sejarah sastra




Sejarah sastra Indonesia memiliki keunikan. Dalam fakta sejarah dapat dibaca 

bagaimana sastra Indonesia, yang waktu itu masih bernama sastra Melayu hadir 

terlebih dahulu ketimbang bangsa Indonesia. Waktu itu penduduk bumi Nusantara 

yang mendiami tanah dan pulau-pulau yang terbentang dari Aceh sampai Timor, 

Maluku dan Irian dalam komunikasinya dipersatukan oleh bahasa Melayu. Lewat 

bahasa Melayu pula sastra ini ditulis dan disebarkan. Jaringan perdagangan, jaringan 

pelaut, jaringan pendi-dikan, jaringan kerajaan Islam, dan jaringan para penyebar 

agama Islam di bumi Nusantara telah berjasa menyebarkan bahasa Melayu sekaligus 

karya sastra yang ditulis dengan mempergunakan bahasa ini. Pada waktu itu bangsa 

Indonesia belum lahir sebab konsep kebangsaan dan konsep keindonesiaan, bahkan 

nama Indonesia belum ada. Konsep dan nama bangsa serta Indonesia baru ada untuk 

memberikan makna baru bagi bumi Nusantara muncul pada tahun 1920-an. Hal ini 

kemudian dipertegas secara politik melalui perjuangan kebangsaan Indonesia lewat 

Sumpah Pemuda di penghujung dekade kedua abad keduapuluh, yaitu pada tanggal 28 

Oktober 1928.  Dalam Sumpah Pemuda yang merupakan hasil Kongres Pemuda 

Indonesia Kedua itu ditegaskan bahwa Bangsa Indonesia memiliki identitas yang jelas 

yaitu menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bumi Nusantara pun diberi 

makna dan nama baru sebagai tanah air Indonesia.  Jadi bangsa Indonesia adalah 

bangsa yang muda, muncul di abad ke-20. sementara itu embrio sastra Indonesia, yang 

masih bernama sastra Melayu, sudah lebih tua adanya, yaitu tiga abad sebelum 

dihadirkannya bangsa Indonesia. Kemudian, proses menjadi Indonesia ini berlangsung 

terus-menerus di mana-mana, termasuk di Yogyakarta yang setelah proklamasi 

kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Kerajaan Yogyakarta menyatakan bergabung dengan 

Republik Indonesia. Bahkan kemudian Yogyakarta menjadi pusat perjuangan politik 

kemerdekaan. Karena ibukota RI pernah pindah ke Yogyakarta, pada saat yang sama 

para pemuda dan sastrawan dari berbagai penjuru tanah air datang ke Yoyakarta ikut 

memberi warna bagi dinamika sastra Indoensia di Yogyakarta sampai hari ini. 

Kembali pada asal usul sastra Indonesia. Asal usul sastra Indonesia itu dapat 

dilacak sampai abad ke-17. Hamzah Fansyuri yang hidup di abad itu  menulis dalam 

bahasa Melayu dengan menggnakan huruf Arab Melayu. Ia hidup di zaman 

pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani. Karyanya yang terkenal 

adalah Syair Burung Pingai, Syair si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang, 

dan Syair Perahu. Apa yang terjadi selama satu abad kemudian belum terlacak. Tetapi 

yang jelas pada awal abad ke-19 lahirlah Raja Ali Haji. Ia juga menulis dalam bahasa 

Melayu. Karya dia yang terkenal Gurindam Duabelas, Syair Nikah, Syair Gemala 

Mustika, Hikayat Abdul Muluk, Bustanul Katibin, Tuhfat Al-Nas. Tahun-tahun berikutnya 

lahir pujangga besar dari Aceh, Chik Pantee Kulu yang menulis kitab 1000 bait berjudul 

Hikayat Perang Sabil yang mampu menggerakkan perlawanan terhadap penjajah 

Belanda dan Jepang. Kemudian, Haji Hasan Mustapa yang sahabat Teuku Umar tetapi 

hidup di tanah Sunda. Selain menulis kitab puisi sepanjang 10.000 bait Haji Hasan 

Mustapa juga menulis novel berjudul Wawacan Batara Ramadan dan Wawacan 

Angling Darma. 

Pada abad ke-19 lahir pula penyair unik yang menulis dalam bahasa Melayu-

Cina dengan menggunakan huruf latin. Dia adalah Tan Teng Kie. Karyanya berbentuk 

puisi reportase. Judul puisi yang terkenal adalah Djalanan Kereta Api, panjangnya 118 

bait. Ia juga menulis puisi berjudul Dari Hal Datengnja Poetra Makoeta Keradjaan Roes 

di Betawi dan Pegihnja, serta Sair Kembang. Pada akhir abad ke-19 pula, yakni di tahun 

1886 lahir perintis certita pendek Indonesia M Kasim. Karyanya yang terkenal berjudul 

Muda Teruna, Bertengkar Berbisik, Bual di Kedai Kopi, Ja Binuang Pergi Berburu, dan 

Teman Duduk. 

Akhir abad ke-19 ternyata merupakan masa panen bagi lahirnya para novelis 

terkenal. Sebab pada tahun 1886 lahir Abdul Muis di Solok Sumatera Barat, yang 

terkenal dengan Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, Robert Anak Surapati. Dia 

juga menerjemahkan Don Quixote de la Mancha, Tom Swyer Anak Amerika, Sebatang 

Kara, dan Tanah Airku. Tahun  Tahun 1889 lahir Marah Rusli sang penulis Siti Nurbaya 

yang dicetak ulang lebih dari 22 kali, La Hami, Anak dan Kemenakan. Tahun 1890 Mas 

Marco Kartodukromo lahir di Cepu, ia dikenal sebagai penulis Student Hidjo, Mata 

Gelap, Sair-sair Rempah, Rasa Merdika dan Cermin Buah Keroyalan. Pada tahun 1893 

di Maninjau Sumatera Barat lahir Nur Sutan Iskandar pengarang Hulubalang Raja, Apa 

Dayaku karena Aku Perempuan, Salah Pilih, Karena Mentua, Katak Hendak Menjadi 

Lembu, Neraka Dunia, Mutiara, Cobaan, Jangir Bali, dan banyak menerjemahkan karya 

besar dunia. Pada tahun 1896 pengarang Azab dan Sengsara yaitu Merari Siregar lahir 

di Sipirok Sumatera Utara dan pada tahun yang sama di Solok Sumatera Barat lahir pula 

Aman Dt Madjoindo yang menulis karya legendaris Si Doel Anak Djakarta. Ia juga 

menulis Syair si Bando Urai, Menebus Dosa, Cerita Malin Dewan dengan Puteri Bungsu, 

si Cebol Rindukan Bulan, Sampaikan Salamku Kepadanya,  Syair Gul Bakawali, Cindur 

Mata, Hikayat si Miskin, dan Hikayat Lima Tumenggung. 

Awal abad ke-20, yaitu pada tahun 1903 penyair Rustam Effendi lahir di Padang. 

Selain menulis naskah drama Bebasari ia juga menulis kumpulan puisi Percikan 

Permenungan dan Van Moscow naar Tiflis. Penggunaan bahasa Melayu, huruf latin dan 

nuansa penjajahan Belanda terasa di sini. Pada tahun yang sama, di Sawahlunto, lahir 

Muhammad Yamin yang selain menulis karya sendiri juga menerjemahkan karya sastra 

dunia. Ia juga dikenal sebagai perinitis yang memperkenalkan soneta ke dalam 

khazanah sastra Indonesia. Yamin juga dikenal sebagai penulis yang memperkenalkan 

semangat perlawanan dan embrio kebangsaan dalam karya-karyanya. 

Sanusi Pane, lahir tahun 1905 di Muara Sipongi Sumatra Utara. Karyanya yang 

terkenal, Pancaran Cinta, Puspamega, Airlangga, Madah Kelana. Dua tahun kemudian, 

1907, lahir penyair JE Tatengkeng yang terkenal dengan puisinya Rindu Dendam. 

Setahun setelah itu, 1908 lahir Sutan Takdir Alisyahbana di Natal Sumatera Utara. Ia 

menjadi salah satu tonggak pembaharu sastra Indonesia. Ia pernah menjadi redaktur 

Panji Pustaka, Balai Pustaka dan pendiri majalah Pujangga Baru. Karya dia yang 

terkenal, Tak Pustus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Tebaran Mega, 

Layar Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Grotta Azzura, Lagu Pemacu 

Ombak, Kalah dan Menang. 

Salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru yang lain adalah Amir Hamzah 

yang lahir 1911 di Tanjungpura. Dua karyanya yang melegenda adalah Nyanyi Sunyi dan 

Buah Rindu. Sastrawan kondang yang pernah menjadi Gubernur Aceh dan Rektor IAIN 

Jami’ah Ar-Raniry Darussalam adalah Ali Hasjmy. Ia lahir pada tahun 1914. Karyanya 

berupa puisi dan novel, yakni Kisah Seorang Pengembara, Sayap Terkulai, Bermandi 

Cahaya Bulan, Melalui Jalan Raya Dunia, Suara Adzan dan Lonceng Gereja, Dewan 

Sajak, Dewi Fajar, Jalan Kembali, dan Tanah Merah. 

Penyair yang dikenal sebagai penerjemah dan lahir di tahun 1916 adalah M 

Taslim Ali. Ia tidak sempat mengumpulkan karya puisi dalam bentuk antologi. Secara 

terpisah puisinya ikut termuat dalam Pujangga Baru, Prosa dan Puisi, antologi Tonggak 

I. Karya terjemahannya yang terkenal, Puisi Dunia dan Rubaiyat Omar Khayyam. Tiga 

tahun setelah M Taslim Ali lahir, 1919 lahirlah penyair Bahrum Rangkuti di Galang 

Sumatera Timur. Ia dikenal sebagai kawan HB Jassin dan sahabat Chairil Anwar semasa 

masih di Medan. Karyanya yang dibukukan adalah Laila dan Majnun, Sinar Memancar 

dari Jabal Nur, Nafiri, dan terjemahan puisi Muhamad Iqbal, Asrar I Khudi. 

Chairil Anwar yang dikenal sebagai Pelopor Angkatan 45 lahir di Medan tahun 

1922. Karya monumental dia terkumpul dalam buku Kerikil Tajam dan yang Terampas 

dan yang Putus, Deru Campur Debu, Tiga Menguak Takdir, Aku ini Binatang Jalang, dan 

Derai-derai Cemara. Dari rekam jejak karya sastrawan Angkatan 45 ini dapat dikethui 

bagaimana dinamika kebangsaan dan dinamika perjuangan kebangsaan masyarakat 

Indonesia dapat terbaca. Sejarah sastra Angkatan 45 adalah potongan sejarah bangsa 

Indonesia  itu sendiri. Setelah Angkatan 45, generasi angkatan 1950an sudah mewarnai 

Yogyakarrta, baik mereka yang lahir di Yogya atau karena mereka berkiprah di kota 

budaya ini 

Dinamika Sastra Yogya Tahun 1950-an sampai dengan 1960-an 

Pada saat ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta tahun1947, kantor 

Djawatan Kebudajaan juga pindah di Yogyakarta. Kantornya di Terban, depan RS Mata 

Dr Yap, sekarang jalan Cik Di Tiro. Di kantor ini sering berkumpul para seniman dan 

sastrawan Yogyakarta yang dikenal sebagai Seniman Terban. Aktivitas mereka cukup 

banyak dan ikut mewarnai denyut sastra Yogya. Kirdjomuljo dan Nasjah Djamin 

misalnya sudah mulai tampil pada periode ini. 

Dinamika sastra Yogyakarta menyatu dan menyertai dinamika revolusi kebang-

saan, yaitu saat bangsa Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya. Saat 

ibukota RI diserang oleh serdadu Belanda pada tahun 1948 dan setahun kemudian 

Yoyakarta dapat direbut kembali, serta serdadu Belanda dapat diusir dan kembali 

negeri seberang, para seniman dan sastrawan Yogyakarta ikut mengobarkan semangat 

perjuangan kemerdekaan itu lewat karya-karyanya. Muncul puisi perjuangan, cerpen 

bertema perjuangan, dan novel serta drama bertema perjuangan. Ini menjadi bukti 

bahwa sejarah kebangsaan menarik dan dapat diolah menjadi karya sastra. Dan 

kemudian hari orang atau para peneliti dapat menangkap dan mengkaji nuansa, serta 

spirit perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini lewat karya-karya sastra yang 

telah ditulis pada zaman itu dan sesudahnya. Sebab spirit perjuangn kebangsaan itu 

dapat direproduksi lewat karya-karya sastra. Nasyah Jamin, Kirdjomuljo, dan Taufiq 

Ismail yang pernah merasakan hidup di zaman perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta,  

menulis karya-karya yang menunjukkan hal itu. Yaitu kemampuan karya sastra 

mereproduksi nilai, spirit, dan nuansa perjuangan sebuah bangsa. . 

Pada paruh atau pertengahan tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an, 

sepanjang Malioboro, dari Jalan Pangurakan di selatan sampai Tugu di utara Yogya 

menjadi pusat pergaulan para sastrawan. Dengan UGM yang kampusnya masih berada 

di Sitihinggil dan kompleks Kraton lainnya, adanya gedung CHTH, Sonobudoyo, gedung 

PPBI, Senisono, dan Perpustakaan Masyarakat (wilayah selatan), tembok panjang yang 

memagari SD Netral dan depan kompleks Kepatihan serta Perpustakaan Negara 

lengkap dengan warung wedang jahe di depan rumah sakit paru-paru atau warung 

gudeg (wilayah tengah), dan kantor Kedaulatan Rakyat, Perpustakaan Islam, Toko Buku 

Gunung Agung, toko buku Pembangunan (wilayah utara) menjadi tempat para 

sastrawan yang dengan gemilang dapat malang melintang dalam menggemuruhkan 

gagasannya. Antara Alun-alun Utara sampai Tugu adalah ruang panjang dan luas, 

terbuka bagi hiruk-pikuk pemikiran dan ekspresi sastra dan budaya. Kawasan ini masih 

menjadi ruang budaya yang relatif utuh dan terjaga, belum berubah menjadi ruang 

ekonomi atau dibaca sebagai ruang ekonomi dan ruang usaha seperti sekarang ini. 

Mereka, para seniman, sastrawan dan pelaku budaya yang lain sering berdiskusi di 

tempat-tempat itu, bahkan tak jarang mereka berdebat sambil berjalan kaki, hilir 

mudik dari Tugu sampai ke Alun-alun, bolak-balik. Kantor harian Kedaulatan Rakyat 

menjadi markas para sastrawan karena pimpinan koran zaman itu, Pak Wonohito dan 

Pak Samawi sangat familiar dengan para sastrawan. Waktu itu di tempat ini juga 

diterbitkan majalah Minggu Pagi, menanpung karya para sastrawan. Karena saking 

mudahnya para sastrawan berasyik ngborol dari siang sampai malam atau bahkan 

sampai pagi, tak jarang mereka mandi di kantor ini. Mereka mempergunakan kertas 

koran yang masih bersih sebagai handuk. Era ini pun sering dikenal sebagai zaman 

ketika ‘sastrawan berhanduk kertas koran’. 

Dalam konteks perjuangan kebangsaan, Yogyakarta memiliki paling tidak lima 

pilar budaya yang penting. Kelima pilar ini  adalah Kraton Yogyakarta, 

Muhammadiyah, Taman Siswa, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Gadjah 

Mada. Kelimanya memiliki hubungan yang erat. Kraton sebagai pusat kebudayaan yang 

siginifikan dalam melakukan transformasi perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, 

dari perlawanan fisik bersenjata menjadi perlawanan budaya berbasis pendidikan 

modern yang berwawasan budaya nasional. Pihak Kraton yang menganjurkan KHA 

Dahlan agar mencari ilmu pada jaringan global keilmuan di Makkah kemudian ketika 

pulang Kiai ini memadukan dengan semangat reformasi agama dan pendidikan, juga 

budaya dan politik kebangsaan dengan aktif di Budi Utomo dan mendirikan 

Muhammadiyah. Kelak dari rahim Muhammadiyah lahir para sastrawan Indonesia yang 

memiliki visi dan misi kebangsaan yang tidak diragukan lagi, seperti Mohammad 

Diponegoro, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Slamet Sukrinanto, Abdul Hadi WM, Emha 

Ainun Nadjib. 

Kraton pula yang memfasilitasi berdirinya dua universitas yang berwawasan 

kebangsaan dan kerakyatan. Kedua universitas ini  adalah Universitas Islam 

Indonesia yang dirintis oleh Bung Hatta besama para sahabatnya dan Universitas 

Gadjah Mada yang dirintis oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Bung Karno, dan para 

sahabatnya. Bahkan kompleks Kraton sendiri diubah menjadi kampus UGM pada awal 

perintisan ini. Di kemudian hari, dari rahim UGM lahir para tokoh sastra dan budaya 

yang memiliki visi dan wawasan kebangsaan dan kerakyatan. Adapun dari UII, karena 

sejarahnya yang agak berbeda kemudian justru melahirkan banyak pejuang hukum di 

negeri ini. 

Ketika UGM masih berkampus di kompleks Kraton, dan Malioboro masih 

menjadi kampus budaya yang terbuka maka nama-nama seperti Kirdjomuljo, Umar 

Kayam, Nasjah Djamin, Putu Wijaya, Motinggo Boesye, A Bastari Asnin, Jajak MD, M 

Nizar, WS Rendra, Jussac MR, Titiek WS, Siti Nurjanah Sastrosubagio, Umbu Landu 

Paranggi, A Adjib Hamzah, Hadjid Hamzah, B Soelarto, Darmadji Sosropuro, Makmur 

Makka, Mochtar Pabottingi, Abdulkadir Husein, Slamet Jabarudi, Herman Pratikto, 

Andre Harjana, Arifin C Noer, Syahwil, Idrus Ismail, Waluyo DS muncul pada zaman ini. 

Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Budi Darma, C Bakdi Soemanto, Iman 

Chaerul Umam, A Mujahid, A Mun’im Ha, Ikranegara, dan Abdul Hadi yang saat itu 

kuliah di Yogyakarta juga ikut dalam kegiatan sastra semacam ini. Slamet Sukirnanto, 

Lastri Fardani Sukarton, dan Darmanto Yatman sudah mulai menulis puisi ketika tinggal 

di Yogyakarta. Taufiq Ismail yang semasa SD mengenal wayang dan bersekolah di 

Yogyakarta sudah berdiam di Pekalongan, lalu ke Bogor dan Jakarta, tetapi selalu 

mengenang masa indah di Yogyakarta dan mengirimkan puisi untuk media di kota ini.

Kuntowijoyo sudah mulai menulis karya sastra dan mendapat banyak penghargaan. 

Novel Kuntowijoyo berjudul Ketika Kereta Berangkat Pagi Hari dimuat di koran Api 

Islam yang terbit di Yogyakara. Mohammad Diponegoro merintis penulisan naskah 

drama, yang paling menonjol Iblis, juga merintis puitisasi terjemahan ayat suci Al 

Qur’an dan menghasilkan banyak cerpen dengan tema pengalaman perang dan 

masalah sosial ala kampung Yogyakarta yang kemudian diterbitkan dalam kumpulan 

cerpen Odah dan cerita lainnya. 

Karya yang banyak ditulis di tahun-tahun ini adalah puisi, cerpen, novel, naskah 

drama, dan ulasan atau kritik sastra. Novel-novel Nasjah Djamin, Putu Wijaya, 

Motinggo Boesye (juga sempat asyik menulis puisi), dan Jajak MD pada awalnya 

muncul dalam bentuk cerita bersambung di majalah Minggu Pagi. Adapun puisi-puisi 

WS Rendra dan sastrawan lain banyak dimuat di majalah Budaya, Basis, dan Suara 

Muhammadiyah (di rubrik Nafiri). Majalah-majalah itu beredar dalam skala nasional. 

Disamping itu, ada pula majalah Semangat, yang khusus diedarkan untuk kalangan 

remaja. Pada tahun-tahun ini sastra majalah masih dominan dan sastra koran belum 

terasa kehadirannya. 

Gairah sastra dan budaya yang tinggi dengan pergaulan yang guyub serta 

memiliki semangat komunal dan nasional serta menjunjung tinggi kreativitas para 

sastrawan di Yogyakarta ini, sayang kemudian dirusak oleh suasana pertarungan politik 

yang menajam. Terjadi politisasi yang berlebihan terhadap kegiatan sastra budaya. 

Banyak sastrawan dan budayawan Yogyakarta yang ikut menandatangani Manifesto 

Kebudayaan yang menginginkan agar kegiatan sastra dan budaya disterilkan dari 

politisisasi dan ideologisasi yang menyesakkan dada. Akan tetapi para pendukung 

gagasan humanisme universal dalam sastra dan budaya ini kemudian dihajar, diteror, 

dan dianiaya secara psikologis dan fisik oleh kelompok Lekra. Rendra yang merasa 

terancam oleh orang-orang Lekra kemudian belajar beladiri dan membentuk kelompok 

yang siap bertarung secara fisik. Gerakan retool dan demonstrasi mengganyang 

penandatangan Manifesto Kebudayaan begitu kencang dan mendapat angin dari 

penguasa, sampai banyak sastrawan tak bersalah dipecat dari jabatannya, dan mereka 

dikejar-kejar. Untung waktu itu Pater Dick Hartoko lewat Basisnya melindungi 

sastrawan yang kena teror politik ini. Yang lain berlindung di dalam kelompok seni 

budaya yang didirikan oleh partai atau ormas. Leski, Lesbumi, HSBI, dan ISBM berdiri 

untuk melindungi anggotanya dari teror psikologis dan fisik dari pihak lain. Dalam 

kaitan ini Yogyakarta mencatat untuk pertama kali dalam sejarah bagaimana orang-

orang disweeping, dan buku-buku dibakar oleh demonstran dari kelompok kiri. 

Perpustakaan Jefferson juga didemo dan dibakar buku-bukunya oleh massa anggota 

CGMI di Jalan Pakuningratan. Para pegawainya diteror sampai ketakutan. Mohammad 

Diponegoro sebagai pimpinan kantor difitnah dan sempat ditahan oleh Badan 

Kepolisian Negara, meski kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. 

Untung pasca 1965 kelompok pendukung Manifesto Kebudayaan yang 

diuntungkan oleh angin politik tidak melakukan balas dendam. Mereka lebih memilih 

rekonsiliasi. Yang kemudian bertindak melakukan depolitisasi sastra dan budaya adalah 

penguasa militer Orde Baru. Para sastrawan dan budayawan Yogyakarta mencoba 

membangun pergaulan kreatif dengan melupakan luka politik itu. Mereka menganggap 

terjadinya teror di tahun pra 1965 dan awal tahun sampai pertengahan 1965 itu 

sebagai musibah dan mereka ikut prihatin terhadap terjadinya banyak penangkapan 

dan pelarangan buku-buku yang terjadi di tahun-tahun kemudian. 

Adanya kearifan dan kebesaran jiwa seperti itu menyebabkan pergaulan kreatif 

di Yogyakarta menjadi mungkin dilakukan sehingga denyut sastra dan budaya di 

Yogyakarta justru mencapai puncaknya pada dekade 70an, dekade berikutnya. 

Dinamika Sastra Yogya di Tahun 1970-an 

Persemaian dan kondisioning bagi tumbuhnya kehidupan sastra pada 

pertengahan tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an menumbuhkan hasil 

di tahun 1970-an. Diawali dengan seruan Umbu Landu Paranggi, penyair asal Sumba, 

Redaktur Pelopor Yogya,  pada tahun 1968 agar para penulis bergabung dalam studi 

klub sastra mandiri. Seruan ini disambut Teguh Ranu Sastra Asmara, Ragil Suwarno 

Pragolapati, dan lainnya.  Pada tanggal 5 Maret 1969, dalam sebuah pertemuan di Jalan 

Malioboro 175 Atas yang berlangsung antara pukul 15.00 sampai 18.00 berdirilah 

Persada Studi Klub atau PSK. Pendirinya, Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranu Sastra 

Asmara, Ragil Suwarno, Iman Budhi Santosa, Suparno S Adhy, Sugianto Sugito, dan 

Mugiyono Gitowarsono. 

Ini menandai babak baru bagi kehidupan sastra dan sejarah sastra Indonesia di 

Yogyakarta. PSK mampu berfungsi sebagai ajang apresiasi, kreasi, dan kompetisi bagi 

para penyair/pengarang muda. Kegiatan yang dilakukan PSK lengkap. Diskusi di kantor 

Pelopor Yogya, di lesehan Malioboro, pertemuan di kampung-kampung dalam kota

maupun di luar kota disertai dengan pembinaan apresiasi terhadap puisi dengan 

menampilkan poetry reading dan poetry singing. Di kampung-kampung dan desa  yang 

pernah disentuh PSK kemudian tumbuh komunitas sastra. Misalnya di Kotagede, 

Bantul, Borobudur, Tegalrejo. Pada saat yang sama pembinaan penulis lewat rubrik 

sastra dan budaya dilakukan secara intensif oleh Umbu Landu Paranggi. Misalnya 

dengan membuka pos kontak dengan penulis di lembar sastra Pelopor Yogya. Mereka 

yang mengirim tulisan diamati dan diulas dengan sentuhan personal. Kemudian setelah 

tampak perkembangannya, lantas dimotivasi untuk ikut kompetisi sebelum akhirnya 

‘diwisuda’ lewat pemuatannya di lembar Sabana. Tentu tidak mudah menembus ruang 

Sabana ini. Harus lewat semacam uji kemampuan menulis, keahlian menggali tema, 

kecermatan menggarap, dan kematangan intelektual. Dengan cara dihajar secara 

psikologis seperti ini penyair yang lolos Sabana diharapkan memang telah siap untuk 

berkarya dengan kualitas yang tinggi dan mampu mempertahankan kemampuannya 

dalam kurun waktu yang lama. 

Lewat kompetisi yang ketat seperti ini Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag, 

Yudhistira Ardi Noegroho, Iman Budhi Santosa, Faisal Ismail, Teguh Ranu Sastro 

Asmoro, Jihad Hisyam, Slamet Kuntohaditomo, Slamet Riyadi Sabrawi, Slamet 

Supriyohadi, RPA Suryanto Sastroatmojo,  Landung Rusyanto Simatupang, Korrie Layun 

Rampan, Fauzi Absal, Bambang Darto, Wiedha Asmara, Adhisupo D Noyo, Sutirman Eka 

Ardhana, Ayu Sutarto, Abdul Aziz, Achmad Charris Zubair, Minadi, Agus Darmawan T, 

Bambang Indra Basuki, Syaif Bakham, Rusli S Purma, Rahini Ridwan, Halim HD, Yunus 

Syamsu Budhi, Fathurrohman Navigator, Suripto Harsah, Candra Budiman, Badjoeri 

Dullah Yusro, Jabrohim, Kingking Subyarsih, Joko S Pasandaran, Sujarwanto, Munawar 

Syamsudin, Arwan Tuti Artha, dan lainnya muncul sebagai penulis andal. M Darwis 

Khudori, Mustofa W Hasyim, Adji Sudarmadji Muhsin, Dalhar Dw, Erwito Wibowo, dan 

masih lagi anak-anak muda seusia mereka sering ikut nimbrung dalam kegiatan 

seniornya. Mereka masih duduk di sekolah menengah sehingga untuk mengikuti 

kegiatan seniornya itu harus mbolos sekolah. Pada tahun-tahun ini sempat terbit 

antologi Sajak-sajak Manifes (1968), Bulaksumur – Malioboro (1975), dan Pesta Tulisan 

(1977). Semangat untuk menjadi Indonesia dan mengisi keindonesiaan yang baru 

tercermin dalam karya-karya sastra yang terkumpul dalam antologi itu. 

Komunitas sastra berbasis media cetak yang dirintis oleh Umbu Landu Paranggi 

dkk kemudian melahirkan komunitas sastra serupa di banyak tempat. Suparno S Adhy 

mendirikan komunitas Insani dan menerbitkan lembar Kulminasi di harian Mertju Suar 

yang kemudian berganti nama Harian Masa Kini. Sutirman Eka Adrdhana mendirikan 

komunitas Remaja Nasional yang berbasis di harian Berita Nasional. Abdul Aziz dan 

Ayu Sutarto mengasuh rubrik sastra budaya di mingguan Eksponen. Para aktivis 

komunitas ini sangat guyub dan sering melakukan kegiatan lintas komunitas secara 

bersama-sama. Tidak ada kubu-kubuan. Bahkan pergaulan kreatif antara aktivis sastra 

dengan para aktivis teater, seni rupa, dan seni musik sangat akrab. Ini merupakan 

warisan semangat komunal yang positif yang pernah diwariskan oleh Sanggarbambu 

yang dibentuk pada tahun 1959. Waktu sanggar ini dirintis, yang mendukung bukan 

hanya dari kalangan seni rupawan saja, tetapi juga dari sastrawan, aktivis teater, dan 

pemusik. Kelompok ini juga menggelar kegiatan apresiasi sastra, seni rupa, drama, dan 

musik dengan tour ke pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Jember, Madiun, 

Malang, dan tempat lainnya. Kegiatan pentas keliling dan apresiasi keliling ini pada 

tahun 1960-an juga dilakukan oleh Teater Muslim yang merambah sampai ke 45 kota di 

Jawa. Ini pula yang pada tahun-tahun 1990-an dan 2000-an diwarisi dan dikembangkan 

oleh komunitas Kiai Kanjengnya Emha Ainun Nadjib. 

Tengah tahun kedua tahun 1980-an jagad sastra Yogyakarta juga diwarnai 

dengan hadirnya komunitas sastra berbasis kampung. Sanggar Sastra Kotagede atau 

Sasako yang hadir di tahun 1982 dengan tokohnya Tulus Setyo Budi, Buldanul Khuri, 

Hamid Nuri, Pantono, Fajriyanto, Mohamad Setiawan sempat menerbitkan kumpulan 

puisi Di Bawah Lampu Merkuri. Kelompok Sasako ini merupakan angkatan baru setelah 

generasi Slamet Kuntohaditomo, Achmad Charris Zubair, Muhajir Darwin yang sempat 

berkolaborasi dengan angkatan Darwis Khudori, Mustofa W Hasyim, Muhammad 

Khamdi Raharjo, M Dalhar Dw, Erwito Wibowo, Irkham Lutfi, Ahsin Nuri, dan Imronah 

Hanum menerbitkan kumpulan puisi Ada Gamelan di Desa dan Surat Tanpa Tanggal. 

Sasako sempat menyelenggarakan workshop penulisan sastra intensif di rumah Prof 

Abdul Kahar Muzakkir, Selakraman Kotagede.  

Selain Kotagede, di Bantul muncul kelompok studi sastra Arah. Kelompok studi 

sastra yang dipelopori Kingking Subyarsih, Jabrohim, Sahari, Hans Rohadi GP, dan Evy 

Mudjono ini banyak menyelenggarakan kegiatan apresiasi sastra dan pelatihan 

penulisan karya sastra. Pertemuan Gunung Spikul, Kemah Sastra Goa Slarong, dan 

Kemah Sastra Prangtritis yang mereka selenggarakan mendapat support dari para 

sastrawan PSK, seperti Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi 

AG, Sutirman Eka Ardhana, dan lain-lain.  

Dinamika  Sastra Yogya di Tahun 1980-an 

Ketika pada tahun 1977 Umbu Landu Paranggi meninggalkan kota Yogyakarta, 

kegiatan PSK surut. Rubrik sastra di mingguan Eksponen juga surut karena Abdul Aziz 

kembali ke Malaysia dan Ayu Sutarto menjadi dosen di Jember. Komunitas sastra dan 

budaya Insani dan Remaja Nasional tidak surut, bahkan makin berkembang mewarnai 

denyut sastra budaya di tahun 1980-an. Hal ini disebabkan pengasuh komunitas Insani 

dan Remaja Nasional terus mengalami regenerasi. Para mahasiswa perantauan dari 

berbagai pulau di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta kemudian aktif di Insani dan 

Remaja Nasional. Kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjadikan 

Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia dan tempat untuk mendewasakan semangat 

dan kesadaran kebangsaan Indonesia terkabul. Selama di Yogyakarta, mereka merasa 

betul-betul berada di tengah pergaulan budaya Indonesia, meski warna budaya Jawa 

sangat kental di kota ini. 

Komunitas Insani yang pada awalnya dipimpin Suparno S Adhy, kemudian 

dilanjutkan oleh Emha Ainun Nadjib. Setelah Emha asyik di kancah yang lebih luas, 

Insani dipegang oleh Aji Sudarmaji Mukhsin. Periode berikutnya Mustofa W Hasyim 

bersama Adil Amrullah mengasuh Insani. Komunitas ini aktif menyelenggarakan 

pertemuan di Kauman Pakualaman, Dukuh Bantul, Lendah Kulonprogo, Godean 

Sleman, Pedan, Muntilan, di kantor Harian Masa Kini, di Kadipaten Lor, di Timuran, di 

Kotagede, dan di Patangpuluhan. Pola pembinaan ala PSK, dalam hal membuka kontak 

dengan penulis dan dialog informal menjelang deadline, diteruskan oleh komunitas 

Insani. Pada masa kejayaan Insani muncul nama-nama Indra Tranggono, Buldanul 

Khuri, Suratini Eko Purwati, Hendra Z, Naim L Prahana, Husen Kertanegara, Ning 

Yoewono, Krisna Miharja, Wakidi, Ady Kismadi, Maimunah, Bambang Isti Nugroho, 

Kelik Nugroho, Budi Nugroho, Joko Budiarto, Anis Asroni, Agoes Pelaz, Ady Lyrisacra, 

Marjudin Suaeb, Ahmadun Y Herfanda, Suminto A Sayuti, Masykur Wiratmo, Bakti 

Setiawan, Jauzi, Joko Supriyono, Muchtarom, Jacob N Ereste, Hamid Nuri, Zaenal Wafa, 

Ahmad Husni MD, Imron Nasri, Hudy Aha, M Fuad Riyadi, Bahrum Benyamin, Syam 

Chandra, Bambang Widyatmoko, Ons Untoro, dan lain-lain. Kehadiran karya dari 

teman-teman SMSR SSRI dengan kiriman sket dan ilustrasi juga cukup mewarnai Insani. 

Karya Butet Kertarajasa, Sius, Hendro Suseno, dan Novi Budianto silih berganti 

menghiasi lembar Insani. 

Selain menyelenggarakan pertemuan bulanan, Keluarga Insani, demikian 

komunitas ini menyebut dirinya, juga sempat menerbitkan antologi puisi Tonggak-

tonggak dan Gunungan, dan sempat menyelenggarakan pertunjukan sastra di 

Senisono, antara lain menghadirkan penyanyi Franky Sahilatua. 

Komunitas Insani kemudian diasuh bersama oleh Indra Tranggono, Kelik 

Nugroho,  Bambang Isti Nugroho, dan Edy Lyrisara. Dalam kepemimpinan mereka itu, 

komunitas ini pernah mencoba menggugat kemapanan penyair senior Emha Ainun 

Nadjib dan Linus Suryadi Ag dalam sebuah pertemuan. Upaya ini  gagal 

menggoyang posisi kedua pendekar sastra alumnus PSK itu. 

Pada saat yang sama komunitas Remaja Nasional setelah diasuh Sutirman Eka 

Ardhana kemudian dikomandani Mayon Sutrisno. Setelah itu kepemimpinan Remaja 

Nasional diteruskan oleh Made Suarjana.  Komunitas ini juga aktif menyelenggarakan 

pertemuan. Dari kelompok Remaja Nasional ini muncul nama-nama Sunardian 

Wirodono, Dorothea Rosa Herliani, Y Sarworo Suprapto, Handoko Ardi Nugroho, dan 

Ignatius Sawabi. Pada saat ini komunitas sasra berbasis media radio juga berdenyut. 

Misalnya komunitas radio RRI yang diasuh Drs Subandi dari IKIP Negeri Karangmalang 

dan komunitas sastra Retjo Buntung yang diasuh Andrik Purwasito.  

Komunitas sastra berbasis kampus juga menonjol pada tahun-tahun ini. 

Misalnya komunitas Teater Eska, Kelompok Studi Sastra Sauqi, Studi Apersiasi Sastra di 

IAIN dengan tokohnya Hamdy Salad, Abidah El Khaliqiy, Otto Sukatno CR, dan Ulfain Ch 

ditambah jaringan sastrawan majalah Arena. Masyarakat Poetika Indonesia yang 

bermarkas di IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (kini dikembangkan menjadi Universitas 

Ahmad Dahlan) dengan penggeraknya Jabrohim dan Suminto A Sayuti mampu 

menyelengarakan aneka dialog sastra budaya yang mereka beri nama tegur sapa 

budaya dan menerbitkan kuimpulan puisi Syair Istirah, Melodia Rumah Cinta, Tanah 

Airmata, Genderang Kurusetra, Musim Semi, Penobatan, Serpihan Kharisma, Seninjong, 

Sajak Penari, Cahaya Maha Cahaya, Syair-syair Cinta, Tembang Anak Rinjani, Reportase 

yang Menakutkan, Sekarsari Kidung Rahayu, Lautmu Tak Habis Gelombang, Ibu, 

Stasiun Tugu, dan lain-lain. Kiprah Jabrohim dan Suminto A Sayuti ini kemudian 

diperkuat oleh Rina Ratih, Sudjarwanto, Djoko Supriyono, dan Tirto Suwondo. Lalu 

diteruskan oleh Dandang Ahmad Danlan, Varuni Dian Wijayanti, Asyraf Suryadin, Joni 

Ariadinata, dan lain-lain.   

Di Kampus Sarjana Wiyata Tamansiswa hadir Kelompok Sastra Pendapa. 

Kelompok Sastra Penapa ini sering menjadi tuan rumah kegiatan Kelompok Lingkar 

Kreatif (dengan salah satu aktivisnya Budi Ismanto SA) ketika menyelenggarakan 

Pengadilan Puisi secara rutin tiap bulan. Forum Pecinta Sastra Bulaksumur dan 

Kelompok Pandan Sembilan di UGM juga ikut meramaikan jagad sastra Yogyakarta. 

Generasi pasca Faruk HT seperti Veven Sp Wardhana, Chairul Anwar, Aprinus Salam, 

Abdul Wachid BS, Herry Mardyanto, dan lain-lain lahir di kampus ini. Mereka 

melanjutkan generasi sastrawan yang aktif menulis di Gelora Mahasiswa dan Balairung. 

Sementara di kampus lain seperti IKIP Negeri Yogyakarta (yang lebih dikenal dengan 

sebutan IKIP Karangmalang) memiliki kelompok Unstrat, UII memiliki kelompok pecinta 

sastra yang bergabung dalam aktivis majalah Muhibah, dan IKIP Sanata Dharma pun 

memiliki kelompok studi sastra yang mampu melahirkan penyair Andreas Damarno, 

Dorothea Rosa Herliani, dan Joko Pinurbo. Pergaulan sastrawan lintas kampus pun 

terjadi dengan akrab. Suasana keindonesiaan yang plural terus terbangun di 

Yogyakarta. 

Melanjutkan rintisan Sasako di Kotagede dan Arah di Bantul, pada tahun 1980-

an di Kampung Jotawang, pinggiran kota Yogyakarta, lahir Sanggar Study Sastra dan 

Teater SILA yang yang antara lain dibidani oleh Sigit Sugto, Daru Maheldaswara, dan 

Angger Jati Wijaya. Kelompok ini menyelenggarkaan workshop sastra, dialog sastra, 

pertunjukan sastra, penerbitan kumpulan puisi. SST SILA ini sempat berumur panjang. 

Sampai dengan tahun 1997 saja masih terasa denyutnya. Sempat menerbitkan antologi 

puisi Selamat Pagi Fajar, Kali Code, Pledoi Pembayun, Merekam Suara Angin, Rohku 

Laut Jawa, Nyanyian Projotamansari, Rumpun Bambu. Kemudian sempat 

mementaskan Konser Puisi, dengan mengaransemen 10 puisi karya 10 penyair menjadi 

lagu yang layak dikonserkan di Purna Budaya, dengan pemain kolaborasi 10 komunitas 

sastra dan teater, dengan dirijen Hari Leo. Konser Puisi itu berdurasi dua jam disiapkan 

dengan masa latihan enam bulan. KH A Mudjab Mahalli, kiai yang dijuluki Gus Durnya 

Yogya, sesuai nonton pertunjukan sastra ini berkomentar “Edan tenan apike!”. 

Pergaulan kreatif lintas kampung pun juga berlangsung, melengkapi pergaulan kreatif 

lintas generasi, lintas kampus, lintas media yang telah dirintis sebelumnya. 

Dinamika  Sastra Yogya Tahun 1990-an dan 2000-an 

Dinamika kehidupan sastra Yogyakarta di tahun 1990-an ditandai dengan 

kegiatan sastra lewat Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY dan munculnya komunitas

sastra baru. Lewat FKY pernah terbit buku sastra antologi misalnya Ambang, Sejuta 

Pohon di Yogyakarta, Sembilu, Histeria, Begini Begini Begitu, Pagelaran, Tamansasri, 

Embun Tajalli, dan Di Batas Yogya. Dalam FKY ini juga ditampilkan aneka alternatif 

pertunjukan sastra seperti teatrikalisasi karya sastra, instalasi sastra, dan kolaborasi 

sastra. Kegiatan sastra di FKY yang cukup berhasil adalah ketika FKY Seksi Sastra 

Indonesia menampilkan pertunjukan kolaborasi dengan bahan baku cerpen karya 

Kuntowijoyo berjudul Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Dalam kolaborasi itu 

ditampilkan pembacaan cerpen Landung Rusyanto Simatupang, gerak tari dan musik 

Ben Suharto, dan sajian multimedia Alex Luthfi. Kegiatan pagelaran pertunjukan sastra 

ini dilengkapi dengan diskusi dan pameran buku sastra budaya. Dalam menerbitkan 

Embun Tajalli Seksi Sastra Indonesia FKY memasukkan puisi-puisi penyair Singapura, 

Jamal Tukimin dkk. 

Komunitas sastra baru muncul dalam era ini. Basisnya adalah pergaulan lintas 

kampus, lintas asal usul etnik, dan lintas kampung. Komunitas yang muncul itu antara 

lain Rumah Lebah, Himpunan Sastrawan Muda Yogyakarta, dan  Komunitas Sastra 

pesantren. Juga ada Kelompok Kamis Malam. Mereka sempat menyelenggarakan 

kegiatan dan menerbitkan buku. Komunitas sastra pesantren yang dirintis penerbit 

Navila sempat menerbitkan majalah sastra pesantren Fadilah, kumpulan cerpen Kopiah 

dan Kun Fayakun, novel Hari-hari Bercahaya dan Hijrah karya Mustofa W Hasyim, novel 

Surau Tercinta karya Sutirman Eka Ardhana, novel Kasidah Lereng Bukit karya Achmad 

Munif, novel Mahar karya Evi Idawati. Komunitas santri yang berbasis di Pondok 

Pesantren Nurul Ummah Kotagede menerbitkan kumpulan puisi Narasi Speaker Masjid 

dan Jalalah. Langkah ini kemudian dilanjutkan oleh penerbit Pilar yang menebitkan 

Mairil dan penerbit LKiS dengan menerbitkan Santri Semelekete, Dilarang Jatuh Cinta, 

Bola-bola Santri, Kidung Cinta Puisi Pegon, Santri Baru, Pangeran Bersarung, Love in 

Pesantren, Santri Nekad, dan Santri Tomboi. 

Terbitnya buku sastra lewat FKY dan komunitas ini menandai hadirnya sastra 

buku di Yogyakarta. Hadirnya penerbit Sipres yang menerbitkan Yang Terhormat Nama 

Saya kumpulan cerpen Emha Ainun Nadjib, Shalahuddin Press yang menerbitkan 

kumpulan cerpen Odah karya Mohammad Diponegoro. PLP2M yang menerbitkan 

kumpulan puitisasi terjemahan ayat-ayat suci Al Qur’an karya Mohammad Diponegoro 

dan kumpulan esai Emha Ainun Nadjib Sastra yang Membebaskan merupakan perintis 

upaya penerbitan buku sastra di Yogyakarta pada era 1990-an. Perintisan ini kemudian 

diikuti oleh PT Bentang Intervisi Utama, yang kemudian berubah menjadi Yayasan 

Bentang Budaya. Novel karya Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit diterbitkan ulang oleh 

Bentang Budaya, kumpulan puisi Emha Ainun Nadjib berjudul Sesobek Buku Harian 

Indonesia yang diterbitkan Bentang Budaya bersama dengan Masyarakat Poetika 

Indonesia sempat best seller ketika selama 5 bulan laku 5000 eksemplar. Kumpulan 

puisi Golf Untuk Rakyat karya Darmanto Yatman, Orang-orang Rangkasbitung karya WS 

Rendra juga laku keras. Novel Arus Bawah atau Punokawan karya Emha Ainun Nadjib 

juga cukup digemari pembaca. Kumpulan puisi rupa karya Gendut Riyanto berjudul 

Habis Gelap Terbitlah Gelap juga terbit pada era ini. Dalam era ini oleh Bentang Budaya 

diterbitkan kumpulan esai Nirwan Dewanto Senjakala Kebudyaan dan esai karya Garin 

Nugroho Kekuasaan dan Hiburan. Novel lama karya Ashadi Siregar, Jantera Bianglala  

dan Orang-orang Kotagede, kumpulan cerpen karya Darwis Khudori pun sempat 

diterbitkan kembali oleh Bentang. Kumpulan esai Tumbal karya YB Mangunwijaya, 

kumpulan esai karya Mohammad Sobary Kebudayaan Rakyat, dan kumpulan esai 

Kuntowojoyo Radikalisasi Petani diterbitkan dalam waktu berdekatan. Kemudian 

penerbit Pustaka Pelajar dan Titian Ilahi Press juga menerbitkan karya sastra. Dari 

karya-karya sastra ini , wajah sejarah Indonesia pun dapat terbaca dengan jelas. 

Khususnya sejarah politik Orde Baru yang cukup menekan dan menindas kebebasan 

berpikir dan berpendapat itu. 

Pada tahun-tahun ini terjadi pergeseran minat sastrawan Yogyakarta. Kalau 

sejak tahun 1950-an banyak sastrawan lebih berkonsentrasi dan lebih mementingkan 

menulis puisi, mulai tahun 1990-an para sastrawan berkonsentrasi menulis cerita 

pendek. Ini disebut sebagai era kejayaan prosa di Yogyakarta. Indra Tranggono 

(Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa), Joni Ariadinata (IKIP Mhammadiyah 

Yogyakarta), Agus Noor, Satmoko Budi Santosa, Raudal Tanjung Banua (ketiganya dari 

ISI Yogyakarta), Teguh Winarso, dan teman-teman seangkatannya kemudian lebih 

dikenal sebagai penulis cerpen. Bahkan tahun 2000, dalam rangkaian acara Kemah 

Budaya yang diselenggarakan Koperasi Seniman Yogyakarta bersama Komunitas Gayam 

16, para cerpenis ini merintis berlangsungnya Kongers Cerpen Pertama di 

Parangkusumo. Kongres ini  sampai hari ini ditradisikan setiap dua tahun sekali 

dengan tempat berpindah-pindah. 

Berduyunnya para sastrawan muda menjadi penulis cerpen tidak dapat 

dipisahkan dari mulai tumbuhnya banyak penerbit sastra di Yogyakarta yang dirintis 

oleh Sipres, Shalahudin Press, dan Bentang Budaya. Penerbit yang baru lebih suka 

menerbitkan kumpulan cerpen ketimbang kumpulan puisi dengan alasan kumpulan 

cerpen lebih laku. Komunitas sastra baru seperti yang berbasis di Insist dan kampus 

juga lebih cenderung menerbitkan kumpulan cerpen. 

Pada saat yang sama kumpulan puisi yang lebih disukai adalah terjemahan. 

Maka karya Kahlil Gibran menjadi booming, diikuti kumpulan puisi jalur sufi Jalaludin 

Rumi, Ibnu ‘Arabi,  Rabiah al Adawiyah, dan karya Rabrindranath Tagore Disamping itu 

karya cerpen terjemahan, misalnya karya Najib Mahfudz, Nawa El-Sadawi. Taufik El 

Hakim dari Mesir pun laku keras. Penerbit seperti Terawang, Qalam, Jendela, Fajar, 

Navila,  Gita Nagari,  Adi Cita, Gama Media, Jalasutra, Logung, LKiS, Narasi, Galang, 

Diva, Binar Press, dan puluhan penerbit baru seperti berlomba menerbitkan karya 

sastra genre ini . 

 Pada tahun 2000-an minat sastrawan untuk menulis novel  tumbuh subur. Agak 

menggeser minat menulis puisi dan cerpen. Gejala ini dapat dilihat dari makin 

banyaknya karya-karya novel dari penulis Yogyakarta yang bertengger di rak toko-toko 

buku. Bahkan gairah menulis prosa panjang ini juga tumbuh dari kalangan mahasiswa 

dan pelajar SMU dan SMP. Toko buku, radio, dan kedai atau kafe menjadi tempat baru 

bagi peluncuran novel-novel ini . Ini yang menengarai adanya perubahan yang 

cukup signifikan bagi pertumbuhan sastra di Yogyakarta. Kalau pada tahun 1950 -1960-

an pusat komunitas dan pergaulan sastra adalah jalan Malioboro dan Koran, pada 

periode 2000-an dapat disaksikan bagaimana toko buku, radio, dan kafe yang 

menyelenggarakan peluncuran karya sastra baru dipenuhi dengan peminat. Novelis 

perempuan seperti Abidah El Khaliqei, Herlinatin pun muncul pada era ini. 

Pada saat ysng sama komunitas yang menekuni upaya pengembangan 

pertunjukan sastra juga tumbuh di kampus dan tempat lain. Upaya yang dirintis oleh 

Studio Per-tunjukan Sastra pimpinan Hari Leo mulai menampakkan hasilnya dengan 

diberikannya peluang untuk tampil sebulan sekali di Taman Budaya Yogyakarta. 

Kegiatan ini berlangsung setiap bulan dan mendapat sambutan dari sekitar sepuluh 

komunitas sastra di Yogyakarta. Sebagai upaya tegur sapa dan untuk membuka ruang 

pergaulan bagi para sastrawan semua angkatan, kegiatan ini diminati oleh sastrawan 

senior maupun yang masih belajar. Mereka dapat bertemu dan bertukar pengalaman 

pada saat bertemu dalam acara yang diberi tajuk Bincang-bincang Sastra ini. Daya tarik 

kegiatan ini antara lain karena kegiatan ini memadukan antara pertunjukan sastra dan 

dialog sastra. Dengan demikian yang hadir dapat menikmati suasana yang segar. 

Apalagi, pada saat yang sama di tempat yang sama juga digelar bursa buku sastra dan 

budaya yang diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta. 

 Dinamika demi dinamika sastra di atas dapat dimaknakan sebagai bagian dari 

upaya sastrawan yang berasal dari hampir seluruh penjuru tanah air, ketika tinggal dan 

berkarya di Yogyakarta terus bersemangat menggulirkan kesadaran menjadi Indonesia. 

Sebab ketika mereka berada di Yogyakarta, mereka merasa tinggal di Indonesia dan 

memperjuangkan keindonesiaan yang majemuk dalam karya-karyanya. Kedatangan 

dan penampilan sastrawan dari bagian Indonesia yang lain ke Yogyakarta, atau 

kehadiran sastrawan Yogyakarta dalam menghadiri berbagai pertemuan sastra nasional 

dan internasional pun didasari dengan semangat untuk menggali keindonesiaan dan 

makin menjadi Indonesia, tentu saja dengan basis nilai-nilai universal. Dengan 

demikian, diam-diam dan tidak terasa, jejak sejarah sastra yang dibuatnya pun paralel 

dengan jejak sejarah nasional kita. Banyak sastrawan yang mengubah fakta-fakta 

sejarah yang rumit, muskil, dan konroversial (yang sulit ditulis dalam bentuk berita 

ataupun naskah ilmiah) menjadi bahan penulisan karya sastra. Ini dapat ditemukan 

pada karya sastra berupa puisi, cerpen, dan novel yang terus-menerus ditulis di 

Yogyakarta. Yogyakarta sebagai bagian dari Indonesia, sekaligus tema Indonesia sebagai 

bagian penting dari Yogyakarta.