• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Sapiens 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sapiens 8. Tampilkan semua postingan

Sapiens 8









 rmenia, dan Gorgia masa kini 

mengklaim dengan ukuran keadilan tertentu bahwa mereka 

yaitu  keturunan bangsa Timur Tengah kuno. Namun, ini 

hanyalah pengecualian-pengecualian yang membuktikan rumus 

ini , dan bahkan klaim-klaim ini agak dilebih-lebihkan. Tak 

perlu dijelaskan bahwa praktik-praktik politik, ekonomi, dan 

sosial Yahudi modern, misalnya, memiliki utang jauh lebih besar 

kepada imperium-imperium yang menguasainya pada masa 2 

milenium ketimbang pada tradisi-tradisi kerajaan kuno Judaea. 


 

228

Kalau saja Raja David (Dawud) muncul dalam sinagog ultra-

Ortodox Yerusalem masa kini, dia pasti benar-benar terperangah 

melihat bangsa Yahudi berpakaian ala Eropa Timur, berbahasa 

salah satu dialek Jerman (Yiddish) dan tiada henti bertengkar 

tentang makna teks Babylonia (Talmud). Dulu tidak ada sinagog, 

berjilid-jilid Talmud, bahkan gulungan-gulungan Taurat pada 

masa Judaea kuno.

Membangun dan mempertahankan sebuah imperium biasanya 

membutuhkan pembantaian kejam populasi besar dan penindasan 

brutal terhadap siapa pun yang tersisa. Panduan imperium standar 

mencakup perang, perbudakan, deportasi, dan genosida. saat  

Romawi menginvasi Skotlandia pada 83 M, mereka menemui 

perlawanan sengit dari suku-suku Kaledonia setempat, dan beraksi 

dengan menghamparkan sampah di atas negara itu. Sebagai 

balasan atas tawaran perdamaian Romawi, panglima Calgacus 

menyebut orang-orang Romawi “kaum bajingan dunia”, dan 

mengatakan, “pencurian, pembantaian, dan perampokan mereka 

gunakan sebagai alas bagi nama imperium; mereka menciptakan 

gurun dan menyebut itu perdamaian”.2

namun  ini tidak berarti bahwa imperium tidak 

meninggalkan apa pun yang bermakna dalam kemunculannya. 

Menghitamkan semua imperium dan mengingkari semua warisan 

imperium sama saja dengan menolak sebagian besar budaya 

manusia. Elite-elite imperium memakai  keuntungan dari 

penaklukan untuk mendanai tidak hanya angkatan perang dan 

benteng, tapi juga filosofi, seni, keadilan, dan amal. Tak bisa 

dimungkiri bahwa satu bagian signifikan dari prestasi-prestasi 

kultural kemanusiaan sesungguhnya ada berkat eksploitasi 

terhadap populasi-populasi yang ditaklukkan itu. Keuntungan-

keuntungan dan kemakmuran yang dibawa imperialisme Romawi 

memberi Cicero, Seneca, dan Santo Augustine kelonggaran dan 

bekal yang dibutuhkan untuk berpikir dan menulis; Taj Mahal 

tidak dibangun tanpa kekayaan yang diakumulasi oleh eksploitasi 

Mughal atas India sebagai jajahan; dan keuntungan-keuntungan 

Imperium Habsburg dari penguasaan atas Slavia, Hungaria, dan 

provinsi-provinsi berbahasa Rumania dipakai untuk membayar 

gaji Haydn dan komisi Mozart.


Visi-Visi Imperium

229

Tidak ada satu pun penulis Kaledonia yang mengabadikan 

pidato Calgacus untuk anak cucu. Kita tahu itu berkat sejarawan 

Romawi Tacitus. Malah, Tacitus-lah yang membuatnya. Sebagian 

besar ahli kini sepakat bahwa Tacitus tidak hanya menciptakan 

pidato itu, namun  juga menciptakan karakter Calgacus, sang 

panglima Kaledonia, untuk menjadi corong bagi apa yang dia 

dan kalangan atas Romawi lainnya pikirkan tentang negara 

mereka sendiri.

 

Demi Kebaikanmu Sendiri

Imperium pertama yang kita dapatkan informasinya secara 

definitif yaitu  Imperium Akkadia Sargon Yang Agung (2250 

SM). Sargon memulai karier sebagai Raja Kish, sebuah negara 

kota kecil di Mesopotamia. Dalam beberapa dekade dia berhasil 

menaklukkan tidak hanya seluruh Negara Kota Mesopotamia, 

namun  juga teritori-teritori besar di luar daratan utama 

Mesopotamia. Sargon membual bahwa dia telah menaklukkan 

seluruh dunia. Kenyataannya, dominion yang dia kuasai terentang 

dari Teluk Persia sampai Mediterania, dan mencakup sebagian 

besar wilayah yang kini bernama Irak dan Suriah, di samping 

beberapa potong wilayah Iran dan Turki modern.

Imperium Akkadia tidak berlangsung lama setelah kematian 

pendirinya, namun  Sargon meninggalkan sebuah mantel imperium 

yang jarang luput dari klaim. Selama 1.700 tahun kemudian, 

raja-raja Assyria, Babylonia, dan Hittite mengadopsi Sargon 

sebagai tokoh panutan, dengan membual bahwa mereka juga 

telah menaklukkan seluruh dunia. Kemudian, sekitar 550 SM, 

Cyrus Yang Agung dari Persia datang dengan bualan yang lebih 

mengesankan lagi. Raja-raja Assyria tetap hanya raja-raja Assyria. 

Bahkan, saat  mereka mengklaim telah menguasai seluruh dunia, 

jelas bahwa mereka melakukan itu demi kejayaan Assyria Raya 

saja, dan mereka tak berapologi akan hal itu. Sementara itu, 

Cyrus mengklaim tidak semata-mata menguasai seluruh dunia, 

namun  juga melakukan itu demi kepentingan segenap rakyat. 

“Kami menaklukkan Anda untuk kepentingan Anda sendiri,” kata 


 

230

orang-orang Persia. Cyrus ingin rakyat yang dijajahnya mencintai 

dia dan menganggap diri mereka beruntung menjadi pengikut 

Persia. Contoh paling terkenal dari upaya inovatif Cyrus untuk 

mendapatkan persetujuan bangsa yang berada di bawah kekuasaan 

imperiumnya yaitu  titahnya bahwa orang-orang Yahudi buangan 

di Babylonia diizinkan pulang ke kampung halamannya, Judaea, 

dan membangun kembali Kuil mereka. Dia bahkan menawarkan 

mereka bantuan finansial. Cyrus tidak melihat dirinya seorang 

raja Persia yang berkuasa atas bangsa Yahudi—dia juga raja orang 

Yahudi sehingga bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.

Perasaan menguasai seluruh dunia untuk kepentingan seluruh 

penghuninya itu mencengangkan. Evolusi telah menjadikan Homo 

sapiens, seperti mamalia sosial lainnya, makhluk xenofobia*. 

Sapiens secara naluri membagi manusia dalam dua golongan, 

“kita” dan “mereka”. Kita yaitu  orang-orang seperti Anda dan 

saya, yang bahasa, agama, dan kebiasaannya sama. Kita semua 

bertanggung jawab atas sesama, namun  tidak bertanggung jawab 

atas mereka. Kita selalu berbeda dari mereka, dan tak berutang 

apa pun kepada mereka. Kita tidak ingin melihat satu pun dari 

mereka ada di teritori kita, dan kita tidak peduli pada sedikit 

pun apa yang terjadi pada teritori mereka. Mereka bahkan nyaris 

bukan manusia. Dalam bahasa bangsa Dinka di Sudan, Dinka 

berarti ‘rakyat’. Rakyat yang bukan Dinka, bukanlah rakyat. 

Musuh bebuyutan Dinka yaitu  Nuer. Apa arti kata Nuer dalam 

bahasa Nuer? Artinya yaitu  ‘rakyat yang asli’. Ribuan kilometer 

dari gurun Sudan, di tanah es yang membeku di Alaska dan 

bagian timur laut Siberia, hidup bangsa Yupik. Apa arti Yupik 

dalam bahasa Yupik? Artinya ‘rakyat yang sejati’.3

Bertolak belakang dengan keeksklusifan etnis ini, ideologi 

imperium dari Cyrus dan sesudahnya cenderung menjadi 

inklusif dan meliputi semua. Sekalipun sering ditekankan pada 

perbedaan ras dan kultur antara penguasa dan yang dikuasai, 

ideologi imperium masih mengakui kesatuan dasar seluruh dunia, 

eksistensi seperangkat tunggal prinsip-prinsip yang mengatur 

semua tempat dan semua masa, dan tanggung jawab bersama 

*  Perasaan benci, takut, waswas terhadap sesuatu yang asing atau belum 

dikenal.—peny.


Visi-Visi Imperium

231

seluruh manusia. Manusia dipandang sebagai satu keluarga besar: 

hak-hak istimewa orangtua bersanding dengan tanggung jawab 

atas kesejahteraan anak-anak.

Siklus Imperium

Tahap Romawi Islam Imperialisme

Eropa

Satu kelompok 

kecil 

mendirikan 

sebuah 

imperium besar

Orang-orang 

Romawi 

mendirikan 

Imperium 

Romawi 

Orang-

orang Arab 

mendirikan 

kekhalifahan 

Arab

Orang-

orang Eropa 

mendirikan 

imperium-

imperium Eropa

Sebuah kultur 

imperium 

dibentuk

Kultur Graeco-

Roma

Kultur Arab-

Muslim

Kultur Barat

Kultur 

imperium 

diadopsi oleh 

bangsa jajahan.

Bangsa jajahan 

mengadopsi 

bahasa Latin, 

hukum 

Romawi, ide-ide 

politik Romawi, 

dan lain-lain.

Bangsa jajahan 

mengadopsi 

bahasa Arab, 

Islam, dan lain-

lain.

Bangsa jajahan 

mengadopsi 

bahasa Inggris 

dan Prancis, 

sosialisme, 

nasionalisme, 

hak asasi 

manusia, dan 

lain-lain.


 

232

Tahap Romawi Islam Imperialisme

Eropa

Bangsa jajahan 

menuntut 

kesetaraan 

status atas 

nama nilai-nilai 

kebersamaan 

imperium.

Bangsa Illyrian, 

Gaul

dan Punic

menuntut 

kesetaraan 

status dengan 

bangsa Romawi 

atas nama 

nilai-nilai 

kebersamaan 

Romawi. 

Bangsa 

Mesir, Iran, 

dan Berber 

menuntut 

kesetaraan 

status dengan 

bangsa Arab 

atas nama 

nilai-nilai 

kebersamaan 

Muslim.

Bangsa 

India, China, 

dan Afrika 

menuntut 

kesetaraan 

status dengan 

bangsa Eropa 

atas nama 

kebersamaan 

nilai-nilai 

Barat seperti 

nasionalisme, 

sosialisme 

dan hak asasi 

manusia.

Para pendiri 

imperium 

kehilangan 

dominasi 

mereka

Bangsa 

Romawi punah 

sebagai sebuah 

kelompok etnis 

unik. Kontrol 

atas imperium 

beralih ke suatu 

elite multi-etnis 

baru.

Bangsa Arab 

kehilangan 

kontrol atas 

dunia Muslim, 

mendukung 

suatu elite 

Muslim multi-

etnis. Muslim 

elite.

Bangsa Eropa 

kehilangan 

kontrol atas 

dunia global, 

mendukung 

suatu elite 

multi-etnis 

yang umumnya 

berkomitmen 

pada nilai-nilai 

serta cara-cara 

berpikir Barat.

Kultur 

imperium terus 

tumbuh dan 

berkembang.

Bangsa Illyrian, 

Gaul, dan 

Punic terus 

mengembangkan 

kultur Romawi 

yang mereka 

adopsi.

Bangsa Mesir, 

Iran, dan 

Berber terus 

mengembangkan 

budaya Muslim 

yang mereka 

adopsi.

Bangsa india, 

China, dan 

Afrika terus 

mengembangkan 

kultur Barat 

yang mereka 

adopsi.


Visi-Visi Imperium

233

Visi baru imperium ini bergulir dari Cyrus dan orang-orang 

Persia ke Alexander Yang Agung, dan dari dia ke raja-raja 

Hellenistik, para kaisar Romawi, para khalifah Muslim, dinasti-

dinasti India dan akhirnya bahkan ke para perdana menteri 

Soviet dan presiden-presiden Amerika. Visi imperium yang penuh 

kebajikan itu menjustifikasi keberadaan imperium-imperium, dan 

mengatasi tidak hanya upaya-upaya oleh rakyat jajahan untuk 

memberontak, namun  juga upaya-upaya oleh bangsa merdeka 

untuk melawan ekspansi imperium.

Visi-visi imperium serupa berkembang secara independen 

dari model Persia di beberapa bagian dunia, yang paling utama 

di Amerika Tengah, di wilayah Andea, dan di China. Menurut 

teori politik tradisional China, langit (Tian) yaitu  sumber 

semua otoritas yang sah di muka Bumi. Langit memilih orang 

atau keluarga yang paling pantas untuk memberi mereka 

Mandat dari surga. Orang atau keluarga ini berkuasa atas Semua 

Yang Ada Di Bawah Langit (Tianxial) untuk kebaikan seluruh 

penghuninya. Jadi, sebuah otoritas yang sah yaitu —menurut 

definisi—universal. Jika penguasa tak memiliki Mandat dari 

langit, maka dia tak memiliki legitimasi untuk berkuasa bahkan 

atas sebuah kota kecil. Jika penguasa mendapat mandat itu, dia 

wajib menyebarkan keadailan dan harmoni ke seluruh dunia. 

Mandat langit tidak bisa diberikan kepada beberapa kandidat 

secara bersamaan, dan akibatnya orang tidak bisa melegitimasi 

keberadaan lebih dari sebuah negara merdeka.

Kaisar pertama imperium China bersatu, Qín ShHuángdì, 

membual bahwa “di keenam penjuru arah [alam semesta] segalanya 

milik kaisar ... di mana pun ada jejak kaki manusia, tidak ada 

satu pun yang menjadi jajahan [imperium] ... kebaikannya bahkan 

menjangkau sapi dan kuda. Tidak ada seorang pun yang tidak 

mendapatkan manfaatnya. Setiap manusia selamat di bawah 

atapnya sendiri”.4 Dengan demikian, dalam pemikiran politik 

China serta memori historis China, periode-periode imperium 

dipandang sebagai masa keemasan keteraturan dan keadilan. 

Bertolak belakang dengan pandangan modern Barat bahwa 

sebuah dunia yang adil tersusun atas negara-negara bangsa 


 

234

terpisah, di China periode-periode fragmentasi politik dipandang 

sebagai abad-abad gelap kekacauan dan ketidakadilan. Persepsi 

ini memiliki pengaruh jauh bagi sejarah China. Setiap kali 

imperium runtuh, teori politik dominan memancing kekuatan-

kekuatan agar tidak menyerah pada pemerintahan-pemerintahan 

independen yang remeh, namun  mengupayakan reunifikasi. Cepat 

atau lambat upaya-upaya ini selalu berhasil.

saat  Mereka Menjadi Kita

Imperium-imperium memainkan peranan menentukan dalam 

menyatukan banyak kultur kecil menjadi kultur-kultur besar yang 

lebih sedikit. Ide-ide, bangsa-bangsa, benda-benda, dan teknologi 

menyebar lebih mudah dalam perbatasan-perbatasan sebuah 

imperium ketimbang dalam sebuah wilayah yang terfragmentasi 

secara politik. Cukup sering, imperium-imperium itu sendirilah 

yang secara sengaja menyebarkan ide-ide, institusi-institusi, 

kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma. Satu alasannya yaitu  

untuk menjadikan hidup lebih mudah bagi mereka sendiri. Sulit 

untuk menguasai sebuah imperium yang di dalamnya setiap 

distrik kecil memiliki seperangkat hukum sendiri, bentuk tulisan 

sendiri, bahasa sendiri, dan uang sendiri. Standarisasi yaitu  

anugerah bagi para kaisar.

Alasan kedua yang sama pentingnya mengapa imperium-

imperium secara aktif menyebarkan kultur bersama yaitu  

untuk meraih legitimasi. Sekurang-kurangnya sejak masa-masa 

Cyrus dan Qín Sh Huángdì, imperium-imperium menjustifikasi 

tindakan-tindakan mereka—entah itu pembangunan jalan 

atau pertumpahan darah—sebagai sesuatu yang perlu untuk 

menyebarkan sebuah kultur superior, yang dari sana pihak yang 

ditaklukkan mendapatkan manfaat bahkan lebih besar daripada 

penakluknya.

Manfaat-manfaat itu terkadang menonjol—penegakan hukum, 

perencanaan kota, standarisasi berat dan ukuran—dan terkadang 

patut dipertanyakan—pajak, wajib militer, penyembahan kaisar. 

Namun, sebagian besar elite imperium meyakini dengan sepenuh 


Visi-Visi Imperium

235

hati bahwa mereka bekerja demi kesejahteraan umum seluruh 

penghuni imperium. Kelas penguasa China memperlakukan 

negara-negara tetangga dan jajahan-jajahan asing sebagai barbar 

merana, yang kepada mereka imperium harus membawa 

manfaat dari budaya. Mandat dari langit dianugerahkan kepada 

kaisar tidak dalam rangka mengeksploitasi dunia, namun  dalam 

rangka mendidik kemanusiaan. Orang Romawi juga men-

justifikasi dominion mereka dengan mengatakan bahwa mereka 

menganugerahi kaum barbar dengan perdamaian, keadilan, dan 

perbaikan. Orang-orang liar Jerman dan orang-orang Gaul yang 

terkurung hidup dalam kemelaratan dan kebodohan sampai 

orang-orang Romawi menjinakkan mereka dengan hukum, 

membersihkan mereka dalam rumah pemandian umum, dan 

memperbaiki mereka dengan filosofi. Imperium Maurya pada 

abad ke-3 SM menetapkan misinya untuk mendiseminasi ajaran-

ajaran Buddha ke dunia yang bodoh. Para khalifah Muslim 

menerima mandat ilahi untuk menyebarkan wahyu Nabi, secara 

damai jika memungkinkan, namun  dengan pedang jika diperlukan. 

Imperium Spanyol dan Portugis memproklamasikan bahwa bukan 

kekayaan yang mereka cari di Hindia dan Amerika, melainkan 

pembimbingan kepada agama yang benar. Matahari tidak pernah 

terbenam dalam misi Inggris untuk menyebarkan Injil kembar 

liberalisme dan perdagangan bebas. Soviet merasa tergugah untuk 

mengabdi demi memfasilitasi pawai historis yang tak terelakkan 

dari kapitalisme menuju kediktatoran utopia proletar. Banyak 

orang Amerika sekarang memandang bahwa pemerintahan 

mereka memiliki kewajiban moral untuk membawakan kepada 

negara-negara Dunia Ketiga manfaat demokrasi dan hak asasi 

manusia, sekalipun jika kebaikan-kebaikan ini dihadirkan dengan 

rudal-rudal jelajah dan pesawat-pesawat tempur F-16.

Ide-ide yang disebarkan imperium jarang merupakan kreasi 

eksklusif elite penguasa. sebab  visi imperium cenderung 

universal dan inklusif, maka relatif mudah bagi para elite 

imperium untuk mengadopsi ide-ide, norma-norma, dan tradisi-

tradisi dari mana pun yang mereka temukan, ketimbang patuh 

secara fanatik pada satu tradisi tunggal yang sempit. Sekalipun 

sebagian kaisar berusaha memurnikan kultur mereka dan kembali 


 

236

kepada apa yang mereka pandang sebagai akarnya, pada bagian 

terbesarnya, imperium menurunkan peradaban-peradaban hibrida 

yang menyerap banyak dari bangsa jajahannya. Kultur imperium 

Romawi hampir sepadan ke-Yunani-an dan ke-Romawi-annya. 

Kultur imperium Abbasiyah yaitu  sebagian Persi, sebagian 

Yunani, sebagian Arab. Kultur imperium Mongolia yaitu  tiruan 

China. Dalam Imperium Amerika Serikat, seorang presiden 

berdarah Kenya bisa mengunyah piza sambil menonton film 

favoritnya, sebuah film epos Inggris tentang pemberontakan 

Arab melawan Turki.

Bukan percampuran kultural ini yang membuat proses 

asimiliasi kultural lebih mudah bagi yang ditaklukkan. Peradaban 

imperium bisa dengan mudah menyerap banyak kontribusi dari 

berbagai bangsa yang ditaklukkan, namun  hasil hibrida masih 

asing bagi mayoritas besar imperium. Proses asimiliasi sering 

menyakitkan dan traumatik. Tidak mudah untuk melepaskan 

tradisi lokal yang dikenal dan dicintai, sebagaimana sulit dan 

beratnya memahami dan mengadopsi sebuah kultur baru. Lebih 

buruk lagi, bahkan saat  bangsa jajahan berhasil mengadopsi 

kultur imperium, itu butuh waktu beberapa dekade, kalau bukan 

berabad-abad, sampai elite imperium menerimanya sebagai bagian 

dari “kita”. Generasi-generasi antara penaklukan dan penerimaan 

ditinggalkan kedinginan. Mereka sudah kehilangan kultur lokal 

yang dicintai, namun  mereka belum dibolehkan untuk mengambil 

bagian yang sama dari dunia imperium. Sebaliknya, kultur adopsi 

mereka terus memandang mereka sebagai barbar.

Bayangkanlah seoang Iberia yang berkualitas baik hidup 

seabad setelah jatuhnya Numantia. Dia berbahasa asli dialek Celtic 

dengan kedua orangtuanya, namun  sudah sempurna menguasai 

Latin, dengan hanya sedikit aksen sebab  dia membutuhkannya 

untuk menjalankan bisnis dan berhubungan dengan pejabat. Dia 

memanjakan selera istrinya dengan pernak-pernik hiasan rumit, 

namun  sedikit jengkel sebab  dia, seperti perempuan-perempuan 

lokal lainnya, mempertahankan citarasa relik Celtic ini—dia akan 

lebih senang kalau istrinya mengadopsi kesederhanaan perhiasan 

yang bersih yang dikenakan istri gubernur Romawi. Dia sendiri 

mengenakan tunik Romawi dan, berkat kesuksesannya sebagai 


Visi-Visi Imperium

237

pedagang ternak, berkat keahliannya yang mumpuni tentang 

seluk-beluk hukum Romawi, dia mampu membangun sebuah 

vila bergaya Romawi. Meskipun demikian, walau dia mampu 

melafalkan Artikel  III Georgic karya Virgil dengan penuh perasaan, 

orang Romawi masih memperlakukan dia sebagi semi-barbar. Dia 

menyadari dengan frustrasi bahwa dia tidak pernah mendapatkan 

penunjukan sebagai pejabat pemerintah, atau salah satu dari 

kursi amfiteater yang sangat bagus.

Pada akhir abad ke-19, banyak orang India terdidik diajari 

pelajaran yang sama oleh tuan-tuan Inggris mereka. Salah satu 

anekdot terkenal menceritakan tentang seorang India ambisius 

yang menguasai seluk-beluk bahasa Inggris, mengambil pelajaran 

tari ala Barat, dan bahkan terbiasa makan dengan pisau dan 

garpu. Berbekal etiket baru itu, dia bepergian ke Inggris, belajar 

hukum di Univesitas London, dan menjadi seorang pengacara 

yang cakap. Namun, ahli hukum muda berkostum jas dan dasi 

itu diturunkan dari kereta api di sebuah koloni Inggris di Afrika 

Selatan sebab  ngotot ingin naik kereta kelas satu, bukannya 

duduk di kelas tiga, tempat orang-orang kulit berwarna seperti 

dia harus naik. Namanya yaitu  Mohandas Karamchand Gandhi.

Dalam sejumlah kasus, proses-proses akulturasi dan asimilasi 

pada akhirnya melabrak pembatas antara pendatang baru dan 

elite lama. Yang ditaklukkan tidak lagi memandang imperium 

sebagai sistem penjajahan asing, dan penakluk memandang 

jajahan mereka setara dengan mereka. Para penguasa dan yang 

diperintah sama-sama memandang “mereka” sebagai “kita”. 

Semua jajahan Romawi pada akhirnya, setelah berabad-abad 

kekuasaan imperium, dianugerahi kewarganegaraan Roma. 

Orang-orang non-Romawi bangkit untuk menduduki jabatan 

puncak di korps perwira legiun Romawi dan ditunjuk menjadi 

anggota Senat. Pada 48 M kaisar Claudius mengangkat anggota 

Senat dari kalangan tokoh terkemuka Gallic, seperti dia utarakan 

dalam pidato, “Telah bercampur dengan kita sebab  kebiasaan-

kebiasaan, kultur dan ikatan-ikatan pernikahan”. Para senator 

yang congkak memprotes pengangkatan para bekas musuh 

ini ke jantung sistem politik Romawi. Claudius mengingatkan 

mereka tentang kebenaran yang tidak nyaman. Sebagian besar 


 

238

keluarga sentaor mereka yaitu  keturunan dari suku Italia yang 

dulu berperang melawan Romawi, dan belakangan dianugerahi 

kewarganegaraan Romawi. Malah, kata kaisar mengingatkan, 

keluarganya sendiri berasal dari leluhur Sabine.5

Pada abad ke-2 M, Romawi diperintah oleh sebaris kaisar 

kelahiran Iberia, yang urat-urat nadinya mungkin dialiri paling 

sedikit beberapa butir darah Iberia lokal. Kekuasaan Trajan, 

Hadrian, Antonius Pus, dan Marcus Aurelius umumnya dipandang 

sebagai masa keemasan imperium. Setelah itu, seluruh bendungan 

etnis diruntuhkan. Kaisar Septimius Severus (193–211) yaitu  

keturunan keluarga Punic dari Libya. Algebalus (218–222) yaitu  

orang Suriah. Kaisar Philip (244–249) mendapat julukan “Philip 

si Arab”. Para warga baru imperium mengadopsi kultur imperium 

Romawi dengan sesemangat itu sehingga selama berabad-abad 

dan bahkan beberapa milenium setelah runtuhnya imperium, 

mereka terus memakai  bahasa imperium, meyakini Tuhan 

Kristen yang diadopsi oleh imperium dari salah satu Provinsi 

Levantine, dan hidup dengan hukum imperium.

Proses serupa terjadi di Imperium Arab. saat  didirikan pada 

pertengahan abad ke-7 M, imperium itu didasarkan pada sebuah 

pemisahan tegas antara elite Arab-Muslim dan bangsa-bangsa 

terjajah Mesir, Suriah, Iran, dan Berber, yang bukan Arab dan 

bukan pula Muslim. Banyak jajahan imperium berangsur-angsur 

mengadopsi keyakinan Muslim, bahasa Arab, dan sebuah kultur 

imperium hibrida. Elite Arab lama memandang kaum kaya baru 

ini dengan permusuhan mendalam, takut kehilangan status dan 

identitasnya yang unik. Para pemeluk baru yang frustrasi itu 

menuntut pembagian yang setara dalam imperium dan dalam 

dunia Islam. Pada akhirnya, mereka pun ikut. Orang-orang Mesir, 

Suriah, dan Mesopotamia semakin dipandang sebagai “Arab”. 

Bangsa Arab, pada gilirannya—entah itu Arab autentik dari 

Arabia atau cetakan baru Arab dari Mesir dan Suriah—semakin 

didominasi oleh Muslim non-Arab, terutama oleh orang Iran, 

Turki, dan Berber. Sukses besar proyek imperium Arab yaitu  

budaya imperium yang diciptakannya diadopsi dengan sepenuh 

hati oleh banyak bangsa non-Arab, yang terus menjunjung 


Visi-Visi Imperium

239

tingginya, mengembangkannya, dan menyebarkannya—bahkan 

setelah imperium asalnya runtuh dan bangsa Arab sebagai satu 

kelompok etnis kehilangan dominion.

Di China, sukses proyek imperium malah lebih tuntas. Selama 

lebih dari 2.000 tahun, satu percampuran kelompok-kelompok 

etnik dan kultural yang pertama-tama disebut barbar sukses 

terintegrasi ke dalam kultur imperium China dan menjadi China 

Han (diambil dari nama Imperium Han yang menguasai China 

dari 206 SM sampai 220 M). Pencapaian puncak dari Imperium 

China yaitu  bahwa ia masih hidup dan memikat walaupun 

sulit untuk menyebutnya sebagai imperium kecuali di wilayah-

wilayah terpencilnya, Tibet dan Xinjiang. Lebih dari 90 persen 

populasi China memandang diri mereka, dan dipandang oleh 

orang lain, sebagai Han. Kita bisa memahami proses dekolonisasi 

beberapa dekade terakhir ini dengan cara yang serupa. Di masa 

modern, bangsa Eropa menaklukkan banyak bagian dari Bumi 

ini dengan penyamaran menyebarkan kultur Barat yang superior. 

Mereka juga begitu berhasil sehingga miliaran orang pelan-pelan 

mengadopsi bagian-bagian signifikan dari budaya itu. Orang India, 

Afrika, Arab, China, dan Maori belajar bahasa Prancis, Inggris 

dan Spanyol. Mereka mulai meyakini hak asasi manusia dan 

prinsip penentuan nasib sendiri, dan mereka mengadopsi ideologi-

ideologi Barat seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, 

feminisme, dan nasionalisme.

Pada abad ke-20, kelompok-kelompok lokal yang telah 

mengadopsi nilai-nilai Barat mengklaim kesetaraan dengan para 

penakluk mereka dari Eropa atas nama nilai-nilai ini. Banyak 

perjuangan anti kolonial dilancarkan di bawah bendera penentuan 

nasib sendiri, sosialisme, dan hak asasi manusia, yang semua 

itu yaitu  warisan Barat. Sebagaimana orang-orang Mesir, Iran, 

dan Turki mengadopsi dan mengadaptasi kultur imperium yang 

mereka warisi dari para penakluk dari Arab, demikian pula 

orang India, Afrika, dan China masa kini telah menerima banyak 

bagian dari kultur para bekas tuannya dari Barat, sambil berusaha 

mencetaknya sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka.


 

240

Orang Baik dan Orang Jahat                          

dalam Sejarah

Memang menggoda, membagi sejarah menjadi orang baik dan 

orang jahat, dengan menempatkan semua imperium sebagai 

orang jahat. Lagi pula, hampir semua imperium ini didirikan 

dengan darah, dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui 

penindasan dan perang. Meskipun demikian, kebanyakan budaya 

masa kini didasarkan pada warisan-warisan imperium. Jika 

imperium per definisi yaitu  jahat, lalu bagaimana dengan kita?

Ada beberapa aliran pemikiran dan gerakan-gerakan politik 

yang berusaha menumpas kultur imperialisme manusia sehingga 

menyisakan apa yang mereka klaim sebagai peradaban autentik 

murni, tak ternoda oleh dosa. Ideologi-ideologi ini pada tingkat 

terbaiknya yaitu  naif; pada tingkat terburuknya yaitu  kedok 

licik bagi nasionalisme dan kefanatikan yang kasar. Mungkin 

Anda bisa mengajukan sanggahan bahwa sebagian dari kultur-

kultur yang muncul berlimpah pada awal sejarah yang tercatat 

murni, tak tersentuh dosa dan tak terkotori oleh warga -

warga  lain. Namun, sejak awal itu pun tak ada kultur yang 

bisa membuat klaim ini  secara masuk akal, juga kultur 

yang ada di muka Bumi saat ini. Semua kultur manusia paling 

tidak memiliki bagian yang merupakan warisan dari imperium-

imperium atau peradaban-peradaban imperium, dan tak ada 

pembedahan akademis maupun politis yang sanggup memisahkan 

warisan imperium tanpa membunuh pasiennya.

Pikirkan, misalnya, tentang hubungan cinta-benci antara 

republik India masa kini dan Raja Inggris. Penaklukan oleh 

Inggris dan penjajahan India membunuh jutaan orang India, 

dan bertanggung jawab atas penghinaan terus-menerus serta 

eksploitasi ratusan juta lainnya. Meskipun demikian, bangsa 

India mengadopsi, dengan gairah para pemeluk baru, ide-ide 

Barat seperti penentuan nasib sendiri dan hak asasi manusia, 

serta kecewa saat  Inggris menolak untuk menghidupkan nilai-

nilai yang mereka deklarasikan sendiri dengan memberi pilihan 

kepada pribumi India: hak-hak setara sebagai jajahan Inggris 

atau kemerdekaan.


Visi-Visi Imperium

241

Bagaimanapun, negara India modern yaitu  anak dari 

Imperium Inggris. Inggris membunuh, melukai, dan menyiksa 

para penduduk anak benua itu, namun  mereka menyatukan 

sebuah mosaik yang membingungkan kerajaan-kerajaan, daerah-

daerah, dan suku-suku yang saling berperang, menciptakan 

sebuah kesadaran nasional bersama dan sebuah negara yang 

berfungsi kurang lebih sebagai sebuah satu kesatuan politik 

tunggal. Mereka meletakkan fondasi bagi sistem yudisial India, 

menciptakan struktur pemerintahannya, dan membangun jaringan 

kereta api yang penting bagi integrasi ekonomi. Negara India 

merdeka mengadopsi demokrasi Barat, dalam penjelmaan ke-

Inggris-annya, sebagai bentuk pemerintahan. Bahasa Inggris 

masih menjadi bahasa pemersatu (lingua franca) anak benua itu, 

sebuah bahasa netral yang bisa dipakai  penutur asli Hindi, 

Tamil, dan Malayalam untuk berkomunikasi. Bangsa India yaitu  

pemain cricket dan peminum teh chai yang bersemangat, dan baik 

olahraga maupun minuman itu merupakan warisan dari Inggris.

Perkebunan teh komersial tidak ada di India sampai 

pertengahan abad ke-19, saat  teh diperkenalkan oleh British 

East India Company. Para sahib Inggris-lah yang menyebarkan 

kebiasaan minum teh ke seluruh India.

Berapa banyak orang India kini yang mau menyerukan 

pemungutan suara untuk melepaskan diri mereka dari demokrasi, 

Inggris, jaringan kereta api, sistem legal, cricket, dan teh atas 

dasar bahwa semua itu warisan imperium? Andaipun mereka 

melakukannya, bukankah aksi menyerukan pemungutan suara 

untuk memutuskan isu ini  menunjukkan mereka berutang 

pada para bekas tuan mereka?

Andaipun kita menolak sepenuhnya warisan sebuah imperium 

brutal dengan harapan merekonstruksi dan melindungi kultur-

kultur autentik yang mendahuluinya, dalam sebuah probabilitas 

yang akan kita bela tak lebih dari warisan satu imperium yang 

lebih tua dan tak kurang brutalnya. Mereka yang membenci 

mutilasi kultur India oleh Raja Inggris tak terelakkan menguduskan 

warisan-wairsan Imperium Mughal dan penaklukan kesultanan 

Delhi. Dan, siapa pun yang berusaha menyelamatkan “kultur 

India autentik” dari pengaruh-pengaruh asing yang dibawa 


 

242

imperium Muslim ini menguduskan warisan Imperium Gupta, 

Imperium Kushan, dan Imperium Maurya. Jika kaum nasionalis 

Hindu ekstrem hendak menghancurkan seluruh bangunan yang 

ditinggalkan para penakluk dari Inggris, seperti stasiun kereta 

api utama Mumbai, bagaimana dengan bangunan-bangunan yang 

ditinggalkan oleh para penakluk Muslim, seperti Taj Mahal?

Tak seorang pun tahu bagaimana mengatasi masalah pelik 

warisan kultural ini. Apa pun jalan yang kita tempuh, langkah 

pertamanya yaitu  mengakui kompleksitas dilema dan menerima 

bahwa pemisahan secara simplistis masa lalu menjadi orang baik 

dan orang jahat tidak akan menuju ke mana-mana. Tentu saja, 

jika kita tidak mau mengakui bahwa kita biasanya mengikuti 

jalan orang jahat.

28. Stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji di Mumbai. Mulai beroperasi 

dengan nama Stasiun Victoria, Bombay. Inggris membangunnya dengan 

gaya Neo-Gothic yang populer pada akhir abad ke-19 di Ingris. 

Pemerintahan nasionalis Hindu mengubah nama kota dan stasiun 

itu, namun  tak punya minat sedikit pun untuk merobohkan bangunan 

megah ini , sekalipun itu dibangun oleh agresor asing.


Visi-Visi Imperium

243

Imperium Global Baru

Sejak sekitar 200 SM, sebagian besar manusia hidup dalam 

imperium-imperium. Tampaknya pada masa depan pun, sebagian 

besar manusia akan hidup dalam satu imperium. Namun, kali 

ini imperiumnya akan benar-benar global. Visi imperium tentang 

dominion atas seluruh dunia bisa dekat.

Begitu abad ke-21 tersibak, nasionalisme dengan cepat 

kehilangan pijakan. Semakin banyak dan semakin banyak orang 

percaya bahwa seluruh umat manusia yaitu  sumber sah dari 

otoritas politik, ketimbang anggota-anggota nasionalitas tertentu, 

dan bahwa melindungi hak asasi manusia dan melindungi 

29. Taj Mahal. Sebuah contoh kultur India “autentik” atau ciptaan 

asing imperialisme Muslim?


 

244

kepentingan seluruh spesies manusia harus menjadi cahaya 

pembimbing politik. Jika demikian, maka memiliki hampir 

200 negara merdeka sebetulnya lebih merupakan penghalang 

ketimbang pendukung. sebab  orang Swedia, Indonesia, dan 

Nigeria berhak atas hak asasi manusia yang sama, bukankah lebih 

sederhana untuk melindungi mereka dengan satu pemerintahan 

global tunggal?

Munculnya problem-problem global yang esensial, seperti 

mencairnya gunung-gunung es, menggerogoti apa pun legitimasi 

yang tersisa pada negara-negara bangsa merdeka. Tak ada negara 

berdaulat yang akan sanggup mengatasi pemanasan global 

sendirian. Mandat China dari langit diberikan oleh langit untuk 

mengatasi masalah umat manusia. Mandat modern langit akan 

diberikan oleh umat manusia untuk mengatasi masalah langit, 

seperti lubang lapisan ozon dan akumulasi gas rumah kaca. 

Warna imperium global mungkin akan hijau. Sampai 2013, 

dunia masih terfragmentasi secara politik, namun  negara-negara 

dengan cepat mendeklarasikan kemerdekaannya. Tak satu pun 

dari negara-negara itu yang benar-benar mampu mengeksekusi 

kebijakan ekonomi secara independen, mendeklarasikan dan 

melancarkan perang sesukanya, atau bahkan menjalankan urusan 

internalnya sendiri yang dianggap pas. Negara-negara semakin 

terbuka kepada mekanisasi pasar global, pada interferensi 

perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi non-pemerintah 

global, dan pada supervisi opini publik global serta sistem 

yudisial global. Negara-negara wajib mematuhi standar-standar 

perilaku finansial, kebijakan lingkungan, dan keadilan global. 

Derasnya aliran modal, buruh, dan informasi mengubah dan 

membentuk dunia, dengan semakin mengabaikan batas-batas 

serta opini-opini negara.

Imperium global yang sedang disatukan di depan mata 

kita tidak diatur oleh satu negara atau kelompok etnis 

tertentu mana pun. Sangat mirip dengan mendiang Imperium 

Romawi, imperium global diperintah oleh satu elite multi etnis, 

dan dipersatukan oleh satu kesamaan kultur dan kesamaan 

kepentingan. Di seluruh dunia, semakin banyak dan semakin 

banyak pebisnis, insinyur, ahli, sarjana, pengacara, manajer 


Visi-Visi Imperium

245

terpanggil untuk bergabung dalam imperium itu. Mereka pasti 

memikirkan cara menjawab panggilan imperium itu atau tetap 

loyal pada negara dan bangsa mereka. Semakin banyak dan 

semakin banyak yang memilih imperium.


12

Hukum Agama

Dalam pasar abad pertengahan di Samarkand, sebuah kota yang 

dibangun di oase Asia Tengah, para pedagang Suriah menjajakan 

sutra-sutra halus China; orang-orang suku dari kawasan padang 

rumput Siberia memajang rombongan baru budak-budak berambut 

jerami dari barat jauh, dan para pemilik toko mengantongi koin-

koin emas mengilap bertera tulisan-tulisan dan gambar eksotis 

raja-raja yang tak dikenal. Di sini, di persimpangan besar antara 

timur dan barat, utara dan selatan, masa itu, penyatuan manusia 

yaitu  sebuah fakta sehari-hari. Proses yang sama bisa disaksikan 

sedang berjalan saat  angkatan perang Kubilai Khan berderak 

untuk menginvasi Jepang pada 1281. Pasukan kuda Mongolia 

yang berpakaian kulit dan bulu bercengkerama dengan tentara-

tentara infanteri China bertopi bambu, para tentara Korea yang 

mabuk memancing perkelahian dengan pelaut-pelaut bertato dari 

Laut China Selatan, para insinyur dari Asia Tengah menyimak 

dengan rahang merunduk kisah-kisah para petualang Eropa, dan 

semua mematuhi komando satu kaisar tunggal.

Sementara itu, di sekitar Ka’bah di Mekkah, penyatuan 

manusia berlangsung dengan sarana lain. Kalau Anda pernah 

melakukan ibadah haji ke Mekkah, mengelilingi tempat paling 

suci umat Islam itu pada tahun 1300, Anda mungkin merasakan 

berada di tengah-tengah kawan sepesta dari Mesopotamia, dengan 

jubah-jubah mengembang tertiup angin, mata berbinar-binar 

penuh sukacita, dan mulut mereka mengulang satu per satu dari 

99 Asmaul Husna. Tepat di depan Anda mungkin Anda melihat 

seorang tua Turki yang terp anggang cuaca dari kawasan padang 

rumput Asia, jalan terpincang-pincang dengan bertumpu tongkat 

sambil mengusap janggutnya penuh perasaan. Di salah satu sisi 

Anda, perhiasan emas berkilau memancar dari kulit hitam pekat, 


Hukum Agama

247

mungkin dikenakan sekelompok Muslim dari kerajaan Mali, 

Afrika. Aroma cengkih, kunyit, kapulaga, dan garam laut akan 

menandai adanya saudara-saudara dari India, atau mungkin dari 

pulau-pulau rempah-rempah misterius nun jauh di timur.

Kini agama sering dipandang sebagai sumber diskriminasi, 

perselisihan, dan perpecahan. Namun, sesungguhnya agama 

telah menjadi pemersatu terbesar ketiga bagi manusia, selain 

uang dan imperium. sebab  semua tatanan sosial dan hierarki 

diimajinasikan, semua itu merupakan struktur-struktur yang 

rapuh. Agama-agama menegaskan bahwa hukum kita bukanlah 

hasil dari ulah manusia, melainkan dititahkan oleh satu otoritas 

absolut dan mahatinggi sehingga menjamin stabilitas sosial.

Dengan demikian, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah 

sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia yang didasarkan 

pada keyakinan pada satu tatanan manusia super. Ini mencakup 

dua kriteria yang khas:

1. Agama berpendirian bahwa ada sebuah tatanan manusia 

super, yang bukan produk dari keinginan atau kesepakatan 

manusia. Sepak bola profesional bukanlah agama sebab  

terlepas dari banyaknya hukum upacara dan sering 

ritual-ritual aneh, setiap orang tahu bahwa manusialah 

yang menciptakan sepak bola, dan FIFA kapan pun 

bisa memperbesar ukuran gawang atau menangguhkan 

aturan offside.

2. Berdasarkan pada tatanan manusia super ini, agama 

menciptakan norma-norma dan nilai-nilai yang dipandang 

mengikat. Banyak orang Barat kini percaya pada hantu, 

peri, dan reinkarnasi, namun  keyakinan-keyakinan ini 

bukan sumber standar moral dan perilaku. sebab nya, 

semua itu bukan merupakan agama.

Terlepas dari kemampuannya untuk melegitimasi tatanan 

sosial dan politik yang menyebar luas, tak semua agama meng-

aktualkan potensi ini . Dalam rangka mempersatukan sebuah 

teritori yang sangat luas di bawah pengawasannya, sebuah 


 

248

agama harus memiliki dua kualitas lainnya. Pertama, ia harus 

menopang sebuah tatanan universal manusia super, yang selalu 

benar di mana pun. Kedua, agama harus menekankan pada 

penyebaran keyakinan ini kepada setiap orang. Dengan kata lain, 

ia harus universal dan misioner. Agama yang paling terkenal 

dalam sejarah, seperti Islam dan Buddha, bersifat universal dan 

misioner. Akibatnya, orang cenderung meyakini bahwa semua 

agama seperti mereka. Faktanya, mayoritas agama kuno bersifat 

lokal dan eksklusif. Para pengikutnya meyakini dewa-dewa dan 

arwah-arwah, dan tak punya minat untuk menarik semua ras 

manusia menjadi pemeluknya. Sejauh yang kita ketahui, agama-

agama universal dan misioner mulai muncul baru pada milenium 

ke-1 SM. Kemunculan agama-agama itu menjadi salah satu 

revolusi penting dalam sejarah, dan menjadi kontribusi vital bagi 

penyatuan manusia, sangat mirip dengan munculnya imperium-

imperium universal dan uang universal.

Membungkam Domba-Domba

saat  animisme menjadi sistem keyakinan dominan, norma-

norma dan nilai-nilai manusia harus mempertimbangkan 

sosok dan kepentingan banyak makhluk lain, seperti binatang, 

tumbuhan, peri, dan hantu. Misalnya, satu kawanan pengembara 

di Lembah Gangga mungkin sudah membuat aturan yang 

melarang orang untuk menebang pohon ara yang sangat besar, 

agar arwah penjaga pohon tiak marah dan membalas. Satu 

kawanan pengembara lain yang hidup di Lembah Indus melarang 

orang berburu rubah berekor putih sebab  rubah berekor putih 

dulunya mengungkapkan kepada seorang perempuan tua bijak 

di mana mereka bisa menemukan obsidian yang bagus.

Agama-agama seperti itu cenderung sangat lokal dalam 

sosoknya, dan menekankan hal-hal unik dari lokasi-lokasi 

tertentu, iklim, dan fenomenanya. Sebagian besar pengembara 

menghabiskan seluruh hidup mereka di satu area tak lebih dari 

1.000 kilometer persegi. Agar bisa bertahan hidup, para penghuni 

satu lembah tertentu perlu memahami tatanan manusia super yang 


Hukum Agama

249

mengatur lembah mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka 

dengan aturan itu. Tak ada gunanya meyakinkan penguni dari 

lembah yang jauh untuk mengikuti aturan yang sama. Orang-

orang Indus tidak pusing berpikir untuk mengirim misionaris 

ke Gangga untuk meyakinkan penduduk setempat agar jangan 

memburu rubah berekor putih.

Revolusi Agrikultur tampaknya disertai suatu revolusi 

keagamaan. Para pemburu-penjelajah memetik dan mencari 

tumbuhan-tumbuhan serta binatang-binatang liar, yang bisa 

dipandang memiliki status setara dengan Homo sapiens. Fakta 

bahwa manusia memburu domba tidak membuat domba lebih 

rendah derajatnya daripada manusia, sebagaimana fakta bahwa 

harimau memburu manusia tidak berarti manusia lebih rendah 

dari harimau. Makhluk hidup saling berkomunikasi secara 

langsung dan menegosiasikan aturan-aturan untuk mengatur 

habitat bersama mereka. Sebaliknya, para petani memiliki 

dan memanipulasi tumbuhan dan binatang, dan hampir tak 

menurunkan derajat mereka sendiri dengan menegosiasikan 

kepemilikan. Oleh sebab  itu, efek religius pertama dari Revolusi 

Agrikultur yaitu  mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota 

setara dari sebuah meja bundar spiritual menjadi properti.

Meskipun demikian, ini menciptakan sebuah problem besar. 

Para petani mungkin sudah mengidamkan kontrol absolut atas 

domba mereka, namun  mereka tahu sepenuhnya bahwa kontrol 

mereka terbatas. Mereka bisa saja mengunci domba dalam 

kandang, mengebiri domba jantan, dan memelihara secara selektif 

domba-domba betina, namun  mereka tidak bisa memastikan bahwa 

domba-domba itu bunting dan melahirkan anak-anak domba 

yang sehat, tidak pula mereka bisa mencegah ledakan epidemi 

mematikan. Kalau begitu, bagaimana melindungi kesuburan 

ternak?

Satu teori terkemuka tentang asal-usul dewa-dewa ber-

pendapat bahwa dewa-dewa menjadi berarti sebab  menawarkan 

sebuah solusi pada problem ini. Dewa-dewa seperti dewi 

kesuburan, dewa langit, dan dewa pengobatan mengambil 

posisi penting saat  tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang 

kehilangan kemampuan untuk bicara, dan peran utama dewa-


 

250

dewa yaitu  memediasi antara manusia dan tetumbuhan dan 

binatang-binatang yang membisu itu. Banyak mitologi kuno 

sesungguhnya merupakan kontrak hukum yang di dalamnya 

manusia menjanjikan penyembahan selamanya kepada dewa-

dewa sebagai imbalan untuk penguasaan atas tumbuhan dan 

binatang—bab pertama dari Kitab Kejadian yaitu  contoh 

sempurna. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur, 

liturgi keagamaan berisi terutama pengorbanan domba, anggur, 

dan kue kepada kekuatan-kekuatan ilahiah, yang menjanjikan 

sebagai imbalannya panen berlimpah dan hewan-hewan ternak 

yang subur.

Revolusi Agrikultur pada mulanya memiliki dampak yang 

jauh lebih kecil pada status anggota lain sistem animis, seperti 

bebatuan, mata air, hantu, dan setan. Namun, semua ini juga 

secara perlahan kehilangan status, tergeser oleh dewa-dewa 

baru. Selama orang tinggal sepanjang hidup mereka dalam 

teritori terbatas beberapa ratus kilometer persegi, sebagian 

besar kebutuhan mereka bisa dipenuhi oleh arwah-arwah 

setempat. Namun, begitu kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan 

perdagangan meluas, orang butuh mengontak entitas-entitas 

yang kekuasaan dan otoritasnya mencakup seluruh kerajaan dan 

seluruh area perdagangan.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini membawa 

kemunculan agama-agama politeistik (dari kata Yunani: poly 

yang berarti ‘banyak’, theos yang berarti ‘dewa’). Agama-agama 

ini memahami dunia dikuasai oleh sekelompok dewa yang kuat, 

seperti dewi kesuburan, dewa hujan, dan dewa perang. Manusia 

bisa memohon kepada dewa-dewa ini dan para dewa, mungkin, 

jika mereka menerima penyembahan dan pengorbanan, berkenan 

mendatangkan hujan, kemenangan, dan kesehatan.

Animisme tidak sepenuhnya lenyap saat kedatangan 

politeisme. Setan-setan, peri-peri, hantu-hantu, batu-batu suci, 

mata air suci, dan pohon-pohon suci tetap menjadi bagian integral 

dari hampir seluruh agama politeis. Arwah-arwah ini memang 

jauh lebih tidak penting ketimbang dewa-dewa besar, namun  untuk 

kebutuhan-kebutuhan duniawi kebanyakan warga  biasa, 

mereka cukup baik. Sementara raja di ibu kota mengorbankan 


Hukum Agama

251

puluhan domba gemuk kepada dewa perang, bersembahyang 

untuk kemenangan atas kaum barbar, petani di gubuknya 

menyalakan lilin untuk peri penunggu pohon ara, berdoa agar 

dia membantu mengobati putranya yang sakit.

namun  dampak terbesar dari bangkitnya dewa-dewa 

besar bukanlah pada domba atau setan-setan, melainkan pada 

status Homo sapiens. Kaum animis memandang bahwa manusia 

hanya salah satu dari banyak makhluk yang menghuni dunia. 

Kaum politeis, di sisi lain, semakin jauh memandang dunia 

sebagai sebuah cerminan dari hubungan antara para dewa dan 

manusia. Doa-doa kita, pengorbanan-pengorbanan kita, dosa-

dosa kita, dan kebajikan-kebajikan kita menentukan nasib dari 

seluruh ekosistem. Sebuah banjir dahsyat mungkin menyapu 

miliaran semut, belalang, kura-kura, rusa, jerapah, dan gajah, 

hanya sebab  beberapa Sapiens bodoh membuat para dewa marah. 

Oleh sebab  itu, politeisme tidak hanya memuliakan status para 

dewa, namun  juga status manusia. Para anggota yang kurang 

beruntung dari sistem animis lama kehilangan kedudukannya 

dan menjadi entah hiasan-hiasan ekstra atau bisu dalam drama 

besar hubungan manusia dengan para dewa.

Manfaat Pemujaan Berhala

Selama 2.000 tahun cuci otak oleh paham monoteis memicu  

sebagian besar orang Barat melihat politeisme sebagai pemujaan 

berhala yang bodoh dan kekanak-kanakan. Ini yaitu  stereotipe 

yang tidak adil. Agar memahami inti dari logika politeisme, 

diperlukan penyerapan ide penopang keyakinan pada banyak 

dewa.

Politeisme tidak dengan sendirinya menentang eksistensi 

satu kekuatan atau hukum tunggal yang mengatur seluruh alam 

semesta. Faktanya, agama-agama yang paling politeis dan animis 

mengakui kekuatan tertinggi semacam itu yang berdiri di belakang 

semua dewa yang berbeda-beda, setan-setan, dan batu-batu suci. 

Dalam politeisme klasik Yunani, Zeus, Hera, Apollo, dan kolega-

kolega mereka yaitu  bawahan dari satu kekuatan mahakuasa 


 

252

dan mencakup segala hal—Nasib (Moira, Ananke). Dewa-dewa 

Nordik juga merupakan budak nasib, yang menumpas mereka 

dalam bencana Ragnarök (Senjakala Para Dewa). Dalam agama 

politeistik Yoruba di Afrika Barat, semua dewa dilahirkan dari 

dewa tertinggi Olodumare, dan tetap patuh kepadanya. Dalam 

politeisme Hindu, satu pemimpin tunggal, Atman, menguasai 

banyak dewa dan arwah, manusia, dan dunia biologis serta fisik. 

Atman yaitu  esensi abadi atau jiwa dari seluruh alam semesta, 

di samping arwah setiap individu dan setiap fenomena.

Makna fundamental dari politeisme, yang membedakannya 

dari monoteisme, yaitu  bahwa kekuatan tertinggi yang mengatur 

dunia terbebas dari kepentingan-kepentingan dan bias-bias, dan 

sebab  itu tidak berurusan dengan hasrat-hasrat, kepedulian, 

dan kecemasan duniawi manusia. Tidak ada gunanya meminta 

kepada kekuatan ini kemenangan perang, kesehatan, atau hujan 

sebab  dari titik kedudukannya yang meliputi segala hal, ia 

tidak membedakan apakah satu kerajaan tertentu menang atau 

kalah, apakah sebuah kota tertentu makmur atau terpuruk, 

apakah seseorang tertentu sembuh atau mati. Orang Yunani 

tidak membuang sia-sia pengorbanan demi Nasib, dan Hindu 

tidak membangun kuil untuk Atman.

Satu-satunya alasan untuk mendekati kekuatan tertinggi alam 

semesta yaitu  menahan segala nafsu dan menerima keburukan 

dengan kebajikan—bahkan menerima kekalahan, kemelaratan, 

sakit, dan kematian. Oleh sebab  itu, sebagian orang Hindu, 

yang dikenal sebagai Sadhus atau Sanyasis, membaktikan 

hidup mereka untuk bersatu dengan Atman sehingga mencapai 

pencerahan. Mereka kokoh memandang dunia dari sudut pandang 

prinsip fundamental ini, untuk menyadari bahwa dari perspektif 

keabadiannya seluruh hasrat dan kecemasan duniawi yaitu  

fenomena yang tak bermakna dan tak kekal.

Meskipun demikian, sebagian besar orang Hindu bukanlah 

Sadhus. Mereka tenggelam di kedalaman rawa urusan duniawi, 

di mana Atman tidak banyak membantu. Untuk mendapatkan 

pertolongan dalam urusan-urusan semacam itu, orang-orang 

Hindu mendekati para dewa yang memiliki kekuatan-kekuatan 

parsial. Tepat sebab  kekuatan-kekuatan mereka parsial, dan 


Hukum Agama

253

tidak mencakup semua hal, dewa-dewa seperti Ganesha, Lakshmi, 

dan Saraswati memiliki kepentingan-kepentingan dan bias. Oleh 

sebab  itu, manusia membuat kesepakatan-kesepakatan dengan 

kekuatan-kekuatan parsial ini dan bergantung pada bantuan 

mereka agar bisa menang perang dan sembuh dari sakit. Dengan 

sendirinya ada banyak kekuatan seperti ini yang lebih kecil sebab  

begitu Anda mulai membagi-bagi kekuatan yang menyeluruh dari 

kekuatan tertinggi, Anda tak terelakkan sampai ke lebih dari 

satu dewa. Oleh sebab  itu, hadirlah pluralitas dewa.

Pemahaman mendalam politeisme kondusif untuk toleransi 

religius dengan cakupan luas. sebab  kaum politeis percaya, di 

satu sisi, pada kekuatan tunggal dan sepenuhnya tidak memihak, 

dan di sisi lain percaya pada banyak kekuatan parsial yang bias, 

tidak ada kesulitan bagi para pemeluk satu Tuhan untuk menerima 

eksistensi dan kemanjuran dewa-dewa lainnya. Politeisme secara 

inheren berpikiran terbuka, dan jarang mengadili kaum “bidah” 

dan “kafir”.

Bahkan, saat  kaum politeis menaklukkan imperium-

imperium besar, mereka tidak berusaha menjadikan bangsa 

jajahannya pemeluk baru. Bangsa Mesir, Romawi, dan 

Aztec tidak mengirim misionaris ke tanah-tanah asing untuk 

menyebarkan penyembahan Osiris, Jupiter, atau Huitzilopochtli 

(dewa tertinggi Aztec), dan mereka sudah pasti tidak mengirim 

angkatan perang untuk tujuan itu. Bangsa-bangsa jajahan dalam 

imperium diharapkan menghormati dewa-dewa dan ritual-ritual 

imperium sebab  dewa-dewa dan ritual-ritual ini melindungi 

dan melegitimasi imperium. Namun, mereka tidak diharuskan 

meninggalkan dewa-dewa dan ritual-ritual lokal mereka. Dalam 

Imperium Aztec, bangsa jajahan diwajibkan membangun kuil-kuil 

Huitzilopochtli, namun  kuil-kuil ini dibangun bersandingan dengan 

dewa-dewa lokal, bukan menggantikannya. Dalam banyak kasus, 

elite imperium sendiri mengadopsi dewa-dewa dan ritual-ritual 

bangsa jajahannya. Orang-orang Romawi dengan senang hati 

menambahkan dewi Asia Cybele dan dewi Mesir Isis dalam 

jajaran dewa mereka.

Satu-satunya dewa yang lama ditolak orang Romawi yaitu  

tuhan monoteistik dan evangelis Kristen. Imperium Romawi 


 

254

tidak mengharuskan orang Kristen meninggalkan keyakinan 

dan ritual mereka, namun  diharapkan menghormati dewa-dewa 

pelindung imperium dan keilahian kaisar. Ini dipandang sebagai 

deklarasi loyalitas politik. saat  orang-orang Kristen gigih 

menolak melakukannya, dan terus menolak semua upaya untuk 

berkompromi, orang Romawi bereaksi dengan menganiaya orang 

yang mereka anggap sebagai faksi subversif politik. Bahkan, ini 

dilakukan dengan setengah hati. Dalam 300 tahun sejak penyaliban 

Kristus sampai konversi Kaisar Konstantin, para kaisar politeis 

Romawi menginisiasi tak lebih dari empat penyiksaan umum 

terhadap orang Kristen. Para administrator dan gubernur lokal 

menghasut kerusuhan anti-Kristen. Tetap saja, jika kita gabungkan 

semua korban dari semua penyiksaan itu, ternyata bahwa dalam 

tiga abad ini , kaum politeis Romawi membunuh tak lebih 

dari beberapa ribu orang Kristen.1 Sebaliknya, dalam 1.500 tahun 

kemudian, orang Kristen membantai orang Kristen sampai jutaan 

orang untuk mempertahankan interpretasi yang sedikit berbeda 

dari agama cinta dan kasih itu.

Perang agama antara Katolik dan Protestan yang melanda 

Eropa pada abad ke-16 dan ke-19 benar-benar sangat kejam. 

Semua yang terlibat mengakui keilahian Kristus dan ajaran 

cinta dan kasih-Nya. Kaum Protestan percaya bahwa cinta ilahi 

begitu agung sehingga Tuhan menjelmakan diri dalam daging 

dan membiarkan Dirinya disiksa dan disalib sehingga menebus 

dosa asal dan membuka gerbang surga bagi seluruh umat yang 

beriman kepada-Nya. Orang Katolik menganggap keyakinan itu 

memang esensial, namun  tidak cukup. Untuk memasuki surga, 

umat beriman harus berpartisipasi dalam ritual-ritual gereja dan 

melakukan kebajikan-kebajikan. Orang Protestan menolak untuk 

menerima ini, dengan alasan bahwa quid pro quo* ini mengecilkan 

kebesaran dan kasih Tuhan. Siapa pun yang berpikir bahwa 

masuk surga bergantung pada kebajikannya berarti membesarkan 

makna dirinya, dan berimplikasi bahwa penderitaan Kristus di 

tiang salib dan kasih Tuhan pada manusia tidak cukup.

*  Artinya ‘sesuatu untuk sesuatu’ dalam bahasa Latin. Biasanya merujuk pada 

“meraih suatu hal untuk mendapatkan hal yang lain”.—penerj.


Hukum Agama

255

Perselisihan teologis ini berubah menjadi begitu beringas 

sehingga pada abad ke-16 dan ke-17, orang Katolik dan Protestan 

saling bunuh sampai ratusan ribu. Pada 23 Agustus 1572, orang-

orang Katolik Prancis yang menekankan pentingnya kebajikan 

menyerang komunitas Protestan Prancis yang mengedepankan 

kasih Tuhan pada umat manusia. Dalam serangan itu, Hari 

Pembantaian Santo Bartholomew, antara 5.000 sampai 10.000 

orang Protestan dibantai dalam waktu kurang dari 24 jam. 

saat  Paus di Roma mendengar kabar dari Prancis itu, dia 

begitu gembira sehingga menyelenggarakan doa untuk merayakan 

peristiwa ini  dan menugasi Giorgio Vasari menghiasi salah 

satu ruang Vatikan dengan lukisan dinding pembantaian (ruang 

itu kini terlarang bagi pengunjung).2 Lebih banyak orang Kristen 

yang dibunuh sesama Kristen dalam 24 jam itu ketimbang oleh 

Imperium Romawi politeis sepanjang eksistensinya.

Tuhan itu Satu

Seiring waktu, sebagian pengikut dewa-dewa politeis menjadi 

begitu asyik dengan patron khusus mereka sehingga mereka 

terseret menjauh dari pemahaman dasar politeis. Mereka mulai 

meyakini bahwa Tuhan mereka yaitu  satu-satunya Tuhan, 

dan bahwa Dia sesungguhnya kekuatan tertinggi alam semesta. 

Meskipun demikian, pada saat yang sama, mereka terus 

memandang Dia memiliki kepentingan-kepentingan dan bias-

bias, dan meyakini bahwa mereka bisa mencapai kesepakatan-

kesepakatan dengan-Nya. Maka, lahirlah agama-agama monoteis, 

yang para pengikutnya memohon kepada kekuatan tertinggi alam 

semesta agar membantu mereka sembuh dari sakit, menang lotre, 

dan menang dalam perang.

Agama monoteis pertama yang kita kenal muncul di Mesir, 

350 SM, saat  Fir’aun Akhenaten mendeklarasikan bahwa 

salah satu dewa kecil dari jajaran dewa Mesir, dewa Aten, 

sesungguhnya yaitu  kekuatan tertinggi yang mengatur alam 

semesta. Akhenaten menetapkan penyembahan Aten sebagai 

agama negara dan berusaha memeriksa penyembahan terhadap 


 

256

semua dewa. Namun, revolusi religiusnya itu tak berhasil. Setelah 

kematiannya, penyembahan Aten ditinggalkan, kalah oleh jajaran 

dewa lama.

Politeisme terus melahirkan agama-agama monoteisme lain 

di banyak tempat, namun  semua tetap marginal, paling tidak 

sebab  gagal menguraikan pesan universalnya. Judaisme, misalnya, 

menyatakan bahwa kekuatan tertinggi alam semesta memiliki 

kepentingan-kepentingan dan bias-bias, namun  kepentingan 

utamanya yaitu  pada negara mungil Yahudi dan pada tanah Israel 

yang dijanjikan. Tak banyak yang bisa diberikan Judaisme kepada 

bangsa-bangsa lain, dan hampir sepanjang masa eksistensinya ia 

bukanlah sebuah agama misioner. Tahap ini bisa disebut sebagai 

tahap “monoteisme lokal”.

Terobosan besar datang bersama Kristen. Agama ini bermula 

sebagai sebuah sekte esoterik Yahudi yang berusaha meyakinkan 

orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazareth yaitu  mesiah 

yang telah lama mereka nanti-nantikan. Namun, salah satu dari 

para pemimpin pertama sekte itu, Paulus dari Tarsus, berpendirian 

bahwa jika kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-

kepentingan dan bias-bias, dan jika Dia repot-repot menjelmakan 

diri dalam daging dan mati di tiang salib untuk penyelamatan 

manusia, maka itu sesuatu yang harus didengar setiap orang, 

bukan hanya oleh bangsa Yahudi. Maka, perlu untuk menyebarkan 

kalimat baik—Injil—tentang Yesus ke seluruh dunia.

Argumentasi Paulus jatuh di tanah yang subur. Orang-orang 

Kristen mulai mengorganisasi aktivitas misioner yang menyebar 

luas yang ditujukan kepada semua manusia. Dalam satu tikungan 

historis yang paling aneh, sekte esoterik Yahudi ini mengambil 

alih raksasa Imperium Romawi.

Kesuksesan Kristen merupakan sebuah model bagi agama 

monoteis lain yang muncul di Semenanjung Arab pada abad 

ke-7—Islam. Sebagaimana Kristen, Islam juga dimulai dari 

sebuah sekte kecil di sudut terpencil dunia, namun  dalam sebuah 

kejutan yang lebih aneh dan lebih cepat, ia berhasil menyeruak 

di gurun Arabia dan mengukuhkan sebuah imperium besar yang 

terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India. Oleh sebab  

itu, ide monoteis memainkan peran penting dalam sejarah dunia.


Hukum Agama

257

Kaum monoteis cenderung jauh lebih fanatik dan misioner 

ketimbang kaum politeis. Sebuah agama yang mengakui legitimasi 

agama-agama lain menunjukkan bahwa kalau bukan tuhannya 

merupakan kekuatan tertinggi alam semesta, maka ia menerima 

dari Tuhan hanya sebagian dari kebenaran universal. sebab  kaum 

monoteis biasanya meyakini bahwa mereka memiliki seluruh 

pesan dari satu dan satu-satunya Tuhan, mereka tergugah untuk 

merendahkan semua agama lain. Selama 2 milenium terakhir ini, 

kaum monoteis berulang-ulang mencoba memperkuat kekuasaan 

mereka dengan memenangkan semua kompetisi melalui kekerasan.

Berhasil. Pada permulaan abad ke-1 M, hampir tidak ada 

satu pun orang monoteis di dunia. Sekitar tahun 500 M, salah 

satu imperium terbesar di dunia—Imperium Romawi—yaitu  

sebuah negara Kristen, dan para misionaris sibuk menyebarkan 

Kristen ke bagian-bagian lain Eropa, Asia, dan Afrika. Pada akhir 

milenium ke-1 M, sebagian besar orang di Eropa, Asia Barat, 

dan Afrika Utara yaitu  monoteis, dan imperium-imperium dari 

Samudra Atlantik sampai ke Himalaya mengklaim dititahkan 

oleh Tuhan tunggal yang mahabesar. Pada awal abad ke-16, 

monoteisme mendominasi sebagian besar Afro-Asia, dengan 

pengecualian Asia Timur dan beberapa bagian selatan Afrika, 

dan mulai memanjangkan kaki-kakinya menuju Afrika Selatan, 

Amerika, dan Oceania. Kini sebagian besar orang di luar Asia 

Timur mematuhi salah satu agama monoteis, dan tatanan politik 

global dibangun di atas fondasi-fondasi monoteistik.

Meskipun demikian, sebagaimana animisme terus bertahan 

dalam politeisme, demikian pula politeisme terus bertahan dalam 

monoteisme. Secara teori, begitu seseorang meyakini bahwa 

kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-kepentingan 

dan bias-bias, apa maknanya menyembah kekuatan-kekuatan 

parsial? Siapa yang mau mendekati seorang birokrat tingkat 

rendah saat  kantor presiden terbuka bagi Anda? Malah, teologi 

monoteis cenderung mengingkari eksistensi semua tuhan kecuali 

Tuhan yang tertinggi, dan menuangkan api neraka dan belerang 

kepada siapa pun yang berani menyembah tuhan-tuhan itu.

namun  selalu saja ada jurang antara teori-teori teologis 

dan realitas-realitas historis. Sebagian besar orang menyadari 


 

258

sulitnya memaknai ide monoteis secara penuh. Mereka terus 

membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka”, dan memandang 

kekuatan tertinggi alam semesta sebagai terlalu jauh dan asing bagi 

kebutuhan-kebutuhan duniawi mereka. Agama-agama monoteis 

mengusir dewa-dewa ke pintu depan dengan banyak perayaan, 

hanya untuk membawanya masuk kembali melalui jendela 

samping. Kristen, misalnya, mengembangkan jajaran dewanya 

sendiri, santo-santo, yang kultus-kultusnya sedikit berbeda dari 

kultus dewa-dewa politeistik.

Sebagaimana dewa Jupiter membela Roma dan Huitzilopochtli 

melindungi Imperium Aztec, demikian pula setiap kerajaan Kristen 

memiliki patron santa-nya sendiri yang membantu mengatasi 

kesulitan-kesulitan dan memenangi perang. Inggris dilindungi 

oleh Santo George, Skotlandia oleh Santo Andrew, Hungaria 

Peta 5. Penyebaran Kristen dan Islam


Hukum Agama

259

oleh Santo Stephen, dan Prancis oleh Santo Martin. Kota-kota 

besar dan kecil, profesi-profesi, dan bahkan penyakit-penyakit—

masing-masing punya santo sendiri. Kota Milan punya Santo 

Amborose, sementara Santo Markus mengawasi Venesia. Santo 

Almo melindungi para pembersih cerobong asap, sedang  

Santo Mathew mengulurkan tangan kepada para pengumpul 

pajak yang tertekan. Jika Anda menderita sakit kepala Anda 

harus menyembah Santo Agathius, namun  jika sakit gigi, maka 

Santo Apollonia yaitu  pendengar yang jauh lebih bagus.

Santo-santo Kristen tidak semata-mata menyerupai para dewa 

politeis. Sering santo-santo itu yaitu  dewa-dewa yang menyamar. 

Misalnya, dewi utama Irlandia Celtic sebelum kedatangan Kristen 

yaitu  Brigid. saat  Irlandia ter-Kristen-kan, Brigid juga dibaptis. 

Dia menjadi Santo Brigit, yang sampai hari ini merupakan santo 

yang paling dihormati dalam Katolik Irlandia.

Pertarungan yang Baik dan yang Jahat

Politeisme melahirkan tidak hanya agama-agama monoteis, 

namun  juga agama dualistik. Agama-agama dualistik mengiringi 

keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: baik dan jahat. 

Tak seperti monoteisme, dualisme meyakini bahwa kejahatan 

yaitu  kekuatan yang independen, tidak diciptakan oleh Tuhan 

yang baik, juga bukan subordinasinya. Dualisme menjelaskan 

bahwa seluruh alam semesta ini merupakan ajang pertarungan 

antara kedua kekuatan, dan bahwa segala yang terjadi di dunia 

merupakan bagian dari pertarungan itu.

Dualisme yaitu  pandangan dunia yang sangat memikat 

sebab