m (Dunn dan Dunn, 1977; Gibbons dan C1unie, 1986). Dari 18.000 sampai sekitar
6.000 tahun yang 1a1u terjadi kenaikan permukaan laut secara bertahap hingga menciptakan
bentuk aktua1 pu1au dan 1aut di Indonesia. Indonesia dan wi1ayahnya secara kese1uruhan
mempero1eh konfigurasinya yang sekarang di sekitar 4.000-5.000 tahun la1u.
Sebenamya, sejarah Nusantara baru benar-benar dimu1ai pada ka1a Ho1osen bertepatan
dengan iso1asi definitif daratan-daratan seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Bali.
Banyak terdapat hipotesis tentang iklim dan kaitannya dengan kepunahan sejum1ah
spesies serta perubahan pa1eogeografis (Ilustrasi 16) da1am periode antara 18.000 dan
6.000 tahun 1alu. Sebenamya pada awa1 Ho1osen, terdapat kepunahan mendadak dari beberapa
spesies di wi1ayah ini. Kasus yang du1u terkena1 ia1ah kepunahan trenggiling raksasa
(Pangolin) di Sarawak (Manis palaeojavanica) yang diburu oleh ke1ompok-ke1ompok yang
mendiami gua Niah pada sekitar 40.000 tahun 1a1u (Harrisson et al., 1961).
Sebuah pene1itian terhadap fauna Ho1osen di situs Gua Lawa di Jawa Timur te1ah
mengungkapkan hi1angnya gajah India (Elephas maximus), satu spesies kerbau (Bubalus sp.)
dan satu spesies macan tutu1 (Neofelis nebulosa) (Medway, 1972). Bagi sejum1ah besar
peneliti, kepunahan fauna-fauna tersebut merupakan akibat dari perubahan iklim dan
1ingkungan, terutama berkurangnya jum1ah tempat yang dapat dihuni (Medway, 1977;
Heaney, 1984).
1.4) Vulkanisme dan Tektonik
Kepu1auan Indonesia dan Fi1ipina merupakan dua kepu1auan utama yang membentuk
Asia vulkanis me1alui wujud barisan gunung berapi atau busur kepu1auan.
Gunung berapi sangat mendominasi pemandangan sejum1ah besar pulau di Asia
Tenggara kepu1auan dan menjadikan Indonesia sebagai wi1ayah aktifterbesar di dunia dengan
jum1ah gunung berapi terbanyak (sekitar 500), terutama di Pu1au Jawa dan Bali. Da1am ha1 ini,
Jawa ada1ah sebuah contoh unik dengan zona vu1kanis di tengah pu1au yang memanjang pada
arah timur-barat. Dari jumlah 33 gunung berapi yang terdapat di pu1au ini, 17 masih tetap aktif.
Rangkaian gunung berapi aktif yang me1intasi Indonesia mengikuti susunan sesaran
besar yang lebih kurang sejajar dengan 1empeng-1empeng tektonis. Rangkaian gunung berapi
ini berawal dari Sumatra bagian se1atan, memanjang ke Gunung Krakatau di Se1at Sunda dan
kemudian melintasi Jawa, Bali, Lombok, Sumba, Flores sebe1um menghi1ang di Laut Banda.
Rangkaian gunung berapi ini benar-benar terputus di Pu1au Seram dan Timor (tidak terdapat
tanda vulkanisme di Pu1au A10r dan Pu1au Wetar).
Se1ain itu di Nusantara, zona struktural Iain yang tergo1ong sangat kompleks, seperti
Sulawesi, memutuskan kesinambungan busur utama. Pu1au ini berada di luar busur dengan
posisi tegak lurus terhadap pu1au-pu1au rangkaian vu1kanis timur-barat yang disebutkan di atas.
Bentuknya yang ganji1, seperti empat jari panjang yang seo1ah-01ah ditarik dari suatu pusat
yang bergunung, je1as bertentangan dengan bentuk dan kesatuan pu1au-pu1au dari busur besar
utama (dari Sumatra hingga Timor). Bagian baratnya terdorong ke arah Kalïmantan, sementara bagian timur terlepas dari Papua sebe1um bersatu dengan dataran tinggi di tengah pu1au.
Tampaknya gerak sesaran aktifmeneruskan fragmentasi atau pembagian pu1au yang cenderung
menuju ke bentuk kepu1auan (Katili, 1978).Dengan melihat sepintas susunan dari rangkaian gunung berapi tersebut yang menjadikan
Nusantara sebagai salah satu tempat kegiatan vulkanis dan seismis tertinggi, kita akan lebih
mudah memahami peran yang dimainkan oleh kegiatan tektonis melalui proses pengangkatan,
pelipatan, dH. (Hamilton, 1988).
Indonesia terlibat dalam hubungan antara empat lempengan besar tektonis: Eurasia,
Filipina, Pasifik, dan Hindia-Australia. Pertemuan lempeng Eurasia dengan lempeng HindiaAustralia menimbulkan fenomena subduksi yang masih aktif, yang merupakan asal mula
pembentukan Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Dipandang sebagai wilayah yang
sangat tidak stabil, Indonesia menjadi salah satu tumpuan utama untuk penelitian mekanisme
pembentukan gunung di dunia (van Bemmelen, 1949; Katili, 1975; Saint-Marc et al., 1977).
2) PULAU JAWA DAN PEGUNUNGAN SELATAN
2.1) Morfologi Pulau Jawa
Pulau Jawa terletak tepat di selatan khatulistiwa antara 6° hingga 9° Lintang Selatan
serta 105° hingga 114° Bujur Timur. Jumlah penduduknya melebihi 120 juta orang, sedangkan
luas permukaannya mencapai 134.000 km2 .
Penyebab kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini adalah kesuburan tanah vulkanisnya
yang sejak dulu terus-menerus menarik banyak penduduk. Selain itu, warisan berabad-abad
berkaitan dengan indianisasi dan islamisasi juga turut berperan dalam perkembangan jumlah
penduduk. Pulau Jawa terletak sangat dekat dengan Bali dan berada pada deretan yang sama.
Di sebelah utara, Pulau Jawa dibatasi oleh Laut Jawa, di sebelah selatan oleh Samudera Hindia,
di sebelah timur oleh Selat Bali yang pendek dan di sebelah barat oleh Selat Sunda. Pulau Jawa,
yang memanjang pada arah timur-barat, membentang sepanjang 1.000 km dengan lebar antara
100-180 km.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa sejarah geologis Pulau
Jawa masih relatif muda, tersusun dari tanah zaman Tersier, zaman Kuarter, dan zaman
sekarang. Terdapat juga beberapa tanda pra-Tersier (van Bemmelen, 1949). Pembentukan
Pu1au Jawa dimulai pada periode ü1igosen dan Miosen melalui fase-fase orogenis yang
intensif. Namun, wujudnya yang sekarang terbentuk selama periode Plio-Plestosen. Strukturstruktur pulau ini terbentuk dari deretan perbukitan dan depresi (dataran rendah).
Berdasarkan poros utama barat-timur, pulau ini dapat dibagi dalam tiga lajur yang
sejajar: lajur utara yang dibatasi oleh pantai Laut Jawa dengan dataran rendah seperti dataran
rendah Jakarta dan perbukitan; lajur tengah yang bersifat vulkanis di mana terdapat barisan
tengah gunung berapi, dan lajur selatan yang dibatasi oleh Samudera Hindia, di mana timbul
sedimen-sedimen purba dari zaman Eosen, üligosen dan Miosen, beserta tufa berandesit,
breksi, ditambah batu gamping yang mengalami karstifikasi seperti yang terdapat di daerah
Gunung Sewu (Pacitan-Punung).
Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa dalam tujuh satuan fisiografis, yakni dari
selatan ke utara (llustrasi 17):
1. Pegunungan Selatan merupakan sebuah zona gamping dan vulkanis dari zaman
Miosen yang telah mengalami beberapa pengangkatan hingga zaman Kuarter.Pembahasan secara lebih terperinci mengenai formasi dan letak geografis akan
diuraikan pada bab berikut.
2. Zona vulkanis zaman Kuarter memiliki banyak gunung berapi dengan ketinggian
yang sering mencapai 2.000 m atau lebih dan beberapa di antaranya masih aktif.
3. Depresi tengah merupakan poros utama pulau di mana terbentuk dua depresi besar,
yaitu depresi Bandung di sebelah barat dan depresi Solo di sebelah timur. Pada
depresi Solo terdapat kubah Sangiran, situs terkenal tempat penemuan fosit-fosil
Pithecanthropus.
4. Zona antiklinal tengah, terdiri atas endapan-endapan zaman Mio-Plestosen dengan
perbukitan Kendeng yang memanjang dari barat ke timur.
5. Depresi Randublatung, di kaki perbukitan Kendeng, yang terbentuk dari endapanendapan laut dan daratan dari periode Mio-Plestosen.
6. Antiklinorium Rembang-Madura yang merupakan sebuah formasi pegunungan
gamping dari zaman Miosen.
7. Dataran-dataran rendah aluvial yang berbentuk delta dan merupakan unsur utama
pemandangan di pesisir utara pulaunya.
6Pegunungan Selatan
Pegunungan Selatan terletak di tepi Samudera Hindia dan merupakan salah satu dari
tujuh pembagian fisiografis Pulau Jawa yang baru dibahas di atas. Di wilayah batu gamping
Pegunungan Se1atan, dengan panjang sekitar 300 km, terdapat daerah yang dinamai Gunung
Seribu (Gunung Sewu dalam bahasa Jawa) di mana terletak desa Punung, tidak jauh dari kota
Pacitan (I1ustrasi 18).
Sejak akhir abad ke- J9 dan sepanjang pennulaan abad ke-20, daerah terpencil ini telah
menarik perhatian para peneliti Belanda karena tampak seperti sebuah keanehan geologis,
sebuah "enklave bergamping" dalam kesatuan strukturaJ yang terutama vulkanis.
Pada tahun 30-an, ekspedisi-ekspedisi geologi dan arkeo1ogi telah menemukan artefakartefak paleolitik pet1ama yang dinamai Pacitanian di Sungaî Baksoko dekat Punung (von
Koenigswald, 1936). Sejak masa itu, daerah yang kaya akan bahan baku dan batu yang
dipangkas ini mu1ai giat disurvei sehingga dapat disusun tipologi awal alat-a1at besar hasil
pengumpulan di permukaan, contohnya tipologi van Heekeren (1941).
Pesona IImiah Pegunungan Selatan
Penelitian-pene1itian yang selama ini berlangsung di Pegunungan Selatan berlatar
belakang pada potensi yang dimiliki wilayah ini. Potensi tersebut te1ah menarik perhatian
berbagai peneliti pada awal abad ke-20, antara Iain: _
- Pegunungan Selatan terkenal karena kaya akan situs prasejarah dan temuan litik di
permukaan dari segala zaman. Di daerah itu dapat ditemukan artefak masif dari
Pacitanian (di Sungai Baksoko misalnya), artefak yang kelihatan lebih barn seperti
lancipan panah berdasar cekung, atau bahkan artefak-artefak khas neolitik seperti
beliung dan pecahan tembikar;
- daerah ini terkena1 dengan kekayaan fauna purba. Sejumlah besar penemuan
dihasilkan dari retakan karst Punung (Badoux, 1959);
- Dari sudut pandang geomorfologis, daerah ini dianggap luar biasa karena
menampilkan puluhan ribu bukit-bukit karst yang memiliki gua-gua dengan
kandungan sedimentasi yang besar. Bahkan pada tahun 30-an Escher telah
mengemukakan ada 40.000 gua di daerah ini (Bartstra, 1976).
2.2.2 Selintas Tentang Geografi Gunung Sewu
Sementara daerah peslslr utara Jawa ditandai oleh dataran aluvia1 tanpa terputus,
pesisir selatan ditandai oleh susunan perbukitan yang menghadap ke Samudera Hindia. Daerah
gamping ini terdiri atas bukit-bukit kecil yang terpisah satu sama Iain sehingga dapat
dibedakan dengan mudah dari formasi-formasi relief fisik yang Iain di Jawa.
Pegunungan Gunung Sewu dikelilingi jaringan hidrografis besar dan membentang
berbentuk jalur sempit dengan panjang lebih kurang 100 km dan lebar lebih kurang 30 km, di
antara Sungai Opak dan Teluk Pacitan. Luas permukaan Gunung Sewu diperkirakan hampir
1.300 km2.
Gunung Sewu terletak di luar sumbu barisan vulkanis Jawa yang memanjang pada arah
timur-barat, berbatasan dengan pantai Samudera Hindia. Pegunungan tersebut dikelilingi
dataran aluvial dan barisan pegunungan yang ketinggiannya tidak me1ebihi 800 m, contohnya
(Bartstra, 1976) (Ilustrasi 19):
- sebelah timur, dekat Sungai Opak, dataran aluvia1 Yogyakarta;
- sebelah utara, dataran rendah Wonosari dan Baturetno. Keduanya terpisah oleh
barisan Gunung Panggung (setinggi 790 meter). Dari dataran Baturetno terlihat
barisan Gunung Popok di utara;
- masih di utara, sebelah barat dataran Wonosari terdapat barisan Gunung Sudimoro
diikuti barisan Gunung Baturagung yang membentuk suatu kesatuan yang dinamakan
Gunung Kidul. Ujung utara barisan Gunung Kidul berada di pinggir depresi Solo.
Formasi Gunung Sewu
Gunung Sewu yang terbentuk oleh batu gamping koral telah mengalami pengangkatan
secara berturut-turut sejak kala Miosen dari Wonosari di barat sampai Pacitan di timur.
Pengangkatan-pengangkatan terakhir berlangsung pada kala Plestosen tengah.
Banyak peneliti yang tertarik dengan asal mula formasi bukit-bukit tersebut
(Lehmann, 1936; van Bemmelen, 1949; Sartono, 1964) (Ilustrasi 20). Sebenarnya hasil
penelitian mengenai foraminifera menunjukkan bahwa morfogenesis barisan Gunung Sewu
bermula pada kala Miosen, di atas struktur yang lebih tua yang terdiri atas unsUf-unsur
vulkanis (van Bemmelen, 1949).
Oleh karena itu, pembentukan Gunung Sewu disebabkan oleh proses mekanis yang
bersifat epirogenis dan fisika-kimia yang berkaitan dengan erosi. Proses pengikisan
(Ilustrasi 21) ini telah berlangsung sejak awal kala Kuarter (Lehmann, 1936).
Proses erosi dan cekungan lembah-Iembah kecil, doline, dU., tampaknya dimulai
dengan pembentukan sungai-sungai yang sangat tua, seperti Sungai Opak-Oyo sebelah timur
dan Sungai Baksoko sebelah barat (Bartstra, 1976).
Proses karstifikasi mungkin berlangsung cukup dini dan mencapai aspeknya yang
sekarang di kala Plestosen tengah. Hipotesis ini dikemukakan setelah penemuan sisa-sisa
vertebrata (fauna Trinil) di retakan-retakan karst Punung (von Koenigswald, 1939; de Terra,
1943; Bartstra, 1976).
Bukit-bukit yang sangat terkikis ini menyebabkan terbentuknya beragam retakan, ceruk
dan gua yang di dalamnya ditemukan banyak tulang-belulang dan artefak. Situs Song Keplek
merupakan salah satu contoh yang luar biasa bila dipandang dari isiannya serta
kekayaan artefak litik dan tulangnya.
2.2.4 Fauna yang Ditemukan Bersama Dengan Manusia Modern Jawa
Dalam hal penelitian paleontologis, belum ada satupun urutan biostratigrafis yang jelas
untuk kala Plestosen atas atau Holosen. Sebenamya kita memiliki lebih banyak data untukmembuat urutan fauna purba yang dihubungkan dengan Homo erectus (de Vos et al., 1982;
Sondaar, 1984).
Pada saat ini, berkenaan dengan manusia modem, belum ada situs acuan dengan stratigrafi yang panjang dan penarikhan yang jelas. Data-data paleontologis yang dapat menjadi
tumpuan kita berasal dari koleksi-koleksi tanpa acuan stratigrafis dan bahkan tanpa lokasi
geografis yang jelas. Meskipun demikian, koleksi tersebut berjasa dalam membedakan dua
kelompok fauna bagi manusia modem yang sangat khas: kelompok pertama merupakan fauna
yang disebut fauna Punung untuk zaman Plestosen atas dan kelompok kedua adalah Wajak
untuk Holosen (Dubois, 1922; de Vos et al., 1993).
Fauna Punung atau Fauna Plestosen atas
Ditemukan bersama dengan beberapa gigi manusia, Fauna Punung tidak memiliki nilai
biostratigrafis karena ditemukan pada rekahan-rekahan karst sekitar desa Punung (Badoux,
1959; de Vos et al., 1993). Meskipun demikian, fauna tersebut menunjukkan keanekaragaman
spesies fauna pada akhir kala Plestosen atas, seperti: gajah (Elephas maximus dan Elephas
namadicus), orang utan (Pongo pygmaeus), siamang (Hylobates syndactylus), macan
(Panthera tigris), beruang (Ursus Malayanus), badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), tapir
(Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus barbattus dan Sus vittatus),
landak (Acanthion brachyurnus), Cervidae (Bubalus sp.), Bovidae (Bibos sp.).
1. de Vos berpendapat bahwa fauna-fauna tersebut identik dengan fauna-fauna
yang ditemukan di beberapa pulau Iain seperti Sumatra atau Bomeo. Oleh karena itu, ia
menyimpulkan bahwa pada periode tersebut Paparan Sunda terbentuk oleh penurunan
permukaan laut. Dengan demikian Fauna Punung agaknya berasal dari Asia Daratan. Hal ini
menjelaskan keberadaan sebuah jembatan yang menghubungkan Jawa dan Asia Daratan, jauh
sebelum transgresi laut yang terjadi sekitar 12.000 tahun yang lalu (Long et al., 1996).
Hipotesis ini diperkuat oleh kenyataan bahwa banyak mamalia, termasuk primata yang
tergolong dalam Fauna Punung, tercantum dalam daftar fauna di banyak situs Asia Tenggara
Daratan, seperti di Vietnam dan di Cina Selatan. Keberadaan Pongo dan Hylobates dalam unit
fauna ini mengindikasikan keberadaan hutan tropis lembab yang kelihatannya cenderung
menghilang pada awal kala Holosen sewaktu terjadi transgresi laut (Long et al., 1996).
Walaupun tidak termasuk dalam daerah Pegunungan Selatan dan walaupun stratigrafi
dan kronologi sisa-sisa tulangnya tidakjelas, situs Gua Lawa (Sampung, Jawa Timur) menarik
untuk djjadikan bahan perbandingan. Di situs tersebut para peneliti telah mengidentifikasi
fauna khas Plestosen atas seperti yang terlihat dalam koleksi-koleksi Punung (van Es,
1929; van Heekeren, 1972). Mayoritas fauna tersebut terdiri atas gajah (Elephas maximus
sumatranus), badak, kerbau, macan tutul (Neofelis nebulosa), rusa (Cervus eldi), babi (sus
vittatus), berang-berang dan landak.
Fauna Wajak
Dalam pandangan para ahli, kala Holosen menandai awal perubahan iklim dan
lingkungan yang luar biasa. Perubahan itu semestinya sejajar dengan perubahan fauna dan
munculnya kelompok yang disebut Fauna Wajak (de Vos et al., 1993). 01eh karena kurangnya
data-data stratigrafis dan penarikhan absolut, maka semua data tentang fauna ini masih
bersifat hipotesis.Fauna Wajak berbeda dari fauna sebelumnya, dicirikan oleh hilangnya beberapa
spesies, seperti primata. Kondisi ini menguatkan sejumlah fakta dan kesimpulan mengenai
perubahan lingkungan seperti yang telah dipaparkan di atas. Memang tidak ditemukan orang
utan dan siamang, melainkan spesies-spesies seperti Macaca sp. yang merupakan spesies khas
hutan terbuka. Baik orang utan maupun siamang hingga sekarang masih terdapat di
hutan-hutan Sumatra dan Kalimantan. Hal itu nampaknya semakin memperkuat hipotesis
paleogeografis 1. de Vos dan Long tentang se1eksi fauna akibat transgresi laut yang
berlangsung secara bertahap, di mana Jawa pertama-tama terisolasi, tetapi masih menyisakan
jembatan darat antara Sumatra dan Kalimantan. Lalu, sekitar 4.000-5.000 tahun yang lalu,
kedua pulau tersebut terpisah secara keseluruhan dan mengalami perkembangan dalam
lingkungan tertutup dengan peningkatan kadar jumlah endemisme yang tidak merata. .
Untuk periode kala Holosen ("Mesolitik"), J. de Vos mencatat, dalam Fauna Wajak,
sejumlah spesies baru dan beberapa spesies Iain yang sudah dikenal dalam Fauna Punung
(de Vos, 1993) seperti: kera macaca (Presbytis sp.), macan (Panthera tigris), badak
Jawa (Rhinoceros sondaicus), tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Cervidae
(Cervus timorensis), babi hutan (Sus vitta/us), landak (Acanthion Brachyurnus), tikus (Rattus
tiomanicus), atau juga tupai (Sciurus notatus).
Meskipun demikian, semua data tersebut telah membuka lahan pemikiran yang penting,
yaitu peralihan Plestosen-Holosen dengan perubahan paleogeografis dan paleoekologis yang
berdampak pada kehidupan manusia dan hewan.
Da1am hal itu, Fauna Punung jelas ke1ihatan berbeda dari Fauna Wajak dan untuk sementara ini, usianya dianggap lebih tua. Sepengetahuan kami, di Jawa Timur belum ditemukan situs
dengan lapisan-Iapisan Plestosen atas yang kaya akan fauna dan yang pantas dijadikan
perbandingan dengan daftar spesies yang tergolong dalam fauna yang disebut Fauna Punung.
Daerah Punung kaya dengan situs dari kala Holosen, contohnya situs Song Keplek yang
berumur antara 8.000 dan 5.000 tahun. Situs ini tentu saja dapat dianggap mengandung temuan
fauna yang mirip dengan Fauna Wajak.
Pada umumnya, penelitian paleontologis dan arkeozoologis masih sangat kurang untuk
periode-periode terakhir yang menarik perhatian kami di Pulau Jawa. Penelitian tersebut
semestinya ditonjolkan guna menghadirkan sebuah kerangka paleoekologis bagi analisis kami
tentang alat-alat batu yang dipangkas.
3) SITUS SONG KEPLEK
3.1) Keadaan Geografis dan Sejarah Singkat
Song Keplek terletak pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut, di lereng salah satu
bukit karst Gunung Sewu (llustrasi 22). Gua ini berada sekitar 20 meter di atas sebuah aliran
sungai yang berbelok-belok da1am jaringan karst (Kali Punung) tempat ditemukannya rijang
(Ilustrasi 23). Gua yang terletak sekitar 5 km dari desa Punung ke arah Baturetno ini
merupakan salah satu dari tiga puluh situs yang sampai saat ini terdaftar pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia (Ilustrasi 24). Gua Song Keplek berukuran
tinggi 7 m, lebar 24 m, dan panjang 15 m. Bongkahan-bongkahan yang merupakan runtuhan
atap gua memenuhi bagian dalam dan sebagian depan gua. Keberadaan bongkahan-bongkahanPada tahun 1992, sebuah penelitian yang dipimpin oleh T. Simanjuntak telah berhasil
mengumpulkan sekitar 13 kg batu rijang dan sejumlah alat pangkasan yang sebagian besar
aspeknya cenderung mengarah pada "paleolitik" daripada neolitik.
Dari jumlah besar alat-alat litik dan sisa tulang yang dikumpulkan dari permukaan dan
dari adanya lapisan-lapisan yang tidak terganggu, yang kaya akan tinggalan, dapat diduga tentang
keberadaan aktivitas manusia masa lampau di gua ini. Pada tahun yang sama, penggalian awal di
permukaan seluas 12 m2 dilakukan oleh T. Simanjuntak dan tirnnya. Lebih dari dua per tiga
artefak yang telah kami teliti berasal dari hasil penelitian tahun 1992, dan hal ini merupakan
sebagian besar dari jumlah keseluruhan temuan (14.539 di antaranya merupakan sisa-sisa litik).
Area Ekskavasi, Stratigrafi dan Penarikhan
Ekskavasi Song Keplek
Metode ekskavasi yang dilaksanakan di Song Keplek menerapkan strategi penggalian
yang dirancang menurut metode-metode arkeologi prasejarah modem untuk memberi
kerangka stratigrafi yang jelas. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah hunian manusia
modem (atau yang lebih tua) di Jawa Timur melalui kerja sama berbagai disiplin ilmu.
Ekskavasi dilakukan secara horizontal dengan pengukuran dalam tiga dimensi untuk
setiap artefak atau benda-benda Iain (batu, batu terbakar, bekas api, dll.). Teknik semacam ini
penting untuk penelitian lebih lanjut tentang tata ruang. Melalui ekskavasi diperoleh data
mengenai unsur-unsur budaya materii1. Ekskavasi juga membantu memecah~an masalahmasalah yang khas dalam penelitian gua, seperti sejarah pengisian gua, geokimia, dll., yang
masih sangat sedikit kita ketahui.
Ekskavasi ini direncanakan sejak tahun 1992 dengan satu atau dua penelitian di lapangan setiap tahun di bawah arahan ilmiah T. Simanjuntak. Lahan seluas 12 m2 telah digali di tiga
tempat yang terpisah (kotak F8, D3, B6). Hasilnya berupa artefak litik dalam jumlah ribuan,
yang menjadi dasar analisis yang akan dipaparkan pada Bab IV (Ilustrasi 25). Di samping itu,
ditemukan juga sejumlah kerangka manusia (Simanjuntak et al., 2004).
Stratigrafi, Penarikhan Absolut dan Kronologi Budaya
Ketebalan sedimen isian gua di Song Keplek mencapai sekitar 3 meter. Seratus lima
puluh sentimeter pertama merupakan lapisan arkeologi, yang besar kemungkinannya terdiri
atas beberapa fase hunian yang mencakup masa antara sekitar 8.000-4.500 tahun yang lalu.
Tampaknya pengisian Song Keplek merupakan proses sedimentasi karst yang klasik,
seperti yang ditemukan di tempat-tempat Iain di dunia. Hal ini terutama dicirikan oleh
keberadaan sedimen-sedimen berbutir halus, seperti pasir, debu dan lempung yang merupakan
kekhasan aktivitas karst. Runtuhan atap yang berupa bongkahan-bongkahan gamping pada
permukaan di ujung dalam gua, memotong urutan isiannya dengan sedikit kemiringan.
Reruntuhan itu bisa jadi merupakan dampak dari perubahan iklim yang disertai gempa bumi,
yang terjadi pada awal kala Holosen.
Satuan-satuan sedimen yang berikut telah diidentifikasi oleh T. Simanjuntak (Simanjuntak
et al., 2004) (Ilustrasi 26):
- Lapisan 1 A: lapisan berdebu dengan permukaan yang teraduk, kaya akan temuan
arkeologis.
- Lapisan 1 B: lapisan dengan batu yang posisinya tidak teraduk (coklat-kuning).
Lapisan ini tampaknya merupakan lapisan arkeologi terakhir dari lapisan 2 yang kompak.
- Lapisan 2: lapisan dengan ketebalan sekitar 60 cm ini (hingga Z = 100) lebih
berlempung jika dibandingkan dengan lapisan sebelumnya. Lapisan ini adalah lapisan
yang paling kaya dan paling padat akan artefak. Lapisan setebal enam puluh sentimeter
ini tampak seperti rangkaian lapisan-Iapisan yang berisi artefak litik, artefak tulang
dan bekas api yang semuanya bercampur aduk dalam tanah yang mengandung
lempung dan lanau berwama kuning-oranye.
Sebagai hipotesis, kami berpendapat bahwa satuan ini justru dapat menjadi contoh
dari konsep "palimpseste" (akumu1asi 1apisan-1apisan budaya yang bercampur satu
sama Iain hingga keteba1an sekitar pu1uhan cm) da1am arkeo1ogi prasejarah, da1am arti
bahwa kita sedang mengamati sebuah kurun waktu yang sampai saat ini hanya
bersifat sedimento1ogis (dianggap sebagai sebuah kesatuan), namun pasti merupakan
hasi1 dari beberapa fase hunian (Bordes, 1970; Geneste, 1985). Hanya profil-profil
temuan arkeo1ogis yang dapat menjawab soa1 ini di masa depan. Pada dasar 1apisan 2
ini terdapat bongkahan-bongkahan gamping. Pada Z = 60 (keda1aman 60 cm), arang
yang ditarikhkan menggunakan C14 berusia 4.510 tahun (± 90 tahun).
- Lapisan 3: dari Z = 100 hingga 150 memperlihatkan sebuah 1apisan yang berbeda dari
1apisan 2. Lapisan ini kurang kaya akan sisa-sisa litik dan tu1ang dibandingkan 1apisan
sebe1umnya dan juga kurang berlanau tetapi 1ebih berlempung. Kami mencatat
keberadaan bongkahan-bongkahan pada 1apisan ini. Pada Z = 130, arang yang
ditarikhkan menggunakan C14 berusia 6.466 tahun (± 142 tahun).
- Lapisan 4: masih berupa 1empung dan 1anau, namun sedikit 1ebih berlempung
dibandingkan 1apisan 3. Lapisan ini memuat banyak bongkahan gamping yang tidak
menga1ami dekarbonasi. Kemiringannya mungkin dapat dihubungkan dengan
kemiringan runtuhan permukaan yang terletak di ujung da1am gua. Bongkahan-bongkahan tersebut secara kese1uruhan da1am kondisi bagus, tanpa jejak a1iran air maupun
1aminasi karbonat seperti pada 1apisan 5 di bawahnya. Pada Z = 190, arang yang
ditarikhkan menggunakan C14 berusia 8.230 tahun (± 220 tahun).
- Lapisan 5: tanah padat yang sangat berlempung dan hampir tanpajejak 1anau (wama
merah jingga). Pada 1apisan ini terdapat banyak 1aminasi karbonat dan bongkahanbongkahan keci1 yang tidak mengandung karbonat (hadimya jejak-jejak bentuk batu).
Tentunya 1apisan ini berada da1am sebuah fase perembesan yang sangat kuat. Garis
panjang jelas menandakan permu1aan dari pembentukan sta1agmit. Lapisan 5 ini tidak
menghasi1kan temuan arkeo1ogis, tampaknya sezaman atau hampir sezaman dengan
fase-fase awa1 runtuhan.
Semua temuan litik yang menjadi obyek pene1itian kami merupakan temuan ekskavasi
dari tahun 1992-1995. Temuan ini berasa1 dari 1apisan 1 dan 2 (hampir 80% dari jum1ah
kese1uruhan temuan yang diteliti) hingga sekitar dua pertiga 1apisan 3. Lapisan terakhir ini
dicirikan dengan berkurangnya artefak.
Temuan-temuan yang diteliti di sini berasa1 dari keteba1an sekitar 1 meter, yakni dari
Z = 30 hingga Z = 130, dengan kata Iain mencakup kurun waktu sekitar 4.500 - 6.000 tahun
yang 1a1u. Tetapi 1apisan hunian berlanjut sampai 1apisan 5, yaitu sekitar 24.000 tahun yang 1a1u
(Simanjuntak et al., 2004, h1m. 107).
3.3) Penemuan-Penemuan Paleontologis dan Arkeologis
Sisa-sisa manusia (Homo sapiens sapiens) yang ditemukan mencerminkan karakter
k1asik manusia Mongo1oid (Widianto, 1993; Détroit, 2002). Sisa manusia yang ditemukan
antara Iain fragmen parietal dan temporal tengkorak, tu1ang pelipis dan sejum1ah besar gigi.
Penelitian fauna yang di1akukan oleh Rokhus Due Awe berhasi1 mengungkapkan
seke1ompok hewan yang susunannya mendekati Fauna Wajak. Hewan-hewan tersebut
terutama berupa: Bovidae, Suidae, Elephantidae, Chelonidae (kura-kura 1aut), Testudinidae(kura-kura darat), Cypraediae (gastropoda, lingkungan air laut), Pelidae (gastropoda,
lingkungan air tawar).Temuan industri alat-alat litik merupakan tinggalan arkeologis terbanyak yang pernah
ditemukan dalam penelitian tahun 1992 dan 1995 dengan hampir 15.000 temuan dari batu
rijang (14.539 buah). Temuan ini akan diteliti dalam bab IV.Patut diamati juga keberadaan industri tulang yang sangat menarik, terdiri atas jarum,
sudip, (dari sisa-sisa Bovidae dan Elephantidae) dan tulang-tulang berukuran besar yang
dipecah dengan tanda-tanda penggunaan dan sebagian diretus (Ilustrasi 27). Bersama dengan
artefak tersebut juga terdapat sejumlah perhiasan (cangkang berlubang, manik-manik, dl!.).Artefak-artefak tulang tersebut belum dianalisis dan hanya dipaparkan secara singkat
dalam bentuk gambar, namun tetap merupakan sekelompok temuan arkeologis yang
memerlukan analisis tipologis guna mengungkap kemungkinan keberadaan fosil pemandu.Sebagian besar pengetahuan mengenai penghunian Indonesia dan keanekaragaman
pera1atan 1itiknya didasarkan pada data yang dikumpu1kan dari forrnasi geo1ogi ka1a Kuarter.
Hasi1 yang diperoleh para pene1iti Kuarter terutama menyangkut penghunian purba, seperti
Homo erectus, untuk sementara hanya dibatasi pada popu1asi mereka di Pu1au Jawa kurang
1ebih sejuta tahun 1a1u (F. Sémah, 1982 dan 1986; Sémah et al., 1992, 1993 dan 2003).
Pene1itian terhadap persebaran Homo sapiens sapiens dan budaya materii1nya bagaimanapun
juga 1ebih dapat dipercaya, mengingat banyaknya jum1ah situs dan akuratnya metode
penarikhan C-14 pada 1apisan-1apisan dari masa sesudah 40.000 yang 1a1u. Periode ini
menarik perhatian untuk diteliti dari sudut analisis tekno1ogis.
Sejak tahun 70-an, beberapa kajian perintis te1ah menyinggung pentingnya di1akukan ana1isis
tekno1ogis untuk menerangkan secara 1ebih baik industri 1itik pada akhir ka1a P1estosen dan
ka1a Ho1osen:
"Unfortunately, there is little detailed information on the Upper Pleistocene industries ofIndonesia
and il is not completely clear whether Levallois techniques were used in Indonesia during this period.
(..) Alternatively an Indonesian origin for these techniques is possible by means ofdiffusion from the
Toalian or other Indonesian industries ofHolocene age, or from one of the Indonesian Pleistocene
industries" (Dortch dan Bordes, 1977, h1m. 17).
Periode empat pu1uh ribu tahun terakhir dari arkeo1ogi Indonesia masih kurang begitu
diketahui. 01eh karena itu, pene1itian kami tentang budaya prasejarah manusia modem,
khususnya pada awa1 masa Ho1osen, akan berusaha memperkaya masa itu.
Da1am sudut pandang tersebut, studi pera1atan menjadi kebutuhan i1miah yang pa1ing
mendasar untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti: artefak-artefak apakah yang dapat
ditemukan pada sekitar 8.000-5.000 tahun yang la1u sebe1um zaman Neolitik?Dalam hal peralatan, ketika membicarakan situs-situs kala Holosen di Jawa
Timur khususnya, atau Indonesia umumnya, kita tidak bisa secara pasti menggambarkan
keberadaan suatu tekno-kompleks yang khas. Seperti halnya situs-situs tertentu yang
membentuk "pemandangan budaya" kala Holosen Indonesia seperti Gua Lawa dan
Sampungian (lancipan berdasar cekung), Vlu Leang dan Toalian (lancipan Maros) atau juga
Leang Burung 2 dan sebuah varian metode Levallois, dll.
Pada saat ini, melihat situs-situs yang digali dengan kedalaman stratigrafinya yang
terbatas, "evolusi filetis" (urutan kronologi dan kaitan antar-industri) industri-industri tampak
sekali sukar diharapkan untuk Indonesia. Secara garis besar, tidak terlihat adanya deretan
tekno-kompleks yang berbeda, yang berubah secara bertahap sepanjang zaman, seperti
misalnya urutan berikut ini: kapak perimbas, serpih-serpih besar, serpih-serpih yang lebih
canggih, bilah, dll., sampai batu yang diupam.
Apakah "Mesolitik Indonesia" memang demikian adanya atau temyata turunan dari Mesolitik
Eropa?
Menurut hemat kami, penggunaan istilah umum tersebut, yang dipakai untuk
mewakili suatu tahap budaya di semua situs di Indonesia, harus dipertanyakan. Terlebih-lebih
jika istilah tersebut diterapkan sebagai satuan budaya untuk Indonesia dan bagian Asia
Tenggara lainnya untuk kurun waktu 10.000-5.000 tahun yang lalu (van Heekeren, 1972;
Glover, 1973; Hutterer, 1976; Soejono, 1982; Bellwood, 1997; Simanjuntak, 1995;
Forestier, 1999).
Memilih salah satu tahap budaya Eropa berarti mencocokkan sebuah model kontinental
yang berciri linear, bertahap dan pertalian dengan alat-alat batu yang dipangkas.
Penggunaan istilah "Mesolitik" untuk Indonesia dapat didasarkan pada mata panah
seperti yang ditemukan pada tahun 70-an oleh 1. Glover di Ulu Leang, Sulawesi (Glover, 1976,
1977, 1978a). Artefak batu ini baru diteliti dari sudut pandang tipologisnya saja dan 1. Glover
berusaha untuk menonjolkan sebuah fosil pemandu, yaitu "lancipan Maros",
Seperti halnya Sulawesi, Pulau Jawa juga telah menyumbangkan banyak himpunan
artefak litik dari masa antara 10.000 dan 5.000 tahun yang lalu tanpa acuan stratigrafis dan
kronologis. Contohnya penemuan-penemuan yang dilakukan ketika ekskavasi di situs eponim
Sampungian, yakni Gua Lawa (van Es, 1929; Hooijer, 1969; Heekeren, 1972). Jika artefak
paling bagus saja yang diperhatikan, maka himpunan litik Sampungian dapat didefinisikan
sebagai suatu industri mata panah berdasar cekung.
Argumen itu juga telah menjadi acuan untuk secara menyeluruh mencirikan peralatan
dari awal kala Holosen di Jawa Timur dan untuk memberikan sifat yang terkesan homogen
dengan lancipan-lancipan Toalian dari Sulawesi.
Identifikasi metode dan teknik pemangkasan lancipan panah Toalian telah menghadirkan
berbagai pendapat: kadang ada yang menyatakan bahwa lancipan tersebut hasil pemangkasan
bilah dan bilah kecil, kadang sebagai hasil pemangkasan serpihan (Glover, 1977; Bellwood,
1985). Berkenaan dengan beberapa seri artefak dari zaman tersebut, sejumlah peneliti,
terrnasuk R. Fox, menyatakan telah menemukan adanya teknik pemangkasan bilah (laminer),
alat-alat pisau bersisi sejajar yang ditemukan bersama dengan batu inti berbentuk silinder atau
mengerucut (Fox, 1970; Bellwood, 1997; Glover dan Presland, 1985).
Analisis teknologis memungkinkan kita untuk menemukan teknik bilah apakah yang
terdapat di Asia Tenggara. Dalam konteks ini, kami hanya sekedar mengingatkan kembali
bahwa teknik bilah adalah sebuah konsep teknologis yang meyakinkan dan dikenal baik
dewasa ini. Bahkan beberapa ahli prasejarah mengunakan istilah "fenomena bilah", sepertiyang didefinisikan 1. Tixier pada tahun 1984 sebagai sebuah ''fakta ilmiah yang tak terbantahkan"
yang didasarkan pada persiapan batu inti khusus dengan metode dan teknik khas yang bertujuan
untuk menghasilkan bilah dalam jumlah yang banyak (Tixier, 1984).
Sepengetahuan kami, berkenaan dengan lapisan dari kala Holosen, belum ada kegiatan
penelitian yang menggunakan analisis teknologis yang ketat, bahkan yang menyangkut
analisis tipologis artefak litik atau peralatan Iain seperti tulang, cangkang kerang, dU.
Industri-industri Holosen Indonesia pada akhimya digabungkan ke dalam tiga kelompok
dengan menggunakan istilah yang samar "Flakes and Blades Technocomplex" (BeUwood, 1997).
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan ciri himpunan industri periode tersebut.
Sementara sasaran penelitian adalah artefak litik situs Song Keplek, Jawa Timur, karena
tinggalan-tinggalan pemangkasan berasal dari suatu konteks stratigrafis yang jelas dan
memiliki penarikhan jelas. Hal seperti ini sangat jarang terjadi pada keseluruhan industri
periode tersebut.
1.2) Sasaran yang Hendak Dicapai Dalam Penelitian Ini
Sudah jelas bahwa sejumlah kelompok pemburu-pengumpul makanan tingkat lanjut
dari kala Holosen telah mendiami pulau-pulau utama di Nusantara seperti Jawa, Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi. Mereka menempati gua-gua dan ceruk pada lembah-Iembah yang
dalam (Heekeren, 1972; Soejono, 1982 ; Simanjuntak, 1994 dan 1995).
Kronologi masa prasejarah Indonesia yang baru tentu akan menarik perhatian kami
karena banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Pertanyaan pertama yang diajukan
berkisar pada jenis budaya materiil Holosen apakah yang menandakan peralihan antara cara
hidup berburu dan mengumpulkan makanan dan cara hidup bercocok tanam? Pertanyaan
berikutnya adalah:
- Tipe-tipe alat apa sajakah yang dibuat dan dalam tipe support (bentuk dasar) apakah
alat-alat tersebut dibuat (bilah, serpih, serpih berbentuk bilah, dU.)?
- Metode dan teknik apa saja yang digunakan dalam pembuatan alat-alat tersebut?
- Di mana letak himpunan alat tersebut dalam stratigrafi dibandingkan dengan fasefase penghunian Iain?
- Apakah himpunan alat tersebut mewakili lapisan-Iapisan budaya Iain dari masa yang
sama di Jawa atau di pulau-pulau lainnya?
- Apakah himpunan temuan tersebut merupakan faktor peralihan antara dua cara
hidup, yaitu peralihan dari cara hidup berburu dan pengumpul makanan ke cara hidup
bercocok tanam neolitik?
- Apakah himpunan temuan tersebut memiliki pertalian teknologis dan tipologis
dengan lapisan-Iapisan yang lebih tua?
- Apakah ada perubahan bentuk-bentuk peralatan dan teknologi litik di Indonesia
antara 40.000 dan 5.000 tahun lalu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan memandu penelitian kami dan melandasi permasalahan
umum tentang ciri-ciri dasar tipologi dan teknologi yang dijumpai pada sebuah kelompok
pemburu dari awal kala Holosen di Jawa.
Sekarang kami memulai dari "nol" tanpa memikirkan ada tidaknya fasies budaya,
melainkan dengan memikirkan suatu kurun waktu di mana kami berusaha merekonstruksisebuah tipologi dengan menerapkan langkah-langkah teknologis, sambil menolak memberikan
definisi yang tidak berarti pada himpunan industri.
Tujuan kami adalah menjadikan koleksi litik Song Keplek sebagai mata rantai yang kuat untuk
memahami kerangka kronologis di tingkat Jawa, Indonesia dan Prasejarah Asia Tenggara.
Tujuan khusus dari analisis litik adalah mengidentifikasikan data-data tipo-teknologis dengan:
- berdasarkan teknologi, memahami strategi-strategi pembuatan alat-alat litik dengan
merekonstruksi rangkaian operasional (chaîne opératoire) (Ilustrasi 28) dan sekaligus
juga penataan produksi litik (Tixier, 1978; Geneste, 1985; Perlès, 1987; Boëda, 1994
dan 1997; Pelegrin, 1995);
- "merekonstruksi" sebuah tipologi dengan tidak menggunakan tipologi yang sudah
dikenal (Gardin, 1979; Perlès, 1987). Kami akan menganalisis artefak-artefak yang
diretus dengan menggunakan metode deskripsi untuk membantu mengidentifikasi
unsUf-unsur penting dalam setiap support alat, yang merupakan kekhasan tipologis
himpunan alat. Kami akan mencari unsur-unsur yang tetap dan mendasar pada artefak
yang diretus tanpa terpengaruh oleh kerangka berpikir yang menggunakan normanorma budaya Eropa.
Kami akan memaparkan suatu analisis tipo-teknologis yang homogen dengan maksud
memberikan keterangan tentang sarana-sarana yang digunakan dalam pemangkasan batu oleh
manusia prasejarah di situs Pegunungan Selatan.
Data-data dalam buku ini akan menjadi informasi dasar bagi penelitian-penelitian di masa
mendatang, dan mungkin dapat mengkritik hasil-hasil penelitian kami dengan menjelaskan
keterbatasan-keterbatasannya (geografis, metodologis, dB.).
Tujuan kami dalam analisis artefak litik ini ialah menjawab sebuah pertanyaan yang pada
dasamya bersifat teknis, namun yang secara implisit terkait dengan budaya.
2) METODOLOGI
2.1) Pendahuluan
Seperti yang telah disinggung dalam sasaran penelitian, analisis artefak akan dilakukan
menurut dua pendekatan utama yang memfokuskan pada morfologi support. Pendekatan
tersebut adalah pendekatan teknologis dan tipologis.
Pendekatan pertama bertipe dinamis dan lebih bersifat kausal. Pendekatan ini
menggambarkan dan menjelaskan fakta-fakta arkeologis dengan menetapkan aturan-aturan
kesimpulan, hasil dialog antara pembacaan dinamis artefak dan hasil-hasil eksperimen.
Pendekatan kedua lebih sistematis, berorientasi pada deskripsi dan klasifikasi serta
lebih menggunakan penggolongan, penghitungan, dan pengukuran alat-alat batu.
Sebelum membahas metode analisis, kami akan memaparkan beberapa pengamatan
tentang langkah-langkah yang dipakai dalam analisis artefak litik. Kami merasa penting
sekali untuk mendiskusikan sikap umum kami selama rentetan tahap penalaran, yang bermula
dari fakta-fakta arkeologis sampai dengan penyusunan sebuah model teknologis untuk
menginterpretasikannya.
Pengetahuan dan Fakta-Fakta Awal
Baris-baris di bawah ini akan menggambarkan pandangan kami (sikap kami) dalam
menghadapi penelitian barn yang tidak mempunyai acuan ilmiah.Pennulaan penelitian ini telah terlihat rumit karena kami diperhadapkan pada industriindustri litik dari masa prasejarah yang terletak di luar Eropa dan kurang diteliti orang sampai
sekarang. Bahkan bukan hal mudah untuk meneliti artefak litik yang tennasuk dalam sebuah
periode yang tidak mempunyai istilah budaya, jadi tanpa identitas yang pasti.
Koleksi kami dianggap sebagai suatu himpunan industri "khas" yang tidak dapat
dibandingkan dengan situs Iain dari segi stratigrafi atau tipologi. Sikap ini menempatkan kami
pada posisi ganda: posisi penemu dan posisi analis.
Tampaknya dalam situasi seperti ini, peneliti seolah-olah tidak langsung menanggapi
data-data arkeologis karena dalam pikirannya data-data tersebut didahului oleh sejumlah
infonnasi yang berasal dari penghafalan sebelumnya terhadap benda-benda standar. Kumpulan
infonnasi tersebut dapat disebut sebagai fakta-fakta awal.
Fakta-fakta awal, seperti yang telah didefinisikan oleh Y. Chatelin, merupakan
perpaduan antara pengetahuan apriori dan pengetahuan yang diterima secara sadar. Perpaduan
ini akan menghantarkan kita pada sebuah kumpulan keterangan umum yang eksogen, yang
dikaitkan dengan benda sewaktu diteliti (Chatelin, 1977). Hubungan tersebut, dengan sedikit
banyak kesadaran, akan mengarahkan penelitian kami, tanpa terpengaruh oleh ciri-ciri teknis
yang khas pada artefak litik yang diteliti.
Ingatan berlangsung dalam bentuk konsep-konsep, gambar-gambar yang terkait dan
satuan-satuan bentuk standar. Dalam analisis, terbentuk suatu proses yang saling melengkapi
antara artefak litik yang diteliti dan artefak dalam ingatan.
Contohnya, penelitian metode pemangkasan dipengaruhi konsep-konsep pokok,
seperti "Levallois", "laminer", dll. (Pigeot 1991; Boëda, 1997), yang semuanya berdasarkan
pada dialog antara sesuatu yang diamati dan sesuatu yang diingat.
Kemampuan ingatan berbeda-beda menurut tingkat pengetahuan dan pengalaman
pemangkas sekarang. Kemampuan tersebut. akan menimbulkan sejumlah kekhasan persepsi
visual pada analisis kumpulan litik manapun: acuan-acuan (yang ditarik dari hal yang sudah
diketahui), lalu kata-kata, konsep-konsep, dan terakhir skema-skema muncul satu per satu dari
gambaran atau dengan kata Iain dari pandangan yang tertuju pada bendanya (Pelegrin, 1990).
Pandangan kita terhadap benda cenderung dipengaruhi gambaran-gambaran mental
yang telah kita ingat dalam bentuk sejumlah model pemangkasan representatif (hubungan
antara batu inti X dengan hasil X', X", X"'). Hubungan-hubungan memori ini merupakan
mekanisme yang hadir dalam identifikasi proses-proses pemangkasan. Dalam konteks yang
demikian, penalaran induktif terhadap benda yang diteliti tidaklah sistematis karena
orang terkadang menggunakan-termasuk kami-apa yang telah diketahui dalam bidang
teknologi litik (teoretis dan eksperimental) melalui penghafalan gambar, bahan, bentuk,
profil artefak litik, dll.
Dari pertemuan benda dan fakta-fakta awal ini akan muncul suatu kategorisasi, suatu
penamaan implisit yang bersifat dugaan dari bendanya. Proses ini akan mendasari sejumlah
hipotesis. Kemudian, dari hipotesis-hipotesis ini dibentuk model teknologis hipotetis pertama.
Lalu model ini diperkuat dengan hasil-hasil eksperimen dan pengamatan teknologis temuantemuan arkeologis.
Dari stok benda yang ada dalam ingatan untuk mencari ingatan mengenai artefak yang
perlu diteliti, terbentuk suatu susunan teoretis yang dibuat berdasarkan fenomena "masih
ingat" ("déjà vu"). Kami membedakan dua macam "masih ingat":
- masih ingat berkaitan dengan ingatan yang didapat dari pengalaman kita: masih
ingat ini membuat kita bisa membedakan secara sistematis sejumlah artefak yang menunjukkan keadaan teknis tertentu dari skema operasi apapun (dataran pukul
berfaset, melancip, serpihmelimpah, pemangkasan bercirikan Levallois yang dicatat
1,2, atau 3, bilah bergigir (crested blade), runcingan berbidang tiga, dl!.). Secara lebih
umum, kita juga dapat berpikir berdasarkan ada atau tidaknya konsep pokok, seperti
Levallois atau non-Levallois;
- masih ingat yang didapat dari artefak dan khas langkah induktif: sesudah banyak
pemilahan dan pengelompokan selama pemantauan umum peralatan litik, dirumuskan
hipotesis-hipotesis yang sering kali didasarkan pada informasi-informasi repetitif,
contohnya: hadirnya morfologi yang sama, arah tertentu garis pada sisi punggung
serpih, atau juga frekuensi lokasi kortex, dll. Dengan demikian, penekanan
diberikan pada ciri repetitif sejumlah artefak atau serpih yang disebut "berbedabeda" (juga invarian atau tekno-tipe, lihat infra). Pada saat-saat paling awal ini di
mana bentuk, permukaan dan pengolahan awal berdesak-desakan dan dimana kita
telah membuat suatu rekonstruksi mental, akan tersusun rencana penelitian analitis
selanjutnya, baik langsung pada artefaknya maupun dalam bentuk eksperimen
(Tixier, 1978; Pelegrin, 1995).
Dengan demikian pene1itian ini merupakan kombinasi dari langkah deduktif dan
induktif:
- Bersifat deduktif, dalam arti langkah ini tidak hanya bertolak dari fakta yang diamati,
tapi juga dari susunan teori yang bersifat eksplikatif. Susunan teori itu bertumpu pada
rekonstruksi sebuah proses yang akan dibandingkan dengan realitas arkeologis.
Langkah ini akan berusaha membaca batunya dan menuliskan kembali biografi teknis
setiap artefak berdasarkan pembacaan diakritis batu inti dan serpih.
- Bersifat induktif karena menyamaratakan suatu pengamatan pada sisa materiil
melalui analisis langsung terhadap artefak-artefak tertentu.
Sebagai contoh, untuk memastikan kriteria-kriteria teknis yang berhubungan dengan
konsepsi-konsepsi volume, akan digunakan percobaan ilmiah dengan cara membuat beberapa
macam batu inti. Hal itu dilakukan dengan mengkaji logika susunan bahan yang berasal dari
batu inti tersebut. Dengan demikian penelitian ini merupakan pencarian "kemungkinan teknis"
dalam arkeologi yang bermaksud untuk mengungkapkan tujuan-tujuan pemangkas dalam
menerapkan sebuah konsep pemangkasan tertentu (Boëda, 1994, hlm. 254). Oleh karena itu,
jalan yang diikuti adalah menggabungkan sifat induktif dan deduktif. Langkah penelitian
sepenuhnya bersifat induktif hanya pada fase-fase awal pendekatan pada saat penanganan
artefak litik (pengelompokan awal dalam kategori-kategori besar).
Dari pengelompokan pertama inilah hipotesis-hipotesis mulai muncul (lihat kedua jenis
fenomena "masih ingat" - déjà vu), karena secara kurang lebih implisit terdapat pencarian
proses teknologis masa lampau dalam ketidakteraturan sekarang. Ini dilakukan dengan cara
menemukan morfologi dan struktur tetap dari artefak. Penciptaan metode analisis yang
bertujuan merekonstruksi fase-fase teknologis artefak dilaksanakan menurut prinsip sebab
akibat langsung antara benda yang dihasilkan dan metode pemangkasan yang diterapkan
(Geneste, 1985).
Langkah penelitian selanjutnya bersifat deduktif pada saat kembali mengamati artefak.
Sementara itu, langkah percobaan awal diadakan secara bersamaan untuk menguji proses yang
bersifat hipotetis.Dalam penelitian ini, langkah deduktif bertumpu pada pengetahuan-pengetahuan yang
diperoleh dari langkah induktif.
2.2) Teknologi dan Konsep-Konsepnya: dari Artefak ke Pembuatnya
Teknologi litik adalah sebuah metode analisis yang dinamis dari fakta-fakta arkeologis
yang statis. Teknologi ini berorientasi pada "membaca" artefaknya dan proses-proses
pembuatannya. Metode ini merupakan sebuah metode pengamatan yang bertujuan "mencari
maksud-maksud para pemangkas" (Pelegrin, 1995, hlm. 28), yaitu untuk memahami logika
pengolahan sebongkah batu utuh yang dipangkas dengan cara-cara tertentu hingga diperoleh
bentuk dasar atau support yang diolah menjadi alat-alat atau senjata-senjata dengan "gaya"
tertentu.
Teknologi ini bertujuan untuk mendekati (meski hanya sebagian) sikap teknis manusia
prasejarah melalui pemahaman metode dan teknik pemangkasan (mencari "bagaimana"):
"Kami berusaha memahami suatu sikap teknis dan skema-skema konseptual adaptasi dalam
industri-indusri litik yang hanya mencerminkannya" (Tixier, 1991, hlm. 391). Teknologi
ini berusaha membedakan tahap-tahap pembuatan. Dengan demikian kita harus
mempertimbangkan perubahan yang diperlukan untuk beralih dari bahan mentah ke sebuah
artefak yang tersusun dan fungsional (pada mulanya adalah bongkahan batu .. .). Sebenarnya,
transformasi dari bongkahan kasar dan penyusunan tahap-tahap pengolahan dapat dipikirkan
sepanjang teknologi itu bersifat genetis dan historis: "Bertolak dari kriteria-kriteria genesis,
kita dapat mendefinisikan kekhasan dan kekhususan benda teknis" (Simondon, 1989, hlm. 20).
Kita harus menemukan kembali susunan pada support litik dengan menyadari bahwa
susunan tersebut bergantung kepada satu tujuan, yaitu alatnya. Untuk itu ahli prasejarah
memakai beberapa konsep sekunder yang tersusun dalam sebuah konsep utama, yakni
rangkaian operasional. Dari teori sampai prakteknya, konsep-konsep dan metode-metode
analisis akan membantu kita untuk dapat mengamati fakta-fakta teknis secara objektif.
2.2.1 Kontribusi Konseptual
Konsep Rangkaian Operasional (operational sequence)
Dasar langkah penelitian kami adalah rangkaian operasional yang memainkan peran
ganda sebagai pedoman dan alat metodologis untuk memberi makna pada fakta-fakta teknis
dari kumpulan-kumpulan temuan yang ada.
Konsep ini diambil dari etnologi (Mauss, 1947) dan diterapkan pada arkeologi prasejarah
oleh A. Leroi-Gourhan sejak tahun 1960-an, terutama dengan menempatkan alat dalam
"sebuah siklus operasi globaf' (Leroi-Gourhan, 1964-1965).
Konsep rangkaian operasional dipinjam oleh banyak peneliti dalam sejumlah
percobaan awal di bidang teknologi litik (Inizan, 1976; Tixier, 1978; Cahen et al., 1980;
Geneste, 1985; Boeda, 1994; Pelegrin et al., 1988; Perlès, 1987 dan 1992; Pigeot, 1987) atau
dalam bidang etnologi teknik-teknik (Creswell, 1983; Lemonier, 1983; Pétrequin dan
Pétrequin, 1993).Walaupun sebuah konsep tampak lebih sering diterapkan daripada didefinisikan, kami
akan mengambil definisi rangkaian operasional yang diberikan oleh C. Perlès, yaitu sebagai:
"satu rangkaian kegiatan mental dan tindakan teknis yang bertujuan untuk memenuhi sebuah
kebutuhan (Iangsung ataupun tidak) berdasarkan sebuah rencana yang sudah ada sebelumnya. Tujuan
dari rangkaian operasional bisa sangat bervariasi: produksi support, produksi jenis alat tertentu,
produksi kumpulan alat yang beranekaragam. pengolahan kembali bentuk dasar, dU. Dengan demikian,
tahap-tahap teknis rangkaian operasional akan berubah-ubah" (Perlès, 1987, hlm. 23).
Rangkaian operasional menghubungkan semua sisa pangkasan, dan semua sisa ml
akan diamati, terrnasuk buangan, karena keberadaannya berarti dalam tahapan proses
pembentukan support alat: 0(.. .), benda perlu disertai dengan keseluruhan tindakan manusia
yang menghasilkannya dan yang memakainya" (Haudricourt, 1964).
Seluruhnya membentuk suatu sistem teknis produksi litik. Bentuk singkat sistem ini
menghadirkan suatu masukan dan suatu keluaran yang diakhiri dengan pembuatan alat:
"Jika tujuan dari sebuah sistem adalah produksi, maka ciri-ciri kuantitatifdan kualitatif, tetapi terutama konsepsi dan kekhususan fungsi dari produksi tersebut merupakan parameternya. Suatu konsep
penyatu yang sekaligus khas hasilnya, khas proses pembuatannya dan khas skema konseptualnya dapat
dengan sendirinya mewujudkan tujuan dari suatu sistem produksi" (Geneste, 1991, hlm. 7).
Usaha untuk menempatkan beragam hasil pemangkasan dalam rangkaian operasional
berarti menjadikannya sebagai dasar aneka ragam pertanyaan yang bersifat morfologis,
teknologis, tipologis dan berkaitan dengan sikap.
Rangkaian operasional memiliki dua sifat sekaligus, yaitu:
- 1: teratur, karena manusia prasejarah mempunyai tujuan, yakni menghasilkan
support untuk dijadikan alat atau senjata;
- 2: sebagai pengatur, karena rangkaian operasional di sini dipandang sebagai alat
metodologis dalam menyusun artefak-artefaknya dengan berupaya untuk menentukan
tempat hasil pemangkasan dalam proses pengolahan.
Rangkaian operasional membantu kita memikirkan artefaknya sebagai hasil dari
sebuah proses yang terjebak di antara yang teratur dan yang tidak teratur. Dari sudut pandang
ini, konsep genesis sangatlah penting, karena menghadirkan rentetan keadaan dan tahap
transforrnasi dari yang alami ke yang manusiawi: "Genesis hanyalah sejarah penciptaan
teknis yang disusun kembali, genesis gagasan dari tahap abstrak hingga tahap kongkret"
(Séris, dalam Boëda, 1997, hlm. 20).
Kita tidak bisa menyebut konsep rangkaian operasional tanpa menggarisbawahi
keberadaan satu atau beberapa skema pembuatan. Sesuai dengan namanya, skema pembuatan
adalah hasil skematis ahli prasejarah mengenai tahap-tahap utama sikap teknis manusia
prasejarah:
"Konsep yang dipahami sebagai sebuah metode pengamatan ini memungkinkan kita untuk
menafsirkan dari luar (dari sisi ahli prasejarah), me/alui bentuk gambar, sebuah kenyataan teknis yang
tidak dapat dimengerti dengan metode Iain" (Boëda, 1997, hlm. 13).
Oleh karena itu, konsep ini didefinisikan sebagai urutan berbagai keadaan dan tahap,
dan juga memunculkan konsep struktur, metode dan teknik.
Skema pembuatan membedakan sejumlah fase, keadaan dan tahap. Kita dapat
meringkasnya ke dalam lima fase utama yang di dalamnya juga terdiri atas keadaan dan tahap
dalam jumlah yang tak tentu:Fase mendapatkan bahan: pencarian sumber bahan, pemilihan, pengangkatan, dan
terkadang pemilahan.
- Fase pengolahan: batu inti dibentuk berdasarkan satu atau lebih metode yang disebut pembentukan awal. Kemudian, batu ini diolah berdasarkan satu atau lebih metode
pemangkasan.
- Fase pembuatan.
- Fase penggunaan.
- Fase pembuangan.
Kami ingin sekali mengingatkan bahwa ilustrasi 28 menunjukkan sebuah rangkaian
operasional yang ideal dan terperinci yang jarang ditemukan dalam keadaan yang sedemikian
dalam himpunan temuan arkeologis. Ilustrasi tersebut bertujuan untuk menonjolkan silihbergantinya keadaan/tahap dengan menghadirkan perubahan teknis yang mungkin terjadi pada
saat pemangkasan atau pengolahan. Ilustrasi tersebut juga menunjukkan pentingnya
penggabungan dua aspek teknologi dalam proses, yaitu teknologi yang berkaitan dengan
produksi dan "teknologi fungsional" (Lepot, 1993; Boëda, 1994).
Perlu diamati bahwa aspek fungsiona1 hadir sejak keadaan awal (sebuah serpih primer atau
sebuah serpih berkorteks dapat digunakan tanpa pengerjaan lanjut).
Dengan penggunaan konsep yang berdasarkan volume dalam dua atau tiga dimensi, gambar
tersebut berupaya untuk menegaskan betapa pentingnya fase persiapan atau pembentukan awal
batu inti dalam kese1uruhan sistem teknis dan dalam kekhasan metode pemangkasan (Boëda,
1988a dan b, 1990, 1992, 1994, 1995 dan 1997).
Konsep Pemanfaatan Bahan Baku
Konsep ini hadir pada tahap awal rangkaian operasional, lebih tepatnya pada fase untuk
mendapatkan bahan yang dipilih dan dipangkas. Inti dari konsep ini ialah memperkirakan
bentuk dan mutu bahan sesampainya di dalam situs, la1u ja1annya hingga pengolahannya,
kemudian pembuangan alat dan sisa-sisa pemangkasan 1ainnya. Dengan kata Iain, mulai dari
tempat asalnya sampai proses tekno1ogisnya hingga terpendamnya (kematiannya) di da1am
tanah. "Kematian" alat tentunya lebih bersifat fungsional daripada struktural (tekno1ogis),
karena alat tetap menyimpan jejak-jejak gerakan tangan, dengan kata Iain mempunyai arti
teknis tertentu.
Konsep penge101aan bahan baku mempertanyakan:
- jenis-jenis bahan baku beserta tingkat ke1ayakan untuk dipangkas (uji mutu) dan
tempat asalnya;
- posisi geologisnya (primer, sekunder, ...), hambatan-hambatan dalam pengangkatan
dan/atau pengambilannya;
- jarak dari sumber bahan ke situs dan perhatian kepada berat bahan,
- bentuk asa1 atau yang diubah ketika sampai di situs: serpih besar, kepingan kecil,
bungkal kecil dengan banyak lubang, bongkahan kasar, bongkahan yang
disiapkan, dU.,
- penggunaan benda-benda tersebut dan kelayakannya untuk dipangkas.Pencarian, perjalanan, pengambilan, atau pengangkatan dan pengangkutan bahan baku
sampai ke situs mencerminkan tingkah laku manusia dan, dari satu segi, menunjukkan niat
mereka untuk mengitari area hunian mereka.
Konsep Pengelolaan Pernangkasan
Konsep ini (Inizan, 1976) berhasil menunjukkan bahwa pada tahap-tahap pemangkasan yang
berbeda-beda dari sebuah batu inti, dapat diperoleh support yang berbeda-beda dari segi
tekno-morfologis. Support tersebut akan digunakan untuk pembuatan alat-alat khusus.
Melalui sejumlah kekhasan segi tekno-morfo-fungsional, alat-alat tertentu merupakan tahap
penting dalam rangkaian produksi. Alat-alat tersebut akan menandakan tahap-tahap teknis
tersebut melalui konsep permulaan, pertengahan atau juga akhir pemangkasan: "Pengelolaan
bertujuan untuk memperlihatkan beragam pemanfaatan hasil dari setiap tahap teknis melalui
studi rangkaian operasional" (Perlès, 1987, hlm. 25).
Ketiga konsep itulah yang akan menuntun penelitian kami. Konsep pengelolaan
peralatan sendiri tidak digunakan, karena kami tidak melaksanakan analisis jejak pakai
ataupun pencarian tekno-fungsional pada support (Lepot, 1993).
2.2.2 Metode Analisis
Di bawah ini akan kami rinci metode yang khas untuk analisis teknologi, dalam arti
cara yang memungkinkan kita mengenali metode dan teknik pemangkasan.
Skerna Diakritis
Dari pengamatan artefak secara diakritis diperoleh sebuah skema yang menelusuri
kembali riwayat teknis artefak itu (Dauvois, 1976). Pengamatan dinamis ini merupakan unsur
utama analisis teknologis karena akan menafsirkan maksud-maksud (gerakan tangan) pada
seluruh permukaan hasil-hasil (serpih, support, batu inti) dan menempatkannya dalam proses
pengolahan dengan bantuan rekonstruksi mental. Konsep skema diakritis disertai sebuah
skema teknis yang akan diterapkan pada sejumlah besar artefak yang kami teliti.
Rekonstruksi
Dua jenis rekonstruksi dibantu oleh informasi dari hasil eksperimen dan penghafalan
stereotip-stereotip skema diakritis telah mendasari analisis kami.
Jenis rekonstruksi pertama, yang disebut dengan rekonstruksi "mental", bertujuan
untuk menempatkan alat litik dalam ruang tiga dimensi guna mengetahui apakah alat litik
tersebut bisa disambung dengan serpihan-serpihan dari tahap sebelumnya. Proses ini dilakukan
melalui pengamatan perpanjangan negatif pangkasan atau posisi korteks dibandingkan dengan
bentuk asal batu inti (Tixier, 1978; Pelegrin 1995):"Studi tiap-tiap benda litik dari segi morjologi, keberadaan dan letak korteks. susunan dan aspek
negatifpangkasan (yang terlihat baik pada hasil pemangkasan maupun pada batu inti: pengamatan
skema diakritis) yang menunjukkan tindakan singkat sebelumnya, dapat memungkinkan rekonstruksi
susunan teratur benda litik melalui penyusunan kembali secara mental, satu dengan yang lainnya dan
dengan bongkahan kasar" (Pelegrin, 1995, hlm. 23-24).
Pada saat pemilahan awal himpunan artefak atau pengukuran arbitrer morfometris,
rekonstruksi mental tampak sebagai sebuah langkah yang hampir otomatis dalam
penggolongan maupun dalam penulisan catatan-catatan.
Oengan arahan pemikiran logis dan realitas konkret, pengamatan ini merupakan sebuah
abstraksi analitis artefak yang teratur dan diarahkan pada solusi-solusi logis yang menyatu.
Adakalanya rekonstruksi arkeologis dapat dilakukan, yaitu rekonstruksi fisik artefak-artefak.
Jenis rekonstruksi yang kedua adalah rekonstruksi arkeologis yang sangat nyata karena
bertujuan menyambung kembali serpih/serpih dan batu inti/serpih.
Mengikuti waktu yang ada, artefak-artefak dari Song Keplek disambung kembali
berdasarkan sejumlah kriteria morfo-teknologis seperti: besamya korteks dan tekstumya,
kelainan-kelainannya, wama rijang dan bentuk umum dari artefak.
Pencarian sambungan ini dilakukan pada saat sejumlah pemilahan peralatan ke dalam
golongan-golongan hasil utama, yaitu: alat, support kasar, batu inti dan sisa-sisa pemangkasan
dalam berbagai ukuran. Keberhasilan kegiatan ini tergantung pada waktu yang ada (sebenamya
banyak waktu diperlukan untuk menyambung beberapa serpih saja) dan pengetahuan
mengenai koleksi-koleksi litik. Oengan demikian pengamatan koleksi litik Song Keplek
semestinya dilanjutkan dalam waktu yang akan datang untuk mencoba menemukan
sambungan-sambungan lainnya.
Pada tahap awal, artefak diteliti berdasarkan kotak galiannya (F8, 03, B6). Kemudian
sejumlah artefak yang lebih masif (serpih masif, batu inti besar berkulit tebal yang kurang
diolah, dll.) saling tertukar, karena mungkin telah dipindahkan dari suatu area khusus untuk
pemangkasan ke suatu area penggunaan.
Memang penggalian berdasarkan kotak merupakan penstrukturan ruang yang arbitrer.
Gua hunian pada masa itu seharusnya dianggap sebagai sebuah area tanpa batas, di mana
artefak dapat berpindah tempat. Hanya sebuah bongkahan dari Song Keplek telah disambung
kembali (kotak F8). Rekonstruksi tersebut akan disertai dengan pengamatan-pengamatan dan
komentar-komentar tentang rangkaian operasional pemangkasan melalui skema-skema teknis.
Penerapan Model
Pembentukan sebuah model akan memudahkan pengamatan teknologis artefaknya.
Model digunakan untuk menyusun fakta-fakta teknis dengan menempatkannya kembali dalam
salah satu fase skema pembuatan. Tujuannya adalah untuk membandingkan artefak-artefak dan
ciri-ciri teknologisnya yang khas (stereotip-stereotip skema diakritis) dengan sebuah sistem
acuan luar.
Model teknologis ini merupakan hal ideal yang didasarkan pada hasil seri-seri eksperimen
dan identifikasi unsur-unsur yang tetap (serpihan yang beranekaragam) berdasarkan
pengamatan artefak-artefak.
Konsep model dalam bidang teknologi litik akan dibahas lebih lanjut (lihat 3.4).
Sebenamya kami akan mengusulkan suatu model yang terkait dengan ciri-ciri teknologis,dengan menge1ompokkan se1uruh support yang morfo1ogi dan orientasi batas-batas bidang
pangkasannya beru1ang-u1ang (unsur-unsur tetap) dan menunjukkan suatu tahap teknis da1am
proses operasiona1 (Perlès, 1987; Boëda, 1994 dan 1997).
2.3) Analisis Peralatan: dari Support yang Dicari hingga Support yang Diretus
Bagian pendahu1uan dari analisis pera1atan ini berlandaskan pada dua pendekatan yang
merupakan dasar teoretis pene1itian kami.
Terlebih dahu1u kami akan mengu1as kembali secara singkat konsep tipo1ogi seperti
yang te1ah didefinisikan oleh F. Bordes (Bordes, 1961) sebagai "ilmu yang memungkinkan
untuk mengidentifikasi, mendefinisikan, dan menggolongkan jenis-jenis alat yang berbeda
yang terdapat di dalam lapisan budaya." Konsep itu akan membantu untuk secara obyektif
membedakan support atau bentuk-bentuk dasar yang dio1ah menjadi a1at.
Pada tahap kedua, kami akan mendukung pendekatan "modem" a1at (tekno1ogis).
Pendekatan ini didasarkan pada kritik atas konsep a1at pada masa prasejarah. Gagasannya
ada1ah menempatkan kemba1i a1at sebagai sebuah benda teknis da1am sebuah proses operasiona1 (gagasan utama ini te1ah dirumuskan oleh Boëda, 1997).
Se1ain itu, kami memandang penting untuk menggarisbawahi unsur-unsur utama dari
pendekatan tersebut yang bertujuan untuk tidak 1agi memisahkan 1angkah tipo1ogis dengan
1angkah tekno1ogis, karena 1angkah yang pertama termasuk da1am 1angkah yang kedua.
Analisis tipo1ogis kami akan memfokuskan usaha pengungkapan "muatan budaya"
me1a1ui identifikasi jenis-jenis a1at litik dan gambaran a1at-a1at litik tersebut (Bordes, 1961;
Brézillon, 1969).
Pendekatan tipo1ogis sangat penting untuk mengetahui proses pengo1ahan a1at-a1at litik
di zaman prasejarah, terlebih-1ebih Indonesia sangat kekurangan sintesis mengenai peristi1ahan
pera1atan 1itik. Da1am ha1 ini, a1at dipandang sebagai hasi1 proses pemangkasan dari ke1ompok
yang menciptakannya sete1ah pemi1ihan support se1ama proses pembuatannya. Jadi,
pendekatan tipo1ogis harus dianggap sebagai sebuah tahap transisi antara ana1isis produksi
(tekno1ogi) dan ana1isis fungsiona1.
Identifikasi terhadap jenis-jenis alat tergo1ong k1asik: kami akan menyusun sebuah
daftar alat dari seri-seri yang diteliti berdasarkan definisi-definisi yang dirumuskan F. Bordes
(Bordes, 1961).
Metode yang kami gunakan dan yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis
a1at da1am himpunan temuan arkeo1ogis manapun di dunia didasarkan pada prinsip definisidefinisi umum yang tidak hanya diterima, tapi juga sering diterapkan (Bordes, 1968 dan 1984).
Memang sebuah serut samping, baik di Jawa Timur maupun di barat daya Prancis, tetap saja
sebuah serut samping. Tetapi patut dicamkan bahwa apa yang kita sebut sebagai serut samping,
bagi manusia prasejarah dapat mempunyai pengertian dan fungsi yang sangat berbeda.
Tanpa bermaksud mengaitkannya secara langsung dari segi krono1ogis, kami diilhami
bentuk pemikiran dan kejituan analisis pene1itian yang te1ah dijabarkan di sebe1ah utara Afrika
(Tixier, 1963), di Timur Tengah (Hours, 1992) dan juga di Yunani (Perlès, 1987).
Peristi1ahan pera1atan litik di Indonesia masih terbatas pada pengamatan sifat dan 1etak
retus pada support:
- Hal ini merupakan sebuah ciptaan khas oleh peneliti (pilihan variabel, ciri-ciri yang
menonjo1, dll.) dan yang khas untuk situs Song Kep1ek. Kemungkinan untukmenerapkannya pada pera1atan litik dari situs-situs Iain di wi1ayah Gunung Sewu
masih perlu dipertanyakan;
- tipo1ogi ini mengutamakan penentuan ciri-ciri khas da1am pi1ihan unsur-unsur yang
menonjo1 dan da1am penerapannya pada artefak;
- konstruksi tersebut tergo1ong minimal karena tidak mempertimbangkan semua
variabe1 yang ada. Sejum1ah besar peneliti memang te1ah menggarisbawahi sifat tidak
terbatas dan arbitrer pilihan variabe1-variabe1 da1am menggambarkan dan
mendefinisikan sebuah a1at (Gallay, 1986; Perlès 1987).
Kami tetap menggunakan definisi-definisi pokok pera1atan hasi1 tipo1ogi ("klasik"
F. Bordes), tetapi kami meno1ak penyekatannya sebagai pendekatan yang deskriptif (da1am arti
terbatas), suatu pandangan yang secara imp1isit membedakannya dari pendekatan tekno1ogis.
Da1am menganalisis berbagai jenis a1at 1itik dari Song Kep1ek, kami tidak akan
menyisihkan a1at-a1at yang beretus (hasi1 pembentukan ataupun pemakaian) dari analisis
tekno1ogis. Perlu diingat bahwa sebuah support yang diretus menjadi a1at, tentunya merupakan
sebuah support yang dihasi1kan me1a1ui suatu proses pemangkasan. Dengan demikian, support
a1at juga merupakan sebuah benda teknis (lihat Simondon, infra).
Pada sa