bahasa dalam wayang
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
bahasa dalam wayang
Pada pertunjukan wayang bahasa memegang
peranan yang sangat penting, dapat dibayangkan betapa tidak mungkinnya sebuah
pertunjukan wayang tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Penggunaan bahasa sebagai
bentuk bahasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali adalah hal yang tidak asing lagi, karena
bahasa sebagai mata rantai jalannya ceritera. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan
Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa adalah: Bahasa
Kawi, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan sebagainya, yang sesuai
dengan kebutuhan tokoh tertentu. Bahasa Kawi yang dipergunakan oleh tokoh (raja, dewa,
ksatria) yang kemudian diterjemahkan oleh punakawan. Gaya bahasa dalam pertunjukan
Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat variatif.
Ada yang bersifat sindiran (ironi), ada yang bersifat perumpamaan (personifikasi), ada yang
bersifat perbandingan (metafora) dan ada pula dialog yang mengagung-agungkan sesuatu
secara berlebihan (hiperbolisme). Dari bahasa-bahasa yang digunakan dalam pertunjukan
Wayang Calonarang oleh dalang Ida Bagus Sudiksa ada yang berbahasa alus (singgih), ada
yang biasa (pepadan), ada pula yang estetik sehingga membuat penonton menjadi teringat
terus. Bahasa seperti itu biasanya berupa tutur, tidak terlepas dari kemampuan seorang dalang
selaku orator yang ulung. Menurut Marajaya, pengelompokan bahasa tersebut antara lain ; (1)
berbentuk prosa atau gancaran (bahasa Kawi dan bahasa Bali); (2) berbentuk tembang atau
puisi (kekawin, tandak, bebaturan); dan (3) berbentuk prosa liris atau palawakya (penyacah
dan pengelengkara).1
1). Gaya Alternasi
Menurut Rota teknik penyampaian tutur secara berselang-seling disebut gaya
alternasi. Gaya alternasi merupakan jenis gaya tutur yang paling banyak digunakan oleh
dalang dalam pertunjukan wayang kulit Bali, baik dari bentuk tut tutur antara bahasa Bali
dengan bahasa Kawi, maupun berbentuk tembang maupun gancaran.2
a) Gaya Alternasi Bahasa Kawi dengan Bahasa Bali
Gaya bahasa seperti ini paling banyak ditemukan jenisnya dalam pertunjukan wayang
kulit Bali. Pada Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung banyak sekali dipergunakan,
adapun contoh-contoh gaya ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan dialog sebagai berikut:
Twalen : sawirira cerakanira..! (tembang). Aratu.. sang amurbeng
(dalam bahasa Bali) Jagat Kediri, sugra titiang sugra, aksi sembah pangubak-
tin titiang aratu, sapunika taler gusti patih mamitang
lugra, pinaka pengabih linggih ida. Ring tepenganemang-
kin presangga purun titiang ngojah maka kawit atur
palungguh gusti ring ida, Ida Dewa Agung. Inggih aratu
sang anyakra werti Jagat Kediri palungguh iratu, aksi
ratu sembah pangu baktin titiang pina ka pengabil ling-
gih iratu, saha tan keni kecakra bawa, presangga purun
titiang ngeriinin mapaungu atur, napi te awinan asapuni-
ka.., riantukan iratu sampun malinggih iriki ring singasa-
nane. Napi awinan nadak sara ngutus sikian titiang mang-
da tangkil iriki ring ajeng?, yan kapinih kangkat,durusang
telin pawecana mangda galang apadang titiang nampa
nyuwun pakinkin, panglelaca druwene, asapunika daging
atur dane gusti patih.
Arti bebasnya adalah: menjawablah seorang abdi, wahai paduka Raja Kediri,
hamba mohon ampun, terimalah sembah hamba ini paduka,
begitu pula sang maha Patih sebagai abdi baginda raja. Di
saat seperti ini hamba memberanikan diri menyampaikan,
apa yang maha patih katakan kepada baginda raja. Maafkan
hamba yang mulia sebagai Raja Kediri, terimalah sembah
hambamu sebagai abdi, agar tidak terkena kutuk, karena
hamba terlalu berani mengawali berbicara, apa sebabnya
demikian ? Karena paduka telah duduk di singgasana. Apa
sebabnya paduka mendadak menyuruh hamba agar meng-
hadap, kalau ada sesuatu, silahkan katakan agar hamba jelas
menerimanya, apa tujuan baginda memerintahkan hamba
ini. Demikian kata-kata maha patih.
Prabu Kediri : Ri wawu asamangkana saturang nirang kriana patih, irika (dalam
Bahasa Kawi) Sri Aji Rangda tan sah mandra-mandra pwa sojar ira.
Bwah..hah..ah..ah..! ahum..ahum paman kriana patih, yaya
tuhu mabener ndatan ana singsal, ingulun yata sampun
nyineng, kinon kalaganta prapta aneng kene, ana patanya-
ning ulun ri kalaganta. Ri sampun wus kapisarja meh
rong puluhing warsa ya ta sampun kapisarja yayi Diah
Padma Yoni, apan kasengguh angalaraken Dharma Weci
pwa sira, kang kadiang paran kang pretakjana?, menawa
kurang kramanikang tuanta angemong, amengku buana
yeki? Mangkana petanyaning ulun?.
Arti bebasnya adalah: baru sedemikian kata-kata sang maha patih, segeralah Sang
Maharaja Erlangga dengan lemah – lembut menjawab.
(sambil tertawa), he patihku, memang benar aku mengutus
dan menyuruhmu datang ke sini. Ada yang ingin ku tanya-
kan kepadamu, setelah diusir, kira-kira dua puluh tahun,
Diah Padma Yoni telah diusir, karena dibilang sebagai pe-
laku mistik. Bagaimana pula perkataan rakyatku, mungkin
ada yang kurang di saat aku menjalankan tugas sebagai
pemimpin kerajaan ini. Demikian yang aku tanyakan !.
Wredah : Aratu..! mamitang lugra titiang, aksi ta sembah pangubak-
(dalam Bahasa Bali) tin titiang, sapunika naler gusti patih, lugra ta titiang! Ri
tepengane mangkin titiang gumanti ngojah naler nulurang
embas penyawis pawecanan iratu, minakadi atur dane
gusti patih ; ”uduh paman pengabih gelahe. Mara rasa
makleteg, suba duang dasa tiban pramiswarin gelahe,
Diah Padma Yoni nu uli beling cenik, nu ngidam dugas nto,
katundung uli dini, uli di gumi Kediri. Apan kasengguh bisa
ngeliak, ngelarang dharma weci. Nah disuba katundunge
men.. men kenken jani, saget apa ada pakrimik panjake
disuba katundung iadi Diah Padma Yoni ?. buin basik,
kenken mirib ada tuna?, dija mirib ada kuang saget gelah
ngitungang gumine dini di Kediri?, yan sinah ada tuna,
sinah ada praciren penyacad para panjak-panjak gelahe
dini di sawewengkon Kediri. Nah to ne mebuat takonang
gelah tekening paman, wireh paman pengabih linggih
gelahe di Kediri!” Asapunika penyawis embas pawecanan
ida sesuwunan, asapunika ratu ! Durusang gusti patih...
durusang asapunapi!.
Arti bebasnya adalah: Ampun yang mulia, terimalah sembah hambamu ini, begitu
pula sang maha patih, hamba minta maaf sebelumnya. Pada
kesempatan ini hamba akan menjelaskan apa yang paduka
raja katakan, untuk menjawab atas pertanyaan sang maha
patih. “hai patihku, baru aku teringat, telah dua puluh tahun
berlalu istriku, Diah Padma Yoni semasih hamil muda,
diusir dari sini, dari Kerajaan Kediri. Karena dikatakan
sebagai pelaku black magic, selalu berbuat huru-hara.
Setelah istriku Diah Padma Yoni diusir, bagaimana ucapan
rakyat?, lagi pula mungkin ada kekuranganku memimpin
Kerajaan Kediri?. Kalau ada kurang, jelas ada protes dari
rakyat di wilayah Kerajaan Kediri. Nah, itu yang terpenting
aku tanyakan kepada maha patih, karena engkau sebagai
abdiku di Kerajaan Kediri ini. Demikina kata-kata sang
mulia raja, silahkan sang maha patih, silahkan!
Patih Madri : Ri sada kala samangkana sadnyanirang Sri Aji! Singgih
(dalam Bahasa Kawi) Sri Bhupati! Bwah..hah..hah..ah..! tan ana ceda Narendra
ndra! Subhaga wirya siniwi, tuhu widagda ngelus bhumi.
Tan ana cedania Sri Aji, mangkana ayua sengsaya paduka
gemah ripah loh jinawi, mupu kang sarwa tinandur murah
kang sarwa tinuku. Tan kurang sandang pangan. Mangka-
na kramanikang wang, pretakjana aneng Kediri. Samang
Samangkana Sri Narendra saturan nirang kriana patih.
Arti bebasnya adalah: Demikian kata-kata sang raja. Ampun paduka raja, bwah..
hah..hah..! (tertawa), tidak ada yang menghujat paduka raja,
semua tunduk menghormati, karena paduka pintar sebagai
pemimpin. Tiada yang mencela paduka, jangan risaukan
paduka, kerajaan mencapai kejayaan, semua tanaman
berhasil dipanen, gampang mendapatkan yang ingin dibeli,
tidak kekurangan makanan, begitu keadaan rakyat paduka
raja di Kerajaan Kediri ini. Demikianlah jawaban sang
maha patih.
b) Gaya Alternasi Bahasa Bertembang dengan Bahasa Gancaran
Yang dimaksud dengan gaya jenis ini adalah penggunaan tutur-tutur bertembang dan
tutur bukan bertembang (gancaran) secara berselang-seling. Bertembang wujudnya berupa
petikan-petikan atau jenis tembang lainnya.3 Dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon
Kautus Rarung, gaya ini dapat dilihat dari petikan-petikan dialog sebagai berikut:
Twalen : Mangda nyen tan pocol nedunang Pusaka Gria Telaga
Kerobokan, pican Ida Betara Gunung Agunge, nesuba
tegarang uli dija ja kitane ! Bapa muka warung dah !, dadi
ba jani mebeanja, kewala sing dadi nyen ke warung sing
ngaba pipis, nganggeh lantas !, ngae ngae lek ati.
Sambilang bapa ngeroko, nyem bungute uli busan !
(bahasa gancaran).
Arti bebasnya adalah : Agar tidak percuma menurunkan Pusaka Gria Telaga
Kerobokan, pemberian Bhatara di Gunung Agung, inilah!
Silahkan dicoba dari mana saja maunya, ayah membuka
warung sekarang Mredah ! Sekarang sudah boleh kalau
mau membeli,tetapi tidak boleh ke warung tidak membawa
uang, lalu ngebon! Bikin malu saja! Sambil ayah mengisap
rokok, terasa dingin bibir ayah dari tadi!
Liak destine mecanda
Ngwetuang wisya mandi
Ngelarang Aji Pangiwa
Siwa Gni Mwang Siwa Gandu
Durga sakti kearcana
Ngawe gering
Sasab grubug lan merana (bahasa bertembang). Pupuh
Ginada Basur.
Arti bebasnya adalah : Para black magic bermain-main
memunculkan aura yang menyengat
melakukan ilmu mistik
Siwa Gni dan Siwa Gandu
kesaktian Durga dimohon
membuat penyakit
perhara dan wabah penyakit
Twalen : buin megending basur nah, pang nyak ya teka liake !
(bahasa gancaran) Mamusti masuku tunggal
Nunggalang adnyana sandi
Japa mantra kauncarang
Ngamijilang geni murub
Tuhu luih mawisesa
Iku yukti
Brahma Semeru ngarania. (bahasa bertembang). Pupuh
Ginada Basur.
Arti bebasnya adalah : lagi nembang basur ah! Agar mau datang black magic-nya!
berdoa sambil berdiri menggunakan satu kaki
memusatkan fikiran yang rahasia
isi Weda dilantunkan
mengeluarkan api yang berkobar-kobar
memang sangat hebat dan dahsyat
itu sesungguhnya
Brahma Semeru namanya.
Dari petikan dialog di atas dapat kita lihat adanya keindahan dalam bertutur. Ada
dinamika tutur sehingga dialog pada pertunjukan wayang menjadi indah didengar dan tidak
membosankan bagi para penikmatnya.
2). Gaya Bahasa Bertembang
Dilihat dari segi dialog sebagai kompenen baku teater, maka fungsi bahasa
bertembang pada umumnya dapat menopang keberhasilan dialog itu. Bahasa bertembang
juga merupakan salah satu kompenen tutur yang ilustratif, meningkatkan kadar estetik dialog,
terutama membangun suasana (mood) dramatik yang sedang berlaku.4 Tembang-tembang
yang digunakan sangat variatif, hal ini dapat dilihat dari bebaturan dan kutipan dari kekawin-
kekawin yang dipakai tatembangan disaat pertunjukan Wayang Calonarang, di samping itu
dalang tidak hanya terpaku pada sumber pada kekawin, akan tetapi banyak tatembangan
modern yang digunakan untuk memberikan sentuhaan-sentuhan khusus pada pertunjukan
Wayang Calonarang. Tutur bertembang yang terdapat dalam pertunjukan Wayang
Calonarang lakon Kautus Rarung merupakan kutipan-kutipan kekawin sumbernya, tetapi
dijadikan kidung, karena tidak terikat oleh metrum, guru lagu dan lain sebagainya. Tutur
bertembang dapat dilihat dari awal pertunjukan, yaitu pada alas harum, bagian awal dialog
berupa bebaturan dan kekawin. Bahasa bertembang meliputi tandak, bebaturan, dan
palawakya sebagai berikut:
a). Tandak
Tandak merupakan bahasa bertembang yang irama serta temponya serasi dengan
irama dan tempo gamelan yang mengiringi adegan.5 Kawi Dalang membolehkan mengutip
dari puisi sebelumnya, meski lakonnya dari jaman kidung, tetapi boleh mengutip dari
kekawin. Dalam Kamus Bali-Indonesia, kata tandak hanya diberi penjelasan singkat, yakni
tari atau nyanyi. Tandak dalam pertunjukan Wayang Kulit tidak selalu sama dengan irama
gamelan. Disini kepekaan terhadap suara atau nada gamelan, sehingga terjadi harmonisasi
antara tandak dengan gamelan. Jika tidak peka terhadap nada suara gamelan, bisa
mengakibatkan terjadinya istilah ”bero” dan ”ngandang”. Bero ngandang (istilah dalam
bahasa Bali) artinya nada vokal tidak sesuai dengan nada gamelan. Pada pertunjukan Wayang
Calonarang lakon Kautus Rarung, tandak bisa kita lihat pada kutipan di bawah ini:
-Meh rahina semu bang Hyang Aruna,
-Kadi netraning ngogarapuh.
-Dawuh kalih sampun ahyas mijil sira Sri Bupati,
-Abra murub Agringsing wayang.
Sumber baris satu dan dua dikutip dari kakawin Bharatayuda, dan baris ke tiga dan ke
empat dikutip dari Kidung Tantri). Tandak ini digunakan pada waktu kayonan keluar hingga
menjelang rapat atau paruman).
b) Bebaturan
Pertunjukan Wayang Calonaran lakon Kautus Rarung, dapat kita lihat bahwa
bebaturan selalu bahasa Kawi. Di daerah Sukawati Gianyar, bebaturan sering dinyanyikan
untuk mengawali sebuah dialog. Bebaturan berfungsi sebagai perumpamaan atau kiasan
untuk memberikan bayangan apa yang akan dibicarakan oleh tokoh-tokoh yang berbicara.
Menurut Ida Bagus Sudiksa, bebaturan pada awal tokoh akan berbicara dalam sidang atau
paruman maupun dalam pangkat. Adapun bebaturan dapat dilihat pada kutipan berikut:
Patih Madri : Sawur ira tana panjang, singgih sabda muniwara wet katalian
bakti lawan asih (bebaturan). Tabe.. tabe.. tabe Sri Maharaja,
kesama akena, kesama akena patik Narendra pun kriana patih.
Mene purwani metu umatura atatanya ri jeng paduka Sri Nara
nata, apa marmitanian nyadpada kaya mangke, dadya ta sagad-
gada paduka nyineng patik Sri Aji sidhaning, menawa ana kang
pangartekan Sri Aji andadi, lah enak wistara akena presama,
lamakaneng patik Sri Narendra maweruha! Samangkana..!
Arti bebasnya adalah :
jawabannya tidaklah begitu panjang, ampunilah wahai orang
suci, karena ikatan kasih dan sayang. Ampun baginda raja,
maafkan lah patih baginda seperti hamba ini. Sebagai awal kata
hamba bertanya kepada paduka raja, apa sebabnya hamba diperin-
tah untuk menghadap baginda seperti sekarang ini? Mengapa
seperti tergesa-gesa paduka menyuruh agar menghadap? Mungkin
ada sesuatu hal yang perlu paduka bicarakan, silahkan katakan,
agar hamba sebagai patih mengetahuinya! Demikianlah.
Twalen : Sawur ira cerakanira..! (bebaturan). Ratu... sang amurbeng Jagat
Kediri, sugra.. titiang sugra, aksi sembah pangubaktin titiang
aratu..! sapunika taler gusti patih, mamitang lugra.. pinaka
pengabih linggih ida. Ring tepengan sekadi mangkin presangga
purun titiang ngojah maka kawit atur palungguh gusti ring ida,
ida Dewa Agung.... asapunika daging atur gusti patih.
Arti bebasnya adalah :
Jawaban seorang abdi kerajaan. Yang mulya baginda Raja Kediri,
ampunilah hamba, terimalah sembah bakti hamba ini! Begitu pula
maha patih, sebagai kaki tangan baginda raja. Di dalamkesempat-
an ini, rasanya lancang hamba menjelaskan apa yang maha patih
katakan kepada baginda raja. Demikian kata-kata maha patih.
c) Palawakya
Palawakya adalah seni deklamasi Bali yang melodi dan ritme Bahasa Jawa Kuna.
Biasanya palawakya ini juga dipergunakan oleh pendeta/pemangku saat memimpin suatu
upacara keagamaan bagi umat Hindu di Bali.6 Dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali,
palawakya umumnya berada pada bagian penyacah parwa (pada ceritera Parwa), penyacah
kanda (pada wayang Ramayana), begitu pula Penyacah Kanda Calonarang, juga digunakan
oleh sang dalang pada pangelengkara dan pada beberapa dialog. Dipastikan hampir setiap
pertunjukan Wayang Kulit Bali menggunakan palawakya. Begitu pula halnya pada
pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, banyak palawakya yang digunakan
oleh dalang Ida Bagus Sudiksa. Adapun palawakya tersebut seperti dalam Penyacah Kanda
Calonarang adalah sebagai berikut :
Ceritanan...! pira pinten gatikunang ikang kala. Mijil Sanghyang
Suniantara, kadi gelap kumerasah sumusuping rangdu praja mandala.
Gumeter...gatinikang Pertiwitala, Apah, Teja, Bayu, Akasa, Wintang
Trenggana muang ikang Surya Candra. Umerep ri sahinganing
premana, swasta ya paripurna tan kecawuhing pangila-ila muang
tekang sosot sapa. Antyanta menggalaning sembahing ulun ri padana
sira Hyang. Mijil...! Sanghyang Ringgit ya ta molah cara, wet tinuduh
denira Sanghyang Perama Kawi, ekanira Sanghyang Guru Reka, paran
ri sapretingkahira ya iketa maka manggeh Dang Guru Carita, purwa
ikang krama wada, Mpu Beradah mangarcana ketatwaning carita,
Pengiwa lawan Penengen, Aweci lawan Dharma, ya ta matemahan
Carita Calonarang, ah...ah....ah...! hoh...hoh... hoh...! leyak mai-mai
Mapupul sedaya, ya ta panungguning setra matunggalan lawan
sariranku. Pamurtyaning Betari, Candi Kusuma mungguh ring Jejeleg,
Krak Kumuda ring Papusuhan, belah Sanghyang Ibu Pertiwi..! mijil
Pamurtyaning leak gundul, kita dadi petapakan suku kiwa-tengen,
mai...mai...mai...! ah...ah...ah...! hoh...hoh...hoh...! Saksana mijil...!
Sanghyang Kawi Swara Murthi amunggel punang carita. Mara
sadanira sira Nateng Kediri Pura nora ana waneh, sedeng ahum
agendu rasa ana marikanang sabha, iniring tekap kriana patih, ndatan
doh cerakanira maka ruang siki. Samangkana.... pamurwaning carita.
Related Posts:
bahasa dalam wayang Pada pertunjukan wayang bahasa memegang peranan yang sangat penting, dapat dibayangkan betapa tidak mungkinnya sebuah pertunjukan wayang tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Penggunaan bahasa sebagai ben… Read More