• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Sapiens 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sapiens 3. Tampilkan semua postingan

Sapiens 3



 mua aksi komunikasi ini yaitu  entitas yang sedang diajak 

bicara yaitu  makhluk setempat. Mereka bukan tuhan universal, 

melainkan rusa tertentu, pohon tertentu, arus tertentu, hantu 

tertentu.

Sebagaimana tiadanya penghalang antara manusia dan 

makhluk lain, tidak ada pula hierarki yang ketat. Entitas-

entitas non-manusia tidak semata-mata ada untuk mencukupi 

kebutuhan manusia. Mereka juga bukan dewa-dewa yang kuat 

yang menjalankan dunia semaunya. Dunia tidak berputar di 

sekitar orang-orang atau di sekitar kelompok makhluk tertentu. 

Animisme bukan sebuah agama spesifik. Ia yaitu  nama 

generik untuk ribuan dari setiap agama, kultus, dan keyakinan 

yang berbeda-beda. Yang membuat mereka semua “animis” 

yaitu  pendekatan umum terhadap dunia dan tempat manusia 

di dalamnya. Mengatakan bahwa para penjelajah kuno mungkin 

animis seperti mengatakan bahwa para agrikulturalis pramodern 

sebagian besar bertuhan. Theisme (dari kata theos, ‘Tuhan’ 

dalam bahasa Latin) yaitu  pandangan bahwa tata universal 

didasarkan pada hubungan-hubungan hierarkis antara manusia 

dan sekelompok kecil entitas halus yang disebut dewa. Sudah 

pasti benar untuk mengatakan bahwa kaum agrikulturalis 

pramodern cenderung bertuhan, namun  itu tidak mengajarkan 

kita banyak hal tentang hal-hal khusus. Label generik “theis” 

mencakup rabbi Yahudi dari abad ke-18 Polandia, para tukang 

sihir Puritan abad ke-17 Massachusetts, para pendeta Aztec dari 

abad ke-15 Meksiko, kaum mistis Sufi dari abad ke-12 Iran, 

para petarung Viking abad ke-10, anggota legiun Romawi abad 

ke-2, dan para birokrat China abad ke-1. Masing-masing dari 

semua itu memandang keyakinan dan praktik dari kelompok 

lain aneh dan klenik. Perbedaan-perbedaan di antara keyakinan 

dan praktik kelompok-kelompok penjelajah “animistik” itu 

mungkin memang besar. Pengalaman religius mereka mungkin 

bergolak dan penuh kontroversi, pembaruan-pembaruan dan 

revolusi-revolusi. Namun, generalisasi hati-hati ini yaitu  titik 

yang bisa kita jangkau. Setiap upaya untuk menjelaskan secara 

spesifik spiritualitas kuno sangatlah spekulatif sebab  hampir 

tidak ada bukti untuk ditelusuri dan bukti yang kita miliki 

sangat sedikit—dan sejumlah artefak serta lukisan gua—bisa 

diinterpretasikan dengan banyak sekali cara. Teori-teori para 

ahli yang mengklaim tahu apa yang dirasakan para penjelajah 

justru memperjelas prasangka para pengarangnya alih-alih agama-

agama Zaman Batu.

8. Sebuah lukisan dari Gua Lascaux, 15.000–20.000 tahun lalu. Apa 

yang sesungguhnya kita lihat, dan apa makna lukisan itu? Sebagian 

berpendapat bahwa kita melihat seorang pria dengan kepala burung 

dan sebuah penis yang tegak, dibunuh oleh seekor bison. Di bawah 

orang itu ada burung lagi yang mungkin melambangkan jiwa, yang 

terlepas dari mayat pada saat kematian. Jika demikian, lukisan itu 

menggambarkan kecelakaan berburu, namun  merupakan pesan dari 

dunia ini ke dunia berikutnya. Namun, kita tidak punya pengetahuan 

apa pun apakah spekulasi ini benar. Sebuah pengujian Rorschach 

mengungkapkan banyak hal tentang prakonsepsi para ahli modern, 

dan sangat sedikit tentang keyakinan para penjelajah kuno itu sendiri.



67

Ketimbang menegakkan gunung-gunung teori di atas 

gundukan tanah relik makam, lukisan gua, dan patung-patung 

tulang, lebih baik jujur mengakui bahwa kita hanya memiliki 

catatan-catatan paling kabur tentang agama-agama para penjelajah 

kuno. Kita berasumsi bahwa mereka animis, namun  itu sangat 

tidak informatif. Kita tidak tahu arwah mana yang mereka 

sembah, perayaan mana yang mereka rayakan, atau tabu apa 

yang mereka yakini. Yang paling penting, kita tidak tahu kisah 

apa yang mereka ceritakan. Itu salah satu lubang terbesar dalam 

pemahaman kita tentang sejarah.

Dunia sosiopolitik para penjelajah hanyalah area lain yang 

kita hampir tidak tahu apa-apa tentangnya. Seperti dijelaskan 

di atas, para ahli bahkan tidak bisa sepakat tentang dasar-dasar, 

9. Para pemburu-penjelajah membuat cetakan tangan ini sekitar 9.000 

tahun lalu di Gua Tangan, Argentina. Tampak seakan-akan tangan-

tangan mati itu menjangkau kita dalam batu. Ini yaitu  salah satu 

relik yang paling mengesankan dari dunia penjelajah kuno—namun  tak 

seorang pun tahu apa artinya.

seperti eksistensi properti pribadi, keluarga nuklir, dan hubungan 

monogami. Sangat mungkin bahwa kawanan-kawanan yang 

berbeda memiliki struktur yang berbeda. Sebagian mungkin 

sehierarkis, setegang, sekeras, dan semesum kelompok simpanse, 

sedang  kawanan lain sedatar, sedamai, dan sepasang kelompok 

bonobo. 

Di Sungir Rusia, para arkeolog menemukan, pada 1955, 

sebuah tempat pemakaman berusia 30.000 tahun milik kultur 

pemburu mamut. Dalam satu kuburan mereka menemukan 

tulang-tulang seorang pria berusia lima puluh tahun, yang 

tertutup rangkaian manik-manik gading mamut, berisi sekitar 

3.000 manik-manik. Di kepala orang mati itu ada sebuah topi 

yang dihiasi gigi-gigi rubah, dan di pergelangan tangannya ada 

dua puluh lima gelang gading. Beberapa kuburan lain dari 

situs yang sama berisi barang-barang yang jauh lebih sedikit. 

Para ahli menyimpulkan bahwa para pemburu mamut Sungir 

hidup dalam warga  hierarkis, dan orang yang mati itu 

mungkin pemimpin dari satu kawanan atau suku yang terdiri 

dari beberapa kawanan. Agaknya tidak mungkin bahwa beberapa 

puluh anggota satu kawanan bisa memproduksi sendiri begitu 

banyak benda kuburan. 

Para arkeolog kemudian menemukan sebuah kuburan yang 

lebih menarik lagi. Kuburan berisi dua kerangka, dikubur kepala 

bertemu kepala. Satu milik seorang anak laki-laki berusia sekitar 

dua belas atau tiga belas tahun, dan yang lainnya seorang anak 

perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun. Anak itu ditutupi 

5.000 manik-manik gading. Dia mengenakan topi gigi rubah dan 

ikat pinggang dengan 250 gigi rubah (paling sedikit dibutuhkan 

enam rubah untuk hiasan sebanyak itu). Si anak perempuan 

dihiasi 5.250 manik-manik gading. Kedua anak itu dikelilingi 

patung-patung dan beragam benda gading. Seorang pengrajin 

terlatih (bisa laki-laki atau perempuan) mungkin memerlukan 

waktu empat puluh lima menit untuk menyiapkan satu butir 

manik-manik gading. Dengan kata lain, dengan hiasan 10.000 

manik-manik gading yang menutupi kedua anak itu, belum lagi 

benda-benda lainnya, dibutuhkan sekitar 7.500 jam pekerjaan 

rumit, yang bisa menghabiskan waktu tiga tahun pekerja dengan 

kemampuan sebagai seniman berpengalaman.

Sangat tidak mungkin bahwa anak semuda itu di Sungir 

telah mampu membuktikan diri sebagai pemimpin atau 

pemburu mamut. Hanya keyakinan-keyakinan kultural yang 

bisa menjelaskan mengapa mereka mendapatkan penghormatan 

begitu besar dalam penguburan. Satu teori menyatakan bahwa 

mereka yaitu  anak dari seseorang berkedudukan tinggi. Mungkin 

mereka anak-anak dari para pemimpin, dalam sebuah kultur 

yang meyakini karisma keluarga atau aturan-aturan ketat tentang 

sukses. Menurut teori lainnya, anak-anak itu diidentifikasi sejak 

lahir sebagai inkarnasi dari arwah-arwah yang telah lama mati. 

Teori ketiga menjelaskan bahwa penguburan anak-anak itu 

mencerminkan cara mereka mati ketimbang status kehidupan 

mereka. Mereka dikorbankan secara ritual—mungkin sebagai 

bagian dari ritual penguburan sang pemimpin—dan kemudian 

dimakamkan dengan kemegahan.9

Jawaban mana pun yang benar, anak-anak Sungir menjadi 

potongan bukti terbaik bahwa 30.000 tahun lalu Sapiens bisa 

menemukan sandi-sandi sosiopolitik yang jauh melampaui aturan 

DNA kita dan pola-perilaku spesies manusia dan binatang lain.

Damai atau Perang?

Akhirnya, ada pertanyaan pelik tentang peranan perang dalam 

warga  penjelajah. Para ahli membayangkan warga -

warga  pemburu-penjelajah kuno sebagai surga nan damai, 

dan mengemukakan bahwa perang dan kekerasan baru mulai pada 

Revolusi Agrikultural, saat  orang-orang mulai mengakumulasi 

properti pribadi. Ahli-ahli lain mengemukakan bahwa dunia 

penjelajah kuno sangat kejam dan kasar. Kedua aliran pemikiran 

itu ibarat istana di udara, yang terhubung dengan tanah oleh 

tali-tali tipis peninggalan-peninggalan arkeologis dan observasi-

observasi antropologis terhadap penjelajah masa kini.

Bukti-bukti arkeologis memang mencengangkan namun  

problematik. Para penjelajah masa kini hidup terutama di area-

area terisolasi dan tak bisa dihuni seperti Arktik atau Kalahari, 

yang kepadatan populasinya sangat rendah dan peluang untuk 

memerangi orang lain terbatas. Lebih dari itu, dalam generasi-

generasi mutakhir, para penjelajah itu semakin terdesak oleh 

otoritas negara-negara modern, yang mencegah ledakan konflik 

berskala besar. Para ahli Eropa hanya punya dua peluang untuk 

mengobservasi populasi besar dan relatif padat penjelajah 

independen: di belahan barat laut Amerika Utara pada abad 

ke-19, dan di bagian utara Australia pada abad ke-19 dan awal 

abad ke-20. Budaya Amerindian dan Aborigin Australia sering 

mengalami konflik bersenjata. Namun, masih bisa diperdebatkan 

apakah ini merepresentasikan kondisi “tanpa batasan waktu” 

atau merupakan dampak dari imperialisme Eropa.

Temuan-temuan arkeologis masih jarang dan kabur. Petunjuk-

petunjuk cerita seperti apa yang tersisa dari perang yang terjadi 

puluhan ribu tahun lalu? Tak ada benteng dan dinding pada 

masa itu, tidak ada tembakan artileri atau bahkan pedang dan 

tameng. Senjata-senjata tajam kuno mungkin dipakai  dalam 

perang, namun  bisa dipakai  pula untuk berburu. Tulang-tulang 

manusia yang memfosil tak kurang sulitnya untuk diinterpretasi. 

Sebuah retakan bisa menunjukkan adanya luka akibat perang 

atau kecelakaan. Ketiadaan retakan dan torehan pada kerangka 

kuno juga tidak bisa menjadi bukti untuk menyimpulkan bahwa 

pemilik kerangka itu mati bukan akibat kekerasan. Kematian 

mungkin disebabkan oleh benturan terhadap lapisan lembut 

yang tidak meninggalkan bekas di tulang. Bahkan yang lebih 

penting, dalam peperangan era pra-industri lebih dari 90 persen 

korban tewas terbunuh oleh kelaparan, dingin, dan penyakit, 

bukan oleh senjata. Bayangkan bahwa 30.000 tahun lalu satu 

suku mengalahkan tetangganya dan mengusir mereka dari lahan 

penjelajahan idaman. Dalam pertempuran yang menentukan itu, 

sepuluh anggota suku yang dikalahkan terbunuh. Pada tahun 

berikutnya, seratus lagi anggota suku yang kalah mati akibat 

kelaparan, cuaca dingin, dan penyakit. Para arkeolog yang 

meneliti 110 kerangka itu mungkin dengan mudah menyimpulkan 

bahwa sebagian besar korban jatuh akibat bencana alam. 

Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mereka semua korban 


dari perang tanpa ampun?

Dengan memperhatikan itu, kita kini bisa beralih ke temuan-

temuan arkeologis. Di Portugal, sebuah survei dilakukan terhadap 

400 kerangka dari periode tepat sebelum Revolusi Agrikultur. 

Hanya dua kerangka yang menunjukkan bersih dari tanda 

kekerasan. Survei serupa dilakukan terhadap 400 kerangka dari 

periode yang sama di Israel, menunjukkan satu retakan tunggal 

dalam satu tengkorak yang bisa dianggap sebagai akibat dari 

kekerasan manusia. Satu survei lagi terhadap 400 kerangka dari 

berbagai situs pra-agrikultural di Lembah Danube memberi  

bukti kekerasan pada 18 kerangka. Delapan belas dari 400 

mungkin terdengar tidak banyak, namun  itu sesungguhnya 

persentase yang sangat tinggi. Jika kedelapan belas itu benar-benar 

mati akibat kekerasan itu berarti sekitar 4,5 persen kematian di 

Lembah Danube disebabkan oleh kekerasan manusia. Kini, rata-

rata global hanya 1,5 persen, dengan menggabungkan perang 

dan kejahatan. Pada abad ke-20, hanya 5 persen kematian 

manusia diakibatkan oleh kekerasan manusia—dan dalam abad 

ini kita melihat perang paling berdarah dan genosida paling besar 

sepanjang sejarah. Jika pengungkapan itu biasa, maka Lembah 

Danube kuno yaitu  sekeras abad ke-20.**

Temuan-temuan yang mencengangkan dari Lembah Danube 

didukung oleh serangkaian temuan yang sama mengejutkan 

dari area-area lain. Di Jabl Sahaba di Sudan, sebuah kuburan 

berusia 12.000 tahun ditemukan berisi 50 kerangka. Moncong 

panah dan senjata tajam ditemukan menempel atau tergeletak 

di dekat tulang-belulang 24 kerangka, 40 persen dari temuan. 

Kerangka salah seorang perempuan mengungkapkan 12 luka. Di 

Gua Ofnet di Bavaria, para arkeolog menemukan kerangka 38 

penjelajah, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang dilempar 

ke dalam dua lubang penguburan. Separuh kerangka, termasuk 

anak-anak dan bayi, memiliki tanda kerusakan akibat senjata 

** Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa tak semua dari kedelapan belas 

orang Danube kuno itu mati akibat kekerasan, yang tandanya bisa dilihat dari 

kerangka. Sebagian mungkin hanya terluka. Namun, ini mungkin kematian dari 

benturan terhadap lapisan lembut dan dari perampasan yang menyertai perang 

namun  tak mungkin bisa dilihat.


manusia seperti kelewang dan pisau. Beberapa kerangka milik pria 

dewasa menyimpan tanda bekas kekerasan paling buruk. Dalam 

semua kemungkinan, satu kawanan penuh dibantai di Ofnet.

Mana yang paling bagus merepresentasikan dunia penjelajah 

kuno: kerangka-kerangka damai dari Israel dan Portugal atau 

penjagalan di Jabl Sahaba dan Ofnet? Jawabannya bukan 

keduanya. Sebagaimana para penjelajah menunjukkan susunan 

keagamaan dan struktur sosial, demikian pula, mereka mungkin 

mendemonstrasikan beragam tingkat kekerasan. Jika sebagian area 

dan sebagian periode menikmati kedamaian dan ketenangan, area 

dan masa yang lain mungkin dipenuhi konflik sengit.10

Tirai Bisu

Jika gambaran lebih besar tentang penjelajah kuno sulit 

direkonstruksi, peristiwa-peristiwa tertentu umumnya malah 

tak bisa diteliti kembali. saat  satu kawanan Sapiens kali 

pertama memasuki sebuah lembah yang dihuni Neanderthal, 

beberapa tahun kemudian mungkin terjadi drama historis yang 

mencengangkan. Sayang sekali, tak ada apa pun yang bisa selamat 

dari perjumpaan seperti itu kecuali, dalam kemungkinan yang 

terbaik, beberapa tulang fosil baru dan beberapa alat batu yang 

tetap bisu di bawah penelitian ahli yang saksama. Kita bisa saja 

menarik dari semua itu informasi tentang anatomi manusia, 

teknologi manusia, makanan manusia, dan mungkin bahkan 

struktur sosial manusia. Namun, semua itu tak menunjukkan 

apa pun tentang aliansi politik yang dibuat antara kawanan-

kawanan Sapiens yang bertetangga, tentang arwah mati yang 

memberkati aliansi ini, atau tentang manik-manik gading yang 

diberikan kepada dukun lokal dalam rangka mendapatkan berkah 

dari arwah.

Tirai bisu ini menyelubungi puluhan ribu tahun sejarah. 

Milenium-milenium panjang ini menyaksikan perang dan revolusi, 

gerakan-gerakan religius eskatis, teori-teori filosofis profan, 

mahakarya-mahakarya artistik yang tiada tara. Para penjelajah 

mungkin memiliki Napoleon sang penakluk ala mereka, yang 



73

menguasai imperium-imperium setengah ukuran Luxembourg; 

Beethoven yang berbakat yang tak punya orkestra simfoni namun  

membuat orang-orang meneteskan air mata dengan suara seruling-

seruling bambunya; dan nabi-nabi seperti Muhammad namun  yang 

menyampaikan wahyu pohon ek lokal, bukan dari Tuhan pencipta 

segenap alam. Namun, semua itu hanya tebakan. Tirai bisu begitu 

tebal sehingga kita bahkan tidak bisa yakin hal-hal seperti itu 

pernah terjadi—apalagi menjelaskannya secara terperinci. Para 

ahli cenderung hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang 

bisa mereka dambakan jawabannya. Tanpa penemuan alat-alat 

riset yang sampai kini belum tersedia, kita mungkin tidak pernah 

tahu apa yang dipercaya para penjelajah kuno atau drama politik 

seperti apa yang mereka alami. Meskipun demikian, penting 

untuk ditanyakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Kalau 

tidak, kita mungkin akan membuang masa 60.000 dari 70.000 

tahun sejarah manusia, dengan alasan bahwa “orang-orang yang 

hidup pada zaman itu tidak punya makna apa pun.”

Yang benar yaitu  mereka memang melakukan banyak hal 

penting. Lebih khusus, mereka membentuk dunia di sekitar kita 

sampai ke tingkat yang lebih besar dari yang bisa disadari sebagian 

besar orang. Para petualang yang mengunjungi tundra Siberia, 

gurun tengah Australia, dan hutan tropis Amazon percaya bahwa 

mereka memasuki lanskap-lanskap perawan yang tak tersentuh 

tangan-tangan manusia. Namun, itu ilusi. Para penjelajah berada 

di sana sebelum kita dan mereka membawa perubahan-perubahan 

dramatis, bahkan di belantara paling padat dan sebagian besar 

mendesolasi belantara. Bab berikutnya menjelaskan bagaimana 

para penjelajah membentuk sepenuhnya ekologi planet kita jauh 

sebelum desa pertanian dibangun. Kawanan-kawanan tukang 

cerita pengelana Sapiens yaitu  kekuatan paling penting dan 

paling destruktif yang pernah dihasilkan oleh kerajaan binatang.


 

74

 4

Banjir

Menjelang Revolusi Kognitif, manusia dari semua spesies 

hidup secara eksklusif di hamparan tanah Afro-Asia. Benar 

bahwa mereka memang telah mendiami beberapa pulau dengan 

berenang melintasi rentangan-rentangan pendek perairan atau 

menyeberanginya dengan perahu-perahu sederhana berbahan baku 

seadanya. Flores, misalnya, dikolonisasi sejak 850.000 tahun lalu. 

Namun, mereka tidak mampu mengarungi lautan terbuka, dan 

tak satu pun yang menjangkau Amerika, Australia, atau pulau-

pulau terpencil seperti Madagaskar, Selandia Baru, dan Hawaii.

Laut menjadi penghalang tidak hanya bagi manusia, namun  

juga banyak binatang dan tumbuhan Afro-Asia, untuk mencapai 

“Dunia Luar” ini. Akibatnya, organisme-organisme dataran jauh 

seperti Australia dan Madagaskar berevolusi dalam isolasi selama 

berjuta-juta tahun, mengambil bentuk-bentuk dan sifat-sifat yang 

sangat berbeda dari kerabat mereka nun jauh di Afro-Asia. Planet 

Bumi terbagi menjadi beberapa ekosistem yang berbeda-beda, 

masing-masing tersusun atas kumpulan binatang dan tumbuhan 

yang unik.

Homo sapiens berada pada titik siap mengakhiri kesuburan 

biologis ini. Menyusul Revolusi Kognitif, Sapiens mendapatkan 

teknologi, kemampuan organisasional, dan bahkan mungkin visi 

yang diperlukan untuk keluar dari Afro-Asia dan mendiami Dunia 

Luar. Pencapaian pertama mereka yaitu  kolonisasi Australia 

sekitar 45 juta tahun lalu. Para ahli kesulitan menjelaskan prestasi 

ini. Untuk mencapai Australia, manusia harus menyeberangi 

sejumlah saluran laut, dengan luas perkiraan lebih dari seratus 

kilometer, dan saat  tiba, mereka harus beradaptasi nyaris 

sesaat  dengan sebuah ekosistem yang sama sekali baru.


Banjir

75

Teori yang paling masuk akal mengemukakan, sekitar 

45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Kepulauan Indonesia 

(sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan terpisah satu sama 

lain oleh selat-selat sempit) mengembangkan warga  pelayaran 

pertama. Mereka belajar bagaimana membangun kapal-kapal dan 

mengendalikannya di laut lepas, serta menjadi nelayan, pedagang, 

dan penjelajah jarak jauh. Ini sudah pasti membawa transformasi 

yang belum ada sebelumnya dalam kapabilitas dan gaya hidup 

manusia. Setiap mamalia yang hidup di laut—anjing laut, sapi 

laut, dan lumba-lumba—harus berevolusi selama berabad-abad 

untuk mengembangkan organ-organ dan tubuh hidrodinamis 

berkemampuan spesialis. Sapiens di Indonesia, keturunan 

dari kera yang hidup di savana Afrika, menjadi pelaut Pasifik 

tanpa menumbuhkan sirip dan tanpa harus menunggu hidung 

mereka bermigrasi ke bagian atas kepala mereka seperti yang 

dialami paus. Namun, mereka membangun perahu-perahu dan 

belajar cara mengendalikannya. Dan, kemampuan-kemampuan 

ini memungkinkan mereka untuk menjangkau serta mendiami 

Australia.

Benar bahwa para arkeolog masih belum menemukan perahu-

perahu, dayung-dayung, atau desa-desa nelayan yang bertarikh 

45.000 tahun lalu (mereka akan sulit menemukannya sebab  

naiknya permukaan laut telah mengubur garis pantai kuno 

Indonesia ratusan meter di bawah samudra). Meskipun demikian, 

ada bukti tidak langsung yang kuat untuk mendukung teori ini, 

terutama fakta bahwa dalam ribuan tahun setelah mendiami 

Australia, Sapiens mengolonisasi banyak sekali pulau-pulau kecil 

dan terisolasi di sebelah utaranya. Sebagian, seperti Buka dan 

Manus, terpisah dari tanah terdekatnya oleh 200 kilometer 

perairan terbuka. Sulit untuk memercayai bahwa siapa pun 

orangnya mampu mencapai Manus dan mengolonisasi Manus 

tanpa kapal dan kemampuan berlayar yang canggih. Seperti 

disebutkan sebelumnya, ada pula bukti kuat perdagangan laut 

reguler antar pulau-pulau ini, seperti Irlandia Baru dan Britania 

Baru.1

Perjalanan manusia pertama ke Australia yaitu  salah satu 

peristiwa paling penting dalam sejarah, sekurang-kurangnya 


 

76

sepenting perjalanan Columbus ke Amerika atau ekspedisi Apollo 

11 ke Bulan. Itulah kali pertama manusia berhasil meninggalkan 

sistem ekologis Afro-Asia—sungguh, untuk kali pertama mamalia 

besar darat berhasil menyeberang dari Afro-Asia ke Australia. 

Yang lebih penting maknanya yaitu  apa yang dicapai para 

pelopor manusia ini  di dunia baru ini. Momen saat  

pemburu-pengumpul menginjakkan kaki di pantai Australia yaitu  

momen saat  Homo sapiens merangkak ke puncak dalam rantai 

makanan pada hamparan tanah tertentu setelah menjadi spesies 

paling mematikan dalam sejarah Planet Bumi.

Hingga masa itu, manusia sudah menampilkan adaptasi dan 

perilaku inovatif, namun  pengaruh mereka pada lingkungan masih 

bisa diabaikan.

Mereka menunjukkan sukses yang jelas dalam memasuki 

dan menyesuaikan diri dengan beragam habitat, namun  mereka 

melakukannya tanpa mengubah habitat-habitat itu secara drastis. 

Para pemukim di Australia, atau lebih tepatnya para penakluk 

itu, tak cuma beradaptasi, mereka mentransformasi ekosistem 

Australia tanpa sadar.

Jejak kaki manusia pertama di pantai pasir Australia 

langsung tersapu ombak. Meski demikian, saat  para penyerbu 

itu merangsek ke pedalaman, mereka meninggalkan jejak kaki 

yang berbeda, jejak yang tidak akan pernah terhapus. Seiring 

gerak maju mereka, mereka berjumpa dengan sebuah alam asing 

yang dihuni makhluk-makhluk tak dikenal antara lain kanguru 

berukuran dua meter dan berat 200 kilogram, singa berkantung, 

juga harimau masa kini yang besar, yang merupakan predator 

terbesar di benua itu. Koala-koala dengan tubuh yang kelewat 

besar bagi pepohonan untuk menopang tubuh mereka yang 

bergelayutan dan burung-burung tak bisa terbang dengan ukuran 

dua kali burung unta berlarian di dataran. Kadal-kadal mirip 

naga dan ular-ular lima meteran merayap di bawah semak-semak. 

Diprodoton raksasa, yakni wombat berberat 2,5 ton, menjelajahi 

hutan-hutan. Kecuali burung-burung dan reptil, semua binatang 

ini berkantung—seperti kanguru, mereka melahirkan bayi-bayi 

mungil tak berdaya seperti orok yang kemudian mereka susui 

dalam dekapan kantung perut. Mamalia-mamalia berkantung 


Banjir

77

hampir tak dikenal di Afrika dan Asia, namun  di Australia mereka 

ada di mana-mana.

Dalam beberapa ribu tahun, hewan-hewan raksasa ini benar-

benar punah. Dari 24 spesies binatang Australia yang beratnya 50 

kilogram atau lebih, 23 di antaranya punah.2 Spesies-spesies lain 

yang lebih kecil dalam jumlah besar juga hilang. Rantai makanan 

di seantero ekosistem Australia runtuh dan tersusun kembali. Itu 

merupakan transformasi paling penting dalam ekosistem Australia 

selama jutaan tahun. Apakah itu sebab  ulah Homo sapiens?

Bersalah seperti yang Dituduhkan

Sebagian ahli berusaha membebaskan spesies kita dari kesalahan 

itu, dengan menyalahkan liku-liku iklim (kambing hitam yang 

biasa dalam kasus-kasus semacam itu). Namun, sulit untuk 

meyakini bahwa Homo sapiens tak berdosa sama sekali. Ada tiga 

potong bukti yang melemahkan alibi iklim, dan menimpakan 

kesalahan kepada nenek moyang kita atas punahnya megafauna 

Australia. Pertama, meskipun iklim Australia berubah sekitar 

45.000 tahun lalu, kepunahannya tidaklah berarti. Sulit untuk 

melihat hanya pola-pola cuaca baru itu yang memicu  

kepunahan yang demikian masif. Memang umum pada masa kini 

untuk menjelaskan segala sesuatu dan segala hal yaitu  akibat 

dari perubahan iklim, namun  yang benar yaitu  bahwa iklim 

Bumi tak pernah beristirahat. Ia terus mengalir. Setiap peristiwa 

dalam sejarah terjadi dengan latar belakang perubahan iklim.

Secara khusus, planet kita mengalami banyak siklus pen-

dinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir, 

ada zaman es setiap 100.000 tahun. Yang terakhir berlangsung 

dari sekitar 75.000 tahun sampai 15.000 tahun lalu. Bukan 

sesuatu yang aneh bagi satu zaman es ada dua puncak di 

dalamnya, yang pertama sekitar 75.000 tahun lalu dan yang 

kedua sekitar 20.000 tahun lalu. Diprotodon raksasa muncul 

di Australia selama lebih dari 1,5 juta tahun lalu dan berhasil 

melalui sepuluh zaman es sebelumnya. Ia juga selamat dari 

puncak pertama zaman es terakhir, sekitar 70.000 tahun lalu. 


 

78

Lalu, mengapa ia hilang 45.000 tahun lalu? Tentu saja, kalaupun 

diprotodon menjadi satu-satunya binatang raksasa yang hilang 

pada masa itu, berarti itu hanya kebetulan. Namun, lebih dari 90 

persen megafauna Australia hilang bersama diprotodon. Bukti ini 

memang tidak langsung, namun  sulit dibayangkan bahwa Sapiens, 

hanya secara kebetulan, tiba di Australia pada titik yang tepat 

saat  binatang-binatang ini binasa oleh udara dingin.3

Kedua, saat  perubahan iklim memicu  kepunahan 

massal, makhluk laut biasanya terdampak sama kerasnya dengan 

makhluk darat. Namun, tidak ada bukti kepunahan signifikan 

fauna laut pada masa 45.000 tahun lalu. Keterlibatan manusia 

bisa dijelaskan dengan mudah mengapa gelombang kepunahan 

melenyapkan megafauna darat Australia sementara binatang-

binatang laut di dekatnya selamat. Terlepas dari berkembangnya 

kemampuan navigasi mereka, Homo sapiens masih merupakan 

kedigdayaan darat yang luar biasa.

Ketiga, kepunahan massal yang mirip dengan penggundulan 

dasar Australia terjadi lagi dan lagi dalam milenium berikutnya—

setiap kali orang-orang mendiami bagian lain Dunia Luar. Dalam 

kasus-kasus ini, kesalahan Sapiens tak terbantahkan. Misalnya, 

megafauna Selandia Baru—yang mengalami cuaca dan apa yang 

diduga sebagai “perubahan iklim” 45.000 tahun lalu tanpa goresan 

sedikit pun—mengalami pukulan hebat sesaat  setelah manusia-

manusia pertama menginjakkan kaki di kepulauan itu. Maori, 

koloni Sapiens pertama Selandia Baru, menjangkau kepulauan itu 

sekitar 800 tahun lalu. Hanya dalam beberapa abad, mayoritas 

megafauna setempat punah, bersamaan dengan 60 persen dari 

semua spesies burung. Nasib serupa menimpa populasi mamut 

Pulau Wrangel di Samudra Arktik (200 kilometer sebelah utara 

pesisir Siberia). Selama beberapa juta tahun sebelumnya mamut 

berbiak subur di sebagian besar belahan utara, namun  begitu Homo 

sapiens menyebar—mula-mula di Eurasia, kemudian di Amerika 

Utara—mamut menyusut. Sampai dengan 10.000 tahun lalu, tak 

satu pun mamut ditemukan di dunia, kecuali di beberapa pulau 

terpencil Arktik, yang paling mencolok di Wrangel. Mamut-

mamut Wrangel terus tumbuh subur selama beberapa milenium 

sesudah itu, kemudian tiba-tiba musnah sekitar 4.000 tahun lalu, 


Banjir

79

tepat saat  manusia-manusia pertama mencapai pulau ini .

Kalaupun kepunahan penghuni Australia merupakan peristiwa 

tunggal, kita bisa mengakui faedah keraguan itu. Namun, catatan 

historis membuat Homo sapiens tampak seperti pembunuh 

berantai ekologis.

Apa yang dimiliki pemukim Australia hanyalah teknologi Zaman 

Batu. Bagaimana bisa mereka memicu  sebuah bencana 

ekologis? Ada tiga penjelasan sangat bagus yang bertautan.

Binatang besar—korban utama kepunahan Australia—berbiak 

lambat. Masa kehamilannya panjang, keturunan per kehamilan 

sedikit, dan ada jeda-jeda panjang setelah kehamilan. Akibatnya, 

jika manusia membunuh walau hanya satu diprotodon setiap 

beberapa bulan, itu sudah cukup untuk memicu  kematian 

diprotodon mengalahkan jumlah kelahiran. Dalam beberapa ribu 

tahun, diprotodon terakhir yang kesepian pun mati bersama 

segenap spesiesnya.4

Nyatanya, dengan segala ukuran mereka, diprotodon dan 

raksasa-raksasa lain Australia mungkin tak akan terlalu sulit untuk 

diburu sebab  mereka pasti menghadapi serangan dadakan dari 

penyerang-penyerang berkaki dua. Berbagai spesies manusia telah 

berkeliaran dan berevolusi di Afro-Asia selama 2 juta tahun. 

Mereka pelan-pelan mengasah kemampuan berburu, dan mulai 

memburu binatang-binatang sekitar 400.000 tahun lalu. Biantang-

binatang buas besar Afrika dan Asia belajar menghindari manusia 

sehingga saat  mega-predator baru itu—Homo sapiens—sampai 

di Afro-Asia, binatang-binatang besar sudah tahu untuk menjauh 

dari makhluk-makhluk yang tampak seperti itu. Sebaliknya, 

raksasa-raksasa Australia tak punya waktu untuk belajar melarikan 

diri. Kedatangan manusia-manusia tidak dianggap berbahaya. 

Mereka tak punya gigi panjang tajam atau tubuh lentur berotot. 

Jadi, saat  seekor diprotodon, mamalia berkantung terbesar 

yang pernah berjalan di muka Bumi, untuk kali pertama melihat 

monyet yang tampak ringkih, ia hanya menatap sebentar, 

kemudian melanjutkan keasyikannya mengunyah daun. Binatang-

binatang ini butuh evolusi untuk takut pada manusia, namun  

sebelum berhasil, mereka sudah musnah.


 

80

Penjelasan kedua yaitu  bahwa pada saat Sapiens mencapai 

Australia, mereka sudah menguasai pertanian berbasis api. 

Menghadapi lingkungan asing yang mengancam, mereka dengan 

sengaja membakar area-area luas belukar tebal dan hutan-hutan 

lebat yang tak tertembus untuk menciptakan lahan rumput 

terbuka, yang menghadirkan permainan berburu yang lebih 

mudah, dan lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan mereka. 

Dari sanalah mereka mengubah sepenuhnya ekologi bagian-bagian 

besar Australia dalam beberapa milenium singkat.

Satu sosok bukti yang mendukung pandangan ini yaitu  

catatan fosil tumbuhan. Pohon eukaliptus jarang di Australia 

45.000 tahun lalu. Namun, kedatangan Homo sapiens meresmikan 

masa keemasan bagi spesies itu. sebab  eukaliptus sangat tahan 

api, spesies ini menyebar jauh dan meluas sementara pohon-

pohon dan semak-semak lain lenyap.

Perubahan-perubahan vegetasi ini memengaruhi binatang-

binatang pemakan tumbuhan dan karnivora pemakan vegetarian. 

Koala-koala, yang bergantung hidupnya pada daun eukaliptus, 

dengan gembira menjelajahi teritori-teritori baru. Sebagian 

besar binatang lain sangat terpukul. Banyak rantai makanan 

Australia runtuh, mendorong setiap mata rantai terlemah menuju 

kepunahan.5

Penjelasan ketiga menyepakati bahwa perburuan dan 

pertanian berbasis pembakaran memainkan peran signifikan 

dalam kepunahan, namun  menekankan bahwa kita tidak bisa 

sepenuhnya mengabaikan peran iklim. Perubahan-perubahan iklim 

yang menimpa Australia sekitar 45.000 tahun lalu mendestabilkan 

ekosistem dan menjadikannya benar-benar rawan. Dalam keadaan 

normal, sistem itu mungkin bisa pulih kembali, sebagaimana yang 

sering terjadi sebelumnya. Namun, manusia muncul tepat pada 

persimpangan kritis ini dan mendorong ekosistem rapuh ini  

menuju neraka. Kombinasi perubahan iklim dan perburuan 

oleh manusia memorak-porandakan terutama binatang-binatang 

besar sebab  kombinasi itu menyerang mereka dari sudut yang 

berbeda. Sulit untuk menemukan strategi bertahan bagus yang 

bisa bekerja secara simultan menghadapi ancaman ganda.

Tanpa ada bukti lebih jauh, tak ada jalan untuk memutuskan 


Banjir

81

mana di antara ketiga skenario itu yang benar. Namun, ada 

alasan-alasan yang benar-benar bagus untuk percaya bahwa kalau 

saja Homo sapiens tidak pernah berlaga, Australia tentu masih 

menjadi rumah bagi singa-singa berkantung, diprotodon, dan 

kanguru-kanguru raksasa.

Akhir Riwayat Kungkang

Punahnya megafauna Australia mungkin merupakan pertanda 

pertama yang signifikan dari keberadaan Homo sapiens di planet 

kita. Tanda itu diikuti oleh bencana ekologis yang bahkan lebih 

besar, kali ini di Amerika. Homo sapiens yaitu  spesies manusia 

pertama dan satu-satunya yang mencapai belahan barat lahan luas 

itu, tiba sekitar 16.000 tahun lalu, yakni di dalam atau sekitar 

14.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Orang-orang Amerika 

pertama tiba dengan jalan kaki. Hal itu bisa dilakukan sebab  

pada saat itu permukaan laut cukup rendah sehingga tersedia 

jembatan tanah yang menghubungkan Siberia timur laut dengan 

Alaska barat laut.

Tak mudah, tentu saja—perjalanan itu sulit, mungkin lebih 

sulit daripada jalur laut menuju Australia. Untuk menyeberang, 

Sapiens pertama-tama harus tahu bagaimana bertahan menghadapi 

kondisi ekstrem Arktik di Siberia utara, sebuah wilayah yang tak 

pernah diterpa sinar Matahari pada musim dingin, dan suhunya 

bisa anjlok ke minus 50 derajat Celsius.

Tak ada spesies manusia sebelumnya yang berhasil menembus 

tempat-tempat seperti Siberia utara. Bahkan, spesies Neanderthal 

yang sudah beradaptasi dengan dingin membatasi diri mereka di 

daerah-daerah yang relatif lebih hangat jauh di bagian selatan. 

Namun, Homo sapiens, yang tubuhnya teradaptasi untuk hidup 

di savana Afrika ketimbang tanah-tanah salju atau es, merancang 

solusi-solusi cerdik. saat  kawanan-kawanan Sapiens penjelajah 

bermigrasi ke iklim-iklim yang lebih dingin, mereka belajar untuk 

membuat sepatu-sepatu salju dan pakaian penghangat yang efektif, 

yang terbuat dari lembaran bulu dan kulit binatang, dijahit kuat 

dengan bantuan jarum. Mereka mengembangkan senjata-senjata 


 

82

baru dan teknik-teknik berburu canggih yang memungkinkan 

mereka untuk memburu dan membunuh mamut dan binatang 

besar lainnya jauh ke utara. Seiring dengan membaiknya pakaian 

penghangat dan teknik berburu, Sapiens berani bertualang 

semakin dalam dan semakin dalam ke daerah-daerah beku. 

Dan, saat  mereka bergerak ke utara, pakaian-pakaian mereka, 

strategi-strategi berburu, dan kemampuan-kemampuan bertahan 

lainnya terus membaik.

namun  mengapa mereka peduli? Mengapa pula 

membahayakan diri dengan sengaja menuju Siberia? Mungkin 

sebagian kawanan terdesak ke utara oleh peperangan, tekanan 

demografis, atau bencana-bencana alam. Sebagian yang lain 

mungkin berkelana ke utara dengan alasan-alasan yang lebih 

positif, seperti protein binatang. Tanah-tanah Arktik penuh 

binatang besar nan lezat seperti rusa kutub dan mamut. Setiap 

mamut yaitu  sumber daging dalam jumlah besar (yang, 

mengingat suhu bekunya, bahkan bisa dibekukan untuk dimakan 

kemudian), gajih yang lezat, bulu yang hangat, dan gading yang 

bernilai. Sebagaimana kesaksian temuan-temuan dari Sungir, 

para pemburu mamut tidak hanya bertahan hidup di utara yang 

beku, mereka juga berbiak subur. Seiring berjalannya waktu, 

kawanan-kawanan menyebar jauh dan meluas, memburu mamut, 

mastodon, kuda nil, dan rusa kutub. Sekitar 14.000 tahun SM, 

perburuan membawa mereka dari Siberia timur laut ke Alaska. 

Tentu saja, mereka tidak tahu telah menemukan sebuah dunia 

baru. Bagi mamut maupun manusia, Alaska hanyalah perluasan 

Siberia semata.

Mula-mula, gunung es mengadang jalan mereka dari Alaska 

ke bagian lain Amerika, mungkin hanya beberapa penyintas 

yang sanggup menembus lahan-lahan ke selatan. Namun, pada 

sekitar 12.000 tahun SM, pemanasan global mencairkan es dan 

membuka jalur lebih mudah. Dengan memakai  koridor baru 

itu, orang-orang bergerak massal ke selatan, menyebar ke seluruh 

bagian kontinen. Meskipun semula teradaptasi dengan medan 

berburu binatang besar di Arktik, mereka segera menyesuaikan 

diri dengan keragaman iklim dan ekosistem yang luar biasa. 

Para keturunan Siberia itu mendiami hutan-hutan lebat bagian 


Banjir

83

timur Amerika Serikat, rawa-rawa Delta Mississippi, gurun 

Meksiko, dan belantara hangat di Amerika Tengah. Sebagian 

membuat rumah di wilayah lembah Sungai Amazon, yang lain 

menancapkan akar di ngarai-ngarai Gunung Andean atau pampa-

pampa terbuka Argentina. Dan, ini semua berlangsung hanya 

dalam satu atau dua milenium! Sampai dengan 10.000 tahun 

SM, manusia sudah mendiami titik paling selatan Amerika, 

Pulau Tierra del Fuego di ujung selatan kontinen. Pengembaraan 

manusia ke Amerika menjadi saksi kecerdikan tiada tara dan 

adaptabilitas tak tertandingi Homo sapiens. Tak ada binatang 

lain yang pernah bergerak ke habitat yang begitu beragam dan 

secara radikal begitu berbeda, dengan begitu cepat, di mana-

mana dengan memakai  gen yang sama.6

Sapiens yang mendiami Amerika tak kurang berdarahnya. 

Spesies ini meninggalkan jejak panjang korban-korban. Fauna 

Amerika 14.000 tahun lalu jauh lebih kaya dari masa kini. 

saat  orang-orang Amerika pertama bergerak ke selatan dari 

Alaska menuju dataran-dataran Kanada dan bagian barat Amerika 

Serikat, mereka menemukan mamut dan mastodon, tikus-tikus 

seukuran beruang, kawanan kuda dan unta, singa-singa raksasa, 

dan puluhan spesies lain yang contoh miripnya pada masa kini, 

di antaranya kucing-kucing bergigi menakutkan dan kungkang-

kungkang darat raksasa seberat 8 ton dan tinggi sampai 6 meter. 

Amerika Selatan menjadi rumah bagi kumpulan mamalia besar, 

reptil, dan burung-burung yang bahkan lebih eksotis. Amerika 

merupakan laboratorium besar eksperimentasi evolusi, sebuah 

tempat di mana binatang-binatang dan tetumbuhan yang tak 

dikenal di Afrika dan Asia pernah berevolusi dan tumbuh subur. 

namun  tak berlangsung lama. Dalam 2.000 tahun sejak 

kedatangan Sapiens, sebagian besar spesies unik ini musnah. 

Menurut perkiraan saat ini, dalam interval singkat itu, Amerika 

Utara kehilangan tiga puluh empat dari lima puluh tujuh 

genera mamalia besar. Amerika Selatan kehilangan lima puluh 

dari enam puluh. Kucing-kucing bergigi tajam, setelah berbiak 

subur selama lebih dari 30 juta tahun, musnah, dan begitu juga 

kungkang-kungkang darat raksasa, singa-singa raksasa, kuda-kuda 

asli Amerika, unta asli Amerika, tikus-tikus raksasa dan mamut. 


 

84

Ribuan spesies mamalia yang lebih kecil, reptil, burung, bahkan 

serangga dan parasit juga punah (saat  mamut punah, semua 

spesies kutu mamut pun ikut punah). Selama beberapa dekade, 

para ahli palaeontologi dan arkeologi binatang—orang-orang 

yang meneliti dan mempelajari sisa-sisa binatang—telah menyisir 

dataran-dataran dan pegunungan Amerika untuk mencari tulang-

tulang fosil unta kuno dan kotoran-kotoran kungkang darat 

raksasa yang sudah berubah bentuk. saat  mereka menemukan 

apa yang mereka cari, benda-benda pusaka itu dikemas dengan 

hati-hati dan dikirim ke laboratorium, di mana setiap tulang 

dan setiap koprolit (nama teknis untuk fosil kotoran) dipelajari 

dengan saksama dan ditentukan masanya.

Berulang kali, analisis-analisis ini menghasilkan temuan yang 

sama: bola kotoran paling baru dan tulang-tulang unta paling 

mutakhir bertarikh masa yang sama saat  manusia membanjiri 

Amerika, kira-kira antara 12.000 dan 9.000 tahun SM. Hanya 

di satu area para ilmuwan menemukan bola kotoran yang 

lebih muda: di beberapa pulau Karibia, terutama Kuba dan 

Hispaniola, mereka menemukan kotoran kungkang darat yang 

sudah berubah bertarikh sekitar 5.000 tahun SM. Ini yaitu  

masa tepat saat  manusia pertama berhasil menyeberangi Laut 

Karibia dan mendiami kedua pulau besar ini.

Lagi-lagi, beberapa ahli berusaha membebaskan Homo 

sapiens dan menyalahkan perubahan iklim (yang mengharuskan 

mereka berasumsi bahwa, sebab  penyebab misterius, iklim di 

Kepulauan Karibia tetap statis selama 7.000 tahun sementara 

wilayah lainnya di belahan barat itu tetap hangat). Namun, 

di Amerika, bola kotoran itu tak bisa disangkal. Kitalah biang 

keroknya. Kebenaran itu tak bisa diragukan lagi. Sekalipun 

perubahan iklim memang bersekongkol dengan kita, kontribusi 

manusia jelas menentukan.7

Bahtera Nuh

Jika kita kombinasikan kepunahan massal di Australia dan 

Amerika, dan tambahkan kepunahan berskala kecil yang terjadi 


Banjir

85

saat Homo sapiens menyebar di Afro-Asia—seperti punahnya 

semua spesies manusia lain—dan kepunahan yang terjadi saat  

para penjelajah kuno mendiami pulau-pulau terpencil seperti 

Kuba, kesimpulan tak terelakkan yaitu  bahwa gelombang 

pertama kolonisasi Sapiens merupakan salah satu bencana 

ekologis terbesar dan tercepat yang menimpa kerajaan binatang. 

Yang paling parah terdampak yaitu  makhluk-makhluk besar 

berbulu. Pada masa Revolusi Kognitif, planet menjadi rumah 

bagi sekitar 200 genera mamalia besar darat yang beratnya di 

atas 50 kilogram. Pada saat Revolusi Agrikultur, hanya sekitar 

seratus yang tersia. Homo sapiens mendorong kepunahan 

sekiar setengah binatang besar planet ini jauh sebelum manusia 

menemukan roda, tulisan, atau alat-alat besi.

Tragedi ekologis ini terulang kembali dalam skala mini yang 

tak terhitung jumlahnya setelah Revolusi Agrikultur. Catatan 

arkeologis pulau demi pulau mengisahkan cerita sedih yang 

10. Rekonstruksi kungkang darat raksasa (Megatherium) dan 

seekor trenggiling raksasa (Glyptodon). Kini punah, trenggiling 

raksasa berukuran panjang 3 meter dan berat sampai 2 ton, 

sedang  kungkang raksasa tingginya mencapai 6 meter dan 

berat sampai 8 ton.


 

86

sama. Tragedi dimulai dengan sebuah adegan yang menunjukkan 

populasi kaya dan beragam binatang-binatang besar tanpa jejak 

manusia. Dalam adegan dua, Sapiens muncul, dibuktikan oleh 

adanya tulang manusia, ujung tombak, atau mungkin pecahan 

tembikar. Adegan tiga segera menyusul, yang di dalamnya 

manusia laki-laki dan perempuan menduduki pentas utama dan 

sebagian besar binatang besar, bersama banyak binatang lain 

yang kecil, hilang.

Pulau besar Madagaskar, sekitar 400 kilometer sebelah timur 

daratan utama Afrika, menjadi contoh yang masyhur. Selama 

jutaan tahun terisolasi, sebuah koleksi unik binatang berevolusi 

di sana. Di dalamnya termasuk burung gajah, binatang tak bisa 

terbang setinggi 3 meter dan berat hampir 0,5 ton—burung 

terbesar di dunia—dan lemur raksasa, primata terbesar di Bumi. 

Burung-burung gajah dan lemur raksasa, bersama sebagian besar 

binatang besar lain di Madagaskar, tiba-tiba lenyap sekitar 1.500 

tahun lalu—tepat saat  manusia pertama menginjakkan kaki 

di pulau itu.

Di Samudra Pasifik, gelombang kepunahan pertama 

dimulai sekitar 1.500 tahun SM, saat  para petani Polynesia 

mendiami Kepulauan Solomon, Fiji, dan Kaledonia Baru. Mereka 

membinasakan, secara langsung maupun tidak langsung, ratusan 

spesies burung, serangga, bekicot, dan makhluk-makhluk penghuni 

lainnya. Dari sana, gelombang kepunahan bergerak pelan-pelan 

ke timur, selatan, dan utara, menuju jantung Samudra Pasifik, 

melenyapkan fauna unik Samoa dan Tonga (tahun 1200 SM); 

Kepulauan Marquis (Tahun 1 M); Pulau Paskah, Kepulauan 

Cook, dan Hawaii (tahun 500 M); dan akhirnya Selandia Baru 

(Tahun 1200 M).

Bencana-bencana ekologis serupa terjadi hampir setiap 1.000 

tahun di pulau-pulau yang bertebaran di Samudra Atlantik, 

Samudra India, Samudra Arktik, dan Laut Mediteran. Para 

arkeolog telah menemukan bahkan di pulau-pulau paling kecil 

bukti eksistensi burung-burung, serangga, dan bekicot yang hidup 

di sana dalam generasi yang tak terhitung jumlahnya, musnah 

saat  manusia-manusia petani pertama tiba. Hanya sedikit pulau-

pulau yang sangat terpencil lolos dari perhatian manusia sampai 


Banjir

87

abad modern, dan pulau-pulau ini mempertahankan keutuhan 

faunanya. Kepulauan Galapagos, sebagai satu contoh yang paling 

terkenal, tetap tak dihuni manusia sampai abad ke-19 sehingga 

mempertahankan kumpulan binatang uniknya, termasuk penyu 

raksasa yang, seperti diprotodon kuno, tak takut manusia.

Gelombang Kepunahan Pertama, yang disertai penyebaran 

manusia penjelajah, diikuti Gelombang Kepunahan Kedua, 

yang disertai penyebaran petani, dan memberi kita perspektif 

penting tentang Gelombang Kepunahan Ketiga, yang kini 

disebabkan oleh aktivitas industri. Jangan percaya cerita-cerita 

bodoh bahwa para leluhur kita hidup harmonis dengan alam. 

Jauh sebelum Revolusi Industri, Homo sapiens memiliki catatan 

di antara semua organisme atas ulahnya mendorong sebagian 

besar spesies tumbuhan dan binatang menuju kepunahan. Kita 

memiliki watak meragukan sebagai spesies paling mematikan 

dalam sejarah biologi.

Mungkin, jika lebih banyak orang menyadari Gelombang 

Pertama dan Kedua Kepunahan, mereka akan lebih peduli tentang 

Gelombang Ketiga yang di dalamnya mereka ambil bagian. Jika 

kita tahu berapa banyak spesies yang sudah kita enyahkan, kita 

menjadi lebih termotivasi untuk melindungi spesies-spesies yang 

masih bertahan. Ini terutama relevan terhadap binatang-binatang 

besar di lautan. Tak seperti rekan mereka di darat, binatang-

binatang laut besar relatif kurang terdampak oleh revolusi 

Kognitif dan Agrikultural. Namun, banyak di antara mereka ada 

di tubir kepunahan saat ini sebagai akibat dari polusi industrial 

dan penggunaan berlebihan oleh manusia atas sumber daya laut. 

Jika keadaan ini berlanjut dengan kecepatan seperti sekarang, 

kemungkinan paus , hiu , tuna, dan lumba-lumba akan menyusul 

diprotodon, kungkang darat, dan mamut menuju kepunahan. Di 

antara makhluk besar dunia, yang selamat dari banjir manusia 

hanyalah manusia itu sendiri, dan binatang-binatang di ladang 

yang menjadi budak di atas geladak Bahtera Nuh.



 Bagian Dua

Revolusi Agrikultur

11. Sebuah lukisan dinding dari kuburan Mesir, bertarikh sekitar 

3.500 tahun lalu, menggambarkan pemandangan-pemandangan 

khas pertanian.



5

Kecurangan Terbesar Sejarah

Selama 2,5 juta tahun manusia menghidupi diri dengan 

mengumpulkan tumbuhan dan memburu binatang yang hidup 

dan jenisnya tanpa intervensi mereka. Homo erectus, Homo 

ergaster, dan Neanderthal memetik ara liar dan memburu 

domba-domba liar tanpa memutuskan di mana pohon-pohon 

ara harus tumbuh, di padang rumput mana kawanan domba 

harus merumput, atau kambing-kambing bandot mana yang 

harus kawin dengan kambing betina yang mana. Homo sapiens 

menyebar dari Afrika Timur ke Timur Tengah, ke Eropa dan 

Asia, dan akhirnya ke Australia dan Amerika—namun  ke mana 

pun mereka pergi, Sapiens terus hidup dengan mengumpulkan 

tumbuhan-tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar. 

Mengapa pula harus mencari cara lain kalau gaya hidupmu 

memberi kecukupan dan menopang dunia yang kaya dengan 

struktur sosial, keyakinan agama, dan dinamika politik? 

Semua ini berubah sekitar 10.000 tahun lalu, saat  

Sapiens mulai menghabiskan seluruh waktu dan usaha mereka 

untuk memanipulasi kehidupan beberapa spesies binatang dan 

tumbuhan. Dari fajar sampai terbenamnya Matahari, manusia 

menabur benih, menyirami tanaman, menyiangi rumput dari 

tanah, dan menggiring domba-domba ke padang rumput terbaik. 

Pekerjaan ini, mereka pikir akan menyediakan lebih banyak 

buah, biji-bijian, dan daging. Itulah revolusi dalam cara hidup 

manusia—Revolusi Agrikultur.

Transisi ke pertanian dimulai sekitar 9500–8500 SM di 

negeri perbukitan Turki bagian tenggara, Iran barat, dan Levant. 

Transisi itu dimulai pelan-pelan dan di area geografis terbatas. 

Gandum dan kambing didomestikasi kira-kira 9000 SM; kacang 


 

92

polong dan kacang-kacangan sekitar 8000 SM; pohon zaitun 

pada 5000 SM; kuda pada 4000 SM; dan anggur pada 3500 

SM. Sebagian binatang dan tumbuhan, seperti unta dan kacang 

mede, didomestikasi belakangan, namun  sampai dengan 3500 SM, 

gelombang utama domestikasi selesai. Bahkan hari ini, dengan 

segala kemajuan teknologi kita, lebih dari 90 persen kalori 

yang menghidupi manusia datang dari segelintir tumbuhan yang 

didomestikasi leluhur kita antara 9500 dan 3500 SM—gandum, 

padi, jagung, kentang, jewawut, dan jelai. Tak ada tumbuhan 

atau binatang yang didomestikasi yang patut dicatat dalam 2.000 

tahun terakhir. Jika pikiran kita seperti para pemburu-penjelajah, 

santapan kita pun sama seperti para petani kuno itu.

Para ahli dulu percaya bahwa pertanian menyebar dari satu 

titik tunggal di Timur Tengah ke empat penjuru dunia. Kini, para 

ahli sepakat bahwa pertanian menyeruak di berbagai bagian lain 

dunia, bukan oleh aksi para petani Timur Tengah yang mengekspor 

revolusi mereka, melainkan seluruhnya secara independen. Orang-

orang di Amerika Tengah mendomestikasi jagung dan biji-bijian 

tanpa mengetahui apa pun tentang penanaman gandum dan 

Peta 2. Lokasi-lokasi dan tarikh-tarikh revolusi agrikultur. Data ini masih 

menjadi objek perdebatan dan petanya masih terus digambar ulang 

untuk menyesuaikan dengan penemuan-penemuan arkeologis mutakhir.


Kecurangan Terbesar Sejarah

93

kacang polong di Timur Tengah. Orang-orang Amerika Selatan 

belajar cara menumbuhkan kentang dan mengembangbiakkan 

llama, tanpa tahu apa yang terjadi di Meksiko atau Levant. Kaum 

revolusioner pertama China mendomestikasi padi, jewawut, dan 

babi. Para pekebun pertama Amerika Utara kelelahan menyisir 

semak-semak mencari umbi-umbian yang bisa dimakan dan 

memutuskan untuk menanam labu kuning. Orang-orang New 

Guinea mendomestikasi tebu dan pisang, sementara para petani 

Afrika Barat memanfaatkan jewawut Afrika, padi Afrika, sorgum 

dan gandum untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari titik-titik 

pusat awal inilah pertanian menyebar jauh dan meluas. Sampai 

dengan abad ke-1 M, mayoritas penduduk di sebagian besar 

wilayah dunia yaitu  agrikulturalis.

Mengapa revolusi agrikultur meletup di Timur Tengah, 

China, dan Amerika Tengah, namun  tidak di Australia, Alaska, 

atau Afrika Selatan? Penyebabnya sederhana: sebagian besar 

spesies tumbuhan dan binatang tak bisa didomestikasi. Sapiens 

bisa menggali jamur-jamur besar yang lezat dan memburu mamut-

mamut berbulu, namun  mendomestikasi spesies mana pun tak 

ada dalam pikiran mereka. Jamur-jamur sangat sulit dicari, dan 

binatang-binatang buas raksasa terlalu menakutkan. Dari ribuan 

spesies yang diburu dan dikumpulkan para leluhur kita, hanya 

beberapa yang bisa menjadi kandidat cocok untuk pertanian 

dan piaraan. Spesies yang sedikit itu hidup di tempat-tempat 

tertentu, dan di tempat-tempat itulah revolusi agrikultur terjadi.

Dulu para ahli mengklaim bahwa revolusi agrikultur 

yaitu  sebuah lompatan besar menuju kemanusiaan. Mereka 

mendongengkan cerita kemajuan yang didorong oleh kekuatan 

otak manusia. Evolusi pelan-pelan menghasilkan orang-orang yang 

lebih pintar. Akhirnya, orang-orang begitu pintar sehingga mereka 

mampu menyibak rahasia-rahasia alam, memungkinkan mereka 

untuk mendomestikasi domba dan menanam gandum. Segera 

setelah semua ini terjadi, mereka dengan riang meninggalkan 

kehidupan yang melelahkan, berbahaya, dan sering spartan, 

sebagai pemburu-penjelajah, dengan tinggal menetap untuk 

menikmati kehidupan menyenangkan lagi memuaskan sebagai 

petani.


 

94

Dongeng itu yaitu  fantasi. Tak ada bukti bahwa orang-orang 

menjadi lebih pintar seiring berjalannya waktu. Para pengembara 

tahu rahasia-rahasia alam jauh sebelum Revolusi Agrikultur 

sebab  kehidupan mereka bergantung pada pengetahuan 

mendalam tentang binatang yang mereka buru dan tumbuhan 

yang mereka kumpulkan. Bukan menjadi penanda kehadiran era 

baru kehidupan yang mudah, Revolusi Agrikultur menghadirkan 

kehidupan yang secara umum malah lebih sulit bagi para petani 

dan lebih tidak memuaskan ketimbang yang dinikmati para 

pengembara. Para pemburu-penjelajah menghabiskan waktu 

mereka dengan cara yang lebih menstimulasi dan lebih beragam, 

dan lebih kecil ancaman bahaya kelaparan serta penyakit. Revolusi 

Agrikultur jelas memperbesar jumlah total makanan yang dimiliki 

manusia. Namun, makanan ekstra tidak bisa diterjemahkan 

sebagai menu yang lebih baik atau waktu luang yang lebih 

banyak. Yang sesungguhnya terjadi yaitu  ledakan populasi dan 

elite yang manja. Rata-rata petani bekerja lebih keras ketimbang 

rata-rata pengembara, dan mendapatkan menu makanan yang 

lebih buruk sebagai imbalannya. Revolusi Agrikultur yaitu  

kecurangan terbesar dalam sejarah.

Siapa yang bertanggung jawab? Bukan raja, bukan pendeta, 

bukan pula pedagang. Pelakunya yaitu  segelintir spesies 

tumbuhan, termasuk gandum, padi, dan kentang. Tumbuhan-

tumbuhan ini mendomestikasi Homo sapiens, bukan sebaliknya.

Pikirkan sejenak tentang Revolusi Agrikultur dari sudut 

pandang gandum. Sepuluh ribu tahun lalu gandum hanya satu 

jenis rumput liar, salah satu dari banyak, terkurung dalam 

rentang kecil di Timur Tengah. Tiba-tiba, hanya dalam beberapa 

milenium pendek, rumput itu tumbuh di seluruh dunia. Menurut 

kriteria evolusi dasar survival dan reproduksi, gandum menjadi 

salah satu tumbuhan yang paling sukses dalam sejarah di muka 

Bumi. Di area-area seperti Great Palins, Amerika Utara, di mana 

tak sebatang pun tangkai gandum tumbuh 10.000 tahun lalu, 

kini Anda bisa berjalan beratus-ratus kilometer tanpa menjumpai 

tumbuhan lain. Di seluruh dunia, gandum menutupi sekitar 2,25 

juta kilometer persegi permukaan Bumi, hampir sepuluh kali 


Kecurangan Terbesar Sejarah

95

luas Inggris. Bagaimana rumput ini berubah dari tidak signifikan 

menjadi ada di mana-mana?

Gandum melakukannya dengan memanipulasi Homo sapiens 

untuk keuntungannya sendiri. Kera ini telah hidup cukup nyaman 

berburu dan mengumpulkan sampai sekitar 10.000 tahun lalu, 

namun  kemudian mulai menginvestasikan lebih banyak dan lebih 

banyak lagi upaya menanam gandum. Dalam beberapa milenium, 

manusia di banyak bagian dunia merawat tumbuhan gandum. Itu 

tidak mudah. Gandum meminta banyak dari mereka. Gandum 

tidak suka bebatuan dan kerikil, jadi Sapiens meremukkan 

punggung mereka untuk membersihkan lahan. Gandum tidak 

suka berbagi ruang, air, dan nutrisi dengan tumbuhan lain, jadi 

laki-laki dan perempuan bekerja sepanjang hari menyemai di 

bawah sengatan Matahari. Gandum sakit, jadi Sapiens harus 

terus mengawasinya dari serangan ulat dan kutu. Gandum 

tak punya pertahanan melawan organisme lain yang suka 

memakannya, dari kelinci sampai kawanan belalang, maka para 

petani harus menjaga dan melindunginya. Gandum kehausan, 

maka manusia mengalirkan air dari mata air dan sungai-sungai 

untuk mengairinya. Gandum yang kelaparan bahkan mendorong 

manusia mengumpulkan kotoran binatang untuk menyuburkan 

tanah yang menjadi tempat tumbuh gandum.

Tubuh Homo sapiens belum berevolusi untuk tugas semacam 

itu. Ia teradaptasi untuk memanjat pohon-pohon apel dan 

memburu rusa-rusa, bukan untuk membersihkan batu-batu 

dan membawa kantong-kantong air. Tulang belakang manusia, 

lutut, leher, dan lekuk tubuh membayar atas itu. Studi-studi 

atas tulang belulang kuno menunjukkan bahwa transisi menuju 

pertanian membawa banyak penyakit, seperti terkilir, radang 

sendi, dan hernia. Lebih dari itu, tugas-tugas baru pertanian 

menuntut banyak waktu yang memicu  manusia dipaksa 

menetap secara permanen dekat dengan ladang-ladang gandum 

mereka. Ini mengubah sepenuhnya cara hidup mereka. Kita 

tidak mendomestikasi gandum. Gandum yang mendomestikasi 

kita. Kata “domestikasi” berasal dari bahasa Latin domus, yang 

berarti ‘rumah’. Siapa yang hidup di rumah? Bukan gandum. 

Sapiens-lah yang hidup dalam rumah.


 

96

Bagaimana gandum meyakinkan Homo sapiens untuk 

menukar kehidupan yang sedikit bagus untuk keberadaan yang 

lebih menderita? Apa imbalan yang ditawarkannya? Ia tidak 

memberi makanan yang lebih bagus. Ingat, manusia yaitu  

kera omnivora yang tumbuh dengan ragam luas makanan. Biji-

bijian hanya menyumbang bagian kecil dari makanan manusia 

sebelum Revolusi Agrikultur. Makanan berbasis sereal miskin 

akan mineral dan vitamin, sulit ditumbuhkan, dan benar-benar 

buruk untuk gigi dan gusi.

Gandum tidak memberi orang keamanan ekonomi. Kehidupan 

seorang petani lebih tidak aman ketimbang kehidupan pemburu-

penjelajah. Para pengembara bergantung pada puluhan spesies 

untuk bertahan hidup, dan sebab  itu bisa menghadapi tahun-

tahun sulit, bahkan tanpa persediaan makanan yang disimpan. Jika 

ketersediaan satu spesies berkurang, mereka bisa mengumpulkan 

dan memburu lebih banyak dari spesies-spesies lain. warga  

bertani, sampai masa yang sangat mutakhir, menggantungkan 

banyak sekali kebutuhan kalori mereka pada ragam sangat kecil 

tumbuhan yang didomestikasi. Di banyak area, mereka hanya 

bergantung pada persediaan makanan tunggal, seperti gandum, 

kentang, atau beras. Jika tak ada hujan, awan belalang datang, 

12. Perang suku di Papua Nugini antara dua komunitas pertanian 

(1960). Pemandangan semacam itu mungkin menyebar dalam 

ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur.


Kecurangan Terbesar Sejarah

97

atau jamur menulari spesies makanan itu, petani-petani mati 

dalam angka ribuan dan jutaan.

Gandum juga tidak bisa menawarkan keamanan dari kekerasan 

manusia. Para petani awal sekurang-kurangnya sama ganasnya 

dengan leluhur penjelajah mereka, kalau bukan lebih ganas. Para 

petani memiliki lebih banyak hak milik dan membutuhkan lahan 

untuk menanam. Hilangnya lahan-lahan padang rumput untuk 

menyerbu tetangga bisa berarti ketimpangan antara kehidupan 

dan kelaparan, jadi semakin sempit ruang untuk kompromi. 

saat  satu kawanan pengembara terdesak oleh rival yang lebih 

kuat, kawanan itu biasanya bergerak. Itu sulit dan berbahaya, 

namun  masih layak. saat  satu musuh yang kuat mengancam satu 

desa pertanian, mundur berarti menyerahkan ladang, rumah, dan 

lumbung. Dalam banyak kasus, ini mengantarkan para pengungsi 

menuju kelaparan. Oleh sebab  itu, para petani cenderung 

bertahan dan berperang sampai titik darah penghabisan.

Banyak studi antropologis dan arkeologis menunjukkan 

bahwa dalam warga -warga  agrikultur sederhana tanpa 

kerangka politik yang melingkupi desa dan suku, kekerasan 

manusia bertanggung jawab atas sekitar 15 persen kematian, 

termasuk 25 persen kematian laki-laki. Dalam warga  

kontemporer Papua Nugini, kekerasan menyumbang 30 persen 

kematian laki-laki di satu warga  suku pertanian, Dani, 

dan 35 persen di suku lain, Enga. Di Ekuador, mungkin 50 

persen orang Waorani dewasa mati akibat kekerasan di tangan 

manusia lain!12 Pada waktunya, kekerasan manusia bisa diatasi 

melalui pengembangan kerangka sosial yang lebih besar—kota-

kota, kerajaan, dan negara. Namun, butuh ribuan tahun untuk 

membangun struktur politik yang demikian besar dan efektif.

Kehidupan desa jelas membawa sejumlah manfaat langsung 

bagi para petani awal, seperti proteksi yang lebih baik dari 

binatang buas, hujan, dan cuaca dingin. Namun, untuk rata-rata 

orang, kerugiannya mungkin melebihi keuntungannya. Sulit bagi 

orang dalam warga  makmur saat ini untuk menghargainya. 

sebab  kita menikmati kemakmuran dan keamanan, dan sebab  

kemakmuran serta keamanan kita dibangun di atas fondasi 

yang dibuat oleh Revolusi Agrikultur, kita berasumsi bahwa 


 

98

Revolusi Agrikultur yaitu  sebuah perbaikan yang luar biasa. 

Meskipun demikian, salah juga jika menilai ribuan tahun sejarah 

dari perspektif masa kini. Satu sudut pandang yang jauh lebih 

representatif yaitu  sudut pandang seorang gadis berusia 3 tahun 

yang sekarat akibat malnutrisi pada abad ke-1 di China gara-gara 

panen ayahnya gagal. Akankah dia mangatakan, “Saya sekarat 

akibat malnutrisi, namun  dalam 2.000 tahun, orang-orang akan 

punya banyak makanan dan hidup di rumah-rumah besar ber-

AC, jadi penderitaan saya yaitu  pengorbanan yang berarti”?

Lalu, apa yang ditawarkan gandum kepada agrikulturalis, 

termasuk gadis China yang mati kurang gizi itu? Tak ada yang 

diberikan gandum untuk orang-orang sebagai individu.

namun  gandum menganugerahkan sesuatu bagi Homo 

sapiens sebagai spesies. Menanam gandum memberi lebih banyak 

makanan per satuan teritorial, dan sebab  itu memungkinkan 

Homo sapiens berbiak secara eksponensial. Sekitar 13.000 tahun 

SM, saat  orang-orang menghidupi diri dengan mengumpulkan 

tumbuhan liar dan memburu binatang-binatang liar, area di 

sekitar oase Jericho di Palestina, bisa menopang paling banyak 

satu kawanan pengembara yang terdiri atas sekitar seratus 

orang yang relatif sehat dan tercukupi gizinya. Sekitar 8500 

SM, saat  tumbuhan-tumbuhan liar menyerah kepada ladang-

ladang gandum, oase itu menopang desa besar namun  ringkih 

berisi 1.000 orang, yang jauh lebih menderita akibat penyakit 

dan kekurangan gizi.

Mata uang evolusi bukanlah kelaparan dan penderitaan, 

melainkan salinan spiral DNA. Sebagaimana sukses ekonomi 

sebuah perusahaan diukur hanya dengan jumlah dolarnya di 

rekening bank, bukan dari kebahagiaan para pegawainya, jadi 

sukses evolusi dari sebuah spesies diukur dengan jumlah salinan 

DNA-nya. Jika tidak ada lagi salinan DNA yang tersisa, spesies 

itu punah, sebagaimana sebuah perusahaan yang tak punya u