mua aksi komunikasi ini yaitu entitas yang sedang diajak
bicara yaitu makhluk setempat. Mereka bukan tuhan universal,
melainkan rusa tertentu, pohon tertentu, arus tertentu, hantu
tertentu.
Sebagaimana tiadanya penghalang antara manusia dan
makhluk lain, tidak ada pula hierarki yang ketat. Entitas-
entitas non-manusia tidak semata-mata ada untuk mencukupi
kebutuhan manusia. Mereka juga bukan dewa-dewa yang kuat
yang menjalankan dunia semaunya. Dunia tidak berputar di
sekitar orang-orang atau di sekitar kelompok makhluk tertentu.
Animisme bukan sebuah agama spesifik. Ia yaitu nama
generik untuk ribuan dari setiap agama, kultus, dan keyakinan
yang berbeda-beda. Yang membuat mereka semua “animis”
yaitu pendekatan umum terhadap dunia dan tempat manusia
di dalamnya. Mengatakan bahwa para penjelajah kuno mungkin
animis seperti mengatakan bahwa para agrikulturalis pramodern
sebagian besar bertuhan. Theisme (dari kata theos, ‘Tuhan’
dalam bahasa Latin) yaitu pandangan bahwa tata universal
didasarkan pada hubungan-hubungan hierarkis antara manusia
dan sekelompok kecil entitas halus yang disebut dewa. Sudah
pasti benar untuk mengatakan bahwa kaum agrikulturalis
pramodern cenderung bertuhan, namun itu tidak mengajarkan
kita banyak hal tentang hal-hal khusus. Label generik “theis”
mencakup rabbi Yahudi dari abad ke-18 Polandia, para tukang
sihir Puritan abad ke-17 Massachusetts, para pendeta Aztec dari
abad ke-15 Meksiko, kaum mistis Sufi dari abad ke-12 Iran,
para petarung Viking abad ke-10, anggota legiun Romawi abad
ke-2, dan para birokrat China abad ke-1. Masing-masing dari
semua itu memandang keyakinan dan praktik dari kelompok
lain aneh dan klenik. Perbedaan-perbedaan di antara keyakinan
dan praktik kelompok-kelompok penjelajah “animistik” itu
mungkin memang besar. Pengalaman religius mereka mungkin
bergolak dan penuh kontroversi, pembaruan-pembaruan dan
revolusi-revolusi. Namun, generalisasi hati-hati ini yaitu titik
yang bisa kita jangkau. Setiap upaya untuk menjelaskan secara
spesifik spiritualitas kuno sangatlah spekulatif sebab hampir
tidak ada bukti untuk ditelusuri dan bukti yang kita miliki
sangat sedikit—dan sejumlah artefak serta lukisan gua—bisa
diinterpretasikan dengan banyak sekali cara. Teori-teori para
ahli yang mengklaim tahu apa yang dirasakan para penjelajah
justru memperjelas prasangka para pengarangnya alih-alih agama-
agama Zaman Batu.
8. Sebuah lukisan dari Gua Lascaux, 15.000–20.000 tahun lalu. Apa
yang sesungguhnya kita lihat, dan apa makna lukisan itu? Sebagian
berpendapat bahwa kita melihat seorang pria dengan kepala burung
dan sebuah penis yang tegak, dibunuh oleh seekor bison. Di bawah
orang itu ada burung lagi yang mungkin melambangkan jiwa, yang
terlepas dari mayat pada saat kematian. Jika demikian, lukisan itu
menggambarkan kecelakaan berburu, namun merupakan pesan dari
dunia ini ke dunia berikutnya. Namun, kita tidak punya pengetahuan
apa pun apakah spekulasi ini benar. Sebuah pengujian Rorschach
mengungkapkan banyak hal tentang prakonsepsi para ahli modern,
dan sangat sedikit tentang keyakinan para penjelajah kuno itu sendiri.
67
Ketimbang menegakkan gunung-gunung teori di atas
gundukan tanah relik makam, lukisan gua, dan patung-patung
tulang, lebih baik jujur mengakui bahwa kita hanya memiliki
catatan-catatan paling kabur tentang agama-agama para penjelajah
kuno. Kita berasumsi bahwa mereka animis, namun itu sangat
tidak informatif. Kita tidak tahu arwah mana yang mereka
sembah, perayaan mana yang mereka rayakan, atau tabu apa
yang mereka yakini. Yang paling penting, kita tidak tahu kisah
apa yang mereka ceritakan. Itu salah satu lubang terbesar dalam
pemahaman kita tentang sejarah.
Dunia sosiopolitik para penjelajah hanyalah area lain yang
kita hampir tidak tahu apa-apa tentangnya. Seperti dijelaskan
di atas, para ahli bahkan tidak bisa sepakat tentang dasar-dasar,
9. Para pemburu-penjelajah membuat cetakan tangan ini sekitar 9.000
tahun lalu di Gua Tangan, Argentina. Tampak seakan-akan tangan-
tangan mati itu menjangkau kita dalam batu. Ini yaitu salah satu
relik yang paling mengesankan dari dunia penjelajah kuno—namun tak
seorang pun tahu apa artinya.
seperti eksistensi properti pribadi, keluarga nuklir, dan hubungan
monogami. Sangat mungkin bahwa kawanan-kawanan yang
berbeda memiliki struktur yang berbeda. Sebagian mungkin
sehierarkis, setegang, sekeras, dan semesum kelompok simpanse,
sedang kawanan lain sedatar, sedamai, dan sepasang kelompok
bonobo.
Di Sungir Rusia, para arkeolog menemukan, pada 1955,
sebuah tempat pemakaman berusia 30.000 tahun milik kultur
pemburu mamut. Dalam satu kuburan mereka menemukan
tulang-tulang seorang pria berusia lima puluh tahun, yang
tertutup rangkaian manik-manik gading mamut, berisi sekitar
3.000 manik-manik. Di kepala orang mati itu ada sebuah topi
yang dihiasi gigi-gigi rubah, dan di pergelangan tangannya ada
dua puluh lima gelang gading. Beberapa kuburan lain dari
situs yang sama berisi barang-barang yang jauh lebih sedikit.
Para ahli menyimpulkan bahwa para pemburu mamut Sungir
hidup dalam warga hierarkis, dan orang yang mati itu
mungkin pemimpin dari satu kawanan atau suku yang terdiri
dari beberapa kawanan. Agaknya tidak mungkin bahwa beberapa
puluh anggota satu kawanan bisa memproduksi sendiri begitu
banyak benda kuburan.
Para arkeolog kemudian menemukan sebuah kuburan yang
lebih menarik lagi. Kuburan berisi dua kerangka, dikubur kepala
bertemu kepala. Satu milik seorang anak laki-laki berusia sekitar
dua belas atau tiga belas tahun, dan yang lainnya seorang anak
perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun. Anak itu ditutupi
5.000 manik-manik gading. Dia mengenakan topi gigi rubah dan
ikat pinggang dengan 250 gigi rubah (paling sedikit dibutuhkan
enam rubah untuk hiasan sebanyak itu). Si anak perempuan
dihiasi 5.250 manik-manik gading. Kedua anak itu dikelilingi
patung-patung dan beragam benda gading. Seorang pengrajin
terlatih (bisa laki-laki atau perempuan) mungkin memerlukan
waktu empat puluh lima menit untuk menyiapkan satu butir
manik-manik gading. Dengan kata lain, dengan hiasan 10.000
manik-manik gading yang menutupi kedua anak itu, belum lagi
benda-benda lainnya, dibutuhkan sekitar 7.500 jam pekerjaan
rumit, yang bisa menghabiskan waktu tiga tahun pekerja dengan
kemampuan sebagai seniman berpengalaman.
Sangat tidak mungkin bahwa anak semuda itu di Sungir
telah mampu membuktikan diri sebagai pemimpin atau
pemburu mamut. Hanya keyakinan-keyakinan kultural yang
bisa menjelaskan mengapa mereka mendapatkan penghormatan
begitu besar dalam penguburan. Satu teori menyatakan bahwa
mereka yaitu anak dari seseorang berkedudukan tinggi. Mungkin
mereka anak-anak dari para pemimpin, dalam sebuah kultur
yang meyakini karisma keluarga atau aturan-aturan ketat tentang
sukses. Menurut teori lainnya, anak-anak itu diidentifikasi sejak
lahir sebagai inkarnasi dari arwah-arwah yang telah lama mati.
Teori ketiga menjelaskan bahwa penguburan anak-anak itu
mencerminkan cara mereka mati ketimbang status kehidupan
mereka. Mereka dikorbankan secara ritual—mungkin sebagai
bagian dari ritual penguburan sang pemimpin—dan kemudian
dimakamkan dengan kemegahan.9
Jawaban mana pun yang benar, anak-anak Sungir menjadi
potongan bukti terbaik bahwa 30.000 tahun lalu Sapiens bisa
menemukan sandi-sandi sosiopolitik yang jauh melampaui aturan
DNA kita dan pola-perilaku spesies manusia dan binatang lain.
Damai atau Perang?
Akhirnya, ada pertanyaan pelik tentang peranan perang dalam
warga penjelajah. Para ahli membayangkan warga -
warga pemburu-penjelajah kuno sebagai surga nan damai,
dan mengemukakan bahwa perang dan kekerasan baru mulai pada
Revolusi Agrikultural, saat orang-orang mulai mengakumulasi
properti pribadi. Ahli-ahli lain mengemukakan bahwa dunia
penjelajah kuno sangat kejam dan kasar. Kedua aliran pemikiran
itu ibarat istana di udara, yang terhubung dengan tanah oleh
tali-tali tipis peninggalan-peninggalan arkeologis dan observasi-
observasi antropologis terhadap penjelajah masa kini.
Bukti-bukti arkeologis memang mencengangkan namun
problematik. Para penjelajah masa kini hidup terutama di area-
area terisolasi dan tak bisa dihuni seperti Arktik atau Kalahari,
yang kepadatan populasinya sangat rendah dan peluang untuk
memerangi orang lain terbatas. Lebih dari itu, dalam generasi-
generasi mutakhir, para penjelajah itu semakin terdesak oleh
otoritas negara-negara modern, yang mencegah ledakan konflik
berskala besar. Para ahli Eropa hanya punya dua peluang untuk
mengobservasi populasi besar dan relatif padat penjelajah
independen: di belahan barat laut Amerika Utara pada abad
ke-19, dan di bagian utara Australia pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Budaya Amerindian dan Aborigin Australia sering
mengalami konflik bersenjata. Namun, masih bisa diperdebatkan
apakah ini merepresentasikan kondisi “tanpa batasan waktu”
atau merupakan dampak dari imperialisme Eropa.
Temuan-temuan arkeologis masih jarang dan kabur. Petunjuk-
petunjuk cerita seperti apa yang tersisa dari perang yang terjadi
puluhan ribu tahun lalu? Tak ada benteng dan dinding pada
masa itu, tidak ada tembakan artileri atau bahkan pedang dan
tameng. Senjata-senjata tajam kuno mungkin dipakai dalam
perang, namun bisa dipakai pula untuk berburu. Tulang-tulang
manusia yang memfosil tak kurang sulitnya untuk diinterpretasi.
Sebuah retakan bisa menunjukkan adanya luka akibat perang
atau kecelakaan. Ketiadaan retakan dan torehan pada kerangka
kuno juga tidak bisa menjadi bukti untuk menyimpulkan bahwa
pemilik kerangka itu mati bukan akibat kekerasan. Kematian
mungkin disebabkan oleh benturan terhadap lapisan lembut
yang tidak meninggalkan bekas di tulang. Bahkan yang lebih
penting, dalam peperangan era pra-industri lebih dari 90 persen
korban tewas terbunuh oleh kelaparan, dingin, dan penyakit,
bukan oleh senjata. Bayangkan bahwa 30.000 tahun lalu satu
suku mengalahkan tetangganya dan mengusir mereka dari lahan
penjelajahan idaman. Dalam pertempuran yang menentukan itu,
sepuluh anggota suku yang dikalahkan terbunuh. Pada tahun
berikutnya, seratus lagi anggota suku yang kalah mati akibat
kelaparan, cuaca dingin, dan penyakit. Para arkeolog yang
meneliti 110 kerangka itu mungkin dengan mudah menyimpulkan
bahwa sebagian besar korban jatuh akibat bencana alam.
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mereka semua korban
dari perang tanpa ampun?
Dengan memperhatikan itu, kita kini bisa beralih ke temuan-
temuan arkeologis. Di Portugal, sebuah survei dilakukan terhadap
400 kerangka dari periode tepat sebelum Revolusi Agrikultur.
Hanya dua kerangka yang menunjukkan bersih dari tanda
kekerasan. Survei serupa dilakukan terhadap 400 kerangka dari
periode yang sama di Israel, menunjukkan satu retakan tunggal
dalam satu tengkorak yang bisa dianggap sebagai akibat dari
kekerasan manusia. Satu survei lagi terhadap 400 kerangka dari
berbagai situs pra-agrikultural di Lembah Danube memberi
bukti kekerasan pada 18 kerangka. Delapan belas dari 400
mungkin terdengar tidak banyak, namun itu sesungguhnya
persentase yang sangat tinggi. Jika kedelapan belas itu benar-benar
mati akibat kekerasan itu berarti sekitar 4,5 persen kematian di
Lembah Danube disebabkan oleh kekerasan manusia. Kini, rata-
rata global hanya 1,5 persen, dengan menggabungkan perang
dan kejahatan. Pada abad ke-20, hanya 5 persen kematian
manusia diakibatkan oleh kekerasan manusia—dan dalam abad
ini kita melihat perang paling berdarah dan genosida paling besar
sepanjang sejarah. Jika pengungkapan itu biasa, maka Lembah
Danube kuno yaitu sekeras abad ke-20.**
Temuan-temuan yang mencengangkan dari Lembah Danube
didukung oleh serangkaian temuan yang sama mengejutkan
dari area-area lain. Di Jabl Sahaba di Sudan, sebuah kuburan
berusia 12.000 tahun ditemukan berisi 50 kerangka. Moncong
panah dan senjata tajam ditemukan menempel atau tergeletak
di dekat tulang-belulang 24 kerangka, 40 persen dari temuan.
Kerangka salah seorang perempuan mengungkapkan 12 luka. Di
Gua Ofnet di Bavaria, para arkeolog menemukan kerangka 38
penjelajah, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang dilempar
ke dalam dua lubang penguburan. Separuh kerangka, termasuk
anak-anak dan bayi, memiliki tanda kerusakan akibat senjata
** Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa tak semua dari kedelapan belas
orang Danube kuno itu mati akibat kekerasan, yang tandanya bisa dilihat dari
kerangka. Sebagian mungkin hanya terluka. Namun, ini mungkin kematian dari
benturan terhadap lapisan lembut dan dari perampasan yang menyertai perang
namun tak mungkin bisa dilihat.
manusia seperti kelewang dan pisau. Beberapa kerangka milik pria
dewasa menyimpan tanda bekas kekerasan paling buruk. Dalam
semua kemungkinan, satu kawanan penuh dibantai di Ofnet.
Mana yang paling bagus merepresentasikan dunia penjelajah
kuno: kerangka-kerangka damai dari Israel dan Portugal atau
penjagalan di Jabl Sahaba dan Ofnet? Jawabannya bukan
keduanya. Sebagaimana para penjelajah menunjukkan susunan
keagamaan dan struktur sosial, demikian pula, mereka mungkin
mendemonstrasikan beragam tingkat kekerasan. Jika sebagian area
dan sebagian periode menikmati kedamaian dan ketenangan, area
dan masa yang lain mungkin dipenuhi konflik sengit.10
Tirai Bisu
Jika gambaran lebih besar tentang penjelajah kuno sulit
direkonstruksi, peristiwa-peristiwa tertentu umumnya malah
tak bisa diteliti kembali. saat satu kawanan Sapiens kali
pertama memasuki sebuah lembah yang dihuni Neanderthal,
beberapa tahun kemudian mungkin terjadi drama historis yang
mencengangkan. Sayang sekali, tak ada apa pun yang bisa selamat
dari perjumpaan seperti itu kecuali, dalam kemungkinan yang
terbaik, beberapa tulang fosil baru dan beberapa alat batu yang
tetap bisu di bawah penelitian ahli yang saksama. Kita bisa saja
menarik dari semua itu informasi tentang anatomi manusia,
teknologi manusia, makanan manusia, dan mungkin bahkan
struktur sosial manusia. Namun, semua itu tak menunjukkan
apa pun tentang aliansi politik yang dibuat antara kawanan-
kawanan Sapiens yang bertetangga, tentang arwah mati yang
memberkati aliansi ini, atau tentang manik-manik gading yang
diberikan kepada dukun lokal dalam rangka mendapatkan berkah
dari arwah.
Tirai bisu ini menyelubungi puluhan ribu tahun sejarah.
Milenium-milenium panjang ini menyaksikan perang dan revolusi,
gerakan-gerakan religius eskatis, teori-teori filosofis profan,
mahakarya-mahakarya artistik yang tiada tara. Para penjelajah
mungkin memiliki Napoleon sang penakluk ala mereka, yang
73
menguasai imperium-imperium setengah ukuran Luxembourg;
Beethoven yang berbakat yang tak punya orkestra simfoni namun
membuat orang-orang meneteskan air mata dengan suara seruling-
seruling bambunya; dan nabi-nabi seperti Muhammad namun yang
menyampaikan wahyu pohon ek lokal, bukan dari Tuhan pencipta
segenap alam. Namun, semua itu hanya tebakan. Tirai bisu begitu
tebal sehingga kita bahkan tidak bisa yakin hal-hal seperti itu
pernah terjadi—apalagi menjelaskannya secara terperinci. Para
ahli cenderung hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
bisa mereka dambakan jawabannya. Tanpa penemuan alat-alat
riset yang sampai kini belum tersedia, kita mungkin tidak pernah
tahu apa yang dipercaya para penjelajah kuno atau drama politik
seperti apa yang mereka alami. Meskipun demikian, penting
untuk ditanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Kalau
tidak, kita mungkin akan membuang masa 60.000 dari 70.000
tahun sejarah manusia, dengan alasan bahwa “orang-orang yang
hidup pada zaman itu tidak punya makna apa pun.”
Yang benar yaitu mereka memang melakukan banyak hal
penting. Lebih khusus, mereka membentuk dunia di sekitar kita
sampai ke tingkat yang lebih besar dari yang bisa disadari sebagian
besar orang. Para petualang yang mengunjungi tundra Siberia,
gurun tengah Australia, dan hutan tropis Amazon percaya bahwa
mereka memasuki lanskap-lanskap perawan yang tak tersentuh
tangan-tangan manusia. Namun, itu ilusi. Para penjelajah berada
di sana sebelum kita dan mereka membawa perubahan-perubahan
dramatis, bahkan di belantara paling padat dan sebagian besar
mendesolasi belantara. Bab berikutnya menjelaskan bagaimana
para penjelajah membentuk sepenuhnya ekologi planet kita jauh
sebelum desa pertanian dibangun. Kawanan-kawanan tukang
cerita pengelana Sapiens yaitu kekuatan paling penting dan
paling destruktif yang pernah dihasilkan oleh kerajaan binatang.
74
4
Banjir
Menjelang Revolusi Kognitif, manusia dari semua spesies
hidup secara eksklusif di hamparan tanah Afro-Asia. Benar
bahwa mereka memang telah mendiami beberapa pulau dengan
berenang melintasi rentangan-rentangan pendek perairan atau
menyeberanginya dengan perahu-perahu sederhana berbahan baku
seadanya. Flores, misalnya, dikolonisasi sejak 850.000 tahun lalu.
Namun, mereka tidak mampu mengarungi lautan terbuka, dan
tak satu pun yang menjangkau Amerika, Australia, atau pulau-
pulau terpencil seperti Madagaskar, Selandia Baru, dan Hawaii.
Laut menjadi penghalang tidak hanya bagi manusia, namun
juga banyak binatang dan tumbuhan Afro-Asia, untuk mencapai
“Dunia Luar” ini. Akibatnya, organisme-organisme dataran jauh
seperti Australia dan Madagaskar berevolusi dalam isolasi selama
berjuta-juta tahun, mengambil bentuk-bentuk dan sifat-sifat yang
sangat berbeda dari kerabat mereka nun jauh di Afro-Asia. Planet
Bumi terbagi menjadi beberapa ekosistem yang berbeda-beda,
masing-masing tersusun atas kumpulan binatang dan tumbuhan
yang unik.
Homo sapiens berada pada titik siap mengakhiri kesuburan
biologis ini. Menyusul Revolusi Kognitif, Sapiens mendapatkan
teknologi, kemampuan organisasional, dan bahkan mungkin visi
yang diperlukan untuk keluar dari Afro-Asia dan mendiami Dunia
Luar. Pencapaian pertama mereka yaitu kolonisasi Australia
sekitar 45 juta tahun lalu. Para ahli kesulitan menjelaskan prestasi
ini. Untuk mencapai Australia, manusia harus menyeberangi
sejumlah saluran laut, dengan luas perkiraan lebih dari seratus
kilometer, dan saat tiba, mereka harus beradaptasi nyaris
sesaat dengan sebuah ekosistem yang sama sekali baru.
Banjir
75
Teori yang paling masuk akal mengemukakan, sekitar
45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Kepulauan Indonesia
(sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan terpisah satu sama
lain oleh selat-selat sempit) mengembangkan warga pelayaran
pertama. Mereka belajar bagaimana membangun kapal-kapal dan
mengendalikannya di laut lepas, serta menjadi nelayan, pedagang,
dan penjelajah jarak jauh. Ini sudah pasti membawa transformasi
yang belum ada sebelumnya dalam kapabilitas dan gaya hidup
manusia. Setiap mamalia yang hidup di laut—anjing laut, sapi
laut, dan lumba-lumba—harus berevolusi selama berabad-abad
untuk mengembangkan organ-organ dan tubuh hidrodinamis
berkemampuan spesialis. Sapiens di Indonesia, keturunan
dari kera yang hidup di savana Afrika, menjadi pelaut Pasifik
tanpa menumbuhkan sirip dan tanpa harus menunggu hidung
mereka bermigrasi ke bagian atas kepala mereka seperti yang
dialami paus. Namun, mereka membangun perahu-perahu dan
belajar cara mengendalikannya. Dan, kemampuan-kemampuan
ini memungkinkan mereka untuk menjangkau serta mendiami
Australia.
Benar bahwa para arkeolog masih belum menemukan perahu-
perahu, dayung-dayung, atau desa-desa nelayan yang bertarikh
45.000 tahun lalu (mereka akan sulit menemukannya sebab
naiknya permukaan laut telah mengubur garis pantai kuno
Indonesia ratusan meter di bawah samudra). Meskipun demikian,
ada bukti tidak langsung yang kuat untuk mendukung teori ini,
terutama fakta bahwa dalam ribuan tahun setelah mendiami
Australia, Sapiens mengolonisasi banyak sekali pulau-pulau kecil
dan terisolasi di sebelah utaranya. Sebagian, seperti Buka dan
Manus, terpisah dari tanah terdekatnya oleh 200 kilometer
perairan terbuka. Sulit untuk memercayai bahwa siapa pun
orangnya mampu mencapai Manus dan mengolonisasi Manus
tanpa kapal dan kemampuan berlayar yang canggih. Seperti
disebutkan sebelumnya, ada pula bukti kuat perdagangan laut
reguler antar pulau-pulau ini, seperti Irlandia Baru dan Britania
Baru.1
Perjalanan manusia pertama ke Australia yaitu salah satu
peristiwa paling penting dalam sejarah, sekurang-kurangnya
76
sepenting perjalanan Columbus ke Amerika atau ekspedisi Apollo
11 ke Bulan. Itulah kali pertama manusia berhasil meninggalkan
sistem ekologis Afro-Asia—sungguh, untuk kali pertama mamalia
besar darat berhasil menyeberang dari Afro-Asia ke Australia.
Yang lebih penting maknanya yaitu apa yang dicapai para
pelopor manusia ini di dunia baru ini. Momen saat
pemburu-pengumpul menginjakkan kaki di pantai Australia yaitu
momen saat Homo sapiens merangkak ke puncak dalam rantai
makanan pada hamparan tanah tertentu setelah menjadi spesies
paling mematikan dalam sejarah Planet Bumi.
Hingga masa itu, manusia sudah menampilkan adaptasi dan
perilaku inovatif, namun pengaruh mereka pada lingkungan masih
bisa diabaikan.
Mereka menunjukkan sukses yang jelas dalam memasuki
dan menyesuaikan diri dengan beragam habitat, namun mereka
melakukannya tanpa mengubah habitat-habitat itu secara drastis.
Para pemukim di Australia, atau lebih tepatnya para penakluk
itu, tak cuma beradaptasi, mereka mentransformasi ekosistem
Australia tanpa sadar.
Jejak kaki manusia pertama di pantai pasir Australia
langsung tersapu ombak. Meski demikian, saat para penyerbu
itu merangsek ke pedalaman, mereka meninggalkan jejak kaki
yang berbeda, jejak yang tidak akan pernah terhapus. Seiring
gerak maju mereka, mereka berjumpa dengan sebuah alam asing
yang dihuni makhluk-makhluk tak dikenal antara lain kanguru
berukuran dua meter dan berat 200 kilogram, singa berkantung,
juga harimau masa kini yang besar, yang merupakan predator
terbesar di benua itu. Koala-koala dengan tubuh yang kelewat
besar bagi pepohonan untuk menopang tubuh mereka yang
bergelayutan dan burung-burung tak bisa terbang dengan ukuran
dua kali burung unta berlarian di dataran. Kadal-kadal mirip
naga dan ular-ular lima meteran merayap di bawah semak-semak.
Diprodoton raksasa, yakni wombat berberat 2,5 ton, menjelajahi
hutan-hutan. Kecuali burung-burung dan reptil, semua binatang
ini berkantung—seperti kanguru, mereka melahirkan bayi-bayi
mungil tak berdaya seperti orok yang kemudian mereka susui
dalam dekapan kantung perut. Mamalia-mamalia berkantung
Banjir
77
hampir tak dikenal di Afrika dan Asia, namun di Australia mereka
ada di mana-mana.
Dalam beberapa ribu tahun, hewan-hewan raksasa ini benar-
benar punah. Dari 24 spesies binatang Australia yang beratnya 50
kilogram atau lebih, 23 di antaranya punah.2 Spesies-spesies lain
yang lebih kecil dalam jumlah besar juga hilang. Rantai makanan
di seantero ekosistem Australia runtuh dan tersusun kembali. Itu
merupakan transformasi paling penting dalam ekosistem Australia
selama jutaan tahun. Apakah itu sebab ulah Homo sapiens?
Bersalah seperti yang Dituduhkan
Sebagian ahli berusaha membebaskan spesies kita dari kesalahan
itu, dengan menyalahkan liku-liku iklim (kambing hitam yang
biasa dalam kasus-kasus semacam itu). Namun, sulit untuk
meyakini bahwa Homo sapiens tak berdosa sama sekali. Ada tiga
potong bukti yang melemahkan alibi iklim, dan menimpakan
kesalahan kepada nenek moyang kita atas punahnya megafauna
Australia. Pertama, meskipun iklim Australia berubah sekitar
45.000 tahun lalu, kepunahannya tidaklah berarti. Sulit untuk
melihat hanya pola-pola cuaca baru itu yang memicu
kepunahan yang demikian masif. Memang umum pada masa kini
untuk menjelaskan segala sesuatu dan segala hal yaitu akibat
dari perubahan iklim, namun yang benar yaitu bahwa iklim
Bumi tak pernah beristirahat. Ia terus mengalir. Setiap peristiwa
dalam sejarah terjadi dengan latar belakang perubahan iklim.
Secara khusus, planet kita mengalami banyak siklus pen-
dinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir,
ada zaman es setiap 100.000 tahun. Yang terakhir berlangsung
dari sekitar 75.000 tahun sampai 15.000 tahun lalu. Bukan
sesuatu yang aneh bagi satu zaman es ada dua puncak di
dalamnya, yang pertama sekitar 75.000 tahun lalu dan yang
kedua sekitar 20.000 tahun lalu. Diprotodon raksasa muncul
di Australia selama lebih dari 1,5 juta tahun lalu dan berhasil
melalui sepuluh zaman es sebelumnya. Ia juga selamat dari
puncak pertama zaman es terakhir, sekitar 70.000 tahun lalu.
78
Lalu, mengapa ia hilang 45.000 tahun lalu? Tentu saja, kalaupun
diprotodon menjadi satu-satunya binatang raksasa yang hilang
pada masa itu, berarti itu hanya kebetulan. Namun, lebih dari 90
persen megafauna Australia hilang bersama diprotodon. Bukti ini
memang tidak langsung, namun sulit dibayangkan bahwa Sapiens,
hanya secara kebetulan, tiba di Australia pada titik yang tepat
saat binatang-binatang ini binasa oleh udara dingin.3
Kedua, saat perubahan iklim memicu kepunahan
massal, makhluk laut biasanya terdampak sama kerasnya dengan
makhluk darat. Namun, tidak ada bukti kepunahan signifikan
fauna laut pada masa 45.000 tahun lalu. Keterlibatan manusia
bisa dijelaskan dengan mudah mengapa gelombang kepunahan
melenyapkan megafauna darat Australia sementara binatang-
binatang laut di dekatnya selamat. Terlepas dari berkembangnya
kemampuan navigasi mereka, Homo sapiens masih merupakan
kedigdayaan darat yang luar biasa.
Ketiga, kepunahan massal yang mirip dengan penggundulan
dasar Australia terjadi lagi dan lagi dalam milenium berikutnya—
setiap kali orang-orang mendiami bagian lain Dunia Luar. Dalam
kasus-kasus ini, kesalahan Sapiens tak terbantahkan. Misalnya,
megafauna Selandia Baru—yang mengalami cuaca dan apa yang
diduga sebagai “perubahan iklim” 45.000 tahun lalu tanpa goresan
sedikit pun—mengalami pukulan hebat sesaat setelah manusia-
manusia pertama menginjakkan kaki di kepulauan itu. Maori,
koloni Sapiens pertama Selandia Baru, menjangkau kepulauan itu
sekitar 800 tahun lalu. Hanya dalam beberapa abad, mayoritas
megafauna setempat punah, bersamaan dengan 60 persen dari
semua spesies burung. Nasib serupa menimpa populasi mamut
Pulau Wrangel di Samudra Arktik (200 kilometer sebelah utara
pesisir Siberia). Selama beberapa juta tahun sebelumnya mamut
berbiak subur di sebagian besar belahan utara, namun begitu Homo
sapiens menyebar—mula-mula di Eurasia, kemudian di Amerika
Utara—mamut menyusut. Sampai dengan 10.000 tahun lalu, tak
satu pun mamut ditemukan di dunia, kecuali di beberapa pulau
terpencil Arktik, yang paling mencolok di Wrangel. Mamut-
mamut Wrangel terus tumbuh subur selama beberapa milenium
sesudah itu, kemudian tiba-tiba musnah sekitar 4.000 tahun lalu,
Banjir
79
tepat saat manusia-manusia pertama mencapai pulau ini .
Kalaupun kepunahan penghuni Australia merupakan peristiwa
tunggal, kita bisa mengakui faedah keraguan itu. Namun, catatan
historis membuat Homo sapiens tampak seperti pembunuh
berantai ekologis.
Apa yang dimiliki pemukim Australia hanyalah teknologi Zaman
Batu. Bagaimana bisa mereka memicu sebuah bencana
ekologis? Ada tiga penjelasan sangat bagus yang bertautan.
Binatang besar—korban utama kepunahan Australia—berbiak
lambat. Masa kehamilannya panjang, keturunan per kehamilan
sedikit, dan ada jeda-jeda panjang setelah kehamilan. Akibatnya,
jika manusia membunuh walau hanya satu diprotodon setiap
beberapa bulan, itu sudah cukup untuk memicu kematian
diprotodon mengalahkan jumlah kelahiran. Dalam beberapa ribu
tahun, diprotodon terakhir yang kesepian pun mati bersama
segenap spesiesnya.4
Nyatanya, dengan segala ukuran mereka, diprotodon dan
raksasa-raksasa lain Australia mungkin tak akan terlalu sulit untuk
diburu sebab mereka pasti menghadapi serangan dadakan dari
penyerang-penyerang berkaki dua. Berbagai spesies manusia telah
berkeliaran dan berevolusi di Afro-Asia selama 2 juta tahun.
Mereka pelan-pelan mengasah kemampuan berburu, dan mulai
memburu binatang-binatang sekitar 400.000 tahun lalu. Biantang-
binatang buas besar Afrika dan Asia belajar menghindari manusia
sehingga saat mega-predator baru itu—Homo sapiens—sampai
di Afro-Asia, binatang-binatang besar sudah tahu untuk menjauh
dari makhluk-makhluk yang tampak seperti itu. Sebaliknya,
raksasa-raksasa Australia tak punya waktu untuk belajar melarikan
diri. Kedatangan manusia-manusia tidak dianggap berbahaya.
Mereka tak punya gigi panjang tajam atau tubuh lentur berotot.
Jadi, saat seekor diprotodon, mamalia berkantung terbesar
yang pernah berjalan di muka Bumi, untuk kali pertama melihat
monyet yang tampak ringkih, ia hanya menatap sebentar,
kemudian melanjutkan keasyikannya mengunyah daun. Binatang-
binatang ini butuh evolusi untuk takut pada manusia, namun
sebelum berhasil, mereka sudah musnah.
80
Penjelasan kedua yaitu bahwa pada saat Sapiens mencapai
Australia, mereka sudah menguasai pertanian berbasis api.
Menghadapi lingkungan asing yang mengancam, mereka dengan
sengaja membakar area-area luas belukar tebal dan hutan-hutan
lebat yang tak tertembus untuk menciptakan lahan rumput
terbuka, yang menghadirkan permainan berburu yang lebih
mudah, dan lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan mereka.
Dari sanalah mereka mengubah sepenuhnya ekologi bagian-bagian
besar Australia dalam beberapa milenium singkat.
Satu sosok bukti yang mendukung pandangan ini yaitu
catatan fosil tumbuhan. Pohon eukaliptus jarang di Australia
45.000 tahun lalu. Namun, kedatangan Homo sapiens meresmikan
masa keemasan bagi spesies itu. sebab eukaliptus sangat tahan
api, spesies ini menyebar jauh dan meluas sementara pohon-
pohon dan semak-semak lain lenyap.
Perubahan-perubahan vegetasi ini memengaruhi binatang-
binatang pemakan tumbuhan dan karnivora pemakan vegetarian.
Koala-koala, yang bergantung hidupnya pada daun eukaliptus,
dengan gembira menjelajahi teritori-teritori baru. Sebagian
besar binatang lain sangat terpukul. Banyak rantai makanan
Australia runtuh, mendorong setiap mata rantai terlemah menuju
kepunahan.5
Penjelasan ketiga menyepakati bahwa perburuan dan
pertanian berbasis pembakaran memainkan peran signifikan
dalam kepunahan, namun menekankan bahwa kita tidak bisa
sepenuhnya mengabaikan peran iklim. Perubahan-perubahan iklim
yang menimpa Australia sekitar 45.000 tahun lalu mendestabilkan
ekosistem dan menjadikannya benar-benar rawan. Dalam keadaan
normal, sistem itu mungkin bisa pulih kembali, sebagaimana yang
sering terjadi sebelumnya. Namun, manusia muncul tepat pada
persimpangan kritis ini dan mendorong ekosistem rapuh ini
menuju neraka. Kombinasi perubahan iklim dan perburuan
oleh manusia memorak-porandakan terutama binatang-binatang
besar sebab kombinasi itu menyerang mereka dari sudut yang
berbeda. Sulit untuk menemukan strategi bertahan bagus yang
bisa bekerja secara simultan menghadapi ancaman ganda.
Tanpa ada bukti lebih jauh, tak ada jalan untuk memutuskan
Banjir
81
mana di antara ketiga skenario itu yang benar. Namun, ada
alasan-alasan yang benar-benar bagus untuk percaya bahwa kalau
saja Homo sapiens tidak pernah berlaga, Australia tentu masih
menjadi rumah bagi singa-singa berkantung, diprotodon, dan
kanguru-kanguru raksasa.
Akhir Riwayat Kungkang
Punahnya megafauna Australia mungkin merupakan pertanda
pertama yang signifikan dari keberadaan Homo sapiens di planet
kita. Tanda itu diikuti oleh bencana ekologis yang bahkan lebih
besar, kali ini di Amerika. Homo sapiens yaitu spesies manusia
pertama dan satu-satunya yang mencapai belahan barat lahan luas
itu, tiba sekitar 16.000 tahun lalu, yakni di dalam atau sekitar
14.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Orang-orang Amerika
pertama tiba dengan jalan kaki. Hal itu bisa dilakukan sebab
pada saat itu permukaan laut cukup rendah sehingga tersedia
jembatan tanah yang menghubungkan Siberia timur laut dengan
Alaska barat laut.
Tak mudah, tentu saja—perjalanan itu sulit, mungkin lebih
sulit daripada jalur laut menuju Australia. Untuk menyeberang,
Sapiens pertama-tama harus tahu bagaimana bertahan menghadapi
kondisi ekstrem Arktik di Siberia utara, sebuah wilayah yang tak
pernah diterpa sinar Matahari pada musim dingin, dan suhunya
bisa anjlok ke minus 50 derajat Celsius.
Tak ada spesies manusia sebelumnya yang berhasil menembus
tempat-tempat seperti Siberia utara. Bahkan, spesies Neanderthal
yang sudah beradaptasi dengan dingin membatasi diri mereka di
daerah-daerah yang relatif lebih hangat jauh di bagian selatan.
Namun, Homo sapiens, yang tubuhnya teradaptasi untuk hidup
di savana Afrika ketimbang tanah-tanah salju atau es, merancang
solusi-solusi cerdik. saat kawanan-kawanan Sapiens penjelajah
bermigrasi ke iklim-iklim yang lebih dingin, mereka belajar untuk
membuat sepatu-sepatu salju dan pakaian penghangat yang efektif,
yang terbuat dari lembaran bulu dan kulit binatang, dijahit kuat
dengan bantuan jarum. Mereka mengembangkan senjata-senjata
82
baru dan teknik-teknik berburu canggih yang memungkinkan
mereka untuk memburu dan membunuh mamut dan binatang
besar lainnya jauh ke utara. Seiring dengan membaiknya pakaian
penghangat dan teknik berburu, Sapiens berani bertualang
semakin dalam dan semakin dalam ke daerah-daerah beku.
Dan, saat mereka bergerak ke utara, pakaian-pakaian mereka,
strategi-strategi berburu, dan kemampuan-kemampuan bertahan
lainnya terus membaik.
namun mengapa mereka peduli? Mengapa pula
membahayakan diri dengan sengaja menuju Siberia? Mungkin
sebagian kawanan terdesak ke utara oleh peperangan, tekanan
demografis, atau bencana-bencana alam. Sebagian yang lain
mungkin berkelana ke utara dengan alasan-alasan yang lebih
positif, seperti protein binatang. Tanah-tanah Arktik penuh
binatang besar nan lezat seperti rusa kutub dan mamut. Setiap
mamut yaitu sumber daging dalam jumlah besar (yang,
mengingat suhu bekunya, bahkan bisa dibekukan untuk dimakan
kemudian), gajih yang lezat, bulu yang hangat, dan gading yang
bernilai. Sebagaimana kesaksian temuan-temuan dari Sungir,
para pemburu mamut tidak hanya bertahan hidup di utara yang
beku, mereka juga berbiak subur. Seiring berjalannya waktu,
kawanan-kawanan menyebar jauh dan meluas, memburu mamut,
mastodon, kuda nil, dan rusa kutub. Sekitar 14.000 tahun SM,
perburuan membawa mereka dari Siberia timur laut ke Alaska.
Tentu saja, mereka tidak tahu telah menemukan sebuah dunia
baru. Bagi mamut maupun manusia, Alaska hanyalah perluasan
Siberia semata.
Mula-mula, gunung es mengadang jalan mereka dari Alaska
ke bagian lain Amerika, mungkin hanya beberapa penyintas
yang sanggup menembus lahan-lahan ke selatan. Namun, pada
sekitar 12.000 tahun SM, pemanasan global mencairkan es dan
membuka jalur lebih mudah. Dengan memakai koridor baru
itu, orang-orang bergerak massal ke selatan, menyebar ke seluruh
bagian kontinen. Meskipun semula teradaptasi dengan medan
berburu binatang besar di Arktik, mereka segera menyesuaikan
diri dengan keragaman iklim dan ekosistem yang luar biasa.
Para keturunan Siberia itu mendiami hutan-hutan lebat bagian
Banjir
83
timur Amerika Serikat, rawa-rawa Delta Mississippi, gurun
Meksiko, dan belantara hangat di Amerika Tengah. Sebagian
membuat rumah di wilayah lembah Sungai Amazon, yang lain
menancapkan akar di ngarai-ngarai Gunung Andean atau pampa-
pampa terbuka Argentina. Dan, ini semua berlangsung hanya
dalam satu atau dua milenium! Sampai dengan 10.000 tahun
SM, manusia sudah mendiami titik paling selatan Amerika,
Pulau Tierra del Fuego di ujung selatan kontinen. Pengembaraan
manusia ke Amerika menjadi saksi kecerdikan tiada tara dan
adaptabilitas tak tertandingi Homo sapiens. Tak ada binatang
lain yang pernah bergerak ke habitat yang begitu beragam dan
secara radikal begitu berbeda, dengan begitu cepat, di mana-
mana dengan memakai gen yang sama.6
Sapiens yang mendiami Amerika tak kurang berdarahnya.
Spesies ini meninggalkan jejak panjang korban-korban. Fauna
Amerika 14.000 tahun lalu jauh lebih kaya dari masa kini.
saat orang-orang Amerika pertama bergerak ke selatan dari
Alaska menuju dataran-dataran Kanada dan bagian barat Amerika
Serikat, mereka menemukan mamut dan mastodon, tikus-tikus
seukuran beruang, kawanan kuda dan unta, singa-singa raksasa,
dan puluhan spesies lain yang contoh miripnya pada masa kini,
di antaranya kucing-kucing bergigi menakutkan dan kungkang-
kungkang darat raksasa seberat 8 ton dan tinggi sampai 6 meter.
Amerika Selatan menjadi rumah bagi kumpulan mamalia besar,
reptil, dan burung-burung yang bahkan lebih eksotis. Amerika
merupakan laboratorium besar eksperimentasi evolusi, sebuah
tempat di mana binatang-binatang dan tetumbuhan yang tak
dikenal di Afrika dan Asia pernah berevolusi dan tumbuh subur.
namun tak berlangsung lama. Dalam 2.000 tahun sejak
kedatangan Sapiens, sebagian besar spesies unik ini musnah.
Menurut perkiraan saat ini, dalam interval singkat itu, Amerika
Utara kehilangan tiga puluh empat dari lima puluh tujuh
genera mamalia besar. Amerika Selatan kehilangan lima puluh
dari enam puluh. Kucing-kucing bergigi tajam, setelah berbiak
subur selama lebih dari 30 juta tahun, musnah, dan begitu juga
kungkang-kungkang darat raksasa, singa-singa raksasa, kuda-kuda
asli Amerika, unta asli Amerika, tikus-tikus raksasa dan mamut.
84
Ribuan spesies mamalia yang lebih kecil, reptil, burung, bahkan
serangga dan parasit juga punah (saat mamut punah, semua
spesies kutu mamut pun ikut punah). Selama beberapa dekade,
para ahli palaeontologi dan arkeologi binatang—orang-orang
yang meneliti dan mempelajari sisa-sisa binatang—telah menyisir
dataran-dataran dan pegunungan Amerika untuk mencari tulang-
tulang fosil unta kuno dan kotoran-kotoran kungkang darat
raksasa yang sudah berubah bentuk. saat mereka menemukan
apa yang mereka cari, benda-benda pusaka itu dikemas dengan
hati-hati dan dikirim ke laboratorium, di mana setiap tulang
dan setiap koprolit (nama teknis untuk fosil kotoran) dipelajari
dengan saksama dan ditentukan masanya.
Berulang kali, analisis-analisis ini menghasilkan temuan yang
sama: bola kotoran paling baru dan tulang-tulang unta paling
mutakhir bertarikh masa yang sama saat manusia membanjiri
Amerika, kira-kira antara 12.000 dan 9.000 tahun SM. Hanya
di satu area para ilmuwan menemukan bola kotoran yang
lebih muda: di beberapa pulau Karibia, terutama Kuba dan
Hispaniola, mereka menemukan kotoran kungkang darat yang
sudah berubah bertarikh sekitar 5.000 tahun SM. Ini yaitu
masa tepat saat manusia pertama berhasil menyeberangi Laut
Karibia dan mendiami kedua pulau besar ini.
Lagi-lagi, beberapa ahli berusaha membebaskan Homo
sapiens dan menyalahkan perubahan iklim (yang mengharuskan
mereka berasumsi bahwa, sebab penyebab misterius, iklim di
Kepulauan Karibia tetap statis selama 7.000 tahun sementara
wilayah lainnya di belahan barat itu tetap hangat). Namun,
di Amerika, bola kotoran itu tak bisa disangkal. Kitalah biang
keroknya. Kebenaran itu tak bisa diragukan lagi. Sekalipun
perubahan iklim memang bersekongkol dengan kita, kontribusi
manusia jelas menentukan.7
Bahtera Nuh
Jika kita kombinasikan kepunahan massal di Australia dan
Amerika, dan tambahkan kepunahan berskala kecil yang terjadi
Banjir
85
saat Homo sapiens menyebar di Afro-Asia—seperti punahnya
semua spesies manusia lain—dan kepunahan yang terjadi saat
para penjelajah kuno mendiami pulau-pulau terpencil seperti
Kuba, kesimpulan tak terelakkan yaitu bahwa gelombang
pertama kolonisasi Sapiens merupakan salah satu bencana
ekologis terbesar dan tercepat yang menimpa kerajaan binatang.
Yang paling parah terdampak yaitu makhluk-makhluk besar
berbulu. Pada masa Revolusi Kognitif, planet menjadi rumah
bagi sekitar 200 genera mamalia besar darat yang beratnya di
atas 50 kilogram. Pada saat Revolusi Agrikultur, hanya sekitar
seratus yang tersia. Homo sapiens mendorong kepunahan
sekiar setengah binatang besar planet ini jauh sebelum manusia
menemukan roda, tulisan, atau alat-alat besi.
Tragedi ekologis ini terulang kembali dalam skala mini yang
tak terhitung jumlahnya setelah Revolusi Agrikultur. Catatan
arkeologis pulau demi pulau mengisahkan cerita sedih yang
10. Rekonstruksi kungkang darat raksasa (Megatherium) dan
seekor trenggiling raksasa (Glyptodon). Kini punah, trenggiling
raksasa berukuran panjang 3 meter dan berat sampai 2 ton,
sedang kungkang raksasa tingginya mencapai 6 meter dan
berat sampai 8 ton.
86
sama. Tragedi dimulai dengan sebuah adegan yang menunjukkan
populasi kaya dan beragam binatang-binatang besar tanpa jejak
manusia. Dalam adegan dua, Sapiens muncul, dibuktikan oleh
adanya tulang manusia, ujung tombak, atau mungkin pecahan
tembikar. Adegan tiga segera menyusul, yang di dalamnya
manusia laki-laki dan perempuan menduduki pentas utama dan
sebagian besar binatang besar, bersama banyak binatang lain
yang kecil, hilang.
Pulau besar Madagaskar, sekitar 400 kilometer sebelah timur
daratan utama Afrika, menjadi contoh yang masyhur. Selama
jutaan tahun terisolasi, sebuah koleksi unik binatang berevolusi
di sana. Di dalamnya termasuk burung gajah, binatang tak bisa
terbang setinggi 3 meter dan berat hampir 0,5 ton—burung
terbesar di dunia—dan lemur raksasa, primata terbesar di Bumi.
Burung-burung gajah dan lemur raksasa, bersama sebagian besar
binatang besar lain di Madagaskar, tiba-tiba lenyap sekitar 1.500
tahun lalu—tepat saat manusia pertama menginjakkan kaki
di pulau itu.
Di Samudra Pasifik, gelombang kepunahan pertama
dimulai sekitar 1.500 tahun SM, saat para petani Polynesia
mendiami Kepulauan Solomon, Fiji, dan Kaledonia Baru. Mereka
membinasakan, secara langsung maupun tidak langsung, ratusan
spesies burung, serangga, bekicot, dan makhluk-makhluk penghuni
lainnya. Dari sana, gelombang kepunahan bergerak pelan-pelan
ke timur, selatan, dan utara, menuju jantung Samudra Pasifik,
melenyapkan fauna unik Samoa dan Tonga (tahun 1200 SM);
Kepulauan Marquis (Tahun 1 M); Pulau Paskah, Kepulauan
Cook, dan Hawaii (tahun 500 M); dan akhirnya Selandia Baru
(Tahun 1200 M).
Bencana-bencana ekologis serupa terjadi hampir setiap 1.000
tahun di pulau-pulau yang bertebaran di Samudra Atlantik,
Samudra India, Samudra Arktik, dan Laut Mediteran. Para
arkeolog telah menemukan bahkan di pulau-pulau paling kecil
bukti eksistensi burung-burung, serangga, dan bekicot yang hidup
di sana dalam generasi yang tak terhitung jumlahnya, musnah
saat manusia-manusia petani pertama tiba. Hanya sedikit pulau-
pulau yang sangat terpencil lolos dari perhatian manusia sampai
Banjir
87
abad modern, dan pulau-pulau ini mempertahankan keutuhan
faunanya. Kepulauan Galapagos, sebagai satu contoh yang paling
terkenal, tetap tak dihuni manusia sampai abad ke-19 sehingga
mempertahankan kumpulan binatang uniknya, termasuk penyu
raksasa yang, seperti diprotodon kuno, tak takut manusia.
Gelombang Kepunahan Pertama, yang disertai penyebaran
manusia penjelajah, diikuti Gelombang Kepunahan Kedua,
yang disertai penyebaran petani, dan memberi kita perspektif
penting tentang Gelombang Kepunahan Ketiga, yang kini
disebabkan oleh aktivitas industri. Jangan percaya cerita-cerita
bodoh bahwa para leluhur kita hidup harmonis dengan alam.
Jauh sebelum Revolusi Industri, Homo sapiens memiliki catatan
di antara semua organisme atas ulahnya mendorong sebagian
besar spesies tumbuhan dan binatang menuju kepunahan. Kita
memiliki watak meragukan sebagai spesies paling mematikan
dalam sejarah biologi.
Mungkin, jika lebih banyak orang menyadari Gelombang
Pertama dan Kedua Kepunahan, mereka akan lebih peduli tentang
Gelombang Ketiga yang di dalamnya mereka ambil bagian. Jika
kita tahu berapa banyak spesies yang sudah kita enyahkan, kita
menjadi lebih termotivasi untuk melindungi spesies-spesies yang
masih bertahan. Ini terutama relevan terhadap binatang-binatang
besar di lautan. Tak seperti rekan mereka di darat, binatang-
binatang laut besar relatif kurang terdampak oleh revolusi
Kognitif dan Agrikultural. Namun, banyak di antara mereka ada
di tubir kepunahan saat ini sebagai akibat dari polusi industrial
dan penggunaan berlebihan oleh manusia atas sumber daya laut.
Jika keadaan ini berlanjut dengan kecepatan seperti sekarang,
kemungkinan paus , hiu , tuna, dan lumba-lumba akan menyusul
diprotodon, kungkang darat, dan mamut menuju kepunahan. Di
antara makhluk besar dunia, yang selamat dari banjir manusia
hanyalah manusia itu sendiri, dan binatang-binatang di ladang
yang menjadi budak di atas geladak Bahtera Nuh.
Bagian Dua
Revolusi Agrikultur
11. Sebuah lukisan dinding dari kuburan Mesir, bertarikh sekitar
3.500 tahun lalu, menggambarkan pemandangan-pemandangan
khas pertanian.
5
Kecurangan Terbesar Sejarah
Selama 2,5 juta tahun manusia menghidupi diri dengan
mengumpulkan tumbuhan dan memburu binatang yang hidup
dan jenisnya tanpa intervensi mereka. Homo erectus, Homo
ergaster, dan Neanderthal memetik ara liar dan memburu
domba-domba liar tanpa memutuskan di mana pohon-pohon
ara harus tumbuh, di padang rumput mana kawanan domba
harus merumput, atau kambing-kambing bandot mana yang
harus kawin dengan kambing betina yang mana. Homo sapiens
menyebar dari Afrika Timur ke Timur Tengah, ke Eropa dan
Asia, dan akhirnya ke Australia dan Amerika—namun ke mana
pun mereka pergi, Sapiens terus hidup dengan mengumpulkan
tumbuhan-tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar.
Mengapa pula harus mencari cara lain kalau gaya hidupmu
memberi kecukupan dan menopang dunia yang kaya dengan
struktur sosial, keyakinan agama, dan dinamika politik?
Semua ini berubah sekitar 10.000 tahun lalu, saat
Sapiens mulai menghabiskan seluruh waktu dan usaha mereka
untuk memanipulasi kehidupan beberapa spesies binatang dan
tumbuhan. Dari fajar sampai terbenamnya Matahari, manusia
menabur benih, menyirami tanaman, menyiangi rumput dari
tanah, dan menggiring domba-domba ke padang rumput terbaik.
Pekerjaan ini, mereka pikir akan menyediakan lebih banyak
buah, biji-bijian, dan daging. Itulah revolusi dalam cara hidup
manusia—Revolusi Agrikultur.
Transisi ke pertanian dimulai sekitar 9500–8500 SM di
negeri perbukitan Turki bagian tenggara, Iran barat, dan Levant.
Transisi itu dimulai pelan-pelan dan di area geografis terbatas.
Gandum dan kambing didomestikasi kira-kira 9000 SM; kacang
92
polong dan kacang-kacangan sekitar 8000 SM; pohon zaitun
pada 5000 SM; kuda pada 4000 SM; dan anggur pada 3500
SM. Sebagian binatang dan tumbuhan, seperti unta dan kacang
mede, didomestikasi belakangan, namun sampai dengan 3500 SM,
gelombang utama domestikasi selesai. Bahkan hari ini, dengan
segala kemajuan teknologi kita, lebih dari 90 persen kalori
yang menghidupi manusia datang dari segelintir tumbuhan yang
didomestikasi leluhur kita antara 9500 dan 3500 SM—gandum,
padi, jagung, kentang, jewawut, dan jelai. Tak ada tumbuhan
atau binatang yang didomestikasi yang patut dicatat dalam 2.000
tahun terakhir. Jika pikiran kita seperti para pemburu-penjelajah,
santapan kita pun sama seperti para petani kuno itu.
Para ahli dulu percaya bahwa pertanian menyebar dari satu
titik tunggal di Timur Tengah ke empat penjuru dunia. Kini, para
ahli sepakat bahwa pertanian menyeruak di berbagai bagian lain
dunia, bukan oleh aksi para petani Timur Tengah yang mengekspor
revolusi mereka, melainkan seluruhnya secara independen. Orang-
orang di Amerika Tengah mendomestikasi jagung dan biji-bijian
tanpa mengetahui apa pun tentang penanaman gandum dan
Peta 2. Lokasi-lokasi dan tarikh-tarikh revolusi agrikultur. Data ini masih
menjadi objek perdebatan dan petanya masih terus digambar ulang
untuk menyesuaikan dengan penemuan-penemuan arkeologis mutakhir.
Kecurangan Terbesar Sejarah
93
kacang polong di Timur Tengah. Orang-orang Amerika Selatan
belajar cara menumbuhkan kentang dan mengembangbiakkan
llama, tanpa tahu apa yang terjadi di Meksiko atau Levant. Kaum
revolusioner pertama China mendomestikasi padi, jewawut, dan
babi. Para pekebun pertama Amerika Utara kelelahan menyisir
semak-semak mencari umbi-umbian yang bisa dimakan dan
memutuskan untuk menanam labu kuning. Orang-orang New
Guinea mendomestikasi tebu dan pisang, sementara para petani
Afrika Barat memanfaatkan jewawut Afrika, padi Afrika, sorgum
dan gandum untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari titik-titik
pusat awal inilah pertanian menyebar jauh dan meluas. Sampai
dengan abad ke-1 M, mayoritas penduduk di sebagian besar
wilayah dunia yaitu agrikulturalis.
Mengapa revolusi agrikultur meletup di Timur Tengah,
China, dan Amerika Tengah, namun tidak di Australia, Alaska,
atau Afrika Selatan? Penyebabnya sederhana: sebagian besar
spesies tumbuhan dan binatang tak bisa didomestikasi. Sapiens
bisa menggali jamur-jamur besar yang lezat dan memburu mamut-
mamut berbulu, namun mendomestikasi spesies mana pun tak
ada dalam pikiran mereka. Jamur-jamur sangat sulit dicari, dan
binatang-binatang buas raksasa terlalu menakutkan. Dari ribuan
spesies yang diburu dan dikumpulkan para leluhur kita, hanya
beberapa yang bisa menjadi kandidat cocok untuk pertanian
dan piaraan. Spesies yang sedikit itu hidup di tempat-tempat
tertentu, dan di tempat-tempat itulah revolusi agrikultur terjadi.
Dulu para ahli mengklaim bahwa revolusi agrikultur
yaitu sebuah lompatan besar menuju kemanusiaan. Mereka
mendongengkan cerita kemajuan yang didorong oleh kekuatan
otak manusia. Evolusi pelan-pelan menghasilkan orang-orang yang
lebih pintar. Akhirnya, orang-orang begitu pintar sehingga mereka
mampu menyibak rahasia-rahasia alam, memungkinkan mereka
untuk mendomestikasi domba dan menanam gandum. Segera
setelah semua ini terjadi, mereka dengan riang meninggalkan
kehidupan yang melelahkan, berbahaya, dan sering spartan,
sebagai pemburu-penjelajah, dengan tinggal menetap untuk
menikmati kehidupan menyenangkan lagi memuaskan sebagai
petani.
94
Dongeng itu yaitu fantasi. Tak ada bukti bahwa orang-orang
menjadi lebih pintar seiring berjalannya waktu. Para pengembara
tahu rahasia-rahasia alam jauh sebelum Revolusi Agrikultur
sebab kehidupan mereka bergantung pada pengetahuan
mendalam tentang binatang yang mereka buru dan tumbuhan
yang mereka kumpulkan. Bukan menjadi penanda kehadiran era
baru kehidupan yang mudah, Revolusi Agrikultur menghadirkan
kehidupan yang secara umum malah lebih sulit bagi para petani
dan lebih tidak memuaskan ketimbang yang dinikmati para
pengembara. Para pemburu-penjelajah menghabiskan waktu
mereka dengan cara yang lebih menstimulasi dan lebih beragam,
dan lebih kecil ancaman bahaya kelaparan serta penyakit. Revolusi
Agrikultur jelas memperbesar jumlah total makanan yang dimiliki
manusia. Namun, makanan ekstra tidak bisa diterjemahkan
sebagai menu yang lebih baik atau waktu luang yang lebih
banyak. Yang sesungguhnya terjadi yaitu ledakan populasi dan
elite yang manja. Rata-rata petani bekerja lebih keras ketimbang
rata-rata pengembara, dan mendapatkan menu makanan yang
lebih buruk sebagai imbalannya. Revolusi Agrikultur yaitu
kecurangan terbesar dalam sejarah.
Siapa yang bertanggung jawab? Bukan raja, bukan pendeta,
bukan pula pedagang. Pelakunya yaitu segelintir spesies
tumbuhan, termasuk gandum, padi, dan kentang. Tumbuhan-
tumbuhan ini mendomestikasi Homo sapiens, bukan sebaliknya.
Pikirkan sejenak tentang Revolusi Agrikultur dari sudut
pandang gandum. Sepuluh ribu tahun lalu gandum hanya satu
jenis rumput liar, salah satu dari banyak, terkurung dalam
rentang kecil di Timur Tengah. Tiba-tiba, hanya dalam beberapa
milenium pendek, rumput itu tumbuh di seluruh dunia. Menurut
kriteria evolusi dasar survival dan reproduksi, gandum menjadi
salah satu tumbuhan yang paling sukses dalam sejarah di muka
Bumi. Di area-area seperti Great Palins, Amerika Utara, di mana
tak sebatang pun tangkai gandum tumbuh 10.000 tahun lalu,
kini Anda bisa berjalan beratus-ratus kilometer tanpa menjumpai
tumbuhan lain. Di seluruh dunia, gandum menutupi sekitar 2,25
juta kilometer persegi permukaan Bumi, hampir sepuluh kali
Kecurangan Terbesar Sejarah
95
luas Inggris. Bagaimana rumput ini berubah dari tidak signifikan
menjadi ada di mana-mana?
Gandum melakukannya dengan memanipulasi Homo sapiens
untuk keuntungannya sendiri. Kera ini telah hidup cukup nyaman
berburu dan mengumpulkan sampai sekitar 10.000 tahun lalu,
namun kemudian mulai menginvestasikan lebih banyak dan lebih
banyak lagi upaya menanam gandum. Dalam beberapa milenium,
manusia di banyak bagian dunia merawat tumbuhan gandum. Itu
tidak mudah. Gandum meminta banyak dari mereka. Gandum
tidak suka bebatuan dan kerikil, jadi Sapiens meremukkan
punggung mereka untuk membersihkan lahan. Gandum tidak
suka berbagi ruang, air, dan nutrisi dengan tumbuhan lain, jadi
laki-laki dan perempuan bekerja sepanjang hari menyemai di
bawah sengatan Matahari. Gandum sakit, jadi Sapiens harus
terus mengawasinya dari serangan ulat dan kutu. Gandum
tak punya pertahanan melawan organisme lain yang suka
memakannya, dari kelinci sampai kawanan belalang, maka para
petani harus menjaga dan melindunginya. Gandum kehausan,
maka manusia mengalirkan air dari mata air dan sungai-sungai
untuk mengairinya. Gandum yang kelaparan bahkan mendorong
manusia mengumpulkan kotoran binatang untuk menyuburkan
tanah yang menjadi tempat tumbuh gandum.
Tubuh Homo sapiens belum berevolusi untuk tugas semacam
itu. Ia teradaptasi untuk memanjat pohon-pohon apel dan
memburu rusa-rusa, bukan untuk membersihkan batu-batu
dan membawa kantong-kantong air. Tulang belakang manusia,
lutut, leher, dan lekuk tubuh membayar atas itu. Studi-studi
atas tulang belulang kuno menunjukkan bahwa transisi menuju
pertanian membawa banyak penyakit, seperti terkilir, radang
sendi, dan hernia. Lebih dari itu, tugas-tugas baru pertanian
menuntut banyak waktu yang memicu manusia dipaksa
menetap secara permanen dekat dengan ladang-ladang gandum
mereka. Ini mengubah sepenuhnya cara hidup mereka. Kita
tidak mendomestikasi gandum. Gandum yang mendomestikasi
kita. Kata “domestikasi” berasal dari bahasa Latin domus, yang
berarti ‘rumah’. Siapa yang hidup di rumah? Bukan gandum.
Sapiens-lah yang hidup dalam rumah.
96
Bagaimana gandum meyakinkan Homo sapiens untuk
menukar kehidupan yang sedikit bagus untuk keberadaan yang
lebih menderita? Apa imbalan yang ditawarkannya? Ia tidak
memberi makanan yang lebih bagus. Ingat, manusia yaitu
kera omnivora yang tumbuh dengan ragam luas makanan. Biji-
bijian hanya menyumbang bagian kecil dari makanan manusia
sebelum Revolusi Agrikultur. Makanan berbasis sereal miskin
akan mineral dan vitamin, sulit ditumbuhkan, dan benar-benar
buruk untuk gigi dan gusi.
Gandum tidak memberi orang keamanan ekonomi. Kehidupan
seorang petani lebih tidak aman ketimbang kehidupan pemburu-
penjelajah. Para pengembara bergantung pada puluhan spesies
untuk bertahan hidup, dan sebab itu bisa menghadapi tahun-
tahun sulit, bahkan tanpa persediaan makanan yang disimpan. Jika
ketersediaan satu spesies berkurang, mereka bisa mengumpulkan
dan memburu lebih banyak dari spesies-spesies lain. warga
bertani, sampai masa yang sangat mutakhir, menggantungkan
banyak sekali kebutuhan kalori mereka pada ragam sangat kecil
tumbuhan yang didomestikasi. Di banyak area, mereka hanya
bergantung pada persediaan makanan tunggal, seperti gandum,
kentang, atau beras. Jika tak ada hujan, awan belalang datang,
12. Perang suku di Papua Nugini antara dua komunitas pertanian
(1960). Pemandangan semacam itu mungkin menyebar dalam
ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur.
Kecurangan Terbesar Sejarah
97
atau jamur menulari spesies makanan itu, petani-petani mati
dalam angka ribuan dan jutaan.
Gandum juga tidak bisa menawarkan keamanan dari kekerasan
manusia. Para petani awal sekurang-kurangnya sama ganasnya
dengan leluhur penjelajah mereka, kalau bukan lebih ganas. Para
petani memiliki lebih banyak hak milik dan membutuhkan lahan
untuk menanam. Hilangnya lahan-lahan padang rumput untuk
menyerbu tetangga bisa berarti ketimpangan antara kehidupan
dan kelaparan, jadi semakin sempit ruang untuk kompromi.
saat satu kawanan pengembara terdesak oleh rival yang lebih
kuat, kawanan itu biasanya bergerak. Itu sulit dan berbahaya,
namun masih layak. saat satu musuh yang kuat mengancam satu
desa pertanian, mundur berarti menyerahkan ladang, rumah, dan
lumbung. Dalam banyak kasus, ini mengantarkan para pengungsi
menuju kelaparan. Oleh sebab itu, para petani cenderung
bertahan dan berperang sampai titik darah penghabisan.
Banyak studi antropologis dan arkeologis menunjukkan
bahwa dalam warga -warga agrikultur sederhana tanpa
kerangka politik yang melingkupi desa dan suku, kekerasan
manusia bertanggung jawab atas sekitar 15 persen kematian,
termasuk 25 persen kematian laki-laki. Dalam warga
kontemporer Papua Nugini, kekerasan menyumbang 30 persen
kematian laki-laki di satu warga suku pertanian, Dani,
dan 35 persen di suku lain, Enga. Di Ekuador, mungkin 50
persen orang Waorani dewasa mati akibat kekerasan di tangan
manusia lain!12 Pada waktunya, kekerasan manusia bisa diatasi
melalui pengembangan kerangka sosial yang lebih besar—kota-
kota, kerajaan, dan negara. Namun, butuh ribuan tahun untuk
membangun struktur politik yang demikian besar dan efektif.
Kehidupan desa jelas membawa sejumlah manfaat langsung
bagi para petani awal, seperti proteksi yang lebih baik dari
binatang buas, hujan, dan cuaca dingin. Namun, untuk rata-rata
orang, kerugiannya mungkin melebihi keuntungannya. Sulit bagi
orang dalam warga makmur saat ini untuk menghargainya.
sebab kita menikmati kemakmuran dan keamanan, dan sebab
kemakmuran serta keamanan kita dibangun di atas fondasi
yang dibuat oleh Revolusi Agrikultur, kita berasumsi bahwa
98
Revolusi Agrikultur yaitu sebuah perbaikan yang luar biasa.
Meskipun demikian, salah juga jika menilai ribuan tahun sejarah
dari perspektif masa kini. Satu sudut pandang yang jauh lebih
representatif yaitu sudut pandang seorang gadis berusia 3 tahun
yang sekarat akibat malnutrisi pada abad ke-1 di China gara-gara
panen ayahnya gagal. Akankah dia mangatakan, “Saya sekarat
akibat malnutrisi, namun dalam 2.000 tahun, orang-orang akan
punya banyak makanan dan hidup di rumah-rumah besar ber-
AC, jadi penderitaan saya yaitu pengorbanan yang berarti”?
Lalu, apa yang ditawarkan gandum kepada agrikulturalis,
termasuk gadis China yang mati kurang gizi itu? Tak ada yang
diberikan gandum untuk orang-orang sebagai individu.
namun gandum menganugerahkan sesuatu bagi Homo
sapiens sebagai spesies. Menanam gandum memberi lebih banyak
makanan per satuan teritorial, dan sebab itu memungkinkan
Homo sapiens berbiak secara eksponensial. Sekitar 13.000 tahun
SM, saat orang-orang menghidupi diri dengan mengumpulkan
tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar, area di
sekitar oase Jericho di Palestina, bisa menopang paling banyak
satu kawanan pengembara yang terdiri atas sekitar seratus
orang yang relatif sehat dan tercukupi gizinya. Sekitar 8500
SM, saat tumbuhan-tumbuhan liar menyerah kepada ladang-
ladang gandum, oase itu menopang desa besar namun ringkih
berisi 1.000 orang, yang jauh lebih menderita akibat penyakit
dan kekurangan gizi.
Mata uang evolusi bukanlah kelaparan dan penderitaan,
melainkan salinan spiral DNA. Sebagaimana sukses ekonomi
sebuah perusahaan diukur hanya dengan jumlah dolarnya di
rekening bank, bukan dari kebahagiaan para pegawainya, jadi
sukses evolusi dari sebuah spesies diukur dengan jumlah salinan
DNA-nya. Jika tidak ada lagi salinan DNA yang tersisa, spesies
itu punah, sebagaimana sebuah perusahaan yang tak punya u