HARUN YAHYA
artikel ini berisi fakta-fakta yang meruntuhkan teori evolusi. Semua ini untuk
menangkal kekeliruan pandang akibat teori ini, yang telah begitu lama menjadi landasan
bagi semua filsafat anti-Tuhan. Darwinisme menolak fakta penciptaan, dan lebih jauh lagi,
penciptaan Allah, dan selama 140 tahun terakhir filsafat ini telah membuat banyak orang
meninggalkan kepercayaannya atau jatuh ke dalam keraguan. Oleh sebab itu, sangat
penting kiranya menunjukkan bahwa teori ini merupakan suatu kekeliruan dan penipuan,
dan menyebarkannya kepada semua orang.
Seperti dalam artikel -artikel lain karangan penulis, penjelasan yang disampaikan
dilengkapi dengan ayat-ayat Al Quran dan para pembaca diajak untuk mempelajari dan
hidup dengan ayat-ayat ini . Semua subjek yang berhubungan dengan ayat-ayat Allah
dijelaskan tanpa meninggalkan ruang apa pun bagi keraguan atau pertanyaan dalam pikiran
pembaca.
Penuturan yang tulus, terus-terang dan lancar akan memungkinkan setiap pembaca
dari berbagai usia dan kelompok sosial memahami artikel -artikel ini dengan cepat dan mudah.
Bahkan mereka yang keras menentang ketuhanan akan tersentuh dengan fakta-fakta yang
diungkapkan dalam artikel -artikel ini dan tidak dapat membantah kebenaran isinya.
artikel ini dan semua karya-karya lain dari penulis dapat dibaca secara perorangan atau
dikaji bersama dalam suatu diskusi. Membaca artikel -artikel ini dalam kelompok pembaca
akan sangat bermanfaat, sebab para pembaca dapat mengutarakan perenungan dan
pengalaman mereka kepada yang lainnya.
Akhirnya, artikel -artikel yang ditulis semata untuk mencari keridhaan Allah ini dapat
menjadi sarana yang amat efektif untuk memahami maupun menyampaikan Islam kepada
orang lain.
Pengarang, yang menulis dengan nama pena HARUN YAHYA, lahir di Ankara pada
tahun 1956. sesudah menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di Ankara, ia kemudian
mempelajari seni di Universitas Mimar Sinan, Istambul dan filsafat di Universitas Istam-
bul. Semenjak 1980-an, pengarang telah menerbitkan banyak artikel bertema politik,
keimanan, dan ilmiah. Harun Yahya terkenal sebagai penulis yang menulis karya-karya
penting yang menyingkap kekeliruan para evolusionis, ketidak-sahihan klaim-klaim mereka
dan hubungan gelap antara Darwinisme dengan ideologi berdarah seperti fasisme dan
komunisme.
Nama penanya berasal dari dua nama Nabi: “Harun” dan “Yahya” untuk memuliakan
dua orang nabi yang berjuang melawan kekufuran. Stempel Nabi pada cover artikel -artikel
penulis bermakna simbolis yang berhubungan dengan isi artikel nya. Stempel ini mewakili Al
Quran, kitabullah terakhir, dan Nabi kita, penutup segala nabi. Di bawah tuntunan Al Quran
dan Sunah, pengarang menegaskan tujuan utamanya untuk menggugurkan setiap ajaran
fundamental dari idelogi ateis dan memberikan “kata akhir”, sehingga membisukan
sepenuhnya keberatan yang diajukan melawan agama.
Semua karya pengarang ini berpusat pada satu tujuan: menyampaikan pesan-pesan Al
Quran kepada warga , dan dengan demikian mendorong mereka untuk memikirkan isu-
isu yang berhubungan dengan keimanan, seperti keberadaan Tuhan, keesaan-Nya, dan hari
akhirat, dan untuk menunjukkan dasar-dasar lemah dan karya-karya sesat dari sistem-sistem
tak bertuhan.
Karya-karya Harun Yahya dibaca di banyak negara, dari India hingga Amerika, dari
Inggris hingga Indonesia. artikel -artikel nya tersedia dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman,
Italia, Spanyol, Portugis, Urdu, Arab, Albania, Rusia, Serbia-Kroasia (Bosnia), Polandia,
Melayu, Turki Uygur, dan Indonesia, dan dinikmati oleh pembaca di seluruh dunia.
PRAKATA
“Itu yaitu sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang
Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih
kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.
Dan Kami tidaklah menganiaya mereka namun merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri, sebab itu tiyaitu bermanfaat sedikit pun, kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang.
Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan
belaka.” (QS. Huud, 11: 100-101) !
Allah menciptakan manusia dan memberinya bentuk fisik dan spiritual,
membiarkannya menjalani kehidupan, dan akhirnya menunjukkan keberadaan-Nya dengan
memberi manusia itu kematian. Allah menciptakan manusia, dan berdasarkan ayat berikut:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan)?” (QS. Al Mulk, 67: 14), Ialah satu-satunya yang mengetahui dan mengenal
manusia, yang mengajarinya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh sebab itu,
satu-satunya tujuan nyata seseorang dalam hidupnya yaitu untuk meninggikan Allah,
memohon, dan mengabdi kepada-Nya. sebab itu juga, ajaran suci dan wahyu Allah yang
disampaikan kepada manusia melalui para nabi-Nya yaitu satu-satunya petunjuk bagi
manusia.
Al Quran yaitu kitabullah terakhir dan merupakan wahyu-Nya yang terpelihara.
Maka kita wajib menerima Al Quran sebagai petunjuk yang sebenarnya, dan mencermati
semua keputusannya. Inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia baik di dunia
maupun di alam nanti.
Namun demikian, kita perlu menelaah dengan saksama serta penuh perhatian apa
yang diceritakan Al Quran kepada kita, dan merenung-kannya. Di dalam Al Quran, Allah
menyatakan bahwa tujuan utama diwahyukannya Al Quran tidak lain untuk menyuruh
manusia berpikir:
“(Al Quran) ini yaitu penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya
mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya
Dia yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil
pelajaran.” (QS. Ibrahim, 12: 52) !
Berita-berita tentang kaum terdahulu yang merupakan bagian penting dalam Al
Quran, jelas-jelas merupakan hal yang patut kita re-nungkan. Sebagian besar dari kaum ini
mengingkari, bahkan me-musuhi para nabi yang diutus kepada mereka. Kelancangan
mereka mengundang kemurkaan Allah, dan mereka pun disapu bersih dari muka bumi.
Al Quran menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa penghancuran ini hendaknya
menjadi peringatan bagi generasi berikutnya. Sebagai contoh, langsung sesudah
penggambaran dari hukuman atas sekelompok orang Yahudi yang menentang Allah,
disebutkan dalam Al Quran:
“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa
itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-
orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah, 2: 66) !
Dalam artikel ini, kita akan menelaah warga -warga masa lampau yang telah
dihancurkan sebab penentangan mereka terhadap Allah. Tujuan kita yaitu untuk
menyoroti semua peristiwa ini, yang masing-masingnya merupakan “contoh bagi mereka di
masa itu”, sehingga mereka dapat menjadi sebuah “peringatan”.
Alasan kedua kita mempelajari penghancuran ini yaitu untuk menunjukkan bahwa
apa yang diungkapkan Al Quran benar-benar terjadi di dunia dan membuktikan keotentikan
cerita-cerita dalam Al Quran. Di dalam Al Quran, Allah menjamin bahwa ayat-ayat-Nya
dapat diamati pada konteks dunia luar.
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihat-kan
kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya.” (QS. An-
Naml, 27: 93) !
Mengetahui serta mengenali itu semua merupakan salah satu jalan utama yang
membimbing kepada keimanan.
Hampir semua peristiwa penghancuran yang diceritakan dalam Al Quran “dapat
diamati” dan “dapat dikenali” berkat berbagai penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini
terhadap arsip serta temuan-temuan arkeologis. Dalam penelitian ini kita akan berhubungan
dengan jejak-jejak dari beberapa peristiwa penghancuran yang disebutkan dalam Al Quran.
(Haruslah dicatat bahwa kaum-kaum yang diceritakan dalam Al Quran belum seluruhnya
tercakup dalam artikel ini, sebab dalam Al Quran sebagiannya tidak dinyatakan dengan
waktu dan tempat yang terperinci, hanya disebutkan perilaku penentangan serta kejahatan
mereka terhadap Allah dan para nabi-Nya, serta bencana yang menimpa mereka sebagai
akibatnya. Dengan demikian, manusia diseru untuk mengambil peringatan dari mereka).
Tujuan utama kita yaitu menyoroti berbagai kenyataan dalam Al Quran melalui
berbagai penemuan saat ini, sehingga menunjukkan kebenaran agama Allah kepada semua
orang, baik beriman maupun tidak.
PENDAHULUAN: GENERASI-GENERASI
TERDAHULU
“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang
sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan,
dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-
rasul dengan membawa keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali
menganiaya mereka, akan namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. At-Taubah, 9: 70) !
Risalah yang ditujukan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, telah sampai
kepada kita sejak penciptaan manusia. Seba-gian kaum menerima risalah ini dan sebagian
mengingkarinya. Sering kali, dari suatu kaum yang menerima risalah ini , hanya seke-
lompok kecil mengikuti sang rasul.
Namun sebagian besar dari warga yang telah didatangi risalah ini
menolaknya. Mereka tidak hanya mengabaikan risalah yang di-sampaikan oleh sang rasul,
namun juga berusaha melakukan perbuatan keji terhadap rasul ini dan para
pengikutnya. Para utusan Allah ter-sebut biasanya dituduh sebagai “pembohong, tukang
sihir, gila, dan som-bong”, dan pemimpin-pemimpin dari banyak kaum berusaha membu-
nuh mereka.
Yang diinginkan oleh para nabi dari kaumnya hanyalah kepatuhan mereka kepada
Allah. Mereka tidak meminta balasan uang ataupun ke-untungan dunia, tidak juga
memaksa. Mereka hanya ingin mengajak kaum mereka kepada agama yang hak dan hendak
memulai jalan hidup berbeda bersama para pengikutnya, terpisah dari kaum ini .
Apa yang telah terjadi antara Syu'aib dan penduduk Madyan di mana ia diutus,
menggambarkan hubungan itu. Reaksi mereka terhadap Nabi Syu'aib, yang menyeru agar
mereka beriman kepada Allah dan menghen-tikan semua kecurangan yang mereka lakukan,
serta bagai-mana akhir semua itu sangatlah menarik :
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka Syu'aib, Ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu
akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
Dan Syu'aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan tim-bangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia ter-hadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Sisa (keuntungan) dari Allah yaitu lebih baik bagi kamu jika kamu orang-
orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kamu.”
Mereka berkata: “Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh ka-mu agar
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu yaitu
seorang yang sangat penyantun lagi berakal.”
Syu'aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mem-punyai
bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang
baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi
kamu (dengan menger-jakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali
(menda-tangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik
bagiku, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kem-bali.
Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu)
menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa
kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh
(tempatnya) dari kamu.
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah ke-pada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.
Mereka berkata: “Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah sebab keluargamu tentulah kami telah
merajam kamu, sedang ka-mu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.”
Syu'aib menjawab: “Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhor-mat
menurut pandanganmu daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan sesuatu yang
terbuang di belakangmu? Sesungguhnya (pe-ngetahuan) Tuhanku meliputi apa yang
kamu kerjakan.”
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuan-mu,
sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan menge-tahui siapa yang
akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah
azab (Tuhanku), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu.”
Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang
beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang
zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati
bergelimpangan di tem-pat tinggalnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di
tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum
Tsamud yang telah binasa.” (QS. Huud, 11: 84-95) !
sebab merencanakan untuk “merajam Syu'aib” yang hanya menye-ru mereka
kepada kebaikan, penduduk Madyan dihukum oleh kemurka-an Allah dan mereka pun
dibinasakan sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas. Penduduk Madyan bukanlah
satu-satunya contoh. Sebaliknya, sebagaimana diutarakan Syu'aib saat berbicara kepada
kaumnya, banyak warga sebelum mereka telah dibinasakan. Dan se-telah Madyan,
banyak warga lain juga dihancurkan oleh kemurkaan Allah.
Pada halaman-halaman berikut, akan diuraikan tentang warga -warga yang
telah dibinasakan ini dan sisa-sisa peninggalan mereka. Dalam Al Quran, warga -
warga ini disebutkan secara terperinci dan manusia diajak untuk merenungkan dan
mengambil pela-jaran serta peringatan tentang bagaimana kaum-kaum ini berakhir.
Pada titik ini, Al Quran secara khusus menunjukkan kenyataan bah-wa sebagian besar
dari warga yang dihancurkan ini memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Di
dalam Al Quran, sifat-sifat dari kaum-kaum yang dihancurkan dijelaskan sebagai berikut:
“Dan berapa banyakkah umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum
mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka
(yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjajah di beberapa negeri. Adakah
(mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (QS. Qaaf, 50: 36) !
Dalam ayat ini , ditekankan secara khusus dua sifat dari kaum yang telah
dihancurkan. Pertama, mereka “lebih besar kekuatannya”. Artinya, warga -warga
ini telah mencapai sistem biro-krasi-militer yang kuat dan disiplin, dan meraih
kekuasaan di wilayah mereka dengan kekuatan. Kedua, warga -warga itu
mendirikan kota-kota besar yang dicirikan dengan karya-karya arsitektur mereka.
Patut diperhatikan bahwa kedua sifat ini dimiliki oleh peradaban zaman sekarang,
yang telah membentuk sebuah kebudayaan dunia yang begitu luas melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini, serta telah mendirikan negara-negara yang
tersentralisasi, kota-kota besar, namun mengingkari dan mengabaikan Allah, dengan
melupakan bahwa semua itu dimungkinkan oleh kekuasan Allah. Namun, sebagaimana
diungkap-kan pada ayat di atas, peradaban yang mereka kembangkan tidak dapat
menyelamatkan warga -warga ini , sebab peradaban mereka berlandaskan
pengingkaran terhadap Allah. Akhir dari peradab-an saat ini pun tidak akan berbeda, selama
ia berdasarkan kepada peng-ingkaran dan perilaku jahat di dunia.
Sejumlah peristiwa penghancuran, beberapa di antaranya dicerita-kan dalam Al
Quran, telah dibenarkan oleh berbagai penelitian arkeologis di zaman modern. Temuan-
temuan ini secara jelas membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa yang dikutip dalam Al
Quran benar-benar pernah terjadi, menjelaskan perlunya “diperingatkan terlebih dahulu”
yang banyak digambarkan dalam kisah-kisah Al Quran. Allah berfirman di dalam Al Quran
bahwa penting untuk “bepergian di muka bumi” dan “melihat bagaimana kesudahan orang-
orang sebelum mereka”.
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami
berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidaklah mereka
bepergian di muka bumi lalu melihat bagai-mana kesudahan orang-orang sebelum
mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat yaitu lebih
baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?
Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan
mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didus-takan, datanglah kepada rasul
itu pertolongan Kami, lalu disela-matkanlah orang-orang yang Kami kehendaki. Dan
tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu ada pengajaran ba-gi orang-
orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
namun membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu,
dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 109-
111) !
Sesungguhnya, ada banyak contoh dalam kisah-kisah tentang warga di
waktu lampau bagi orang-orang yang dikaruniai ke-pahaman. Kehancuran mereka, yang
disebabkan penentangan mereka terhadap Allah dan penolakan terhadap perintah-perintah-
Nya, meng-ungkapkan kepada kita betapa lemah dan tidak berdayanya umat manu-sia di
hadapan Allah. Pada halaman-halaman berikut, kita akan mengkaji contoh-contoh ini
dalam urutan kronologis.
BAB 1
BANJIR NABI NUH
Banjir Nuh, yang disebutkan dalam hampir seluruh kebudayaan, yaitu satu contoh
yang paling banyak diuraikan dalam Al Qur-an. Keengganan umat Nabi Nuh terhadap
nasihat dan peringat-annya, reaksi mereka terhadap risalah Nabi Nuh, serta peristiwa banjir
selengkapnya, semua diceritakan secara rinci dalam banyak ayat Al Quran.
Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan umatnya yang telah mening-galkan ayat-ayat
Allah dan menyekutukan-Nya, dan mengajak mereka menyembah Allah semata dan
menghentikan pembangkangan mereka. Meskipun Nabi Nuh telah berkali-kali menasihati
umatnya agar menaati perintah Allah serta mengingatkan akan kemurkaan Allah, mereka
masih saja menolak dan terus menyekutukan Allah. Dalam Surat Al Mu'mi-nuun,
perkembangan peristiwa itu dilukiskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (sebab ) sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?
Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya men-jawab:
“Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak
menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu
Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar seruan
(seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.
Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah
(sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu. Nuh berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah
aku sebab mereka mendusta-kanku.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 23-26) !
Sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat ini , pemuka ma-syarakat di sekitar
Nabi Nuh menuduh Nabi Nuh berusaha meraih ke-unggulan atas kaumnya, yakni, mencari
keuntungan pribadi seperti status, kekuasaan, dan kekayaan, dan mereka mencoba
menunjuk dia sebagai “kesurupan”, dan mereka memutuskan untuk membiarkannya
sementara waktu, dan menekannya.
sebab itulah, Allah menyampaikan pada Nuh bahwa mereka yang menolak
kebenaran dan melakukan kesalahan akan dihukum dengan ditenggelamkan, dan mereka
yang beriman akan diselamatkan.
Maka, pada saat hukuman datang, air dan aliran yang sangat deras muncul dan
menyembur dari dalam tanah, dibarengi dengan hujan yang sangat lebat, menyebabkan
banjir dahsyat. Allah memerintahkan kepada Nuh untuk “menaikkan ke atas perahu
pasangan-pasangan dari setiap jenis, jantan dan betina, serta keluarganya, kecuali mereka
yang menen-tang apa yang telah dinyatakan wahyu”. Seluruh manusia di daratan ini
ditenggelamkan, termasuk “anak laki-laki” Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa
selamat dengan berlindung ke gunung terdekat. Semuanya tenggelam kecuali yang naik ke
perahu bersama Nabi Nuh. saat air surut di akhir banjir, dan “kejadian telah berakhir”,
perahu terdampar di Judi, yaitu sebuah tempat yang tinggi, sebagaimana yang
diinformasikan Al Quran kepada kita.
Studi arkeologis, geologis, dan historis menunjukkan bahwa peris-tiwa ini
terjadi sebagaimana diceritakan Al Quran. Banjir ini juga digambarkan secara hampir
serupa pada banyak catatan peradaban-peradaban masa lalu dan dalam banyak dokumen
sejarah, meski ciri-ciri dan nama-nama tempat beragam, dan “semua yang terjadi pada
manusia yang salah” disajikan untuk manusia saat ini sebagai peringatan.
Di samping dikemukakan dalam Perjanjian Lama dan Baru, kisah tentang banjir Nuh
ini diungkap secara serupa dalam catatan-catatan sejarah Sumeria dan Asiria-Babilonia,
dalam legenda-legenda Yunani, dalam epik Shatapatha Brahmana dan Mahabarata dari
India, dalam beberapa legenda Wales di Kepulauan Inggris, dalam Nordic Edda, dalam
legenda-legenda Lithuania, dan bahkan dalam cerita-cerita yang berakar dari Cina.
Bagaimana mungkin cerita-cerita yang begitu rinci dan relevan dapat dikumpulkan
dari berbagai daratan yang jauh secara geografis dan budaya, saling berjauhan sesamanya,
juga dengan wilayah banjir?
Jawabannya jelas: Fakta bahwa peristiwa yang sama dituturkan dalam berbagai
catatan sejarah berbagai bangsa ini , yang kecil kemungkinan saling berkomunikasi,
merupakan bukti nyata bahwa mereka menerima pengetahuan dari sebuah sumber ilahiah.
Tampak bahwa Banjir Nuh, salah satu kejadian terbesar dan paling destruktif dalam sejarah,
telah diwartakan oleh banyak nabi yang diutus ke pelbagai peradaban dengan tujuan untuk
memberi contoh. Dengan demikian, berita tentang banjir Nuh tersebar ke berbagai
kebudayaan.
Namun, walau banyak diriwayatkan dalam berbagai budaya dan sumber ajaran
berbagai agama, cerita tentang banjir dan Nabi Nuh itu telah banyak berubah dan membias
dari kisah aslinya sebab kepalsuan sumber, kekeliruan penyampaian, atau bahkan mungkin
sebab tujuan yang tidak benar. Riset menunjukkan bahwa di antara sekian banyak riwayat
yang menuturkan peristiwa ini dengan berbagai perbedaan, penggambaran paling
konsisten hanya ada dalam Al Quran.
Nabi Nuh dan Banjir dalam Al Quran
Banjir Nuh disebutkan dalam banyak ayat di dalam Al Quran. Di bawah ini bisa
dilihat ayat-ayat yang disusun berdasarkan urut-urutan peristiwa banjir ini :
Ajakan Nabi Nuh atas Kaumnya kepada Agama Kebenaran
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata:
‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa
azab pada hari yang besar (kiamat)’.” (QS. Al A’raaf, 7: 59) !
“Sesungguhnya aku yaitu seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak
minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan
semesta alam. Maka ber-takwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Asy-
Syu’araa’, 26: 107-110) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu ia
berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (sebab ) sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa ka-mu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS.
Al Mu’minuun, 23: 23) !
Peringatan Nabi Nuh kepada Kaumnya
akan Hukuman dari Allah
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang ke-padanya azab
yang pedih.” (QS. Nuh, 71: 1) !
“Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang
menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Huud, 11: 39) !
Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku kha-watir kamu
akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedih-kan. (QS. Huud, 11: 26) !
Pembangkangan Kaum Nabi Nuh
“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang
kamu berada dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. Al A’raaf, 7: 60) !
“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah de-ngan
kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar’.” (QS. Huud, 11: 32) !
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin ka-umnya
berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkata Nuh: ‘Jika kamu mengejek
kami, maka sesungguhnya kami (pun) menge-jekmu sebagaimana kamu sekalian
mengejek (kami)’.” (QS. Huud, 11: 38) !
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya men-jawab:
‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak
menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu
Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar seruan
(seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. Ia tidak lain
hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah)
terhadapnya sampai suatu waktu’.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 24-25) !”
“Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh, maka mere-ka
mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: ‘Dia seorang gila dan dia sudah
pernah diberi ancaman’.” (QS. Al Qamar, 54: 9) !
Penghinaan terhadap Para Pengikut Nabi Nuh
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak
melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami
tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina
dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memi-liki
sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bah-wa kamu yaitu orang-
orang yang dusta’.” (QS. Huud, 11: 27) !
“Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang
mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” Nuh menja-wab: “Bagaimana aku
mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?” Perhitungan (amal perbuatan) mereka
tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari. Dan aku sekali-kali
tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan
pemberi peringatan yang menjelaskan.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 111-115) !
Peringatan Allah agar Nabi Nuh Tidak Bersedih
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di
antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), sebab itu janganlah kamu
bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Huud, 11: 36) !
Doa Nabi Nuh
“Maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan
selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku.” (QS. Asy-Syu’araa’,
26: 118) !
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: ‘Bahwasanya aku ini yaitu orang yang
dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)’.” (QS. Al Qamar, 54: 10) !
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaum-ku malam
dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)’.”
(QS. Nuh, 71: 5-6) !
“Nuh berdoa: ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku, sebab mereka mendusta-kan aku’.”
(QS. Al Mu'minuun, 23: 26) !
“Sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami: Maka sesungguhnya seba-ik-baik
yang memperkenankan (yaitu Kami).” (QS. Ash-Shaaffaat: 75) !
Pembuatan Bahtera
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim itu, sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Huud, 11: 37) !
Penghancuran Umat Nabi Nuh dengan Cara Ditenggelamkan
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-
orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami teng-gelamkan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesung-guhnya mereka yaitu kaum yang buta
(mata hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7: 64) !
“Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 120) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia
tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka
ditimpa banjir besar, dan mereka yaitu orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ankabuut,
29: 14) !
Dibinasakannya Putra Nabi Nuh
Sehubungan dengan dialog antara Nabi Nuh dan putranya, pada permulaan banjir, Al
Quran mengungkapkan:
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang lak-sana
gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat jauh
terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada
bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari
perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata:
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha
Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara ke-duanya; maka jadilah
anak itu termasuk orang-orang yang diteng-gelamkan.” (QS. Huud, 11: 42-43) !
Diselamatkannya Orang-Orang yang Beriman dari Banjir
“Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal
yang penuh muatan.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 119) !
“Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan
kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia.” (QS. Al Ankabuut,
29: 15) !
Bentuk Fisik dari Banjir yang Terjadi
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang
tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata-mata air, maka bertemulah
air-air itu untuk satu urusan yang sungguh te-lah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh
ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku.” (QS. Al Qamar, 54: 11-13) !
“Hingga apabila perintah Kami datang dan 'dapur' (permukaan bu-mi yang
memancarkan air hingga menyebabkan timbulnya taufan) telah memancarkan air,
Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang
sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu, kecuali orang yang telah terdahulu
kete-tapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.”
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata:
“Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar
dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang lak-sana gunung,
dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil: “Hai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir.” (QS. Huud, 11: 40-42) !
“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah peni-likan dan
petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan 'tannur' telah
memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap
(jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan
(akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang yang zalim, sebab sesungguhnya mereka itu akan
ditenggelamkan.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 27) !
Terdamparnya Perahu di Tempat yang Tinggi
“Dan difirmankan: “Hai bumi tahanlah airmu, dan hai langit (hujan)
berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun
berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: ‘Binasa-lah orang-orang yang zalim’.”
(QS. Huud, 11: 44) !
Pelajaran dari Peristiwa Banjir
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa
(nenek moyang) kamu ke dalam bahtera, agar Kami jadi-kan peristiwa itu peringatan
bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (QS. Al
Haaqqah, 69:11-12) !
Pujian Allah terhadap Nabi Nuh
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam”. Sesungguh-nya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Ash-Shaaffaat, 37: 79-81) !
Apakah Banjir itu Bencana Lokal atau Global ?
Mereka yang menolak terjadinya Banjir Nuh mendukung pendirian mereka dengan
menyatakan bahwa banjir atas seluruh dunia yaitu mus-tahil. Namun, penyangkalan
mereka atas banjir apa pun juga ditujukan untuk menyerang Al Quran. Menurut mereka,
semua kitab yang diwah-yukan, termasuk Al Quran, sepertinya mempertahankan terjadinya
banjir global dan sebab nya keliru.
Namun, penolakan terhadap Al Quran ini tidak benar. Al Quran di-wahyukan oleh
Allah, dan merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak terubah. Al Quran memandang
Banjir dengan sudut pandang yang sangat berbeda dibandingkan Pentateuch dan legenda-
legenda lain tentang banjir yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan. Penta-teuch,
yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir ini bersifat
global; menutupi seluruh bumi. Namun, Al Quran tidak memberikan keterangan seperti itu,
sebaliknya ayat-ayat tentang peristiwa ini membawa pada kesimpulan bahwa banjir itu
bersi-fat regional dan tidak menutupi seluruh bumi, namun hanya meneng-gelamkan umat
Nabi Nuh saja yang telah diberi peringatan, lalu dihu-kum.
saat riwayat-riwayat tentang Banjir dalam Perjanjian Lama dan Al Quran diuji,
perbedaannya sederhana saja. Perjanjian Lama, yang telah mengalami banyak perubahan
dalam penambahan sepanjang sejarah-nya, sehingga tidak dapat dinilai sebagai wahyu yang
orisinil, menggam-barkan bagaimana banjir berawal dalam uraian berikut:
Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di bumi yaitu besar, dan bahwa
setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam hatinya hanya selalu perbuatan jahat.
Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa Dia telah menciptakan manusia di bumi,
dan ini menyedih-kan hati-Nya. Dan Tuhan berkata, “Aku akan membinasakan
manu-sia yang telah kuciptakan dari permukaan bumi; kedua jenis yang ada,
manusia dan binatang, dan segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang
sebab telah mengecewakan-Ku yang telah menciptakan mereka. Akan namun , (Nabi)
Nuh mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan. (Kejadian, 6: 5-8)
Namun, dalam Al Quran, jelas ditunjukkan bahwa tidak seluruh du-nia, namun hanya
umat Nabi Nuh yang dihancurkan. Sebagaimana Nabi Hud diutus hanya untuk kaum ‘Ad
(QS. Huud, 11:50), Nabi Shalih diutus untuk kaum Tsamud (QS. Huud, 11:61), serta seluruh
nabi sebelum Mu-hammad hanya diutus untuk umat mereka saja, Nabi Nuh hanya diutus
kepada umatnya dan banjir ini hanya memusnahkan umat Nabi Nuh:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
“Sesungguhnya aku yaitu pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu
tidak menyembah selain Allah. Sesung-guhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab
(pada) hari yang sangat menyedihkan.” (QS. Huud, 11: 25-26) !
Mereka yang dimusnahkan yaitu orang-orang yang sepenuhnya menolak pernyataan
kerasulan Nuh dan berkeras menentang. Ayat-ayat yang senada cukup gamblang:
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan orang-
orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka yaitu kaum yang buta (mata
hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7: 64) !
Di samping itu, dalam Al Quran, Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan
menghancurkan suatu umat kecuali telah diutus seorang rasul kepada mereka.
Penghancuran hanya terjadi jika seorang pemberi per-ingatan telah sampai kepada suatu
kaum, dan ia didustakan. Allah me-nyatakan dalam Surat Al Qashash:
“Dan tidak yaitu Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus
di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan
tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam
keadaan melakukan keza-liman.” (QS. Al Qashash, 28: 59) !
Allah tidak akan menghancurkan suatu kaum sebelum menurunkan rasul kepada
mereka. Sebagai pemberi peringatan, Nuh hanya diutus untuk kaumnya. sebab itu, Allah
tidak menghancurkan kaum-kaum yang belum diutus rasul, hanya umat Nabi Nuh.
Dari pernyataan-pernyataan dalam Al Quran, kita bisa memastikan bahwa banjir Nuh
yaitu bencana regional, bukan global. Penggalian-penggalian pada daerah-daerah
arkeologis yang diperkirakan sebagai lo-kasi terjadinya banjir yang akan kita bahas
berikutnya menunjukkan bah-wa banjir ini bukanlah sebuah peristiwa global yang
mempengaruhi seluruh bumi, akan namun merupakan sebuah bencana yang sangat luas yang
mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah Mesopotamia.
Apakah Seluruh Binatang Dinaikkan ke atas Perahu?
Para penafsir Bibel yakin bahwa Nabi Nuh memasukkan seluruh spesies binatang di
muka bumi ke atas perahu dan binatang-binatang itu bisa selamat dari kepunahan berkat
Nabi Nuh. Menurut keyakinan ini, sepasang dari tiap spesies penghuni daratan dibawa
bersama ke atas pe-rahu.
Mereka yang mempertahankan pernyataan ini sudah tentu harus menghadapi banyak
kejanggalan serius dalam berbagai hal. Pertanyaan tentang bagaimana binatang yang
diangkut itu diberi makan, bagaimana mereka ditempatkan di dalam perahu itu, atau
bagaimana mereka di-
Pisahkan satu sama lain mustahil dapat terjawab. Lagi pula, masih ada pertanyaan:
Bagaimana binatang-binatang dari berbagai benua yang berbeda dapat dibawa bersamaan –
berbagai mamalia di kutub, kanguru dari Australia, atau bison yang ada di Amerika? Juga,
lebih banyak lagi pertanyaan menyusul, seperti bagaimana binatang yang sangat berba-haya
– yang berbisa seperti ular, kalajengking, dan binatang-binatang buas bisa ditangkap, serta
bagaimana mereka dapat bertahan terpisah dari habitat alamiahnya hingga banjir itu surut?
Inilah berbagai pertanyaan yang dihadapi Perjanjian Lama. Dalam Al Quran, tidak
ada pernyataan yang mengindikasikan bahwa seluruh spe-sies binatang di muka bumi
dinaikkan ke atas perahu. Dan sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, banjir ini
hanya terjadi pada suatu wi-layah tertentu, sehingga binatang yang dinaikkan ke perahu pun
hanya-lah yang hidup di wilayah umat Nabi Nuh tinggal.
Meski demikian, jelas mustahil sekalipun hanya untuk mengumpul-kan seluruh jenis
binatang yang hidup di wilayah ini . Sukar mem-bayangkan bahwa Nabi Nuh beserta
sejumlah kecil orang-orang beriman yang menyertainya (QS. Huud, 11: 40) menyebar ke
segala penjuru untuk mengumpulkan masing-masing dua ekor dari ratusan spesies binatang
di sekitar mereka. Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka untuk mengumpulkan berbagai
tipe serangga yang hidup di wilayah mereka, apatah lagi untuk memisahkan antara yang
jantan dan betina! Inilah alasan mengapa lebih memungkinkan jika yang dikumpulkan itu
hanya binatang yang mudah ditangkap dan dipelihara, dan sebab nya, merupa-kan binatang
ternak yang secara khusus berguna bagi manusia. Nabi Nuh agaknya menaikkan ke atas
perahu binatang sejenis itu, seperti sapi, biri-biri, kuda, unggas, unta, dan sejenisnya, sebab
inilah binatang-binatang yang dibutuhkan untuk menyangga kehidupan baru di wilayah
yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup sebab Banjir ini .
Poin penting di sini yaitu bahwa kebijaksanaan ilahiah dalam pe-rintah Allah
kepada Nabi Nuh untuk mengumpulkan berbagai binatang yaitu untuk menunjang
kehidupan baru sesudah banjir berakhir, bukan untuk kepentingan mempertahankan genus
berbagai binatang. Selama banjir itu bersifat regional, maka kepunahan berbagai jenis
binatang tidak akan mungkin terjadi. Besar kemungkinan, sesudah banjir, berbagai binatang
dari wilayah-wilayah lain perlahan-lahan akan bermigrasi ke wilayah ini dan kembali
memadati daerah itu sebagaimana sebe-lumnya. Yang penting yaitu kehidupan yang akan
dirintis kembali begi-tu banjir berakhir, dan binatang-binatang yang dikumpulkan
dimaksud-kan untuk tujuan ini.
Berapa Tinggikah Banjir ini ?
Perdebatan lain di seputar Banjir itu yaitu , apakah ketinggian air cukup untuk
menenggelamkan gunung? Sebagaimana diketahui, Al Quran menginformasikan kepada
kita bahwa perahu Nabi Nuh itu terdampar di “Al Judi” seusai banjir. Umumnya, kata
“Judi” dirujuk sebagai lokasi gunung tertentu, sementara kata itu berarti “tempat yang tinggi
atau bukit” dalam bahasa Arab. sebab nya, jangan dilupakan bahwa dalam Al Quran,
“Judi” bisa jadi tidak digunakan sebagai nama gunung tertentu, akan namun untuk
mengisyaratkan bahwa perahu Nuh telah terdampar pada suatu ketinggian. Di samping itu,
makna kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga menunjukkan bahwa air bah itu
mencapai ketinggian tertentu, namun tidak mencapai ketinggian pun-cak gunung. Dengan
kata lain bahwa banjir itu kemungkinan besar tidak menenggelamkan seluruh bumi dan
semua gunung-gunung sebagai-mana digambarkan dalam Perjanjian Lama, namun hanya
menggenangi wilayah tertentu.
Lokasi Banjir Nuh
Daratan Mesopotamia diduga kuat sebagai lokasi Banjir Nuh. Di sini ada
peradaban tertua yang dikenal sejarah. Lagi pula, sebab berada di antara sungai Tigris dan
Eufrat, secara geografis tempat ini sangat memungkinkan terjadinya sebuah banjir besar. Di
antara faktor penyebab terjadinya banjir besar kemungkinan sebab kedua sungai ini meluap
dan membanjiri wilayah ini .
Alasan kedua, daerah ini diduga kuat sebagai tempat terjadinya banjir bersifat
historis. Dalam catatan sejarah berbagai peradaban manu-sia di wilayah ini , banyak
dokumen yang ditemukan merujuk pada sebuah banjir yang terjadi dalam periode yang
sama. sesudah menyak-sikan kebinasaan kaum Nabi Nuh, peradaban-peradaban ini
agak-nya merasa perlu mencatat dalam sejarah mereka, bagaimana bencana itu terjadi, serta
akibat-akibat yang ditimbulkannya. Diketahui pula bahwa mayoritas legenda tentang banjir
ini berasal dari Mesopotamia. Lebih penting lagi bagi kita yaitu temuan-temuan
arkeologis. Temuan-temuan ini membenarkan terjadinya sebuah banjir besar di
wilayah ini. Sebagaimana akan kita bahas secara rinci pada halaman-halaman be-rikut,
banjir ini telah menyebabkan tertundanya peradaban selama perio-de tertentu. Dalam
penggalian-penggalian yang dilakukan, tersingkap jejak-jejak nyata sebuah bencana
dahsyat.
Penggalian-penggalian di wilayah Mesopotamia mengungkap bah-wa berkali-kali
dalam sejarah, wilayah ini diserang berbagai bencana sebagai akibat dari banjir dan
meluapnya Sungai Eufrat dan Tigris. Misal-nya, pada alaf kedua Sebelum Masehi (SM),
pada masa Ibbisin, penguasa negeri Ur yang luas, yang berlokasi di sebelah selatan
Mesopotamia, sebuah tahun tertentu ditandai dengan “pasca Banjir yang melenyapkan garis
batas antara langit dan bumi”.1 Sekitar 1700 SM, pada masa kekua-saan Hamurabi dari
Babilonia, sebuah tahun ditandai dengan terjadinya peristiwa “kehancuran kota Eshnunna
oleh air bah”.
Pada abad ke-10 SM, pada masa pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir
terjadi di kota Babilon.2 sesudah zaman Nabi Isa (Jesus) pada abad ke-7, ke-8, ke-10, ke-11,
dan ke-12, banjir-banjir yang bersejarah terjadi di wilayah ini . Dalam abad ke-20,
kejadian serupa terjadi pa-da tahun 1925, 1930, dan 1954.3 Jelaslah bahwa wilayah ini telah
senantiasa diserang bencana banjir, dan sebagaimana ditunjukkan dalam Al Quran, sangat
mungkin suatu banjir besar-besaran telah membinasa-kan suatu komunitas secara
keseluruhan.
Bukti-Bukti Arkeologis tentang Banjir
Bukanlah suatu kebetulan bila sekarang ini kita menemukan jejak-jejak dari
kebanyakan kaum yang menurut Al Quran telah dibinasakan. Bukti-bukti arkeologis
menyajikan fakta, bahwa semakin mendadak ke-hancuran suatu kaum, semakin
memungkinkan bagi kita untuk men-dapati sebagian bekasnya.
Jika sebuah peradaban hancur secara tiba-tiba, yang dapat terjadi ka-rena bencana
alam, emigrasi yang mendadak, atau perang, jejak-jejak peradaban ini sering dapat lebih
terpelihara. Rumah-rumah yang pernah mereka huni, peralatan-peralatan yang pernah
mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, segera akan terkubur. Maka, semua itu dapat
terpelihara dalam waktu yang lama tanpa tersentuh tangan manusia, dan menjadi bukti
penting tentang masa lampau bila dikeluarkan.
Jadi begitulah hingga banyak bukti tentang Banjir Nabi Nuh ter-ungkap saat ini.
Diperkirakan terjadi sekitar alaf ke-3 SM, Banjir itu telah mengakhiri suatu peradaban
seluruhnya dengan sesaat , dan selanjut-nya menyebabkan lahirnya sebuah peradaban baru
sebagai gantinya. Jadi, bukti-bukti nyata tentang Banjir ini telah terpelihara selama ribuan
tahun agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Banyak penggalian telah dilakukan untuk menyelidiki banjir yang telah
menenggelamkan daratan-daratan Mesopotamia. Dalam berbagai penggalian di wilayah
ini , di empat kota utama ditemukan jejak-je-jak yang menunjukkan terjadinya sebuah
banjir besar. Kota-kota ini ada-lah kota-kota penting di Mesopotamia; Ur, Erech, Kish,
dan Shuruppak.
Penggalian-penggalian di kota-kota ini mengungkap bahwa keempat kota ini telah
dilanda sebuah banjir sekitar alaf ke-3 SM.
Pertama, mari kita lihat penggalian-penggalian yang dilakukan di kota Ur.
Sisa-sisa tertua dari sebuah peradaban yang tersingkap dari peng-galian ada di
kota Ur, yang kini telah berganti nama menjadi “Tell al Muqayyar”, berusia 7000 tahun SM.
Sebagai situs dari salah satu per-adaban tertua, kota Ur telah menjadi wilayah hunian tempat
silih ber-gantinya berbagai kebudayaan.
Temuan arkeologis dari kota Ur memperlihatkan bahwa di sini per-adaban pernah
terputus sesudah terjadinya sebuah banjir dahsyat, dan kemudian peradaban-peradaban baru
tampil. R. H. Hall dari British Mu-seum melakukan penggalian pertama di tempat ini.
Leonard Woolley yang melakukan penggalian sesudah Hall, menjadi pengawas penggalian
yang secara kolektif dikelola oleh the British Museum dan University of Pennsylvania.
Penggalian-penggalian yang dipimpin Woolley, yang ber-pengaruh di seluruh dunia,
berlangsung dari 1922 sampai 1934.
Penggalian-penggalian oleh Sir Woolley dilakukan di tengah padang pasir antara
Baghdad dan Teluk Persia. Pendiri pertama kota Ur yaitu kaum yang datang dari
Mesopotamia Utara dan menyebut diri mereka “bangsa Ubaid.” Pada awalnya, penggalian
itu dilakukan untuk meng-himpun informasi tentang mereka. Penggalian yang dilakukan
Woolley digambarkan oleh seorang arkeolog Jerman, Werner Keller, sebagai berikut:
“Kuburan Raja-Raja Ur” begitu Woolley, dalam kegembiraan atas penemu-annya,
menamakan makam para bangsawan Sumeria ini . Kehebatan kekuasaan mereka
terungkap saat sekop para arkeolog mengenai sebuah tanggul sepanjang 50 kaki di sebelah
selatan candi dan mengungkap deretan panjang pekuburan yang tertimbun. Kuburan-
kuburan batu yang ditemu-kan benar-benar merupakan tempat penyimpanan harta, sebab
dipenuhi piala-piala mahal, beraneka kendi dan vas yang indah, barang becah belah dari
perunggu, kepingan-kepingan mutiara, lapis lazuli, dan perak yang mengelilingi jasad-jasad
yang telah menjadi debu. Harpa dan lira tersandar di dinding-dinding. “Hampir sesaat ”
dia kemudian menulis dalam artikel hariannya, “Penemuan-penemuan menegaskan
kecurigaan-kecurigaan kami. Tepat di bawah lantai dari salah satu lubang kubur para raja, di
bawah lapisan abu kayu, kami menemukan tablet-tablet tanah liat, yang dipenuhi huruf yang
jauh lebih tua daripada tulisan pada kuburan. Melihat sifat dari tulisan, tablet-tablet ini
kemungkinan dibuat sekitar tahun 3.000 SM. Berarti, mereka dua atau tiga abad lebih awal
dari makam ini .”
Lubang itu bertambah dalam. Tingkatan yang baru, dengan pecahan-pecah-an kendi,
pot, dan mangkuk terus muncul. Para ahli memperhatikan bahwa sisa tembikar itu secara
mengejutkan tidak terlalu berubah; tampak serupa dengan yang ditemukan di pekuburan
para raja. sebab itulah, sepertinya selama berabad-abad peradaban Sumeria tidak
mengalami perubahan yang radikal. Mereka tentunya, menurut kesimpulan, telah mencapai
tingkat perkembangan yang tinggi jauh lebih awal lagi.
saat beberapa hari kemudian, para pekerja berteriak, “Kita sampai di ting-kat
dasar.” Woolley sendiri turun ke lantai lubang galian untuk memuaskan dirinya. Pikiran
Woolley pertama kali, “Inilah dia akhirnya”. Lantai itu berupa pasir, jenis pasir murni yang
hanya bisa didepositkan oleh air.
Mereka memutuskan untuk terus menggali dan membuat lubang itu lebih dalam lagi.
Sekop menggali semakin dalam dan semakin dalam: tiga kaki, enam kaki masih berupa
lumpur murni. Tiba-tiba, pada kedalaman sepuluh kaki, lapisan lumpur terhenti sama
mendadak dengan bermulanya. Di bawah deposit tanah liat setebal kurang lebih sepuluh
kaki, mereka dikejutkan oleh bukti-bukti baru dari hunian manusia. Wujud dan kualitas dari
tembikar tampak sangat berubah. Di sini, barang-barang ini dibuat dengan tangan.
Sisa-sisa logam tak ditemukan di mana-mana. Peralatan primitif yang muncul terbuat dari
pengerjaan dengan batu api. Ini mesti berasal dari Zaman Batu!
Banjir itulah penjelasan satu-satunya bagi besarnya deposit tanah liat di bawah bukit
di kota Ur, yang dengan cukup jelas memisahkan dua masa kehidupan. Laut telah
meninggalkan jejak-jejak yang tidak terpungkiri dalam bentuk sisa-sisa organisme laut kecil
yang tersimpan dalam lumpur.4
Analisis mikroskopis mengungkapkan bahwa deposit tanah liat yang besar di bawah
bukit di kota Ur telah terakumulasi sebagai akibat dari ba-njir teramat besar yang laksana
melenyapkan peradaban Sumeria kuno. Epik tentang Gilgamesh dan cerita tentang Nuh
tersatukan dengan lu-bang galian yang jauh di bawah gurun Mesopotamia.
Max Mallowan menuturkan pikiran-pikiran Leonard Woolley, yang menyatakan
bahwa endapan masif sebesar itu dan terbentuk dalam suatu periode waktu hanya bisa
terjadi sebab bencana banjir yang sangat besar. Woolley juga menguraikan bahwa lapisan
banjir yang memisahkan kota Sumeria di kota Ur dengan kota Al Ubaid yang penduduknya
mengguna-kan tembikar yang dicat, sebagai sisa dari Banjir ini .5
Ini semua menunjukkan bahwa kota Ur yaitu salah satu dari ber-bagai daerah yang
terkena Banjir Nuh. Digambarkan oleh Werner Keller bahwa arti penting penggalian
arkeologis di Mesopotamia yaitu bahwa sisa-sisa kota di bawah lapisan berlumpur ini
membuktikan pernah terjadinya banjir di tempat ini pada dahulu kala.6
Kota lain di Mesopotamia yang juga menyimpan jejak-jejak Banjir Nuh yaitu kota
Kish di Sumeria, yang saat ini dikenal sebagai “Tall Al Uhaimer”. Menurut sumber-sumber
Sumeria kuno, kota ini merupakan “kedudukan dari dinasti 'pascadiluvian' yang pertama”.7
Kota Shuruppak di sebelah selatan Mesopotamia, yang saat ini ber-nama “Tall
Far’ah” pun menyimpan jejak-jejak nyata dari banjir ini . Studi arkeologis yang
dilakukan di kota ini dipimpin oleh Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara
tahun 1922-1930. Penggalian-peng-galian ini mengungkapkan tiga lapisan hunian manusia
dalam rentang waktu sejak masa prasejarah hingga dinasti Ur ketiga (2112-2004 SM).
Temuan paling istimewa yaitu reruntuhan rumah-rumah yang dibangun dengan baik,
sekaligus dengan tablet-tablet bertulisan paku (cuneiform) tentang catatan administratif dan
daftar kata-kata, yang mengindikasikan keberadaan suatu warga yang telah maju pada
akhir alaf ke-4 SM.8
Poin terpenting yaitu dimengerti bahwa sebuah banjir besar telah terjadi di kota ini
sekitar tahun 2900-3000 SM. Menurut catatan Mallo-wan, 4-5 meter di bawah tanah,
Schmidt telah mencapai lapisan tanah kuning (dibentuk oleh banjir) yang berupa campuran
tanah liat dan pasir. Lapisan ini lebih dekat ke lapisan datar daripada profil tumulus dan
dapat teramati di seputar tumulus.… Schmidt memastikan bahwa lapisan yang terbentuk
dari campuran tanah liat dan pasir ini, yang tersisa dari masa kerajaan kuno Cemdet Nasr,
sebagai “pasir yang berasal dari dalam sungai” dan ini menghubungkannya dengan Banjir
Nuh.9
Pada penggalian yang dilakukan di kota Shuruppak, ditemukan sisa-sisa banjir yang
terjadi kurang lebih tahun 2900-3000 SM. Mungkin, kota Shuruppak terkena imbas dari
banjir sebesar kota-kota lain.10
Tempat terakhir yang menunjukkan terjadinya banjir yaitu kota Erech di selatan
kota Shuruppak yang kini dinamai “Tall al-Warka”. Di kota ini, sebagaimana di kota-kota
yang lainnya, ditemukan lapisan ban-jir. Lapisan ini berjangka waktu antara 2900-3000 SM
seperti yang lain.11
Sebagaimana diketahui, sungai Eufrat dan Tigris melintasi Mesopo-tamia dari ujung
ke ujung. Tampaknya selama peristiwa itu, kedua sungai ini meluap, begitupun banyak
sumber mata air lainnya, besar maupun kecil, dan saat bersatu dengan air hujan, telah
menyebabkan sebuah banjir yang dahsyat. Peristiwa itu digambarkan dalam Al Quran:
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang
tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata-mata air, maka bertemulah
air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (QS. Al Qamar, 54:11-
12) !
Jika faktor-faktor penyebab banjir itu dibahas satu per satu, tampak-lah bahwa
kesemuanya itu merupakan fenomena yang sangat alami. Adapun yang menjadikan
peristiwa itu penuh mukjizat yaitu sebab kejadiannya bersamaan dan peringatan Nabi
Nuh kepada kaumnya ten-tang bencana seperti itu terlebih dahulu.
Pengujian terhadap bukti yang didapat dari kajian lengkap meng-ungkapkan bahwa
daerah banjir membentang sekitar 160 km (lebar) dari timur ke barat, dan 600 km (panjang)
dari utara ke selatan. Ini menunjuk-kan bahwa banjir ini menutupi seluruh daratan
Mesopotamia. Jika kita uji urutan kota-kota Ur, Erech, Shuruppak, dan Kish yang
menunjuk-kan jejak-jejak banjir Nuh, tampaklah bahwa kota-kota ini berada dalam satu
garis sepanjang rute ini . Oleh sebab itu, banjir ini pastilah telah melanda
keempat kota ini dan daerah-daerah sekitarnya. Di sam-ping itu, harus dicatat bahwa pada
sekitar 3.000 tahun SM, struktur geografis daratan Mesopotamia berbeda dengan kondisi
sekarang. Pada masa itu, posisi sungai Eufrat terletak lebih ke timur dibandingkan de-ngan
posisi saat ini; garis arus sungai itu sesuai dengan garis yang mele-wati kota Ur, Erech,
Shuruppak, dan Kish. Dengan terbukanya “mata air di bumi dan di surga”, agaknya sungai
Eufrat meluap menyebar sehingga merusak empat kota di atas.
Agama dan Kebudayaan yang Menyebutkan Banjir Nuh
Peristiwa Banjir Nuh ini disebarluaskan ke hampir semua ma-nusia melalui
lisan para nabi yang menyampaikan agama yang hak, namun akhirnya menjadi legenda oleh
berbagai kaum, dan kisah itu mengalami berbagai penambahan dan pengurangan dalam
periwayatannya.
Allah telah menyampaikan kisah tentang Banjir Nuh kepada manu-sia melalui para
rasul dan kitab-kitab yang Dia turunkan kepada berbagai warga agar hal itu menjadi
peringatan atau permisalan. Namun, tiap masa kitab-kitab ini telah dirubah dari
aslinya, dan penggambaran Banjir Nuh juga telah ditambahi unsur-unsur mitologis. Hanya
Al Quran satu-satunya sumber yang secara mendasar sesuai dengan temuan-temu-an dan
observasi empiris. Hal ini tidak lain sebab Allah telah menjaga Al Quran dari perubahan,
meski sebuah perubahan kecil sekalipun, maupun pengurangan. Sesuai isyarat Al Quran
“Kami telah dengan tanpa keragu-an menurunkan risalah, dan Kami dengan pasti akan
menjaganya (dari pengurangan)” (QS. Al-Hijr, 15: 9), Al Quran berada di bawah pengawas-
an khusus Allah.
Pada bagian akhir bab ini, kita akan melihat, bagaimana peristiwa Banjir Nuh
digambarkan meski telah sangat berubah dalam berbagai ke-budayaan, serta dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Banjir Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama
Kitab yang sebenarnya diwahyukan kepada Nabi Musa yaitu Tau-rat. Nyaris tidak
ada dari wahyu ini tersisa, dan kitab Injil “Pentateuch” (lima artikel pertama dari kitab
Perjanjian Lama), seiring perjalanan waktu, telah kehilangan hubungannya dengan wahyu
yang asli. Bahkan kemudi-an sebagian besar isinya telah diubah oleh para rabbi Yahudi.
Begitu pula, wahyu-wahyu yang dibawa nabi-nabi lain yang diutus kepada Bani Israil
sesudah Nabi Musa, mendapat perlakuan serupa dan sangat banyak per-ubahan. Kondisi
inilah yang membuat kita menyebutnya sebagai “Penta-teuch yang Diubah” sebab telah
kehilangan hubungan dengan wahyu aslinya, dan menganggapnya sebagai karya manusia
yang berupaya men-catat sejarah suku bangsanya, bukan sebagai sebuah kitab suci.
Tidaklah mengherankan jika keadaan Pentateuch yang Diubah itu dan berbagai kontradiksi
yang dikandungnya sangat tampak pada pemaparannya ten-tang kisah Nabi Nuh, meskipun
mempunyai kesamaan dengan Al Quran dalam beberapa bagian.
Menurut Perjanjian Lama, Tuhan berfirman kepada Nuh bahwa semua orang, kecuali
mereka yang beriman, akan dihancurkan sebab bumi telah penuh dengan berbagai
kejahatan. Untuk menghadapi ini, Tuhan memerintahkan Musa membuat bahtera dan
mengajarkan dengan rinci bagaimana mengerjakannya. Tuhan juga menyuruhnya membawa
keluarganya, tiga orang anaknya, istri-istri mereka, sepasang dari setiap makhluk hidup, dan
persediaan bahan pangan.
Tujuh hari kemudian, saat tiba waktunya Banjir, semua sumber air dalam tanah
memancar, pintu-pintu langit terbuka, dan sebuah banjir be-sar menenggelamkan segala
sesuatu. Hal ini berlangsung selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Bahtera Nuh
melayari air yang menutupi semua pegunungan dan dataran tinggi. Mereka yang bersama
Nuh selamat, sedang sisanya terseret air bah dan mati tenggelam. Hujan berhenti sesudah
terjadi ban