ksatria penjaga majapahit 2


 ban yang tidak 

nampak satu pun. 

“Apabila Adipati Ranggalawe tidak dapat hadir, tentunya 

dapat saja mewakilkan seorang utusannya”, berkata salah 

seorang pejabat istana menanggapi ketidak hadiran Adipati 

Ranggalawe. 

Itulah sebabnya, sesudah  upacara wisuda itu berakhir, Baginda 

Raja Sanggrama Wijaya meminta Patih Mahesa Amping bersama 

Patih Mangkubumi datang ke tempat peristirahatannya. 

“Nampaknya Adipati Ranggalawe mulai menunjukkan 

giginya”, berkata Baginda Raja kepada Patih Mahesa Amping dan 

Patih Mangkubumi manakala mereka berdua telah hadir di 

tempatnya. 

“Dalam waktu yang dekat ini, kami telah menugaskan 

seseorang untuk melakukan pengawasan khusus di lingkungan 

Tuban”, berkata Patih Mangkubumi. 

“Siapa orangnya yang mendapat tugas itu?”, bertanya Baginda 

Raja. 

“Gajahmada, putra angkat Patih Mahesa Amping”, berkata 

Patih Mangkubumi. 

“Rencananya besok putraku Gajahmada berangkat ke Tuban, 

bersamaan dengan keberangkatan kami mengantar Raja Muda 

Jayanagara ke Kediri”, berkata Patih Mahesa membenarkan 

perkataan Patih Mangkubumi. 

Terlihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya terdiam memandang 

kedua sahabatnya yang sangat dipercaya itu yang juga sangat 

teliti dan seksama menanggapi setiap permasalahan yang ada. 

“Satu dari sahabat kita, Adipati Ranggalawe telah memisahkan 

diri dari persaudaraan kita”, berkata Baginda Raja sambil 

memandang kosong ke depan. Nampaknya tengah merenungi 

sebuah perjalanan panjang ke belakang, perjalanan perjuangan 

merebut kembali tahta singgasana dalam suka dan duka bersama 

para sahabat setia, diantaranya Adipati Ranggalawe. 

“Kita bukan hanya berhadapan dengan Adipati Ranggalawe, di 

belakangnya berdiri Adipati Arya Wiraraja”, berkata Patih 

Mangkubumi memecah lamunan Baginda Raja. 

“Ayah Adipati Ranggalawe adalah seorang yang sangat 

mumpuni dalam hal bersiasat, seorang kepercayaan Pahlawan 

Mahesa Agni di jaman Singasari di waktu kejayaannya”, berkata 

Patih Mahesa Amping menambahkan. 

“Peperangan harus kita bayar dengan harga yang sangat 

mahal, hilangnya banyak nyawa, penderitaan dan rasa ketakutan 

di akhir setiap sebuah peperangan. Juga akan melemahkan 

kerajaan Majapahit yang tengah berkembang ini”, berkata 

Baginda Raja. 

“Kita berusaha untuk menghindarinya, namun kita dengan 

sangat terpaksa membunyikan genderang peperangan bila ada 

orang yang dengan sengaja ingin merusak dan mengancam 

kedaulatan Kerajaan Majapahit ini”, berkata Patih Mangkubumi 

dengan penuh semangat. 

“Meski orang itu adalah saudara kita sendiri?”, berkata 

Baginda Raja. 

“Benar tuanku, meski orang itu adalah saudara kita sendiri”, 

berkata Patih Mangkubumi penuh dengan ketegasan. 

“Aku percaya dengan kalian berdua, selama kalian berdua 

masih menganggap aku sebagai saudaramu. Kuserahkan segala 

urusan Adipati Ranggalawe kepada kalian berdua”, berkata 

Baginda Raja Sanggrama Wijaya. 

Masih banyak lagi yang mereka bertiga rundingkan hingga 

hari terlihat sudah menjadi larut malam. Akhirnya Raja 

Sanggrama Wijaya memberi perkenan Patih Mahesa Amping dan 

Patih Mangkubumi meninggalkannya.

“Kutitipkan putraku, Raja muda Jayanagara kepadamu, wahai 

saudaraku”, berkata Raja Sanggrama Wijaya kepada Patih 

Mahesa Amping. 

“Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga keluargaku, 

wahai saudaraku”, berkata pula Patih Mahesa Amping sambil 

tersenyum. 

Demikianlah, ketiga sahabat itu berpisah. Meski hubungan 

mereka diluar adalah sebagai seorang Raja dengan bawahannya. 

Namun ketika bertemu diluar pandangan orang lain, mereka 

tidak lagi membatasi diri, tanpa penghormatan dan unggah-

unggah apapun, mereka berbicara seperti setara sebagaimana 

dua sahabat bicara, dua saudara berbicara. 

Pagi itu langit terlihat begitu cerah mewarnai udara bumi 

Kotaraja Majapahit manakala sebuah rombongan pasukan 

berkuda telah mendekati batas gerbang pintu Kotaraja Majapahit. 

Rombongan pasukan berkuda itu adalah para prajurit 

Majapahit yang akan mengantar Raja Muda Jayanagara menuju 

Kotaraja Kediri. 

Tidak lama berselang, terlihat seorang pemuda berpakaian 

seperti seorang pengembara tengah melangkah berjalan kaki 

keluar dari gerbang batas Kotaraja Majapahit. Ternyata pemuda 

pengembara itu adalah Gajahmada yang akan melaksanakan 

tugasnya sebagai telik sandi, mengamati keadaan daerah Tuban 

dan sekitarnya. 

Ketika menemui sebuah jalan simpang, terlihat Gajahmada 

telah mengambil arah jalan ke utara. Sebuah jalan yang biasa 

digunakan oleh para pedagang lewat jalan darat menuju kearah 

Tuban dan daerah pesisir pantai utara lainnya. 

Meski berpakaian selayaknya seorang pengembara, namun 

Gajahmada bukan pengembara biasa. Dengan kemampuannya 

yang tinggi, di beberapa tempat yang sepi telah menerapkan 

kesaktian sejatinya berlari seperti terbang melesat bahkan 

kadang dengan mudahnya mendaki tebing-tebing tinggi. 

Meski begitu, Gajahmada masih tetap memenuhi kebutuhan 

jasmani sebagaimana manusia biasa. Sementara menjelang tidur 

di waktu malam Gajahmada masih tetap melaksanakan olah laku 

rahasia pusaka sang pertapa dari Gunung Wilis yang tenyata 

adalah ayah kandungnya sendiri, sang pendeta Darmayasa. 

Disaat selesai olah laku rahasianya, Gajahmada merasakan 

kebugaran kembali, merasakan hawa murninya telah berlipat-

lipat ganda. 

Maka tidaklah heran bila Gajahmada dapat berlari seperti 

tidak menjejakkan kakinya di tanah, ilmu meringankan tubuhnya 

sudah dapat dikatakan nyaris begitu sempurna. 

Akhirnya di sebuah pagi, terlihat Gajahmada tengah 

memasuki sebuah Padukuhan kecil. Dan kebetulan sekali hari itu 

adalah hari pasar. Terlihat Gajahmada sudah berada di pasar 

padukuhan itu dan tengah mencari sebuah kedai. 

Seorang pemilik kedai menjelaskan arah untuk menuju Tuban 

dari padukuhan itu. 

“Jarak perjalanan ke Tuban hanya perlu satu hari semalam 

perjalanan”, berkata pemilik kedai itu sambil memberikan 

beberapa petunjuk arah. “Hanya ketika akan memasuki hutan 

Jatirogo, ki sanak perlu hati-hati”, berkata kembali pemilik kedai 

itu. 

“Apakah di hutan Jatirogo itu banyak penyamun?”, bertanya 

Gajahmada kepada orang tua itu. 

Terlihat orang tua itu menggelengkan kepalanya. 

“Bukan banyak penyamun, tapi sebuah kawasan yang cukup 

angker, orang-orang tua kami sering mengatakan bahwa di dalam 

hutan itu ada sebuah istana siluman”, berkata pemilik kedai itu. 

Mendengar cerita itu, terlihat Gajahmada tersenyum. 

“Terima kasih untuk penjelasannya, semoga aku dapat 

bertemu dengan salah seorang putri dari istana siluman itu”, 

berkata Gajahmada sambil tersenyum kepada pemilik kedai itu 

ketika akan berpamit diri untuk melanjutkan kembali perjalannya 

ke Tuban. 

Terlihat orang tua pemilik kedai itu menarik nafas panjang 

sambil memandang punggung tubuh Gajahmada yang semakin 

menjauh. 

“Pengembara muda yang berani”, berkata pemilik kedai itu 

merasa heran kepada Gajahmada yang tidak gentar mendengar 

ceritanya tentang hutan Jatirogo yang angker itu. 

Matahari saat itu telah berada diatas puncak cakrawala ketika 

langkah Gajahmada mendekati sebuah hutan yang terlihat begitu 

rapat dan pepat. 

“Hutan Jatirogo”, berkata Gajahmada dalam hati mengingat 

kembali cerita dari pemilik kedai yang dijumpainya tadi pagi. 

Dan tanpa rasa gentar sedikit pun Gajahmada telah memasuki 

kawasan hutan itu, sebuah hutan yang dipenuhi pohon kayu yang 

telah berumur ratusan tahun, dengan pokok batang begitu besar 

tinggi menjulang serta dahan yang bercabang rimbun dipenuhi 

jamur dan tanaman merambat. Dan semakin masuk lebih 

kedalam lagi, pepohonan dan belukar semakin rapat. 

Hingga akhirnya Gajahmada menemukan sebuah bulakan 

cukup luas yang dipenuhi reruntuhan batu-batu sudah berlumut, 

nampaknya bekas sebuah bangunan. 

“Istana siluman”, berkata Gajahmada dalam hati mengingat 

kembali cerita pemilik kedai. 

Namun langkah Gajahmada tertunda manakala di ujung sana 

terlihat beberapa orang nampaknya baru saja ingin memasuki 

kawasan di sekitar reruntuhan itu. 

“Siapakah mereka?”, berkata Gajahmada dalam hati sambil 

segera menyelinap bersembunyi di kerimbunan semak belukar. 

Dari tempat persembunyiannya, Gajahmada telah melihat ada 

sekitar seratus orang lelaki telah memenuhi tempat itu. 

Dan Gajahmada mencoba memasang telinga untuk mencuri 

dengar pembicaraan mereka. 

Akhirnya pendengarannya yang sangat tajam telah menangkap 

sebuah pembicaraan. 

“Mereka para prajurit dari daerah Sunginep?”, berkata 

Gajahmada dalam hati ketika telah menangkap beberapa 

pembicaraan dengan logat bahasa asal yang sudah dikenalnya. 

Lama Gajahmada menyimak pembicaraan mereka sampai 

akhirnya Gajahmada dapat mengetahui bahwa akan datang para 

prajurit lagi dari Sunginep dalam jumlah lebih besar lagi mengisi 

kawasan sekitar hutan Jatirogo. 

“Kedatangan mereka berkaitan dengan sikap Adipati Tuban?”, 

berkata Gajahmada dalam hati. 

Akhirnya, sesudah  merasa cukup mencuri dengar para prajurit 

Sunginep itu, Gajahmada terlihat telah menyelinap berjalan 

memutar. 

“Aku harus melihat suasana kademangan di sekitar Tuban, 

agar aku mendapat gambaran yang jelas apakah benar bahwa 

Adipati Ranggalawe bermaksud memisahkan diri dari kedaulatan 

Majapahit Raya”, berkata Gajahmada ketika telah keluar dari 

hutan Jatirogo. 

Sementara itu hari terlihat sudah mulai gelap, langkah 

Gajahmada telah semakin menjauhi hutan Jatirogo. 

Dan Gajahmada telah berjalan di sebuah jalan perbukitan di 

bawah malam. Terlihat kumpulan pelita malam dari rumah-

rumah penduduk terpisah bertebaran di bawah perbukitan 

sebagai pertanda bahwa di bawah sana ada sebuah padukuhan. 

“Pemilik kedai itu mengatakan bahwa sesudah  melewati hutan 

Jatirogo, aku telah berada di wilayah Kademangan Singgahan”, 

berkata Gajahmada dalam hati sambil terus melangkah 

mendekati arah kerlap kerlip pelita malam yang bertaburan di 

sekitar perbukitan itu. 

Langkah kaki Gajahmada telah membawanya berjalan 

diantara pematang sawah yang tersebar berundak disinari cahaya 

bulan yang remang. Semilir angin terlihat telah menyentuh ujung 

juntai padi yang masih belum menguning itu telah serentak 

bergoyang searah. 

Akhirnya Gajahmada telah menemukan sebuah jalan yang 

cukup lebar dapat dilewati dua buah gerobak yang bersisipan, 

sebuah jalan padukuhan. 

“Berhenti!!”, berkata seseorang lelaki yang keluar dari gardu 

ronda kepada Gajahmada di sebuah pertigaan jalan. 

Terlihat seseorang lagi kawannya telah ikut keluar dari gardu 

rondanya. 

“Hari sudah malam, apa keperluanmu datang di padukuhan 

kami?”, berkata orang yang mencegat Gajahmada. 

“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di 

Padukuhan ini”, berkata Gajahmada dengan nada suara 

merendah. 

“Jangan kelabui kami, sudah tiga hari ini beberapa orang lewat 

padukuhan ini, mereka adalah para pemburu mustika batu 

Tuban”, berkata orang itu dengan wajah penuh selidik. 

“Apakah wajahku begitu mirip sebagai seorang pemburu 

benda mustika?”, berkata Gajahmada sambil tersenyum. 

“Maafkan kawanku ini, dua tiga hari ini memang banyak orang 

asing lewat di padukuhan kami. Tadi pagi ada seorang warga 

kami mengabarkan bahwa kambing betinanya telah hilang”, 

berkata seorang kawannya lebih sopan dan ramah. 

“Seperti yang telah kukatakan, aku hanya seorang 

pengembara”, berkata Gajahmada. 

“Silahkan ki sanak melanjutkan perjalanan, tapi kalau boleh 

mendengar saranku, sebaiknya ki sanak tidak bermalam di 

padukuhan kami, jangan-jangan ki sanak akan jadi korban 

kecurigaan warga padukuhan ini”, berkata orang yang bertutur 

lebih sopan dan ramah itu. 

“Terima kasih, aku memang hanya lewat padukuhan ini”, 

berkata Gajahmada kepada kedua peronda itu. 

Ketika Gajahmada sudah melangkah jauh, terlihat orang yang 

bertutur sopan dan ramah itu telah menasehati kawannya itu. 

“Kita boleh mencurigai orang asing, tapi harus dengan kata-

kata yang santun. Untung saja orang itu tidak mudah 

tersinggung. Apa jadinya diri kita bila kebetulan orang itu 

berilmu tinggi”, berkata orang itu menasehati kawannya. 

Sementara itu Gajahmada telah berjalan jauh melewati 

padukuhan itu. 

“Para pemburu mustika batu Tuban?”, berkata Gajahmada 

dalam hati sangat tertarik dengan ucapan salah satu peronda itu. 

“Besok pagi aku akan mencari tahu tentang para pemburu 

mustika batu Tuban itu”, berkata kembali Gajahmada dalam hati. 

Sementara itu hari sudah menjadi semakin larut malam, 

semilir angin sudah terasa menyengat kulit. Akhirnya Gajahmada 

telah memutuskan untuk bermalam di sebuah gubuk di sebuah 

persawahan yang ada di perbatasan dua padukuhan. 

Terlihat Gajahmada telah naik ke atas sebuah gubuk bambu, 

telah duduk meluruskan kakinya dan bersandar di tiang bambu. 

Mata anak muda itu sebentar saja sudah terpejam, namun indera 

pendengarannya masih selalu terjaga sebagaimana jiwa para 

ksatria yang selalu siaga siap menghadapi segala mara bahaya 

yang bisa saja terjadi, kapan dan dimanapun. 

Namun malam itu tidak terjadi apapun hingga akhirnya suara 

ayam jantan di pagi itu telah membangunkan Gajahmada. 

Terlihat langkah kaki Gajahmada telah memasuki sebuah 

padukuhan yang lain. Pagi memang masih remang, namun 

beberapa orang petani telah bersisipan jalan dengan Gajahmada, 

mungkin akan melihat sawah mereka yang sudah bunting muda 

itu. 

“Maaf pak tua, dimanakah letak Kademangan Singgahan”, 

bertanya Gajahmada kepada seorang lelaki tua yang bersisipan 

jalan dengannya. 

“Padukuhan ini sudah termasuk wilayah Kademangan 

Singgahan”, berkata lelaki tua itu menjawab pertanyaan 

Gajahmada.  

“Terima kasih, dimana arah pasar kademangan Singgahan. 

Kebetulan aku ingin mengunjungi seorang saudara yang 

rumahnya ada di dekat pasar Kademangan Singgahan”, berkata 

kembali Gajahmada. 

“Pasar Kademangan ada di ujung jalan ini, ikuti saja jalan ini”, 

berkata orang itu kepada Gajahmada. 

Hari itu Gajahmada telah memasuki pasar Kademangan 

Singgahan. 

Biasanya di hari pasaran pasar itu akan menjadi sangat ramai 

dikunjungi orang, namun hari itu bukan hari pasaran ketika 

Gajahmada telah memasuki pasar Kademangan Singgahan. 

Akhirnya Gajahmada memutuskan untuk memasuki sebuah 

kedai yang tetap buka meski hari itu bukan hari pasaran. 

Ketika memasuki kedai itu, Gajahmada hanya melihat dua 

orang lelaki telah berada di kedai itu. 

Seorang pemilik kedai datang menghampirinya, orang tua 

yang sangat ramah. 

“Pengunjung hari ini memang sedang sepi, hanya ramai disaat 

hari pasaran saja”, berkata pemilik kedai itu menjawab 

pertanyaan Gajahmada tentang suasana di kedai itu setiap 

harinya. 

Maka Gajahmada telah memesan makanan dan minuman 

yang ada di kedai itu. 

Terlihat pemilik kedai itu kembali ke dalam untuk menyiapkan 

pesanan Gajahmada. 

“Ternyata kita tidak sendiri, ada banyak orang yang ingin 

memiliki Mustika batu Tuban itu”, berkata salah seorang yang 

lebih tua dari pengunjung kedai itu yang duduk membelakangi 

Gajahmada. 

“Berita tentang adanya mustika batu Tuban seperti angin yang 

berhembus. Orang-orang dari tempat yang jauh juga telah 

berdatangan”, berkata orang yang lebih muda. 

“Selama ini aku hanya mendengar selentingan orang, bahwa 

Nyi Ajeng Nglirip seorang wanita yang mempunyai ilmu yang 

sangat tinggi”, berkata pengunjung yang lebih tua. 

“Mungkin sebab  itulah, wanita itu telah begitu berani 

menerima para pemburu mustika batu Tuban secara terbuka”, 

berkata orang yang lebih muda. 

“Aku jadi seperti tidak sabar, ingin memastikan apakah wanita 

itu memang berilmu sangat tinggi”, berkata orang yang lebih tua. 

Terlihat Gajahmada yang mencuri dengar pembicaraan 

mereka itu menarik nafas dalam-dalam sebab  mendengar kedua 

orang itu telah memangggil pemilik kedai untuk membayar 

makanan dan minuman mereka. 

Mata Gajahmada sempat melihat keduanya tengah keluar dari 

kedai itu. 

“Paman, kemarilah”, berkata Gajahmada kepada pemilik kedai 

itu yang tengah membersihkan meja. 

“Apakah ki sanak perlu menambah minuman?”, bertanya 

pemilik kedai itu sambil menghampiri Gajahmada. 

“Aku hanya ingin bertanya, apakah paman mengetahui 

tentang mustika batu Tuban?”, bertanya Gajahmada kepada 

pemilik kedai itu. 

Terlihat pemilik kedai itu tidak langsung menjawab, matanya 

berpaling sebentar seperti tengah memastikan bahwa tidak ada 

siapapun di kedai itu selain mereka berdua.

“Sudah sepekan ini aku melihat ada beberapa orang yang 

memang tengah memburu batu mustika itu”, berkata pemilik 

kedai itu dengan suara pelan, seperti takut didengar orang. 

“Baru pada sepekan ini?”, bertanya kembali Gajahmada. 

“Cerita tentang mustika batu Tuban memang sudah kami 

dengar secara turun temurun dari para orang tua kami, namun 

baru sepekan ini banyak orang berdatangan untuk memburunya”, 

berkata pemilik kedai itu. 

“Apa yang paman ketahui dari cerita tentang mustika Batu 

Tuban itu”, bertanya Gajahmada. 

“Ketika aku masih kecil, orang tuaku pernah bercerita bahwa 

seekor naga langit telah turun ke bumi untuk bertelur. Akhirnya 

naga langit itu telah menemukan sebuah tempat yang sangat baik 

untuk bertelur yaitu di sebuah goa yang terlindung oleh sebuah 

air terjun. Naga langit itu hanya bertelur tiga butir, sesudah  lama 

dierami dua butir telur itu menetas. Dua bayi naga langit itu telah 

di bawa terbang oleh naga langit itu, maka tinggal sebutir telur 

naga langit yang sembuhuk (gagal menetas) menjadi sebuah batu. 

Hingga pada suatu hari seorang pengembara telah 

menemukannya”, berkata pemilik kedai itu menghentikan 

sejenak ceritanya. 

”Ternyata batu itu adalah sebuah mustika, telah membuat 

perbawa tersendiri siapapun yang memilikinya akan disanjung 

penuh hormat, seorang hamba akan patuh, seorang kawan akan 

setia, dan musuh akan gentar menghadapinya. Konon 

pengembara itu telah membangun sebuah istana di hutan 

Jatirogo dan menjadi seorang raja yang menguasai separuh dari 

bumi ini”, berkata kembali pemilik kedai itu melanjutkan 

ceritanya, terlihat menarik nafas dalam-dalam sambil 

mengumpulkan kembali ingatan cerita dari orang tuanya itu. 

“Orang tuaku tidak bercerita lebih jauh, mengapa batu 

mustika itu akhirnya di kembalikan ke tempatnya semula oleh 

Raja itu dan telah kembali menjadi seorang pengembara biasa 

sebagaimana sebelumnya”, berkata pemilik kedai itu mengakhiri 

ceritanya tentang mustika batu Tuban. 

“Apakah paman mengetahui, dimana goa tempat naga langit 

itu bertelur?”, bertanya Gajahmada. 

“Orang tuaku mengatakan bahwa goa itu berada di balik air 

terjun Nglirip”, berkata pemilik kedai itu. “Namun tidak ada 

seorang pun yang berani masuk ke goa itu, mereka percaya 

bahwa naga langit masih selalu menjaga tempat itu, menjaga 

dengan lidah apinya. Ada sebuah cerita seseorang telah mencoba 

naik ke atas goa itu, namun belum sampai sudah terbakar dan 

tersambar sebuah petir”, berkata kembali pemilik kedai itu. 

“Apa hubungannya goa itu dengan Nyi Ajeng Nglirip?”, 

bertanya kembali Gajahmada. 

“Nampaknya Kisanak belum mengetahui tentang wanita itu”, 

berkata pemilik kedai itu sambil tersenyum kepada Gajahmada. 

“Aku baru mendengar nama itu dari dua orang pengunjung 

kedai ini”, berkata Gajahmada. 

“Sekitar empat atau lima bulan yang lalu, sebuah rombongan 

kecil datang dan menetap di sekitar air terjun Nglirip. Pemimpin 

rombongan itu adalah seorang wanita. Para warga di sekitarnya 

memanggilnya dengan sebutan Nyi Ajeng Nglirip. Ada beberapa 

warga yang sakit telah dapat disembuhkan oleh wanita itu. 

Namun entah siapa yang menghembuskan berita bahwa wanita 

itu telah memiliki Mustika Batu Tuban, sehingga sudah sepekan 

ini banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk 

merebut benda mustika itu dari tangan Nyi Ajeng Nglirip yang 

baik hati itu”, berkata pemilik kedai itu. 

“Baru tadi kudengar dari dua orang pengunjung kedai ini, 

bahwa Nyi Ajeng Nglirip akan menemui para pemburu mustika 

itu pada hari kedua purnama bulan ini”, berkata Gajahmada. 

“Dua tiga orang pernah datang di hari yang berbeda, namun 

mereka semua telah kembali dengan tangan hampa sebab  tidak 

dapat mengalahkan Nyi Ajeng Nglirip. Mungkin Nyi Ajeng 

Nglirip tidak ingin susah menghadapi orang satu persatu, telah 

membuat sebuah tantangan terbuka, menghadapi semua orang 

para pemburu Mustika Batu Tuban di hari yang sama, dua hari 

sesudah  purnama bulan ini”, berkata pemilik kedai itu kepada 

Gajahmada. 

“Terima kasih untuk cerita tentang Mustika Batu Tuban itu”, 

berkata Gajahmada sambil membayar lebih untuk makanan dan 

minuman kepada pemilik kedai itu. 

Tidak susah memang untuk mencari tahu jalan menuju ke air 

terjun Nglirip, hampir semua orang di padukuhan itu telah 

mengetahuinya. 

“Lihatlah bukit di seberang itu, di sana lah air terjun itu 

bersumber. Ki sanak harus menuruni lembah untuk 

mendekatinya”, berkata seorang lelaki memberikan arah menuju 

air terjun Nglirip kepada Gajahmada. 

Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan istana, 

terutama didikan langsung Jayakatwang, seorang mantan Raja 

besar di Kediri, telah membuat Gajahmada dapat berpikir cerdas 

dan berwawasan lebih luas lagi memahami setiap kejadian. 

Gajahmada dapat menangkap bahwa berita angin tentang 

Mustika Batu Tuban itu sengaja dihembuskan agar semua mata 

dapat tertipu tidak melihat sebuah kekuatan tengah dipersiapkan. 

“Berita mustika itu telah memalingkan semua orang, 

kehadiran para prajurit dari Sunginep dapat mengalir tanpa 

diketahui oleh siapapun”, berkata Gajahmada dalam hati yang 

telah mampu dapat membaca suasana di sekitar Tuban itu 

berkaitan dengan sikap Adipati Ranggalawe yang bermaksud 

memisahkan diri dari kedaulatan Majapahit. 

Demikianlah, Gajahmada belum keluar dari Kademangan 

Singgahan, telah mulai mengamati suasana di beberapa 

padukuhan. 

Terlihat Gajahmada mulai berkeliling dari satu padukuhan ke 

padukuhan lainnya. Tidak seorang pun yang menaruh curiga 

kepadanya, mereka melihat Gajahmada hanya sebagai seorang 

pengembara biasa. Beruntung bahwa di jaman itu para 

pengembara sudah menjadi sebuah pemandangan umum, 

mereka sudah biasa melihat para pengembara datang dan pergi 

tanpa tentu arah dan tujuannya. 

Hari kedua sesudah  bulan purnama. Gajahmada teringat 

pertemuannya dengan seorang pemilik kedai, bahwa hari ini 

adalah hari tantangan terbuka dari Nyi Ajeng Nglirip kepada para 

pemburu Mustika Batu Tuban. 

Bergegas Gajahmada mencoba mencari arah untuk menuju ke 

air terjun Nglirip. 

Maka dengan kesaktian ilmunya yang tinggi, tidak ada 

kesukaran apapun untuk menuruni sebuah lembah dan mendaki 

sebuah bukit. Tubuh Gajahmada terlihat begitu ringan melesat 

seperti tidak menyentuh bumi. 

“Air terjun Nglirip”, berkata Gajahmada dalam hati manakala 

menyusuri sebuah sungai telah mendengar suara gemuruh air 

terjun yang terhempas jatuh ke bawah. 

Terlihat langkah Gajahmada terhenti sejenak, melihat sudah 

banyak orang berada dekat dengan air terjun Nglirip yang tiada 

henti bergemuruh. 

“Mereka pasti para pemburu Mustika Batu Tuban itu”, berkata 

Gajahmada dalam hati sambil berpikir mencari jalan memutar 

untuk melihat dari dekat tanpa diketahui oleh siapapun. 

“salah seorang dari dua wanita itu pasti adalah Nyi Ajeng 

Nglirip”, berkata Gajahmada manakala sudah dapat mendekati 

air terjun Nglirip tanpa diketahui oleh siapapun. 

Yang tengah dilihat oleh Gajahmada adalah dua orang wanita 

yang berada di dalam sebuah tajuk sederhana. Namun wajah 

mereka masih terhalang air terjun dan kabut tipis percikan air 

terjun. 

Nampaknya Nyi Ajeng Nglirip telah mempersiapkan sebuah 

tajuk sederhana dekat dengan kubangan jatuhnya air terjun agar 

para pemburu mustika itu tidak mengusik ketenangan 

padepokannya. 

“Nyi Ajeng Nglirip, serahkan Mustika Batu Tuban itu 

kepadaku”, berkata salah seorang dari para pemburu mustika itu 

dengan suara lantang mencoba mengalahkan suara gemuruh air 

terjun. 

“Mustika Batu Tuban itu bukan milikku, masih ada didalam 

goa. Bila kalian ingin memilikinya, cobalah ambil sendiri”, 

berkata salah seorang diantara wanita itu yang lebih tua dari 

wanita di sebelahnya. Dan suara wanita itu begitu lembut namun 

terdengar sangat jelas mengalahkan gemuruh air terjun. 

“Ajian Gelap Ngampar”, berkata Gajahmada dalam hati 

manakala mendengar suara yang dilontarkan oleh wanita itu 

seperti bergema memenuhi hutan tempat air terjun berada. 

“Nyi Ajeng Nglirip, terima kasih telah mengijinkan aku 

mengambil sendiri benda mustika itu”, berkata seorang lelaki 

melangkah mendekati tajuk sederhana dan memberi hormat 

kepada Nyi Ajeng Nglirip. 

Terlihat Nyi Ajeng Nglirip membalas salam hormat orang tua 

itu yang rambutnya telah dipenuhi warna putih. 

Namun tiba-tiba saja seseorang telah datang menghadang 

orang tua itu. 

“Ki Welireng, langkahi mayatku sebelum kamu mendekati goa 

itu”, berkata seorang lelaki yang berumur sama tuanya dengan 

lelaki tua yang dipanggil dengan nama Ki Welireng itu. 

“Ternyata penguasa Gunung Raung tidak ingin didahului, 

bagaimana bila kamu biarkan aku mengambil batu mustika itu, 

lalu turun melangkahi mayatmu”, berkata Ki Welireng sambil 

tertawa. 

“Sebelum kamu melangkah mendekati goa itu, kerisku sudah 

memenggal lehermu”, berkata lelaki tua yang disebut sebagai 

penguasa Gunung Raung itu sambil meraba gagang kerisnya. 

“Ki Sembogo, nama besarmu hanya meraung-raung di sekitar 

Gunung Raung, tidak akan bergema melebihi kabut di bawah 

lembahnya. Tongkat kayuku akan menghentikan suara raungmu

itu yang tidak merdu itu”, berkata Ki Welireng sambil 

mengangkat tongkat kayunya dengan sikap siap menantang. 

“Kusumbat mulut besarmu”, berkata Ki Sembogo sambil 

menarik keris di pinggangnya dan sudah langsung menerjang 

tubuh Ki Welireng. 

“Kerismu kurang cepat Ki Sembogo, rasakan pukulan 

tongkatku”, berkata Ki Welireng sambil bergeser cepat 

menghindari keris Ki Sembogo dan balas menyerang dengan 

mengayunkan tongkatnya kearah kepala lawannya. 

Nampaknya kedua orang itu sudah saling mengenal satu 

dengan yang lainnya, sudah sering bertarung dan seperti telah 

mengenal keistimewaan jurus lawannya. Maka terlihat mereka 

berdua telah langsung bertarung dengan tataran tingkat 

puncaknya. 

Maka dalam waktu singkat, semua orang telah melihat sebuah 

pertarungan antara dua orang berilmu tinggi itu, kadang melihat 

kilatan cahaya keris Ki Sembogo yang datang seperti kilat 

menyambar-nyambar, kadang juga melihat putaran tongkat kayu 

di tangan Ki Welireng yang nyaris seperti putaran angin puting 

beliung menggulung-gulung menutupi semua gerak Ki Sembogo. 

Trang !! 

Gajahmada yang memiliki penglihatan yang sangat tajam telah 

dapat melihat ada dua buah kerikil dengan sengaja dilemparkan 

dengan kekuatan tenaga penuh telah dengan jitu menggetarkan 

senjata Ki Sembogo dan Ki Welireng. Kedua orang yang tengah 

bertempur itu seketika seperti terdorong mundur beberapa 

langkah. 

“Hanya orang yang berilmu tinggi yang mampu 

melakukannya”, berkata Gajahmada dalam hati dengan hati 

berdebar ingin melihat siapa gerangan orang berilmu tinggi itu. 

Gajahmada dari tempat persembunyiannya telah melihat 

seorang tua renta dengan badan sedikit bungkuk tengah 

mendekati Ki Sembogo dan Ki Welireng. 

“Ki Seketi!!”, berkata Ki Sembogo dan Ki Welireng 

berbarengan. 

“Kalian adalah dua orang tua yang bodoh, mau saja di tipu 

oleh wanita”, berkata orang itu yang dipanggil sebagai Ki Seketi 

oleh Ki Sembogo dan Ki Welireng. 

“Ternyata Ki Seketi dari Alas Rancange jauh-jauh telah datang 

menikmati alam sekitar air terjun yang indah ini”, berkata Nyi 

Ajeng Nglirip kepada orang tua renta yang baru datang itu. 

“Terima kasih telah mengenal namaku yang tidak ternama 

ini”, berkata Ki Seketi kepada Nyi Ajeng Nglirip. 

“Siapa tidak mengenal pemilik pukulan tanpa bayangan”, 

berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip kepada orang tua yang baru 

datang itu. 

“Pengenalanmu atas diriku ternyata sangat mencukupi, 

namun ada satu yang tidak kamu ketahui, bahwa aku sangat 

marah bila ada seseorang telah berbuat curang di depan mataku”, 

berkata Ki Saketi kepada Nyi Ajeng Nglirip tanpa berpikir bahwa 

wanita itu akan menjadi tersinggung dengan ucapannya. 

Namun ternyata Nyi Ajeng Nglirip adalah seorang wanita yang 

dapat menguasai perasaannya, tidak ada perubahan dalam warna 

wajahnya sedikitpun. 

“Bagaimana Ki Saketi dapat mengatakan bahwa aku ini 

seorang penipu?”, bertanya Nyi Ajeng Nglirip kepada Ki Saketi 

dengan wajah penuh senyum. 

“Caramu telah membuat semua yang ada di sini mungkin akan 

saling bertempur satu dengan yang lainnya, di ujungnya kamu 

dengan mudah dapat melumpuhkan sisa orang yang dapat 

selamat dalam pertempuran itu, dalam keadaan tenaga yang 

sudah terkuras”, berkata Ki Saketi sambil mencoba menilik wajah 

Nyi Ajeng Nglirip apakah kata-katanya dapat mengena. 

Namun sekali lagi Ki Saketi tidak melihat perubahan apapun 

di wajah wanita yang terlihat masih cantik itu meski usianya 

sudah dapat dikatakan sudah tidak muda lagi. 

Dan sambil tertawa renyah, Nyi Ajeng Nglirip berujar, “aku 

ingin mendengar apakah Ki Saketi punya usulan yang lebih 

baik?”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Ki Saketi. 

Perkataan Nyi Ajeng Nglirip datang seperti sebuah pedang 

mengancam tepat di ujung leher Ki Seketi. 

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu telah membuat Ki 

Saketi terkejut, tapi itu tidak lama, sekejab kemudian terlihat 

wajah aslinya yang sangat dingin tanpa perasaan. 

“Usulku adalah terbalik dari caramu semula, jadi semua orang 

disini akan mengeroyok dirimu baru kemudian kami akan saling 

bertempur”, berkata Ki Saketi dengan wajah dinginnya. 

Perkataan Ki Seketi dirasakan seperti sebuah serangan balik 

yang langsung menyudutkan diri Nyi Ajeng Nglirip. 

Namun wanita itu dengan cepat menguasai perasaannya 

sendiri, seperti punya tameng berlapis-lapis menutupi wajah 

aslinya. 

“Bila caramu memang lebih baik, aku siap untuk 

mengikutinya. Siap dikeroyok oleh semua yang hadir di air terjun 

ini. Biarlah semua orang akan menertawakan bahwa hari ini ada 

dua wanita telah dikeroyok bersama”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

sambil menilik perubahan di wajah Ki Seketi. 

Terlihat Nyi Ajeng Nglirip tersenyum melihat Ki Seketi seperti 

terperangkap dengan perkataannya itu. 

“Dan hari ini akan menjadi berita besar, bahwa seorang seperti 

Ki Seketi ikut bersama sebagai seorang pengeroyok”, berkata 

kembali wanita itu dengan wajah datar tanpa sedikitpun terlihat 

kegentarannya. 

Lama Ki Seketi terdiam, perkataan wanita itu memang seperti 

sebuah senjata tajam langsung mengancam batang lehernya 

sendiri. Sebagai seorang yang sangat disegani dan dihormati di 

sepanjang pesisir pantai utara itu memang terlihat menjadi 

sangat gelisah. 

Namun bukan Ki Seketi bila tidak dapat keluar dari perangkap 

perang kata-kata itu. 

Terlihat Ki Seketi telah tertawa bergema mengisi seluruh 

kawasan air terjun Nglirip, semua orang seperti tergetar dadanya. 

“Dengarlah, wanita di hadapan kita telah menantang kita 

semua, habisi kedua wanita itu”, berkata Ki Seketi dengan suara 

lantang mengalahkan suara gemuruh air terjun. 

Suara Ki Seketi memang seperti sebuah sihir telah 

menggerakkan semua orang yang ada di air terjun itu untuk 

mendekati tajuk. 

Berdebar jantung Gajahmada melihat semua orang telah 

bersiap untuk menyerang kedua wanita yang ada di dalam tajuk 

itu. 

Dan dada Gajahmada menjadi semakin berdebar manakala 

telinganya telah mendengar suara petikan kecapi tiba-tiba saja 

mengisi tiap relung dinding dan udara di sekitar air terjun itu. 

“Tembang hina kelana?”, berkata dalam hati Gajahmada yang 

sangat mengenal tembang petikan suara kecapi itu. 

Belum sempat berpikir apapun, Gajahmada telah melihat 

beberapa orang telah memegang dadanya, beberapa orang lagi 

sudah langsung jatuh pingsan. 

Ternyata pemetik suara kecapi itu telah melambarinya dengan 

kekuatan tenaga inti sejati tingkat tinggi setara dengan ajian 

gelap Ngampar yang sangat terkenal itu. 

Untuk melindungi dirinya sendiri, Gajahmada telah 

melambari dirinya sendiri agar tidak termakan goncangan suara 

kecapi itu. 

“Siapakah gerangan pemetik kecapi itu?”, bertanya Gajahmada 

dalam hati sambil menyelinap menyeberang mendekati tajuk 

sederhana dimana dua wanita itu masih ada di sana. 

Sementara itu suara kecapi masih terus bergema menghentak 

dan menggetarkan dada semua orang, diantara sekian banyak 

orang yang ada di air terjun Nglirip itu, hanya tiga orang yang 

masih dapat bertahan tidak terpengaruh suara petikan kecapi, 

mereka bertiga adalah Ki Seketi, Ki Welireng dan Ki Sembogo. 

Bukan main terperanjatnya Gajahmada manakala telah berada 

tidak jauh dari tajuk sederhana itu. 

Apa yang telah membuat diri Gajahmada terperanjat? 

Ternyata Gajahmada dari tempatnya bersembunyi telah 

melihat jelas wajah kedua orang wanita yang berada diatas bale 

bambu tajuk itu. Dan Gajahmada telah mengenal siapa kedua 

wanita itu. 

Namun Gajahmada harus melepas rasa terperanjatnya ketika 

melihat dengan cepat kedua wanita itu telah melenting keluar 

dari dalam tajuk. 

Gajahmada menahan nafas manakala telah melihat tajuk 

sederhana itu hancur porak poranda tak berbentuk lagi. 

Ternyata Ki Seketi telah tidak sabar lagi ingin menghentikan 

suara getar kecapi dengan jalan melepaskan pukulan andalan 

perguruannya yang terkenal itu, pukulan tanpa bayangan. 

Untung saja kedua wanita itu telah merasakan sebuah angin 

pukulan tak terlihat kasat mata akan mengancam diri mereka, 

maka sebelum prahara angin pukulan itu datang, mereka berdua 

telah meloncat menyelamatkan diri. 

Terlihat Ki Seketi dengan penuh kebanggaan tertawa panjang. 

Namun tawa Ki Seketi yang panjang itu tiba-tiba saja terhenti. 

Ternyata pendengarannya yang tajam telah mendengar suara 

alunan seruling, namun dirinya sama sekali tidak mengetahui 

arah sumber suara itu berasal sebab  suara itu seperti berputar 

dari segala penjuru. 

Kecut hati Ki Seketi ketika merasakan getaran suara seruling 

itu lebih dahsyat dari getaran suara kecapi. Meski telah 

melambari dirinya dengan kekuatan inti sejati yang dimiliki, 

suara seruling itu masih saja terasa menghimpit rongga dadanya. 

Sementara itu Ki Sembogo dan Ki Welireng terlihat sudah 

duduk bersila memejamkan matanya menahan getaran suara 

seruling dengan kesaktian tenaga sejati miliknya. Namun suara 

seruling itu seperti tidak mampu dibendung, dada mereka seperti 

terhimpit batu gunung yang amat besar. 

Bukan main terkejutnya Ki Seketi manakala melihat Ki 

Sembogo dan Ki Welireng yang diketahuinya mempunyai tenaga 

sakti hanya setingkat dibawahnya tengah berusaha sekuat tenaga 

menahan getaran suara seruling itu. Terlihat di ujung bibir kedua 

orang sakti itu masing-masing telah mengalir darah hitam. 

Nampaknya tenaga sakti sejati mereka sendiri telah berbalik arah 

menghantam jantung mereka sendiri yang tidak kuat menahan 

tekanan getaran lewat suara seruling yang masih terus terdengar 

berputar-putar dari berbagai penjuru mata angin. 

Sementara itu kedua wanita yang telah keluar dari tajuk tidak 

merasakan tekanan dari suara seruling itu, nampaknya peniup 

seruling itu dapat mengendalikan arah suara serulingnya. 

“Hanya orang yang sudah sangat mumpuni saja yang dapat 

mengendalikan kemana arah serangan suara”, berkata Nyi Ajeng 

Nglirip kepada wanita di dekatnya. 

“Sepertinya aku telah mengenal siapa peniup seruling itu”, 

berkata wanita itu kepada Nyi Ajeng Nglirip. 

“Kamu telah mengenal peniup seruling itu?”, bertanya Nyi 

Ajeng Nglirip kepada wanita itu. 

Terlihat wanita itu menjawabnya dengan sebuah anggukan 

kepala perlahan. 

“Hanya ada satu orang yang dapat menembangkan seruling 

hina kelana”, berkata wanita itu sambil matanya mencari arah 

sumber suara seruling. 

Sebagaimana Ki Seketi, wanita itu juga tidak dapat mencari 

sumber arah suara seruling itu yang masih terdengar berputar-

putar dari segala arah penjuru mata angin. 

“Tunjukkan dirimu, tunjukkan dirimu adalah seorang ksatria 

sejati”, berkata lantang Ki Seketi merasa putus asa tidak juga 

menemukan arah sumber suara pemilik seruling itu. 

Maka tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti. 

Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda membawa sebuah 

seruling bambu dari balik sebuah gerumbul semak dan pohon 

perdu. 

“Kakang Mahesa Muksa”, berkata wanita di sebelah Nyi Ajeng 

Nglirip memandang tidak percaya kehadiran pemuda itu. 

“Ternyata anak nakal itu”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil 

tersenyum memandang kearah pemuda yang muncul tiba-tiba 

itu. 

“Nyi Ajeng mengenalnya ?”, bertanya heran wanita itu kepada 

Nyi Ajeng Nglirip. 

“Sejak kecil anak muda itu bersama kami, di Balidwipa, di 

Tanah Wangi-wangi dan terakhir di tanah Ujung Galuh”, berkata 

Nyi Ajeng Nglirip yang nampaknya telah mengenal pemuda 

peniup seruling itu. 

Namun pembicaraan kedua wanita itu terhenti ketika 

mendengar suara Ki Seketi yang mengguntur penuh kemarahan. 

“Suara serulingmu memang dahsyat, tapi jangan berbangga 

hati sebelum merasakan pukulanku”, berkata Ki Seketi sambil 

membuat sebuah gerakan memukul angin. 

Ternyata Ki Seketi tidak asal sesumbar, dari tangannya keluar 

angin pukulan kasat mata seperti sebuah prahara menerjang 

kearah anak muda itu peniup seruling itu yang tidak lain adalah 

Gajahmada. 

Nampaknya Gajahmada seperti memiliki mata bathin yang 

sangat tajam, telah mengetahui bahaya angin pukulan tak terlihat 

kasat mata itu tengah mengancam dirinya. 

Maka terlihat Gajahmada sudah bergeser cepat menghindari 

serangan pukulan tanpa bayangan itu, sebuah ilmu andalan Ki 

Seketi yang sangat dibanggakannya hingga sangat disegani di 

sepanjang pesisir pantai utara Jawadwipa. 

“Tikus busuk !!”, berkata geram Ki Seketi melihat sasarannya 

dapat meloloskan diri. 

Bukan main akibat serangan pukulan tanpa bayangan dari Ki 

Seketi itu, terlihat sebuah batu besar hancur pecah terbelah-belah 

terkena sasaran pukulan itu. 

Kembali sebuah pukulan dari tangan Ki Seketi telah meluncur 

menerjang kearah Gajahmada, namun sebagaimana sebelumnya, 

kembali anak muda itu dengan mudahnya telah melenting ke 

tempat lain menghindari serangan tak terlihat kasat mata itu. 

“Kadal buntung !!!”, kembali sumpah serapah keluar dari 

mulut Ki Seketi itu melihat sasarannya telah melenting jauh. 

Demikianlah, Ki Seketi terus menyerang dengan pukulan jarak 

jauhnya itu kemana pun Gajahmada berpijak. 

Sumpah serapah masih saja terdengar dari mulut Ki Seketi 

bersamaan dengan lolosnya sasaran tempurnya. 

Suasana di kawasan air terjun itu sudah tidak utuh lagi, 

pepohonan tumbang, batu keras hancur terbelah, tanah merah 

dan semak belukar terbang berserakan terkena sasaran pukulan 

jarak jauh dari Ki Seketi yang sangat dahsyat itu seperti angin 

prahara terus mengejar kemana pun Gajahmada menghindar. 

“Anak setan !!”, berkata Ki Seketi sambil menghentikan 

serangannya. 

Ternyata Ki Seketi telah melihat Gajahmada telah memecahkan 

dirinya menjadi sepuluh orang yang sama terlihat tengah berlari 

mengelilingi tubuh Ki Seketi. 

Rupanya Gajahmada sudah merasa bosan selalu menjadi 

sasaran serangan Ki Seketi. Dengan gerakan yang sangat cepat 

menerapkan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris mendekati 

kesempurnaan itu berputar mengelilingi tubuh Ki Seketi. 

“Aku dapat menyerangmu dari berbagai arah”, berkata 

Gajahmada kepada Ki Seketi dengan nada suara penuh ancaman. 

Terlihat Ki Seketi berdiri terpaku dengan jantung berdebar 

keras merasa perkataan Gajahmada bukan omong kosong belaka, 

benar-benar sebuah ancaman. 

Ki Seketi masih terpaku berdiri di tempatnya manakala salah 

satu dari kesepuluh ujud Gajahmada itu telah melepaskan sebuah 

lidah api berwarna kuning emas dan meluncur menghantam 

sebuah batu sebesar kepala kerbau di dekat tubuh Ki Seketi. 

Darah Ki Seketi seperti berhenti seketika manakala 

menyaksikan dengan mata terbuka sebuah batu sebesar kepala 

kerbau itu hancur berdebu terbang berhamburan. 

Terlihat wajah Ki Seketi menjadi pucat seperti tidak ada darah 

di tubuhnya telah membayangkan bila saja pukulan itu diarahkan 

ke tubuhnya sendiri dari arah yang tidak mungkin dapat 

dihindari. 

“Ampunilah diriku yang tidak mengenal tingginya puncak 

gunung berdiri di hadapanku sendiri”, berkata Ki Seketi dengan 

suara yang masih bergetar memohon belas kasih dari Gajahmada. 

“Aku bukan dewa pencabut nyawa, tidak punya kekuasaan 

apapun memendek dan memanjangkan hidup seorang manusia. 

Bersyukurlah bahwa kamu masih menikmati udara di 

sekelilingmu”, berkata Gajahmada kepada Ki Seketi yang masih 

gemetar itu. 

“Bolehkah aku yang tua ini mengenal siapa kamu orang muda. 

Agar kepada keluarga dan keturunanku dapat kuceritakan bahwa 

di tempat air terjun ini ada orang yang baik hati telah memberi 

kesempatanku untuk hidup lebih lama lagi”, berkata Ki Seketi 

kepada Gajahmada. 

“Namaku Gajahmada”, berkata Gajahmada. 

“Terima kasih, aku akan selalu mengingatnya”, berkata Ki 

Seketi sambil memberi hormat dan berbalik badan dan 

melangkah pergi. 

Terlihat Gajahmada menghampiri dua orang wanita yang 

masih berdiri. 

“Gusti Kanjeng Ratu Gayatri, ampuni hamba yang punya 

sedikit kepandaian ini telah mengambil alih semua ini, sebab  

hamba tidak ingin tangan Gusti Kanjeng kotor sebab nya”, 

berkata Gajahmada penuh hormat kepada wanita yang biasa 

dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu. 

“Jangan hambakan dirimu sebab  aku sudah jauh keluar dari 

kehidupan istana, orang-orang disini telah memanggilku dengan 

nama Nyi Ajeng Nglirip, panggillah aku sebagaimana mereka 

memanggilku, wahai Mahesa Muksa”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

kepada Gajahmada dengan wajah penuh senyum merasa gembira 

telah bertemu dengan Gajahmada yang dikenalnya sejak kecil 

bernama panggilan, Mahesa Muksa. 

Terlihat arah pandang mata Gajahmada telah beralih kepada 

wanita yang lain, seorang wanita bermata indah yang juga tengah 

memandangnya. 

“Andini, aku tidak menyangka bahwa kita dapat bertemu 

kembali di tempat ini”, berkata Gajahmada menyapa wanita itu 

yang ternyata adalah Andini, putri Bango Samparan sang 

penguasa Rawa Rontek dari tanah Pasundan. 

“Ceritanya sangat panjang, aku takut Kakang Mahesa Muksa 

menjadi bosan mendengarnya”, berkata Andini dan menutup 

kata-katanya dengan sebuah senyum yang amat-amat manis 

dalam pandangan Gajahmada. 

“Ternyata kalian berdua memang telah saling mengenal”, 

berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil memandang keduanya saling 

bergantian. 

Sementara itu dari beberapa semak belukar terlihat 

bermunculan beberapa lelaki dan perempuan. Ternyata mereka 

adalah para pengikut setia Nyi Ajeng Nglirip. 

Terlihat Nyi Ajeng Nglirip telah memberi perintah kepada 

orang-orangnya itu untuk membawa dan merawat beberapa 

orang yang masih pingsan ke padepokannya yang tidak begitu 

jauh dari air terjun Nglirip itu. 

Demikianlah, Gajahmada telah diajak oleh Nyi Ajeng Nglirip 

ke Padepokannya. 

Di padepokannya, Nyi Ajeng Nglirip yang sebenarnya adalah 

Kanjeng Ratu Gayatri itu telah menerima Gajahmada seperti 

sanak keluarga sendiri yang sudah lama tidak berjumpa. 

Diatas pendapa padepokan, Nyi Ajeng Nglirip banyak bercerita 

tentang suka duka sebagai keluarga istana Singasari yang harus 

berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam suasana 

pengasingan. 

“Mahesa Muksa masih sangat kecil pada saat itu. Yang kuingat 

dia adalah anak yang sangat nakal di Tanah Wangi-wangi. Patih 

Mahesa Amping yang ditugaskan melindungi keluarga istana 

sangat menyayanginya”, berkata Nyi Ajeng Nglirip tentang 

Gajahmada sewaktu kecil yang didengar oleh Andini dan 

Gajahmada sendiri. 

Gajahmada kemudian bercerita tentang pengembaraannya di 

Tanah Pasundan kepada Nyi Ajeng Nglirip. 

“Gajahmada, sebuah nama yang bagus”, berkata Nyi Ajeng 

Nglirip manakala Gajahmada bercerita tentang sebuah upacara 

penggantian namanya di istana Rakata. 

“Kakang Gajahmada, aku akan mulai merubah panggilanku 

kepadamu”, berkata Andini dengan wajah tersenyum. 

Sementara itu matahari diatas padepokan yang tidak jauh dari 

air terjun Nglirip itu terlihat sudah di awal senja, wajah udara 

bumi terlihat bening dan daun seperti terdiam beku tanpa angin 

sedikitpun. 

“Kamu belum bercerita tentang dirimu, perjalananmu yang 

jauh dari tanah Pasundan”, berkata Gajahmada kepada Andini 

manakala Nyi Ajeng Nglirip pamit sebentar untuk melihat 

keadaan orang-orang yang tadi siang telah pingsan di sekitar air 

terjun. 

“Semula aku datang di tanah timur Jawadwipa ini hanya untuk 

membenarkan perasaan hati ini, seberapa besar cinta dan 

kerinduan yang ada di dalam hati ini kepada seorang lelaki yang 

aku tak tahu apakah dirinya mempunyai perasaan yang sama 

sebagaimana diriku ini”, berhenti sebentar Andini sambil 

menatap wajah Gajahmada. 

“Siapakah lelaki yang beruntung itu, wahai Andini ?”, berkata 

Gajahmada dengan perasaan penuh berdebar-debar keras. 

“kamulah wahai Kakang Gajahmada, kamulah lelaki itu”, 

berkata Andini sambil menatap wajah Gajahmada, terlihat mata 

indahnya sudah mulai berkaca-kaca. 

“Salahkan aku ini, salahkan aku sebagai lelaki yang tidak 

punya keberanian mengungkapkan kebenaran hati, seorang lelaki 

yang selalu dipenuhi rasa takut, rasa bersalah. Aku telah memilih 

persahabatan, memilih Pangeran Jayanagara yang akan terluka 

bila saja ku perjuangkan perasaan cintaku kepadamu. Siang dan 

malam aku sering bertanya-tanya, apakah langkahku ini sebuah 

kebenaran. Siang dan malam belum juga kudapat jawaban 

kepastian atas keraguan hati ini. Akhirnya ku tutup perasaan hati 

dan kerinduan ini, hanya dengan sebuah kata bahwa cinta adalah 

penjara hati”, berkata Gajahmada kepada Andini yang dilihatnya 

sudah meneteskan air matanya. 

“Kakang Gajahmada, aku sudah puas mendengar semua 

pengakuanmu, aku sudah merasa bahagia dengan semua 

perkataanmu itu”, berkata Andini menatap Gajahmada penuh 

kebahagiaan, Namun mata indahnya telah berlinang air mata. 

“Mengapa kamu menangis, wahai Andini ku”, berkata 

Gajahmada merasa bersalah. 

“Kakang tidak bersalah, suratan takdir juga tidak akan salah 

menggariskan semua perjalanan manusia. Kita telah digariskan 

untuk saling menyintai, namun kita telah digariskan juga untuk 

tidak dapat bersatu. sebab  aku telah memilih jalanku sendiri, 

jalan yang telah membebaskan diriku dari penjara hati, penjara 

keinginan, hasrat dan semua nafsu duniawi, aku telah menjadi 

seorang Bhiksuni. 

Perkataan Andini didengar oleh Gajahmada seperti sebuah 

petir membelah-belah udara bumi, melemparkan perasaan 

Gajahmada seperti terjatuh di titian panjang dan terjungkal 

melayang ke ujung jurang tak berdasar. 

“Relakanlah aku, wahai Kakang Gajahmada ku. Pintu Nirwana 

telah terbuka untuk hatiku, relakanlah aku untuk memasukinya. 

Hanya itu permintaan dariku, seorang wanita yang kamu cintai 

dan juga mencintaimu”, berkata Andini kepada Gajahmada masih 

dengan air mata memenuhi wajahnya. 

Daun perdu di ujung halaman padepokan seperti membeku, 

hanya suara anak sungai dan deru air terjun Nglirip yang masih 

terus terdengar memenuhi suasana hati kedua anak manusia 

yang menatap mega-mega yang juga tak bergerak, membeku. 

Akhirnya kebekuan itupun mencair manakala Nyi Ajeng 

Nglirip telah datang kembali bersama mereka. 

Dan tanpa ada yang ditutupi, Gajahmada telah bercerita 

tentang suasana yang semakin meruncing antara Baginda Raja 

Sanggrama Wijaya dan Adipati Ranggalawe. 

“Tugasku di daerah Tuban ini hanya untuk memastikan, 

bahwa Adipati Ranggalawe benar-benar telah ada keinginan 

untuk memisahkan diri dari Majapahit Raya”, berkata 

Gajahmada kepada Nyi Ajeng Nglirip dan Andini. 

“Persahabatan akan menjadi cedera, manakala dua hati saling 

bercuriga, dan kebijaksanaan seorang raja besar nampaknya 

tengah diuji. Kerajaan Majapahit tengah berada di persimpangan 

jalan, berhenti atau maju terus dengan memerangi para sahabat 

dekat yang akan menjadi tumbal-tumbal kebesaran hari depan 

dalam kejayaan dan kegemilangan”, berkata Nyi Ajeng Nglirip 

sambil menatap rumput-rumput liar di halaman padepokan yang 

merunduk di wajah udara bumi yang sudah berada di ujung senja 

itu. 

Dan senja memang telah pergi, perlahan semak dan daun 

perdu di ujung halaman muka Padepokan Nyi Ajeng Nglirip itu 

mulai kabur remang dalam pandangan. 

“Beristirahatlah, bilik untukmu telah dipersiapkan”, berkata 

Ni Ajeng Nglirip kepada Gajahmada. 

Ketika telah memasuki biliknya, Gajahmada hanya berbaring 

tidak dapat memejamkan matanya. 

Sementara itu di bilik yang lain, seorang gadis jelita tengah 

memandang sebuah kecapi kayu di atas meja kecil di ujung 

peraduan. 

Gadis jelita itu adalah Andini, yang lama duduk diatas 

peraduannya seperti tidak ingin melepas matanya dari kecapi 

miliknya itu yang telah memberinya begitu banyak kenangan 

yang indah. 

Sementara itu suara air terjun Nglirip seperti tidak pernah 

berhenti bergemuruh mengisi sepi malam, dibawah sinar 

rembulan yang terpotong awan hitam diantara kepak-kepak 

kelelawar yang datang dan pergi mengarungi malam dan 

kegelapan. 

Akhirnya suara ayam jantan telah datang membuka tirai 

cakrawala langit bersama gerimis hujan pagi membasahi 

rerumputan di halaman muka padepokan kecil itu. 

“Padepokanku ini adalah rumahmu juga, wahai ksatria 

Majapahit. Dalam perang dalam damai, padepokan ini akan 

selalu terbuka untukmu. Kutitipkan kepadamu kedua putriku, 

Gajatri dan Wiyat.  

Bawalah mereka mengunjungi ibundanya sekali waktu adalah 

seteguk air kerinduan yang membasuh dahaga sepi hari-hariku”, 

berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Gajahmada yang akan 

melanjutkan perjalanannya mengamati daerah sekitar Tuban. 

“Terima kasih, aku akan sering singgah selama berada di 

daerah Tuban ini”, berkata Gajahmada kepada Nyi Ajeng Nglirip 

sambil sebentar mengarahkan pandangannya kepada Andini yang 

ikut mengantarnya hingga menuruni anak tangga pendapa 

padepokan itu. 

Deru gemuruh air terjun Nglirip sudah semakin menjauh 

seiring langkah Gajahmada yang telah berjalan meninggalkan 

padepokan kecil itu, meninggalkan sepotong hati pemilik 

sepasang mata indah yang selalu mengiringi setiap langkahnya 

disaat sepi sendiri. 

“Hati Andini telah dipersembahkan kepada pemilik alam 

semesta ini, dan kami tidak dapat lagi berbagi untuk saling 

memiliki”, berkata Gajahmada dalam hati sambil memandang 

mega-mega yang terbang berlari terbawa angin membentuk 

wajah dan rupa baru. “Begitulah kehidupan ini seperti mega-

mega yang ringan terbang mengikuti keinginan sang penciptanya, 

menerima apapun kehendak garis angin kehidupan dalam rupa 

dan bentuk baru di sepanjang waktu”, berkata Gajahmada 

merenungi arti garis kehidupannya. 

Ternyata langkah kaki Gajahmada telah berjalan ke arah 

timur, menyusuri lembah dan tanah perbukitan yang hijau. 

Sinar cahaya matahari terhalang daun dan hijaunya gerumbul 

hutan berbukit membuat langkah kaki Gajahmada tidak terasa 

telah memasuki sebuah Kademangan yang cukup ramai di siang 

itu. 

“Kisanak telah berada di Kademangan Montong”, berkata 

seorang prajurit pengawal kademangan kepada Gajahmada yang 

kebetulan berjalan seiring di jalan padukuhan. 

“Dua orang prajurit Kademangan kulihat tergesa-gesa 

mendahuluiku, apakah hari akan ada sebuah upacara besar di 

rumah Ki Demang?” 

Terlihat prajurit kademangan itu tersenyum mendengar 

pertanyaan Gajahmada. 

“Minggu depan memang akan ada upacara sedekah bumi, 

menyambut panen raya di kademangan ini. Namun hari ini kami 

para prajurit kademangan akan berlatih di lapangan terbuka 

depan rumah Ki Demang. Ada seorang guru pelatih yang sengaja 

didatangkan dari Kadipaten Tuban”, berkata prajurit muda itu. 

Ketika mereka telah sampai di depan rumah Ki Demang 

Montong, prajurit muda itu telah bergabung dengan kawan-

kawannya di lapangan terbuka. 

Ada beberapa orang tua dan anak-anak kecil ikut menonton 

para prajurit yang hari itu akan melakukan berbagai macam 

latihan. Dan Gajahmada telah bergabung di sisi kiri lapangan 

terbuka itu bersama beberapa orang warga yang ingin melihat 

latihan para prajurit Kademangan itu. 

Rupanya latihan hari itu adalah sebuah latihan berkuda, ada 

sebuah orang-orangan dari jerami batang padi sebagai sebuah 

sasaran dan tonggak-tonggak batang bambu sebagai perintang 

yang diletakkan sengaja berliku-liku. 

Satu persatu prajurit itu naik diatas kuda yang akan 

dilarikannya mengelilingi satu putaran lapangan, sesudah  itu 

mereka harus melewati batang bambu yang berliku. Akhirnya 

mereka kembali menghentakkan perut kudanya agar berlari 

kencang mendekati orang-orangan. sesudah  dekat seorang 

prajurit harus melemparkan tombaknya dengan jitu mengenai 

orang-orangan dari jerami padi itu. 

Beberapa orang terlihat tertawa manakala menyaksikan salah 

seorang prajurit Kademangan itu terjatuh ketika melewati 

tonggak bambu yang berliku-liku. 

Namun hati para penonton merasa terpukau manakala 

menyaksikan seorang prajurit yang sangat tangkas mengendarai 

kuda melewati tonggak-tonggak bambu dan berhasil 

menancapkan tombak panjangnya tepat di tubuh orang-orangan 

yang terbuat dari jerami padi itu. 

Demikianlah, Gajahmada terus menyaksikan latihan para 

prajurit di lapangan terbuka itu hingga sore. 

Namun belum usai latihan itu, Gajahmada telah pergi 

menghilang untuk melanjutkan perjalanannya mengamati 

kademangan lainnya yang masih dalam kekuasaan wilayah 

Tuban. 

Hari ke hari Gajahmada memasuki beberapa Kademangan di 

wilayah Tuban itu, ternyata Gajahmada mendapat sebuah 

gambaran bahwa Adipati Ranggalawe memang tengah 

mempersiapkan sebuah kekuatan lewat sebuah perintah khusus 

menurunkan para pelatih keprajuritan di hampir semua 

kademangan yang tersebar di wilayah Tuban itu. 

Hingga di sebuah pagi, Gajahmada tidak sengaja telah 

mendatangi sebuah Kademangan yang tengah melaksanakan 

sebuah upacara sedekah bumi, seperti biasa upacara sedekah 

bumi itu selalu dimeriahkan dengan menanggap kesenian Langen 

tayub hingga siang harinya. 

Terlihat Gajahmada telah melebur bersama warga setempat di 

barisan penonton, sementara barisan tamu undangan istimewa 

berada di sebelah kanan panggung di bawah sebuah tajuk, 

nampaknya para pemuka Kademangan dan tamu kehormatan 

dari Kadipaten Tuban. 

Dari beberapa orang, Gajahmada dapat mengetahui bahwa 

dalam upacara sedekah bumi itu dihadiri oleh putra Adipati 

Tuban bernama Kuda Anjampiani bersama gurunya Ki Ajar 

Pelandongan. 

Itulah sebabnya Ki Demang telah menanggap kelompok 

kesenian Langen Tayub yang terkenal disaat itu agar tidak 

kehilangan muka di hadapan putra Adipati Ranggalawe dan 

gurunya itu. 

Terlihat para warga dan semua orang-orang yang hadir di 

alun-alun Kademangan itu dengan penuh keheningan mendengar 

seorang pendeta membacakan mantra-mantra suci berharap 

panen di kademangan itu selalu baik, melimpah dan dijauhkan 

dari segala mala petaka. 

Maka tibalah yang dinantikan oleh semua warga pada saat itu, 

yaitu sebuah pagelaran Langen Tayub dari sebuah kelompok 

kesenian yang sangat tersohor di Kadipaten Tuban itu. 

Terdengar suara riuh sorak dan sorai para penonton manakala 

seorang pramugari atau landang membuka pagelaran kesenian 

langen tayub. 

Bertambah riuh suasana manakala rombongan waranggono 

turun berlenggak-lenggok gemulai menarikan sebuah tarian 

Gambyong, sebuah tarian mewakili kata sambutan selamat 

datang para tetamu dan para penonton. 

“Gending anyer, gending anyer !!”, berteriak beberapa 

penonton meminta para waranggono melantunkan sebuah 

gending terbaru mereka. 

“Sabar, sabar”, berkata seorang Landang sambil mengangkat 

tangannya tinggi-tinggi berusaha meredam teriakan para 

penonton.”Untuk para warga Kademangan ini, kami akan 

membawakan sebuah gending anyer yang berjudul Ksatria 

seruling sakti”, berkata seorang landang dihadapan para hadirin. 

Mendengar gending Ksatria seruling sakti akan ditembangkan, 

terdengar suara para penonton menyambutnya dengan penuh 

kegembiraan. 

Maka para waranggono melantunkan suaranya membawakan 

gending terbaru mereka yang diangkat dari sebuah kisah nyata 

yang baru-baru ini telah menggemparkan hampir semua orang di 

seluruh wilayah Tuban saat itu, yaitu tentang para pemburu 

mustika batu Tuban di air terjun Nglirip, dimana telah muncul 

seorang ksatria berseruling sakti mengalahkan semua para 

pemburu mustika. 

Para seniman Langen tayub telah semakin mengharumkan 

nama ksatria seruling sakti itu dengan menggubahnya menjadi 

gending anyer ciptaan mereka yang selalu dilantunkan di setiap 

pagelaran mereka. 

Gajahmada yang telah melebur diantara para penonton 

terlihat tersenyum sendiri manakala seorang waranggono 

melantunkan gending ksatria seruling sakti, 

Dua bidadari cantik turun dari langit, mandi di air terjun 

Nglirip 

Tiga raksasa datang memaksa membawa pergi sang bidadari. 

Datanglah ksatria seruling sakti mengalahkan tiga raksasa 

Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tuna wicara 

Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tidak bisa 

mengatakan cintanya. 

Sayang seribu sayang, dua bidadari kembali ke langit, Sayang 

seribu sayang. 

Terlihat para hadirin seperti tersihir ikut mengibing bersama 

sebagaimana para pengibing didepan panggung dengan sampur 

di leher. 

Namun suasana yang sangat meriah itu tiba-tiba terhenti, 

suara gamelan berhenti dan para pengibing dan waranggono 

terlihat mundur beberapa langkah dengan wajah cemas dan 

dipenuhi rasa takut. 

Ada apa gerangan ?? 

Ternyata di depan panggung telah berdiri seorang pemuda 

dengan mengangkat tinggi-tinggi kerisnya dengan suara lantang 

meminta gending ksatria seruling sakti itu dihentikan. 

“Mulai hari ini aku tidak ingin gending Ksatria seruling sakti 

kudengar di telingaku, juga ditembangkan di seluruh tanah 

Tuban ini. Barang siapa melanggar aturanku, akan mendapat 

hukuman dariku”, berkata pemuda itu yang diketahui bernama 

Kuda Anjampiani, putra adipati Ranggalawe. 

Suasana seketika menjadi begitu sepi, begitu lengang dan 

begitu mencekam, tidak seorang pun berani membantah 

perkataan Kuda Anjampiani yang diketahui mempunyai 

kesaktian tinggi itu, apalagi bersamanya saat itu adalah gurunya 

sendiri Ki Ajar Pelandongan. 

Untung saja Landang yang diturunkan saat itu adalah seorang 

landang yang mumpuni, dapat mengendalikan suasana 

panggung. 

“Terima kasih kami sampaikan kepada putra Adipati yang 

perkasa, Adimas Kuda Anjampiani yang telah tampil di depan 

panggung, untuk penghormatan dan kesetiaan kami kepada 

junjungan yang mulia Adipati Ranggalawe, kami akan 

menembangkan sebuah gending idaman yang lebih indah, 

dipersilahkan kepada hadirin menikmati gending kami, Gambir 

Sawit”, berkata seorang Landang mencoba meredam suasana 

mencekam itu. 

Suasana pun kembali seperti sedia kala, namun tetap saja ada 

sebuah kekecewaan di hati para warga yang hadir disaat itu, 

meski mereka tidak berani mengungkapkannya. 

Mengapa seorang pemuda seperti Kuda Anjampiani itu begitu 

membenci gending Ksatria seruling sakti ? 

Semula bermula tentang sebuah kabar cerita tentang seorang 

ksatria yang telah dapat mengalahkan hampir semua orang sakti 

di air terjun Nglirip beberapa pekan yang lalu. Ksatria seruling 

sakti tanpa nama itu telah menjadi pembicaraan hampir semua 

orang di wilayah Tuban itu dan telah diagungkan oleh orang-

orang sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi adi jaya 

mandraguna. 

Berita itulah yang telah membuat telinga Kuda Anjampiani 

seperti terbakar. Selama ini semua orang Tuban telah 

mengagungkan keluarga Adipati Ranggalawe sebagai orang-

orang berilmu mempunyai kesaktian tinggi, tiada lawan tanding. 

Keharuman nama Ksatria seruling sakti dapat memudarkan 

nama keluarga Adipati Ranggalawe, dimana saat itu tengah 

menyusun sebuah kekuatan tandingan menghadapi para 

penguasa Majapahit. Dan kehadiran putra Adipati Ranggalawe 

bersama gurunya di Kademangan itu adalah untuk mengangkat 

kembali nama kehormatan dan kebesaran keluarga Adipati 

Ranggalawe di hati orang-orang Tuban. 

Gending pamungkas terdengar mendayu-dayu dibawakan oleh 

para waranggono, sebagai pertanda bahwa pagelaran langen 

tayub akan segera berakhir. Satu dua orang sudah mulai beranjak 

dari tempatnya. Terlihat pula Gajahmada telah menyelinap 

diantara kerumunan para penonton yang masih enggan 

meninggalkan pagelaran langen tayub itu. 

Suara gamelan gending langen tayub sudah terdengar sayup-

sayup manakala Gajahmada sudah keluar menjauhi kademangan 

itu. 

“Saatnya untuk mengamati Kadipaten Tuban lebih dekat lagi”, 

berkata Gajahmada dalam hati membayangkan suasana di 

Kadipaten Tuban pasti tidak berbeda jauh dengan suasana di 

beberapa kademangan yang telah di amati, tengah menyusun 

kekuatan para prajurit dalam latihan-latihan yang keras. 

Matahari terlihat sudah condong lebih ke barat ketika 

Gajahmada telah memasuki Kadipaten Tuban yang berdekatan 

dengan pesisir pantainya. 

Ternyata dugaan dan bayangan Gajahmada tentang suasana di 

kadipaten Tuban sangat jauh dari yang diperkirakan, tidak 

ditemuinya seorang pun prajurit yang tengah berlatih 

sebagaimana yang ditemuinya di beberapa Kademangan. 

“Mungkin aku datang disaat matahari sudah condong ke 

barat”, berkata Gajahmada dalam hati. 

Terlihat Gajahmada mencoba menyusuri jalan Kadipaten 

Tuban yang telah mulai sepi itu, melewati istana Kadipaten 

Tuban yang nampak megah dan kokoh di antara bangunan 

sekitarnya. Tidak seorang pun yang memperhatikan langkah 

pemuda itu, mungkin pakaian yang dikenakan seperti pakaian 

para pengembara umumnya. Hingga akhirnya langkah 

Gajahmada telah membawanya ke bandar pelabuhan Tuban yang 

ternyata masih sangat ramai. Terlihat beberapa perahu dagang 

tengah merapat di dermaga, beberapa buruh panggul tengah 

membawa barang mengisi sebuah pedati. 

“Nanti malam aku akan menilik keadaan barak prajurit”, 

berkata Gajahmada dalam hati sambil melangkahkan kakinya ke 

sebuah kedai yang masih buka di ujung bandar pelabuhan Tuban. 

Ketika memasuki kedai itu, sudah ada beberapa orang 

pengunjung di kedai itu. 

Seorang pemilik kedai datang menghampirinya, menanyakan 

pesanan makanan kepada Gajahmada. 

Terlihat pemilik kedai itu kembali kedalam untuk menyiapkan 

makanan dan minuman pemuda itu. 

Di dalam kedai, Gajahmada mencoba mencuri dengar 

pembicaraan beberapa pengunjung kedai itu, namun tidak 

didapat apapun dari mereka selain cerita tentang kecantikan para 

waranggono sebuah kelompok Langen Tayub yang dua hari ini 

akan manggung di sebuah acara perayaan perkawinan seorang 

juragan besar di Kadipaten Tuban. 

Akhirnya Gajahmada telah memutuskan untuk menunggu 

malam di bandar pelabuhan Tuban itu. 

Dan senja perlahan mulai redup menyelimuti pantai laut 

Tuban. 

Terlihat Gajahmada tengah menyusuri pantai laut Tuban, 

menatap cahaya kuning emas memancar di ujung batas lengkung 

laut yang menghitam. 

Indah, teduh dan damai suasana di pantai Tuban dalam 

tatapan mata Gajahmada di penghujung akhir senja itu. 

Semilir angin laut yang dingin mengurai rambut pemuda itu yang 

tengah menatap beberapa nelayan yang tengah mengayuh perahu 

sampan mereka menuju tengah laut. 

“Peperangan dan perebutan kekuasaan silih berganti, tidak 

akan merubah apapun kehidupan mereka. Yang mereka ketahui 

adalah musim badai dan musim melaut, mengais kehidupan 

malam di tengah laut berharap ikan masuk memenuhi jala-jala 

mereka sebagai kabar gembira buah tangan manakala kembali ke 

rumah menemui istri dan anak-anak mereka yang menunggu dan 

berdoa sepanjang malam untuk pahlawan hati mereka”, berkata 

Gajahmada dalam hati sambil memandang sebuah perahu 

nelayan yang semakin menjauh bergoyang diatas ombak laut 

malam. 

Perlahan cahaya kuning di ufuk barat bumi telah mulai 

menghilang, wajah lautan telah menjadi hitam kelam di bawah 

langit malam. Titik-titik cahaya lentera milik para nelayan 

terlihat seperti bintang berkelip ditengah laut bersama riak deru 

ombak berkali-kali datang dan pergi membentur bibir dermaga 

kayu yang kusam mulai rapuh. 

Lama Gajahmada duduk di bawah sebuah pohon kelapa yang 

tumbuh di pinggir pantai Tuban itu, jauh dari keramaian bandar 

pelabuhan Tuban yang terlihat semakin sepi manakala malam 

sudah menjadi semakin larut. 

Terlihat Gajahmada telah bangkit dari duduknya, perlahan 

anak muda itu melangkah menuju kearah jalan Kadipaten Tuban 

yang tidak begitu jauh itu. 

Jalan kadipaten Tuban di malam itu sudah terlihat begitu sepi, 

beberapa oncor menerangi beberapa muka regol bangunan di 

sepanjang jalan utama Kadipaten Tuban. 

“Bangunan barak prajurit Tuban”, berkata Gajahmada ketika 

melewati sebuah bangunan yang sangat besar dimana pintu 

gerbangnya telah tertutup rapat. 

Gajahmada masih tetap melangkah melewati regol pintu 

gerbang bangunan barak prajurit itu yang diterangi sebuah oncor 

besar minyak jarak. 

Namun ketika dirinya berada di ujung pagar bangunan itu, 

terlihat pemuda yang mempunyai kesaktian ilmu sangat tinggi itu 

telah melenting melompati sisi pagar dan merapat tenggelam di 

kegelapan bayangan malam. 

Pemuda itu hanya melihat ada tiga orang prajurit di dalam 

gardu penjagaan. 

sesudah  merasa yakin bahwa kehadirannya tidak diketahui 

oleh siapapun, terlihat pemuda itu telah melesat dan merapat di 

dinding bangunan utama barak prajurit Tuban. 

Bayangan malam telah melindungi Gajahmada yang tengah 

merapat di dinding bangunan utama. 

Hanya dengan sedikit ayunan kaki, tubuh Gajahmada sudah 

seperti anak panah meluncur keatas wuwungan atap bangunan 

utama itu. 

Terlihat anak muda itu kembali merapatkan tubuhnya sejajar 

dengan atap wuwungan dan melebur menjadi satu dengan 

bayangan malam. sesudah  memastikan keadaan aman, kembali 

anak muda itu telah bergerak cepat dan ringan berpindah keatas 

wuwungan bangunan lain. 

“Sepi!!”, berkata Gajahmada dalam hati manakala telah 

membuka sedikit atap dan melihat ruang bawah dalam barak 

prajurit. 

Terlihat Gajahmada telah melesat berpindah dari satu 

wuwungan bangunan ke bangunan lainnya, ternyata Gajahmada 

tidak seorang pun prajurit di dalam barak-barak mereka. 

Malam sudah semakin larut, tanpa sinar bulan menjadikan 

malam itu begitu pekat dan gelap. 

Terlihat Gajahmada sudah berada kembali merapat di dinding 

utama bangunan barak prajurit. sesudah  memastikan bahwa 

ketiga orang prajurit yang berada di gardu penjagaan tidak 

melihatnya, maka terlihat anak muda yang telah memiliki ilmu 

meringankan tubuh dengan sangat sempurna itu telah seperti 

terbang melesat cepat mendekati dinding pagar dan melenting 

melompati pagar dinding itu. 

Tidak seorang pun berada di jalan dan melihat anak muda itu 

melompat keluar dinding bangunan barak prajurit itu. 

Jalan Kadipaten Tuban malam itu begitu sepi, Gajahmada 

terlihat telah melangkah kembali ke arah pesisir pantai. 

“Kemana para prajurit Tuban saat ini?”, berkata dalam hati 

Gajahmada ketika tengah duduk bersandar di sebuah batang 

pohon kelapa yang menghalangi terpaan angin malam di tepian 

pantai Tuban. 

Tidak terasa semilir angin di tepian pantai Tuban telah 

membuatnya tertidur. Namun sebagaimana jiwa seorang Ksatria 

pengembara, panca inderanya masih tetap terjaga, masih 

mendengar suara deru ombak tiada henti, masih mendengar 

suara pelepah kelapa yang kering jatuh ke tanah, juga mendengar 

suara langkah kaki menginjak pasir pantai yang lembut tengah 

mendekatinya. 

Perlahan mata Gajahmada terbuka, dibiarkannya dua orang 

lelaki yang terlihat tengah mendekatinya. 

“Berdirilah anak muda, kami ingin membawa kamu ke istana 

Kadipaten”, berkata salah seorang diantara mereka sesudah  

berada di dekat Gajahmada yang masih bersandar di batang 

pohon kelapa. 

Terlihat mata Gajahmada memandang kearah kedua orang 

lelaki itu, daya ingatnya yang sangat kuat seperti pernah melihat 

kedua lelaki itu, seorang masih muda sebaya dengannya, 

sementara lelaki lainnya sudah cukup umur. 

 

Bersambung...