prasejarah songkeplek 2







 agai contoh,

situs gua payung Gua Cha (Kelantan, Malaysia) memperlihatkan sebuah lapisan Hoabinhianyang berumur sekitar 10.000 tahun dan kelihatan berbeda sekali dari lapisan neolitik

(Sieveking, 1954; Adi, 1981; Bulbeck, 1982).

Lapisan-Iapisan akhir Neolitik memang menandakan keberadaan sebuah hunian yang

mutlak berbeda dari Bacsonian, tetapi bergaya "lebih klasik", dengan kubur-kubur manusia,

batu yang diupam, dan terutama pecahan-pecahan tembikar berkaki tiga yang khas periode

Neolitik di Ban Kao, iaitu sekitar 4.000 tahun yang lalu (Neolitik Thailand, Provinsi

Kanchanaburi di barat Thailand; Shoocongdej, 1991).

Situasi yang sama di situs-situs kala Holosen di Malaysia ditemukan di Kota Tongkat

(Peacock, 1971) atau di situs Iain yang telah digali pada tahun 30-40 an: Gua Kecil, Gua Baik,

Gua Kerbau, dU.

Sejumlah ekskavasi baru yang dipimpin oleh Z. Madjid (Majid, 2003) di situs Kota

Tampan, yang merupakan situs eponim dari tekno-kompleks paleolitik lama berciri kerakal

arkais yang disebut Tampanian (GoUings, 1938; Sieveking, 1960; Walter dan Sieveking, 1962),

berhasil memperoleh penarikhan dari lapisan-lapisan bawah berisikan kerakal-kerakal yang

dipangkas, bercampur dengan sejumlah serpih yang diretus (Majid dan Tjia, 1988). Usia

lapisan-Iapisan tersebut mencapai sekitar 30.000 tahun.

Penemuan ini membuktikan bahwa selain industri kerakal besar ("kompleks kapak perimbas

dan kapak penetak"), terdapat juga industri alat serpih di Asia Tenggara Daratan pada kala

Plestosen atas.

Malaysia, yang merupakan perpanjangan paling ke selatan Asia Tenggara Daratan,

menduduki posisi geografis yang penting karena mungkin di sanalah budaya Hoabinhian

menemukan batas ruang geografis dan waktunya. Dalam hal itu, sulit untuk memaparkan data￾data baru karena data-data yang kami peroleh hanya berasal dari penggalian-penggalian lama.

Ketika mengamati temuan-temuan dari Malaysia dan Sumatra, terbetik pertanyaan

seperti: Apakah ada wilayah Hoabinhian dan wilayah non-Hoabinhian (Asia Tenggara kepu￾lauan)? Beberapa peneliti berpikir demikian, seperti Gorman (Gorman, 1971) atau Glover

(Glover, 1973) (llustrasi 8). Tetapi, sebaliknya, ada peneliti Iain, seperti Anderson, yang pada

dasamya menentang pendapat tersebut: "'The pebble tool complex ofSoutheast Asia: Fact or

fiction?" (Anderson, 1990).

Anderson tidak setuju dengan istilah Hoabinhian itu sendiri dan persebarannya yang

terlalu sederhana dari budaya yang terbatas di Asia Tenggara Daratan. Bagi Anderson,

Hoabinhian terutama merupakan suatu tekno-kompleks yang didasarkan pada pembagian

sederhana dari segi geografis dan yang patokan-patokan kronologisnya sulit ditemukan dalam

suatu periode yang membentang antara 50.000-10.000 tahun yang lalu dan dalam sebuah

wilayah seluas ribuan kilometer.

Dalam hal periode prasejarah Asia Tenggara Daratan ini, Anderson tidak sependapat

dengan keberadaan monopoli industri-industri kerakal saja, tetapi lebih melihat keberadaan

industri alat serpih yang mendahului atau yang sezaman dengan Hoabinhian (lihat situs-situs

di Malaysia). Pendapat Anderson disandarkan pada penemuan sebuah industri serpih yang

berasal dari 40.000 tahun lalu di situs Lang Rongrien, provinsi Krabi, Thailand Selatan

(Anderson, 1987 dan 1990).

Situs Lang Rongrien mempunyai kelebihan dalam memperlihatkan satu urutan yang tidak

terputus dari tiga lapisan yang berbeda (Anderson, 1987 dan 1990):

- Lapisan dengan tembikar: 6.000-3.500 tahun.

- Lapisan Hoabinhian yang berasal dari permulaan kala Holosen.

- Lapisan paleolitik yang berasal dari penghujung kala Plestosen atas (lebih kurang

37.000 tahun yang lalu).Dari sudut pandang kualitatif, situs penelitian Anderson merupakan situs penting,

karena menentang eksklusifnya model daratan yang didasarkan pada industri kerakal dan

kesinambungannya hingga zaman Neolitik. Tapi, menurut pandangan kami, situs penelitian

Anderson masih kurang layak untuk mendefinisikan suatu lapisan budaya, karena jumlah

artefak litik yang sangat sedikit-tidak lebih dari selusin serpih dalam lapisan-Iapisan bawah

dari kala Plestosen.Tidak jauh dari Lang Rongrien, situs Moh Kiew, yang digali oleh S. Pookajom telah

mengungkapkan suatu lapisan atas dari kala Holosen dengan kerakal yang dipangkas, serupa

dengan kerakal Hoabinhian dan suatu lapisan bawah yang lebih tua dengan suatu industri alat￾alat serpih (Pookajom, 1991).

Walaupun terkenal terutama dengan Hoabinhiannya, prasejarah di utara Vietnam juga

sangat kaya dengan situs-situs penghujung kala Plestosen atas. Situs-situs ini berasal dari

23.000 sampai 18.000 tahun yang lalu seperti Mài Da Nguom, Mài Da Dieu, Ong Quyen dan

Xom trai (Ilustrasi 9). Situs-situs tersebut telah menghasilkan industri alat-alat serpih yang

terdiri atas serut samping, pisau, dan mata panah (Ha Van Tan, 1980 dan 1997; Hoang, 1991).

Baru-baru ini, situs Mài Da Nguom telah menjadi situs eponim dari suatu kesatuan

budaya baru, Nguomian. Tekno-kompleks ini dicirikan terutama dengan mata panah dan serut

samping (Ha Van Tan, 1997).

Situs Mài Da Nguom, seperti halnya beberapa situs lainnya, membuktikan penerapan

metode Levallois:

"Penelilian paleolitik di Vietnam lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan di negara manapun di

Asia Tenggara. Meskipun demikian, baru-baru ini telah ditemllkan sebuah indllstri litik Levallois yang

sama sekali tidak diketahui, dengan penarikhan lebih dari 23.000 tahun, di glla Nguom, di

pegunungan kapur Provinsi Bac Thai di utara Vietnam. Industri ini termasuk dalam sebuah lapisan

budaya di bawah budaya Hoabinhian; keduanya terpisah oleh beberapa lapisan longsoran batu"

(Glover, 1993, hlm. 129).

Menurut pendapat kami, sepatutnya tetap berhati-hati dengan informasi tersebut,

sebab sampai saat ini belum ada satupun analisis teknologi tentang batu inti dan hasil-hasil

pemangkasan yang dipublikasikan.

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa berdasarkan jumlah situs yang digali, penghujung

kala Plestosen atas dan awal kala Holosen di Asia Tenggara Daratan memperlihatkan potensi

penelitian tekno-kompleks yang bermasa depan cerah dipandang dari segi variabilitas bentuk

alat-alatnya.

Meskipun budaya pemandu tetap Hoabinhian atau gabungan Hoabinhian-Bacsonian,

penje1asan baru mengenai aneka ragam industri alat-alat serpih masih memerlukan pendalaman

lanjut.

Pada saat ini, jelas bahwa situs-situs seperti Lang Rongrien atau Moh Kiew meman￾cing kembali perdebatan tentang semua bentuk industri, variabilitas dan urutannya dalam

ruang geografis dan waktu hingga awal masa bercocok tanam pada sekitar 6.000-5.000 tahun

yang lalu.

Masalah terpenting adalah wilayah yang luas sekali dan kurangnya temuan-temuan

baru serta penelitian industri litik dari sudut teknologi. Hambatan penelitian tidak terletak pada

masalah-masalah geografis saja, tetapi juga pada masalah metodologis seperti pembagian

penelitian arkeologi dalam wilayah Hoabinhian dan wilayah yang bukan Hoabinhian.

Sebagai kontras, kita akan me1ihat bahwa untuk periode yang sama, Asia Tenggara

Kepulauan memperlihatkan heterogenitas dan tetap rumit dengan silih berganti antara kerakal

yang dipangkas, artefak-artefak bifasial, industri-industri alat serpih, dan bahkan mungkin

mata pisau, mata pisau kecil atau juga mikrolit geometris dan mata panah.


Jawa dan Pulau-Pulau Sekitarnya

Di Asia Tenggara, Indonesia, khususnya Jawa, telah menghasilkan sejumlah besar hasil

penelitian mengenai Homo erectus. Pulau Jawa menonjol dari segi jumlah situs, tinggalan

manusia, teori-teori dan perdebatan yang menyangkut jenis budaya materiil Pithecanthropus

erectus (Simanjuntak et al., 2001).

Pada tahun 1970-an masih terdapat peneliti, termasuk Hutterer, yang menentang

pendapat yang mengatakan bahwa manusia tersebut mampu membuat alat batu

(Hutterer, 1977).

Tanpa menelusuri kembali sejarah penemuan-penemuan paleontologis yang bermula

pada akhir abad ke-19 oleh E. Dubois, dan tanpa memerinci semua situs Pithecanthropus, kita

dapat dengan mudah menandai lokasi konsentrasi tinggalannya pada cekungan Solo di Jawa

Tengah (Ilustrasi 9) seperti misalnya: Pati Ayam, Ngawi, Mojokerto dan Sangiran (Grimaud

dan Widianto 1993; A.M. Sémah et al. 1993).

Sejak tahun 1930, kita berhutang budi pada von Koenigswald atas sebagian besar

temuan manusia purba yang dihasilkan di Sangiran, dan atas penemuan sisa-sisa tempurung

kepala di Sungai Bengawan Solo bersama Oppemoorth (manusia-manusia Ngandong),

serta tempurung kepala anak di Mojokerto dekat Peming. Beliau juga adalah penemu industri

pertama Homo erectus: alat-alat serpih Sangiran dari batu kalsedon dan batu jasper yang

ditemukan di Ngebung dalam lapisan-lapisan kerikil (von Koenigswald, 1936; van

Heekeren, 1972).

Menyangkut hal tersebut, Bartstra dan peneliti lainnya berpendapat bahwa alat-alat dan

lapisan-lapisan kerikil tersebut berasal dari periode yang lebih muda daripada Homo erectus

(Bartstra, 1985; Bartstra dan Basoeki, 1989).

Sejak tahun 1989, serangkaian ekskavasi dilakukan di Bukit Ngebung, Sangiran, oleh

tim Prancis-Indonesia arahan Prof. F. Sémah (Muséum National d'Histoire Naturelle, Paris).

Penelitian ini berhasil membuktikan keberadaan alat-alat serpih dalam lapisan tanah Formasi

Kabuh dari kala Plestosen tengah (Sémah et al., 1990 dan 1992).

Telah dijelaskan bahwa posisi industri-industri yang ditemukan oleh von Koenigswald

berasal dari perubahan susunan lapisan Kabuh. Kesatuan Formasi Kabuh terdiri atas berbagai

endapan vulkanis-sedimenter, tempat ditemukannya "alat-alat serpih Sangiran" yang terkenal

dari batu kalsedon dan tinggalan-tinggalan utama berupa fosil-fosil Pithecanthropus (von

Koenigswald dan Gosh, 1940).

Penggalian situs Ngebung merupakan penggalian pertama yang menemukan sebuah

lantai hunian dari kala Plestosen tengah yang kaya akan tinggalan-tinggalan fauna khas perio￾de tersebut, seperti Stegodon, Hexaprotodon, Bovidae, Cervidae, dll.Penemuan yang terjadi di situs Ngebung telah membawa penjelasan baru tentang susu￾nan industri Homo erectus. Alat-alat yang dipangkas dan berasal dari satu lapisan yang

berumur sekitar 800.000 tahun (Saleki, 1997) terbagi dalam: bola, alat berfaset, dan alat serpih

yang sangat menarik seperti kapak pembelah (Sémah et al., 1992; Simanjuntak et al., 1996).

Lapisan-Iapisan Iain yang dianggap dari kala Plestosen tengah juga menunjukkan sisa

peralatan purba.

Di situs Sambungmacan, Prof. T. Jacob telah menemukan sebuah kapak perimbas dan

sebuah serpih besar dari batu andesit, serta sebuah tempurung kepala yang posisi

stratigrafisnya masih belum jelas (Jacob et al., 1975). Di situs Kedung Cumpleng, Miri, tim

kerjasama lndonesia-Prancis yang dipimpin oleh F. Sémah juga mencatat keberadaan alat-alat

purba (sekitar 0,9 juta tahun yang lalu) yang terdiri atas alat-alat serpih dari gamping, yang

pada saat ini masih sangat sulit untuk ditafsirkan (Djubiantono, 1992).

Pada tahun 1935, di sebuah daerah dekat Punung, Jawa Timur, von Koenigswald telah

menemukan sebuah industri yang sangat penting. la menghubungkannya dengan Homo

erectus, yakni Pacitanian atau "budaya Pithecanthropus" (von Koenigswald, 1936).

Alat-alat masifyang dikumpulkan dari Kali Baksoko ini-bercampur dengan peralatan

litik yang lebih muda (beliung persegi, alat-alat kecil, dll.)-terbuat dari fosil kayu, tufa,

breksi dan fosil gamping. lndustri Pacitanian terdiri atas kapak perimbas, kapak penetak, kapak

genggam kasar, serpih-serpih berukuran besar yang diretus berwarna kemerahan yang amat

menua, dan batu inti berbentuk pirarnid atau berfaset, berukuran besar yang dapat berbobot

pu1uhan kilogram.

Penelitian tentang Pacitanian, yang dikaitkan dengan Pithecanthropus oleh sejumlah

peneliti (von Koenigswald, 1936; Teilhard de Chardin, 1937) atau dengan manusia modern

oleh peneliti 1ainnya (Bartstra, 1982a), kurang memberikan jawaban tentang penciptanya atau

tentang komposisi industri ini (kegiatan pembentukan danJatau pemangkasan?).G.J. Bartstra adalah salah satu ahli yang paling gigih menentang pendapat hubungan

Pacitanian-Homo erectus. Menurutnya, batas paling kuno industri tersebut berasal dari fase￾fase akhir kala Plestosen atas atau dari awal kala Holosen dan industri tersebut sebagai buah

karya Homo sapiens:

U(. ..) It can be demonstrated geomorphically that Patjitanian artijàcts fi-om the oldest river terrace

west ofPatjitan, where most ofthe original jinds were made do indeed belong to the Holocene. It is

truly questionable to what extent the various sites ofthe Patjitanian culture represent only d~frerent sea￾sonal or occupational activities of a group of (sub) Holocene hunter-gatherers" (Bartstra, 1982a,

hlm. 319).

Perdebatan tentang budaya Pacitanian masih tetap aktual. Teras-teras Sungai Baksoko

masih belum memiliki penarikhan, sehingga masalahnya tetap sama.

Masalah Pacitanian tidak akan terkuak jika tidak ada usaha untuk menggali teras-teras

dan mencari alat-alat yang tua dalam endapan aluvial di luar konteks stratigrafis. Pada saat ini,

masih belum ada sebuah argumentasi yang kukuh mengenai pencipta alat-alat tersebut dan

posisi mereka dalam kronologi prasejarah Indonesia.

Sejak tahun 1992, penelitian kerjasama Prancis-Indonesia arahan Prof. F. Sémah dan

Prof. T. Simanjuntak bertujuan untuk menemukan budaya Pacitanian dalam satu konteks

stratigrafis di gua-gua di Pegunungan Selatan, tidak jauh dari Sungai Baksoko (Lumley et al.,

1993; Simanjuntak, 2001; Sémah et al., 2003).

Selain Pulau Jawa, pulau-pulau Iain di Nusantara belum menghasilkan jejak-jejak

Homo erectus yang tidak terbantah. Namun, selama survei-survei di wilayah Nusantara telah

ditemukan sejumlah alat masif yang disebut "Paleolitik" seperti yang ditemukan di Lombok

(Soejono, 1987).

Temuan permukaan berupa kapak genggam dan alat-alat kerakal hasil penelitian van

Heekeren di lembah Cabenge, di sebelah barat daya Sulawesi Selatan pada tahun 40-an,

mungkin berkaitan dengan sebuah penghunian purba. Artefak-artefak yang ditemukan bersama

sisa-sisa gajah arkais ini diperbandingkan dengan artefak-artefak dari Sangiran (van Heekeren,

1972; Keates dan Bartstra, 2001).

Saat ini, muncul kembali polemik mengenai penyeberangan Paparan Sunda dan

penghuni pulau-pulau kecil sebelah timur Nusantara oleh Homo erectus. Suatu penemuan baru

dari Pulau Flores pada Formasi ala Bula membuktikan keberadaan Homo erectus di pulau ini

(van den Bergh et al., 1996). Dengan ditemukannya sisa-sisa fauna purba yang diwakili

Stegodon trigonocephalus florensis dan sejumlah serpih yang dipangkas dari basal, ditambah

dengan hasil studi paleomagnetisme, lapisan tersebut diperkirakan telah dihuni pada kala

Plestosen bawah-tengah (Sondaar et al., 1994; Morwood et al., 1997 dan 1999).

Pene1itian terbaru dalam rangka kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan

Arkeologi Nasional dan Institut de Recherche pour le Développement (2001-2005) di Pulau

Sumatra (daerah Desa Padang Bindu, Sumatra Selatan) menemukan batu-batu Acheulian di

Sungai Tawar dan Semuhun: kapak pembelah, kapak perimbas, kapak penetak dan banyak alat

serpih serut gerigi besar, dll. Petunjuk-petunjuk baru mengenai ukuran batu akan melengkapi

seri peralatan yang sampai kini kami sebut sebagai milik Homo erectus (Forestier et al., 2005a;

Simanjuntak et al., 2006).Filipina tidak banyak menghasilkan data-data yang menyakinkan mengenai lapisan￾lapisan hunian purba, karena belum ada rencana penggalian untuk periode-periode tersebut.

Hanya sejumlah alat-alat kerakal besar (kapak perimbas dan kapak penetak) berhasil

dikumpulkan di permukaan tanah sejak tahun 60-an oleh G.H.R. von Koenigswald di lembah

Cagayan, sebelah utara Pulau Luzon, yang merupakan pulau paling utara di Kepulauan

Filipina. Dari pengumpulan itulah muncul istilah budaya Cabalwanian karena berkaitan

dengan lembah Cagayan. Namun industri tersebut tidak memiliki konteks stratigrafis (Ilustrasi 3).

Budaya Cabalwanian serta tinggalan-tinggalan industri purba lainnya di bagian utara

Luzon telah disatukan dalam istilah umum Liwanian (Jocano, 1967).

Lebih dari seratus situs permukaan tanah yang bersifat Cabalwanian telah didaftar

dengan jenis temuan yang sama dan temuan sisa-sisa fauna termasuk gajah yang diperkirakan

dari kala Plestosen tengah, yaitu lebih kurang 400.000 tahun yang lalu (Fox dan Peralta, 1974;

Wasson, 1980).

Jarang ditemukannya situs-situs Cabalwanian yang tidak terganggu dan yang

mempunyai stratigrafi yang je1as membuat budaya Cabalwanian sebagai suatu realitas arkeo￾logis yang perlu diteliti secara lebih mendalam dan merupakan keunikan yang menarik perha￾tian bagi kawasan yang terletak di ujung Asia Tenggara Kepulauan.

2.2) Industri Antara 40.000 dan 10.000 Tahun Lalu

Industri serpih yang berasal dari kala Plestosen atas dikenal di beberapa situs di

Indonesia (Simanjuntak, 2006) dan Filipina (llustrasi 10).

2.2.1 Sarawak, Sabah, dan Kalimantan

Situs yang paling terkenal di Asia Tenggara Kepulauan adalah gua Niah yang selama

ribuan tahun digunakan sebagai tempat kubur. Reputasinya juga diperoleh berkat ribuan

burung walet yang membangun sarang mereka di langit-Iangit. Sarang burung tersebut

diperdagangkan oleh masyarakat setempat (Ilustrasi 10).

Situs gua Niah terletak di Sarawak, sebelah utara Pulau Bomeo (Malaysia) pada pegu￾nungan gamping Gunung Subis. Gua Niah menunjukkan urutan stratigrafis paling lama dalam

sejarah manusia modem di Asia Tenggara Kepulauan: dari 40.000 tahun sampai 20.000 tahun

yang lalu. Serangkaian kegiatan penelitian awal dalam gua besar Niah (West Mouth) dilaksa￾nakan oleh T. Harrisson sejak tahun 1954. Kegiatan tersebut menghasilkan sebuah rangka

manusia modem dari lapisan-lapisan bawah (sekitar 40.000 tahun) (Harrisson, 1957, 1958,

1959, 1970 dan 1975).

Penelitian kedua, dipimpin Z. Majid pada akhir tahun 70-an, membuka peluang untuk

membedakan lima lapisan stratigrafis besar yang menunjukkan satu urutan budaya. Mulai dari

permukaan, kelima lapisan tersebut adalah (Majid,1982):Lapisan pertama, mengandung tembikar dan alat-alat batu yang jarang.

- Lapisan kedua, mengandung kerakal yang dipangkas, mewakili hampir 60% alat-alat

batu dan tembikar (10.000 tahun yang lalu).

- Lapisan ketiga, mengandung kerakal yang dipangkas, mata panah, dan serpih terpancung.

- Lapisan keempat merupakan lapisan di mana lebih dari 40% alat-alat berbentuk kera￾kal yang dipangkas: kapak perimbas dan kapak penetak (30.000 tahun yang lalu),

- Lapisan kelima berisi industri yang terbatas pada serpih yang diretus atau digunakan

secara kasar tanpa peretusan (40.000 tahun yang lalu).

Situs gua Niah mempunyai keunikan, yaitu antara 40.000 dan 30.000 tahun lalu dite￾mukan semua jenis alat yang ada di Asia Tenggara sejak hampir satu juta tahun yang lalu:

industri serpih, kapak perimbas, kapak penetak, industri tulang (sudip, mata panah, dl!.).

Menarik untuk memperhatikan kesinambungan industri masif keraka!. Dari pengamatan ini,

para peneliti berpendapat bahwa artefak-artefak dari lapisan-lapisan atas yang berumur

10.000 tahun hampir serupa dengan artefak-artefak dari Bacsonian. Juga ditemukan kerakal￾kerakal yang diupam pada satu sisi (edge-ground axes) seperti yang ditemukan di utara

Australia dan di dataran tinggi Papua Nugini (Mt Hagen) (Mulvaney, 1969). Tipe alat ini pada

umumnya terIihat di daerah-daerah Iain di mana kegiatan budidaya kebun dilestarikan

(Bellwood, 1997).

MeIihat variabilitas dan kedalaman diakronis alat-alat, patut disesali bahwa situs

sepenting itu tidak dapat menghasilkan lebih banyak data dalam hal variabilitas teknologi batu

dan tulang. Demikian juga impIikasi-impIikasinya dalam bidang fauna purba, karena sisa-sisa

fauna sangat banyak jumlahnya: primata, herbivora, kamivora, binatang pengerat, dl!.

Selain itu, situs gua Niahjuga merupakan situs yang luar biasa karenajumlah kubumya:

- Pada lapisan-lapisan yang berumur antara 14.000-8.000 tahun, telah ditemukan

kubur dengan rangka dalam posisi seperti janin, bersama sisa-sisa hematit dan sebuah

tulang paha badak di bawah kepala salah satu mayat;

- puluhan kubur dari zaman Neolitik.

Di Sabah (Malaysia), tepatnya di situs gua Hagop Bilo dan Madai di pegunungan￾pegunugan Baturong berhasil ditemukan alat-alat serpih yang diretus berumur lebih kurang

17.000 tahun (Bellwood, 1987 dan 1992) (Ilustrasi 10).

Fauna yang ditemukan terdiri atas babi, rusa, sapi, kera, tikus, orang utan, ular dan

reptil lainnya.

Masih di daerah Sabah, di situs Tingkayu yang terletak dekat sebuah danau vulkanis

berhasil ditemukan satu-satunya kumpulan alat bifasial Asia Tenggara Kepulauan yang berasal

dari kala Plestosen atas (antara 28.000 dan 17.000 tahun yang lalu) (BeIIwood, 1987).

Kecuali di bagian utara (Sarawak, Sabah), pulau besar Bomeo relatif miskin dalam

penemuan-penemuan arkeologis dibandingkan dengan Pulau Jawa yang kurang curam dan

lebih mudah aksesnya. Sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, penelitian yang dilakukan oleh

sebuah tim Prancis-Indonesia telah berhasil menemukan lukisan-lukisan dinding gua

prasejarah yang tidak pemah dilaporkan sebelumnya. Lukisan-lukisan tersebut berusia antara

sekitar 20.000 dan 6.000 tahun (Chazine, 2000 dan 2005; Plagnes et al. 2003). Penemuan￾penemuan ini juga disertai dengan ekskavasi-ekskavasi arkeologis di gua-gua yang terletak

tidak jauh dari situs-situs lukisan tersebut.Penggalian-penggalian itu menunjukkan kesinambungan penghunian manusia dan produksi￾produksi mereka (litik, tembikar, dll.) yang berkisar antara akhir Plestosen atas dan Holosen.

Lapisan-lapisan terbaru (Austronesia) yang berusia sekitar 3.000 tahun menunjukkan sejumlah

kuburan dan sebuah tradisi tembikar bermotif geometris yang sangat indah, yang mengingat￾kan kita akan tembikar Lapita dari Oseania (Chazine, 2006).

Penemuan lukisan-lukisan prasejarah dan hasil-hasil kronologis yang ditunjukkan oleh

arkeologi ini membuka pemikiran baru yang sangat menarik mengenai kronologi prasejarah di

Pulau Kalimantan, mengenai timbulnya sebuah seni prasejarah dan, secara lebih umum,

tentang perpindahan penduduk antara Asia dan Pasifik sejak zaman dahulu kala.

2.2.2 Sulawesi

Situs besar kedua yang memperlihatkan kedalaman stratigrafis yang tidak ada

bandingannya adalah situs Leang Burung 2 yang terletak di lembah Maros, tidak jauh dari desa

Tompokbalang (kecamatan Leang Leang) di utara Makassar, daerah barat daya Sulawesi

(Ilustrasi 10).

Situs tersebut terletak di tanah gamping Eosen dan Miosen tengah di lembah Maros dan

Tonasa, dengan arah hadap utara-selatan sejajar dengan pantai barat Sulawesi. Tanah gamping

tersebut merupakan lahan seluas sekitar 400 km2 yang memiliki banyak gua dan gua payung,

di antaranya tercatat sekitar tiga puluh situs prasejarah.

Leang Burung 2 digali secara cermat pada sekitar tahun 1975 oleh 1. C. Glover (Glover,

1979, 1981 dan 1993). Dalam lapisan hunian berumur sekitar 30.000-20.000 tahun, ditemukan

sekumpulan artefak litik yang kaya akan alat-alat dan secara keseluruhan relatifhomogen (batu

inti, serpih-serpih, alat-alat serpih, sisa-sisa pemangkasan, dll.).

Selain artefak-artefak litik yang diwakili sejumlah serpih memanjang yang agak ber￾bentuk segitiga menyerupai "Levallois", termasuk serpih berfaset, terdapat sejumlah artefak

tulang berupa sudip, mata panah, dll. (Glover, 1981).

Hasil analisis jejak pakai kebanyakan alat-alat litik dari Leang Burung 2 menunjukkan

bahwa alat-alat rijang ini telah dipakai untuk memotong kayu dan tumbuhan (daun dan

tangkai) (Sinha dan Glover ; Glover dan Presland, 1985).

Sebanyak 5.485 alat litik yang ditemukan dari lapisan tanah selama 10.000 tahun masa

hunian di situs ini tidak memperlihatkan perubahan yang berarti, baik dalam tipologi artefak

yang diretus, ataupun dalam hal bahan bakunya yang berupa batu rijang yang bermutu. I.C.

Glover berpendapat bahwa teknik pemangkasan di Leang Burung 2 adalah teknik Levallois:

"Di selatan Sulawesi, pada tahun 1975, penggalian-penggalian telah berhasil mengungkapkan sebuah

industri litik berupa mata pisau dan lancipan Levallois dalam gua payung Leang Burung 2 (Bird Cave

2), yang berasal dari masa antara 30.000 hingga 19.000 tahun SM (. ..). Beberapa temuan batu inti

membuktikan adanya pengetahuan tertentu tentang metade pemangkasan Levallois." (Glover, 1993,

hlm. 128).

Mengenai hal ini, P. Bellwood bahkan berpendapat bahwa metode ini memiliki

kesamaan dengan metode Levallois Australia:

"(...) representing a prepared core technalagy similar ta the Levallaisian of Western Eurasia. In this

case the develapment seems ta be lacalized and independant, as daes a similar appearance ofthe tech￾nique in north-western at a much later date, about 4 000 years aga" (Bellwood, 1992, hlm. 85).Metode Levallois Australia yang dibicarakan oleh P. Bellwood ini menghasilkan serpih

atau mata pisau Levallois yang disebut "Leilira" yang muncul sekitar 4.000-3.000 tahun yang

lalu di barat Australia (Bordes dan Dortch, 1977). Namun bertentangan dengan keadaan yang

dianggap nyata ini, kami berpendapat bahwa metode Levallois "Australia" ini bukanlah

Levallois dalam arti sebenarnya, tetapi menyerupai variasi konsep Levallois seperti yang telah

didefinisikan dalam variabilitasnya oleh É. Boëda (Boëda, 1994, 1995, 1997).

ladi, Levallois Australia merupakan hasil dari salah satu skema pembuatan metode

pemangkasan yang Iain daripada konsep Levallois. Pembuatan "ala Australia" ini menunjukkan

adanya kemiripan tertentu pada bentuk alat yang dihasilkan, tetapi amat berbeda dari sudut

pembentukan batu inti yang khas konsep Levallois (pengolahan batu inti dalam dua dimensi)

seperti yang ditemukan di Eropa Barat (Boëda, 1990, 1992, 1994, 1995).

Soal ada atau tidaknya teknik Levallois di Sulawesi atau di tempat Iain di Asia (Mai Da

Nguom di Vietnam, dll.) bukanlah suatu hal yang tidak dapat dipecahkan.

Meskipun demikian, kami tetap berhati-hati menanggapi pernyataan mengenai

Leang Burung 2 yang cenderung menggunakan jalan deskriptif yang mendekati tipologi

daripada menggunakan jalan analitis yang khas teknologi dalam memahami variabilitas

metode pembuatan:

"Beberapa metode yang berasal dari struktur yang sama dapat menghasilkan artefak yang sama atau

bahkan sekumpulan artefak. Artefak dari tipe tertentu tidak merupakan hasil dari satu-satunya metode

tertentu ( ..). Sesungguhnya, jika sebuah tipe artefak dapat dihasilkan dari metode-metode yang berbe￾da, artefak itu dapatjuga dihasilkan dari struktur-struktur yang berbeda dari segi volume. Contoh-con￾toh yang paling signifikan adalah lancipan-lancipan yang disebut Levallois dan lancipan-lancipan

yang disebut pseudo-Levallois" (Boëda, 1993, hlm. 393).

Selain pilihan metode analisis artefak, masalah yang dihadapi di situs Leang Burung 2

menyangkut studi perbandingan. Sesungguhnya situs ini, termasuk industrinya, belum

mempunyai padanan apapun juga di kala Plestosen atas di Indonesia. lelaslah bahwa situs ini

masih merupakan situs yang paling dapat diandalkan dari segi stratigrafis dan paling kaya akan

industri litik dan tulang untuk periode tersebut.

2.2.3 Pulau Flores, Timor dan Aru

Sejak sekitar dua puluh tahun yang lalu, aktivitas penelitian arkeologi di Nusa Tenggara

Timur memberi banyak informasi baru dan menarik tentang prasejarah.

Ekskavasi Liang Bua di Pulau Flores menghasilkan data-data baru tentang manusia

yang memiliki struktur anatomi yang berbeda, dan disebut Homo floresiensis. Sisa-sisa

manusia, fauna dan alat batu berumur antara 38.000 dan 18.000 tahun juga ditemukan

(Morwood et al., 2004; Morwood et al., 2005). Penemuan Homo floresiensis merupakan

peristiwa penting dalam penelitian prasejarah dan paleontologi Indonesia.

Di Pulau Timor (Timor Leste), di situs Wae Bobo 2 (Ilustrasi 10), ditemukan lapisan￾lapisan berumur 14.000-13.000 tahun yang mengandung industri serpih yang umumnya

diretus secara terjal. Sebagian besar artefak terdiri atas serut, serut gerigi, serut cekung, dan alat

gravir (burin) yangjarang ada; batu-batu inti berbentuk piramide atau berfaset. Artefak-artefak

tersebut ditemukan bersama dengan fauna khas Wallacea, berupa kelelawar dan tikus raksasayang sudah punah, sisa-sisa ikan, dan biji (Inocarpus) dll. (Glover, 1986). Beberapa tahun yang

lalu juga banyak ditemukan situs yang memberi infonnasi baru tentang kronologi Plestosen,

seperti situs Lene Hara yang berumur 35.000 tahun dan situs Matjakuru 1 yang berumur

13.000 tahun (O'Connor et al., 2002; Pannell dan O'Connor, 2005).

Di Pulau Aru (Maluku), situs Liang Lembudu dan Nabulei Lisa menghasilkan data

kronostratigrafis baru - berumur sekitar 30.000 tahun (Veth et al., 2005; O'Connor et al.,

2005). Umur yang sama juga didapatkan di situs gua Gola di Pulau Halmaera (Bellwood et al.,

1998), serta lebih ke timur lagi, misalnya di situs Gua Toe, Irian Jaya (Spriggs, 1998; Pasveer,

2003). Di situs-situs yang baru digali ini, ditemukan alat-alat tulang yang beranekaragam

(lancipan, dll.) bersama alat-alat batu. Dari penggalian-penggalian ini didapatkan satu

kronologi Plestosen atas - Holosen yang meyakinkan dan cocok sekali dengan kronologi yang

didapatkan untuk situs-situs di Papua Nugini, misalnya Malakunanja, Nauwalabila, dll.

2.2.4 Filipina

Di Filipina, Gua Tabon di Pulau Palawan (Ilustrasi 10) memperlihatkan suatu sedimen

tebal yang lapisan-Iapisan tertuanya berasal dari 30.000-26.000 tahun yang lalu. Dua rahang

manusia ditemukan (berusia lebih kurang 24.000 tahun) di situs ini beserta serpih-serpih yang

tidak beraturan dan kerakal yang dipangkas. Kumpulan artefak ini dinamai budaya Tabonian

(Fox, 1970).

Rangkaian lapisan di Tabon tergolong panjang dan sementara masih sulit diidentifika￾si secara tegas lewat peralatan litik, seperti yang berhasil dilakukan pada alat-alat litik dari gua

Niah. Patut diperhatikan bahwa R. Fox mendefinisikan budaya Tabonian hanya berdasarkan

pada 337 buah artefak yang ditemukan dalam lapisan yang berumur kira-kira 20.000 tahun.

Padahal jumlah artefak litik yang berhasil ditemukan 3.000 buah (Fox, 1970). P. Bellwood

berpendapat bahwa serpih-serpih yang ditemukan di Tabon serupa dengan serpih-serpih yang

ditemukan di Sabah, Madai dan Hagop Bilo-Baturong (Bellwood, 1992).

2.3) Industri-industri Preneolitik Kala Holosen Antara 10.000 dan 5.000 Tahun lalu

Pada periode yang mencakup 10.000 hingga 5.000 yang lalu, terlihat adanya

peningkatan jumlah keseluruhan industri. Namun, tidak berarti ke<tnekaragaman pun

meningkat. Periode ini nampaknya berkaitan dengan kedatangan kelompok-kelompok

manusia modem secara besar-besaran. Akibatnya muncul keanekaragaman tipologis alat-alat

batu dan pemadatan penghunian di banyak daerah oleh kelompok-kelompok tersebut.

Di Pulau Jawa, Sumatra, dan terutama di Sulawesi muncul serangkaian kumpulan

industri yang digolongkan ke dalam ungkapan umum "Industri serpih dan bilah" (disebutflake

and blade technology oleh para peneliti berbahasa Inggris menurut Bellwood, 1997).

Di Sulawesi (Toalian), pada umumnya terdapat himpunan alat litik yang dimulai pada

sekitar 9.000 tahun lalu dengan industri serpih dan kemudian secara tiba-tiba digantikan oleh

industri mikrolitik. Oleh karena itu, pengolahan paling canggih alat-alat litik terlihat muncul

sekitar 7.000-6.000 tahun yang lalu berupa pembuatan lancipan, mikrolit, dan alat dengan

punggung yang diretus. Kemungkinan besar hasil-hasil seni yang awal muncul pada zaman ini(Ilustrasi Il). Oleh karena itu, kurun waktu ini menandai permulaan tahapan teknologi baru di

Asia Tenggara Kepulauan melalui suatu perubahan teknologi dan peralatan, terutama di

Sulawesi dengan tradisi Toalian dan mungkin juga sebelah timur Jawa dengan tradisi

Sampungian.

Pada periode yang dinamai "Mesolitik" inilah (antara 8.000 dan 5.000 tahun yang lalu)

artefak litik dari situs penelitian kami berasal, yakni Song Keplek dan gua-gua Iain seperti

Song Terus, Braholo, dU. Tetapi, apakah di Indonesia terdapat satu atau lebih tekno-kompleks

budaya pada periode tersebut?

Untuk kurun waktu ini, kami membagi Asia Tenggara Kepulauan dalam empat satuan

geografis, menurut tingkat keutamaannya:

- Sulawesi;

- Jawa;

- Pulau-pulau Iain di Nusantara;

- Filipina.

2.3.1 Sulawesi: Toalian

Pada awal abad lalu, tepatnya pada tahun 1902 dan 1903, Sarasin bersaudara

melaksanakan sebuah ekspedisi ke Sulawesi dengan maksud menemukan dan mencatat

situs-situs prasejarah (Sarasin dan Sarasin, 1905). Mereka terutama mengadakan survei di

barisan-barisan pegunungan dekat Sungai Monchong, sebelah timur Chamba, di wilayah

selatan pulau itu. Di sana mereka bertemu dengan suku pemburu dan pengumpul makanan

yang hidup di dalam gua-gua, bernama suku Toala ("manusia kayu").

Di daerah yang sama, di gua Balisao dan gua payung Chakondo Uleleba, mereka

berhasil menemukan lancipan-Iancipan dengan tepian bergerigi dan beralas cekung. Mereka

menafsirkan temuan-temuan tersebut sebagai mata panah bergerigi (van Heekeren, 1972)

(Ilustrasi 12). Lancipan-Iancipan kecil yang sangat khas ini ditemukan bersama dengan

mikrolit berbentuk geometris dan merupakan temuan-temuan awal dari apa yang tiga puluh

tahun kemudian dijadikan tekno-kompleks budaya Toalian.

Sesudah penemuan awal ini, banyak situs Iain menghasilkan temuan lancipan panah

yang serupa. Pada tahun 1933, van Stein CaUenfels telah mensurvei gua-gua Iain, seperti gua

Leang Tomatua Katjitjang atau Leang Ara, di mana ia menemukan lancipan-Iancipan yang

sama (van Stein CaUenfels, 1938; dikutip oleh van Heekeren, 1972).

Pada tahun 1935-1937 van Heekeren meneruskan kegiatan penelitian lapangan para

pendahulunya. la meletakkan dasar-dasar awal tipologi Toalian. la pun membuat tipologi

pertama dari artefak yang berasal dari Sulawesi. la jugalah yang menyusun sintesis pertama

pada tingkat Nusantara tentang alat-alat batu yang dipangkas.

Penelitian tipologisnya didasarkan pada artefak-artefak yang terutama ditemukan di

dalam gua-gua yang terletak di sebelah barat Sulawesi seperti: Leang Saripa, Leang Uleleba,

Leang Balisao, Leang Tjadang (lebih ke utara lagi dekat Chita, di Kabupaten Soppeng),

Panganreang Tudea, Leang Pattae, Leang Tomatua Katjitjang, Leang Chakondo, dU. (van

Heekeren, 1972).

Dari survei permukaan di sekitar dua puluh situs telah disusun koleksi referensi

pertama artefak budaya Toalian Sulawesi.Berdasarkan artefak-artefak yang dikumpulkan oleh Stein Callenfels, van Heekeren,

dalam bukunya The Stone Age in Indonesia, membagi Toalian dalam tiga lapisan budaya yang

berbeda-beda:

- Toalian 1 atau Toalian Akhir: lancipan panah bersayap dan bergerigi, lancipan tulang

tipe alat pelubang, alat-alat kerang dan pecahan-pecahan tembikar.

- Toalian II atau Toalian tengah: serpih dan bilah dengan atau tanpa retusan, mata

panah dengan dasar cembung dan mikrolit.

- Toalian III atau Toalian Awal: serpih dan bilah yang kasar, alat-alat serpih.

Baru pada tahun 1970, melalui ekspedisi arkeologi Australia-Indonesia arahan

J. Mulvaney dan R. P. Soejono, situs Leang Burung 1 dapat ditemukan (Mulvaney dan

Soejono, 1970; Mulvaney, 1971). Kemudian situs DIu Leang digali oleh I.C. Glover

(Glover, 1976, 1978a).

Hasil ekskavasi di situs DIu Leang ini telah dapat membantu merinci kronologi

budaya Toalian dan variabilitas tipologinya (Glover, 1976; Glover dan Presland, 1985;

Bellwood 1985).

Budaya Toalian (Toalian tua), yang berasal dari sekitar 8.000-7.000 tahun lalu,

dicirikan oleh mikrolit berbentuk geometris (sabit dan trapesium), artefak-artefak berpunggung

mikrolitik (mata pisau dan mata pisau kecil), serpih-serpih, batu inti berkutub ganda (bipolar

core), lancipan-lancipan tulang dan serut-serut dari kerang. Kira-kira 6.000 tahun yang lalu,

muncul lancipan-lancipan berukuran kecil yang diidentifikasikan sebagai lancipan berdasar

cekung atau cembung dengan tepi yang sering kali bergerigi. .

Kemudian, antara 4.000 tahun yang lalu dan milenium pertama era Masehi, lancipan￾lancipan ini ditemukan bersama dengan tembikar. Kemungkinan besar kegiatan menanam padi

bermula pada zaman ini.

Fauna yang dikumpulkan dari situs-situs galian di lembah Maros merupakan fauna khas masa

kini yang dapat ditemukan di Sulawesi, contohnya: Macaca maura, Phalanger ursinus, Sus

celebensis dan babirusa (Babyrousa babyrousa).

Budaya Toala Sulawesi merupakan tekno-kompleks yang diakui dalam kronologi pra￾sejarah Indonesia. Kekhasan industrinya diperlihatkan oleh fosil pemandu berupa "lancipan

Maros" (Ilustrasi 12), ditambah dengan alat-alat mikrolit dengan sisi yang kurang lebih

terpancung atau serpih yang sekedar diretus, dan industri tulang.

Lancipan-lancipan tersebut dinamakan "lancipan-lancipan Maros" berdasarkan

penemuan yang dilakukan oleh Mulvaney dan Soejono di wilayah Maras. Lancipan-lancipan

tersebut termasuk dalam kelompok alat-alat atau senjata dari rijang yang tipologinya paling

jelas di Indonesia.

Kami telah menemukan empat definisi lancipan Maras:

- "lancipan kecil berdasar cekung dengan tepian bergerigi" (Mulvaney dan Soejono,

1970);

- "mata panah bergerigi dari batu, banyak di antaranya yang bersayap pada dasamya"

(van Heekeren, 1972);

- "segitiga sama dengan kaki berdasar cekung" (Presland, 1979);

- "lancipan kecil bersayap atau dengan dasar berongga" (Chapman, 1986).Industri Toalian ini mungkin sezaman dengan seni lukis dinding gua yang benar-benar

kaya (gambar hewan, tanda-tanda cap tangan dalam bentuk positif, negatif atau bahkan cacat),

terutama di gua Leang Pattae (Soejono, 1984).

Di ujung utara Sulawesi, situs Paso yang berumur 8.000-7.000 tahun menghasilkan

temuan industri obsidian yang berbeda dari industri Toalian, terdiri atas serut samping, serut

gerigi dan lancipan tulang (Bellwood, 1997).

2.3.2 Jawa Timur: Sampungian

Penelitian di Sulawesi yang baru dipaparkan telah memperlihatkan mata panah yang

dijadikan simbol dari sebuah tradisi yang disebut "mesolitik", mencakup rentang waktu antara

10.000-5.000 tahun yang lalu. Selama perkembangannya, penelitian budaya Toalian telah

mengalami kesesatan teoretis karena terdapat usaha untuk menemukan suatu kesatuan budaya

dan geografis tertentu berdasarkan artefak dari Sulawesi itu. Menurut hemat kami, perluasan

geografis tekno-kompleks ini ke seluruh Nusantara untuk sementara kurang berdasar.

Dalam kurun waktu yang sama, para peneliti zaman tersebut berusaha menemukan

unsur-unsur tekno-kompleks Toalian dalam budaya Sampungian dari Jawa Timur dengan mata

panah sebagai fosil pemandu utama (Allchin, 1966; Hooijer, 1969; van Heekeren, 1972).

Budaya Sampungian telah lama dianggap sebagai "Mesolitik Jawa" dan sebagai

penanda tipologis dari zaman akhir prasejarah di bagian timur Jawa (van Heekeren, 1972).

Situs eponim Sampungian adalah gua besar yang bemama Gua Lawa yang terletak

dekat desa Sampung di daerah Ponorogo, di antara dua gunung berapi: Lawu dan Liman. Sejak

tahun 1930-an, peneliti pertama yang tertarik pada gua tersebut adalah van Es, seorang ahli

geologi, diikuti oleh van Stein Callenfels yang mulai menggali pada tahun 1931. Menurut van

Stein Callenfels, Gua Lawa merupakan tempat hunian para pemburu-pengumpul makanan di

daerah itu sepanjang milenium ke-5 sebelum Masehi (Stein Callenfels, 1932).

Pengetahuan kita berdasarkan hasil penelitian yang dipimpin oleh van Heekeren pada

tahun 30-an, yang terfokus pada pengetahuan industri litik dan tulang Sampungian dari

beberapa situs gua di bagian timur Jawa (van Heekeren, 1972). Sebenamya, van Heekeren

telah melaksanakan sejumlah penelitian lapangan antara tahun 1926 dan 1937 di sekitar 20 gua

di bagian timur Jawa. Melalui penelitian tersebut ia berhasil mengungkapkan industri yang

disebut Sampungian dengan ciri alat-alat tulang yang beranekaragam (sudip, alat penusuk,

lancipan, dll.). Industri tersebut ditemukan bersama dengan lancipan-lancipan kecil dengan

retus bifasial dan berdasar cekung serta serpih-serpih yang diretus dari bahan lokal yaitu batu

chert ("rijang" dalam bahasa Jawa).

Dengan sangat cepat, budaya Sampungian dianggap sebagai industri mesolitik pertama

yang berciri tulang pada awal Holosen di bagian timur Jawa, mendahului Neolitik (4.000-

5.000 tahun yang lalu?).Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu

Menurut van Heekeren (1972), lapisan paling dasar Gua Lawa mengandung sisa-sisa

manusia dan sejumlah mata panah dari batu rijang. Di lapisan atasnya terdapat beberapa mata

panah Iain yang terkadang berdasar cembung. Sedangkan menurut Erdbrink (1954), pada lapi￾san yang mendahului fase neolitik, artefak-artefak yang sama ditemukan bersama dengan sisa￾sisa oker dan alat penggosok.

Sisa-sisa manusia dari situs Gua Lawa menunjukkan ciri-ciri australoid. Fauna dari

lapisan-lapisan preneolitik serupa dengan fauna sekarang, yang terdiri atas rusa, babi

(Sus vittatus), kera, binatang buas jenis kucing (Felidae) dan reptil.

Mata panah Sampungian, berukuran panjang rata-rata sekitar 6 cm, ditemukan kira-kira

pada lapisan atas (lapisan ketiga). Mata panah tersebut memperlihatkan pangkasan bifasial

dengan dasar cekung atau cembung tanpa satupun tepian bergerigi. Selain alat-alat tersebut,

gua ini juga menghasilkan campuran "serpih dan mata pisau tanpa peretusan serta banyak

serut ujung dari cangkang kerang yang diretus" (van Heekeren, 1972).

Situs-situs yang tergolong Sampungian ditemukan di seluruh bagian timur Jawa dan

para peneliti mengaitkannya dengan sebuah industri tulang dan mata panah (van Heekeren,

1972) (Ilustrasi 13):

- di daerah Ponorogo-Puger, tiga gua telah digali oleh van Heekeren (Petpuruh,

Sodong dan Marjan);

- di daerah Bojonegoro-Tuban, lebih ke utara di pegunungan Rembang;

- dan di daerah Besuki, lebih ke timur.

Ketiga gua di daerah Ponorogo-Puger telah menghasilkan artefak-artefak dari zaman

sebelum tembikar, seperti: lancipan-lancipan berdasar bundar, alat-alat tulang, serut-serut dari

cangkang kerang dan kuburan-kuburan dengan posisi rangka manusia terlipat.

Tampaknya, lapisan-lapisan itu juga menghasilkan alat-alat kerakal dan alat-alat

penggosok. Menurut van Heekeren, artefak-artefak ini mungkin merupakan sebuah tekno￾kompleks Hoabinhian kepulauan. Salah satu daerah yang paling kaya dengan situs dan temuan

permukaan adalah daerah Pegunungan Selatan, yaitu daerah penelitian kami di Gunung Seribu

atau Gunung Sewu (bahasa Jawa).

Di wilayah ini, antara desa Punung dan kota Pacitan, terdapat banyak situs Holosen.

C.R. Hooijer telah memberikan gambaran yang cukup terperinci mengenai artefak-artefak dari

batu rijang di daerah Gunung Sewu, dekat Pacitan. Artefak-artefak tersebut ditemukan oleh

J.H. Houbolt sewaktu ekspedisi-ekspedisinya di Indonesia pada tahun 1930-an (Hooijer, 1969).

Lancipan panah tersebut digolongkan ke dalam dua tipe: tipe berdasar cembung dan

tipe berdasar cekung agak mirip tombak atau berbentuk segitiga dengan retus bifasial. Dapat

diduga bahwa kedua tipe mata panah tersebut merupakan hasil proses kerja pembentukan yang

panjang dan kompleks dan memerlukan kemampuan yang tinggi.

Menurut dokumen bibliografi yang berupa foto-foto dari masa itu, kami berpendapat

bahwa pembentukan tipe lancipan semacam ini ditentukan oleh fase awal persiapan bentuk

yang dibuat dengan batu pukul keras, kadang-kadang kemudian diikuti dengan penggunaan

batu pukullunak. D. P. Erdbrink berpendapat bahwa artefak hasil fase tadi tidak Iain dari serut

kasar (berdasarkan Erdbrink, 1954). Von Koenigswald juga menemukan jejak-jejak tipe alat itu

dekat Punung, dalam gua-gua payung dekat Pegunungan Cantelan, tidakjauh dari Pacitan (van

Heekeren, 1972).

Sejumlah situs Iain yang tergolong Sampungian, berdasarkan penemuan lancipan￾lancipan berdasar cembung ini, telah ditemukan. Sebagai contoh dapat disebut semua guapayung dekat peS\S\r laut Hindia, atau serangkaian gua di Lawang dan Kramat dekat

Bojonegoro, juga Gua Gedeh, Kandang, dll., yang terletak di kawasan perbukitan batu

gamping di daerah Semanding, dekat Tuban, di bagian utara daerah timur Jawa (Simanjuntak,

1995; Forestier, 1999).

Beberapa Catatan Awal Tentang Budaya Sampungian dan Fasies Lancipannya

Berkaitan dengan teknik pemangkasan yang digunakan, kami berpendapat bahwa

1ancipan-lancipan tersebut sebagian besar dibuat melalui teknik pemangkasan langsung dengan

alat pukul (batu pukul) lunak (atau dengan a1at retus dari tu1ang, tumbuhan, bambu, atau bahan￾bahan lainnya). Cara ini berbeda dari lancipan Maras yang tepiannya berbentuk gerigi ha1us.

Tepian seperti ini bisa jadi dihasilkan dengan menggunakan batu keras melalui penggosokan

batu atau melalui penekanan dengan menggunakan alat serpih bertepian tebal.

Bahwa lancipan-1ancipan tersebut ada dan telah dipangkas oleh Homo sapiens sapiens

sudah tak disangsikan lagi. Namun, posisi stratigrafis lancipan tersebut dan kaitannya dengan

suatu kesatuan budaya tertentu masih belum begitu jelas.

Lagipula semua industri mata panah berdasar cekung yang dinamai Sampungian ini

tidak memiliki penarikhan yang tepat. Hanya ekskavasi gua Song Perahu dekat desa Kesamben(Tuban) yang telah menghasilkan sebuah penarikhan, yaitu lebih kurang 6.000 tahun yang lalu,

dari lapisan yang kelihatannya neolitik. DaJam lapisan itu ditemukan Jancipan-lancipan,

pecahan-pecahan tembikar yang digores, sisa-sisa kerang dan fauna (Nithaminoto, 1983;

Simanjuntak, 1995).

Meskipun demikian, tersebarnya mata panah nampaknya terbatas di daerah Tuban￾Bojonegoro-Ponorogo-Pacitan, semacam koridor yang menghubungkan pesisir utara dan

selatan Jawa. Di luar kawasan itu, terdapat industri "batu inti dan serpih" yang terus berlanjut

dari akhir Plestosen sampai munculnya kegiatan pengolahan logam (Allen, 1991).

Selain itu, H. Allen berpendapat bahwa asal-usul artefak bifasial berdasar cekung

tersebut memiliki kaitan dengan "Iancipan-lancipan Maros" di Sulawesi Selatan. Kami tidak

mendukung hipotesis yang menduga adanya pertalian antara "mesolitik" lancipan dan

mikrolit di Sulawesi dengan tekno-kompleks lancipan di Jawa yang masih kabur dan belum

memiliki konteks stratigrafis yang tak dapat dibantah. Kami lebih cenderung menganggap

bahwa lancipan-Iancipan bagian timur Jawa ini merupakan bagian dari suatu tekno-kompleks

yang sebatas lokal, sebuah tekno-kompleks neolitik "Jawa" di mana terdapat kegiatan

pengupaman (beliung, kapak) dan pemangkasan (Tanudirjo, 1991). Pendapat ini bersifat

hipotesis dan perlu dikonfirmasi melaJui penggalian arkeologi. Namun demikian pada

masa sekarang, pengumpulan temuan permukaan di daerah Punung telah memperlihatkan

keberadaan lancipan-Iancipan bifasial bersama dengan beliung di bengkel neolitik yang luas,

misalnya situs Ngampol yang terletak di daerah Kidul, Punung (Pak Teguh, desa Punung:

wawancara pribadi) (Ilustrasi 14).

Penemuan-penemuan baru oleh T. Simanjuntak berupa himpunan industri yang kaya di

Song Keplek, memungkinkan penempatannya dalam konteks stratigrafis dengan penarikhan

antara 8.000-5.000 tahun yang lalu (Simanjuntak, 1995, 1996; Simanjuntak et al., 1998).

Himpunan industri tersebut akan diteliti dari segi teknologi dan tipologi dalam bab IV.Berdasarkan sejumlah acuan bibliografi yang telah dibahas sejauh ini, peralatan litik

yang akan kita teliti mungkin dapat mewakili:

- sebuah industri lancipan gaya "Sampungian";

- sebuah industri alat kecil yang menyerupai Toalian;

- atau sebuah industri yang lebih masif, yang belum dikenal, yang menggunakan batu

inti dan serpih.

Industri Obsidian Dataran Tinggi Bandung

Di bagian barat Jawa, di dataran tinggi Bandung, ditemukan industri obsidian dari

zaman sebelum penggunaan tembikar, terdiri atas lancipan proyektil berdasar cembung dan

diretus monofasia1 bersama dengan mikrolit berbentuk geometris (sabit dan trapesium) (van

Heekeren, 1972; Bellwood, 1997; Brahmantyo dan Bachtiar, 2004).

2.3.3 PuZau-puZau Zain di Nusantara

Sumatra

Pulau Sumatra adalah salah satu pulau yang paling jarang diteliti di Nusantara. Tidak

mengherankan bila kita hanya memiliki sedikit informasi tentang penemuan-penemuan yang

dilakukan sepanjang abad yang lalu.

Pada tahun 1913, A. Tobler (1917), seorang arkeolog bangsa Swiss, melakukan

penggalian di gua Vlu Chanko, Provinsi Jambi, tidak jauh dari Sungai Maringin dan Batang

Tabir. la menemukan sebuah industri obsidian yang terdiri atas serpih-serpih yang diretus dan

beberapa lancipan panah.

Pada tahun 40-an, van der Hoop mengadakan survei di daerah Danau Gadang,

Sumatera Timur. Dari hasi1 survei permukaan dekat Danau Kerinci, ia mencatat keberadaan

artefak-artefak dari obsidian (van Heekeren, 1972).

Situs yang paling banyak menghasilkan data berkenaan dengan peralatan litik adalah

gua Tianko Panjang (daerah Jambi), yang digali pada tahun 70-an oleh B. Bronson dan

T. Asmar. Temuan yang berusia sekitar 10.000 tahun ini antara Iain berupa sisa-sisa manusia,

fauna yang mirip dengan fauna sekarang, serpih-serpih dan sejumlah mata pisau (Bronson dan

Asmar, 1975).

Di provinsi Sumatra Se1atan, ekskavasi baru yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan Arkeologi Nasional/lRD di situs Gua Pondok Selabe 1 dan Gua Pandan, dekat

desa Padang Bindu, menunjukkan tiga periode dari Preneolitik (9.000 tahun yang la1u) sampai

Neolitik (2.500 tahun yang lalu) (Simanjuntak dan Forestier, 2004; Simanjuntak et aZ., 2005

dan 2006).

lndustri-industri di timur 1aut Sumatra digolongkan da1am budaya Hoabinhian (Brandt, 1976),

seperti yang telah kita catat sebelumnya. Memang terdapat banyak situs bertipe "shell mid￾den", yaitu timbunan sisa konsumsi kerang yang tersebar di sepanjang pesisir dekat Medan.

Situs-situs terbuka ini telah disurvei sejak permulaan abad la1u dan dibandingkan dengan situs￾situs sejenis di Malaysia. Sekarang situs-situs bukit kerang tersebut terletak antara 10-15 km di

pedalaman. Dahulu situs-situs yang kurang lebih berdiameter sekitar tiga pu1uh meter dansetebal rata-rata sekitar 5 meter ini terletak di sepanjang tepi pantai. I.e. Glover telah

mendapatkan penarikhan lebih kurang 7.000 tahun yang lalu pada salah satu bukit kerang yang

digali di Sukajadi, dekat Medan (Glover, 1978b).

Situs-situs yang sangat sulit digali ini tidak menghasilkan banyak data, kecuali periode

hunian pesisir, antara 10.000-3.000 tahun yang lalu. Meskipun tidak memiliki relief karst,

daerah Sumatra ini telah menghasilkan artefak-artefak Hoabinhian pada teras-teras yang

terletak di pedalaman pada ketinggian lebih kurang 100 meter.

Situs Hoabinhian di Pulau Nias yang menghasilkan alat litik sumatralit adalah gua T6gi

Ndrawa (Gunung Sitoli, Nias Utara), yang digali pada tahun 2004-2005 oleh Pusat Penelitian

dan Pengembangan Arkeologi Nasional/IRD. Banyak artefak litik, moluska dan binatang yang

berusia sekitar 10.000 tahun sampai 1.000 tahun berhasil ditemukan (Forestier et al., 2005b).

Kepulauan Talaud

Menurut P. Bellwood, di Pulau Karakellang, situs Leang Tuwo Manae'e memiliki

artefak-artefak litik yang separuhnya terdiri atas bilah dan serpih serta batu inti berbentuk

prisma (prismatis) yang dibuat dari batu rijang berwarna abu-abu dalam lapisan yang berumur

antara 6.000-4.000 tahun. Serpih tampaknya digunakan tanpa peretusan dan pada lapisan￾lapisan teratas, bahan baku dan alat yang dihasilkan menjadi kurang berkualitas bersamaan

dengan munculnya pembuatan tembikar sekitar 4.000 tahun yang lalu (Bellwood,

1995 dan 1997).

Dari Bali ke Timor

Dalam periode Preneolitik sampai Neolitik ini, pulau-pulau Iain seperti Bali, Sumba, Roti, atau

Seram sepertinya melestarikan tradisi peralatan berat, baik berupa kerakal yang dipangkas

ataupun serpih yang dipangkas (Bellwood, 1997). Tetapi, pendekatan penelitian baru di

Indonesia Timur (Timor, Roti, Ceram, dU.) oleh sejumlah peneliti Australia membawa

hipotesis-hipotesis baru tentang sejarah pemukiman pada zaman Preneolitik dan Neolitik

(Spriggs, 2003; O'Connor, 2006).

Lebih kurang 5.000 tahun yang lalu, situs-situs di Timor Leste seperti Wae Bobo 1, Buei Ceri

Uato dan Lie Siri memperlihatkan perubahan ekonomi yang radikal dengan mulai dikenalnya

tembikar, babi, kegiatan pertanian serta satu budaya materiil yang berorientasi pada

pembuatan mata kail, alat kerang, lancipan bertangkai, serta perhiasan dari cangkang kerang.

Fenomena ini tampak menguat pada sekitar 3.000 tahun yang lalu (Glover, 1971, 1977 dan

1986; Glover dan Glover, 1970). Dari eskavasi-eskavasi dan penarikhan yang dilakukan

baru-baru ini di situs yang sama, diperoleh data-data yang bisa membantu untuk memerinci

kronologi dan budaya kala Holosen yang diusulkan oleh 1. Glover (Oliviera, 2006).

Hal yang menarik tampak pada kemiripan tembikar dari wilayah ini dengan tembikar

yang ditemukan lebih jauh ke utara dan ke timur, yaitu di Kepulauan Talaud, serta tembikar

dari situs-situs di Papua Nugini. Banyak data memunculkan anggapan bahwa periode sejarah

Timor ini tak syak lagi sangat penting dalam pergerakan kelompok orang Austronesia yang

datang dari Cina Selatan ke arah Kepulauan Bismarck (BeUwood, 1978 dan 1995).Di Filipina, tepatnya di lembah Cagayan, di sebelah utara Pulau Luzon, terdapat situs

Rabel yang menunjukkan adanya penerapan teknik pangkasan langsung dengan batu pukul

keras dalam sebuah himpunan industri serpih yang berusia 5.000 hingga 3.000 tahun

(Ronquill0, 1981). Tipe artefak-artefak yang sama ditemukan dalam lapisan-Iapisan yang

sezaman di situs-situs Arku dan berusia antara 10.000 dan 5.000 tahun di situs Musang

(Thiel, 1988).

Situs Duyong dan Guri, yang terletak tidak jauh dari gua Tabon di Palawan, tampaknya

telah menghasilkan sebuah industri yang dinamai oleh Fox sebagai "small blade-like flakes"

bersama "batu inti yang disiapkan" dan sebuah industri yang mungkin berumur sekitar

7.000 tahun (Fox, 1970).

Kesimpulan

Dengan sedikit menyederhanakan mosaik industri-industri di atas, kami terpaksa

meringkas beberapa ciri, terkadang secara sangat singkat. Padahal ciri-ciri tersebut semestinya

dibahas secara lebih mendalam.

Tujuan kami tadi ialah untuk memaparkan, dengan seobyektif mungkin, aneka

ragam artefak litik yang dijumpai di Asia Tenggara dalam sebuah kerangka diakronis sejak

lebih dari satu juta tahun yang lalu, beserta ketidakpastian, kekosongan, dan masalah yang

terkait dengannya.

- Masalah-masalah yang dihadapi terutama berhubungan dengan:

- kurangnya situs-situs yang digali dan yang memiliki lapisan-Iapisan yang jelas;

- kurangnya penelitian mengenai lantai-Iantai hunian;

- kurangnya metode analitis untuk memahami artefak (litik, tulang, dl!.);

- kurangnya penentuan usia yang absolut melalui metode-metode radiometris;

- ekskavasi-ekskavasi dan analisis yang sudah lama dilakukan;

- kesimpulan-kesimpulan yang tergesa-gesa menyangkut data-data hasil pengumpulan

di permukaan, dll.

Hal yang sangat kami sesalkan ialah adanya semacam kepuasan yang terkait dengan

model-model yang ada, sehingga memperlambat jalan ke arah penelitian-penelitian yang baru,

termasuk mempersoalkan tekno-kompleks lama, yang definisinya sudah ketinggalan zaman

dan yang artinya kadang-kadang terbatas (pada akhimya orang lebih memilih meneliti sesuatu

yang sudah dikenal).

Kesinambungan sebuah industri kerakal semacam Hoabinhian di Asia Tenggara

Daratan merupakan contoh terbaik. Secara umum, stabilitas tekno-ekonomis yang nyata itu

telah menyebabkan terjadinya kesalahan dalam hal penciptaan fasies budaya. Hal ini

cenderung menekankan keberadaan industri-industri serpih dalam suatu kesatuan, suatu

kenyataan yang menyulitkan pemahaman tentang keberadaan himpunan-himpunan industri

Plestosen atas dan Holosen.


KONFIGURASI GEOGRAFI INDONESIA SEBAGAI KEPULAUAN TERBESAR

DI DUNIA

1.1) Ciri-Ciri Umum

Walaupun penelitian kami mengenai himpunan-himpunan industri terbatas di daerah

Jawa Timur, tetapi kerangka geografisnya utuh dan mencakup seluruh Nusantara. Kami

sungguh menyadari luasnya wilayah penelitian dan kedudukan Indonesia sebagai kepulauan

terbesar di dunia, baik dari segi jumlah pulau maupun dari segi luas permukaannya.

Kepulauan ini membentang sekitar 5.000 km panjangnya dari Semenanjung Indocina

hingga Laut Arafura, di pintu masuk Australia. Jarak hujumya 47° (94° 15' sampai 141 °05'

bujur Timur) dan jarak lintangnya dari utara sampai se1atan garis khatulistiwa 18° (7°02'

lintang Utara sampai 11 °15' lintang Selatan).

Bentuk memanjang kepulauan ini terbentang dalam wilayah yang sangat luas (panjang

5.000 km dan lebar 2.000 km) dan mencapai hampir dua juta km2, tersusun dalam rangkaian

pulau-pulau besar dan kecil yang semuanya berjumlah lebih dari 13.000 pulau.

Hampir 90% dari seluruh luas permukaan kepulauan ini diwakili oleh lima pulau besar

saja: Jawa (127.000 km2), Sumatra (473.000 km2), Sulawesi (189.216 km2), Kalimantan

(539.460 km2), Papua (421.985 km2).

Berdasarkan bentangan lahannya, kepulauan ini juga menonjolkan keanekaragaman

lingkungan yang tiada tandingannya: hutan hujan, dataran aluvial, hutan bakau, gunung

berapi aktif, terumbu karang, dan gletsyer di atas puncaknya yang tertinggi (Puncak Jaya:

5.000 meter, Pegunungan Sudirman, Irian Jaya).

Dengan 1,3% daratan di seluruh planet bumi, Indonesia benar-benar merupakan

sebuah laboratorium sejati, tempat ditemukan lebih dari 10% spesies tumbuhan dunia, 12%

spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amfibi, 17% spesies burung dan 25% spesies ikan

(Whitten et al., 1993)Kekayaan lingkungan alami ini membentuk keragaman biota dan juga keragaman habi￾tat. Manusia prasejarah telah mampu menyesuaikan diri untuk bertahan hidup di dalam

lingkungan yang menunjukkan keanekaragaman fauna dan flora yang mengesankan, dengan

tingkat endemisme tinggi dan sangat mencolok di timur Garis Wallace (Sulawesi, Kepulauan

Maluku, dll.).

1.2) Keanekaragaman Habitat, Fauna dan Flora

Berdasarkan batas-batas biogeografis yang ditetapkan melalui Garis Wallace, Indonesia

dapat dibagi dalam tiga daerah utama:

- Indonesia Barat yang membentuk anak benua Sunda selama regresi. Jawa, Sumatra,

Kalimantan dan Bali menyatu terhubung dengan Asia Tenggara Daratan.

- Indonesia tengah atau Wallacea mencakup semua pulau yang terletak di timur Garis

Wallace, dari Sulawesi sampai pesisir Papua, yang meliputi Kepulauan Maluku dan

pulau-pulau di sebelah timur Bali seperti Lombok, Sumbawa, Sumba, Komodo,

Flores, Timor (Nusa Tenggara) dan pulau-pulau lainnya hingga perbatasan Laut

Banda.

- Indonesia Timur mencakup Papua. Pada saat regresi, Papua menyatu dengan paparan

Sahul hingga membentuk Australia Besar (Papua, Papua Nugini, Australia, dan

Tasmania).

Indonesia termasuk dalam zona Sunda sekaligus juga dalam zona kepulauan Asia

Tenggara, yang terbagi dalam tiga wilayah besar. Di antara zona Sunda dan zona kepulauan

(daerah Wallacea) terdapat pembagian flora dan fauna yang berbeda seperti yang diungkap

oleh A.R. Wallace dua abad yang silam.

Fauna dan flora di sebelah barat Garis Wallacea mendapat pengaruh dari Asia (badak,

gajah, macan, kerbau, orang utan, Lemuridae, dsb.), sementara di sebelah timur garis tersebut,

flora dan fauna lebih menyerupai spesies-spesies Australia seperti di Papua atau di Kepulauan

Aru yang lebih jauh ke selatan dan yang batas sebelah baratnya ditandai oleh Garis Weber

(binatang berkantung).

Zona peralihan merupakan sebuah wilayah yang sepanjang masa tetap berbentuk

kepulauan. Isolasi geografis pulau-pulau di Nusantara membawa banyak kekhasan ekologis

dan iklim yang menjadi asal mula keanekaragaman spesies dan endemismenya. Terdapat

spesies-spesies yang hanya dapat ditemukan di Indonesia dan di beberapa pulau (Ilustrasi 15).

Sebagai contoh, dapat diambil dua pulau di kedua belahan Garis Wallace, yaitu

Kalimantan dan Sulawesi, yang mengungkapkan keanekaragaman dan kekayaan Indonesia:

- Kalimantan sendiri memiliki 200 spesies mamalia dan 400 spesies burung. Berkenaan

dengan tumbuh-tumbuhan, terdapat seratusan spesies Dipterocarpaceae yang khas dari pulau

ini. Terdapat juga lebih dari Il.000 spesies tumbuhan berbunga yang sepertiganya endemis.

Juga terdapat sejumlah kamivor seperti beruang madu (Helarctos malayanus) yang juga dite￾mukan di Asia Daratan (Thailand dan Myanmar). Sejumlah besar primata mendiami

hutan-hutan seperti orang utan, siamang (9 spesies), kera bekantan (Nasalis larvatus) serta

spesies dari jenis Semnopithecus.

- Sulawesi hanya memiliki mamalia-mamalia endemis, kecuali mungkin beberapa

spesies kelelawar. Di antara mamalia "Sulawesi" terdapat babirusa, anoa, kera jenis Macaca,primata jenis Tarsius, beruang madu, tikus kesturi, dll. Pulau ini juga kaya akan burung

endemis (247 spesies), kupu-kupu (38 spesies Ornithopterus) dan invertebrata laut (Whitten

dan Mustafa, 1987).

1.3) Iklim

Indonesia termasuk dalam wilayah iklim monsun Asia. Pada umumnya, mekanisme

iklim ditandai dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, disertai angin topan, badai, dan

angin puting beliung yang jarang terjadi, kecuali mungkin di pulau-pulau timur jauh Indonesia

seperti Pulau Timor.

Mekanisme iklim ini ditentukan oleh pergerakan Inter-Tropical Convergence Zone

(ITCZ) bersama pergerakan musim dan pertemuan dengan angin yang menimbulkan

kelembaban (Koninck, 1994).

Secara keseluruhan, iklim Indonesia tergolong panas dan lembab sepanjang tahun

dengan suhu udara yang tetap, tidak melebihi 27°C. Meskipun bulan-bulan angin monsun yang

berlangsung dari Desember sampai Februari-Maret tercatat sebagai musim hujan yang

intensif, curah hujan tidak teratur sepanjang tahun.

Indonesia terletak tepat di antara pengaruh angin monsun khatulistiwa dan tropis di

belahan bumi selatan dan angin monsun tropis di belahan bumi utara yang menyentuh

negara-negara Asia Daratan (Vietnam, Kamboja, dll.).

Oleh karena posisinya di kedua sisi khatulistiwa, Indonesia memiliki beberapa iklim

dan lingkungan. Pulau Jawa adalah contoh sempuma dari kontras iklim dengan dua tipe yang

berbeda: di sebelah barat pulau, iklim cenderung tropis dan semi-Iembab sedangkan di sebelah

timur, iklim semi-kemarau. Pulau Bali dan Lombok mengalami pembagian iklim yang sama.

Indonesia sesungguhnya mempunyai lebih kurang tiga jenis iklim:

- Iklim tropis yang sangat lembab sehingga musim kemarau hampir tidak ada. Iklim ini

dijumpai di sebagian besar Sumatra, di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

- Iklim tropis semi-Iembab yang meliputi pulau-pulau yang berada di bagian tengah

kepulauan Indonesia seperti Jawa Barat, Bali Barat, atau juga Lombok Barat, dengan musim

kemarau yang jelas pada bulan Juli sampai Oktober.

- Iklim semi-kemarau yang menghadirkan musim kemarau yang lebih panjang diban￾dingkan musim hujan. Jenis iklim ini terdapat di daerah pesisir Jawa Timur, Bali Timur, dan

Lombok Timur, bahkan terutama di Nusa Tenggara: Sumbawa, Wetar, Alor, Flores, Timor, dll.

Variasi curah hujan di Nusantara terlihat jelas berdasarkan persebaran pegunungan dan

dominannya arah angin.

Karena terasing, Pulau Sulawesi adalah contoh nyata dari variabilitas iklim. Daerah Maros di

barat daya pulau, di dekat laut, menerima hampir 500 mm air setiap bulan selama bulan-bulan

angin monsun; sementara sebaliknya, daerah Palu di tengah pulau sebelah utara, yang lebih

terlindungi, hanya mencatat 100 mm per bulan.

Fenomena yang sama terlihat di lawa, Bali, dan Lombok di mana daerah timur

menerima kurang hujan daripada daerah barat.

Di Asia Tenggara, hujan angin monsun semakin deras bila bertemu dengan tanah tinggi

di pesisir dan barisan pegunungan di pedalaman. Sesungguhnya itulah yang terjadi ketika zona

udara lembab yang didorong oleh angin monsun bergerak menaiki daerah-daerah pesisir diMyanmar dan Thailand sepanjang teluk Benggala, juga yang terjadi di daerah-daerah pesisir

Kamboja di teluk Thailand, serta di sepanjang pesisir barat Sumatra, Kalimantan dan Jawa

(Demangeot, 1999; Koninck, 1994). Di Jawa, tanah-tanah tinggi di tengah pulau itu, seperti

gunung-gunung berapi, merangsang kehadiran curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan dataran rendah pesisir (di utara pulau). Perbedaan ini begitu terlihat antara pesisir utara

dengan curah hujan 1.700 mm per tahun dan kota Bogor yang terletak lebih ke selatan pada

ketinggian 200 m, yang mencatat curah hujan tahunan hampir 4.000 mm.

Kita akan berusaha mengulas dampak yang dapat ditimbulkan oleh perubahan

permukaan laut, yang sangat tergantung pada pemanasan dan pembekuan global kutub, pada

konfigurasi Indonesia di akhir Plestosen atas (Ilustrasi 16).

Dengan memperkirakan paleogeografi wilayah Indonesia, dapat lebih dipahami peran

iklim dalam persebaran daratan di zaman lampau, juga perannya dalam keanekaragaman

pemandangan sekarang, serta fauna dan flora.Regresi di zaman Kuarter mengakibatkan pengeringan dan perluasan paparan Sunda

dan menyatukan pulau-pulau berikut ini dengan dataran lndochina: Kalimantan, Sumatra, Jawa

dan Bali.

Paparan Sunda berkedalaman rendah, paling dalam 50 sampai 100 meter, sedangkan

semua pulau lainnya seperti Maluku atau Sulawesi dikelilingi oleh palung yang kedalamannya

melampaui 4.000 hingga 5.000 meter. Memang palung-palung di Sulawesi terkenal dengan

kedalamannya, seperti juga Selat Makassar. Lebih ke utara, di Filipina, bahkan terdapat

palung-palung yang berkedalaman lebih dari 10.000 meter sebelah Lautan Pasifik.

Pulau-pulau yang tidak termasuk ke dalam paparan Sunda digolongkan sebagai pulau

"as1i" dan tektonis karena merupakan hasillangsung dari proses sesaran dan patahan yang kuat.

Oleh karena itu, antara 22.000 dan 18.000 tahun yang lalu, luasnya daratan yang timbul

mencapai sekitar 1.725.000 km2 (Dunn dan Dunn, 1977). Dengan demikian Laut Jawa

menjadi daratan rendah. Perluasan ini hampir mencerminkan luas seluruh daratan lndonesia

sekarang (1,9 juta km2).Menurut hasi1 penelitian isotopis, permukaan 1aut terendah ditetapkan pada: 150.000,

110.000, 80.000, 60.000,40.000 dan 18.000 tahun yang 1a1u (Chappell dan Shackleton, 1982).

Antara 18.000 dan 22.000 tahun yang 1a1u, tampak terjadi regresi besar, setinggi 100 hingga

120