• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label sastra sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra sejarah. Tampilkan semua postingan

sastra sejarah

 




Seseorang pembaca tentunya bisa mempersoalkan lebih jauh 

lagi, 'aturan' apa yang mesti dipakal untufc 'me~baca 'atur­

an-baca' yang menghadangnya sebeluln menjumpai kalimat 

pertama dalam karya sastra tersebut? Kaidah bahasa a la 

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa melulu tak 

bakal cukup menolong. 

Hanya Linus Suryadi sendiri yang tabu? Mungkin ti­

dak. Tetapi jelas Linus Suryadi yang paling tahu apa yang 

dimaksudkannya dengan kalimat tersebut. Bila Linus tak 

menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksudkannya., entah 

dalam buku tersebut atau lewat forum lain di luar penulis-

an buku itu, penafsiranlah yang hanya bisa kita ambil. 

Apakah dengan demikian penafsiran itu bisa dikatakan 

'salah' atau 'benar' bila berbagai penafsiran pembaca ternya­

ta tidak seragam? Bila semua penafsiran dianggap benar, 

maka tak akan relevan bila dikatakan hanya Linus Suryadi 

yang paling tahu apa yang ada dalam benak kepalanya ke­

tika mencantumkan pemyataan tersebut. Sebaliknya hila 

kita berpendapat penafsiran pembaca bisa benar, bisa juga 

salah, maka pertanyaan selanjutnya, siapakah yang paling 

berhak membenarkan atau menyalahkan penafsiran pemba­

ca itu? Kritikus Sastra? Bagaimana seandainya beberapa kri­

tikus memberlkan pembenaran yang berbeda-beda?l Linus 

sendiri . sebagai sang pengarang? Sia-siakah kita membaca 

buku' itu tanpa trelebih dahulu bertanya pada Linus dan 

mendapatkan penjel~n atas maksud pernyataan itu? 

Pertanyaan seperti tersebut di atas merupakan sebagi­

an dari pertanyaan-pertanyaan terpenting kaum intelek­

tual di Indonesia akhir-akhir ini bila membahas dan berde­

bat tentang 'makna' dalam sebuah karya sastra. Di sekitar 

permasalahan itu pula saya benninat menjelajahi beberapa 

persoalan lain yang berdekatan. 

Secara kaku dan harafiah, seorang pembaca berhak me­

nafsirkan pernyataan yang terkutip di atas sebagai berikut: 

Pengakuan °Pariyem tidak ada sangkut-pautnya dengan 

setiap dan semua manusia yang pemah hidup di jagad ini 

dalam hal apa pun! Bahkan dengan setiap dan semua pemba­

ca maupun pengarang Pengakuan Pariyem, sebab mereka 

adalah manusia, adalah "individu dan kalangan tertentu". 

Maka Linus juga tidak paling tahu makna pernyataannya 

itu! 

1. Dalam bukunya yang berjudul Validity in Interpretation, Ed 

Hircb, Jr (1967) menyatakan bahwa panfsiran yang paling 

tepat tidak dapat bersumber dari orang lain, kecuali kehendak 

pengarang itu sendiri. Dalam beberapa hal saya dapat menerima 

pendapat tersebut yang disertai dengan alasan-alasan yang cu­

kup ~eyakinkan.

Betapa pun penafsiran itu mempunyai beberapa lan­

dasan pembenaran, saya yakin pembaca maupun .pengarang 

Pengakuan Pariyem tidak setuju dengan penafsiran di atas. 

Mereka pasti ingin menafsirkan sesuatu yang berbeda. 

Tetapi setiap penafsiran yang berbeda dari penafsiran di atas 

terpaksa mengakui adanya suatu sangkutan dan pautan 

tertentu antara karya sastra tersebut dengan individu 

dan kalangan tertentu. Persoalannya kini, tertentu yang ma­

na dan bagaimanakah itu? 

Sebelum menjumpai kalimat pertama prosa liris itu, 

pembaca juga diberi semacam pedoman membaca lagi2. 

Pedoman itu berupaya menjelaskan sangkut-paut tertentu 

karya sastra itu dengan individu dan kalangan terientll. 

Pada halaman V, tercantum kata-kata: 

"prosa Hrik untuk 

Umar Kayam". 

Sedang pada halaman VII hingga XI dimuat sebuah makala 

(baca: 'pedoman' membaca untuk pembaca Pengakuan 

Pariyem) yang ditulis Hotman M. Siahaan. Dalam makala 

itu dikatakan bahwa lewat Pengakuan Pariyem, Linus 

Suryadi 

" ... bicara bagaimana konsep nrimo dalam 

kultur Jawa, dia bicara bagaimana pentingnya 

keseimbangan antara dua jagad di dalam 

kehidupan manusia, dia bicara.tentang 

konsep Manunggaling Kawula Ian Gusti Ian Gusti yang 

sudah amat dikenal $ebagai ciri kultur 

Jawa itu" (hIm. IX). 

2. Di awal karangan sudah saya sebutkan adanya serangkaian 

'aturan baca' yang diharapkan menjadi pedoman untuk mema­

hami karya sastra ini. Dalam uraian saya, hanya saya sebutkan 

sebagian saja dari rangkaian tersebut, untuk menunjukkan be­

berapa contoh bel aka. 



Sebagai pembaca prosa lirik itu kita berhak bingung (ber­

hak juga tidak?) atas seperangkat pedoman di atas. Benar­

kah pendapat Hotman M. Siahaan, bahwa Linus 'berbicara' 

(menulis) tentang masyarakat dan budaya Jawa? Setahu kita 

Linus mengatakan bahwa dan tidak 'herhicara' (: menu lis ) 

sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan individu maupun 

kalangan tertentu! 

Bagaimana hendak kita percayai hila beberapa nama 

yang disebut-sebut dalam karya sastra ini tidak mempunyai 

sangkut-paut dengan dunia nyata di luar dunia karya 

sastra yang satu ini. Misalnya. Wonosari Gunung Kidul 

Pulau Jawa, Jumat. Wage, Katolik, G-30-S/PKI, Puskesmas, 

Honda dari Jepang, Gamelan di gedhong Sasana Hinggil, 

RRI Nusantara II, Kebon Binatang Gembira Loka, Uni­

versitas Gajah Mada, Jakarta, dan lain-lainnya? Atau yang 

paling menyolok ketika Linus menulis "Bulan ini bulan 

April 1979" (Suryadi, 1981 : 103), kemudian sedikit di 

bawahnya ada lagu ''Ibu Kita Kartini" yang diberi catatan 

kaki bahwa lagu itu "Karya W .R. Supratman" (Suryadi, 

1981 : 103)? 

Untuk ukuran pengalaman penjualan buku sastra, 

Pengakuan Pariyem sering dianggap amat laris. Larisnya 

buku itu sebenarnya mengajak kita untuk percaya bah wa 

cukup banyak orang yang berpendapat bahwa karya sastra 

ini mempunyai sangkut-paut tertentu dengan pembaca ter­

sebut secara langsung, maupun individu dan kalangan ter­

tentu lain yang bersangkut-paut dengan pembeli dan pem­

baca buku ini. Soal benar atau kelirunya kepercayaan dan 

pendapat itu, masalahnya berbeda. Paling tidak Linus di­

anggap terlibat, dan tidak hanya Linus yang terlibat! Tidak 

juga hanya Umar Kayam. 

Dengan demikian kita mendapatkan masalah utama dari 

semua hal ini : mengapa Linus Suryadi (merasa perIu) 

menulis pemyataan yang terkutip di awal tulisan ini? 

Ba~ masyarakat 'moderen' (apalagi kaum intelektual) 

In.donesla yang sudah terbiasa mengikuti perkembangan 

seJarah sastra mutakhir Indonesia, pasti tidak sulit untuk 

menghubungkan persoalan utama yang saya rumuskan di 

atas dengan gagasan yang berseliweran dalam masyarakat 

sastra moderen Indonesia: "Sastra itu berotononti mutlak". 

Saya tidak berminat membahas panjang lebar pengerti­

an yang dikandung oleh semboyan ten tang otonomi mutlak 

sastra itu, ataupun urutan perjalanan sejarah sastra dan 

masyarakat Indonesia yang memungkinkan hadirnya gagas­

an itu selengkap-Iengkapnya. Di mana terasa perlu saya ha­

nya ingin menyinggung beberapa hal di latar belakang per­

soalan ini. Secara singkat, gagasan itu bertolak dari pemikir­

an bahwa karya sastra itu hanyalah rekaan atau khayalan 

belaka. Maka sebuah karya sastra tidak boleh dikait-kaitkan 

dengan kenyataan hidup dan aturan masyarakat serta alam 

yang berlaku dalam kenyataan hidup sesungguhnya. Sastra 

dianggap menghuni suatu wiIayah antah-berantah yang tak 

boleh digauli oleh hal-hal di luamya. 

Gagasan seperti itu pasti tidak mendadak hadir di ne­

geri antah -berantah pula. Ia hadir dalam beberapa benak 

manusia Indonesia yang bergaul dengan dunia sastra Barat. 

Dalam sastra tradisional, gagasan seperti itu tak hadir. 

Walter J. Dng (1977 : 213-229) pernah menjelaskan dengan 

cukup meyakinkan timbulnya gagasan seperti itu dalam 

sejarah sastra Barat. Secara khusus, lahirnya gagasan seperti 

itu dihubungkan secara mendasar pada pertumbuhan 

budaya baca-tulis, kemudian disambung dan dipergalak oIeh 

penerbitan buku cetakan (abad 15), aliran Romantisme 

(pertengahan akhir abad 18) dan gerakan New Criticsm 

di Inggris maupun Amerika, serta strukturalisme (abad 

20). Dengan memuncaknya budaya baca-tulis, tradisi sastra 

lisan yang selalu mengkaitkan sastra dan seluruh aspek 

kehidupan manusia disingkirkan. Tulisan mampu memisah­

kan penutupan sastra lisan dari penutur dan suaranya dan 

penikmat sastra yang mendengar. Sebuah naskah sastra 

hadir menjadi benda mati yang tetap hadir dan tak berubah 

walau penulisnya maupun segenap umat manusia mati. 

"A poem .should not meanlBut be" kata Archibald Macleish 

(Ong, 1977 : 213), sebab bila puisi diberi makna, puisi 

terpaksa' harus dikait-kaitkan dengan hal-hal lain di 1 uar 

.karya sastra tersebut. Budaya baca-tulis yang membina 

kehidupan berspesialisasi kerja, pemecahan masyarakat 

meniadi indiVidu-individu yang terasing dan sikap anali­

tis,' kritis, obyektif memberikan dampaknya pada dunia 

kesenian umumnya, dan sastra khususnya. Sebuah karya 

sastra dikatakan dicipta ol~h pengarang, sehingga 

hak-cipta menjadi suatu pranata sosial (Heryanto, 1983). 

Istllah cipta itu sendiri berarti mengadakan yang belum ada 

dari suatu yang hampa (Heryanto, 1982c). Karena itulah 

sejak masa gemilang aliran romantik, para seniman getol 

berbicara tentang kreativitas (dari kata create = mencipta). 

Maka sebuah kcirya sastra harus didekati secara obyektif, 

seperti juga masyarakat Barat sejak abad 19 menghampiri 

hampir berbagai sasaran ilmu pengetahuan lainnya. ~rilai 

sastra dianggap universal sesuai dengan usia teks sastra 

tertulis yang bisa melampaui. batas usia manusia beberapa 

zaman dan penyebarannya melampaui batas-batas negara. 

Untuk masyarakat sastra moderen di Indonesia, 

beberapa istilah-istilah kunci yang populer di Barat pada 

~asa itu tidak menjadi terlalu asing lagi sejak beberapa pe­

muda Indonesia bersekolah di lembaga pendidikan asuhan 

pemerintah Hindia Belanda. Ketergantungan sistem pen­

didikan form~ , sistem budaya baca tulis dan cetak (sastra) 

di Indonesia pada model yang tersedia di negeri 

Barat pada zaman sesudah revolusi hingga masa kini membe­

rikan banyak penjelasan mengapa di Indonesia masih kuat 

bercokolnya gagasan seperti itu. Istilah 'kreativitas' masih 

menjadi semacam mantera ajaib yang dikejar di mana­

mana, bahkan di seminarkan secara khusus oleh lembaga

tertinggi pembina dan penyelenggara kesenian Indonesia 

di ibukota negeri itu belum lama ini. 

Di Iingkungan kecil dunia sastra moderen Indonesia 

yang meme~ciIkan diri (Heryanto, 1982a), semboyan Archi­

bald MacLelsh terkutip di atas dijadikan salah satu ayat 

suci beberapa penyair Indonesia yang mengaku menjadi 

penyair imaji. Semen tara Prof. A. Teeuw (1980 : 9) yang 

hingga kini hampir dianggap menjadi 'Paus' sastra Indonesia 

II sesudah HB Jasin ikut menandaskan pentingnya mende­

kati karya sastra secara "intrinsik" dan "obyektif,,3. Semen­

tara buku Theory of Literature karya Rene Wellek dan Aus­

tin Warren (1975) yang masih sealiran dengan gagasan 

universal itu dipakai sebagai bacaan wajib dalam banyak 

fakultas sastra Indonesia4 • Sebuah daftar lebih panjang 

dapat dibuat untuk menunjukkan berbagai contoh bukti 

3. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul U Tentang Membaea 

Sastra" di majalah Budaya Jaya (Jakarta, 1977)-- sekarang sudah 

dibukukan, dan merupakan salah-satu dari kumpulan esai Mem­

baca dan Menilai Sastra (Jakarta, Gramedia, 1983, editor). 

Prof. Teeuw membahas; panjang lepar tentang otonomi dunia 

fiksi karya sastra. Sayang pada saat ini saya tak berhasil menda­

patkan kembali artikel itu untuk saya kemukakan seeara ter­

perinci dalam daftar bacaan dengan nomor dan bulan pener­

bitan majalah tersebut. Yang jelas, gagasan Teeuw dalam artikel 

itu mendapat banyak sambutan. Bahkan seorang dosen sastra 

terkemuka dari salah satu unversitas nomor wahid di Indonesia 

pernah menjiplak patokan gagasan Teeuw tersehut ketika me­

nyampaikan suatu ceramah tentang sastra Indonesia di Y. ogya­

karta tahun 1981. Dalam artikel "Estetik, Semiotik dan Sejarah 

Sastra" yang saya ku tip di sini, reeuw mengakui kelemahan 

pendekatan sastra struktural yang tak mau berususan dengan 

perkara di Iuar dunia sastra, tapi beliau masih mempertahankan 

pendekatan yang disebutnya :'intrinsik" dan "obyektif" 

(Teeuw, 1980 : 9) 

4. Di balik niat baiknya untuk memperhitungkan berbagai kera­

gaman karya sastra dan konteks sejarahnya, Welleck dan Warren 

tidak luput juga dari kecenderungan memukul-rata teori sastra, 

berdasarkan tradisi sastra Barat yang membentuk latarbelakang­

nya. Salah satu eontoh yang dekat dalam ingatan saya ialah 

seperti yang menjadi kritik A. Sweeney (1980 : 3) terhadap

mengalirnya gagasan sastra otonomi, kritik sastra obyektif, 

dan makna sastra universal daIam dunia sastra moderen di 

Indonesia. Daftar seperti itu tidak diperlukan di sini. Saya 

juga tak menyangkal jasa besar mereka daIam beberapa hal 

untuk pemahaman intelektuaI kita tentang kesusastraan. 

Tapi berikut ini saya pilih sebuah ilustrasi konkret atas 

akibat yang terjadi dari pertumbuhan gagasan yang lahir 

dati masyarakat baca-tulis pada abad lalu dan dipakai 

dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat kuat dikua­

sai corak budaya lisan. 

Pada bulan September 1982 yang laIu masyarakat 

Indonesia yarig biasa membaca koran mungkin sekali mem­

baca sebuah berita yang cukup unik. Seorang pemuda 

berusia 19 tahun, Ynt alias JLD, dijatuhi hukuman penjara 

tiga dengan masa percobaan delapan bulan. Ia dinyatakan 

bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Ujung Pandang yang 

telah mempelajari tuntutan Rffi, seorang gadis 18 tahun 

yang merasa namanya dicemarkan oleh Ynt dalam sebuah 

cerpen berjudul "l{enangan .Manis di SMA". Dalam cerpen 

itu ada tokoh gadis bernama Rm yang dicium oleh JLD. 

Tak lama s.ete}ah peristiwa itu, Seno Gumira Aji­

danna, seorang kolumnis dan cerpenis yang tulisannya se­

ring dimuat harlan Kompas menulis sebuah artikel ber­

nada penasaran dan marah dalam harianKompas (Ajidarma, 

1982). Ia berusaha mati-matian dengan gagasannya untuk 

membela Ynt alias JLD pengarang cerpen di atas. Pada saat 

yang bersamaan ia menyalahkan Rffi, keluarga RIB dan 

Jaksa serta Hakim dalam .pengadilan tersebut. Menurut 

gagasan bahwa makna sastra ditentukan oleh sejarah kritik 

sastra (Wellek & Warren, 1975 : 42). Seakan-akan setiap masya­

rakat yang bersastra mempunyai tradisi kritik sastra besertanya. 

Teeuw (1980 : 2) juga mengakui pengalaman Rene Wellek pada 

tahun 1920-an berorientasi pada pendekatan sastra yang intrin­

sik, obyektif dan lepas dari latar-belang sejarahnya, pengarang­

nya dan niat pengarang itu .. 

Ajidarma orang-orang yang tersebut belakangan ini telah 

mencampur-adukkan antara realitas dan imajinasi. Prinsip 

yang digenggam kukuh oleh Ajidanna ialah "Cerpen adalah 

dunia imajinasi, sebuah dunia fiktif, di mana hak otonomi 

pengarang adalah mutlak tak bisa diganggu gugat" (Aji­

darma, 1982 : 4). 

Kasus yang saya ajukan di atas bukanlah satu-satunya 

kasus yang pernah disaksikan masyarakat Indonesia, bukan 

juga. yang pertama, serta mungkin sekali bukan yang ter­

akhir. Ajidarma sendiri menyebutkan beberapa kasus serup~ 

dengan penilaian yang tak berbeda. Dari perkara cerpen 

Langit Makin Men dung, Novel Bumi Manusia, filem Se­

rang an Fajar hingga novel Arjuna Alencari Cinta, yang 

tak diizinkan pemerintah memakai nama Arjuna ketika di~ 

filemkan. Saya terdorong untuk memandang ketegangan­

ketegangan sosial seperti ini yang mendorong seorang pe­

ngarang sastra seperti Linus Suryadi untuk merasa perlu 

mengajukan pernyataan yang saya kutip di awal karangan 

ini. Ini ta}{ lebih dari sebuah sikap berhati-hati. Nanti akan 

saya tunjukkan betapa wajarnya sikap hati-hati ini walau 

kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam karya sastra 

tersebut. 

Tapi pertanyaan yang kemudian tak kalah pentingnya 

muncul: adakah karangan - apapun - yang mampu men­

jadi gambaran yang sesungguhnya dari suatu realita individu 

atau pun masyarakat yang mana pun? Dalam bagian kedua 

karangan ini, saya nanti berusaha menjawab pertanyaan 

ini : tak ada satu pun karangan manusia yang mungkin 

menggambarkan (yang sesungguhnya) suatu realita. Tapi 

sebelum ke situ, ada beberapa hal lain yang perlu kita per­

timbangkan dalaln kaitan sastra sebagai karya fiksi dengan 

fakta suatu realita. 

Selama ribuan tahun masyarakat Indonesia telah me­

nikmati 'sastra'. Tentu saja sastra yang saya maksudkan . 

di sini tidak terbatas pada karya tulls. Anak sekolah Indo­

nesia pada akhir-akhir ini diajar oleh guru-guru mereka un­

tuk memahami 'sastra' sebagai terjemahan dari istilah Be­

landa literatur, atau istilah Inggris literature yang mengacau 

pada karya tulis. Anak-anak sekolah di Indonesia diajar 

tentang istilah 'kesusasteraan' berasal dari kata su-artinya 

baik dan sastra artinya tulisan. Padahal sastra semula dipaha­

mi masyarakat di Indonesia sebagai ilmu, pengetahuan, 

kepandaian, kecakapan, kawruh, ngelmu, ajaran, weda, atau 

agama (Heryanto, 1982a). 

Selama ribuan tahun itu pula sastra tidak dipahami 

sebagai 'dunia imajinasi', sebagai 'dunia fiktif' yang dipisah­

kan atau dipertentangkan dengan dunia 'nyata'. Dongeng, 

legenda, atau hikayat diyakini sebagai gambaran 'sesungguh­

nya' tentang manusia, masyarakat, alam dan berbagai peris­

tiwa yang melibatkan mereka di masa lampau. Bahkan sas­

tra tradisional yang diungkapkan secara lisan itu dianggap 

sebagai sumber pengetahuan yang dapat menjelaskan 'asal­

usul nenek moyang mereka, gunung, kota, kekuasaan raja 

dan sebagainya. Hanya lew at sastra seperti itu mereka mam­

pu mengungkapkan dan mewariskan pengetahuan tentang 

'reaIita' yang sesungguhnya yang pernah mereka fahami. 

Sarana lain tak tersedia. Buku tak ada, mesin cetak tak ada, 

foto copy belum hadir, kamera dan kaset rekaman suara 

belum tersedia. Dmu pengetahuan tak mungkin dapat 

diuraikan dengan bahasa yang tidak 'sastra' sebab uraian 

abstrak yang analitis akan punah dari ingatan bila tidak di­

ungkapkan dalam bentuk cerita, yang berpola cukup ketat. 

Padahal ingatan merupakan satu-satunya modal kekuatan 

untuk mewariskan pengetahuan akan 'realita yang sesung­

guhnya' lewat bahasa dati hari ke hari, dari satu kampung 

ke kampung lain, dari satu jaman ke jaman berikutnya. 

Hanya dengan tersedianya medium komunikasi ber.upa 

bahaSa tertulis, dan kemudian mesin cetak, suatu masyara­

kat baru mungkin mengembangkan kemampuan mengung-

kapkan suatu pengetahuan secara analitis, bebas dari kung­

kungan struktur dongeng, legenda atau hikayat. Usaha ke 

arah itu pun tak pernah dapat mudah dikerjakan dalam 

satu atau dua tahun belaka. 

Pengalaman para pemimpin sastrawan Pujangga Baru 

dapat diketengahkan di sini untuk memberikan ilustrasi 

yang lebih konkret. Pada tahun 1930-an perintis sastra 

Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana mencaci sastra 

tradisional karena dalam sastra tradisional ini : 

"Permulaan cerita hampir sarna sekaliannya. Jalan 

cerita itupun kadang-kadang telah menurut sebuah 

model. Sebelum sebuah kalimat habis, sering telah 

dapat kita menyambung kalimat i.tu seterusnya. Ka­

lau seseorang menghadap raja telah tabu kita yang 

akan dikatakannya, betapa ia menyusun perkataan­

nya. Kalau melukiskan peperangan kit a telab tahu, 

perkataan apa yang akan diucapkan berhubung de­

ngan hebat peperangan itu. Kalau ada seorang gadis 

yang cantik, kita telah tahu, betapa kecantikan gadis 

itu kelak akan dilukiskan" (Jassin, 1963 : 23). 

Apa yang dinyatakan Takdir itu bukan salah sarna sekali. 

Hanya saja Takdir belum diberi kesempatan oleh zamannya 

untuk memahami mengapa sastra lisan terbentuk demikian, 

dan mengapa kelompoknya tidak? Apakah yang lama le­

bih bodoh dari yang baru bila diukur menurut kondisi 

zaman masing-masing? Sebelum matangnya budaya tulis­

menulis dalam masyarakat pad a suatu zaman, sastra me­

reka tak mungkin mengelak dari pengaruh tradisi sastra 

lisan. Sedang tradisi sastra lisan tidak bisa tidak me~g­

ulang-ulang ungkapan yang sudah kuat dan mapan dalam 

ingatan. Sebab bila tidak diu lang, warisan tradisi itu punah, 

karena hanya sekali diungkapkan dengan suara dan tak sem­

pat terekam oleh tulisan. Takdir (seperti setiap manusia 

lain) terjebak oleh bingkai berfikir yang dihasilkan zaman-


nya; ia mengukur nilai sastra dalam zaman yang b.erbeda 

menurut suatu patokan tunggal yang dianggap unIversal. 

Padahal karya-karya sastrawan Pujangga Baru juga tak ber­

basil - tak akan mungkin pernah berhasil - memperbaharui 

segala sesuatu dan menghapuskan sisa-sisa watak sastra dari 

zaman sebelumnya yang dikritiknya. 

Sedang karya-karya sastra Pujangga Baru yang pada 

zamannya dianggap 'serba' bam dan moderen mendapat 

kecaman keras dari kalangan masyarakat yang lebib 'kuno' 

dan 'kolot'. Tapi saya lebih tertarik menunjukkan di sini 

apa dasar kecaman mereka daripada sekedar membuktikan 

adanya suatu ketegangan so sial. Dalam penerbitan Bintang 

Timur 11 Oktober 1933, seorang penulis bernama Mara 

Sutan alias si Pulut-Pulut, menyatakan keberatannya atas 

pembaharuan . yang dikerjakan para sastrawan Pujangga 

Bam, hukan karen a isi yang bam, tetapi perubahan bentuk 

susunan bahan-bahan isi itu yang menggelisahkan! Salah 

satu bukti yang dipakai untuk kritiknya ialah karena syair 

sastrawan Pujangga Baru tidak dapat dinyanyikan sesuai 

dengan pola irama bersyair Melayu yang tradisional (Jas­

sin, 1963 : 13-14). Untuk kita cukup jelas, masuknya prak­

tek tulis-menulis tidak dengan mendadak mengu bah konsep 

"sastra" masyarakatnya dari yang serba 'lisan' (nyanyi) 

menjadi 'baca-tulis' yang individual dan menyendiri dalam 

sunyi. 

Miskinnya pemahaman akan hakekat dan fungsi sas­

tra tradisional yang lisan seperti itu telah pula menyesat­

kan gambaran para ahli sastra terkemuka di dunia Barat 

selama ratusan tahun hingga abad ini tentang karya sastra 

Homer, atau bahkan buku Plato yang berjudul Republic. 

Ketika membaca karya Plato tersebut, banyak penganut 

gagasan Plato yang terheran-heran; mengapa Plato menye­

rang para penyair dan syair habis-habisan, menganggap 

mereka $ebagai musuh masyarakat dan menuntut agar 

mereka dienyahkan dari masyarakat? Karena para tokoh

sastra di Indonesia masih banyak yang terasuh oleh fikiran­

fikiran ten tang sastra yang muncul di dunia Barat, tak ter­

lalu mengherankan bila seorang seperti Sapardi Djoko 

Damono pun mengungkapkan keheranan yang sama. ''Dan 

pandangan ini agak aneh karena justru: ditampilkan oleh 

seorang filsuf yang merasa yakin bahwa kenyataan terting­

gi tidak berada di dunia ini tetapi di ddnia gagasan" (Da­

mono, 1979 : 18). 

Buku Eric Havelock (1976) berjudul Preface to Plato 

merupakan salah satu perintis gagasan yang menumbangkan 

bangunan gagasan para ahli sastra sebelumnya yang sangat 

kokoh. Havelock dan rekan-rekan se'aliran' nya tentu saja 

juga mampu berbuat demikian berkat jasa para peneliti 

sebelumnya. Penelitian Milman Parry dan Albert B. Lord 

atas karya sastra para dalang dan penglipur lara di Yugo­

slavia merupakan salah satu obor penerang yang amat pen­

ting bagi banyak pemahaman bam ini (Lord, 1978). Dije= 

laskan oleh Havelock, kecaman Plato terhadap penyair 

dan puisi -- sebuah nama yang bisa menyesatkan sebab ia 

bermaksud menyebut semua sastrawan dan karya mereka 

pada jaman jtu di Yunani - tersebut sarna sekali tidak aneh .. 

Mereka yang menganggapnya aneh adalah mereka· yang 

kurang memahami apa yang dimaksudkan oleh Plato sebagai 

penyair dan syair, sebab mereka telah terkungkung oleh 

makna istilah 'penyair' dan 'syair' dalam masyarakat mode­

reno Mereka tidak memahami bahwa Plato memang menye­

rang karya sastra sebagai salah satu sumber pengetahuan 

tentang kenyataan, bukan fiksi atau imajiner belaka pada 

zaman itu. 

Padahal pada masa hidup Plato, tulisan sudah dipakai, 

walau kebanyakan anggota masyarakatnya masih buta 

huruf. Kebanyakan yang bisa menulis paling-paling. hanya 

mampu membuat tanda-tangan. Walau budaya tulis-menulis 

terus berkembang setelah Plato mangkat, masyarakat 

Eropah yang sudah turun-temurun menghayati kehiduPaIl 

'sasua' lisan tak dengan segera bangkit dari buaian 'sastra' 

yang mencarnpuradukkan 'fiksi' dan 'fakta'. Hal ini berlaku 

juga untuk masyarakat di Indonesia, walau saya tidak ber­

maksud mengatakail keadaan di Yunani abad ke-5 8M 

sarna dengan di Indonesia abad ke-20. 

Yang dapat diperbandingkan antara masyarakat 

Yunani pada masa hidup Plato dan masyarakat Indonesia 

pada hari ini ialah ketegangan antara dunia nHai budaya, 

karena masyarakat sedang berada di perbatasan antara hidup 

dalarn dunia mitis sastra lisan dan dialektik sastra tulis. 

Yang juga mirip walau tak sama persis, perubahan dalam 

tp.asyarakat yang hidup dari satu btidaya memasuki budaya· 

yang baru memakan waktu yang tidak singk~t. 

Walau masyarakat di Indonesia telab mengenal tulis­

an - paling tidak setua yang terungkap oleh penulisan 

prasasti - selama belasan ratus tabun, kemudian mengenal 

mesin cetak dan buku, warga masyarakat ini tidak men­

dadak bisa melepaskan diri dari dunia mitis yang terbina 

oleh sastra lisan. Hingga han ini pun tidak sulit bagi kita 

untuk mencari aktris yang merasa harus menanggung be­

ban mental bila djminta memerankan tokoh pelacur dalam 

sandiwara atau bahkan filem. Mereka tidak kuno atau 

bodoh, sebab mereka mengenal betul masyarakatnya yang 

belum terdidik untuk memisahkan antara yang 'fiksi'· dan 

yang 'fakta' menurut versi kaum terdidik di Indonesia. 

Seperti juga citra masyarakat luas di Indonesia tentang 

orang berkulit putih yang nyata terbina dari apa yang me­

reka saksikan dalam filem yang fiksi. Karena itu agak ber­

beda dari pendapat Ajidarma yang hanya menyalahkan 

pemerintah, saya dapat memahami pelarangan pemakaian 

nama 'Muna' untuk filem yang bersumber dari novel 

Arjuna Meneari Cinta dalam masyarakat yang mayoritas­

nya tidak membaca novel, tapi yakin bahwa Arjuna meru­

pakan salah satu nenek moyang mereka. Saya tidak setuju 

bila masyarakat ini harus dibiarkan hidup terus-terusan 

dengan kepereayaan yang demikian tentunya. Tetapi - dan 

ini yang berbeda dari masyarakat Yunani kuno - bagi 

masyarakat yang terbiasa menikmati 'sastra' dalam wayang, 

tanpa melewati pendidikan budaya buku, langsung menik­

mati 'sastra' dalam filem yang seeara radikaI berbeda me­

mang bisa menimbulkan suatu penderitaan yang tak ter­

kira. 

Ketika saatnya telah eukup matang bagi budaya baea­

tulis untuk menggubah suatu masyarakat yang semula 

hidup dalam kungkungan budaya lisan, muneul pembelahan 

antara apa yang dianggap karya tulis fiksi dan apa yang 

dianggap karya tulis faktuaI. Bila keduanya mengungkap­

kan ten tang suatu rentetan peristiwa manusia, maka muneul 

pengertian barn tentang apa yang dinamakan sastra dan apa 

yang dinamakan sejarah. Kemampuan memisahkan kedua­

nya dapat dianggap merupakan suatu prestasi intelek yang 

menakjubkan, tapi bukan tanpa keterbatasan dan kesulit­

an. Pada masa pemisahan kedua ragam penulisan tersebut 

dipertentangkan seeara tajam dan dianggap berlaku untuk 

semua karya tulis yang dianggap masuk dalam kotak-kotak 

'sastra'dan 'sejarah', muneuI problema baru. 

Kata Orang: Sejarah itu Obyektif dan Faktual 

DaIam Seminar Dmu, Seni, dan Masyarakat yang di­

selenggarakan oleh PPSK Universitas Gajah Mada, Agustus 

1981, muneul dua tokoh masyarakat yang mengajukan 

makaIa membahas hubungan antara Sastra dan Sejarah. 

Yang pertama, makala Kho Ping Hoo, berjudul "Peristiwa 

Sejarah & Karya Sastra dan Masyarakat". Berulang-ulang 

ditekankan oIehnya perbedaan antara 'sejarah' dan 'sastra' 

yang pada intinya terungkap dalam kutipan di bawah ini: 

''Tentu saja terdapat perbedaan pokok antara penulis­

an sejarah dan penulisan karya sastra. Sejarah merupa-

kan catatan perlstiwa yang terjadi di masa lampau. 

Oleh karenanya, penulisan sejarah harus ditulis ber­

dasarkan kenyataan dan bukti-bukti sejarah yang sah. 

Sebaliknya; penulisan karya sastra fiksi adalah hasil 

khayaIi, sedangkan peristiwa sejarah dan tokoh-tokoh­

nya yang terdapat dalam karangan itu hanya latar 

belakang saja" (Kho, 1981: 2) 

Bila Kho Ping Hoo dalam makalanya mengaku sebagai 

seorang awam, bukan seorang terpelajar tinggi, maka kini 

kita perhatikan pendapat yang dapat dianggap terpelajar 

tinggi. Kuntowijoyo dalam makala berjudul "Peristiwa 

Sejarah dan Karya Sastra" menyatakan bahwa: 

"Sejarah mengemukakan gambaran ten tang hal-hal 

sebagai adanya dan kejadian-kejadian sebagai sesung­

guhnya terjadi . . . Tidak begitu halnya karya sastra" 

(Kuntowijoyo, 1981:3). 

Kuntowijoyo memang mengaku perbedaan-perbedaan anta­

ra sastra dan sejarah hanyalah suatu asumsi teoritis yang 

dalam pelaksanaannya sukar (artinya bisa) dibedakan. 

Bahkan Kuntowijoyo dalam makala yang sama dengan 

sengaja tidak memasukkan apa yang dinamakan "histo­

riografi tradisional" seperti babad, hikayat dan sebagainya. 

Hal ini sudah saya singgung-singgung sedikit di depan. 

Tetapi di sini saya ingin mengaji bahwa bahkan secara teo­

ritis belaka dan hanya memperhitungkan karya sastra mo­

deren dan karya sejarah moderen, perbedaan apalagi per­

tentangan kedua macam penulisan sulit diterima. 

Walau teori memang dapat dibedakan dengan prak­

tek - secara teoritis - setiap teori itu harus dapat diper­

tanggungjawabkan hubungannya dengan praktek yang ada. 

Dengan mengajukan perbedaan 'sastra' dan 'sejarah' secara 

teoritis, maka harus dapat dijelaskan dengan teori yang sama 

mengapa apa yang disebut "historiografi tradisional" di-

anggap tak perlu diperhitungkan. Selanjutnya, secara teo­

ritis pula kita bisa mempertanyakan; apakah masyarakat 

Indonesia yang menciptakan babad dan hikayat (historio­

grafi tradisional) dianggap sebagai nenek moyang bagi 

masyarakat Indonesia moderen yang dapat menghasilkan 

karya-karya 'sastra' dan 'sejarah' moderen? Bila jawabannya 

"ya" maka pertanyaan yang amat mendasar ialah: bila 

suatu masyarakat berkembang dan berubah dari "tradisio­

nal" menjadi "moderen" apakah dengan demikian mereka 

hidup dan menghasilkan dua macam budaya yang sarna 

sekali terpisah oleh perbedaan-perbedaan sifat? Bila dari 

budaya tradisional ada yang masih melekat dalam budaya 

moderen, apakah hal ini juga berlaku untuk penulisan 

karya 'sastra' dan 'sejarah 'nya? Apakah sejarah suatu 

masyarakat bisa diamati seperti kue lapis, yang setiap 

lapisnya bisa dikelupas, terpisah dari lapisan-Iapisan lain­

nya? 

Saya cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan 

bahwa tak ada suatu fakta dan peristiwa apa pun yang 

mampu difahami dan diungkapkan kembali untuk difahami 

orang lain secara total, obyektif, dan netral, atau seperti 

kata Kuntowijoyo"sebagai ses'Jngguhnya -terjadi". Sebalik­

nya saya juga mempercayai pendapat bahwa tak ada ung­

kapan atau karya sastra yang paling imajiner mana pun 

yang sanggup memiIiki wilayah otonomi mutlak, subyektif, 

dan" tak ada sangkut pautnya apa pun dengan individu 

atau kalangan tertentu". Mengapa sampai ada suatu kelom­

pok masyarakat yang mempercayai adanya karya sastra 

yang serba 'fiksi' maupun karya sejarah yang serba 'faktual' 

merupakan suatu topik yang sangat menarik untuk digali 

dan dipelajari secara lebih mendalam di luar karangan ini. 

Bahasan Scholes dan Kellog (1966) tentang hal ini di dalam 

masyarakat Eropa dapat merangsang pemikiran kita untuk 

kasus masyarakat intelektual Indonesia. 

Ketidak mungkinan terciptanya karya pustaka yang 

seC8J:a m~ni 'fiksi' maupun 'faktual' pada hakekatn~a ber­

sumber pada keterbatasan manusia untuk memahaml suatu 

perlstiwa, keterbatasan untuk menciptakan teknologi u~tuk 

membantu menyerap suatu fakta dan peristiwa bersejarah 

secara lengkap, sempurna dan apa adanya. Apa yang diserap 

langsung oleh panca-indra dan susunan syarafnya serba 

terbatas. Penyerapan yang dilakukan secara tak langsung, 

tetapi dengan bantuan teknologi juga pada akhirnya harus 

diterima oleh mahluk ini juga untuk dapat dikatakan ber­

makna sejarah. Keterbatasan serupa juga berlaku ketika 

manusia hams mengolah bahan yang terserap dari fakta 

dan peristiwa itu untuk kemudian dikomunikasikan dalam 

hahasa - sehuah teknologi yang tak bakal bisa sempurna, 

ohyektif, dan netral secara mutlak - yang dapat dimengerti 

orang lain. 

Sehubungan dengan hal ini bisa dicatat pernyataan 

Max Weber tentang metodologi ilmiah yang dikutip oleh 

Joan Rockwell (1974: vii) bahwa manusia tak mungkin 

mengetahui segala fakta yang terkandung dalam suatu ge­

jala apa pun, bahkan sepotong realita sekali pun! Sebalik­

nya, seperti disebutkan juga oleh Rockwell (1974 : VIII), 

kenyataan 'yang sesungguhnya' tak dapat difahami sebagai­

mana adanya. Yang dimaksudkannya, manusia membutuh­

kan seperangkap penilaian yang dibubuhkan pada beberapa 

(saja) bagian fakta yang dapat diserapnya agar ia mampu 

memilih hal-hal tertentu dari hasil serapan itu untuk disusun 

menjadi suatu keterangan atau ilmu pengetahuan. Dengan 

demikian, semua komunikasi verbal manusia termasuk 

sejarah, hukum, agama, pemyataan politikus, atau pun 

sastra dapat dianggap 'fiksi', tapi semuanya juga dapat di­

katakan 'faktual'. 

Sebagai iIustrasi kita bisa mengatakan, bahwa kita 

tak dapat mencatat segala hal dalam suatu gejala yang di­

anggap bersejarah. Kita, misalnya saja, tak dapat mengeta

hui semua hal ten tang peristiwa yang terjadi pada tanggal 

30 September 1965 di Indonesia. Bahkan kita tak mungkin 

mengetahui semua hal dari satu detik yang selama ini di­

anggap paling bernilai sejarah pada satu sentimeter lokasi 

di lubang buaya, pada satu manusia di tempat dan waktu 

itu. Sebaliknya, kita tak merasa perlu mencatat semua hal 

dari peristiwa tersebut karena tak semuanya kita anggap 

perlu atau penting. Kita tak tabu berapa kali kata 'aduh' 

diucapkan orang (seandainya benar ada yang mengaduh) 

pada waktu itu di tempat terse but. Berapa helai buIu 

kuduk berdiri setiap menitnya? 

Tapi apa yang menentukan pilihan kita untuk mengata­

kan suatu fakta perlu atau tidak perlu dicatat dalam sejarab? 

Apakah sesuatu dianggap perlu untuk dicatat atau dibuang 

dalam penulisan sejarah dalam suatu masa bagi suatu masya­

rakat akan selamanya berlaku untuk segala zaman dan 

segala masyarakat? Jawabnya jelas tidak. Karena itulah 

perubahan dan revisi penulisan sejarah tidak selalu disebab­

kan karena ditemukannya fakta-fakta baru yang dianggap 

penting menurut penilaian yang lama. Penilaian yang lama. 

Penilaian yang menentukan penting tidaknya suatu fakta 

selalu berubah dari masa ke masa dan dari masyarakat 

satu kemasyarakat yang lain sesuai dengan perubahan cara 

berpikir masyarakatnya. Sejarab dan sastra tak mungkin 

bersifat universal. 

Pada fihak lain, sebuah karya sastra tak mungkin dapat 

menghuni suatu wilayab otonomi yang serba fiksi, imajiner 

dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan segala "individu 

atau kalangan tertentu". Setiap karya sastra ditulis oleh 

seorang manusia pada suatu masa dalam sejarah di suatu 

tempat di dunia ini juga. Sejauh-jauh seorang sastrawan 

hendak mengelak dari segala fakta yang melahirkan, meng­

asuh dan medewasakannya, ia tak bakal mungkin membuat 

karya sastra yang sama sekali tak bersangkut-paut dengan 

pengalaman, pengetahuan, pikiran dan perasaannya sendiri.

Bahkan bila karya sastra itu tidak dibuat dalam bahasa 

yang pemah ada di muka bumi, ungkapannya tetap bersang­

kut -paut dan· bersumber dari apa yang pernah dialaminya 

bersama orang-orang lain atau lingkungan alam di luar dan 

di dalam dirinya. Sastra yang paling anti-sastra sekalipun 

tetap bersangkut-paut dengan sastra yang paling kolot. 

Tanpa pemah ada sastra yang paling kolot, tak pernah bakal 

ada sastra yang paling lain. 

Buku Scholes dan Kelogg (1966) berjudul The Nature 

of Na"ative merupakan buku yang amat menarik karena 

dua penulis itu berusaha meluaskan wawasan dan kebijak­

sanaan mempertimbangkan hal-hal terse but , walau hasilnya 

tidak luput dari bebempa cacat juga. 

Sejarah Sastra Indonesia . 

. Seorang pelukis cenderung mengamati apa yang 

(ingin dan dapat) dilukisnya, bukannya ia melukiskan apa 

yang diamatinya, kata: E.H. Gombrich (1960: 86) dalam 

uraiannya yang tajam tentang psikologi senirupa. Setiap 

karya seni pada dasarnya dihasilkan seniman dengan ber­

sumber dari karya-karya seni terdahulu daripada dari peris­

tiwa alam yang mempengaruhinya. Secara sejajar kita dapat 

mengatakan bahwa para penikmat seni akan cenderung me­

mahami suatu karya seni tertentu berdasarkan pengalaman 

sebelumnya dalam memahami karya-karya seni yang lain, 

dan bukan dari yang lain. Makna suatu karya seni jadinya 

tak dapat dilepaskan dari makna yang diberikan dan dipela­

jari orang dari karya-karya seni yang sebelumnya ada. Tak 

ada satu pun karya seni yang terlepas begitu saja dari 

mata-rantai perjalanan sejarah kesenian sebelumnya. Karena 

itulah sebuah sejarah kesenian yang menuntut suatu kesi­

nambungan gejala· dan peristiwa kesenian dapat dimungkin­

kan keberadaannya. 

Tak jarang kita mendengar seorang pemotret dengan 

kamera di tangan tiba-tiba mengatakan: ''Wah ini penting/ 

bagus untuk dipotret". Sasaran pemotretan yang dimaksud­

kan seringkali merupakan sesuatu yang 'penting' atau 'ba­

gus' bukan sebagaimana adanya. Tetapi sesuatu yang diba­

yangkan tercetak sebagai foto nantinya yang kurang-Iebih 

mirip dengan foto-foto lain yang pemah disaksikan dan 

dianggap 'penting' atau 'bagus'. Kita sering menilai suatu 

pemandangan, suatu peristiwa, atau seseorang sangat elok 

dipandang, tanpa sadar bahwa penilaian kita terbina oleh 

apa yang berkali-kali dicekcokkan pada kita lewat filem, 

televisi, gambar di majalah, atau gambar iklan. Kita terdidik 

tidak hanya lewat sekolah untuk membimbing suatu dam­

Paran pemandangan, peristiwa, dan manusia lian dengan bing­

kai yang sering dipakai orang lain yang pemah kita kenai 

dan kita anggap bingkai itu yang paling benar. Ini tidak 

berarti kita selalu setuju dan suka pada apa yang ada dalam 

bingkai tersebut. Kita terjerat untuk memakai bentuk 

pemahaman yang disajikan kepada kita secara bertubi-tubi, 

dan isi yang dikandung oleh bentuk itu menjadi kurang 

penting  ,

Penulisan sejarah manusia oleh manusia tak mungkin 

terlepas dari keadaan ini. Juga penulisan sejarah kesusas­

teraan Indonesia. Karena itu wajar bila tak sedikit yang 

merasa perlu diadakannya perombakan penulisan sejarah 

5. Ketika banyak orang berkulit putih memakai bentuk "warn a­

kulit" untuk menilai seseorang dan merendahkan keturunan 

Negro, banyak keturunan Negro ini yang terjerat memakai 

bentuk yang sarna untuk mem.berikan isi yang lain dengan ber­

semboyan "Black is beautilful".Di Indonesia, ada yang merasa 

tak puas terhadap prasangka terhadap WNI keturunan Cina; 

jika ada kriminal tertangkap dan diajukan ke pengadilan ada 

media Massa merasa perlu menyebutkan nama Cinanya atau 

keturunan darah nenek moyangnya. Tak sedikit yang lalu ter­

perangkap dan merasa perlu menunjuk-nunjukkan 'adanya' 

WNI keturunan Cina yang baik. Tanpa sadar mereka terpe­

rangkap untuk ikut-ikutan bersikap rasialis dengan memperhi­

tungkan asal-usul keturunan dalam membahas nUai kemanusiaan 

sese'orang warga negara~