kepadamu binatang-binatang ternak dan anak-
anak,
dan kebun-kebun dan mata air,
sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.”
Mereka menjawab: ”yaitu sama saja bagi kami, apakah kamu memberi
nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat
kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak akan diazab”.
Maka mereka mendustakan Hud, lalu Kami binasakan mereka. Se-sungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah), namun
kebanyakan mereka tidak beriman.
Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 123-140) !
Kaum yang menunjukkan permusuhan kepada Hud dan melawan Allah itu benar-
benar dibinasakan. Badai pasir yang mengerikan membi-nasakan kaum ‘Ad seakan-akan
mereka “tidak pernah ada”.
Temuan Arkeologis di Kota Iram
Pada awal tahun 1990 muncul keterangan pers dalam beberapa surat kabar terkemuka
di dunia yang menyatakan “Kota Legenda Arabia yang Hilang Telah Ditemukan”, “Kota
Legenda Arabia Ditemukan”, “Ubar, Atlantis di Padang Pasir.” Yang membuat temuan
arkeologis ini lebih menarik yaitu kenyataan bahwa kota ini juga disebut dalam Al Quran.
Banyak orang, yang sejak dahulu beranggapan bahwa kaum ‘Ad sebagai-mana diceritakan
dalam Al Quran hanyalah sebuah legenda atau berang-gapan bahwa lokasi mereka tidak
akan pernah ditemukan, tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka atas penemuan ini.
Penemuan kota ini, yang hanya disebutkan dalam cerita lisan Suku Badui, membangkit-kan
minat dan rasa keingintahuan yang besar.
yaitu Nicholas Clapp, seorang arkeolog amatir yang menemukan kota legendaris
yang disebutkan dalam Al Quran ini19. Sebagai seorang Arabophile dan pembuat film
dokumenter berkualitas, Clapp telah men-jumpai sebuah artikel yang sangat menarik selama
penelitiannya tentang sejarah Arab. artikel ini berjudul Arabia Felix yang ditulis oleh seorang
pe-neliti Inggris bernama Bertram Thomas pada tahun 1932. Arabia Felix yaitu penamaan
Romawi untuk bagian selatan semenanjung Arabia yang dewasa ini mencakup Yaman dan
sebagian besar Oman. Bangsa Yunani menyebut daerah ini “Eudaimon Arabia”. Sarjana
Arab abad per-tengahan menyebutnya sebagai “Al Yaman As-Sa'idah”20.
Semua nama ini berarti “Arabia yang Beruntung”, sebab orang-orang yang
hidup di daerah ini di masa lalu dikenal sebagai orang-orang yang paling beruntung
pada zamannya. Lalu, apakah yang menjadi alasan bagi penamaan seperti itu?
Keberuntungan mereka sebagian berkaitan dengan letak mereka yang strategis
menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah antara India dengan tempat-tempat
di utara semenanjung Arab. Di sam-ping itu, orang-orang yang berdiam di daerah ini
memproduksi dan men-distribusikan "frankincense" sejenis getah wangi dari pepohonan
langka. sebab sangat disukai oleh warga kuno, tanaman ini digunakan sebagai dupa
dalam berbagai ritus keagamaan. Pada saat itu, tanaman ini setidaknya sama
berharganya dengan emas.
Thomas, sang peneliti Inggris memaparkan tentang suku-suku yang “beruntung” ini
dengan panjang lebar dan menyatakan bahwa ia telah menemukan jejak sebuah kota kuno
yang dibangun oleh salah satu dari suku-suku ini21. Itulah kota yang dikenal suku Badui
dengan sebutan “Ubar”. Pada salah satu perjalanannya ke daerah ini , orang-orang
Badui yang hidup di padang pasir itu menunjukkan jalur-jalur usang dan menyatakan bahwa
jalur-jalur ini mengarah ke kota kuno Ubar. Thomas, yang sangat berminat dengan hal
ini meninggal sebelum mampu menuntaskan penelitiannya.
Clapp, sesudah mengkaji tulisan Thomas, meyakini keberadaan kota yang hilang
ini . Tanpa banyak membuang waktu, ia memulai pene-litiannya. Clapp membuktikan
keberadaan Ubar dengan dua cara. Perta-ma, ia menemukan jalur-jalur yang menurut suku
Badui benar-benar ada. Ia meminta NASA (Badan Luar Angkasa Nasional Amerika Serikat)
un-tuk menyediakan foto satelit daerah ini . sesudah perjuangan yang panjang, ia
berhasil membujuk pihak yang berwenang untuk memotret daerah ini 22.
Clapp melanjutkan mempelajari berbagai manuskrip dan peta kuno di perpustakan
Huntington di California. Tujuannya yaitu untuk mene-mukan peta dari daerah tesebut.
sesudah melalui penelitian singkat, ia me-nemukannya. Yang ditemukannya yaitu sebuah
peta yang digambar oleh Ptolomeus, ahli geografi Yunani-Mesir di tahun 200 M. Pada peta
ini ditunjukkan lokasi sebuah kota tua yang ditemukan di daerah ini dan jalan-jalan
yang menuju kota ini .
Sementara itu, ia menerima kabar bahwa NASA telah melakukan pemotretan. Dalam
foto-foto ini , beberapa jalur kafilah menjadi ter-lihat, suatu hal yang sulit dikenali
dengan mata telanjang, namun dapat dilihat sebagai satu kesatuan dari luar angkasa. Dengan
membandingkan foto-foto ini dengan peta tua yang di tangannya, akhirnya Clapp menca-pai
kesimpulan yang ia cari: jalur-jalur dalam peta tua sesuai dengan jalur-jalur dalam gambar
yang diambil dengan satelit. Tujuan akhir dari jejak-jejak ini yaitu sebuah situs yang luas
yang ditengarai dahulunya merupakan sebuah kota.
Akhirnya, lokasi kota legendaris yang menjadi subjek cerita-cerita lisan suku Badui
ditemukan. Tidak berapa lama kemudian, penggalian dimulai dan peninggalan dari sebuah
kota mulai tampak di bawah gurun pasir. Demikianlah, kota yang hilang ini disebut sebagai
“Ubar, Atlantis di Padang Pasir”.
Lalu, apakah yang membuktikan kota ini sebagai kota kaum ‘Ad yang disebutkan
dalam Al Quran?
Begitu reruntuhan-reruntuhan mulai digali, diketahui bahwa kota yang hancur ini
yaitu milik kaum ‘Ad dan berupa pilar-pilar Iram yang disebutkan dalam Al Quran, sebab
di antara berbagai struktur yang di-gali ada menara-menara yang secara khusus
disebutkan dalam Al Quran. Dr. Zarins, seorang anggota tim penelitian yang memimpin
peng-galian mengatakan bahwa sebab menara-menara itu disebut sebagai bentuk khas kota
'Ubar, dan sebab Iram disebut mempunyai menara-menara atau tiang-tiang, maka itulah
bukti terkuat sejauh ini, bahwa situs yang mereka gali yaitu Iram, kota kaum ‘Ad yang
disebutkan dalam Al Quran:
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap
kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai ba-ngunan-bangunan yang tinggi
yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (QS. Al
Fajr, 89: 6-8) !
Kaum ‘Ad
Sejauh ini kita telah melihat kemungkinan Ubar sebagai kota Iram yang disebutkan
dalam Al Quran. Menurut Al Quran, warga kota terse-but tidak mengindahkan seruan Nabi
Hud yang membawakan risalah kepada mereka dan memberi peringatan mereka, maka
akhirnya mereka pun dibinasakan.
Identitas kaum ‘Ad yang membangun kota Iram juga telah menim-bulkan banyak
perdebatan. Dalam berbagai catatan sejarah tidak pernah disebutkan tentang suatu kaum pun
yang telah memiliki kebudayaan yang begitu maju atau tentang peradaban yang mereka
kembangkan. Mungkin akan dianggap aneh bahwa nama dari sebuah kaum semacam itu
tidak ditemukan dalam catatan sejarah.
Di sisi lain, seharusnya tidak terlalu mengherankan bila tidak di-temukan keberadaan
kaum ini dalam berbagai catatan dan arsip pera-daban lama. Alasannya yaitu bahwa kaum
ini tinggal di Arabia Selatan, sebuah daerah yang jauh dari kaum lain yang hidup di daerah
Mesopo-tamia dan Timur Tengah, dan hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan
mereka. yaitu hal yang umum bagi sebuah negara, yang sangat jarang dikenal, untuk tidak
tercantum dalam catatan sejarah. Namun di samping itu, sangat mungkin untuk menemukan
cerita-cerita tentang kaum ‘Ad di antara orang-orang yang hidup di sekitar Timur Tengah.
Alasan terpenting mengapa kaum ‘Ad tidak disebutkan dalam catatan tertulis yaitu
sebab saat itu komunikasi tertulis tidak lazim di daerah ini . Sehingga, sangat mungkin
kaum ‘Ad telah membangun sebuah peradaban, namun belum pernah disebutkan dalam
catatan seja-rah dari peradaban lain yang melakukan dokumentasi. Jika saja kebuda-yaan ini
berlangsung sedikit lebih lama, mungkin lebih banyak lagi yang dapat diketahui tentang
kaum ‘Ad di saat ini.
Tidak ada catatan tertulis tentang kaum ‘Ad, namun memungkinkan untuk
menemukan informasi penting tentang “keturunan” mereka dan untuk mendapatkan
gambaran tentang kaum ‘Ad dari informasi ini.
Bangsa Hadram, Anak Cucu ‘Ad
Tempat pertama yang diamati untuk mencari kemungkinan jejak-jejak peradaban
yang didirikan kaum 'Ad atau anak cucu mereka, yaitu Yaman Selatan di mana “Ubar,
Atlantis di padang pasir” ditemukan dan yang disebut sebagai “Arabia yang Beruntung”. Di
Yaman selatan, empat bangsa telah hidup sebelum zaman kita, dan disebut orang Yunani
sebagai “Arab yang Beruntung”. Mereka yaitu bangsa Hadram, Saba’, Mina, dan Qataba.
Keempat bangsa ini berkuasa dalam waktu yang sing-kat pada daerah-daerah yang saling
berdekatan.
Banyak ilmuwan kontemporer mengatakan bahwa kaum ‘Ad telah memasuki satu
periode perubahan dan kemudian muncul kembali di panggung sejarah. Dr. Mikhail H.
Rahman seorang peneliti dari Univer-sity of Ohio merasa yakin bahwa kaum ‘Ad yaitu
nenek moyang dari bangsa Hadram, salah satu dari empat bangsa yang pernah menghuni
Yaman Selatan. Bangsa Hadramaut, yang muncul sekitar 500 SM, setidaknya dikenal di
antara bangsa-bangsa yang dinamai “Arabia yang Beruntung”. Bangsa-bangsa ini berkuasa
di wilayah Yaman Selatan cukup lama dan menghilang sepenuhnya pada 240 M pada akhir
dari periode panjang kemunduran.
Nama Hadram mengisyaratkan bahwa mereka mungkin merupakan keturuan dari
kaum ‘Ad. Penulis Yunani Pliny, yang hidup pada abad ke-3 SM, menyebut suku bangsa ini
sebagai "Adramitai" yang berarti bangsa Hadram. Pengistilahan nama dalam bahasa Yunani
yaitu akhiran - kata benda, kata benda "Adram" langsung mengisyaratkan bahwa ia
merupa-kan perubahan dari kata "Ad-i Ram" yang disebutkan dalam Al Quran.
Ptolomeus, seorang ahli geografi Yunani (150-100 SM) menunjukkan bagian selatan
Semenanjung Arabia sebagai tempat kaum yang disebut “Adramitai” pernah hidup. Daerah
ini sampai sekarang dikenal dengan nama “Hadhramaut”23. Ibu kota negara Hadram,
Shabwah terletak di barat Lembah Hadhramaut. Menurut berbagai legenda tua, Nabi Hud
yang diutus kepada kaum ‘Ad dimakamkan di Hadhramaut.
Faktor lain yang membenarkan pemikiran bahwa Hadhramaut ada-lah penerus dari
kaum ‘Ad yaitu kekayaan mereka. Bangsa Yunani me-negaskan kaum Hadram sebagai
“suku bangsa terkaya di dunia…”. Ca-tatan sejarah mengatakan bahwa Hadram sangat maju
dalam pertanian frankincense, salah satu tanaman paling berharga waktu itu. Mereka telah
menemukan cara-cara penggunaan baru bagi tanaman ini dan memper-luas penggunaannya.
Hasil pertanian bangsa Hadram jauh lebih banyak daripada produksi tanaman ini di
masa kini.
Apa yang ditemukan pada penggalian di Shabwah yang dikenal seba-gai ibu kota
Hadram sangatlah menarik. Dalam berbagai penggalian yang dimulai pada tahun 1975 para
ahli arkeologi sangat sulit mencapai sisa-sisa kota ini sebab tertimbun di bawah gurun
pasir. Temuan yang dihasilkan di akhir penggalian amat menakjubkan, sebab kota kuno
yang belum tergali itu merupakan salah satu kota yang teramat luar biasa menarik yang
ditemukan hingga saat itu. Kota dikelilingi dinding yang berhasil diungkap memiliki ukuran
lebih luas daripada situs kuno Yaman mana pun dan istananya merupakan bangunan yang
sangat menakjub-kan.
Tidak diragukan lagi, sangat logis untuk menduga bahwa bangsa Hadram telah
mewarisi keunggulan arsitektur ini dari pendahulunya kaum ‘Ad. Hud berkata kepada kaum
‘Ad saat memperingatkan mere-ka:
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk
bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu
kekal (di dalamnya)?” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 128-129) !
Ciri menarik lainnya dari bangunan-bangunan di Shabwah yaitu tiang-tiang yang
sangat rumit. Tiang-tiang di Shabwah tampak sangat unik sebab bundar dan disusun dalam
serambi-serambi melengkung, semen-tara semua situs di Yaman sejauh itu baru ditemukan
memiliki tiang-tiang monolit berbentuk persegi. Orang-orang Shabwah tentunya mewarisi
gaya arsitektur dari para leluhurnya, kaum ‘Ad. Fotius, Patriach Yunani Bizantium dari
Konstantinopel pada awal abad ke-9 M, melaku-kan penelitian besar-besaran tentang Arabia
Selatan dan aktivitas perda-gangan mereka, sebab ia mempunyai akses pada manuskrip
Yunani Kuno yang sudah musnah saat ini, dan khususnya karya Agatharachides (132 SM)
tentang Laut Eritrea (Laut Merah). Fotius menyebutkan dalam salah satu artikel-nya:
“Diwartakan bahwa mereka (bangsa Arab Selatan) telah membangun banyak tiang berlapis
emas atau terbuat dari perak. Ruangan-ruangan di antara tiang-tiang ini sangat
mengagumkan untuk dilihat”24.
Walaupun tidak langsung merujuk kepada bangsa Hadram, tetap sa-ja pernyataan
Fotius ini memberikan gambaran tentang kemakmur-an dan kecakapan membangun
orang-orang yang tinggal di wilayah itu. Penulis klasik Yunani, Pliny dan Strabo
menggambarkan kota-kota ini sebagai “dihiasi oleh berbagai kuil dan istana yang indah”.
saat kita memikirkan bahwa para penghuni kota ini yaitu ketu-runan kaum
‘Ad, jelaslah mengapa Al Quran menyebutkan tempat ting-gal kaum ‘Ad sebagai
“kota Iram dengan tiang-tiangnya yang tinggi”. (QS. Al Fajr, 89: 7).
Sumber-Sumber Mata Air dan Kebun-Kebun Kaum 'Ad
Saat ini, pemandangan paling sering ditemui seseorang yang mela-kukan perjalanan
ke Arab Selatan yaitu padang pasir teramat luas. Hampir semua tempat dihampari pasir,
kecuali kota-kota dan daerah-daerah yang telah dihijaukan kemudian. Gurun pasir ini telah
ada sejak ratusan dan mungkin ribuan tahun.
Namun dalam Al Quran, ada informasi menarik dalam salah satu ayat yang
berkenaan dengan kaum ‘Ad. saat memperingatkan kaumnya, Nabi Hud mengingatkan
tentang mata air dan kebun yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum ‘Ad:
“Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan ber-takwalah
kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia
telah menganugerahkan kepadamu bina-tang-binatang ternak dan anak-anak, dan
kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari
yang besar.” (QS. Asy-Syu'araa', 26: 131-135) !
Namun sebagaimana telah kita catat sebelumnya, Ubar, yang dikenal dengan kota
Iram dan tempat-tempat lainnya yang berkemungkinan sebagai daerah hunian kaum ‘Ad,
saat ini tertutup pasir seluruhnya. Lalu, mengapa Hud menggunakan ungkapan semacam itu
saat memper-ingatkan kaumnya?
Jawabannya tersembunyi dalam sejarah perubahan iklim. Berbagai catatan sejarah
mengungkapkan bahwa daerah-daerah yang sekarang telah menjadi gurun pasir, pada suatu
saat pernah merupakan tanah yang sangat hijau dan produktif. Kurang dari seribu tahun
yang lampau, sebagian besar wilayah ini dihampari kawasan hijau dan mata-mata air
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, dan penghuninya meman-faatkan karunia itu.
Hutan-hutan melunakkan kerasnya iklim wilayah ini dan membuatnya dapat dihuni.
Padang pasir memang ada, namun tidak seluas seperti saat ini.
Di Arabia Selatan, bukti-bukti penting telah diperoleh di wilayah tempat kaum ‘Ad
pernah hidup, yang dapat memberikan titik terang atas persoalan ini. Di sini nampak bahwa
penduduk dari daerah ini menggu-nakan sistem pengairan yang sudah sangat maju. Sistem
pengairan ini kemungkinan besar hanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yaitu perta-nian.
Wilayah-wilayah ini , yang sekarang tak lagi layak huni, pada suatu masa pernah diolah
manusia.
Pencitraan satelit juga telah mengungkapkan suatu sistem saluran-saluran air kuno
yang luas dan bendungan-bendungan yang digunakan untuk pengairan di sekitar Ramlat As
Sab’atayan yang diperkirakan mampu menghidupi sekitar 200.000 orang di kota-kota yang
berdekatan25. Seperti dinyatakan Doe, salah seorang peneliti yang melakukan riset: “Begitu
suburnya daerah di sekitar Ma’rib, sehingga seseorang akan menganggap bahwa seluruh
daerah di antara Ma’rib dan Hadhramaut dahulunya pernah berada di bawah satu
pengelolaan26.
Seorang penulis klasik Yunani, Pliny menggambarkan bahwa wila-yah ini dahulunya
sangat subur dengan gunung berhutan lebat berse-limut kabut, sungai dan hutan yang tidak
ada putusnya. Dalam berbagai prasasti yang ditemukan di beberapa kuil kuno dekat
Shabwah, ibu kota Hadram, dikatakan bahwa binatang-binatang diburu di daerah ini
dan sebagiannya ini untuk dikorbankan. Semua ini mengungkap-kan bahwa daerah
ini pernah dihampari tanah yang subur, di sam-ping gurun pasir.
Kecepatan gurun pasir itu berkembang, dapat dilihat pada beberapa riset terbaru yang
dilakukan oleh Institut Smithsonian di Pakistan. Se-buah kawasan yang dikenal sangat
subur di abad pertengahan telah ber-ubah menjadi gurun pasir dengan bukit-bukit pasir
setinggi enam meter; gurun ini diketahui bertambah rata-rata 6 inci per harinya.
Dengan kecepatan seperti ini pasir dapat menelan bangunan tertinggi sekalipun dan
menguburnya sehingga bangunan itu bagaikan tidak pernah ada. Dengan demikian
penggalian di Timna, Yaman pada tahun 1950 hampir seluruhnya tertimbun lagi oleh pasir.
Piramid-piramid di Mesir dulunya juga pernah tertimbun pasir dan baru muncul ke
permukaan sesudah melalui penggalian yang sangat lama. Singkatnya, jelaslah bahwa daerah
yang kini dikenal sebagai gurun pasir mungkin memiliki tampilan yang sangat jauh berbeda
di masa lalu.
Bagaimana Kaum ‘Ad Dihancurkan?
Di dalam Al Quran, dituturkan bahwa kaum ‘Ad telah dibinasakan dengan “angin
badai yang dahsyat”. Dalam ayat-ayat ini disebutkan bah-wa angin badai yang hebat
berlangsung selama tujuh malam delapan hari dan menghancurkan kaum ‘Ad
keseluruhannya:
“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyat-nya azab-
Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada
mereka angin yang sangat kencang pada hari yang naas terus-menerus.” (QS. Al
Qamar, 54: 18-20) !
“Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat
dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama
tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ad pada
waktu itu mati berge-limpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang
telah kosong (lapuk).” (QS. Al Haaqqah, 69: 6-7) !
Meskipun telah diperingatkan sebelumnya, mereka tidak mengin-dahkan peringatan
dan terus menolak nabi mereka. Mereka berada dalam angan-angan seperti itu, sehingga
mereka tidak memahami apa yang sedang terjadi saat melihat penghancuran ini
menghampiri mereka, dan tetap dalam keingkarannya :
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-
lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan
kepada kami. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan
segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.” (QS. Al Ahqaaf, 46: 24) !
Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka melihat awan yang akan menghancurkan
mereka, namun tidak dapat memahaminya dan berpikir bahwa itu merupakan awan yang
membawa hujan. Ini merupakan pe-tunjuk penting bagaimana bencana itu saat mendekati
mereka, sebab sebuah badai topan yang sedang menyapu sepanjang gurun pasir juga akan
tampak seperti sebuah awan hujan dari kejauhan. Mungkin kaum ‘Ad tertipu oleh
pemunculan ini dan tidak menyadari bencana ini . Doe memberikan sebuah deskripsi
tentang badai pasir (yang sepertinya berdasarkan pengalaman pribadinya): “Tanda pertama
(dari badai debu atau pasir) yaitu mendekatnya tembok udara mengandung pasir yang
tingginya mungkin mencapai ribuan kaki, yang diangkat oleh aliran yang meninggi dengan
kuat dan diaduk oleh angin yang cukup kuat”27.
“Ubar, Atlantis di padang pasir“ yang dianggap sebagai sisa-sisa peninggalan kaum
‘Ad telah ditemukan kembali dari bawah lapisan pasir yang bermeter-meter tebalnya.
Tampaknya angin dahsyat yang berlang-sung selama “tujuh malam dan delapan hari”
sebagaimana disebutkan Al Quran, menumpuk berton-ton pasir di atas kota itu dan
menimbun pen-duduknya hidup-hidup. Penggalian-penggalian di Ubar menunjukkan
kemungkinan yang sama. Majalah Prancis, Ca M'Interesse menyatakan hal yang serupa;
“Ubar terkubur di bawah pasir setebal 12 meter sebab sebuah badai”28.
Bukti paling penting yang menunjukkan bahwa kaum ‘Ad dikubur oleh sebuah badai
pasir yaitu kata “ahqaf” yang digunakan dalam Al Quran untuk menandai lokasi dari kaum
‘Ad. Deskripsi yang digunakan dalam ayat 21 surat Al Ahqaaf yaitu sebagai berikut:
“Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ad yaitu saat ia memberi peringatan
kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya telah terdahulu beberapa orang
pemberi peringatan sebelumnya dan sesu-dahnya (dengan mengatakan): “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab
hari yang besar.”
Ahqaaf dalam bahasa Arab berarti “bukit-bukti pasir“ yaitu bentuk plural dari kata
“hiqf” yang berarti sebuah bukit pasir. Ini menunjukkan bahwa kaum ‘Ad hidup di daerah
yang penuh dengan “bukit-bukit pasir” yang memberikan landasan paling masuk akal untuk
sebuah fakta bahwa mereka dikubur oleh sebuah badai pasir. Menurut sebuah interpretasi,
ahqaaf kehilangan artinya sebagai “bukit-bukit pasir” dan menjadi nama sebuah tempat di
selatan Yaman di mana kaum ‘Ad hidup. Ini tidak mengubah fakta bahwa akar kata ini
yaitu bukit-bukit pasir, namun hanya menunjukkan bahwa kata ini telah menjadi khas
untuk daerah ini sebab banyaknya bukit pasir.
Penghancuran yang menimpa kaum ‘Ad yang berasal dari badai pasir yang
“mencabut orang-orang seakan mereka yaitu akar pohon palem yang tercerabut (dari
dalam tanah)”, tentunya telah memusnahkan seluruh penduduk dalam waktu yang sangat
singkat, mereka yang hing-ga saat itu hidup dengan mengolah lahan-lahan subur dan
membangun bendungan-bendungan serta saluran-saluran air irigasi untuk mereka sendiri.
Semua ladang olahan yang subur, saluran irigasi, dan bendungan milik warga yang
pernah hidup di sana tertutup oleh pasir, dan seluruh kota dan penduduknya terkubur hidup-
hidup dalam pasir, sesudah mereka dihancurkan, padang pasir berkembang di sana dan
menutupinya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Sebagai akibatnya dapat dikatakan bahwa temuan sejarah dan arkeo-logi
mengindikasikan bahwa kaum ‘Ad dan kota Iram benar-benar per-nah ada dan dihancurkan
seperti disebutkan dalam Al Quran. Berdasar-kan penelitian lebih lanjut, sisa-sisa dari kaum
ini telah ditemukan kem-bali dari dalam gurun pasir.
Apa yang seharusnya dilakukan seseorang kala memperhatikan sisa-sisa yang
terkubur di dalam pasir yaitu mengambil peringatan sebagai-mana ditegaskan dalam Al
Quran. Al Quran menyatakan bahwa kaum ‘Ad telah sesat sebab kesombongan mereka dan
berkata: ”Siapakah kekuatannya yang lebih besar dari kami?.” Di akhir ayat,
dikatakan, “Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang
mencipta-kan mereka yaitu lebih besar kekuatan-Nya dari mereka?” (QS. Al
Fushilaat, 41 : 15). !
Yang seharusnya dilakukan oleh seorang insan yaitu mengingat kenyataan yang
tidak berubah sepanjang waktu ini dan memahami bahwa Allah Yang Mahabesar dan
Mahamulia; seorang insan hanya dapat menjadi sejahtera dengan menyembah-Nya.
Picture Text
Sisa-sisa dari kota Ubar, tempat tinggal kaum 'Ad, ditemukan di suatu tempat dekat
tanjung Oman.
Banyak karya seni dan monumen dari peradaban maju pernah dibangun di Ubar
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran. Saat ini, hanya peningggalan-peninggalan di atas
yang tersisa.
Penggalian yang dilakukan di Ubar.
Lokasi kota 'Ad ditemukan dengan foto-foto yang diambil dari pesawat ulang alik.
Dalam foto ini , tempat jalur-jalur kafilah bertemu ditandai, dan mengarah ke Ubar.
1. Ubar, hanya dapat dilihat dari luar angkasa sebelum dilakukan penggalian.
2. Kota yang berada 12 meter di bawah pasir ditemukan dengan penggalian.
Saat ini, daerah dimana kaum 'Ad pernah hidup penuh dengan gundukan pasir.
Penggalian-penggalian yang dilakukan di Ubar, di mana sisa-sisa sebuah kota
ditemukan di bawah lapisan pasir yang ketebalannya bermeter-meter. Di daerah ini,
diketahui bahwa bencana badai pasir dapat menyebabkan pasir dalam jumlah yang sangat
besar terkumpul dalam waktu sekejap. Hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba dan dengan cara
yang tidak terduga-duga.
BAB 5 TSAMUD
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman itu. Maka mereka
berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara
kita? Sesungguhnya kalau kita begitu, benar-benar berada dalam keadaan sesat dan
gila”. Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia
yaitu seorang yang amat pendusta lagi sombong. Kelak mereka akan mengetahui
siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong.”
(QS. Al Qamar, 54: 23-26) !
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, kaum Tsamud menolak peringatan-
peringatan dari Allah sebagaimana dilakukan kaum ‘Ad, dan sebagai konsekuensinya
mereka pun dihancurkan. Kini, dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang tidak
diketahui sebelumnya telah ditemukan, misalnya lokasi tempat tinggal kaum Tsamud,
rumah-rumah yang mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang disebutkan
dalam Al Quran merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak temuan arkeologis
saat ini.
Sebelum lebih jauh melihat temuan arkeologis yang berkaitan dengan kaum Tsamud,
sangatlah bermanfaat untuk mempelajari cerita di dalam Al Quran serta mengamati
pertarungan kaum ini dengan nabi mereka. sebab Al Quran yaitu kitab yang
diperuntukkan untuk sepanjang massa, pengingkaran kaum Tsamud atas peringatan-per-
ingatan yang datang kepada mereka yaitu sebuah peristiwa yang merupakan sebuah
peringatan kepada semua orang di sepanjang masa.
Penyampaian Risalah Nabi Shalih
Di dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Shalih diutus untuk memperingatkan
mereka. Shalih yaitu orang yang terpandang di ka-langan warga Tsamud. Kaumnya,
yang tidak menduga ia akan mengumumkan agama kebenaran, terkejut dengan seruannya
untuk me-ninggalkan penyimpangan mereka. Reaksi pertama yaitu menghujat dan
mengutuknya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata: ”Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, sebab
itu mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amatlah dekat (Rahmat-Nya)
lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). Kaum Tsamud berka-ta: ”Hai Shalih,
sesungguhnya kamu sebelum ini yaitu seorang di antara kami yang kami harapkan,
apakah kamu melarang kami un-tuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-
bapak kami? Dan se-sungguhnya kamu betul-betul berada dalam keraguan yang
mengge-lisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Huud, 11:
61-62) !
Segolongan kecil kaum Tsamud memenuhi panggilan Nabi Shalih, namun
kebanyakan mereka tidak menerima apa yang dikatakannya. Para pemimpin kaum ini ,
khususnya, menolak dan menentang Shalih. Mereka mencoba menghalang-halangi dan
menekan kaum yang beriman kepada Nabi Shalih. Mereka sangat murka kepada Shalih,
sebab ia mengajak mereka menyembah Allah. Kemarahan ini tidak khusus hanya pada
kaum Tsamud; mereka hanya mengulangi kesalahan yang dibuat kaum Nuh dan kaum ‘Ad
yang hidup sebelum mereka. sebab itulah Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini sebagai
berikut:
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (ya-itu) kaum
Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui
mereka selain Allah. Telah datang kepada me-reka rasul-rasul (membawa) bukti-bukti
yang nyata lalu mereka me-nutupkan tangannya ke mulutnya (sebab kebencian) dan
berkata: ”Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyam-
paikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang
menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya”. (QS. Ibrahim, 14: 9)
!
Tanpa mengindahkan peringatan-peringatan Nabi Shalih, orang-orang membiarkan
kesangsian menguasai mereka. Namun masih ada sekelompok kecil yang percaya terhadap
kenabian Shalih dan merekalah orang-orang yang diselamatkan bersamanya saat bencana
besar da-tang. Para pemuka warga ini berupaya menekan kelompok yang
mempercayai Shalih:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata
kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah ber-iman di antara mereka:
“Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menja-di rasul) oleh Tuhannya?” Mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shalih diutus untuk
menyampaikan-nya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: ”Sesungguh-
nya kami yaitu orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.” (QS. Al
A'raaf, 7: 75-76) !
Kaum Tsamud terus menyangsikan Allah dan kenabian Shalih. Lebih jauh, kelompok
tertentu secara terang-terangan menyangkalnya. Seke-lompok di antara mereka yang
menolak keimanan — menurut dugaan, dengan nama Allah — merencanakan untuk
membunuh Shalih:
‘Mereka menjawab; “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu
dan orang-orang yang bersama kamu”. Shalih berkata: “Nasib-mu ada pada sisi Allah
(bukan kami yang menjadi sebab), namun ka-mu yang diuji”. Dan yaitu di kota itu
sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak
berbuat kebaik-an. Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah-
wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba ber-sama keluarganya
di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak
menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita yaitu orang-orang
yang benar”. Dan mereka pun merencanakan makar dengan sesungguh-sungguhnya
dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menya-dari.” (QS. An-
Naml, 27: 47-50) !
Untuk mengetahui apakah kaumnya akan mematuhi perintah Allah atau tidak, Shalih
menunjukkan kepada mereka seekor unta betina sebagai ujian. Untuk mengetahui apakah
mereka akan mematuhinya atau tidak, Shalih menyuruh kaumnya untuk berbagi air dengan
unta betina ini dan tidak menyakitinya. Kaumnya menjawab dengan membunuh unta
betina ini . Dalam surat Asy-Syu’araa’ kejadian ini disebutkan sebagai berikut:
“Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul.
saat saudara mereka Shalih, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak
bertakwa?
Sesungguhnya aku yaitu seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Adakah kamu akan dibiarkan tinggal di sini (di negeri ini) dengan aman, di
dalam kebun-kebun serta mata air,
dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut.
Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan ru-mah-rumah
dengan rajin;
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku;
dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas,
yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.
Mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu yaitu seorang dari orang-orang yang
terkena sihir;
kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; maka da-tangkanlah
sesuatu mukjizat jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.
Shalih menjawab: ”Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran un-tuk
mendapatkan air dan kamu mempunyai giliran pula untuk men-dapatkan air di hari
tertentu.
Dan janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu keja-hatan, yang
menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar.
Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menyesal, maka me-reka
ditimpakan azab.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada bukti yang nyata.
Dan yaitu kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ , 26: 141-158) !
Perjuangan Nabi Shalih terhadap kaumnya dikisahkan sebagai beri-kut:
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu).
Maka mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja, se-orang manusia
(biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begi-tu, benar-benar berada dalam
keadaan sesat dan gila. Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita?
Sebenarnya dia yaitu seorang yang amat pendusta lagi sombong.“
Kelak mereka akan mengetahui siapakah sebenarnya yang amat pen-dusta lagi
sombong. Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi
mereka, maka tunggulah (tindakan) mere-ka dan bersabarlah.
Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terba-gi antara
mereka (dengan unta betina itu); tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya
gilirannya).
Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap (unta itu) dan
membunuhnya.” (QS. Al Qamar, 54: 23-29) !
Kenyataan bahwa mereka tidak dilaknat pada saat itu juga, semakin meningkatkan
keangkaramurkaan kaum ini. Mereka menyerang Shalih, mengkritik, dan menuduhnya
sebagai pendusta :
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh
terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ”Wahai Sha-lih, datangkanlah apa
yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang
diutus (Allah).” (QS. Al A'raaf, 7: 77) !
Allah melemahkan rencana dan tipu daya mereka, dan menyelamat-kan Shalih dari
tangan-tangan yang ingin mencelakakannya. sesudah ke-jadian ini, sebab Shalih merasa
telah menyampaikan seruan kepada kaumnya dengan berbagai cara, dan tetap tak ada
seorang pun yang mengindahkan nasihatnya, Shalih berkata kepada kaumnya bahwa
mereka akan dihancurkan dalam waktu tiga hari:
“Mereka membunuh unta itu, maka berkatalah Shalih: ”Bersukaria kamu
sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu yaitu janji yang tidak dapat didustakan.”
(QS. Huud, 11: 65) !
Begitulah, tiga hari kemudian ancaman Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud
dihancurkan.
“Dan satu suara yang keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim
itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka, seolah-olah mereka
belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud
mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaan bagi kaum Tsamud.” (QS. Huud,
11: 67-68) !
Temuan Arkeologis dari Kaum Tsamud
Dari berbagai kaum yang disebutkan dalam Al Quran, Tsamud ada-lah kaum yang
saat ini telah banyak diketahui keberadaannya. Sumber-sumber sejarah mengungkapkan
bahwa sekelompok orang yang disebut dengan kaum Tsamud benar-benar pernah ada.
Penduduk Al Hijr yang disebutkan dalam Al Quran diperkirakan yaitu orang-orang
yang sama dengan kaum Tsamud. Nama lain dari Tsamud yaitu Ashab Al Hijr. Jadi kata
“Tsamud” merupakan nama kaum, sementara kota Al Hijr yaitu salah satu dari beberapa
kota yang dibangun oleh kaum ini .
Ahli geografi Yunani, Pliny sepakat dengan ini. Pliny menulis bahwa Domatha dan
Hegra yaitu lokasi tempat kaum Tsamud berada, dan kota Al Hegra inilah yang menjadi
kota Al Hijr saat ini.29
Sumber tertua yang diketahui berkaitan dengan kaum Tsamud yaitu tarikh
kemenangan Raja Babilonia Sargon II (abad ke-8 SM) yang mengalahkan kaum ini dalam
sebuah pertempuran di Arabia Selatan. Bangsa Yunani juga menyebut kaum ini sebagai
“Tamudaei”, yakni, “Tsamud”, dalam tulisan Aristoteles, Ptolemeus, dan Pliny.30 Sebelum
zaman Nabi Muhammad SAW, sekitar tahun 400-600 M , mereka benar-benar punah.
Dalam Al Quran, kaum ‘Ad dan Tsamud selalu disebutkan bersama-an. Lebih jauh
lagi, ayat-ayat ini menasihati kaum Tsamud untuk mengambil pelajaran dari
penghancuran kaum ‘Ad. Ini menunjukkan bahwa kaum Tsamud memiliki informasi detail
tentang kaum ‘Ad.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia
berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina
Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan
janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apa pun, maka kamu ditimpa
siksaan yang pedih.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu peng-ganti-pengganti
(yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberi-kan tempat bagimu di bumi. Kamu
dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-
gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan jangan-
lah kamu merajalela di muka bu-mi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Sebagaimana dapat dipahami dari ayat ini, ada hubungan antara kaum ‘Ad dan
kaum Tsamud, bahkan mungkin kaum ‘Ad pernah menjadi bagian dari sejarah dan budaya
kaum Tsamud. Nabi Shalih memerintahkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad dan
mengambil peringatan dari me-reka.
Kaum ‘Ad ditunjukkan kepada contoh dari kaum Nabi Nuh yang per-nah hidup
sebelum mereka. Sebagaimana kaum ‘Ad mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum
Tsamud, kaum Nabi Nuh juga mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum 'Ad. Kaum-
kaum ini saling mengenal dan kemungkinan berasal dari garis keturunan yang sama.
Dari sini dapat disusun urutan kejadian yang diceritakan dalam Al Quran. Jika kita
perkirakan kaum Tsamud muncul paling dulu di abad 8 SM, maka dapat ditarik sebuah
kronologi. Yang terlebih dahulu dihan-curkan sesudah kaum Nuh yaitu kaum Luth,
kemudian dalam masa Nabi Musa terjadi penenggelaman Fir'aun (kemungkinan besar
Ramses II) dan tentaranya di Laut Merah. Berikutnya yaitu dikirimkannya angin badai
yang menghancurkan kaum ‘Ad dan terakhir yaitu penghancuran ka-um Tsamud.
Hukuman terhadap kaum Nabi Nuh yaitu yang pertama terjadi. Bila urut-urutan ini dapat
dipertimbangkan, maka tabelnya yaitu sebagai berikut :
Tentu saja urut-urutan ini tidak bisa dikatakan sangat tepat, namun hal ini
menghasilkan sebuah urutan, baik menurut penggambaran dalam Al Quran dan data-data
sejarah.
Kita telah menyebutkan bahwa Al Quran menceritakan tentang ada-nya hubungan
antara kaum ‘Ad dan Tsamud. Kaum Tsamud diingatkan untuk mengingat kejadian kaum
‘Ad serta mengambil pelajaran dari penghancuran mereka. Meskipun secara geografis kaum
‘Ad dan Tsa-mud sangat berjauhan dan sepertinya tidak berhubungan, namun dalam ayat
yang ditujukan kepada kaum Tsamud dikatakan untuk mengingat kaum ‘Ad.
Jawabannya muncul sesudah penyelidikan singkat dari berbagai sum-ber, bahwa
memang ada hubungan yang sangat kuat antara kaum Tsamud dan kaum ‘Ad. Kaum
Tsamud mengenal kaum ‘Ad sebab ke-dua kaum ini sepertinya berasal dari asal usul yang
sama. Britannica Micropaedia menuliskan tentang orang-orang ini dalam sebuah tulisan
berjudul “Tsamud”:
Di Arabia Kuno, suku atau kelompok suku tampaknya telah memiliki keung-gulan
sejak sekitar abad 4 SM sampai pertengahan awal abad 7 M. Meskipun kaum Tsamud
mungkin berasal dari Arabia Selatan, sekelompok besar tam-paknya pindah ke utara pada
masa-masa awal, secara tradisional berdiam di lereng gunung (jabal) Athlab. Penelitian
arkeologi terakhir mengungkapkan sejumlah besar tulisan dan gambar-gambar batu tentang
kaum Tsamud, tidak hanya di Jabal Athlab, namun juga di seluruh Arabia Tengah.31
Tulisan yang secara grafis mirip dengan abjad Smaitis (yang disebut Tsamudis) telah
diketemukan mulai dari Arabia Selatan hingga ke Hijaz.32 Tulisan itu, yang pertama
ditemukan di daerah Utara Yaman Tengah yang dikenal sebagai Tsamud, dibawa ke Utara
dekat Rub’al Khali, ke selatan dekat Hadhramaut serta ke Barat dekat Shabwah.
Sebelumnya kita telah memahami bahwa kaum ‘Ad yaitu seke-lompok orang yang
hidup di Arabia Selatan. Ada kenyataan penting bah-wa banyak peninggalan kaum Tsamud
ditemukan di daerah tempat ka-um ‘Ad pernah hidup, khususnya sekitar bangsa Hadhram,
anak cucu ‘Ad, mendirikan ibu kotanya. Keadaan ini menjelaskan hubungan kaum ‘Ad dan
Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran. Hubungan ini diterangkan dalam perkataan
Nabi Shalih saat mengatakan bahwa kaum Tsamud datang untuk menggantikan kaum ‘Ad
:
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia
berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya....
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi.” (QS. Al
A’raaf, 7: 73-74) !
Singkatnya, kaum Tsamud telah mendapat ganjaran atas pembang-kangan terhadap
nabi mereka, dan dihancurkan. Bangunan-bangunan yang telah mereka bangun dan karya
seni yang telah mereka buat tidak dapat melindungi mereka dari azab. Kaum Tsamud
dihancurkan dengan azab yang mengerikan seperti halnya umat-umat lainnya yang meng-
ingkari kebenaran, yang terdahulu maupun yang terkemudian.
Picture Text
Dari Al Quran diketahui bahwa kaum Tsamud yaitu anak cucu dari kaum ‘Ad.
Bersesuaian dengan ini, temuan-temuan arkeologis memperlihatkan bahwa akar dari kaum
Tsamud yang hidup di utara Semenanjung Arabia, berasal dari selatan Arabia di mana kaum
‘Ad pernah hidup.
Dua ribu tahun silam, kaum Tsamud telah mendirikan sebuah kerajaan bersama
bangsa Arab yang lain, yaitu kaum Nabatea. Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut
dengan Lembah Petra di Yordania, dapat dilihat berbagai contoh terbaik karya pahat batu
kaum ini. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, keunggulan kaum Tsamud yaitu
dalam pertukangan.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti
(yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu
dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-
gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.
(QS. Al A'raaf, 7: 74)
BAB 6
FIR’AUN YANG DITENGGELAMKAN
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun
dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka
mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan
dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan
kesemuanya yaitu orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anfaal, 8: 54). !
Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota lainnya di Mesopotamia dalam
masa yang sama, dikenal sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai
negara terorganis-asi dengan tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka
telah menemukan dan menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta memanfaatkan
Sungai Nil dan terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah
negeri ini , sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban mereka.
Namun, pada warga yang “beradab” ini pula berlaku “pemerin-tahan Fir’aun”,
suatu sistem kekafiran yang paling jelas dan lugas dise-butkan dalam Al Quran. Mereka
penuh kesombongan, mengesamping-kan kebenaran, dan menghina Tuhan. Dan pada
akhirnya, peradaban me-reka yang maju, tatanan sosial politik, bahkan militer mereka yang
kuat tidak bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran.
Otoritas Para Fir'aun
Peradaban bangsa Mesir bersumber dari kesuburan Sungai Nil. Bang-sa Mesir
menghuni Lembah Nil sebab melimpahnya air di sungai ini, hingga mereka dapat
mengolah tanah dengan persediaan air dari sungai tanpa tergantung kepada musim hujan.
Ahli sejarah Ernest H. Gombrich menyatakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangat panas
dan terkadang tidak ada hujan selama berbulan-bulan. sebab itulah, banyak wilayah di
benua besar ini luar biasa keringnya. Bagian-bagian itu dihampari oleh lautan pasir yang
sangat luas. Kedua sisi Sungai Nil juga ditutupi pasir dan di Mesir pun jarang turun hujan.
Namun di negeri ini, hujan tidak terlalu dibutuhkan sebab Sungai Nil mengalir tepat di
tengah seluruh negeri.33
Jadi barang siapa dapat menguasai Sungai Nil yang begitu penting-nya, dia pun dapat
menguasai sumber terbesar perdagangan dan per-tanian Mesir. Para Fir’aun bisa
melanggengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.
Lembah Nil yang sempit dan memanjang tidak memungkinkan unit-unit
kependudukan yang bertempat di sekitar sungai berkembang ba-nyak. sebab itulah bangsa
Mesir membentuk peradaban yang terbangun dari kota-kota kecil dan perkampungan, bukan
dari kota-kota besar. Faktor ini juga memperkuat dominasi para fir’aun atas warga nya.
Raja Menes dikenal sebagai fir’aun Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir
Kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara kesatuan, kurang lebih
pada alaf ke-3 SM. Kenyataannya, istilah “fir’aun” semula merujuk kepada istana raja
Mesir, namun perlahan-lahan menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Begitulah sebabnya raja
yang memerintah Mesir kuno mulai disebut ”fir’aun”.
Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari keseluruhan negara dan wilayah-
wilayahnya, para fir’aun ini dianggap sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam
kepercayaan Mesir Kuno yang politeistik dan menyimpang. Administrasi tanah rakyat
Mesir, pembagian, penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi
dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir’aun.
Absolutisme dalam rezim ini melengkapi pemerintahan fir’aun dengan
kekuasaan yang memungkinkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Pada saat
penegakan dinasti pertama, kala Menes yang menjadi raja Mesir pertama dengan
menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil disalurkan kepada penduduk melalui saluran-
saluran air. Di samping itu, seluruh produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang
dan jasa diberikan untuk sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang
dan jasa dalam proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah
menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam ketun-
dukan. Raja Mesir, atau kelak disebut fir’aun, dipandang sebagai makhluk suci yang
memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan ia dipandang
sebagai tuhan. Akhirnya, para fir’aun percaya bahwa mereka memang tuhan.
Perkataan Fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran dan diucapkan-nya dalam
percakapan dengan Musa membuktikan bahwa mereka me-megang kepercayaan ini. Ia
mencoba mengancam Musa dengan mengata-kan: ”Sungguh jika kamu menyembah Tuhan
selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 29), dan ia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya: ”Aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku”. (QS. Al Qashash, 28: 38). Ia mengatakan ini semua
sebab menganggap dirinya yaitu tuhan.
Kepercayaan Religius
Menurut Herodotus, seorang ahli sejarah, bangsa Mesir Kuno yaitu bangsa yang
paling “taat” di dunia. Namun agama mereka bukanlah aga-ma kebenaran, melainkan
sebuah bentuk politeisme sesat, dan mereka tidak bisa meninggalkan agama mereka yang
sesat sebab teguh me-megang tradisi.
Bangsa Mesir Kuno sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam mere-ka. Keadaan
alam Mesir secara sempurna melindungi negara ini dari serangan luar. Mesir
dikelilingi gurun pasir, pegunungan, dan lautan di semua sisi. Serangan terhadap negara
ini hanya mungkin dilaku-kan dengan dua jalan, dan sangat mudah bagi mereka untuk
memperta-hankan diri. Bangsa Mesir tetap terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor
alam ini. Namun abad-abad yang berlalu mengubah isolasi ini menjadi kefanatikan buta.
Akhirnya, bangsa Mesir memperoleh cara berpikir yang membelenggu mereka dari
perkembangan dan hal-hal yang baru, serta sangat konservatif terhadap agama mereka.
“Agama nenek moyang” yang sering disebutkan dalam Al Quran menjadi nilai paling
penting bagi mereka.
sebab itulah Fir’aun dan para petingginya ingkar saat Musa dan Harun
mengumum-kan agama yang hak kepada mereka, dengan mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada ka-mi untuk memalingkan kami dari apa yang
kami dapati nenek mo-yang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempu-
nyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.” (QS.
Yunus, 10: 78) !
Agama bangsa Mesir Kuno ber-cabang-cabang, yang terpenting yaitu agama resmi
negara, berba-gai kepercayaan rakyat, dan keper-cayaan terhadap kehidupan sesudah
kematian.
Menurut agama resmi negara, fir’aun yaitu mahkluk yang suci. Dia yaitu
pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya yaitu untuk
menyelenggarakan keadilan dan melin-dungi mereka di dunia.
Kepercayaan yang berkembang luas di kalangan warga sangat rumit dan unsur-
unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan para
fir’aun. Pada dasarnya, mereka mempercayai banyak tuhan, dan tuhan-tuhan ini biasanya
digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.
Kehidupan sesudah mati merupakan bagian terpenting dalam keper-cayaan bangsa
Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup sesudah jasad mati. Menurut
kepercayaan ini, roh-roh orang mati dibawa oleh ma-laikat-malaikat khusus kepada Tuhan
yang menjadi hakim dan 42 saksi hakim lain; sebuah timbangan diletakkan di tengah-
tengah, dan hati sang roh ditimbang dengannya. Mereka yang kebaikannya lebih berat
dibawa ke suatu tempat yang indah dan hidup dalam kebahagiaan, sedang mereka yang
kejahatannya lebih berat dikirim ke suatu tempat di mana mereka mendapatkan siksaan
yang berat. Di sana mereka disiksa selama-lamanya oleh sebuah makhluk aneh yang disebut
dengan “Pemakan Kematian”.
Kepercayaan bangsa Mesir terhadap hari akhirat jelas menunjukkan kesejajaran
dengan kepercayaan monoteistik dan agama yang benar. Bah-kan kepercayaan mereka
kepada hari akhirat saja membuktikan bahwa agama yang benar dan wahyu telah mencapai
peradaban Mesir Kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan, dan monoteisme
berubah menjadi politeisme. Seperti telah diketahui, para pemberi peringatan yang menyeru
manusia untuk mengesakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya,
telah diutus di Mesir dari masa ke masa, sebagaimana kepada seluruh penduduk dunia pada
satu masa atau masa yang lain. Salah satunya yaitu Nabi Yusuf yang kehidupannya secara
terperinci diceritakan dalam Al Quran. Sejarah Nabi Yusuf yaitu sangat penting sebab
menyebutkan kehadiran Bani Israil di Mesir dan bermukimnya mereka di sana.
Sementara, dalam sumber-sumber sejarah ada rujukan tentang orang-orang Mesir
yang menyeru manusia kepada agama-agama Mono-teistik, bahkan sebelum nabi Musa.
Salah satunya yaitu fir'aun yang paling menarik dalam sejarah Mesir, yakni Amenhotep IV.
Fir'aun Amenhotep IV yang Monoteistik
Fir’aun-fir’aun Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan
bengis. Umumnya mereka menganut agama politeisme Mesir dan mendewakan diri mereka
melalui agama ini.
Namun ada seorang fir’aun dalam sejarah Mesir yang sangat berbeda dengan lainnya.
Fir'aun ini mempertahankan kepercayaan terhadap Pencipta tunggal dan mendapatkan
perlawanan hebat dari para pendeta Ammon, yang mendapat keuntungan dari agama
politeisme dan bebe-rapa prajurit yang mendukung mereka, sehingga akhirnya ia terbunuh.
Fir’aun ini yaitu Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad ke-14 SM.
saat dinobatkan pada tahun 1375 SM, Amenhotep IV berseberang-an dengan
konservatisme dan tradisionalisme yang telah berlangsung selama berabad-abad. Hingga
saat itu, struktur warga dalam hu-bungan rakyat dengan istana kerajaan terus berlanjut
tanpa perubahan. warga menutup pintu rapat-rapat dari peristiwa di luar dan pem-
baruan agama. Konservatisme ekstrem ini, yang juga disebutkan oleh para pengembara
Yunani Kuno, diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir yang telah disebutkan di atas.
Agama resmi yang ditekankan para fir'aun kepada rakyat menuntut kepercayaan yang
tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisi-onal. Namun Amenhotep IV tidak
menganut agama resmi ini . Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis:
Dia (Amenhotep IV) mengubah banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi yang
telah berbilang abad. Ia tidak mau menyembah berbagai tuhan kaumnya yang aneh-aneh
bentuknya. Baginya hanya ada satu Tuhan yang perkasa, Aton, yang ia sembah dan
tampilkan dalam bentuk matahari. Ia menyebut dirinya Akhenaton, mengikuti nama
tuhannya dan memindahkan istananya di luar jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang
lain ke suatu tempat yang sekarang disebut El-Amarna.34
sesudah kematian ayahnya, Amenhotep IV muda men-dapat tekanan hebat. Tekanan
ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia mengembangkan sebuah agama yang berdasarkan
monoteisme dengan mengubah agama politeistik tradisi-onal Mesir dan berupaya
melakukan perubahan-perubahan radikal dalam berbagai bidang. Namun para pemimpin
Thebes tidak mengizinkannya menyampaikan ajaran agama ini. Amen-hotep IV dan para
pengikutnya kemudian pindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di sini
mereka membangun sebuah kota baru dan modern yang dinamakan ”Akh-en-aton”.
Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti “Kegembiraan Amon” menjadi Akh-en-
aton yang berarti “Tunduk kepada Aton”. Amon yaitu nama yang diberikan kepada totem
terbesar dalam kepercayaan politeisme bangsa Mesir. Menurut Amenhotep, Aton yaitu
“pencipta langit dan bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah.
sebab merasa terganggu oleh perkembangan ini, para pendeta Ammon berkeinginan
merenggut kekuatan Akhenaton dengan mengambil kesempatan dari terjadinya krisis
ekonomi di Mesir. Akhenaton akhirnya mati diracun oleh komplotan itu. Para fir’aun
sesudah nya berhati-hati untuk tetap berada di bawah pengaruh para pendeta ini .
sesudah Akhenaton, berkuasa para fir’aun dengan latar belakang ke-militeran. Mereka
membuat tersebarnya kembali politeisme dari tradisi lama dan berusaha keras untuk
kembali ke masa lalu. Hampir seabad kemudian, Ramses II, yang paling lama kekuasaannya
dalam sejarah Mesir, diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses ada-lah
fir’aun yang menyiksa bani Israil dan berperang melawan Nabi Musa.35
Kedatangan Nabi Musa
sebab begitu hebatnya kefanatikan mereka, bangsa Mesir Kuno ti-dak mau
meninggalkan kepercayaan mereka yang tertanam kuat. Walau telah datang kepada mereka
beberapa orang yang menyerukan untuk me-nyembah Allah semata, kaum Fir’aun selalu
berpaling kepada keper-cayaan mereka yang sesat. Akhirnya, Nabi Musa diutus Allah
sebagai rasul bagi mereka, selain sebab mereka telah mengambil sistem penuh kepalsuan
yang bertentangan dengan agama yang hak, juga sebab mere-ka telah melakukan
perbudakan atas Bani Israel. Musa diperintahkan untuk mengajak bangsa Mesir kepada
agama yang hak, juga menye-lamatkan Bani Israil dari perbudakan dan menunjuki mereka
jalan yang benar. Dalam Al Quran hal ini disebutkan:
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'-aun dengan
benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadi-kan penduduknya berpecah belah,
dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk
ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak mem-beri karunia
kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan
akan Kami teguhkan kedu-dukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan
kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan
dari mereka itu.” (QS. Al Qashash, 28: 3-6) !
Fir'aun ingin mencegah bertambahnya Bani Israil dengan cara mem-bunuh semua
bayi laki-laki yang baru lahir. sebab itulah, dengan ilham dari Allah SWT, ibunda Musa
menempatkan Musa ke dalam sebuah ke-ranjang dan menghanyutkannya ke sungai. Hal
inilah yang membawa-nya ke istana Fir'aun. Inilah ayat dalam Al Quran yang menyebutkan
hal ini:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ”Susukanlah dia dan apabila kamu
khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah
kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, sebab sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepada-mu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.
Maka dipu-ngutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan
kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beser-ta tentara-
tentaranya yaitu orang-orang yang bersalah.”
Dan berkatalah istri Fir’aun: ”(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Ja-nganlah
kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia
menjadi anak”, sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS. Al Qashash, 28 : 7-9) !
Istri Fir’aun mencegah Musa dibunuh dan mengangkatnya menjadi anak. Begitulah,
Musa menghabiskan masa kecilnya di istana Fir'aun. Dengan pertolongan Allah, ibu
kandung Musa dibawa ke istana sebagai ibu asuhnya.
saat telah dewasa, suatu hari Musa melihat seorang Bani Israil dianiaya oleh
seorang Mesir. Lalu Musa menengahi dan memukul si orang Mesir dengan satu pukulan
yang ternyata mengakibatkan kema-tiannya. Walau Musa hidup di istana Fir’aun dan telah
diangkat anak oleh permaisuri, pimpinan kota memutuskan hukuman mati untuk Musa.
Mendengar ini, Musa pun melarikan diri dari Mesir dan pergi ke Madyan. Pada akhir
periode yang ia habiskan di sana, Allah berfirman langsung kepadanya dan memberinya
status kenabian. Ia diperintahkan kembali kepada Fir’aun dan menyampaikan risalah Allah
kepadanya.
Istana Fir’aun
Musa dan Harun pergi kepada Fir’aun untuk menjalankan perintah Allah dan
menyampaikan kepadanya risalah agama kebenaran. Mereka meminta Fir’aun berhenti
menyiksa bani Israel dan membiarkan mereka pergi bersama Musa dan Harun. Fir'aun tak
dapat menerima kenyataan bahwa Musa yang telah dipeliharanya bertahun-tahun