tempat asalnja itu Sjailendera keluar tanah 

Indonesia, melainkan hanja meminta perhatian, bahwa dalam 

pemudjaan nenek-mojang orang Indonesia sedjak purbakala 

melakukan pemudjaan „barang jang mendjulang kelangit 

(gunung, bukit, pohon, lingga, tiang, tunggak) dan kepertjajaan 

ini adalah asli dan sesuai dengan kepertjajaan kesaktian. Dalam 

istilah Sjailendera dan Malayu tersimpul pemudjaan gunung atau 

bukit: sjaila, malai, gunung, giri, dan prawata. Nama Siguntang 

adalah ringkasan dari si-gunung-dapun-tahiang, seperti 6ebagiau 

tersebut dalam nama Dapunta-biang, kepala negara Seriwidjaja 

pada pengliabisan abad VH. Radjakula Sjailendera jalah radjakula 

Indonesia asli, jang berurat kepada kepertjajaan dan keperihadian 

Indonesia sendiri.

Pembatjaan kembali seluruh kepustakaan Seriwidjaja sedjak 

tahun 1876 dan kini dengan memperhitungkan faktor kemerdekaan 

dan menurutkan pendapat Prof. A. Toynbee, sehingga dapatlah 

sedjarah Seriwidjaja selama seribu tahun dibagi atas 4 dewasa, 

jaitu: zaman terbit (genesis; abad IY-683); zaman pertumbuhan 

(growth; 683-1178); zaman keruntuhan (breakdown; 1178-1286) dan 

zaman hilang-tenggelam (disintegration; 1286-1406). Dengan demi- 

kian maka dapatlah ditempatkan sedjarah negara Seriwidjaja 

dibawah radjakula Sjailendera dalam rangka kesatuan-tatanegara 

pada babakan nasional, jang berachir dengan Singasari-Madjapahit 

zaman kedua dalam babakan ketiga ditahun 1525.

226

Hasil penjelidikan jang menggirangkan diatas mungkin meng- 

gembirakan pula sardjana hukum adat van Vollenhoven, jang men- 

tjurahkan perhatian kepada kehidupan sedjarah hukum Indonesia, 

itupun sekiranja beliau masih hidup, karena sardjana itulah jang 

kagum melihat kemadjuan penjelidikan sedjarah Indonesia dalam 

zaman 1918-1928, sehingga pada 1931 dapatlah dibatja djeritan 

djiwa seorang ahli jang ikut bersuka hati melihat perkembangan 

jang memuaskan, seperti dituliskannja dalam naskah nja 9iHet Adat- 

recht”  (II, hal. 8067; tentang Rechtsverleden van Indonesiers): 

Van de adatreclitsstudie der toekomst moet, als maar het historisch 

materiaal genoegzaam kan worden verrijkt en door rechtsvergelijking 

sprekend kan worden gemaakt, de liistorische beschrijving niet een 

aanhangsel blijven, maar het raam, de lijst, het kader worden. Ook 

hier gelden de gedachten, die in 1815 Van Savigny, Eichhom en 

Goschen bewogen tot hun Zeitschrift fiir geschichtliche Rechtswis- 

senschaft. Binnen zoo korten tijd is, door een reeks gelukkige 

vondsten, een gansclie historie van oud-Sumatra en oud- Java op- 

gedoken voor ons verraste oog, dat ook voor de historie van het 

Indonesische recht moedeloosheid niet past” .

Dan kongres MIPI pertama dikota Malang memasukkan sedjarah 

Seriwidjaja kepintu gerbang pembatjaan dan penjusunan kembali 

dan pada kongres kedua dapatlah kita siarkan hasil jang tertjapai 

sampai ketahun 1962, tahun pembebasan Irian Barat.

227


PASAL XVL

PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN MADJAPAHIT 

DARI 1293 SAMPAI 1525 MASEHI


PASAL XVI.

PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN MADJAPAHIT 

DARI 1293 SAMPAI 1525 MASEHI

231. Dalam pasal X  telah kita bentangkan tentang pertumbuhan 

hukum Madjapahit. Hal itu kita lakukan tentang hukum Madjapahit 

setjara umum. Dalam pasal XVI jang kita hadapi ini tindjauan 

hukum itu kita beratkan dan pusatkan kepada hukum ketatanega­

raan Madjapahit, djadi hanja tertudju kepada bagian ketatanegara­

an sedjak dari tahun 1293 ketika bermulanja negara Madjapahit 

sampai kepada acliirnja, kira-kira pada tahun 1525 Masehi. Bidang 

itu tjukup luasnja untuk diselidiki dan liasil-hasil penjelidikan itu 

kita eimpulkan.

Hukum tatanegara dan tatapradja, serta hukum pidana jang ber­

laku dalam masjarakat Madjapahit jalah hukum-kebiasaan Indone­

sia. Hukum agama Sjiwa dan Buda hanjalah berhubungan langsung 

dengan gerak-gerik kesusilaan dan hidup kebatinan manusia; 

hukuman pelanggaran kesusilaan hampir tak ada hubungannja 

dengan liukuman-pidana nasional, malahan diantara pelanggaran 

kesusilaan banjaklah jang tidak diantjam dengan hukuman duniawi, 

melainkan tjukup dit.impa dengan tjelaan belaka atau hukuman- 

mazhab atau desa pada liari acliirat. Memang hukum-kesusilaan itu 

banjak pengaruhnja kepada peradaban, kebatinan dan tingkah-laku 

manusia, tetapi hukuman duniawi sebagai sanction jang berupa 

hukuman denda, hukuman-bunuh atau bermatjam-matjam hukuman 

lain jang benar-benar berlaku dalam masjarakat tidaklah mendjadi 

unzur azasi pada hukiun-kesusilaan Indonesia selama pemerintahan 

Madjapahit berkuasa.

Ada kalanja dalam kepustakaan lama dipakai istilah hukum Hindu 

dalam rangka hukum kebiasaan dizaman Madjapahit. Pemakaian 

istilah itu banjak menjesatkan; oleh sebab itu harus dibatasi dan 

didjelaskan.

Adapun perkataan Hindu dalam istilah hukum-Hindu berhubung­

an hanja dengan gedjala-gedjala agama dan peraturan ibadat belaka, 

dan tidaklah menundjukkan perseorangan atau kebangsaan. Walau- 

pun ditanah Birma dikenal hukum Buda berupa dlmmmasatth atau 

dharmagastra, tetapi dalam kepustakaan Djawa-lama dan Bali 

tidaklah hal jang sedemikian. itu dikenal, seperti Sailan tidak me- 

ngenalnja. Sangatlah gandjil oleh sebab itu tempatnja naskah  hukum 

Hindu berbahasa Djawa-lama didudukkan dalam naskah  Hindulaw 

and Custum karangan Julius Jolly (1928) pada pasal § 13. Buddhist 

lawbooks (hal. 89— 95), walaupun seperti diketahui van Vollen-

231

hoven telali memperingatkan kechilafan itu dalam naskah nja Het 

Adatrecht II (hal. 132) sudah pada tahun 1931 ketika karangannja 

diterbitkan berhubungan dengan naskah Jolly itu jang berbahasa 

Djerman Recht und Sitte (1896 hal. 41— 44).

Seluk-beluknja peraturan-agama Hindu dengan kehidupan hukum 

kebiasaan, seperti berlangsung dalam perdjalanan sedjarah Indo­

nesia, telah diselidiki sedjak permulaan abad ke-19 sampai keabad 

sekarang, jaitu diantaranja oleh sardjana: Raffles, Crawfurd, Jonker, 

Juynboll, Friederich, Brandes, Kern, Krom, Vollenhoven, Korn, 

Lekkerkerker, Soebroto dan Naerssen. naskah  karangan para-sardjana 

itu didapat dibagian kepustakaan. Dalam karangan ini penjelidikan 

itu dilandjutkan dalam batasan pertanjaan, kitab hukum Hindu 

manakah jang dikenal selama negara Madjapahit berkuasa dan 

bagaimanakah perhubungannja dengan kehidupan-hukum Indo­

nesia pada babakan jang bersangkutan, serta sampai kemanakah 

kitab-kitab hukum Hindu itu mempengaruhi kesusilaan dan kehi­

dupan-hukum kebangsaan.

Kitab peraturan hukum Hindu seperti dikenal dalam sedjarah 

kebudajaan Indonesia mula-mulanja dikemukakan pada permulaan 

abad ke-XIX oleh dua orang pengarang Inggeris, jaitu: Raffles 

dalam naskah nja The history of Java (1817, hal. 438 dll.) dan 

Crawfurd dalam karangannja History of the Indian Archipelago 

etc (1820). Lebih mendalam pengetahuan Friederich tentang hal 

tersebut, sebagai bagian dari pada kepustakaan Djawa lama dipulaii 

Bali; disebutkannja dalam naskah nja Voorloopig Verslag v.h. Eilan 

Bali (VBG, 1849) tidak kurang dari pada 12 nama kitab liukuni 

sastera.

Dengan mengumpulkan kedua-belas nama kitab hukum Hindu 

jaitu: DJmrmagastra atau Smrti jang pernah dikenal dipulau Djawa 

dan Bali seperti dikemukakan oleh sardjana Dr. Juynboll (BKI, 

LXXI, hal. 568 —  569) dan Dr. Friederich (Bali, )? maka

Dr. R. C. Majumdar dalam naskah nja Suvarnadvipa (1938; hal. 1 3)

menjebutkan satu-persatu, jakni: 1. Sarasamuccaya; 2. Syara Jamba;

3. Sjiwasjasana; 4. Purvadhigama; 5. Purvtuigama berbahasa Bali;

6. Deyagama (Krtopapati); 7. Kutaramanava; 8. Gadjah Mada;

9. Adigama; 10. Kerta Sima; 11. Kerta Sima Subak dan 12. Pasvara.

Diantara segala kitab jang 12 buah itu tidaklah semuanja berhu­

bungan langsung dengan dunia-liukum Madjapahit.

Adapun peraturan-peraturan agama Sjiwa pada mulanja bersom­

ber kepada pemudjaan Manu jang dimuliakan ditanah India atau- 

pun djuga dahulu dibeberapa bagian ditanah Indonesia sebagai 

pembentuk, penjusun atau pentjipta peraturan-peraturan keagainaan 

Hindu. Malahan didalam kitab Cewaqasana sebagai pembuat per­

aturan agama dimuliakan dengan nama „bhattura prabhu Manu, 

paduka gri maharaja”  jang berkuasa sebagai rahyangta ri Mdang

232

(Pigeaud, Tantu Panggelaran, 1924, hal. 300 —  301). Begitu pulalah 

halnja sampai kezaman Madjapahit jang memangku paduan agama 

berpilin tiga: tindjauan ruhani kesaktian, Kesjiwaan dan Keasauga- 

taan. Seperti diketaliui peraturan hukum-agama dinamai vyavahara 

sebagai bagian dari pada keagamaan dan kesusilaan; kitab hukum- 

agama bernama dharma^astra.

Peraturan-peraturan Mann telah beberapa kali diterbitkan selu- 

ruhnja di Eropah dan di India, baik dalam bahasa Sangsekerta 

ataupun menurut salinannja. Dalam abad jang lampau Georg Buhler 

menerbitkan peraturan Manu dalam Sacred Books of the East 1886, 

dan oleh Nurayan Mandlik dalam Manava-dharma Satra (1886).

Setahun sesudah itu pada tahun 1887 telah diterbitkan pula 

karangan J. Jolly berisi peraturan-peraturan Manu dengan bernama 

Manava Dharma Sastra berbahasa Sangsekerta dengan berhuruf 

dewanegari; kitab hukum itu terbagi atas 12 naskah .

240. Sebelumnja kita menindjau lebih landjut tentang perkem­

bangan hukum Hindu di Indonesia terutama pada zaman Madja- 

p ah it, maka lebih dahulu kita madjukan tjatatan berisi beberapa 

istilah Sangsekerta seperti pernah dipakai dalam kepustakaan Djawa- 

lama.

Kesatuan-liukum desa dengan berhak autonomi menurut hukum 

adat Indonesia pada waktu sekarang, dikenal djuga dalam piagam 

(gasana; prasasti)  dengan nama lain, jaitu: swa grama (grama); kota 

tempat kediaman bernama pura. Pertulisan Pelumpungan (752) 

menamai desa Hampran (Prampelan) dengan perkataan: Hampra- 

grama. Jang mendjadi inti dari pada susunan masjarakat jalah 

kesatuan-kaluarga jang dinamai hula; dan diatas kesatuan ini ter- 

susun kesatuan jang lebih tinggi, jaitu gotra, jang beranggota 

eenama (gotraja; sagotra). Kesatuan-kaluarga jalah bersifat persa­

tuan harta-benda, perumahan, penjembalian nenek-mojang, dan 

kedewaan bersama. Perkumpulan didirikan untuk mengerdjakan 

perusahaan-hidup dan untuk kepentingan agama dengan memakai 

pelbagai nama, seperti: gana, puga dan greni.

Kesatuan-desa dan kesatuan kaluarga disalin dalam bahasa 

Inggeris dengan nama: joint villages (village communities) dan joint 

families. Jang mengepalai kaluarga bernama grhin.

Berhubungan dengan perseorangan dalam masjarakat dikenal 

istilah warna jaitu kasta jang empat: berahmana, seteria, waisja dan 

sudera. Ketiga kasta jang paling tinggi dianggap mendjalani pen- 

djelmaan jang dua kali (dwidja). Orang tani dizaman Madjapahit 

dianggap meliputi djuga orang 6audagar. Wakaf didirikan menurut 

surat wakaf (gasana).

233

Hukum Hindu mengenal dewan dewa (sabha), selainnja dan pada 

pengurus jang melaksanakan pemerintah desa (samuha). Kepala 

desa (gramadhipa, gramani) diangkat oleh radja dan pangkat 1 u 

diwariskan turun-temurun untuk mendjalankan keamanan a 

pemungutan tjukai.

Menurut darmasastera maka radja djuga mempunjai kekuasaan 

memberi putusan dalam peradilan, baik sendiri ataupun dengan 

bantuan beberapa anggota jang bernama sabhyah. Apabila radja 

berhalangan, maka beliau digantikan oleh wakil jang ahh c aam  

hukum Hindu oleh pradiwaka. Adalah hakim rendah (dliarmastha), 

dan ada pula jang bagian tinggi (prndestar). Dewan-hakim atau 

mahkamah-agama berlainan dari pada rapat-ulama ( pan  5 

tidak memutuskan peradilan, melainkan bersidang untu 

hilangkan pertikaian pengartian terhadap isi kitab sa&tera 

agama. Hakim agama dinamai: dharmadhikarin; naina ra , J* » 

dipakai dipulau Bali, tidak dikenal dalam hukum Hin n. 

dyaksa atau adhyaksa jalah pedjabat jang mengawasi tana a 

(perdikan), dan dapat dibandingkan dengan kedudukan menten 

urusan wakaf ditanah Mesir.

Radja berhak menurut darmasastera men-anugeralikan *a*ja 

kepunjaan negeri kepada orang berahmana, dan penjera an a 

itu ditetapkan dalam prasasti; begitu pula masuk kepada wewena „  

radja menjerahkan hak-tanah kepada orang lain, memeti 

hasilan dari tanah itu atau rumah dan bagian desa; “ a UvTC/7 * 

ini didasarkan kepada pemberian tanah (b h u d a n a , ^  

anugraha). Agak berlainan dari pada penjerahan tana 1  P

hadiah, jalah adanja suatu tatahan-hukum jang lain, sehingga p 

tikan tjukai untuk radja dipindahkan kepada orang jang men aP 

hadiah; kedudukan kesatuan atau orang jang menerima^ anucer 

itu dinamai swatantra. Hasil tanah disembahkan sebagian se agai 

upeti kepada radja, dan bernama utpatti.

Radja mempunjai kekuasaan mengatur tatapradja pasar a 

pekan, tjukai dan timbangan. Ivekajaan dinamai 1 a 

Dibedakan antara kepunjaan p e rse o ra n g a n  ( swatawa, steamy 

dengan hak-milik (bhukti, bhoga); jang mempunjai hak Per*an™ 

bernama swamin; dan pemilik: bhokter atau upabhoktr. i  erbeaa 

antara eigendom dan milik tidaklah sama dengan perbedaan menl1™ 

hukum Rumawi, melainkan oleh van Vollenlioven (Adatrecht i  , 

hal. 146) disamakan perbedaannja antara hak daduh dan muwe 

(gadah) menurut hukum-adat Djawa waktu sekarang.

Menurut hukum Hindu tidaklah dibedakan antara urusan perdata 

dan urusan pidana; hanjalah ada perbedaan perkara utang-piutang 

berupa mata uang (dhanasamudbhawa) dan perkara karena Pe“ S‘ 

hinaan (himsasamudbhawa). Kata-kata Sangsekerta jang kita pungu

234

dari pelbagai naskah  liukum Hindu, tidaklah kita madjukan untuk 

mentjegah timbulnja pikiran, bahwa seolah-olah hukum Hindulah 

jang berlaku dengan segala kenjataannja dalam masjarakat Indo­

nesia. Djaminan jang sedemikian sungguh tak ada. Memang ada 

djuga berlaku bahwa beberapa tatahan hukum menurut sastera 

Hindu bersama-sama dengan istilah berbahasa Sangsekerta masuk 

mendjadi bagian hukum kebiasaan Indonesia jang dinamai oleh 

Prof. V. van Vollenhoven „godsdienstig deel van het adatrecht (Het 

Adatrecht II, 1931, hal. 126, 130), tetapi sungguhlah tidak sedikit 

djumlahnja tatahan-hukum Indonesia jang dinamai dengan istilah 

Sangsekerta menurut sastera Hindu; pemindjaman kata dan istilali- 

hukum tidaklah berarti pengambilan isi tatahan-hukum. Pemin­

djaman atau pemasukan kata-kata asing dari dunia hukum Hindu, 

Islam dan Kristen oleh hukum adat Indonesia, harus dibedakan dari 

pada soal pemasukan hukum asing kedalam hukum nasional Indo­

nesia.

Kita pusatkan perhatian kepada tudjuh kitab hukum jang utama, 

jaitu: Agama, Adi-agama, Sarasamutjaja, Radjapratigundala,

Sjiwasjasana, Ivutaramanawa dan Purwadigama.

Diantara kitab-hukum Hindu berbahasa Djawa-lama telah ada 

jang disalin kedalam bahasa Indonesia dan Bali-tinggi, baik dengan 

huruf Latin ataupun dengan aksara Bali; empat naskah  itu jalah: 

Agama, Adi-agama, Kutara-agama dan Purwa-agama. Pada tahun 

1928 ditjetak salinan Kutara Agama dalam bahasa Indonesia dan 

Bali-tinggi (89 katja), salinan Purwa Agama (49 katja) dan salinan 

Agama (89 katja); salinan dilaksanakan oleh I Gusti Patu Djelantik. 

Bersama-sama dengan Ida Bagus Oka penjalin itu telah mentar- 

djamahkan sembilan tahun lebih dahulu dari pada ketiga terbitan 

diatas tadi; salinan itu telah ditjetak djuga dikota Djakarta, jaitu 

kitab liukum-Hindu: A g a m a  sebagai salinan dari Kutaramanawa, 

jang tebalnja 100 katja berhuruf Latin dan 140 katja beraksara 

Bali, dan kedua: Adiagama, jang tebalnja 93 katja berhuruf Latin 

dan 129 katja beraksara Bali. Kelima-lima kitab hukum itu ada 

hubungannja dengan kitab berbahasa Djawa-lama seperti akan di- 

uraikan dibawah ini.

1. Kitab Agama jalah kitab Kutaramanawa, jang terkumpul men­

djadi satu dari dua petjahan asali jaitu kitab Kutara tjiptaan 

Bhregu dan Manawa tjiptaan Manu. Kitab Agama atau Kutara­

manawa ini banjak samanja dengan kitab asali Mamiicadharmaqastra, 

selainnja berisi beberapa tatahan hukum kebiasaan Indonesia jang 

djuga kadang-kadang didapat didalanmja. Kitab Agama inilali jang 

sebagian besar diterbitkan dan disalin kedalam bahasa Belanda oleh

Dr. Jonker (1885; terbagi atas...........  pasal), tidaklah disebutkan

apabila dan oleh siapa naskah -hukum itu disusun.

235

2. Dalam kitab Adi-agama disebutkan, bahwa penjusunannja 

berlangsung pada tahun 1323 Sjaka oleh seorang radja Madjapahit, 

djadi oleh perabu Wikramawardana (1389 — 1429); djuga tersebut 

didalamnja peraturan jang harus didjalankan oleh patih Tuan 

Kanaka, jang berkuasa menurut Brandes dan Krom dari tahun 1413 

sampai 1430, djadi jang memang mungkin sekali mendjadi patih- 

mangkubumi dibawah perabu Wikramawardana (Parr. hal. 168 

169; dan Krom HJG, hal. 445). Kitab Adi-agama banjak samanja 

dengan Kutaramanawa, jang menimbulkan kesan berusia lebih tua 

dari kitab pertama. Menurut dugaan kami kitab-hukuni Kutara­

manawa berasal dari abad ke-14 jaitu disusun pada ketika perabu 

Ajam Wuruk dan patih Gadjah Mada berkuasa, djadi kira-kira pada 

tahun 1360.

3. Dan kini marilah kita tindjau naskah  jang ketiga: Purwadi- 

gama.

Prof. Krom (HJG, hal. 230) memadjukan tiga matjam naskah  

Sjiwasjasana, jaitu: Sjiwasjasana jang menjebutkan djuga nama 

pada achirnja nama jang lebih pandjang: Qiwagasanasasaroddhrta 

(Friederich, VGB 1849; XXn, hal. 23 —  28); kedua: Qiwa&sana 

seperti dimaksud dan tersebut dalam daftar Yuynboll (Suppl. Cat. 

Jav. handsch. 1911; II, hal. 195 d ll.); ketiga: Qewaqasana; seperti 

dimaksud dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924, hal. 300 —  302). 

Kitab-hukum jang pertama itu biasanja dinamai dalam kepustakaan 

Purwadhigama; dipulau Bali dikenal pula naskah -hukum Purwa 

Agama, jang lebih muda usianja dari pada kitab jang tersebut lebih 

dahulu itu.

Purwadigama jang kita maksud pada bagian ini dipakai sebagai 

pedoman dalam abad ke-XIV dalam masjarakat para-ulama Madja­

pahit.

Adapun kitab Purwadigama itu seperti telah diterakan dinamai 

djuga Sjiwasjasana, seperti berkali-kali tersebut pada beberapa 

naskah kitab Purwadigama dipulau Bali. Perlulali dikemukakan, 

bahwa kitab hukum itu jalah penjusunan Madjapahit dan tidak 

berasal dari kitab Sjiwasjasana abad ke-X.

Berdasarkan Van der Tuuk (Kamus K.B.N.) maka Prof. Krom me- 

njangka, bahwa Purivadhigama seolah-olah menjebutkan didalamnja 

nama gr“ Dharmawangqa teguh Anantawikramotunggadewa, jang 

menerbitkan pertulisan Sjaka 913, liingga timbullah pendapat Krom, 

bahwa Purivadhigama itu seolah-olah berasal dari babakan-sedjarah 

sebelum perabu Airlangga berkuasa dalam abad ke-XI Masehi; 

tetapi kitab sastera Purwadhigama .itu sendiri tidaklah menjebutkan 

nama Seri Darmawangsa tadi itu, melainkan benarlah ada tersebut 

hanja dalam glossarium Bali. Menurut Dr. van Naerssen keadaan 

demikian dalam kenjataannja sangat berlainan dengan pendapat 

commentator kitab Bali, jang djauh lebih muda dari pada sastera 

jang asli.

236

i

Dengan menjalahkan pendapat Krom tadi itu, maka selandjutnja 

menurut pendapat kami Dr. van Naerssen berhasil menempatkan 

kitab-hukum Purwadhigama pada pertengahan abad ke-XIV; pada 

waktu itulah bentuk achir tersusun. Kita salinkan satu dua alasan 

bagi pendapat itu. Pertama ternjata, bahwa tatahan hukum sekitar 

dewan-agama dan dewan-pengadilan jang bernama pragwiwaka dan 

i ivyaivaharawichedaka meliputi darmadjaksa jang dua dan hakim

upapati jang tudjuh; selandjutnja beberapa kalimat jang serupa 

dalam Purwadhigama mengarahkan dan menimbulkan fikiran, 

bahwa kitab sastera itu tersusun dalam babakan-sedjarah jang diisi 

oleh pertulisan Gunung Butak, Terawulan, Sidateka, Bandasari dan 

Sekar (=± 1294 — 1360) dan baru selesai disusun sempurna men­

djadi naskah  kira-kira pada tahun 1364. Alasan Dr. van Naerssen jang 

» lain jaitu pendapatnja, bahwa patik gundala menurut utjapan

pudjangga Prapantja (Nagkr. sarga LXXXI) jalah nama naskah - 

hukum tentang lial dan kewadjiban, dan jang dimaksud diantaranja 

jalah kitab-sastera Punvadhigama, sehingga kitab itu sebelum tahun 

1365 sudah selesai menurut bentuk dan isinja. Djadi ringkasnja 

menurut Dr. van Naerssen maka kitab sastera Purwadhigama itu 

tidaklah berasal dari abad ke-X, melainkan adalah susunan Madja­

pahit antara 1294 dan 1364, atau lebih tegas lagi kira-kira pada 

pertengahan abad ke-XIV.

Hasil penjelidikan itu tidak mengandung pendapat, bahwa kehi- 

dupan hukum Madjapahit adalah menurut atau berdasarkan Purwa­

dhigama. Sekali-kali tidaklah sedemikian. Pertama-tama kitab itu 

adalah kitab peraturan agama jang mendjadi pedoman bagi 

kesusilaan, sedangkan dikalangan Rakjat atau didaerah dan desa- 

desa jang berlaku jalah liukum-kebiasaan.

Pendapat itu dapat djuga dibatja pada beberapa pertulisan. Kitab 

Punvadhigama dipakai sebagai pedoman kesusilaan menurut per­

aturan agama, dan sikap' berpedoman itu dinamai dengan istilah 

„matanggwan”  ( ) dan prayoga ( ) :  tanggwan jalah:

boleh dipertjaja dan prayoga: baik, lajak, patut dilakukan. 

D.irasakan pula menurut kesedaran hukum sikap berpedoman itu 

berlainan dari pada sikap harus tunduk kepada peraturan hukum. 

Dunia hukum seolah-olah terbagi atas dua pihak (belah), jang 

pertama dengan berpedoman tanpa akibat hukuman duniawi, dan 

jang kedua kepatulian kepada peraturan sehari-hari (laukika) dan 

peraturan menurut isi-keterangan ivyawahara jang 18; keterangan 

itu dinamai padartha.

Menurut bentuk susunannja, maka kitab Purwadigama jalah 

sematjam prasasti dengan menjebutkan nama-nama pegawai peme­

rintahan, agama dan kehakiman, hak radja dan pada bagian penutup 

diachiri dengan utjapan sumpah. Kitab sastera itu dinamai djuga 

Qiwagasana, artinja suatu piagam bagi para-ulama agama Sjiwa. Dari

237

nama ini ternjata pula bahwa naskah  sastera Purwadigama itu jalah 

naskah  peraturan agama jang diarahkan untuk mendjadi pedoman 

para ulama agama Sjiwa, atau menurut kalimat: para mpungku 

makabehan, sahana sang gumego Qiwagama (para-ulama semuanja, 

seadanja jang mematuhi agama Sjiwa). Kuatlah pendapat Dr. van 

Tsfaerssen jang menjatakan menurut hasil penjelidikan, bahwa 

Purwadigama jalah suatu leidraad, sedangkan pemakaian hukum 

kebiasaan dirumuskannja: In de dessa’s heerschte het adatreclit voor 

honderd procent, doch uit de oorkonden en uit de geschriften van 

het soort waartoe de Purwadhigama behoort, krijgen wij den sterken 

indruk dat in de kraton dit adatreclit, zooveel als mogelijk was, 

aangepast werd aan het klassische Hindoerecht. Dr. Naerssen, De 

astadaqaivyawahara dll. (B.K.I., bag. 100, 1941; hal. 358, 363).

Djadi berpedoman kepada Purwadigama dan disesuaikan kepada 

hukum Hindu; hukum jang disesuaikan serta jang diarahkan itu 

jalah hukum-kebiasaan, jang berlaku dikalangan Rakjat dan 

didesa-desa. Purwadigama jalah hukum mazhab, pedoman bagi para- 

ulama Sjiwa dalam usaha hendak mentjapai hidup kesusilaan jang 

sempurna menurut adjaran agama.

4. Kitab Sjeums jasana tersebut dalam Tantu Panggelaran 

(1924, hal. 300 —  302). Bagaimanakah liubungannja kitab Sjewa- 

sjasana dipulau Bali dengan kitab Sjiwasjasana dalam zaman 

Darmawangsa ?

Kitab-hukum Sjewasjasana (Qewacasana) disebutkan dalam 

Juynboll (Suppl. Cat. Jav. Handscli. 1911, II, hal. 195 dll.). Kitab 

itu tersebut dalam pertulisan Sendang Kamal (Magetan) jang berisi 

dan berhubungan dengan nama ratu Medang „gr~ Dharmmawangga 

teguh anantawikramottunggadewa”  dalam bahasa Djawa-lama de­

ngan bertarich Masehi 991. Brandes OJO. LVII. Pada ketika itu seri 

maharadja perabu menganugerahkan kepada samegat kenuruhan 

bernama Pu Burung ( turunyaanugraha Qrl maharaja i samgat kanu- 

ruhan pu burung) dan pemberian tanah itu dilaksanakan dengan 

memperhatikan kitab-hukum Siiwasiasana (kabhyasan sang hyang 

Qtwacana).

Dihalaman lain telah dinjatakan, bahwa adalah tiga buah kitab- 

hukum jang dikenal dengan nama Sjiwasjasana, jaitu diantaranja 

jang kedua jalah kitab Purwadigama, jang pada achimja menamai 

dirinja kitab Qiwacasanasaroddhrta; jang ketiga jalah kitab Qewa­

casana. Kitab-hukum jang pertama menurut pertulisan Sendang 

Kamal tidaklah menjebutkan nama kepala-negara; dan nama Pu 

Dharmmasanggrumawikrurita jang tersebut pada baris ke-2 diper- 

tulisan batu itu rupa-rupanja jalah nama seorang pedjabat tinggi. 

Tarich 991 menjatakan, bahwa Lokapala tak memerintah lagi, 

sedangkan Darmawangsa (991 —  1005) mulai berkuasa, Krom, HJO, 

hal. 222, 225, 230.

238

Kitab-hukum Qewacasana menjebutkan didalamnja raliyangta ri 

Mdung dan prabhw Manu paduka Qrl maharaja ri Mdang, dan tahun 

Sjaka 226, 230 jang tak mungkin dan tak diketahui maksudnja. Isi- 

nja mengenai liak-hak orang ulama Sjiwa terliadap radja. Kitab 

itulah jang tersebut dalam Tantu Panggelaran (Pigeaud, 1924 hal. 

300 —  302).

5. naskah  hukum Suxiradlambu ( Swarajambhu) disebutkan dalam 

Lekkerkerker (hal. 38) dan Juynboll (BKI, 1916, LXXXI, hal. 569) 

dan jalah salinan dari naskah  ke VIII dari Manaivadharmagastra 

(J. Jolly, Manava dharmagastra, hal. 150 — 192).

Perkembangan peraturan Manu bagi orang Hindu ditanah India 

telah ditindjau dengan mendalam oleh beberapa sardjana, seperti 

J.S. Siromani (Commentery on The Hindu Law d, 1884) dan Julius 

Jolly (Hindu Law and Custum, 1928); dalam naskah ini tidaklah 

mendjadi bahan-penjeliclikan lagi. Lain halnja dengan perkembang­

an peraturan Manu di Indonesia dizaman jang lampau, jang di- 

selidiki sampai kemanakah hukum-agama itu sesungguhnja berlaku 

dalam masjarakat dan bagaimana perhubungan bertimbal-balik 

dengan hukum kebiasaan Indonesia.

Adapun kitab-hukum berbahasa Sangsekerta jang bernama Mana- 

wadharmagastra besar sekali pengaruhnja kepada kitab-hukum 

Indonesia-lama berbahasa Djawa-kuna. Kitab Swaradjambu (Swara­

jambhu) misalnja jalah berasal dari naskah  VIII dari pada Manaiva­

dharmagastra. Pengetahuan jang berasal dari Dr. Naerssen itu 

eangatlah penting, karena dengan demikian, maka kitab Astadaca- 

wyawahara sebagai sebagian dari pada Swaradjambu berbahasa 

Djawa-lama dapatlah dikenal asal-usulnja dan dapat pula diselidiki 

unzur-unzur hukuni-kebiasaan Indonesia jang terselip kedalamnja, 

karena para-penjalin atau penjadur hendak mentjoba menjesuaikan 

dengan keadaan masjarakat jang sesungguhnja.

Misalnja kepada hukuman denda jang dinjatakan dalam bahasa 

Sangsekerta dengan uang krsnala, dharana dan pana ditambahkan 

pula hukuman-denda berupa mata-uang Indonesia ma, su, ku (rnusa, 

suwarna, kupang). Teladan jang lain jaitu hal-penjebutan istilah-hu- 

kum dalam bahasa Djawa-lama sebagai pengganti termini technici 

berbahasa Sangsekerta, sehingga 18 matjam hukum-atjara menurut 

naskah  astadagawywahara diatas adalah disebutkan dan dinamai 

dengan 18 kali dua matjam istilah dalam dua bahasa. Misalnja 

perbuatan dengan kekerasan dalam bahasa Djawa-lama menurut 

Swaradjambu dinamai ulah safuisOj jalah sama dengan istilah baha3a 

Sangsekerta (sahasam, Swdj; sahasam Caiwa, Man. dh.; kahucapa- 

ning wates (Dj. lama, Swdj.) sama dengan istilah Sangsekerta 

sTmawiwadadharmmagca (Swdj.) atau simawiivadadharmagca (Man. 

dli.).

Menurut pendapat Brandes maka kitab Kutaramanawa itu terbagi 

atas dua bagian, jaitu Kutara jang ditjiptakan oleh Bhrgii dan 

Manawa jang ditjiptakan oleh Manu. Kitab Kutara dikatakan ber­

asal dari Parasju Rama (Kutur. pasal 121), dan dengan demikian 

maka dapatlah didjelaskan nama Kutara =  Kuthara =  Parasju =  

Kampak.

Tetapi kitab Kutara-sastera belumlah sampai kini dikenal dalam 

kepustakaan Sangsekerta. Kitab manawa-sastera memang dikenal 

dalam kepustakaan tersebut dengan nama: Manawa-dharmasastra 

atau Manusanikita. Dari kitab inilah asalnja kitab sastera berbahasa 

Djawa-lama, seperti misalnja dalam Bhomakavya (1.5); dan dalam 

Tjeritera Parahiangan atau sebagai Manusjasana dalam Prasasti 

Bhuwana dan Purusjadasanta.

Menurut persangkaan Dr. van Naerssen, jang alasan-alasannja 

menurut pendapat kami adalah kuat, kitab manawarthaivi ti 

karangan Sarwagna Narayana, jang hidup dalam abad ke-14 ditanah 

India, dan sampai kepulau Djawa dalam abad itu djuga, jaitu ketika 

perhubungan kebudajaan antara India dan Madjapaliit sedang rapat, 

seperti ditjatat oleh pudjangga Prapantja dalam karangannja Nagkr. 

(sarga LXXXII dan X C M ). Dan pada zaman Ajam Wuruk itu 

pulalah tersusun dalam bahasa Djawa-lama naskah astadagawyawar 

hara sebagai intisari dari kitab manawadharmagastra. Dengan demi­

kian dapatlah dimadjukan pendirian bahwa djuga kitab-hukum itu 

berasal dari zaman-emas Madjapahit diabad ke-14.

Begitu pula tatahan hukum-tanah Indonesia seperti sanda-gadai 

berulang-ulang diatur dalam naskah  Kutaramanawa (Pasal 6, 94, 116, 

206; Jonker hal. 96, 122); didalam hal itu ditjoba menjesuaikan 

peraturan hukum Hindu dengan dunia-hukum jang sesungguh- 

sungguhnja berlaku. Djangankan tentang tatahan-hukum, djuga 

istilah sanda adalah umum dilingkaran hukum Austronesia: sanra 

(Bugis), sindor (Batak), sanla (Tagalog, Bisaja), sando (Minang- 

kabau), sanda (Sunda, Banten), sanda (Pertulisan Dj awa-lama ber­

tarich Masehi 996). Hal itu telah diselidiki oleh Dr. Soebroto dalam 

naskah nja Indonesische sawah-verpanding, 1925, hal. 187: Voor de 

oorspronkelijkheid van de sawah-verpanding pleiten daarentegen 

o.i. de daaraan in Indonesie algemeen gebruikelijke en eveneens 

van den Kutara Manawa voorkomende termen, die alle zuiver Indo- 

nesisch zijn.

6. Kini kita selidiki naskah  hukum jang keenam: Kutaramanawa.

Penting pula kitab-hukum Sjiwasjasana (Qiwagasana), seperti 

disebutkan dalam Juynboll (Suppl. Cat. Jav. Handsch. 1911, II, hal. 

195 dll.). Kitab itu tersebut dalam pertulisan jang berhubungan 

dengan nama ratu Medang „grT Dharmmawangga teguh anantawi- 

kramottunggadewa,”  dengan bertanggal Sjaka 991.

240

Dalam pertulisan Terawulan (sepululi muka; O.V.* lampiran K, 

1918, hal. 108 — 112 dan Brandes, OJO, CXIX; I, kepingan 3, baris 

5 —  6) dari zaman Ajam Wuruk dengan bertarich Masehi 1358 

dapat dibatja kalimat: KutaramanaivadUgastra wiwecanatatpara, 

kapiva sama-sama cakte katviivaJcsaning Qastra makadi kutara- 

manaiva.

Kitab-hukum Sjiwasjasana disangka oleh Prof. Krom jalah tempat 

asalnja kitab Sastera Purwadigama dipulau Bali, karena menurut 

Friederich naskah  ini pada achirnja menjebutkan nama Qiwacasana- 

saroddhrta (Krom, HJG hal. 230). Seperti telah didjelaskan diatas, 

maka kitab-sastera Purwadigama itu berasal dari zaman Madjapahit, 

sedangkan ada pula kitab sastera Qiwacasana jang mungkin jalah 

sama atau berasal dari Ciwacasana, apalagi karena didalamnja ter­

sebut nama radja Medang.

7. Kitab-hukum jang ketudjuh jalah Sarasanuccaya, jang telah 

diketahui sedjak tahun 1876 oleh Friederich dan sedjak tahun 19 

oleh Majumdar. Menurut Pigeaud, jang telah membatja naskah 

SZrasanuccaya dinegeri Belanda (Cod. 5037 dalam daftar Juynboll II, 

hal. 194), maka banjak jang tersebut dala'm naskah -liukum Djawa- 

lama jang diterbitkan oleh Prof. Jonker sudah tersebut dalamnja. 

Diantaranja disebutkan peraturan papitapitan, jaitu peraturan mem­

buat pekarangan rumah jang dikelilingi oleh pekan dan sungai.

Menurut Juynboll (Sppl. Cat. n ,  hal. 193) kitab hukum ini berisi 

seloka Sangsekerta serta salinan berbahasa Djawa-lama. Djuga 

Gedung Artja di Djakarta menjimpan sebuali kitab hukum itu. 

NBG XXV, 1888, hal. 140 dan XXVI hal. 26. Menurut Brandes 

naskah  itu jalah Radja Nistjaja seperti tersebut dalam Pepakem 

Tjerbon (Hazeu, hal. 47, 124 dll.). Tersebut dalam Lekkerkerker 

(hal. 38) diantara naskah  Swaradjambu dan Wrati^asana.

Seperti namanja Sarasanuccaya jang berarti bunga'-rampai per­

aturan, maka didalamnja dapat dibatja pelbagai ketentuan agama.

Menurut Cense (De kroniek van Bandjarmasin, 1928; hal. 172) 

maka perkataan Samurtjaja dalam nama Sangsekerta dan Djawa- 

lama Sara-samurtjaja itu, mendjadi simbur-tjaliaja dalam bahasa 

Indonesia. Undang-undang Simbur Tjaliaja jang dikenal sebagai 

kodifikasi Van den Bosch bagi Sumatera Selatan jalah salinan dari 

kitab-hukum Sara-samurtjaja berbahasa Djawa-lama dengan me­

makai Simbur Tjahaja Karta Ampat Bitjara Lima sebagai perantara- 

an. Pendapat Cense itu memang tepat, karena dengan mempertim- 

bangkan isi, nama serta sedjarah kedua kitab hukum Samurtjaja 

dan Simbur Tjahaja.

8. Kini kitab-hukum jang kedelapan jang bernama Radja- 

patigundala (Rajapatigundala). Kitab ini didaftarkan dalam 

Juynboll sebagai Cod. 5055 (II, hal. 200) dan ringkasan isinja

241

150; B (16)

didapat dalam karangan Pigeaud (Tantu Panggelaran, 1924; hal.

291 —  294).

Didalamnja didapat peraturan agama tentang tjara mendjadi 

jogi-isjwara, dewaguru, wiku, kili dan bedanja orang berahmana 

dipulau Djawa dengan orang berahmana ditanah Seberang. Begitu 

pula tentang pantjapatapan: prthiwi, hapah, teja, bayu, Itakaqa.

Sampai sekarang belum ditjoba memberi tarich kepada kitab itu. 

Pada permulaannja diseru nama-nama dewa dan seri maharadja 

paduka Kertanegara, sehingga paling tua kitab itu mulai disusun 

sesudah tahun 1275. Menurut dugaan kami kitab itulah jang 

dimaksud Prapantja dalam Nagkr. (LX X XI), dengan perkataan 

patigundala; oleli sebab itu maka paling muda kitab itu selesai 

pada tahun 1365. Kami menempatkan lahirnja kitab itu pada 

pertengahan abad ke-XIV, jaitu kira-kira pada tahun 1355.

Dalam kepustakaan Djawa-lama dan Bali dikenal beberapa nama 

naskah -hukum Hindu jang lain, diluar naskah  jang delapan diatas.

Pigeaud memadjukan dalam Tantu Panggelaran kitab: Deivaqa- 

sana Pratastibhuivaiia, W ratiqasana, Rsiqasana, Qilakrama, Adi- 

purana, Brahmandapuruna, Anngastyaparwiva, Caturpaksopadeqa 

dan Korawacrama, jang djauh perhubungannja dengan peraturan 

hukum Hindu, walaupun tidak sedikit berisi andjuran dan pedo­

man bagi perhubungan orang berahmana dengan radja dan rakjat. 

Batjaan Pigeaud dari beberapa lontar jang tersiinpan dinegeri 

Belanda adalah dituliskan ringkasannja dalam naskah nja jang tersebut 

diatas, dan kami pakai untuk bahan jang menimbulkan kesan jan? 

beralasan, bahwa hampir tak ada hubungannia dengan kehidupan-

hukum Madjapahit.

Untuk menguatkan naskah -naskah  hukum Hindu jang berasal dari 

sang Manu dan sang Bergu dari tanah India itu, maka oleh penjalin 

atau komentator Indonesia diberilah naskah -naskah  itu tjorak dan warn a 

Indonesia dengan menempatkan didalamnja nama-nama sedjarah 

Indonesia. Beberapa kali nama penguasa Medang atau Medang Wana, 

jang menurut prasasti ( ) digelari djuga dengan nama

rahiangta ramuhun, sehingga temjatalah bahwa banjak keropak itu 

disusun sesudah Belitung dan Sindok di Dpawa Timur. Begitu pula 

se a i disebutkan nama Kertanegara dan Dandang Gendis (jaitu: 

Kertadjaja) sehingga angka-angka tarich jang berhubungan dengan 

se jara itu dapat didjadikan tjagak babakan penjusunan naskah , 

wa aupun penjebutan nama itu menimbulkan kesukaran. jang berupa 

kecmlafan ingatan sipenulis jang umpamanja bekerdja beberapa 

ratus tahun sesudah nama-nama itu masih hidup, satu hal jang 

dapat difahamkan.

236. Adalah pula nama patih-mangkubumi Gadjah Mada dan 

Kanaka, disebutkan dalam naskah -hukum Patih Gadjah Mada dan 

beberapa naskah-keropak jang tersebar didalam simpanan perpusta-

242

kaan Amsterdam, Leiden dan London. Bat jalah: Pararaton hal. 196; 

BKI, 1854, hal. 343; TNI, 1870, II, hal. 176; dan Juynboll Sppl. 

Catal. n ,  1911, hal. 442.

naskah  jang kedua, Kutaramanawa, berasal dari Kutaragastra, dan 

telah dipakai dipulau Djawa sedjak zaman Kediri dalam abad 

ke-XII. Kitab OJO, LXXXV baris 5 b. 5-6a. 1 ); kalimat itu tersebut 

pula dalam pertulisan lain (Cohen Stuart, KO, XVI, la, 2-3). 

Salinan kalimat itu dapat dibatja pada halaman lain dan kita telah 

meminta perhatian kepada istilah Qastra-drsta (peraturan agama 

menurut kitab sastera), dena-drsta (peraturan hukum adat jang tak 

dituliskan), udnharana (keputusan jang telah pernah berlaku), 

gurukaka (peraturan guru orang tjedik-tjendekia jang berlaku 

sedjak dahulu); rasngama (isi, maksud, tafsir); pinamelaken (di­

banding, diudji) dan makatanggwan (berpedoman).

Didalam pada itu perbuatan-hukum dilaksanakan menurut kese* 

daran kesusilaan, terutama pada golongan para ulama, baik jang 

sesuai dengan tindjauan-hidup ash ataupun jang bersumber kepada 

peraturan agama.

Peraturan kesusilaan hanjalah memberi tjorak dan wama kepada 

sesuatu perbuatan hukum menurut hukum-kebiasaan, dan tidaklah 

mengendalikannja sebagai ugaran-hukum, karena umumnja tanpa 

berakibat pembatalan atau hukum-duniawi dalam hal pelanggaran- 

nja.

Memang ada bagian hukum kesusilaan menurut agama itu masuk 

mendjadi bagian dari pada hukum-kebiasaan, sehingga benarlah 

pendirian van Vollenhoven (Het Adatrecht II, 1931, hal. 126 — 148) 

jang menamainja bagian-keagamaan dalam hukum-adat: godsdienstig 

deel van het adalrechl. Djadi dengan umumnja jang berkuasa dalam 

masjarakat dan penjusunan tata-negara, jalah: hukum-kebiasaan 

Indonesia. Dikenal djuga beberapa naskah -sastera hukum Hindu, jaitu 

eemata-mata sebagai pengendali kesedaran kesusilaan. Sedjak abad 

ke-XII sampai sekarang ini, maka berangsur-angsur kesedaran 

kesusilaan jang bersumber kepada hukum Hindu itu berganti 

dengan kesedaran kesusilaan bersumberkan hukum Islam dan 

Keristen. Tetapi dalam segala keadaan keliliatan kemadjuan berlaku- 

nja hukum kebiasaan Indonesia jang dilahirkan oleh tindjauan 

ruhani asli, sedjak dahulu sampai sekarang. <"

196. Menurut Nagkrv (S.\I*XXXV; 2) maka pada tiap-tiap permula- ' '  

an bulan Caitra, jaitu sesudah bulan Phalguua, dihatjalcan oleh Sang 

Perabu Ajam Wuruk didepan rapat balatentara suatu naskah -hukum 

bernama Rajakapakapa, supaja adjaran-adjaran dari dalamnja di- 

turut (kapwamutajar) jaitu: larangan tingkah laku jang tama’ah 

( tan lamlama ni sabala) larangan menempuh djalan jang salah 

(hywangambah ri tan lakwa) dan larangan merusak barang-rbarang

243

kepunjaan dewata ( dewaswadinya Satan purugen). Tudjuannja 

supaja negara mengalami keselamatan dan kesedjahteraan 

(swasthang pura sada).

Menurut tjatatan Kern, maka sepandjang Jav. Wdb (1901; I, 

509) Kapakapa itu jalah nama Adipati Rajakapakapa, jang menu I is 

naskah -hukum bernama Lajang Kapakapa; dan naskah  itu jalah sama 

dengan jang disebutkan oleh Pudjangga Prapantja dalam Nagkr. itu. 

Perlu pula diingat, bahwa menurut kamus tersebut maka naskah - 

hukum itu diturunkan kepada Begdaja oleh Danistvara, jaitu 

Dhaneqawara =  Kubera. Menurut Brandes maka dalam Babad 

Tanah Djawi tersebut pula nama naskah  Serat Radja Kapakapa 

(VGB. LI; 1900, IV ; hal. 15 — 17; 186 —  201), jang dinamai djuga 

Serat Wadu Adji.

244

PRANITI RADJA KAPA-KAPA


RADJA KAPA-KAPA.

232. Sudah sedjak abad ke-14 lontar peladjaran Andjar ing 

Radja Kapa-kapa dikenal baik, seperti djuga namanja tersebut 

dalam Negarakertagama sarga LXXXV. Dalam bahasa Djawa-baru 

dikenal naskah  itu dalam ikatan Danidang-gula dan ikatan Asmara- 

dana. Bentuk pertama itulah jang disalin dalam risalah ini; lontar 

dalam bahasa Djawa-lama belum didapat naskahnja.

247


P R A N I T I R A J A  K A P A - K A P A .

Metre: Dandang-gula, stanzas of 10 verses each:

verse 1 :; 10 syllables, vowel of last syllable : i

99 2 : 10 55 55 99 99 „  : a

99 3 : 8 95 9? 9 9* „  e or o

15 4 : 7 99 99 9* 95 „  : u

55 5 : 9 99 99 9? 99 „  : i

95 6 : 7 99 79 99 99 : a

99 7 : 6 99 99 99 99 : u

99 8 : 8 99 99 99 99 : a

95 9 : 12 95 9» 79 : i

99 10 : 7 59 9? 95 99 : a

Stanza 1: nihan namarna reh pranitinning 

raja kapa kapa pinnardika 

marinci basa mantrinne 

tegesse mapan luhung 

tri titiga setya kang diflin 

sadu kaping kalihnya 

kaping tiga tuhu 

wrdining setya winarna 

milweng lara duka wirangnya hung gusti 

lwirring sadu h in u ca p '//

Stanza 2: hajrih yen nanriyinnana kapti 

nora medar kekerraning natha 

lwir ringkang tuhu karppe 

tansah cadang ning kayun 

nora gingsir hing sanggup nenggih 

tan rumasa yen gadah 

hing pangwasannipun 

hiya hiku hingkang naran 

basa mantri tuwin ta hinucap malih 

mantri moncanagara / /

Stanza 3: tumenggung demang lan rongga nenggih 

kanduruwan lan patih punnika 

denin ta patih wrdine 

kang nampurnakken niku 

parentahhe qri naraphathi 

tampa sacipteng natha

249

denne ta tumenggung 

hingkang ngahulah gagaman 

lan nawruhhi kongkonaning naraphathi 

denin wrdinning demang / /

Stanza 4: kang nahulah pangnangge sakyehning 

raja kaputren lan pangnanggennya 

kang para mantri sakehhe 

kang kasarireng phrabhu 

lwirring ronga kang nulah nenggih 

sisikon padalmman 

nira Qan aphrabhu 

myang rakitting pasangrahhan 

kanduruwan kang namnampunnakken nenggih 

parentahhung papatya / ? /

Stanza 5: yata jeneiiingkang para mantri 

bujongga harya manuri lawan 

haryra leka lan maliye 

harya jamba punniku 

harya tiron harya papati 

harya tiron punnika 

binubuhhan sagung 

ning pakarya denne harya 

hamanuri bubuhhanne hanampunni 

mantri bujongga samya / /

Stanza 6: tegessingkang manuri winarni 

wani mati kalawan prayoga 

andamohi hing tegesse 

pan jang jiwa punniku 

pandeleggan kang nulah nenggih 

tenung gegering nika 

jomba leka nengguh 

Iwifna hamot hulah hulam 

lawan malih punika wanenning mantri 

bujonggarya tironnya / /

Stanza 7: hangrapetken kang narngang nenggih 

lan haujaganni lagannin mengsah 

mantri paseppanning praje 

harja wirasineku 

harya wiraraja lan mali)} 

harya sinasarika 

dening tegessipun 

paseppan punniku apan 

langlang dalu kang riasor saking punniki 

nenggih harya pamottan / /

250

Stanza 8: palimpingnan pakulutan malih 

surantanni pan bubuhhannira 

hanglepasken kagungnanne 

lan hanrksa kadatun 

dening jenening genapliathi 

sina kang nuduhhena 

king parentah hiku 

wenang naran senaphatya 

dening mantri panalasan niku nenggih 

pura liangraramunya / /

Stanza 9: kyehhing mantri satus seket nenggih 

kalih belali sewn patya tanda 

wadyaji hanabehine 

tanda lan malilihipun 

ya phanji handaka lan malih 

kajinemman denne ta 

malil.i hingsorripun 

hadiphathi kuwu lawan 

sang nanden bubuyut panalassan nenggih 

panakatenning natha / /

Stanza 10: samya liulah kang sineren nenggih 

sakatahhe wong krida punnika 

titi tammat pranitine 

raja kapa-kapeku 

mugestuwa panakasamanning 

tunna langkungning basa 

binastuweng kayun 

nira gang maha pamasa 

santosarja sarajya lir tarumaking 

sedeng muwah kawarsan / /

Adapun salinan Praniti Radja Kapa-kapa kedalam baliasa Inggeris 

menurut Dr. Th. Pigeaud (Java in the 14-th century, D jilid III, 

halaman 139-140) berbunji sebagai berikut:

Stanza 1: This is describing the order of the Management of the 

Raja Kapa-kapa, explained. Determining the word man­

tri, the meaning of ma is: exalted, tri means three. 

Loyalty is the first, the second is Modesty, the third 

Faithfulness. The sense of loyalty may be described thus: 

in illness, distress and disgrace keeping to the master.

Stanza 2: to refrain from boldness in lust, not to lay open the

Prince’s secrets. The meaning of faithfulness is : always 

waiting to receive orders, not being untrue to given 

promises, not feeling as if one were in the free possession 

of the King’s power. This is the meaning of the word 

mantri. Further are to be discussed the Mantris Manca- 

nagara (mandarins vested with authority in town).

Stanza 3: The Tumenggung, the Demang and the Rangga, the 

Kanduruhan and the Patih are those. As to the Patih s 

significance: he is the executor of the Illustrious Prince s 

orders and the receiver of all the Protector’s plans. As 

to the Tumenggung, he occupies himself with military 

affairs and he knows all about the Prince’s missions. 

As to the Demang’s significance.

Stanza 4: he is the man who occupies himself with the attire

of all the immates of the Royal zenana and with

the attire of all the mantris who are employed in the 

Prabhu’s private service. What the Rangga is like: he 

is the man who occupies himself with the ground-plan 

of the Prabhu’s Interior Compound and with the lay-out 

of the lodges. The Kanduruwan is the man who executes 

the Patih’s '(? ) orders.

Stanza 5: There are the titles of the Mantris Bhujangga (man­

darins ecclesiastical o fficers): the Arya Manguri, and 

the Arya Leka, and further the Arya Jamba, the Arya 

Tiron, the Arya Papati. The Arya Tiron is in charge 

of all pakaryas (ceremonies?). As to the Arya Manguri, 

his charge is to act as empu (? master) of the Mantris 

Bhujangga altogether.

252

Stanza 6:

Stanza 7:

Stanza 8 :

Stanza 9 :

Stanza 10:

The meaning of Papati is described as: not afraid to 

die. With prayoga (expedients) is Andamohi’s meaning. 

The Panjang-jiwa occupies himself with pandelegan 

(chronology, divination?). The magic of disease is 

Jamba’s. Leka is like a man occupying himself with 

handling meat (or fish). And once more this is a de­

finition of the Mantri Bhujangga Arya Tangar ( ? ) :

to fit together what is split and to give heed to the 

enemy’s fighting. The Mantris Pasepan of the Realm 

are: Arya Wirasinga, Arya Wiraraja, and further Arya 

Singasari. As to the meaning of pasepan, that is: to go 

about keeping watch at night. Their inferior is the Arya 

Pamotan.

The Palimpingan, the Pakulutan too. The Surantani is 

charged with the releasing of the King’s possessions and 

the guarding of the Royal Court. As to the title Senapati, 

anybody who can give orders has a right to be called 

Senapati. As to the Ma