Seseorang pembaca tentunya bisa mempersoalkan lebih jauh
lagi, 'aturan' apa yang mesti dipakal untufc 'me~baca 'atur
an-baca' yang menghadangnya sebeluln menjumpai kalimat
pertama dalam karya sastra tersebut? Kaidah bahasa a la
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa melulu tak
bakal cukup menolong.
Hanya Linus Suryadi sendiri yang tabu? Mungkin ti
dak. Tetapi jelas Linus Suryadi yang paling tahu apa yang
dimaksudkannya dengan kalimat tersebut. Bila Linus tak
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksudkannya., entah
dalam buku tersebut atau lewat forum lain di luar penulis-
an buku itu, penafsiranlah yang hanya bisa kita ambil.
Apakah dengan demikian penafsiran itu bisa dikatakan
'salah' atau 'benar' bila berbagai penafsiran pembaca ternya
ta tidak seragam? Bila semua penafsiran dianggap benar,
maka tak akan relevan bila dikatakan hanya Linus Suryadi
yang paling tahu apa yang ada dalam benak kepalanya ke
tika mencantumkan pemyataan tersebut. Sebaliknya hila
kita berpendapat penafsiran pembaca bisa benar, bisa juga
salah, maka pertanyaan selanjutnya, siapakah yang paling
berhak membenarkan atau menyalahkan penafsiran pemba
ca itu? Kritikus Sastra? Bagaimana seandainya beberapa kri
tikus memberlkan pembenaran yang berbeda-beda?l Linus
sendiri . sebagai sang pengarang? Sia-siakah kita membaca
buku' itu tanpa trelebih dahulu bertanya pada Linus dan
mendapatkan penjel~n atas maksud pernyataan itu?
Pertanyaan seperti tersebut di atas merupakan sebagi
an dari pertanyaan-pertanyaan terpenting kaum intelek
tual di Indonesia akhir-akhir ini bila membahas dan berde
bat tentang 'makna' dalam sebuah karya sastra. Di sekitar
permasalahan itu pula saya benninat menjelajahi beberapa
persoalan lain yang berdekatan.
Secara kaku dan harafiah, seorang pembaca berhak me
nafsirkan pernyataan yang terkutip di atas sebagai berikut:
Pengakuan °Pariyem tidak ada sangkut-pautnya dengan
setiap dan semua manusia yang pemah hidup di jagad ini
dalam hal apa pun! Bahkan dengan setiap dan semua pemba
ca maupun pengarang Pengakuan Pariyem, sebab mereka
adalah manusia, adalah "individu dan kalangan tertentu".
Maka Linus juga tidak paling tahu makna pernyataannya
itu!
1. Dalam bukunya yang berjudul Validity in Interpretation, Ed
Hircb, Jr (1967) menyatakan bahwa panfsiran yang paling
tepat tidak dapat bersumber dari orang lain, kecuali kehendak
pengarang itu sendiri. Dalam beberapa hal saya dapat menerima
pendapat tersebut yang disertai dengan alasan-alasan yang cu
kup ~eyakinkan.
Betapa pun penafsiran itu mempunyai beberapa lan
dasan pembenaran, saya yakin pembaca maupun .pengarang
Pengakuan Pariyem tidak setuju dengan penafsiran di atas.
Mereka pasti ingin menafsirkan sesuatu yang berbeda.
Tetapi setiap penafsiran yang berbeda dari penafsiran di atas
terpaksa mengakui adanya suatu sangkutan dan pautan
tertentu antara karya sastra tersebut dengan individu
dan kalangan tertentu. Persoalannya kini, tertentu yang ma
na dan bagaimanakah itu?
Sebelum menjumpai kalimat pertama prosa liris itu,
pembaca juga diberi semacam pedoman membaca lagi2.
Pedoman itu berupaya menjelaskan sangkut-paut tertentu
karya sastra itu dengan individu dan kalangan terientll.
Pada halaman V, tercantum kata-kata:
"prosa Hrik untuk
Umar Kayam".
Sedang pada halaman VII hingga XI dimuat sebuah makala
(baca: 'pedoman' membaca untuk pembaca Pengakuan
Pariyem) yang ditulis Hotman M. Siahaan. Dalam makala
itu dikatakan bahwa lewat Pengakuan Pariyem, Linus
Suryadi
" ... bicara bagaimana konsep nrimo dalam
kultur Jawa, dia bicara bagaimana pentingnya
keseimbangan antara dua jagad di dalam
kehidupan manusia, dia bicara.tentang
konsep Manunggaling Kawula Ian Gusti Ian Gusti yang
sudah amat dikenal $ebagai ciri kultur
Jawa itu" (hIm. IX).
2. Di awal karangan sudah saya sebutkan adanya serangkaian
'aturan baca' yang diharapkan menjadi pedoman untuk mema
hami karya sastra ini. Dalam uraian saya, hanya saya sebutkan
sebagian saja dari rangkaian tersebut, untuk menunjukkan be
berapa contoh bel aka.
Sebagai pembaca prosa lirik itu kita berhak bingung (ber
hak juga tidak?) atas seperangkat pedoman di atas. Benar
kah pendapat Hotman M. Siahaan, bahwa Linus 'berbicara'
(menulis) tentang masyarakat dan budaya Jawa? Setahu kita
Linus mengatakan bahwa dan tidak 'herhicara' (: menu lis )
sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan individu maupun
kalangan tertentu!
Bagaimana hendak kita percayai hila beberapa nama
yang disebut-sebut dalam karya sastra ini tidak mempunyai
sangkut-paut dengan dunia nyata di luar dunia karya
sastra yang satu ini. Misalnya. Wonosari Gunung Kidul
Pulau Jawa, Jumat. Wage, Katolik, G-30-S/PKI, Puskesmas,
Honda dari Jepang, Gamelan di gedhong Sasana Hinggil,
RRI Nusantara II, Kebon Binatang Gembira Loka, Uni
versitas Gajah Mada, Jakarta, dan lain-lainnya? Atau yang
paling menyolok ketika Linus menulis "Bulan ini bulan
April 1979" (Suryadi, 1981 : 103), kemudian sedikit di
bawahnya ada lagu ''Ibu Kita Kartini" yang diberi catatan
kaki bahwa lagu itu "Karya W .R. Supratman" (Suryadi,
1981 : 103)?
Untuk ukuran pengalaman penjualan buku sastra,
Pengakuan Pariyem sering dianggap amat laris. Larisnya
buku itu sebenarnya mengajak kita untuk percaya bah wa
cukup banyak orang yang berpendapat bahwa karya sastra
ini mempunyai sangkut-paut tertentu dengan pembaca ter
sebut secara langsung, maupun individu dan kalangan ter
tentu lain yang bersangkut-paut dengan pembeli dan pem
baca buku ini. Soal benar atau kelirunya kepercayaan dan
pendapat itu, masalahnya berbeda. Paling tidak Linus di
anggap terlibat, dan tidak hanya Linus yang terlibat! Tidak
juga hanya Umar Kayam.
Dengan demikian kita mendapatkan masalah utama dari
semua hal ini : mengapa Linus Suryadi (merasa perIu)
menulis pemyataan yang terkutip di awal tulisan ini?
Ba~ masyarakat 'moderen' (apalagi kaum intelektual)
In.donesla yang sudah terbiasa mengikuti perkembangan
seJarah sastra mutakhir Indonesia, pasti tidak sulit untuk
menghubungkan persoalan utama yang saya rumuskan di
atas dengan gagasan yang berseliweran dalam masyarakat
sastra moderen Indonesia: "Sastra itu berotononti mutlak".
Saya tidak berminat membahas panjang lebar pengerti
an yang dikandung oleh semboyan ten tang otonomi mutlak
sastra itu, ataupun urutan perjalanan sejarah sastra dan
masyarakat Indonesia yang memungkinkan hadirnya gagas
an itu selengkap-Iengkapnya. Di mana terasa perlu saya ha
nya ingin menyinggung beberapa hal di latar belakang per
soalan ini. Secara singkat, gagasan itu bertolak dari pemikir
an bahwa karya sastra itu hanyalah rekaan atau khayalan
belaka. Maka sebuah karya sastra tidak boleh dikait-kaitkan
dengan kenyataan hidup dan aturan masyarakat serta alam
yang berlaku dalam kenyataan hidup sesungguhnya. Sastra
dianggap menghuni suatu wiIayah antah-berantah yang tak
boleh digauli oleh hal-hal di luamya.
Gagasan seperti itu pasti tidak mendadak hadir di ne
geri antah -berantah pula. Ia hadir dalam beberapa benak
manusia Indonesia yang bergaul dengan dunia sastra Barat.
Dalam sastra tradisional, gagasan seperti itu tak hadir.
Walter J. Dng (1977 : 213-229) pernah menjelaskan dengan
cukup meyakinkan timbulnya gagasan seperti itu dalam
sejarah sastra Barat. Secara khusus, lahirnya gagasan seperti
itu dihubungkan secara mendasar pada pertumbuhan
budaya baca-tulis, kemudian disambung dan dipergalak oIeh
penerbitan buku cetakan (abad 15), aliran Romantisme
(pertengahan akhir abad 18) dan gerakan New Criticsm
di Inggris maupun Amerika, serta strukturalisme (abad
20). Dengan memuncaknya budaya baca-tulis, tradisi sastra
lisan yang selalu mengkaitkan sastra dan seluruh aspek
kehidupan manusia disingkirkan. Tulisan mampu memisah
kan penutupan sastra lisan dari penutur dan suaranya dan
penikmat sastra yang mendengar. Sebuah naskah sastra
hadir menjadi benda mati yang tetap hadir dan tak berubah
walau penulisnya maupun segenap umat manusia mati.
"A poem .should not meanlBut be" kata Archibald Macleish
(Ong, 1977 : 213), sebab bila puisi diberi makna, puisi
terpaksa' harus dikait-kaitkan dengan hal-hal lain di 1 uar
.karya sastra tersebut. Budaya baca-tulis yang membina
kehidupan berspesialisasi kerja, pemecahan masyarakat
meniadi indiVidu-individu yang terasing dan sikap anali
tis,' kritis, obyektif memberikan dampaknya pada dunia
kesenian umumnya, dan sastra khususnya. Sebuah karya
sastra dikatakan dicipta ol~h pengarang, sehingga
hak-cipta menjadi suatu pranata sosial (Heryanto, 1983).
Istllah cipta itu sendiri berarti mengadakan yang belum ada
dari suatu yang hampa (Heryanto, 1982c). Karena itulah
sejak masa gemilang aliran romantik, para seniman getol
berbicara tentang kreativitas (dari kata create = mencipta).
Maka sebuah kcirya sastra harus didekati secara obyektif,
seperti juga masyarakat Barat sejak abad 19 menghampiri
hampir berbagai sasaran ilmu pengetahuan lainnya. ~rilai
sastra dianggap universal sesuai dengan usia teks sastra
tertulis yang bisa melampaui. batas usia manusia beberapa
zaman dan penyebarannya melampaui batas-batas negara.
Untuk masyarakat sastra moderen di Indonesia,
beberapa istilah-istilah kunci yang populer di Barat pada
~asa itu tidak menjadi terlalu asing lagi sejak beberapa pe
muda Indonesia bersekolah di lembaga pendidikan asuhan
pemerintah Hindia Belanda. Ketergantungan sistem pen
didikan form~ , sistem budaya baca tulis dan cetak (sastra)
di Indonesia pada model yang tersedia di negeri
Barat pada zaman sesudah revolusi hingga masa kini membe
rikan banyak penjelasan mengapa di Indonesia masih kuat
bercokolnya gagasan seperti itu. Istilah 'kreativitas' masih
menjadi semacam mantera ajaib yang dikejar di mana
mana, bahkan di seminarkan secara khusus oleh lembaga
tertinggi pembina dan penyelenggara kesenian Indonesia
di ibukota negeri itu belum lama ini.
Di Iingkungan kecil dunia sastra moderen Indonesia
yang meme~ciIkan diri (Heryanto, 1982a), semboyan Archi
bald MacLelsh terkutip di atas dijadikan salah satu ayat
suci beberapa penyair Indonesia yang mengaku menjadi
penyair imaji. Semen tara Prof. A. Teeuw (1980 : 9) yang
hingga kini hampir dianggap menjadi 'Paus' sastra Indonesia
II sesudah HB Jasin ikut menandaskan pentingnya mende
kati karya sastra secara "intrinsik" dan "obyektif,,3. Semen
tara buku Theory of Literature karya Rene Wellek dan Aus
tin Warren (1975) yang masih sealiran dengan gagasan
universal itu dipakai sebagai bacaan wajib dalam banyak
fakultas sastra Indonesia4 • Sebuah daftar lebih panjang
dapat dibuat untuk menunjukkan berbagai contoh bukti
3. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul U Tentang Membaea
Sastra" di majalah Budaya Jaya (Jakarta, 1977)-- sekarang sudah
dibukukan, dan merupakan salah-satu dari kumpulan esai Mem
baca dan Menilai Sastra (Jakarta, Gramedia, 1983, editor).
Prof. Teeuw membahas; panjang lepar tentang otonomi dunia
fiksi karya sastra. Sayang pada saat ini saya tak berhasil menda
patkan kembali artikel itu untuk saya kemukakan seeara ter
perinci dalam daftar bacaan dengan nomor dan bulan pener
bitan majalah tersebut. Yang jelas, gagasan Teeuw dalam artikel
itu mendapat banyak sambutan. Bahkan seorang dosen sastra
terkemuka dari salah satu unversitas nomor wahid di Indonesia
pernah menjiplak patokan gagasan Teeuw tersehut ketika me
nyampaikan suatu ceramah tentang sastra Indonesia di Y. ogya
karta tahun 1981. Dalam artikel "Estetik, Semiotik dan Sejarah
Sastra" yang saya ku tip di sini, reeuw mengakui kelemahan
pendekatan sastra struktural yang tak mau berususan dengan
perkara di Iuar dunia sastra, tapi beliau masih mempertahankan
pendekatan yang disebutnya :'intrinsik" dan "obyektif"
(Teeuw, 1980 : 9)
4. Di balik niat baiknya untuk memperhitungkan berbagai kera
gaman karya sastra dan konteks sejarahnya, Welleck dan Warren
tidak luput juga dari kecenderungan memukul-rata teori sastra,
berdasarkan tradisi sastra Barat yang membentuk latarbelakang
nya. Salah satu eontoh yang dekat dalam ingatan saya ialah
seperti yang menjadi kritik A. Sweeney (1980 : 3) terhadap
mengalirnya gagasan sastra otonomi, kritik sastra obyektif,
dan makna sastra universal daIam dunia sastra moderen di
Indonesia. Daftar seperti itu tidak diperlukan di sini. Saya
juga tak menyangkal jasa besar mereka daIam beberapa hal
untuk pemahaman intelektuaI kita tentang kesusastraan.
Tapi berikut ini saya pilih sebuah ilustrasi konkret atas
akibat yang terjadi dari pertumbuhan gagasan yang lahir
dati masyarakat baca-tulis pada abad lalu dan dipakai
dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat kuat dikua
sai corak budaya lisan.
Pada bulan September 1982 yang laIu masyarakat
Indonesia yarig biasa membaca koran mungkin sekali mem
baca sebuah berita yang cukup unik. Seorang pemuda
berusia 19 tahun, Ynt alias JLD, dijatuhi hukuman penjara
tiga dengan masa percobaan delapan bulan. Ia dinyatakan
bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Ujung Pandang yang
telah mempelajari tuntutan Rffi, seorang gadis 18 tahun
yang merasa namanya dicemarkan oleh Ynt dalam sebuah
cerpen berjudul "l{enangan .Manis di SMA". Dalam cerpen
itu ada tokoh gadis bernama Rm yang dicium oleh JLD.
Tak lama s.ete}ah peristiwa itu, Seno Gumira Aji
danna, seorang kolumnis dan cerpenis yang tulisannya se
ring dimuat harlan Kompas menulis sebuah artikel ber
nada penasaran dan marah dalam harianKompas (Ajidarma,
1982). Ia berusaha mati-matian dengan gagasannya untuk
membela Ynt alias JLD pengarang cerpen di atas. Pada saat
yang bersamaan ia menyalahkan Rffi, keluarga RIB dan
Jaksa serta Hakim dalam .pengadilan tersebut. Menurut
gagasan bahwa makna sastra ditentukan oleh sejarah kritik
sastra (Wellek & Warren, 1975 : 42). Seakan-akan setiap masya
rakat yang bersastra mempunyai tradisi kritik sastra besertanya.
Teeuw (1980 : 2) juga mengakui pengalaman Rene Wellek pada
tahun 1920-an berorientasi pada pendekatan sastra yang intrin
sik, obyektif dan lepas dari latar-belang sejarahnya, pengarang
nya dan niat pengarang itu ..
Ajidarma orang-orang yang tersebut belakangan ini telah
mencampur-adukkan antara realitas dan imajinasi. Prinsip
yang digenggam kukuh oleh Ajidanna ialah "Cerpen adalah
dunia imajinasi, sebuah dunia fiktif, di mana hak otonomi
pengarang adalah mutlak tak bisa diganggu gugat" (Aji
darma, 1982 : 4).
Kasus yang saya ajukan di atas bukanlah satu-satunya
kasus yang pernah disaksikan masyarakat Indonesia, bukan
juga. yang pertama, serta mungkin sekali bukan yang ter
akhir. Ajidarma sendiri menyebutkan beberapa kasus serup~
dengan penilaian yang tak berbeda. Dari perkara cerpen
Langit Makin Men dung, Novel Bumi Manusia, filem Se
rang an Fajar hingga novel Arjuna Alencari Cinta, yang
tak diizinkan pemerintah memakai nama Arjuna ketika di~
filemkan. Saya terdorong untuk memandang ketegangan
ketegangan sosial seperti ini yang mendorong seorang pe
ngarang sastra seperti Linus Suryadi untuk merasa perlu
mengajukan pernyataan yang saya kutip di awal karangan
ini. Ini ta}{ lebih dari sebuah sikap berhati-hati. Nanti akan
saya tunjukkan betapa wajarnya sikap hati-hati ini walau
kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam karya sastra
tersebut.
Tapi pertanyaan yang kemudian tak kalah pentingnya
muncul: adakah karangan - apapun - yang mampu men
jadi gambaran yang sesungguhnya dari suatu realita individu
atau pun masyarakat yang mana pun? Dalam bagian kedua
karangan ini, saya nanti berusaha menjawab pertanyaan
ini : tak ada satu pun karangan manusia yang mungkin
menggambarkan (yang sesungguhnya) suatu realita. Tapi
sebelum ke situ, ada beberapa hal lain yang perlu kita per
timbangkan dalaln kaitan sastra sebagai karya fiksi dengan
fakta suatu realita.
Selama ribuan tahun masyarakat Indonesia telah me
nikmati 'sastra'. Tentu saja sastra yang saya maksudkan .
di sini tidak terbatas pada karya tulls. Anak sekolah Indo
nesia pada akhir-akhir ini diajar oleh guru-guru mereka un
tuk memahami 'sastra' sebagai terjemahan dari istilah Be
landa literatur, atau istilah Inggris literature yang mengacau
pada karya tulis. Anak-anak sekolah di Indonesia diajar
tentang istilah 'kesusasteraan' berasal dari kata su-artinya
baik dan sastra artinya tulisan. Padahal sastra semula dipaha
mi masyarakat di Indonesia sebagai ilmu, pengetahuan,
kepandaian, kecakapan, kawruh, ngelmu, ajaran, weda, atau
agama (Heryanto, 1982a).
Selama ribuan tahun itu pula sastra tidak dipahami
sebagai 'dunia imajinasi', sebagai 'dunia fiktif' yang dipisah
kan atau dipertentangkan dengan dunia 'nyata'. Dongeng,
legenda, atau hikayat diyakini sebagai gambaran 'sesungguh
nya' tentang manusia, masyarakat, alam dan berbagai peris
tiwa yang melibatkan mereka di masa lampau. Bahkan sas
tra tradisional yang diungkapkan secara lisan itu dianggap
sebagai sumber pengetahuan yang dapat menjelaskan 'asal
usul nenek moyang mereka, gunung, kota, kekuasaan raja
dan sebagainya. Hanya lew at sastra seperti itu mereka mam
pu mengungkapkan dan mewariskan pengetahuan tentang
'reaIita' yang sesungguhnya yang pernah mereka fahami.
Sarana lain tak tersedia. Buku tak ada, mesin cetak tak ada,
foto copy belum hadir, kamera dan kaset rekaman suara
belum tersedia. Dmu pengetahuan tak mungkin dapat
diuraikan dengan bahasa yang tidak 'sastra' sebab uraian
abstrak yang analitis akan punah dari ingatan bila tidak di
ungkapkan dalam bentuk cerita, yang berpola cukup ketat.
Padahal ingatan merupakan satu-satunya modal kekuatan
untuk mewariskan pengetahuan akan 'realita yang sesung
guhnya' lewat bahasa dati hari ke hari, dari satu kampung
ke kampung lain, dari satu jaman ke jaman berikutnya.
Hanya dengan tersedianya medium komunikasi ber.upa
bahaSa tertulis, dan kemudian mesin cetak, suatu masyara
kat baru mungkin mengembangkan kemampuan mengung-
kapkan suatu pengetahuan secara analitis, bebas dari kung
kungan struktur dongeng, legenda atau hikayat. Usaha ke
arah itu pun tak pernah dapat mudah dikerjakan dalam
satu atau dua tahun belaka.
Pengalaman para pemimpin sastrawan Pujangga Baru
dapat diketengahkan di sini untuk memberikan ilustrasi
yang lebih konkret. Pada tahun 1930-an perintis sastra
Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana mencaci sastra
tradisional karena dalam sastra tradisional ini :
"Permulaan cerita hampir sarna sekaliannya. Jalan
cerita itupun kadang-kadang telah menurut sebuah
model. Sebelum sebuah kalimat habis, sering telah
dapat kita menyambung kalimat i.tu seterusnya. Ka
lau seseorang menghadap raja telah tabu kita yang
akan dikatakannya, betapa ia menyusun perkataan
nya. Kalau melukiskan peperangan kit a telab tahu,
perkataan apa yang akan diucapkan berhubung de
ngan hebat peperangan itu. Kalau ada seorang gadis
yang cantik, kita telah tahu, betapa kecantikan gadis
itu kelak akan dilukiskan" (Jassin, 1963 : 23).
Apa yang dinyatakan Takdir itu bukan salah sarna sekali.
Hanya saja Takdir belum diberi kesempatan oleh zamannya
untuk memahami mengapa sastra lisan terbentuk demikian,
dan mengapa kelompoknya tidak? Apakah yang lama le
bih bodoh dari yang baru bila diukur menurut kondisi
zaman masing-masing? Sebelum matangnya budaya tulis
menulis dalam masyarakat pad a suatu zaman, sastra me
reka tak mungkin mengelak dari pengaruh tradisi sastra
lisan. Sedang tradisi sastra lisan tidak bisa tidak me~g
ulang-ulang ungkapan yang sudah kuat dan mapan dalam
ingatan. Sebab bila tidak diu lang, warisan tradisi itu punah,
karena hanya sekali diungkapkan dengan suara dan tak sem
pat terekam oleh tulisan. Takdir (seperti setiap manusia
lain) terjebak oleh bingkai berfikir yang dihasilkan zaman-
nya; ia mengukur nilai sastra dalam zaman yang b.erbeda
menurut suatu patokan tunggal yang dianggap unIversal.
Padahal karya-karya sastrawan Pujangga Baru juga tak ber
basil - tak akan mungkin pernah berhasil - memperbaharui
segala sesuatu dan menghapuskan sisa-sisa watak sastra dari
zaman sebelumnya yang dikritiknya.
Sedang karya-karya sastra Pujangga Baru yang pada
zamannya dianggap 'serba' bam dan moderen mendapat
kecaman keras dari kalangan masyarakat yang lebib 'kuno'
dan 'kolot'. Tapi saya lebih tertarik menunjukkan di sini
apa dasar kecaman mereka daripada sekedar membuktikan
adanya suatu ketegangan so sial. Dalam penerbitan Bintang
Timur 11 Oktober 1933, seorang penulis bernama Mara
Sutan alias si Pulut-Pulut, menyatakan keberatannya atas
pembaharuan . yang dikerjakan para sastrawan Pujangga
Bam, hukan karen a isi yang bam, tetapi perubahan bentuk
susunan bahan-bahan isi itu yang menggelisahkan! Salah
satu bukti yang dipakai untuk kritiknya ialah karena syair
sastrawan Pujangga Baru tidak dapat dinyanyikan sesuai
dengan pola irama bersyair Melayu yang tradisional (Jas
sin, 1963 : 13-14). Untuk kita cukup jelas, masuknya prak
tek tulis-menulis tidak dengan mendadak mengu bah konsep
"sastra" masyarakatnya dari yang serba 'lisan' (nyanyi)
menjadi 'baca-tulis' yang individual dan menyendiri dalam
sunyi.
Miskinnya pemahaman akan hakekat dan fungsi sas
tra tradisional yang lisan seperti itu telah pula menyesat
kan gambaran para ahli sastra terkemuka di dunia Barat
selama ratusan tahun hingga abad ini tentang karya sastra
Homer, atau bahkan buku Plato yang berjudul Republic.
Ketika membaca karya Plato tersebut, banyak penganut
gagasan Plato yang terheran-heran; mengapa Plato menye
rang para penyair dan syair habis-habisan, menganggap
mereka $ebagai musuh masyarakat dan menuntut agar
mereka dienyahkan dari masyarakat? Karena para tokoh
sastra di Indonesia masih banyak yang terasuh oleh fikiran
fikiran ten tang sastra yang muncul di dunia Barat, tak ter
lalu mengherankan bila seorang seperti Sapardi Djoko
Damono pun mengungkapkan keheranan yang sama. ''Dan
pandangan ini agak aneh karena justru: ditampilkan oleh
seorang filsuf yang merasa yakin bahwa kenyataan terting
gi tidak berada di dunia ini tetapi di ddnia gagasan" (Da
mono, 1979 : 18).
Buku Eric Havelock (1976) berjudul Preface to Plato
merupakan salah satu perintis gagasan yang menumbangkan
bangunan gagasan para ahli sastra sebelumnya yang sangat
kokoh. Havelock dan rekan-rekan se'aliran' nya tentu saja
juga mampu berbuat demikian berkat jasa para peneliti
sebelumnya. Penelitian Milman Parry dan Albert B. Lord
atas karya sastra para dalang dan penglipur lara di Yugo
slavia merupakan salah satu obor penerang yang amat pen
ting bagi banyak pemahaman bam ini (Lord, 1978). Dije=
laskan oleh Havelock, kecaman Plato terhadap penyair
dan puisi -- sebuah nama yang bisa menyesatkan sebab ia
bermaksud menyebut semua sastrawan dan karya mereka
pada jaman jtu di Yunani - tersebut sarna sekali tidak aneh ..
Mereka yang menganggapnya aneh adalah mereka· yang
kurang memahami apa yang dimaksudkan oleh Plato sebagai
penyair dan syair, sebab mereka telah terkungkung oleh
makna istilah 'penyair' dan 'syair' dalam masyarakat mode
reno Mereka tidak memahami bahwa Plato memang menye
rang karya sastra sebagai salah satu sumber pengetahuan
tentang kenyataan, bukan fiksi atau imajiner belaka pada
zaman itu.
Padahal pada masa hidup Plato, tulisan sudah dipakai,
walau kebanyakan anggota masyarakatnya masih buta
huruf. Kebanyakan yang bisa menulis paling-paling. hanya
mampu membuat tanda-tangan. Walau budaya tulis-menulis
terus berkembang setelah Plato mangkat, masyarakat
Eropah yang sudah turun-temurun menghayati kehiduPaIl
'sasua' lisan tak dengan segera bangkit dari buaian 'sastra'
yang mencarnpuradukkan 'fiksi' dan 'fakta'. Hal ini berlaku
juga untuk masyarakat di Indonesia, walau saya tidak ber
maksud mengatakail keadaan di Yunani abad ke-5 8M
sarna dengan di Indonesia abad ke-20.
Yang dapat diperbandingkan antara masyarakat
Yunani pada masa hidup Plato dan masyarakat Indonesia
pada hari ini ialah ketegangan antara dunia nHai budaya,
karena masyarakat sedang berada di perbatasan antara hidup
dalarn dunia mitis sastra lisan dan dialektik sastra tulis.
Yang juga mirip walau tak sama persis, perubahan dalam
tp.asyarakat yang hidup dari satu btidaya memasuki budaya·
yang baru memakan waktu yang tidak singk~t.
Walau masyarakat di Indonesia telab mengenal tulis
an - paling tidak setua yang terungkap oleh penulisan
prasasti - selama belasan ratus tabun, kemudian mengenal
mesin cetak dan buku, warga masyarakat ini tidak men
dadak bisa melepaskan diri dari dunia mitis yang terbina
oleh sastra lisan. Hingga han ini pun tidak sulit bagi kita
untuk mencari aktris yang merasa harus menanggung be
ban mental bila djminta memerankan tokoh pelacur dalam
sandiwara atau bahkan filem. Mereka tidak kuno atau
bodoh, sebab mereka mengenal betul masyarakatnya yang
belum terdidik untuk memisahkan antara yang 'fiksi'· dan
yang 'fakta' menurut versi kaum terdidik di Indonesia.
Seperti juga citra masyarakat luas di Indonesia tentang
orang berkulit putih yang nyata terbina dari apa yang me
reka saksikan dalam filem yang fiksi. Karena itu agak ber
beda dari pendapat Ajidarma yang hanya menyalahkan
pemerintah, saya dapat memahami pelarangan pemakaian
nama 'Muna' untuk filem yang bersumber dari novel
Arjuna Meneari Cinta dalam masyarakat yang mayoritas
nya tidak membaca novel, tapi yakin bahwa Arjuna meru
pakan salah satu nenek moyang mereka. Saya tidak setuju
bila masyarakat ini harus dibiarkan hidup terus-terusan
dengan kepereayaan yang demikian tentunya. Tetapi - dan
ini yang berbeda dari masyarakat Yunani kuno - bagi
masyarakat yang terbiasa menikmati 'sastra' dalam wayang,
tanpa melewati pendidikan budaya buku, langsung menik
mati 'sastra' dalam filem yang seeara radikaI berbeda me
mang bisa menimbulkan suatu penderitaan yang tak ter
kira.
Ketika saatnya telah eukup matang bagi budaya baea
tulis untuk menggubah suatu masyarakat yang semula
hidup dalam kungkungan budaya lisan, muneul pembelahan
antara apa yang dianggap karya tulis fiksi dan apa yang
dianggap karya tulis faktuaI. Bila keduanya mengungkap
kan ten tang suatu rentetan peristiwa manusia, maka muneul
pengertian barn tentang apa yang dinamakan sastra dan apa
yang dinamakan sejarah. Kemampuan memisahkan kedua
nya dapat dianggap merupakan suatu prestasi intelek yang
menakjubkan, tapi bukan tanpa keterbatasan dan kesulit
an. Pada masa pemisahan kedua ragam penulisan tersebut
dipertentangkan seeara tajam dan dianggap berlaku untuk
semua karya tulis yang dianggap masuk dalam kotak-kotak
'sastra'dan 'sejarah', muneuI problema baru.
Kata Orang: Sejarah itu Obyektif dan Faktual
DaIam Seminar Dmu, Seni, dan Masyarakat yang di
selenggarakan oleh PPSK Universitas Gajah Mada, Agustus
1981, muneul dua tokoh masyarakat yang mengajukan
makaIa membahas hubungan antara Sastra dan Sejarah.
Yang pertama, makala Kho Ping Hoo, berjudul "Peristiwa
Sejarah & Karya Sastra dan Masyarakat". Berulang-ulang
ditekankan oIehnya perbedaan antara 'sejarah' dan 'sastra'
yang pada intinya terungkap dalam kutipan di bawah ini:
''Tentu saja terdapat perbedaan pokok antara penulis
an sejarah dan penulisan karya sastra. Sejarah merupa-
kan catatan perlstiwa yang terjadi di masa lampau.
Oleh karenanya, penulisan sejarah harus ditulis ber
dasarkan kenyataan dan bukti-bukti sejarah yang sah.
Sebaliknya; penulisan karya sastra fiksi adalah hasil
khayaIi, sedangkan peristiwa sejarah dan tokoh-tokoh
nya yang terdapat dalam karangan itu hanya latar
belakang saja" (Kho, 1981: 2)
Bila Kho Ping Hoo dalam makalanya mengaku sebagai
seorang awam, bukan seorang terpelajar tinggi, maka kini
kita perhatikan pendapat yang dapat dianggap terpelajar
tinggi. Kuntowijoyo dalam makala berjudul "Peristiwa
Sejarah dan Karya Sastra" menyatakan bahwa:
"Sejarah mengemukakan gambaran ten tang hal-hal
sebagai adanya dan kejadian-kejadian sebagai sesung
guhnya terjadi . . . Tidak begitu halnya karya sastra"
(Kuntowijoyo, 1981:3).
Kuntowijoyo memang mengaku perbedaan-perbedaan anta
ra sastra dan sejarah hanyalah suatu asumsi teoritis yang
dalam pelaksanaannya sukar (artinya bisa) dibedakan.
Bahkan Kuntowijoyo dalam makala yang sama dengan
sengaja tidak memasukkan apa yang dinamakan "histo
riografi tradisional" seperti babad, hikayat dan sebagainya.
Hal ini sudah saya singgung-singgung sedikit di depan.
Tetapi di sini saya ingin mengaji bahwa bahkan secara teo
ritis belaka dan hanya memperhitungkan karya sastra mo
deren dan karya sejarah moderen, perbedaan apalagi per
tentangan kedua macam penulisan sulit diterima.
Walau teori memang dapat dibedakan dengan prak
tek - secara teoritis - setiap teori itu harus dapat diper
tanggungjawabkan hubungannya dengan praktek yang ada.
Dengan mengajukan perbedaan 'sastra' dan 'sejarah' secara
teoritis, maka harus dapat dijelaskan dengan teori yang sama
mengapa apa yang disebut "historiografi tradisional" di-
anggap tak perlu diperhitungkan. Selanjutnya, secara teo
ritis pula kita bisa mempertanyakan; apakah masyarakat
Indonesia yang menciptakan babad dan hikayat (historio
grafi tradisional) dianggap sebagai nenek moyang bagi
masyarakat Indonesia moderen yang dapat menghasilkan
karya-karya 'sastra' dan 'sejarah' moderen? Bila jawabannya
"ya" maka pertanyaan yang amat mendasar ialah: bila
suatu masyarakat berkembang dan berubah dari "tradisio
nal" menjadi "moderen" apakah dengan demikian mereka
hidup dan menghasilkan dua macam budaya yang sarna
sekali terpisah oleh perbedaan-perbedaan sifat? Bila dari
budaya tradisional ada yang masih melekat dalam budaya
moderen, apakah hal ini juga berlaku untuk penulisan
karya 'sastra' dan 'sejarah 'nya? Apakah sejarah suatu
masyarakat bisa diamati seperti kue lapis, yang setiap
lapisnya bisa dikelupas, terpisah dari lapisan-Iapisan lain
nya?
Saya cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan
bahwa tak ada suatu fakta dan peristiwa apa pun yang
mampu difahami dan diungkapkan kembali untuk difahami
orang lain secara total, obyektif, dan netral, atau seperti
kata Kuntowijoyo"sebagai ses'Jngguhnya -terjadi". Sebalik
nya saya juga mempercayai pendapat bahwa tak ada ung
kapan atau karya sastra yang paling imajiner mana pun
yang sanggup memiIiki wilayah otonomi mutlak, subyektif,
dan" tak ada sangkut pautnya apa pun dengan individu
atau kalangan tertentu". Mengapa sampai ada suatu kelom
pok masyarakat yang mempercayai adanya karya sastra
yang serba 'fiksi' maupun karya sejarah yang serba 'faktual'
merupakan suatu topik yang sangat menarik untuk digali
dan dipelajari secara lebih mendalam di luar karangan ini.
Bahasan Scholes dan Kellog (1966) tentang hal ini di dalam
masyarakat Eropa dapat merangsang pemikiran kita untuk
kasus masyarakat intelektual Indonesia.
Ketidak mungkinan terciptanya karya pustaka yang
seC8J:a m~ni 'fiksi' maupun 'faktual' pada hakekatn~a ber
sumber pada keterbatasan manusia untuk memahaml suatu
perlstiwa, keterbatasan untuk menciptakan teknologi u~tuk
membantu menyerap suatu fakta dan peristiwa bersejarah
secara lengkap, sempurna dan apa adanya. Apa yang diserap
langsung oleh panca-indra dan susunan syarafnya serba
terbatas. Penyerapan yang dilakukan secara tak langsung,
tetapi dengan bantuan teknologi juga pada akhirnya harus
diterima oleh mahluk ini juga untuk dapat dikatakan ber
makna sejarah. Keterbatasan serupa juga berlaku ketika
manusia hams mengolah bahan yang terserap dari fakta
dan peristiwa itu untuk kemudian dikomunikasikan dalam
hahasa - sehuah teknologi yang tak bakal bisa sempurna,
ohyektif, dan netral secara mutlak - yang dapat dimengerti
orang lain.
Sehubungan dengan hal ini bisa dicatat pernyataan
Max Weber tentang metodologi ilmiah yang dikutip oleh
Joan Rockwell (1974: vii) bahwa manusia tak mungkin
mengetahui segala fakta yang terkandung dalam suatu ge
jala apa pun, bahkan sepotong realita sekali pun! Sebalik
nya, seperti disebutkan juga oleh Rockwell (1974 : VIII),
kenyataan 'yang sesungguhnya' tak dapat difahami sebagai
mana adanya. Yang dimaksudkannya, manusia membutuh
kan seperangkap penilaian yang dibubuhkan pada beberapa
(saja) bagian fakta yang dapat diserapnya agar ia mampu
memilih hal-hal tertentu dari hasil serapan itu untuk disusun
menjadi suatu keterangan atau ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, semua komunikasi verbal manusia termasuk
sejarah, hukum, agama, pemyataan politikus, atau pun
sastra dapat dianggap 'fiksi', tapi semuanya juga dapat di
katakan 'faktual'.
Sebagai iIustrasi kita bisa mengatakan, bahwa kita
tak dapat mencatat segala hal dalam suatu gejala yang di
anggap bersejarah. Kita, misalnya saja, tak dapat mengeta
hui semua hal ten tang peristiwa yang terjadi pada tanggal
30 September 1965 di Indonesia. Bahkan kita tak mungkin
mengetahui semua hal dari satu detik yang selama ini di
anggap paling bernilai sejarah pada satu sentimeter lokasi
di lubang buaya, pada satu manusia di tempat dan waktu
itu. Sebaliknya, kita tak merasa perlu mencatat semua hal
dari peristiwa tersebut karena tak semuanya kita anggap
perlu atau penting. Kita tak tabu berapa kali kata 'aduh'
diucapkan orang (seandainya benar ada yang mengaduh)
pada waktu itu di tempat terse but. Berapa helai buIu
kuduk berdiri setiap menitnya?
Tapi apa yang menentukan pilihan kita untuk mengata
kan suatu fakta perlu atau tidak perlu dicatat dalam sejarab?
Apakah sesuatu dianggap perlu untuk dicatat atau dibuang
dalam penulisan sejarah dalam suatu masa bagi suatu masya
rakat akan selamanya berlaku untuk segala zaman dan
segala masyarakat? Jawabnya jelas tidak. Karena itulah
perubahan dan revisi penulisan sejarah tidak selalu disebab
kan karena ditemukannya fakta-fakta baru yang dianggap
penting menurut penilaian yang lama. Penilaian yang lama.
Penilaian yang menentukan penting tidaknya suatu fakta
selalu berubah dari masa ke masa dan dari masyarakat
satu kemasyarakat yang lain sesuai dengan perubahan cara
berpikir masyarakatnya. Sejarab dan sastra tak mungkin
bersifat universal.
Pada fihak lain, sebuah karya sastra tak mungkin dapat
menghuni suatu wilayab otonomi yang serba fiksi, imajiner
dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan segala "individu
atau kalangan tertentu". Setiap karya sastra ditulis oleh
seorang manusia pada suatu masa dalam sejarah di suatu
tempat di dunia ini juga. Sejauh-jauh seorang sastrawan
hendak mengelak dari segala fakta yang melahirkan, meng
asuh dan medewasakannya, ia tak bakal mungkin membuat
karya sastra yang sama sekali tak bersangkut-paut dengan
pengalaman, pengetahuan, pikiran dan perasaannya sendiri.
Bahkan bila karya sastra itu tidak dibuat dalam bahasa
yang pemah ada di muka bumi, ungkapannya tetap bersang
kut -paut dan· bersumber dari apa yang pernah dialaminya
bersama orang-orang lain atau lingkungan alam di luar dan
di dalam dirinya. Sastra yang paling anti-sastra sekalipun
tetap bersangkut-paut dengan sastra yang paling kolot.
Tanpa pemah ada sastra yang paling kolot, tak pernah bakal
ada sastra yang paling lain.
Buku Scholes dan Kelogg (1966) berjudul The Nature
of Na"ative merupakan buku yang amat menarik karena
dua penulis itu berusaha meluaskan wawasan dan kebijak
sanaan mempertimbangkan hal-hal terse but , walau hasilnya
tidak luput dari bebempa cacat juga.
Sejarah Sastra Indonesia .
. Seorang pelukis cenderung mengamati apa yang
(ingin dan dapat) dilukisnya, bukannya ia melukiskan apa
yang diamatinya, kata: E.H. Gombrich (1960: 86) dalam
uraiannya yang tajam tentang psikologi senirupa. Setiap
karya seni pada dasarnya dihasilkan seniman dengan ber
sumber dari karya-karya seni terdahulu daripada dari peris
tiwa alam yang mempengaruhinya. Secara sejajar kita dapat
mengatakan bahwa para penikmat seni akan cenderung me
mahami suatu karya seni tertentu berdasarkan pengalaman
sebelumnya dalam memahami karya-karya seni yang lain,
dan bukan dari yang lain. Makna suatu karya seni jadinya
tak dapat dilepaskan dari makna yang diberikan dan dipela
jari orang dari karya-karya seni yang sebelumnya ada. Tak
ada satu pun karya seni yang terlepas begitu saja dari
mata-rantai perjalanan sejarah kesenian sebelumnya. Karena
itulah sebuah sejarah kesenian yang menuntut suatu kesi
nambungan gejala· dan peristiwa kesenian dapat dimungkin
kan keberadaannya.
Tak jarang kita mendengar seorang pemotret dengan
kamera di tangan tiba-tiba mengatakan: ''Wah ini penting/
bagus untuk dipotret". Sasaran pemotretan yang dimaksud
kan seringkali merupakan sesuatu yang 'penting' atau 'ba
gus' bukan sebagaimana adanya. Tetapi sesuatu yang diba
yangkan tercetak sebagai foto nantinya yang kurang-Iebih
mirip dengan foto-foto lain yang pemah disaksikan dan
dianggap 'penting' atau 'bagus'. Kita sering menilai suatu
pemandangan, suatu peristiwa, atau seseorang sangat elok
dipandang, tanpa sadar bahwa penilaian kita terbina oleh
apa yang berkali-kali dicekcokkan pada kita lewat filem,
televisi, gambar di majalah, atau gambar iklan. Kita terdidik
tidak hanya lewat sekolah untuk membimbing suatu dam
Paran pemandangan, peristiwa, dan manusia lian dengan bing
kai yang sering dipakai orang lain yang pemah kita kenai
dan kita anggap bingkai itu yang paling benar. Ini tidak
berarti kita selalu setuju dan suka pada apa yang ada dalam
bingkai tersebut. Kita terjerat untuk memakai bentuk
pemahaman yang disajikan kepada kita secara bertubi-tubi,
dan isi yang dikandung oleh bentuk itu menjadi kurang
penting ,
Penulisan sejarah manusia oleh manusia tak mungkin
terlepas dari keadaan ini. Juga penulisan sejarah kesusas
teraan Indonesia. Karena itu wajar bila tak sedikit yang
merasa perlu diadakannya perombakan penulisan sejarah
5. Ketika banyak orang berkulit putih memakai bentuk "warn a
kulit" untuk menilai seseorang dan merendahkan keturunan
Negro, banyak keturunan Negro ini yang terjerat memakai
bentuk yang sarna untuk mem.berikan isi yang lain dengan ber
semboyan "Black is beautilful".Di Indonesia, ada yang merasa
tak puas terhadap prasangka terhadap WNI keturunan Cina;
jika ada kriminal tertangkap dan diajukan ke pengadilan ada
media Massa merasa perlu menyebutkan nama Cinanya atau
keturunan darah nenek moyangnya. Tak sedikit yang lalu ter
perangkap dan merasa perlu menunjuk-nunjukkan 'adanya'
WNI keturunan Cina yang baik. Tanpa sadar mereka terpe
rangkap untuk ikut-ikutan bersikap rasialis dengan memperhi
tungkan asal-usul keturunan dalam membahas nUai kemanusiaan
sese'orang warga negara~