dan
kemungkin-an besar menjadi pewaris tahtanya kelak, menentangnya dan berbicara
kepadanya seperti itu. Dengan alasan itu, Fir’aun menuduh Musa tidak tahu berterima
kasih:
“Fir'aun menjawab: ”Bukankah kami telah mengasuhmu di dalam (keluarga)
kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa
tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu
lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna”.
(QS. Asy-Syu'araa’, 26: 18-19) !
Fir’aun mencoba mempermainkan perasaan Musa dan mempenga-ruhi kata hatinya.
Seolah ia mengatakan bahwa sebab ia dan istrinyalah yang telah membesarkan Musa,
maka Musalah yang seharusnya mema-tuhi mereka. Apalagi, Musa telah membunuh
seorang Mesir. Semua tin-dakan ini diganjar dengan hukuman berat menurut bangsa Mesir.
Suasa-na emosional yang coba diciptakan Fir’aun juga ditujukan untuk mempe-ngaruhi
para pemimpin dari rakyatnya, sehingga mereka pun menyetujui Fir’aun.
Di sisi lain, risalah agama kebenaran yang disampaikan Musa mengurangi kekuasaan
Fir'aun dan menurunkan derajatnya setingkat orang-orang kebanyakan. Selanjutnya, akan
terungkap bahwa ia bukan-lah tuhan dan lebih jauh lagi, ia akan harus tunduk kepada Musa.
Di samping itu, jika ia membebaskan bani Israil, ia akan kehilangan banyak tenaga kerja
penting dan akan menimbulkan bahaya besar.
sebab semua itulah, Fir’aun tidak mau mendengarkan Musa. Ia mencoba
mempermainkannya dan berusaha mengubah pokok pembica-raan dengan mengajukan
pertanyaan yang tidak berarti. Ia sekaligus mencoba untuk mencitrakan Musa dan Harun
sebagai pembuat keonaran dan menuduh mereka mempunyai motif-motif politik tertentu.
Akhir-nya, baik Fir’aun maupun para pemimpin kaum serta para pembesarnya, kecuali para
tukang sihir, menolak Musa dan Harun. Mereka menging-kari agama kebenaran yang
ditunjukkan kepada mereka. Itulah sebabnya Allah pertama-tama mengirimkan berbagai
bencana kepada mereka.
Bencana yang Menimpa Fir'aun dan Para Pembesarnya
Fir’aun dan para pembesarnya sangat terikat terhadap politeisme dan keberhalaan,
“agama leluhur mereka”, sehinga tidak terpikirkan oleh mereka untuk meninggalkannya.
Bahkan dua mukjizat Musa, tangannya yang mengeluarkan sinar putih serta tongkatnya
yang berubah menjadi ular, tidaklah cukup untuk membuat mereka untuk berpaling dari
takhyul mereka. Lebih-lebih lagi, mereka mengungkapkan hal ini secara terbuka. Mereka
berkata: ”Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk
menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan pernah
beriman kepadamu”. (QS Al A’raaf, 7: 132).
sebab sikap mereka, Allah mengirimkan sejumlah bencana kepada mereka sebagai
“mukjizat tersendiri” untuk membuat mereka merasa-kan azab di dunia, sebelum siksaan
abadi di alam keabadian. Pertama-tama mereka diberi masa kekeringan panjang dan
paceklik. Berkaitan dengan ini dikatakan dalam Al Quran: ”Dan sesungguhnya Kami
telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau
yang panjang dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran.”
(QS. Al A'raaf, 7: 130).
Sistem pertanian Bangsa Mesir berbasis pada Sungai Nil dan sebab itu, mereka tidak
terpengaruh oleh perubahan keadaan alam. Namun se-buah bencana yang tak terduga
menimpa mereka sebab Fir’aun dan kalangan dekatnya yang sombong dan angkuh
terhadap Allah dan mengingkari Rasul-Nya. Kemungkinan besar, dengan berbagai sebab,
permukaan Sungai Nil menyusut secara mencolok dan saluran irigasi yang berasal dari
sungai tidak mampu mengalirkan air yang cukup untuk lahan pertanian mereka. Panas yang
menyengat menyebabkan tanaman pertanian mengering. Dengan demikian, bencana
menimpa Fir’aun dan lingkaran dekatnya dari arah yang sama sekali tidak terduga, dari
Sungai Nil yang mereka andalkan. Musim kemarau yang berkepanjangan men-cemaskan
hati Fir’aun yang sebelumnya biasa berkata kepada kaumnya sebagai berikut: ”Hai
kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai
ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (QS. Az-Zukhruf,
43: 51).
Namun, bukannya memberi perhatian sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat ini ,
mereka malahan menganggap semua kejadian ter-sebut sebab kesialan yang dibawa oleh
Musa dan bani Israil. Mereka dikuasai oleh keyakinan seperti itu sebab kepercayaan
takhyul dan agama leluhur mereka. sebab nya, mereka memilih untuk menderita oleh
bencana yang hebat. Namun, yang menimpa mereka tidaklah ter-batas sampai di sini. Ini
hanyalah permulaan. Selanjutnya, Allah me-ngirimkan kepada mereka serangkaian bencana
lain. Bencana-bencana ini disebutkan sebagai berikut dalam Al Quran: :
“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah
sebagai bukti yang jelas, namun mereka tetap menyom-bongkan diri dan mereka
yaitu kaum yang berdosa”. (QS. Al A’raaf, 7: 133) !
Bencana-bencana yang dikirimkan Allah terhadap Fir’aun dan orang-orang ingkar di
sekitarnya disebutkan pula dalam Perjanjian Lama seba-gaimana dalam Al Quran :
“Dan di seluruh tanah Mesir ada darah. (Keluaran, 7: 21)
Jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan menu-lahi seluruh
daerahmu dengan katak. Katak-katak akan mengeriap dalam Sungai Nil, lalu naik dan
masuk ke dalam istanamu dan ka-mar tidurmu, ya, dan sampai ke dalam tempat tidurmu, ke
dalam rumah pegawai-pegawaimu, dan rakyatmu, bahkan ke dalam pem-bakaran rotimu
serta ke dalam tempat adonanmu. (Keluaran, 8: 2-3)
Berfirmanlah Tuhan kepada Musa, “Katakanlah kepada Harun: Ulurkanlah
tongkatmu dan pukulkanlah itu ke debu tanah, maka debu itu akan menjadi nyamuk di
seluruh tanah Mesir.” (Keluaran, 8: 16)
Datanglah belalang meliputi seluruh tanah Mesir, dan hinggap di seluruh daerah
Mesir, sangat banyak; sebelum itu tidak pernah ada belalang yang demikian banyaknya dan
sesudah itu pun tidak akan terjadi lagi yang demikian. (Keluaran, 10: 14)
Lalu berkatalah para ahli itu kepada Fir'aun: “Inilah tangan Allah.” namun hati Fir'aun
berkeras, dan ia tidak mau mendengarkan mereka seperti yang telah difirmankan Tuhan.”
(Keluaran, 8: 19)
Bencana yang mengerikan terus menimpa Fir’aun dan para pembe-sarnya. Beberapa
dari bencana ini disebabkan oleh objek yang disembah oleh orang-orang musyrik ini.
Sebagai contoh, Sungai Nil dan katak mere-ka keramatkan dan pertuhankan. Saat mereka
mengharapkan petunjuk dan meminta pertolongan dari “tuhan-tuhan” mereka, Allah
menghu-kum mereka melalui “tuhan-tuhan” itu sendiri, sehingga mereka dapat melihat
kesalahan mereka dan menerima ganjaran atas kesesatan yang mereka lakukan.
Menurut para penafsir Perjanjian Lama, yang dimaksud dengan “da-rah” yaitu
perubahan Sungai Nil menjadi merah. Hal ini dijelaskan seba-gai suatu perumpamaan bagi
berubahnya Sungai Nil menjadi merah kental. Menurut sebuah penafsiran, yang
mengakibatkan warna merah yaitu sejenis bakteri.
Sungai Nil yaitu sumber kehidupan utama bagi bangsa Mesir. Keru-sakan apa pun
yang terjadi pada sumber ini dapat berarti kematian bagi seluruh Mesir. Jika bakteri telah
menutupi seluruh permukaan Sungai Nil sampai mengubahnya berwarna merah, setiap
mahkluk hidup yang menggunakan air ini akan terinfeksi oleh bakteri ini.
Penjelasan terbaru tentang penyebab merahnya warna air telah me-nunjuk protozoa,
zooplankton, ganggang (fitoplankton) air asin maupun tawar, dan dinoflagellata sebagai
kemungkinan besar. Semua jenis ini baik tumbuhan, jamur, ataupun protozoa mengisap
oksigen dari dalam air dan menghasilkan racun yang berbahaya baik bagi ikan maupun
katak.
Dengan mengutip peristiwa Eksodus dalam Kitab Injil, Patricia A Tester dari National
Marine Fisheries Service yang menulis dalam Annals of the New York Academy of Science
mencatat bahwa walau kurang dari 50 spesies, dari sekitar 5000 spesies fitoplankton yang
dikenal, yaitu be-racun, namun spesies beracun ini dapat membahayakan kehidupan
air. Dalam terbitan yang sama, Ewen C.D. Todd dari Health Canada, dengan merujuk data
sejarah dan prasejarah, mengutip hampir dua lusin contoh dari fitoplankton tertentu yang
menyebabkan berbagai wabah penyakit di seluruh penjuru dunia. W.W. Carmichael dan I.R.
Falconer mendaftar penyakit-penyakit yang berkaitan dengan ganggang biru-hijau yang
hidup di air tawar. Joann M. Burkholder, ahli Ekologi perairan dari North Carolina State
University menyebutkan bahwa sejenis dinoflagellata, Pfiesteria piscimorte (ditemukan di
perairan muara), seperti ditunjukkan namanya, dapat membunuh ikan .36
Di masa Fir’aun, rangkaian bencana seperti ini tampaknya terjadi. Menurut skenario
ini, saat Sungai Nil tercemar, maka ikan-ikan pun mati dan bangsa Mesir kehilangan salah
satu sumber nutrisinya yang sangat penting. Tanpa ikan pemangsa, maka katak-katak dapat
berkem-bang biak dengan sangat bebas di kolam-kolam dan di sungai Nil, sehing-ga
melimpahi sungai, kemudian menghindari lingkungan beracun dan membusuk dengan
berpindah ke daratan, hingga di sini mereka mati dan terurai bersama ikan-ikan. Sungai Nil
dan tanah yang berdekatan de-ngannya membusuk, dan airnya berbahaya untuk diminum
maupun digunakan untuk mandi. Terlebih lagi punahnya spesies katak menye-babkan
berbagai jenis serangga seperti caplak dan kutu ber-kembang biak secara besar-besaran.
Akhirnya, bagaimanapun terjadinya bencana ini dan apa pun dampak yang
diakibatkannya, baik Fir’aun maupun kaumnya tetap tidak berpaling kepada Allah dengan
penuh perhatian, mereka malah tetap bertahan dengan keangkuhannya.
Fir’aun dan para pembesarnya begitu hipokrit, sehingga mereka me-ngira bahwa
mereka dapat memperdayakan Musa dan juga, Allah. saat hukuman yang mengerikan
menimpa mereka, mereka segera memanggil Musa dan memintanya untuk menyelamatkan
mereka dari bencana ini :
“Dan saat ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata: Hai
Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu de-ngan (perantaraan) kenabian
yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan
azab itu daripada kami pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan
Bani Israil pergi bersamamu”. Maka sesudah Kami hilangkan azab itu dari mereka
hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka pun
mengingkarinya.” (QS. Al A’raaf, 7: 134-135) !
Keluar dari Mesir
Allah menerangkan kepada Fir’aun dan para pembesarnya melalui Musa apa yang
seharusnya mereka perhatikan, lalu memberi peringatan kepada mereka. Sebagai tanggapan,
mereka menolak dan menuduh Mu-sa kesurupan dan berdusta. Allah mempersiapkan akhir
yang menghina-kan bagi mereka. Ia mengungkapkan kepada Musa apa yang akan terjadi:
“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari
dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), kare-na sesungguhnya kamu
sekalian akan disusuli.” Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan
(tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil)
benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang me-
nimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar golong-an yang selalu
berjaga-jaga”. Maka Kami keluarkan Fir’aun dan ka-umnya dari taman-taman dan
mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah halnya
dan Kami anuge-rahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Fir’aun dan bala
tentaranya menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka sesudah kedua golongan
itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-
benar akan tersusul”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 52-61) !
Dalam keadaan di mana bani Israil merasa terjebak, dan orang-orang Fir’aun mengira
bahwa mereka akan segera menangkap bani Israil, Musa berkata, tanpa pernah kehilangan
kepercayaan akan pertolongan Allah:
“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia
akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62) !
Pada saat itu Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israel dengan membelah lautan.
Fir’aun dan orang-orangnya tenggelam di dalam air yang menutup di atas kepala mereka
sesudah bani Israil menyeberang dengan selamat.
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”.
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan ada-lah seperti gunung yang besar.
Dan di sanalah Kami dekatkan go-longan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan
orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain
itu Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang
besar (mukjizat) dan namun kebanyakan dari mere-ka tidak beriman. Dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63-68) !
Tongkat Musa memiliki mukjizat. Allah telah mengubahnya menjadi ular dalam
penyampaian wahyu yang pertama kepadanya, dan kemu-dian tongkat ini pula yang
berubah menjadi ular yang menelan ular-ular jadi-jadian dari ahli sihir Fir'aun. Sekarang,
Musa membelah lautan de-ngan tongkat yang sama. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan
kepada Nabi Musa.
Di Manakah Peristiwa itu Terjadi,
di Pantai Laut Tengah Mesir atau di Laut Merah?
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat Musa membelah la-utan. sebab tidak
ada perincian tentang hal ini di dalam Al Quran, kita tidak dapat meyakini ketepatan dari
pandangan mana pun terhadapnya. Beberapa sumber menunjukkan pantai Laut Tengah di
Mesir sebagai tempat lautan terbelah. Di dalam Ensiklopedia Judaica dikatakan:
Pendapat mayoritas dewasa ini mengidentifikasi Laut Merah dalam Eksodus sebagai
sebuah laguna di pantai Laut Tengah.37
David Ben Gurion menyatakan bahwa peristiwa ini kemung-kinan terjadi dalam
masa pemerintahan Ramses II, sesudah kekalahan di Kadesh. Dalam Kitab Keluaran pada
Perjanjian Lama, dikatakan bahwa kejadiannya yaitu di Migdol dan Baal-Zephon yang
terletak di sebelah utara delta. 38
Pandangan ini berdasarkan Perjanjian Lama. Dalam terjemahan Kitab Keluaran
dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa Fir’aun dan orang-orangnya ditenggelamkan di
Laut Merah. Namun menurut mereka yang berpegang pada pandangan ini, kata yang
diterjemahkan sebagai “Laut Merah (Red Sea)” sebenarnya yaitu “ Lautan Alang-Alang
(Sea of Reeds)”. Kata ini dikenal sebagai “Laut Merah” dalam berbagai sumber dan digu-
nakan untuk lokasi ini . Namun, “Lautan Alang-Alang” sebenarnya digunakan untuk
merujuk kepada pantai Laut Tengah di Mesir. Dalam Perjanjian Lama, saat menyebutkan
jalur yang diambil oleh Musa dan para pengikutnya, kata Migdol dan Baal-Zephon
disebutkan, dan tempat-tempat ini terletak di utara Delta Nil, di pantai Mesir. Sebagai
implikasi-nya, Lautan Alang-Alang mendukung kemung-kinan bahwa kejadian ini
terjadi di pantai Mesir, sebab di daerah ini, sesuai dengan namanya, banyak tumbuh alang-
alang berkat tanah lumpur delta.
Tenggelamnya Fir’aun dan Orang-orangnya di Lautan
Al Quran mewartakan kepada kita tentang aspek-aspek terpenting dari peristiwa
terbelahnya Laut Merah. Menurut penuturan Al Quran, Musa berangkat meninggalkan
Mesir bersama Bani Israil yang mema-tuhinya. Namun Fir’aun tidak dapat menerima
kepergian mereka yang tanpa seizinnya. Ia dan tentaranya mengikuti mereka “dalam amarah
dan dendam” (QS. Yunus, 10: 90). Begitu Musa dan Bani Israil mencapai pan-tai, Fir'aun
dan bala tentaranya telah menyusul mereka. Beberapa orang Bani Israil yang melihat ini
mulai mengeluh kepada Musa. Menurut Per-janjian Lama mereka berkata kepada Musa:
”Mengapa kamu membawa kami pergi dari negeri kami, di sana kami diperbudak namun
dapat hidup, sekarang kita akan mati”. Kelemahan komunitas ini juga disebutkan dalam Al
Quran dalam ayat berikut:
“Maka sesudah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut
Musa: ”Sesungguhnya kita benar-benar akan ter-susul.” (QS Asy-Syu’araa’, 26: 61) !
Kenyataannya, ini bukanlah pertama maupun terakhir kalinya Bani Israil
menunjukkan perilaku sedemikian yang menunjukkan ketidak-patuhan mereka. Kaum Musa
sebelumnya pernah mengeluh kepadanya dengan berkata:
“Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan
sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan
musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di muka bumi(Nya), maka Allah akan
melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf, 7: 129) !
Berlawanan dengan tingkah laku umatnya yang lemah, Musa sangat percaya diri,
sebab ketinggian imannya kepada Allah. Semenjak awal perjuangannya, Allah telah
memberitahu ia bahwa pertolongan dan du-kungan-Nya akan selalu bersama Musa:
“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua,
Aku mendengar dan melihat. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan
katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua yaitu utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah
Bani Israil bersama ka-mi dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya
kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari
Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.”
(QS. Thaahaa, 20: 46-47) !
saat pertama kali bertemu dengan tukang sihir Fir’aun, Musa “me-rasa takut dalam
hatinya” (QS. Thaahaa, 20: 67). sebab itu, Allah pun mewahyukan kepada Musa untuk
tidak takut; ”Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).”
(QS. Thaahaa, 20: 68). Dengan demikian, Musa dididik oleh Allah dan memperoleh kema-
tangan penuh terhadap jalan-Nya. Sehingga, saat sebagian kaumnya merasa takut akan
tertangkap, ia berkata: ”Sekali-kali tidak akan tersu-sul; sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62)
Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ia harus memukul lautan dengan
tongkatnya: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka, ter-belahlah lautan itu dan tiap-
tiap belahan yaitu seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63). Sebenarnya,
pada saat Fir’aun melihat mukjizat ini , seharusnya ia menyadari bahwa telah terjadi
suatu hal yang sangat luar biasa, dan bahwa ia sedang melihat campur tangan ilahiah. Laut
terbuka bagi orang-orang yang ingin dihancurkan Fir’aun. Lebih jauh lagi, tidak ada
jaminan bahwa lautan tidak akan menutup kembali sesudah mereka menyeberang. Namun, ia
dan bala tentaranya tetap mengejar Bani Israil ke dalam laut. Kemungkinan besar, Fir’aun
dan tentaranya telah kehilangan kemampuan untuk berpikir sehat sebab amarah dan
kedengkian mereka, dan tidak mampu memahami mukjizat dari keadaan ini .
Al Quran menggambarkan saat-saat terakhir Fir’aun sebagai berikut:
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka di-ikuti oleh
Fir'aun dan bala tentaranya, sebab hendak menganiaya dan menindas (mereka);
hingga bila Fir'aun itu telah hampir tengge-lam berkatalah ia: ”Saya percaya bahwa
tidak ada Tuhan melain-kan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus, 10: 90) !
Kita dapat melihat mukjizat lain Nabi Musa dalam ayat berikut:
“Musa berkata: ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah mem-beri kepada
Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam
kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari
jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta mereka dan kunci matilah hati
mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”.
Allah berfirman: ”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua,
sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu
mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yunus, 10: 88-89) !
Dapat dipahami dengan jelas dari ayat ini bahwa Musa diberi tahu sebagai jawaban
atas permintaannya bahwa Fir’aun akan percaya kepada Allah pada saat ia menghadapi azab
yang pedih. Fir’aun memang berkata bahwa ia beriman kepada Allah saat air mulai
menenggelamkannya. Namun, sangat jelas bahwa perilakunya tidak tulus dan palsu. Fir’aun
kemungkinan besar mengatakan ini untuk menyelamatkan diri dari kematian.
“Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuatan Kami.” (QS. Yunus, 10: 91-92) !
Kita juga diwartakan bahwa orang-orang Fir'aun, sebagaimana Fir’aun sendiri, juga
menerima bagian hukuman mereka. sebab bala tentara Fir’aun yaitu orang-orang yang
“angkara murka dan penuh kebencian” (QS. Yunus, 10: 91), “orang-orang yang berdosa”
(QS. Al Qashash, 28: 8), “berlaku salah” (QS. Al Qashash, 28: 40), dan “mengira bahwa
mereka tidak akan pernah kembali kepada Allah” (QS. Qashash, 28: 39) seperti halnya
Fir’aun, mereka pun patut menerima hukuman dari Allah. Maka Allah pun melemparkan
Fir'aun dan bala tentaranya ke dalam laut (QS. Al Qashash, 28: 40).
“Kemudian Allah menghukum mereka, dan menenggelamkan mereka di laut
sebab mereka mendustakan dan lalai akan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al A’raaf, 7: 136) !
Allah menyebutkan dalam Al Quran semua yang terjadi sesudah ke-matian Fir'aun :
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang ditindas itu, negeri-negeri bahagian
timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah
sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil
disebabkan kesabaran mereka, dan Kami hancurkan apa yang telah diperbuat
Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun oleh mereka.” (QS. Al A’raaf, 7:
137) !
Picture Text
Kepercayaan religius bangsa Mesir kebanyakan berdasarkan kepada pengabdian
terhadap tuhan-tuhan mereka. ”Perantara” antara tuhan-tuhan ini dengan manusia yaitu
para pendeta yang merupakan bagian dari para pemuka warga . sebab berurusan
dengan ilmu magis dan sihir, para pendeta menjadi kelas penting yang digunakan oleh para
fir’aun untuk menjaga kepatuhan rakyatnya.
Orang-orang yang di-perbudak oleh Fir'aun. Khususnya pada masa Kerajaan Baru,
kaum minoritas yang hidup di negara ini dipaksa bekerja dalam proyek konstruksi
yang sangat berat, termasuk di antaranya Bani Israel. Pada gambar atas, budak-budak yang
tampak sedang bekerja dalam pembangunan sebuah kuil kemungkinan besar yaitu Bani
Israil. Gambar bawah menunjukkan berbagai persiapan teknis para budak, yang juga
diperkirakan yaitu Bani Israil, sebelum bekerja di proyek pembangunan. Para budak
sedang membuat batu bata dengan membakar lumpur di dalam api dan mempersiapkan
adukan semen.
Ramses II, yang diperkirakan banyak ahli sejarah sebagai fir’aun yang disebutkan
dalam Al Quran, tampak sedang membunuh beberapa budak yang ia tangkap. Sebagaimana
juga diungkapkan lukisan dinding ini, para fir’un mencitrakan dan menggambarkan diri
mereka sebagai pejuang-pejuang yang perkasa. Mereka ditampilkan sebagai pahlawan-
pahlawan tinggi berbahu lebar yang mampu mengalahkan sejumlah orang sekaligus.
Atas: sebab menganggap diri mereka mahkluk suci, para fir’aun berupaya untuk
tampak lebih unggul dibanding orang-orang lain.
Kanan: Tawanan perang yang tertangkap oleh orang Mesir tampak sedang menunggu
pelaksanaan hukuman mati mereka.
Ramses II tampak dalam kereta perangnya menghalau sejumlah besar pasukan
musuh. Seperti juga yang lainnya, ini merupakan skenario khayalan yang digambar atas
perintah Fir'aun.
Perang Kadesh. Dalam pertempuran antara Ramses dan Hitties, dipalsukan dalam
sejarah bangsa Mesir sebagai kemenangan Fir'aun yang gilang gemilang. Padahal
kenyataannya Fir'aun diselamatkan dari kematian pada saat-saat terakhir dan ia dipaksa
untuk melakukan perdamaian.
"Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan
dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami". (QS. Yunus, 10: 92) !
BAB 7
KAUM SABA' DAN BANJIR ARIM
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasan Allah) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka
dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) yaitu negeri yang baik dan (Tuhanmu)
yaitu Tuhan Yang Maha Pengampun”. namun mereka berpaling, maka Kami
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun
mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 15-16) !
warga Saba’ yaitu satu di antara empat peradaban terbe-sar yang pernah hidup
di Arabia Selatan. Kaum ini diperkira-kan berkembang sekitar tahun 1000-750 SM dan
musnah sekitar tahun 550 M, sesudah serangan-serangan selama dua abad dari bangsa Persia
dan Arab.
Masa keberadaan peradaban Saba’ banyak diperbincangkan. Kaum Saba' mulai
mencatat laporan pemerintahannya sekitar 600 SM. sebab itulah tidak ada catatan
tentang mereka sebelum tahun ini .
Sumber tertua yang menyebutkan tentang kaum Saba’ yaitu catatan perang tahunan
yang berasal dari masa raja Asiria Sargon II (722-705 SM). Kala mencatat bangsa-bangsa
yang membayar pajak kepadanya, Sargon juga menyebutkan raja Saba’, Yith’i-amara
(It’amara). Catatan ini meru-pakan sumber tertulis tertua yang memberikan informasi
tentang per-adaban Saba’. Namun, tidak terlalu tepat untuk menarik kesimpulan bah-wa
kebudayaan Saba’ dibangun sekitar 700 SM hanya berdasarkan data ini, sebab sangat
mungkin kaum Saba’ telah ada lama sebelum tercatat dalam catatan tertulis. Artinya, sejarah
Saba’ mungkin lebih awal dari waktu di atas. Memang, dalam prasasti Arad-Nannar, salah
satu raja terakhir dari negara Ur, digunakan kata “Sabum” yang diperkirakan berarti “negeri
Saba’”.39 Jika kata ini benar-benar berarti Saba', maka ini berarti sejarah Saba’ mundur
sampai sejauh 2500 SM.
Sumber-sumber sejarah yang menceritakan tentang Saba’ biasanya menyebutkannya
sebagai sebuah kebudayaan, yang seperti bangsa Punisia, terutama bergerak dalam kegiatan
perdagangan. Begitu pula, kaum ini memiliki dan mengatur sejumlah jalur perdagangan
yang melintasi Arabia Selatan. Agar dapat membawa barang-barangnya ke Laut Tengah dan
Gaza, yang berarti melintasi Arabia Selatan, orang-orang Saba’ harus mendapatkan izin dari
Raja Sargon II, penguasa selu-ruh wilayah ini , atau membayar pajak dengan jumlah
tertentu kepa-danya. Begitu kaum Saba’ mulai membayar pajak kepada kerajaan Asiria,
nama mereka mulai tercatat dalam sejarah negeri ini.
Kaum Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam sejarah. Dalam
prasasti para penguasa Saba’ sering digunakan kata-kata seperti “memperbaiki”,
“mempersembahkan”, dan “membangun”. Ben-dungan Ma’rib, yang merupakan salah satu
monumen terpenting kaum ini, yaitu indikasi penting dari tingkatan teknologi yang telah
diraih oleh kaum ini. Namun, ini tidak berarti bahwa kekuatan militer Saba’ lemah; bala
tentara Saba’ yaitu salah satu faktor terpenting yang menyokong ketahanan kebudayaan
mereka dalam jangka waktu demikian lama tanpa keruntuhan.
Negara Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan ter-sebut. Negara
mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan ber-senjatanya. Negara Saba’ telah
menaklukkan wilayah-wilayah dari nega-ra Qataban Lama. Negara Saba’ memiliki banyak
tanah di benua Afrika. Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’
dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur Mesir untuk Kekaisaran
Romawi yang jelas-jelas merupakan negara terkuat pada ma-sa itu. Saba’ dapatlah
digambarkan sebagai sebuah negara yang menerap-kan kebijakan moderat, namun tidak
ragu-ragu menggunakan kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang
maju, negara Saba’ jelas merupakan salah satu “adi daya” di daerah ini kala itu.
Angkatan bersenjata Saba’ yang luar biasa kuat ini juga digambarkan di dalam Al
Quran. Sebuah ungkapan dari para komandan tentara Saba’ yang diceritakan dalam Al
Quran menunjukkan besarnya rasa percaya diri yang dimiliki oleh bala tentara ini. Para
komandan berkata kepada sang ratu:
”Kita yaitu orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memi-liki
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan ber-ada di tanganmu;
maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (QS. An-Naml, 27: 33) !
Ibu kota negara Saba’ yaitu Ma’rib yang sangat makmur berkat letak geografisnya
yang sangat menguntungkan. Ibu kota ini sangat dekat de-ngan Sungai Adhanah. Titik di
mana sungai mencapai Jabal Balaq sangat tepat untuk membangun sebuah bendungan.
Dengan memanfaatkan keadaan ini, kaum Saba’ membangun sebuah bendungan di sana,
saat peradaban mereka pertama kali berdiri, dan memulai sistem pengairan mereka.
Mereka benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota Ma’rib,
yaitu salah satu kota termaju saat itu. Penulis Yunani Pliny yang telah mengunjungi daerah
ini dan sangat memujinya, juga menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.40
Bendungan di Ma’rib tingginya 16 meter, lebarnya 60 meter dan pan-jangnya 620
meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini yaitu
9.600 hektar, dengan 5.300 hektar terma-suk dataran bagian selatan dan sisanya termasuk
dataran sebelah barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai “Ma’rib dan dua dataran“ dalam
prasasti Saba’.41 Ungkapan dalam Al Quran, “dua buah kebun di sisi kiri dan kanan“,
menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang menge-sankan di kedua lembah ini.
Berkat bendungan ini dan sistem pengairan-nya, daerah ini menjadi terkenal sebagai
kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman. J. Holevy dari Prancis
dan Glaser dari Austria membuktikan dari berbagai dokumen tertulis bahwa bendungan
Ma’rib telah ada sejak zaman kuno. Dalam dokumen-dokumen yang tertulis dalam dialek
Himer, disebutkan bahwa bendungan ini membuat kawasan ini sangat produktif.
Bendungan ini diperbaiki secara besar-besaran selama abad 5 dan 6 M. Namun
demikian, perbaikan-perbaikan ini tidak mampu mencegah bendungan ini dari keruntuhan
pada tahun 542 M. Runtuhnya ben-dungan ini mengakibatkan “banjir besar Arim”
yang disebutkan da-lam Al Quran serta mengakibatkan kerusakan hebat. Kebun-kebun
anggur, kebun-kebun, serta ladang-ladang pertanian kaum Saba'’yang telah mereka tanami
selama ratusan tahun hancur seluruhnya. Diketahui juga bahwa kaum Saba’ segera
mengalami masa resesi sesudah kehancur-an bendungan ini . Berakhirlah negara
Saba’pada ujung periode yang diawali oleh hancurnya bendungan ini .
Banjir Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’
saat kita kaji Al Quran dengan kelengkapan data sejarah di atas, maka kita akan
mengamati bahwa ada kesamaan yang sangat mendasar dalam hal ini. Keduanya, temuan
arkeologis dan data sejarah membenar-kan apa yang dicatat dalam Al Quran. Sebagaimana
disebutkan dalam ayat ini , kaum ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari nabi
mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihu-kum dengan banjir
yang mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al Quran dalam ayat-ayat sebagai berikut :
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka
dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) yaitu negeri yang baik dan (Tuhanmu)
yaitu Tuhan Yang Maha Pengampun”. namun mereka berpaling, maka Kami
datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun
mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
sebab ke-kafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS Saba’, 34: 15-17). !
Sebagaimana ditekankan dalam ayat-ayat diatas, kaum Saba’ yang hidup di suatu
daerah yang diberkahi dengan kebun-kebun dan kebun-kebun anggur yang subur dan luar
biasa indah. sebab terletak di jalur perdagangan, negeri Saba’ memiliki standar kehidupan
yang sangat tinggi dan menjadi salah satu kota yang disukai pada masa itu.
Di sebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sa-ngat bagus, yang
seharusnya dilakukan oleh Kaum Saba’ yaitu “Makan-lah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya” sebagaimana disebutkan
dalam ayat di atas. Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim
kemakmuran itu sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri itu yaitu milik mereka
sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa ini ada.
Mereka memilih untuk menjadi sombong bukan-nya bersyukur, dan dalam ungkapan ayat
ini , mereka “berpaling dari Allah”…
sebab mereka mengaku-aku bahwa semua kekayaan yaitu milik mereka, maka
mereka pun kehilangan semua yang mereka miliki.
Di dalam Al Quran, azab yang dikirimkan kepada kaum Saba’ dina-makan “Sail Al
Arim” yang berarti “banjir Arim”. Ungkapan yang di-gunakan dalam Al Quran ini juga
menceritakan kepada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan
atau rintangan. Ungkapan “Sail Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan
runtuhnya bendungan ini. Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat
kejadian dengan dipandu ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir Arim.
Maududi menulis dalam komentarnya:
Sebagaimana digunakan pula dalam ungkapan Sail Al Arim, kata “Arim” diturunkan
dari kata “arimen” yang digunakan dalam dialek Arab Selatan yang berarti “bendungan,
rintangan”. Dalam reruntuhan yang terungkap dalam penggalian yang dilakukan di Yaman,
kata ini tampaknya sering digunakan dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti
yang dipesan oleh Ebrehe (Abrahah), raja Yaman Habesh, sesudah perbaikan dinding Ma'rib
yang besar pada tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali digunakan untuk mengartikan
bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim berarti “sebuah ben-cana banjir yang terjadi sesudah
runtuhnya sebuah bendungan.”
“Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon)
yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16). Yakni,
sesudah runtuhnya dinding bendungan, seluruh negeri digenangi banjir. Saluran-saluran yang
telah digali oleh kaum Saba’ serta dinding yang telah didirikan dengan membangun
perintang di antara gunung-gunung ini runtuh, dan sistem pengairan pun hancur be-
rantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti kebun ini berubah menjadi hutan. Tidak
ada lagi buah yang tersisa kecuali buah seperti ceri dari pepohonan kecil bertunggul. 42
Werner Keller, seorang ahli arkeologi Kristen penulis artikel Und die Bible Hat Doch
Recht (Alkitab Terbukti Benar), setuju bahwa banjir Arim terjadi sebagaimana digambarkan
dalam Al Quran dan menulis bahwa keberadaan bendungan semacam itu dan kehancuran
seluruh negeri ka-rena keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al
Quran tentang kaum pemilik kebun-kebun ini yaitu benar adanya .43
sesudah bencana banjir Arim, daerah ini mulai berubah menjadi padang pasir
dan kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang terpenting dengan hilangnya
lahan pertanian mereka. Kaum terse-but, yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk
beriman dan ber-syukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini.
sesudah kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, kaum ini mulai terpecah-belah.
Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arab Selatan,
Makkah, dan Syria. 44
sebab banjir ini terjadi sesudah penyusunan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, peristiwa ini hanya disebutkan di dalam Al Quran.
Kota Ma'rib yang pernah dihuni oleh Kaum Saba’, namun sekarang hanyalah
reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan lagi merupakan peringatan bagi mereka yang
mengulangi kesalahan yang sama sebagai-mana kaum Saba’. Kaum Saba’ bukanlah satu-
satunya kaum yang di-hancurkan oleh banjir. Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan
kisah dua pemilik kebun. Salah satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan
menghasilkan seperti yang dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan kesalahan
serupa sebagaimana mereka: ber-paling dari Allah. Ia mengira anugerah yang dilimpahkan
kepadanya “dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua itu:
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki,
kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur
dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua
kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan
kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah
kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada
kawannya (yang mukmin) saat ia ber-cakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih
banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki
kebunnya se-dang dia zalim kepada dirinya sendiri; Ia berkata: ”Aku kira kebun ini
tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan
datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepa-da Tuhanku, pasti aku akan
mendapat kembali tempat yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya
(yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah
kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. namun
aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan
seorang pun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu
memasuki ke-bunmu “Masya Allah - tidak ada kekuatan kecuali dengan (perto-
longan) Allah?”. Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta
dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang
lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan
(petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) men-jadi tanah yang
licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat
menemukannya lagi”. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-
balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap biaya yang telah dibelan-
jakannya untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia
berkata: “Aduhai kiranya dahulu aku tidak mem-persekutukan seorang pun dengan
Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain
Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya
dari Allah Yang Hak. Dia yaitu sebaik-baik Pemberi Pahala dan sebaik-baik
Pemberi Balasan.” (QS. Al Kahfi, 18: 32-44). !
Sebagaimana dapat dipahami dari ayat-ayat ini, kesalahan yang di-lakukan oleh
pemilik kebun bukanlah mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak mengingkari keberadaan
Allah, sebaliknya ia mengira bahwa “meskipun jika dikembalikan kepada Tuhannya” ia
tentu akan menda-patkan balasan yang lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang diala-
minya, hanyalah disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses.
Sebenarnya, ini persis maknanya dengan mempersekutukan Allah: mencoba untuk
mengaku-aku atas segala sesuatu milik Allah dan hilang-nya rasa takut seseorang kepada
Allah sebab menganggap bahwa sese-orang memiliki keagungan tertentu dari dirinya
sendiri, dan Allah bagai-manapun akan “menunjukkan kemurahan” pada seseorang.
Inilah yang juga dilakukan oleh kaum Saba’, hukuman mereka yaitu sama - semua
daerah kekuasaannya hancur - sehingga mereka dapat memahami bahwa mereka bukanlah
“pemilik “ kekuatan namun kekuatan itu hanyalah “dikaruniakan” kepada mereka....
Picture Text
Prasasti yang tertulis dalam bahasa bangsa Saba'.
Dengan Bendungan Ma'rib yang telah mereka bangun dengan teknologi yang sangat
maju, kaum Saba' memiliki sistem pengairan berkapasitas besar. Lalu, tanah subur yang
mereka peroleh dan penguasaan mereka atas jalur perdagangan memungkinkan mereka
memiliki gaya hidup yang luar biasa dan mewah. Namun, mereka kemudian “berpaling”
dari Allah, padahal kepada-Nya mereka seharusnya bersyukur atas semua kemurahan itu.
sebab nya, bendungan mereka pun runtuh dan “banjir Arim” menghancurkan semua
pencapaian mereka.
Saat ini, bendungan kaum Saba' yang terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan.
Bendungan Ma'rib yang tampak sebagai reruntuhan di atas yaitu salah satu karya
terpenting dari kaum Saba'. Bendungan ini runtuh disebab kan banjir Arim yang disebutkan
dalam Al Quran dan semua daerah pertaniannya tergenang. sebab wilayahnya hancur
dengan runtuhnya bendungan, negara Saba' kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu
yang sangat singkat dan segera runtuh.
Al Quran menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba' dan kaumnya “menyembah
matahari selain menyembah Allah” sebelum ia mengikuti Sulaiman. Informasi dari berbagai
prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari
dan bulan dalam kuil-kuil mereka, salah satunya tampak pada gambar di atas. Dalam pilar-
pilar, ada prasasti yang tertulis dalam bahasa Saba'.
BAB 8
NABI SULAIMAN DAN RATU SABA'
“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat
lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua
betisnya”. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia yaitu istana licin terbuat dari
kaca.” Berkatalah Balqis: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim
terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 44) !
Catatan sejarah mengenai pertemuan antara Sulaiman dengan Ratu Saba’ menjadi
jelas dengan penelitian yang dilakukan nege-ri tua Saba’ di Yaman Selatan. Penelitian yang
dilakukan ter-hadap reruntuhan mengungkapkan bahwa seorang “ratu” pernah hidup di
kawasan ini antara tahun 1000-950 SM dan melakukan perjalanan ke utara (ke Yerusalem).
Rincian tentang apa yang terjadi antara dua penguasa ini, kekuatan ekonomi dan
politik negara mereka, pemerintahan mereka dan rincian lainnya, semua diterangkan dalam
Surat An-Naml. Kisah ini, yang me-liputi sebagian besar Surat An-Naml, memulai
rujukannya tentang Ratu Saba’ dengan berita yang dibawa kepada Sulaiman oleh burung
Hud-Hud, salah satu anggota tentaranya:
“Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-Hud), lalu ia berkata: ”Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang meme-rintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar.
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan
syaitan telah menjadikan mereka memandang indah per-buatan-perbuatan mereka,
lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat
petunjuk, agar mereka ti-dak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang
terpendam di la-ngit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan
Yang mempunyai ‘Ársy yang besar.” Berkata Sulaiman: ”Akan kami lihat, apa kamu
benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Naml, 27: 22-27)
!
sesudah menerima berita ini dari burung Hud-Hud, Sulaiman pun memberikan
perintah sebagai berikut :
“Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka
kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.”
(QS. An- Naml, 27: 28) !
sesudah ini, Al Quran menceritakan kejadian yang berkembang sete-lah Ratu Saba'
menerima surat ini :
“Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan
kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman dan
sesungguhnya (isinya): “Dengan menyebut na-ma Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Bahwa ja-nganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan
datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”
Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam
urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu per-soalan sebelum kamu
berada dalam majelis(ku).”
Mereka menjawab: “Kita yaitu orang-orang yang memiliki keku-atan dan
(juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperang-an), dan keputusan berada
di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”
Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu nege-ri, niscaya
mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan
demikian pulalah apa yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan
mengirimkan utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah dan (aku akan)
menunggu apa yang dibawa kembali oleh utusan-utusanku itu.”
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman pun berkata:
“Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan oleh
Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; namun kamu
merasa bangga dengan hadiahmu.
Kembalilah kepada mereka, dan sungguh kami akan mendatangi me-reka
dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan
mengusir mereka dari negeri itu (Saba') dengan ter-hina dan mereka menjadi
(tawanan-tawanan) yang hina dina”.
Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara ka-mu
sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku seba-gai orang-orang yang
berserah diri”. Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: ”Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singga-sana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat duduk-mu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi
dapat dipercaya”.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: ”Aku akan membawa
singgasana itu kepa-damu sebelum matamu berke-dip”. Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana ini ter-letak di hadapannya, ia pun ber-kata: “Ini termasuk
karunia Tu-hanku untuk mencoba aku apa-kah aku bersyukur atau meng-ingkari
(akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyu-kur, sesungguhnya dia bersyu-kur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tu-hanku Mahakaya lagi Maha-mulia.”
Dia berkata: “Ubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah
dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenali-(nya)”.
Dan saat Balqis datang, di-tanyakanlah kepadanya: “Seru-pa inikah
singgasana-mu?” Dia menjawab: “Seakan-akan sing-gasana ini singgasanaku, kami
telah diberi pengetahuan sebe-lumnya dan kami yaitu orang-orang yang berserah
diri.”
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk
melahirkan keislamannya), sebab sesungguhnya ia dahulu-nya termasuk orang-
orang yang kafir. Dikatakanlah kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka
tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan
disingkapkannya kedua be-tisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia yaitu
istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: “Ya, Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersa-ma Sulaiman kepada
Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 29-44) !
Istana Sulaiman
Dalam surat dan ayat yang merujuk tentang ratu Saba’, Nabi Sulaiman juga
disebutkan. Tatkala diceritakan dalam Al Quran bahwa Sulaiman mempunyai kerajaan serta
istana yang mengagumkan, banyak perincian lain juga diberikan.
Berdasarkan ini, Sulaiman memiliki teknologi yang paling maju di masanya. Di
istananya ada berbagai karya seni yang menakjubkan dan benda-benda berharga, yang
memesona semua yang melihatnya. Jalan masuk istana terbuat dari kaca. Al Quran
menggambarkan istana ini dan pengaruhnya terhadap ratu Saba’ dalam ayat berikut :
“Dikatakanlah kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tat-kala dia
melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua
betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Se-sungguhnya ia yaitu istana licin terbu-at dari
kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbu-at zalim
terhadap diriku dan aku berse-rah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 44) !
Istana Nabi Sulaiman disebut “Haikal Sulaiman” dalam literatur Ya-hudi. Saat ini,
hanya “Tembok Barat” dari apa yang disebut haikal atau istana yang masih berdiri, dan ini
pula tempat yang dinamakan “Tembok Ratapan” oleh orang Yahudi. Penyebab istana ini
dihancurkan, sebagai-mana juga banyak tempat lain di Jerusalem, yaitu perilaku jahat
serta sombong dari bangsa Yahudi. Al Quran menjelaskan kepada kita sebagai berikut :
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Se-
sungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti
kamu akan menyombongkan diri dengan kesom-bongan yang besar”. Maka apabila
datang saat hukuman bagi (keja-hatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami
datangkan kepada-mu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar,
lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti
terlaksana.
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mere-ka
kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami
jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu
bagi dirimu sendi-ri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua,
(Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-mu-ka kamu dan
mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada
kali pertama dan untuk membinasa-kan sehabis-habisnya apa saja yang mereka
kuasai.” (QS. Al Israa’, 17: 4-7) !
Seluruh kaum yang disebutkan dalam bab-bab terdahulu patut mene-rima hukuman
sebab keingkaran dan ketakbersyukuran mereka atas karunia Allah, sehingga mereka pun
ditimpa bencana. sesudah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa negara dan
wilayah, dan akhirnya menemukan tempat tinggal di tanah suci pada masa Sulaiman,
bangsa Yahudi sekali lagi dihancurkan sebab perilaku mereka yang di luar batas, dan
sebab tindakan mereka yang merusak dan membang-kang. Yahudi modern yang telah
menetap di daerah yang sama dengan daerah di masa lalu, kembali menyebabkan kerusakan
dan ”berbesar hati dengan kesombongan yang luar biasa” sebagaimana mereka lakukan
sebelum peringatan yang pertama.
Picture Text
Ratu Saba' sangat terkesan saat ia melihat istana Sulaiman dan ia berserah diri
kepada Allah bersama Sulaiman.
Sebuah peta yang menunjukkan jalur perjalanan ratu Saba'.
Bawah: Miniatur Haikal Sulaiman. sesudah Haikal Sulaiman dihancurkan, satu-
satunya dinding kuil yang tersisa diubah menjadi “Tembok Ratapan” oleh bangsa Yahudi.
sesudah penaklukan Yerusalem selama abad ke-7, kaum Muslim membangun Masjid Umar
(Masjid Al-Aqsha) dan Kubah Batu (Dome of the Rock) di tempat kuil ini dahulunya
berada.
Pada gambar di sebelah kiri tampak Kubah Batu.
Haikal Sulaiman memiliki teknologi yang paling maju saat itu dan pemahaman
estetika yang unggul. Pada gambar di atas ditunjukkan pusat kota Jerusalem selama masa
pemerintahan Nabi Sulaiman.
1) Pintu barat daya,
2) Istana ratu,
3) Istana Sulaiman,
4) Gerbang masuk dengan 32 pilar,
5) Gedung pengadilan,
6) Hutan Libanon,
7) Kediaman pendeta tingkat tinggi,
8) Pintu masuk ke kuil,
9) Alun-alun kuil,
10) Haikal Sulaiman.
BAB 9
PARA PENGHUNI GOA
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang
mempunyai) prasasti itu, mereka, termasuk tanda-tanda Kami yang mengherankan.”
(QS. Al Kahfi, 18: 9) !
Surat ke-18 Al Quran yang dinamakan “Al Kahfi” yang berarti “gua”, menceritakan
tentang sekelompok pemuda yang berlin-dung di sebuah gua untuk bersembunyi dari
penguasa yang meng-ingkari Allah dan melakukan penindasan dan ketidakadilan atas
mereka yang beriman. Ayat-ayat yang menerangkan tentang hal ini yaitu sebagai berikut :
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai)
prasasti itu, mereka termasuk tanda-tanda Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: “Wahai
Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurna-kanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, ke-mudian Kami
bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang
lebih tepat dalam menghitung bera-pa lamanya mereka tinggal (di dalam gua itu). Kami
menceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesung-guhnya
mereka itu yaitu pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu
mereka berdiri lalu mereka berkata: “Tuhan kami yaitu Tuhan langit dan bumi; kami
sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesung-guhnya kami kalau demikian telah
mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. Kaum kami ini telah menjadikan
selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemuka-kan
alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim daripada
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan apabila kamu
meninggalkan mere-ka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat
berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya
kepadamu dan menyediakan sesuatu yang ber-guna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu
akan melihat matahari saat terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila
matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang me-reka dalam tempat yang
luas dalam gua itu. Itu yaitu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa
yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya.
Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-
balikkan mereka ke kanan dan kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya
di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari
mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan
terhadap mereka.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling berta-nya di antara
mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu
berada (di sini)?”. Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”.
Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di
sini). Maka suruhlah salah satu orang di antara ka-mu pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah
dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan hal-mu kepada seorang pun.
Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya me-reka akan
melempar kamu dengan batu atau memaksamu kembali kepada agama mereka dan jika
demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”
Dan demikianlah (Kami) mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia
itu mengetahui bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. saat orang-
orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah ba-
ngunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-
orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan
sebuah rumah peribadatan di atasnya”. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah
mere-ka) yaitu tiga orang, yang keempat yaitu anjingnya, dan (yang lain) mengatakan:
“(Jumlah mereka) yaitu lima orang, yang ke-enam yaitu anjingnya,” sebagai terkaan
terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang,
yang kedelapan yaitu anjingnya.” Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka;
tidak ada orang yang mengetahui (bi-langan) mereka kecuali sedikit”. sebab itu janganlah
kamu (Mu-hammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan
jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemu-da itu) kepada seorang pun di
antara mereka.
Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu; “Se-sungguhnya aku
akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah.” Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku memberiku
petun-juk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. Dan mere-ka tinggal di
dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Katakanlah: ”Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka ting-gal (di gua);
kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan bumi. Alangkah terang
penglihatan-Nya dan alangkah tajam pen-dengaran-Nya; tak ada seorang pelindung
pun bagi mereka selain daripada-Nya, dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi
seku-tu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi, 18: 9-26) !
Menurut kepercayaan yang umum, para Penghuni Gua yang dipuji baik oleh sumber
Islam maupun Nasrani, yaitu korban dari tirani yang kejam dari Decius, kaisar Romawi.
sebab menghadapi penindasan dan kesewenang-wenangan Decius, para pemuda ini
memperingatkan kaum-nya berulang kali untuk tidak meninggalkan agama Allah.
Ketidakacuh-an kaum mereka terhadap penyampaian risalah ini , meningkatnya
penindasan kaisar, dan ancaman pembunuhan terhadap mereka, mem-buat mereka
meninggalkan tempat tinggal mereka.
Sebagaimana dibenarkan dokumen-dokumen sejarah, pada saat itu, banyak kaisar
yang melaksanakan kebijakan teror, penindasan dan kese-wenang-wenangan secara meluas
terhadap mereka yang memegang agama Nasrani yang awal dalam bentuknya yang asli dan
murni.
Dalam sebuah surat yang ditulis oleh Gubernur Romawi Pilinius (69-113 M) yang
berada di Barat Laut Anatolia kepada Kaisar Trayanus, ia merujuk sekelompok Messiah
(Nasrani) yang dihukum sebab menolak menyembah patung kaisar. Surat ini yaitu salah
satu dokumen terpen-ting yang menyebutkan penindasan yang menimpa orang-orang
Nasrani pada masa awalnya. Dalam situasi demikian, para pemuda ini, yang diperintahkan
untuk tunduk kepada sistem yang non-agamis dan untuk menyembah kaisar sebagai tuhan
selain Allah, tidak menerima ini dan berkata:
“Tuhan kami yaitu Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru
Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan
yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai
tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang
terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim daripada orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al Kahfi, 18: 14-15) !
Sehubungan dengan daerah tempat tinggal Para Penghuni Gua, ter-dapat beberapa
pandangan yang berbeda. Di antaranya yang paling bisa diterima akal yaitu daerah
Ephesus dan Tarsus.
Hampir semua sumber Nasrani menunjuk Ephesus sebagai lokasi dari Gua tempat
para pemuda beriman ini berlindung. Beberapa peneliti Muslim dan pengamat Al Quran
bersepakat dengan kaum Nasrani ten-tang Ephesus. Beberapa lainnya, menerangkan dengan
terperinci bahwa tempat itu bukanlah Ephesus, dan kemudian berusaha untuk membukti-
kan bahwa kejadiannya yaitu di Tarsus. Dalam penelitian ini, kedua alternatif ini akan
dibahas. Walau begitu, semua peneliti dan pengamat, termasuk kalangan Kristen
mengatakan bahwa kejadian ini berlang-sung pada masa Kaisar Romawi Decius
(disebut juga sebagai Decianus) sekitar tahun 250 M.
Decius, bersama dengan Nero, dikenal sebagai kaisar Romawi yang menyiksa kaum
Nasrani dengan amat kejam. Dalam masa pemerintahan-nya yang singkat, ia mensahkan
suatu hukum yang memaksa semua orang di bawah kekuasaannya untuk melakukan
persembahan terhadap dewa-dewa Romawi. Setiap orang diwajibkan untuk melakukan
persem-bahan ini dan lebih jauh lagi, mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa
mereka telah melakukannya, yang harus mereka tunjukkan kepa-da petugas pemerintahan.
Mereka yang tidak patuh akan dihukum mati. Dalam sumber-sumber Nasrani, dituliskan
bahwa sebagian besar kaum Nasrani menolak tindakan musyrik ini dan melarikan diri dari
“satu kota ke kota lain”, atau bersembunyi di perlindungan rahasia. Para Penghuni Gua
kemungkinan besar yaitu salah satu kelompok di antara kaum Nasrani awal ini.
Sementara itu, ada satu poin yang harus ditekankan di sini: Topik ini telah diceritakan
dalam bentuk cerita oleh sejumlah ahli sejarah dan peng-amat Islam dan Kristen, dan
berubah menjadi legenda akibat penambah-an banyak kepalsuan dan kabar burung. Namun
demikian, kejadian ini yaitu suatu kenyataan sejarah.
Apakah Para Penghuni Gua Ada di Ephesus?
Bersangkutan dengan kota tempat tinggal para pemuda ini dan gua tempat mereka
berlindung, beberapa tempat ditunjukkan dalam berbagai sumber yang berbeda. Alasan
utama untuk ini yaitu : orang-orang ingin mempercayai bahwa orang-orang yang berani
dan teguh hati seperti itu hidup di kotanya, dan sangat miripnya gua-gua di daerah ini .
Seba-gai contoh, hampir di semua tempat ini ada tempat peribadatan yang katanya
dibangun di atas gua.
Sebagaimana dikenal luas, Ephesus dianggap sebagai sebuah tempat suci bagi orang
Nasrani, sebab di kota ini ada sebuah rumah yang katanya dimiliki Perawan Maria
dan kemudian berubah menjadi sebuah gereja. Jadi sangatlah mungkin bahwa para
Penghuni Gua pernah hidup di salah satu di antara tempat-tempat suci ini . Bahkan,
beberapa sumber Nasrani menyatakan kepastiannya bahwa itulah tempatnya.
Sumber tertua tentang hal ini yaitu pendeta Syria bernama James dari Saruc (lahir
452 M). Ahli sejarah terkemuka, Gibbon, banyak mengutip dari penelitian James dalam
artikel nya yang berjudul The Decline and Fall of the Roman Empire (Kemunduran dan
Keruntuhan Kekaisaran Romawi). Menurut artikel ini, nama kaisar yang menyiksa ketujuh
pemu-da Nasrani yang beriman ini dan memaksa mereka bersembunyi di dalam gua,
yaitu Decius. Decius memerintah Kekaisaran Romawi antara tahun 249-251 M dan masa
kekuasaannya dikenal luas dengan penyiksaan yang ia lakukan terhadap para pengikut Isa
(Jesus). Menurut para pengamat Islam, daerah tempat terjadinya peristiwa itu yaitu
“Aphesus” atau “Aphesos”. Menurut Gibbon, nama tempat ini yaitu Ephesus. Terletak di
pantai Barat Anatolia, kota ini merupakan salah satu pelabuhan dan kota terbesar dari
kekaisaran Romawi. Saat ini, reruntuh-an kota ini dikenal sebagai “Kota Antik Ephesus”.
Nama kaisar yang memerintah di masa para Penghuni Gua terba-ngun dari tidur
mereka yang panjang yaitu Tezusius menurut para peneliti Muslim, dan Theodosius II
menurut Gibbons. Kaisar ini meme-rintah antara tahun 408-450 M, sesudah kekaisaran
Romawi berubah memeluk agama Nasrani.
Dengan merujuk kepada ayat di bawah ini, dalam beberapa tempat disebutkan bahwa
pintu masuk gua menghadap ke utara, sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Dengan
demikian, orang yang melewati gua tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada di
dalamnya. Ayat Al Quran yang berkaitan dengan hal ini mengatakan :
“Dan kamu akan melihat matahari saat terbit condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri
sedang mereka dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu yaitu sebagian dari tanda-
tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah
yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak
akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya.” (QS. Al Kahfi, 18: 17) !
Ahli Arkeologi Dr. Musa Baran menunjuk Ephesus sebagai tempat kelompok pemuda
beriman ini hidup, dalam artikel nya yang berjudul “Ephesus”, ia menambahkan:
Di tahun 250 SM, tujuh orang pemuda yang hidup di Ephesus memilih untuk
memeluk Nasrani dan menolak keberhalaan. Saat mencoba untuk mencari jalan keluar, para
pemuda ini menemukan sebuah gua di lereng timur Gunung Pion. Tentara Romawi melihat
ini dan membangun dinding di pintu gua ini . 45
Saat ini, diketahui bahwa di atas reruntuhan tua dan kuburan ini ba-nyak didirikan
bangunan religius. Penggalian yang dilakukan oleh Instit-ut Arkeologi Austria pada tahun
1926 mengungkapkan bahwa reruntuh-an yang ditemukan di lereng timur Gunung Pion
berasal dari bangunan yang didirikan atas nama para Penghuni Gua di pertengahan abad ke-
7 (selama pemerintahan Theodosius II). 46
Apakah Para Penghuni Gua Ada di Tarsus ?
Tempat kedua yang diajukan sebagai tempat Penghuni Gua pernah hidup yaitu
Tarsus. Memang, ada sebuah gua yang mirip dengan gua yang disebutkan dalam Al
Quran, yang terletak di sebuah gunung yang dikenal sebagai Encilus atau Bencilus, di Barat
Laut Tarsus.
Gagasan bahwa Tarsus yaitu tempat yang tepat yaitu pandangan dari banyak
ilmuwan Islam. Salah seorang ahli tafsir Al Quran terkemu-ka, Ath-Thabari menetapkan
bahwa nama gunung tempat gua ini berada yaitu “Bencilus” dalam kitabnya yang
berjudul “Tarikh Al Umam, dan menambahkan bahwa gunung ini terletak di Tarsus.47
Juga, ahli Tafsir Al Quran lain bernama Muhammad Amin menyata-kan bahwa nama
gunung ini yaitu “Pencilus” dan berada di Tarsus. Nama yang diucapkan sebagai
“Pencilus” kadangkala diucapkan sebagai “Encilus”. Menurutnya, perbedaan antar kata-kata
itu disebab-kan perbedaan pengucapan huruf “B” atau oleh hilangnya huruf dari kata
aslinya, yang disebut dengan “abrasi kata-kata historis”.48
Fakhruddin Ar-Razi seorang ulama Al Quran terkenal lainnya, men-jelaskan dalam
karyanya bahwa “meskipun tempat ini disebut Ephesus, tujuan dasarnya di sini yaitu
untuk mengatakan Tarsus, sebab Ephesus hanyalah nama lain dari Tarsus”. 49
Sebagai tambahan, dalam Tafsir Qadi Al Baidhawi dan An-Nasafi, dalam Tafsir Al
Jalalain dan At-Tibyan, dalam komentar dari Elmali dan O. Nasuhi Bilman, dan banyak
ulama lainnya, tempat ini ditunjuk sebagai “Tarsus”. Di samping itu, semua ahli tafsir ini
menerangkan bahwa kalimat dalam ayat 17, “matahari saat terbit condong dari gua
mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri”
dengan mengatakan bahwa mulut gua di pegunungan menghadap ke utara. 50
Tempat tinggal Para Penghuni Gua juga menjadi pokok perhatian pa-da masa
kekaisaran Turki Utsmani dan sejumlah penelitian dilakukan terhadap hal ini. ada
beberapa korespondensi dan pertukaran infor-masi tentang hal ini dalam arsip kementerian
Utsmani. Sebagai contoh, dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Penguasa
Perbendaharaan Negara Turki oleh pemerintahan lokal Tarsus, ada sebuah permintaan resmi
dan lampiran yang menyebutkan permintaan mereka untuk mem-beri gaji kepada orang-
orang yang berurusan dengan pembersihan dan pemeliharaan gua Ashabul Kahfi (Para
Penghuni Gua). Jawaban terhadap surat ini menyatakan bahwa agar gaji para pekerja itu
bisa diambil dari perbendaharaan negara, perlu diselidiki apakah gua ini benar-benar tem-
pat Para Penghuni Gua pernah berada. Penelitian yang dilakukan untuk tujuan ini sangat
berguna dalam penentuan letak sebenarnya dari gua ini .
Dalam laporan yang dipersiapkan sesudah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh
Dewan Nasional, dinyatakan: “Di sebelah utara Tarsus, sebuah propinsi Adana, ada
sebuah gua di sebuah gunung yang dua jam jauhnya dari Tarsus, dan mulut gua ini
menghadap ke utara sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran.”51
Perdebatan yang berkembang tentang siapa para Penghuni Gua, di mana dan kapan
mereka hidup, selalu mengarahkan pihak berwenang untuk mengadakan penelitian terhadap
hal ini dan banyak komentar di-buat tentang hal ini. Namun belum satu pun komentar-
komentar ini da-pat dipertimbangkan pasti, sehingga pertanyaan seperti: Pada periode mana
para pemuda yang beriman ini hidup dan di mana gua yang dise-butkan dalam ayat-ayat
ini , tetap ada tanpa jawaban yang menda-sar.
Picture Text
Bagian dalam dari gua di Ephesus yang dianggap sebagai gua yang ditempati Para
Penghuni Gua.
Gua di Ephesus tampak dari luar.
Gua di Tarsus yang diduga ditempati Para Penghuni Gua.
KESIMPULAN
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan
memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum
mereka? Orang-orang itu yaitu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah
bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada mereka,
akan namun merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30:
9).!
Semua kaum yang telah kita pelajari sampai sekarang, mempunyai beberapa sifat
umum seperti: melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah, menyekutukan-Nya,
berlaku sombong di muka bumi, dengan sewenang-wenang menguasai hak milik orang lain,
cende-rung terhadap perilaku seksual yang menyimpang, dan angkara murka. Sifat umum
lainnya yaitu penindasan dan kesewenangan mereka ter-hadap kaum Muslim di sekitar
mereka. Mereka mencoba segala cara un-tuk mengintimidasi kaum Muslim.
Tujuan dari peringatan-peringatan Al Quran tentu saja tidak hanya untuk memberikan
berbagai pelajaran sejarah. Al Quran menyatakan bahwa kisah-kisah para nabi diceritakan
hanya untuk memberikan sebu-ah “permisalan”. Para nabi yang telah terlebih dahulu tiada
hendaklah membawa mereka yang datang kemudian ke jalan yang benar :
“Maka tidaklah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) be-rapa
banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka
berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang
demikian itu ada tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Thaahaa, 20: 128) !
Jika kita menganggap semua ini sebagai “contoh-contoh”, maka kita dapat melihat
bahwa sebagian dari warga kita tidaklah lebih baik, dalam hal kemerosotan moral dan
pelanggaran, daripada kaum-kaum yang telah dibinasakan dan disebutkan dalam kisah-
kisah ini.
Sebagai contoh, sebagian besar warga saat ini menyimpan ba-nyak pelaku
sodomi dan homoseksual, yang mengingatkan kita kepada “kaum Luth”. Para homoseksual,
yang melakukan pesta seks dengan “pa-ra pemuka warga ”, memperlihatkan segala
macam penyimpangan seksual yang melebihi rekan-rekan mereka di Sodom dan Gomorrah.
Khususnya, ada sekelompok mereka yang hidup di kota-kota terbesar di dunia, yang telah
“melangkah lebih lanjut” daripada mereka yang ada di Pompeii.
Semua kaum yang telah kita pelajari sebelumnya telah dibinasakan melalui berbagai
bencana alam seperti gempa bumi, badai, banjir, dan sebagainya. Sama halnya, kaum-kaum
yang sesat dan berani melakukan tindakan pelanggaran seperti kaum-kaum terdahulu juga
akan dihukum dengan cara yang sama.
Seharusnya tidak kita lupakan bahwa Allah mungkin menghukum orang atau bangsa
mana pun yang dikehendaki-Nya kapan pun Ia berke-hendak. Atau, Ia mungkin
membiarkan siapa pun yang Ia ingini menja-lani kehidupan biasa di dunia ini, dan
menghukumnya di akhirat nanti. Al Quran menyatakan:
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di
antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara
mereka ada yang ditimpa dengan suara yang keras yang mengguntur, dan di antara
mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang
Kami teng-gelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan
namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 40) !
Al Quran juga menceritakan tentang seorang yang beriman yang ber-asal dari
keluarga Fir'aun dan hidup di masa Nabi Musa, namun me-nyembunyikan keimanannya. Ia
berkata kepada kaumnya:
“Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (ben-cana)
seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu. (Yakni) seperti keadaan kaum
Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang yang da-tang sesudah mereka. Dan Allah tidak
menghendaki berbuat keza-liman terhadap hamba-hamba-Nya.
Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan siksaan hari
panggil-memanggil. (Yaitu) hari saat kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada
bagimu yang menyelamatkan kamu dari (azab) Allah , dan siapa yang disesatkan
Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.” (QS. Al
Mu'min, 40: 30-33) !
Semua nabi dan rasul memperingatkan kaumnya, menunjukkan ke-pada mereka
tentang Hari Pembalasan dan mencoba membuat mereka takut akan azab dari Allah,
sebagaimana yang dilakukan pengikut yang menyembunyikan keimanannya ini. Kehidupan
dari semua nabi dan pembawa risalah dihabiskan untuk menerangkan hal-hal ini kepada ka-
um mereka berulang kali. Namun lebih sering, kaum mereka sendiri menuduh mereka
berdusta, berupaya mencari keuntungan materi, atau mencoba untuk menunjukkan
keunggulan atas mereka, lalu mereka pun terus menerapkan sistem mereka sendiri tanpa
memikirkan perkataan pa-ra nabi ataupun mempertanyakan perbuatan mereka. Segolongan
mereka telah bertindak lebih jauh dan mencoba untuk membunuh atau mengusir orang-
orang yang beriman. Sering kali jumlah orang-orang mukmin yang patuh dan menurut
sangat sedikit. Walau begitu, dalam kasus-kasus warga yang ingkar, Allah senantiasa
menyelamatkan para nabi dan pengikutnya saja.
Meskipun telah berlalu ribuan tahun, dan terjadi berbagai perubahan tempat, perilaku,
teknologi, dan peradaban, namun tidak banyak yang berubah dalam struktur sosial dan
sistem dari orang-orang tidak beriman yang telah disebutkan tadi. Sebagaimana telah
ditekankan di atas, sego-longan tertentu dari warga di mana kita hidup memiliki semua
sifat buruk dari kaum-kaum yang digambarkan dalam Al Quran. Seperti halnya kaum
Tsamud yang mengurangi timbangan, saat ini juga ada banyak pemalsu dan penipu.
ada pula “komunitas homoseksual” yang dibela kapan saja perbuatan itu muncul, dan
para anggotanya yang tidak kurang dari kaum Luth, di mana penyimpangan seksual telah
men-capai puncaknya. Segolongan besar dari warga terdiri dari orang-orang yang
tidak bersyukur dan ingkar, sebagaimana kaum Saba', yang tidak bersyukur atas kekayaan
yang dianugerahkan kepada mereka sebagaimana kaum Iram, yang tidak patuh dan penuh
penghinaan ter-hadap orang mukmin sebagaimana kaum Nuh, dan yang tidak acuh terhadap
keadilan sosial sebagaimana kaum ‘Ad.
Semua ini yaitu tanda-tanda yang sangat jelas....
Kita hendaknya selalu mencamkan dalam pikiran bahwa apa pun perbedaan dalam
berbagai warga , pada tingkat perkembangan tek-nologi mana pun mereka, atau apa
pun potensi mereka, hal ini tidak ada artinya sama sekali. Tidak satu pun dari hal-hal ini
dapat menyelamatkan seseorang dari hukuman dan azab Allah. Al Quran mengingatkan kita
atas kenyataan ini:
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan
memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum
mereka? Orang-orang itu yaitu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah
bumi (tanah) serta memak-murkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan memba-wa
bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada mereka,
akan namun merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30:
9) !
"Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
(QS. Al Baqarah, 2: 32) !