ban yang tidak
nampak satu pun.
“Apabila Adipati Ranggalawe tidak dapat hadir, tentunya
dapat saja mewakilkan seorang utusannya”, berkata salah
seorang pejabat istana menanggapi ketidak hadiran Adipati
Ranggalawe.
Itulah sebabnya, sesudah upacara wisuda itu berakhir, Baginda
Raja Sanggrama Wijaya meminta Patih Mahesa Amping bersama
Patih Mangkubumi datang ke tempat peristirahatannya.
“Nampaknya Adipati Ranggalawe mulai menunjukkan
giginya”, berkata Baginda Raja kepada Patih Mahesa Amping dan
Patih Mangkubumi manakala mereka berdua telah hadir di
tempatnya.
“Dalam waktu yang dekat ini, kami telah menugaskan
seseorang untuk melakukan pengawasan khusus di lingkungan
Tuban”, berkata Patih Mangkubumi.
“Siapa orangnya yang mendapat tugas itu?”, bertanya Baginda
Raja.
“Gajahmada, putra angkat Patih Mahesa Amping”, berkata
Patih Mangkubumi.
“Rencananya besok putraku Gajahmada berangkat ke Tuban,
bersamaan dengan keberangkatan kami mengantar Raja Muda
Jayanagara ke Kediri”, berkata Patih Mahesa membenarkan
perkataan Patih Mangkubumi.
Terlihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya terdiam memandang
kedua sahabatnya yang sangat dipercaya itu yang juga sangat
teliti dan seksama menanggapi setiap permasalahan yang ada.
“Satu dari sahabat kita, Adipati Ranggalawe telah memisahkan
diri dari persaudaraan kita”, berkata Baginda Raja sambil
memandang kosong ke depan. Nampaknya tengah merenungi
sebuah perjalanan panjang ke belakang, perjalanan perjuangan
merebut kembali tahta singgasana dalam suka dan duka bersama
para sahabat setia, diantaranya Adipati Ranggalawe.
“Kita bukan hanya berhadapan dengan Adipati Ranggalawe, di
belakangnya berdiri Adipati Arya Wiraraja”, berkata Patih
Mangkubumi memecah lamunan Baginda Raja.
“Ayah Adipati Ranggalawe adalah seorang yang sangat
mumpuni dalam hal bersiasat, seorang kepercayaan Pahlawan
Mahesa Agni di jaman Singasari di waktu kejayaannya”, berkata
Patih Mahesa Amping menambahkan.
“Peperangan harus kita bayar dengan harga yang sangat
mahal, hilangnya banyak nyawa, penderitaan dan rasa ketakutan
di akhir setiap sebuah peperangan. Juga akan melemahkan
kerajaan Majapahit yang tengah berkembang ini”, berkata
Baginda Raja.
“Kita berusaha untuk menghindarinya, namun kita dengan
sangat terpaksa membunyikan genderang peperangan bila ada
orang yang dengan sengaja ingin merusak dan mengancam
kedaulatan Kerajaan Majapahit ini”, berkata Patih Mangkubumi
dengan penuh semangat.
“Meski orang itu adalah saudara kita sendiri?”, berkata
Baginda Raja.
“Benar tuanku, meski orang itu adalah saudara kita sendiri”,
berkata Patih Mangkubumi penuh dengan ketegasan.
“Aku percaya dengan kalian berdua, selama kalian berdua
masih menganggap aku sebagai saudaramu. Kuserahkan segala
urusan Adipati Ranggalawe kepada kalian berdua”, berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Masih banyak lagi yang mereka bertiga rundingkan hingga
hari terlihat sudah menjadi larut malam. Akhirnya Raja
Sanggrama Wijaya memberi perkenan Patih Mahesa Amping dan
Patih Mangkubumi meninggalkannya.
“Kutitipkan putraku, Raja muda Jayanagara kepadamu, wahai
saudaraku”, berkata Raja Sanggrama Wijaya kepada Patih
Mahesa Amping.
“Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga keluargaku,
wahai saudaraku”, berkata pula Patih Mahesa Amping sambil
tersenyum.
Demikianlah, ketiga sahabat itu berpisah. Meski hubungan
mereka diluar adalah sebagai seorang Raja dengan bawahannya.
Namun ketika bertemu diluar pandangan orang lain, mereka
tidak lagi membatasi diri, tanpa penghormatan dan unggah-
unggah apapun, mereka berbicara seperti setara sebagaimana
dua sahabat bicara, dua saudara berbicara.
Pagi itu langit terlihat begitu cerah mewarnai udara bumi
Kotaraja Majapahit manakala sebuah rombongan pasukan
berkuda telah mendekati batas gerbang pintu Kotaraja Majapahit.
Rombongan pasukan berkuda itu adalah para prajurit
Majapahit yang akan mengantar Raja Muda Jayanagara menuju
Kotaraja Kediri.
Tidak lama berselang, terlihat seorang pemuda berpakaian
seperti seorang pengembara tengah melangkah berjalan kaki
keluar dari gerbang batas Kotaraja Majapahit. Ternyata pemuda
pengembara itu adalah Gajahmada yang akan melaksanakan
tugasnya sebagai telik sandi, mengamati keadaan daerah Tuban
dan sekitarnya.
Ketika menemui sebuah jalan simpang, terlihat Gajahmada
telah mengambil arah jalan ke utara. Sebuah jalan yang biasa
digunakan oleh para pedagang lewat jalan darat menuju kearah
Tuban dan daerah pesisir pantai utara lainnya.
Meski berpakaian selayaknya seorang pengembara, namun
Gajahmada bukan pengembara biasa. Dengan kemampuannya
yang tinggi, di beberapa tempat yang sepi telah menerapkan
kesaktian sejatinya berlari seperti terbang melesat bahkan
kadang dengan mudahnya mendaki tebing-tebing tinggi.
Meski begitu, Gajahmada masih tetap memenuhi kebutuhan
jasmani sebagaimana manusia biasa. Sementara menjelang tidur
di waktu malam Gajahmada masih tetap melaksanakan olah laku
rahasia pusaka sang pertapa dari Gunung Wilis yang tenyata
adalah ayah kandungnya sendiri, sang pendeta Darmayasa.
Disaat selesai olah laku rahasianya, Gajahmada merasakan
kebugaran kembali, merasakan hawa murninya telah berlipat-
lipat ganda.
Maka tidaklah heran bila Gajahmada dapat berlari seperti
tidak menjejakkan kakinya di tanah, ilmu meringankan tubuhnya
sudah dapat dikatakan nyaris begitu sempurna.
Akhirnya di sebuah pagi, terlihat Gajahmada tengah
memasuki sebuah Padukuhan kecil. Dan kebetulan sekali hari itu
adalah hari pasar. Terlihat Gajahmada sudah berada di pasar
padukuhan itu dan tengah mencari sebuah kedai.
Seorang pemilik kedai menjelaskan arah untuk menuju Tuban
dari padukuhan itu.
“Jarak perjalanan ke Tuban hanya perlu satu hari semalam
perjalanan”, berkata pemilik kedai itu sambil memberikan
beberapa petunjuk arah. “Hanya ketika akan memasuki hutan
Jatirogo, ki sanak perlu hati-hati”, berkata kembali pemilik kedai
itu.
“Apakah di hutan Jatirogo itu banyak penyamun?”, bertanya
Gajahmada kepada orang tua itu.
Terlihat orang tua itu menggelengkan kepalanya.
“Bukan banyak penyamun, tapi sebuah kawasan yang cukup
angker, orang-orang tua kami sering mengatakan bahwa di dalam
hutan itu ada sebuah istana siluman”, berkata pemilik kedai itu.
Mendengar cerita itu, terlihat Gajahmada tersenyum.
“Terima kasih untuk penjelasannya, semoga aku dapat
bertemu dengan salah seorang putri dari istana siluman itu”,
berkata Gajahmada sambil tersenyum kepada pemilik kedai itu
ketika akan berpamit diri untuk melanjutkan kembali perjalannya
ke Tuban.
Terlihat orang tua pemilik kedai itu menarik nafas panjang
sambil memandang punggung tubuh Gajahmada yang semakin
menjauh.
“Pengembara muda yang berani”, berkata pemilik kedai itu
merasa heran kepada Gajahmada yang tidak gentar mendengar
ceritanya tentang hutan Jatirogo yang angker itu.
Matahari saat itu telah berada diatas puncak cakrawala ketika
langkah Gajahmada mendekati sebuah hutan yang terlihat begitu
rapat dan pepat.
“Hutan Jatirogo”, berkata Gajahmada dalam hati mengingat
kembali cerita dari pemilik kedai yang dijumpainya tadi pagi.
Dan tanpa rasa gentar sedikit pun Gajahmada telah memasuki
kawasan hutan itu, sebuah hutan yang dipenuhi pohon kayu yang
telah berumur ratusan tahun, dengan pokok batang begitu besar
tinggi menjulang serta dahan yang bercabang rimbun dipenuhi
jamur dan tanaman merambat. Dan semakin masuk lebih
kedalam lagi, pepohonan dan belukar semakin rapat.
Hingga akhirnya Gajahmada menemukan sebuah bulakan
cukup luas yang dipenuhi reruntuhan batu-batu sudah berlumut,
nampaknya bekas sebuah bangunan.
“Istana siluman”, berkata Gajahmada dalam hati mengingat
kembali cerita pemilik kedai.
Namun langkah Gajahmada tertunda manakala di ujung sana
terlihat beberapa orang nampaknya baru saja ingin memasuki
kawasan di sekitar reruntuhan itu.
“Siapakah mereka?”, berkata Gajahmada dalam hati sambil
segera menyelinap bersembunyi di kerimbunan semak belukar.
Dari tempat persembunyiannya, Gajahmada telah melihat ada
sekitar seratus orang lelaki telah memenuhi tempat itu.
Dan Gajahmada mencoba memasang telinga untuk mencuri
dengar pembicaraan mereka.
Akhirnya pendengarannya yang sangat tajam telah menangkap
sebuah pembicaraan.
“Mereka para prajurit dari daerah Sunginep?”, berkata
Gajahmada dalam hati ketika telah menangkap beberapa
pembicaraan dengan logat bahasa asal yang sudah dikenalnya.
Lama Gajahmada menyimak pembicaraan mereka sampai
akhirnya Gajahmada dapat mengetahui bahwa akan datang para
prajurit lagi dari Sunginep dalam jumlah lebih besar lagi mengisi
kawasan sekitar hutan Jatirogo.
“Kedatangan mereka berkaitan dengan sikap Adipati Tuban?”,
berkata Gajahmada dalam hati.
Akhirnya, sesudah merasa cukup mencuri dengar para prajurit
Sunginep itu, Gajahmada terlihat telah menyelinap berjalan
memutar.
“Aku harus melihat suasana kademangan di sekitar Tuban,
agar aku mendapat gambaran yang jelas apakah benar bahwa
Adipati Ranggalawe bermaksud memisahkan diri dari kedaulatan
Majapahit Raya”, berkata Gajahmada ketika telah keluar dari
hutan Jatirogo.
Sementara itu hari terlihat sudah mulai gelap, langkah
Gajahmada telah semakin menjauhi hutan Jatirogo.
Dan Gajahmada telah berjalan di sebuah jalan perbukitan di
bawah malam. Terlihat kumpulan pelita malam dari rumah-
rumah penduduk terpisah bertebaran di bawah perbukitan
sebagai pertanda bahwa di bawah sana ada sebuah padukuhan.
“Pemilik kedai itu mengatakan bahwa sesudah melewati hutan
Jatirogo, aku telah berada di wilayah Kademangan Singgahan”,
berkata Gajahmada dalam hati sambil terus melangkah
mendekati arah kerlap kerlip pelita malam yang bertaburan di
sekitar perbukitan itu.
Langkah kaki Gajahmada telah membawanya berjalan
diantara pematang sawah yang tersebar berundak disinari cahaya
bulan yang remang. Semilir angin terlihat telah menyentuh ujung
juntai padi yang masih belum menguning itu telah serentak
bergoyang searah.
Akhirnya Gajahmada telah menemukan sebuah jalan yang
cukup lebar dapat dilewati dua buah gerobak yang bersisipan,
sebuah jalan padukuhan.
“Berhenti!!”, berkata seseorang lelaki yang keluar dari gardu
ronda kepada Gajahmada di sebuah pertigaan jalan.
Terlihat seseorang lagi kawannya telah ikut keluar dari gardu
rondanya.
“Hari sudah malam, apa keperluanmu datang di padukuhan
kami?”, berkata orang yang mencegat Gajahmada.
“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di
Padukuhan ini”, berkata Gajahmada dengan nada suara
merendah.
“Jangan kelabui kami, sudah tiga hari ini beberapa orang lewat
padukuhan ini, mereka adalah para pemburu mustika batu
Tuban”, berkata orang itu dengan wajah penuh selidik.
“Apakah wajahku begitu mirip sebagai seorang pemburu
benda mustika?”, berkata Gajahmada sambil tersenyum.
“Maafkan kawanku ini, dua tiga hari ini memang banyak orang
asing lewat di padukuhan kami. Tadi pagi ada seorang warga
kami mengabarkan bahwa kambing betinanya telah hilang”,
berkata seorang kawannya lebih sopan dan ramah.
“Seperti yang telah kukatakan, aku hanya seorang
pengembara”, berkata Gajahmada.
“Silahkan ki sanak melanjutkan perjalanan, tapi kalau boleh
mendengar saranku, sebaiknya ki sanak tidak bermalam di
padukuhan kami, jangan-jangan ki sanak akan jadi korban
kecurigaan warga padukuhan ini”, berkata orang yang bertutur
lebih sopan dan ramah itu.
“Terima kasih, aku memang hanya lewat padukuhan ini”,
berkata Gajahmada kepada kedua peronda itu.
Ketika Gajahmada sudah melangkah jauh, terlihat orang yang
bertutur sopan dan ramah itu telah menasehati kawannya itu.
“Kita boleh mencurigai orang asing, tapi harus dengan kata-
kata yang santun. Untung saja orang itu tidak mudah
tersinggung. Apa jadinya diri kita bila kebetulan orang itu
berilmu tinggi”, berkata orang itu menasehati kawannya.
Sementara itu Gajahmada telah berjalan jauh melewati
padukuhan itu.
“Para pemburu mustika batu Tuban?”, berkata Gajahmada
dalam hati sangat tertarik dengan ucapan salah satu peronda itu.
“Besok pagi aku akan mencari tahu tentang para pemburu
mustika batu Tuban itu”, berkata kembali Gajahmada dalam hati.
Sementara itu hari sudah menjadi semakin larut malam,
semilir angin sudah terasa menyengat kulit. Akhirnya Gajahmada
telah memutuskan untuk bermalam di sebuah gubuk di sebuah
persawahan yang ada di perbatasan dua padukuhan.
Terlihat Gajahmada telah naik ke atas sebuah gubuk bambu,
telah duduk meluruskan kakinya dan bersandar di tiang bambu.
Mata anak muda itu sebentar saja sudah terpejam, namun indera
pendengarannya masih selalu terjaga sebagaimana jiwa para
ksatria yang selalu siaga siap menghadapi segala mara bahaya
yang bisa saja terjadi, kapan dan dimanapun.
Namun malam itu tidak terjadi apapun hingga akhirnya suara
ayam jantan di pagi itu telah membangunkan Gajahmada.
Terlihat langkah kaki Gajahmada telah memasuki sebuah
padukuhan yang lain. Pagi memang masih remang, namun
beberapa orang petani telah bersisipan jalan dengan Gajahmada,
mungkin akan melihat sawah mereka yang sudah bunting muda
itu.
“Maaf pak tua, dimanakah letak Kademangan Singgahan”,
bertanya Gajahmada kepada seorang lelaki tua yang bersisipan
jalan dengannya.
“Padukuhan ini sudah termasuk wilayah Kademangan
Singgahan”, berkata lelaki tua itu menjawab pertanyaan
Gajahmada.
“Terima kasih, dimana arah pasar kademangan Singgahan.
Kebetulan aku ingin mengunjungi seorang saudara yang
rumahnya ada di dekat pasar Kademangan Singgahan”, berkata
kembali Gajahmada.
“Pasar Kademangan ada di ujung jalan ini, ikuti saja jalan ini”,
berkata orang itu kepada Gajahmada.
Hari itu Gajahmada telah memasuki pasar Kademangan
Singgahan.
Biasanya di hari pasaran pasar itu akan menjadi sangat ramai
dikunjungi orang, namun hari itu bukan hari pasaran ketika
Gajahmada telah memasuki pasar Kademangan Singgahan.
Akhirnya Gajahmada memutuskan untuk memasuki sebuah
kedai yang tetap buka meski hari itu bukan hari pasaran.
Ketika memasuki kedai itu, Gajahmada hanya melihat dua
orang lelaki telah berada di kedai itu.
Seorang pemilik kedai datang menghampirinya, orang tua
yang sangat ramah.
“Pengunjung hari ini memang sedang sepi, hanya ramai disaat
hari pasaran saja”, berkata pemilik kedai itu menjawab
pertanyaan Gajahmada tentang suasana di kedai itu setiap
harinya.
Maka Gajahmada telah memesan makanan dan minuman
yang ada di kedai itu.
Terlihat pemilik kedai itu kembali ke dalam untuk menyiapkan
pesanan Gajahmada.
“Ternyata kita tidak sendiri, ada banyak orang yang ingin
memiliki Mustika batu Tuban itu”, berkata salah seorang yang
lebih tua dari pengunjung kedai itu yang duduk membelakangi
Gajahmada.
“Berita tentang adanya mustika batu Tuban seperti angin yang
berhembus. Orang-orang dari tempat yang jauh juga telah
berdatangan”, berkata orang yang lebih muda.
“Selama ini aku hanya mendengar selentingan orang, bahwa
Nyi Ajeng Nglirip seorang wanita yang mempunyai ilmu yang
sangat tinggi”, berkata pengunjung yang lebih tua.
“Mungkin sebab itulah, wanita itu telah begitu berani
menerima para pemburu mustika batu Tuban secara terbuka”,
berkata orang yang lebih muda.
“Aku jadi seperti tidak sabar, ingin memastikan apakah wanita
itu memang berilmu sangat tinggi”, berkata orang yang lebih tua.
Terlihat Gajahmada yang mencuri dengar pembicaraan
mereka itu menarik nafas dalam-dalam sebab mendengar kedua
orang itu telah memangggil pemilik kedai untuk membayar
makanan dan minuman mereka.
Mata Gajahmada sempat melihat keduanya tengah keluar dari
kedai itu.
“Paman, kemarilah”, berkata Gajahmada kepada pemilik kedai
itu yang tengah membersihkan meja.
“Apakah ki sanak perlu menambah minuman?”, bertanya
pemilik kedai itu sambil menghampiri Gajahmada.
“Aku hanya ingin bertanya, apakah paman mengetahui
tentang mustika batu Tuban?”, bertanya Gajahmada kepada
pemilik kedai itu.
Terlihat pemilik kedai itu tidak langsung menjawab, matanya
berpaling sebentar seperti tengah memastikan bahwa tidak ada
siapapun di kedai itu selain mereka berdua.
“Sudah sepekan ini aku melihat ada beberapa orang yang
memang tengah memburu batu mustika itu”, berkata pemilik
kedai itu dengan suara pelan, seperti takut didengar orang.
“Baru pada sepekan ini?”, bertanya kembali Gajahmada.
“Cerita tentang mustika batu Tuban memang sudah kami
dengar secara turun temurun dari para orang tua kami, namun
baru sepekan ini banyak orang berdatangan untuk memburunya”,
berkata pemilik kedai itu.
“Apa yang paman ketahui dari cerita tentang mustika Batu
Tuban itu”, bertanya Gajahmada.
“Ketika aku masih kecil, orang tuaku pernah bercerita bahwa
seekor naga langit telah turun ke bumi untuk bertelur. Akhirnya
naga langit itu telah menemukan sebuah tempat yang sangat baik
untuk bertelur yaitu di sebuah goa yang terlindung oleh sebuah
air terjun. Naga langit itu hanya bertelur tiga butir, sesudah lama
dierami dua butir telur itu menetas. Dua bayi naga langit itu telah
di bawa terbang oleh naga langit itu, maka tinggal sebutir telur
naga langit yang sembuhuk (gagal menetas) menjadi sebuah batu.
Hingga pada suatu hari seorang pengembara telah
menemukannya”, berkata pemilik kedai itu menghentikan
sejenak ceritanya.
”Ternyata batu itu adalah sebuah mustika, telah membuat
perbawa tersendiri siapapun yang memilikinya akan disanjung
penuh hormat, seorang hamba akan patuh, seorang kawan akan
setia, dan musuh akan gentar menghadapinya. Konon
pengembara itu telah membangun sebuah istana di hutan
Jatirogo dan menjadi seorang raja yang menguasai separuh dari
bumi ini”, berkata kembali pemilik kedai itu melanjutkan
ceritanya, terlihat menarik nafas dalam-dalam sambil
mengumpulkan kembali ingatan cerita dari orang tuanya itu.
“Orang tuaku tidak bercerita lebih jauh, mengapa batu
mustika itu akhirnya di kembalikan ke tempatnya semula oleh
Raja itu dan telah kembali menjadi seorang pengembara biasa
sebagaimana sebelumnya”, berkata pemilik kedai itu mengakhiri
ceritanya tentang mustika batu Tuban.
“Apakah paman mengetahui, dimana goa tempat naga langit
itu bertelur?”, bertanya Gajahmada.
“Orang tuaku mengatakan bahwa goa itu berada di balik air
terjun Nglirip”, berkata pemilik kedai itu. “Namun tidak ada
seorang pun yang berani masuk ke goa itu, mereka percaya
bahwa naga langit masih selalu menjaga tempat itu, menjaga
dengan lidah apinya. Ada sebuah cerita seseorang telah mencoba
naik ke atas goa itu, namun belum sampai sudah terbakar dan
tersambar sebuah petir”, berkata kembali pemilik kedai itu.
“Apa hubungannya goa itu dengan Nyi Ajeng Nglirip?”,
bertanya kembali Gajahmada.
“Nampaknya Kisanak belum mengetahui tentang wanita itu”,
berkata pemilik kedai itu sambil tersenyum kepada Gajahmada.
“Aku baru mendengar nama itu dari dua orang pengunjung
kedai ini”, berkata Gajahmada.
“Sekitar empat atau lima bulan yang lalu, sebuah rombongan
kecil datang dan menetap di sekitar air terjun Nglirip. Pemimpin
rombongan itu adalah seorang wanita. Para warga di sekitarnya
memanggilnya dengan sebutan Nyi Ajeng Nglirip. Ada beberapa
warga yang sakit telah dapat disembuhkan oleh wanita itu.
Namun entah siapa yang menghembuskan berita bahwa wanita
itu telah memiliki Mustika Batu Tuban, sehingga sudah sepekan
ini banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk
merebut benda mustika itu dari tangan Nyi Ajeng Nglirip yang
baik hati itu”, berkata pemilik kedai itu.
“Baru tadi kudengar dari dua orang pengunjung kedai ini,
bahwa Nyi Ajeng Nglirip akan menemui para pemburu mustika
itu pada hari kedua purnama bulan ini”, berkata Gajahmada.
“Dua tiga orang pernah datang di hari yang berbeda, namun
mereka semua telah kembali dengan tangan hampa sebab tidak
dapat mengalahkan Nyi Ajeng Nglirip. Mungkin Nyi Ajeng
Nglirip tidak ingin susah menghadapi orang satu persatu, telah
membuat sebuah tantangan terbuka, menghadapi semua orang
para pemburu Mustika Batu Tuban di hari yang sama, dua hari
sesudah purnama bulan ini”, berkata pemilik kedai itu kepada
Gajahmada.
“Terima kasih untuk cerita tentang Mustika Batu Tuban itu”,
berkata Gajahmada sambil membayar lebih untuk makanan dan
minuman kepada pemilik kedai itu.
Tidak susah memang untuk mencari tahu jalan menuju ke air
terjun Nglirip, hampir semua orang di padukuhan itu telah
mengetahuinya.
“Lihatlah bukit di seberang itu, di sana lah air terjun itu
bersumber. Ki sanak harus menuruni lembah untuk
mendekatinya”, berkata seorang lelaki memberikan arah menuju
air terjun Nglirip kepada Gajahmada.
Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan istana,
terutama didikan langsung Jayakatwang, seorang mantan Raja
besar di Kediri, telah membuat Gajahmada dapat berpikir cerdas
dan berwawasan lebih luas lagi memahami setiap kejadian.
Gajahmada dapat menangkap bahwa berita angin tentang
Mustika Batu Tuban itu sengaja dihembuskan agar semua mata
dapat tertipu tidak melihat sebuah kekuatan tengah dipersiapkan.
“Berita mustika itu telah memalingkan semua orang,
kehadiran para prajurit dari Sunginep dapat mengalir tanpa
diketahui oleh siapapun”, berkata Gajahmada dalam hati yang
telah mampu dapat membaca suasana di sekitar Tuban itu
berkaitan dengan sikap Adipati Ranggalawe yang bermaksud
memisahkan diri dari kedaulatan Majapahit.
Demikianlah, Gajahmada belum keluar dari Kademangan
Singgahan, telah mulai mengamati suasana di beberapa
padukuhan.
Terlihat Gajahmada mulai berkeliling dari satu padukuhan ke
padukuhan lainnya. Tidak seorang pun yang menaruh curiga
kepadanya, mereka melihat Gajahmada hanya sebagai seorang
pengembara biasa. Beruntung bahwa di jaman itu para
pengembara sudah menjadi sebuah pemandangan umum,
mereka sudah biasa melihat para pengembara datang dan pergi
tanpa tentu arah dan tujuannya.
Hari kedua sesudah bulan purnama. Gajahmada teringat
pertemuannya dengan seorang pemilik kedai, bahwa hari ini
adalah hari tantangan terbuka dari Nyi Ajeng Nglirip kepada para
pemburu Mustika Batu Tuban.
Bergegas Gajahmada mencoba mencari arah untuk menuju ke
air terjun Nglirip.
Maka dengan kesaktian ilmunya yang tinggi, tidak ada
kesukaran apapun untuk menuruni sebuah lembah dan mendaki
sebuah bukit. Tubuh Gajahmada terlihat begitu ringan melesat
seperti tidak menyentuh bumi.
“Air terjun Nglirip”, berkata Gajahmada dalam hati manakala
menyusuri sebuah sungai telah mendengar suara gemuruh air
terjun yang terhempas jatuh ke bawah.
Terlihat langkah Gajahmada terhenti sejenak, melihat sudah
banyak orang berada dekat dengan air terjun Nglirip yang tiada
henti bergemuruh.
“Mereka pasti para pemburu Mustika Batu Tuban itu”, berkata
Gajahmada dalam hati sambil berpikir mencari jalan memutar
untuk melihat dari dekat tanpa diketahui oleh siapapun.
“salah seorang dari dua wanita itu pasti adalah Nyi Ajeng
Nglirip”, berkata Gajahmada manakala sudah dapat mendekati
air terjun Nglirip tanpa diketahui oleh siapapun.
Yang tengah dilihat oleh Gajahmada adalah dua orang wanita
yang berada di dalam sebuah tajuk sederhana. Namun wajah
mereka masih terhalang air terjun dan kabut tipis percikan air
terjun.
Nampaknya Nyi Ajeng Nglirip telah mempersiapkan sebuah
tajuk sederhana dekat dengan kubangan jatuhnya air terjun agar
para pemburu mustika itu tidak mengusik ketenangan
padepokannya.
“Nyi Ajeng Nglirip, serahkan Mustika Batu Tuban itu
kepadaku”, berkata salah seorang dari para pemburu mustika itu
dengan suara lantang mencoba mengalahkan suara gemuruh air
terjun.
“Mustika Batu Tuban itu bukan milikku, masih ada didalam
goa. Bila kalian ingin memilikinya, cobalah ambil sendiri”,
berkata salah seorang diantara wanita itu yang lebih tua dari
wanita di sebelahnya. Dan suara wanita itu begitu lembut namun
terdengar sangat jelas mengalahkan gemuruh air terjun.
“Ajian Gelap Ngampar”, berkata Gajahmada dalam hati
manakala mendengar suara yang dilontarkan oleh wanita itu
seperti bergema memenuhi hutan tempat air terjun berada.
“Nyi Ajeng Nglirip, terima kasih telah mengijinkan aku
mengambil sendiri benda mustika itu”, berkata seorang lelaki
melangkah mendekati tajuk sederhana dan memberi hormat
kepada Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip membalas salam hormat orang tua
itu yang rambutnya telah dipenuhi warna putih.
Namun tiba-tiba saja seseorang telah datang menghadang
orang tua itu.
“Ki Welireng, langkahi mayatku sebelum kamu mendekati goa
itu”, berkata seorang lelaki yang berumur sama tuanya dengan
lelaki tua yang dipanggil dengan nama Ki Welireng itu.
“Ternyata penguasa Gunung Raung tidak ingin didahului,
bagaimana bila kamu biarkan aku mengambil batu mustika itu,
lalu turun melangkahi mayatmu”, berkata Ki Welireng sambil
tertawa.
“Sebelum kamu melangkah mendekati goa itu, kerisku sudah
memenggal lehermu”, berkata lelaki tua yang disebut sebagai
penguasa Gunung Raung itu sambil meraba gagang kerisnya.
“Ki Sembogo, nama besarmu hanya meraung-raung di sekitar
Gunung Raung, tidak akan bergema melebihi kabut di bawah
lembahnya. Tongkat kayuku akan menghentikan suara raungmu
itu yang tidak merdu itu”, berkata Ki Welireng sambil
mengangkat tongkat kayunya dengan sikap siap menantang.
“Kusumbat mulut besarmu”, berkata Ki Sembogo sambil
menarik keris di pinggangnya dan sudah langsung menerjang
tubuh Ki Welireng.
“Kerismu kurang cepat Ki Sembogo, rasakan pukulan
tongkatku”, berkata Ki Welireng sambil bergeser cepat
menghindari keris Ki Sembogo dan balas menyerang dengan
mengayunkan tongkatnya kearah kepala lawannya.
Nampaknya kedua orang itu sudah saling mengenal satu
dengan yang lainnya, sudah sering bertarung dan seperti telah
mengenal keistimewaan jurus lawannya. Maka terlihat mereka
berdua telah langsung bertarung dengan tataran tingkat
puncaknya.
Maka dalam waktu singkat, semua orang telah melihat sebuah
pertarungan antara dua orang berilmu tinggi itu, kadang melihat
kilatan cahaya keris Ki Sembogo yang datang seperti kilat
menyambar-nyambar, kadang juga melihat putaran tongkat kayu
di tangan Ki Welireng yang nyaris seperti putaran angin puting
beliung menggulung-gulung menutupi semua gerak Ki Sembogo.
Trang !!
Gajahmada yang memiliki penglihatan yang sangat tajam telah
dapat melihat ada dua buah kerikil dengan sengaja dilemparkan
dengan kekuatan tenaga penuh telah dengan jitu menggetarkan
senjata Ki Sembogo dan Ki Welireng. Kedua orang yang tengah
bertempur itu seketika seperti terdorong mundur beberapa
langkah.
“Hanya orang yang berilmu tinggi yang mampu
melakukannya”, berkata Gajahmada dalam hati dengan hati
berdebar ingin melihat siapa gerangan orang berilmu tinggi itu.
Gajahmada dari tempat persembunyiannya telah melihat
seorang tua renta dengan badan sedikit bungkuk tengah
mendekati Ki Sembogo dan Ki Welireng.
“Ki Seketi!!”, berkata Ki Sembogo dan Ki Welireng
berbarengan.
“Kalian adalah dua orang tua yang bodoh, mau saja di tipu
oleh wanita”, berkata orang itu yang dipanggil sebagai Ki Seketi
oleh Ki Sembogo dan Ki Welireng.
“Ternyata Ki Seketi dari Alas Rancange jauh-jauh telah datang
menikmati alam sekitar air terjun yang indah ini”, berkata Nyi
Ajeng Nglirip kepada orang tua renta yang baru datang itu.
“Terima kasih telah mengenal namaku yang tidak ternama
ini”, berkata Ki Seketi kepada Nyi Ajeng Nglirip.
“Siapa tidak mengenal pemilik pukulan tanpa bayangan”,
berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip kepada orang tua yang baru
datang itu.
“Pengenalanmu atas diriku ternyata sangat mencukupi,
namun ada satu yang tidak kamu ketahui, bahwa aku sangat
marah bila ada seseorang telah berbuat curang di depan mataku”,
berkata Ki Saketi kepada Nyi Ajeng Nglirip tanpa berpikir bahwa
wanita itu akan menjadi tersinggung dengan ucapannya.
Namun ternyata Nyi Ajeng Nglirip adalah seorang wanita yang
dapat menguasai perasaannya, tidak ada perubahan dalam warna
wajahnya sedikitpun.
“Bagaimana Ki Saketi dapat mengatakan bahwa aku ini
seorang penipu?”, bertanya Nyi Ajeng Nglirip kepada Ki Saketi
dengan wajah penuh senyum.
“Caramu telah membuat semua yang ada di sini mungkin akan
saling bertempur satu dengan yang lainnya, di ujungnya kamu
dengan mudah dapat melumpuhkan sisa orang yang dapat
selamat dalam pertempuran itu, dalam keadaan tenaga yang
sudah terkuras”, berkata Ki Saketi sambil mencoba menilik wajah
Nyi Ajeng Nglirip apakah kata-katanya dapat mengena.
Namun sekali lagi Ki Saketi tidak melihat perubahan apapun
di wajah wanita yang terlihat masih cantik itu meski usianya
sudah dapat dikatakan sudah tidak muda lagi.
Dan sambil tertawa renyah, Nyi Ajeng Nglirip berujar, “aku
ingin mendengar apakah Ki Saketi punya usulan yang lebih
baik?”, berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Ki Saketi.
Perkataan Nyi Ajeng Nglirip datang seperti sebuah pedang
mengancam tepat di ujung leher Ki Seketi.
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu telah membuat Ki
Saketi terkejut, tapi itu tidak lama, sekejab kemudian terlihat
wajah aslinya yang sangat dingin tanpa perasaan.
“Usulku adalah terbalik dari caramu semula, jadi semua orang
disini akan mengeroyok dirimu baru kemudian kami akan saling
bertempur”, berkata Ki Saketi dengan wajah dinginnya.
Perkataan Ki Seketi dirasakan seperti sebuah serangan balik
yang langsung menyudutkan diri Nyi Ajeng Nglirip.
Namun wanita itu dengan cepat menguasai perasaannya
sendiri, seperti punya tameng berlapis-lapis menutupi wajah
aslinya.
“Bila caramu memang lebih baik, aku siap untuk
mengikutinya. Siap dikeroyok oleh semua yang hadir di air terjun
ini. Biarlah semua orang akan menertawakan bahwa hari ini ada
dua wanita telah dikeroyok bersama”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
sambil menilik perubahan di wajah Ki Seketi.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip tersenyum melihat Ki Seketi seperti
terperangkap dengan perkataannya itu.
“Dan hari ini akan menjadi berita besar, bahwa seorang seperti
Ki Seketi ikut bersama sebagai seorang pengeroyok”, berkata
kembali wanita itu dengan wajah datar tanpa sedikitpun terlihat
kegentarannya.
Lama Ki Seketi terdiam, perkataan wanita itu memang seperti
sebuah senjata tajam langsung mengancam batang lehernya
sendiri. Sebagai seorang yang sangat disegani dan dihormati di
sepanjang pesisir pantai utara itu memang terlihat menjadi
sangat gelisah.
Namun bukan Ki Seketi bila tidak dapat keluar dari perangkap
perang kata-kata itu.
Terlihat Ki Seketi telah tertawa bergema mengisi seluruh
kawasan air terjun Nglirip, semua orang seperti tergetar dadanya.
“Dengarlah, wanita di hadapan kita telah menantang kita
semua, habisi kedua wanita itu”, berkata Ki Seketi dengan suara
lantang mengalahkan suara gemuruh air terjun.
Suara Ki Seketi memang seperti sebuah sihir telah
menggerakkan semua orang yang ada di air terjun itu untuk
mendekati tajuk.
Berdebar jantung Gajahmada melihat semua orang telah
bersiap untuk menyerang kedua wanita yang ada di dalam tajuk
itu.
Dan dada Gajahmada menjadi semakin berdebar manakala
telinganya telah mendengar suara petikan kecapi tiba-tiba saja
mengisi tiap relung dinding dan udara di sekitar air terjun itu.
“Tembang hina kelana?”, berkata dalam hati Gajahmada yang
sangat mengenal tembang petikan suara kecapi itu.
Belum sempat berpikir apapun, Gajahmada telah melihat
beberapa orang telah memegang dadanya, beberapa orang lagi
sudah langsung jatuh pingsan.
Ternyata pemetik suara kecapi itu telah melambarinya dengan
kekuatan tenaga inti sejati tingkat tinggi setara dengan ajian
gelap Ngampar yang sangat terkenal itu.
Untuk melindungi dirinya sendiri, Gajahmada telah
melambari dirinya sendiri agar tidak termakan goncangan suara
kecapi itu.
“Siapakah gerangan pemetik kecapi itu?”, bertanya Gajahmada
dalam hati sambil menyelinap menyeberang mendekati tajuk
sederhana dimana dua wanita itu masih ada di sana.
Sementara itu suara kecapi masih terus bergema menghentak
dan menggetarkan dada semua orang, diantara sekian banyak
orang yang ada di air terjun Nglirip itu, hanya tiga orang yang
masih dapat bertahan tidak terpengaruh suara petikan kecapi,
mereka bertiga adalah Ki Seketi, Ki Welireng dan Ki Sembogo.
Bukan main terperanjatnya Gajahmada manakala telah berada
tidak jauh dari tajuk sederhana itu.
Apa yang telah membuat diri Gajahmada terperanjat?
Ternyata Gajahmada dari tempatnya bersembunyi telah
melihat jelas wajah kedua orang wanita yang berada diatas bale
bambu tajuk itu. Dan Gajahmada telah mengenal siapa kedua
wanita itu.
Namun Gajahmada harus melepas rasa terperanjatnya ketika
melihat dengan cepat kedua wanita itu telah melenting keluar
dari dalam tajuk.
Gajahmada menahan nafas manakala telah melihat tajuk
sederhana itu hancur porak poranda tak berbentuk lagi.
Ternyata Ki Seketi telah tidak sabar lagi ingin menghentikan
suara getar kecapi dengan jalan melepaskan pukulan andalan
perguruannya yang terkenal itu, pukulan tanpa bayangan.
Untung saja kedua wanita itu telah merasakan sebuah angin
pukulan tak terlihat kasat mata akan mengancam diri mereka,
maka sebelum prahara angin pukulan itu datang, mereka berdua
telah meloncat menyelamatkan diri.
Terlihat Ki Seketi dengan penuh kebanggaan tertawa panjang.
Namun tawa Ki Seketi yang panjang itu tiba-tiba saja terhenti.
Ternyata pendengarannya yang tajam telah mendengar suara
alunan seruling, namun dirinya sama sekali tidak mengetahui
arah sumber suara itu berasal sebab suara itu seperti berputar
dari segala penjuru.
Kecut hati Ki Seketi ketika merasakan getaran suara seruling
itu lebih dahsyat dari getaran suara kecapi. Meski telah
melambari dirinya dengan kekuatan inti sejati yang dimiliki,
suara seruling itu masih saja terasa menghimpit rongga dadanya.
Sementara itu Ki Sembogo dan Ki Welireng terlihat sudah
duduk bersila memejamkan matanya menahan getaran suara
seruling dengan kesaktian tenaga sejati miliknya. Namun suara
seruling itu seperti tidak mampu dibendung, dada mereka seperti
terhimpit batu gunung yang amat besar.
Bukan main terkejutnya Ki Seketi manakala melihat Ki
Sembogo dan Ki Welireng yang diketahuinya mempunyai tenaga
sakti hanya setingkat dibawahnya tengah berusaha sekuat tenaga
menahan getaran suara seruling itu. Terlihat di ujung bibir kedua
orang sakti itu masing-masing telah mengalir darah hitam.
Nampaknya tenaga sakti sejati mereka sendiri telah berbalik arah
menghantam jantung mereka sendiri yang tidak kuat menahan
tekanan getaran lewat suara seruling yang masih terus terdengar
berputar-putar dari berbagai penjuru mata angin.
Sementara itu kedua wanita yang telah keluar dari tajuk tidak
merasakan tekanan dari suara seruling itu, nampaknya peniup
seruling itu dapat mengendalikan arah suara serulingnya.
“Hanya orang yang sudah sangat mumpuni saja yang dapat
mengendalikan kemana arah serangan suara”, berkata Nyi Ajeng
Nglirip kepada wanita di dekatnya.
“Sepertinya aku telah mengenal siapa peniup seruling itu”,
berkata wanita itu kepada Nyi Ajeng Nglirip.
“Kamu telah mengenal peniup seruling itu?”, bertanya Nyi
Ajeng Nglirip kepada wanita itu.
Terlihat wanita itu menjawabnya dengan sebuah anggukan
kepala perlahan.
“Hanya ada satu orang yang dapat menembangkan seruling
hina kelana”, berkata wanita itu sambil matanya mencari arah
sumber suara seruling.
Sebagaimana Ki Seketi, wanita itu juga tidak dapat mencari
sumber arah suara seruling itu yang masih terdengar berputar-
putar dari segala arah penjuru mata angin.
“Tunjukkan dirimu, tunjukkan dirimu adalah seorang ksatria
sejati”, berkata lantang Ki Seketi merasa putus asa tidak juga
menemukan arah sumber suara pemilik seruling itu.
Maka tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti.
Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda membawa sebuah
seruling bambu dari balik sebuah gerumbul semak dan pohon
perdu.
“Kakang Mahesa Muksa”, berkata wanita di sebelah Nyi Ajeng
Nglirip memandang tidak percaya kehadiran pemuda itu.
“Ternyata anak nakal itu”, berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
tersenyum memandang kearah pemuda yang muncul tiba-tiba
itu.
“Nyi Ajeng mengenalnya ?”, bertanya heran wanita itu kepada
Nyi Ajeng Nglirip.
“Sejak kecil anak muda itu bersama kami, di Balidwipa, di
Tanah Wangi-wangi dan terakhir di tanah Ujung Galuh”, berkata
Nyi Ajeng Nglirip yang nampaknya telah mengenal pemuda
peniup seruling itu.
Namun pembicaraan kedua wanita itu terhenti ketika
mendengar suara Ki Seketi yang mengguntur penuh kemarahan.
“Suara serulingmu memang dahsyat, tapi jangan berbangga
hati sebelum merasakan pukulanku”, berkata Ki Seketi sambil
membuat sebuah gerakan memukul angin.
Ternyata Ki Seketi tidak asal sesumbar, dari tangannya keluar
angin pukulan kasat mata seperti sebuah prahara menerjang
kearah anak muda itu peniup seruling itu yang tidak lain adalah
Gajahmada.
Nampaknya Gajahmada seperti memiliki mata bathin yang
sangat tajam, telah mengetahui bahaya angin pukulan tak terlihat
kasat mata itu tengah mengancam dirinya.
Maka terlihat Gajahmada sudah bergeser cepat menghindari
serangan pukulan tanpa bayangan itu, sebuah ilmu andalan Ki
Seketi yang sangat dibanggakannya hingga sangat disegani di
sepanjang pesisir pantai utara Jawadwipa.
“Tikus busuk !!”, berkata geram Ki Seketi melihat sasarannya
dapat meloloskan diri.
Bukan main akibat serangan pukulan tanpa bayangan dari Ki
Seketi itu, terlihat sebuah batu besar hancur pecah terbelah-belah
terkena sasaran pukulan itu.
Kembali sebuah pukulan dari tangan Ki Seketi telah meluncur
menerjang kearah Gajahmada, namun sebagaimana sebelumnya,
kembali anak muda itu dengan mudahnya telah melenting ke
tempat lain menghindari serangan tak terlihat kasat mata itu.
“Kadal buntung !!!”, kembali sumpah serapah keluar dari
mulut Ki Seketi itu melihat sasarannya telah melenting jauh.
Demikianlah, Ki Seketi terus menyerang dengan pukulan jarak
jauhnya itu kemana pun Gajahmada berpijak.
Sumpah serapah masih saja terdengar dari mulut Ki Seketi
bersamaan dengan lolosnya sasaran tempurnya.
Suasana di kawasan air terjun itu sudah tidak utuh lagi,
pepohonan tumbang, batu keras hancur terbelah, tanah merah
dan semak belukar terbang berserakan terkena sasaran pukulan
jarak jauh dari Ki Seketi yang sangat dahsyat itu seperti angin
prahara terus mengejar kemana pun Gajahmada menghindar.
“Anak setan !!”, berkata Ki Seketi sambil menghentikan
serangannya.
Ternyata Ki Seketi telah melihat Gajahmada telah memecahkan
dirinya menjadi sepuluh orang yang sama terlihat tengah berlari
mengelilingi tubuh Ki Seketi.
Rupanya Gajahmada sudah merasa bosan selalu menjadi
sasaran serangan Ki Seketi. Dengan gerakan yang sangat cepat
menerapkan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris mendekati
kesempurnaan itu berputar mengelilingi tubuh Ki Seketi.
“Aku dapat menyerangmu dari berbagai arah”, berkata
Gajahmada kepada Ki Seketi dengan nada suara penuh ancaman.
Terlihat Ki Seketi berdiri terpaku dengan jantung berdebar
keras merasa perkataan Gajahmada bukan omong kosong belaka,
benar-benar sebuah ancaman.
Ki Seketi masih terpaku berdiri di tempatnya manakala salah
satu dari kesepuluh ujud Gajahmada itu telah melepaskan sebuah
lidah api berwarna kuning emas dan meluncur menghantam
sebuah batu sebesar kepala kerbau di dekat tubuh Ki Seketi.
Darah Ki Seketi seperti berhenti seketika manakala
menyaksikan dengan mata terbuka sebuah batu sebesar kepala
kerbau itu hancur berdebu terbang berhamburan.
Terlihat wajah Ki Seketi menjadi pucat seperti tidak ada darah
di tubuhnya telah membayangkan bila saja pukulan itu diarahkan
ke tubuhnya sendiri dari arah yang tidak mungkin dapat
dihindari.
“Ampunilah diriku yang tidak mengenal tingginya puncak
gunung berdiri di hadapanku sendiri”, berkata Ki Seketi dengan
suara yang masih bergetar memohon belas kasih dari Gajahmada.
“Aku bukan dewa pencabut nyawa, tidak punya kekuasaan
apapun memendek dan memanjangkan hidup seorang manusia.
Bersyukurlah bahwa kamu masih menikmati udara di
sekelilingmu”, berkata Gajahmada kepada Ki Seketi yang masih
gemetar itu.
“Bolehkah aku yang tua ini mengenal siapa kamu orang muda.
Agar kepada keluarga dan keturunanku dapat kuceritakan bahwa
di tempat air terjun ini ada orang yang baik hati telah memberi
kesempatanku untuk hidup lebih lama lagi”, berkata Ki Seketi
kepada Gajahmada.
“Namaku Gajahmada”, berkata Gajahmada.
“Terima kasih, aku akan selalu mengingatnya”, berkata Ki
Seketi sambil memberi hormat dan berbalik badan dan
melangkah pergi.
Terlihat Gajahmada menghampiri dua orang wanita yang
masih berdiri.
“Gusti Kanjeng Ratu Gayatri, ampuni hamba yang punya
sedikit kepandaian ini telah mengambil alih semua ini, sebab
hamba tidak ingin tangan Gusti Kanjeng kotor sebab nya”,
berkata Gajahmada penuh hormat kepada wanita yang biasa
dipanggil Nyi Ajeng Nglirip itu.
“Jangan hambakan dirimu sebab aku sudah jauh keluar dari
kehidupan istana, orang-orang disini telah memanggilku dengan
nama Nyi Ajeng Nglirip, panggillah aku sebagaimana mereka
memanggilku, wahai Mahesa Muksa”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Gajahmada dengan wajah penuh senyum merasa gembira
telah bertemu dengan Gajahmada yang dikenalnya sejak kecil
bernama panggilan, Mahesa Muksa.
Terlihat arah pandang mata Gajahmada telah beralih kepada
wanita yang lain, seorang wanita bermata indah yang juga tengah
memandangnya.
“Andini, aku tidak menyangka bahwa kita dapat bertemu
kembali di tempat ini”, berkata Gajahmada menyapa wanita itu
yang ternyata adalah Andini, putri Bango Samparan sang
penguasa Rawa Rontek dari tanah Pasundan.
“Ceritanya sangat panjang, aku takut Kakang Mahesa Muksa
menjadi bosan mendengarnya”, berkata Andini dan menutup
kata-katanya dengan sebuah senyum yang amat-amat manis
dalam pandangan Gajahmada.
“Ternyata kalian berdua memang telah saling mengenal”,
berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil memandang keduanya saling
bergantian.
Sementara itu dari beberapa semak belukar terlihat
bermunculan beberapa lelaki dan perempuan. Ternyata mereka
adalah para pengikut setia Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip telah memberi perintah kepada
orang-orangnya itu untuk membawa dan merawat beberapa
orang yang masih pingsan ke padepokannya yang tidak begitu
jauh dari air terjun Nglirip itu.
Demikianlah, Gajahmada telah diajak oleh Nyi Ajeng Nglirip
ke Padepokannya.
Di padepokannya, Nyi Ajeng Nglirip yang sebenarnya adalah
Kanjeng Ratu Gayatri itu telah menerima Gajahmada seperti
sanak keluarga sendiri yang sudah lama tidak berjumpa.
Diatas pendapa padepokan, Nyi Ajeng Nglirip banyak bercerita
tentang suka duka sebagai keluarga istana Singasari yang harus
berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam suasana
pengasingan.
“Mahesa Muksa masih sangat kecil pada saat itu. Yang kuingat
dia adalah anak yang sangat nakal di Tanah Wangi-wangi. Patih
Mahesa Amping yang ditugaskan melindungi keluarga istana
sangat menyayanginya”, berkata Nyi Ajeng Nglirip tentang
Gajahmada sewaktu kecil yang didengar oleh Andini dan
Gajahmada sendiri.
Gajahmada kemudian bercerita tentang pengembaraannya di
Tanah Pasundan kepada Nyi Ajeng Nglirip.
“Gajahmada, sebuah nama yang bagus”, berkata Nyi Ajeng
Nglirip manakala Gajahmada bercerita tentang sebuah upacara
penggantian namanya di istana Rakata.
“Kakang Gajahmada, aku akan mulai merubah panggilanku
kepadamu”, berkata Andini dengan wajah tersenyum.
Sementara itu matahari diatas padepokan yang tidak jauh dari
air terjun Nglirip itu terlihat sudah di awal senja, wajah udara
bumi terlihat bening dan daun seperti terdiam beku tanpa angin
sedikitpun.
“Kamu belum bercerita tentang dirimu, perjalananmu yang
jauh dari tanah Pasundan”, berkata Gajahmada kepada Andini
manakala Nyi Ajeng Nglirip pamit sebentar untuk melihat
keadaan orang-orang yang tadi siang telah pingsan di sekitar air
terjun.
“Semula aku datang di tanah timur Jawadwipa ini hanya untuk
membenarkan perasaan hati ini, seberapa besar cinta dan
kerinduan yang ada di dalam hati ini kepada seorang lelaki yang
aku tak tahu apakah dirinya mempunyai perasaan yang sama
sebagaimana diriku ini”, berhenti sebentar Andini sambil
menatap wajah Gajahmada.
“Siapakah lelaki yang beruntung itu, wahai Andini ?”, berkata
Gajahmada dengan perasaan penuh berdebar-debar keras.
“kamulah wahai Kakang Gajahmada, kamulah lelaki itu”,
berkata Andini sambil menatap wajah Gajahmada, terlihat mata
indahnya sudah mulai berkaca-kaca.
“Salahkan aku ini, salahkan aku sebagai lelaki yang tidak
punya keberanian mengungkapkan kebenaran hati, seorang lelaki
yang selalu dipenuhi rasa takut, rasa bersalah. Aku telah memilih
persahabatan, memilih Pangeran Jayanagara yang akan terluka
bila saja ku perjuangkan perasaan cintaku kepadamu. Siang dan
malam aku sering bertanya-tanya, apakah langkahku ini sebuah
kebenaran. Siang dan malam belum juga kudapat jawaban
kepastian atas keraguan hati ini. Akhirnya ku tutup perasaan hati
dan kerinduan ini, hanya dengan sebuah kata bahwa cinta adalah
penjara hati”, berkata Gajahmada kepada Andini yang dilihatnya
sudah meneteskan air matanya.
“Kakang Gajahmada, aku sudah puas mendengar semua
pengakuanmu, aku sudah merasa bahagia dengan semua
perkataanmu itu”, berkata Andini menatap Gajahmada penuh
kebahagiaan, Namun mata indahnya telah berlinang air mata.
“Mengapa kamu menangis, wahai Andini ku”, berkata
Gajahmada merasa bersalah.
“Kakang tidak bersalah, suratan takdir juga tidak akan salah
menggariskan semua perjalanan manusia. Kita telah digariskan
untuk saling menyintai, namun kita telah digariskan juga untuk
tidak dapat bersatu. sebab aku telah memilih jalanku sendiri,
jalan yang telah membebaskan diriku dari penjara hati, penjara
keinginan, hasrat dan semua nafsu duniawi, aku telah menjadi
seorang Bhiksuni.
Perkataan Andini didengar oleh Gajahmada seperti sebuah
petir membelah-belah udara bumi, melemparkan perasaan
Gajahmada seperti terjatuh di titian panjang dan terjungkal
melayang ke ujung jurang tak berdasar.
“Relakanlah aku, wahai Kakang Gajahmada ku. Pintu Nirwana
telah terbuka untuk hatiku, relakanlah aku untuk memasukinya.
Hanya itu permintaan dariku, seorang wanita yang kamu cintai
dan juga mencintaimu”, berkata Andini kepada Gajahmada masih
dengan air mata memenuhi wajahnya.
Daun perdu di ujung halaman padepokan seperti membeku,
hanya suara anak sungai dan deru air terjun Nglirip yang masih
terus terdengar memenuhi suasana hati kedua anak manusia
yang menatap mega-mega yang juga tak bergerak, membeku.
Akhirnya kebekuan itupun mencair manakala Nyi Ajeng
Nglirip telah datang kembali bersama mereka.
Dan tanpa ada yang ditutupi, Gajahmada telah bercerita
tentang suasana yang semakin meruncing antara Baginda Raja
Sanggrama Wijaya dan Adipati Ranggalawe.
“Tugasku di daerah Tuban ini hanya untuk memastikan,
bahwa Adipati Ranggalawe benar-benar telah ada keinginan
untuk memisahkan diri dari Majapahit Raya”, berkata
Gajahmada kepada Nyi Ajeng Nglirip dan Andini.
“Persahabatan akan menjadi cedera, manakala dua hati saling
bercuriga, dan kebijaksanaan seorang raja besar nampaknya
tengah diuji. Kerajaan Majapahit tengah berada di persimpangan
jalan, berhenti atau maju terus dengan memerangi para sahabat
dekat yang akan menjadi tumbal-tumbal kebesaran hari depan
dalam kejayaan dan kegemilangan”, berkata Nyi Ajeng Nglirip
sambil menatap rumput-rumput liar di halaman padepokan yang
merunduk di wajah udara bumi yang sudah berada di ujung senja
itu.
Dan senja memang telah pergi, perlahan semak dan daun
perdu di ujung halaman muka Padepokan Nyi Ajeng Nglirip itu
mulai kabur remang dalam pandangan.
“Beristirahatlah, bilik untukmu telah dipersiapkan”, berkata
Ni Ajeng Nglirip kepada Gajahmada.
Ketika telah memasuki biliknya, Gajahmada hanya berbaring
tidak dapat memejamkan matanya.
Sementara itu di bilik yang lain, seorang gadis jelita tengah
memandang sebuah kecapi kayu di atas meja kecil di ujung
peraduan.
Gadis jelita itu adalah Andini, yang lama duduk diatas
peraduannya seperti tidak ingin melepas matanya dari kecapi
miliknya itu yang telah memberinya begitu banyak kenangan
yang indah.
Sementara itu suara air terjun Nglirip seperti tidak pernah
berhenti bergemuruh mengisi sepi malam, dibawah sinar
rembulan yang terpotong awan hitam diantara kepak-kepak
kelelawar yang datang dan pergi mengarungi malam dan
kegelapan.
Akhirnya suara ayam jantan telah datang membuka tirai
cakrawala langit bersama gerimis hujan pagi membasahi
rerumputan di halaman muka padepokan kecil itu.
“Padepokanku ini adalah rumahmu juga, wahai ksatria
Majapahit. Dalam perang dalam damai, padepokan ini akan
selalu terbuka untukmu. Kutitipkan kepadamu kedua putriku,
Gajatri dan Wiyat.
Bawalah mereka mengunjungi ibundanya sekali waktu adalah
seteguk air kerinduan yang membasuh dahaga sepi hari-hariku”,
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Gajahmada yang akan
melanjutkan perjalanannya mengamati daerah sekitar Tuban.
“Terima kasih, aku akan sering singgah selama berada di
daerah Tuban ini”, berkata Gajahmada kepada Nyi Ajeng Nglirip
sambil sebentar mengarahkan pandangannya kepada Andini yang
ikut mengantarnya hingga menuruni anak tangga pendapa
padepokan itu.
Deru gemuruh air terjun Nglirip sudah semakin menjauh
seiring langkah Gajahmada yang telah berjalan meninggalkan
padepokan kecil itu, meninggalkan sepotong hati pemilik
sepasang mata indah yang selalu mengiringi setiap langkahnya
disaat sepi sendiri.
“Hati Andini telah dipersembahkan kepada pemilik alam
semesta ini, dan kami tidak dapat lagi berbagi untuk saling
memiliki”, berkata Gajahmada dalam hati sambil memandang
mega-mega yang terbang berlari terbawa angin membentuk
wajah dan rupa baru. “Begitulah kehidupan ini seperti mega-
mega yang ringan terbang mengikuti keinginan sang penciptanya,
menerima apapun kehendak garis angin kehidupan dalam rupa
dan bentuk baru di sepanjang waktu”, berkata Gajahmada
merenungi arti garis kehidupannya.
Ternyata langkah kaki Gajahmada telah berjalan ke arah
timur, menyusuri lembah dan tanah perbukitan yang hijau.
Sinar cahaya matahari terhalang daun dan hijaunya gerumbul
hutan berbukit membuat langkah kaki Gajahmada tidak terasa
telah memasuki sebuah Kademangan yang cukup ramai di siang
itu.
“Kisanak telah berada di Kademangan Montong”, berkata
seorang prajurit pengawal kademangan kepada Gajahmada yang
kebetulan berjalan seiring di jalan padukuhan.
“Dua orang prajurit Kademangan kulihat tergesa-gesa
mendahuluiku, apakah hari akan ada sebuah upacara besar di
rumah Ki Demang?”
Terlihat prajurit kademangan itu tersenyum mendengar
pertanyaan Gajahmada.
“Minggu depan memang akan ada upacara sedekah bumi,
menyambut panen raya di kademangan ini. Namun hari ini kami
para prajurit kademangan akan berlatih di lapangan terbuka
depan rumah Ki Demang. Ada seorang guru pelatih yang sengaja
didatangkan dari Kadipaten Tuban”, berkata prajurit muda itu.
Ketika mereka telah sampai di depan rumah Ki Demang
Montong, prajurit muda itu telah bergabung dengan kawan-
kawannya di lapangan terbuka.
Ada beberapa orang tua dan anak-anak kecil ikut menonton
para prajurit yang hari itu akan melakukan berbagai macam
latihan. Dan Gajahmada telah bergabung di sisi kiri lapangan
terbuka itu bersama beberapa orang warga yang ingin melihat
latihan para prajurit Kademangan itu.
Rupanya latihan hari itu adalah sebuah latihan berkuda, ada
sebuah orang-orangan dari jerami batang padi sebagai sebuah
sasaran dan tonggak-tonggak batang bambu sebagai perintang
yang diletakkan sengaja berliku-liku.
Satu persatu prajurit itu naik diatas kuda yang akan
dilarikannya mengelilingi satu putaran lapangan, sesudah itu
mereka harus melewati batang bambu yang berliku. Akhirnya
mereka kembali menghentakkan perut kudanya agar berlari
kencang mendekati orang-orangan. sesudah dekat seorang
prajurit harus melemparkan tombaknya dengan jitu mengenai
orang-orangan dari jerami padi itu.
Beberapa orang terlihat tertawa manakala menyaksikan salah
seorang prajurit Kademangan itu terjatuh ketika melewati
tonggak bambu yang berliku-liku.
Namun hati para penonton merasa terpukau manakala
menyaksikan seorang prajurit yang sangat tangkas mengendarai
kuda melewati tonggak-tonggak bambu dan berhasil
menancapkan tombak panjangnya tepat di tubuh orang-orangan
yang terbuat dari jerami padi itu.
Demikianlah, Gajahmada terus menyaksikan latihan para
prajurit di lapangan terbuka itu hingga sore.
Namun belum usai latihan itu, Gajahmada telah pergi
menghilang untuk melanjutkan perjalanannya mengamati
kademangan lainnya yang masih dalam kekuasaan wilayah
Tuban.
Hari ke hari Gajahmada memasuki beberapa Kademangan di
wilayah Tuban itu, ternyata Gajahmada mendapat sebuah
gambaran bahwa Adipati Ranggalawe memang tengah
mempersiapkan sebuah kekuatan lewat sebuah perintah khusus
menurunkan para pelatih keprajuritan di hampir semua
kademangan yang tersebar di wilayah Tuban itu.
Hingga di sebuah pagi, Gajahmada tidak sengaja telah
mendatangi sebuah Kademangan yang tengah melaksanakan
sebuah upacara sedekah bumi, seperti biasa upacara sedekah
bumi itu selalu dimeriahkan dengan menanggap kesenian Langen
tayub hingga siang harinya.
Terlihat Gajahmada telah melebur bersama warga setempat di
barisan penonton, sementara barisan tamu undangan istimewa
berada di sebelah kanan panggung di bawah sebuah tajuk,
nampaknya para pemuka Kademangan dan tamu kehormatan
dari Kadipaten Tuban.
Dari beberapa orang, Gajahmada dapat mengetahui bahwa
dalam upacara sedekah bumi itu dihadiri oleh putra Adipati
Tuban bernama Kuda Anjampiani bersama gurunya Ki Ajar
Pelandongan.
Itulah sebabnya Ki Demang telah menanggap kelompok
kesenian Langen Tayub yang terkenal disaat itu agar tidak
kehilangan muka di hadapan putra Adipati Ranggalawe dan
gurunya itu.
Terlihat para warga dan semua orang-orang yang hadir di
alun-alun Kademangan itu dengan penuh keheningan mendengar
seorang pendeta membacakan mantra-mantra suci berharap
panen di kademangan itu selalu baik, melimpah dan dijauhkan
dari segala mala petaka.
Maka tibalah yang dinantikan oleh semua warga pada saat itu,
yaitu sebuah pagelaran Langen Tayub dari sebuah kelompok
kesenian yang sangat tersohor di Kadipaten Tuban itu.
Terdengar suara riuh sorak dan sorai para penonton manakala
seorang pramugari atau landang membuka pagelaran kesenian
langen tayub.
Bertambah riuh suasana manakala rombongan waranggono
turun berlenggak-lenggok gemulai menarikan sebuah tarian
Gambyong, sebuah tarian mewakili kata sambutan selamat
datang para tetamu dan para penonton.
“Gending anyer, gending anyer !!”, berteriak beberapa
penonton meminta para waranggono melantunkan sebuah
gending terbaru mereka.
“Sabar, sabar”, berkata seorang Landang sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi berusaha meredam teriakan para
penonton.”Untuk para warga Kademangan ini, kami akan
membawakan sebuah gending anyer yang berjudul Ksatria
seruling sakti”, berkata seorang landang dihadapan para hadirin.
Mendengar gending Ksatria seruling sakti akan ditembangkan,
terdengar suara para penonton menyambutnya dengan penuh
kegembiraan.
Maka para waranggono melantunkan suaranya membawakan
gending terbaru mereka yang diangkat dari sebuah kisah nyata
yang baru-baru ini telah menggemparkan hampir semua orang di
seluruh wilayah Tuban saat itu, yaitu tentang para pemburu
mustika batu Tuban di air terjun Nglirip, dimana telah muncul
seorang ksatria berseruling sakti mengalahkan semua para
pemburu mustika.
Para seniman Langen tayub telah semakin mengharumkan
nama ksatria seruling sakti itu dengan menggubahnya menjadi
gending anyer ciptaan mereka yang selalu dilantunkan di setiap
pagelaran mereka.
Gajahmada yang telah melebur diantara para penonton
terlihat tersenyum sendiri manakala seorang waranggono
melantunkan gending ksatria seruling sakti,
Dua bidadari cantik turun dari langit, mandi di air terjun
Nglirip
Tiga raksasa datang memaksa membawa pergi sang bidadari.
Datanglah ksatria seruling sakti mengalahkan tiga raksasa
Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tuna wicara
Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tidak bisa
mengatakan cintanya.
Sayang seribu sayang, dua bidadari kembali ke langit, Sayang
seribu sayang.
Terlihat para hadirin seperti tersihir ikut mengibing bersama
sebagaimana para pengibing didepan panggung dengan sampur
di leher.
Namun suasana yang sangat meriah itu tiba-tiba terhenti,
suara gamelan berhenti dan para pengibing dan waranggono
terlihat mundur beberapa langkah dengan wajah cemas dan
dipenuhi rasa takut.
Ada apa gerangan ??
Ternyata di depan panggung telah berdiri seorang pemuda
dengan mengangkat tinggi-tinggi kerisnya dengan suara lantang
meminta gending ksatria seruling sakti itu dihentikan.
“Mulai hari ini aku tidak ingin gending Ksatria seruling sakti
kudengar di telingaku, juga ditembangkan di seluruh tanah
Tuban ini. Barang siapa melanggar aturanku, akan mendapat
hukuman dariku”, berkata pemuda itu yang diketahui bernama
Kuda Anjampiani, putra adipati Ranggalawe.
Suasana seketika menjadi begitu sepi, begitu lengang dan
begitu mencekam, tidak seorang pun berani membantah
perkataan Kuda Anjampiani yang diketahui mempunyai
kesaktian tinggi itu, apalagi bersamanya saat itu adalah gurunya
sendiri Ki Ajar Pelandongan.
Untung saja Landang yang diturunkan saat itu adalah seorang
landang yang mumpuni, dapat mengendalikan suasana
panggung.
“Terima kasih kami sampaikan kepada putra Adipati yang
perkasa, Adimas Kuda Anjampiani yang telah tampil di depan
panggung, untuk penghormatan dan kesetiaan kami kepada
junjungan yang mulia Adipati Ranggalawe, kami akan
menembangkan sebuah gending idaman yang lebih indah,
dipersilahkan kepada hadirin menikmati gending kami, Gambir
Sawit”, berkata seorang Landang mencoba meredam suasana
mencekam itu.
Suasana pun kembali seperti sedia kala, namun tetap saja ada
sebuah kekecewaan di hati para warga yang hadir disaat itu,
meski mereka tidak berani mengungkapkannya.
Mengapa seorang pemuda seperti Kuda Anjampiani itu begitu
membenci gending Ksatria seruling sakti ?
Semula bermula tentang sebuah kabar cerita tentang seorang
ksatria yang telah dapat mengalahkan hampir semua orang sakti
di air terjun Nglirip beberapa pekan yang lalu. Ksatria seruling
sakti tanpa nama itu telah menjadi pembicaraan hampir semua
orang di wilayah Tuban itu dan telah diagungkan oleh orang-
orang sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi adi jaya
mandraguna.
Berita itulah yang telah membuat telinga Kuda Anjampiani
seperti terbakar. Selama ini semua orang Tuban telah
mengagungkan keluarga Adipati Ranggalawe sebagai orang-
orang berilmu mempunyai kesaktian tinggi, tiada lawan tanding.
Keharuman nama Ksatria seruling sakti dapat memudarkan
nama keluarga Adipati Ranggalawe, dimana saat itu tengah
menyusun sebuah kekuatan tandingan menghadapi para
penguasa Majapahit. Dan kehadiran putra Adipati Ranggalawe
bersama gurunya di Kademangan itu adalah untuk mengangkat
kembali nama kehormatan dan kebesaran keluarga Adipati
Ranggalawe di hati orang-orang Tuban.
Gending pamungkas terdengar mendayu-dayu dibawakan oleh
para waranggono, sebagai pertanda bahwa pagelaran langen
tayub akan segera berakhir. Satu dua orang sudah mulai beranjak
dari tempatnya. Terlihat pula Gajahmada telah menyelinap
diantara kerumunan para penonton yang masih enggan
meninggalkan pagelaran langen tayub itu.
Suara gamelan gending langen tayub sudah terdengar sayup-
sayup manakala Gajahmada sudah keluar menjauhi kademangan
itu.
“Saatnya untuk mengamati Kadipaten Tuban lebih dekat lagi”,
berkata Gajahmada dalam hati membayangkan suasana di
Kadipaten Tuban pasti tidak berbeda jauh dengan suasana di
beberapa kademangan yang telah di amati, tengah menyusun
kekuatan para prajurit dalam latihan-latihan yang keras.
Matahari terlihat sudah condong lebih ke barat ketika
Gajahmada telah memasuki Kadipaten Tuban yang berdekatan
dengan pesisir pantainya.
Ternyata dugaan dan bayangan Gajahmada tentang suasana di
kadipaten Tuban sangat jauh dari yang diperkirakan, tidak
ditemuinya seorang pun prajurit yang tengah berlatih
sebagaimana yang ditemuinya di beberapa Kademangan.
“Mungkin aku datang disaat matahari sudah condong ke
barat”, berkata Gajahmada dalam hati.
Terlihat Gajahmada mencoba menyusuri jalan Kadipaten
Tuban yang telah mulai sepi itu, melewati istana Kadipaten
Tuban yang nampak megah dan kokoh di antara bangunan
sekitarnya. Tidak seorang pun yang memperhatikan langkah
pemuda itu, mungkin pakaian yang dikenakan seperti pakaian
para pengembara umumnya. Hingga akhirnya langkah
Gajahmada telah membawanya ke bandar pelabuhan Tuban yang
ternyata masih sangat ramai. Terlihat beberapa perahu dagang
tengah merapat di dermaga, beberapa buruh panggul tengah
membawa barang mengisi sebuah pedati.
“Nanti malam aku akan menilik keadaan barak prajurit”,
berkata Gajahmada dalam hati sambil melangkahkan kakinya ke
sebuah kedai yang masih buka di ujung bandar pelabuhan Tuban.
Ketika memasuki kedai itu, sudah ada beberapa orang
pengunjung di kedai itu.
Seorang pemilik kedai datang menghampirinya, menanyakan
pesanan makanan kepada Gajahmada.
Terlihat pemilik kedai itu kembali kedalam untuk menyiapkan
makanan dan minuman pemuda itu.
Di dalam kedai, Gajahmada mencoba mencuri dengar
pembicaraan beberapa pengunjung kedai itu, namun tidak
didapat apapun dari mereka selain cerita tentang kecantikan para
waranggono sebuah kelompok Langen Tayub yang dua hari ini
akan manggung di sebuah acara perayaan perkawinan seorang
juragan besar di Kadipaten Tuban.
Akhirnya Gajahmada telah memutuskan untuk menunggu
malam di bandar pelabuhan Tuban itu.
Dan senja perlahan mulai redup menyelimuti pantai laut
Tuban.
Terlihat Gajahmada tengah menyusuri pantai laut Tuban,
menatap cahaya kuning emas memancar di ujung batas lengkung
laut yang menghitam.
Indah, teduh dan damai suasana di pantai Tuban dalam
tatapan mata Gajahmada di penghujung akhir senja itu.
Semilir angin laut yang dingin mengurai rambut pemuda itu yang
tengah menatap beberapa nelayan yang tengah mengayuh perahu
sampan mereka menuju tengah laut.
“Peperangan dan perebutan kekuasaan silih berganti, tidak
akan merubah apapun kehidupan mereka. Yang mereka ketahui
adalah musim badai dan musim melaut, mengais kehidupan
malam di tengah laut berharap ikan masuk memenuhi jala-jala
mereka sebagai kabar gembira buah tangan manakala kembali ke
rumah menemui istri dan anak-anak mereka yang menunggu dan
berdoa sepanjang malam untuk pahlawan hati mereka”, berkata
Gajahmada dalam hati sambil memandang sebuah perahu
nelayan yang semakin menjauh bergoyang diatas ombak laut
malam.
Perlahan cahaya kuning di ufuk barat bumi telah mulai
menghilang, wajah lautan telah menjadi hitam kelam di bawah
langit malam. Titik-titik cahaya lentera milik para nelayan
terlihat seperti bintang berkelip ditengah laut bersama riak deru
ombak berkali-kali datang dan pergi membentur bibir dermaga
kayu yang kusam mulai rapuh.
Lama Gajahmada duduk di bawah sebuah pohon kelapa yang
tumbuh di pinggir pantai Tuban itu, jauh dari keramaian bandar
pelabuhan Tuban yang terlihat semakin sepi manakala malam
sudah menjadi semakin larut.
Terlihat Gajahmada telah bangkit dari duduknya, perlahan
anak muda itu melangkah menuju kearah jalan Kadipaten Tuban
yang tidak begitu jauh itu.
Jalan kadipaten Tuban di malam itu sudah terlihat begitu sepi,
beberapa oncor menerangi beberapa muka regol bangunan di
sepanjang jalan utama Kadipaten Tuban.
“Bangunan barak prajurit Tuban”, berkata Gajahmada ketika
melewati sebuah bangunan yang sangat besar dimana pintu
gerbangnya telah tertutup rapat.
Gajahmada masih tetap melangkah melewati regol pintu
gerbang bangunan barak prajurit itu yang diterangi sebuah oncor
besar minyak jarak.
Namun ketika dirinya berada di ujung pagar bangunan itu,
terlihat pemuda yang mempunyai kesaktian ilmu sangat tinggi itu
telah melenting melompati sisi pagar dan merapat tenggelam di
kegelapan bayangan malam.
Pemuda itu hanya melihat ada tiga orang prajurit di dalam
gardu penjagaan.
sesudah merasa yakin bahwa kehadirannya tidak diketahui
oleh siapapun, terlihat pemuda itu telah melesat dan merapat di
dinding bangunan utama barak prajurit Tuban.
Bayangan malam telah melindungi Gajahmada yang tengah
merapat di dinding bangunan utama.
Hanya dengan sedikit ayunan kaki, tubuh Gajahmada sudah
seperti anak panah meluncur keatas wuwungan atap bangunan
utama itu.
Terlihat anak muda itu kembali merapatkan tubuhnya sejajar
dengan atap wuwungan dan melebur menjadi satu dengan
bayangan malam. sesudah memastikan keadaan aman, kembali
anak muda itu telah bergerak cepat dan ringan berpindah keatas
wuwungan bangunan lain.
“Sepi!!”, berkata Gajahmada dalam hati manakala telah
membuka sedikit atap dan melihat ruang bawah dalam barak
prajurit.
Terlihat Gajahmada telah melesat berpindah dari satu
wuwungan bangunan ke bangunan lainnya, ternyata Gajahmada
tidak seorang pun prajurit di dalam barak-barak mereka.
Malam sudah semakin larut, tanpa sinar bulan menjadikan
malam itu begitu pekat dan gelap.
Terlihat Gajahmada sudah berada kembali merapat di dinding
utama bangunan barak prajurit. sesudah memastikan bahwa
ketiga orang prajurit yang berada di gardu penjagaan tidak
melihatnya, maka terlihat anak muda yang telah memiliki ilmu
meringankan tubuh dengan sangat sempurna itu telah seperti
terbang melesat cepat mendekati dinding pagar dan melenting
melompati pagar dinding itu.
Tidak seorang pun berada di jalan dan melihat anak muda itu
melompat keluar dinding bangunan barak prajurit itu.
Jalan Kadipaten Tuban malam itu begitu sepi, Gajahmada
terlihat telah melangkah kembali ke arah pesisir pantai.
“Kemana para prajurit Tuban saat ini?”, berkata dalam hati
Gajahmada ketika tengah duduk bersandar di sebuah batang
pohon kelapa yang menghalangi terpaan angin malam di tepian
pantai Tuban.
Tidak terasa semilir angin di tepian pantai Tuban telah
membuatnya tertidur. Namun sebagaimana jiwa seorang Ksatria
pengembara, panca inderanya masih tetap terjaga, masih
mendengar suara deru ombak tiada henti, masih mendengar
suara pelepah kelapa yang kering jatuh ke tanah, juga mendengar
suara langkah kaki menginjak pasir pantai yang lembut tengah
mendekatinya.
Perlahan mata Gajahmada terbuka, dibiarkannya dua orang
lelaki yang terlihat tengah mendekatinya.
“Berdirilah anak muda, kami ingin membawa kamu ke istana
Kadipaten”, berkata salah seorang diantara mereka sesudah
berada di dekat Gajahmada yang masih bersandar di batang
pohon kelapa.
Terlihat mata Gajahmada memandang kearah kedua orang
lelaki itu, daya ingatnya yang sangat kuat seperti pernah melihat
kedua lelaki itu, seorang masih muda sebaya dengannya,
sementara lelaki lainnya sudah cukup umur.
Bersambung...