rmenia, dan Gorgia masa kini
mengklaim dengan ukuran keadilan tertentu bahwa mereka
yaitu keturunan bangsa Timur Tengah kuno. Namun, ini
hanyalah pengecualian-pengecualian yang membuktikan rumus
ini , dan bahkan klaim-klaim ini agak dilebih-lebihkan. Tak
perlu dijelaskan bahwa praktik-praktik politik, ekonomi, dan
sosial Yahudi modern, misalnya, memiliki utang jauh lebih besar
kepada imperium-imperium yang menguasainya pada masa 2
milenium ketimbang pada tradisi-tradisi kerajaan kuno Judaea.
228
Kalau saja Raja David (Dawud) muncul dalam sinagog ultra-
Ortodox Yerusalem masa kini, dia pasti benar-benar terperangah
melihat bangsa Yahudi berpakaian ala Eropa Timur, berbahasa
salah satu dialek Jerman (Yiddish) dan tiada henti bertengkar
tentang makna teks Babylonia (Talmud). Dulu tidak ada sinagog,
berjilid-jilid Talmud, bahkan gulungan-gulungan Taurat pada
masa Judaea kuno.
Membangun dan mempertahankan sebuah imperium biasanya
membutuhkan pembantaian kejam populasi besar dan penindasan
brutal terhadap siapa pun yang tersisa. Panduan imperium standar
mencakup perang, perbudakan, deportasi, dan genosida. saat
Romawi menginvasi Skotlandia pada 83 M, mereka menemui
perlawanan sengit dari suku-suku Kaledonia setempat, dan beraksi
dengan menghamparkan sampah di atas negara itu. Sebagai
balasan atas tawaran perdamaian Romawi, panglima Calgacus
menyebut orang-orang Romawi “kaum bajingan dunia”, dan
mengatakan, “pencurian, pembantaian, dan perampokan mereka
gunakan sebagai alas bagi nama imperium; mereka menciptakan
gurun dan menyebut itu perdamaian”.2
namun ini tidak berarti bahwa imperium tidak
meninggalkan apa pun yang bermakna dalam kemunculannya.
Menghitamkan semua imperium dan mengingkari semua warisan
imperium sama saja dengan menolak sebagian besar budaya
manusia. Elite-elite imperium memakai keuntungan dari
penaklukan untuk mendanai tidak hanya angkatan perang dan
benteng, tapi juga filosofi, seni, keadilan, dan amal. Tak bisa
dimungkiri bahwa satu bagian signifikan dari prestasi-prestasi
kultural kemanusiaan sesungguhnya ada berkat eksploitasi
terhadap populasi-populasi yang ditaklukkan itu. Keuntungan-
keuntungan dan kemakmuran yang dibawa imperialisme Romawi
memberi Cicero, Seneca, dan Santo Augustine kelonggaran dan
bekal yang dibutuhkan untuk berpikir dan menulis; Taj Mahal
tidak dibangun tanpa kekayaan yang diakumulasi oleh eksploitasi
Mughal atas India sebagai jajahan; dan keuntungan-keuntungan
Imperium Habsburg dari penguasaan atas Slavia, Hungaria, dan
provinsi-provinsi berbahasa Rumania dipakai untuk membayar
gaji Haydn dan komisi Mozart.
Visi-Visi Imperium
229
Tidak ada satu pun penulis Kaledonia yang mengabadikan
pidato Calgacus untuk anak cucu. Kita tahu itu berkat sejarawan
Romawi Tacitus. Malah, Tacitus-lah yang membuatnya. Sebagian
besar ahli kini sepakat bahwa Tacitus tidak hanya menciptakan
pidato itu, namun juga menciptakan karakter Calgacus, sang
panglima Kaledonia, untuk menjadi corong bagi apa yang dia
dan kalangan atas Romawi lainnya pikirkan tentang negara
mereka sendiri.
Demi Kebaikanmu Sendiri
Imperium pertama yang kita dapatkan informasinya secara
definitif yaitu Imperium Akkadia Sargon Yang Agung (2250
SM). Sargon memulai karier sebagai Raja Kish, sebuah negara
kota kecil di Mesopotamia. Dalam beberapa dekade dia berhasil
menaklukkan tidak hanya seluruh Negara Kota Mesopotamia,
namun juga teritori-teritori besar di luar daratan utama
Mesopotamia. Sargon membual bahwa dia telah menaklukkan
seluruh dunia. Kenyataannya, dominion yang dia kuasai terentang
dari Teluk Persia sampai Mediterania, dan mencakup sebagian
besar wilayah yang kini bernama Irak dan Suriah, di samping
beberapa potong wilayah Iran dan Turki modern.
Imperium Akkadia tidak berlangsung lama setelah kematian
pendirinya, namun Sargon meninggalkan sebuah mantel imperium
yang jarang luput dari klaim. Selama 1.700 tahun kemudian,
raja-raja Assyria, Babylonia, dan Hittite mengadopsi Sargon
sebagai tokoh panutan, dengan membual bahwa mereka juga
telah menaklukkan seluruh dunia. Kemudian, sekitar 550 SM,
Cyrus Yang Agung dari Persia datang dengan bualan yang lebih
mengesankan lagi. Raja-raja Assyria tetap hanya raja-raja Assyria.
Bahkan, saat mereka mengklaim telah menguasai seluruh dunia,
jelas bahwa mereka melakukan itu demi kejayaan Assyria Raya
saja, dan mereka tak berapologi akan hal itu. Sementara itu,
Cyrus mengklaim tidak semata-mata menguasai seluruh dunia,
namun juga melakukan itu demi kepentingan segenap rakyat.
“Kami menaklukkan Anda untuk kepentingan Anda sendiri,” kata
230
orang-orang Persia. Cyrus ingin rakyat yang dijajahnya mencintai
dia dan menganggap diri mereka beruntung menjadi pengikut
Persia. Contoh paling terkenal dari upaya inovatif Cyrus untuk
mendapatkan persetujuan bangsa yang berada di bawah kekuasaan
imperiumnya yaitu titahnya bahwa orang-orang Yahudi buangan
di Babylonia diizinkan pulang ke kampung halamannya, Judaea,
dan membangun kembali Kuil mereka. Dia bahkan menawarkan
mereka bantuan finansial. Cyrus tidak melihat dirinya seorang
raja Persia yang berkuasa atas bangsa Yahudi—dia juga raja orang
Yahudi sehingga bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Perasaan menguasai seluruh dunia untuk kepentingan seluruh
penghuninya itu mencengangkan. Evolusi telah menjadikan Homo
sapiens, seperti mamalia sosial lainnya, makhluk xenofobia*.
Sapiens secara naluri membagi manusia dalam dua golongan,
“kita” dan “mereka”. Kita yaitu orang-orang seperti Anda dan
saya, yang bahasa, agama, dan kebiasaannya sama. Kita semua
bertanggung jawab atas sesama, namun tidak bertanggung jawab
atas mereka. Kita selalu berbeda dari mereka, dan tak berutang
apa pun kepada mereka. Kita tidak ingin melihat satu pun dari
mereka ada di teritori kita, dan kita tidak peduli pada sedikit
pun apa yang terjadi pada teritori mereka. Mereka bahkan nyaris
bukan manusia. Dalam bahasa bangsa Dinka di Sudan, Dinka
berarti ‘rakyat’. Rakyat yang bukan Dinka, bukanlah rakyat.
Musuh bebuyutan Dinka yaitu Nuer. Apa arti kata Nuer dalam
bahasa Nuer? Artinya yaitu ‘rakyat yang asli’. Ribuan kilometer
dari gurun Sudan, di tanah es yang membeku di Alaska dan
bagian timur laut Siberia, hidup bangsa Yupik. Apa arti Yupik
dalam bahasa Yupik? Artinya ‘rakyat yang sejati’.3
Bertolak belakang dengan keeksklusifan etnis ini, ideologi
imperium dari Cyrus dan sesudahnya cenderung menjadi
inklusif dan meliputi semua. Sekalipun sering ditekankan pada
perbedaan ras dan kultur antara penguasa dan yang dikuasai,
ideologi imperium masih mengakui kesatuan dasar seluruh dunia,
eksistensi seperangkat tunggal prinsip-prinsip yang mengatur
semua tempat dan semua masa, dan tanggung jawab bersama
* Perasaan benci, takut, waswas terhadap sesuatu yang asing atau belum
dikenal.—peny.
Visi-Visi Imperium
231
seluruh manusia. Manusia dipandang sebagai satu keluarga besar:
hak-hak istimewa orangtua bersanding dengan tanggung jawab
atas kesejahteraan anak-anak.
Siklus Imperium
Tahap Romawi Islam Imperialisme
Eropa
Satu kelompok
kecil
mendirikan
sebuah
imperium besar
Orang-orang
Romawi
mendirikan
Imperium
Romawi
Orang-
orang Arab
mendirikan
kekhalifahan
Arab
Orang-
orang Eropa
mendirikan
imperium-
imperium Eropa
Sebuah kultur
imperium
dibentuk
Kultur Graeco-
Roma
Kultur Arab-
Muslim
Kultur Barat
Kultur
imperium
diadopsi oleh
bangsa jajahan.
Bangsa jajahan
mengadopsi
bahasa Latin,
hukum
Romawi, ide-ide
politik Romawi,
dan lain-lain.
Bangsa jajahan
mengadopsi
bahasa Arab,
Islam, dan lain-
lain.
Bangsa jajahan
mengadopsi
bahasa Inggris
dan Prancis,
sosialisme,
nasionalisme,
hak asasi
manusia, dan
lain-lain.
232
Tahap Romawi Islam Imperialisme
Eropa
Bangsa jajahan
menuntut
kesetaraan
status atas
nama nilai-nilai
kebersamaan
imperium.
Bangsa Illyrian,
Gaul
dan Punic
menuntut
kesetaraan
status dengan
bangsa Romawi
atas nama
nilai-nilai
kebersamaan
Romawi.
Bangsa
Mesir, Iran,
dan Berber
menuntut
kesetaraan
status dengan
bangsa Arab
atas nama
nilai-nilai
kebersamaan
Muslim.
Bangsa
India, China,
dan Afrika
menuntut
kesetaraan
status dengan
bangsa Eropa
atas nama
kebersamaan
nilai-nilai
Barat seperti
nasionalisme,
sosialisme
dan hak asasi
manusia.
Para pendiri
imperium
kehilangan
dominasi
mereka
Bangsa
Romawi punah
sebagai sebuah
kelompok etnis
unik. Kontrol
atas imperium
beralih ke suatu
elite multi-etnis
baru.
Bangsa Arab
kehilangan
kontrol atas
dunia Muslim,
mendukung
suatu elite
Muslim multi-
etnis. Muslim
elite.
Bangsa Eropa
kehilangan
kontrol atas
dunia global,
mendukung
suatu elite
multi-etnis
yang umumnya
berkomitmen
pada nilai-nilai
serta cara-cara
berpikir Barat.
Kultur
imperium terus
tumbuh dan
berkembang.
Bangsa Illyrian,
Gaul, dan
Punic terus
mengembangkan
kultur Romawi
yang mereka
adopsi.
Bangsa Mesir,
Iran, dan
Berber terus
mengembangkan
budaya Muslim
yang mereka
adopsi.
Bangsa india,
China, dan
Afrika terus
mengembangkan
kultur Barat
yang mereka
adopsi.
Visi-Visi Imperium
233
Visi baru imperium ini bergulir dari Cyrus dan orang-orang
Persia ke Alexander Yang Agung, dan dari dia ke raja-raja
Hellenistik, para kaisar Romawi, para khalifah Muslim, dinasti-
dinasti India dan akhirnya bahkan ke para perdana menteri
Soviet dan presiden-presiden Amerika. Visi imperium yang penuh
kebajikan itu menjustifikasi keberadaan imperium-imperium, dan
mengatasi tidak hanya upaya-upaya oleh rakyat jajahan untuk
memberontak, namun juga upaya-upaya oleh bangsa merdeka
untuk melawan ekspansi imperium.
Visi-visi imperium serupa berkembang secara independen
dari model Persia di beberapa bagian dunia, yang paling utama
di Amerika Tengah, di wilayah Andea, dan di China. Menurut
teori politik tradisional China, langit (Tian) yaitu sumber
semua otoritas yang sah di muka Bumi. Langit memilih orang
atau keluarga yang paling pantas untuk memberi mereka
Mandat dari surga. Orang atau keluarga ini berkuasa atas Semua
Yang Ada Di Bawah Langit (Tianxial) untuk kebaikan seluruh
penghuninya. Jadi, sebuah otoritas yang sah yaitu —menurut
definisi—universal. Jika penguasa tak memiliki Mandat dari
langit, maka dia tak memiliki legitimasi untuk berkuasa bahkan
atas sebuah kota kecil. Jika penguasa mendapat mandat itu, dia
wajib menyebarkan keadailan dan harmoni ke seluruh dunia.
Mandat langit tidak bisa diberikan kepada beberapa kandidat
secara bersamaan, dan akibatnya orang tidak bisa melegitimasi
keberadaan lebih dari sebuah negara merdeka.
Kaisar pertama imperium China bersatu, QÃn ShHuángdì,
membual bahwa “di keenam penjuru arah [alam semesta] segalanya
milik kaisar ... di mana pun ada jejak kaki manusia, tidak ada
satu pun yang menjadi jajahan [imperium] ... kebaikannya bahkan
menjangkau sapi dan kuda. Tidak ada seorang pun yang tidak
mendapatkan manfaatnya. Setiap manusia selamat di bawah
atapnya sendiri”.4 Dengan demikian, dalam pemikiran politik
China serta memori historis China, periode-periode imperium
dipandang sebagai masa keemasan keteraturan dan keadilan.
Bertolak belakang dengan pandangan modern Barat bahwa
sebuah dunia yang adil tersusun atas negara-negara bangsa
234
terpisah, di China periode-periode fragmentasi politik dipandang
sebagai abad-abad gelap kekacauan dan ketidakadilan. Persepsi
ini memiliki pengaruh jauh bagi sejarah China. Setiap kali
imperium runtuh, teori politik dominan memancing kekuatan-
kekuatan agar tidak menyerah pada pemerintahan-pemerintahan
independen yang remeh, namun mengupayakan reunifikasi. Cepat
atau lambat upaya-upaya ini selalu berhasil.
saat Mereka Menjadi Kita
Imperium-imperium memainkan peranan menentukan dalam
menyatukan banyak kultur kecil menjadi kultur-kultur besar yang
lebih sedikit. Ide-ide, bangsa-bangsa, benda-benda, dan teknologi
menyebar lebih mudah dalam perbatasan-perbatasan sebuah
imperium ketimbang dalam sebuah wilayah yang terfragmentasi
secara politik. Cukup sering, imperium-imperium itu sendirilah
yang secara sengaja menyebarkan ide-ide, institusi-institusi,
kebiasaan-kebiasaan, dan norma-norma. Satu alasannya yaitu
untuk menjadikan hidup lebih mudah bagi mereka sendiri. Sulit
untuk menguasai sebuah imperium yang di dalamnya setiap
distrik kecil memiliki seperangkat hukum sendiri, bentuk tulisan
sendiri, bahasa sendiri, dan uang sendiri. Standarisasi yaitu
anugerah bagi para kaisar.
Alasan kedua yang sama pentingnya mengapa imperium-
imperium secara aktif menyebarkan kultur bersama yaitu
untuk meraih legitimasi. Sekurang-kurangnya sejak masa-masa
Cyrus dan QÃn Sh Huángdì, imperium-imperium menjustifikasi
tindakan-tindakan mereka—entah itu pembangunan jalan
atau pertumpahan darah—sebagai sesuatu yang perlu untuk
menyebarkan sebuah kultur superior, yang dari sana pihak yang
ditaklukkan mendapatkan manfaat bahkan lebih besar daripada
penakluknya.
Manfaat-manfaat itu terkadang menonjol—penegakan hukum,
perencanaan kota, standarisasi berat dan ukuran—dan terkadang
patut dipertanyakan—pajak, wajib militer, penyembahan kaisar.
Namun, sebagian besar elite imperium meyakini dengan sepenuh
Visi-Visi Imperium
235
hati bahwa mereka bekerja demi kesejahteraan umum seluruh
penghuni imperium. Kelas penguasa China memperlakukan
negara-negara tetangga dan jajahan-jajahan asing sebagai barbar
merana, yang kepada mereka imperium harus membawa
manfaat dari budaya. Mandat dari langit dianugerahkan kepada
kaisar tidak dalam rangka mengeksploitasi dunia, namun dalam
rangka mendidik kemanusiaan. Orang Romawi juga men-
justifikasi dominion mereka dengan mengatakan bahwa mereka
menganugerahi kaum barbar dengan perdamaian, keadilan, dan
perbaikan. Orang-orang liar Jerman dan orang-orang Gaul yang
terkurung hidup dalam kemelaratan dan kebodohan sampai
orang-orang Romawi menjinakkan mereka dengan hukum,
membersihkan mereka dalam rumah pemandian umum, dan
memperbaiki mereka dengan filosofi. Imperium Maurya pada
abad ke-3 SM menetapkan misinya untuk mendiseminasi ajaran-
ajaran Buddha ke dunia yang bodoh. Para khalifah Muslim
menerima mandat ilahi untuk menyebarkan wahyu Nabi, secara
damai jika memungkinkan, namun dengan pedang jika diperlukan.
Imperium Spanyol dan Portugis memproklamasikan bahwa bukan
kekayaan yang mereka cari di Hindia dan Amerika, melainkan
pembimbingan kepada agama yang benar. Matahari tidak pernah
terbenam dalam misi Inggris untuk menyebarkan Injil kembar
liberalisme dan perdagangan bebas. Soviet merasa tergugah untuk
mengabdi demi memfasilitasi pawai historis yang tak terelakkan
dari kapitalisme menuju kediktatoran utopia proletar. Banyak
orang Amerika sekarang memandang bahwa pemerintahan
mereka memiliki kewajiban moral untuk membawakan kepada
negara-negara Dunia Ketiga manfaat demokrasi dan hak asasi
manusia, sekalipun jika kebaikan-kebaikan ini dihadirkan dengan
rudal-rudal jelajah dan pesawat-pesawat tempur F-16.
Ide-ide yang disebarkan imperium jarang merupakan kreasi
eksklusif elite penguasa. sebab visi imperium cenderung
universal dan inklusif, maka relatif mudah bagi para elite
imperium untuk mengadopsi ide-ide, norma-norma, dan tradisi-
tradisi dari mana pun yang mereka temukan, ketimbang patuh
secara fanatik pada satu tradisi tunggal yang sempit. Sekalipun
sebagian kaisar berusaha memurnikan kultur mereka dan kembali
236
kepada apa yang mereka pandang sebagai akarnya, pada bagian
terbesarnya, imperium menurunkan peradaban-peradaban hibrida
yang menyerap banyak dari bangsa jajahannya. Kultur imperium
Romawi hampir sepadan ke-Yunani-an dan ke-Romawi-annya.
Kultur imperium Abbasiyah yaitu sebagian Persi, sebagian
Yunani, sebagian Arab. Kultur imperium Mongolia yaitu tiruan
China. Dalam Imperium Amerika Serikat, seorang presiden
berdarah Kenya bisa mengunyah piza sambil menonton film
favoritnya, sebuah film epos Inggris tentang pemberontakan
Arab melawan Turki.
Bukan percampuran kultural ini yang membuat proses
asimiliasi kultural lebih mudah bagi yang ditaklukkan. Peradaban
imperium bisa dengan mudah menyerap banyak kontribusi dari
berbagai bangsa yang ditaklukkan, namun hasil hibrida masih
asing bagi mayoritas besar imperium. Proses asimiliasi sering
menyakitkan dan traumatik. Tidak mudah untuk melepaskan
tradisi lokal yang dikenal dan dicintai, sebagaimana sulit dan
beratnya memahami dan mengadopsi sebuah kultur baru. Lebih
buruk lagi, bahkan saat bangsa jajahan berhasil mengadopsi
kultur imperium, itu butuh waktu beberapa dekade, kalau bukan
berabad-abad, sampai elite imperium menerimanya sebagai bagian
dari “kita”. Generasi-generasi antara penaklukan dan penerimaan
ditinggalkan kedinginan. Mereka sudah kehilangan kultur lokal
yang dicintai, namun mereka belum dibolehkan untuk mengambil
bagian yang sama dari dunia imperium. Sebaliknya, kultur adopsi
mereka terus memandang mereka sebagai barbar.
Bayangkanlah seoang Iberia yang berkualitas baik hidup
seabad setelah jatuhnya Numantia. Dia berbahasa asli dialek Celtic
dengan kedua orangtuanya, namun sudah sempurna menguasai
Latin, dengan hanya sedikit aksen sebab dia membutuhkannya
untuk menjalankan bisnis dan berhubungan dengan pejabat. Dia
memanjakan selera istrinya dengan pernak-pernik hiasan rumit,
namun sedikit jengkel sebab dia, seperti perempuan-perempuan
lokal lainnya, mempertahankan citarasa relik Celtic ini—dia akan
lebih senang kalau istrinya mengadopsi kesederhanaan perhiasan
yang bersih yang dikenakan istri gubernur Romawi. Dia sendiri
mengenakan tunik Romawi dan, berkat kesuksesannya sebagai
Visi-Visi Imperium
237
pedagang ternak, berkat keahliannya yang mumpuni tentang
seluk-beluk hukum Romawi, dia mampu membangun sebuah
vila bergaya Romawi. Meskipun demikian, walau dia mampu
melafalkan Artikel III Georgic karya Virgil dengan penuh perasaan,
orang Romawi masih memperlakukan dia sebagi semi-barbar. Dia
menyadari dengan frustrasi bahwa dia tidak pernah mendapatkan
penunjukan sebagai pejabat pemerintah, atau salah satu dari
kursi amfiteater yang sangat bagus.
Pada akhir abad ke-19, banyak orang India terdidik diajari
pelajaran yang sama oleh tuan-tuan Inggris mereka. Salah satu
anekdot terkenal menceritakan tentang seorang India ambisius
yang menguasai seluk-beluk bahasa Inggris, mengambil pelajaran
tari ala Barat, dan bahkan terbiasa makan dengan pisau dan
garpu. Berbekal etiket baru itu, dia bepergian ke Inggris, belajar
hukum di Univesitas London, dan menjadi seorang pengacara
yang cakap. Namun, ahli hukum muda berkostum jas dan dasi
itu diturunkan dari kereta api di sebuah koloni Inggris di Afrika
Selatan sebab ngotot ingin naik kereta kelas satu, bukannya
duduk di kelas tiga, tempat orang-orang kulit berwarna seperti
dia harus naik. Namanya yaitu Mohandas Karamchand Gandhi.
Dalam sejumlah kasus, proses-proses akulturasi dan asimilasi
pada akhirnya melabrak pembatas antara pendatang baru dan
elite lama. Yang ditaklukkan tidak lagi memandang imperium
sebagai sistem penjajahan asing, dan penakluk memandang
jajahan mereka setara dengan mereka. Para penguasa dan yang
diperintah sama-sama memandang “mereka” sebagai “kita”.
Semua jajahan Romawi pada akhirnya, setelah berabad-abad
kekuasaan imperium, dianugerahi kewarganegaraan Roma.
Orang-orang non-Romawi bangkit untuk menduduki jabatan
puncak di korps perwira legiun Romawi dan ditunjuk menjadi
anggota Senat. Pada 48 M kaisar Claudius mengangkat anggota
Senat dari kalangan tokoh terkemuka Gallic, seperti dia utarakan
dalam pidato, “Telah bercampur dengan kita sebab kebiasaan-
kebiasaan, kultur dan ikatan-ikatan pernikahan”. Para senator
yang congkak memprotes pengangkatan para bekas musuh
ini ke jantung sistem politik Romawi. Claudius mengingatkan
mereka tentang kebenaran yang tidak nyaman. Sebagian besar
238
keluarga sentaor mereka yaitu keturunan dari suku Italia yang
dulu berperang melawan Romawi, dan belakangan dianugerahi
kewarganegaraan Romawi. Malah, kata kaisar mengingatkan,
keluarganya sendiri berasal dari leluhur Sabine.5
Pada abad ke-2 M, Romawi diperintah oleh sebaris kaisar
kelahiran Iberia, yang urat-urat nadinya mungkin dialiri paling
sedikit beberapa butir darah Iberia lokal. Kekuasaan Trajan,
Hadrian, Antonius Pus, dan Marcus Aurelius umumnya dipandang
sebagai masa keemasan imperium. Setelah itu, seluruh bendungan
etnis diruntuhkan. Kaisar Septimius Severus (193–211) yaitu
keturunan keluarga Punic dari Libya. Algebalus (218–222) yaitu
orang Suriah. Kaisar Philip (244–249) mendapat julukan “Philip
si Arab”. Para warga baru imperium mengadopsi kultur imperium
Romawi dengan sesemangat itu sehingga selama berabad-abad
dan bahkan beberapa milenium setelah runtuhnya imperium,
mereka terus memakai bahasa imperium, meyakini Tuhan
Kristen yang diadopsi oleh imperium dari salah satu Provinsi
Levantine, dan hidup dengan hukum imperium.
Proses serupa terjadi di Imperium Arab. saat didirikan pada
pertengahan abad ke-7 M, imperium itu didasarkan pada sebuah
pemisahan tegas antara elite Arab-Muslim dan bangsa-bangsa
terjajah Mesir, Suriah, Iran, dan Berber, yang bukan Arab dan
bukan pula Muslim. Banyak jajahan imperium berangsur-angsur
mengadopsi keyakinan Muslim, bahasa Arab, dan sebuah kultur
imperium hibrida. Elite Arab lama memandang kaum kaya baru
ini dengan permusuhan mendalam, takut kehilangan status dan
identitasnya yang unik. Para pemeluk baru yang frustrasi itu
menuntut pembagian yang setara dalam imperium dan dalam
dunia Islam. Pada akhirnya, mereka pun ikut. Orang-orang Mesir,
Suriah, dan Mesopotamia semakin dipandang sebagai “Arab”.
Bangsa Arab, pada gilirannya—entah itu Arab autentik dari
Arabia atau cetakan baru Arab dari Mesir dan Suriah—semakin
didominasi oleh Muslim non-Arab, terutama oleh orang Iran,
Turki, dan Berber. Sukses besar proyek imperium Arab yaitu
budaya imperium yang diciptakannya diadopsi dengan sepenuh
hati oleh banyak bangsa non-Arab, yang terus menjunjung
Visi-Visi Imperium
239
tingginya, mengembangkannya, dan menyebarkannya—bahkan
setelah imperium asalnya runtuh dan bangsa Arab sebagai satu
kelompok etnis kehilangan dominion.
Di China, sukses proyek imperium malah lebih tuntas. Selama
lebih dari 2.000 tahun, satu percampuran kelompok-kelompok
etnik dan kultural yang pertama-tama disebut barbar sukses
terintegrasi ke dalam kultur imperium China dan menjadi China
Han (diambil dari nama Imperium Han yang menguasai China
dari 206 SM sampai 220 M). Pencapaian puncak dari Imperium
China yaitu bahwa ia masih hidup dan memikat walaupun
sulit untuk menyebutnya sebagai imperium kecuali di wilayah-
wilayah terpencilnya, Tibet dan Xinjiang. Lebih dari 90 persen
populasi China memandang diri mereka, dan dipandang oleh
orang lain, sebagai Han. Kita bisa memahami proses dekolonisasi
beberapa dekade terakhir ini dengan cara yang serupa. Di masa
modern, bangsa Eropa menaklukkan banyak bagian dari Bumi
ini dengan penyamaran menyebarkan kultur Barat yang superior.
Mereka juga begitu berhasil sehingga miliaran orang pelan-pelan
mengadopsi bagian-bagian signifikan dari budaya itu. Orang India,
Afrika, Arab, China, dan Maori belajar bahasa Prancis, Inggris
dan Spanyol. Mereka mulai meyakini hak asasi manusia dan
prinsip penentuan nasib sendiri, dan mereka mengadopsi ideologi-
ideologi Barat seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme,
feminisme, dan nasionalisme.
Pada abad ke-20, kelompok-kelompok lokal yang telah
mengadopsi nilai-nilai Barat mengklaim kesetaraan dengan para
penakluk mereka dari Eropa atas nama nilai-nilai ini. Banyak
perjuangan anti kolonial dilancarkan di bawah bendera penentuan
nasib sendiri, sosialisme, dan hak asasi manusia, yang semua
itu yaitu warisan Barat. Sebagaimana orang-orang Mesir, Iran,
dan Turki mengadopsi dan mengadaptasi kultur imperium yang
mereka warisi dari para penakluk dari Arab, demikian pula
orang India, Afrika, dan China masa kini telah menerima banyak
bagian dari kultur para bekas tuannya dari Barat, sambil berusaha
mencetaknya sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka.
240
Orang Baik dan Orang Jahat
dalam Sejarah
Memang menggoda, membagi sejarah menjadi orang baik dan
orang jahat, dengan menempatkan semua imperium sebagai
orang jahat. Lagi pula, hampir semua imperium ini didirikan
dengan darah, dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui
penindasan dan perang. Meskipun demikian, kebanyakan budaya
masa kini didasarkan pada warisan-warisan imperium. Jika
imperium per definisi yaitu jahat, lalu bagaimana dengan kita?
Ada beberapa aliran pemikiran dan gerakan-gerakan politik
yang berusaha menumpas kultur imperialisme manusia sehingga
menyisakan apa yang mereka klaim sebagai peradaban autentik
murni, tak ternoda oleh dosa. Ideologi-ideologi ini pada tingkat
terbaiknya yaitu naif; pada tingkat terburuknya yaitu kedok
licik bagi nasionalisme dan kefanatikan yang kasar. Mungkin
Anda bisa mengajukan sanggahan bahwa sebagian dari kultur-
kultur yang muncul berlimpah pada awal sejarah yang tercatat
murni, tak tersentuh dosa dan tak terkotori oleh warga -
warga lain. Namun, sejak awal itu pun tak ada kultur yang
bisa membuat klaim ini secara masuk akal, juga kultur
yang ada di muka Bumi saat ini. Semua kultur manusia paling
tidak memiliki bagian yang merupakan warisan dari imperium-
imperium atau peradaban-peradaban imperium, dan tak ada
pembedahan akademis maupun politis yang sanggup memisahkan
warisan imperium tanpa membunuh pasiennya.
Pikirkan, misalnya, tentang hubungan cinta-benci antara
republik India masa kini dan Raja Inggris. Penaklukan oleh
Inggris dan penjajahan India membunuh jutaan orang India,
dan bertanggung jawab atas penghinaan terus-menerus serta
eksploitasi ratusan juta lainnya. Meskipun demikian, bangsa
India mengadopsi, dengan gairah para pemeluk baru, ide-ide
Barat seperti penentuan nasib sendiri dan hak asasi manusia,
serta kecewa saat Inggris menolak untuk menghidupkan nilai-
nilai yang mereka deklarasikan sendiri dengan memberi pilihan
kepada pribumi India: hak-hak setara sebagai jajahan Inggris
atau kemerdekaan.
Visi-Visi Imperium
241
Bagaimanapun, negara India modern yaitu anak dari
Imperium Inggris. Inggris membunuh, melukai, dan menyiksa
para penduduk anak benua itu, namun mereka menyatukan
sebuah mosaik yang membingungkan kerajaan-kerajaan, daerah-
daerah, dan suku-suku yang saling berperang, menciptakan
sebuah kesadaran nasional bersama dan sebuah negara yang
berfungsi kurang lebih sebagai sebuah satu kesatuan politik
tunggal. Mereka meletakkan fondasi bagi sistem yudisial India,
menciptakan struktur pemerintahannya, dan membangun jaringan
kereta api yang penting bagi integrasi ekonomi. Negara India
merdeka mengadopsi demokrasi Barat, dalam penjelmaan ke-
Inggris-annya, sebagai bentuk pemerintahan. Bahasa Inggris
masih menjadi bahasa pemersatu (lingua franca) anak benua itu,
sebuah bahasa netral yang bisa dipakai penutur asli Hindi,
Tamil, dan Malayalam untuk berkomunikasi. Bangsa India yaitu
pemain cricket dan peminum teh chai yang bersemangat, dan baik
olahraga maupun minuman itu merupakan warisan dari Inggris.
Perkebunan teh komersial tidak ada di India sampai
pertengahan abad ke-19, saat teh diperkenalkan oleh British
East India Company. Para sahib Inggris-lah yang menyebarkan
kebiasaan minum teh ke seluruh India.
Berapa banyak orang India kini yang mau menyerukan
pemungutan suara untuk melepaskan diri mereka dari demokrasi,
Inggris, jaringan kereta api, sistem legal, cricket, dan teh atas
dasar bahwa semua itu warisan imperium? Andaipun mereka
melakukannya, bukankah aksi menyerukan pemungutan suara
untuk memutuskan isu ini menunjukkan mereka berutang
pada para bekas tuan mereka?
Andaipun kita menolak sepenuhnya warisan sebuah imperium
brutal dengan harapan merekonstruksi dan melindungi kultur-
kultur autentik yang mendahuluinya, dalam sebuah probabilitas
yang akan kita bela tak lebih dari warisan satu imperium yang
lebih tua dan tak kurang brutalnya. Mereka yang membenci
mutilasi kultur India oleh Raja Inggris tak terelakkan menguduskan
warisan-wairsan Imperium Mughal dan penaklukan kesultanan
Delhi. Dan, siapa pun yang berusaha menyelamatkan “kultur
India autentik” dari pengaruh-pengaruh asing yang dibawa
242
imperium Muslim ini menguduskan warisan Imperium Gupta,
Imperium Kushan, dan Imperium Maurya. Jika kaum nasionalis
Hindu ekstrem hendak menghancurkan seluruh bangunan yang
ditinggalkan para penakluk dari Inggris, seperti stasiun kereta
api utama Mumbai, bagaimana dengan bangunan-bangunan yang
ditinggalkan oleh para penakluk Muslim, seperti Taj Mahal?
Tak seorang pun tahu bagaimana mengatasi masalah pelik
warisan kultural ini. Apa pun jalan yang kita tempuh, langkah
pertamanya yaitu mengakui kompleksitas dilema dan menerima
bahwa pemisahan secara simplistis masa lalu menjadi orang baik
dan orang jahat tidak akan menuju ke mana-mana. Tentu saja,
jika kita tidak mau mengakui bahwa kita biasanya mengikuti
jalan orang jahat.
28. Stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji di Mumbai. Mulai beroperasi
dengan nama Stasiun Victoria, Bombay. Inggris membangunnya dengan
gaya Neo-Gothic yang populer pada akhir abad ke-19 di Ingris.
Pemerintahan nasionalis Hindu mengubah nama kota dan stasiun
itu, namun tak punya minat sedikit pun untuk merobohkan bangunan
megah ini , sekalipun itu dibangun oleh agresor asing.
Visi-Visi Imperium
243
Imperium Global Baru
Sejak sekitar 200 SM, sebagian besar manusia hidup dalam
imperium-imperium. Tampaknya pada masa depan pun, sebagian
besar manusia akan hidup dalam satu imperium. Namun, kali
ini imperiumnya akan benar-benar global. Visi imperium tentang
dominion atas seluruh dunia bisa dekat.
Begitu abad ke-21 tersibak, nasionalisme dengan cepat
kehilangan pijakan. Semakin banyak dan semakin banyak orang
percaya bahwa seluruh umat manusia yaitu sumber sah dari
otoritas politik, ketimbang anggota-anggota nasionalitas tertentu,
dan bahwa melindungi hak asasi manusia dan melindungi
29. Taj Mahal. Sebuah contoh kultur India “autentik” atau ciptaan
asing imperialisme Muslim?
244
kepentingan seluruh spesies manusia harus menjadi cahaya
pembimbing politik. Jika demikian, maka memiliki hampir
200 negara merdeka sebetulnya lebih merupakan penghalang
ketimbang pendukung. sebab orang Swedia, Indonesia, dan
Nigeria berhak atas hak asasi manusia yang sama, bukankah lebih
sederhana untuk melindungi mereka dengan satu pemerintahan
global tunggal?
Munculnya problem-problem global yang esensial, seperti
mencairnya gunung-gunung es, menggerogoti apa pun legitimasi
yang tersisa pada negara-negara bangsa merdeka. Tak ada negara
berdaulat yang akan sanggup mengatasi pemanasan global
sendirian. Mandat China dari langit diberikan oleh langit untuk
mengatasi masalah umat manusia. Mandat modern langit akan
diberikan oleh umat manusia untuk mengatasi masalah langit,
seperti lubang lapisan ozon dan akumulasi gas rumah kaca.
Warna imperium global mungkin akan hijau. Sampai 2013,
dunia masih terfragmentasi secara politik, namun negara-negara
dengan cepat mendeklarasikan kemerdekaannya. Tak satu pun
dari negara-negara itu yang benar-benar mampu mengeksekusi
kebijakan ekonomi secara independen, mendeklarasikan dan
melancarkan perang sesukanya, atau bahkan menjalankan urusan
internalnya sendiri yang dianggap pas. Negara-negara semakin
terbuka kepada mekanisasi pasar global, pada interferensi
perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi non-pemerintah
global, dan pada supervisi opini publik global serta sistem
yudisial global. Negara-negara wajib mematuhi standar-standar
perilaku finansial, kebijakan lingkungan, dan keadilan global.
Derasnya aliran modal, buruh, dan informasi mengubah dan
membentuk dunia, dengan semakin mengabaikan batas-batas
serta opini-opini negara.
Imperium global yang sedang disatukan di depan mata
kita tidak diatur oleh satu negara atau kelompok etnis
tertentu mana pun. Sangat mirip dengan mendiang Imperium
Romawi, imperium global diperintah oleh satu elite multi etnis,
dan dipersatukan oleh satu kesamaan kultur dan kesamaan
kepentingan. Di seluruh dunia, semakin banyak dan semakin
banyak pebisnis, insinyur, ahli, sarjana, pengacara, manajer
Visi-Visi Imperium
245
terpanggil untuk bergabung dalam imperium itu. Mereka pasti
memikirkan cara menjawab panggilan imperium itu atau tetap
loyal pada negara dan bangsa mereka. Semakin banyak dan
semakin banyak yang memilih imperium.
12
Hukum Agama
Dalam pasar abad pertengahan di Samarkand, sebuah kota yang
dibangun di oase Asia Tengah, para pedagang Suriah menjajakan
sutra-sutra halus China; orang-orang suku dari kawasan padang
rumput Siberia memajang rombongan baru budak-budak berambut
jerami dari barat jauh, dan para pemilik toko mengantongi koin-
koin emas mengilap bertera tulisan-tulisan dan gambar eksotis
raja-raja yang tak dikenal. Di sini, di persimpangan besar antara
timur dan barat, utara dan selatan, masa itu, penyatuan manusia
yaitu sebuah fakta sehari-hari. Proses yang sama bisa disaksikan
sedang berjalan saat angkatan perang Kubilai Khan berderak
untuk menginvasi Jepang pada 1281. Pasukan kuda Mongolia
yang berpakaian kulit dan bulu bercengkerama dengan tentara-
tentara infanteri China bertopi bambu, para tentara Korea yang
mabuk memancing perkelahian dengan pelaut-pelaut bertato dari
Laut China Selatan, para insinyur dari Asia Tengah menyimak
dengan rahang merunduk kisah-kisah para petualang Eropa, dan
semua mematuhi komando satu kaisar tunggal.
Sementara itu, di sekitar Ka’bah di Mekkah, penyatuan
manusia berlangsung dengan sarana lain. Kalau Anda pernah
melakukan ibadah haji ke Mekkah, mengelilingi tempat paling
suci umat Islam itu pada tahun 1300, Anda mungkin merasakan
berada di tengah-tengah kawan sepesta dari Mesopotamia, dengan
jubah-jubah mengembang tertiup angin, mata berbinar-binar
penuh sukacita, dan mulut mereka mengulang satu per satu dari
99 Asmaul Husna. Tepat di depan Anda mungkin Anda melihat
seorang tua Turki yang terp anggang cuaca dari kawasan padang
rumput Asia, jalan terpincang-pincang dengan bertumpu tongkat
sambil mengusap janggutnya penuh perasaan. Di salah satu sisi
Anda, perhiasan emas berkilau memancar dari kulit hitam pekat,
Hukum Agama
247
mungkin dikenakan sekelompok Muslim dari kerajaan Mali,
Afrika. Aroma cengkih, kunyit, kapulaga, dan garam laut akan
menandai adanya saudara-saudara dari India, atau mungkin dari
pulau-pulau rempah-rempah misterius nun jauh di timur.
Kini agama sering dipandang sebagai sumber diskriminasi,
perselisihan, dan perpecahan. Namun, sesungguhnya agama
telah menjadi pemersatu terbesar ketiga bagi manusia, selain
uang dan imperium. sebab semua tatanan sosial dan hierarki
diimajinasikan, semua itu merupakan struktur-struktur yang
rapuh. Agama-agama menegaskan bahwa hukum kita bukanlah
hasil dari ulah manusia, melainkan dititahkan oleh satu otoritas
absolut dan mahatinggi sehingga menjamin stabilitas sosial.
Dengan demikian, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah
sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia yang didasarkan
pada keyakinan pada satu tatanan manusia super. Ini mencakup
dua kriteria yang khas:
1. Agama berpendirian bahwa ada sebuah tatanan manusia
super, yang bukan produk dari keinginan atau kesepakatan
manusia. Sepak bola profesional bukanlah agama sebab
terlepas dari banyaknya hukum upacara dan sering
ritual-ritual aneh, setiap orang tahu bahwa manusialah
yang menciptakan sepak bola, dan FIFA kapan pun
bisa memperbesar ukuran gawang atau menangguhkan
aturan offside.
2. Berdasarkan pada tatanan manusia super ini, agama
menciptakan norma-norma dan nilai-nilai yang dipandang
mengikat. Banyak orang Barat kini percaya pada hantu,
peri, dan reinkarnasi, namun keyakinan-keyakinan ini
bukan sumber standar moral dan perilaku. sebab nya,
semua itu bukan merupakan agama.
Terlepas dari kemampuannya untuk melegitimasi tatanan
sosial dan politik yang menyebar luas, tak semua agama meng-
aktualkan potensi ini . Dalam rangka mempersatukan sebuah
teritori yang sangat luas di bawah pengawasannya, sebuah
248
agama harus memiliki dua kualitas lainnya. Pertama, ia harus
menopang sebuah tatanan universal manusia super, yang selalu
benar di mana pun. Kedua, agama harus menekankan pada
penyebaran keyakinan ini kepada setiap orang. Dengan kata lain,
ia harus universal dan misioner. Agama yang paling terkenal
dalam sejarah, seperti Islam dan Buddha, bersifat universal dan
misioner. Akibatnya, orang cenderung meyakini bahwa semua
agama seperti mereka. Faktanya, mayoritas agama kuno bersifat
lokal dan eksklusif. Para pengikutnya meyakini dewa-dewa dan
arwah-arwah, dan tak punya minat untuk menarik semua ras
manusia menjadi pemeluknya. Sejauh yang kita ketahui, agama-
agama universal dan misioner mulai muncul baru pada milenium
ke-1 SM. Kemunculan agama-agama itu menjadi salah satu
revolusi penting dalam sejarah, dan menjadi kontribusi vital bagi
penyatuan manusia, sangat mirip dengan munculnya imperium-
imperium universal dan uang universal.
Membungkam Domba-Domba
saat animisme menjadi sistem keyakinan dominan, norma-
norma dan nilai-nilai manusia harus mempertimbangkan
sosok dan kepentingan banyak makhluk lain, seperti binatang,
tumbuhan, peri, dan hantu. Misalnya, satu kawanan pengembara
di Lembah Gangga mungkin sudah membuat aturan yang
melarang orang untuk menebang pohon ara yang sangat besar,
agar arwah penjaga pohon tiak marah dan membalas. Satu
kawanan pengembara lain yang hidup di Lembah Indus melarang
orang berburu rubah berekor putih sebab rubah berekor putih
dulunya mengungkapkan kepada seorang perempuan tua bijak
di mana mereka bisa menemukan obsidian yang bagus.
Agama-agama seperti itu cenderung sangat lokal dalam
sosoknya, dan menekankan hal-hal unik dari lokasi-lokasi
tertentu, iklim, dan fenomenanya. Sebagian besar pengembara
menghabiskan seluruh hidup mereka di satu area tak lebih dari
1.000 kilometer persegi. Agar bisa bertahan hidup, para penghuni
satu lembah tertentu perlu memahami tatanan manusia super yang
Hukum Agama
249
mengatur lembah mereka, dan menyesuaikan perilaku mereka
dengan aturan itu. Tak ada gunanya meyakinkan penguni dari
lembah yang jauh untuk mengikuti aturan yang sama. Orang-
orang Indus tidak pusing berpikir untuk mengirim misionaris
ke Gangga untuk meyakinkan penduduk setempat agar jangan
memburu rubah berekor putih.
Revolusi Agrikultur tampaknya disertai suatu revolusi
keagamaan. Para pemburu-penjelajah memetik dan mencari
tumbuhan-tumbuhan serta binatang-binatang liar, yang bisa
dipandang memiliki status setara dengan Homo sapiens. Fakta
bahwa manusia memburu domba tidak membuat domba lebih
rendah derajatnya daripada manusia, sebagaimana fakta bahwa
harimau memburu manusia tidak berarti manusia lebih rendah
dari harimau. Makhluk hidup saling berkomunikasi secara
langsung dan menegosiasikan aturan-aturan untuk mengatur
habitat bersama mereka. Sebaliknya, para petani memiliki
dan memanipulasi tumbuhan dan binatang, dan hampir tak
menurunkan derajat mereka sendiri dengan menegosiasikan
kepemilikan. Oleh sebab itu, efek religius pertama dari Revolusi
Agrikultur yaitu mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota
setara dari sebuah meja bundar spiritual menjadi properti.
Meskipun demikian, ini menciptakan sebuah problem besar.
Para petani mungkin sudah mengidamkan kontrol absolut atas
domba mereka, namun mereka tahu sepenuhnya bahwa kontrol
mereka terbatas. Mereka bisa saja mengunci domba dalam
kandang, mengebiri domba jantan, dan memelihara secara selektif
domba-domba betina, namun mereka tidak bisa memastikan bahwa
domba-domba itu bunting dan melahirkan anak-anak domba
yang sehat, tidak pula mereka bisa mencegah ledakan epidemi
mematikan. Kalau begitu, bagaimana melindungi kesuburan
ternak?
Satu teori terkemuka tentang asal-usul dewa-dewa ber-
pendapat bahwa dewa-dewa menjadi berarti sebab menawarkan
sebuah solusi pada problem ini. Dewa-dewa seperti dewi
kesuburan, dewa langit, dan dewa pengobatan mengambil
posisi penting saat tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang
kehilangan kemampuan untuk bicara, dan peran utama dewa-
250
dewa yaitu memediasi antara manusia dan tetumbuhan dan
binatang-binatang yang membisu itu. Banyak mitologi kuno
sesungguhnya merupakan kontrak hukum yang di dalamnya
manusia menjanjikan penyembahan selamanya kepada dewa-
dewa sebagai imbalan untuk penguasaan atas tumbuhan dan
binatang—bab pertama dari Kitab Kejadian yaitu contoh
sempurna. Selama ribuan tahun setelah Revolusi Agrikultur,
liturgi keagamaan berisi terutama pengorbanan domba, anggur,
dan kue kepada kekuatan-kekuatan ilahiah, yang menjanjikan
sebagai imbalannya panen berlimpah dan hewan-hewan ternak
yang subur.
Revolusi Agrikultur pada mulanya memiliki dampak yang
jauh lebih kecil pada status anggota lain sistem animis, seperti
bebatuan, mata air, hantu, dan setan. Namun, semua ini juga
secara perlahan kehilangan status, tergeser oleh dewa-dewa
baru. Selama orang tinggal sepanjang hidup mereka dalam
teritori terbatas beberapa ratus kilometer persegi, sebagian
besar kebutuhan mereka bisa dipenuhi oleh arwah-arwah
setempat. Namun, begitu kerajaan-kerajaan dan jaringan-jaringan
perdagangan meluas, orang butuh mengontak entitas-entitas
yang kekuasaan dan otoritasnya mencakup seluruh kerajaan dan
seluruh area perdagangan.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini membawa
kemunculan agama-agama politeistik (dari kata Yunani: poly
yang berarti ‘banyak’, theos yang berarti ‘dewa’). Agama-agama
ini memahami dunia dikuasai oleh sekelompok dewa yang kuat,
seperti dewi kesuburan, dewa hujan, dan dewa perang. Manusia
bisa memohon kepada dewa-dewa ini dan para dewa, mungkin,
jika mereka menerima penyembahan dan pengorbanan, berkenan
mendatangkan hujan, kemenangan, dan kesehatan.
Animisme tidak sepenuhnya lenyap saat kedatangan
politeisme. Setan-setan, peri-peri, hantu-hantu, batu-batu suci,
mata air suci, dan pohon-pohon suci tetap menjadi bagian integral
dari hampir seluruh agama politeis. Arwah-arwah ini memang
jauh lebih tidak penting ketimbang dewa-dewa besar, namun untuk
kebutuhan-kebutuhan duniawi kebanyakan warga biasa,
mereka cukup baik. Sementara raja di ibu kota mengorbankan
Hukum Agama
251
puluhan domba gemuk kepada dewa perang, bersembahyang
untuk kemenangan atas kaum barbar, petani di gubuknya
menyalakan lilin untuk peri penunggu pohon ara, berdoa agar
dia membantu mengobati putranya yang sakit.
namun dampak terbesar dari bangkitnya dewa-dewa
besar bukanlah pada domba atau setan-setan, melainkan pada
status Homo sapiens. Kaum animis memandang bahwa manusia
hanya salah satu dari banyak makhluk yang menghuni dunia.
Kaum politeis, di sisi lain, semakin jauh memandang dunia
sebagai sebuah cerminan dari hubungan antara para dewa dan
manusia. Doa-doa kita, pengorbanan-pengorbanan kita, dosa-
dosa kita, dan kebajikan-kebajikan kita menentukan nasib dari
seluruh ekosistem. Sebuah banjir dahsyat mungkin menyapu
miliaran semut, belalang, kura-kura, rusa, jerapah, dan gajah,
hanya sebab beberapa Sapiens bodoh membuat para dewa marah.
Oleh sebab itu, politeisme tidak hanya memuliakan status para
dewa, namun juga status manusia. Para anggota yang kurang
beruntung dari sistem animis lama kehilangan kedudukannya
dan menjadi entah hiasan-hiasan ekstra atau bisu dalam drama
besar hubungan manusia dengan para dewa.
Manfaat Pemujaan Berhala
Selama 2.000 tahun cuci otak oleh paham monoteis memicu
sebagian besar orang Barat melihat politeisme sebagai pemujaan
berhala yang bodoh dan kekanak-kanakan. Ini yaitu stereotipe
yang tidak adil. Agar memahami inti dari logika politeisme,
diperlukan penyerapan ide penopang keyakinan pada banyak
dewa.
Politeisme tidak dengan sendirinya menentang eksistensi
satu kekuatan atau hukum tunggal yang mengatur seluruh alam
semesta. Faktanya, agama-agama yang paling politeis dan animis
mengakui kekuatan tertinggi semacam itu yang berdiri di belakang
semua dewa yang berbeda-beda, setan-setan, dan batu-batu suci.
Dalam politeisme klasik Yunani, Zeus, Hera, Apollo, dan kolega-
kolega mereka yaitu bawahan dari satu kekuatan mahakuasa
252
dan mencakup segala hal—Nasib (Moira, Ananke). Dewa-dewa
Nordik juga merupakan budak nasib, yang menumpas mereka
dalam bencana Ragnarök (Senjakala Para Dewa). Dalam agama
politeistik Yoruba di Afrika Barat, semua dewa dilahirkan dari
dewa tertinggi Olodumare, dan tetap patuh kepadanya. Dalam
politeisme Hindu, satu pemimpin tunggal, Atman, menguasai
banyak dewa dan arwah, manusia, dan dunia biologis serta fisik.
Atman yaitu esensi abadi atau jiwa dari seluruh alam semesta,
di samping arwah setiap individu dan setiap fenomena.
Makna fundamental dari politeisme, yang membedakannya
dari monoteisme, yaitu bahwa kekuatan tertinggi yang mengatur
dunia terbebas dari kepentingan-kepentingan dan bias-bias, dan
sebab itu tidak berurusan dengan hasrat-hasrat, kepedulian,
dan kecemasan duniawi manusia. Tidak ada gunanya meminta
kepada kekuatan ini kemenangan perang, kesehatan, atau hujan
sebab dari titik kedudukannya yang meliputi segala hal, ia
tidak membedakan apakah satu kerajaan tertentu menang atau
kalah, apakah sebuah kota tertentu makmur atau terpuruk,
apakah seseorang tertentu sembuh atau mati. Orang Yunani
tidak membuang sia-sia pengorbanan demi Nasib, dan Hindu
tidak membangun kuil untuk Atman.
Satu-satunya alasan untuk mendekati kekuatan tertinggi alam
semesta yaitu menahan segala nafsu dan menerima keburukan
dengan kebajikan—bahkan menerima kekalahan, kemelaratan,
sakit, dan kematian. Oleh sebab itu, sebagian orang Hindu,
yang dikenal sebagai Sadhus atau Sanyasis, membaktikan
hidup mereka untuk bersatu dengan Atman sehingga mencapai
pencerahan. Mereka kokoh memandang dunia dari sudut pandang
prinsip fundamental ini, untuk menyadari bahwa dari perspektif
keabadiannya seluruh hasrat dan kecemasan duniawi yaitu
fenomena yang tak bermakna dan tak kekal.
Meskipun demikian, sebagian besar orang Hindu bukanlah
Sadhus. Mereka tenggelam di kedalaman rawa urusan duniawi,
di mana Atman tidak banyak membantu. Untuk mendapatkan
pertolongan dalam urusan-urusan semacam itu, orang-orang
Hindu mendekati para dewa yang memiliki kekuatan-kekuatan
parsial. Tepat sebab kekuatan-kekuatan mereka parsial, dan
Hukum Agama
253
tidak mencakup semua hal, dewa-dewa seperti Ganesha, Lakshmi,
dan Saraswati memiliki kepentingan-kepentingan dan bias. Oleh
sebab itu, manusia membuat kesepakatan-kesepakatan dengan
kekuatan-kekuatan parsial ini dan bergantung pada bantuan
mereka agar bisa menang perang dan sembuh dari sakit. Dengan
sendirinya ada banyak kekuatan seperti ini yang lebih kecil sebab
begitu Anda mulai membagi-bagi kekuatan yang menyeluruh dari
kekuatan tertinggi, Anda tak terelakkan sampai ke lebih dari
satu dewa. Oleh sebab itu, hadirlah pluralitas dewa.
Pemahaman mendalam politeisme kondusif untuk toleransi
religius dengan cakupan luas. sebab kaum politeis percaya, di
satu sisi, pada kekuatan tunggal dan sepenuhnya tidak memihak,
dan di sisi lain percaya pada banyak kekuatan parsial yang bias,
tidak ada kesulitan bagi para pemeluk satu Tuhan untuk menerima
eksistensi dan kemanjuran dewa-dewa lainnya. Politeisme secara
inheren berpikiran terbuka, dan jarang mengadili kaum “bidah”
dan “kafir”.
Bahkan, saat kaum politeis menaklukkan imperium-
imperium besar, mereka tidak berusaha menjadikan bangsa
jajahannya pemeluk baru. Bangsa Mesir, Romawi, dan
Aztec tidak mengirim misionaris ke tanah-tanah asing untuk
menyebarkan penyembahan Osiris, Jupiter, atau Huitzilopochtli
(dewa tertinggi Aztec), dan mereka sudah pasti tidak mengirim
angkatan perang untuk tujuan itu. Bangsa-bangsa jajahan dalam
imperium diharapkan menghormati dewa-dewa dan ritual-ritual
imperium sebab dewa-dewa dan ritual-ritual ini melindungi
dan melegitimasi imperium. Namun, mereka tidak diharuskan
meninggalkan dewa-dewa dan ritual-ritual lokal mereka. Dalam
Imperium Aztec, bangsa jajahan diwajibkan membangun kuil-kuil
Huitzilopochtli, namun kuil-kuil ini dibangun bersandingan dengan
dewa-dewa lokal, bukan menggantikannya. Dalam banyak kasus,
elite imperium sendiri mengadopsi dewa-dewa dan ritual-ritual
bangsa jajahannya. Orang-orang Romawi dengan senang hati
menambahkan dewi Asia Cybele dan dewi Mesir Isis dalam
jajaran dewa mereka.
Satu-satunya dewa yang lama ditolak orang Romawi yaitu
tuhan monoteistik dan evangelis Kristen. Imperium Romawi
254
tidak mengharuskan orang Kristen meninggalkan keyakinan
dan ritual mereka, namun diharapkan menghormati dewa-dewa
pelindung imperium dan keilahian kaisar. Ini dipandang sebagai
deklarasi loyalitas politik. saat orang-orang Kristen gigih
menolak melakukannya, dan terus menolak semua upaya untuk
berkompromi, orang Romawi bereaksi dengan menganiaya orang
yang mereka anggap sebagai faksi subversif politik. Bahkan, ini
dilakukan dengan setengah hati. Dalam 300 tahun sejak penyaliban
Kristus sampai konversi Kaisar Konstantin, para kaisar politeis
Romawi menginisiasi tak lebih dari empat penyiksaan umum
terhadap orang Kristen. Para administrator dan gubernur lokal
menghasut kerusuhan anti-Kristen. Tetap saja, jika kita gabungkan
semua korban dari semua penyiksaan itu, ternyata bahwa dalam
tiga abad ini , kaum politeis Romawi membunuh tak lebih
dari beberapa ribu orang Kristen.1 Sebaliknya, dalam 1.500 tahun
kemudian, orang Kristen membantai orang Kristen sampai jutaan
orang untuk mempertahankan interpretasi yang sedikit berbeda
dari agama cinta dan kasih itu.
Perang agama antara Katolik dan Protestan yang melanda
Eropa pada abad ke-16 dan ke-19 benar-benar sangat kejam.
Semua yang terlibat mengakui keilahian Kristus dan ajaran
cinta dan kasih-Nya. Kaum Protestan percaya bahwa cinta ilahi
begitu agung sehingga Tuhan menjelmakan diri dalam daging
dan membiarkan Dirinya disiksa dan disalib sehingga menebus
dosa asal dan membuka gerbang surga bagi seluruh umat yang
beriman kepada-Nya. Orang Katolik menganggap keyakinan itu
memang esensial, namun tidak cukup. Untuk memasuki surga,
umat beriman harus berpartisipasi dalam ritual-ritual gereja dan
melakukan kebajikan-kebajikan. Orang Protestan menolak untuk
menerima ini, dengan alasan bahwa quid pro quo* ini mengecilkan
kebesaran dan kasih Tuhan. Siapa pun yang berpikir bahwa
masuk surga bergantung pada kebajikannya berarti membesarkan
makna dirinya, dan berimplikasi bahwa penderitaan Kristus di
tiang salib dan kasih Tuhan pada manusia tidak cukup.
* Artinya ‘sesuatu untuk sesuatu’ dalam bahasa Latin. Biasanya merujuk pada
“meraih suatu hal untuk mendapatkan hal yang lain”.—penerj.
Hukum Agama
255
Perselisihan teologis ini berubah menjadi begitu beringas
sehingga pada abad ke-16 dan ke-17, orang Katolik dan Protestan
saling bunuh sampai ratusan ribu. Pada 23 Agustus 1572, orang-
orang Katolik Prancis yang menekankan pentingnya kebajikan
menyerang komunitas Protestan Prancis yang mengedepankan
kasih Tuhan pada umat manusia. Dalam serangan itu, Hari
Pembantaian Santo Bartholomew, antara 5.000 sampai 10.000
orang Protestan dibantai dalam waktu kurang dari 24 jam.
saat Paus di Roma mendengar kabar dari Prancis itu, dia
begitu gembira sehingga menyelenggarakan doa untuk merayakan
peristiwa ini dan menugasi Giorgio Vasari menghiasi salah
satu ruang Vatikan dengan lukisan dinding pembantaian (ruang
itu kini terlarang bagi pengunjung).2 Lebih banyak orang Kristen
yang dibunuh sesama Kristen dalam 24 jam itu ketimbang oleh
Imperium Romawi politeis sepanjang eksistensinya.
Tuhan itu Satu
Seiring waktu, sebagian pengikut dewa-dewa politeis menjadi
begitu asyik dengan patron khusus mereka sehingga mereka
terseret menjauh dari pemahaman dasar politeis. Mereka mulai
meyakini bahwa Tuhan mereka yaitu satu-satunya Tuhan,
dan bahwa Dia sesungguhnya kekuatan tertinggi alam semesta.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, mereka terus
memandang Dia memiliki kepentingan-kepentingan dan bias-
bias, dan meyakini bahwa mereka bisa mencapai kesepakatan-
kesepakatan dengan-Nya. Maka, lahirlah agama-agama monoteis,
yang para pengikutnya memohon kepada kekuatan tertinggi alam
semesta agar membantu mereka sembuh dari sakit, menang lotre,
dan menang dalam perang.
Agama monoteis pertama yang kita kenal muncul di Mesir,
350 SM, saat Fir’aun Akhenaten mendeklarasikan bahwa
salah satu dewa kecil dari jajaran dewa Mesir, dewa Aten,
sesungguhnya yaitu kekuatan tertinggi yang mengatur alam
semesta. Akhenaten menetapkan penyembahan Aten sebagai
agama negara dan berusaha memeriksa penyembahan terhadap
256
semua dewa. Namun, revolusi religiusnya itu tak berhasil. Setelah
kematiannya, penyembahan Aten ditinggalkan, kalah oleh jajaran
dewa lama.
Politeisme terus melahirkan agama-agama monoteisme lain
di banyak tempat, namun semua tetap marginal, paling tidak
sebab gagal menguraikan pesan universalnya. Judaisme, misalnya,
menyatakan bahwa kekuatan tertinggi alam semesta memiliki
kepentingan-kepentingan dan bias-bias, namun kepentingan
utamanya yaitu pada negara mungil Yahudi dan pada tanah Israel
yang dijanjikan. Tak banyak yang bisa diberikan Judaisme kepada
bangsa-bangsa lain, dan hampir sepanjang masa eksistensinya ia
bukanlah sebuah agama misioner. Tahap ini bisa disebut sebagai
tahap “monoteisme lokal”.
Terobosan besar datang bersama Kristen. Agama ini bermula
sebagai sebuah sekte esoterik Yahudi yang berusaha meyakinkan
orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazareth yaitu mesiah
yang telah lama mereka nanti-nantikan. Namun, salah satu dari
para pemimpin pertama sekte itu, Paulus dari Tarsus, berpendirian
bahwa jika kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-
kepentingan dan bias-bias, dan jika Dia repot-repot menjelmakan
diri dalam daging dan mati di tiang salib untuk penyelamatan
manusia, maka itu sesuatu yang harus didengar setiap orang,
bukan hanya oleh bangsa Yahudi. Maka, perlu untuk menyebarkan
kalimat baik—Injil—tentang Yesus ke seluruh dunia.
Argumentasi Paulus jatuh di tanah yang subur. Orang-orang
Kristen mulai mengorganisasi aktivitas misioner yang menyebar
luas yang ditujukan kepada semua manusia. Dalam satu tikungan
historis yang paling aneh, sekte esoterik Yahudi ini mengambil
alih raksasa Imperium Romawi.
Kesuksesan Kristen merupakan sebuah model bagi agama
monoteis lain yang muncul di Semenanjung Arab pada abad
ke-7—Islam. Sebagaimana Kristen, Islam juga dimulai dari
sebuah sekte kecil di sudut terpencil dunia, namun dalam sebuah
kejutan yang lebih aneh dan lebih cepat, ia berhasil menyeruak
di gurun Arabia dan mengukuhkan sebuah imperium besar yang
terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India. Oleh sebab
itu, ide monoteis memainkan peran penting dalam sejarah dunia.
Hukum Agama
257
Kaum monoteis cenderung jauh lebih fanatik dan misioner
ketimbang kaum politeis. Sebuah agama yang mengakui legitimasi
agama-agama lain menunjukkan bahwa kalau bukan tuhannya
merupakan kekuatan tertinggi alam semesta, maka ia menerima
dari Tuhan hanya sebagian dari kebenaran universal. sebab kaum
monoteis biasanya meyakini bahwa mereka memiliki seluruh
pesan dari satu dan satu-satunya Tuhan, mereka tergugah untuk
merendahkan semua agama lain. Selama 2 milenium terakhir ini,
kaum monoteis berulang-ulang mencoba memperkuat kekuasaan
mereka dengan memenangkan semua kompetisi melalui kekerasan.
Berhasil. Pada permulaan abad ke-1 M, hampir tidak ada
satu pun orang monoteis di dunia. Sekitar tahun 500 M, salah
satu imperium terbesar di dunia—Imperium Romawi—yaitu
sebuah negara Kristen, dan para misionaris sibuk menyebarkan
Kristen ke bagian-bagian lain Eropa, Asia, dan Afrika. Pada akhir
milenium ke-1 M, sebagian besar orang di Eropa, Asia Barat,
dan Afrika Utara yaitu monoteis, dan imperium-imperium dari
Samudra Atlantik sampai ke Himalaya mengklaim dititahkan
oleh Tuhan tunggal yang mahabesar. Pada awal abad ke-16,
monoteisme mendominasi sebagian besar Afro-Asia, dengan
pengecualian Asia Timur dan beberapa bagian selatan Afrika,
dan mulai memanjangkan kaki-kakinya menuju Afrika Selatan,
Amerika, dan Oceania. Kini sebagian besar orang di luar Asia
Timur mematuhi salah satu agama monoteis, dan tatanan politik
global dibangun di atas fondasi-fondasi monoteistik.
Meskipun demikian, sebagaimana animisme terus bertahan
dalam politeisme, demikian pula politeisme terus bertahan dalam
monoteisme. Secara teori, begitu seseorang meyakini bahwa
kekuatan tertinggi alam semesta memiliki kepentingan-kepentingan
dan bias-bias, apa maknanya menyembah kekuatan-kekuatan
parsial? Siapa yang mau mendekati seorang birokrat tingkat
rendah saat kantor presiden terbuka bagi Anda? Malah, teologi
monoteis cenderung mengingkari eksistensi semua tuhan kecuali
Tuhan yang tertinggi, dan menuangkan api neraka dan belerang
kepada siapa pun yang berani menyembah tuhan-tuhan itu.
namun selalu saja ada jurang antara teori-teori teologis
dan realitas-realitas historis. Sebagian besar orang menyadari
258
sulitnya memaknai ide monoteis secara penuh. Mereka terus
membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka”, dan memandang
kekuatan tertinggi alam semesta sebagai terlalu jauh dan asing bagi
kebutuhan-kebutuhan duniawi mereka. Agama-agama monoteis
mengusir dewa-dewa ke pintu depan dengan banyak perayaan,
hanya untuk membawanya masuk kembali melalui jendela
samping. Kristen, misalnya, mengembangkan jajaran dewanya
sendiri, santo-santo, yang kultus-kultusnya sedikit berbeda dari
kultus dewa-dewa politeistik.
Sebagaimana dewa Jupiter membela Roma dan Huitzilopochtli
melindungi Imperium Aztec, demikian pula setiap kerajaan Kristen
memiliki patron santa-nya sendiri yang membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan dan memenangi perang. Inggris dilindungi
oleh Santo George, Skotlandia oleh Santo Andrew, Hungaria
Peta 5. Penyebaran Kristen dan Islam
Hukum Agama
259
oleh Santo Stephen, dan Prancis oleh Santo Martin. Kota-kota
besar dan kecil, profesi-profesi, dan bahkan penyakit-penyakit—
masing-masing punya santo sendiri. Kota Milan punya Santo
Amborose, sementara Santo Markus mengawasi Venesia. Santo
Almo melindungi para pembersih cerobong asap, sedang
Santo Mathew mengulurkan tangan kepada para pengumpul
pajak yang tertekan. Jika Anda menderita sakit kepala Anda
harus menyembah Santo Agathius, namun jika sakit gigi, maka
Santo Apollonia yaitu pendengar yang jauh lebih bagus.
Santo-santo Kristen tidak semata-mata menyerupai para dewa
politeis. Sering santo-santo itu yaitu dewa-dewa yang menyamar.
Misalnya, dewi utama Irlandia Celtic sebelum kedatangan Kristen
yaitu Brigid. saat Irlandia ter-Kristen-kan, Brigid juga dibaptis.
Dia menjadi Santo Brigit, yang sampai hari ini merupakan santo
yang paling dihormati dalam Katolik Irlandia.
Pertarungan yang Baik dan yang Jahat
Politeisme melahirkan tidak hanya agama-agama monoteis,
namun juga agama dualistik. Agama-agama dualistik mengiringi
keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: baik dan jahat.
Tak seperti monoteisme, dualisme meyakini bahwa kejahatan
yaitu kekuatan yang independen, tidak diciptakan oleh Tuhan
yang baik, juga bukan subordinasinya. Dualisme menjelaskan
bahwa seluruh alam semesta ini merupakan ajang pertarungan
antara kedua kekuatan, dan bahwa segala yang terjadi di dunia
merupakan bagian dari pertarungan itu.
Dualisme yaitu pandangan dunia yang sangat memikat
sebab