PARA KSATRIA PENJAGA MAJAPAHIT
Karya Ki Arief “Sandikala” Sujana
HARI itu adalah dua hari sesudah hari raya manis Galungan
di ujung barat Jawadwipa.
Matahari pagi bersinar begitu cerah, memutihkan udara langit
diatas Sungai Cisadane ketika dua ekor elang muda melintas jauh
ke ujung batas pandang di bawah lengkung langit biru terang.
Dua orang pemuda menatap air sungai yang hijau jernih diatas
sebuah perahu sampan didayung dua orang prajurit muda
melawan arah arus air menuju hulu Sungai Cisadane.
“Perjalanan panjang menuju arah jalan pulang”, berkata
seorang pemuda kepada kawannya diatas perahu sampan itu.
“Pangeran dapat selalu mencari arah jalan pulang, sementara
aku setiap saat selalu mencari ujung perjalananku yang tidak
pernah sampai”, berkata kawannya masih menatap riak air
sungai jernih di ujung kayu dayung seorang prajurit muda.
Siapakah dua orang muda diatas perahu sampan itu yang
tengah didayungi oleh dua orang prajurit muda itu?
Kedua anak muda diatas sampan itu adalah Pangeran
Jayanagara dan Gajahmada yang baru saja meninggalkan
Kotaraja Rakata.
Sudah hampir dua kali Hari Raya Galungan mereka berada di
Istana Rakata. Berat hati Gajahmada harus meninggalkan Istana
Rakata, berpisah dengan kakeknya Raja Pulau Api dan ayah
kandungnya sendiri, Pendeta Darmayasa.
“Aku begitu yakin bahwa di dalam dirimu telah bersemayam
jiwa seekor raja elang perkasa yang akan menemukan sarangnya
di puncak tebing tinggi. Pergilah wahai elangku, jadilah penguasa
samudera menyatukan nusa dan daratan yang terpisah lautan,
lengkingmu akan terus bergema sepanjang masa”, berkata Raja
Pulau Api kepada Gajahmada ketika melepasnya pergi
meninggalkan istana Rakata.
“Wahai putraku, bawalah bersamamu segenggam tanah
Rakata ini, agar kamu selalu ingat bahwa disinilah darah
dagingmu berasal, di atas tanah terapung ada dan kadang
menghilang. Janganlah bersedih manakala kamu tidak melihat
lagi Gunung Api Rakata berdiri diatas selat sunda ini, sebab
tanah Rakata telah kamu bawa, telah kamu simpan bersama hati
dan kerinduan kami”, berkata Pendeta Darmayasa kepada
putranya, Gajahmada. Ketika melepasnya meninggalkan istana
Rakata bersama Pangeran Jayanagara.
Sementara itu, perahu sampan yang dinaiki oleh Gajahmada
dan Pangeran Jayanagara terlihat sudah mendekati dermaga
Pangkalan Jati. Sebuah dermaga di tepian Sungai Cisadane yang
biasa di gunakan para pedagang memulai pelayaran mereka ke
berbagai tempat hingga ke ujung muaranya.
“Terima kasih telah mengantar kami”, berkata Pangeran
Jayanagara dan Gajahmada bersamaan sambil melompat ke atas
dermaga kayu kepada dua orang prajurit muda yang mengantar
mereka menyusuri Sungai Cisadane itu.
“Kami akan merindukan tuan-tuan”, berkata salah seorang
prajurit muda itu kepada mereka berdua.
Terlihat Gajahmada dan Jayanagara melambaikan tangannya
kepada dua orang prajurit muda itu diatas sampan perahu
mereka yang terus bergerak meluncur mengikuti air Sungai
Cisadane menuju muara.
Mata Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih tetap
memandang perahu sampan dan kedua prajurit itu sampai tidak
terlihat lagi menghilang di ujung sebuah tikungan sungai yang
dirimbuni rumpun bambu memenuhi tepian Sungai Cisadane.
Matahari merangkak perlahan kearah puncaknya, namun
sinarnya terhalang kerimbunan rumpun bambu diatas tanah yang
menaik curam, terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
berjalan mendaki menjauhi dermaga Pangkalan Jati itu.
Demikianlah, mereka berdua terlihat berjalan menyusuri arah
hulu Sungai Cisadane lewat jalan darat. Sungai Cisadane yang
luas itu terlihat seperti seekor naga besar tengah merayap di
bawah dua buah tebing perbukitan.
Jalan tanah keras yang tengah dilalui oleh Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara adalah jalan tanah keras di sebuah
perbukitan menuju hutan Rumpin. Mereka kadang bertemu
bersisipan jalan dengan beberapa orang pedagang yang berjalan
secara berkelompok.
sesudah gerombolan Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi yang
telah ditumpas habis, jalan perdagangan dari pedalaman menuju
arah pesisir barat Jawadwipa nampaknya telah menjadi jalan
yang aman. Namun bukan berarti para perampok sudah tidak ada
lagi, mereka adalah orang-orang pemalas yang melihat
kesempatan. Berbekal ilmu kanuragan dan sedikit kekebalan
mereka menghimpun kawan menjadi para perampok kambuhan.
Namun ada beberapa pedagang yang pandai mencoba berdamai
dengan mereka, memberikan sebuah upeti agar barang dagangan
mereka aman. Jadilah para perampok ini sebagai raja-raja kecil
menguasai beberapa tempat dan daerah di sepanjang jalan
perdagangan itu.
Teduh dan sepi manakala mereka mulai memasuki daerah
hutan Rumpin.
Suara kicau burung memenuhi suasana udara hutan Rumpin
ketika kedua anak muda ksatria Majapahit itu semakin memasuki
hutan lebat itu.
“Suara pertempuran”, berkata Gajahmada kepada Pangeran
Jayanagara manakala mereka mendengar suara denting senjata
dan teriakan orang-orang yang tengah bertempur.
Ternyata dugaan mereka tidak meleset, kedua anak muda itu
telah melihat sebuah pertempuran di hutan Rumpin itu.
“Nampaknya dua kelompok perampok memperebutkan
wilayah”, berkata Pangeran Jayanagara menilai dua kelompok
yang tengah bertarung itu, melihat sikap kasar sebagian besar
orang-orang yang tengah bertempur itu.
“Aku ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka”, berkata
Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara sambil terus melangkah
mendekati arah pertempuran itu.
Terlihat Gajahmada perlahan melepas cambuk pendek yang
melingkar di pinggangnya.
Gelegar !!!
Gelegar !!!
Gelegar !!!
Tiga kali Gajahmada menghentakkan cambuk pendeknya
dengan sentakan sendal pancing.
Suara itu benar-benar memekakkan telinga siapapun yang
mendengarnya. Juga semua orang yang tengah bertempur itu.
Suara gelegar cambuk pendek Gajahmada telah menghentikan
pertempuran, orang-orang itu seperti terkejut dan segera
melompat mengambil jarak dengan lawan masing-masing.
Gajahmada melihat sekitar dua puluh orang dari dua
kelompok yang tengah bertempur itu seketika berhenti
bertempur, arah pandang mereka semua tertuju kepada dirinya.
“Kalian telah berbuat onar di wilayah kekuasaanku”, berkata
Gajahmada dengan wajah dan suara keren penuh wibawa.
“Siapa kamu mengaku-ngaku sebagai penguasa wilayah hutan
ini?”, berkata salah seorang diantara mereka.
“Ketika Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi masih hidup,
kalian bersembunyi. Ketika kedua orang itu mati, kalian keluar
seperti tikus-tikus pengecut keluar dari lubang persembunyian”,
berkata Gajahmada sambil bertolak pinggang.
Mendengar perkataan Gajahmada yang menyebut nama Ki
Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi, semua orang nampaknya
membenarkan, dan nama kedua orang itu memang masih
membekas di hati mereka, terutama kekejamannya yang tidak
mengenal ampun.
Namun salah seorang diantara mereka nampaknya punya
kebencian tersendiri, merasa muak dengan nama Ki Guntur Geni
dan Ki Guntur Bumi terdengar ditelinganya.
“Jangan sebut nama itu lagi dihadapanku, atau mulutmu
kusumpal dengan golok ini”, berkata salah seorang diantara
mereka maju beberapa langkah mendekati Gajahmada dengan
sikap mengancam.
“Benar Ki Badra, kita habisi satu orang ini, baru kita
selesaikan kembali urusan kita”, berkata seorang dari kelompok
lain yang berseberangan dengan kelompok orang yang dipanggil
dengan nama Ki Badra itu.
“Mari mendekatlah, kalian akan tahu bahwa aku lebih kejam
dari pada Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi”, berkata
Gajahmada dengan sikap menantang.
“Habisi anak muda sombong ini!!”, berteriak Ki Badra sambil
menunjuk ke arah Gajahmada.
Teriakan Ki Badra itu telah menggerakkan dua puluh orang
melangkah langsung mengepung Gajahmada dengan golok
panjang terangkat keatas, siap mencincang tubuh Gajahmada.
Namun Gajahmada telah bergerak lebih dulu mendahului
gerakan mereka.
Gerakan Gajahmada begitu cepat, mata orang biasa tidak
dapat mengikutinya.
Hanya dengan sekerdipan mata saja, semua orang yang
hendak mencincang Gajahmada beramai-ramai itu terlihat
tercengang merasakan tangan mereka tergetar panas dan dengan
terpaksa melepas golok panjang dari genggaman tangan mereka,
membiarkannya jatuh ke tanah.
Ternyata Gajahmada dengan gerakan yang sangat begitu cepat
telah melecut satu persatu golok di tangan mereka melambari
cambuknya dengan sedikit tenaga sakti sejatinya.
Belum habis rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja Gajahmada
telah bergerak dengan sangat cepat sekali mendekati Ki Badra.
Gerakan itu begitu cepat membuat Ki Badra tidak sempat berbuat
apapun, hanya tersadar merasakan lehernya tertarik dengan kuat
oleh libatan cambuk Gajahmada membuat orang itu terseret
dengan tali cambuk yang masih melibat batang lehernya. Seketika
Ki Badra merasakan nafasnya tersengal. Terlihat tangan kuat
Gajahmada sudah berada di belakang leher Ki Badra yang tidak
berani berbuat apapun, takut dengan sekali hentakan nyawanya
lepas melayang.
“Dengar oleh kalian, aku lebih kejam dari Ki Guntur Geni dan
Ki Guntur Bumi. Namun perlu kalian ketahui bahwa kawanku itu
bahkan lebih kejam dariku”, berkata Gajahmada dengan suara
lantang.
Kaget juga Pangeran Jayanagara bahwa dirinya tiba-tiba saja
dilibatkan, namun Pangeran Jayanagara yang tidak jauh berdiri
dari Gajahmada sudah dapat mengerti keinginan kawannya itu
dengan langsung bersikap garang layaknya seorang perampok
berhati bengis dan kejam.
“Hari ini nyawamu ku ampuni”, berkata Gajahmada sambil
mendorong tubuh Ki Badra yang masih terjerat oleh cambuknya
itu.
Maka dorongan itu telah membuat tubuh Ki Badra terjerumus
kedepan dan berguling di tanah kotor.
Semua orang yang mengenal Ki Badra sebagai Jawara nomor
satu diantara mereka seperti tidak percaya dengan apa yang
mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Ki Badra di
hadapan anak muda itu seperti sebatang bambu kering yang tidak
berdaya.
“Sebarkan kepada siapapun bahwa mulai hari ini wilayah
hutan Rumpin ini adalah milik sepasang rampok bercambuk
Guntur, itulah nama panggilan kami. Dan kami tidak ingin
berbagi dengan siapapun, dengan perampok manapun. Pergilah
kalian, hari ini kami masih bermurah hati tidak ingin membunuh
tikus-tikus seperti kalian”, berkata Gajahmada dengan wajah
begitu angker, layaknya seorang perampok sungguhan yang
berhati kejam biasa membunuh nyawa manusia tanpa berkedip
sedikit pun.
Tanpa menunggu apapun, para perampok yang tengah berebut
wilayah kekuasaan itu pun telah bergeser menjauh pergi dari
pandangan dan penglihatan Gajahmada.
“Sepasang rampok bercambuk Guntur, sebuah nama yang
hebat”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada
manakala sudah tidak terlihat siapapun orang di hutan itu.
“Sangat kejam dan angker terdengar, terutama oleh tikus-tikus
sawah”, berkata Gajahmada tersenyum.
“Setidaknya telah membuat para perampok gentar untuk
mendatangi wilayah sekitar hutan Rumpin ini”, berkata Pangeran
Jayanagara memuji cara Gajahmada membuat jera para
perampok.
“Semoga wilayah hutan Rumpin ini aman untuk sementara
waktu”, berkata Gajahmada.
Terlihat mereka berdua telah berjalan kembali, melanjutkan
perjalanan mereka yang tertunda masuk ke hutan Rumpin lebih
kedalam lagi.
Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara terus
berjalan keluar masuk hutan, mendaki perbukitan dan lembah
gunung, melewati banyak padukuhan di beberapa tempat. Orang-
orang melihat mereka hanya sebagai dua anak muda pengembara
biasa, tidak ada yang mengetahui bahwa salah satu dari anak
muda itu adalah seorang putra mahkota Majapahit.
sesudah menempuh perjalanan yang cukup panjang itu,
akhirnya mereka berdua telah mendekati kaki Gunung
Galunggung.
Matahari belum terjatuh rebah di barat bumi manakala
mereka berdua telah berada di Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa. Prabu Guru Darmasiksa menyambut mereka berdua
dengan perasaan penuh suka cita.
“Terima kasih telah membawa kembali sarung Kujang
Pangeran Muncang”, berkata Prabu Guru Darmasiksa manakala
menerima sarung Kujang Pangeran Muncang dari tangan
Gajahmada.
Dan mereka pun saling bercerita selama perpisahan diantara
mereka selama itu.
Kepada Prabu Guru Darmasiksa, mereka menyampaikan
rencana mereka berdua untuk kembali ke Majapahit.
“Beristirahatlah kalian di sini dua tiga hari, kalian baru saja
tiba dari sebuah perjalanan yang sangat melelahkan”, berkata
Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara.
Demikianlah, mereka berdua mengikuti permintaan Prabu
Guru Darmasiksa untuk beristirahat sekitar dua hari di
Padepokan yang teduh dan asri itu.
Namun dua hari bagi Gajahmada adalah sebuah waktu yang
sangat panjang, selama di padepokan itu wajah Andini seperti
kadang hadir tengah berjalan di atas halaman muka Padepokan
dengan senyumnya. Terbayang kembali hari-hari dalam
kebersamaan mereka saat menuju Rawa Rontek, juga saat selama
mereka berdua di rumah kediaman Patih Anggara.
“Cinta dan angan-angan ini adalah sebuah penjara hati, aku
harus keluar membebaskan diriku”, berkata Gajahmada dalam
hati mencoba meredam perasannya sendiri.
Dan pagi itu langit diatas lereng Gunung Galunggung begitu
pekat berselimut kabut tebal, sebagai sebuah pertanda bahwa
hari itu akan menjadi begitu cerah tanpa hujan.
Terlihat dua orang cantrik tengah menyiapkan dua ekor kuda
di depan halaman padepokan Prabu Guru Darmasiksa.
“Kami di Tanah Pasundan ini akan merindukan kalian
berdua”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mengantar Gajahmada
dan Pangeran Jayanagara yang telah menuruni anak tangga
pendapa Padepokan menuju halaman mendekati kuda-kuda
mereka yang telah dipersiapkan itu.
Langit pagi diatas Padepokan Prabu Guru Darmasiksa begitu
teduh manakala sekumpulan awan tertiup angin menutupi
matahari pagi.
“Kami akan merindukan kalian semua”, berkata Gajahmada
dan Pangeran Jayanagara sambil melambaikan tangan mereka
berdua kepada para cantrik dan Prabu Guru Darmasiksa yang
mengantar mereka berdua keluar dari regol pintu gerbang
Padepokan.
Prabu Guru Darmasiksa dan para cantrik masih terus
memandang Gajahmada dan Pangeran Jayanagara diatas
kudanya hingga tak terlihat lagi menghilang di ujung jalan yang
menurun.
“Mari kita berpacu”, berkata Pangeran Jayanagara ketika
dihadapannya terlihat padang ilalang terhampar luas di jalan
yang menurun.
“Aku akan mengejarmu”, berkata Gajahmada manakala telah
melihat Pangeran Jayanagara telah memacu kudanya
mendahuluinya.
Terlihat dua ekor kuda telah terpacu berlari membelah padang
ilalang di bawah langit pagi yang cerah.
Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara seperti
dua ekor elang muda yang akan kembali menuju tanah merdeka,
tanah Majapahit yang telah lama mereka tinggalkan selama ini.
Sorot dan sinar mata mereka terlihat begitu jernih dan tajam
memandang kedepan sebagai pertanda kematangan jiwa dan
kepercayaan diri yang tinggi. Dua orang muda yang telah
memiliki tataran kesaktian yang tinggi di jamannya, seusia muda
mereka yang mungkin akan masih terus berkembang lagi.
sesudah menempuh perjalanan sehari semalam, akhirnya
langkah kedua kuda mereka telah membawa mereka sampai di
bandar Muara Jati.
“Selamat bertemu kembali Ki Gedeng Tirta”, berkata
Gajahmada kepada seorang tua yang ditemuinya di sebuah
rumah tidak jauh dari bandar Muara Jati.
“Senang bertemu dengan angger berdua”, berkata orang tua
itu yang dipanggil sebagai Ki Gedeng Tirta itu yang masih ingat
kepada mereka berdua.
“Ternyata daya ingat Ki Gedeng Tirta masih sangat tajam”,
berkata Pangeran Jayanagara kepada Ki Gedeng Tirta.
“Siapa yang lupa dengan cucu buyut junjunganku sendiri”,
berkata Ki Gedeng Tirta sambil tersenyum.
Kepada Ki Gedeng Tirta, mereka berdua menyampaikan
rencana mereka untuk kembali ke Majapahit.
“Anger berdua sangat beruntung, perhitunganku nanti malam
akan berlabuh jung Majapahit yang datang dari Tanah Melayu”,
berkata Ki Gedeng Tirta kepada mereka berdua.
Demikianlah, mereka berdua beristirahat di rumah Ki Gedeng
Tirta sambil menunggu kedatangan Jung Majapahit yang datang
dari Tanah Melayu.
Ternyata perhitungan Ki Gedeng Tirta sebagai seorang
Syahbandar di Muara Jati itu tidak jauh meleset. Malam itu Jung
Majapahit memang telah datang merapat di Bandar Muara Jati.
“Mereka akan membongkar sedikit muatan di sini, besok
malam Jung Majapahit akan melanjutkan pelayarannya kembali”,
berkata Ki Gedeng Tirta kepada Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara di rumahnya memberi kabar tentang kedatangan
Jung Majapahit itu.
Ketika pagi harinya, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
bersama Ki Gedeng Tirta datang ke Bandar pelabuhan Muara Jati
untuk sekedar melihat-lihat keadaan di sana.
Bukan main gembira hati mereka manakala mengetahui
bahwa Rakyan Argalanang, seorang pejabat Majapahit yang
mengurusi perdagangan Majapahit ada bersama Jung besar itu.
“Pangeran sudah menjadi seorang pemuda”, berkata Rakyan
Argalanang kepada Pangeran Jayanagara. ”Dan kamu pasti
adalah Mahesa Muksa, putra Patih Mahesa Amping sahabatku”,
berkata kembali Rakyan Argalanang dengan penuh gembiranya
dapat bertemu kedua anak muda itu di Bandar Muara Jati.
Kepada Ki Gedeng Tirta, Rakyan Argalanang bercerita bahwa
dirinyalah yang telah membawa Pangeran Jayanagara dari Tanah
Melayu menemui ayahnya Baginda Sanggrama Wijaya yang saat
itu tengah berjuang melawan penguasa Kediri.
“Baginda Sanggrama Wijaya telah memintaku untuk
mengantar putranya ini mengungsi ke Balidwipa yang
selanjutnya bersama keluarga istana Singasari kami mengungsi
ke tempat jauh, di Tanah Wangi-wangi”, bercerita Rakyan
Argalanang mengenang masa-masa perjuangan mereka dahulu.
“Sebelum Majapahit berdiri seperti sekarang ini, pastilah
kalian orang-orang muda yang punya semangat dan cita-cita yang
hebat”, berkata Ki Gedeng Tirta kepada Rakyan Argalanang.
Demikianlah, ketika hari berganti menjelang malam terlihat
Jung Majapahit telah menjauhi dermaga Bandar Muara Jati
melanjutkan pelayarannya.
Sepanjang malam, Rakyan Argalanang diatas pelayarannya
banyak bercerita kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
tentang petualangan dirinya bersama Baginda Sanggrama
Wijaya, Mahesa Amping dan Ranggalawe di Tanah Melayu dan
beberapa tempat lainnya. Sebuah cerita yang selama ini tidak
pernah mereka dengar.
“Petualangan para ksatria Majapahit”, berkata Gajahmada
sangat tertarik dengan cerita itu.
Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran ikut berlayar bersama
jung Majapahit menyusuri Jawadwipa sebelah utara yang singgah
di beberapa bandar pelabuhan pada saat itu seperti Bandar
Pragota, juga pantai Rembang dan Tuban.
“Mengapa paman tidak menjumpai Adipati Ranggalawe?”,
berkata Pangeran Jayanagara kepada Rakyan Argalanang
manakala Jung Majapahit tengah bergeser menjauhi pantai
Tuban.
“Pamanmu ini pernah menemuinya ketika Jung Majapahit ini
merapat di Tuban. Namun sahabatku itu sudah sangat berbeda
jauh, menerimaku tidak sebagai seorang sahabat lagi. Pamanmu
tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Sejak saat itu pamanmu
ini tidak lagi ada keinginan datang menjumpainya”, berkata
Rakyan Argalanang bercerita tentang sikap Ranggalawe
kepadanya.
Tidak terasa, Jung Majapahit telah semakin menjauhi pantai
Tuban meluncur membelah laut malam. Sementara itu hati
Gajahmada sudah seperti terbang di Kotaraja Majapahit. Sebuah
tempat yang sudah seperti begitu lama di tinggalkan, dimana
disana ada ibu kandungnya yang mungkin juga tengah
merindukannya.
“Sedang apa gerangan saat ini kamu wahai ibundaku?”,
berkata Gajahmada dalam hati sambil memandang wajah bulan
yang terpotong terhalang awan hitam di malam itu.
Sementara itu tujuh tiang kayu penyangga kain layar kadang
berdenyit menahan angin barat yang berhembus kuat dan penuh
mendorong Jung terbesar di jamannya saat itu terus meluncur
membelah ombak laut malam meninggalkan garis buih putih
yang panjang.
Akhirnya, manakala langit malam perlahan berubah warna
kemerahan, Jung Majapahit telah mendekati Tanah Ujung Galuh.
“Turunkan layar!!”, terdengar suara teriakan lantang dari atas
anjungan.
Terlihat beberapa orang pelaut Majapahit menaiki tangga tali
tiang layar. Nampaknya mereka sudah begitu terbiasa dan sangat
mahir sekali naik dan berjalan diantara tali temali itu.
“Pamanmu melihat kalian berdua seperti tidak sabar berharap
segera sampai merapat di Bandar Tanah Ujung Galuh”, berkata
Rakyan Argalanang kepada kedua anak muda itu yang tengah
berdiri di lambung Jung Majapahit.
Mendengar perkataan Rakyan Argalanang, terlihat kedua anak
muda itu saling berpandangan sambil tersenyum, merasa telik
Rakyan Argalanang atas perasaan mereka berdua tidak meleset
jauh.
“Bila melihat kalian berdua, pamanmu jadi teringat kepada
Patih Mahesa Amping dan Baginda Raja Sanggrama Wijaya”,
berkata Rakyan Argalanang.
“Apa yang paman lihat dari kami berdua?”, bertanya
Gajahmada.
“Persahabatan kalian, seperti persahabatan mereka berdua”,
berkata Rakyan Argalanang menjawab pertanyaan Gajahmada
kepadanya.
Pagi itu, jung Majapahit telah merapat di Tanah Ujung Galuh.
“Kita berpisah disini”, berkata Gajahmada di depan sebuah
barak prajurit.
“Salam untuk ibumu”, berkata Pangeran Jayanagara sambil
terus melangkah menuju istana yang sudah tidak begitu jauh lagi.
Terlihat Gajahmada telah memasuki barak prajurit itu, sebuah
barak pasukan khusus para prajurit wanita dimana Nyi Nariratih
dipercaya sebagai pimpinan tertinggi pasukan khusus itu.
“Putraku!!”, berkata Nyi Nariratih sambil menghampiri dan
memeluk putranya itu.
Penuh kegembiraan kedua ibu dan anak itu sesudah berpisah
cukup lama saling bercerita.
“Jadi kamu telah bertemu muka dengan ayahmu sendiri?”,
berkata Nyi Nariratih penuh kegembiraan manakala Gajahmada
telah bercerita tentang ayahnya.
“Ayah pula yang telah memercikkan air suci, mengembalikan
nama asliku, Gajahmada”, berkata Gajahmada.
Bukan main gembiranya Nyi Nariratih mendengar itu.
“Doaku ternyata dipenuhi oleh Gusti yang Maha Agung,
namamu telah dipuput oleh ayahmu sendiri”, berkata Nyi
Nariratih dengan wajah penuh tangis suka cita mendengar semua
cerita putranya selama dalam pengembaraan di Tanah Pasundan.
Dengan berat hati, Gajahmada bercerita juga tentang Pendeta
Gunakara kepada ibundanya.
“Orang tua itu telah begitu penuh kasih menjadi
pembimbingmu selama ini”, berkata Nyi Nariratih mengenang
Pendeta Gunakara sejak Gajahmada masih dalam pangkuannya.
“Pekan lalu, Kakang Putu Risang mu, telah kembali ke
Balidwipa untuk menjadi pemimpin Padepokan Pamecutan yang
dibangun oleh Patih Mahesa Amping dan Empu Dangka”, berkata
Nyi Nariratih bercerita tentang kembalinya Putu Risang ke tanah
asalnya di Balidwipa.
“Bila saja Kediri tidak jauh, mungkin aku sudah berlari hari ini
menemui ayah angkatku itu”, berkata Gajahmada kepada
ibundanya.
“Kediri memang jauh, namun ayah angkatmu itu sudah tiga
hari ini berada di istana Majapahit”, berkata Nyi Nariratih.
“Benarkah yang ibunda katakan?”, berkata Gajahmada
berharap ibundanya tidak tengah bercanda.
“Aku tidak bercanda, temuilah segera Tuan Patih Mahesa
Amping di istana”, berkata Nyi Nariratih kepada Gajahmada.
“Putramu akan menemuinya”, berkata Gajahmada yang masih
rindu kepada ibunya itu berkemas dan pamit diri untuk menemui
Patih Mahesa Amping di istana.
Matahari di atas Kotaraja Majapahit sudah bergeser dari
puncaknya, manakala Gajahmada tengah melangkahkan kakinya
memasuki gerbang pintu istana.
“Aku ingin bertemu dengan Patih Mahesa Amping, dimana
aku dapat menemuinya?”, bertanya Gajahmada kepada seorang
prajurit penjaga yang juga telah mengenalnya dengan baik.
“Aku akan mengantarmu, sahabat”, berkata prajurit itu kepada
Gajahmada.
Demikianlah, prajurit itu telah membawa Gajahmada ke
sebuah pura khusus untuk para tamu agung bermalam di istana
Majapahit.
Bukan main gembiranya Patih Mahesa Amping manakala
melihat Gajahmada datang menemuinya.
“Baru tadi pagi, aku mendapatkan tentang kedatangan kamu
dan Pangeran Jayanagara dari Tanah Pasundan, kupikir baru
besok kamu datang menemuiku”, berkata Patih Mahesa Amping
kepada Gajahmada.
Dan mereka pun saling bercerita selama banyak waktu selama
mereka saling berpisah.
“Berbahagialah bahwa kamu telah dipertemukan dengan ayah
kandungmu sendiri, dan berbahagialah kalian, Prabu Guru
Darmasiksa telah mewariskan ilmu adi luhung itu kepada kalian”,
berkata Patih Mahesa Amping ketika mendengar cerita
Gajahmada tentang pengembaraannya di tanah Pasundan.
“Kapan ayahanda kembali ke Kediri?”, bertanya Gajahmada
kepada Patih Mahesa Amping.
Patih Mahesa Amping tidak langsung menjawab. Sebagai
seorang yang telah lama mengenal ayah angkatnya itu,
Gajahmada dapat melihat bahwa Patih Mahesa Amping
nampaknya tengah menghadapi sebuah masalah besar. Wajah
lelaki yang selalu riang itu dilihat oleh Gajahmada seperti
terhalang sebuah kabut yang mengganggu keceriaan hatinya.
“Apakah putramu boleh mengetahui apa yang tengah
mengganjal hati dan pikiran ayahandaku?”, bertanya Gajahmada
kepada ayah angkatnya itu.
“Aku memang tengah mencari seseorang untuk berbagi, wahai
putraku”, berkata Patih Mahesa Amping penuh senyum
memandang Gajahmada bukan lagi sebagai seorang anak kecil,
tapi seorang pemuda dewasa.
“Aku putramu, siap mendengarnya wahai ayahandaku”,
berkata Gajahmada.
“Aku mempercayakan dirimu, wahai putraku”, berkata Patih
Mahesa Amping sambil mengeluarkan sebuah gulungan rontal
dari balik pakaiannya. ”Rontal ini adalah surat tangan
Ranggalawe kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Untuk
inilah aku dipanggil datang di istana Majapahit ini. Kupercaya
dirimu untuk ikut membacanya, wahai putraku”, berkata Patih
Mahesa Amping sambil memberikan gulungan rontal itu kepada
Gajahmada.
Terlihat Gajahmada menerima gulungan rontal itu,
membacanya kata demi kata.
Isi gulungan rontal yang tengah di baca oleh Gajahmada isinya
adalah seperti ini :
“Kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya, junjungan
dan sahabatku.
Masih ingatkah tuan tentang sebuah cerita seekor anak
harimau yang terluka, tersisih dari lingkungannya?
Ayahku telah datang menyelamatkan harimau itu,
membesarkannya agar dapat kembali mengenal padang
perburuannya.
Ayahku telah datang kepadaku, tidak mempermasalahkan
tentang jabatan Patih Amangkubumi di Majapahit, tidak
mempermasalahkan tentang patih di Daha, ayahku juga
tidak meminta separuh kekuasaan sebagaimana janji yang
pernah tuan berikan kepadanya.
Ayahku hanya meminta tuan untuk memberikan
kekuasaan daerah Tuban kepadaku, sedikit dari separuh
kekuasaan Majapahit yang besar ini.
Dari Ranggalawe, putra Arya Wiraraja.”
Demikian Gajahmada membaca dalam hati sebuah rontal yang
ternyata dari Ranggalawe untuk Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
“Wahai putraku, Baginda Raja telah berbagi hati tentang surat
ini kepadaku. Dan aku telah berbagi hati kepadamu. Inilah
tentang sebuah perasaan hati kebimbangan manakala lawan kita
adalah sahabat sendiri. Aku, Baginda Raja dan Ranggalawe
seperti tiga jariku ini, begitu dekat”, berkata Patih Mahesa
Amping kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada terdiam, teringat akan cerita Rakyan
Argalanang ketika mereka merapat di Bandar pelabuhan Tuban.
“Putramu pernah singgah di Bandar pelabuhan Tuban dalam
pelayaran pulang”, berkata Gajahmada.
“Tuban adalah sebuah daerah yang kecil, namun melepas
kekuasaan Tuban sama artinya menutup pintu Majapahit, yang
akan dapat mati secara perlahan sebab Tuban ibarat sebuah
batang leher dari Majapahit ini. Itulah yang ada dalam pikiran
ayah Ranggalawe, pemikir ulung, ahli siasat perang yang tidak
ada duanya di dunia ini, Adipati Sunginep, Arya Wiraraja”,
berkata Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada.
Kembali Gajahmada terlihat terdiam, nampaknya tengah
merenungi arti sebuah persahabatan dan kekuasaan.
“Tuan Jayakatwang selalu berkata kepadaku, tidak ada
pertemanan abadi dalam kancah kekuasaan”, berkata Gajahmada
seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
“Kamu benar wahai putraku, persahabatan harus di pisahkan
dari kekuasaan”, berkata Patih Mahesa Amping seperti
menemukan sebuah jawaban dari perkataan Gajahmada itu.
Tidak terasa matahari diatas istana Majapahit telah terlihat
bergeser mendekati ujung barat cakrawala. Sementara itu terlihat
dua orang prajurit pengawal berjalan memasuki pura
peristirahatan Patih Mahesa Amping.
“Nampaknya Baginda Raja memerlukanku”, berkata Patih
Mahesa Amping ketika melihat dua orang prajurit pengawal itu
mendekati pendapa pura. ”Datanglah besok pagi menemuiku
disini”, berkata kembali Patih Mahesa Amping sambil berdiri.
Terlihat Gajahmada ikut berdiri mengantar Patih Mahesa
Amping yang telah menuruni anak tangga pura, dan melihat
lelaki gagah itu telah berjalan diiringi dua orang prajurit
pengawal istana yang akan mengantarnya menemui Baginda Raja
Sanggrama Wijaya.
Gajahmada masih melihat ayah angkatnya itu di ujung sebuah
lorong jalan istana dan menghilang di sebuah tikungan jalan.
“Seorang ksatria penjaga Majapahit yang setia”, berkata
Gajahmada dalam hati begitu bangga kepada ayah angkatnya itu
yang begitu setia, menyerahkan segala hati, pikiran dan juga
jiwanya bagi kerajaan Majapahit.
Matahari putih, awan putih dan langit putih meneduhi
langkah kaki Gajahmada berjalan di Kotaraja Majapahit yang
sudah terlihat mulai sepi itu, hari telah berada di ujung senja.
Pura pasanggrahan Jayakatwang terletak di sebuah bukit kecil
di Tanah Ujung Galuh, di sanalah langkah kaki Gajahmada
tertuju.
“Selamat datang kembali wahai putraku”, berkata
Jayakatwang di pura pasanggrahannya menyambut kedatangan
Gajahmada.
sesudah menyampaikan keselamatan masing-masing, mereka
berdua saling bercerita beberapa peristiwa selama perpisahan
diantara mereka.
Namun manakala mereka asyik bercerita berbagai peristiwa,
muncul dari ruang dalam Nyimas Turukbali bersama dua orang
gadis mengiringi dibelakangnya.
“Ternyata pahlawan hatiku telah kembali pulang”, berkata
Nyimas Turukbali menyambut kehadiran Gajahmada yang sudah
dianggap sebagai putranya sendiri.
“Wahai dua orang gadis jelita, mengapa masih berdiri
mematung?”, berkata Jayakatwang menggoda dua orang gadis
yang masih berdiri canggung penuh malu.
“Mari duduk bersama kami, bibimu akan memperkenalkan
kalian kepada Gajahmada”, berkata Nyimas Turukbali meminta
kedua gadis itu duduk bersama mereka di pendapa pura.
Mendengar perkataan Nyimas Turukbali, Terlihat kedua gadis
itu ikut duduk bersama mereka.
Gajahmada memandang kedua gadis jelita itu yang juga
tengah memandangnya dengan sebuah senyum tersungging
penuh malu dari keduanya.
“Dua gadis manis yang tengah berkembang”, berkata
Gajahmada dalam hati
“Yang manis selalu tersenyum itu adalah Dyah Gajatri.
Sementara di sebelahnya adalah adiknya bernama Dyah Wiyat.
Mereka berdua adalah kemenakanku sendiri, putri kandung
Baginda Raja Sanggrama Wijaya,” berkata Nyimas Turukbali
memperkenalkan kepada Gajahmada. “Ibunya Ratu Gajatri telah
mempercayakan mereka tinggal bersama kami”, berkata kembali
Nyimas Turukbali kepada Gajahmada.
“Ketika di istana, aku tidak pernah melihat kalian berdua”,
berkata Gajahmada yang merasa heran tidak pernah melihat
kedua gadis manis itu.
“Di Istana Majapahit sudah tentu mereka berdua dipingit tidak
boleh kemana-mana keluar dari pura keputrian”, berkata Nyimas
Turukbali menjelaskan.
Demikianlah, perjumpaan mereka di pura Jayakatwang itu
dilanjutkan dengan perjamuan makan malam.
Terlihat Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat sudah mulai tidak
canggung lagi berhadapan dengan Gajahmada. Ternyata aslinya
mereka adalah dua gadis yang sangat periang. Dan malam di
pendapa pura Jayakatwang menjadi penuh canda ceria diantara
mereka.
“Aku sudah merasa tidak sepi lagi tinggal di pura ini”, berkata
Nyimas Turukbali.
“Aku juga telah mendapat teman berbincang lagi”, berkata
pula Jayakatwang.
“Tidak terasa, hari sudah larut malam”, berkata Nyimas
Turukbali mengingatkan semuanya untuk segera beristirahat.
Dan malam pun terlihat bergelayut dengan suara sepi denging
malam, dengan suara daun dan batang cabang pohon yang
bergesek ditiup angin, juga debur ombak malam pantai Tanah
Ujung Galuh seperti suara nyanyian gending mengalun sepanjang
malam, mengantar tidur hati yang telah letih, terlelap dan
tertidur di peraduan mimpi.
Hingga akhirnya sang pagi datang memenuhi janjinya, diawali
dengan suara sayup ayam jantan bersahutan hingga terdengar
semakin dekat dan begitu jelas dari sebuah padukuhan sebelah.
Dan pagi itu Gajahmada telah merasa berada di rumahnya
sendiri, sesudah melewati sebuah pengembaraan yang panjang di
Tanah Pasundan.
“Patih Mahesa Amping telah meminta aku untuk menemuinya
di istana”, berkata Gajahmada kepada Jayakatwang ketika
mereka bersama menikmati sarapan pagi di pendapa pura.
“Tingkat ilmu kepandaian Patih Mahesa Amping sudah begitu
tinggi, berbahagialah Majapahit ini mempunyai seorang Patih
seperti dirinya”, berkata Jayakatwang.
“Kesetiaan seorang sahabat”, berkata Gajahmada.
Akhirnya ketika pagi sudah menjadi terang tanah, Gajahmada
berpamit diri untuk berangkat ke istana Majapahit bertemu
dengan Patih Mahesa Amping.
Ketika Gajahmada tengah memasuki halaman pura
peristirahatan Patih Mahesa Amping, ternyata di pendapa pura
sudah ada tamu lain.
“Senang melihatmu kembali, wahai anak muda”, berkata
seorang tua yang tidak lain adalah Ki Sandikala, sang Patih
Mangkubumi adanya yang mempunyai nama asli sebagai Empu
Nambi.
“Semoga kedatangan hamba tidak mengganggu kunjungan
tuan Patih Mangkubumi”, berkata Gajahmada penuh hormat
kepada orang tua itu yang sudah dikenalnya dari kecil di tanah
pengungsian, di Balidwipa dan di Tanah Wangi-wangi.
“Justru aku datang untuk menemuimu”, berkata Patih
Mangkubumi dengan wajah penuh senyum keramahan yang
selalu menghiasi dirinya.
“Menemui hamba?”, balik bertanya Gajahmada.
“Aku akan menjelaskan kepadamu”, berkata Patih Mahesa
Amping kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada bergeser duduknya, mencoba menyimak
apa gerangan yang akan disampaikan oleh dua orang paling
dihormati di Majapahit itu.
“Kemarin, kami berdua telah berbincang banyak dengan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, berkata Patih Mahesa Amping
memulai penjelasannya kepada Gajahmada. ”Perbincangan kami
menyangkut perihal daerah Tuban dan Adipati Ranggalawe”,
berkata kembali Patih Mahesa Amping melanjutkan.
Terlihat Patih Mahesa Amping diam sejenak, memberi
kesempatan Gajahmada menunggu pembicaran selanjutnya.
“Kami bertiga telah sepakat untuk menjadikan daerah Tuban
sebagai sebuah daerah yang memerlukan sebuah pengawasan
khusus”, berkata Patih Mahesa Amping melanjutkan
penjelasannya.
Kembali Patih Mahesa Amping terdiam sejenak, memberikan
kesempatan Gajahmada mengerti dengan jelas apa yang telah
disampaikannya itu.
“Untuk selanjutnya, biarlah Patih Mangkubumi menjelaskan
kepadamu”, berkata Patih Mahesa Amping kepada Patih
Mangkubumi.
“Kami perlu seseorang yang dapat dipercaya mengawasi gerak-
gerik daerah Tuban. Dan kami telah menemukan orang itu.
Kamulah Gajahmada yang kami anggap patut melaksanakan
pengawasan khusus itu”, berkata langsung Patih Mangkubumi
kepada Gajahmada.
“Hamba siap melaksanakan tugas ini, semoga hamba tidak
mengecewakan kepercayaan yang telah di letakkan di pundak
hamba ini”, berkata Gajahmada dengan wajah penuh semangat.
“Namun sebaiknya kamu berangkat sesudah upacara
penobatan Pangeran Jayanagara menjadi Raja muda di Kediri”,
berkata patih Mahesa Amping kepada Gajahmada.
“Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda di Kediri?” berkata
Gajahmada penuh tanda tanya.
“Sudah lama istana Kediri kosong tanpa seorang pun mengisi
tahta singgasananya”, berkata Patih Mahesa Amping.
“Sebagai seorang putra Mahkota Kerajaan Majapahit, sudah
waktunya Pangeran Jayanagara belajar mengendalikan sebuah
kerajaan, dimulai dari kerajaan Kediri”, berkata Patih
Mangkubumi menambahkan.
“Aku akan selalu berada disampingnya”, berkata Patih Mahesa
Amping sambil tersenyum seakan dapat membaca arah pikiran
Gajahmada tentang Pangeran Jayanagara.
“Pada saatnya kami akan tua dan mati, aku menjadi yakin
bahwa dirimu adalah salah satunya yang akan menggantikan
kami, menjaga kerajaan ini tetap terus berkibar, bahkan lebih
berkembang dan meluas dari sekarang ini”, berkata Patih
Mangkubumi kepada Gajahmada.
“hamba bangga telah mengenal tuan Patih Mangkubumi,
seorang empu yang mempunyai pengikut besar di Jawadwipa dan
Balidwipa ini. Namun tuan telah melepas semua itu, hanya untuk
sebuah kesetiaan. Sebagaimana ayahandaku, patih Mahesa
Amping yang telah meninggalkan istana Tanah Melayu, juga
demi sebuah kesetiaan. Ijinkan hamba, Gajahmada bersumpah
untuk meninggalkan segala kesenangan sendiri, hanya mengabdi
kepada sebuah kesetiaan Kerajaan gula kelapa ini”, berkata
Gajahmada merasa terharu melihat dua orang terhormat di
hadapannya yang telah mengorbankan diri dan masa depannya
untuk sebuah kesetiaan.
Dan seperti kemarin, terlihat dua orang prajurit pengawal Raja
telah terlihat memasuki halaman pura.
“Masih ada sepekan ini untuk kita saling bertemu, sebelum
upacara penobatan Pangeran Jayanagara”, berkata Patih Mahesa
Amping sambil berdiri kepada Gajahmada.
Ternyata kedua prajurit pengawal itu memang ditugaskan oleh
Baginda Raja untuk memanggil kedua orang kepercayaannya itu,
Patih Mahesa Amping dan Patih Mangkubumi.
Gajahmada ikut berdiri mengantar keduanya menuruni anak
tangga pendapa pura.
Dengan pandangan matanya, Gajahmada mengikuti langkah
mereka berdua yang di kawal oleh dua orang prajurit pengawal
yang akhirnya tidak terlihat lagi, menghilang di sebuah tikungan
jalan lorong istana.
“Aku akan ke sanggar istana”, berkata Gajahmada dalam hati.
Namun sebelum ke sanggar istana, terlihat Gajahmada
melangkahkan kakinya ke pura kasatrian untuk menemui
Pangeran Jayanagara.
“Selamat atas rencana penobatanmu sebagai Raja muda di
Kediri”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara yang
telah ditemuinya.
“Telingamu begitu tajam, mengetahui segala apapun di istana
ini”, berkata Pangeran Jayanagara.
“Patih Mahesa Amping yang memberitahukannya kepadaku”,
berkata Gajahmada.
Terlihat kedua anak muda itu telah berjalan menuju arah
sanggar istana.
“Apakah Pangeran ada perasaan rindu kepada Kakang Putu
Risang?” berkata Gajahmada ketika mereka telah memasuki
ruang dalam sanggar istana.
“Benar-benar merindukannya”, berkata Pangeran Jayanagara.
“Aku juga sangat merindukannya”, berkata pula Gajahmada
menyampaikan perasaan hatinya.
“Kakang Putu Risang selalu menemani kita disini”, berkata
kembali Pangeran Jayanagara sambil memandang kearah
tonggak-tonggak dan balok perintang kayu keseimbangan.
“Dia pula yang mengajari kita menggunakan berbagai jenis
senjata”, berkata Gajahmada sambil memandang ke arah tempat
rak senjata dari berbagai jenis.
“Kenangan yang indah”, berkata Pangeran Jayanagara sambil
berdiri menghadap sebuah tonggak kayu yang berjajar dari
rendah sampai tinggi.
Terlihat Pangeran Jayanagara seperti menarik nafas dalam-
dalam.
Ternyata dirinya tengah bersiap diri untuk melakukan sebuah
latihan rintangan dan keseimbangan.
Hup !!!
Pangeran Jayanagara telah melompat di sebuah tonggak kayu
dan hinggap berdiri hanya dengan sebuah kaki.
Perlahan Pangeran Jayanagara terus melompat dari satu
tonggak kayu ke tonggak kayu lainnya dan berjalan dengan
keseimbangan penuh diatas sebuah titian bambu.
Gerakan Pangeran Jayanagara terlihat begitu lincah dan
cekatan.
Akhirnya, Pangeran Jayanagara telah menerapkan tenaga
sejati dirinya, maka gerakannya menjadi terlihat begitu cepat
bahkan hanya terlihat seperti bayangan yang melesat kesana
kemari.
Melihat apa yang dilakukan oleh Pangeran Jayanagara,
ternyata telah membuat Gajahmada tertarik untuk melakukan
yang sama.
Terlihat Gajahmada sudah langsung seperti terbang hinggap di
sebuah tonggak kayu dan langsung melesat mendekati arah
Pangeran Jayanagara seperti tengah mengejarnya.
Maka, di dalam ruang sanggar kedua anak muda itu seperti
tengah bermain, menguji kecepatan gerak mereka seperti ingin
mengatakan, “Lihatlah wahai kakang Putu Risang, aku sudah
bukan anak kecil lagi”, begitulah mereka berdua melepas rasa
rindu mereka kepada guru mereka yang kini sudah sangat jauh di
Balidwipa.
Bila saja ada orang yang tidak sengaja masuk ke sanggar istana
itu, pasti akan menyangka ada dua siluman terbang, sebab
keduanya sudah terlihat seperti dua bayangan yang melesat
begitu cepat.
sesudah merasa bosan dengan apa yang telah mereka berdua
lakukan di sanggar istana itu, melesat dan hinggap dari satu
tonggak kayu ke tonggak lainnya. Maka mereka pun terlihat telah
turun dan berhenti bersama.
“Aku ingin kembali pulang”, berkata Gajahmada kepada
Pangeran Jayanagara
“Hari belum mendekati sore, atau sebab di Pura Jayakatwang
ada dua bunga yang semerbak mulai berkembang?”, berkata
Pangeran Jayanagara mulai menggoda.
“Tidak ada hubungannya dengan dua gadis itu, aku ingin cepat
pulang sebab Ki Sabah hari ini sakit, tidak ada yang menyiapkan
kayu bakar untuk perapian”, berkata Gajahmada kepada
Jayanagara.
“Bila kamu tidak ingin mendekati mereka, biarlah aku yang
akan mendekatinya”, berkata Pangeran Jayanagara.
“Pangeran adalah saudara tiri mereka, adat dan aturan
manapun melarangnya”, berkata Gajahmada.
“Kamu benar, tapi menurutku mereka memang sangat cantik
rupawan”, berkata Pangeran Jayanagara.
“Benar Pangeran, mereka memang cantik rupawan seperti
bunga yang baru mekar”, berkata Gajahmada dengan polos dan
jujur.
“Nah, apa kataku, kamu ternyata sudah tertarik kepada
mereka”, berkata Pangeran Jayanagara kembali menggoda.
“Aku hanya ingin berkata sejujurnya”, berkata Gajahmada
sambil tersenyum tidak dapat mengelak lagi bahwa dirinya
memang mengagumi kedua gadis itu, Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat.
Demikianlah, Pangeran Jayanagara akhirnya tidak dapat
mencegah keinginan Gajahmada untuk kembali ke Pura
Jayakatwang.
Sebagaimana yang dikatakan kepada Pangeran Jayanagara,
hari itu seorang pelayan yang bernama Ki Sabah memang tengah
sakit dan tidak bisa bekerja. Maka ketika sampai di Pura
Jayakatwang, terlihat Gajahmada sudah langsung ke belakang
Pura untuk menyiapkan kayu untuk perapian.
Ketika Gajahmada tengah bekerja membelah kayu menjadi
lebih kecil, terlihat dua orang gadis tengah melangkah
mendekatinya.
“Bolehkah kami ikut membantu?”, berkata salah seorang dari
gadis itu yang lebih tua umurnya yang ternyata adalah Dyah
Gajatri.
“Tidak perlu, nanti telapak tanganmu jadi keras seperti tukang
panggul di bandar pelabuhan”, berkata Gajahmada sambil
menghentikan kerjanya dan memandang kedua gadis itu.
“Bukankah ibundamu sendiri adalah seorang pemimpin
prajurit wanita di Kerajaan Majapahit ini?”, berkata Dyah Gajatri
kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Dyah Gajatri telah membuat
Gajahmada berpikir untuk membenarkannya.
“Tuan putri benar, ibu hamba memang seorang prajurit
wanita, sudah terbiasa menggunakan berbagai macam senjata.
Tapi bila boleh jujur hamba katakan bahwa hamba lebih
menyukai ibu hamba di rumah memegang jarum sulam
merangkai hiasan diatas jarik”, berkata Gajahmada kepada Dyah
Gajatri.
“Wanita tidak lebih dari sebuah hiasan di mata seorang lelaki”,
berkata Dyah Gajatri sambil mencibirkan bibir mungilnya
menjadi terlihat begitu manis.
Dan tidak sengaja Gajahmada menikmatinya, dan tidak
sengaja berujar, “wanita memang seperti kembang mekar
penghias taman bunga”.
“Aku akan membuktikan bahwa wanita tidak hanya menjadi
hiasan di taman bunga istana, tapi wanita dapat juga menjadi
seorang Raja, memerintah kaum lelaki”, berkata Dyah Gajatri
dengan penuh semangat.
Terkejut Gajahmada mendengar ucapan Dyah Gajatri, namun
dihadapan dua gadis ini tidak ingin berseteru panjang, apalagi
berbicara tentang perbedaan antara lelaki dan wanita.
“Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, apapun kehendak
yang Maha Agung dapat saja terjadi”, berkata Gajahmada seperti
ingin menuntaskan pembicaraan tentang perbedaan itu.
“Jadi, apakah kami sudah dapat membantu membelah kayu?”,
berkata Dyah Gajatri sambil tersenyum.
“Tanggung, sudah tinggal sedikit lagi yang belum dibelah”,
berkata Gajahmada sambil tertawa.
“Katakan saja bahwa kamu memang tidak ingin kami
membantumu”, berkata Dyah Gajatri sambil menggandeng
tangan adiknya pergi melangkah.
Terlihat Gajahmada mencoba mencuri pandang langkah kaki
mereka. Diam-diam menilai sikap gadis yang bernama Dyah
Gajatri sebagai seorang wanita yang sangat tegas, tidak canggung
untuk menyampaikan sebuah pendapatnya, meski usianya
terhitung masih begitu belia.
“Gadis itu nampaknya telah mewarisi sifat kepemimpinan
ayahnya, Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, berkata Gajahmada
dalam hati.
Dan ketika wajah senja mulai redup berganti malam,
Gajahmada melihat suasana di pringgitan menjadi lebih hangat
dengan kehadiran kedua gadis itu.
Waktu itu, Gajahmada dan Jayakatwang tengah berbincang-
bincang di pendapa, Nyimas Turukbali, Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat datang ikut bergabung di pendapa pura.
“Apakah harus bibimu yang mengatakannya kepada
Gajahmada?”, berkata Nyimas Turukbali sambil memandang
kearah dua anak gadis itu.
Terlihat kedua gadis itu mengangguk penuh malu kepada
Nyimas Turukbali.
Sementara itu, Gajahmada dan Jayakatwang terlihat
mengerutkan keningnya sebagai tanda tidak mengerti ada
keperluan apakah dari mereka bertiga.
“Gajahmada”, berkata Nyimas Turukbali kepada Gajahmada
sambil tersenyum dan diam sebentar sambil menoleh kearah dua
gadis itu, semakin membuat hati Gajahmada semakin bertanya-
tanya.
“Dengarlah”, berkata kembali Nyimas Turukbali kepada
Gajahmada. “kedua keponakanku ini meminta dirimu untuk
membimbingnya dalam berlatih olah kanuragan”, berkata
Nyimas Turukbali kepada Gajahmada.
Gajahmada tidak langsung menjawab, terlihat tersenyum
memandang kearah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat. Gajahmada
melihat kedua gadis itu seperti penuh harap menunggu jawaban
darinya.
“Hamba bersedia menjadi pembimbing mereka”, berkata
Gajahmada kepada Nyimas Turukbali sambil tersenyum.
Mendengar kesediaan dari Gajahmada, terlihat kedua gadis itu
seperti tengah menarik nafas lega.
“Bergembiralah wahai Gajahmada, ada dua orang putri Raja
meminta bimbingan darimu”, berkata Jayakatwang menggoda.
“Namun salah satu dari mereka nampaknya masih meragukan,
apakah dirimu dapat menjadi seorang pembimbing yang layak,
bukankah begitu Gajatri?”, berkata kembali Jayakatwang sambil
memandang kearah Dyah Gajatri.
Mendengar perkataan Jayakatwang ditujukan langsung
kepada dirinya, telah membuat Dyah Gajatri tersenyum, pikirnya
bahwa pamannya ini sudah dapat membaca jalan pikirannya.
“Bukan maksudku meragukan kakang Gajahmada, tapi aku
hanya ingin meyakinkan saja”, berkata Dyah Gajatri kepada
Jayakatwang.
“Kamu dengar sendiri, wahai anak muda?, sang putri
meragukan dirimu”, berkata Jayakatwang sambil tertawa kepada
Gajahmada.
“Tunggu apa lagi, lekas kalian berdua turun ke halaman”,
berkata kembali Jayakatwang sambil menepuk bahu Gajahmada.
“Ternyata untuk menjadi seorang pembimbing putri Raja,
harus melewati sebuah ujian”, berkata Gajahmada sambil berdiri
tersenyum.
Terlihat Gajahmada telah melangkahkan kakinya menuruni
anak tangga pendapa diikuti oleh Dyah Gajatri.
Jayakatwang, Nyimas Turukbali dan Dyah Wiyat telah melihat
Gajahmada dan Dyah Gajatri sudah saling berhadapan di
halaman depan pendapa.
“Hamba sudah siap tuan putri”, berkata Gajahmada kepada
Dyah Gajatri.
Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Dyah Gajatri telah
bersiap diri untuk memulai sebuah serangan pertamanya.
Demikianlah, sejak malam itu hampir di setiap awal senja
terlihat Gajahmada tengah membimbing dua putri Majapahit,
Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Dan hubungan mereka bertiga akhirnya sudah menjadi begitu
dekat, kadang mereka terlihat tengah berjalan bersama di jalan
Kotaraja Majapahit.
Gajahmada masih juga menyempatkan diri bertemu dengan
ibunya, pemimpin tertinggi pasukan prajurit wanita. Gajahmada
juga masih sering datang ke istana menemui Pangeran
Jayanagara.
Namun ada satu hal yang membuat Gajahmada merasa sangat
penasaran sekali, bahwa dirinya tidak pernah sekalipun bertemu
dengan Ratu Gayatri, ibu kandung dari Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat.
Diam-diam Gajahmada mulai mencari tahu ada apa dengan
Ratu Gayatri itu, putri bungsu Raja Singasari terakhir, Raja
Kertanegara.
Berkat kedekatannya dengan beberapa abdi dalem istana
Majapahit, akhirnya Gajahmada telah mengetahui sebuah rahasia
yang tidak banyak orang umum mengetahuinya, hanya beberapa
orang terdekat dari Ratu Gayatri sendiri.
Ternyata Ratu Gayatri telah mengasingkan diri menjadi
seorang Bhiksuni. Sementara dimana beliau mengungsi, tidak
seorang pun dapat mengetahuinya. Yang diketahui oleh
Gajahmada bahwa beberapa prajurit dan abdi dalem istana telah
berangkat bersamanya.
Apa yang terjadi pada diri putri bungsu Raja terakhir Singasari
itu ?
Semula orang menganggap bahwa pengasingan diri Ratu
Gayatri adalah akibat kekecewaannya kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya yang telah memilih Dara Petak sebagai
seorang permaisuri raja. Namun dugaan orang itu ternyata
meleset jauh. Ratu Gayatri mengungsi dan mengasingkan diri
bukan sebab kekecewaannya tidak terpilih menjadi permaisuri
raja, tapi jauh sebelum itu dirinya telah menemukan sebuah
ajaran suci kebenaran, sebuah ajaran suci yang mengajarkan
bahwa setiap insani berhak mencapai nirwana. Sebuah ajaran
suci baru yang mengajarkan bahwa tingkat tertinggi dalam
mencapai makna hakikat ajaran suci bukan hanya milik seorang
Brahmana. Sebuah ajaran suci baru yang mulai meresap
perlahan-lahan di lingkungan istana.
Semakin Ratu Gayatri menekuninya, semakin dirinya
menemukan hakikat hidup sebenarnya. Maka akhirnya tekadnya
telah bulat untuk menjauhi maraknya dunia, menjauhi segala
keinginan nafsu duniawi dengan pergi jauh mengasingkan diri
menjadi seorang Bhiksuni.
Sebelum berangkat mengasingkan diri, Ratu Gayatri telah
menitipkan kedua putrinya kepada Nyimas Turukbali yang masih
saudaranya sendiri, sama-sama putri Raja Singasari. Ratu Gayatri
berharap Nyimas Turukbali dapat membimbing kedua putrinya
itu
Demikianlah, sesudah mengetahui hal ikhwal keadaan Ratu
Gayatri itu, telah membuat Gajahmada lebih sayang lagi kepada
Dyah Gajatri dan adiknya itu. Gajahmada telah berniat
mengangkat kedua putri itu menjadi seorang yang berilmu tinggi,
seorang yang mumpuni meski lahiriah mereka seorang wanita.
Pagi itu kabut baru saja terkuak ditembusi sang fajar yang
baru terbangun, namun titik embun seperti mutiara masih
menjuntai di ujung pucuk daun muda. Gerumbul hijau
pepohonan seperti baru muncul sesudah sepanjang malam
terhalang kegelapan.
“Hari ini hamba minta ijin untuk membawa Dyah Gajatri dan
Dyah Wiyat ke perbukitan terdekat untuk melatih ketahanan
mereka”, berkata Gajahmada di pagi itu kepada Jayakatwang di
pendapa pura.
“Aku percaya mereka berada dalam pengawasanmu”, berkata
Jayakatwang memberikan ijin kepada Gajahmada.
Demikianlah, pagi itu terlihat Gajahmada bersama Dyah
Gajatri dan adiknya tengah berjalan keluar dari halaman pura
Jayakatwang.
Seperti yang dikatakan kepada Jayakatwang, nampaknya
Gajahmada telah membawa kedua gadis itu menuju sebuah
perbukitan yang tidak begitu jauh dari Kotaraja Majapahit.
Terlihat wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat memerah,
keringat telah membasahi wajah dan tubuh mereka ketika
langkah kaki mereka bertiga telah mendekati sebuah puncak
perbukitan.
“Puncak bukit yang indah”, berkata Dyah Wiyat terlihat penuh
gembira ketika telah berada diatas puncak bukit menatap alam
sekitarnya yang nampak hijau.
“Beristirahatlah sejenak, sesudah itu kalian dapat berlatih
tanding disini”, berkata Gajahmada kepada kedua gadis itu.
Puncak bukit itu hanya sebuah bulakan kecil yang dikelilingi
oleh hutan belukar, dari atas puncak itu Kotaraja Majapahit dapat
terlihat.
Namun mereka bertiga sama sekali tidak menyadari bahwa
ada sepasang mata tengah memperhatikan mereka yang
terhalang sebuah gerumbul semak belukar.
Ternyata pemilik sepasang mata itu adalah seorang wanita.
Mungkin siapapun yang kebetulan melihat wanita itu pasti akan
tertegun terpesona menganggap bahwa seorang bidadari telah
jatuh ke bumi. sebab tubuh dan paras wajah wanita itu begitu
sempurna, layaknya sebuah lukisan bidadari yang biasa terukir
menghias batu candi.
“Pantas, selama ini dia tidak pernah memikirkan diriku”,
berkata wanita itu dalam hati.
Sekilas pemilik wajah rupawan itu terlihat seperti menarik
nafas panjang, menahan rasa sedih yang menghimpit.
Terlihat mata yang indah itu sudah mulai berkaca-kaca.
Akhirnya tanpa disadari telah mengalir dua tiga tetes air mata
jatuh melewati kulit wajahnya yang kuning langsat itu.
Dan tiba-tiba saja wanita itu telah berdiri dan berbalik badan.
Terlihat telah menghentakkan kakinya dan berlari jauh menuruni
bukit itu.
Wanita itu masih terus berlari sambil menangis.
Nampaknya ketahanan wanita itu begitu kuat, sesudah sekian
lama berlalu tidak terlihat kelelahan sedikitpun. Sementara di
wajahnya masih terlihat air mata yang tiada henti membasahinya.
Akhirnya daya tahan tubuhnya semakin melemah, terlihat
langkah kakinya tidak berlari lagi, namun masih tetap melangkah
meski dengan tubuh yang sedikit goyah. Sementara itu isak
tangisnya masih juga belum reda.
Hari ke hari wanita itu masih terus berjalan tanpa arah,
rambut dan pakaian wanita itu terlihat kusam dan kotor,
mungkin sudah beberapa kali terjatuh tersangkut akar di hutan
atau tersandung batu dan terjatuh di tanah kotor.
Hingga akhirnya, di sebuah tempat terlihat wanita itu berjalan
dengan sedikit limbung, mungkin sudah beberapa hari tidak
memikirkan kebutuhan tubuhnya untuk makan dan minum.
Di sebuah tanah sepi, tubuh wanita itu terlihat jatuh terkulai
lemas tak sadarkan diri.
Lama tubuh wanita itu tergeletak di tanah sepi belum juga
sadarkan diri.
Beruntung, dua orang wanita terlihat tengah berjalan di tanah
sepi itu dan melihatnya.
“Nyi Ajeng Nglirip, wanita ini masih hidup”, berkata seorang
wanita kepada seseorang didekatnya yang dipanggil dengan
sebutan Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat wanita yang dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu telah
berjongkok memeriksa lebih teliti lagi.
“Benar, wanita ini masih hidup”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada wanita didekatnya
“Apakah kamu membawa madu?”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada wanita didekatnya.
Wanita di dekatnya itu tidak menjawab, tapi sudah langsung
mengeluarkan sebuah bubu bambu dari balik pakaiannya dan
memberikannya kepada Nyi Ajeng Nglirip.
Perlahan Nyi Ajeng Nglirip meneteskan cairan hitam dari
dalam bubu itu di bibir wanita itu yang dengan tangan lain telah
merenggangkan bibir wanita yang masih tak sadarkan diri itu.
“Bawalah ke tempat teduh”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada
wanita didekatnya itu yang nampaknya adalah seorang
pelayannya.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya menunggui wanita
yang belum siuman itu yang telah diletakkan dibawah sebuah
pohon yang cukup rindang.
“Lihatlah, wanita ini sudah mulai bergerak”, berbisik Nyi
Ajeng Nglirip kepada pelayannya.
Nyi Ajeng Nglirip dan pelayannya itu memang tengah melihat
bahwa wanita itu sudah mulai bergerak, kelopak matanya
perlahan terbuka.
“Dimanakah aku?”, berkata wanita itu sambil memandang
berkeliling dengan matanya.
“Kamu ada di tempat aman bersamaku”, berkata Nyi Ajeng
Nglirip merasa kasihan dengan wanita itu.
“Siapa kamu?”, berkata wanita itu sambil memandang dengan
tajam ke arah Nyi Ajeng Nglirip.
“Orang-orang di sekitarku memanggilku dengan panggilan Nyi
Ajeng Nglirip”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada wanita itu. “Apa
yang terjadi atasmu, wahai anakku”, berkata kembali Nyi Ajeng
Nglirip kepada wanita itu penuh dengan kelembutan hati.
Namun pertanyaan Nyi Ajeng Nglirip itu telah membuat
wanita itu seperti tengah menerawang, teringat kembali apa yang
telah dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri bahwa
Gajahmada tengah bersama dengan dua orang gadis di puncak
bukit tidak jauh dari Kotaraja Majapahit.
Kembali wanita itu merasakan hatinya seperti teriris-iris
sembilu, begitu pedih.
Dan kelembutan hati Nyi Ajeng Nglirip di dekatnya itu seperti
melihat ibundanya sendiri. Maka tanpa disadari wanita itu telah
memeluk Nyi Ajeng Nglirip begitu erat sambil menangis tersedu-
sedu.
“Menangislah wahai anakku, tumpahkanlah seluruh perasaan
hatimu”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil membelai rambut
wanita itu.
Benar apa yang dikatakan oleh Nyi Ajeng Nglirip, wanita itu
merasa dadanya menjadi sedikit lega sesudah memuaskan dirinya
dalam tangis.
Tangis wanita itu sudah mulai reda, namun masih didalam
pelukan Nyi Ajeng Nglirip.
“Tengok dan tiliklah wajah Gusti Yang Maha Agung di relung
hatimu yang terdalam, pandang dan tataplah, kamu akan melihat
kekuasaanNya, kamu akan melihat kebesaranNya,
kemurahanNya yang tak terbatas”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
dengan suara begitu lembut seperti menembus hati dan perasaan
wanita itu. “Masuk dan berlindunglah kamu bersama_Nya.
Dialah sumber lautan kasih, Dialah samudra tempat semua
tertuju, wahai anakku”, berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip.
Nampaknya wanita itu telah mengikuti semua perkataan Nyi
Ajeng Nglirip, merasakan wajah Gusti Yang Maha Agung dalam
cermin hatinya.
“Tetap dan jagalah dirimu dalam wajahNya”, berkata Nyi
Ajeng Nglirip melihat wanita itu seperti telah menemukan dirinya
sendiri. ”Dia tidak akan pernah berpaling darimu, di saat semua
manusia berpaling darimu, Dia tidak akan pernah memusuhimu,
di saat semua manusia memusuhimu. Berjalanlah kamu
kepadaNya, maka dia akan mendekatimu dengan berlari.
Rasakan bahwa sesungguhnya Dia lebih dekat dari batang
lehermu”, berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip dengan suara penuh
kasih sayang dan kelembutan seorang ibu kepada anaknya.
Terlihat wanita itu perlahan melepas pelukannya dan
memandang ke arah Nyi Ajeng Nglirip.
“Bawalah aku bersamamu, agar aku dapat tetap bertahan dari
jeratan kepedihan luka ini. Bawalah aku bersamamu, agar aku
dapat tetap dalam penyinaran cahaya kasih abadi”, berkata
wanita itu sambil memegang erat kedua tangan Nyi Ajeng Nglirip.
“Siapa namamu, wahai anakku?”, bertanya Nyi Ajeng Nglirip
“Andini”, berkata wanita itu menyebut namanya.
“Nama yang bagus”, berkata Nyi Ajeng Nglirip, meski di
kepalanya begitu banyak yang ingin ditanyakannya tapi hanya
sampai di ujung lidahnya, takut pertanyaannya akan membuka
kembali luka di hati gadis itu.
“Mari ikut bersamaku”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
memegang tangan Andini membantunya berdiri.
Matahari di atas tanah sepi itu terlihat telah bergeser jauh dari
puncaknya, sinarnya tidak lagi menyengat.
Terlihat Andini telah berjalan bersama Nyi Ajeng Nglirip dan
pelayannya.
Sementara itu di waktu yang sama, di istana Majapahit baru
saja berlangsung wisuda penobatan Pangeran Jayanagara
menjadi Raja Muda di Kediri. Sudah hampir dapat dipastikan
bahwa upacara penobatan Putra Mahkota Majapahit itu
sangatlah meriah. Semua tokoh-tokoh besar agama dan
padepokan besar di Majapahit telah diundang untuk datang
menghadirinya, termasuk para perwakilan kerajaan yang berada
dibawah kedaulatan Majapahit Raya dan para Adipati. Namun
dari semua yang hadir, hanya perwakilan dari Tu