Penetapan awal Ramadhan dan Syawal adalah
persoalan ijtihad sehingga sangat
memungkinkan terjadinya perbedaan
pandangan dan pendapat sebagaimana terjadi pada
imam yang empat (Syafi’I, Mal iki, Hambali dan
Hanafi). Dalam konteks Indonesia agaknya persoalan
ini sudah sering terjadi bahkan kita rasakan beberapa
kali. Jauh hari sebelumnya Nabi kita Muhammmad
S.a.w. telah mengingatkan sekaligus menganjurkan
kepada kita untuk memulai dan mengakhi ri Ramadhan
dan Syawal hanya dengan rukyat hilal, yaitu melihat
hilal secara langsung diakhir Sya’ban dan Ramadhan.
Hal ini berdasarkan hadits beliau S.a.w. ; “P uasalah
kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya -lah)
karena melihat hilal, jika hilal tertutup awan maka hitunglah
(kadarkan -lah)” . HR.Bukhari -Muslim
Seiring berjalan dan bergantinya masa berikut
perangkat -perangkatnya, agaknya hadits Nabi S.a.w.
tersebut mulai diperbincangkan bahkan ‘dikritik’ oleh
sementara ulama dan ilmuan, teruta ma ilmuan yang
bersentuhan secara langsung dengan disiplin ilmu
terkait dengan hal ini. Antara lain dalam aktifitas
rukyat hilal banyak kelemahan -kelemahan yang tidak
bisa ditolerir oleh akal manusia seiring dengan
majunya IPTEK disemua lini kehidupan. Pad a
dasarnya pula dalam sudut pandang ilmu hisab -falak
(astronomi) rukyat terdapat kelemahan -kelemahan
yang sebenarnya dapat teratasi melalui peranan ilmu
falak. Namun hal ini sedikit terhambat, sebab persoalan
P
3
ini tidak melulu persoalan teknologi, akan teta pi juga
terkait persoalan fikih sebagaimana kehendak zhahir
hadits diatas. Paling tidak dalam masalah ini tedapat
dua kubu berlawanan ( madzhab rukyat dan madzhab
hisab) yang kerap berselisih dan terkadang hampir saja
merobohkan persatuan dan kesatuan umma t. Beranjak
dari sedikit sketsa diatas, dalam makalah ini penulis
coba mengungkap penyebab terjadinya perbedaan
pendapat tersebut sekaligus menyertakan argumen
masing-masing kubu dalam mempertahankan hujjah -
nya, tak lupa pula penulis akan memberi sikap dar i
polemik ini yang tentu saja tidak harus disepakati oleh
semua pihak.
TENTANG RUKYAT DAN H ISAB
Rukyat
‘ Ru’ yah’ secara etimologi adalah melihat (an -
nazhr) , merupakan kata jadian dari ra’a - yara - ra’yan -
wa ru’yatan , bentuk singular -nya ru’an dan ra’ yan .
Bermakna melihat dengan mata (bil ‘ain) , bisa pula
bermakna melihat dengan ilmu ( b i l ‘il mi ) . 1 Dikatakan
hilal, adalah karena kemunculannya pada awal -awal
malam bula-bulan Qamariyah. Rukyat dimaksud
dalam hal ini adalah melihat hilal di akhir
Sya’ban/R amadhan untuk menentukan tanggal satu
Ramadhan/Syawal, hukum melakukan rukyat hilal
adalah fardhu kifayah.
1 Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abd al-Qadir ar-Razi, Mukhtar as-
Shahhah, Dar al-Hadits-Kairo, 1424 H-2003 M, h.133
2 3
4
Hisab
- -yahsibu adalah kata jadian dari hasiba sab’ i H ‘
wa hisabatan, secara bahasa bermakna hisaban
r , dan menguku , kalkulasi (ahsha) menghitung (‘adda)
Dimaksud dalam hal ini adalah menghitung 2 . (qaddara)
-bulan Qamariyah pergerakan posisi hilal diakhir bulan
nya -awal bulan -khusus untuk menentukan awal
-alat - dengan memakai alat Ramadhan-Syawal
3 perhitungan.
-HISAB AN RUKYAT PENETAPAN HILAL DENG
JJAHNYA DAN HU
Penetapan dengan rukyat
Cukup banyak hadits yang menyatakan tentang
rukyat hilal terkait dengan penetapan Ramadhan dan
Syawal, antara lain sbb.;
َّدَح ،َرَمُع ِنْبا- ر ىض 1- ِنَع ،ٍعِفَان ْنَع ٍكِلاَم َىلَع ُْتأَرَق َلَاق ،َىيْحَي ُنْب َىيْحَي َاَنث
يِبَّنلا ِنَع َلَاَقف َناَضَمَر َرَكَذ" َلا امهنع هللا- ُهََّنأ ملسو هيلع هللا ىلص ِ
َلاَو َلَلاِهْلا اُوََرت ىَّتَح اوُموَُصت ُهَل اوُرِدْقَاف ْمُكَْيلَع َيِمُْغأ ْنِإَف ُهْوََرت ىَّتَح اوُرِطُْفت"
.
َّدَح ،َةَماَُسأ ُوَبأ َّدَح ،َةَب ،ٍِعفَان ْنَع ،ِهَّللا ُدْيَبُع َاَنث َّدَحاََنث 2 - ْيَش يَِبأ ُنْب ِرْكَب ُوَبأ اََنث
،َرَمُع ِنْبا ِنَع َرَكَذ ملسو هيلع هللا ىلص ِهَّللا َلوُسَر ََّنأ امهنع هللا ىضر
َناَضَمَر َلَاَقف ِهْيَدَِيب َبَرََضف" اَذَكَهَو اَذَكَهَو اَذَكَه ُرْهَّشلا- َُّمث ِإ َدَقَع يِف ُهَماَهْب
َِةثِلاَّثلا- اوُرِطَْفأَو ِهِتَيْؤُرِل اوُموَُصف َنيَِثَلاث ُهَل اوُرِدْقَاف ْمُكَْيلَع َيِمُْغأ ْنِإَف ِهَِتيْؤُرِل"
.
2 Majma’ Lughah al-‘Arabiyah Republik Arab Mesir, al-Mu’jam al
Wajiz, t.t., h.149
3 Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problematika Penentuan Awal Bulan
(Malang: Madani, cet. I, 2014), h. 14-15.
5
َّدَحَو ِنْبا ِنَع ،ٍِعفَان َّدَح ،ٍبْرَح ُنْب ُرْيَهُز يَِنث 3 - ْنَع ،َبوَُّيأ ْنَع ،ُليِعاَمْسِإ َاَنث
،َرَمُع- امهنع هللا ىضر- ىلص ِهَّللا ُلوُسَر َلَاق َلَاق ملسو هيلع هللا" اَمَِّنإ
ىَّتَح اوُموَُصت ََلاف َنوُرْشِعَو ٌعْسِت ُرْهَّشلا َّمُغ ْنِإَف ُهْوََرت ىَّتَح اوُرِطُْفت َلاَو ُهْوََرت
اوُرِدْقَاف ْمُكَْيلَع ُهَل" .
َّدَح- ََّضفُمْلا ُنْب ُرْشِب َاَنث َّدَح ،ِل ُّيِلِهَابْلا َةََدع ،ُةَمَلَس َاَنث َّدَحَو، 4 - ْسَم ُنْب ُدْيَمُح يَِنث
ُنْبا َُوهَو َةَمَقْلَع- ،َرَمُع ِنْب ِهَّللا ِدْبَع ْنَع ،ٍعِفَان ْنَع- امهنع هللا ىضر - َلَاق
ملسو هيلع هللا ىلص ِهَّللا ُلوُسَر َلَاق" َنوُرْشِعَو ٌعْسِت ُرْهَّشلا َف ََللاِهْلا ُُمتَْيأَر اَذِإ
اوُرِطَْفَأف ُهوُُمتَْيأَر اَذِإَو اوُموَُصف ُهَل اوُرِدْقَاف ْمُكَْيلَع َّمُغ ْنَِإف" .
َّدَح ِنْبا ِنَع ،ُُسنُوي يِنَرَبَْخأ ،ٍبْهَو 5 - ُنْبا َانَرَبَْخأ ،ىَيْحَي ُنْب ُةَلَمْرَح يَِنث
َّدَح َلَاق ،ٍباَهِش ُنْب ،َرَمُع َنْب ِهَّللا َدْبَع ََّنأ ،ِهَّللا ِدْبَع- امهنع هللا ىضر ُمِلاَس يَِنث
- َلَاق ُلُوَقي ملسو هيلع هللا ىلص ِهَّللا َلوُسَر ُتْعِمَس" ُهوُُمتَْيأَر اَذِإ اَذِإَو اوُموَُصف
اوُرِدْقَاف ْمُكَْيلَع َّمُغ ْنِإَف اوُرِطَْفَأف ُهوُُمتَْيأَر ُهَل" .
َّدَحَو ٍرْجُح ،ُنْباَو ،ٍديِعَس ُنْب ُةَبَْيُتقَو ،َبوَُّيأ 6 - ُنْب ىَيَْحيَو ،ىَيْحَي ُنْب َىيَْحي َاَنث
َّدَح ،َنوُرَخلآا َلاَقَو َانَرَبَْخأ- ٍرَفْعَج ُنْبا َُوهَو - ىَيْحَي ُنْب ىَيَْحي َلَاق ،ُليِعاَمْسِإ َاَنث
ُهََّنأ ٍراَنيِد ،ِنْب ِهَّللا ِدْبَع ْنَع ،َرَمُع َنْبا َعِمَس- هللا ىضر امهنع- ُلوُسَر َلَاق َلَاق
ملسو هيلع هللا ىلص ِهَّللا" ٌعْسِت ُرْهَّشلا ُهْوََرت ىَّتَح اوُموَُصت َلا ًةَلْيَل َنوُرْشِعَو
ىَّتَح اوُرِطُْفت َلاَو ُرِدْقاَف ْمُكَْيلَع َّمُغ ْنَِإف ْمُكَْيلَع َّمَُغي َْنأ َِّلاإ ُهْوََرت ُهَل او " .
َّدَح ،َةَدَابُع ُنْب َّدَح ،َقاَحْسِإ ُنْب ُءاَّيِرَكَز َاَنث َّدَح ،ِهَّللا ِدْبَع ُنْب ُنوُراَه َاَنث 7 - ُحْوَر َاَنث
َّدَح ،َرَمُع َنْبا َعِمَس ُهََّنأ ،ٍراَنيِد- امهنع هللا ىضر- ُتْعِمَس ُلُوَقي ُنْب وُرْمَع َاَنث
هللا ىلص َّيِبَّنلا ُلُوقَي ملسو هيلع" َاذَكَهَو اَذَكَهَو اَذَكَه ُرْهَّشلا " . ََضَبقَو
َِةثِلاَّثلا يِف ُهَماَهِْبإ.
َّدَح ،يَِبأ َّدَحَو ُتْعِمَس َلَاق ،َةََلبَج ْنَع ،َُةْبعُش َاَنث َّدَح ،ٍذَاعُم ُنْب ِهَّللا ُدَْيبُع َاَنث 8 - َاَنث
َرَمُع ،َنْبا- ىضر هنع هللا ام- ملسو هيلع هللا ىلص ِهَّللا ُلوُسَر َلَاق ُلُوَقي"
َّصلا يِف َّرَم ِهْيَدَِيب َقَّفَصَو ِةَقْف ُرْهَّشلا َاذَكَو َاذَكَو اَذَك" . َصََقنَو اَمِهِعِباََصأ ِ لُكِب ِنَْيت
ىَرُْسيْلا َِوأ ىَنُْميْلا َماَهِْبإ َِةثِلاَّثلا.4
hadits-hadits diatas, Dari informasi makna zhahir
agaknya jelaslah bahwa dalam memulai dan
mengakhiri puasa - hari raya hanya dengan rukyat hilal
saja, yaitu terlihatnya hilal diawal Ramadhan dan
4 Lihat an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawy, j.VII, Maktabah
as Shafa - Kairo, cet.I, 1424 H-2003 M, h.172-173.
5 4
6
Syawal sesuai dengan ke -umum-an dan ke -literal -an
dari hadits – hadits diatas. D engan kriteria jika awan
dalam keadaan cerah pada saat terbenam matahari
tanggal 29 Sya’ban maka esok harinya adalah awal
puasa, demikian pula jika hilal terlihat pada tanggal 29
Ramadhan esok harinya adalah hari raya dan rukyat
hilal mutlak dilakukan, namun jika terdapat
penghalang yang menutupi hilal - seperti mendu ng, dll . -
maka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus
ditunda sehari dengan menggenapkan (i stikmal)
bilangan bulan Sya’ban dan atau Ramadhan menjadi 30
hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan nabi S.a.w.
bahwa umur bulan itu adakalanya 29 hari adakalanya
pula 30 hari.
Akan tetapi seiring dengan majunya peradaban
manusia yang diiringi dengan tumbuh pesatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hadits -hadits
diatas mulai di re -aktualisasi-kan dalam konteks
kekinian dan kedisinian (baca: Indonesia). Antara lain
dalam aktifitas rukyat banyak sekali kelemahan -
kelemahan yang seharusnya tidak terjadi di -era
modern saat ini. Berdasarkan penelitian intensif yang
dilakukan oleh para pakar Hisab -Fala k (Astronomi)
terdapat beberapa kelemahan rukyat yaitu a.l. sbb.:
1. Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi
(mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara
bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat
yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang
mata manusia tanpa memakai alat. Ini berarti
hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari
7
pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar
yang mengisi 98,75 % sangatlah besar.
2. Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit
s.d. 1 jam), padahal panda ngan mata sering
terhalang oleh awan yang banyak terdapat di
negara tropis dan basah karena banyaknya lautan
seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan
lautan maupun daratan didekatnya maka hasil
penguapannya membentuk awan yang
mengumpul didekat permuk aan disekitar ufuk.
Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk
inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat.
3. Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan
rukyat hilal adalah kondisi sore hari, terutama
yang menyangkut pencahayaan, karena
kemuncu an hilal sangat singkat maka rukyat
harus dilaksanakan secepat mungkin setelah
matahari terbenam. Pada saat itu meskipun
matahari sudah dibawah ufuk, cahayanya masih
terlihat benderang, selanjutnya akan muncul
cahaya kuning keemasan (cerlang petang).
Cahay a ini sangat kuat dan nyaris
menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup.
4. Banyaknya penghalang diudara berupa awan,
asap kenderaan, asap pabrik, dll
5. Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak
tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya
beberap a derajat kesebelah utara atau selatan
tempat terbenamnya matahari.
6. Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab
melihat adalah gabungan antara proses jasmani
6 7
8
dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah
proses psikis. Sekalipun ada benda, citra be nda di
selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri
urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan
melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya
karena melamun, maka dalam hal ini proses
psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak
terjadi pula . Sebaliknya, meskipun proses psikis
tidak ada – misalnya bendanya tidak ada sehingga
tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik
maupun listrik- namun jika proses mentalnya
hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’
melihat. Dalam ilmu psikologi, pr oses ini dikenal
dengan istilah “halusi nasi” , yaitu berupa perasaan
ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada
benda yang akan dilihat, atau merasa yakin
bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda
yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll.
bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh
lebih kecil bahkan redup. 5
Dengan alasan -alasan diatas manusia mulai
berpikir untuk mencari solusi dari kenyataan ini, hisab -
falak agaknya menjadi pilihan. Namun lagi -lagi hal ini
tidaklah mudah seperti membali kkan telapk tangan,
sebab hal ini terkait juga dengan aspek syari’at (fikih).
Karenanya perbincangan seputar ini semakin hangat
dan menarik untuk diteliti dan di -diskusi- kan.
Penetapan dengan hisab
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan
Ilmu Pengeta huan dan Teknologi (IPTEK) membawa
konsekuensi kepada bergesernya ketetapan -ketetapan
relatif (zhan) yang memungkinkan untuk di -elaborasi
dalam konteks modern. Pada dasarnya Islam tidak
membebani ummat -nya untuk melakukan perhitungan
dengan rumus -rumus hisab-falak yang rumit, “kita
adalah ummat yang ummi , tidak menuli s dan tidak
menghitung” Demikian ungkap Nabi Sa.w. terkait
dalam hal ini. Akan tetapi hal ini bukan berarti
mengindikasikan bahwa Islam melarang kegiatan hisab
perhitungan gerak bulan dan mata hari, dll. Dalam
kenyataan dari masa kemasa para pakar astronomi
muslim telah memberi kontribusi signifikan terhadap
perkembangan ilmu hisab -falak terkait dengan
penetapan awal bulan Qamariyah, sebab kajian ini
terkait dengan waktu -waktu ibadah ummat Islam yang
pada gilirannya keberadaan ilmu hisab -falak menjadi
semakin penting.Tidak sedikit ulama – teristimewa –
kalangan Syafi’iyah menempatkan hasil hisab -falak
sebagai alat untuk menguji keabsahan rukyat,
kesaksian seseorang yang melihat hilal tertolak bila
data hisab-falak menyatakan hilal belum terlihat atau
berada pada posisi yang belum memungkinkan
terlihat.
Imam Taqiyuddin as -Subki (w.756) dalam Fatawa -
nya menyatakan terdapat beberapa ulama besar (kibar)
yang mewajibkan atau setidak -tidaknya membolehkan
8 9
10
berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan
bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang
memungkinkan untuk terlihat (i mkan ar ru’yah) .
Menurut beliau pendapat ini yang disebutnya sebagai
wajh , memandang imkan rukyat sebagai sebab
wajibnya puasa dan ha ri raya, berbeda dengan wajh
ashah yang tetap mengaitkannya dengan nafs ar ru’yah
atau ikmal ‘iddah . Selanjutnya beliau mengemukakan
bila pada suatu kasus ada orang yang mengkhabarkan
atau menyaksikan bahwa hilal telah tampak, padahal
hisab dengan m uqaddim at- nya yang qath’I menunjukkan
bahwa hilal tidak mungkin terlihat - m i salnya karena
posisi nya yang terlalu dekat dengan matahari - maka
informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian
tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan
mengingat nilai k habar dan kesaksian bersifat zhan
sedang hisab bersifat qath’I , telah dimaklumi bahwa
sesuatu yang qath’I tidak dapat didahului atau
dipertentangkan dengan sesuatu yang zhan . 6
Pernyataan as -Subki ini selanjutnya mendapat
dukungan dari beberapa ulama yang datang kemudian
seperti imam as -Syarwani, al-‘Abbadi dan al -Qalyubi
(w.1069). Tokoh terakhir (al -Qalyubi) ini mengatakan;
“yang benar, rukyat hanyalah sah pada waktu hilal memang
mungkin terlihat” yaitu meskipun ia tetap mendasarkan
pada rukyat tetapi ju ga menempatkan hisab pada
posisi cukup penting. Secara lebih tegas al -Syarwani
dan al-‘Abbadi mengatakan ; ”seyogianya, jika menurut
hisab qath’I hilal telah berada pada posisi memungkinkan
terlihat (haitsu tata’atta ru’yatuh) setelah matahari
terbenam, kir anya hal itu telah cukup dijadikan acuan
meskipun dalam kenyataan (zhahir) hilal tidak tampak” . 7
Terkait dengan hadits Nabi S.a.w.; “faqduru lah”
(hitunglah) diatas, jumhur ulama baik salaf maupun
khalaf menyatakan; “takdirkanlah dengan menggenapkan
bil angan menjadi 30 hari” . Akan tetapi terdapat pula
beberapa ulama yang menafsirkan lain terhadap hadits
tersebut, a.l.; Ahmad ibn Hanbal (w. 241) dan beberapa
ulama lainnya menyatakan perintah itu bermakna;
“anggaplah hilal itu ada dibalik awan” (wa qaddara hu tahta
as sahab) . Dengan demikian bila cuaca mendung pada
saat terbenam matahari (ghurub) tanggal 29 Sya’ban,
mereka tetap mewajibkan puasa esok harinya.
Sementara menurut Mutharrif ibn ‘Abdillah (seorang
tabi’in besar), Ibn Qutaibah (w.276 H), Ibn Surai j (w.306
H) dan lain -lain menafsirkan dengan “perkirakanlah hilal
tersebut dengan perhitungan al -manazil (perhitungan gerak
bulan dan matahari) . 8 . Sementara itu pula Ibn al -
Qudamah dalam al -Mughni -nya menafsirkan kata
“faqdurulah” tersebut dengan tiga kemu ngkinan yaitu;
fa akmilu (sempurnakanlah hitungan menjadi 30 hari), fa
dhayyiqu (ambil -lah yang tersingkat) dan fahsibu
(lakukanlah perhitungan).
Lebih dari itu, berdasarkan perhitungan -
perhitungan yang dilakukan para ulama falak
menunjukkan bahwa data y ang dihasilkan dipandang
cukup sah dan akurat menurut syara’, diperkuat lagi
dengan kenyataan bahwa perhitungan hisab -falak
sudah selalu memberikan hasil yang sangat akurat
tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Sehingga
tak berlebihan banyak ulama konte mporer mendukung
bahkan mewajibkan penggunaan data hisab -falak
dalam menentukan awal bulan Qamariyah teristimewa
Ramadhan-Syawal. Antara lain Thanthawi Jawhari
dalam tafsirnya al -Jawahir fi Tafsir al - Qur’an al -‘Azhim
secara panjang lebar menyatakan kemesti an
memakai data hisab -falak dalam memulai puasa
dan hari raya, hal ini dapat disimak dalam pandangan
beliau ketika mengomentari QS.Yunus: 5 serta ayat -
ayat yang berkaitan dengan perhitungan gerak siang -
malam, dll. 9
Selanjutnya ulama kontemporer Mesir Rasyid
Ridha dalam tafsirnya al -Manar juga menyerukan
(membolehkan) untuk memakai data hisab -falak
dalam komentarnya terhadap ayat -ayat puasa dan
perhitungan gerak bulan dan matahari. 10
Selanjutnya lagi Ahmad Muhammad Syakir 11 ,
juga menyatakan demikian d alam salah satu karyanya
“Awa’il as -Syuhur al -‘Arabiyah, hal yajuzu syar’an
itsbatuha bil hisab al falaki” , bahkan ia mengatakan cukup
banyak (aktsar ) f uqaha’ dan m uhadditsin yang tidak
mengetahui ilmu falak, bahkan kebanyakan mereka
(katsir minhum) tidak mempercayai para pakar ilmu itu,
terlebih -lebih mereka menganggap itu adalah sesuatu
yang bid’ah. 12
AMS dalam karyanya tersebut menceritakan
kronologis pembolehan/pewajiban hisab -falak
tersebut, kesimpulannya sbb.; Telah dimaklumi bahwa
pada awalnya bangsa Arab sebelum dan diawal
berkembangnya Islam tidak mengerti ilmu falak
dengan pemahaman secara komprehensif (ma’rifatan
‘ilmi yyatan jazimatan) sebab mereka adalah ummat yang
um m i , tidak menulis dan menghitung. Karena itu Rasul
S.a.w. menjadikan sarana term udah dalam menentukan
awal Ramadhan-Syawal yang dapat dilakukan oleh
semua bangsa Arab ketika itu, yaitu rukyat hilal
dengan mata -kepala. Ini adalah sarana terbaik dan
efektif dalam aktifitas ibadah mereka untuk
menghasilkan rasa yakin dan percaya dalam ba tas
kesanggupan mereka, sesungguhnya pula Allah S.w.t.
tidak membebani hamba -Nya lebih dari
kesanggupannya. Akan tetapi seiring tumbuh dan
berkembangnya Islam dengan terjadinya berbagai
kemenangan (f utuhat), diiringi pula dengan kemajuan
yang pesat ilmu pe ngetahuan disemua disiplin, tanpa
terkecuali ilmu hisab -falak (astronomi). Sementara itu
pula sebagaimana disinggung diatas, tidak banyak
f uqaha’ dan m uhadditsin yang memahmi ilmu ini.
Sementara sebagian mereka yang percaya dan
mengertipun, tidak pula mamp u meng-elaborasi ilmu
ini dengan tuntutan fikih. Lantas beliau (AMS)
memberi hujjah dengan argumen yang dibawa oleh
Taqiyuddin as -Subki dalam Fatawa -nya diatas. 13
Menanggapi pernyataan Nabi S.a.w. “fa in
ghumma ‘alaikum, faqdurulah” dan “fa in ghumma ‘ala ikum
fa akmilu ‘al - iddah tsalatsin” AMS menjawab dengan
mengutip pendapat Ibn Suraij (W.306 H) dengan
menggabungkan dua riwayat tersebut dalam dua
keadaan yang berbeda. Pernyataan Nabi S.a.w.
faqdurulah bermakna “kadarkanlah dengan perhitungan al -
manazil ( hisab -falak)” yaitu tertuju untuk orang -orang
khusus mengerti ilmu perhitungan (khithab liman
khasshahullah bi hadza al ‘il m ) , sementara pernyataan “fa
akmilu… dst” tertuju untuk orang -orang awam (khithab
lil ‘ammah). 14
Yusuf al-Qaradhawi dalam Fi qh as -Shiyam -nya
menyebutkan pula secara tegas sekaligus menyeru
untuk menerima fakta ini dengan mengutip pendapat
Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir diatas. 15
Dari pemaparan makalah diatas dapat kita tarik
seikat kesimpulan sekaligus s ikap penulis dalam
masalah ini, yaitu sbb.;
1. Penetapan awal Ramadhan -Syawal adalah
persoalan ijtihad sehingga sangat memungkinkan
terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat.
2. Pernyataan Nabi S.a.w. “faqduru lah” dan “fa in
ghumma ‘alaikum fa akmilu al -‘i dda h tsalatsin” ,
hadits pertama tertuju pada orang -orang yang
mengerti ilmu hisab -falak, hadits kedua tertuju
pada orang awam (sesuai dengan pernyataan
AMS yang mengutip pendapat Ibnu Suraij)
ditambah argumen -argumen lainnya.
3. Hadits Nabi S.a.w. “i n na ummatun umm i yyah”
bermakna jika ‘ i l lah um mi yyah tersebut hilang,
tentunya membawa konsekuensi keberlakuan
hisab-falak.
4. Berdasarkan penelitian intensif menunjukkan
bahwa dalam rukyat terdapat banyak kelemahan
dipandang dari sudut IPTEK sehingga metode ini
perlu di elaborasi dan disederhanakan dengan
fasilitas teknologi modern (hisab -falak).
5. Berdasarkan penelitian dan perhitungan yang
dilakukan para pakar hisab -falak menunjukkan
bahwa data yang dihasilkan sudah selalu
memberikan hasil yang sangat akurat tanpa
menyisa kan perbedaan yang berarti. Sehingga tak
berlebihan banyak ulama kontemporer
16
mendukung bahkan mewajibkan penggunaan
data hisab-falak dalam menentukan awal bulan
Qamariyah teristimewa Ramadhan -Syawal.
6. Sikap ini tentunya relatif (i jtihadiy) , karena itu
tidak harus disepakati oleh semua pihak. Wallah
al -a’
bservatorium berperan penting dalam tingkat
kemajuan ilm u pengetahuan di bidang
astronomi. Observatorium adalah tempat yang
dilengkapi perlengkapan untuk melihat dan
mengamati langit. Kedua objek ini dapat menjadi suatu
tujuan wisata rekreasi dan bersifat edukatif. Dalam
penerapannya pada desain, suatu konsep t ata surya
memperhatikan teori pembentukan yang ada pada tata
surya, konsep sirkulasi, massa bangunan, tekstur,
warna, simpangan dan ukuran dari bentuk yang
mengilhami suatu konsep (Trya et al., 2010) .
Observatorium adalah institusi sains di peradaban
Islam yang memiliki fungsi dan posisi strategis dalam
kehidupan masyarakat. Selain sarana mengakur atkan
waktu dan lokasi ibadah, observatorium juga berfungsi
O
sebagai lembaga pendidikan sains yang
mengintegrasikan keimanan, keislaman, sains, dan
empirik. Dalam konteks peradaban Islam,
observatorium merupakan miniatur majunya sebuah
peradaban (bangsa) (Qorib, 2019) . Untuk menjalankan
sebuah Observatorium dengan fungsi yang sangat
kompleks harus didukung dengan kemampuan
manajemen yang baik.
Harold Kontz dan Cyril O’donnel (1980)
mengatakan bahwa manajemen adalah usaha mencapai
suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain.
Manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah
aktivitas orang lain yang meliputi perencanan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian.
Dengan demikian, manajemen mangacu pada suatu
proses mengkoordinasikan dan mengin tegrasikan
kegiatan -kegiatan kerja untuk diselesaikan secara
efisien dan efektif dengan melalui orang lain. Proses
menggambarkan fungsi -fungsi manajemen berjalan
sesuai dengan tupoksinya masing -masing (Batlajery,
2016) . Oleh karena itu Observatorium dimana saja tidak
boleh melupakan peran manajemen demi
keberlangsungan dan efektifitas sebuah observatorium
karena sebuah manajemen yang baik sagat menentukan
kualitas dari sebuah observatorium.
METODOLO GI
Tipe penelitian yang digunakan adalah Deskriptif.
“Menurut Sugiyono, penelitian Deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan memberikan gambaran
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai suatu
21
pembahasan tertentu. Penelitian Deskriptif bertujuan
me nggambarkan apa saja yang saat ini berlaku”.
Melalui metode penelitian Deskriptif, penulis berupaya
menggambarkan, mencatat, menganalisis dan
menginterprestasikan kondisi -kondisi yang terjadi
dilapangan terkait dengan Manajemen Observatorium
Ilmu Falak Uni versitas Muhammadiyah Sumatera
Utara (Awaluddin & Hendra, 2018) .
TEORI
Pengertian Manajemen
Menurut Mary Parker Follet (2007) pengertian
manajemen sebagai proses, karena dalam manajemen
terdapat adanya kegiatan -kegiatan yang harus
dilakukan, misalnya kegiatan perencanan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Keg iatan-kegiatan tersebut satu sama lainnya tidak
dapat dipisahkan atau dengan kata lain saling terkait
(terpadu), sehingga akan membentuk suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Jika kita kaitkan dengan
sebuah Observatorium maka kegiatan yang disebutkan
diatas memang harus ada dan dapat dijalankan dengan
baik. Oleh karena itu, manajemen disebut sebagai
Sistem. Manajemen mengandung unsur sebagai
berikut :
1. Manajemen sebagai proses /usaha /aktifitas
2. Manajemen sebagai seni
3. Manajemen terdiri dari individu -individu/orang -
orang yang melakukan aktivitas
20 21
22
4. Manajemen memakai berbagai sumber -
sumber dan factor produksi yang tersedia dengan
cara efektif dan efisien
5. Adanya tujuan yang telah ditetapkan terlebih
dahulu.
Menurut James F. Stoner (2004) pengertian
manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian dan penggunaan sumber daya dan
sumber lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, manajemen
bertujuan pada suatu proses mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan kegiata n-kegiatan kerja diselesaikan
secara efisien dan efektif dengan melalui orang lain.
Proses menggambarkan fungsi -fungsi manajemen
berjalan sesuai dengan tupoksinya masing -masing.
Walaupun berbeda -beda dalam cara pandang,
namun konsep manajemen tetap mengac u pada
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian. 1. Manajemen sebagai proses kegiatan
Sebagai suatu proses kegiatan, manajemen diartikan
sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari
kegiatan merencanakan, melaksanakan serta
mengkoo rdinasikan apa yang direncanakan sampai
dengan kegiatan mengawasi atau mengendalikannya
agar sesuai dengan apa yang direncanakan. 2.
Manajemen sebagai suatu ilmu dan seni Manajemen
sebagai ilmu dan seni diartikan sebagai uapaya
pencapaian tujuan dengan pen dekatan dan
menjelaskan fenomena -fenomena dan gejala -gejala
manajemen serta mentransformasikan dan
mengindentifikasikan proses manajemen berdasarkan
23
kaidakaida ilmiah. 3. Manajemen sebagai kumpulan
orang untuk mencapai tujuan Setiap kegiatan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara kooperatif
dalam organisasi disebut sebagai aktivitas manajemen.
Kolektivitas orang -orang tersebut bergabung dalam
suatu organisasi dan dipimpin oleh seorang pemimpin
(manajer) yang bertanggung jawab penuh atas upaya
penca paian tujuan secara efisien dan efektif Fungsi -
Fungsi Manajemen Ricky W. Griffin (2004)
mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran
(goals) secara efekt if dan efesien. Efektif berarti bahwa
tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan,
sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada
dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai
dengan jadwal. 1. Fungsi Perencanaan Dalam
manajemen, perencanaan adala h proses mendefinisikan
tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai
tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja
organisasi. Perencanaan merupakan proses terpenting
dari semua fungsi manajemen karena tanpa
perencanaan fungsi -fungsi lain pen gorganisasian,
pengarahan, dan pengontrolan -tak akan dapat berjalan.
2. Fungsi Pengorganisasian Proses yang menyangkut
bagaimana strategi dan taktik yang telah dirumuskan
dalam perencanaan didesain dalam sebuah struktur
organisasi yang tepat dan tangguh, s istem dan
lingkungan organisasi yang kondusif, dan dapat
memastikan bahwa semua pihak dalam organisasi
dapat bekerja secara efektif dan efisien guna
22 23
24
pencapaian tujuan organisasi. 3. Fungsi Pengarahan
dan Implementasi Proses implementasi program agar
dapat dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi
serta proses memotivasi agar semua pihak tersebut
dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan penuh
kesadaran dan produktifitas yang tinggi. 4. Fungsi
Pengawasan dan Pengendalian Proses yang dilakukan
untuk mema stikan seluruh rangkaian kegiatan yang
telah direncanakan, diorganisasikan dan
diimplementasikan dapat berjalan sesuai dengan target
yang diharapkan sekalipun berbagai perubahan terjadi
dalam lingkungan dunia bisnis yang dihadapi. Fungsi
dan Proses Manajem en Pada umumnya manajemen
dibagi menjadi beberapa fungsi, yaitu menrencanakan,
mengkoordinasikan, mengawasi dan mengendalikan
kegiatan dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan
yang di inginkan secara efisien dan efektif.
Henry Fayol (2010) mengusulkan bah wa semua
manajer paling tidak melaksanakan lima fungsi
manajemen, yakni merancang, mengorganisasikan,
memerintah, mengkoordinasikan, dan mengendalikan.
1. Perencanaan Perencanaan dapat diartikan
sebagai suatu proses untuk menentukan tujuan serta
sasaran yang ingin dicapai dan mengambil langkah -
langkah strategis guna mencapai tujuan tersebut.
Melalui perencanaan seorang manajer akan dapat
mengetahui apa saja yang harus dilakukan dan
bagaimana cara untuk melakkukannya.
2. Pengorganisasian Pengorganisasian m erupakan
proses pemberian perintah, pengalokasian sumber daya
serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir kepada
25
setiap individu dan kelompok untuk menerapkan
renacana. Kegiatan -kegiatan yang terlibat dalam
pengorganisasian mencakup tiga kegiatan yaitu ( 1)
membagai komponen -komponen kegiatan yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam
kelompok-kelompok, (2) membagai tugas kepada
manajer dan bawahan untuk mengadakan
pengelompokkan tersebut, (3) menetapkan wewenang
di antara kelompok atau unit -unit organisasi.
3. Pengarahan Pengarahan adalah proses untuk
menumbuhkan semangat (motivation) pada karyawan
agar dapat bekerja keras dan giat serta membimbing
mereka dalam melaksanakan rencana untuk mencapai
tujuan yang efektif dan efisien. Melalui penga rahan,
seorang manajer menciptakan komitemen, mendorong
usaha-usaha yang mendukung tercapainya tujuan.
4. Pengendalian Bagian terakhir dari proses
manajemen adalah pengendalian (controlling).
Pengendalian dimaksudkan untuk melihat apakah
kegiatan organisa si sudah sesuai dengan rencana
sebelumnya. Fungsi pengendalian mencakup empat
kegiatan, yaitu (1) menentukan standar prestasi; (2)
mengukur prestasi yang telah dicapai selama ini; (3)
membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan
standar prestasi; dan ( 4) melakukan perbaikan jika
terdapat penyimpangan dari standar prestasi yang
telah ditetapkan. Analisis Fungsi Manajemen Setelah
menganalisis fungsi manajemen dari para ahli, penulis
berpendapat bahwa fungsi -fungsi manajemen terdiri
dari planning (perencan aan), organizing
24 25
26
(pengorganisasian), motivating (pemberian motivasi)
dan controlling (pengendalian).
Senada dengan apa yang diutarakan Mee tentang
fungsi manajemen. Mengingat kondisi perkembangan
globalisasi saat ini yang menuntut adanya kreativitas
dan p ersaingan antar perusahaan, organisasi maupun
individu. Sehingga motivating menjadi hal yang
penting dalam usaha menggerakkan setiap individu
agar mau memberikan yang terbaik dari dirinya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penjelasan
fungsi manaj emen lebih lanjut sebagai berikut. 1.
Planning (perencanaan) Planning (perencanaan)
menurut Usman (2011: 66) merupakan proses
pengambilan Batlajery, Penerapan Fungsi -Fungsi
Manajemen Pada keputusan atas sejumlah alternatif
mengenai sasaran dan cara -cara ya ng akan
dilaksanakan dimasa yang akan datang guna mencapai
tujuan yang dikehendaki serta pemantauan dan
penilaiannya atas hasil pelaksanaannya, yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Pendapat yang sama dari Terry & Roe (2005: 9)
mengemukaka n planning sebagai penentuan tujuan -
tujuan yang hendak dicapai selama suatu masa yang
akan datang dan apa yang harus diperbuat agar dapat
mencapai tujuan -tujuan itu. Planning (perencanaan),
berarti menentukan suatu cara bertindak yang
memungkinkan organisa si dapat mencapai tujuannya.
2. Organizing (pengorganisasian), berarti memobilisasi
sumber daya manusia dan sumber daya alam dari
organisasi untuk mewujudkan rencana menjadi suatu
hasil. 3. Motivating (pemberian motivasi), pemberian
27
inspirasi, semangat dan dorongan kepada bawahan
agar melakukan kegiatan secara suka rela sesuai
dengan tugas -tugasnya. 4. Controlling (pengawasan),
berarti pemantauan (monitoring) rencana untuk
menjamin agar dikemudikan dengan tepat (Siswanto,
2009) (Batlajery, 2016) .
P erencanan Observatorium yang Ideal
Sebuah Observatorium harus memiliki
perencanaan yang baik karena observatorium menurut
Tulloch adalah lokasi berada di puncak tertinggi,
tersedia prasarana pendukung fungsi observatorium
seperti jalan, listrik, air bersih, juga telepon serta
kondisi cuaca dan pengamatan (seeing). Kriteria ideal
observatorium secara lebih lengkap adalah sebagai
berikut: 1) Lokasi, observatorium harus berada pada
suatu kawasan desa yang jauh d ari pencahayaan.
Observatorium tidak mungkin berada di pusat
kota atau di dekat kota besar dalam kaitannya dengan
tingginya polusi cahaya. Lokasi observatorium harus
ditempatkan pada puncak tertinggi, idealnya berada
pada suatu puncak yang terisolasi. Tida k ditempatkan
pada suatu dataran rendah atau lembah pegunungan.
Lokasi yang ideal berada pada suatu lokasi yang dapat
ditempuh dengan berkendaraan dalam waktu dua
sampai tiga jam perjalanan dari kota; 2) Prasarana,
pada lokasi observatorium harus tersedia jalan, listrik,
dan terutama air dan juga telpon. Jalan harus dapat
dilalui kendaraan untuk menuju ke suatu kota.
Penataan prasarana jalan harus Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Vol.10 No.1 Page | 3 sekecil
26 27
28
mungkin memakai anggaran observatorium; 3 )
Kondisi cuaca, langit malam yang bebas dari awan
adalah suatu kriteria paling mendasar dan yang sangat
penting untuk lokasi observatorium. Angin kencang
juga dapat mengganggu pengamatan oleh adanya
turbulence atmosfir dan dapat menimbulkan getaran
pada t eleskop. Angin kencang juga akan menimbulkan
dampak negatif bagi pengamatan bintang. Lokasi
dengan angin badai yang tinggi harus dihindarkan
untuk menempatkan observatorium; 4) Pengamatan
(seeing) adalah bentuk istilah yang digunakan untuk
penetapan citra astronomi. Suatu lokasi dengan
“pengamatan tidak baik” akan tidak jelas dalam
melakukan perekaman, data resolusi rendah (Katrini,
2010) .
P engorganisasian Observatorium sesuai denga n
Fungsinya
Pengorganisasian sebuah observatorium tidak
terlepas dari fungsi sebuah observatorium oleh karena
itu kita harus dapat memahami apa saja fungsi sebuah
observatorium agar dapat diorganisasikan dengan baik
Sebagai Wahana Edukasi Planetarium
me rupakan sarana wisata pendidikan yang dapat
menambah wawasan yang sangat luas kepada
pengunjung khususnya bidang ilmu pengetahuan
astronomi, karena pertunjukan planetarium yang
sering disebut juga Teater Bintang menyajikan berbagai
macam peristiwa alam jag at raya. Dalam sebuah
planetarium digital dapat juga menampilkan berbagai
29
jenis pertunjukan baru dalam format multimedia,
dengan pertunjukan audiovisual yang menarik.
Sebagai Sarana Hiburan Planetarium
merupakan alternatif sarana hiburan bagi masyarakat
umum, hal ini ditandai dengan menjadikan
planetarium sebagai salah satu alternatif tempat
rekreasi keluarga. Selain berperan sebagai wahana
edukasi, planetarium juga berperan sebagai wahana
rekreasi untuk para pengunjung. Planetarium juga
masuk dalam prog ram pariwisata setiap negara, dalam
membantu devisa negara walaupun ruang lingkupnya
masih kecil. Kadang juga Planetarium dijadikan sarana
hiburan musik orchestra yang mempunyai latar
belakang pemandangan simulasi benda -benda langit
sebagai latarnya.
Se bagai Tempat Penelititian atau Pengamatan
Observatorium berperan sebagai lembaga ilmiah yang
bukan hanya menjadi tempat berpikir dan bekerja para
astronom profesional, tetapi juga merupakan tempat
bagi masyarakat untuk mengenal dan menghargai
sains. Dalam terminologi ekonomi modern,
Observatorium berperan sebagai public good. Dalam
perjalanan penelitiannya, seringkali sebuah
observatorium melahirkan berbagai macam temuan
baru di dunia astronomi secara khususnya, dan dalam
ilmu pengetahuan secara umum (Trya et al., 2010) .
Setelah mengetahui fungsi sebuah
observatorium maka langkah berikutnya menyusu n
Standar Operasional Prosedur, Instruksi Kerja, Visi,
Misi, tujuan dan Road Map ke depan dari masing -
masing fungsi yang ingin dicapai
28 29
30
PEMBAHASAN OIF UMSU
Lokasi dan Posisi Geografis Lokasi
Observatorium Ilmu Falak Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara terletak di Jalan.
Denai No 217 Lantai. 7 Gedung Pascasarjana UMSU,
Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Medan
Denai, Kota Medan, Sumatera Utara Kode Pos 20226
Telp. 0853 -5803 -3907.
Sejarah Observatorium Ilmu Falak UMSU Pada
mulanya, tujuan pendiria n OIF UMSU adalah dalam
rangka pengkajian dan penelitian benda -benda langit
semata. Namun seiring berjalannya waktu,
observatorium memiliki jangkauan lebih luas yaitu
dengan menyelenggarakan pengajaran astronomi dan
diskusi ilmiah. Namun oleh karena sifatn ya yang
sangat praktis dan empiris serta membutuhkan
peralatan -peralatan khusus memicu
observatorium sebagai lembaga ilmiah tidak begitu
menyebar luas di dunia Islam abad pertengahan
dibanding dengan lembaga -lembaga sains lain seperti
bait al-hikmah, perpustakaan dan rumah sakit
maupun lembaga pendidikan Islam parexcellence
masjid dan madrasah. Dalam kehadiran awalnya,
observatorium adalah model bagi sebuah organisasi
sains, yang setidaknya ada dua faktor pemicu
munculnya. Pertama, bahwa observatorium sebagai
institusi sains mampu mencerminkan sifat penelitian
ilmiah melalui pengamatan alami yang terorganisir.
Hal ini menjadi basis bagi perkembangan teori -teori
ilmiah yang terus berkembang dan memiliki karakter.
31
K edua, observatorium sebagai organisasi s osial
mencerminkan kekhasan institusi sains yang
tergambar dalam praktik kolektif dan kerjasama antar
astronom Muslim. Dua faktor ini memberi pengaruh
bagi kemajuan pengetahuan astronomi.19 Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sebagai
universitas swasta terkemuka di Medan ternyata tidak
memiliki banyak ahli yang mumpuni di bidang Ilmu
Falak yang mampu berkiprah baik di tingkat lokal
maupun nasional, apatah lagi internasional. Tidak
dipungkiri, ketiadaan dan kelangkaan ini efeknya
dirasakan di teng ah masyarakat, dimana masyarakat
hingga kini belum mengerti esensi penentuan waktu
ibadah, khususnya penentuan puasa dan hari raya.
Berdasarkan fakta di atas dan guna mendorong
percepatan kemajuan UMSU di bidang Ilmu Falak,
maka jalan terbaik yang perlu di lakukan adalah
membangun pengkaderan, pelatihan dan penelitian
bidang ini secara profesional dan simultan, dimana hal
ini sebagai bagian dari upaya melahirkan sumber daya
manusia berkualitas, yang mempunyai keunggulan
tehnikal, dan siap menjawab berbagai pertanyaan
masyarakat terkait Ilmu Falak. Oleh karena itu,
dengan penuh kesadaran dipandang perlu
mendirikan “Observatorium Ilmu Falak Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara” (OIF UMSU).
Observatorium Ilmu Falak Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara ya ng (disingkat OIF
UMSU) adalah salah satu lembaga di UMSU yang
bergerak di bidang observasi benda -benda langit dan
pengkajian Ilmu Falak (Astronomi Islam), didirikan
30 31
32
tahun 2014 berdasarkan SK Rektor UMSU (Agussani )
No. 1060/K EP/II.3 -AU/UMSU/D/2014, dan
diresmikan oleh Ketua MTT PP Muhammadiyah
(Syamsul Anwar). Selanjutnya pada Konvensi
Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) di
Yogyakarta, 23 Mei 2016 M, OIF UMSU kembali
diresmikan oleh Presiden RI (Joko Widodo) yang
ditandai dengan penandatangan prasasti.
Aktivitas OIF adalah penelitian, edukasi, dan
khidmat kepada masyarakat dalam bidang Ilmu Falak
(Astronomi Islam. OIF memiliki visi menjadi pusat
pengkaderan, penelitian, pemikiran dan pengkajian
Ilmu Falak yang memadukan khazanah Islam dan
sains modern da n misi menyelenggarakan program
pelatihan, pengkajian, dan penyuluhan Falak di
lingkungan kampus dan di lingkungan masyarakat.
Sementara itu motto OIF adalah “memotret semesta
dengan iman dan peradaban. OIF memiliki motto
“Memotret Semesta demi Iman dan Pe rdaban”, dan
sejauh ini OIF bergerak dengan filosofi ini. “Memotret
Semesta” bermakna bahwa pengamatan benda -benda
langit merupakan bagian integral dari sebuah
observatorium. Tanpa aktivitas observasi maka
sebuah observatorium tidak layak disebut
observato rium. “Demi iman” merupakan ungkapan
tauhid dan tujuan tertinggi manusia. Mengamati
langit, selain ekspolarasi alam semesta, juga
merupakan bagian dari upaya mengokohkan
keimanan kepada Allah. “Demi Peradaban” bermakna
bahwa pengkajian dan penelitian keant ariksaan
merupakan bagian dari apresiasi dan akomodasi
33
terhadap perkembangan zaman. Agama Islam,
sebagai yang diyakini Muhammadiyah dan UMSU
ada di dalamnya, adalah agama yang menghargai
ilmu pengetahuan, sains dan teknologi dimana antar
dimensi ideal wahy u dan peradaban manusia
sejatinya akan selaras. Pendirian sebuah
observatorium bernama OIF UMSU adalah apresiasi
konkret terhadap perkembangan zaman (Rambe et al.,
2019) .
Saat ini OIF UMSU memiliki manajemen yang
cukup ba gus terbukti dari sejak didirikannya OIF
UMSU kurang lebih lima tahun yang lalu OIF UMSU
telah berhasil meraih beberapa capaian yang luar biasa
yang tidak dapat diraih oleh observatorium lain di
Indonesia seperti :
1. Jumlah Kunjungan terbanyak dalam jangka waktu
5 tahun,
2. Menerbitkan Jurnal yang sudah terakreditasi Sinta
3,
3. Menerbitkan Majalah,
4. Telah Mengukur Arah Kiblat Puluhan Masjid.
5. Melakukan Penelitian dan Pengabdian yang
didanai baik Instansi Swasta maupun Negeri.
6. Meraih 2 Rekor Muri. Dan masih bany ak lainnya.
Capaian yang didapatkan OIF UMSU
membuktikan manajemen seperti perencanan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan di OIF
UMSU berjalan dengan baik.
alah satu kebutuhan manusia dalah hidup
bermasyarakat adalah metode penanggalan.
Penanggalan merupakan metode satuan -satuan
ukuran waktu yang digunakan untuk mencatat
berbagai peristiwa penting, metode -metode waktu itu
antara lain hari, minggu, bulan, tahun, dan sebagainya.
Di Indonesia selain banyak metode yang berkembang
juga banyaknya ormas -ormas Islam yang eksis dan
berkembang, masing -masing ormas Islam memiliki
masa atau warga dan kebijakan tersendiri. Dan ini juga
ikut mewarnai terhadap perbed aan penetapan awal
bulan qamariyah. Sehingga sering terjadi perbedaan
mengawali puasa Ramadhan berhari raya idul fithri
dikalangan umat Islam Indonesia (Rohmat, 2014) .
Persoalan penetapan awal bulan atau
penanggalan dalam Islam merupakan suatu hal yang
serius. Keseriusan itu dapat dilih at dari datadata dalam
Alquran dan Hadis baik qawli maupun fi’li. Tidak
hanya berhenti pada sumber ternyata para ulama
dalam semua kitab fikih akan membahas persoalan
kajian penetapan awal bulan terkait dengan
Ramadahan, syawal dan sebagainya (Marpaung, 2018) .
Dalam penanggalan Hijriah, awal berlangsungnya
tanggal dimulai pada saat matahari terbenam (ghurūb).
Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi
hilāl saat ghurūb tanggal 29 bulan Hijriah bulan yang
sedang berjalan. Ilustrasinya seperti berikut: 1) Jika
pada saat ghurūb tanggal 29, posisi bulan belum
mencapai ijtimā‘, secara astronomis maka bulan yang
S
39
sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan
harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan
pada tanggal 30; 2) Jika pada saat ghurūb tanggal 29
ijtimā‘ sudah terjadi, posisi hilālterhadap Matahari
negatif a tau hilāl terbenam terlebih dahulu dibanding
matahari, maka umur bulan yang sedang berjalan
berumur 30 hari; 3) Jika pada saat ghurūbtanggal 29,
ijtimā‘ sudah terjadi sebelum ghurūb, posisi hilāl positif
atau matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding
bulan, maka penentuan awal bulan ber -dasarkan
kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi
kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan
atau tanggal 1 bulan baru Hijriyah. Jika belum
memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan
yang sedang b erjalan (Muhaini, 2013) .
Untuk menjembatani berbagai persoalan
penetapan awal bulan Qamariyah sebagaimana yang
dideskripsikan di atas, pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama (Kemenag) melakukan
musyawarah dengan berbagai elemen masyarakat yang
berakhir de ngan sidang itsbat (sidang penetapan awal
dan akhir bulan Qamariyah). Hasil sidang itsbat yang
di fasilitasi Kemenag tersebut, justru tidak ditaati
sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia.
Otoritas pemerintah dalam penetapan awal bulan
Qamariyah menjadi dile matis, bahkan tidak mengikat
umat Islam, karena payung hukum yang berkaitan
dengan hal tersebut hanya mengacu pada fatwa MUI
tahun 2004. Bermacam fatwa MUI yang dikeluarkan di
Indonesia, sering diabaikan dan tidak diaplikasikan
umat Islam, termasuk yang be rkaitan dengan wajibnya
38 39
40
umat Islam mengikuti putusan pemerintah di bidang
hisab dan rukyat tersebut. Disamping itu, masih
banyak masyarakat yang hanya mengikuti putusan
organisasi, tarekat, dan tokoh yang mereka hormati
dalam menetapkan awal bulan Qamariya h (khususnya
Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah). Tapi pada sisi lain,
terdapat juga masyarakat yang taat dalam mengikuti
putusan pemerintah (Kementerian Agama) sebagai
pemegang otoritas dalam bidang keagamaan (Haliah,
2016) . Untuk itu, penting mengulas kembali secara
ontologis tentang hakikat ulil amri serta siapa
sesungguhnya yang dipandang sebagai ulil amri yang
berwenang dalam penetapan awal bulan Qamariyah.
Menurut fikri, ulil amri yang berwenang dalam
menetapkan awal bulan Qamariyah adalah ulama, baik
secara individu maupun kolektif yang memiliki
kompetensi serta otoritas dalam bidang Ilmu Falak dan
penetapan awal bulan Qamariyah (Fikri, n.d.)
METODOLOGI
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kua litatif
dengan Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara. Wawancara merupakan salah satu
teknik yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
data penelitian. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa wawancara (interview) adalah suatu kejadian
atau suatu proses interaksi antara pewawancara
(interviewer) dan sumber informasi atau orang yang di
wawancarai (interview) melalui komunikasi langsung.
Metode wawancara/interview juga merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
41
dengan cara Ta nya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden/ orang yang di
wawancarai, dengan atau tanpa memakai
pedoman (guide) wawancara. Dalam wawancara
tersebut biasa dilakukan secara individu maupun
dalam bentuk kelompok, sehingga di dapat data
informatik yang orientik.
Wawancara bertujuan mencatat opini, perasaan,
emosi, dan hal lain berkaitan dengan individu yang ada
dalam organisasi. Dengan melakukan interview,
peneliti dapat memperoleh data yang lebih banyak
sehingga peneliti dapat mema hami budaya melalui
bahasa dan ekspresipi hak yang diinterview; dan dapat
melakukan klarifikasi atas hal ‐ hal yang tidak
diketahui. Pertanyaan pertama yang perlu diperhatikan
dalam interview adalah Siapa yang harus diinterview ?
Untuk memperoleh data yang kredibel makain terview
harus dilakukan dengan Know ledgeable Respondent
yang mampu menceritakan dengan akurat fenomena
yang diteliti. Isu yang kedua adalah Bagaimana
membuat responden mau bekerjasama? Untuk
merangsang pihak lain mau meluangkan waktu untuk
diinterview, maka perilaku pewawancara dan
responden harus selaras sesuai dengan perilaku yang
diterima secara sosial sehingga ada kesan saling
menghormati. Selain itu, interview harus dilakukan
dalam waktu dan tempat yang sesuai sehingga dapat
menciptaka n rasa senang, santai dan bersahabat.
Kemudian, peneliti harus berbuat jujur dan mampu
meyakinkan bahwa identitas responden tidak akan
pernah diketahui pihak lain kecuali peneliti dan
40 41
42
responden itu sendiri. Data yang diperoleh dari
wawancara umumnya berben tuk pernyataan yang
menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini dan
perasaan pribadi. Untuk memperoleh data ini peneliti
dapat memakai metode wawancara standar yangt
erskedul (Schedule Standardised Interview), interview
standart akterskedul (Non ‐Schedule Standardised
Interview) atau interview informal (Non Standardised
Interview). Ketiga pendekatan tersebut dapat
dilakukan dengan teknik sebagai berikut: a) Sebelum
wawancara dimulai, perkenalkan diri dengan sopan
untuk menciptakan hubungan baik b) Tunjukkan
bahwa responden memiliki kesan bahwa dia orang
yang “penting” c) Peroleh data sebanyak mungkin d)
Jangan mengarahkan jawaban e) Ulangi pertanyaan jika
perlu f) Klarifikasi jawaban g) Catat interview (Chairi,
2009).
Penulis menemui Ketua RHI Korw il Sumatera
Utara yaitu Bapak Bambang Eko Lasmadi. Pada Maret
2019 Adapun Sekretariat RHI Korwil SUMUT : Jl.
Tanah 600 Marelan Raya Gg.Keluarga no.30 Medan.
Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) merupakan sebuah
wadah kelembagaan bagi para jaringan angota yang
te rsebar di seluruh Indonesia bahkan beberapa
diantaranya anggota berdomisili di luar negeri
Wacana Unifikasi Inisiatif Pemerintah
Pemerintah telah sejak lama memberikan per -
hatian dalam masalah penentuan awal bulan
Qamariyah. Misalnya ditandai dengan di -be ntuk nya
Badan Hisab Rukyat (BHR) di bawah naungan
43
Departemen Agama sebagai wadah yang
mempertemukan para ulama, ahli hisab rukyat,
astronom, dan wakil-wakil organisasi masyarakat di
Indonesia. BHR di -bentuk berdasarkan S.K. Menteri
Agama No. 76 Tahun 197 2 pada tanggal 16 Agustus
1972.
U paya -upaya Unifikasi Penetapan Awal Bulan
Qamariyah di Indonesia
Salah satu tujuan dibentuknya badan ini adalah
“mengusahakan bersatunya umat Islam dalam
menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10
Dzulhijjah”. Lahirnya BHR di latarbelakangi oleh
munculnya perbedaan -perbedaan yang terjadi di
masyarakat seperti jatuhnya awal Ramadhan 1391 H
/1971 M. dan Dzulhijjah 1391 H /19 72 M.18 Kegiatan
organisasi ini antaranya Musyawarah Kerja Hisab
Rukyat19 dan Sidang isbâth.20Hingga kini meski
keberadaan BHR telah melampui usia 40 tahun lebih,
namun upaya yang dilakukan Kementerian Agama
dengan tujuan awal pembentukannya belum
membuahkan hasil yang memuaskan (Hamdun, 2014) .
Anjuran Taat pada Pemerintah oleh MUI seb agai
payung umat Islam Indonesia pada Desember 2003
memprakarsai per -temuan ulama komisi fatwa se -
Indonesia dengan wakil ormas Islam untuk membahas
penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
Pertemuan tersebut melahirkan beberapa point
rekomendasi.
Pertama, yang berhak menentukan dan
menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 1 Dzulhijjah untuk
Indonesia adalah Menteri Agama.
42 43
44
K edua, dalam menentukannya Menteri Agama
harus memakai hisab dan rukyat.
Ketiga, umat Islam seluruh Indonesia wajib
mengikuti peneta pan Menteri agama itu. Kesepakatan
tersebut kemudian diformalkan dalam fatwa MUI No. 2
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa;
1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah
dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab
oleh Pernerintah RI cq Menteri Agarna dan berlaku
secara nasional,
2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati
ketetapan Pernerintah RI tentang penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah,
3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijah, Menteri Agama wajib berkonsultasi
dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas -ormas
Islam, dan Instansi terkait (Hamdun, 2014) .
TEORI
Biografi Drs. Bambang Eko Lasmadi
Drs. Bambang Eko Lasmadi, Lahir di P. Siantar 17
April 1966 M. Menamatkan Pendidikan menengah atas
di SMA Negeri 2 Sian tar jurusan IPA dan Beliau
merupakan alumni S -1 Program Studi PDU -Akutansi
IKIP Medan tahun 1990. Saat ini beliau aktif melakukan
kegiatan falakiyah seperti survey hilal muda setiap
bulan, gerhana Matahari -Bulan, Kalibrasi Arah Kiblat
dll. Selain itu belia u aktif belajar ilmu -ilmu agama
secara talaqiy dan Musyarafah dengan beberapa guru -
45
guru Agama beliau juga Mengajar agama di rumah dan
beberapa Masjid.
Metode Awal Bulan RHI SUMUT
RHI Medan (SUMUT), mempunyai prinsip
bahwa penentuan awal bulan ada rumus -rumus baku
yang digunakan, dan penentuan awal bulan harus
melalui rukyah, kedua survei lapangan. Survei
lapangan yang dilakukan harus tepat kapan
mensurveinya,. Menurut RHI Medan (SUMUT), ada
rumusan dan persyaratan baku kapan mensurvei yang
harus dilakukan, mensurvei harus dilakukan setiap tgl
29 Hijriyah malam tgl 30, terkait tanggal 1 hijriahnya.
Hal tersebut merupakan kegiatan yang sinergis,
berhubungan langsung dari tanggal 1 hijriahnya, jika
di tanggal 29 hilal minus (di bawah ufuk) berarti ada
kesalahan .
Penetapan minus jika dikaji berdasarkan
hitungan astronomis yang sudah dilakukan RHI
Medan (SUMUT) bertahun -tahun ketika penetapan
tanggal satunya salah. Hal ini ada dua kemungkinan,
yang pertama biasanya gagal dalam melakukan
rukyah sehingga istikmal, d an yang kedua memang
tidak terlihat di tempat (melaksanakan rukyah) tapi
terlihat di tempat lain, jadi untuk menetapkan tanggal
1 harus benar agar tanggal 29 nya juga benar.
Tanggal 1 itu benar harus memperhatikan
kemungkinan kesalahan, kemungkinan kesalah an
diantaranya peluang istikmal terjadi karena di tempat
kita tidak terlihat dan di tempat lain terlihat.
44 45
46
Apabila pada tanggal 29 hijriyah minus atau hilal
berada di bawah ufuk berarti ada yang salah dalam
penetapan tanggal 1 sebelumnya, ada peluang koreks i,
begitu juga seandainya hilal tidak terlihat lalu kita
melakukan istikmal, maka kita harus merukyat
tanggal 28 nanti untuk mengetahui benarkah istikmal
yang dilakukan. Mungkin ada orang di tempat lain
yang melihat hilal tersebut. Jadi ada peluang
memperb aiki dan itu sudah di fatwa dalam beberapa
pendapat -pendapat ulama.
Menurut saya, kalau hilal berada pada posisi minus
berarti perhitungannya ada yang salah dalam
penetapan tanggal 1 yang lalu arena Rasulullah Saw
tidak pernah membuat sesuatu yang berten tangan
dengan ilmu alam.
Kriteria Visibilitas Hilal RHI
Kriteria Visibilitas Hilal RHI mendefinisikan Hilal
sebagai Bula n pasca konjungsi yang memiliki Lag ≥ 24
menit hingga Lag ≤ 40 menit pada saat terbenamnya
Matahari. Bulan pasca konjungsi dengan Lag < 24
menit disarankan untuk disebut sebagai Bulan Gelap,
bukan hilal. Dari analisis terhadap basis data RHI telah
berhasil disusun sebuah kriteria visibilitas baru yang
khas untuk Indonesia, yakni Kriteria RHI dengan
variabel beda altitude dan beda azimuth dalam bentuk
persamaan : aD ≥ 0,099DAz2 – 1,4 90 DAz + 10,382.
Kriteria RHI menunjukkan bahwa nilai beda altitude
Bulan– Matahari dipengaruhi oleh nilai beda
azimuthnya. Beda altitude minimum sebesar 5° pada
beda azimuth 7,5° hingga beda altitude maksimum
47
10,4° 16 Hasil pelaksanaan rukyat di 111 titik di
Indonesia, menurut Lukman, telah melihat hilal di
sembilan titik. Antara lain di Gresik (Jawa Timur),
Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), dan Kolaka (Sulawesi
Tenggara). senin - besok pada beda azimuth 0°.
Terdapat kesesuaian antara Kriteria RHI dengan
definisi hilal, ditunjukkan oleh konversi ke Lag Bulan
yang menghasilkan Lag minimu m ideal ≈ 19 menit.
Beda altitude minimum secara faktual adalah 5,8° yang
berkorelasi dengan Lag minimum faktual ≈ 23 menit.
Dengan definisi hilal dan Kriteria RHI, ”kriteria”
Imkanurrukyat versi MABIMS tidak bisa dibuktikan.
Basis data RHI juga menunjukka n bahwa ada nilai
elongasi minimum sebesar 7,23° yang dicapai dengan
alat bantu optik. Nilai tersebut mendekati nilai batas
Danjon versi awal dan usulan Schaefer berdasarkan
hasil observasi, angka ini masih sedikit di atas nilai
batas Danjon terbaru yang d iusulkan Odeh yakni 6,4°.
Kriteria RHI adalah sebuah kriteria yang sifatnya
dinamis sehingga kriteria ini akan selalu berkembang
menyesuaikan munculnya data -data baru laporan
kenampakan hilal khususnya laporan yang dianggap
valid dan merupakan rekor baru. Selain itu kriteria RHI
juga melegitimasi penggunaan alat bantu optik dan
teknik pencitraan dalam laporan rukyatul hilal namun
masih menolak laporan rukyat yang dilakukan qoblal
ghurub
PEMBAHASAN
Terkait penyatuan Awal Bulan di Indonesia Drs.
Bambang Eko Lasmadi tidak terlalu berharap banyak.
Beliau memiliki prinsip “Al -Ijtihad La Yunqadu Bi Al -
Ijtihad” (ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan dengan
ijtihad lain). Karena menurut beliau penentuan awal
bulan termasuk wilayah khilafiyah yang nilainya
zhanniy.
Ga m b a r 1. Poto bersama setelah melakukan wawancara. Dari
kiri : Marataon Ritonga, Ahmad Fauzi, Bambang Eko Lasmadi (Ketua
RHI SUMUT ), Arwin Juli Rakhmadi Butar - Butar, M. Hi dayat
(Penuli s) .
Beliau berpendapat jika pemerintah
memakai atau mengadopsi salah satu sistem,
berilah ruang gerak pada orang lain yang berusaha
untuk mengamalkan sesuai dengan ijtihadnya, selama
itu ada alasannya dan itu bisa dipertanggungjawabkan.
Jangan saling mempengaruhi dan saling
mengklaim metode yang paling benar, pemerint ah
49
diharapkan dapat memfasilitasi karena ini masalah
yang kompleks, yang sulit disatukan.
Beliau menekankan, secara nasional dan resmi
wilayah waktu di Indonesia ini tidak bisa disatukan,
maka harus dibagi 3 zona waktu (bahkan dahulu dibagi
6 zona di zaman Soekarno), jadi menurut beliau batas -
batas pembagian harus ada karena perbedaannya
sangat ekstrim bagi daerah -daerah yang terlalu jauh.
Ini dari segi analogi, berikutnya persoalan matlak ini
merupakan persoalan yang khilafiyah (ada perbedaan
pendapat) di kalangan ulama-ulama mujtahid, artinya
ini masalah khilafiyah (Arkanuddin & Sudibyo, 2015) .
Persoalan khilafiyah maka pedomannya tetap “al -
ijtihad la yunqadu bi al -jtihad”, jadi membuka peluang
kepada siapa saja. Dalam mazhab Syafi’i saja ada tiga
pendapat dalam menyikapi hasil survey hil al di
beberapa tempat yang berbeda apakah berdasarkan
prinsip masyafatul qashar, prinsip perbedaan iklim dan
prinsip Ikhtilaful mathla’ dan prinsip ikhtilaful mathla’
inipun definisinya diakui ada khilafiyahnya juga.
Jadi menurut beliau pemerintah hanya pe rlu
mengaturnya supaya dapat seragam, dan beliau juga
percaya apa yang dipelajari bahwa pemerintah harus
punya mazhab sendiri, artinya pemerintah berhak
menetapkan, tapi apakah ittihadul mathla’ atau yang
lain, berilah ruang kepada orang lain untuk
menjala nkan keyakinannya. Shalat adalah perkara
ibadah, berbeda dengan masalah kenegaraan, puasa
adalah masalah ibadah, jika masalah ibadah maka
secara langsung berhubungan kepada Allah SWT,
bukan ke sesama manusia. Namun jika terkait hari
48 49
50
libur misalnya, itu mer upakan hak pemerintah karena
terkait dengan maslahat bersama.
Jadi menurut beliau dipilah -pilah, jika masalah
ibadah (contohnya puasa) silahkan berdasarkan
keyakinan masing -masing, namun jika masalah yang
berhubungan dengan kebijakan negara dan
kemasyaraka tan (seperti hari libur dan lainnya)
silahkan pemerintah mengambil ijtihad
menetapkannya (Arkanuddin & Sudibyo, 2015) .
51
KESIMPULAN
RHI Medan (SUMUT), mempunyai prinsip
bahwa penentuan awal bulan ada rumus -rumus baku
yang digunakan, dan penentuan awal bulan harus
mel alui rukyah, kedua survei lapangan. Survei
lapangan yang dilakukan harus tepat kapan
mensurveinya. Menurut RHI Medan (SUMUT), ada
rumusan dan persyaratan baku kapan mensurvei yang
harus dilakukan, mensurvei harus dilakukan setiap tgl
29 Hijriyah malam tgl 30, terkait tanggal 1 hijriahnya.
Hal tersebut merupakan kegiatan yang sinergis,
berhubungan langsung dari tanggal 1 hijriahnya, jika
di tanggal 29 hilal minus (di bawah ufuk) berarti ada
kesalahan. Kemudian dalam hal penentuan awal
bulan di indonesia ketu a RHI korwil sumatera utara
memiliki prinsip “al - ijtihad la yunqadu bi al - ijtihad”
(ijtihad itu tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain).
karena menurut beliau penentuan awal bulan
termasuk wilayah khilafiyah yang nilainya zhanniy.
Jadi menurut beliau j ika masalah ibadah (contohnya
puasa) silahkan berdasarkan keyakinan masing -
masing, namun jika masalah yang berhubungan
dengan kebijakan negara dan kemasyarakatan (seperti
hari libur dan lainnya) silahkan pemerintah
mengambil ijtihad untuk menetapkannya.
Penelitian astronomi modern diliputi oleh berbagai macam
tantangan statistik, yang berkisar dari mengurangi data dari
megadataset hingga mengkarakterisasi variasi variabel benda
langit atau menguji teori astrofisika . Metodologi penelitian yang
digunakan yaitu metodologi deskriptif Penelitian ini menunjukkan
bahwa Statistik sangat diperlukan dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan salah satunya astronomi, selama ini metodologi
statitistik lebih populer dan sering dik embangkan untuk berbagai
ilmu pengetahuan lain seperti pertanian, biologi, pendidikan dan
sebagainya sedangkan metodologi statistik juga sangat diperlukan
dalam ilmu astronomi dan dari uraian di atas banyak sekali
metodologi yang bisa dikembangkan untuk me mperdalam
statistik pada ilmu astronomi.
stronomi adalah ilmu observasi tertua. Upaya
untuk memahami benda misterius yang
bercahaya di langit telah menjadi elemen
penting dalam buday a manusia selama puluhan tahun
bahkan ribuan tahun. Pengukuran kuantitatif fenomena
langit dilakukan oleh banyak peradaban kuno. Orang
Yunani klasik bukanlah pengamat aktif tetapi luar biasa
kreatif dalam penerapan prinsip -prinsip matematika
untuk astronomi. Seperti model geometris kaum
Platonis dengan bola kristal yang berputar mengelilingi
bumi statis diuraikan secara rinci, dan model ini
bertahan di Eropa selama lima belas abad. Filsuf alam
Yunani Hipparchus membuat salah satu aplikasi
pertama dari prins ip -prinsip matematika di bidang
statistik, dan memulai diskusi selama ribuan tahun
tentang prosedur untuk menggabungkan pengukuran
yang tidak konsisten dari fenomena fisik 16,17 .
Sedangkan statistika merupakan suatu ilmu yang
membahas cara -cara mengumpulkan a ngka sebagai
hasil pengamatan menjadi bentuk yang lebih mudah
dipahami 18 . Termasuk Penelitian astronomi modern
saat ini, ilmu astronomi modern saat ini diliputi oleh
berbagai macam tantangan statistik, seperti masalah
dalam mengurangi data dari megadataset hingga
mengkarakterisasi variasi variabel benda langit atau
menguji teori astrofisika 19 . Ilmu yang mempelajari
satatistik dalam astronomi disebut Astrostatistik.
Astrostatistik merupakan bidang interdisipliner
astronomi/astrofisika dan statistika yang
meng aplikasikan statistikauntuk mempelajari dan
menganalisis data astronomi 20 .
Pendapat yang berbeda ketika memahami
hubungan antara analisis statistik data empiris dengan
fenomena nyata, Sekelompok terkemuka abad ke -20
ahli statistik mengungkapkan keraguan yan g cukup
besar bahwa model statistik sama sekali tidak berguna,
seperti pandangan Eropa yang memperdebatkan arti
heliosentris Copernicus model kosmologis. Para ilmuan
ini memandang model statistik sangat berguna tetapi
seringkali diabaikan. Sir D. R. Cox, m enjelang akhir
perjalanan karirnya, merasakan penghalang antara
temuan statistik dan pengembangan atau validasi teori
ilmiah.
Aplikasi statistik dalam astronomi terlihat dalam
pengukuran pada zaman Babilonia yang melakukan
pengukuran panjang satu tahun,pan jang satu tahun
didefinisikan sebagai waktu antara titik balik matahari,
ia mengambil rata -rata dan umumnya tidak disukai
karena pengamatannya yang tidak akurat.
Beberapa sarjana abad pertengahan menyarankan
agar tidak memakai pengukuran berulang, kare na
dikhawatirkan akan memicu hasil yang berbeda.
Kegunaan rata -rata dalam observasi diperkenalkan
pada abad keenam belas oleh Tycho Brahe dan Galileo
Galilei. Johannes Kepler tampaknya tidak konsisten
memakai sarana aritmatika, sarana geometri, da n
nilai tengah dalam karyanya. penggunaan rata -rata
tidak ditetapkan astronomi sampai abad kedelapan
belas (Simpson, 1756) 21 .
Para astronom kuno prihatin dengan kesalahan
pengamatan, dengan menyebarkan kesalahan dari
instrumen yang tidak akurat dan pengamat yang lalai.
Dalam sebuah studi tentang koreksi posisi astronomi
dari pengamat di berbagai kota, al -Biruni menyinggung
kesalahan yang dapat terjadi yaitu penggunaan sinus
akan menimbulkan kesalahan jika memakai
instrumen kecil dalam perhitungan yang di gunakan
oeh pengamat 22 . Dalam dialog tentang dua pandangan
besar dunia,Ptolemaic dan Copernican, Galileo juga
memberikan diskusi awal tentang kesalahan observasi
tentang jarak ke supernova tahun 1572. Di sini ia
diuraikan secara nonmathematical
Sementara ad a sedikit perdebatan tentang arti dan
tujuan astronomi dan astrofisika sebagai pemikiran
intelektual, makna dan tujuan probabilitas dan statistik
telah banyak digunakan dan diperdebatkan. Dalam
bukunya Statistics and Truth volume, C. R. Rao (1997)
membahas bagaimana istilah "Statistik" telah
mengubah makna selama berabad -abad. Ini awalnya
mengacu pada koleksi dan kompilasi data. Pada abad
kesembilan belas, ia mencapai tujuan matematika
interpretasi data, seringkali untuk membantu dalam
membuat keputusan dun ia nyata. Rao memandang
statistik kontemporer sebagai campuran dari suatu
ilmu (teknik yang diturunkan dari matematika),
teknologi (teknik yang berguna untuk pengambilan
keputusan di hadapan ketidakpastian), dan seni (teknik
yang tidak sepenuhnya dikodifik asi berdasarkan
penalaran induktif) 23 .
METODOLOGI PENELITIA N
Data yang diperoleh diklasifikasikan ke dalam
data utama dan data pendukung. Kemudiaan data di
analisis dengan memakai metode deskriptif
analitis induktif. Analisis induktif dilakukan karena ,
menurut Moleong 24 dapat menemukan kenyataan
secara keseluruhan seperti yang terdapat dalam data.
Proses akhir analisis data yaitu dengan penarikan
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mendengar kata statistika maka pembicaraan ini
tidak akan jauh -jauh dari mean, median, dan modus.
Statistika dalam astronomi maka pembicaraan statistika
berkaitan dengan benda -benda langit, contohnya
seperti apa?
Terdapat hasil pengamatan baru hasil
pengamatan tersebut masih belum diidentifikasi,
apakah itu sumber sinar -X atau sumber sinar -Gamma.
Sehingga diperlukan statistik dan probabilitas untuk
memastikan pendeteksian. statistik dan probabilitas
diperlukan untuk menghasilkan data dengan presisi
dan akurasi yang tinggi.
Contoh dalam hal klasifikasi bentuk galaksi yang
berhas il dilakukan terhadap sekelompok data foto
galaksi yang terdiri dari galaksi spiral, elips, dan
irregular. Dari hasil klasifikasi diketahui bahwa rata -
rata waktu yang diperlukan untuk klasifikasi adalah 6,7
detik per galaksi. Rata -rata waktu yang diperluka n
untuk klasifikasi sebuah galaksi elips dan irregular
masing-masing adalah 4 dan 2 detik.
a) Tentukan rata -rata waktu untuk klasifikasi sebuah
galaksi spiral jika pada kelompok data tersebut
komposisi galaksinya adalah 70% spiral, 25%
elips, dan 5% irregu lar.
b) Dari hasil a) tentukan waktu rata -rata klasifikasi
(dalam detik) per galaksi jika kelompok data
tersebut memiliki komposisi 40% spiral, 40% elips,
dan 20% irregular.
Buku yang luar biasa ini adalah sejarah statistik
komprehensif pertama dari permul aannya sekitar
tahun 1700 hingga kemunculannya sebagai disiplin
yang berbeda dan matang sekitar tahun 1900. Stephen
M. Stigler menunjukkan bagaimana statistik muncul
61
dari interaksi konsep matematika dan kebutuhan
beberapa ilmu terapan termasuk astronomi, g eodesi,
psikologi eksperimental, genetika, dan sosiologi. Dia
menjawab banyak pertanyaan menarik: Bagaimana
ilmuwan belajar menggabungkan pengukuran yang
dilakukan dalam kondisi berbeda? Dan bagaimana
mereka dituntun untuk memakai teori
probabilitas un tuk mengukur akurasi hasil? Mengapa
metode statistik berhasil digunakan dalam astronomi
jauh sebelum mereka mulai memainkan peran penting
dalam ilmu sosial? Bagaimana pengenalan kuadrat
terkecil bisa mendahului penemuan regresi lebih dari
delapan puluh tah un? Atas dasar apa karya besar
orang-orang seperti Bernoulli, De Moivre, Bayes,
Quetelet, dan Lexis dianggap sebagai kegagalan parsial,
sedangkan karya Laplace, Galton, Edgeworth, Pearson,
dan Yule dihitung sebagai keberhasilan? Bagaimana
mesin probabilita s Galton (quincunx) memberinya
kunci kemajuan besar pada paruh terakhir abad
kesembilan belas?
Penekanan Stigler adalah pada bagaimana, kapan,
dan di mana metode teori probabilitas dikembangkan
untuk mengukur ketidakpastian dalam ilmu
eksperimental dan obs ervasi, untuk mengurangi
ketidakpastian, dan sebagai kerangka kerja konseptual
untuk studi kuantitatif dalam ilmu sosial. Dia
menjelaskan dengan hati -hati konteks ilmiah di mana
metode yang berbeda berkembang dan
mengidentifikasi masalah (konseptual atau m atematis)
yang menghambat pertumbuhan statistik matematika
60 61
62
dan perkembangan konseptual yang memungkinkan
terobosan besar.
Ahli statistik, sejarawan sains, dan ilmuwan sosial
dan perilaku akan memperoleh pemahaman yang lebih
dalam dari buku ini tentang peng gunaan metode
statistik dan pemahaman yang lebih baik tentang janji
dan batasan teknik semacam itu.
Statistik Planet Luar -surya
Sejak penemuan planet pada bintang 51 Peg
secara definitif oleh Mayor dan Queloz (1995), jumlah
planet yang ditemukan melalui berbagai metode
deteksi meningkat dengan pesat. Data penemuan
planet luar -surya ini didokumentasikan dengan
lengkap oleh J. Schnei -der dalam sebuah website
dengan alamat URL: http://e xoplanet.org, dan terus
menerus diperbaharui jika planet -planet baru
ditemukan. Sampai dengan Maret 2008, rata -rata setiap
bulannya ditemukan 2 planet baru, dan dapat
dipastikan jumlah ini akan terus meni ngkat seiring
dengan pencarian dan misi -misi ruang angkasa baru
yang ditujukan untuk itu.
Pada pembahasan ini, kita akan
mengelompokkan planet -planet luar -surya berdasarkan
massa dan jarak planet terhadap bintang induknya
memakai data yang dikompilasi oleh Schneider.
Hal ini ditujukan untuk memperoleh gambaran berapa
banyak planet raksasa yang bera da jarak sangat dekat
tersebut.
63
Planet Super -bumi
Dari data yang telah ditemukan terlihat bahwa
2.9% dari planet yang telah ditemukan memiliki massa
kurang dari 10 massa bumi, 33.9% planet memiliki
massa antara 10 massa Bumi sampai 1 massa Jupiter,
56.7% memiliki massa 1 10 massa Jupiter dan 6.5%
memiliki massa di atas 10 Massa Jupiter. Sebagian besar
planet yang ditemukan, lebih dari 60%, merupakan
planet ya ng lebih besar dari 1 Mjup.
Massa planet di dalam Tata Surya kita telah
diketahui. Dalam massa bumi, massa Uranus adalah
14.5M ⊕, massa Neptunus adalah 17.1M ⊕, massa
Saturnus adalah 95.2M ⊕, massa Jupiter sebagai planet
yang terbesar dalam Tata Surya adalah 318.7M ⊕ .
Selain itu, ada pengelompokan planet yang telah
umum diketahui. Planet -planet yang dikenal dengan
nama Super Bumi adalah kelompok planet yang
memiliki massa antara 1−10M⊕ . Ada juga yang
disebut dengan kelompok Neptunus yaitu planet -
planet
yang memiliki massa di sekitar Planet Neptunus
atau antara 10M ⊕− 1MSat. Lalu ada juga planet
kelompok Jupiter yang memiliki massa antara 1−10
MJup. Di luar pengelompokan planet -planet tersebut,
planet -planet yang lebih besar dari 1 Msat, biasanya
hanya disebut d engan planet raksasa.
62 63
64
Gambar 1. Sebaran Planet - planet s uper bumi yang telah terdeteksi
Kita dapat jelas melihat pada Gambar 1 bahwa
tujuh planet super bumi yang telah ditemukan,
ternyata sebagian besar mengorbit pada jarak yang
sangat dekat dengan bin - tang induknya, yaitu pada
jarak kurang dari 1 AU. Planet yang paling dekat
dengan bin - tang induknya yang termasuk dalam
kelompok planet super bumi adalah Planet Gliese 876 d
yang mengorbit pada jarak 0.0208 AU. Sedangkan yang
terjauh dari kelompok ini ad alah planet OGL E -05-390L
b yang mengorbit pada jarak 2.1 AU. Pada Gambar 1
kita juga menemukan planet yang begitu ringan
dengan massa hanya 0.0223 M ⊕, yaitu planetpertama
yang ditemukan dari pulsar PSR 1257+12, planet ini
mengorbit pada jarak 0.19 AU dari pulsar tersebut.
Kita lihat pada Gambar 2. sebaran planet -planet
dengan massa 10M ⊕−1Mjup, dengan jarak yang
dinyatakan dalam satuan astronomi, mayoritas planet -
planet tersebut juga memiliki setengah sumbu panjang
kurang dari 1 satuan astronomi. Pada sebara n ini
terdapat data dari 94 planet.
65
Gambar 2. Sebaran Planet - planet dengan massa 10M ⊕ − 1MJup.
Planet dalam kelompok ini yang terdekat dengan
bintang induknya adalah planet GJ 436 b atau planet
pertama yang ditemukan pada bintang GJ 436, planet
dengan massa 0.072 Mjup atau 22.948 M ⊕ ini
ditemukan mengorbit pada jarak 0.0287 AU dari
bintangnya. Sedangkan planet yang terjauh pada
kelompok ini adalah planet OGL E -06-109L c. Planet ini
memiliki massa 0.27 Mjup, 86.055 M ⊕, dan mengorbit
dengan radius orbit 4 .6 AU. Di kelompok planet ini
juga terdapat sebuah planet yang belum diketahui
jaraknya dari bintang induknya, yaitu planet CoRoT -
Exo -1 b, tetapi planet ini sudah diketahui massanya,
yaitu sebesar 0.99 MJup, 315.533 M ⊕, hampir sama
dengan massa Jupiter.
Pada Gambar 3. sebaran dari 72 planet yang
memiliki massa 10M ⊕− 1MJup dan memiliki setengah
sumbu panjang kurang dari 1 AU, hampir semua
planet -planet tersebut berada sangat dekat dengan
bintang utamanya, sebagian besar malah mengorbit
pada jarak kurang dari 0.2 satuan astronomi. Planet
64 65
66
yang mendekati jarak 1 AU adalah HD 160691 e, yang
memiliki massa 0.5219 MJup, 166.340 M ⊕, dengan
periode yang cukuplama, yaitu sebesar 310.55 hari.
Gambar 3. Planet - planet dengan massa antara 10M ⊕ 1MJ up dengan
Semi major axis < 1AU.
Pada sebaran planet -planet dengan massa
1−10MJup, pada Gambar 4, justru planet-planet lebih
banyak berada pada jarak yang lebih dari 1 unit
astronomi, kurang dari setengahnya yang berada pada
jarak yang kurang dari jarak bumi –matahari. Banyak
j uga yang berkumpul pada jarak 1 AU. Terdapat 157
planet pada sebaran ini. Planet - planet pada kelompok
massa ini banyak ditemukan karena ukuran dan
massanya yang besar, sehingga lebih mudah terdeteksi.
Planet yang mengorbit paling dekat dengan bintang
utamanya pada kelompok planet ini adalah OGLE -TR-
56 b, dengan jarak 0.0225 AU. Planet ini memiliki massa
1.29 MJup, 411.150 M ⊕, dan memiliki periode yang
cukup cepat, yaitu sebesar 1.211 hari. Pada gambar juga
terlihat jelas akan adanya sebuah planet yang
67
mengorbit paling jauh pada kelompok ini. planet
tersebut adalah 2M1207 b , planet raksasa dengan
massa 4Mjup, mengorbit pada jarak 46 AU dari bintang
induknya. Tiga planet dari kelompok ini juga tidak
diketahui semi major axis -nya, yaitu CoRoT - Exo -2 b
yang memiliki massa 3.53 MJup, HD 47536 b dengan
massa 5Mjup dan planet yang ditemukan selanjutnya
dari bintang HD 47536, yaitu HD 4753 6 c yang memiliki
massa sebesar 7Mjup.
Walaupun belum banyak ditemukan, baru 18
buah planet, planet -planet dengan massa lebih dari 10
Massa Jupiter, pada gambar 3.5, menunjukkan bahwa
sebagian besar planet tersebut mengorbit pada jarak
yang begitu d ekat dengan bintang induknya. Planet
yang paling dekat adalah HD 41004 B b dengan jarak
0.0177 AU dan massa 18.4Mjup. Sedang planet yang
terjauh pada kelompok ini adalah planet yang paling
jauh yang telah dite - mukan dengan jarak 670 AU, dan
massa 14Mjup, yaitu planet UScoCTIO 108 b. Dari
keseluruhan, massa planet yang paling besar adalah
Planet GQ lup b, dengan massa 21.5Mjup, dan
mengorbit pada 130 AU dari bintang induknya.
.
“Jupiter Panas” dan “Neptunus Panas”
Jupiter Panas adalah planet -planet dengan massa
lebih besar atau sama dengan massa Jupiter dengan
orbit kurang dari 5 AU.
Sebagian besar, 94.28%, dari seluruh p lanet dengan
massa lebih atau sama dengan 1 massa Jupiter memiliki
semi major axis kurang dari 5 AU. Dari data, terdapat
164 planet yang termasuk jupiter panas. Pada gambar
3.6, terlihat bahwa sebagian besar planet -planet yang
dengan “Jupiter panas” memili ki massa antara
1−5Mjup, dan memiliki jarak kurang dari 3 AU.
Neptunus Panas merupakan planet -planet dari
kelompok Neptunus yang memiliki semi major axis
kurang dari 1 AU. Dari 30 planet dalam kelompok
Neptunus yang telah dite - mukan, 93.3% atau sama
deng an 28 planet merupakan planet -planet Neptunus
panas. Dari gambar 3.7, sebaran “Neptunus Panas”,
terlihat bahwa planet -planet tersebut se -bagian besar
memiliki semi major axis kurang dari 0.4 AU. Planet
69
neptunus panas yang terjauh adalah planet 55 Cnc f,
yang memiliki orbit 0.781 AU dengan massa 45.89 M ⊕,
dan yang terdekat adalah planet GJ 436 b dengan massa
22.94 M ⊕ dan memiliki semi major axis 0,02872 AU.
Tabel 1 dan Gambar 8 di bawah menunjukkan
data banyaknya planet pada setiap kelompok yang
disebutkan di atas. Pada tabel 1. juga ditunjukkan
persenta se banyaknya planet - planet tersebut dari
jumlah keseluruhan planet yang telah ditemukan. Dan
dari gambar
Tabel 1: Ta bel Rekapitulasi Planet Luar Surya
K elompok Planet
Banyak
Planet
Persentasi
Planet Super Bumi 7 2.888 %
Planet 10M ⊕ – 1 Mjup 94 33.93 %
Planet 1 − 10Mjup 157 56.67 %
Planet > 10Mjup 18 6.5 %
Jupiter Panas 69 24.91 %
Neptunus Panas 26 9.31 %
Dari keseluruhan data -data planet yang telah
ditemukan 59.2% planet merupakan planet yang
termasuk dalam kategori Jupiter P anas, 10.83% planet
termasuk dalam ka - tegori Neptunus Panas. Menurut
teori pembentukan planet, pembentukan planet -planet
raksasa tidak mungkin terjadi pada jarak yang dekat
dengan bintang induknya karena gas -gas akan tersapu
menjauh dari bintangnya. Fakta ini menjadi dasar
adanya teori migrasi planet.
Abstrak
Beberapa kalangan umat Islam mengangkat kembali masalah
jadwal waktu Subuh yang dinilai terlalu pagi. Waktu fajar yang
dianggap terlalu gelap menjad i tanda belum masuknya waktu
fajar sesuai hadis yang menggambarkan fenomena subuh dan
waktu untuk mulai melaksanakan salat subuh. Pada beberapa
Negara Islam memakai beberapa nilai kedalaman matahari
pada 14,5°, 15°, 16°, 17°, 18°, 19°, dan 20° yang ber ada di bawah
ufuk. Hal ini menunjukkan perbedaan saat pengamatan memulai
awal waktu salat di berbagai Negara, dan Indonesia memakai
sudut depresi matahari paling dalam yaitu sebesar 20°. Penelitian
ini mengangkat kembali tinjauan dan penelitian lainny a yang
memberikan hasil terhadap ketinggian waktu subuh di Indonesia.
Kata kunci : wakt u subuh, fajar, SQM, tinjauan.
Abstract
Some Muslim Community raised the issue of Fajr's schedule which was too early.
The t dawn time, which describes still too dark, showing the absence of dawn
according to the Haditz, that describes the phenomenon of dawn and the time to
carry out dawn prayers. Some Islamic countries use several values for the sun
depression angle at 14.5°, 15°, 16°, 17°, 18°, 19°, and 20° below the h orizon. This
shows the difference when observing the start of prayer times in various countries,
and Indonesia uses the deepest sun depression angle which is 20°. This study was
reviewing case and other studies that provide results on the height of dawn in
Indonesia.
Keywords: dawn time, fajr, SQM, review.
Book Chapter ASTRONOMI ISLAM 89Book Chapter ASTRONOMI ISLAM88
90
PENDAHULUAN
aktu Subuh adalah sejak terbit fajar sidik
sampai waktu terbit matahari. Fajar sidik
dipahami sebagai awal fajar astronomi,
cahaya ini muncul menjelang matahari terbit pada saat
matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak
zenit matahari = 108°). Pendapat lain menyatakan
bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi
matahari 20° di bawah ufuk atau jarak zenit matahari =
110 derajat (Putraga, 2016) . Adopsi nilai dip matahari di
Indonesia diperkirakan berasal dari Saadoedin
Djambek serta Abdur Rachim yang menyampaikan
bahwa awal waktu salat Subuh di Indonesia dan
daerah dekat khatulistiwa adalah pada saat posisi
matahari berada pada kedalaman 20° di bawah ufuk
(Faruq, 2013)
Dalam penelitiannya, Bapak Dhani Herdiwijaya
menyampaikan terdapat 3 klasifikasi fajar seperti yang
diperlihatkan pada gambar 1 yaitu:
1. Fajar/senja sipil : waktu fajar ketika pusat
geometris Matahari pada sudut
kedalaman/elevasi 6° di bawah ufuk sampai
Matahari terbit atau 0,5° di bawah ufuk, dan
sebaliknya. Ciri waktu fajar sipil adalah hamburan
cahaya matahari sudah cukup kuat (meskipun
matahari belum terbit), sehingga dengan mudah
dibedakan antara benda – benda luar sekitar kita
dan tidak perlu bantuan lampu. D alam kondisi
cuaca cerah, batas ufuk pantai dan awan di
W
91
sekitarnya terlihat jelas. Demikian pula planet
Venus secara visual.
2. Fajar / senja nautikal : waktu Subuh ketika pusat
geometris matahari pada sudut kedalaman/
elevasi 12° di bawah ufuk sampai 6° di b awah
ufuk, dan sebaliknya. Langit masih cukup gelap
atau remang – remang, sehingga batas ufuk di
pantai dan awan tidak terlihat jelas. Demikian
pula obyek luar di sekitar kita tidak bias
dibedakan dengan jelas.
3. Fajar / senja astronomi: waktu fajar ketika p usat
geometris Matahari pada sudut
kedalaman/elevasi 18° di bawah ufuk sampai 12°
di bawah ufuk, dan sebaliknya. Langit gelap,
sehingga obyek luar kita tidak bias dibedakan,
kecuali mata beradaptasi cukup lama dalam
keadaan kegelapan. Polusi cahaya akibat cahaya
lampu kota dapat memicu langit lebih
terang dari kondisi normal.
Kondisi – kondisi ini berlaku untuk lintang
pengamat kurang dari 45 derajat. Durasi fajar /senja di
ekuator dari Matahari terbenam sampai fajar / senja
astronomi sekitar 1 jam 8 menit sampai 1 jam 16 menit.
Di lokasi lintang tinggi, durasinya mencapai orde
beberapa jam. Warna fajar/senja lebih sulit ditentukan
karena be rgantung terhadap kondisi meteorologis,
topografi permukaan, fase bulan, atau komposisi kimia
atmosfer rendah, terutama aerosol, terlebih jika ada
erupsi gunung berapi, kebakaran hutan atau partikel
industri dan kota. Gambar berikut menunjukkan secara
skem atis klasifikasi senja dan fajar (Herdiwijaya,
2016a) .
Dalam kaitannya dengan kajian fajar ini, paling
tidak ada tiga sub topik yang harus dikuatkan
pijakannya. Pertama , dari aspek definisi fajar sidik itu
sendiri, baik dengan pendekatan normatif maupun
93
sains. Hal ini dikarenakan masih adanya
kesimpangsiuran mengenai definisi fajar sidik di
kalangan fuqaha` dan ahli sains, apakah dimulai
pertama kali dari munculnya cahaya putih yang
menyebar secara horizontal di ufuk timur atau ketika
cahaya itu benar – benar sudah jelas (terang) menurut
penglihatan mata telanjang atau diperbolehkan dengan
bantuan teknologi.
Kedua , dari aspek teknis -empirisnya: apakah
identifikasi munculnya fajar sidik itu berdasarkan
perbedaan ketajaman pengliha tan mata manusia pada
pagi hari dan sore hari atau berdasarkan kondisi
empiris -faktual dari gejala alam yang objektivitasnya
dapat diidentifikasi dengan perangkat teknologi.
Karena penglihatan mata manusia pada pagi hari lebih
kuat dibandingkan dengan sore hari. Hal ini
disebabkan karena kondisi alam pada pagi hari itu dari
gelap ke terang dan kondisi mata manusia masih segar
karena usai istirahat tidur. Tetapi jika yang dipakai
adalah gejala empiris alam secara faktual. Mestinya
tidak ada perbedaan antara keduanya. Untuk hal ini
perlu adanya penegasan.
Ketiga , hasil kajian dari aspek sains dan teknologi,
sehingga terbangun metode yang standar untuk
observasi fajar sidik ini. Kondisi waktu pengamatan
yang memiliki kriteria, lokasi – lokasi yang ideal untuk
observasi, implikasi dari perbedaan lintang masing –
masing lokasi, antara yang rendah dan yang tinggi
yang juga terkait dengan deklinasi matahari dan garis
ekliptika. Hal yang terakhir ini penting karena
munculnya fajar sidik yang dijadikan dasar penetapan
92 93
94
awal waktu salat Subuh itu berhubungan dengan tinggi
matahari dan jarak (selisih) waktu Subuh terhadap
waktu terbitnya matahari, sebagai batas akhir salat
Subuh. Daerah – daerah yang lintangnya rendah tentu
berbeda dengan daerah yang lintangnya lebih ting gi.
PENELITIAN AWAL WAKT U SUBUH
DENGAN FOTOMETER
Penelitian Perubahan langit saat waktu fajar
dilakukan dengan memakai alat fotometer. Salah
satu alat yang sering digunakan adalah fotometer dari
Unihedron yaitu Sky Quality Meter (SQM). SQM sangat
mudah untuk digunakan oleh peneliti amatir untuk
mendapatkan nilai indeks kegelapan malam.
Unihedron Sky Quality Meter) merupakan sebuah
photometer berukuran kecil dan berharga rendah yang
dapat digunakan untuk mengukur kecerahan langit
malam, dimana pengguna dapat dengan mudah dan
cepat mendapatkan data kualitas dari langit malam di
setiap tempat kapan pun juga. Terdapat banyak jenis
dari SQM yang dapat digunakan sesuai kebutuhan,
baik itu memakai sumber listrik, baterai, atau USB
dari PC komputer. Denga n medan pandang sebesar
20° dan memiliki kesalahan relatif kurang dari 3%.
Resolusi temporal pengambilan data dapat dilakukan
setiap detik. Fotometer ini memiliki lensa dengan
sensor CM500 HOYA, dengan rentang spektral antara
300 -720 nm (puncak 500 nm) (Herdiwijaya, 2016b) .
Dengan demikian respon detektor SQM sama dengan
sensitivitas spektral visual mata manusia. Hasil dari
perangkat ini adalah nilai dalam besaran kecerahan
95
langit (Magnitudo per detik busur persegi – mpdbp
atau mpass), di mana nilai yang tinggi mencerminkan
langit semakin gelap.
Pengambilan data memakai SQM dapat
dilakukan ke berbagai arah langit, namun kebanyakan
penggunaan SQm diarahkan ke langit pada sudut
ketinggian 90° atau Zenith.
Zenith mewakili ti tik langit tepat diatas lokasi
pengamat sehingga menjadi indikator penilaian polusi
cahaya dan tingkat kegelapan langit malam di tempat
tersebut. Perubahan kecerahan langit juga terlihat lebih
jelas apabila pengamatan dilakukan mengarah ke
Zenith dikarena kan titik ini sendiri merupakan jarak
yang sudah dipastikan telah terjadi peningkatan
kecerahan langit setelah di ufuk berubah.
Data yang disajikan SQM adalah berupa data
perbaris durasi waktu dengan pembagian
parameternya pembacaan dalam angka dan huruf.
Berikut adalah tampilan pembacaan nilai pada SQM
LU -DL yang diambil ke arah Zenith pada tanggal 25
Juli 2018 pukul 04:59:58 hingga 05:00:02 (OIF
UMSU,2018) adalah sebagai berikut:
. . .
2018 -07-24T 21:59:58.179;2018 -07-
25T 04:59:58 .179;24.1;31842;14; 17.09
2018 -07-24T 22:00:00.176;2018 -07-
25T 05:00:00 .176;24.1;31876;14; 17.09
. . .
Pada bagian yang dicetak tebal merupakan data
yang diambil untuk diolah penulis untuk menampilkan
grafik perubahan kecerlangan langit dengan nilai yang
94 95
96
digunakan adalah waktu lokal ( 04:59:58, 05:00:00,
05:00:02) dan bagian cetak tebal di kanan (17.09 dan
17.10) adalah nilai dari magnitudo langit yang dibaca
oleh SQM. Nilai pembacaan Magnitudo kecerahan
langit yang tinggi mencerminkan langit yang gelap dan
nilai magnitudo rendah mencer minkan keadaan langit
yang tinggi polusi cahaya atau terang.
Gambar 2. Grafik Hasil Olahan Pembacaan SQM Saat Waktu Fajar di
OI F UMSU Medan .
Pada gambar 2 menunjukkan pengolahan dari
data pembacaan SQM sehingga dapat diperlihatka n
perubahan dalam bentuk pergerakan kurva pada saat
waktu subuh muncul dimana sumbu x menunjukkan
waktu dan sumbu y menunjukkan besaran magnitudo
langit yang dibaca pada saat pengamatan,
Dengan menganalisis data dan grafik yang
dihasilkan maka selanjutnya melakukan pendekatan
dan penggunaan metode perhitungan untuk
mendapatkan nilai depresi matahari pada saat awal
waktu subuh muncul dan terbaca oleh SQM pada saat
itu.
97
WAKTU SUBUH DI NEGAR A ISLAM
Dalam penelitian Raihana di Malaysia
memakai SQM menghasil kan ketinggian matahari
di waktu fajar sebesar 18.6° - 19.1° (Raihana, 2016) .
Sehingga kedalaman matahari 20° tidak sesuai dengan
keadaan keterlihatan pada lokasi peneliti
Hasan juga melakuk an pengamatan
memakai mata telanjang dalam penentuan awal
waktu Subuh di Libya selama empat tahun
pengamatan. Ia menyimpulkan pengamatan yang
menunjukkan keterlihatan waktu fajar (cahaya
pertama) terjadi berdasarkan pada rata -rata
pengamatan mata di Tu bruq (Libya) berlatar belakang
Gurun Pasir adalah pada sudut depresi matahari D =
14.7° dengan standar deviasi 0.757°. Nilai maksimum
yang didapat adalah 14.7° sedangkan nilai minimum
adalah 11.13° (Hasan, 2015) .
Beberapa negara Islam dalam konvensinya
memakai beberapa nilai yang berbeda d alam
memakai sudut depresi matahari saat memasuki
waktu subuh. Beberapa Konvensi tersebut
diperlihatkan pada tabel 1.
96 97
98
Tabel 1. Daftar Konvensi Islam dan Sudut
Matahari saat Subuh
Konvensi
Kedalaman
Matahari saat
Fajar
Shiah Ithna Ashari (Ja afari) 16°
Islamic Society of North
America (ISNA)
15°
Muslim World League
(MLW)
18°
Umm al -Qura,
Mekah
18.5°
Egyptian General Authority
of Survey
19.5°
University of Islamic Science,
Karachi
18°
Malaysia 20°
PENGAMATAN DI SUMATE RA UTARA
Pengamata n oleh peneliti dan tim OIF UMSU
menunjukkan hal yang tidak menyetujui kedalaman
matahari saat memasuki waktu subuh sebesar 20°.
Dalam pengamatan tim OIF UMSU di daerah
pantai timur Sumatera Utara pada tahun 2018 dalam
penelitian berada di Pantai Romantis , Serdang Bedagai,
Deli Serdang, pembacaan SQM yang mengarah ke arah
atas (Zenith) dan waktu pengambilan selama tidak ada
bulan di langit pada tanggal 1 -7 Hijriyah dengan
pengolahan data memakai metode Moving Average
menghasilkan nilai rata – rata sudut depresi matahari
99
saat waktu subuh berada pada kedalaman 14,13°
dengan nilai maksimal berada pada kedalaman 16,05°
dan nilai minimal berada pada kedalaman 12,41°. Hal
ini berarti Waktu Subuh Sudah dapat terlihat pada
kedalaman matahari sebesar 16,05° atau 64 Menit
sebelum waktu matahari terbit, dengan keterlihatan
secara umum pada kedalaman 14,13° atau 56 menit
sebelum matahari terbit.
Pada pengamtanan lainnya dilakukan di daerah
pantai Barat Sumatera Utara yang berlokasi di daerah
Barus, Tapanuli Tengah p ada tahun 2020. Pengambilan
data SQM arah atas (Zenith) dan waktu pengambilan
selama tidak ada bulan dengan pengolahan data
memakai metode Moving Average menghasilkan
nilai rata – rata sudut depresi matahari saat waktu
subuh berada pada kedalaman 16,28 ° dengan nilai
maksimal berada pada kedalaman 16,86° dan nilai
minimal berada pada kedalaman 14,7°. Hal ini berarti
Waktu Subuh Sudah dapat terlihat pada kedalaman
matahari sebesar 16,86° atau 67 Menit sebelum waktu
matahari terbit, dengan keterlihatan sec ara umum pada
kedalaman 16,28° atau 65 menit sebelum matahari
terbit.
Keberadaan nilai ini sendiri telah menunjukkan
adanya perbedaan kedalaman matahari saat waktu
Subuh yang memang harus dievaluasi kembali agar
dapat di