ang digunakan secara kasar (tanpa dipangkas), seperti terlihat pada keberadaan jejak-jejak pakai.
Alat yang paling dicari adalah serut. Terdapat 40% serut sederhana dan 20% serut
ganda di Song Keplek. Selanjutnya ada juga jenis-jenis yang secara kuantitas kurang penting,
seperti pisau berpunggung alami (7%), gurdi (14%), limas (2%) dan serut ujung (l %).
Secara keseluruhan, support yang dibentuk menjadi alat memiliki retusan langsung
(80%), curam (50%), bersisik (55%), kadang-kadang melebar, tetapi tidak terlalu meluas
dengan sedikit jejak penajaman ulang. Retusan bersap yang lebar dan pendek ini memiliki
kekhasan, yakni sedikit mengubah bentuk tepian alat.
Artefak yang paling banyak dikelompokkan sebagai alat adalah serpih-serpih dengan
jejak pakai, yang digunakan seperti apa adanya tanpa penataan bagian tepi.
Hal ini dapat dijelaskan melalui karakter morfoteknologis support yang diproduksi
yaitu memanjang dan sering dengan punggung berkorteks tebal dan dengan sisi yang tajam.
Dibandingkan dengan tujuh tipe alat lainnya, patut dicatat bahwa serpih-serpih dengan
jejak pakai (digunakan secara kasar) jauh dati support yang berukuran besar (Ilustrasi 101).
Oleh karena itu kami membuat hipotesis tentang optimalisasi melalui retusan sisi-sisi yang
paling mengesankan, karena merupakan support yang paling panjang, paling lebar dan paling
tebal seperti serut yang diretus. Hal ini mesti dikonfirmasi lewat analis jejak-jejak pakai, atau
lebih tepatnya analisis fungsional.
1.2 ) Batu Inti dan Metode Pemangkasan yang Digunakan
Berdasarkan data serpih-serpih hasil pemangkasan dan hasil analisis pada 76 batu inti
kotak F8, D3, B6, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan pemangkas adalah:
- pencarian terhadap produk yang memanjang, seperti dibenarkan oleh negatif-negatif
pangkasan yang memperlihatkan kecenderungan laminer yang jelas (menurut sumbu
alami dari bahan baku);eksploitasi terhadap bagian-bagian yang cembung dari bahan baku dengan negatifnegatifyang dikontrol pada bagian lateral dan distal melalui zona kortikal yang besar;
- pengulangan singkat algoritme dengan pada umumnya sedikit episode
pemangkasan, seperti ditampakkan oleh batu inti-batu inti yang berciri sangat
kortikal
Tipe-tipe Batu Inti yang Dijumpai dan Frekuensinya
Batu inti yang sedikit berubah bentuk (tipe 1,2,3) mewakili 79% dari jumlah total batu
inti Song Keplek (76 buah) (ilustrasi 105).
Jumlah batu inti yang terbanyak (33%) dan terbesar adalah tipe 1 dengan ciri paling sedikit
diolah (dibandingan volume batu inti tersebut). Jumlah batu inti tipe ini sangat besar
dalam himpunan temuan, kecuali pada kotak F8. Di kotak ini, batu inti tipe 1 adalah minoritas
dibandingkan tipe 3.
Batu inti tipe 2 dan 3 juga banyak ditemukan, yakni masing-masing 18 % dan 28% dari
jumlah keseluruhan batu inti.
Batu inti yang mengarah ke bentuk pecahan tidak banyak ditemukan (16%) seperti
halnya bongkahan percobaan (5%).
Selain itu, terhitung 10 batu inti-alat yang digunakan kasar atau memiliki retusan
curam (penajaman kembali yang intensif, pembentukan bagian muka yang sangat kentara)
pada saiah satu sisinya (F8=7, B6=3). Batu inti-alat ini berbentuk serut yang dibuat pada batu
inti tipe 2 atau paling sering, pada batu inti tipe 3.
Bahan Baku dan Morjologi Bongkahan
Para pemangkas di Song Keplek terutama menggunakan bongkahan-bongkahan rijang
yang cukup berkualitas dan yang didapatkan dari sungai (B.B.2 dan B.B.3).
Batu rijang yang berkualitas tinggi, bening atau jasper tidak mumi B.B.l dan B.BA berjumlah
sedikit dalam himpunan temuan.
Kami menyimpulkan bahwa para pemangkas di Song Keplek tidak menyeleksi batu
rijang dengan kualitas tertentu. Mereka mengambil bahan-bahan yang kurang mengandung
silika dan paling sering didapati di sekitar gua.
Sebaliknya, dari morfologis bongkahan kami mencatat adanya seleksi khusus.
Pengamatan ini dapat dibuktikan kebenarannya melalui bongkahan-bongkahan yang
dikelompokkan pada tipe 1 dan 3, yang besar jumlahnya (ilustrasi 105).
Kami mendapati bahwa pada kotak F8 dan D3 terdapat dominasi kuat batu inti tipe 1.
Selain itu, juga terdapat bongkahan yang berbentuk segi empat panjang atau bulat lonjong/oval
(ilustrasi 106).
Metode Pemangkasan
Menjelaskan tentang ciri-ciri utama metode pemangkasan yang digunakan di Song
Keplek sama dengan menggambarkan dasar algoritme atau konsepsi "dasar" pemangkasan,
yaitu melalui teknik benturan langsung dengan memakai batu keras.
Melalui pengamatan batu inti dan support dapat diamati sejumlah skema rancangan.
Skema Rancangan yang Diperoleh dari Pengamatan Batu Inti
l-Skema Produksi Unipolar
Skema ini kurang lebih berputar. Penataannya tergantung pada permukaan dataran pukul yang
menentukan batu inti dan menggunakan algoritme tegak lurus unipolar (batu inti tipe 1):Biasanya diterapkan pada bongkahan memanjang (bentuk lonjong);
- diperoleh satu-satunya dataran pukul (sering diolah selama satu seri pendek dari
serpih-serpih bertekno-tipe 1a-l d);
- tidak terdapat penajaman ulang dari dataran pukul.
Hasil-hasil yang diperoleh:
- Sering kali kortikal tetapi dengan punggung kortikal yang menonjol untuk produkproduk yang diperoleh pada tahap terakhir proses pemangkasan;
- ketika pemangkasan benar-benar berhasil, serpih-serpih berbentuk laminer, lebih
kurang memanjang sejajar pada batas pangkasan. Irisan serpih-serpih tersebut
berbentuk segitiga atau trapesium;
- dataran pukul sering datar, kemiringan sekitar 110° dengan sudut pangkasan yang
sangat tertutup (area contre-bulbe pangkasan sebelumnya).
2- Skema Produksi Bipolar
Skema ini ditemukan pada batu inti dengan algoritme tegak lurus bipolar (batu inti tipe 2):
caranya tetap sama, tetapi dengan pembukaan satu atau beberapa dataran pukul yang
berhadapan. Hasil-hasil yang diperoleh sama, ditambah support dari tekno-tipe 2a sampai 2c.
3- Skema Produksi dengan Pangkasan Berarah Sentripetal:
Skema ini mengacu pada batu inti tipe 3.
Skema ini bersifat marginal, namun mendapat tempat dalam rangkaian operasional. Bahkan
skema ini sering kali diterapkan lewat serpih-serpih kortikal yang tebal, yaitu serpih-serpih
primer yang dihasilkan melalui salah satu dari dua skema di atas. Dengan demikian, posisi
skema ini agak "ke belakang" dari rangkaian utama.
Kami menyimpulkan bahwa ketiga skema ini sebenamya dapat disatukan atau lebih
tepat merupakan hasil penerapan algoritme dalam jangka waktu yang bervariasi. Penerapan
algoritme ini dapat disingkatkan sebagai oposisi dua permukaan (A/B) (ilustrasi 107).
Sebenamya, ketiga skema ini merupakan tiga cara pandang yang berbeda terhadap
bongkahan dan volumenya sebelum dan selama pemangkasan. Kondisi ini sekaligus
menerangkan beraneka macamnya bentuk-bentuk batu inti.
Algoritme dan Prinsipnya
Pada pandangan pertama, algoritmenya kelihatan elementer, tetapi sebenamya menghadirkan
beberapa aturan teknis yang membantu untuk memahami mekanisme dasar dan memungkinkan
kami untuk menggunakan istilah "konsep".
Aturan-aturan teknis algoritme adalah sebagai berikut:
- Yang dicari adalah bahan baku dengan bagian luar yang cembung dan yang
dapat diolah.
- Lama dan keberhasilan pemangkasan tidak bergantung pada persiapan khusus batu
inti tetapi sebaliknya pada pemilihan sumbu pemangkasan dalam kaitannya dengan
bentuk alami bongkahan (khususnya bagian yang cembung umumnya cocok dengan
perpanjangan alami bongkahan).
- Yang dicari adalah sebuah sudut.
- Terdapat dua bidang permukaan: area A (dataran pukullDP) yang ditentukan
sebelumnya dan yang menentukan area B (Bidang PemangkasanlBP).Selalu diperoleh hasil yang sama: serpihan yang cukup memanjang, tebal, dengan satu
dataran kortikal yang tampak jelas.
- Tidak ada persiapan dataran puk:ul: biasanya datar, bahkan alami.
- Tidak ada perawatan area dataran pukul. Ketika sampai pada akhir rangkaian (rata-rata 2-3 pangkasan), pemangkasan dihentikan atau arah sumbunya diubah
(pembukaan dataran pukul yang baru).
- Pada akhir pemangkasan, bentuk batu inti bisa macam-macam bentuk berfaset.
Aigoritme dibedakan dari metode-metode pemangkasan Iain karena tidak memiliki
tahap-tahap yang jelas, seperti yang ditemukan dalam pemangkasan Levallois. Dalam hal ini
tidak berarti tidak ada hierarki, bahkan kemungkinan justru lebih signifikan di sini, karena
algoritme sendiri sudah dihierarkikan dan hanya ada jika terdapat penghierarkian permukaan
(A/B). Aigoritme merupakan rangkaian pendek dengan konsep yang dapat disebut sebagai
pengoptimal teknis, bukan volumetris, karena tujuannya adalah menghasilkan produk yang
sama dalam jumlah besar, terutama produk yang cukup memanjang, kortikal dan dengan
persiapan yang minimal.
Aigoritme mempunyai konsepsi volume bongkahan yang benar-benar menarik
dan yang membedakannya dengan jelas d,&ri konsep-konsep pemangkasan Iain, seperti
pemangkasan Levallois.
Konsepsi Volume Dalam Penerapan Aigoritme
Kami telah membedakan dua cara utama untuk mengolah volumenya lewat algoritme:
Pengolahan volume bongkahan melalui serangkaian permukaan yang berhadapan:
- hasil yang diperoleh dari A: pemangkasan unipolar dengan tekno-tipe 1a-l d
bahkan 2b;
- hasil yang diperoleh dari B: pemangkasan unipolar (1 a-Id).
Pengolahan volume dalam dua tahap, selalu berdasarkan dualisme Area DP (A) dan
Area P. (B), tetapi dengan pengolahan sentripetal berulang dari permukaan A dan pemangkasan
berlawanan dan berarah tunggal pada area B:
- hasil yang diperoleh dari area A: artefak yang lebih kurang berbentuk segitiga 2a dan
la-Id;
- hasil yang diperoleh dari B: berarah tunggal la-Id.
Persamaan dari kedua cara untuk mengurangi volume adalah menghasilkan serpihserpih tanpa penataan kembali.
Dengan sistem ini produksi hanya bisa terjadi jika terdapat permukaan yang cocok,
dalam arti memiliki kecembungan alami: pemangkas "bermain" dengan korteks, karena
korteks ini merupakan kriteria kontrol distal dan lateral pada serpihnya. Hal ini menjelaskan
keberadaan serpih dalam jumlah yang banyak dengan ujung distal melekuklmelipat dan jejakjejak negatifpangkasan pada bagian distal (lihat la-Id).
Dengan kata Iain, proses pemangkasan ini berlangsung pada pencarian dan eksploitasi
kecembungan alami dari bahan baku untuk memperoleh serpih-serpih yang diharapkan (lihat
tekno-tipe la-Id dan 2a sampai 2c).
Dengan demikian terdapat dua cara utama untuk mengelola volume bongkahan. Kedua
cara ini diterapkan pada bermacam-macam bentuk batu inti yang dapat kami kelompokkan ke
dalam tiga tipe. Dengan demikian, keanekaragaman bentuk batu inti dapat dikaitkan dengan
support-support pemangkasan yang distandardisasikan. Hal ini dapat dijelaskan karena tidak
ada tahap pembentukan nodul yang tersendiri dalam proses ini.
Memang benar tahap pembentukan volumetris ini amat menentukan karena
pemangkas membentuk bongkahan dengan menetapkan hierarki ciri-ciri teknis (pembentukan
kecembungan lateral dan distal, dataran pukul, dan lain-Iain) (Boëda, 1994, 1995, 1997).Struktur volumetris Levallois rumit karena menghadirkan sejumlah kriteria teknis
(keenam kriteria yang didefinisikan oleh É. Boëda, 1996). Setelah sebuah seri gerakan yang
ditentukan sebelumnya dan yang menentukan, terdapat sebuah konstruksi volumetris yang
disebut Levallois, di mana bentuk yang distrukturkan oleh gerakan-gerakan teknis dan
volumenya menjadi satu.
Dalam hal metode pemangkasan yang digunakan oleh para pemangkas di Song Keplek
yang berdasarkan pada algoritme (NB), dapat diamati bahwa pada waktu terhentinya
pemangkasan, terdapat oposisi antara volume dan struktur. Dalam hal ini volume dianggap
sebagai sisa dari bentuk awal, dengan kata Iain, area-area kortikal yang tersisa, sedangkan
struktumya terdiri atas area yang dipangkas (bekas algoritme).
Dalam hal algoritme kami tidak bisa memakai istilah struktur volumetris dalam arti
sempit, seperti yang telah didefinisikan oleh É. Boëda (sejumlah kriteria teknis). Kami 'tidak
menemukan satu pun bentuk batu inti yang telah direncanakan sebelumnya dalam skema
konseptual para pemangkas. Hanyalah algoritme yang direncanakan sebelumnya.
Dengan skema algoritmis yang digunakan para pemangkas di Song Keplek (kombinasi
NB), konseptualisasi terbatas pada persepsi bentuk "global" bongkahan. Bertolak belakang
dari pemangkasan Levallois, pemangkas tak dapat membayangkan bentuk batu inti "setelah
10 pukulan yang akan datang."
Hal ini merupakan konsepsi global dari bongkahan lewat perkiraan potensi volume
yang berguna untuk pemangkasan, konsepsi yang dapat didefinisikan sebagai suatu
"inisialisasi virtual". Setelah pengumpulan dan pemilihan bongkahan, tahap yang mendahului
produksi support adalah sejenis "inisialisasi virtual" ini yang merupakan visualisasi cepat
tentang ciri-ciri kualitatif bentuknya (pencarian sudut untuk mengawali episode A, disusul
episode B). Hal ini terbukti dalam himpunan artefak dengan fakta yang menonjol, yakni sering
terjadi pengolahan pada sebagian dari bongkahan saja, sedangkan bagian yang Iain tetap alami
(lihat batu inti tipe 1).
Dalam hal algoritme, supaya pemangkasan dapat berlanjut setelah dua episode
pemangkasan, setelah episode A lalu episode B, bongkahan seharusnya mengalami deformasi
untuk menghadirkan morfologi yang baru.
Perubahan bentuk ini terjadi ketika batu inti tipe 1 dijadikan batu inti tipe 2, dengan
kata Iain menjadi batu inti yang sedikit lebih dibentuk, lebih berfaset. Perubahan morfologi ini
diperlukan agar struktur A/B dapat dipertahankan. Dengan demikian, variasi bentuk batu inti
bergantung pada kemajuan metodenya, pada pengulangan algoritmenya.
1.3) Hubungan Antara Bentuk dan Struktur Dalam Teknologi Litik
Berkaitan dengan studi teknologis, prinsip umum yang hendak kami tekankan adalah:
suatu kegiatan teknis hanya dapat berjalan apabila pada sejumlah konsep-kunci ditambahkan
varian-varian khas kelompoknya sebagai jawaban atas kebutuhan dan paksaan lingkungan
(Pigeot, 1991; Boëda, 1997).
Untuk membahas aspek ini, kami kembali kepada dua contoh yang telah dibandingkan
dalam bab ini, tetapi yang ingin kami paparkan secara lebih mendalam. Salah satu contoh
terkenal yaitu konsep Levallois (Boëda, 1988a, 1991, 1994, 1995, 1997) dan yang Iain adalah
metode area-area silih berganti yang didasarkan pada konsep algoritmis yang ditemukan di
Song Keplek.
Metode yang didasarkan pada penggunaan algoritme ini (A/B) terkenal pada kala
Paleolitik bawah-tengah Eropa (Ashton et al., 1992; Forestier, 1993; Amiot, 1993; Boëda, 1997).
Kami akan memaparkan secara khusus salah satu unsur rangkaian operasional dari
Song Keplek, yakni batu inti dan sistem yang terkait, berlatar perubahan bentuk yang
berklanjutan.
Faktor variabilitas bentuk ini dapat mempersoalkan homogenitas sistem teknis, karena
batu inti merupakan unsur penting dari produksi dan mencerminkan strategi pemangkasan
yang menentukan pada waktu penghentian pemangkasan,
Berkaitan dengan soal sistem dan sebelum membandingkan sistem Levallois dan
sistem algoritme, kami akan membahas kembali secara singkat tipe sistem yang ditemukan
da1am kedua metode ini.Sistem Levallois cenderung tergolong ke dalam sistem yang, di dalam tujuannya
menghubungkan kesatuan-kesatuan yang otonom (batu inti dan serpihan), stabil dan invarian
dengan kecocokan yang jelas, yang hubungannya dapat diamati dengan mudah (lihat faktor
penentuan awal batu inti Levallois, Boëda 1994). Ini merupakan gambaran klasik yang
diberikan pada sistem yang homogen (Bertalanffy, 1973; de Rosnay, 1975; Morin, 1977
dan 1980).Sebaliknya, algoritme cenderung tergolong ke dalam sebuah keluarga sistem yang
kesatuan-kesatuannya bukan hanya otonom, tetapi juga tidak selaras. Hal ini merupakan tipe
sistem yang jalannya disebut heterogen, di mana tergabung faktor-faktor invarian (serpih) dan
faktor-faktor perubahan (morfologi batu inti yang berbeda-beda) (Lupasco, 1951 dan 1962;
Trist, 1970; Bertalanffy, 1973; Atlan, 1974).
Sistem yang dijumpai dalam himpunan temuan dari Song Keplek dapat diringkas dalam
tiga unsur pembentuk yang menciptakan sebuah "logika heterogenitas" dalam suatu kesatuan
yang berjalan (ilustrasi 108):
- Sebuah unsur penyatu: serpih-serpih (distandardisasikan, lih. ketujuh tekno-tipe) yang
memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa penataan umum dari sistemnya berfungsi.
- Sebuah unsur penggerak keanekaragaman: batu inti yang, ketika berasosiasi dengan
serpih-serpih, menampilkan sebuah sistem sebagai satu kesatuan kompleks dan
paradoksal.
- Sebuah unsur operasional dan penyatu: algoritme A/B yang berdasarkan struktumya
sendiri memungkinkan kami memahami standardisasi serpih serta "persamaan kasar"
batu-inti-batu intinya.
Patut diperhatikan bahwa sebuah prinsip yang tampaknya sederhana seperti algoritme,
bisa menjadi kompleks karena bertambahnya bentuk batu inti. Dalam hal ini, kompleksitas
tampak berpadu dengan keanekaragaman. Dengan demikian kompleksitas sistem
menghadirkan unsur-unsur yang berciri kesatuan di satu sisi, dan keanekaragaman di sisi Iain.
Pada umumnya, unsur-unsur tersebut berlawanan. Sistem teknis ini berjalan di antara
antagonisme dan sifat saling melengkapi ini sebagai suatu susunan perbedaan (Morin, 1977).
a) Konsep Levallois: dari Bentuk Alami ke Bentuk Terstruktur
Dalam hal Levallois, hubungan yang sangat erat antara bentuk dan struktur wajib ada,
agar konsep Levallois dapat berjalan.
Konsep Levallois terutama bersifat struktural, karena membentuk sebuah volume sambil
membangunnya, dalam arti memberikan sejumlah ciri-ciri teknis (penghierarkian permukaan,
pembentukan kecembungan, dan lain-Iain).
Tentang hal ini, E. Boëda memakai ungkapan "konstruksi volumetris Levallois" (Boeda, 1988a,
1994, 1995) seperti yang ditunjukkan gambar di bawah ini (Ilustrasi 109).Dalam hal Levallois struktur mengubah bentuk (alami kortikal) dengan memaksakan
serangkaian gerakan yang tepat, gerakan yang dikenal dan dicari oleh pemangkas, sehingga
kadang-kadang menghapus semua jejak morfologi asli.
Batu inti Levallois merupakan sebuah konstruksi yang dipikirkan lebih dulu, dan ini
menjelaskan sifat khas dan berulang dari batu intinya.
Apapun metode yang dipilih, ketika konsep Levallois digunakan semua batu inti
memiliki konstruksi volumetris yang sama dan serpih-serpih yang dihasilkan memiliki ciriciri yang sama, karena mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan pada bahan selama fase
pembentukan awal.
Dalam konsep Levallois, struktur dan bentuk berbaur, karena struktur menyingkirkan
bentuk. Hal ini menunjukkan keseimbangan seperti yang ditemukan dalam sifat tetap
morfologi batu inti dan produk-produknya.
Berdasarkan konstruksi volumetrisnya, batu inti Levallois dapat digolongkan ke dalam
kelompok morfologi "statis" yang pada umumnya cembung, melengkung, bulat, dan lain-Iain.
Sementara batu inti Song Keplek cenderung mendekati ke1ompok morfologi "dinamis" yang
selalu berubah, lebih bersudut, dan lebih berfaset.
Batu inti berfaset tampaknya merupakan contoh yang paling maju dalam hal
"ketakseimbangan" dan "dinamisme". Hal ini diungkapkan melalui pindahnya sumbu awal dan
pembukaan-pembukaan dataran pukul yang berlawanan.
Dengan demikian, istilah "bentuk terstruktur" dari bongkahan atau "bentuk
terkonfigurasi" dapat digunakan untuk Levallois (Boëda, 1994) sebagai proses pembuatan
yang kompleks, di mana terdapat transformasi bentuk bongkahan awal yang diarahkan
menurut "pemikiran abstrak".
Dalam hal Levallois, batu inti dapat diidentifikasikan. Sebaliknya batu inti yang kena
proses algoritmis tidak mungkin diidentifikasi, karena tidak bersifat tunggal dalam struktumya.
Jumlah bentuk batu inti hanya terbatas padajumlah kombinasi algoritmis yang ada danjumlah
morfologi bongkahan yang ada dalam lingkungan alami.
Dengan kata Iain, konsep Levallois memungkinkan kami membandingkan batu inti dari
segi struktural apapun ukurannya, karena bercirikan tekno-morfisme yang mengkait dengan
produk-produknya. Faktor ini tidak terdapat di dalam proses algoritmis.
b) Algoritme: dari Bentuk Alami ke Bentuk yang Diubah
Dalam konsep algoritmis hubungan bentuk dan struktur dianggap berlawanan.
Istilah "bentuk" dalam makna dasamya dapat digunakan, karena batu inti jarang sekali
diolah secara keseluruhan (terdapat banyak sisa korteks). Pada sebagian besar batu inti, tidak
terlalu sulit untuk memperkirakan sifat dan morfologi bongkahan sebelum pemangkasan
dimulai (bongkahan berbentuk bulat lonjong, bongkahan berbentuk segi empat, bongkahan
berbentuk prisma, dan sebagainya).
Kami telah meneliti bentuk, yaitu apa yang kami sebutkan dengan "bentuk tertutup"
(bongkahan alami) dibandingkan dengan "bentuk terbuka" (misalnya bongkahan yang ditetak).
Melihat hasil pembuatan yaitu serpih-serpih yang stabil dan seragam dari segi
morfo-teknologis (lihat: ketujuh tekno-tipe), dapat dikatakan bahwa sistem produksi nyata
berjalan. Meskipun begitu, berbeda dari konsep Levallois, sistem ini tidak memperlihatkan
kecocokan sempuma antara kestabilan hasil-hasil dan kestabilan batu inti-batu inti.Maka metode yang dijumpai di Song Keplek termasuk di antara yang paling sederhana
dalam penerapannya (oposisi area: AlB). Tetapi, metode tersebut juga kompleks dari segi
hubungan yang ada antara artefak yang dihasilkan dan bentuk sisa batu inti. Dalam hal ini,
berlawanan dengan Levallois, sistem teknis berjalan lancar tanpa adanya hubungan erat dan
wajib antara bentuk dan struktur.
Batu inti memang semuanya berbeda satu sama lainnya dari segi bentuk, tetapi satu
sama Iain memiliki keterkaitan (terutama struktural). Keterkaitan ini mesti dicari dalam
penerapan algoritme dan secara implisit ditunjukkan dalam hasil pembuatan, yakni tipe
serpih yang serupa.
Bentuk batu mti kelihatan berbeda karena variasi penerapan algoritme pada
permukaannya (sudut pangkasan, bidang konveks pilihan, tingkat pengulangan algoritme,
dan sebagainya).
Batu inti ini memiliki kekhasan, yaitu masih mempunyai banyak korteks dan
bentuknya mendekati bentuk awalnya; kadangkala seakan-akan sedikit sekali ditetak kemudian
ditinggalkan.
Dalam hal ini, berbeda dengan Levallois, kita tidak berbicara tentang "konstruksi
volumetris", melainkan "deformasi volumetris" bongkahan menurut serangkaian tindakan yang
tepat dan berkaitan dengan prinsip algoritme.
Deformasi dalam arti yang kami pahami tidak menghadirkan pembentukan melainkan
serentetan bentuk. Perubahan bentuk yang melalui satu atau beberapa episode pemangkasan,
dapat disimpulkan sebagai peralihan dari sebuah bentuk tertutup atau awal ke bentuk terbuka
yang diolah (Ilustrasi 110).
Di sini struktur tidak dipaksakan langsung pada bongkahan, tetapi hadir selama
penerapan algoritme melalui oposisi bidang AIB yang khas untuk bongkahan tersebut.
Aigoritme sendiri sekaligus struktur, terstruktur dan pencipta struktur (lihat konsep "habitus"
dan prinsip pendorong kegiatan yang dipaparkan oleh P. Bourdieu, 1972). Fenomena
strukturisasi selalu bersifat superfisial, tanpa "mencakup" bentuk awal, dan tanpa memaksakan
suatu konsep yang kuat dengan aturan-aturan volumetris, geometris dan struktural tertentu
(lihat konsep Levallois). Melalui suatu kombinasi gerakan sederhana pemangkas mengubah
dan menghasilkan bentuk-bentuk.Ciri-ciri Skema Pembuatan
Apa yang dicari oleh pemangkas dari Song Keplek dengan cara pemangkasan sedemikian?
Menurut kami, terdapat paling tidak dua kemungkinan:
- Jika tajaman yang dicari, maka pemangkas akan memilih satu-satunya bagian dari
serpih, yaitu sebuah support jenis pisau berpunggung alami yang dapat bervariasi
menurut frekuensi korteks, dari tekno-tipe la, sampai tekno-tipe Id, bahkan 2b.
- Jika morfologi global untuk penggunaan yang dicari (beberapa segmen dapat
dijadikan tajaman), maka pemangkas akan mempertimbangkan pangkasan dalam
keseluruhannya.
Kami berpendapat bahwa di Song Keplek manusia prasejarah telah mencari
kedua-duanya, tetapi mengutamakan kemungkinan yang pertama (lihat: data kuantitatif
mengenai support yang menunjukkan orientasi unipolar, lihat ilustrasi 102).
Dalam proses pemangkasan mereka mencoba mengolah bidang yang cembung dan lebar, dan
bidang yang khusus berorientasi mengikuti sumbu panjang bongkahan untuk memperoleh
serentetan pangkasan memanjang yang sesuai dengan keperluan, supaya dapat diubah
menjadi alat atau untuk digunakan langsung.
Melihat batu inti yang sering sulit didata, kami berpendapat bahwa berlakunya sebuah
sistem tidak dapat dinilai melalui pendekatan intuitif (awal) yang berdasarkan pada perbedaan
di antara benda, melainkan lewat suatu pendekatan rasional melalui unsur-unsumya.
Analisis rangkaian operasional elementer seperti yang ada di Song Keplek
menunjukkan bahwa tanggapan awal bentuknya (atau bentuk-bentuk) perlu dilengkapi dengan
pencarian struktumya.
Metode pemangkasan elementer ini memungkinkan kami untuk menyimpulkan bahwa
kestabilan suatu sistem teknis tidak hanya berdasarkan pada hubungan yang erat antara bentuk
dan struktur batu inti.
Sebaliknya, sistem seperti itu dapat berjalan dengan batu inti yang bentuk sisanya
sangat bervariasi, karena bentuk-bentuk tersebut dipangkas menurut satu-satunya cara yang
sekaligus menstrukturkan dan mendeformasikan, yaitu algoritme.
Dalam jenis metode ini, episode A hanya berarti jika berkaitan dengan episode B.
Dengan kata Iain, algoritme hanya ada melalui oposisi dua bidang permukaan (A/B) di mana
bidang pertama ditentukan sebelumnya dan akan menentukan bidang kedua dan begitu seterusnya dalam proses pembuatan.
Kami telah menunjukkan bahwa banyaknya bentuk batu inti hanya merupakan hasil
dari pemakaian proses algoritme dan kriteria-kriteria teknisnya dengan intensitas yang
berbeda-beda.
Pada batu inti dari Song Keplek, pengulangan algoritme dan perubahan sumbunya
tidak semestinya mengurangi volume dan bentuk awal bongkahan, tetapi membuat
struktumya lebih rumit dengan menghasilkan batu inti agak bulat yang semakin berfaset
dengan "banyak dataran pukul".
Ciri-ciri utama algoritme adalah:
- Tidak semestinya linear;
- sering terpecah-pecah: ditemukan seperti "terpecah-pecah" pada permukaan yang
kelihatan tidak teratur pada pandangan pertama (contohnya: semua batu inti berfaset);
- mudah ditemukan jika tidak berulang-ulang;
fleksibel": unipolar atau bipolar (selalu ada kemungkinan untuk menyiapkan dataran
pukul yang Iain, lih. artefak yang disebut artefak "sudut" (misalnya tekno-tipe 2e);
- menghadirkan konsep ketakterdugaan, oportunisme. Hal ini perlu dihubungkan
dengan keluwesan earanya, karena setiap saat bisa terjadi perpindahan sumbu, lalu
kembali lagi jika sudut tersebut masih eoeok;
- ketakterdugaan sangat nyata dalam tipe metode yang dihasilkan dari prinsip dasar
pemangkasan elementer. Sebaliknya ketakterdugaan ini tidak ada dalam rangkaian
operasional yang rumit seperti Levallois.
Sebagai mekanisme dasar karena pengulangan yang dikaitkan dengan bentuk
bongkahan, algoritme menunjukkan kestabilan metode pemangkasan antara pengulangan
hasil-hasil yang sangat kortikal dan keanekaragaman batu inti. Dengan meneliti struktur, dan
bukan langsung bentuk, kami dapat memahami kemiripan kasar batu inti dan membuktikan
hubungan nyata antara batu inti dengan produknya.
Sekarang kami berpendapat bahwa usaha untuk memahami struktur merupakan jalan
keluar untuk memeeahkan masalah-masalah bentuk.
Dengan demikian, dalam analisis
batu inti berfaset dengan bentuk yang
selalu berbeda, bukan bentuk yang
menjadi titik tolak, melainkan asalusul bentuk tersebut: meneari sebabsebab dari sifatnya sama dengan
meneliti struktumya.
Usaha ini terlepas dari konsep
ukuran dan memberi tumpuan kepada
pengertian mekanisme intemnya. Hal
ini membuktikan dengan jelas, bahwa
sebuah sistem tetap berjalan, walaupun
suatu struktur tidak selalu eoeok
dengan bentuk yang menyertainya. Hal
ini dapat digambarkan melalui eontoheontoh yang diambil dari alam, misalnya pohon. Pohon-pohon mempunyai
struktur yang sama tetapi dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda
(Ilustrasi 111 )..
Perbatasan antara skema kompleks seperti Levallois dan skema lainnya yang lebih
elementer bertipe algoritmis, seperti skema dari Song Keplek tampak terletak pada tingkat
abstraksi tahap pembentukan awal, yakni ketika struktur mendahului bentuk.
Dengan demikian tingkat kerumitan dan abstraksi tergantung pada jumlah tahap dalam skema
pembuatan yang meringkaskan peralihan dari sebuah bentuk alami ke sebuah bentuk yang
tersusun seluruhnya.
Kesimpulan dan Korelasi Regional
Kajian yang telah dipaparkan di sini bertujuan untuk mengungkapkan suatu realitas
arkeologis baru dalam prasejarah Indonesia, yaitu realitas arkeologis yang berkaitan dengan
kelompok-kelompok pemburu yang mendiami Song Keplek di pegunungan selatan Jawa pada
awal kala Holosen.
Setelah lama dianggap sebagai tekno-kompleks lancipan (Erdbrink, 1954; Hooijer,
1969; Heekeren, 1972), industri Holosen Gunung Sewu danjuga industri-industri di Nusantara
pada umumnya terbukti menunjukkan keanekaragaman budaya (kegiatan pembentukan dan
kegiatan pemangkasan).
Dua pendekatan yang saling melengkapi, yakni teknologi dan tipologi, telah
membantu kami memahami tingkat teknis manusia ini dalam pemangkasan batu dan dalam
tipe-tipe alat yang dibuat.
Penelitian kami mengkonfirmasi bahwa di Asia Tenggara dapat ditemukan peralatan
yang "sangat paleolitik" pada periode di mana manusia modern sudah ada. Hal ini telah
ditekankan oleh F. Bordes pada tahun 70-an (Bordes, 1979).
Dari hasil penelitian kami, tiga aspek khas dari kesatuan industri preneolitik yang diteliti,
dapat diutarakan:
1. Produksi serpih yang sangat kortikal, cukup tebal dan agak laminer dari batu rijang
yang bertekstur cukup halus dan berwarna kurang beraneka.
2. Serangkaian alat tanpa fosil pemandu, tetapi yang dapat digolongkan sebagai
artefak yang rupanya sangat "mousteroid" dalam arti tipologis.
3. Seluruhnya mengikuti sebuah proses pemangkasan elementer menurut prinsip
algoritme yang berdasarkan pada kombinasi dua bidang berlawanan dua A/B (dataran
pukull bidang pangkasan).
2.1) Ikhtisar Pendekatan yang Dipilih
Perhatian kami diberikan sekaligus pada tujuan pemangkas, yaitu peralatannya, dan
juga pada cara memperolehnya. Pendekatan kami didukung sekaligus oleh pengamatan dan
oleh data-data yang diperoleh dari eksperimen.
Penyusunan suatu daftar acuan untuk peralatan tetap berguna, karena penggambaran
awal dari suatu kesatuan industri membutuhkan pendekatan deskriptif. Namun demikian, kami
berpendapat bahwa usaha ini tidak meyakinkan untuk mencirikan dan mendefinisikan sebuah
tekno-kompleks.
Analisis teknologis dan pendekatan eksperimental telah membantu kami membedakan
tujuh invarian (tekno-tipe unipolar dan bipolar) yang berhubungan dengan logika pembuatan
yang diterapkan.
Kami telah mencari dan menghitung invarian-invarian ini dalam himpunan serpih hasil
pemangkasan dan dalam aneka jenis alat. Dengan kata Iain, kami telah meneliti sifat teknis
support dan support-alat. Kemudian, kami telah mencoba untuk menemukan kriteria-kriteria
(metris dan teknis) yang mendasari pemilihan support tertentu oleh manusia Prasejarah untuk
tipe alat tertentu.Kecenderungan Umum Produksi: Artefak-artefak Kortikal dan Memanjang
Jika pada banyak pemangkasan melalui teknik benturan langsung yang menggunakan
batu keras atau batu lunak, produk-produk kortikal terbatas pada serpih-serpih hasil persiapan
saja (serpih-serpih pembentukan awal), di sini produk kortikal merupakan seluruh hasil
pemangkasan dan menjadi tujuan utama pemangkas.
Apapun sifat support, korteks terdapat pada rata-rata dua pertiga artefak, bahkan lebih.
Informasi ini perlu dihubungkan dengan jumlah besar artefak yang memiliki skema diakritis
sesuai dengan cara unipolar, yaitu tekno-tipe la hingga Id (65%).
Meskipun berukuran sedang (rata-rata 40 mm), berdasarkan perhitungan indeks
kepanjangan, artefak kortikal ini te1ah memperlihatkan kecenderungan "laminer" atau
"panjang" dalam daftar kami (rata-rata 80%). Sebenamya artefak kortikal ini lebih cenderung
sebagai support memanjang daripada bilah yang sebenamya. Data tentang ukuran hasil-hasil
ini telah dikonfirmasikan dalam batu inti ketika ditinggalkan.
2.3) Kecenderungan Umum Alat-alat
Perlukah ada daftar contoh untuk bagian timur Jawa?
Menurut kami, acuan seperti ini tidak diperlukan karena dapat membuat penelitian
kami dianggap final, membekukannya dan secara implisit menjadikan kumpulan alat-alat
sebagai rujukan untuk kurun waktu 8.000-5.000 tahun yang lalu.
Rasil penelitian kami tidak memberikan persentase tipe-tipe alat dalam bentuk daftar
atau diagram kumulatifyang tidak mendapat tempat dalam suatu kronologi budaya yang masih
kabur, tetapi sebuah sintesis alat-alat yang diamati.
Namun demikian, informasi umum tentang ciri-ciri utama artefak dapat disimpulkan
dengan pentingnya alat serut yang menonjol sekali dalam himpunan support yang dibentuk
(22%) dan diinginkan oleh manusia prasejarah dari Song Keplek.
Dengan demikian, peralatan preneolitik Rolosen di bagian timur Jawa terutama terdiri
atas alat serut, serut cekung dan serut gerigi, tetapi juga pisau berpunggung alami, gurdi, limas
dan serut dalam jumlah yang sedikit sekali.
Meskipun demikian, sebagian besar alat terdiri atas support hasil pemangkasan tanpa
retus yang telah digunakan (35%), dan memiliki jejak pakai pada tajamannya.
Kami tidak dapat mengatakan bahwa di Song Keplek, seperti juga di situs-situs Iain di
Gunung Sewu terdapat alat canggih seperti lancipan yang dibentuk melalui retusan bifasial
menye1uruh. Alat semacam ini dapat ditemukan di situs-situs neolitik terbuka. Yang ditemukan
di Song Keplek atau di situs Iain di Gunung Sewu (Song Terus, dU.) adalah teknologi
pembuatan elementer yang terdiri atas support-alat yang sangat kortikal, produk yang
diperoleh dengan cepat.
Jumlah serpih yang dihasilkan yang hampir sama dengan jumlah alat serpih,
memperkuat hipotesis, bahwa produksi di Song Keplek lebih bersifat kuantitatif daripada
kualitatif. Perubahan menjadi alat dilaksanakan pada support berukuran paling besar, melalui
suatu retusan yang cukup sederhana, bersisik dan jarang melebar.
Dengan demikian, penamaan alat-alat dari batu yang dipangkas di Song Keplek perlu
dilakukan dengan berhati-hati untuk menghindari generalisasi sembarangan, karena barnpertama kali penelitian seperti ini dilakukan pada tinggalan-tinggalan kegiatan manUSIa
modem di sebelah timur Jawa, dan lebih khusus lagi di Gunung Sewu.
Meskipun begitu, di masa mendatang tipologi akan bermanfaat karena tipologi dapat
memungkinkan perbandingan yang didasari teknologi untuk menjawab pertanyaan ada
tidaknya tekno-tipe tertentu ada atau tidak dan morfologi batu inti. Untuk sementara, korelasi
yang berlebihan dalam jarak jauh, intrapulau atau antarpulau perlu dicurigai.
Dengan demikian data-data mengenai peralatan ini masih bersifat prospektif dan mesti
diperkaya pada masa mendatang dari segi artefak litik dan juga artefak tulang (spatula, gurdi,
jarum, perhiasan dan lain-Iain), supaya kita dapat lebih memahami seluruh kebudayaan
materiil pada kala Preneolitik.
2.4) Algoritme: Suatu Metode, Suatu Teknik, dan Sejumlah Volume
Analisis teknologis membantu untuk memikirkan masalah-masalah seperti tata
pembuatan dalam sistem produksi litik elementer, bahkan terutama tentang analisis batu inti
dan keanekaragaman bentuknya.
Banyak metode pemangkasan yang disebut "kompleks" dikaitkan dengan strukturstruktur volumetris seperti struktur tipe Diskoidal, tipe Paleolitik atas, tipe Piramidal atau
Levallois.
Di Song Keplek, konsep struktur volumetris tidak muncul seperti demikian.
Pemakaian algoritme langsung menekankan konsep struktur lewat aplikasinya pada
bahan, dengan menstrukturkan volume pada sebagian bongkahan, pada bagian-bagian yang
paling cembung. Dalam hal ini algoritme sekaligus struktur, terstruktur, dan pencipta struktur.
Lain halnya tentang algoritme karena produk serpihan yang ditentukan sebelumnya
meninggalkan jejak struktur akibat transformasi bentuk awal bongkahan. Hadimya algoritme tergantung pada hadimya dua bidang berlawanan di mana yang satu dihasilkan dari
yang lainnya (A/B).
Konsepsi pemangkasan melalui algoritme didasarkan pada interaksi lima kriteria
teknis berikut:
1. Tidak ada strukturisasi volume bongkahan secara menyeluruh, yang ada hanya
strukturisasi sebagian dari bongkahan.
2. Paling sedikit terdapat dua bidang yang terhierarki selama produksi: area A (bidang
pangkasan/bidang dataran pukul) dan area B (bidang pangkasan) yang dapat
ditemukan di beberapa tempat pada bongkahan. Hal ini menjelaskan morfologi batu
inti yang bervariasi.
3. Kriteria-kriteria sifat kecembungan alami dihadirkan (pembentukan awal virtual)
untuk mengoptimalkan pemangkasan dan mengoptimalkan lamanya algoritme:
pemilihan area cembung yang terbaik, perkiraan, penilaian dan orientasi bongkahan.
4. Episode-episode pemangkasan (rata-rata 1 hingga 3 pangkasan per episode)
terbagi-bagi, bersifat tersendiri dan lamanya dalam proses pembuatan tergantung pada
volume awal bongkahan dan sumbu pemangkasan yang dipilih oleh pemangkas.
5. Benturan langsung menggunakan batu keras.
Bertolak belakang dari skema kompleks (Levallois dan lain-Iain), algoritme
merupakan sebuah proses sederhana dan unik tetapi menghasilkan bentuk batu inti yang
final dan kompleks.Oleh karena tidak ada hanya sebuah, tetapi sejumlah batu inti, kami tidak bisa
menamainya dengan mengaitkannya pada suatu konsep pemangkasan, karena batu inti tersebut
tidak dikenali dalam himpunan simbol kami (batu inti X dari metode X dan sebaliknya, dl!.).
Keanekaragaman morfologi batu inti mencerminkan lamanya proses pemangkasan
yang berbeda-beda (dengan sedikit atau banyak korteks, dengan sedikit atau banyak negatif
pangkasan, berbentuk lebih kurang berfaset, dan lain-Iain) dan kombinasi dalam jumlah tak
terbatas yang terdapat dalam volume awal (perubahan sumbu, dataran pukul berlawanan).
Usaha mencari algoritme berarti mencoba memahami genesis bentuk yang berkembang
sambil berubah sepanjang pemangkasan, lalu berhenti, menjadi tetap dan hadir sebagai
gambar bongkahan awal yang diubah.
Dari satu segi, telah diamati bahwa ini dapat diartikan sebagai pemahatan sebuah
volume yang membuat kami menggunakan istilah "bentuk terbuka". Dalam pembukaan inilah
struktur, yaitu algoritme, dapat ditemukan.
Oleh karena itu, melalui proses pemangkasan ini, semua batu inti adalah unik tetapi
semua bertalian (berbeda-beda dari segi morfologi,tetapi bertalian dari segi teknis).
Kami menyimpulkan bahwa berapa pun lamanya penerapan algoritme, dari segl
kualitatif penghasilan tetap sama, yakni serangkaian hasil yang kurang bervariasi dan
kebanyakan berorientasi unipolar (lihat ketujuh tekno-tipe).
2.5) Bagaimana Halnya Dengan Pandangan Tentang Posisi Kronologis Industri loi?
Industri litik Song Keplek bukanlah industri Sampungian, Toalian, atau lebih lagi
bukan industri Hoabinhian. Industri ini merupakan sebuah tekno-kompleks di antara
tekno-kompleks lainnya yang belum dikenal sampai saat ini dan kemungkinan besar sezaman
dengannya, tetapi berbeda karena tidak terdapat kegiatan pembentukan melainkan kegiatan
pemangkasan.
Industri horison "Keplek" ini mungkin menandai akhir dari ekonomi preneolitik manusia pemburu-pengumpul makanan di sebelah timur Jawa. Industri ini menunjukkan suatu
pemangkasan serpih menurut metode yang unik dengan benturan langsung memakai batu keras
yang mungkin berasal dari industri-industri alat serpih Plestosen atas, seperti contohnya
industri Leang Burung 2 di Sulawesi atau serpih yang ditemukan di lapisan bawah situs Song
Terus, Song Braholo, dll. (Simanjuntak, 2001; Sémah et al., 2003).
Hasil penelitian kami menyangkut sebuah situs saja, dan oleh karena itu hanya dapat
dianggap sebagai titik tolak untuk penelitian-penelitian mendatang yang akan mengarah
menuju perbandingan teknologis. Hasil penelitian ini hanyalah informasi tentang salah satu
tipe organisasi produksi litik oleh manusia modern dan kebudayaannya. Hasil penelitian ini
sama sekali bukan jawaban tuntas karena lapisan pemukiman, serta tanda-tanda lainnya
seperti teknologi tulang, perhiasan dan lain-Iain dari zaman ini masih kurang dikenal. Kami
tidak beranggapan bahwa kami telah meliput lapangan penelitian alat batu yang dipangkas
dari periode Preneolitik di sebelah timur Jawa, ataupun di Pulau Jawa pada umumnya, terlebih
lagi di seluruh Nusantara. Walaupun begitu, kami merasa telah membuka jalan pikiran yang
produktif tentang keanekaragaman tekno-kompleks industri manusia modern dalam konteks
kepulauan.
Oleh karena itu, penelitian ini tidak berhenti sampai di sini dan selanjutnya akan
menghadapi data-data baru untuk membandingkannya dengan situs-situs di Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatra. Satu hal yang pasti, penelitian ini baru mulai!
Bahan alat-alat serpih ini semestinya berasal dari Pegunungan Selatan ", demikian kurang
lebih pemikiran G.H.R. von Koenigswald ketika dia menemukan alat-alat serpih di Bukit
Ngebung, Sangiran pada tahun 1934. Atas dasar pemikiran itu pula, maka setahun kemudian,
dia bersama M WF Tweedie, kurator Rajjles Museum di Singapura, mengunjungi daerah
Punung yang merupakan bagian dari Pegunungan Selatan, dan secara tidak diduga, mereka
justru menemukan situs Paleolitik yang sangat kaya: Kali Baksoka. Betapa senangnya
Koenigswald di kala itu, hingga konon bersama kepala desa setempat ia menggelar pertunjukan wayang selama 7 hari 7 malam untuk merayakan penemuan itu. Diinformasikan pula
bahwa tidak kurang dari 3.000 artefak berhasil dikumpulkan dari situs ini di kala itu.
Penemuan bersejarah di atas menjadi momentum yang mengawali penelitian arkeologi
berkelanjutan di Pegunungan Selatan, khususnya wilayah Pegunungan Seribu yang lebih dikenal sebagai Gunung Sewu. Penemuan itu sekaligus menjadikan wilayah ini dikenal luas di
dunia prasejarah. Kini, selama lebih dari 70 tahun semenjak penemuan itu, hasil-hasil peneli
tian telah memunculkan pandangan-pandangan baru dalam menjelaskan kehidupan prasejarah
wilayah ini. Dari penelitian-penelitian itu pula tampak pada kita bahwa wilayah Gunung Sewu
merupakan kompleks hunian prasejarah yang sangat luas, intensif, dan berkesinambungan
dalam rentang Plestosen-Holosen. Proses adaptasi terhadap lingkungan dan pengaruh luar telah
menciptakan dinamika budaya yang berkembang, mulai dari yang bercorak Paleolitik,
Preneolitik, Neolitik, hingga Paleometalik pada masa protosejarah. Manusia datang ke wilayah
ini dan mendiami lembah-Iembah sempit di antara perbukitan karst dan daerah aliran sungaisungai. Ketersediaan berbagai sumber daya, seperti batuan yang baik untuk peralatan, air,
fauna, dan flora di lingkungan sekitarnya menjadi penopang kehidupan berkelanjutan dalam
rentang ratusan ribu bahkan mungkin jutaan tahun.
Adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang bekerjasama dengan
Muséum National d'Histoire Naturelle (MNHN), Prancis, sejak awal tahun 1990-an giat
melakukan penelitian di wilayah Gunung Sewu. Bermaksud menelusuri keterkaitan antara
kehidupan Homo erectus - yang jejak-jejak kehidupannya ditemukan di Sangiran, Kali
Baksoka, dan situs purba lainnya - dan kehidupan Homo sapiens - manusia anatomi modem
yang hidup sesudahnya - maka kedua lembaga ini bekerjasama meneliti berbagai situs di
wilayah ini. Salah satu situs yang diteliti adalah Song Keplek, sebuah gua yang sangat kaya
akanjejak hunian prasejarah - terletak tidakjauh dari kota kecamatan Punung. Penelitian yang
berlangsung sejak tahun 1992 di gua inilah yang kemudian menghantarkan Hubert Forestier -di kala itu masih mahasiswa di Institut de Paléontologie Humaine (IPH), Muséum National
d'Histoire Naturelle, Paris, dan ikut sebagai anggota tim penelitian - untuk meneliti secara
khusus himpunan artefak litik yang ditemukan untuk penulisan disertasinya. Kini disertasi
yang dipertahankannya pada tahun 1998 itu diaktualisasikan kembali oleh penulisnya dengan
menerbitkannya dalam bahasa Indonesia dengan judul: Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu.
Jika melihat waktu penulisan disertasi yang lebih dari 10 tahun yang lalu, mestinya sekarang
sudah banyak kemajuan yang dicapai di bidang studi tekno-tipologi alat litik. Lebih-lebih
bidang studi ini sangat berkembang pesat di Eropa - khususnya di Prancis, negara asal penulis.
Namun walaupun penerbitannya baru terlaksana sekarang, menurut hemat saya keberadaan
buku ini masih tetap relevan dan sangat diperlukan mengingat:
1. Substansi bahasannya yang mencakup berbagai aspek himpunan artefak litik
dari sebuah situs prasejarah. Suatu kenyataan bahwa bidang studi ini sejauh ini belum
banyak berkembang di Indonesia, oleh sebab itu bahasan dalam buku ini dapat meletakkan dasar dan acuan metodologis studi tipo-teknologi litik prasejarah di Indonesia
dan sekaligus memotivasi pengembangannya di masa depan. Patut dicatat bahwa data
arkeologi yang ditemukan dan dianalisis merupakan informasi baru yang menambah
pengetahuan kita tentang kemajuan berpikir dan produk teknologi komunitas pembuatnya - manusia penghuni Song Keplek - yang hidup ribuan tahun yang lalu.
2. Dalam lingkup Asia Tenggara dan global pada umumnya, artefak litik merupakan jenis tinggalan yang selalu paling menonjol dalam himpunan temuan di situssitus prasejarah, lebih-lebih pada budaya Preneolitik dari paruh pertama Holosen.
Pada periode ini manusia prasejarah penghuni gua-gua dan ceruk mencapai kemajuankemajuan yang signifikan dalam penguasaan teknologi litik, seperti diperlihatkan oleh
peningkatan kuantitas dan diversifikasi peralatan serpih yang eksklusif, jauh melebihi
periode sebelumnya. Kondisi ini menjadikan teknologi litik sebagai bidang studi yang
tidak terhindarkan dan sangat diperlukan, karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rekonstruksi kehidupan prasejarah.
Dalam konteks yang lebih luas saya ingin menggarisbawahi, bahwa studi teknologi dan tipologi artefak litik sangat menantang untuk memberikan pemahaman tentang berbagai aspek
kehidupan masa lampau. Studi ini dapat berbicara tentang sistem peralatan dengan seluruh
proses teknologi yang mengikutinya, termasuk mental template (konsepsi yang terformulasikan dalam pikiran si pembuat alat) dan pengetahuan dasar tentang batuan yang dijadikan
bahan alat. Studi di bidang ini juga berkaitan dengan aspek sosial, terutama tentang perilaku
pembuat atau komunitas pembuatnya; aspek lingkungan dalam hubungannya dengan kondisi
sekitar dan sumber daya yang ditawarkannya; dan aspek fungsi yang memberikan gambaran
tentang subsistensi komunitas pendukungnya. Lebih jauh lagi studi ini dapat menjelaskan
keterkaitan komunitas pendukungnya dengan komunitas Iain dalam konteks regional.
Kembali ke buku ini, sepanjang pengamatan saya, studi teknologi yang diuraikan dalam
Bab IV merupakan segmen yang paling mengesankan. Di sini penulis membahas konsep-konsep teknologi litik dan aspek teoretis dari pendekatan yang diterapkan dalam analisis. Untuk
memperjelas proses teknologi yang berlangsung, penulis juga melakukan percobaan peniruan
dalam pembuatan alat. Secara utuh, penulis membahas rangkaian tahapan operasional (chaîne
opératoire) yang dilalui dalam proses pembuatan alat: dimulai dari pencarian, perolehan, dan
pemilihan bahan baku; diikuti dengan penyiapan dan pengerjaan bahan dengan penerapan teknik-teknik pemangkasan dan peretusan sesuai dengan konsep si pembuat; hingga alat yang
diinginkan dihasilkan. Melalui analisis algoritme terhadap batu-batu inti, penulis mencobamenelusuri proses pengerjaan (baca pemangkasan) dengan mengidentifikasi arah dan teknik
pangkasan untuk menghasilkan support atau bentuk dasar alat. Dalam studi ini menarik untuk
mencatat pandangan penulis yang mengatakan bahwa: "proses tahapan pemangkasan alat litik di
Song Keplek secara umum tergolong pendek, sementara eksploitasi batu inti dalam menghasilkan bentuk-bentuk dasar alat (support) tidak optimal".
Pandangan ini mungkin dapat dibenarkan mengingat bahan rijang yang sangat
melimpah di wilayah situs dan tidak selalu dalam kualitas baik, sehingga penggunaan bahan
cenderung ekstensif. Sebagai konsekuensinya banyak serpih yang terbuang dalam
pemangkasan batu inti, sementara serpih yang dijadikan alat sering masih tebal dan memiliki
korteks di bagian punggungnya.
Hasil studi tipologi memperlihatkan tipe-tipe alat yang cukup bervariasi pada
himpunan alat serpih Song Keplek. Selain berupa serut dari berbagai tipe sebagai kelompok
alat yang dominan, himpunan artefak litik situs ini diperkaya oleh keberadaan alat-alat serpih
lainnya, seperti gurdi, lancipan, limas, pisau berpunggung korteks, dan sebagainya. Dalam hal
ini menarik dicatat bahwa serpih tanpa retus, tetapi dengan jejak pakai, cukup menonjol dalam
himpunan alat. Kondisi ini tentu berkaitan dengan sifat batuan rijang yang menjadi bahan
utama alat. Sifatnya yang keras tetapi retas menjadikannya mudah dipangkas dan cenderung
menghasilkan serpih-serpih dengan sisi-sisi yang tajam. Keberadaan sisi yang tajam itulah
yang sering dimanfaatkan penghuni gua untuk digunakan sebagai alat tanpa harus me1alui
pengerjaan lanjut.
Sebuah catatan kecil dapat saya sampaikan di sini, bahwa memahami substansi
bahasan di dalam buku ini tidak semudah yang dibayangkan; diperlukan kesungguhan dari
pembaca untuk dapat mencema arti dan makna yang terkandung dalam uraian-uraian teknis
tertentu dari si penulis. Hal ini dapat dimaklumi mengingat studi tipo-teknologi yang masih
tergolong baru di Indonesia, sehingga berbagai aspek teknis mungkin terasa asing bagi telinga
pembaca. Faktor "keasingan" ini pulalah agaknya yang menjadikan penerjemahnya sering
mengalami kesulitan untuk menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, ditambah pula
alur pikir penulis yang condong pada style negara asalnya: Prancis.
Walaupun demikian, dengan kelebihan dan keterbatasannya, gagasan École française
d'Extrême-Orient (EFEO) untuk menerbitkan buku ini pantas disambut dan dihargai, karena
sebagai studi yang tergolong baru dan rinci, buku ini akan sangat bermanfaat bagi para
peneliti, mahasiswa, dan pemerhati prasejarah Indonesia, khususnya yang tertarik mendalami
teknologi litik prasejarah. Penyertaan ilustrasi dalam bentuk gambar-gambar yang dikerjakan
penulis sendiri dan foto-foto yang menarik, telah memberikan nilai tambah yang sangat membantu dalam memperjelas uraian yang diberikan. Saya mengharapkan buku ini dapat
memberikan pencerahan dan sekaligus mendorong kemajuan bagi studi teknologi litik, bagian
yang tidak terpisahkan dari rekonstruksi budaya manusia prasejarah Indonesia.Penelitian ilmiah dalam bidang prasejarah di Pulau Jawa kini sudah berumur lebih dari
seabad dan dimulai pada akhir abad ke-19 dengan usaha-usaha perintis yang dilakukan oleh
E. Dubois di bidang paleoantropologi. Peneliti ini telah menggali tulang-belulang pertama
Homo erectus di Jawa Tengah. Pithecanthropus erectus telah ditemukan!
Kemudian tokoh-tokoh besar di bidang paleontologi dan prasejarah seperti L. van
Es, W. Oppenoorth, G. von Koenigswald, P. Teilhard de Chardin, H. de Terra, H. Movius,
H. van Heekeren, S. Sartono, P. Marks, 1. Jacob, R.P. Soejono, G. Bartstra dan banyak lagi
peneliti dari angkatan kita, dengan tak henti-hentinya dan tanpa mengenallelah melanjutkan
penelitian-penelitian di lapangan untuk menemukan dan menarik perhatian kita akan
kekayaan luar biasa fosil-fosil di Pulau Jawa.
Sebagai laboratorium sejati bagi penelitian masa lampau, Pulau Jawa memperkenalkan
hampir sejuta tahun pengalaman manusia kepada kita, dimulai dari Paleolitik yang sangat
kuno sampai ke kehidupan para petani pada kala awal Neolitik. Dari periode manapun juga,
situs-situs arkeologi yang dijumpai banyak sekali terdapat baik di udara terbuka maupun di
gua dan di gua payung. Tepat di sebelah tenggara Pulau Jawa, kami melakukan penelitian di
suatu daerah yang biasanya disebut sebagai Gunung Sewu. Sesungguhnya wilayah ini
merupakan sebuah laboratorium penelitian industri-industri litik sejak kala Holosen.
Gunung Sewu dikenal sebagai tempat yang secara geologis dan geografis terpisah dari
bagian Pulau Jawa lainnya. Daerah ini terjal dan memanjang antara Teluk Parangtritis dan
teluk paling timur dari Pacitan. Di tengah-tengah iklim yang cukup kering selama sebagian
besar tahun, relief bukit-bukit kapur yang bentuknya tidak seragam dan menghadap ke
Samudera Hindia ini, menyediakan banyak gua dan gua payung, aliran sungai serta rijang.
Batu sileks lokal yang bermutu cukup baik ini dipakai oleh manusia prasejarah untuk
membuat alat-alat mereka. Untuk segala alasan lingkungan ini, Gunung Sewu tampak
sebagai bingkai kehidupan yang ideal bagi hunian manusia sejak waktu yang sangat kuno.
Bukit-bukitnya sangat sering didatangi oleh manusia prasejarah dari periode manapun juga.
Sejak adanya penelitian di bidang prasejarah, daerah ini segera terkenal sebagai tempat persediaan alamiah yang sangat kaya akan alat-alat prasejarah yang dipangkas. Alat-alat
litik tersebut mengisahkan prasejarah dan merupakan bukti yang tak dapat disangkal lagi
bahwa tempat itu merupakan hunian kelompok-kelompok manusia sejak awal kala
Paleolitik. Alat-alat bifasial, kapak dan aneka ragam alat padat merupakan karya dan jejakjejak yang ditinggalkan oleh Homo erectus, sebagai pembawa ketrampilan teknis dan
kebudayaan Acheulean.
Benda-benda padat Acheulean yang juga ditemukan orang di Eropa, Afrika, negaranegara Timur Dekat dan Timur Jauh, India, Nepal dan Cina menunjukkan bukti kedatangan
Homo erectus setelah perjalanan jauh yang dimulai sedikit kurang dari dua juta tahun yanglalu dari daratan Afrika. Dan justru di alur Sungai Baksoko yang terletak tidak jauh dari kota
Pacitan inilah alat-alat Acheulean ini ditemukan. Situs di udara terbuka ini kemudian
menjadi terkenal dan memberikan nama pada salah satu kebudayaan Paleolitik bawah yang
termasyhur, yaitu budaya Pacitanian.
Pada periode yang lebih baru, sejak kira-kira 30.000 tahun yang lalu dan sampai
sekarang, manusia modemjuga memilih hunian di gunung-gunung, tetapi memutuskan untuk
tinggal di gua-gua dan memangkas banyak sekali batu, membuat alat-alat dari tulang serta
menguburkan jenazah. Apabila penelitian tentang alat-alat sangat kuno yang ditemukan di
Sungai Baksoko tetap sulit untuk ditarikhkan oleh karena keadaan penemuannya yang di
permukaan, penelitian tentang periode-periode yang lebih baru dimungkinkan oleh
banyaknya penemuan benda-benda arkeologis di gua. Pada tahun-tahun terakhir ini, banyak
situs di gua telah digali berdasarkan metode modem dan ditarikhkan dengan metode fisikakimia, seperti misalnya Song Braholo, Song Terus, Song Keplek, Song Tabuhan, Song Gupuh,
Song Agung, Song Gede, Song Dono, Song Tritis, dl1. Penemuan-penemuan yang dilakukan
dengan stratigrafi memungkinkan kita menilai urutan tingkat hunian, menganalisis isi fauna
dan litiknya, menarikhkannya dan memberikan patokan-patokan kronobudaya baru pada
prasejarah Jawa.
Gua Song Keplek yang menjadi pusat karya tulis ini, menyediakan keadaan
geoarkeologis yang ideal untuk melaksanakan ekskavasi arkeologi dengan baik dan penelitian
tentang tinggalan-tinggalan litik. Gua ini telah menyimpan bekas-bekas hunian yang
dihubungkan dengan Homo sapiens sapiens sepanjang urutan stratigrafis luar biasa dengan
kedalaman enam meter yang mencakup antara kira-kira 24.000 tahun yang lalu dan masa kini.
Ekskavasi-ekskavasi pertama di gua ini dimulai sejak tahun 1992 di bawah pimpinan Prof.
T. Simanjuntak dan timnya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Pada tahun 1995, saya bergabung dengan tim ini untuk melakukan penelitian S3 dalam
program penelitian Prancis-Indonesia, dalam rangka misi "Kuarter dan Prasejarah di
Indonesia" yang dipimpin oleh Prof. F. Sémah (Muséum National d'Histoire Naturel1e, Paris).
Disertasi ini menganalisis ribuan tinggalan litik dari lapisan-lapisan arkeologis atas yang
berusia kira-kira antara 8.000 dan 3.000 tahun. Hasil penelitian ini dipertahankan pada bulan
April 1998 di Muséum National d'Histoire Naturel1e, Institut de Paléontologie Humaine di
Paris, di depan juri intemasional yang antara Iain beranggotakan Prof. H. Ambary dan Prof.
T. Simanjuntak.
Buku dalam bahasa Indonesia berjudul Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah
Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur merupakan terbitan yang diperbaiki dari naskah asli
disertasi saya dan kini hanya menampilkan satu situs penelitian saja, yaitu Song Keplek. Song
Keplek memiliki nilai "studi kasus" bagi analisis tekno-tipologis rangkaian litik dan
penelitian ini menetapkan tiga tujuan utama:
- yang pertama, yang sekaligus merupakan studi konteks dan budaya, bertujuan untuk
menyajikan sebuah panaroma luas manusia-manusia fosil dan alat-alat mereka dalam
rangka kronologis di Indonesia dan juga dalam keseluruhan prasejarah di Asia
Tenggara,
- yang kedua, yang lebih pembaharu dan berani, bertujuan untuk menyajikan, untuk
pertama kali dalam bahasa Indonesia dan dengan bantuan banyak ilustrasi dan
glosarium, sebuah metode kerja dalam menganalisis bahan litik menurut sudut
pandang teknologis untuk memahami sepak terjang teknis seorang pemangkas batu
pada zaman prasejarah. Selain itu, berdasarkan sudut pandang tipologis, juga6digolongkan aIat-aIat batu yang berbeda-beda dengan mengamati beberapa ciri-ciri
tertentu dan pemilihan bahan baku,
- yang terakhir, yang Iebih umum, mengemukakan hasiI-hasiI kualitatif dan kuantitatif
penelitian industri-industri litik para pemburu-peramu di Jawa Timur pada kala
Holosen.
Sebagai pedoman dalam metodologi dan penelitian sintesis, buku ini ditujukan bagi
para mahasiswa di bidang prasejarah dan kaum profesional yang berminat pada prasejarah Indonesia serta alat-alat batu yang dipangkas.Pengolahan sejumlah besar ilustrasi dengan komputer dilakukan oleh Saudara Budiman
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional), Bapak Yanto Wahyantono (IRD
Jakarta), dan Ibu Laurence BiUault (lRO Orléans). Saya ingin menyampaikan banyak terima
kasih kepada mereka karena tanpa bantuan mereka, buku ini tidak akan terbit. Terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Laurence Billault, yang dengan penuh keahlian telah
menata naskah ini sehingga dapat naik cetak.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Tony
Djubiantono, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang telah
mengikuti perjalanan penelitian saya di Indonesia, terutama di Gunung Sewu dan telah
mendukung penerbitan buku ini dari awal. Matur nuwun!
Saya juga tidak melupakan dukungan Bapak Michel Larue, Kepala perwakilan Institut
de Recherche pour le Développement (IRO) di Indonesia terutama dalam bidang komputer dan
logistik, serta Ibu Etny Kirnayati, Ibu Krisnani Endah dan Ibu Maria D.M. Hariandja. Terima
kasih banyak juga kepada tim EFEO, khususnya Ibu Ade Pristie Wahyo dan Ibu Atika Suri
Fanani.
Saya tak lupa akan bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh rekan-rekan saya
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta: Saudara Ngadiran,
Saudara Budiman, Ibu Amel dan Bapak Dubel Driwantoro.
Saya ingin mengucapkan terima kasih juga kepada Ibu Endang Sri Hardiati, Kepala
Museum Nasional Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melihat
koleksi alat batu dari Museum Nasional.
Untuk melengkapi ucapan terima kasih ini, saya ingin menambah bahwa buku ini tidak
saja menyenangkan untuk dikerjakan, tetapijuga bertujuan untuk menunjukkan hasil penelitian
kita di lapangan kepada penduduk Punung, pemuka adat dan kepala desanya. Dengan ini saya
ingin menyampaikan penghargaan saya kepada para penggali di desa Punung yang selama
bertahun-tahun di lapangan (1995-1997) telah bergaul sehari-hari dengan saya. Bapak
Harianto, Bapak Teguh, Bapak Suparman, Bapak Joko, Bapak Mulyono, serta juga Mas
Slamet, Mas Heru, Mas Ginarto, Mas Sarni, Mas Puji, Mas Kurniadi, dU. telah membantu
dengan penuh semangat, pengertian dan humor. Seperti saya, mereka telah ikut serta di
lapangan dalam penemuan masa lampau, potongan-potongan tulang dan sileks, sejarah
budaya manusia zaman dahulu kala. Buku ini adalah buku mereka!
Akhirnya, saya tidak melupakan jasa mereka yang sudah berpulang: Bapak Prof.
Dr. Hasan M. Ambary, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada waktu program
disertasi saya; Bapak Dubel Driwantoro, sahabat di lapangan yang tak tergantikan dan Bapak
Toesimin Wiryoetomo, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Punung, yang
telah menyambut kami untuk tinggal di rumahnya dan yang telah berbaik hati mengubah
beberapa ruang menjadi kamar-kamar analisis selama penelitian-penelitian kami di lapangan.