jejak bangsa terdahulu 3


  kepadamu  binatang-binatang  ternak  dan  anak-

anak, 

dan kebun-kebun dan mata air, 

sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” 

Mereka  menjawab:  ”yaitu   sama  saja  bagi  kami,  apakah  kamu  memberi 

nasihat  atau  tidak  memberi  nasihat,  (agama  kami)  ini  tidak  lain  hanyalah  adat 

kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak akan diazab”. 

Maka mereka mendustakan Hud, lalu Kami binasakan mereka. Se-sungguhnya 

pada  yang  demikian  itu  benar-benar  ada   tanda  (kekuasaan  Allah),  namun  

kebanyakan mereka tidak beriman. 

Dan  sesungguhnya  Tuhanmu,  Dialah  Yang  Mahaperkasa  lagi  Maha 

Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 123-140) !

Kaum yang menunjukkan permusuhan kepada Hud dan melawan Allah itu benar-

benar dibinasakan. Badai pasir  yang mengerikan membi-nasakan kaum ‘Ad seakan-akan 

mereka “tidak pernah ada”.

Temuan Arkeologis di Kota Iram

Pada awal tahun 1990 muncul keterangan pers dalam beberapa surat kabar terkemuka 

di dunia yang menyatakan “Kota Legenda Arabia yang Hilang Telah Ditemukan”, “Kota 

Legenda  Arabia  Ditemukan”,  “Ubar,  Atlantis  di  Padang  Pasir.”  Yang  membuat  temuan 

arkeologis ini lebih menarik yaitu  kenyataan bahwa kota ini juga disebut dalam Al Quran. 

Banyak orang, yang sejak dahulu beranggapan bahwa kaum ‘Ad sebagai-mana diceritakan 

dalam Al Quran hanyalah sebuah legenda atau berang-gapan bahwa lokasi  mereka tidak 

akan pernah ditemukan, tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka atas penemuan ini. 

Penemuan kota ini, yang hanya disebutkan dalam cerita lisan Suku Badui, membangkit-kan 

minat dan rasa keingintahuan yang besar.

yaitu  Nicholas Clapp, seorang arkeolog amatir yang menemukan kota legendaris 

yang  disebutkan  dalam Al  Quran  ini19.  Sebagai  seorang  Arabophile  dan  pembuat  film 

dokumenter berkualitas, Clapp telah men-jumpai sebuah artikel   yang sangat menarik selama 

penelitiannya tentang sejarah Arab. artikel   ini berjudul Arabia Felix yang ditulis oleh seorang 

pe-neliti Inggris bernama Bertram Thomas pada tahun 1932. Arabia Felix yaitu  penamaan 

Romawi untuk bagian selatan semenanjung Arabia yang dewasa ini mencakup Yaman dan 

sebagian besar  Oman.  Bangsa Yunani  menyebut  daerah ini  “Eudaimon Arabia”.  Sarjana 

Arab abad per-tengahan menyebutnya sebagai “Al Yaman As-Sa'idah”20. 

Semua  nama ini   berarti  “Arabia  yang Beruntung”,  sebab   orang-orang  yang 

hidup di daerah ini  di masa lalu dikenal sebagai orang-orang yang paling beruntung 

pada zamannya. Lalu, apakah yang menjadi alasan bagi penamaan seperti itu?

Keberuntungan  mereka  sebagian  berkaitan  dengan  letak  mereka  yang  strategis 

menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah antara India dengan tempat-tempat 

di  utara  semenanjung  Arab.  Di  sam-ping  itu,  orang-orang  yang  berdiam di  daerah  ini 

memproduksi  dan men-distribusikan "frankincense"  sejenis  getah  wangi  dari  pepohonan 

langka. sebab  sangat disukai oleh warga  kuno, tanaman ini digunakan sebagai dupa 

dalam  berbagai  ritus  keagamaan.  Pada  saat  itu,  tanaman  ini   setidaknya  sama 

berharganya dengan emas.

Thomas, sang peneliti Inggris memaparkan tentang suku-suku yang “beruntung” ini 

dengan panjang lebar dan menyatakan bahwa ia telah menemukan jejak sebuah kota kuno 

yang dibangun oleh salah satu dari suku-suku ini21. Itulah kota yang dikenal suku Badui 

dengan  sebutan  “Ubar”.  Pada  salah  satu  perjalanannya  ke  daerah  ini ,  orang-orang 

Badui yang hidup di padang pasir itu menunjukkan jalur-jalur usang dan menyatakan bahwa 

jalur-jalur ini  mengarah ke kota kuno Ubar. Thomas, yang sangat berminat dengan hal 

ini meninggal sebelum mampu menuntaskan penelitiannya.

Clapp,  sesudah   mengkaji  tulisan  Thomas,  meyakini  keberadaan  kota  yang  hilang 

ini . Tanpa banyak membuang waktu, ia memulai pene-litiannya. Clapp membuktikan 

keberadaan Ubar dengan dua cara. Perta-ma, ia menemukan jalur-jalur yang menurut suku 

Badui benar-benar ada. Ia meminta NASA (Badan Luar Angkasa Nasional Amerika Serikat) 

un-tuk  menyediakan  foto  satelit  daerah  ini .  sesudah   perjuangan  yang  panjang,  ia 

berhasil membujuk pihak yang berwenang untuk memotret daerah ini 22.

Clapp melanjutkan mempelajari  berbagai manuskrip dan peta kuno di perpustakan 

Huntington di California.  Tujuannya yaitu  untuk mene-mukan peta dari daerah tesebut. 

sesudah  melalui penelitian singkat, ia me-nemukannya. Yang ditemukannya yaitu  sebuah 

peta yang digambar oleh Ptolomeus, ahli geografi Yunani-Mesir di tahun 200 M. Pada peta 

ini ditunjukkan lokasi sebuah kota tua yang ditemukan di daerah ini  dan jalan-jalan 

yang menuju kota ini .

Sementara itu, ia menerima kabar bahwa NASA telah melakukan pemotretan. Dalam 

foto-foto  ini ,  beberapa  jalur  kafilah  menjadi  ter-lihat,  suatu  hal  yang sulit  dikenali 

dengan mata telanjang, namun dapat dilihat sebagai satu kesatuan dari luar angkasa. Dengan 

membandingkan foto-foto ini dengan peta tua yang di tangannya, akhirnya Clapp menca-pai 

kesimpulan yang ia cari: jalur-jalur dalam peta tua sesuai dengan jalur-jalur dalam gambar 

yang diambil dengan satelit. Tujuan akhir dari jejak-jejak ini yaitu  sebuah situs yang luas 

yang ditengarai dahulunya merupakan sebuah kota.

Akhirnya, lokasi kota legendaris yang menjadi subjek cerita-cerita lisan suku Badui 

ditemukan. Tidak berapa lama kemudian, penggalian dimulai dan peninggalan dari sebuah 

kota mulai tampak di bawah gurun pasir. Demikianlah, kota yang hilang ini disebut sebagai 

“Ubar, Atlantis di Padang Pasir”.

Lalu, apakah yang membuktikan kota ini sebagai kota kaum ‘Ad yang disebutkan 

dalam Al Quran?

Begitu  reruntuhan-reruntuhan  mulai  digali,  diketahui  bahwa kota  yang hancur  ini 

yaitu  milik kaum ‘Ad dan berupa pilar-pilar Iram yang disebutkan dalam Al Quran, sebab  

di  antara  berbagai  struktur  yang  di-gali  ada   menara-menara  yang  secara  khusus 

disebutkan dalam Al Quran.  Dr.  Zarins,  seorang anggota tim penelitian yang memimpin 

peng-galian mengatakan bahwa sebab  menara-menara itu disebut sebagai bentuk khas kota 

'Ubar, dan sebab  Iram disebut mempunyai menara-menara atau tiang-tiang, maka itulah 

bukti terkuat sejauh ini, bahwa situs yang mereka gali yaitu  Iram, kota kaum ‘Ad yang 

disebutkan dalam Al Quran:

Apakah kamu  tidak  memperhatikan  bagaimana  Tuhanmu berbuat  terhadap 

kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai ba-ngunan-bangunan yang tinggi 

yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (QS. Al 

Fajr, 89: 6-8) !

Kaum ‘Ad

Sejauh ini kita telah melihat kemungkinan Ubar sebagai kota Iram yang disebutkan 

dalam Al Quran. Menurut Al Quran, warga kota terse-but tidak mengindahkan seruan Nabi 

Hud  yang  membawakan risalah  kepada  mereka  dan  memberi  peringatan  mereka,  maka 

akhirnya mereka pun dibinasakan.

Identitas  kaum ‘Ad yang membangun kota Iram juga telah menim-bulkan banyak 

perdebatan. Dalam berbagai catatan sejarah tidak pernah disebutkan tentang suatu kaum pun 

yang telah memiliki  kebudayaan yang begitu maju atau tentang peradaban yang mereka 

kembangkan. Mungkin akan dianggap aneh bahwa nama dari sebuah kaum semacam itu 

tidak ditemukan dalam catatan sejarah.

Di sisi lain, seharusnya tidak terlalu mengherankan bila tidak di-temukan keberadaan 

kaum ini dalam berbagai catatan dan arsip pera-daban lama. Alasannya yaitu  bahwa kaum 

ini tinggal di Arabia Selatan, sebuah daerah yang jauh dari kaum lain yang hidup di daerah 

Mesopo-tamia  dan  Timur Tengah,  dan  hanya  memiliki  hubungan  yang  terbatas  dengan 

mereka. yaitu  hal yang umum bagi sebuah negara, yang sangat jarang dikenal, untuk tidak 

tercantum dalam catatan sejarah. Namun di samping itu, sangat mungkin untuk menemukan 

cerita-cerita tentang kaum ‘Ad di antara orang-orang yang hidup di sekitar Timur Tengah.

Alasan terpenting mengapa kaum ‘Ad tidak disebutkan dalam catatan tertulis yaitu  

sebab  saat itu komunikasi tertulis tidak lazim di daerah ini . Sehingga, sangat mungkin 

kaum ‘Ad telah  membangun sebuah peradaban,  namun belum pernah disebutkan dalam 

catatan seja-rah dari peradaban lain yang melakukan dokumentasi. Jika saja kebuda-yaan ini 

berlangsung sedikit lebih lama, mungkin lebih banyak lagi yang dapat diketahui tentang 

kaum ‘Ad di saat ini.

Tidak  ada  catatan  tertulis  tentang  kaum  ‘Ad,  namun  memungkinkan  untuk 

menemukan  informasi  penting  tentang  “keturunan”  mereka  dan  untuk  mendapatkan 

gambaran tentang kaum ‘Ad dari informasi ini.

Bangsa Hadram, Anak Cucu ‘Ad

Tempat  pertama  yang  diamati  untuk  mencari  kemungkinan  jejak-jejak  peradaban 

yang didirikan kaum 'Ad atau anak cucu mereka, yaitu  Yaman Selatan di mana “Ubar, 

Atlantis di padang pasir” ditemukan dan yang disebut sebagai “Arabia yang Beruntung”. Di 

Yaman selatan, empat bangsa telah hidup sebelum zaman kita, dan disebut orang Yunani 

sebagai “Arab yang Beruntung”. Mereka yaitu  bangsa Hadram, Saba’, Mina, dan Qataba. 

Keempat bangsa ini berkuasa dalam waktu yang sing-kat pada daerah-daerah yang saling 

berdekatan.

Banyak ilmuwan kontemporer mengatakan bahwa kaum ‘Ad telah memasuki  satu 

periode  perubahan  dan kemudian  muncul  kembali  di  panggung sejarah.  Dr.  Mikhail  H. 

Rahman seorang peneliti dari Univer-sity of Ohio merasa yakin bahwa kaum ‘Ad yaitu  

nenek moyang dari bangsa Hadram, salah satu dari empat bangsa yang pernah menghuni 

Yaman Selatan. Bangsa Hadramaut,  yang muncul sekitar  500 SM, setidaknya dikenal di 

antara bangsa-bangsa yang dinamai “Arabia yang Beruntung”. Bangsa-bangsa ini berkuasa 

di wilayah Yaman Selatan cukup lama dan menghilang sepenuhnya pada 240 M pada akhir 

dari periode panjang kemunduran.

Nama Hadram mengisyaratkan  bahwa  mereka  mungkin  merupakan  keturuan  dari 

kaum ‘Ad. Penulis Yunani Pliny, yang hidup pada abad ke-3 SM, menyebut suku bangsa ini 

sebagai "Adramitai" yang berarti bangsa Hadram. Pengistilahan nama dalam bahasa Yunani 

yaitu   akhiran  -  kata  benda,  kata  benda  "Adram"  langsung  mengisyaratkan  bahwa  ia 

merupa-kan perubahan dari kata "Ad-i Ram" yang disebutkan dalam Al Quran.

Ptolomeus, seorang ahli geografi Yunani (150-100 SM) menunjukkan bagian selatan 

Semenanjung Arabia sebagai tempat kaum yang disebut “Adramitai” pernah hidup. Daerah 

ini  sampai  sekarang  dikenal  dengan  nama  “Hadhramaut”23.  Ibu  kota  negara  Hadram, 

Shabwah terletak di barat Lembah Hadhramaut. Menurut berbagai legenda tua, Nabi Hud 

yang diutus kepada kaum ‘Ad dimakamkan di Hadhramaut.

Faktor lain yang membenarkan pemikiran bahwa Hadhramaut ada-lah penerus dari 

kaum ‘Ad yaitu  kekayaan mereka.  Bangsa Yunani me-negaskan kaum Hadram sebagai 

“suku bangsa terkaya di dunia…”. Ca-tatan sejarah mengatakan bahwa Hadram sangat maju 

dalam pertanian frankincense, salah satu tanaman paling berharga waktu itu. Mereka telah 

menemukan cara-cara penggunaan baru bagi tanaman ini dan memper-luas penggunaannya. 

Hasil pertanian bangsa Hadram jauh lebih banyak daripada produksi tanaman ini  di 

masa kini.

Apa yang ditemukan pada penggalian di  Shabwah yang dikenal seba-gai ibu kota 

Hadram sangatlah menarik. Dalam berbagai penggalian yang dimulai pada tahun 1975 para 

ahli arkeologi sangat sulit mencapai sisa-sisa kota ini  sebab  tertimbun di bawah gurun 

pasir. Temuan yang dihasilkan di akhir penggalian amat menakjubkan, sebab  kota kuno 

yang belum tergali itu merupakan salah satu kota yang teramat luar biasa menarik yang 

ditemukan hingga saat itu. Kota dikelilingi dinding yang berhasil diungkap memiliki ukuran 

lebih luas daripada situs kuno Yaman mana pun dan istananya merupakan bangunan yang 

sangat menakjub-kan.

Tidak  diragukan  lagi,  sangat  logis  untuk  menduga  bahwa  bangsa  Hadram  telah 

mewarisi keunggulan arsitektur ini dari pendahulunya kaum ‘Ad. Hud berkata kepada kaum 

‘Ad saat  memperingatkan mere-ka:

“Apakah  kamu  mendirikan  pada  tiap-tiap  tanah  tinggi  bangunan  untuk 

bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu 

kekal (di dalamnya)?” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 128-129) !

Ciri menarik lainnya dari bangunan-bangunan di Shabwah yaitu  tiang-tiang yang 

sangat rumit. Tiang-tiang di Shabwah tampak sangat unik sebab  bundar dan disusun dalam 

serambi-serambi melengkung, semen-tara semua situs di Yaman sejauh itu baru ditemukan 

memiliki tiang-tiang monolit berbentuk persegi. Orang-orang Shabwah tentunya mewarisi 

gaya  arsitektur  dari  para  leluhurnya,  kaum ‘Ad.  Fotius,  Patriach  Yunani  Bizantium dari 

Konstantinopel pada awal abad ke-9 M, melaku-kan penelitian besar-besaran tentang Arabia 

Selatan dan aktivitas perda-gangan mereka,  sebab  ia mempunyai akses pada manuskrip 

Yunani Kuno yang sudah musnah saat ini, dan khususnya karya Agatharachides (132 SM) 

tentang  Laut  Eritrea  (Laut  Merah).  Fotius  menyebutkan  dalam  salah  satu  artikel-nya: 

“Diwartakan bahwa mereka (bangsa Arab Selatan) telah membangun banyak tiang berlapis 

emas  atau  terbuat  dari  perak.  Ruangan-ruangan  di  antara  tiang-tiang  ini   sangat 

mengagumkan untuk dilihat”24.

Walaupun tidak  langsung merujuk  kepada  bangsa  Hadram,  tetap  sa-ja  pernyataan 

Fotius ini  memberikan gambaran tentang kemakmur-an dan kecakapan membangun 

orang-orang  yang  tinggal  di  wilayah  itu.  Penulis  klasik  Yunani,  Pliny  dan  Strabo 

menggambarkan kota-kota ini sebagai “dihiasi oleh berbagai kuil dan istana yang indah”.

saat  kita memikirkan bahwa para penghuni kota ini yaitu  ketu-runan kaum 

‘Ad,  jelaslah  mengapa  Al  Quran  menyebutkan  tempat  ting-gal  kaum ‘Ad sebagai 

“kota Iram dengan tiang-tiangnya yang tinggi”. (QS. Al Fajr, 89: 7). 

Sumber-Sumber Mata Air dan Kebun-Kebun Kaum 'Ad

Saat ini, pemandangan paling sering ditemui seseorang yang mela-kukan perjalanan 

ke Arab Selatan yaitu  padang pasir teramat luas. Hampir semua tempat dihampari pasir, 

kecuali kota-kota dan daerah-daerah yang telah dihijaukan kemudian. Gurun pasir ini telah 

ada sejak ratusan dan mungkin ribuan tahun.

Namun  dalam Al  Quran,  ada   informasi  menarik  dalam salah  satu  ayat  yang 

berkenaan dengan kaum ‘Ad. saat  memperingatkan kaumnya, Nabi Hud mengingatkan 

tentang mata air dan kebun yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum ‘Ad:

“Maka bertakwalah  kepada  Allah  dan  taatlah  kepadaku.  Dan  ber-takwalah 

kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia 

telah  menganugerahkan kepadamu bina-tang-binatang  ternak dan anak-anak,  dan 

kebun-kebun dan mata air,  sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari 

yang besar.” (QS. Asy-Syu'araa', 26: 131-135) !

Namun sebagaimana telah kita catat  sebelumnya,  Ubar, yang dikenal  dengan kota 

Iram dan tempat-tempat lainnya yang berkemungkinan sebagai daerah hunian kaum ‘Ad, 

saat ini tertutup pasir seluruhnya. Lalu, mengapa Hud menggunakan ungkapan semacam itu 

saat  memper-ingatkan kaumnya?

Jawabannya  tersembunyi  dalam sejarah perubahan iklim. Berbagai  catatan sejarah 

mengungkapkan bahwa daerah-daerah yang sekarang telah menjadi gurun pasir, pada suatu 

saat  pernah merupakan tanah yang sangat hijau dan produktif. Kurang dari seribu tahun 

yang lampau, sebagian besar wilayah ini  dihampari kawasan hijau dan mata-mata air 

sebagaimana  disebutkan  dalam Al  Quran,  dan  penghuninya  meman-faatkan  karunia  itu. 

Hutan-hutan melunakkan kerasnya iklim wilayah ini  dan membuatnya dapat dihuni. 

Padang pasir memang ada, namun tidak seluas seperti saat ini.

Di Arabia Selatan, bukti-bukti penting telah diperoleh di wilayah tempat kaum ‘Ad 

pernah hidup, yang dapat memberikan titik terang atas persoalan ini. Di sini nampak bahwa 

penduduk dari daerah ini menggu-nakan sistem pengairan yang sudah sangat maju. Sistem 

pengairan ini kemungkinan besar hanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yaitu perta-nian. 

Wilayah-wilayah ini , yang sekarang tak lagi layak huni, pada suatu masa pernah diolah 

manusia.

Pencitraan satelit  juga telah mengungkapkan suatu sistem saluran-saluran air kuno 

yang luas dan bendungan-bendungan yang digunakan untuk pengairan di sekitar Ramlat As 

Sab’atayan yang diperkirakan mampu menghidupi sekitar 200.000 orang di kota-kota yang 

berdekatan25. Seperti dinyatakan Doe, salah seorang peneliti yang melakukan riset: “Begitu 

suburnya daerah di sekitar  Ma’rib, sehingga seseorang akan menganggap bahwa seluruh 

daerah  di  antara  Ma’rib  dan  Hadhramaut  dahulunya  pernah  berada  di  bawah  satu 

pengelolaan26.

Seorang penulis klasik Yunani, Pliny menggambarkan bahwa wila-yah ini dahulunya 

sangat subur dengan gunung berhutan lebat berse-limut kabut, sungai dan hutan yang tidak 

ada  putusnya.  Dalam  berbagai  prasasti  yang  ditemukan  di  beberapa  kuil  kuno  dekat 

Shabwah, ibu kota Hadram, dikatakan bahwa binatang-binatang diburu di daerah ini  

dan sebagiannya ini   untuk dikorbankan.  Semua ini  mengungkap-kan bahwa daerah 

ini  pernah dihampari tanah yang subur, di sam-ping gurun pasir. 

Kecepatan gurun pasir itu berkembang, dapat dilihat pada beberapa riset terbaru yang 

dilakukan  oleh  Institut  Smithsonian  di  Pakistan.  Se-buah  kawasan  yang  dikenal  sangat 

subur  di  abad pertengahan  telah  ber-ubah menjadi  gurun pasir  dengan bukit-bukit  pasir 

setinggi  enam meter;  gurun  ini   diketahui  bertambah  rata-rata  6  inci  per  harinya. 

Dengan  kecepatan  seperti  ini  pasir  dapat  menelan  bangunan  tertinggi  sekalipun  dan 

menguburnya  sehingga  bangunan  itu  bagaikan  tidak  pernah  ada.  Dengan  demikian 

penggalian di Timna, Yaman pada tahun 1950 hampir seluruhnya tertimbun lagi oleh pasir. 

Piramid-piramid  di  Mesir  dulunya  juga  pernah  tertimbun  pasir  dan  baru  muncul  ke 

permukaan sesudah  melalui penggalian yang sangat lama. Singkatnya, jelaslah bahwa daerah 

yang kini dikenal sebagai gurun pasir mungkin memiliki tampilan yang sangat jauh berbeda 

di masa lalu.

Bagaimana Kaum ‘Ad Dihancurkan?

Di dalam Al Quran, dituturkan bahwa kaum ‘Ad telah dibinasakan dengan “angin 

badai  yang  dahsyat”.  Dalam  ayat-ayat  ini  disebutkan  bah-wa  angin  badai  yang  hebat 

berlangsung  selama  tujuh  malam  delapan  hari  dan  menghancurkan  kaum  ‘Ad 

keseluruhannya:

“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyat-nya azab-

Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada 

mereka  angin  yang  sangat  kencang  pada  hari  yang  naas  terus-menerus.”  (QS.  Al 

Qamar, 54: 18-20) !

“Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat 

dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama 

tujuh  malam dan  delapan  hari  terus  menerus;  maka  kamu lihat  kaum ‘Ad pada 

waktu  itu  mati  berge-limpangan  seakan-akan  mereka  tunggul  pohon  kurma yang 

telah kosong (lapuk).” (QS. Al Haaqqah, 69: 6-7) !

Meskipun telah diperingatkan sebelumnya, mereka tidak mengin-dahkan peringatan 

dan terus menolak nabi mereka. Mereka berada dalam angan-angan seperti  itu, sehingga 

mereka  tidak  memahami apa  yang  sedang  terjadi  saat   melihat  penghancuran  ini  

menghampiri mereka, dan tetap dalam keingkarannya :

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-

lembah  mereka,  berkatalah  mereka:  “Inilah  awan  yang  akan  menurunkan  hujan 

kepada kami. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan 

segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.” (QS. Al Ahqaaf, 46: 24) !

Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka melihat awan yang akan menghancurkan 

mereka, namun tidak dapat memahaminya dan berpikir bahwa itu merupakan awan yang 

membawa hujan. Ini merupakan pe-tunjuk penting bagaimana bencana itu saat mendekati 

mereka, sebab  sebuah badai topan yang sedang menyapu sepanjang gurun pasir juga akan 

tampak  seperti  sebuah  awan  hujan  dari  kejauhan.  Mungkin  kaum  ‘Ad  tertipu  oleh 

pemunculan ini dan tidak menyadari bencana ini . Doe memberikan sebuah deskripsi 

tentang badai pasir (yang sepertinya berdasarkan pengalaman pribadinya): “Tanda pertama 

(dari  badai  debu atau pasir)  yaitu   mendekatnya  tembok udara  mengandung pasir  yang 

tingginya mungkin mencapai ribuan kaki, yang diangkat oleh aliran yang meninggi dengan 

kuat dan diaduk oleh angin yang cukup kuat”27. 

“Ubar, Atlantis di padang pasir“ yang dianggap sebagai sisa-sisa peninggalan kaum 

‘Ad  telah  ditemukan  kembali  dari  bawah  lapisan  pasir  yang  bermeter-meter  tebalnya. 

Tampaknya  angin  dahsyat  yang  berlang-sung  selama  “tujuh  malam  dan  delapan  hari” 

sebagaimana  disebutkan  Al  Quran,  menumpuk  berton-ton  pasir  di  atas  kota  itu  dan 

menimbun  pen-duduknya  hidup-hidup.  Penggalian-penggalian  di  Ubar  menunjukkan 

kemungkinan yang sama.  Majalah Prancis,  Ca M'Interesse menyatakan hal yang serupa; 

“Ubar terkubur di bawah pasir setebal 12 meter sebab  sebuah badai”28.

Bukti paling penting yang menunjukkan bahwa kaum ‘Ad dikubur oleh sebuah badai 

pasir yaitu  kata “ahqaf” yang digunakan dalam Al Quran untuk menandai lokasi dari kaum 

‘Ad. Deskripsi yang digunakan dalam ayat 21 surat Al Ahqaaf yaitu  sebagai berikut:

“Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ad yaitu saat  ia  memberi  peringatan 

kepada  kaumnya  di  Al  Ahqaf  dan  sesungguhnya  telah  terdahulu  beberapa  orang 

pemberi peringatan sebelumnya dan sesu-dahnya (dengan mengatakan): “Janganlah 

kamu menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab 

hari yang besar.”

Ahqaaf dalam bahasa Arab berarti “bukit-bukti pasir“ yaitu  bentuk plural dari kata 

“hiqf” yang berarti sebuah bukit pasir. Ini menunjukkan bahwa kaum ‘Ad hidup di daerah 

yang penuh dengan “bukit-bukit pasir” yang memberikan landasan paling masuk akal untuk 

sebuah fakta bahwa mereka dikubur oleh sebuah badai pasir. Menurut sebuah interpretasi, 

ahqaaf kehilangan artinya sebagai “bukit-bukit pasir” dan menjadi nama sebuah tempat di 

selatan Yaman di mana kaum ‘Ad hidup. Ini tidak mengubah fakta bahwa akar kata ini 

yaitu  bukit-bukit  pasir,  namun hanya  menunjukkan bahwa kata  ini  telah  menjadi  khas 

untuk daerah ini sebab  banyaknya bukit pasir.

Penghancuran  yang  menimpa  kaum  ‘Ad  yang  berasal  dari  badai  pasir  yang 

“mencabut  orang-orang  seakan  mereka  yaitu   akar  pohon  palem yang  tercerabut  (dari 

dalam tanah)”, tentunya telah memusnahkan seluruh penduduk dalam waktu yang sangat 

singkat,  mereka  yang  hing-ga  saat  itu  hidup  dengan  mengolah  lahan-lahan  subur  dan 

membangun bendungan-bendungan serta saluran-saluran air irigasi untuk mereka sendiri. 

Semua ladang olahan yang subur, saluran irigasi,  dan bendungan milik warga  yang 

pernah hidup di sana tertutup oleh pasir, dan seluruh kota dan penduduknya terkubur hidup-

hidup  dalam pasir,  sesudah   mereka  dihancurkan,  padang  pasir  berkembang  di  sana  dan 

menutupinya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Sebagai  akibatnya  dapat  dikatakan  bahwa  temuan  sejarah  dan  arkeo-logi 

mengindikasikan bahwa kaum ‘Ad dan kota Iram benar-benar per-nah ada dan dihancurkan 

seperti disebutkan dalam Al Quran. Berdasar-kan penelitian lebih lanjut, sisa-sisa dari kaum 

ini telah ditemukan kem-bali dari dalam gurun pasir.

Apa  yang  seharusnya  dilakukan  seseorang  kala  memperhatikan  sisa-sisa  yang 

terkubur di dalam pasir yaitu  mengambil peringatan sebagai-mana ditegaskan dalam Al 

Quran. Al Quran menyatakan bahwa kaum ‘Ad telah sesat sebab  kesombongan mereka dan 

berkata:  ”Siapakah  kekuatannya  yang  lebih  besar  dari  kami?.”  Di  akhir  ayat, 

dikatakan,  “Dan  apakah  mereka  itu  tidak  memperhatikan  bahwa  Allah  Yang 

mencipta-kan  mereka  yaitu   lebih  besar  kekuatan-Nya  dari  mereka?”  (QS.  Al 

Fushilaat, 41 : 15). !

Yang seharusnya  dilakukan  oleh  seorang insan  yaitu   mengingat  kenyataan  yang 

tidak  berubah  sepanjang  waktu  ini  dan  memahami  bahwa  Allah  Yang  Mahabesar  dan 

Mahamulia; seorang insan hanya dapat menjadi sejahtera dengan menyembah-Nya.

Picture Text

Sisa-sisa dari kota Ubar, tempat tinggal kaum 'Ad, ditemukan di suatu tempat dekat 

tanjung Oman.

Banyak karya  seni  dan  monumen dari  peradaban  maju  pernah  dibangun  di  Ubar 

sebagaimana disebutkan dalam Al Quran. Saat ini, hanya peningggalan-peninggalan di atas 

yang tersisa.

Penggalian yang dilakukan di Ubar.

Lokasi kota 'Ad ditemukan dengan foto-foto yang diambil dari pesawat ulang alik. 

Dalam foto ini , tempat jalur-jalur kafilah bertemu ditandai, dan mengarah ke Ubar.

1. Ubar, hanya dapat dilihat dari luar angkasa sebelum dilakukan penggalian.

2. Kota yang berada 12 meter di bawah pasir ditemukan dengan penggalian.

Saat ini, daerah dimana kaum 'Ad pernah hidup penuh dengan gundukan pasir.

Penggalian-penggalian  yang  dilakukan  di  Ubar,  di  mana  sisa-sisa  sebuah  kota 

ditemukan  di  bawah  lapisan  pasir  yang  ketebalannya  bermeter-meter.  Di  daerah  ini, 

diketahui bahwa bencana badai pasir dapat menyebabkan pasir dalam jumlah yang sangat 

besar terkumpul dalam waktu sekejap. Hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba dan dengan cara 

yang tidak terduga-duga.

BAB 5 TSAMUD

“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman itu. Maka mereka 

berkata:  “Bagaimana kita  akan mengikuti  saja  seorang manusia  (biasa)  di  antara 

kita? Sesungguhnya kalau kita begitu, benar-benar berada dalam keadaan sesat dan 

gila”.  Apakah  wahyu  itu  diturunkan  kepadanya  di  antara  kita?  Sebenarnya  dia 

yaitu  seorang yang amat pendusta lagi sombong. Kelak mereka akan mengetahui 

siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong.” 

(QS. Al Qamar, 54: 23-26) !

Sebagaimana  disebutkan  dalam  Al  Quran,  kaum  Tsamud  menolak  peringatan-

peringatan  dari  Allah  sebagaimana  dilakukan  kaum  ‘Ad,  dan  sebagai  konsekuensinya 

mereka pun dihancurkan. Kini, dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang tidak 

diketahui  sebelumnya  telah  ditemukan,  misalnya  lokasi  tempat  tinggal  kaum  Tsamud, 

rumah-rumah yang mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang disebutkan 

dalam Al Quran merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak temuan arkeologis 

saat ini.

Sebelum lebih jauh melihat temuan arkeologis yang berkaitan dengan kaum Tsamud, 

sangatlah  bermanfaat  untuk  mempelajari  cerita  di  dalam  Al  Quran  serta  mengamati 

pertarungan  kaum  ini  dengan  nabi  mereka.  sebab   Al  Quran  yaitu   kitab  yang 

diperuntukkan  untuk  sepanjang  massa,  pengingkaran  kaum Tsamud  atas  peringatan-per-

ingatan  yang  datang  kepada  mereka  yaitu   sebuah  peristiwa  yang  merupakan  sebuah 

peringatan kepada semua orang di sepanjang masa.

Penyampaian Risalah Nabi Shalih

Di dalam Al Quran disebutkan  bahwa Nabi  Shalih  diutus  untuk  memperingatkan 

mereka. Shalih yaitu  orang yang terpandang di ka-langan warga  Tsamud. Kaumnya, 

yang tidak menduga ia akan mengumumkan agama kebenaran, terkejut dengan seruannya 

untuk  me-ninggalkan  penyimpangan  mereka.  Reaksi  pertama  yaitu   menghujat  dan 

mengutuknya:

“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata: ”Hai 

kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah 

menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, sebab  

itu mohonlah ampunan-Nya.  Sesungguhnya Tuhanku amatlah dekat (Rahmat-Nya) 

lagi  memperkenankan  (doa  hamba-Nya).  Kaum  Tsamud  berka-ta:  ”Hai  Shalih, 

sesungguhnya kamu sebelum ini yaitu  seorang di antara kami yang kami harapkan, 

apakah kamu melarang kami un-tuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-

bapak  kami?  Dan  se-sungguhnya  kamu  betul-betul  berada  dalam  keraguan  yang 

mengge-lisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Huud, 11: 

61-62) !

Segolongan  kecil  kaum  Tsamud  memenuhi  panggilan  Nabi  Shalih,  namun 

kebanyakan mereka tidak menerima apa yang dikatakannya. Para pemimpin kaum ini , 

khususnya,  menolak  dan  menentang  Shalih.  Mereka  mencoba  menghalang-halangi  dan 

menekan kaum yang beriman kepada Nabi Shalih.  Mereka sangat murka kepada Shalih, 

sebab  ia  mengajak mereka menyembah Allah.  Kemarahan ini  tidak khusus hanya pada 

kaum Tsamud; mereka hanya mengulangi kesalahan yang dibuat kaum Nuh dan kaum ‘Ad 

yang hidup sebelum mereka. sebab  itulah Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini sebagai 

berikut:

“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (ya-itu) kaum 

Nuh, ‘Ad,  Tsamud,  dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui 

mereka selain Allah. Telah datang kepada me-reka rasul-rasul (membawa) bukti-bukti 

yang nyata lalu mereka me-nutupkan tangannya ke mulutnya (sebab  kebencian) dan 

berkata:  ”Sesungguhnya  kami  mengingkari  apa  yang  kamu  disuruh  menyam-

paikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang 

menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya”. (QS. Ibrahim, 14: 9) 

!

Tanpa mengindahkan peringatan-peringatan Nabi  Shalih,  orang-orang membiarkan 

kesangsian menguasai mereka. Namun masih ada sekelompok kecil yang percaya terhadap 

kenabian Shalih dan merekalah orang-orang yang diselamatkan bersamanya saat  bencana 

besar  da-tang.  Para  pemuka  warga   ini   berupaya  menekan  kelompok  yang 

mempercayai Shalih:

 

“Pemuka-pemuka  yang  menyombongkan  diri  di  antara  kaumnya  berkata 

kepada orang-orang yang dianggap  lemah yang telah  ber-iman di  antara  mereka: 

“Tahukah  kamu  bahwa  Shalih  diutus  (menja-di  rasul)  oleh  Tuhannya?”  Mereka 

menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shalih diutus untuk 

menyampaikan-nya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: ”Sesungguh-

nya kami yaitu  orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.” (QS. Al 

A'raaf, 7: 75-76) !

Kaum Tsamud terus menyangsikan Allah dan kenabian Shalih. Lebih jauh, kelompok 

tertentu  secara  terang-terangan  menyangkalnya.  Seke-lompok  di  antara  mereka  yang 

menolak  keimanan  —  menurut  dugaan,  dengan  nama  Allah  —  merencanakan  untuk 

membunuh Shalih:

‘Mereka menjawab;  “Kami  mendapat  nasib  yang malang,  disebabkan kamu 

dan orang-orang yang bersama kamu”. Shalih berkata: “Nasib-mu ada pada sisi Allah 

(bukan kami yang menjadi sebab), namun  ka-mu yang diuji”. Dan yaitu  di kota itu 

sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak 

berbuat kebaik-an. Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah-

wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba ber-sama keluarganya 

di  malam  hari,  kemudian  kita  katakan  kepada  warisnya  (bahwa)  kita  tidak 

menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita yaitu  orang-orang 

yang benar”. Dan mereka pun merencanakan makar dengan sesungguh-sungguhnya 

dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menya-dari.” (QS. An-

Naml, 27: 47-50) !

Untuk mengetahui apakah kaumnya akan mematuhi perintah Allah atau tidak, Shalih 

menunjukkan kepada mereka seekor unta betina sebagai ujian. Untuk mengetahui apakah 

mereka akan mematuhinya atau tidak, Shalih menyuruh kaumnya untuk berbagi air dengan 

unta betina ini  dan tidak menyakitinya. Kaumnya menjawab dengan membunuh unta 

betina ini . Dalam surat Asy-Syu’araa’ kejadian ini  disebutkan sebagai berikut:

“Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul. 

saat  saudara mereka Shalih, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak 

bertakwa? 

Sesungguhnya aku yaitu  seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, 

maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. 

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak 

lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. 

Adakah kamu akan dibiarkan tinggal  di sini  (di  negeri  ini) dengan aman, di 

dalam kebun-kebun serta mata air, 

dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut. 

Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan ru-mah-rumah 

dengan rajin; 

maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; 

dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas, 

yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”. 

Mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu yaitu  seorang dari orang-orang yang 

terkena sihir; 

kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; maka da-tangkanlah 

sesuatu mukjizat jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”. 

Shalih  menjawab:  ”Ini  seekor  unta  betina,  ia  mempunyai  giliran  un-tuk 

mendapatkan air dan kamu mempunyai giliran pula untuk men-dapatkan air di hari 

tertentu. 

Dan janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu keja-hatan, yang 

menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar. 

Kemudian  mereka  membunuhnya,  lalu  mereka  menyesal,  maka  me-reka 

ditimpakan azab. 

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada  bukti yang nyata. 

Dan yaitu  kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ , 26: 141-158) !

Perjuangan Nabi Shalih terhadap kaumnya dikisahkan sebagai beri-kut:

“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu).

Maka mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja, se-orang manusia 

(biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begi-tu, benar-benar berada dalam 

keadaan sesat  dan  gila.  Apakah wahyu itu  diturunkan kepadanya  di  antara  kita? 

Sebenarnya dia yaitu  seorang yang amat pendusta lagi sombong.“ 

Kelak mereka akan mengetahui siapakah sebenarnya yang amat pen-dusta lagi 

sombong. Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi 

mereka, maka tunggulah (tindakan) mere-ka dan bersabarlah. 

Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terba-gi antara 

mereka (dengan unta betina itu); tiap-tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya 

gilirannya). 

Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap (unta itu) dan 

membunuhnya.” (QS. Al Qamar, 54: 23-29) !

Kenyataan bahwa mereka tidak dilaknat pada saat itu juga, semakin meningkatkan 

keangkaramurkaan  kaum  ini.  Mereka  menyerang  Shalih,  mengkritik,  dan  menuduhnya 

sebagai pendusta :

“Kemudian  mereka  sembelih  unta  betina  itu,  dan  mereka  berlaku  angkuh 

terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ”Wahai Sha-lih,  datangkanlah apa 

yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang 

diutus (Allah).” (QS. Al A'raaf, 7: 77) !

Allah melemahkan rencana dan tipu daya mereka, dan menyelamat-kan Shalih dari 

tangan-tangan yang ingin mencelakakannya.  sesudah   ke-jadian ini,  sebab  Shalih  merasa 

telah  menyampaikan  seruan  kepada  kaumnya  dengan  berbagai  cara,  dan  tetap  tak  ada 

seorang  pun  yang  mengindahkan  nasihatnya,  Shalih  berkata  kepada  kaumnya  bahwa 

mereka akan dihancurkan dalam waktu tiga hari:

“Mereka  membunuh  unta  itu,  maka  berkatalah  Shalih:  ”Bersukaria  kamu 

sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu yaitu  janji yang tidak dapat didustakan.” 

(QS. Huud, 11: 65) !

Begitulah, tiga hari kemudian ancaman Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud 

dihancurkan.

“Dan satu suara yang keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim 

itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka, seolah-olah mereka 

belum  pernah  berdiam  di  tempat  itu.  Ingatlah,  sesungguhnya  kaum  Tsamud 

mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaan bagi kaum Tsamud.” (QS. Huud, 

11: 67-68) !

Temuan Arkeologis dari Kaum Tsamud

Dari berbagai kaum yang disebutkan dalam Al Quran, Tsamud ada-lah kaum yang 

saat  ini  telah  banyak  diketahui  keberadaannya.  Sumber-sumber  sejarah  mengungkapkan 

bahwa sekelompok orang yang disebut dengan kaum Tsamud benar-benar pernah ada.

Penduduk Al Hijr yang disebutkan dalam Al Quran diperkirakan yaitu  orang-orang 

yang sama dengan kaum Tsamud. Nama lain dari Tsamud yaitu  Ashab Al Hijr. Jadi kata 

“Tsamud” merupakan nama kaum, sementara kota Al Hijr yaitu  salah satu dari beberapa 

kota yang dibangun oleh kaum ini .

Ahli geografi Yunani, Pliny sepakat dengan ini. Pliny menulis bahwa Domatha dan 

Hegra yaitu  lokasi tempat kaum Tsamud berada, dan kota Al Hegra inilah yang menjadi 

kota Al Hijr saat ini.29

Sumber  tertua  yang  diketahui  berkaitan  dengan  kaum  Tsamud  yaitu   tarikh 

kemenangan Raja Babilonia Sargon II (abad ke-8 SM) yang mengalahkan kaum ini dalam 

sebuah pertempuran di  Arabia  Selatan.  Bangsa Yunani  juga menyebut  kaum ini  sebagai 

“Tamudaei”, yakni, “Tsamud”, dalam tulisan Aristoteles, Ptolemeus, dan Pliny.30 Sebelum 

zaman Nabi Muhammad SAW, sekitar tahun 400-600 M , mereka benar-benar punah.

Dalam Al Quran, kaum ‘Ad dan Tsamud selalu disebutkan bersama-an. Lebih jauh 

lagi,  ayat-ayat  ini   menasihati  kaum  Tsamud  untuk  mengambil  pelajaran  dari 

penghancuran kaum ‘Ad. Ini menunjukkan bahwa kaum Tsamud memiliki informasi detail 

tentang kaum ‘Ad.

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia 

berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya. 

Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina 

Allah  ini  menjadi  tanda  bagimu,  maka  biarkanlah  ia  makan  di  bumi  Allah,  dan 

janganlah kamu mengganggunya,  dengan gangguan apa pun,  maka kamu ditimpa 

siksaan yang pedih. 

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu peng-ganti-pengganti 

(yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberi-kan tempat bagimu di bumi. Kamu 

dirikan  istana-istana  di  tanah-tanahnya  yang  datar  dan  kamu  pahat  gunung-

gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan jangan-

lah kamu merajalela di muka bu-mi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !

Sebagaimana dapat dipahami dari ayat ini, ada  hubungan antara kaum ‘Ad dan 

kaum Tsamud, bahkan mungkin kaum ‘Ad pernah menjadi bagian dari sejarah dan budaya 

kaum  Tsamud.  Nabi  Shalih  memerintahkan  untuk  mengingat  kejadian  kaum  ‘Ad  dan 

mengambil peringatan dari me-reka.

Kaum ‘Ad ditunjukkan  kepada  contoh  dari  kaum Nabi  Nuh  yang  per-nah  hidup 

sebelum mereka. Sebagaimana kaum ‘Ad mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum 

Tsamud, kaum Nabi Nuh juga mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum 'Ad. Kaum-

kaum ini saling mengenal dan kemungkinan berasal dari garis keturunan yang sama. 

Dari sini dapat disusun urutan kejadian yang diceritakan dalam Al Quran. Jika kita 

perkirakan kaum Tsamud muncul paling dulu di  abad 8 SM, maka dapat  ditarik sebuah 

kronologi.  Yang  terlebih  dahulu  dihan-curkan  sesudah   kaum  Nuh  yaitu   kaum  Luth, 

kemudian  dalam  masa  Nabi  Musa  terjadi  penenggelaman  Fir'aun  (kemungkinan  besar 

Ramses II) dan tentaranya di Laut Merah. Berikutnya yaitu  dikirimkannya angin badai 

yang  menghancurkan  kaum  ‘Ad  dan  terakhir  yaitu   penghancuran  ka-um  Tsamud. 

Hukuman terhadap kaum Nabi Nuh yaitu  yang pertama terjadi. Bila urut-urutan ini dapat 

dipertimbangkan, maka tabelnya yaitu  sebagai berikut :

Tentu  saja  urut-urutan  ini  tidak  bisa  dikatakan  sangat  tepat,  namun  hal  ini 

menghasilkan sebuah urutan, baik menurut penggambaran dalam Al Quran dan data-data 

sejarah.

Kita  telah menyebutkan bahwa Al Quran menceritakan tentang ada-nya hubungan 

antara kaum ‘Ad dan Tsamud. Kaum Tsamud diingatkan untuk mengingat kejadian kaum 

‘Ad serta mengambil pelajaran dari penghancuran mereka. Meskipun secara geografis kaum 

‘Ad dan Tsa-mud sangat berjauhan dan sepertinya tidak berhubungan, namun dalam ayat 

yang ditujukan kepada kaum Tsamud dikatakan untuk mengingat kaum ‘Ad.

Jawabannya  muncul  sesudah   penyelidikan  singkat  dari  berbagai  sum-ber,  bahwa 

memang ada  hubungan yang sangat kuat antara kaum Tsamud dan kaum ‘Ad. Kaum 

Tsamud mengenal kaum ‘Ad sebab  ke-dua kaum ini sepertinya berasal dari asal usul yang 

sama.  Britannica  Micropaedia  menuliskan  tentang  orang-orang ini  dalam sebuah tulisan 

berjudul “Tsamud”: 

Di Arabia Kuno, suku atau kelompok suku tampaknya telah memiliki keung-gulan 

sejak  sekitar  abad 4  SM sampai  pertengahan  awal  abad  7 M.  Meskipun  kaum Tsamud 

mungkin berasal dari Arabia Selatan, sekelompok besar tam-paknya pindah ke utara pada 

masa-masa  awal,  secara  tradisional  berdiam di  lereng gunung (jabal)  Athlab.  Penelitian 

arkeologi terakhir mengungkapkan sejumlah besar tulisan dan gambar-gambar batu tentang 

kaum Tsamud, tidak hanya di Jabal Athlab, namun  juga di seluruh Arabia Tengah.31

Tulisan yang secara grafis mirip dengan abjad Smaitis (yang disebut Tsamudis) telah 

diketemukan  mulai  dari  Arabia  Selatan  hingga  ke  Hijaz.32  Tulisan  itu,  yang  pertama 

ditemukan di daerah Utara Yaman Tengah yang dikenal sebagai Tsamud, dibawa ke Utara 

dekat Rub’al Khali, ke selatan dekat Hadhramaut serta ke Barat dekat Shabwah.

Sebelumnya kita telah memahami bahwa kaum ‘Ad yaitu  seke-lompok orang yang 

hidup di Arabia Selatan. Ada kenyataan penting bah-wa banyak peninggalan kaum Tsamud 

ditemukan di daerah tempat ka-um ‘Ad pernah hidup, khususnya sekitar bangsa Hadhram, 

anak cucu ‘Ad, mendirikan ibu kotanya. Keadaan ini menjelaskan hubungan kaum ‘Ad dan 

Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran. Hubungan ini  diterangkan dalam perkataan 

Nabi Shalih saat  mengatakan bahwa kaum Tsamud datang untuk menggantikan kaum ‘Ad 

:

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia 

berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya.... 

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang 

berkuasa)  sesudah  kaum ‘Ad dan memberikan  tempat  bagimu di  bumi.”  (QS.  Al 

A’raaf, 7: 73-74) !

Singkatnya, kaum Tsamud telah mendapat ganjaran atas pembang-kangan terhadap 

nabi mereka, dan dihancurkan. Bangunan-bangunan yang telah mereka bangun dan karya 

seni  yang  telah  mereka  buat  tidak  dapat  melindungi  mereka  dari  azab.  Kaum Tsamud 

dihancurkan dengan azab yang mengerikan seperti halnya umat-umat lainnya yang meng-

ingkari kebenaran, yang terdahulu maupun yang terkemudian.

Picture Text

Dari  Al  Quran diketahui  bahwa kaum Tsamud yaitu   anak cucu dari  kaum ‘Ad. 

Bersesuaian dengan ini, temuan-temuan arkeologis memperlihatkan bahwa akar dari kaum 

Tsamud yang hidup di utara Semenanjung Arabia, berasal dari selatan Arabia di mana kaum 

‘Ad pernah hidup.

Dua  ribu  tahun  silam,  kaum Tsamud  telah  mendirikan  sebuah  kerajaan  bersama 

bangsa Arab yang lain, yaitu kaum Nabatea. Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut 

dengan Lembah Petra di Yordania, dapat dilihat berbagai contoh terbaik karya pahat batu 

kaum ini.  Sebagaimana  disebutkan  dalam Al  Quran,  keunggulan  kaum Tsamud  yaitu  

dalam pertukangan.

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti 

(yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu 

dirikan  istana-istana  di  tanah-tanahnya  yang  datar  dan  kamu  pahat  gunung-

gunungnya  untuk  dijadikan  rumah,  maka  ingatlah  nikmat-nikmat  Allah  dan 

janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. 

(QS. Al A'raaf, 7: 74)

BAB 6 

FIR’AUN YANG DITENGGELAMKAN

“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun 

dan  pengikut-pengikutnya  serta  orang-orang  yang  sebelumnya.  Mereka 

mendustakan  ayat-ayat  Tuhannya  maka  Kami  membinasakan  mereka  disebabkan 

dosa-dosanya  dan  Kami  tenggelamkan  Fir’aun  dan  pengikut-pengikutnya;  dan 

kesemuanya yaitu  orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anfaal, 8: 54). !

Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota lainnya di Mesopotamia dalam 

masa yang sama, dikenal sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai 

negara terorganis-asi dengan tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka 

telah  menemukan  dan  menggunakan  tulisan  sekitar  alaf  ke-3  SM,  serta  memanfaatkan 

Sungai Nil dan terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah 

negeri ini , sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban mereka.

Namun, pada warga  yang “beradab” ini pula berlaku “pemerin-tahan Fir’aun”, 

suatu sistem kekafiran yang paling jelas dan lugas dise-butkan dalam Al Quran. Mereka 

penuh  kesombongan,  mengesamping-kan  kebenaran,  dan  menghina  Tuhan.  Dan  pada 

akhirnya, peradaban me-reka yang maju, tatanan sosial politik, bahkan militer mereka yang 

kuat tidak bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran.

Otoritas Para Fir'aun

Peradaban  bangsa  Mesir  bersumber  dari  kesuburan  Sungai  Nil.  Bang-sa  Mesir 

menghuni  Lembah  Nil  sebab   melimpahnya  air  di  sungai  ini,  hingga  mereka  dapat 

mengolah tanah dengan persediaan air dari sungai tanpa tergantung kepada musim hujan. 

Ahli sejarah Ernest H. Gombrich menyatakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangat panas 

dan terkadang tidak ada hujan selama berbulan-bulan.  sebab  itulah,  banyak wilayah di 

benua besar ini luar biasa keringnya. Bagian-bagian itu dihampari oleh lautan pasir yang 

sangat luas. Kedua sisi Sungai Nil juga ditutupi pasir dan di Mesir pun jarang turun hujan. 

Namun di negeri ini,  hujan tidak terlalu dibutuhkan sebab  Sungai Nil mengalir  tepat di 

tengah seluruh negeri.33

Jadi barang siapa dapat menguasai Sungai Nil yang begitu penting-nya, dia pun dapat 

menguasai  sumber  terbesar  perdagangan  dan  per-tanian  Mesir.  Para  Fir’aun  bisa 

melanggengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.

Lembah  Nil  yang  sempit  dan  memanjang  tidak  memungkinkan  unit-unit 

kependudukan yang bertempat di sekitar sungai berkembang ba-nyak. sebab  itulah bangsa 

Mesir membentuk peradaban yang terbangun dari kota-kota kecil dan perkampungan, bukan 

dari kota-kota besar. Faktor ini juga memperkuat dominasi para fir’aun atas warga nya.

Raja Menes dikenal sebagai fir’aun Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir 

Kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara kesatuan,  kurang lebih 

pada  alaf  ke-3  SM.  Kenyataannya,  istilah  “fir’aun”  semula  merujuk  kepada  istana  raja 

Mesir, namun perlahan-lahan menjadi gelar dari raja-raja Mesir.  Begitulah sebabnya raja 

yang memerintah Mesir kuno mulai disebut ”fir’aun”.

Sebagai  pemilik,  pengatur  dan  penguasa  dari  keseluruhan  negara  dan  wilayah-

wilayahnya, para fir’aun ini dianggap sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam 

kepercayaan  Mesir  Kuno  yang  politeistik  dan  menyimpang.  Administrasi  tanah  rakyat 

Mesir, pembagian, penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi 

dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir’aun.

Absolutisme  dalam  rezim  ini   melengkapi  pemerintahan  fir’aun  dengan 

kekuasaan  yang  memungkinkannya  melakukan  apa  pun  yang  ia  inginkan.  Pada  saat 

penegakan  dinasti  pertama,  kala  Menes  yang  menjadi  raja  Mesir  pertama  dengan 

menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil disalurkan kepada penduduk melalui saluran-

saluran air. Di samping itu, seluruh produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang 

dan jasa diberikan untuk sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang 

dan jasa dalam proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah 

menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam ketun-

dukan.  Raja  Mesir,  atau  kelak  disebut  fir’aun,  dipandang  sebagai  makhluk  suci  yang 

memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan ia dipandang 

sebagai tuhan. Akhirnya, para fir’aun percaya bahwa mereka memang tuhan.

Perkataan  Fir’aun  yang  disebutkan  dalam  Al  Quran  dan  diucapkan-nya  dalam 

percakapan  dengan  Musa  membuktikan  bahwa  mereka  me-megang  kepercayaan  ini.  Ia 

mencoba mengancam Musa dengan mengata-kan: ”Sungguh jika kamu menyembah Tuhan 

selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (QS. 

Asy-Syu’araa’,  26:  29),  dan ia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya:  ”Aku tidak 

mengetahui tuhan bagimu selain aku”. (QS. Al Qashash, 28: 38). Ia mengatakan ini semua 

sebab  menganggap dirinya yaitu  tuhan.

Kepercayaan Religius

Menurut Herodotus, seorang ahli  sejarah, bangsa Mesir  Kuno yaitu  bangsa yang 

paling  “taat”  di  dunia.  Namun  agama  mereka  bukanlah  aga-ma  kebenaran,  melainkan 

sebuah bentuk politeisme sesat, dan mereka tidak bisa meninggalkan agama mereka yang 

sesat sebab  teguh me-megang tradisi.

Bangsa  Mesir  Kuno  sangat  dipengaruhi  oleh  lingkungan  alam mere-ka.  Keadaan 

alam  Mesir  secara  sempurna  melindungi  negara  ini   dari  serangan  luar.  Mesir 

dikelilingi gurun pasir,  pegunungan, dan lautan di semua sisi.  Serangan terhadap negara 

ini  hanya mungkin dilaku-kan dengan dua jalan, dan sangat mudah bagi mereka untuk 

memperta-hankan diri.  Bangsa Mesir  tetap terisolasi  dari  dunia luar  berkat  faktor-faktor 

alam ini. Namun abad-abad yang berlalu mengubah isolasi ini menjadi kefanatikan buta. 

Akhirnya,  bangsa  Mesir  memperoleh  cara  berpikir  yang  membelenggu  mereka  dari 

perkembangan  dan  hal-hal  yang  baru,  serta  sangat  konservatif  terhadap  agama mereka. 

“Agama nenek  moyang”  yang  sering  disebutkan  dalam Al  Quran  menjadi  nilai  paling 

penting bagi mereka.

sebab   itulah  Fir’aun  dan  para  petingginya  ingkar  saat   Musa  dan  Harun 

mengumum-kan agama yang hak kepada mereka, dengan mengatakan: 

“Apakah kamu datang kepada ka-mi untuk memalingkan kami dari apa yang 

kami dapati nenek mo-yang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempu-

nyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.” (QS. 

Yunus, 10: 78) !

Agama bangsa Mesir Kuno ber-cabang-cabang, yang terpenting yaitu  agama resmi 

negara,  berba-gai  kepercayaan  rakyat,  dan  keper-cayaan  terhadap  kehidupan  sesudah  

kematian.

Menurut  agama  resmi  negara,  fir’aun  yaitu   mahkluk  yang  suci.  Dia  yaitu  

pengejawantahan  dari  tuhan-tuhan  mereka  di  muka  bumi  dan  tujuannya  yaitu   untuk 

menyelenggarakan keadilan dan melin-dungi mereka di dunia.

Kepercayaan yang berkembang luas di kalangan warga  sangat rumit dan unsur-

unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan para 

fir’aun. Pada dasarnya, mereka mempercayai banyak tuhan, dan tuhan-tuhan ini biasanya 

digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.

Kehidupan  sesudah   mati  merupakan  bagian  terpenting  dalam keper-cayaan  bangsa 

Mesir.  Mereka  percaya  bahwa  roh  akan  terus  hidup  sesudah   jasad  mati.  Menurut 

kepercayaan ini, roh-roh orang mati dibawa oleh ma-laikat-malaikat khusus kepada Tuhan 

yang  menjadi  hakim dan  42  saksi  hakim lain;  sebuah  timbangan diletakkan  di  tengah-

tengah,  dan  hati  sang  roh  ditimbang  dengannya.  Mereka  yang  kebaikannya  lebih  berat 

dibawa ke suatu tempat yang indah dan hidup dalam kebahagiaan,  sedang mereka yang 

kejahatannya  lebih berat  dikirim ke suatu tempat  di  mana mereka  mendapatkan siksaan 

yang berat. Di sana mereka disiksa selama-lamanya oleh sebuah makhluk aneh yang disebut 

dengan “Pemakan Kematian”.

Kepercayaan  bangsa  Mesir  terhadap  hari  akhirat  jelas  menunjukkan  kesejajaran 

dengan  kepercayaan  monoteistik  dan  agama  yang  benar.  Bah-kan  kepercayaan  mereka 

kepada hari akhirat saja membuktikan bahwa agama yang benar dan wahyu telah mencapai 

peradaban  Mesir  Kuno,  namun  agama  ini  kemudian  diselewengkan,  dan  monoteisme 

berubah menjadi politeisme. Seperti telah diketahui, para pemberi peringatan yang menyeru 

manusia untuk mengesakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, 

telah diutus di Mesir dari masa ke masa, sebagaimana kepada seluruh penduduk dunia pada 

satu masa atau masa yang lain. Salah satunya yaitu  Nabi Yusuf yang kehidupannya secara 

terperinci diceritakan dalam Al Quran. Sejarah Nabi Yusuf yaitu  sangat penting sebab  

menyebutkan kehadiran Bani Israil di Mesir dan bermukimnya mereka di sana. 

Sementara, dalam sumber-sumber sejarah ada  rujukan tentang orang-orang Mesir 

yang menyeru  manusia  kepada agama-agama Mono-teistik,  bahkan sebelum nabi  Musa. 

Salah satunya yaitu  fir'aun yang paling menarik dalam sejarah Mesir, yakni Amenhotep IV.

Fir'aun Amenhotep IV yang Monoteistik

Fir’aun-fir’aun Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan 

bengis. Umumnya mereka menganut agama politeisme Mesir dan mendewakan diri mereka 

melalui agama ini.

Namun ada seorang fir’aun dalam sejarah Mesir yang sangat berbeda dengan lainnya. 

Fir'aun  ini  mempertahankan  kepercayaan  terhadap  Pencipta  tunggal  dan  mendapatkan 

perlawanan  hebat  dari  para  pendeta  Ammon,  yang  mendapat  keuntungan  dari  agama 

politeisme dan bebe-rapa prajurit yang mendukung mereka, sehingga akhirnya ia terbunuh. 

Fir’aun ini yaitu  Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad ke-14 SM. 

saat   dinobatkan  pada  tahun  1375  SM,  Amenhotep  IV  berseberang-an  dengan 

konservatisme dan tradisionalisme yang telah  berlangsung selama berabad-abad.  Hingga 

saat itu, struktur warga  dalam hu-bungan rakyat dengan istana kerajaan terus berlanjut 

tanpa perubahan.  warga   menutup pintu rapat-rapat  dari  peristiwa di  luar  dan pem-

baruan  agama. Konservatisme ekstrem ini,  yang juga  disebutkan  oleh  para  pengembara 

Yunani Kuno, diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir yang telah disebutkan di atas.

Agama resmi yang ditekankan para fir'aun kepada rakyat menuntut kepercayaan yang 

tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisi-onal.  Namun Amenhotep IV tidak 

menganut agama resmi ini . Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis:

Dia (Amenhotep IV) mengubah banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi yang 

telah berbilang abad. Ia tidak mau menyembah berbagai tuhan kaumnya yang aneh-aneh 

bentuknya.  Baginya  hanya  ada  satu  Tuhan  yang  perkasa,  Aton,  yang  ia  sembah  dan 

tampilkan  dalam  bentuk  matahari.  Ia  menyebut  dirinya  Akhenaton,  mengikuti  nama 

tuhannya dan memindahkan istananya di luar jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang 

lain ke suatu tempat yang sekarang disebut El-Amarna.34

sesudah  kematian ayahnya, Amenhotep IV muda men-dapat tekanan hebat. Tekanan 

ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia mengembangkan sebuah agama yang berdasarkan 

monoteisme  dengan  mengubah  agama  politeistik  tradisi-onal  Mesir  dan  berupaya 

melakukan  perubahan-perubahan radikal  dalam berbagai  bidang.  Namun para  pemimpin 

Thebes tidak mengizinkannya menyampaikan ajaran agama ini. Amen-hotep IV dan para 

pengikutnya kemudian pindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di sini 

mereka  membangun  sebuah  kota  baru  dan  modern  yang  dinamakan  ”Akh-en-aton”. 

Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti  “Kegembiraan Amon” menjadi  Akh-en-

aton yang berarti “Tunduk kepada Aton”. Amon yaitu  nama yang diberikan kepada totem 

terbesar  dalam kepercayaan  politeisme bangsa Mesir.  Menurut  Amenhotep,  Aton yaitu  

“pencipta langit dan bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah. 

sebab  merasa terganggu oleh perkembangan ini, para pendeta Ammon berkeinginan 

merenggut  kekuatan  Akhenaton  dengan  mengambil  kesempatan  dari  terjadinya  krisis 

ekonomi  di  Mesir.  Akhenaton  akhirnya  mati  diracun  oleh  komplotan  itu.  Para  fir’aun 

sesudah nya berhati-hati untuk tetap berada di bawah pengaruh para pendeta ini .

sesudah  Akhenaton, berkuasa para fir’aun dengan latar belakang ke-militeran. Mereka 

membuat  tersebarnya  kembali  politeisme  dari  tradisi  lama  dan  berusaha  keras  untuk 

kembali ke masa lalu. Hampir seabad kemudian, Ramses II, yang paling lama kekuasaannya 

dalam sejarah Mesir, diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses ada-lah 

fir’aun yang menyiksa bani Israil dan berperang melawan Nabi Musa.35

Kedatangan Nabi Musa

sebab   begitu  hebatnya  kefanatikan  mereka,  bangsa  Mesir  Kuno  ti-dak  mau 

meninggalkan kepercayaan mereka yang tertanam kuat. Walau telah datang kepada mereka 

beberapa orang yang menyerukan untuk me-nyembah Allah semata, kaum Fir’aun selalu 

berpaling  kepada  keper-cayaan  mereka  yang  sesat.  Akhirnya,  Nabi  Musa  diutus  Allah 

sebagai rasul bagi mereka, selain sebab  mereka telah mengambil sistem penuh kepalsuan 

yang  bertentangan  dengan  agama  yang  hak,  juga  sebab   mere-ka  telah  melakukan 

perbudakan atas  Bani  Israel.  Musa  diperintahkan  untuk mengajak  bangsa  Mesir  kepada 

agama yang hak, juga menye-lamatkan Bani Israil dari perbudakan dan menunjuki mereka 

jalan yang benar. Dalam Al Quran hal ini disebutkan:

“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'-aun dengan 

benar  untuk  orang-orang  yang  beriman.  Sesungguhnya  Fir'aun  telah  berbuat 

sewenang-wenang  di  muka  bumi  dan  menjadi-kan  penduduknya  berpecah  belah, 

dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan 

membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk 

ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak mem-beri karunia 

kepada  orang-orang  yang  tertindas  di  bumi  (Mesir)  itu  dan  hendak  menjadikan 

mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan 

akan Kami teguhkan kedu-dukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan 

kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan 

dari mereka itu.” (QS. Al Qashash, 28: 3-6) !

Fir'aun ingin  mencegah  bertambahnya  Bani  Israil  dengan cara  mem-bunuh semua 

bayi laki-laki yang baru lahir. sebab  itulah, dengan ilham dari Allah SWT, ibunda Musa 

menempatkan Musa ke dalam sebuah ke-ranjang dan menghanyutkannya ke sungai.  Hal 

inilah yang membawa-nya ke istana Fir'aun. Inilah ayat dalam Al Quran yang menyebutkan 

hal ini:

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;  ”Susukanlah dia dan apabila  kamu 

khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah 

kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, sebab  sesungguhnya Kami akan 

mengembalikannya kepada-mu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. 

Maka dipu-ngutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan 

kesedihan  bagi  mereka.  Sesungguhnya  Fir'aun  dan  Haman  beser-ta  tentara-

tentaranya yaitu  orang-orang yang bersalah.” 

Dan berkatalah istri  Fir’aun: ”(Ia) biji  mata bagiku dan bagimu. Ja-nganlah 

kamu membunuhnya,  mudah-mudahan ia bermanfaat bagi  kita atau kita ambil  ia 

menjadi anak”, sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS. Al Qashash, 28 : 7-9) !

Istri Fir’aun mencegah Musa dibunuh dan mengangkatnya menjadi anak. Begitulah, 

Musa  menghabiskan  masa  kecilnya  di  istana  Fir'aun.  Dengan  pertolongan  Allah,  ibu 

kandung Musa dibawa ke istana sebagai ibu asuhnya. 

saat   telah  dewasa,  suatu  hari  Musa  melihat  seorang  Bani  Israil  dianiaya  oleh 

seorang Mesir. Lalu Musa menengahi dan memukul si orang Mesir dengan satu pukulan 

yang ternyata mengakibatkan kema-tiannya. Walau Musa hidup di istana Fir’aun dan telah 

diangkat  anak oleh  permaisuri,  pimpinan kota  memutuskan  hukuman mati  untuk Musa. 

Mendengar  ini,  Musa  pun  melarikan  diri  dari  Mesir  dan  pergi  ke  Madyan.  Pada  akhir 

periode yang ia habiskan di sana, Allah berfirman langsung kepadanya dan memberinya 

status kenabian. Ia diperintahkan kembali kepada Fir’aun dan menyampaikan risalah Allah 

kepadanya.

Istana Fir’aun

Musa  dan  Harun  pergi  kepada  Fir’aun  untuk  menjalankan  perintah  Allah  dan 

menyampaikan  kepadanya  risalah  agama  kebenaran.  Mereka  meminta  Fir’aun  berhenti 

menyiksa bani Israel dan membiarkan mereka pergi bersama Musa dan Harun. Fir'aun tak 

dapat  menerima  kenyataan  bahwa  Musa  yang  telah  dipeliharanya  bertahun-tahun