at kita berbicara tentang tipo1ogi a1at (menurut makna k1asik F. Bordes), kita
mengacu pada penggo1ongan-penggo1ongan dan peristi1ahan berdasarkan prinsip perbedaan
da1am ha11etak dan sifat retusan (Boëda, 1997). A1at yang diretus pertama-tama akan dianggap
sebagai support yang mencerminkan suatu tahap teknis dalam proses pengo1ahan.
Tentu saja, sebe1um menerima status sebagai a1at beretus, apa yang disebut a1at (serut, dsb.)
hanya1ah merupakan sebuah artefak teknis, seperti yang te1ah didefinisikan oleh G. Simondon
ketika ia mengusu1kan hasi1 dari sebuah evo1usi, yang da1am ha1 ini ada1ah keberadaan suatu
genesis (Simondon, 1989).
Dengan demikian, artefak teknis tidak terlepas dari sebuah rangkaian operasiona1 mumi
yang merupakan inti dari artefak itu sendiri. Namun demikian, kaitannya bukan berarti satu
rangkaian operasiona1 untuk satu artefak, tetapi 1ebih tepatnya sejum1ah rangkaian operasiona1
yang terbatas untuk sejum1ah artefak yang tak terbatas. Da1am ha1 ini, skema diakritis dan
skema teknis yang menjadi pendukung gambar-gambar kami menjadi transkripsi grafis dari
rangkaian operasiona1, seperti yang diusu1kan Y. Deforge (Deforge, 1994).
Kami berpikir demikian karena skema-skema tersebut berasa1 dari rangkaian operasiona1
yang didekati secara obyektif, karena ketika berhadapan dengan artefak, cara kami ada1ah
menggambar dengan dikendalikan oleh peng1ihatan dan sentuhan.
Dengan demikian arti teknis dari artefak ada1ah menonjo1kan dan memperkuat gagasan
bahwa tipo1ogi merupakan suatu bagian yang terpadu dengan tekno1ogi:
"Dapat dikatakan, teknologi merupakan suatu cara untuk menggunakan sebuah pendekatan tipologis
yang menghasilkan bentuk-bentuk yang menyatakan tahapan-tahapan teknis dan sebuah studi prosesproses yang membawa pada bentuk-bentuk dan tahapan-tahapan tersebut. Jadi. teknologi seperti yang
digunakan sekarang tidak bisa lagi secara silih berganti berlawanan dengan "tipologi" karena tipologi adalah satu unsur pembentuk pendekatan teknologis" (Boëda, 1997, h1m. 28).
Dari sudut pandang yang Iain, seperti yang ditekankan oleh E. Boëda (1997),
pemakaian "tipe" tidak hanya terbatas pada tipo1ogi sendiri. Tekno1ogi punjuga menggunakan
konsep ini. Contohnya jenis batu inti Levallois. Berkenaan dengan mode1 tekno1ogis ini, kami
juga akan menggunakan isti1ah "tipe" atau 1ebih tepatnya "tekno-tipe" (1 a, 1b, 1c, dll.) ketika
membahas serpih-serpih yang homogen atau serpih-serpih yang beranekaragam.
METODE PENELITIAN: DASAR-DASAR ANALISIS
Seperti yang telah kami tekankan di atas, alat-alat yang diretus, seperti halnya bentukbentuk dasar atau support, akan dicatat ciri teknologisnya (tahap penting dalam analisis untuk
menerapkan konsep pengelolaan pemangkasan). Dengan kata Iain, apapun tipe artefak
(support-alat atau hasil pemangkasan biasa) tidak akan dipisahkan pada waktu mencatat data
kuantitatif dan kualitatif. Meskipun begitu, data tersebut akan disesuaikan dengan tipe-tipe
yang dibedakan berdasarkan pemilahan teknologis.
Data yang bersifat kualitatif ini akan diolah secara statistis seperti yang biasa
digunakan dalam bidang arkeologi prasejarah (perincian jumlah, persentase, rata-rata dan
histogram frekuensi).
3.1) Metode Penelitian Terhadap Produk-Produk Pemangkasan
3.J.J Pemilahan Artefak
Pada pemilahan awal, ribuan alat litik yang diteliti dibagi dalam lima kelompok. Lalu
kelompok tersebut diperinci dalam subkelompok-subkelompok analisis yaitu:
1. batu inti;
2. bentuk dasar atau support;
3. sisa-sisa pecahan yang tak teridentifikasi;
4. alat yang diretus (pembentukan sebuah tepi atau sebuah ujung);
5. support yang dipakai dengan jejak pakai yang sering terputus-putus dan kurang
menonjol.
Dalam analisis, kami melakukan pemilahan yang semakin terperinci untuk mengenal
sifat khusus dan mengungkapkan sifat umum, dari tingkat individu hingga tingkat kelompok
(dengan memahami bahwa tidak ada yang secara kebetulan terjadi dalam pemangkasan batu).
Bentuk-bentuk dasar telah didefinisikan dan diberikan kode, yakni serpih, bilah
(hiade), bilah kecil (bladelet), dan benda yang tidak teridentifikasi karena rusak, sulit untuk
diamati, dU. Batu inti juga telah dikelompokkan ke dalam keluarga-keluarga besar. Pembagian
ini didasarkan pada sifat unsur dasar (bentuk bongkahan, serpih, pecahan, bongkahan yang
diuji). Kemudian, dalam analisis teknologis, kami membaginya ke dalam tipe-tipe besar berdasarkan hasil dan struktur volume tertentu.
3.J.2 Pengukuran dan Analisis Moifometris
Semua produk yang dipangkas diukur (dalam milimeter) panjang maksimal (pada
sumbu pangkasan), lebar maksimal dan ketebalan maksimalnya.
Kriteria-kriteria morfometris yang dipakai bersifat konvensional dalam bidang prasejarah dan mendekati kriteria yang disusun oleh A. Leroi-Gourhan (1966) (Ilustrasi 29):
- Ukuran panjang dipaparkan dalam nilai absolut, dibagi dalam kelas per 20 mm.
- Indeks kepanjangan (lP): IP = panjang/lebar.
- Indeks ketebalan (lT): IT = lebar/tebal.Indeks kepanjangan dimaksudkan untuk mengungkapkan modul-modul bentuk dasar melalui
seriasi sistematis dengan menunjukkan orientasi produksi pada modul tertentu,
melalui analisis diakritis, posisinya dalam rangkaian operasional, serta posisinya dalam
pemilihan bentuk dasar untuk pembentukan alat. Indeks ini membantu mengenal kecenderungan
umum produksinya: bilah, serpih panjang atau tidak, serpih agak pendek, dll. Pengamatanpengamatan ini akan dibandingkan dengan teknik yang digunakan. Perhitungan indeks-indeks
dapat menjelaskan dengan lebih tajam sifat aneka ragam support dengan memisahkan bilah
asli, serpih, dan serpih cukup lebar yang cenderung memanjang dengan sisi lateral sejajar atau
laminer (sering kali sangat kortikal pada awal pembentukan melalui teknik pemangkasan
langsung dengan menggunakan batu pukul keras).
3.1.3 Arû Keberadaan dan Posisi Korteks
Korteks memegang peranan yang menentukan dalam analisis setiap artefak, karena
menunjukan kemajuan proses pemangkasan. Dengan demikian ia membantu dalam
rekonstruksi mental. Korteks juga membantu dalam menetapkan posisi artefak dalam volume
bongkahan secara keseluruhan.
Rangkaian artefak litik yang diteliti menunjukkan bahwa sejumlah besar artefak paling
sedikit memiliki 25% korteks (lebih dari 2: jumlah artefak). Dalam kondisi ini analisis korteks
menjadi sangat penting.
Studi korteks menunjukkan dua hal:
- Pertama-tama, mencari letak support pada bongkahan yang merupakan bagian dari
volume yang dipangkas. Dengan kata Iain, mencari tempatnya dalam rangkaian operasional;
- berkenaan dengan pengelolaan bahan baku, korteks menunjukkan ada tidaknya produkproduk tertentu pada awal rangkaian operasional (kondisi korteks bahan baku). Hasil-hasil ini
merupakan petunjuk yang baik untuk menduga bahwa bongkahan-bongkahan atau bahan baku
dibawa dalam keadaan mentah ke tempat hunian dan dipangkas in situ. Dari segi teknis,
korteks merupakan petunjuk yang sangat penting mengenai kekhasan fase pembentukan awal
bongkahan atau ketidakadaan fase tersebut. .
Korteks merupakan sebuah petunjuk waktu karena mengikuti dan menandakan
kemajuan pemangkasan sepanjang rangkaian operasional (dari unsur-unsur pertama pengupasan
sampai hilangnya korteks tersebut). Korteks juga dipandang sebagai petunjuk ruang karena
menjadi tanda pemindahan dari sumber bahan bakunya (korteks berkapur, korteks baru yang
terlihat seperti diupam di lingkungan sungai, dll.).
Pada serpihan, letak lateral atau distal korteks dapat membantu untuk mengetahui arah
pilihan pangkasan pada sisi batu inti. Dari sudut pandang itu, korteks adalah unsur yang luar
biasa penting dalam proses identifikasi skema-skema pemangkasan dan lebih penting lagi
ketika peneliti diperhadapkan pada skema-skema yang disebut "elementer" (Boëda, 1991;
Boëda et al., 1990). Kekhasan dari skema-skema ini, yang juga disebut "matriks", adalah
karena tidak memperlihatkan fase-fase pembentukan awal bongkahan seperti yang dikenal
dalam pemangkasan Levallois atau pemangkasan laminer. Adakalanya tahap terakhir
pemangkasan menyerupai tahap awalnya. Dalam hal ini yang diperoleh ialah volume yang
tidak berubah atau sedikit diolah.Seandainya pemangkas tidak melakukan pembentukan awal yang khas seperti pada
pemangkasan Levallois, maka hanya akan terjadi sedikit sekali perubahan dari volume awal
(bungkal). Perubahan ini tergantung pada volume bongkahan dengan penerapan metode
pemangkasan spontan yang selalu berubah-ubah (kami akan menguraikan hal ini lebih lanjut
pada saat pembahasan konsep "algoritme").
Pendataan letak korteks pada serpih dilakukan berdasarkan area (a, b, C, d) dari skema
acuan di bawah ini (Ilustrasi 30). Luasnya korteks dibandingkan dengan total luas permukaan
serpihan dipersentasikan dalam 5 kelompok:
- 100% korteks.
- Lebih dari 50%.
- Antara 25 dan 50%.
- Kurang dari 25%.
- Tanpa korteks (hasil pemangkasan total).
Ciri Dataran Pukul (DP) (Aspek dan Ketebalan)
Bagian pangkal merupakan unsur yang sangat penting dalam mengenal teknik yang
dipakai dan dalam mengungkapkan aspek dataran pukul yang terdapat padanya. Jadi, pangkal
adalah tanda dari sedikitnya dua fase berturut-turut.
Dari bekas benturan dapat diketahui teknik yang digunakan oleh pemangkas dan corak
benturan (kurang lebih tangential) melalui pengukuran sudut antara bidang pangkasan dan
dataran pukul.
Dengan berlandaskan sejumlah eksperimen, kami telah menetapkan sifat benturan
secara arbitrer, mengikuti dataran pukul yang kurang lebih miring dibandingkan sisi
pemangkasan:
- Kurang tangential untuk sudut kurang dari 1000 •
- Tangential untuk sudut yang mencakup 1000 dan 1300 •
- Sangat tangential untuk sudut di atas 1300.
Ukuran ketebalan pangkal tergantung pada sifat batu pukul yang digunakan dan gaya
benturan. Ukuran ini sesuai dengan ukuran ketebalan area dataran pukul setelah pemecahan
(Ilustrasi 31). Setelah pengamatan umum terhadap himpunan artefak dan hasil-hasil eksperimen,
kami mengklasifikasi bagian pangkal dalam kategori "tebal" jika tebalnya di atas 5 mm.
Sebaliknya, pangkal dianggap "tipis" jika ukurannya di bawah 5 mm.
Untuk menjelaskan aspek dataran
pukul, kami telah memilih enam
kemungkinan: mengandung korteks
(cortical), datar, bersudut (diedral),
berfaset, menyempit, tidak ada atau
rusak.
Penelitian mengenai teknik
pemangkasan ini terutama memperhatikan
ciri-ciri Dataran Pukul dari serpih dan
dilengkapi dengan pengamatan pada batu
pukul yang ditemukan dalam ekskavasi.
Perkutor umumnya berbentuk lonjong
dengan berat antara 100 g dan 1 kg dan di
bagian kontaknya terdapat banyak
luka-luka kecil.
Pemangkasan langsung memakai batu
keras adalah salah satu jenis pemangkasan
yang cukup mudah dikenali karena
ketidakakuratannya. Ketidakakuratan ini
umumnya disebabkan dataran pukul yang
kurang dipersiapkan atau masih alami,
datar, atau tidak memiliki persiapan khusus.
Ketidakakuratan ini ditunjukkan
oleh sejumlah kesalahan pemangkasan
yang terlihat di pangkal atau di permukaan
batu inti yang dipangkas.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara Iain: pecahan-pecahan kecil di tepi dataran pukul,
pecahnya bagian pangkal, penipisan atau pecahan bertangga (step fracture) dan lain-Iain.
Penelitian teknik pemangkasan di situs Song Keplek ini dipermudah dengan
ditemukannya batu pukul keras dalam pengga1ian. Hal ini memperkuat hipotesis penerapan
teknik pemangkasan langsung dengan memakai batu pukul keras. Namun, metode-metode
yang berkaitan dengannya belum terungkap.
Ditemukan tiga buah batu puku1 di situs Song Kep1ek (Ilustrasi 32): N° 1672 (B6/92,
500 g), N°2008 (F8/92, 1, 2 kg) dan N°2135 (SK/B6/92, 600 g). Berdasarkan beratnya, batu
pukul kecil seberat 160 g diduga telah dipakai terutama untuk meretus support daripada
untuk memangkas.
Pendekatan Diakritis
Pendekatan ini merupakan salah satu kunci analisis teknologis, karena menyalin
kembali gerakan yang terekam pada perrnukaan yang dipangkas berdasarkan arah negatifnegatif pangkasan. Pendekatan ini merupakan pengamatan menda1am pada bekas
pemangkasan yang ditiru dari studi dinamika, kronologi, arah dan jumlah negatif pangkasan
pada sisi atas serpihan atau pada batu inti.
Singkatnya, pendekatan yang dihasilkan oleh M. Dauvois ini berupa:
" (. ..) analisis grafls dalam dimensi ruang dan waktu dari pembentukan sebuah artefak prasejarah,
dalam arti ungkapan visual data-data utama yang didapat dari bekas-bekas pemangkasan. Dari unsurunsur tersebut diperoleh kronologi hasil-hasil gerakan teknis" (Dauvois, 1976, h1m.195)
Dengan demikian serpih dapat dipandang sebagai dasar memori gerakan-gerakan yang
kaya akan informasi, sementara batu inti tampak sebagai bagian paling pokok untuk
mengungkapkan sifat skema pembuatan dan konsep pemangkasan yang dipilih.
Jenis-jenis skema diakritis dibedakan dan dipilih mengikuti:
- arah pilihan pangkasan dorsal dalam kaitannya dengan sumbu pemangkasan
artefaknya (arah yang sama atau arah yang berlawanan: pemangkasan unipolar atau
bipolar);
- arah pilihan pangkasan dorsal dalam kaitannya dengan bagian berkorteks: sejajar
unipolar dan bipolar, sentripetal konvergen atau bahkan ortogonal.
- Rincian dan kodifikasi terdiri atas pendataan skema arah pangkasan yang paling
sering ditemukan.
Pengumpulan data ini memungkinkan kita menonjolkan ciri-ciri teknologis sintetis
setiap artefak. Hasilnya berbentuk gambar yang memuat garis bentuk artefaknya, alur-alur
utamanya dengan disertai tanda-tanda panah untuk menunjukkan arah negatif-negatif
pangkasan. Skema diakritis ini disertai sebuah skema yang disebut teknis, yang menunjukkan
rangkaian gerak tangan mengikuti paros-paros utama pemangkasan. Rincian ilustrasi-ilustrasi
dan kodifikasi dari semua stereotip-stereotip skema diakritis (invarian atau tekno-tipe) akan
dipaparkan dan dipertanggungjawabkan lebih lanjut melalui model teknologis yang
dirumuskan untuk seri-seri yang diteliti.
3.1.6 Ciri-ciri Bahan Baku
Bahan baku yang ditemukan di wilayah tenggara Pulau Jawa ini adalah batu rijang,
sejenis batu gamping kersikan. Li,ma golongan utama dapat dibedakan berdasarkan kriteria
wama, kehalusan, kebeningan tepian atau juga sifat mineralogis yang sama sekali berbeda :
- RRl: batu rijang berwama kuning gading, bertekstur cukup halus (langka, jarang
ditemui dalam seri-seri dan dalam lingkungan geologisnya).
- B.B.2: batu rijang berwama coklat madu, bertekstur halus (biasa, lazim dijumpai).
- RR3: batu rijang berwama abu-abu muda/coklat bertekstur kasar (biasa, lazim
dijumpai).
- RB.4: batu rijang berwama abu-abulcoklat penuh kersikan dengan tepi,!n bening
(jarang dijumpai).
- RR5 : batu lainnya seperti fosil kayu, batu basal, dU.,
Tidak diketahui,
- Berwama merah akibat perubahan oksida besi.
Dua jenis bahan baku jelas sekali menonjol karena mutunya: RB.4 dan RR1. Menarik untuk
diamati bahwa kriteria mutu ini (kriteria kami) tidak mendapat perhatian dari manusia masa
prasejarah.
Berdasarkan tujuh variabel pilihan maka sebuah rincian sistematis berbentuk tabel
sinopsis akan dibuat pada awal analisis himpunan Song Keplek (lihat Bab. IV) untuk sejumlah
tekno-tipe utama hasil pemilahan teknologis, dan juga untuk support hasil analisis tipologis.
Analisis Support yang Diretus
Sampai saat ini, tak satu pun upaya tipologi yang telah dilakukan pada situs-situs di
bagian timur Jawa. Analisis tipologis akan menjadi bagian yang penting dalam buku ini melalui
penggarapan sebuah daftar acuan yang khas untuk lapisan-lapisan hunian dari Song Keplek.
Hakikat dari analisis ini ialah menggambarkan dan menentukan artefak-artefak yang
beretus dengan mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori besar tipologis.
Peristilahan peralatan dari situs Song Keplek telah mengungkapkan artefak-artefak
yang serupa dengan yang ditemukan di Eropa.
Kesulitan pokok untuk setiap kelompok alat yang dijumpai adalah memilih sejumlah
variabel untuk suatu analisis yang objektif dan cocok, supaya dapat menentukan ciri-ciri khas
setiap kelompok alat. Untuk itu kami telah mengambil, sebagai contoh, studi-studi acuan dalam
tipologi analitis (Bordes, 1961; Tixier, 1963; Brezil1on, 1968). Dari studi-studi tersebut telah
dipilih beberapa variabel yang berlandaskan pengenalan sifat dan posisi retus pada satu atau
sejumlah tepian yang dianggap aktif, tanpa melupakan morfologi umum artefaknya.
Agar support yang diretus dapat digolongkan ke dalam delapan kategori alat
yang sudah dikelompokkan (llustrasi 33), benda-benda tersebut harus cocok dengan hierarki
kriteria-kriteria khas masing-masing kelompok. Kriteria tersebut akan dirinci di bawah ini
menurut sebuah kodifikasi.
Penentuan ciri-ciri khas kelompok alat tidak akan disertai perbandingan dari segi
budaya apa pun dengan Eropa: sebuah serut Jawa dari awal kala Holosen tidak akan dikaitkan
dari segi krono-budaya dengan Eropa dan industri-industri serutnya dari masa Paleolitik
bawah-tengah.
Melalui pendekatan ini terdapat kesulitan untuk membuat identifikasi, misalnya kesulitan
menggolongkan sebuah artefak ke dalam suatu kelompok atau terkadang membedakan antara
sebuah gerigi dengan sebuah serut. Melalui sejumlah perbandingan dan pemilahan berturutturut kami berhasil mengenali ciri-ciri khusus yang terdapat pada permukaan artefak yang
diretus. Semua ciri-ciri khusus ini mendefinisikan sejenis alat dan morfologi yang khas dari
alat tersebut.
Kecuali kelompok serpih-serpih hasil pemangkasan yang memiliki retus-retus jejak
pakai, keseluruhan serpih yang diteliti menunjukkan tujuh kelompok besar alat: serut, serut
gerigi, serut cekung, gurdi, serut ujung, alat tebal membulat atau lonjong (limas) dan pisau
berpunggung alami.
Menurut hemat kami, tidak perlu menjelaskan kembali definisi dari ketujuh kelompok
tersebut satu per satu, karena sudah dilakukan sebelumnya oleh F. Bordes (1961).
Sekarang kami akan memaparkan variabel-variabel yang dipilih untuk tiap-tiap
kelompok alat yang diseleksi. Variabel-variabel tersebut telah dicatat dalam formulir kami dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam komputer (llustrasi 33).
Pisau berpunggung alami
Tidak ada variabel khas yang dipilih untuk pisau berpunggung alami. Jenis alat ini
dicirikan oleh serpih dengan bentuk yang kurang lebih memanjang denganjejak pakai pada sisi
panjangnya yang merupakan bagian aktif alat. Bagian yang aktif ini berhadapan dengan punggung alami yang kortikal dan tidak merata.
Serpih dengan retus pakai
Artefak ini memiliki retus pakai atau perimping, dicirikan oleh keletakannya yang
parsial dan kurang jelas. Retus semacam ini merupakan hasil pemakaian, yang kadang-kadang
sulit dibedakan dari retus yang sangat pendek.
limas: 1- khas atau 2- tidak khas
Kami menghindar untuk menggolongkan alat-alat massif dan pendek ini ke dalam
golongan serut konvergen ganda.
3.3) Analisis Batu Inti
3.3.1 Batu Inti
Batu inti adalah kunci dari analisis teknologis kami.
Seperti sebuah "kotak hitam", batu inti mencatat pola gerakan akhir dari pemangkasan,
tingkat pengolahan bahan, dan berhentinya proses pemangkasan.
Batu inti adalah pembawa logika penataan pemangkasan yang menghasilkan sisa-sisa
pemangkasan (serpih, bilah, bilah sempit memanjang (bilah kecil), buangan, dU). Kami akan
menjelaskan logika ini dan kaitan teknologis antara sisa-sisa tersebut dan batu inti yang diolah
dan sebaliknya.
Setiap pemangkasan dikontrol oleh suatu kesatuan kriteria teknis yang hasilnya
diketahui dan dicari oleh pemangkas. Dengan demikian batu inti memuat sejumlah data yang
tersimpan dalam sebuah struktur volumetris yang khas. Batu inti merupakan tinggalan yang
terbaik untuk mengenali sistem produksi litik yang ditentukan (Boëda, 1994 dan 1997).
Batu inti merupakan sejenis artefak yang valid untuk analisis. Batu inti merupakan
sesuatu yang tepat sebagai bentuk yang dihasilkan atau ditinggalkan, tetapi terutama sebagai
"sepotong" bahan yang diubah dan disusun melalui serangkaian tindakan yang non-arbitrer dan
yang merupakan elemen-elemen metamorfosa berupa bentuk-bentuk dasar alat (support).
Batu inti baru memiliki sifat khasnya ketika pemangkasan dihentikan untuk alasan
tertentu. Produksi berakhir ketika semua kemungkinan telah dicoba atau ketika pecahan yang
dilepaskan dari batu inti membawa kepada suatu keadaan di mana terdapat keseimbangan
antara struktur batu inti dan support yang diperoleh dengan tujuan untuk digunakan.
3.3.2 Konsep Bentuk, Struktur, dan Volume
Batu inti sebagai kunci dalam rangkaian operasional merupakan bukti keterkaitan
antara bongkahan mentah pilihan dan hasil pengolahannya. Batu inti memunculkan konsep
waktu (teknologis) melalui pengulangan fase-fase tindakan, tetapi juga konsep bentuk, struktur dan volume yang berkaitan sangat erat dengannya.Analisis batu inti dalam penelitian ini merupakan pendekatan yang bersifat mekanis,
dan bertujuan untuk mencari tata pengolahan bongkahan-bongkahan. Untuk itu kami membedakan konsep bentuk dan struktur dalam analisis ini.
Jika konsep struktur dan volume sudah sering dibahas dan didefinisikan dalam bidang
teknologi litik (Boëda, 1988a, 1990, 1994, 1997), konsep bentuk agak terpinggirkan di mana
keterkaitannya dengan kedua konsep tadi masih kurang jelas.
Menurut kami, konsep bentuk harus menempati posisi yang sama pentingnya meski
paling sering diserap dalam konsep struktur berkenaan dengan genesis bongkahan (Le
Ricolais, 1959; Boëda, 1997). Sudah tentu dalam beberapa proses pemangkasan terdapat
keunikan struktur yang sering kali dikaitkan dengan banyaknya bentuk yang menyusun
struktur tersebut sepanjang evolusinya: "Bentuk hanyalah suatu saat dalam suatu transisi"
(Bergson, 1907).
Di sini bentuk akan dianggap sebagai pandangan pertama benda dan sering kali
disamakan dengan morfologi. Bentuk menyebut benda "dalam kenyataan" (rupa) dengan
potensi metamorfosis dan perubahannya. Konsep bentuk kerap digunakan ketika bendanya
tidak dapat dinamakan secara pasti. Karena itulah konsep ini berkaitan dengan rupa dan bertentangan dengan struktur yang merupakan dasar dan isinya.
Dari bentuk (alami, mentah, tak teratur) lahirlah struktur melalui kegiatan
pemangkasan, berdasarkan prinsip pengolahan permukaan pemangkasan dan mengikuti konsep yang telah disusun sebelumnya (Boëda, 1994).
Beberapa bentuk bongkahan mempunyai keberadaan obyektif karena memberi
bayangan awal tentang jumlah gerakan teknis yang diperlukan dalam mengikuti konsep yang
dipilih untuk memangkasnya. Terdapat pilihan suatu bentuk awal "X", karena ada motivasi
kegiatan pemangkasan dan sebaliknya.
Bongkahan mempunyai suatu nilai arsitektural tertentu, di mana melalui serangkaian
gerakan yang lebih kurang teratur, pemangkasan membawa tahapan-tahapan perubahan yang
hasilnya menghadirkan sebuah struktur dan sebuah bentuk yang khas.
Di luar bentuk, struktur harus lebih ditonjolkan. Tujuan kami adalah
menguraikan sebaik mungkin peralihan dari bentuk yang dipahami ke bentuk yang
dirancang, yakni strukturnya.
Seperti yang didefinisikan oleh Barthes, struktur adalah "suatu entitas otonom yang
terdiri atas pertautan-pertautan internaI" (Barthes, 1967). Struktur di sini dianggap sebagai
suatu keseluruhan yang terdiri atas serangkaian unsur-unsur tak terpisahkan dan saling
berkaitan serta disusun menurut suatu urutan hierarkis berdasarkan area-area (dataran pukul
dan bidang pangkasan). Struktur tidak Iain adalah penataan bagian-bagian yang menjelaskan
suatu keseluruhan.
Dalam bidang tekIwlogi prasejarah konsep struktur adalah:
"(...) suatu bentuk yang secara hierarkis mengintegrasikan dan menyusun sekumpulan
kekhasan teknis yang membawa sebuah susunan volumetris tertentu" (Boëda, 1997, hlm. 30).
Dari struktur muncul bentuk yang mempunyai hierarki (diolah manusia) dan
volume yang berkaitan dengan bentuk tersebut. Menciptakan sebuah struktur berarti
menemukan mekanisme-mekanisme yang melandasi bentuk geometrisnya dengan cara
mengamati semua unsur yang membentuknya dan merupakan ciri khasnya. Hal inibertujuan untuk memvisualisasikan ciri-ciri kualitatif strukturnya melalui pengamatan
morfologis terhadap jejak-jejak pangkasan yang menstrukturkan bahannya. Pengukuran
hanya dilakukan belakangan (jika memang diperlukan). Oleh karena itu, tujuan utamanya
adalah memahami keadaan tetap (berupa sisa) bahan baku. Batu inti memiliki kandungan
dinamis hasil gerakan-gerakan teknis dan istilah struktur merujuk pada penyusunan suatu
benda mengikuti suatu dinamika internaI.
3.3.3 Batu Inti di Antara Struktur dan Sistem
Melihat himpunan temuan arkeologis sebagai suatu kesatuan yang
menghubungkan pemangkasan bongkahan dan hasilnya, maka kita berbicara tentang sebuah
sistem (Boëda et al., 1990; Boëda, 1991; Geneste, 1991).
Sistem yang kami maksudkan di sini ialah sistem teknis yang disusun dan ditentukan
oleh suatu struktur yang kami cari, yakni struktur batu inti. Analisis teknologis hanyalah
bersifat struktural dan studi batu inti akan dipandang sebagai studi himpunan unsur-unsur yang
saling bergantung satu sama Iain. Dengan kata Iain, setiap perubahan yang terjadi dalam salah
satu bagian dari sistem akan berdampak pada keseluruhannya dan sebaliknya. Secara teoretis
dan pada prinsipnya, sistem ini semestinya dapat disusun kembali dari suatu fragmen dan
hubungan-hubungan fragmen itu dengan unsur-unsur pembentuk Iain (lihat: rekonstruksi
mental).
Studi batu inti tidak berarti menjumlahkan bentuk yang dijumpai, tetapi lebih tepat
ke arah fase-fase tindakan yang berkaitan dengannya dan yang menjadikannya sebagai
sebuah struktur.
Kami akan mencoba mengungkap kekhasan yang tetap atau invarian yang terdapat
pada struktur-struktur di luar detail-detaii tampilan formai: tidak ada sebuah bentuk, melainkan
sejumlah kemungkinan-kemungkinan.
Ciri khas yang invarian terdapat pada tahapan fase pembentukan awal bongkahan yang
paling menentukan, yakni pada saat pembentukan yang kurang lebih abstrak, di antaranya:
- Persiapan batu inti berkenaan dengan konsep Levallois (Boëda, 1994);
- Persiapan batu inti untuk bilah mengikuti "mode" Magdalenian (Pigeot, 1987) atau
Chatelperronian (Pelegrin, 1995), dB.
Ciri khas tetap ini tidak selaiu mudah ditemukan dan terkadang tidakjelas terlihat pada
permukaan batu inti. Ciri khas ini dapat disebut "elementer" karena terdiri atas rangkaian dua
gerakan tangan yang ditujukan kepada serangkaian tindakan yang terbatas mengikuti sebuah
oposisi selang-seling (bergantian) pada Dataran Pukui (OP) dan Bidang Pemangkasan (BP).
Prinsip yang menggunakan aigoritme ini terlihat cukup sederhana pada saat diterapkan, namun
memungkinkan terbentuknya sejumlah batu inti yang sangat kompleks yang disebut batu inti
berfaset (polyedric).
Batu inti pada situs Song Keplek dapat dihubungkan dengan batu inti berfaset atau yang
juga disebut batu inti yang tidak teratur, bulat atau tak berbentuk (Bordes, 1961).
Pada sudut pandang ini, analisis batu inti akan terfokus pada pencarian aigoritme dan
akan mengesampingkan penggambaran lengkap bentuk, atau lebih tepatnya, bentuk-bentuk
yang dijumpai. Batu inti berfaset ini masuk dalam golongan "batu inti dengan morj%gi
bervariasi mengikuti tahap pengo/ahan" (Boëda, 1997, him. 51).Meneliti batu inti berfaset tidak berarti meneliti pembentukan volume batu inti yang
berdasarkan susunan hierarkis yang jelas dari permukaan, seperti halnya pada pemangkasan
Levallois, melainkan berusaha memahami bagaimana pencapaian bentuk-bentuk yang selalu
diperbaharui tersebut.
Seperti diketahui, batu inti berfaset yang bagaimanapun juga, dibentuk mengikuti
rangkaian gerakan teknis dan tidak ada rangkaian gerakan teknis yang tidak teratur dalam
kegiatan pemangkasan batu.
Istilah konstruksi volumetris batu inti, seperti halnya pada rangkaian operasional yang
kompleks (Levallois, laminer, dll.), tidak dapat dipakai dalam hal ini. Oleh karena itu, analisis
batu inti berfaset ini mengundang kami untuk mengusulkan istilah perubahan volumetris
dalam rangkaian tahap pembuatan. Pilihan ini berdasarkan pemakaian algoritme yang
didefinisikan sebagai sebuah proses pemangkasan yang spontan dan diulangi pada kedua
permukaan (DP dan BP).
Analisis batu inti berarti mencoba menemukan Dataran Pukul (DP) dan Bidang
Pangkasan (BP) berdasarkan prinsip dataran yang saling berhadapan, dengan mengesam
pingkan hukum bahan statis dan volume tertutup. Pengamatan batu inti sebenarnya dilakukan
dalam ruang dengan menggambarkan volume dalam bentuk skema dinamis (diakritis) untuk
memahami konsep yang diterapkan dalam strukturnya. Seluruhnya terdiri atas dataran yang
saling berhadapan, perubahan radikal sumbu-sumbu sesuai dengan rotasi volume yang terkait
dengan pembentukan faset-faset dalam proses pemangkasan.
Dalam analisis batu inti, kami telah berencana untuk mencatat:
- ukuran permukaan yang dipangkas;
- orientasi pecahan;
- rotasi volume oleh pemangkasan.
Ketiga unsur ini saling berkaitan dan dapat membantu dalam penelitian genesis
bongkahan bahan yang diubah hingga ke bentuk tetap dan yang dicirikan oleh berakhirnya
pemangkasan.
3.3.4 Menuju Kerangka Struktural Pengamatan Bentuk Berfaset
Seperti yang akan dipaparkan belakangan, semua batu inti dari situs Song Keplek
termasuk ke dalam kelompok bentuk berfaset, seperti kubus, segi empat (tetrahedron), segi
delapan (octohedron), dan masih banyak lagi yang merupakan sejumlah bentuk geometris
dinamis yang tak terbatas. Fasetnya yang berjumlah banyak dan sudut-sudutnya membentuk
batas-batas, yang menandai oposisi antara puncak dan bidang yang sambung-menyambung
dalam satu atau beberapa dataran pukul dan bidang pangkasan. Pengamatan teknologis
terhadap batu inti merupakan sebuah metode yang memadu penataan dan urutan pangkasan per
bidang yang dilepaskan menurut kerangka pengamatan berupa paralelogram (Ilustrasi 34).
Mengapa digunakan Parallelepiped sebagai kerangka pengamatan?
Parallelepiped adalah kerangka sederhana yang dapat mengumpulkan banyak bentuk
benda padat yang teratur dengan batasan-batasan yang nyata, batas-batas pangkasan dan suatu
ide kestabilan tertentu yang akan membantu dalam menemukan algoritmenya. Parallelepiped
akan membantu menemukan arah batu inti serta pengamatan terhadap eksploitasi bidangbidang pilihan.
Parallelepiped bukan hanya suatu bentuk geometris sederhana dan tertutup, tetapi
juga salah satu bentuk yang paling stabil mengingat struktumya yang ortogonal dan sisi-sisi
mukanya yang dapat berperan sebagai unsur-unsur otonom dalam usa ha mencari bidangbidang batu inti yang dipangkas. Pemisahan batu inti dalam konteks ini, apapun bentuknya,
memungkinkan kita untuk mengidentifikasi rangkaian-rangkaian jejak pemangkasan sambil
membuat hierarki permukaan yang berkaitan dengan puncak dan batas-batas bidang
pangkasan.
Sangat penting untuk memperhatikan bahwa kerumitan yang ditemukan berkenaan
dengan faset-faset bidang pangkasan tampaknya lebih besar daripada kemajuan proses
pemangkasan ketika terjadi kehilangan sudut-sudut utama. Oleh karena itu,jikaparallelepiped
semakin dijauhi, jumlah faset batu inti semakin meningkat dan bentuknya mendekati bentuk
bulat semi-teratur (bulat, bola, dll.).
Batu inti yang ditemukan di Song Keplek memiliki berbagai macam bentuk yang
tampaknya menunjukkan kerumitan simetri-simetri. Tetapi batu inti tersebut memiliki kestabilan yang menarik sekali dalam hal morfologi support yang dihasilkan (Iihat di bawah: daftar
tujuh tekno-tipe).
Hal ini memang merupakan bukti nyata bahwa dalam kerumitan bentuk (nucleiform),
terdapat metode algoritmis yang sederhana tetapi mantap. Selama penerapannya prosedur ini
mengikuti keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan bentuk bongkahan.
Batu inti ini, yang kami sebutkan berfaset, karena tidak ada istilah yang lebih tepat,
tampaknya menunjukkan sebuah kenyataan teknologis yang lebih rumit daripada yang pemah
diutarakan sebelumnya.
Kami akan berusaha memahami skema produksinya melalui penafsiran rupa-rupa batu
inti berfaset dari segi teknologis dan morfologis.
Pada penyortiran pertama, batu inti dibagi dalam tiga kelompok utama:
1. Batu inti yang masih dapat diamati atau yang sedikit diubah.
2. Batu inti yang sulit untuk diamati atau yang sangat berubah (terkadang mengarah
pada buangan).
3. Bongkahan-bongkahan beraspek nuc1eiform: diuji melalui beberapa benturan.
Apapun kelompoknya, semua batu inti mempunyai morfologi yang berbeda satu sama
Iain, hanya tingkat pengamatan yang berubah yang membedakan kumpulan yang satu dari yang
Iain.
Oleh karena itu, tidak terdapat dua batu inti yang sama, maka batu inti yang masih bisa
diamati akan dianalisis satu per satu, kemudian dikelompokkan kembali ke dalam tipe-tipe
yang menunjukan skema tujuan dan tindakan khusus. Melalui analisis teknologis batu inti dan
eksperimen, kami akan mencoba untuk mengetahui prosedur manakah yang menghasilkan
bentuk-bentuk sisa yang berbeda-beda sekaligus kurang jelas, meskipun didasarkan pada
sebuah konsep volumetris: apakah tergolong pengolahan permukaan atau pengolahan volume?
Untuk itu, batu inti ditempatkan dan diputarkan dalam ruang secara sistematis untuk mencari
sifat dan arah area-area pilihannya: Dataran Pukul dan Bidang Pemangkasan. Pemutaran ini
paling sering dilakukan menurut sumbu memanjang dari batu dan seluruhnya dimasukkan ke
dalam parallelepiped. Perlu diamati bahwa sumbu memanjang utama sering dianggap sebagai
sumbu pilihan untuk pemangkasan seri pertama dari serpih.
Batu inti yang masih dapat diamati (kelas 1) dibagi dalam tipe teknologis utama
(berfaset dalam arti sempit, prismatis dengan satu dataran pukul, dU.) dan kemudian dianalisis
mengikut sebuah formulir terperinci atau formulir identitas teknologis yang dilengkapi dengan
skema teknis. Berdasarkan keutamaannya dari segi teknologis, beberapa batu inti diteliti
menurut formulir yang memuat unsur-unsur berikut:
- tipe batu inti;
- batu inti yang dieksploitasi kembali menjadi alat atau tidak (tepian yang diretus,
serut-tapal kuda, dU);
- mutu bahan baku;
- bentuk asal bongkahan bahan baku;
- data-data metris (panjang, lebar, tebal) dan berat;
- prakiraan sisa korteks (dalam persentase) atau lokasinya;
jumlah tahap pemangkasan (DP dan BP);
- jumlah dan ukuran rata-rata bidang-bidang pangkasan;
- sebab-sebab terhentinya pemangkasan.
3.4) Penerapan Model Pengarnatan Teknologis
3.4.1 Mengapa Suatu Model?
Mengapa menciptakan suatu model sedangkan fakta-fakta arkeologis yang berasal dari
ekskavasi dapat diteliti secara sederhana? Besar kemungkinan, hal ini berkaitan dengan cara
pandang yang terutama bermaksud mengedepankan keilmiahan, di mana model benar-benar
mendapat tempat dan dapat disimpulkan sebagai sejumlah "antisipasi yang berani dan
prematur" (Bacon, 1986).
Menciptakan sebuah model merupakan hal yang sulit karena menghadapi kritikan dan
penolakan. Model rapuh karena sifat dan penggunaannya yang lebih kurang diulang pada
tingkat generalisasi. Model harus disokong oleh eksperimen (replika eksperimental dari
artefak arkeologi) dan juga dihadapkan pada pemeriksaan koleksi.
Dua alasan utama telah menggiring kami untuk menggunakan sebuah model, yakni:
- Menciptakan sebuah model untuk mencoba mensintesiskan dan menjelaskan suatu
kenyataan, suatu pertanyaan yang diajukan. Model juga tidak dapat dielakkan karena
perbatasan antara kenyataan dan fakta-fakta serta pengamatan yang dilakukan masih
samar. Model akan menyortir dan menyusun intuisi-intuisi awal kita mengenai artefak
yang diteliti.
- Model sangat bermanfaat karena menunjukkan sebuah kenyataan yang disederhanakan dan dipersingkat dari data yang diperoleh dari artefak arkeologis. Melalui
konstruksi dan pengujiannya, model berada pada inti dari kegiatan ilmiah karena diuji,
diperbaiki, dan diubah ketika diterapkan pada kenyataan lainnya.
Dalam bidang teknologi litik, model dipandang sebagai 'yalan keluar virtual untuk
menjawab pertanyaan yang muncul" (Perlès, 1987). Melalui bobot dan rincian pengalaman,
model cenderung berusaha menjelaskan sebuah realitas arkeologis dengan cara membuat
situasi-situasi ideal untuk mensistematisasikan cara-cara melakukan analisis (Boëda, 1994).
Model memudahkan peralihan dari tahapan deskriptif ke tahapan klasifikasi teknologis untuk
mengungkapkan garis-garis besar proses pembuatan.
3.4.2 Model dan Sistem Teknis
I1mu perilaku dan ilmu alam telah menganjurkan jenis langkah ini sejak awal abad yang
lalu, sementara para ahli prasejarah, terutama ahli teknologi, baru akhir-akhir ini mulai
memperhatikan teori umum sistem (Bertalanffy, 1951).
Da1am ha1 ini te1ah di1akukan usaha metodo1ogis untuk memperkena1kan konsepkonsep teori ini da1am analisis industri litik (Perlès, 1987; Geneste, 1985; Boëda, 1994 dan
1997). Da1am bidang tekno1ogi litik terdapat dua sistem teknis utama: sistem pembentukan
(shaping method) dan sistem pemangkasan (debitage method).
Me1a1ui sudut pandang ini, artefak litik merupakan suatu sistem hierarki waktu dan
tujuan akhir: sekumpu1an artefak dan ciri-cirinya yang berhubungan menurut logika
pembuatan (Geneste, 1991; Boëda, 1991 dan 1994).
Keunikan dari sistem teknis ada1ah ja1annya yang me1alui serangkaian keadaan dan
tahap yang berurutan. Pada fase-fase utama proses pembuatan, unsur-unsur ini menyatu dan
saling me1engkapi, tetapi tidak dengan cara yang sama dan tidak pada tingkat yang sama.
Himpunan unsur-unsur ini, yang diwakili oleh produk-produk pemangkasan, membentuk
apa yang te1ah diterapkan dan dinamakan oleh lM. Geneste (1985 dan 1988) sebagai
''pembentukan rangkaian Jase analisis penunjuk teknologis. " Himpunan ini digunakan untuk
rangkaian operasiona1 produksi serpihan Levallois, demikian juga untuk semua jenis
rangkaian teknis 1ainnya.
ltu1ah yang te1ah coba kami terapkan pada ko1eksi-ko1eksi kami di Indonesia, yaitu
dengan mencari tekno-tipe-tekno-tipe yang akan membentuk rangkaian fase tekno1ogis.
Tepatnya dari hasi1 pengamatan (kua1itatif) artefak arkeo1ogis, akan muncu1 suatu mode1
tekno1ogis.
Mode1 yang disertai dengan konfirmasi konkret me1a1ui eksperimen akan menje1askan
dengan setepat mungkin beberapa ciri khas teknis dari artefak dan hukum-hukum i1miah yang
menentukannya.
Arkeo1ogi eksperimenta1, yang berada di 1uar tekanan lingkungan manusia prasejarah,
akan mereproduksi semirip mungkin hasi1-hasi1 pemangkasan seperti ketika ditemukan da1am
ekskavasi. Hal ini bertujuan untuk mendekati ha1 yang statis guna menje1askan ha1 yang
dinamis dengan mencari ana10gi dengan artefak arkeo1ogis.
Meskipun demikian, eksperimen hanya menunjukkan sejum1ah situasi artifisia1 yang
akan tetap ideal. 01eh karena itu, kenyataan arkeo1ogis akan dianggap sebagai te1adan, sebagai
tujuan yang hendak dicapai oleh pemangkas modem (Tixier, 1978; Geneste, 1985; Pe1egrin,
1990 dan 1995; Boëda, 1994). Hal ini dimaksudkan untuk menemukan sebuah keteraturan
da1am suatu seri artefak litik yang tidak teratur, menurut sebuah logika pengo1ahan.
Ciri-ciri mode1 tekno1ogis akan ditopang 1ebih 1anjut dengan sejum1ah gambar
skema, yakni:
- Sebuah skema yang menyebutkan daftar tekno-tipe (invarian tekno1ogis) yang
dipi1ih dan diberi kode untuk penelitian rangkaian tahap e1ementer produksi serpih;
- suatu i1ustrasi skematis dari a1goritme dan prinsipnya;
- suatu skematisasi dari situasi eksperimenta1, da1am bentuk serangkaian gambargambar dinamis. Gambar-gambar tersebut meringkas hasi1-hasi1 eksperimen
dan menggarisbawahi artefak dan proses me1a1ui sebuah prosedur mekanis yang
digerakkan me1a1ui penggunaan a1goritme yang mengu1ang suatu rangkaian teknis
yang sama.Invarian Teknologis atau Tekno-Tipe
Mencari suatu metode pemangkasan, pada dasamya adaIah mencari suatu mekanisme
dan Iogika mekanisme tersebut, di mana sejumIah unsur terpadu berkombinasi untuk mencapai
hasiI yang tidak Iain adaIah akhir dari sistem teknis.
Sebuah metode pemangkasan seIalu dapat ditemukan pada artefak litik, karena selalu
terdapat sejumlah unsur "standar" tetap yang khas dalam berlangsungnya tindakan-tindakan:
"Hanya setelah berhasil mengidentifikasi sebuah ketetapan, eksperimen dapat diselenggarakan: memperbanyak eksperimen kurang berguna sebelum mencapai tahap ini ... dan
bertumpuknya hasil dari sekian banyak pengamatan hanyalah membuang-buang tenaga (. ..)"
(Toulmin, 1953, hlm. 111-112).
Petunjuk-petunjuk teknologis terbaik adalah batu inti dan serpih-serpih yang akan
diidentifikasi, dijumlah, dan diteliti sebagai pertalian-pertalian teknologis dari rangkaian
operasional: tahap-tahap awal atau berhentinya pemangkasan, perubahan-perubahan arah,
kesalahan pemangkasan, dll.
Ketetapan morfoteknologis dari beberapa support mendasari sejumlah pertanyaan
pokok dari pendekatan sistemis. Oleh karena itu, kami melakukan pengelompokanpengelompokan, pencocokan-pencocokan, dan penyatuan-penyatuan bentuk dan ciri-ciri khas
serpih-serpih.
Melalui sejumlah sortiran beruntun, kami teIah melakukan pengelompokan artefak
yang beridentitas teknoIogis sama, sesuai dengan skema diakritis yang sama yang telah kami
sebut sebagai invarian teknologis.
Pendekatan yang diterapkan ditujukan kepada identifikasi dan penjelasan pengulangan
dari sejumlah morfologi serpih-serpih dengan ciri-ciri teknis khas pada bagian atas dan
posisinya dalam proses pengolahan. Dari segi bentuk, pendekatan ini sama dengan pendekatan
yang dikembangkan oIeh É. Boëda untuk pemangkasan Levallois (pemangkasan 1, 2, dan
3 pada Boëda, 1994).
Identifikasi visual tekno-tipe yang mempunyai dasar struktural tetap dilaksanakan
berdasarkan tiga unsur utama yang saling berkaitan:
- Pengelompokkan morfoIogis melalui kekhasan geometris artefak dalam tiga dimensi;
- luas dan posisi pilihan bidang korteks;
- arah yang berulang dari negatif pangkasan (analisis perrnukaan melalui analisis
diakritis).
Serpih-serpih yang berlainan ini dan yang persamaan struktumya tak dapat disangkal
lagi digambar secara skematis (dalam bentuk model) kemudian diberi kode serta dijumlahkan
secara sistematis pada saat pencatatan himpunan temuan. Ciri-ciri struktural support akan
dicocokkan dengan ciri-ciri sistemnya tepat pada saat mengenali keadaan sistem tersebut pada
saat itu juga.
Dalam suatu koleksi yang terdiri atas ribuan artefak, pencarian support yang
berlainan dengan kekhasan morfoteknologis yang tetap selama berlangsungnya pemangkasan,
membuktikan adanya fase-fase beruntun yang berbeda, serta stabilitas relatif dari metode
pemangkasan.
Kami anggap penting untuk mendefinisikan sebuah "kerangka validitas" bagi tipe-tipe
support invarian utama yang diperoleh melalui pengamatan teknologis. Tipe-tipe ini masingmasing mengacu pada tahapan (keadaan teknis) yang juga invarian dari proses pengolahan.Sebuah episode pemangkasan yang terdiri atas serentetan serpih sering tergantung
dari tahap-tahap sebelumnya. Pada umumnya, serpih memiliki jejak tahap-tahap tersebut.
lni merupakan dasar dari sistem itu sendiri, di mana tiap-tiap serpih bergantung pada
keseluruhannya dan tidak terpisahkan. Oleh karena itu, artefak-artefak litik dilihat sebagai
sebuah sistem, di mana tiap-tiap tipe serpih unik tetapi berasal dari episode pemangkasan
sebelumnya dan akan berpengaruh pada episode berikutnya.
3.5) Model Pengamatan Teknologis
Dengan memaparkan unsur-unsur penyusun modelnya berarti kami sudah
memaparkan hasil-hasil yang terutama kualitatif, yang cocok dengan dasar-dasar teoretis dan
metodologis yang dikemukakan di atas. Hasil-hasil tersebut terlihat dalam bentuk modelisasi
sistemis melalui skema-skema yang terperinci dan tidak menyeluruh (rincian dari tekno-tipe
yang dipilih dan skematisasi keadaan eksperimental).
3.5.1 Rincian Invarian atau Tekno-Tipe
Analisis yang kami lakukan berada di antara semacam kesederhanaan dari ketetapan
hasil pemangkasan dan suatu kemajemukan bentuk-bentuk batu inti.
Berdasarkan pengamatan terhadap batu inti dan keseluruhan sisa-sisa pangkasan dari
seri litik di Song Keplek, muncul kesimpulan bahwa tidak ditemukan pemangkasan Levallois
seperti yang didefinisikan E. Boëda (Boëda 1991 dan 1994).
Rangkaian utama di Song Keplek lebih bersifat elementer, yaitu menghasilkan
keanekaan jenis support yang terbatas dan mudah diungkapkan: Dengan kata Iain, rangkaian
tersebut merupakan sebuah varian dari "sistem-sistem produksi pemangkasan support yang
kurang beraneka ragam " (Geneste, 1991, hlm. 20). Kami telah menghitung adanya tujuh jenis
support invarian (Ilustrasi 35).
Metode pemangkasan yang terdiri atas beberapa fase atau episode (paling-paling dua atau
tiga) ini secara nyata membuktikan penggunaan sebuah algoritme melalui suatu susunan
berulang yang pada umumnya menghasilkan sebuah volume korteks yang tersisa dan
tidak diolah.
Berkaitan dengan hal tersebut, di Song Keplekjarang ditemukan batu inti (bahkan yang
berukuran kecil) dan serpih-serpih yang sama sekali tidak punya korteks. Besamya sisa korteks
pada batu inti dan pada sejumlah besar serpih, menunjukkan sebuah metode yang dangkal dan
cepat tetapi memudahkan analisis:
- Pada akhir pemangkasan, batu inti ini hanya sedikit diolah dan menunjukkan
maksud pemangkas secara cukup jelas melalui rekonstruksi tahap-tahap sebelumnya
yang jarang sekali melampaui dua atau tiga episode.
- Besamya area korteks merupakan penunjuk yang baik bagi penelitian tentang
pengelolaan bahan baku.
Pengamatan observasi batu inti dan serpih telah memungkinkan pembuatan hierarki
bentuk dari support tertentu berdasarkan stereotip-stereotip morfoteknologis. Hal itu dilakukan
dengan berlandaskan variabel yang dapat diamati dalam himpunan artefak tersebut. Dalamhierarki ciri-ciri ini, keberadaan sebuah ciri bergantung pada keberadaan satu atau beberapa ciri
Iain yang hadir sebelumnya. Oleh karena itu, hal ini merujuk pada ciri-ciri khas sistemnya.
Kami telah menyisihkan sebuah makna teknologis untuk tiap kelompok invarian yang akan
dirumuskan melalui sebuah skema diakritis ideal. Semua makna tersebut akan mendasari cara
analisis kami atau rangkaian fase teknologis dalam sebuah perspektif global mengenai
pencarian semua tahap dari sistem yang berbeda.
Invarian-invarian ini dan pengulangannya menjadi unsur-unsur yang akan ditemukan
kembali melalui percobaan untuk memahami struktur, urutan, dan tempatnya dalam
rangkaian operasional.
Analisis diakritis hasil pemangkasan memungkinkan kami membedakan dan
memisahkan tujuh tekno-tipe berbeda yang diperoleh menurut arah pemangkasan yang
unipolar atau bipolar (Ilustrasi 35).Urutan Teoretis Produksi Serpih
Dengan membuat replika-replika eksperimental dari tujuh jenis support di atas
(la sampai Id dan 2a sampai 2c) yang berkaitan langsung dengan pemakaian algoritme, kami
berhasil menge1ompokkan support tersebut berdasarkan episode-episode atau rentetan fase
dalam rangkaian operasiona1.
Pada umumnya, batu inti-batu inti yang dijumpai dalam himpunan Song Keplek kurang
diolah, hal ini berarti:
- sedikit episode pemangkasan (analisis diakritis yang disederhanakan);
- banyak korteks pada bongkahan-bongkahan;
- sebagian besar bahan baku tidak dimanfaatkan;
- sebuah bentuk asli bongkahan yang mudah direkonstruksi karena kurang diubah
dalam pengolahan;
- sedikit fase yang diulang dalam pemangkasan. Hal itu memungkinkan untuk
menemukan algoritme yang digunakan untuk pemangkasan;
- hasil-hasil yang dicapai oleh manusia prasejarah diperoleh dengan cukup cepat, yaitu
dengan dua atau tiga pukulan di awal rangkaian operasional (pada umumnya dengan
sisa korteks pada bagian atas) sebuah teknologi cepat;
- serangkaian hasil yang kurang beraneka ragam (Ilustrasi 35).
Kami telah melaksanakan sekitar dua puluhan tes eksperimental pangkasan benturan
langsung menggunakan batu keras (teknik yang digunakan oleh para pemangkas di Song
Keplek) untuk menemukan ketujuh tekno-tipe yang diidentifikasikan dalam himpunan artefak
arkeologis. Oleh karena rangkaian serpihan yang diperoleh kurang beranekaragam, skema
pembuatan bersifat sederhana, dan sering terhentinya pemangkasan selepas dua atau tiga
episode, maka kami memilih untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang sebatas kualitatif
dari studi eksperimenta1. Hal itu dicapai dengan membuat skema dua urutan teoretis yang
selalu terdiri atas sekurang-kurangnya dua episode utama produksi tekno-tipe.
Sebuah urutan teoretis yang ideal menonjolkan suatu produksi serpih persis seperti
yang kita temukan dalam himpunan artefak, dalam arti:
- kurang lebih memanjang dengan sisi sejajar;
- sebagian besar berkorteks, sebagian sisi berkorteks atau sering kali berkorteks pada
bidang ujung (distal);
- disertai dengan batu inti sisa yang sedikit diolah.
Batu inti kurang diolah dan paling sering memperlihatkan satu atau paling-paling dua
episode pemangkasan dengan satu atau beberapa dataran puku1. Hal ini dapat langsung
dikaitkan dengan variabilitas bentuk sisa: batu inti berbentuk prisma, batu inti ortogonal, dB.
Kami berpendapat bahwa keanekaragaman bentuk batu inti yang termasuk dalam
keluarga berfaset ini mengungkapkan sebuah himpunan batu inti yang ditentukan oleh metode
yang memakai algoritme yang sama.
Batu inti akan tampak dipangkas secara tidak merata setelah satu atau lebih episode
yang sering berbatasan dan ortogonal, berdasarkan tingkat pengulangan algoritme (urutan area
pemangkasan dan area dataran pukul). Perlu diperhatikan bahwa dalamjenis pemangkasan ini,
skema produksi yang tidak menghadirkan fase pembentukan bongkahan, berlandaskan pada
sebuah logika pembuatan yang ditentukan oleh algoritme dan urutan tindakannya. Pelepasan
dapat bermula atau berakhir serta merta disebabkan dan diakibatkan oleh algoritmenya.Sesuai dengan morfologi bongkahan asli, fenomena algoritmis yang dipecah ke dalam
episode-episode yang silih berganti ini dapat menjadi tidak stabil sewaktu fase-fase transisi dan
mengakibatkan terhentinya pemangkasan karena habisnya area pemangkasan. Keadaan ini
memicu usaha pencarian sudut untuk melanjutkan pengolahan (rotasi, perubahan dataran: garis
putus-putus dalam skema). Tipe fase transisi atau rotasi ini merupakan jalan keluar teknologis
yang secara logis mestinya menghasilkan artefak "sudut". Jenis artefak ini menyerupai bilah
bergigir (crested blade) berpotongan segitiga dan berprofil baling-baling (twisted, torso)
(tekno-tipe 2c).
Oleh karena tidak ada fase pembentukan bongkahan, pemangkasan dilakukan secara
langsung dan cenderung kepada suatu ortogonalitas tertentu. Pada umumnya ortogonalitas ini
ditentukan oleh bentuk bongkahan yang secara implisit mendefinisikan sifat "matriks" dari
sistem teknis.
Episode pertama yang terdiri atas satu atau lebih pangkasan seperti menyiapkan
bongkahan dengan membuat dataran pukul dan setelah itu dengan mengulangi tindakan ini
sebanyak yang diperbolehkan oleh volume bahan. Akibatnya diperoleh support yang lazim
ditemukan dalam fase pembentukan sistem teknis lainnya. Metodenya dapat dianggap sebagai
sebuah seni persiapan secara terus-menerus, karena tidak merupakan pembentukan volumetris
yang utuh.
Algoritmenya dapat diringkas menjadi satu "sudut" saja. Dalam hal ini algoritme
kelihatan kaku, karena hanya tampak sebagai oposisi dataran pukul dan bidang pangkasan yang
lebih kurang berkelanjutan dalam rangkaian operasional. Akibatnya, terjadi penyusunan
episode yang silih berganti, yang menjelaskan relatifnya ortogonalitas dari negatif pangkasan
pada batu inti dibandingkan dengan dataran pukul pilihan (Ilustrasi 36).
Oleh karena kebanyakan support cenderung berkorteks, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada pemangkasan penuh dalam proses produksi.
Pada umumnya, ketika disinggung ungkapan "fase-fase yang terfokus pada
pemangkasan", maka secara tidak langsung disinggung beberapa tahapan waktu (fase), tetapi
terutama hasil-hasil yang hendak dicapai, yang ditentukan dan menentukan melalui suatu
pembentukan khusus batu inti: jadi, ada tahapan pendahulu (pembentukan awal bongkahan)
dan tahapan sesudahnya (produksi).
Di Song Keplek, rangkaian utama secara jelas hanya punya satu tahapan waktu, yaitu
waktu produksi, yang bersifat operasional dan algoritmis. Kami diperhadapkan pada sebuah
skema pembuatan yang dipengaruhi oleh serangkaian masukan dan keluaran dalam episodeepisode besar secara otomatis.
Berdasarkan algoritme dan prinsipnya, kami menerangkan penerapannya secara
eksplisit melalui skematisasi hasil-hasil eksperimen di bawah ini. Eksperimen tersebut
membedakan variabel-variabel yang disebut bebas (lihat ilustrasi 35: pemberian kode pada
benda-support yang dibedakan atau tekno-tipe).
Ilustrasi 37 menunjukkan prosedur algoritme dengan cara yang disederhanakan.
Produksi berlangsung secara hierarkis menurut episode pertama, lalu episode kedua untuk
kemudian menghasilkan serangkaian serpih yang kurang bervariasi dan yang termasuk dalam
tekno-tipe la, 1b, le dan Id.
Istilah "penghierarkian" di sini berarti episode pertama sebagai fakta pendahulu episode kedua.
Ilustrasi 38 memperlihatkan pemakaian algoritme yang Iain melalui eksploitasi
berulang pada arah yang kurang lebih sentripetal dari bidang pangkasan yang ditandai
sebagai episode pertama. Selain support-support yang biasa ditemui (la sampai Id), tahap ini
memungkinkan diperolehnya support yang dipangkas seluruhnya ataupun yang sedikit
berkorteks dan yang lebih keeil. Support tersebut sering kali kelihatan seperti artefak
Levallois dan benar-benar mengingatkan kita pada support yang diperoleh melalui
pemangkasan diskoidal (Boëda, 1991).
Support yang menyerupai Levallois yang berkode 2a ini ditemukan bersama dengan
benda-support berkode 2b, yang negatif pangkasannya mempunyai arah berlawanan dari arah
umum artefaknya. Hal ini menandakan pembukaan dataran pukul yang berlawanan.
Ketika terhentinya pemangkasan (episode pemangkasan yang pertama) sebab
permukaan kurang eembung dan masalah-masalah dataran pukul lainnya, maka bidang
tersebut menjadi dataran pukul untuk pemangkasan pada salah satu sisi yang berlawanan:
bagian pembentuk kedua dari algoritme ditemukan kembali, demikian juga pengolahan dari
keseluruhan volume bongkahan.
Sepanjang tahapan kedua ini, hasil-hasil yang diperoleh juga berupa serpih: la, 1b,
le, dan Id.
Ilustrasi 39 menunjukkan eontoh pengolahan bongkahan yang hampir menyeluruh (sesuatu yang jarang ditemukan pada koleksi yang diteliti) melalui algoritme yang berputar
pada seluruh pinggiran volume.
Bentuk akhir tinggal memberikan sedikit peluang untuk memproduksi serpihserpih berikutnya.
Jalan keluar dari kebuntuan ini terletak pada perolehan sebuah support yang benarbenar khas untuk menemukan keeembungan dan dataran pukul. Jenis support ini telah ditemukan dalam himpunan artefak dan merupakan tekno-tipe 2e berupa artefak "sudut" yang
sangat menyerupai bilah bergigir. Istilah ini sepertinya kurang tepat untuk teknik dan metode
pemangkasan semaeam ini, karena jenis artefak tersebut hadir bukan sebagai unsur persiapan
pemangkasan (lihat pemangkasan laminer Paleolitik atas), melainkan eenderung sebagai jalan
keluar terakhir untuk meneoba meneruskan produksi tajaman-tajaman.
Di sini tidak terdapat persiapan baru dari sebuah permukaan yang telah habis diolah
seperti yang terdapat dalam konsep Levallois (Boëda, 1994 dan 1995).
Perlu diingat bahwa pembentukan awal batu inti terintegrasi dalam hierarki dua
permukaan, di mana salah satunya menghasilkan pangkasan-pangkasan yang direneanakan dan
yang Iain berperan sebagai dataran pukul. Peran kedua permukaan tersebut (DP dan BP)
sebenamya tidak pemah terbalik kapan pun pada waktu pemangkasan, karena permukaan
tersebut tidak pemah dipersiapkan oleh pertemuan beberapa kriteria teknis. Dalam hal ini
sebenamya digunakan "trik" untuk melanjutkan pemangkasan dengan mengubah sumbu dalam
upaya meneari keeembungan yang sesuai dan sudut yang benar.
Sebuah dataran pukul yang didapat melalui artefak "sudut" memungkinkan kami
memperoleh serangkaian support baru yang sesuai dengan eiri-eiri tekno-tipe 2a, karena
serpih-serpih tersebut memotong negatif-negatif pangkasan dari seri pemangkasan
sebelumnya.Pada Bab III ini telah kami paparkan segi metodologis dan teoretis pendekatan kami.
Meskipun bab ini telah memberi bayangan awal tentang sifat metode pemangkasan dengan
memaparkan algoritmenya, hasil-hasil yang diperoleh terutama bersifat kualitatif. Hasil-hasil
ini merupakan keluaran dari prinsip modelisasi dan berasal dari sintesis yang dihasilkan oleh
pengamatan himpunan artefak litik (pencarian invarian-invarian) dan oleh data hasil-hasil
eksperimen.
Dalam Bab IV kami akan menerapkan sebuah metode analisis yang terdiri atas ketujuh
tekno-tipe yang dipilih pada seluruh himpunan artefak. Kuantifikasi ketujuh tekno-tipe
(Ilustrasi 35) tersebut akan memungkinkan kami menjelaskan kecenderungan pilihan
pemangkasan untuk support tertentu. Kuantifikasi ini akan juga diperhadapkan pada analisis
dinamis batu inti. Seterusnya proses pemangkasan dapat dijelaskan dalam garis-garis besarnya
dan menjadi dasar diskusi.
Analisis Tekllologis
Pertama-tama dipaparkan informasi-informasi yang diterima menyangkut penyediaan
bahan baku, sifat-sifat khasnya serta pengangkutannya ke tempat tinggal (fase perolehan bahan
baku).
Dalam sudut pandang sebatas teknologis yang berorientasi pada pencarian cara-cara
produksi, pada tahap kedua kami menganalisis produk pangkasan yang tidak diretus dengan
beracuan pada ketujuh tekno-tipe yang telah dijelaskan dalam Bab III.
Analisis ini secara sistematis dilengkapi dengan sejumlah data metris yang biasa
dipakai berupa indeks, seperti: indeks kepanjangan (panjang/lebar), indeks ketebalan
(lebar/tebal), perhitungan rata-rata, dU.
Perhitungan rata-rata (panjang, lebar, tebal) hanya dilakukan pada support yang
panjangnya melebihi 20 mm. Pilihan ini akan kami jelaskan dalam bagian 1.2 dari bab ini. Analisis Tipologis
Bagian ini merupakan deskripsi dan inventaris kategori-kategori alat utama yang dipilih.
Support akan dibahas baik dari segi metris, maupun dari segi teknologis seperti produk
pangkasan (yang tidak diretus).
Kami akan membahas pengelolaan support menjadi alat:
- Mengapa support tertentu yang dipilih?
- Apakah support yang telah dipilih ini memiliki kekhasan-kekhasan morfoteknologis
dan metris untuk membuat jenis alat tertentu atau untuk digunakan sebagaimana
adanya?
- Mengapa, dan berdasarkan kriteria apakah manusia-manusia prasejarah
meninggalkan apa yang kami sebut sebagai produk pangkasan atau sisa-sisa
pemangkasan?
Analisis Batu Inti
Dalam bagian ini, kami akan memaparkan hasil analisis skema pembuatan batu inti.
Analisis ini sangat penting untuk memahami sistem produksi yang digunakan disertai dengan
skema teknis dan diakritis.
Baik dalam analisis teknologis maupun dalam analisis tipologis, kami akan
menyampaikan secara beruntun dan terpisah produk dari tiga area kegiatan teknis litik, yakni:
kotak F8, D3, dan B6 (lihat Bab II). Artefak litik yang diperoleh dan dianalisis berasal dari
periode ekskavasi 1992-1995 dan terdiri atas 14.539 buah artefak.
1) ANALISIS TEKNOLOGIS SERPIH
1.1) Bahan Baku
Pendekatan yang kami terapkan pada bahan baku, tempat asalnya dan pengangkutannya ke pemukiman, diarahkan pada tiga pokok:
- pengamatan dan kuantifikasi dari semua jenis bahan baku yang dijumpai dalam
rangkaian artefak yang diteliti (mempertimbangkan hubungan antara alat dan bahan);
- fase eksperimental yang membantu memperkirakan mutu bahan untuk
pemangkasan;
- fase pencarian tempat-tempat bahan baku dalam kaitannya dengan letak situs-situs
yang diteliti melandasi pembahasan tentang kuantitas dan cara mencapai tempat asal
bahan baku tersebut dari tempat pemukiman.
Bahan yang dimanfaatkan adalah batu rijang lokal. Kami belum mengamati bahanbahan dari daerah Iain, seperti obsidian, batu kuarsa dan kuarsit. Perincian tentang kelima jenis
batu rijang yang dipilih telah dipaparkan dalam Bab III.
Satu Rijang: Gambaran Umum dan Mutunya untuk Pemangkasan
Di Song Keplek, bahan baku yang paling sering dijumpai dalam ekskavasi dan di
lingkungan geologis alamiah sekitamya adalah gamping kersikan, yang disebut "rijang" dalam
bahasa Jawa. Batu rijang lokal ini mendominasi himpunan artefak arkeologis, meskipun
terkadang ditemukan juga alat-alat dari fosil kayu atau dari tufa vulkanis.
Batu rijang yang dijumpai di daerah Punung banyakjumlahnya dan termasuk ke dalam
kelompok chert yang berwama gelap. Bahan baku ini meliputi serangkaian batu kersikan
dengan berbagai kadar silika. Pembedaan dapat dilakukan berdasarkan besar-kecilnya tingkat
kebeningan pada tepian serpih.
Batu rijang ini mengingatkan kami pada ciri-ciri fisik dan mekanis dalam
pemangkasaan batu cilcrete yang ditemukan di Australia. Batu yang kelihatan "kering" ini
kurang elastis dan tetap padat pada saat pemecahan. Batu ini memerlukan pemangkasan
langsung yang cukup keras dengan batu pukul yang keras untuk melepaskan serpih, khususnya
untuk serpih pertama atau serpih hasil penetakan. Bahan batu rijang ini terkadang cukup kasar
(bahan baku jenis B8.3) (lihat daftar jenis bahan baku: Bab III, 3.1.6).
Bongkahan-bongkahan rijang yang dijumpai mempunyai struktur homogen dan pada
umumnya berkualitas bagus. Terlihat sedikit dataran retakan dengan multi-arah. Wamanya
kuning gading, abu-abu muda, coklat atau terkadang hitam dengan tepian yang bening (jarang).
Setelah dilakukan banyak tes pada bahan baku ini, kami memutuskan untuk
menempatkan rijang ini dalam kelompok "batu yang cukup baik untuk dipangkas" menurut
skala tiga tingkat untuk kualitas saat pemangkasan seperti yang diusulkan oleh J. Tixer dan
timnya (Inizan et al., 1995).
Korteks yang diamati pada alat litik dan terutama pada batu inti mempunyai ketebalan
yang tidak melampaui rata-rata 6 mm. Wamanya kuning-coklat bahkan oranye. Terlihat kena
air dan sedikit berlubang (korteks baru, khas endapan sungai) menunjukkan bahwa bongkahanbongkahan ini dikumpulkan dari posisi sekunder dalam sungai yang terletak dekat gua, yaitu
Kali Pasang dan Kali Punung.
Dalam himpunan artefak telah ditemukan dua batu inti kecil ("batu inti penetak") dari
batu rijang berwama abu-abu. Keduanya merupakan bungkal (nodul) rijang kecil yang
korteksnya berdebu, berkapur, cukup halus, dan mungkin terdapat pada posisi primer di
tempat sumber bahan baku.
Pada lingkungan yang terletak dekat situs, bungkal-bungkal tersebut terdapat pada batu
kapur perbukitan karst Punung. Bungkal-bungkal yang berbentuk tidak teratur ini banyak
terdapat di kaki tebing sebelah hilir gua atau bahkan langsung di permukaan tanah. Kesulitan
untuk memotongnya dan mengangkutnya membuat manusia prasejarah Song Keplek lebih
memilih mencari bungkal-bungkal di tempat-tempat yang mudah dicapai, yakni di tepi sungai,
sehingga memudahkan pengangkatan.
Dengan cukup keyakinan, kami dapat mengajukan hipotesis bahwa terdapat
kecenderungan untuk melakukan kegiatan pengambilan ketimbang kegiatan ekstraksi di
daerah sumber bahan baku yang terletak dekat situs (beberapa puluh meter dari situs).
Meskipun begitu, kami tidak berpendapat bahwa situs Song Keplek lebih dipilih oleh
manusia prasejarah berdasarkan kekayaan sumber bahan bakunya, karena wilayah Gunung
Sewu pada umumnya sangat kaya akan bahan baku ini.Sumber bahan baku menjadi bagian wilayah geografis yang sama dengan tempat di
mana manusia menetap. Tidak ada kesulitan yang berarti dalam hal pencarian dan pengangkutan
bongkahan hingga ke gua.
Berdasarkan pengamatan teknologis pada koleksi yang diteliti, kami dapat menyatakan
bahwa bongkahan-bongkahan diangkut ke gua dalam keadaan mentah, kemudian dikerjakan di
dalam gua.
Memang dalam himpunan artefak terlihat homogenitas tertentu pada support dan
artefak yang mewakili semua tahap operasional:
- bongkahan mentah (yang diuji atau tidak);
- sejumlah besar serpih primer yang sedikit banyak berkorteks (produk awal dari
kegiatan operasional);
- batu inti yang diolah, sering kali dengan korteks yang banyak tersisa dengan
sedikit episode pemangkasan;
- hasil pemangkasan mumi (sedikit berkorteks) bercampur dengan unsur-unsur
berbagai macam ukuran (serpih dengan panjang kurang dari 20 mm, sampah, dU.);
batu pukul;
- support-alat yang selesai dipangkas, yang diretus atau yang mempunyai jejak-jejak
pakai makro.
Rangkaian operasional di Song Keplek akan dipandang sebagai suatu kesatuan yang
relatif stabil, kaya akan tahap-tahap teknis. Kami telah berhasil melakukan penyambungan
kembali (refitting) artefak-artefak arkeologis dalam kotak F8 (serpih berkorteks pada sebuah
batu inti).
Oleh karena dekatnya jarak aliran sungai dari situs, maka bongkahan dibawa sampai ke
gua dalam bentuk aslinya tanpa dibentuk sebelumnya untuk kemudian dipangkas di situs.
Besar dan berat bongkahan tersebut berbeda, mulai dari sekitar seratus gram untuk sebuah batu
lonjong sebesar tinju, hingga mendekati sepuluh kilogram untuk bongkahan yang terbesar.
1.1.2 Jenis-Jenis Bahan Baku Yang Digunakan Untuk Pemangkasan
Jika melihat batu inti-batu inti dan beberapa bongkahan yang dites, para pemangkas
Song Keplek tampaknya tidak mencari kualitas terbaik.
Dari penjumlahan jenis-jenis batu rijang untuk serpih hasil pangkasan dan alat-alat
serpih (Ilustrasi 40) dapat disimpulkan bahwa manusia prasejarah sering memangkas bahanbahan yang kurang terkersikkan, seperti tercatat pada BB 2 dan BB 3 (bertepian sedikit
bening). Agaknya jenis bahan ini paling banyak tersedia di lingkungan terdekat, seperti yang
kita jumpai di lingkungan sekarang.
Kami berpendapat bahwa tidak ada pemilihan atas bungkal-bungkal tertentu atau bahan
baku tertentu, tetapi lebih cenderung pada penyesuaian metode pemangkasan yang cocok
untuk berbagai bahan, demi menghasilkan support-support yang dikehendaki.
Pada umumnya, pemangkasan batu inti kurang intensifsebagaimana diperlihatkan oleh