tata negara majapahit 4


 Votan dan Pamotan jang banjak didapat didaerah itu, 

disanalali kiranja bekas keraton Wwatan Mas harus ditjari, jang 

kemudian dipindahkan ke-Kahuripan; kedua keraton itu tentulah 

letaknja berdekatan. Sampai kezaman Kediri, Singasari dan Ma­

djapahit nama Kaliuripan dikenal dengan baik; paling belakang 

tersebut dalam Pararaton, bahwa dalam tahun 1452 berkedudukan 

di Keling Kahuripan seorang perabu bernama Sinagara alias Radja- 

sawardana.

Nama Wotan-mas sampai kini masih tersimpan dalam nama desa 

jang berbunji demikian dan tempat terletaknja tjandi Djedung 

didaerah Kahuripan dahulu.

Adapun ketiga daerah tersebut diatas jalah daerah asli negara 

Madjapahit jang menurut Sarga XIII boleh dinamai djuga masuk 

istilah: ivatek bluimi. Besar daerah Tumapel-Kediri Kahuripan 

(atau dalam bahasa Skr.: Djanggala-Dahana-Djiwana) jang tiga itu 

jalah daerah-pusat dalam perumahan negara, karena mengingat 

sedjarah-kedjadian dan menurut pemandangan abad ke-XIV sendiri. 

Ketiga daerah itu pernah dirasakan sebagai dahan madja jang ter- 

bagi atas tiga lembar daun. Maka dalam abad ke-XIV ketiga daerah 

itu mempunjai tingkatan tinggi-rendah dengan daerah Kahuripan 

dipuntjaknja, seperti dapat diperhatikan pada kenaikan pangkat 

Gadjah Mada jang bermula mendjadi patih di-Djenggala, kemudian

* dipindahkan karena berdjasa ke-Daha dan achirnja berkedudukan 

dikota Madjapahit.

131

Pembagian atas tiga daerah itu sesnai dengan aliran sungai Be­

ngawan ^ranta^j^ng_terbagi atas tiga dataran jang dibasahinja.

Dibagian ̂ Kum_Jerfetak- pusat kekuasaan.: Djawa-timur. disebelah

timur gimung-Ka wi, dan dibagian tengah_jalah Daha-Kediri sebagai *

land^utan kekyasaan Djawa-tengah disebelah barat gunung tersebut.

Dan aihagian-hilir terletak dataran jang menjimpan pusat keradjaan 

ditepi Bengawan Berantas kedekat bagian kuala. Pembagian ilmu 

bumi ini berlaku didaerah sekeliling pergunungan Welirang- 

Andjasmara-Kawi-Butak dan Kelut, jang mempunjai pengaruh 

kepada penentukan garis perwatasan antara ketiga daerah tersebut.

Ketiga daerah jang tersebut diatas mempunjai batas, seperti ter- 

simpan dalam tjeritera tua berhubungan dengan pembagian daerah 

keradjaan Airlangga atas dua negara, jaitu JPendjalu dan Djenggala, 

olehJEmpu Barada dengan terbang diudaranTjeritera-itu dinamai 

oleh Prapantja dalam Nagkr. Sarga LXVIII, sedjarah Kamal jang 

mendjadi terkenal oleh tjeritera turun-temurun (tativa nikang 

Kamal widita dening sampradaya sthiti) dan djuga tersebut dalam 

tulisan Djaka Dolok dalam bahasa Sangsekerta seperti terdapat di 

Simpang dikota Surabaja. Oleh karena tjara membagi keradjaan 

Airlangga menurut kedua tulisan diatas kurang djelas bagi Prof.

Kern, maka tjeritera Empu Barada dengan gendi-sakti itu tidak

didjelaskan apa-apa lagi waktu menjalin Nagr. (1910) dan tulisan

Djaka Dolok (1910). Sesudah itu maka tjeritera tentang menentukan

batas kedua keradjaan menurut garis jang ditetapkan Empu Barada (

itu menarik perhatian ahli-sedjarah dan menimbulkan pemandangan

jang berbeda-beda. Oleh karena kita sendiri hendak memadjukan

pendapat jang berlainan dari pada parapendapat jang telah dima-

djukan itu, maka baiklah lebih dahulu diberi tempat kepada tim-

bangan terhadap pemandangan pihak lain itu. Kita ealinkan

tjeritera pembagian itu menurut Negarakertagama karena menurut

fikiran kami sangatlah penting berhubungan dengan arti-kesaktian

jang disimpan oleh perwatasan negara. ’

132

LVIH.

PEMBAGIAN WILAJAH-PUSAT NAGARA MADJAPAHIT OLEH 

EMPU BARADA MENURUT PRAPANTJA DALAM KARANGAN- 

NJA NEGARAKERTAGAMA, SARGA LVIII-LIX.


221. Pembagian wilajat-pusat negara Madjapahit menurut Pra­

pantja (1365). Nagkr. sarga LVIII dan LIX.

Langgam Qurdulawikridita 

Sarga LVIII.

I. Nahan tatwa nikang Kamal widita d.e ning sampradaya 

sthiti /

mwang QrZ-Panjaluriatlui ring Daha tewek ing Yaivabhumy 

apalih /

Qrl-Airlangghya sirangdani ryy asih iranpanuk ri sang rwa 

prabhu /  /

II. Wwanten Boddha Mahayanabrata pegat ring tantra yogiqU 

wara /

sang munggw ing tengah i gmagana ri Lemah Citrenusir ning 

jagat /

sang prapteng Bali toyamargga manapak wwai ning tasik 

nirbhaya /

kyati hyang Mpu Bharada ivodha ry ariliaditrilcalapageh

III. Rahyang taki pinintakasihan amarwang bhumi tan lang- 

ghana /

funganyeki telas cinihna nirat toyeng kundi sangkeng langit /  

kulwan purwwa dudug ring arnnatva mapariva ng lor kiduf 

tan mad oh /

kadyadoh mahelet samudra tew$k ing bhumi Jawarwa 

prabhu //

IV. Ngke ring tiktiki wrksa rakwa sutapararyyan sangkeng 

ambara /

nang degeng Palungan tikang pasalahan kandi pragasieng 

jagat /

kTjndeg deni ruhur nikang kamal i puycaknyangawit ctwara /  

na hetunya ginapa dady alita tekwan munggw iring pantara /  /

V. Tugw anggoli nika tambay ing jana padares mintareng 

swUsana /

hetunyan winangun sudharmma waluya ng bhumT Jaiva- 

tunggala /

sthitya raja sabhumi kawruhana ning rat dlaha tan linggara /  

cihnu grT-nrpari n-jaycng sakalabhumi n-cakrawartt'iprabhu /  /

S A R G A  L I X .

VI. Prajyuparamitapuri ywa panelah ning rat ri sang hyang 

sudharmma /

135

Prajyaparamitakriyenulahaken gri-Jnanawidhy apratistha /  

saksat hyang Mpu Bharada mawaki sirangde trpti ni twas 

narendra /  /

VII. Mivang teklri Bhayalango nggwan ira sang gri-rajapatnln- 

dhinarrnrna /

rahyang Jynanawidlunutus muwah amuja bhumi guddlia- 

pratista /

hetunyan mangaran Wigasapura karamblianya pinrih ginong 

twas /

mantry agong winekas wruherika demung Blxojanwan utsaha 

wijya IJ

VIII. Lumra sthana niranpinufa winangun caityadhi Ting sarwwa- 

dega /

yawat Wesapuri pakuwwan i  kabhaktyan g r i - m a h a j a p a t r i i  /  

angken Bhadra siranpinuja ning amatya brahma sakwehnya 

bhakti /

mukti swargga niran mapotraka wigeseng Yawabhumy 

ekanatha /  /

Salinannja kedalam bahasa Indonesia adalah seperti berikut:

1. Ketahuilah riwajat pohon kamal, seperti tersebut dalam 

tjeritera lama. Seri Baginda Pandjalunata adalah di Daha; pada 

ketika itu tanah Djawa terbagi dua. Maka sebabnja Seri B agin d a  

Airlangga berbuat demikian jalah karena berasa sajang kepada 

(kedua) puteranja, jang telah diangkat mendjadi perabu.

2. Maka pada ketika itu adalah seorang-orang beragama Buda 

masuk aliran Mahajana jang sangat putus peladjarannja dalam 

pengetahuan tantera, mengepalai segala orang bertapa; tempat 

diamnja ditengah-tengah kuburan Lemah Tjitera, dan didatangi oleh 

segala manusia jang membutuhkan bantuan; ia pernah pergi 

kepulau Bali menjeberangi Selat dengan tak takut-takut berdjalan 

diatas air laut; namanja orang bertuah atu jalah Empu Barada 

jang mempunjai pengetahuan dapat melihat kala jang tiga, waktu 

jang lainpau dan sebagainja.

3. Kepada orang-keramat Rahiang itulah dimadjukan permohon- 

an supaja memperdua bumi, dan permohonan itu tak ditolaknja. 

Adapun watas antara kedua daerah itu ditentukannja dengan men- 

tjutjurkan air dalam gendd dari atas langit. Dan djalannja adalah 

seperti berikut: dari barat menudju kearah timur sampai kelaut 

Selat Madura; membelali dua dari Utara menudju Selatan, tidaklah 

djauli, sehingga sampai dipisahkan seolah-olah lautan samudera. 

Demikianlah bumi Djawa mendapat dua orang perabu.

136

4. Menurut kata orang, maka orang bertapa jang utama itu 

terhenti pada sebatang pohon kamal, dan lalu turun dari langit, jaitu 

didesa Palungan tempat dia meletakkan gendi jang terkenal didunia 

itu. Dia terhambat oleh tingginja sebatang pohon kamal, 6ehingga 

pakaiannja tersangkut dipuntjak kaju tersebut. Itulah sebabnja, 

maka polion itu lalu kena sumpah, supaja mendjadi ketjil-rendah, 

dikutuk oleh orang jang terbang diruangan antara (langit dan bumi).

5. Mula-mulanja pohon itu didjadikan tanda ketjelakaan, dan 

sedjak itu banjaklah orang berasa takut-ketjemasan, sehingga me- 

ninggalkan tempat diamnja. Itulah jang mendjadi alasan mengapa 

disana didirikan rumah-persembahan, supaja tanah Djawa mendjadi 

waras dan bersatu kembali; supaja Radja dan tanah mendjadilali 

tetap dan rakjat djangan kebingungan; supaja mendjadilali tanda, 

bahwa Sang Perabu djaja diseluruh dunia sebagai pemerintah bumi, 

Perabu Tjakrawartin.

6. Rumah-persembahan itu dinamai orang Pradjnjaparamitapuri, 

karena Djnjawidilah jang melaksanakan upatjara Pradjnjaparamita 

ketika rumah itu dibangunkan. Sungguhlah demikian, karena beliau 

jalah 6eorang pendeta-tua jang mahir mengenali tanteranja: seorang 

pengandjur jang telah berpakaian mazhab dan mengetahui segala 

kitab Agama. Djelaslah, mengapa Empu Barada jang mendjelma 

dalam batang-tubuhnja dapat menggirangkan hati Sang Perabu.

7. Adapun tempat Seri Baginda Puteri Radjapatni dikuburkan 

jalah di-Bajanglango, karena jang mulia Djnjanawidi mendapat 

perintah sekali lagi melaksanakan ibadat, pembaktian-tanah dan 

pembangiman. Rumah persembalian itu dinamai orang djuga 

Wisjesjapura, karena pembangunannja dilakukan dengan perhatian 

jang istimewa. Kepada Manteri Agung sendiri diturankan perintah 

supaja mengawas-awasinja, sedangkan demung Bodja jang muda 

menjudahi pekerdjaan dengan segala keahlian.

8. Umumlah diseluruh daerah bahwa tempat rumah-persembah­

an dibangunkan itu dipudja-pudja, selama Wisjesjapuri mendjadi 

tempat kubu berbakti kepada Seri Paduka Maharadjapatni. Pada 

tiap-tiap bulan Badrapada beliau dipudja oleh para-manteri dan 

orang bralimana, semuanja dengan rasa kebaktian. Selamatlah beliau 

disuarga, dengan pengetahuan bahwa tjutjunja kuat-kuasa meme- 

rintah sebagai seorang Nata Tunggal ditanah Djawa.

.Menurut tjeritera Empu Barada diatas adalah tiga matjam per­

watasan jang dipakai. Pertama jalah perwatasan jang telah ditentu- 

kan air: dudug ring arnnawa, sampai keair-bali; dan air-bah itu 

boleh djadi jalah sungai, selat atau laut.; menurut Berg jang 

dimaksud jalah Selat Madura; kadyudoh mahelet samudra, seperti 

sampai ditjeraikan laut. Djenis kedua jalah berupa pohon asam 

(tiktiki; sehetulnja Skr. tintidutamarinde, kata Kern, V.G. VIII, 

p. 72); batang asam inilah jang didjadikan tugu atau tambay.

137

Matjam ketiga jalah mmah-sutji (sudharmma) jang ditegakkan 

ditempat atau dekat pohon asam didesa Palungan itu.

Tjeritera diatas memberi alasan kepada pemandangan, bahwa 

tanda watas dan tjara menentukan perwatasan mempunjai arti jang 

lebih dalam dari pada keperluan untuk memisahkan dua bidang 

tanah; untuk menguatkan dan mengekalkan perwatasan, maka 

perlulah arti dan kegunaannja diperhubungjcan dengan tenaga 

kesaktian. Pengetahuan hukum-tanah membedakan bermatjam- 

matjam tanda watas, seperti dinjatakan oleh kemauan alam, batu 

dan pohon-pohonan. Perwatasan hukum-tanah .ini didapat pula 

antara persekutuan atau negara.

Maka watas jang ditentukan oleh alam itu ada jang menurut aliran 

air atau sungai, dan pantai laut. Tanda watas berupa batu jang 

disusun atau tertjerai; diantaranja sudah dibentuk karena dipahat 

atau memakai tulisan berisi pendjelasan dan sumpah.

Banjak kali pula jang didjadikan tanda watas jaitu tumbuh- 

tumbuhan, baik karena besarnja atau karena lekas kelihatan sebab 

rupa batang dan warna daunnja, misalnja: pohon asam, andjiluang, 

djeruk kingkit dan batang madja. Maka jang ditanam untuk didjadi­

kan tanda watas biasanja dipakai pohon jang berduri atau jang 

berbuah masam.

Pengetahuan hukum-adat, ilmu bangsa dan kesusasteraan niem- 

/ beri bahan pula kepada kita, bahwa tanda-perwatasan itu dikuatkan 

dan ditetapkan dengan upatjara persumpahan, supaja djangan dapat 

dipindahkan orang. Jang mengutjapkan kutuk jalah orang sakti 

perantara atau ahli tantera dan jogi; jang diutjapkan biasanja 

kalimat sakti berupa mantera, pepatah atau seruan kepada orang 

dahulu, rahiang atau paradewa. Djuga keradjaan-keradjaan lama 

mengetahui nama gunung jang disangka sakti atjap kali diseru 

6ebagai saksi atau untuk menguatkan.

Dalam melakukan upatjara kesaktian maka air, api- dan udara 

jalah piranti jang terutama, seperti ternjata dipakai dipulau Bali, 

Djawa, Ambon dan Mjnangkabau pada melakukan sumpah, tenung, 

dan guna-guna. Air dinamai djuga: tcwai, air, er, toya, tirta (Djawa- 

lama); udaka, tirttajala, toya (Sangsekerta); tjaik (Sunda) ; ivai 

(Lampung); Sang wai (Indonesia lama; dari sanalah asalnja perkata­

an: sungai).

Kernlah jang pertama sekali menundjukkan, bahwa perkataan 

kumbhabajrodaka menurut tulisan Djaka Dolok (Simpang) itu ada 

perhubungan dengan kata toyeng kundi sangkeng langit menurut 

LXVIII, 3 itu, karena kumbha jalah kundi dan udaka jalah 

toya. Kita menambah, bahwa bajra sama artinja dengan sangkeng 

langit, karena kedua-duanja bermaksud: bertenaga sakti. Air sakti 

jaitu air-djernih, jang telah dikuatkan dengan utjapan seruan (man­

tera) atau dengan bantuan gurisan ilmu pasti. Maka dalam kalimat

kumbhabajrodaka atau toy eng kundi sangkeng langit itu perkataan 

bajra dan sangkeng langit mendjelaskan air-udaka (toya) dan tidak 

berhubungan dengan kumbha (kundi).

Air-sakti itu dalam upatjara menegakkan (mcnanam) tanda 

perwatasan biasanja ditjutjurkan dari gcndi (kundi) oleh orang 

perantara jang sedang mengutjapkan kalimat seruan (mantera); 

air-sakti biasanja ditjutjurkan menurut garis lurus diatas tanah. 

Setelah selesai maka gendi itu dipetjahkan, dan petjaliannja diletak- 

kan pada pangkal atau udjung garis-bumi jang telah diairi. Petjahan 

itu dikuatkan lagi dengan katja, beling, petjahan piring, tembikar 

atau dengan asap-api jang membakar harum-haruman. Maka upa­

tjara menegakkan tanda watas itu banjaklah perhubungan atau 

persamaannja dengan mengairi tanah-kuburan dan meletakkan 

gendi-petjah tempat air dituangkan, sebelum ada talkin dibatjakan 

dengan membakar kemenjan; air, api dan getaran udara dalam 

kedua upatjara itu mempunjai tempat jang berarti, dan kedua-dua- 

nja dengan kepertjajaan hendak memberi tenaga-sakti kepada jang 

ditanam, baik majat atau benda tanda perwatasan.

Upatjara menuangkan air-sutji dengan maksud seperti didjelaskan 

diatas masih berlaku sampai waktu sekarang dalam beberapa daerah 

ditanah Indonesia.

Adapun jang disaktikan menurut tjeritera Kamalpandak diata9 

jalah tanda perwatasan dan garis perwatasan; kedua-duanja diten- 

tukan dan dikuatkan. Garis perwatasan ini dinjatakan dalam sarga 

LXVIII itu : kulwan purwwa dudug ring arnnawa dan lor kidul tan 

madoh. Kedua kalimat itu telah menimbulkan bermatjam-matjam 

pengartian jang berbeda-beda; oleh karena kita hendak mengemu- 

kakan pengartian menurut pemandangan kita pula, maka tjukuplah 

djika kita madjukan keberatan dan bantuan terhadap empat pen­

dapat Dr Rassers jang telah terkenal dalam naskah nja De Pandjl- 

roman (1922; hal. 135 dsb.; 229—237, dan 299 dsb.), jang menerang- 

kan, bahwa pembagian pulau Djawa atas dua bagian menurut 

tjeritera Kamalpandak diatas itu berasal dari pembagian atas empat 

bagian menurut mythos; dan empat bagian itu jalah keempat pen- 

djuru pedoman jang ditetapkan oleh Sang Bulan jang dinamai djuga 

Bharada, Bharad atau Naksatraradja, sedangkan toya sangkeng 

langit (air-sakti dari langit) jalah seri-tjaliaja berwarnakan perak 

jang mengalir dari kundi-rembulan. Kita berkeberatan kepada 

pendapat itu. Tjeritera Kamalpandak memang berisi beberapa 

lambang jang sukar difahamkan, seperti: rakwa sakeng ambara 

(turun dari langit), kamal i puncaknyangawit Qiivara (dipuntjak 

pohonan itu tersangkut pakaian Empu Barada), tekwan munggw 

iring pantara (ketika terbang antara langit dan bumi) dan lain- 

lainnja. Lambang itu tidaklah bertambah djelas dan terang, apabila 

Rassers dalam mengartikan tjeritera itu mendjadikan bahan lambang

139

jang tersebut bagi lambang-kedua jang djauh, tinggi dan lama, 

tetapi lebih sukar difahamkan, sehingga oleh penerangan itu tidak­

lah sekali-kali makin bertambah djelas dan njata. Lagi pula 

tidaklah dapat diterima begitu sadja perhubungan antara pembagian 

atas dua bagian menurut tjeritera dengan pembagian atas empat 

bagian menurut mytlios. Menjamakan air-sakti dengan seri-tjaliaja 

dan kundi dengan bulan atau Empu Barada dengan Naksatraraja 

tidak dapat diturutkan karena seolah-olah memeras suatu tjeritera- 

lambang lama, supaja sesuai dengan tjeritera lambang jang disusun 

oleh Rassers 6endiri.

Bosch dalam TBG. LVIII (1919; p. 429— 447) berdjasa benar 

karena mengemukakan arti air dalam beberapa upatjara kesaktian 

dipulau Bali, dan uraian itu sebenarnja dengan mudah dapat ditam- 

bah dengan beberapa tjontoh-tjontoh jang dikenal dalam beberapa 

tulisan lama dan kesusasteraan kesaktian pada waktu sekarang ini. 

Menurut pendapat pengarang itu jang dimaksud tjeritera Kamal- 

pandak dalam Nagr. jalah garis perwatasan Pinggir Raksa seperti 

dimaksud Pararaton, jaitu batas antara Djenggala dengan Daha dari 

gunung Kawi sampai kelautan Kidul. Menurut pemeriksaan ditempat 

itu memang didapat sisa-sisa perwatasan terbuat dari batu tembok, 

sehingga garis tersebut dapat dibagi atas tiga bagian: bagian pertama 

jalah kali Leksa jang berasal dari gunung Kawi, dan bagian inilah 

—  kata Bosch —  jang ditimbulkan oleh tenaga luhur Empu Barada 

dengan air-saktinja, karena meletakkan gendi-saksi tersebut, seperti 

tersembunji dalam kalimat gelap Nagr. itu; bagian kedua jalah garis 

menurut kali Berantas dari timur menudju ke-barat dan kali itulah 

jang dimaksud dengan kata arnnaiua, dan sekali-kali bukan air laut 

atau selat; bagian ketiga jalah garis dari kali Berantas sampai 

kepantai lautan Kidul. Pendjelasan itu sangatlah menarik hati 

karena beralaskan pemeriksaan in loco terhadap sisa-sisa perwatasan. 

Pinggir Raksa jang djuga dimadjukan oleh kesusasteraan, dan oleh 

karena uraian itu maka gunung Kawi mendapat arti jang menurut 

pendapat kami sesuai dengan pemandangan Pararaton dan Nagr. 

sendiri, jaitu sebagai batas timur-barat kedua daerah Djenggala dan 

Daha. Apabila pendapat Bosch itu boleh kita landjutkan, maka 

beralasanlah persangkaan, bahwa dalam bagian perwatasan toyeng 

kundi sangkeng langit jalah air djemih jang datang dari gunung 

Kawi, sedangkan sutapararyyan sangkeng ambara jalah Empu Barada 

jang bertapa atau berkedudukan digunung itu pula; langit, ambara 

dan gunung memang tiga pengartian jang agak dekat maksudnja. 

Walaupun dapat menurutkan fikiran dan pendapat Bosch itu, tetapi 

menurut pendapat kami pengartian pengarang tersebut berlawanan 

dengan isi tjeritera seperti tertulis dalam Nagr. Garis perwatasan 

bagian tengah jalah kali Berantas jang mengalir dari timur menudju 

kebarat, sehingga oleh air-besar (arnnawa) ini terdjadilah dua 

bagian garis Utara-Selatan, jaitu disebelali utara bagian pertama

140

dari gunung Kawi dan disebelah selatan bagian ketiga sampai ke- 

pantai lautan Kidul, atau seperti kata Nagr. kuhvan purivwa dudug 

ring arnnaiva maparwa ng lor kidul tan madoh kadyadoh mahelel 

samudra tewek (dari barat menudju ke-timur maka —  garis perwa­

tasan menurut kali Berantas, jang membagi perwatasan mendjadi 

dua bagian, jaitu bagian utara dan bagian selatan, tak djauh sampai 

dipisahkan oleh lautan Kidul). Barangkali dalam kata Brantas 

(berantas) itu berhubungan dengan uraian diatas tersimpan urat 

kata batas, karena dalam menentukan perwatasan Pendjalu dan

Djenggala maka sungai tersebut membagi (membatasi)__Pinggir .

Kaksa mencljadi ~tiga_bagian jang sangaT'pentingT sungai Berantas 

"dan sungai Leksa jalah garis palang jang berupa tangkal dalam 

upatjara kesaktian. Keberatan kita kepada pendapat Bosch, karena 

dengan keterangannja itu lahirlah fikiran seolah-olah kegiatan 

Empu Barada menentukan batas Pendjalu-Djenggala itu selesailah 

apabila ditentukan garis disebelah selatan gunung Kawi, sedangkan 

disebelah utara tidak membutuhkan penetapan apa-apa. Selainnja 

dari pada itu dilupakan pula, bahwa tjeritera Kamalpandak itu 

diriwajatkan dalam Nagr. oleh Prapantja, seperti didengamja dalam 

tahun 1359 dari mulut Ratnangsja tentang kedjadian kira-kira dalam 

tahun 1050, ketika Empu Barada menentukan kedua batas keradjaan 

atas permintaan perabu Airlangga; pembagian dalam tahun 1050 

membutuhkan tjuma dua daerah dan keadaan dalam tahun 1359 

menghadapi tiga daerah, seperti akan didjelaskan dibawah ini.

Perlulah lebih dahulu dikemukakan pendapat Krom, jang dapat 

diringkaskan bahwa garis-perwatasan utara-selatan jalah dari 

miming Kawi sampai ketepi sungai Berantas disebelah utara, sedang­

kan garis timur-barat jalah garis jang memisahkan daerah utara 

(Surabaja, Rembang dan Semarang) dengan daerah selatan (Malang, 

Kediri, Madiun dan Surakarta), djadi dari gunung Welirang sampai 

kegunung Ungaran-Dieng-Selamat. Menurut pendapat kami, maka 

garis palang menurut Krom jaitu dari timur menudju barat terlalu 

pandjang dan garis utara menudju selatan terlalu pendek; terlalu 

pandjang kami katakan, karena pembagian itu mengenai daerah 

Djokjakarta, Madiun, Surakarta dan Semarang, jang menurut se­

djarah tidak pernah masuk daerah Daha, dan garis itu tak menentu­

kan masuk manakah daerah Semarang, Pati dan Bodjonegoro? 

Terlalu pendek, kami katakan, karena tak memberi pendjelasan 

tentang garis perwatasan antara gunung Kawi dengan pantai lautan 

disebelah selatan.

Pada ketika naskah ini hampir selesai ditulis, maka pada permu- 

laan bulan September 1953 sampai ketangan kami karangan Prof.

C.C. Berg dengan bernama Herkomst, vorm en functie der Middel- 

javaanse rijksdeelingstheorie (verh. KNAW; nieuwe reeks, deel 

LIX, no. 1 ); karangan itu ditutup penulis pada bulan November

141

1952 dan tebalnja 306 halaman. Dari pada pendapat dan peman- 

dangan Prof. Berg dalam naskah  itu banjak jang kami setudjui, tetapi 

tak sedikit pula seperti ternjata dalam uraian naskah  itu jang tak 

dapat kami turutkan. Terutama jang kami perhatikan dari naskah  baru 

itu jalah jang berhubungan dengan perwatasan-daerah Madjapahit; 

dimana perlu kami uraikan disebelahnja pendapat jans mungkin 

berlainan atau sama dari pihak kami.

Adapun tjeritera-lama Kamalpandak itu berisi dua bagian, jaitu 

jang berkenaan penetapan batasan antara dua negara dan jang 

berkenaan sedjarah asal mulanja rumah perseinbahan (li-Palungan; 

kedua bagian itu diperhubungkan oleh perbuatan sakti Empu 

Barada dan oleh pertalian antara keadaan pada waktu perbuatan 

itu (1050) dengan keadaan pada waktu riwajat itu ditjeriterakan 

(1359). Maka penetapan watas antara kedua negara Pendjalu dan 

Djenggala itu dilaksanakan oleh Empu Barada menurut dua garis 

jang bersilang sebagai bentuk huruf T Rumawi besar.

Kahuripan

Daha 

Pendjalu 

Kediri

Djenggala

Garis dari  ̂ barat menudju kearah timur berlangsung menurut 

a iran sungai Berantas bagian muara, kira-kira dari Kertosono 

sampai keselat Madura; bagian inilah jang dimaksud di Nagr. dengan 

perkataan Kulwan purwiva dudug ring arnnawa, salinannja: dari 

arat menudju timur terus ke-Selat Madura; bedanja pendapat ini 

pendapat Bosch jalah karena mengenai kali Berantas jang 

sebe ah kekuala mengalir dari barat ke-timur, dan tidaklah jang 

se^a nja, seperti dengan djelas dinjatakan dalam naskah: kulwan 

purivwa. Dengan arnnaiva dimaksud di Selat Madura tempat sungai 

Berantas bermuara; sungai Berantas dinamai djuga sedjak radja 

bmdok sungai Bengawan. Garis kedua dari utara menudju keselatan 

memperdua daerah jang sebelah selatan garis pertama dan perwa­

tasan itu sampai kelautan Kidul, sehingga terbentuklah dua-belahan 

keradjaan Pendjalu dan Djenggala; garis itulah jang dimaksud 

didalam naskah: maparwa ng lor kidul tan madoh kadyZ)ioh ma-

€\\S(tu11a • memPerdua dengan garis dari utara sampai kidul, 

tidaklah djauh hanjalah sampai dipisahkan lautan Kidul. Jang 

men ja i pertanjaan dimanakah garis kedua ini terletak, atau dima- 

nakah dia menjilangi garis pertama? Nagr. tidak mendjawab perta­

njaan itu dengan langsung, melainkan menundjukkan dua tempat 

jang bagi pembatja kitab itu dalam abad ke-14 tentu dapat mema- 

hamkan dengan sesungguhnja. Garis utara-selatan itu menurut 

persangkaan kami bermula di Kali Berantas dan berachir  dilautan

142

Kiclul dengan melalui tempat Lemah Tjitera (Palungan, Bhajang- 

langi, Pradjnjaparamitapuri), gunung Penanggungan, gunung Kawi, 

kali Leksa dan Berantas, jang arahnja terutama jalah Utara-Selatan.

Maka kedua garis itu jalah menurut ketetapan alam, karena 

sebagian besar ditundjukkan oleh aliran sungai dan tepi laut, dan 

oleh garis dari gunung kegunung dengan melalui beberapa tempat 

kesaktian. Akibat pembagian itu jalah bagi penduduk dalam abad 

ke-11 sesudah Airlangga meninggal djelaslah, bahwa daerah Djeng- 

gala —  Pendjalu meliputi seluruh Djawa Timur disebelah selatan 

garis Sidoardjo-Kertosono; Djenggala meliputi Djawa Timur dise­

belah timur gunung Kawi atau garis jang tersebut diatas. Pendjalu 

jalah sekeliling Kediri disebelah barat gunung Kawi atau garis utara- 

selatan jang diuraikan tadi. Pembagian ini ternjata dalam perdja- 

lanan sedjarah sesudah Airlangga meninggal tidak begitu penting, 

karena selalu terbukti satu dari padanja lebih berkuasa dari pada 

jang lain; sesudah tahun 1050 maka Kedirilah jang lebih naik 

keatas, sedangkan dalam tahun 1222 kedudukan itu bertukar untuk 

kebadjikan Singasari. Perbuatan Empu Barada memetjah keradjaan 

Airlangga berisi kegagalan, sehingga tjeritera Ratnangsja dalam 

tahun 1359 itu tak lupalah mengemukakan kegagalan perbuatan 

sakti, walaupun ditutup dengan riwajat, bahwa badjunja waktu 

terbang tersangkut dipuntjak pohon asam.

Pembagian Djenggala-Pendjalu diatas menimbulkan tidak dua, 

melainkan tiga daerah, karena disebelah utara garis timur-barat 

adalah pula daerah ketiga, jaitu daerah Kaliuripan atau Wilwatikta 

sesudah tahun 1293. Bagaimana sesunggulinja daerah jang pernah 

menjimpan pusat kekuasaan Sindok dan Airlangga itu menurut 

pembagian Empu Barada tidaklah tersebut dalam Nagr.; setelah 

satu dari pada Djenggala-Pendjalu dapat merebut kekuasaan, maka 

perwatasan daerah Kahuripan tidaklah penting karena termasuk 

pula kedalamnja. Bagi Madjapahit adalah Iain halnja. Desa Madja­

pahit didirikan didaerah Terik jang dahulunja tunduk kebawah 

kekuasaan Singasari dan izin mendirikan desa itu didapat oleh 

Widjaja dari Daha waktu Djajakatong berkuasa; negara Madjapahit 

didirikan dan mendjadi besar diatas daerah diluar Daha atau 

Djenggala: didaerah Kaliuripan jang mempunjai sedjarah sendiri. 

Ketiga daerah Dahana-Djenggalw-Djiwana itu, seperti telah diterang- 

kan diatas pusatnja terletak dipinggir aliran kali Berantas bagian 

udik, tengah dan hilir.

Maka ketiga daerah itu jalah daerah Madjapahit bagian pusat; 

terhadap daerah itu maka negara mempunjai perhubungan seperti 

terhadap kepada kaluarga sendiri. Daerah itu dikuasai oleh seorang 

perabu dan dua orang ratu dan pemerintaliannja dilaksanakan oleh 

tiga orang patih.

143

Setelah daerah jang tiga diatas mengakui kekuasaan Kertaradjasa 

dan Djajanegara, maka dapatlah negara diperhubungkan dengan 

pulau Djawa bagian tengah: djalan jang dipilih jaitu dengan mem- 

perhubungkan kepala daerah dengan djalan perkawinan atau 

kekaluargaan. Maka terbentuklah daerah negara jang bernama 

Mandalika, seperti: Mataram, Padjang, Paguhan, Lasem, Wengker 

dan Matahun. Daerah Mandalika bukanlah daerah asli Madjapahit, 

melainkan dipersatukan dengan pusat oleh tali kekaluargaan, se­

djarah dan turunan. Ketika Ajam Wuruk berkuasa, maka hampir 

segala anggota daerah Mandalika diperintahi oleh ratu jang berhu- 

bungan kaluarga dengan perabu. Oleh karena waktu itu Padjang 

diperintahi oleh ipar Sang Perabu, maka dengan sendirinja daerah 

itu mendapat tingkatan jang tinggi buat sementara lebih tinggi dari 

daerah asli jang tiga. Walaupun tidak njata, maka Madura dan Bali 

mendapat tempat jang teristimewa, dan kedudukannja hampir dapat 

disamakan dengan Mandalika.

Daerah asli dan Mandalika meliputi sebagian besar pulau Djawa 

dan daerah lain-lain dikepulauan Nusantara jang tersebut diatas 

dinamai Mantjanegara. Terutama masuk kedalamnja daerah Sunda 

dan segala daerah diseberang pulau Djawa, seperti: Sumatera, 

Semandjung, Kalimantan dan lain-lainnja.

Dengan kekuasaan Mantjanegara inilah negara Madjapahit me- 

melihara perhubungan perimbangan didaerah Nusantara. Dalam 

waktu damai maka perhubungan perimbangan itu mendapat kela- 

hiran hormat-menghormati, jang dinamai dalam hukum-adat 

Minangkabau pertalian tenggang-menenggang sebagai kelahiran 

hukum-adat Austronesia mengusahakan harmoni atau melaksanakan 

tenaga akomodasi. Tetapi tidaklah selamanja perhubungan tengfiang- 

menenggang itu berhasil baik, misainja dengan peperangan Bubat 

antara Madjapahit dengan Pasundan, seperti pandjang lebar ditje- 

riterakan dalam kidung Sundayana peperangan itu petjah, semata- 

mata karena keinginan Ajam Wuruk hendak menjamakan keluhuran 

Pasundan dengan kedudukan Madjapahit, walaupun agaknja hanja 

karena terhadap tamu dan tjalon mertua, mendapat gangguan dan 

halangan dari patih Gadjah Mada jang dalam segala hal hendak 

mengangkat dan merasakan Madjapahit itu lebih tinggi dari pada 

kedudukan Mantjanegara Pasundan, sehingga pertikaian pendirian 

tentang keluhuran negara itu harus diselesa.ikan dengan permusja* 

waratan dan djuga terpaksa dengan mengangkat sendjata. Oleh 

sebab perhubungan antara Madjapahit dengan berbagai-bagai 

kekuasaan politik dalam lingkungan Nusantara itu tak sama dan 

berubah-ubah menurut keadaan perimbangan dan desakan waktu, 

maka mengartilah kita mengapa Prapantja mentjoba mempersatu­

kan segala matjam perhubungan itu dengan perkataan lambang jang 

kurang berwarna, jaitu dengan memperbandingkan perhubungan

144

ilii (It'll iiii 11 seri-tjahaja jang disinarkan dari sumber-i jahaja  rli 

M adjapah it  keseluruh pendjuru Nusantara: sinar itulah jang paling  

kuat, djikalau dibandingkan dengan tjahaja lain jang disinarkan 

oleh pusat pemerintah didaerah jang tiga. di-Mandalika atau di- 

d ae rail Mantjanegara.

Daerah Nusantara sebagai lingkaran tempat melaksanakan perim-  

bamran kekuasaan dijKindang sebagai daerah kesatuan. Menurut  

pemandangan Prapantja maka diluar daerah kepulauan itu terdapat 

dua matjam  daerah jang m em punjai dua djenis perhubungan, jaitu  

daei'ah kebudajaan dan daerah teman: India. Tiongkok dan lndia-  

Belakang.

Diantara daerah kebudajaan maka terutama termasuk ianah India  

dan Tiongkok. Ditanah India Belakang terletak beberapa negara- 

.e ienian  jang dinamai Nagr. sarga X V :  mitreka satata. Terhadap  

kedua matjain daerah itu, daerah kebudajaan dan poIiLik serta 

daerah negara-sahabat, Mad japahit sebagai persekutuan negara m em -  

nm jai perhubungan keluar Nusantara; hal-ilnval itu akan ditindjau  

pada pasal tentang putjuk-pemerintahan bagian perhubungan luar- 

negei'i-

Demjan ini sampailah kita kepada penghabisan pcrumahan negara 

M i ( H a i > a h i t ,  jang kini akan kila masuki dengan memperhatikan

^unan dan bentukan urusan dalam.

150/13  ( l l » .

145


PASAL

PEMERINTAHAN

XIII.

MADJAPAHIT.


PASAL XIII.

D. PEMERINTAHAN.

1. Pengartian Pemerintahan.

222. Sekiranja tiga bentukan-negara jang dibeda-bedakan oleh 

Aristoteles dalam naskah nja Politea (III, 4—5) menurut kedudukan 

kekuasaan tertinggi, jaitu: monarchi (pemerintahan seorang),

aristokrasi. (pemerintahan beberapa orang) dan demokrasi (peme- 

rintahan orang-banjak), dapat dipakai untuk memhanding bcntukan 

negara-negara sebagai kelahiran peradaban Indonesia, maka negara 

Madjapahit lebih mendekati monarchi dan aristokrasi dari pada 

mendjauhi demokrasi. Mengingat susunan desa jang mendjadi kaki 

pemerintahan menurut hukum-kebiasaan Indonesia, maka keselu- 

rulian pemerintahan Madjapahit adalah terbenluk atas dasar kerak- 

jatan menurut peradaban Indonesia pada perdjalanan sedjarah jang 

tertentu. Bentukan pemerintahan Madjapahit jalah suatu kepera- 

baan, jang disusun menurut pangkat kepala turun-tcmurun jang 

selalu bergelar perabu. Dengan sendirinja ternjata bahwa kepera- 

buan itu bukanlah Republik, karena negara itu tidak mengenal 

perwakilan demokrasi, atau menurut pendjelasan James Madison 

dalam The Federalist No. 39: ”A republic is a government which 

derives all its powers, directly or indirectly, from the great body 

of the people. It is administered by persons holding their offices 

either during pleasure of for a limited period, or during good 

behavior. It is essential to such a government that it be derived 

from the great body of the society, not from a small proportion 

or favored class. It is sufficient for such a government that the 

persons administering it be appointed, either directly or indirectly. 

by the people; and that they hold their appointments by either 

of the tenures just s p e c i f i e d Sjarat-sjarat jang tersebut dalam dalil 

ini, terutama adanja badan-agung kepunjaan masjarakat jang ang- 

gotanja ditundjuk atau dipilih rakjat, tidaklah dikenal dalam negara 

Madjapahit atau umumnja hampir oleh segala negara Indonesia 

sebelum abad ke-XX, itupiui selama mengenai pemerintahan bagian 

pusat atau putjuk. Pemerintahan desa jang agaknja sudah sedjak 

dahulu sebelum Madjapahit mengenal penglaksanaan demokrasi 

dibitjarakan pada fasal lain.

Adapun istilah keperabuan dibeii'tuk dengan memakai tjantuman 

ke-an dan ditengah-ttengahnja terdapat nama pangkat kepala 

persekutuan; dengan djalan jang ditundjukkan oleh baliasa-bahasa  

Austronesia ini tersusunlah bentukan negara jang lain, seperti ke-

149

datuan, keradjaan, kesultanan, kesusuhunan, keadipatian, semuanja 

menurut kepala negara: datu, radja. sultan, susuliunan, dan adipati. 

Penjusunan kata setjaxa demikian djuga lazim untuk nania perse- 

kutuan jang lebih rendah, seperti keluralian, kewedanaan, kede- 

mangan, kepatihan, kebupatian, karena awalan ke- dan acliiran -an 

itu menundjukkan daerah (locus) jang dikuasai oleli seorang kepala, 

seperti tersebut pada pertengahan perkataan itu. Dalam baliasa 

D j awa-Ma d j a p alii t maka pemerintah disebut Si win dan Siniici — 

diperintah. (Nag. XLV, 2). Perintah radja jalah yajna atau t itah 

nrpati. Kepala negara jang memerintali_dinamai ratu, radja, atau 

perabu, dan jang |elair meninggal bergelar r a hyang ramuhun. 

Susunan pemerintahan selama Madjapahit berdiri tidak sama di­

kenal semuanja. Sesudah Djajanegara meninggal (1328) maka baru 

kelihatanlah susunan tatanegara agak djelas, baik jang berhubungan 

dengan daerali atau tudjuan-negara. Mem an g ada tanda-tanda jang 

menjatakan, bahwa Kertaradjasa berusalia benar memindalikan 

tatanegara Singasari ke-Madjapahit dengan melaksanakan beberapa 

perubalian penting. Sesudah Gad j ah Mada berkuasa sebagai patih- 

mengkubumi Madjapahit, maka tatanegara lama jang berasal dari 

Singasari ilu berlambali hidup, berkat kegiatan pahlawan tersebut 

dalam segala djawatan urusan negara. Ajam Wuruk melandjulkan 

tatanegara jang diterimanja dari ibunda Teribuana, dan melaksa­

nakan tatanegara keraton dan daerah dengan lebih jiesat kigi. Dalam 

tangan beliau maka tatanegara Madjapaliit meriah dan berkembang 

dengan baiknja, seperti dikagumkan oleh rakawi Prapantja jang 

melihat dan mengalaminja dari dekat. Zaman gemilang ilu banjak 

berhubugan dengan kegiatan Gadjah Mada dilapangan politik, 

tetapi tatanegara Madjapahit bagian pusat dan putjuk selama palih 

mangkubumi iln lagi berkuasa memang tidak biasa: didalam tangan- 

nja terlahi banjak djawatan berkumpul, sehingga balas-batas anlara 

segala kekuasaan jang bergabung dalam satu tangan mendjadi kabur, 

djikalau tidak hilang sama sekali. Pada halaman lain akan dinjata- 

kan, bahwa setelah Gadjah Mada meninggal pada taliun 1364, maka 

ia tidak diganti: tidak diganti sebagai orang jang ijakap memegang 

segala djawatan itu, tentulah dianlaranja karena menurut peman- 

dangan persidangan saplaperabu tak ada orang jang setjakap Gadjah 

Mada. Barulah dalam tahun 1367 ia diganti oleh beberapa orang 

pegawai dan djawatan, sehingga tatanegara Madjapahit keliliatan 

mendjadi biasa kembali.

Beliau digantikan oleh Wrddhamatilri, Wira Mandalika, Manca- 

nagara, Pangadi Sumantri dan Ymvamanlri. D em ik ian la li  putusan  

sidang Mahkota sesudah berm upakat m enurut N egarakertagam a  

sarga /2. Pararalon meniebutkan nama patih jang m e n d ja d i  ganti  

Gadjah Mada.

150

Pemerintahan rtersusun didalam tiga hadan: saptaperabu, sapta- 

manteri dan sapta-upapati. Ketiga-tiga hadan itu nanti akan ditindjau 

lebih laiuljut pada bagiannja masing-masing. Pada bagian ini hanja 

dikemukakan, bahwa Sang Perabu jalah anggota saptjipjeraJm, 

sedangkan pati h-m angku bn mi jalah anggota pula dalam sapta-men- 

tcri. Pembagian atas tiga tjabang-djawatan berarti membagi urusan* 

negara atas tiga djabatan-pekerdjaan. Sapta-perabu nnmurunkan 

perintah dan membuat aturan, baik jang ditulis a tau pun tidak. 

Perintah (titah) dan aturan itu disuruh djalankan kepada sapta- 

manteri, jang disebelah itu mempunjai pula pekcrdjaan_negara 

atas usaha sendiri. Sapta-upapati inengadili segala urusan jperseli- 

silian menurut kitab agama atau menurut pengetahuan dan kedju- 

djuran sendiri. Pembagian atas tiga tjabang-djawatan itu tidaklah 

memisahkan tiga djawatan sampai tertjerai dan terpisali sama sekali; 

perhubungan antara ketiga djawatan itu dipeliliara menurut kebi- 

djaksanaan sehari-hari. Diantaranja ada tingkatan dari atas keliawah. 

Anggota sidang mahamanteri-scpuh clan mahamanteri jang tiga 

(katrini) memperhubungkan lingkaran sapta-perabu dengan sapta- 

manteri, sedangkan sidang ini bersama-sama sapta-upapati diperhu- 

bungkan dengan sapta-perabu oleli patih-mangkubumi. Maka djika 

sekiranja pemerintahan putjuk boleh digambarkan dengan lukisan 

ilmu pasti, maka bukanlah tiga pendjuru lukisan jang mendekati 

keadaan jang sesungguhnja, melainkan segi tiga jang ketiga sudut- 

nja dipertalikan dengan garis-perhubungan jang djelas. Pembagian 

pemerintahan putjuk alas tiga djawatan jang dipeliliara perhu- 

bungannja, seperti berlaku dalam keradjaan Madjapahit kita namai 

trayaratna atau Tiga Djawatan Prapantja,Jkarena rakawi inilah 

jang memberikan pendjelasan kepada turunan bangsa sekarang ten­

tang berlakunja pelaksanaan pemerintahan Madjapahit dalam 

abad ke-14.

Adjaran Tiga Djawatan Prapantja itu memperingatkan kita 

kepada adjaran trias politica seperti pertama kali dipaparkan oleli 

pengarang Tnggeris John Locke dalam kitabnja ” Tico Treaties upon 

Civil Government”  (1690) dan oleli pengarang Perantjis Baron de 

Montesquieu dalam kitabnja „UEsprit de Lois”  (1748; naskah  XI. 

Ch. 6), walaupun fikiran tentang pembagian kekuasaan itu agaknja 

sudah sama tuanja dengan Aristoteles. Tetapi antara adjaran Locke- 

Montesquieu clan pemandangan Prapantja itu banjaklah bedanja, 

sungguhpun dasarnja sama membagi kekuasaan pemerintahan. 

Melihat waktu dan keadaan maka banjak pula perbedaan antara 

kedua adjaran itu. Untuk mendjelaskan persamaan dan perbedaan 

itu, maka baiklah kita perhatikan perkataan pengarang Perantjis 

jang banjak disalinnja dari John T^ocke dan berbunji: ” 11 y a dans 

cliaque etat trois sortes de pouvoirs; la puissance legislative, la 

puissance executrice des choses, qui dependent du droit des gens,

151

et la puissance executrices cle cellos qui dependent du droit civil”  

(UEsprit de Lois, pasal VI, naskah  X I). Locke clan Montesquieu 

berfikir dan menulis dalam dua negara jang belum mempunjai 

dewan-perwakilan pembuat undang-undang seperti keadaan dalam 

negara Madjapahit. Kekuasaan membuat aturan undang-undang 

dipegang waktu itu oleh King atau R oi; Montesquieu menulis: 

le prince ou le magistral fait, des lois pour un temps on pour toujours. 

Dalam negara Madjapahit kekuasaan itu dipegang oleh Sang Perabu 

sebagai anggota terutama dalam sidang sapla-perabu. Kekuasaan 

melaksanakan aturan dipetjah mendjadi djawatan pelaksana menu­

rut undang-undang dan djawatan pelaksana jang mengadili menurut 

aturan dalam negeri. Maka pemetjahan kekuasaan atas kekuasaan 

pembuat aturan, kekuasaan pelaksana aturan dan kekuasaan penim- 

bang pelaksanaan aturan itu banjaklah serupanja dengan pembagian 

Tiga Djawatan Prapantja seperti diuraikan diatas. Dan selainnja 

dari pada itu keliliatan perbedaannja, jaitu jang mengenai sedjarah 

kedjadiannja serta terhadap kegunaan dan dasarnja.

Perpetjahan ratu-patili-icalian, jaitu: ralu jang menjinarkan seba­

gai sumber tenaga kesaktian: palili jang mengerahkan gerakan 

kesaktian dan ivalian jang menjalurkan flan mengembalikan perim­

bangan kesaktian apabila sudah terganggu. Dasar aturan jang ditaati 

dalam negara memang keinginan semua manusia, supaja hidup ber- 

t imbangan dengan tenaga kesaktian jang niengisi semesta alam dan

1 jang mempunjai pusat dalam negara sekeliling Sang Ratu. Perim-

t bangan kesaktian itulah jang menimbulkan kewibawaan pemerintah

dalam tangan kepala-negara atau putjuk-pemerinlahan dalam 

sesuatu negara Indonesia.

1I

2. Pembagian pemerintahan.

Pemerintah sebagai tiang atau anazir negara telah ditindjau pada 

fasal jang lampau. Pengartian pemerintah dan pemerintahan tidak­

lah sama, karena pemerintahan mengenai seluruh taianegara jang ter- 

bagi atas susunan badan-badan djabatan, susunan anggota djawatan 

jang memangku djabatan pangkat dan tatausaha pekerdjaan jang 

dilaksanakan oleh djawatan dan djabatan. Dalam kepuslakaan 

Anglo-Saxon maka kadang-kadang ketiga tjabang pemerintahan itu 

dinamai dengan perkataan government; dan ada kalanja pula per­

kataan itu hanja mengenai susunan djawatan dan djabatan pangkat, 

sedangkan bagian terachir terpisah sendiri. Istilah jang sedemikian 

tidaklah dipakai dalam tulisan ini, karena hendak mengurangi 

kekeliruan jang sudah ada ditimbulkannja.

Dalam bahasa Inggeris maka ketiga tjabang pemerintahan itu 

dapat dinamai: instilution(s), administration dan functions. ^  alau- 

])un naskah  ini mengenai tatanegara Indonesia dalam zaman jang lebih 

dari 200 tahun lamanja, tetapi menurut timbangan kami tiga

152

pengartian jang berasal dari pengetahnan hukum-negara bersendi- 

kan filsafat dan perbandingan ilmu tatanegara, baiklah dipakai 

untuk melaksanakan penindjauan jang pula sangat membutulikan 

pengartian jang terkandung dalam ketiga istilah itu.

Sesuai dengan pendjelasau Wilson jang berkata: Government, in 

last analysis, is organised force. Not necessarily or invariably 

organised armed force, but the of a few men, of many men, or of 

a cummunity prepared by organization to realize its own purposes 

with reference to the common affairs or the comunity (The state, 

p. 572), maka Mahkamah Agung Filipina memberi kelerangan ten­

tang istilah government dalam tahun 1903 dengan perkataan lain 

jang bunjinja :

that institution or aggregate of institution by ichich an independent 

society makes and carries out those rule of action which are necessary 

to enable men to live in a social slate, or tchich are imposed the 

people forming that society by those who posses the power or autho­

rity of prescribing them. Government is the aggregate of authorities 

rule a society (Bouvier’s Law Dictionary. 891). Maka kepada tenaga 

jang bersusun atau gabungan badan-badan djawatan negara kita 

tambalikan dua tjabang pemerintahan jang lain menurut ketetapan 

arti jang kita turuti. Susunan anggota djawatan didjelaskan oleh 

putusan Mahkamah Agung jang tersebut diatas dengan kalimat 

(1903; Bouvier’s Law Dictionary, p. 891):

By administration again, we understand in modern tiines, and espe­

cially in more or less free countries. the aggregate of those persons 

in whose hands the reins of government are for a time being the 

chife ministers or heads of departments.

Prof. Mr. R. Kranenburg jang terhadap adjaran trias membedakan 

functies dan organen (djabatan-pekerdjaan dan tjabang-djawatan > 

melahirkan pendapat dalam naskah nja Het Nederlandsch Staatsrecht 

(I, 1924, hal. 21— 27), bahwa pada tiap-tiap perkampungan manusia 

jang sudah menaiki tingkat peradaban dan jang tjakap melaksana­

kan kepentingan-bersama dengan teratur, selalulah keliliatan tiga 

djabatan pekerdjaan, jaitu: menetapkan aturan hidup bagi perkam- 

pungan, melaksanakan dan mendjalankan aturan itu dan menjele- 

saikan penjelenggaraan aluran tersebut. Berlawanan dengan pen- 

dapat Kranenburg jang mengatakan bahwa tiga djabatan-pekei- 

djaan tak perlu dibagi-bagi atas tiga badan jang terpisah dan ber- 

tjerai, maka Montesquieu berpendapat jang sebaliknja. Djadi untuk 

meniungkinkan kemerdekaan politik maka keliga djabatan bagi tiga 

djawatan jang berlain-lain, hendaklah daerah tempat masing-masing 

kekuasaan-pemerintah berlaku dipisahkan sama sekali. lidak  begitu 

menurut tatanegara Madjapahit. Pemetjahan tiga kekuasaan dibatasi 

supaja djangan pelaksanaan pemerintah terpisah-pisah, <lan dengan 

sengadja dibentuk perhubungan antara ketiga kekuasaan jang di-

susun, sehingga sapta-perabu, sapta-manteri dan sapta-upapali diper- 

talikan kembali tidaklah hanja oleh perbuatan waktu melaksanakan 

pemerintah, melainkan terutama djuga oleh djabalan-djabatan jang 

diangkat atau dipergunakan dengan sengadja untuk pengliubung 

itu. Lagi pula ada tingkatan-upatjara antara ketiga kekuasaan. Oleh 

sebab itu maka kemungkinan bagi persatuan dalam pemerintahan 

bertambah besar dan terdjamin.

Pendapat Kranenburg berhubungan dengan penghidupan dalam 

perkampungan-maiiusia itu memang djelas berkesan pada kehidu- 

pan-negara Madjapahit. Tetapi kegunaan ini mempunjai dasar 

sedjarah jang teristimewa dilahirkan oleh tindjauan hidup jang 

berlainan. Perpetjahan kekuasaan sapta-perabu, sapta-manteri dan 

sapta-upapati itu berpusat kepada perabu. patih sebagai manleri 

dan upapati sebagai hakim, jang sedjarahnja dapat disusul sampai 

kezaman permulaan sedjarah Madjapahit.

Tentang tata-usaha pekerdjaan djawatan chin djabatan untuk 

melaksanakan tudjuan negara untuk kepentingan warga dan daerah 

tak didjelaskan lebih landjut, selainnja dari pada mengemukakan 

pengetahuan, bahwa pekerdjaan jang dilaksanakan atau kewadjiban 

jang liarus didjalankan dalam negara Madjapahit ada jang bcr- 

dasarkan perintah flitah) Sang Perabu dengan lisan atau aturan 

piagam dan ada pula menurut kegiatan sendiri. Dengan mengingat 

keterangan-keterangan istilah jang diatas, maka untuk masjarakat 

dan negara jang tak baru dan tidak berdasarkan peradaban Anglo- 

Saxon seperti negara Madjapahit, dalam tulisan ini perkataan 

pemerintahan itu kita artikan: susunan masjarakat sekumpul manu­

sia diatas sebidang daerah permukaan bumi untuk melaksanakan 

tudjuan-kebaikan umum jang tertentu dengan membentuk tenaga 

itu dalam beberapa djawatan beranggota beberapa djabatan jang 

melaksanakan pekerdjaan dan kewadjiban djawatan tersebut.

Maka menurut tempat pemerintahan itu dibenluk, adalah tiga 

tingkatannja, dari atas kebawah: bagian pusat dan putjuk seperti 

berkedudukan dikota Madjapahit untuk seluruh negara; bagian jang 

mengendalikan pemerintahan didalam persekutuan jang terendah 

sekali, seperti desa dan lain-lainnja, seria pemerintahan da(*rah 

bagian tengah jang tidak mendjadi pemerintahan alasan atau 

bawahan. Ketiga tingkatan ini akan diselidiki dalam masing-masing 

fasal.

3. T ingkatan -Up a t jara .

Menurut hukum-adat Indonesia, maka kepala dan orang terko- 

muka mendapat kedudukan jang tertentu berupa tingkatan-upatjara 

dalam lingkungan masjarakat: tingkatan prolokol itu terutama

diperhalikan sampai kini dengan saksama pada perajaan liordja 

ditanah Batak, peralatan adat di-Minangkabau dan upatjara dalam 

keraton atau istana di Djawa Tengah. ?»rcnurut adat Minangkabau

154

maka mcpidudukkan orang dalam peralatan dengan perantaraan 

djanang adalah suatu perbuatan upatjara jang sangat penting: ke- 

salahan berupa pelanggaran aturan adat menerima tamu dalam 

berbagai-bagai peralatan adat itu dikenakan liukuman dengan 

denda-adat. Kepala-negara Madjapahit jalah berkedudukan pula 

sebagai kepala-adat dan teristimewa aturan siapa jang sjah mendjadi 

perabu adalah menurut aturan radjakula jang ditindjau lebih djauh 

pada angka no. 85 dll.

Tingkatan-upatjara itu telah lama dikenal hukum-adat Indonesia. 

Dalam zaman Madjapahit maka protokol itu dinamai sayathakrama, 

perkataan jang berbunji dalam bahasa Sangsekerta Yathakraman, 

artinja: menurut tingkatan atau menurut pangkat. Islilali itu bebe­

rapa kali dipakai dalam tulisan Terawulan (Sjaka 1280).

Dalam Nagkr. sarga X  maka adalah empat tingkatan:

1. manlri katrini.

2. panca ri Wihvatikta.

3. dharmadhyaksa.

4. saptopapati.

Aturan protokol itu tersebut cljuga berulang-ulaiig dalam tulisan 

Terawulan diatas: muivah rakryan mantri katrini pasok pasok saya- 

tliakrama, muivah rakryan demung kapwa winch pasok pasok 

sayalhakrama, maka nary yama sangdharmadhyaksa kapiva rein eh 

jmsok pasok sayathakrama, sang dharmopapati samudaya kapiva 

u'ineh pasok pasok sayathakrama, artinja: „dan sang manteri tiga 

serangkai dianugerahi banjak-banjak menurut tingkalannja, serta 

rakrian demang pun dianugerahi pula banjak-banjak menurut ting- 

katannja, dan jang mulia darmadjaksa jang berdua-pun dianugerahi 

banjak-banjak menurut tingkatannja, dan begitu pula semua darma- 

upapati dianugerahi banjak-banjak menurut tingkatannja'”.

Kalimat peraluran upatjara itu didapat djuga dalam pertulisan 

Rad jasanegara, seperti disiarkan dalam Brandes OJO, XCTX, hal. 255.

Dengan sengadja kita tak memakai istilah pangkat, mclainkan 

tingkatan, karena istilah itu menjatakan tinggi-rendah sekumpul 

pangkat, jang dianlaranja djuga ada tinggi-rendalmja, walaupun 

nama pangkatnja sama. Kalimat jang berulang-ulang dipakai 

dianugerahi menurut tingkatnja” menimbulkan persangkaan, 

bahwa pada golongan-pangkat jang beranggota beberapa orang 

mungkin sekali diantara mereka itu tak sama tingkatannja. Menurut 

sedjarah maka rakrian Ino itu lebih tua dari pada kedua rakrian 

sebagai anggota rakrian tiga serangkai, dan antara ketudjuh orang 

anggota sapta-upapati itu memang dalam masjarakat dan pergaulan 

negara tak sama liarga atau nilai pangkatnja; jang paling tinggi 

jaitu Samegat Tirwan seorang pamegat masuk agama Sjiwa.

155

Tinggi-rendah tingkatan upatjara dapat diperliatikan pada banjak- 

nja uang-saksi atau besarnja anugerah jang diterima pada ketika 

mengliadiri perbuatan-liukuin, misalnja pada pemberian tanah atau 

pembentukan swatantera (daerah autonomi). Dibawah ini dima- 

djukan suatu daftar tentang besarnja anugerah jang mendjadi sjarat 

bagi menentukan tingkatan protoko I dalam abad ke-XIII dan 

ke-XIV.

4. Radjakula.

Aturan tingkatan-upatjara seperti diselidiki diatas djuga menge- 

nai aturan siapa jang sjah naik-nobat mendjadi kepala-negara, jang 

dalam negara Madjapahit bergelar perabu itu. Penggantian kepala- 

negara berlangsung menurut adanja perhubungan darali dengan 

dinasti atau radjakula, jang sebagai piranti tertinggi diduga berkuasa 

memimpin dan menggerakkan tenaga kesaktian jang ada pada pusat- 

negara. Radjakula Madjapahit jang pertama dibentuk oleli W idjaja, 

adalah seorang turunan jang memperhubungkan diri dengan radja­

kula Radjasa pembentuk negara Singasari. Bagaimana perhubungan 

satu radjakula dengan beberapa radjakula Indonesia jang lain, 

serta bagaimana berlangs„ungnja pergantian kepala-negara itu 

menurut peraturan -radjakula turun-temurun, akan kita selidiki pada 

angka lain dibelakang ini, karena hal itu pada dasarnja inengenai 

pergantian tachta atau mahkota kepala-negara jang mengendalikan 

masjarakat serta keperabuan.

PASAL XIV. 

KEICUATAN SUMPAH.


PASAL XIV.

KEKUATAN SUMPAH.

223. Didalam suasana kesaktian jang tenang maka segala kata- 

kala alau udjaran-bahasa mempunjai kedudukan jang boleh kita 

namai dengan istilah: marlabat kala. Kedudukan ini adalah umuni 

dalam lingkaran hukum-adat Austronesia. Apabila kata-kata itx« 

diutjapkan dengan menudju suatu maksud, maka menurut penga- 

laman dan anggapan kata itu membangunkan zat tuah-kesaktian, 

sehingga ada akibatnja bagi anggota masjarakat jang berkepenting- 

an ataupun bagi turunan angkatan bangsa jang tunduk kepada 

pengaruh kesaktian itu. Akibat atau kekuatan tuah-kesaktian tidak­

lah mengenal waktu dan tempat; pengaruhnja sangat luas.

Kata-kata jang diutjapkan menurut sjarat jang tertentu dan 

untuk mentjapai sesuatu maksud dengan menggerakkan zat-kesak- 

tian dinamai sumpah. Martabat-kata dan tudjuan-sumpali jalah 

semuanja masuk bagian kesaktian-kata.

Selama kekuatan sumpah jang diutjapkan pada permulaan tudju­

an jang dimaksud masih dirasakan berdjalan maka keinginan jang 

lerkandung didalamnja senanliasa dipenuhi oleh orang jang ber- 

sangkutan. Keinginan itu biasanja berisi peraturan-peraturan jang 

hendak didjalankan dalam lingkaran hukum-kebiasaan jang mengi- 

kat sesuatu masjarakat. Djadi sumpah mempunjai kekuatan-sakti 

bagi hukum adat, supaja dipatulii. Pelanggaran peraLuran-adat 

berarti menentang sumpah jang mengikat peraturan itu supaja 

berdjalan sewadjarnja menurut perimbangan jang ditimbulkan oleh 

tenaga sakti itu sendiri. Kepatuhan kepada sumpah mendjamin 

ketenteraman dalam masjarakat, serta pelanggaran sumpah menje- 

babkan kekatjauan dan penderitaan jang tak diingini.

Sumpah Indonesia telah lama mendapat tindjauan dari sardjana- 

sardjana bahasa, hukum dan sedjarah. Prof. H. Korn jalah jang 

pertama menindjau dan menjalin. sumpah Djawa-lama dan Bali 

kedalam bahasa Belanda; karangannja jang berhubungan dengan 

soal itu terutama.

Sardjana Poerbatjaraka, Bosch, Schrieke dan Stutterheim. menam- 

bah dan memperbaiki tindjauan salinan diatas. Dari pihak hukum- 

adat Prof. C. van Vollenhoven membitjarakan seluk-belukn ja sum­

pah dalam naskah nja jang ternama: Hot Adatrecht. III. hal.

Prasasti tertua di-Asia Tenggara jang berisi ut japan sumpah 

jalah tulisan Seriwidjaja dalam bahasa Indonesia-lama dari Kota 

Kapur dengan bertarieh Sjaka 608 (Masehi 686) didalamnja dipahat 

kata: sumpah, nisumpah. Sangatlah penting tulisan Telaga-batu dju-

159

"a dalam bahasa Indonesia-lama, jang berisi ketegasan sumpah jang 

mendukung seluruli ketatanegaraan Seriwidjaja: tulisan tersebut 

hampir sama tuanja dengan tulisan Kedukan Bukit dan Kota Kapur 

tadi itu. Dipulau Djawa dan Bali didapat beberapa prasasti dalam 

bahasa Djawa-lama jang berliubungan dengan sapata =  sumpah. 

Djuga kata mangmang lazim dipakai dalam baliasaThdonesia dan 

Djawa-lama sebagai istilah jang hampir sama maksudnja dengan 

pengartian sumpah.

Apa artinja sumpah bagi kehidupan hiikum-negara Madjapahit 

dengan segera kita tindjau dibawah ini.

241. Bagian sumpah jalah mulut atau lidah manusia, benda pi- 

ranti sumpah kata-kata jang tersusun dan tudjuan jang hendak 

ditjapai. Keempat piranti-sunipah itu berdasarkan tindjauan-liidup 

kesaktian Indonesia, dan sukar sekali dapat didjelaskan dengan 

tindjauan kehidupan atau menurut peradaban lain-lain jang mem- 

pengarulii peradaban Indonesia.

Mulut atau lidah manusia mempunjai arti jang sangat penting 

sekali dalam memfahamkan maksud dan tudjuan sumpah. Arti itu 

i bertambah penting lagi, djikalau jang mengutjapkan sumpah itu

lidah orang lama-lama, seperti misalnja menurut anggapan ketika 

1 membuat sawah-ladang jang pertama atau kelika mendirikau salu-

satuan hukum, seperti desa, negari dan keradjaan. Apalagi djika 

jang mengeluarkan utjapan sumpah itu jalah pembentuk radjakula 

(rahyangta ramuhum) atau pemimpin politik jang besar-besar. 

Sekeliling Empu Baradah dengan pembagian keradjaan, Ken Arok 

dengan keris Ganderingnja dan patih Gadjah Mada banjak disampai- 

kan oleh bahan-bahan kesusasteraan kejiada waktu sekarang berapa 

susunan kata jang setara dengan smnpah-sakti. Masjliur utjapan 

Sipahit Lidah jang dimana-mana dalam pengembaraannja mengu­

tjapkan kata-sumpah imtuk memperbaiki dan mempersatukan 

masjarakat marga di Siunatera Selatan.

242. Tjara mengutjapkan sumpah dan oleh siapa sumpah itu 

diutjapkan adalah perbuatan-kesaktian jang biasanja didjalankan 

turun-temurun hampir tidak berubali-ubali. Sumpah diutjapkan 

oleh orang berpengetahuan tentang ilmu kesaktian, misalnja oleh 

dukun, beliau, datu, jogin dan makurug. Tjaranja tidaklah sadja 

dengan mengutjapkan kata-kata, jang letap susunannja, melainkan  

kadang-kadang djuga dengan menggerakkan djari tangan alau me­

makai alat-benda. Beberapa pertulisan menjebutkan, bagaianiana 

ahh-sakti makurug mendjalankan kata sumpah, jaitu dibawah suatu 

kemah disebidang tanah lapang.

243. Adapun jang mendjadi piranti kekuatan sumpah jalah kata-

 ̂ kata jang diutjapkan mulut-manusia. Perumusan sumpah nieniang

ada jang dituliskan atau dihafalkan diluar kepala, tetapi selama 

perumusan itu tidak diutjapkan dengan sengadja, maka sum pah itu

160

tidak mempunjai kekuatan apa-apa*. Menurut alam fikiran kesaktian, 

maka utjapan sumpah itu menimbulkan gerakan-sakti dengan. ber- 

akibat memelihara, meruntuhkan, mendirikan atau meinusnahkan 

barang-sesuatu atau djiwa manusia. Timbulnja akibat itu jalah 

menurut pengalaman.

244. Sumpah mempunjai kekuatan; kekuatan itu menurut ang- 

o-apan pada bermat jam-mat jam sumpah tidaklah -sama. Ada kurang- 

Febihnja. Oleh karena sumpah jang menguatkan peraturan itu mem­

punjai akibat berupa kekuatan, maka peraturan adat dihormati, 

apabila kekuatan-sumpah jang mendukung peraturan itu mendjadi 

lemah atau dirasakan liilang-sama-sekali, maka kepatuhan kepada 

peraturan itu makin lemah atau mendjadi liilang pula. Kekuatan 

itu boleh dianggap ketjil, tetapi menurut kenjataan ada pula jang 

san<yat besar-kuasa. Adanja keradjaan Seriwidjaja, Minangkabau, 

Mataram dan Madjapahit menurut anggapan adalah karena didu- 

kuna oleh kesaktian-sumpali dari pemimpin-pemimpin jang mem- 

bentuk atau jang memeliharanja. Keadaan jang sedemikian menurut 

tindjauan kesaktian berlaku sampai ke Proklarnasi Kemerdekaan 

Indonesia jang diutjapkan Soekarno-Hatta atas nama Rakjat Indone­

sia adalah utjapan-sumpah untuk mendirikan organisasi kemerde­

kaan jang mendjadi bidikan sumpah itu. Djadi Republik Indonesia 

‘ alah- negara jang disusun menurut peraturan Konstitusi jang ber- 

tulis atas sumpah-kawi jang diutjapkan oleh Sipahit Lidah dua 

oranproklam ator atas nama Rakjat Indonesia. Negara-negara Indo­

nesia selama dua ribu tahun jang belakangan ini jalah organisasi 

• yi& dibentuk atas kekuatan-sumpah menurut peradaban nasional, 

jan^ pertjaja karena pengalaman kepada kekuatan sumpah.

Untuk mendjaga supaja bidikan sumpah itu metjapai tudjuannja, 

maka diadakan beberapa larangan jang tak boleh dilaksanakan oleh 

ajjggota masjarakat jang berkepentingan. Larangan jalah sekumpul 

kedjahatan jang ditjela atau dihukum oleli peraturan-adat. Hukum- 

oidana dilingkaran adat Minangkabau misalnja memberi peman- 

dan^an kepada kita, bahwa Undang-undang nan X X  terbagi atas 

Undang-undang nan VIII berisi sekumpul kedjahatan sebagai larang­

an adat dan Undang-undang nan XII berisi persangkaan kedjahatan 

dan tjara mengliukumnja. Keadaan jang sedemikian membantu kita 

untuk mendjelaskan zaman Madjapahit menurut beberapa prasasti. 

Pelanggaran pidana menurut liukum-adat selama babakan sedjarah 

Madjapahit kita djelaskan pada liukum-negara dilembaran belakang.

Melanggar larangan diatas diharapkan akan mendjalankan pende- 

ritaan hukuman-siunpah bagi manusia jang melanggar. 

Bagaimana persumpahan diutjapkan dan didjalankan dapat di­

batja 'dalam -pertulisan Gunung Butak 1294 dan pertulisan Belitung 

922.

15Q(B (ID

161

Penderitaan ini dapat dibandingkan dengan antjaman-sumpah 

menurut hukum-adat Minangkabau jang berbunji: keatas tak ber- 

putjuk, kebawah tak berurat, ditengah-tengah dilobang kumbang.

Diantara peraturan-peraturan adat Indonesia jang berlaku pada 

suatu masa ada jang dituliskan dan banjak sekali jang hanja dihafal- 

kan sadja. Mengapa peraturan itu dapat berdjalan dan dengan 

umumnja dipatuhi oleh orang jang seadat, adalah suatu pertanjaan 

jang dapat didjawab, djikalau pokok-pangkalnja kepatuhan itu 

ditjari pada utjapan-sumpah jang menguatkan peraturan itu: per­

aturan adat diturut karena hendak tunduk dan hormat kepada 

sumpah jang melahirkannja. Dalam masjarakat negara Madjapahit 

maka banjak peraturan-peraturan adat jang berasal dari zaman jang 

djauh lebih tua dari pada abad ke-XIII; dan menurut anggapan 

maka dibelakang peraturan turun-temurun itu berdiri kata-sumpah 

orang dahulu-dahulu jang menguatkannja. Djuga sedjak terbentuk- 

nja negara itu, maka tidak sedikit aturan-lama diperbaharui dan 

aturan-baru dilaksanakan, seperti ternjata dalam beberapa prasasti 

jang telah kita salinkan diatas; pembaruan aturan dan peraturan- 

baru dalam hukum-adat Madjapahit itu berturut-turut dikuatkan 

oleh utjapan-sakti dari pengandjur-pengandjur negara jang menurut 

kejakinan-masjarakat adalah pula sumber kesaktian. Peraturan-ke- 

biasaan jalah utjapan-kesaktian. Bagaimana luasnja hukum-adat 

jang menjusun masjarakat dan mendukung negara Madjapahit, 

dengan segera akan kita tindjau dan uraikan didalam pasal diba­

wah ini.

162

PASAL XV.

PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN SERIWIDJAJA 

DARI TAHUN 392 SAMPAI 1406 MASEHI

1 6 ?


PERTUMBUHAN HUKUM KETATANEGARAAN SERIWIDJAJA 

DARI TAHUN 392 SAMPAI 1406 MASfiHI

Pendahuluan 

BAGIAN I :

BAGIAN II :

BAGIAN III : 

BAGIAN IV : 

BAGIAN V : 

Penutup.

ISINJA:

Perkembangan penjelidikan-sedjarah tentang negara 

Seriwidjaja dan radjakula Sjailendera dalam kepus- 

takaan sedjarah Indonesia sedjak 1876 sampai 1962.

Penjusunan-kembali negara Seriwidjaja dibawah 

kekuasaan radjakula Sjailendera dalam kerangka- 

kesatuan ketatanegaraan Indonesia.

Sedjarah zaman Seriwidiaia dalam empat dewasa 

(392— 1406).

Susunan tatanegara Seriwidjaja dalam kerangka- 

kesatuan ketatanegaraan Indonesia.

Tatanegara Seriwidjaja dan kekuasaan radjakula 

Sjailendera.

165


PENDAHULUAN.

224. Penelitian sedjarah-nasional Indonesia telah menghasilkan 

suatu kerangka taricli, bahwa babak-sedjarah negara kembar 

Singasari-Madjapahit berlangsung antara tahun 1222 dan 1525 

Masehi. Selandjutnja sedjarah negara Seriwidjaja berlangsung 

antara tahun 392 dan 1406 Masehi, sehingga perkembangan ketata­

negaraan Singasari-Madjapahit (1222-1525) lebih dahulu telah 

dipengaruhi oleh naluri peradaban Indonesia selama 830 tahun 

disekeliling ketatanegaraan Seriwidjaja; selama 112 tahun negara 

Madjapahit dan Seriwidjaja liidup berdampingan, jaitu antara 

tahun 1294 dan 1406 Masehi, sedangkan naluri tatanegara Seriwi­

djaja sesudah hilang-tenggelamnja sedjak tahun 1406 masih dilan- 

djutkan 119 tahun lamanja lebih pandjang usianja. Djadi dalam 

perdjalanan kedua negara Indonesia itu, Madjapahit dan Seriwidjaja 

pernah mengenai sinchronisme dan djuga ada kalanja anchronisme. 

Hal itu sangatlah menarik perhatian, terutama apabila hendak 

mengetahui sampai kemana negara jang satu menerima pengaruh 

dari negara jang lain dan sampai kemana kedua-duanja mempunjai 

waraa dan watak jang sama, jang disebabkan karena berasal dari 

keperibadian jang sama atau karena bertjorak peradaban jang sama 

pula.

Supaja penjelidikan itu dapat mendjamin hasil jang kuat, maka 

lebih dahulu dihindarkan kesalah-tempaan pokok jang ditimbulkan 

oleh penjelidikan itu sendiri. Oleh sebab itu maka haruslah dipapar- 

kan hasil penjelidikan-sedjarah tentang negara Seriwidjaja dan 

radjakula Sjailendera dalam kerangka-kesatuan ketatanegaraan 

Indonesia; baiklah saja kemukakan lebih dahulu, bahwa penjelidik­

an jang dilakukan adalah didorongkan oleli semangat Djokja jang 

bersumber kepada seminar-sedjarah pada permulaan tahun 1958 

dikota itu jang mengharapkan tersusunnja sedjarah Indonesia 

sebagai sedjarah nasional Indonesia. Harapan itu sesuai pula dengan 

pesan-pesan seminar-sedjarah dikota London pada tahun 1956 dan 

Kongres orientalis dikota Muenchen, supaja dilaksanakan pemba- 

tjaan-kembali segala bahan-bahan sedjarah Asia Tenggara, agar 

mungkin penulisan-kembali sedjarah-nasional jang diharapkan oleh 

semangat Djokja tadi itu. Alasan jang mendorongkan kearah penin- 

djauan-penemuan bahan baru dan bangkitnja faktor kemerdekaan 

bagi penjelidikan dan penulisan sedjarah nasional, setelah Prokla- 

masi Kemerdekaan Indonesia 1945 melahirkan tantangan zaman 

kepada dunia kesardjanaan supaja faktor kemerdekaan nasional 

diperhitungkan dengan saksama dalam penilaian-kembali hasil-hasil 

penjelidikan kebudajaan pada zaman jang lampau.

167

Dalam tindjauan ini akan dikemukakan hasil-hasil penindjauan

kembali sedjarah negara Seriwidjaja dengan mempergunakan djuga

ilmu-hukum tatanegara Indonesia dalam kerangka-kesatuan dengan

kekuasaan dinasti Sjailendera, dan dengan memperhitungkan artinja

kemerdekaan nasional dalam pembentukan negara-negara Indonesia. 

t*

Hasil penjelidikan itu akan disusun dalam empat bagian jaitu:

I. Turuh-naiknja penjelidikan sedjarah Seriwidjaja dalam kepus- 

taka'an sedjak tahun 1876 sampai 1962.

n . Penjelidikan Seriwidjaja sebagai satuan-liukum bernama negara.

HI. Penjehdikan Sjailendera sebagai radjakula jang mengendalikan 

pemerintahan Seriwidjaja dalam kerangka-kesatuan hukum-adat 

tatanegara Indonesia.

IV. Empat dewasa dalam zaman Seriwidjaja (392-1406) jang me- 

nundjukkan perkembangan ketatanegaraan.

Marilah kini kita mulai dengan bagian pangkal tentang turun- 

naiknja sedjarah Seriwidjaja dalam kepustakaan-sedjarah sedjak 

tahun 1876.

BAGIAN I.

PERKEMBANGAN PENJELEDIKAN-SEDJARAH TENTANG 

NEGARA SERIWIDJAJA DAN RADJAKULA SJAILfiNDERA 

DALAM KEPUSTAKAAN SEDJARAH INDONESIA 

SEDJAK 1876 SAMPAI 1962.


I.

PERKEMBANGAN PEN JELIDIKAN-SED J AR AH TENTANG 

NEGARA SERIWIDJAJA DAN RADJAKULA SJAILENDERA 

DALAM ICEPUSTAKAAN-SEDJARAH INDONESIA 

SEDJAK 1876 SAMPAI 1962

Isinja:

I. Empat zaman penjelidikan Seriwidjaja-Sjailendera : 

1876 —  1918 : zaman perintis 

1918 —  1928 : zaman persatuan 

1929 —  1945 : zaman perpetjahan 

1945 —  1962 : zaman kemerdekaan

II. Pertulisan Telaga Batu :

Negara Seriwidjaja dan radjakula Sjailendera

171


I. Empat zaman penjelidikan Seriwidjaja-Sjailendera

225. Pembatjaan dan penjusunan-kembali sedjarah Indonesia 

pada zaman Seriwidjaja-Sjailendera dengan mempergunakan ilmu- 

hukum tatanegara Indonesia, seperti dimungkinkan dalam penje­

lidikan sedjarah sesudah perang dunia II karena penemuan beberapa 

balian baru dan didorongkan oleli kemerdekaan nasional Indonesia 

jang telah tertjapai, memberi hasil bahwa Seriwidjaja sebagai 

susunan negara dan Sjailendera sebagai turunan radjakula jang 

mendjalankan pemerintahan dapat dan Iiarus ditempatkan dalam 

suatu rangka-kesatuan tatanegara Indonesia.

Pendjelasan tentang penjelidikan sedjarah jang menghasilkan 

tindjauan dan pendirian seperti tersebut adalah seperli dibawah ini.

Ada pun perkembang