ibukota 2

ategi 
agar interaksi antara ASN, pendatang lainnya, dan penduduk yang 
telah ada di wilayah calon ibu kota negara berjalan harmonis. 
Penerimaan masyarakat dan proses interaksi yang akan terjadi 
dalam struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang 
heterogen sangat penting, tidak saja pada saat perencanaan, dan 
proses pembangunan berlangsung, namun juga hingga 

 
 
berfungsinya ibu kota negara yang baru.  Proses pemindahan ibu 
kota negara yang partisipatif dan inklusif menjadi dasar 
terbentuknya kota dengan masyarakat kosmopolitan (majemuk) 
namun tetap menghargai keberagaman budaya. 
 
Lima Etnis Terbesar di Provinsi Kalimantan Timur 
Etnis Jumlah % 
Jawa 1,064,610 30.2 
Bugis 725,420 20.6 
Banjar 437,790 12.4 
Dayak (berbagai grup) 330,090 9.3 
Kutai 271,620 7.7 
Sumber: Diolah dari Sensus 2010 
 
Saat ini di Provinsi Kalimantan Timur ada  lima etnis 
besar, dengan jumlah pendatang yang cukup besar (73,2%).  Porsi 
terbesar berasal dari Jawa, yang pindah sebagai transmigran pada 
periode 1970 – 1980an.  Pembangunan di Kalimantan Timur juga 
menarik kepindahan suku bangsa Bugis, Banjar, dan berbagai etnis 
lainnya, yang banyak diantaranya telah berakulturasi melalui kawin 
campur lintas suku, termasuk dengan suku bangsa asli seperti 
Suku Paser, Kutai, dan berbagai kelompok Dayak lainnya. Karakter 
dan adat istiadat Suku Dayak pada dasarnya sangat terbuka, 
karena menganut trilogi peradaban, yaitu: hormat kepada leluhur, 
patuh kepada orangtua, serta berdamai dan serasi dengan negara.  
Keterbukaan masyarakat asli, keberagaman sosial budaya yang 
telah terjalin sejak lama, dan terbentuknya masyarakat yang 
heterogen menjadi nilai tambah bagi kepindahan ibu kota negara ke 
Kalimantan Timur.  
Kehidupan ekonomi warga Kalimantan Timur juga beragam, 
mulai dari industri kecil dan menengah, perikanan, pertanian, 
- 92 - 
 
 
perkebunan, pertambangan, dan jasa. Perkembangan industri 
perkebunaan dan pertambangan telah mengubah pola 
perekenomian masyarakat  yang beradaptasi sesuai perkembangan 
kondisi yang adaSalah satu persoalan utama yang dihadapi hingga 
saat ini adalah konflik tenurial kehutanan dan wilayah adat Suku 
Dayak. Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah air susu 
sumber penghidupan dan dianggap sebagai jantung Kalimantan 
sehingga perlu dilestarikan.  Karena keterikatan yang sangat erat 
ini, masyarakat adat Dayak ingin menjaga dan mengamankan 
hutan, namun dalam perkembangannya mereka termarjinalkan. 
Kehadiran transmigran misalnya, merambah wilayah tanah adat 
masyarakat Dayak.  Desa-desa transmigrasi kemudian dimekarkan 
menjadi desa definitif dan mendapatkan program sertifikasi tanah, 
sarana prasarana dasar, dan Dana Desa. Sementara desa 
masyarakat adat Dayak yang sering kali terpencil di tengah hutan 
konservasi tidak mendapatkannya. Pada periode 1970an ada  
program resettlement yang memindahkan masyarakat Dayak dari 
kampung asal leluhurnya, dan kemudian diberikan status hutan 
Negara. Dengan status ini, dilaksanakan berbagai peruntukan 
seperti Kawasan konservasi, Hutan Tanaman Industri, atau 
pertambangan. Kondisi ini menutup akses masyarakat Dayak 
terhadap tanah leluhurnya, dan jika mereka mencari penghidupan 
di hutan dianggap sebagai perambah hutan.  Saat ini, masyarakat 
Dayak bekerja di berbagai sektor, mulai dari peladang, bekerja di 
perkebunan atau pertambangan, hingga menjadi pegawai negeri.  
Terkait rencana pemindahan IKN, ada  2 potensi dampak 
sosial ekonomi, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat 
tinggal, terutama bagi mereka yang bekerja dan tinggal di kawasan 
hutan perkebunan. Agar kepindahan ASN dan unsur 
pendukungnya serta pembangunan IKN menguatkan ketahanan 
masyarakat Kalimantan, baik secara ekologi, ekonomi, sosial dan 
budaya, diperlukan beberapa strategi sebagai berikut: 
- 93 - 
 
 
1. Representasi identitas budaya dalam pembangunan IKN, 
misalnya dipakai nya simbol/ornamen Dayak pada 
bangunan, pengembangan zona kebudayaan, pelestarian 
situs budaya melalui museum atau taman seperti contoh di 
beberapa kota besar dunia. 
 
 
2. Pemahaman terhadap keberagaman budaya dan kondisi 
sosial ekonomi penduduk lokal perlu disiapkan untuk 
menjadi bekal pengetahuan ASN yang akan dipindahkan, 
agar terjadi integrasi kehidupan masyarakat yang berkeadilan 
sehingga manfaat pembangunan IKN dirasakan oleh semua 
masyarakat. 
3. Untuk keberlanjutan penghidupan penduduk lokal, 
diperlukan sinergi budaya dan kearifan lokal dengan 
pemanfaatan teknologi dan inovasi, misalnya tempat usaha 
beserta alat produksi, pengelolaan pangan yang dikelola oleh 
masyarakat setempat, pengembangan smart farming, 
platform penjualan hasil kerajinan, dan sebagainya. Yang 
diinginkan adalah terwujudnya kegiatan ekonomi yang 
memandirikan, terjaganya kebudayaan yang bermartabat, 
tersedianya kesempatan usaha lintas generasi. 
Contoh mengintegrasikan budaya dalam pembangunan IKN
Indian&Sacred&Ground&&di&Sungai&Missisipi,&
Albany,&Amerika,&diberikan penjelasan
artinya secara budaya.
Birarung Marr,&tempat penting Aborigine&di&
Kota&Melbourne.&Artis Aborigine&membuat
ukiran sebagai symbol2&budaya

 
 
4. Peningkatan sumber daya manusia perlu dilakukan sejak 
awal perencanaan IKN. Mulai tahun anggaran 2020, 
diharapkan berbagai sektor terkait pendidikan vokasi, 
pendidikan tinggi, dan berbagai kegiatan penyiapan kerja 
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas siswa dan pemuda 
di wilayah IKN dan penyangganya.  Perlu dipertimbangkan 
pemberian kuota untuk peningkatan keterampilan kelompok 
marginal (antara lain: Suku Dayak, kelompok perempuan 
muda, kelompok penyandang disabilitas dsb) agar dapat 
berpartisipasi langsung dalam pembangunan IKN. 
 
D.4. Sarana dan Prasarana yang Dibutuhkan 
Sarana dan Prasarana yang disiapkan mencerminkan potensi 
beban keuangan negara dan daerah. Salah satu agenda utama dari 
pemindahan ibu kota adalah pemindahan lokasi pusat administrasi 
pemerintahan. Dengan demikian, gedung pemerintahan sebagai 
sarana operasional serta pusat aktivitas dari sebuah pusat 
administrasi pemerintahan merupakan komponen utama dari 
investasi fisik yang dibangun. Fasilitas utama yang perlu dibangun 
di IKN meliputi istana kepresidenan dan gedung K/L (gedung 
eksekutif), gedung kantor legislatif, gedung kantor yudikatif, 
markas POLRI, dan markas TNI. Dengan jumlah K/L yang sangat 
banyak, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi 
menggabungkan beberapa K/L ke dalam satu gedung, atau 
membangun gedung-gedung K/L di dalam satu kawasan 
sebagaimana diterapkan di Sejong, Korea Selatan (World Bank, 
2017).  
Untuk menunjang pusat pemerintahan yang akan dibangun 
ini , ada  sejumlah sarana dan prasarana yang perlu 
disiapkan:  
1. Sarana dan Prasarana umum dan pelayanan publik. Sarana 
dan prasarana yang dibangun sebaiknya sudah bertaraf 

 
 
internasional. Pembangunan sarana transportasi masal 
seperti halte, terminal, stasiun dan kereta api diperlukan 
untuk kelancaran dan kemudahan aktivitas masyarakat 
sehari-hari, Pembangunan prasarana dan fasilitas umum 
juga diperlukan untuk menunjang seluruh aktivitas, seperti 
jaringan jalan, air limbah, persampahan, drainase, air 
minum, listrik, telepon, gas, pemadam kebakaran, hingga 
sarana penerangan jalan umum. Pembangunan sarana 
seperti pendidikan, sarana kesehatan, peribadatan, 
perniagaan, rekreasi dan olahraga tentunya juga diperlukan 
untuk menunjang kesehatan dan kebutuhan pendidikan. 
Sarana pendidikan yang dibangun harus mencakup seluruh 
tingkat, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan 
Tinggi, sehingga kebutuhan warga yang dipindahkan dapat 
terpenuhi. Sementara itu, pembangunan sarana kesehatan 
mencakup rumah sakit dan puskesmas. 
2. Perumahan dan Permukiman. Diperkirakan kebutuhan 
hunian untuk pegawai negeri sipil sebesar 300.000 unit. 
Untuk itu, perlu dibangun tempat tinggal sebanyak jumlah 
ini  untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri sipil 
yang beraktivitas di kota ini  maupun bagi para pelaku 
ekonomi yang memerlukan  tempat bermukim. Opsi hunian 
yang akan dibangun terdiri atas dua jenis, yaitu rumah tapak 
dan hunian bertingkat (rumah susun/ apartemen). 
3. Taman dan Hutan Kota. Sebagai Ibu Kota baru yang 
berkelanjutan dengan ekosistem bertaraf internasional, 
dibutuhkan pembangunan sarana pertamanan dan RTH 
seperti pedestrian, hutan kota, areal pertanian, hutan 
konversi, daerah bantaran sungai, lahan perkebunan (RTH) 
oleh sektor publik sebesar 20% dari total lahan terbangun.  
 
 
 
Ada pun dalam membangun ibu kota baru, Pemerintah tidak 
harus selalu membangun seluruh sarana mulai dari awal. Pihak 
Pemerintah dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah 
ada (existing), terutama apabila biaya yang dibutuhkan tidak 
sedikit. Sistem jaringan transportasi seperti pelabuhan dan 
bandara merupakan contoh prasarana berbiaya tinggi yang 
kebutuhannya perlu dipertimbangkan secara matang. Oleh karena 
itu kedekatan dan akses terhadap sarana dan prasarana umum 
yang telah ada sangat penting.  
 
 
D.5. Desain Sistem Keuangan IKN dan Dampaknya terhadap 
Beban Keuangan Negara 
D.5.1. Gambaran Umum tentang Keuangan Negara  
Uraian tentang sistem keuangan IKN berkaitan pada 
perhitungan dan inventarisasi sumber-sumber pendapatan IKN dan 
perhitungan tentang belanja IKN -- yang kesemuanya berkaitan 
dengan hal-hal yang dapat membebani keuangan negara. 
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan 
Negara mengatur bahwa pendapatan negara adalah semua 
penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan 
negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar 
negeri. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sumber 
pendapatan negara berasal dari tiga sektor yaitu: pajak, non pajak 
dan hibah. Tiga sumber ini yang jadi sumber penerimaan kas 
negara secara umum. Besarnya penerimaan yang diterima negara 
ditetapkan oleh Kementerian Keuangan atas persetujuan presiden 
yang dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. 
Sumber pendapatan tadi, setelah melalui proses tertentu, akan 
kembali lagi pada rakyat dalam bentuk program bantuan atau 
pembangunan fasilitas umum. 

 
 
Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak 
setidaknya mencakup yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan 
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan 
Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta 
Bea Masuk dan Cukai. Besaran tarif pajak ini  sudah 
ditentukan oleh undang–undang perpajakan yang berlaku. 
Adapun sumber pendapatan negara dari sektor non-pajak 
terdiri dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 
pengelolaan sumber daya alam, pinjaman, barang sitaan, 
percetakan uang atau sumbangan. Sumber pendapatan negara 
yang ketiga adalah hibah. Hibah adalah pemberian yang diberikan 
kepada pemerintah tetapi bukan bersifat pinjaman. Dana bantuan 
yang didapat biasanya diperuntukkan bagi pembiayaan 
pembangunan. Di samping itu, pendapatan yang berasal dari luar 
negeri juga bisa berupa pinjaman program atau pinjaman proyek 
dengan jangka waktu tertentu. 
  
 
 
BAB III 
EVALUASI DAN ANALISIS  
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 
 
 
 
 
 
A. Peraturan perundang-undangan terkait Bentuk 
Pemerintahan Ibu Kota Negara 
 
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Bentuk 
Pemerintahan Ibu Kota Negara antara lain: 
a. Pasal 18 dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara 
Republik negara kita Tahun 1945 "UUD NRI Tahun 
1945"; 
b. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 
"UU tentang Pemerintahan Daerah"; 
 
UUD NRI Tahun 1945 
 
Pasal 18  
1. Negara Kesatuan Republik negara kita dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas 
kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, 
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang 
diatur dengan undang-undang.** )  
2. Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota 
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan 
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)  

 
 
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan 
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang 
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** )  
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai 
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota 
dipilih secara demokratis.**)  
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh 
undang-undang ditentukan sebagai urusan 
Pemerintahan Pusat.**)  
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan 
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk 
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** ) 
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan 
daerah diatur dalam undang-undang.** )  
 
Pasal 18A  
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan 
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, 
atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan 
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan 
keragaman daerah.**)  
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan 
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara 
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan 
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasar  
undang-undang.** )  
 
Pasal 18B  
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan 
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat 
istimewa yang diatur dengan undang-undang.**) 
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan 
masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya 

 
 
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan 
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan 
Republik negara kita, yang diatur dalam undangundang. 
**) 
 
 
berdasar  ketentuan yang termaktub pada Pasal-Pasal di 
dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah UUD NRI Tahun 
1945 ini  dan berdasar  pertimbangan strategis 
kelembagaan, setidaknya ada 4 pilihan bentuk pemerintahan 
yang dapat dipilih, yaitu 1) daerah otonom (baru) berbentuk 
provinsi; 2) Kawasan Khusus di dalam Provinsi Kalimantan 
Timur; 3) Kawasan Khusus di dalam daerah otonom (baru); 4) 
Daerah Khusus Ibu Kota Negara. 
 
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1: 
Daerah Otonom (baru) berbentuk Provinsi  
 
berdasar  pasal 18 ayat (1), wilayah Negara Kesatuan 
Republik negara kita telah terbagi habis ke dalam wilayah 
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan kesemuanya dikelola oleh 
Pemerintahan Daerah. Ayat (6) Pasal yang sama mengatur 
bahwa ketiga bentuk pemerintahan ini  disematkan asas 
otonomi dan tugas pembantuan.  
 
Dengan berlandaskan Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan 
(6), pilihan bentuk pemerintahan IKN adalah daerah otonom, 
baik yang berbentuk provinsi maupun kota. Pasal 18 ayat (4) 
mengatur bahwa provinsi dikepalai oleh Gubernur dan untuk 
Kota dikepalai oleh Walikota. berdasar  Pasal itu pula, 
keduanya harus dipilih secara demokratis, baik melalui 

 
 
pemilihan langsung maupun melalui pemilihan oleh DPRD.1 
Selanjutnya, berdasar  Pasal 18 ayat (3), pilihan bentuk 
pemerintahan IKN berupa daerah otonom Provinsi atau Kota 
mengharuskan adanya DPRD, yang mana harus dipilih dalam 
pemilihan umum. 
 
Dalam mewujudkan Pilihan ini, secara teknis tentunya harus 
diadakan Pembentukan Daerah Baru melalui Pemekaran, 
sebagai bagian dari Penataan Daerah, sebagaimana diatur 
Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) jo. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) 
oleh UU tentang Pemerintahan Daerah. 
 
Pemekaran daerah dapat dilakukan terhadap Provinsi 
Kalimantan Timur yang di dalamnya berkaitan dengan 
 
 1 Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan Pasal ini melalui Putusan Mahkamah 
 Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 poin 3.12.3. Pendapat ini  lengkapnya sebagai 
 berikut: 
 
 "Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original 
 intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik 
 pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis 
 dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 ada  
 adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu 
 pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat 
 maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara 
 langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 
 1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan 
 dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan. 
 Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh 
masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan 
apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui 
sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan 
dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang 
 dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-
Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap 
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. 
Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung 
oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan 
langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) 
maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama 
masuk kategori sistem yang demokratis." 
 

 
 
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser 
Utara dengan prosedur teknis sebagaimana yang diatur oleh 
Pasal 33 hingga Pasal 43 UU tentang Pemerintahan Daerah. 
 
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 2: 
Kawasan Khusus di Dalam Provinsi Kalimantan Timur 
 
Pasal 360 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah 
mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat membentuk 
Kawasan Khusus, yang dalam konteks Naskah Akademik ini, 
Kawasan Khusus Ibu Kota Negara di dalam Provinsi exsiting, 
Kalimantan Timur. Menurut Pasal 1 angka 42 Undang-
Undang a quo, Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam 
Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang 
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk 
menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus 
bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
 
Adapun pembentukan Kawasan khusus ini harus didasarkan 
pada urusan pemerintahan tertentu. berdasar  Pasal 360 
ayat (1) yang mengatur bahwa “Untuk menyelenggarakan 
fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi 
kepentingan nasional, Pemerintah Pusat dapat menetapkan 
kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau 
kabupaten/kota.” 
 
Sementara itu, Kawasan Khusus yang dibentuk harus 
meliputi beberapa macam Kawasan Khusus menurut Pasal 
360 ayat (2), yaitu: 
a. kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas; 
b. kawasan hutan lindung; 

 
 
c. kawasan hutan konservasi; 
d. kawasan taman laut; 
e. kawasan buru; 
f. kawasan ekonomi khusus; 
g. kawasan berikat; 
h. kawasan angkatan perang; 
i. kawasan industri; 
j. kawasan purbakala; 
k. kawasan cagar alam; 
l. kawasan cagar budaya; 
m. kawasan otorita; dan 
n. kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang 
diatur dengan ketentuan peraturan perundang- 
undangan. 
 
Dalam konteks RUU IKN ini, Kawasan Khusus yang akan 
dibentuk diperuntukkan untuk kepentingan nasional lainnya 
sebagaimana yang disebut pada huruf n. Dengan demikian, 
maka Kawasan khusus ini, karena merupakan wilayah pusat, 
maka menjadi wilayah administratif. Undang-Undang ini 
mendefinisikan Wilayah Administratif sebagai  “wilayah kerja 
perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai 
wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan 
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di 
Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota 
dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di 
Daerah.” 
 
Sebagai wilayah administratif, maka Kawasan khusus IKN 
dikelilingi daerah otonom, yaitu daerah otonom Kabupaten 
Kutai Kartanegara dan daerah otonom Kabupaten Penajam 
Paser Utara serta daerah otonom Provinsi Kalimantan Timur. 
Dengan kondisi ini , maka pilihan bentuk pemerintahan 

 
 
berupa wilayah administratif berkonsekuensi pada harus 
jelasnya pembagian urusan antara wilayah administratif pada 
Kawasan khusus IKN dengan daerah-daerah otonom a quo. 
 
 
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3: 
Kombinasi antara Pembentukan Daerah Otonom Provinsi 
(Baru) dan Kawasan Khusus 
 
Pilihan ketiga adalah membentuk daerah otonom Provinsi 
berdasar  Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan ditetapkan 
menjadi IKN, lalu di dalam Provinsi IKN ini  dibentuk 
Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan. Seluruh kegiatan dan 
fungsi IKN dilaksanakan di Kawasan Khusus ini  yang 
diatur secara khusus di dalam RUU IKN.  
 
Perbedaan dengan Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3 adalah 
dalam Pilihan ini, penataan ruang Kawasan Khusus tunduk 
pada penataan ruang Provinsi IKN, bukan Provinsi 
Kalimantan Timur. Dengan demikian, kegiatan perencanaan 
dapat lebih mudah dilakukan karena segalanya dimulai dari 
awal dan tanpa variabel-variabel yang berpotensi 
menghambat pembangunan.  
 
Langkah pertama adalah pembentukan Provinsi baru 
sebagaimana yang sudah diuraikan secara teknis dalam 
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1 di atas. Langkah kedua 
adalah menetapkan Provinsi baru ini  sebagai IKN 
melalui RUU IKN. Setelah itu, Ketiga, Pemerintah Pusat 
membentuk Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan di dalam 
wilayah Provinsi IKN ini  yang diatur khusus di dalam 
RUU IKN. Kawasan Khusus ini menjadi inti dari IKN dan 

 
 
pusat segala kegiatan penyelenggaraan negara di IKN. 
Langkah pertama dan kedua dapat digabungkan ke dalam 
satu RUU, yaitu RUU IKN, mengingat efisiensi penyusunan 
Undang-Undang dan Pasal 43 ayat (3) UU tentang 
Pemerintahan Daerah tidak menyebut secara spesifik bahwa 
UU Pembentukan Daerah baru harus berdiri sendiri.  
 
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 4: 
Daerah Khusus Ibu Kota Negara 
 
Pasal 18B di atas memberi peluang untuk mengatur bentuk 
dan susunan pemerintahan IKN menjadi lebih eksklusif dan 
dapat diatur secara leluasa berdasar  Undang-Undang, 
berdasar  kekhususan dan keistimewaan daerah ini . 
Pasal 18B ini menjadi dasar untuk mengatur daerah di luar 
dari yang diatur Pasal 18 sebagaimana diuraikan di atas, 
contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta. 
 
RUU IKN dapat mengatur Daerah Khusus Ibu Kota Negara 
secara leluasa perihal 1) pemilihan kepala daerah yang tidak 
harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui 
pemilihan oleh DPRD, melainkan dapat diatur bahwa kepala 
daerah ditunjuk oleh Presiden; 2) keberadaan DPRD yang bisa 
diatur untuk ditiadakan; hingga pengaturan pemerintahan 
daerah lain yang dikecualikan dari berbagai peraturan 
perundang-undangan. 
 
Bentuk pemerintahan seperti ini memang leluasa, tetapi 
memerlukan  pengaturan yang detail karena membuat 
sistem baru. Di tambah lagi, perlu penelaahan lebih lanjut 
mengenai "kekhususan" yang dimaksud pasal 18B 
mengingat, berdasar  diskusi di kalangan ahli hukum dan 

 
 
pemerintahan selama penyusunan Naskah Akademik ini, 
masih ada perbedaan penafsiran tentang hal itu untuk bisa 
dijadikan dasar pembentukan daerah khusus IKN. 
 
Sejarah pasal 18B ayat (1) ini muncul dalam Panitia Ad Hoc 
III perubahan UUD 1945 pada tahun 2000. Di dalam risalah 
rapat perubahan UUD 1945 ini  (Tim Penyusun Naskah 
Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2008), 
di dapati bahwa istilah daerah istimewa dan daerah khusus 
muncul dalam perdebatan mengenai perubahan pasal 18 
yang saat ini menjadi pasal 18 ayat (1) hingga ayat (7), 
khususnya yang terkait dengan penetapan kepala daerah 
tanpa melalui pemilihan secara demokratis (sebagai 
pengecualian untuk keistimewaan Yogyakarta).  
 
Selanjutnya Pasal 18B ayat (1) ini juga membahas tentang 
kekhususan Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan Papua. 
Dengan status khusus ini , maka bentuk dan susunan 
pemerintahan daerah dari "satuan-satuan pemerintahan 
daerah yang bersifat khusus" dapat mengatur tersendiri di 
luar dari ketentuan Pasal 18 (hasil perubahan). Yang menjadi 
contoh untuk perdebatan di dalam PAH III adalah 
ditiadakannya pemerintahan daerah otonom kota dan 
kabupaten di dalam Provinsi DKI Jakarta.  
 
Dengan demikian, berdasar  original intent dari perumus 
Pasal 18 B ayat (1), perumusan bentuk dan susunan 
pemerintahan di IKN ke depan dapat berlandaskan pada 
Pasal 18B ayat (1) sebagai sebuah "satuan pemerintahan 
daerah yang bersifat khusus" sehingga dalam RUU IKN dapat 
mengatur beberapa hal secara distingtif dan eksklusif, seperti 
ketiadaan DPRD, Kepala Daerah Khusus IKN yang ditunjuk 

 
oleh Presiden (tidak ada pemilihan DPRD maupun langsung), 
dan seterusnya. 
 
RUU IKN akan mengadopsi pilihan ke 4 ini sebagai pilihan 
yang diharapkan dapat membuka ruang gerak inovasi 
pemerintahan IKN sekaligus tetap konstitusional.  
 
Sehubungan dengan konstitusionalitas pilihan bentuk 
pemerintahan ke 4 ini berdasar  Pasal 18B ayat (1), 
sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi 
rujukan.  
 
MK menafsirkan bahwa ada kriteria berbeda dalam 
menentukan keistimewaan dan kekhususan suatu daerah. 
Keistimewaan suatu daerah ditentukan oleh sejauh mana 
daerah ini  memiliki hak asal usul dan kesejarahan 
tertentu sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik 
negara kita. Di sisi lain, kekhususan suatu daerah ditentukan 
oleh sejauh mana daerah ini  memiliki “kenyataan dan 
kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya 
mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang 
tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.” Pendapat MK 
ini secara gamblang menjelaskan bahwa status khusus dapat 
diberikan kepada suatu daerah tanpa ada latar belakang 
kesejarahan tertentu. Kata kuncinya adalah “kenyataan dan 
kebutuhan politik” dan posisi/keadaannya pada masa 
sekarang. Hal sebagaimana yang dikemukakan MK pada 
halaman 39 Putusan MK No. 81/2010: 
 
Menurut Mahkamah, penetapan nama suatu daerah menjadi daerah 
istimewa atau daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda. 
Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan 
daerah ini  terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah 
ini  sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik negara kita, 

 
 
sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika 
kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang 
karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan 
status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. 
 
Lebih lanjut, MK menafsirkan bahwa jenis dan ruang lingkup 
kekhususan harus didasarkan pada “latar belakang 
pembentukan kebutuhan nyata.” berdasar  latar belakang 
dan kebutuhan ini , oleh karenanya suatu daerah dapat 
diberi kekhususan yang sifatnya “fleksibel sesuai dengan 
kebutuhan nyata.” Putusan MK ini jelas memberi ruang 
pengaturan yang luas bagi Undang-Undang yang mengatur 
tentang daerah khusus di negara kita. Terlebih lagi jika daerah 
khusus itu berstatus sebagai Ibu Kota Negara karena latar 
belakang munculnya kata khusus pada Pasal 18B UUD 1945 
tidak lain adalah karena pembahasan tentang Daerah 
Khusus Ibukota (Lihat Risalah Rapat Perumusan Perubahan 
Pasal 18 UUD 1945 pada Naskah Komprehensif Perubahan 
UUD 1945 Buku IV Jilid 2, halaman 1184, 1368, 1377). 
 
Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jenis dan ruang lingkup 
kekhususan dan keistimewaan daerah khusus serta daerah istimewa 
yang ditetapkan dengan Undang-Undang sangat terkait dengan: a) hak 
asal usul yang melekat pada daerah yang telah diakui dan tetap hidup; 
dan b) latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya 
kekhususan atau keistimewaan dari daerah yang bersangkutan sebagai 
bagian dari Negara Kesatuan Republik negara kita. Dengan memperhatikan 
dua kriteria ini , menurut Mahkamah hak asal usul dan sejarah 
adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin dan tidak dapat diabaikan 
dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu daerah 
dalam Undang-Undang. Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan 
yang didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata 
yang mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah 
bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya 
kekhususan bagi daerah yang bersangkutan. 
 
Kalimat “bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata” di 
dalam halaman 39 Putusan MK No. 81/2010 di atas 
mengindikasikan bahwa bahwa pada prinsipnya pengaturan 

 
 
tentang daerah khusus di dalam Undang-Undang diberi 
keleluasaan untuk menentukan materi muatan sepanjang 
dapat dibuktikan bahwa kebutuhannya nyata.  
 
Bagaimana hubungannya dengan Pasal 18 UUD 1945? Pada 
halaman 93 Putusan MK 11/2008, MK mengemukakan: 
 
Bahwa di samping itu, Mahkamah penting juga menegaskan hubungan 
antara Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, apakah 
hubungan antara norma pokok dan norma tambahan atau hubungan 
antara lex generalis dan lex specialis atau hubungan antara dua norma 
konstitusi yang setara. Alternatif pertama adalah Pasal 18 ayat (1) berisi 
norma pokok yang berlaku umum, sedangkan Pasal 18B ayat (1) berisi 
norma tambahan yang tidak boleh menyimpangi dan menyampingkan 
norma pokok.  Artinya, penerapan Pasal 18B ayat (1) sebagaimana 
tercermin dalam UU 32/2004 dan UU 29/2007 tidak boleh menyimpangi 
dan menyampingkan berlakunya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dalam 
susunan pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai provinsi. 
Alternatif kedua adalah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dianggap 
merupakan lex specialis, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) ini  
dalam hal-hal tertentu dapat menyimpangi dan menyampingkan Pasal 18 
ayat (1). Artinya, pengaturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta boleh 
berbeda dari otonomi daerah provinsi lain. Sedangkan alternatif ketiga 
adalah keduanya dianggap setara, dalam arti sama-sama berlaku secara 
mandiri, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) 
masing-masing dapat berlaku secara mandiri dan tidak berada dalam 
posisi yang dapat dipertentangkan. Artinya, pengaturan mengenai Daerah 
Khusus Ibukota Jakarta dapat sepenuhnya didasarkan pada Pasal 18B 
ayat (1) tanpa mengurangi berlakunya Pasal 18 ayat (1) untuk provinsi 
lain yang tidak berstatus khusus atau istimewa.  Dari ketiga alternatif 
hubungan norma konstitusi dalam Pasal 18 dengan norma konstitusi 
dalam Pasal 18B UUD 1945, menurut Mahkamah, keduanya berada 
dalam hubungan yang setara dan tidak saling membawahi. Pilihan 
terhadap alternatif ketiga ini, menurut Mahkamah, dipandang lebih tepat 
setidaknya karena dua hal.  Pertama, dilihat dari perspektif original intent 
dalam pengertian ketika rumusan Pasal 18B UUD 1945 diperdebatkan 
dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, kekhususan yang dimaksud dalam Pasal 18B 
ayat (1) memang merujuk pada status Jakarta sebagai daerah khusus 
karena kedudukannya sebagai ibukota negara, sehingga dapat diberi 
status provinsi.  Kedua, pemberian status provinsi oleh undang-undang 
kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menyebabkannya seolah-
olah harus tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, 
sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein seperti 
tercermin dalam alternatif kedua di atas, meskipun benar secara historis 
berdasar  praktik pengertian daerah (gewest) di masa lalu, namun 

 
 
kekhususan yang ada  dalam pasal ini  dimaksudkan pula untuk 
menampung dinamika perkembangan kebutuhan di masa depan yang 
memerlukan penentuan status khusus bagi daerah-daerah tertentu. Lagi 
pula, kedudukan kedua pasal ini  [Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B  
ayat (1) UUD 1945]  dari perspektif teori  Verfassungsbegriff  Carl Schmitt, 
dalam makna absolut (absolute sense of the constitution, absoluut begriff 
der verfassung), undang-undang dasar merupakan suatu sistem tertutup 
(closed system  of higher and ultimate norms),  sehingga setiap pasal 
undang-undang dasar bersifat otonom sebagai  norma-normarum  (norm 
of norms) [vide  Carl Schmitt,  Verfassungslehre,  1928/Constitutional 
Theory, 2008:62].  
 
berdasar  uraian Putusan MK ini , MK berpandangan 
bahwa Pasal 18B (termasuk pula Pasal 18A) bukan 
merupakan pengecualian dari Pasal 18. Artinya, norma yang 
diatur pada Pasal 18B ayat (1) bersifat independen dan tidak 
berkaitan dengan Pasal 18. Dengan demikian, pengaturan 
suatu daerah khusus di dalam Undang-Undang yang 
mendasarkan pada Pasal 18B ayat (1), tidak perlu terikat 
pada Pasal 18.  
 
Bagaimana peluang uji materi terkait Pasal 18 ayat (1)? 
Halaman 26 Putusan MK No. 37 Tahun 2016 menjawab 
pertanyaan ini  sebagai berikut: 
Sementara itu, berkenaan dengan Pasal 18B ayat (1), persoalan 
konstitusional yang mungkin timbul dalam konteks pengujian Undang-
Undang adalah jika suatu daerah sebagai satuan pemerintahan 
menganggap suatu Undang-Undang tidak mengakui dan menghormati 
kekhususan atau keistimewaan daerahnya, sehingga yang memiliki 
kedudukan hukum untuk menguji Undang-Undang demikian adalah 
suatu pemerintahan atau satuan pemerintahan daerah, bukan 
perseorangan warga negara. 
 
berdasar  uraian sebelumnya, bentuk pemerintahan yang 
paling tepat untuk IKN adalah Daerah Khusus Ibu Kota 
Negara dengan pertimbangan bahwa Pasal 18B ayat (1) 
memberi ruang fleksibilitas untuk membentuk satuan 
pemerintahan daerah yang bersifat khusus sehingga dapat 

 
 
menampung visi dan misi kelembagaan IKN yang sesuai 
dengan cost and benefit analysis atas format kelembagaan 
sebagaimana diuraikan pada Bab II. Dengan demikian bentuk 
pemerintahan IKN tidak hanya tepat hitung-hitungannya, 
tetapi juga konstitusional. 
 
B. Peraturan perundang-undangan terkait Tata Ruang, 
Infrastruktur, dan Lingkungan Hidup Ibu Kota Negara 
 
Peraturan perundang-undangan yang dianalisis pada bagian 
ini yaitu UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang  dan 
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan 
Lingkungan Hidup.  
 
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 
Undang-Undang ini adalah undang-undang pokok yang 
mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 
yang selanjutnya diterjemahkan sebagai rencana tata ruang 
pada level Provinsi, kabupaten, dan Kota.  
 
Pasal 5 ayat 5 Undang-Undang ini berkaitan dengan dasar 
perencanaan  Ibu Kota Negara yang terintegrasi sebagai 
Kawasan Strategis Naisonal. Pasal ini  mengatur bahwa 
“Penataan ruang berdasar  nilai strategis kawasan terdiri 
atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan 
ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang 
kawasan strategis kabupaten/kota.” 
 
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang ini juga mengatur bahwa 
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang 
kawasan strategis nasional meliputi: 
a. Penetapan kawasan strategis nasional; 
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; 
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan 

 
 
d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis 
nasional. 
 
Dengan demikian, seiring dengan perencanaan 
pembangunan IKN, perlu disusun dasar hukum bagi 
penentuan Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara, 
karena dalam Pasal 8 ayat (4) membuka kemungkinan bagi 
pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang 
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dan 
pengendalian pemanfaatan kawasan strategis nasional 
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan, yang 
mana dekonsentrasi dapat diberikan kepada gubernur 
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan tugas 
pembantuan dapat diberikan kepada gubernur dan 
bupati/walikota untuk penyelenggaraan pemanfaatan dan 
pengendalian aspek nilai yang tidak strategis yang menjadi 
dasar penetapan Kawasan strategis nasional, sehingga 
pengaturan yang disasar dalam rancangan undang-undang 
tentang IKN adalah bersifat khusus dari ketentuan Pasal 8 
ayat 4 ini. 
 
Pengaturan mengenai penetapan kawasan strategis nasional 
lebih lanjut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 
yang diubah terakhir oleh Peraturan Pemerintah Nomor 13 
Tahun 2017. Pasal 75 mengatur bahwa penetapan kawasan 
strategis nasional dilakukan berdasar  kepentingan: 
a. Pertahanan dan keamanan; 
b. Pertubuhan ekonomi; 
c. Sosial dan budaya; 
d. Pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi 
tinggi; dan/atau 

 
 
e. Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. 
 
Untuk penetapan, Pasal 82 ayat (2) jo. Ayat (3) memberikan 
keleluasan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan 
kawasan strategis nasional selain yang sudah ditetapkan 
berdasar  Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 
dengan instrumen hukum Peraturan Presiden. Jadi, 
pemerintah memiliki kecepatan yang lebih baik dalam hal 
penetapan kawasan strategis nasional yang hanya dalam 
bentuk instrumen Peraturan Presiden.  
 
Dalam konteks pengaturan tata ruang, berdasar  
argumentasi-argumentasi di atas, maka wewenang 
pemerintah pusat dalam pelaksanaan tata ruang dilakukan 
dengan pemberian wewenang kepada Otorita Ibu Kota Negara 
sebagai lembaga setingkat kementerian yang secara hukum 
berada di bawah pemerintah pusat dengan dasar hukum 
bahwa Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara 
Republik negara kita Tahun 1945 yang mana negara mengakui 
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang 
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan 
undang-undang, yang mana saat ini dengan dibentuknya 
rancangan-undang-undang mengenai Ibu Kota Negara maka 
Otorita Ibu Kota Negara memiliki wewenang untuk mengatur 
perencanaan pengaturan mengenai tata ruang di wilayah Ibu 
Kota Negara. 
PP No.68 Tahun 2014 tentang Penataan Wilayah 
Petahanan Negara. 
Pengaturan tata ruang yang sifatnya holistik dan menjadi 
acuan utama dalam pelaksanaan kegiatan dalam sebuah 
negara membuat aspek-aspek lainnya yang bersifat vital juga 
perlu diperhatikan untuk memastikan obyek-obyek penting 

 
 
dari negara tetap betahan dan tidak musnah dari faktor-
faktor serangan dari negara lain. Sebagaimana disebutkan 
dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 
tentang Pertahanan Negara bahwa wilayah Negara Kesatuan 
Republik negara kita dapat dimanfaatkan untuk pembinaan 
kemampuan pertahanan dengan mempertahikan hak 
masyarakat dan peraturan perundang-undangan serta 
wilayah yang dipakai  sebagai instalasi militer dan latihan 
militer yang strategis dan permanan ditetapkan dengan 
instrumen hukum peraturan pemerintah, maka penataan 
ruang wilayah pertahanan perlu diatur untuk menetapkan 
arah pelaksanaan penataan ruang wilayah pertahanan. 
 
 
Penetapan wilayah pertahanan mutlak merupakan wewenang 
pemerintah pusat dengan tercemin di Pasal 7 yang 
mengatakan bahwa wilayah pertahanan yang tercakup pada 
pangkalan militer atau kesatrian, daerah latihan militer, dan 
instalasi militer merupakan lampiran yang tidak terpisah dari 
peraturan pemerintah, sementara unutk wilayah pertahanan 
yang mencakup: 
a. Daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer; 
b. Daerah penyimpanan barang eksplosif dan berbahaya 
lainnya; 
c. Daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan 
berbahaya lainnya; 
d. Obyek vital nasional yang bersifat strategis; dan/atau 
e. Kepentingan pertahanan udara. 
Ditetapkan dengan keputusan menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
pertahanan. 
Harmonisasi rencanan penetapan wilayah pertahanan 
dengan instrumen perencanaan tata ruang lainnya juga 
sangat penting, hal ini diatur juga pada Pasal 10 ayat (1) 
huruf d yang menyatakan bahwa dalam penyusunan 
rencana tata ruang kawasan strategis nasional dari sudut 
kepentingan pertahanan dan keamanan wajib: 
a. Mengacu pada: 
i. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 
ii. Rencana Wilayah Pertahanan (RWP); 
iii. Kebijakan umum pertahanan negara; 
iv. Kebijakan penyelenggaraan pertahanan 
negara; dan 
v. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan 
bidang penataan ruang dan 
pertahanan. 
b. Memperhatikan: 
i. Rencana Tata Ruang Pulau datau 
Kepulauan; 
ii. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 
dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah 
Kebupaten/Kota setempat; 
iii. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 
Nasional; dan 
iv. Rencana Pembangunan Jangka 
Menengah Nasional. 
 
 
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan 
Pengelolaan Lingkungan Hidup. 
Undang-Undang ini harus dijadikan acuan dalam 
penyusunan Rencana Induk Penataan Ruang dan 
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar bagi 
 
keseluruhan pengelolaan lingkungan hidup di IKN. Hal ini 
terakomodasi dalam Pasal 14 yang mengatur bahwa 
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan 
lingkungan hidup salah satunya adalah tata ruang. Di 
samping itu, pada Psal 15 ayat (2) jo. Pasal 19 mengatur 
bahwa dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup 
Strategis (KLHS), pemerintah pusat dan pemerintah daerah 
wajib mengintegrasikan KLHS ke dalam rencana tata ruang 
wilayah beserta rencana rincinya. 
 
Dalam ketentuan peraturan ini, salah satu instrument 
perwujudan pencegahan yang berkaitan erat dengan tata 
ruang adalah Analisis Mengenail Dampak Lingkungan Hidup 
(AMDAL). Pasal 1 mendefinisikan AMDAL sebagai: 
 
“kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau 
kegiatan yang direncakan pada lingkungan hidup yang 
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang 
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” 
 
Pasal 22 ayat (2) menjabarkan dampak penting berdasar  
kriteria: 
a. Bsearnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak 
rencana usaha dan/atau kegiatan; 
b. Luas wilayah penyebaran dampak; 
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; 
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan 
terkena dampak; 
e. Sifat kumulatif dampak; 
f. Berbalik atau tidak berbalik dampak; dan/atau 
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi. 
- Pasal 31 lenjut lanjut menegaskan bahwa penyusunan 
AMDAL ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk 
menentukan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan 
lingkungan hidup, dalam hal ini diperlukan pengaturan 
khusus bahwa Otorita Ibu Kota Negara, dalam rangka 
perlindungan lingkungan hidup, mendasarkan keputusan 
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup atas 
AMDAL yang sudah disusun oleh pemrakarsa dan Rencana 
Induk Pembangunan Ibu Kota Negara yang disusun.  
 
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan 
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan 
yang telah diubah terakhir oleh PP No. 3 Tahun 2008 
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 41 Tahun 1999 
tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa konsep tata 
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan 
hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang 
lebih optimal dan lestari serta tata hutan secara lebih rinci 
diatur dengan peraturan pemerintah, serta Pasal 66 yang 
menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat menyerahkan 
sebagian kewenangan yang bersifat operasional kepada 
pemerintah daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan 
pemerintah, maka perlu untuk dilihat bagaimana konsep tata 
hutan dalam tingkatan peraturan pemerintah yang 
berhubungan dengan konsep perlindungan lingkungan 
hidup. 
 
Pasal 3 ayat (1) menjabarkan mengenai wewenang 
pemerintah pusat terhadap tata hutan dan penyusunan 
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh 
kawasan hutan. Hal ini jelas behubungan dengan 
perlindungan hutan sebagai kawasan penunjang lingkungan 

 
hidup. Ayat (2) menjelaskan 3 (tiga) fungsi pokok hutan, 
yakni: 
a. Hutan konservasi; 
b. Hutan lindung; dan 
c. Hutan produksi. 
 
Ayat (3) menjelaskan bahwa hutan-hutan di atas dibagi dalam 
Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari 
penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah 
provisni dan pemerintah kabupaten/kota. 
 
Di samping pemerintah pusat, Pasal 4 ayat (1) menjelaskan 
bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang 
kehutanan dapat pula melakukan penyelenggaraan 
pengelolaan hutan berdasar  pelimpahan dari pemerintah 
pusat. Pelimpahan ini  memampukan direksi BUMN 
untuk membentuk organisasi KPH dan menujuk kepala KPH, 
namun pada ayat (3) memberikan pembatasan kepada BUMN 
untuk tidak melakukan penyelenggaraan pengelolaan hutan 
yang merupakan kewenangan publik, yakni: 
a. Penunjukan dan penetapan kawasan hutan; 
b. Pengukuhan kawasan hutan; 
c. Pinjam pakai kawasan hutan; 
d. Tukar menukar kawasan hutan; 
e. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan; 
f. Proses dan pembuatan berita acara tukar 
menukar, pinjam pakai kawasan hutan; 
g. Pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak 
ketiga atas pengelolaan hutan yang ada di 
wilayah kerjanya; 
h. Kegiatan yang berkaitan dengan penyidik 
pegawai negeri sipil kehutanan. 
Hal ini penting untuk dibatasi untuk menegakkan wewenang 
pemerintah pusat sebagai otoritas utama dalam perlindungan 
fungsi hutan bagi lingkungan hidup, termasuk dalam setiap 
keputusan-keputusan penting yang dapat mempengaruhi 
fungsi hutan itu sendiri bagi lingkungan hidup sebagaimana 
disebutkan pada poin (a) sampai dengan poin (h) di atas. 
 
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang 
Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan   
 
Peraturan ini adalah penjabaran lebih sepsifik mengenai 
penataan ruang Pulau Kalimantan secara holistik yang 
didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi: 
 
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
huruf b terdiri atas: 
h. Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata 
ruang Kawasan strategis nasional; 
i. Rencana tata ruang Kawasan strategis provinsi; dan 
j. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan trencana 
tata ruang Kawasan strategis kabupaten/kota. 
 
Pemerintah pusat sendiri sudah merencanakan bahwa Pulau 
Kalimantan memiliki visi penataan ruang yang berorientasi 
kepada kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal itu 
tercermin pada Pasal 6 ayat (1) yang mecanangkan 
pelestarian Kawasan berfungsi lindung dan bervegetasi hutan 
tropis basah paling sedikit 45% (empat puluh lima persen) 
dari luas Pulau Kalimantan sebagai paru-pari dunia. 
Di samping itu, perencanaan Pulau Kalimantan sendiri juga 
berorientasi pada: 
a. Perwujudan kemandirian energi dan lumbung energi 
ketenaglistrikan yang berorientasi pada pengembangan 
energi baru dan terbarukan serta interkoneksi 
jariangan transmisi listrik (Pasal 7 ayat (1)). 
b. Perwujudan pusat pertambangan mineral, batubara, 
serta minyak dan gas bumi dengan pengembangan 
Kawasan perkotaan nasional sebagai pusat industri 
pengolahan dan industri jasa hasil pertambangan 
mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi dan 
pengembangan Kawasan pertambangan dengan 
memperhatikan daya dukung dan daya tamping 
lingkungan hidup (Pasal 8 ayat (1)). 
c. Perwujudan pusat perkebunan kelapa sawit, karet, dan 
hasil hutan berkelanjutan denga memperhatikan 
prinsip pembangunan berkelanjutan dan 
pengembangan Kawasan perkotaan nasional sebagai 
pusat industri pengolahan dan industri jasa hasil 
pekebunan kelapa sawit, karet, dan hasil hutan (Pasal 
9 ayat (1)). 
d. Perwujudan Kawasan perbatasan negara dengan 
mempehatikan keharmonisan aspek kedaulatan, 
pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan 
masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup (Pasal 
10 ayat (1)). 
 
Orientasi-orientasi kebijakan Pulau Kalimantan yang terkait 
dengan unsur-unsur yang tidak terlepas dari fungsi dan 
tujuan dari IKN sebagai pusat pemerintahan dan demi 
mencapai pemerataan ekonomi pembangunan dapat 
didukung dengan pengaturan kebijakan penataan ruang dan 
secara umum diatur dalam rancangan undang-undang 
tentang IKN dan penetapannya sebagai Kawasan strategis 
nasional dengan instrument peraturan presiden.  
 
C. Peraturan perundang-undangan terkait Keuangan IKN dan 
Kerjasama 
 
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan 
Negara mengatur tentang sumber-sumber penerimaan untuk 
pendanaan pembangunan bagi Pemerintah Pusat. Pendanaan 
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yang 
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 
(“APBN”) proses dan ketentuan pelaksanaannya didasarkan 
pada peraturan ini. Pasal 11 menguraikan bahwa APBN 
merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang 
ditetapkan tiap tahun dengan dasar undang-undang, 
sehingga dengan demikian untuk dapat dilakukannya 
pendanaan terhadap suatu pembangunan berdasar  APBN 
harus ditetapkannya instrumen undang-undang. 
 
Pasal 12 menjelaskan bahwa APBN disusun dengan 
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan 
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan 
berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka 
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Sehingga 
diperlukan justifikasi yang kuat bahwa pendanaan 
pemindahan ibukota oleh APBN mendukung kebutuhan 
penyelenggaraan pemerintahan negara dan rencana kerja 
pemerintah. 
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan 
Negara mengatur dengan jelas proses penyusunan dan 
penetapan APBN. Prosesnya dimulai, berdasar  Pasal 13 
sampai dengan Pasal 15, dengan Pemerintah Pusat 
menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka 
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan 
Perwakilan Rakyat (“DPR”) paling lambat pertengahan bulan 
Mei pada tahun berjalan. Lalu Pemerintah Pusat dan DPR 
membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok 
kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam 
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran 
berikutnya yang mana berdasar  kerangka ekonomi makro 
dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama 
DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran 
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian 
negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam 
hal penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan 
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang 
menyusun rencana kerja dan anggaran 
kementerian/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan 
anggaran ini  disampaikan kepada DPR untuk dibahas 
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN yang hasil 
pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan 
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan 
rancangan undang-undang tetang APBN tahun berikutnya. 
 
Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-Undang 
tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-
dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus 
tahun sebelumnya. DPR dapat mengajukan usul yang 
memicu  perubahan jumlah penerimaan dan 
pengeluaran dalam Rancangan Undang-Undang tentang 
APBN, sepanjang perubahan ini  tidak memicu  
peningkatan defisit anggaran. Pengambilan keputusan oleh 
DPR mengenai Rancangan Undang-Undang tentang APBN 
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun 
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. berdasar  
Pasal 26, apabila Rancangan Undang-Undang tentang APBN 
sudah disetujui dan ditetapkan dengan undang-undang, 
maka pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan 
Keputusan Presiden. 
 
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang 
Perbendaharaan Negara 
 
Pengelolaan Barang Milik Negara menjadi salah satu satu 
sumber pembiayaan dari pemindahan IKN. Pasal 1 angka 10 
mendefisiniskan barang milik negara sebagai Barang Milik 
Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas 
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.  
 
berdasar  Pasal 42 Menteri Keuangan mengatur 
pengelolaan barang milik negara. Pasal 45 mengatur 
pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik negara 
yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan 
negara tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan 
barang milik negara dilakukan dengan cara dijual, 
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal 
Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. 
 
berdasar  Pasal 46, persetujuan DPR dilakukan untuk:  
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. 
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada 
huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan 
yang:  
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau 
penataan kota;  
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan 
pengganti sudah disediakan dalam dokumen 
pelaksanaan anggaran;  
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;  
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;  
5) dikuasai negara berdasar  keputusan pengadilan 
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau 
berdasar  ketentuan perundang-undangan, yang 
jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak 
secara ekonomis. 
c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah 
dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari 
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 
 
Sementara pemindahtanganan barang milik negara selain 
tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari 
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan 
Rp100.000.000.000,00 dilakukan setelah mendapat 
persetujuan Presiden.  
 
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang 
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah 
Pasal 3 ayat (2) mengatur Pengelolaan Barang Milik 
Negara/Daerah meliputi:  
a. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;  
b. pengadaan;  
c. Penggunaan;  
d. Pemanfaatan;  
e. pengamanan dan pemeliharaan;  
f. Penilaian;  
g. Pemindahtanganan;  
h. Pemusnahan;  
i. Penghapusan;  
j. Penatausahaan; dan  
k. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.  
 
Konsep pengaturan BMN dalam peraturan ini dari sudut 
pandang subyek atas BMN dibagi menjadi: 
a. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan 
betanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman 
serta melakukan pengelolaan BMN/Barang Milik Daerah. 
b. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan 
penggunaan BMN/Barang Milik Daerah. 
Untuk memaksimalkan pemanfaatan BMN, maka dikenalkan 
konsep-konsep berikut (Pasal 27): Sewa; Pinjam Pakai; Kerja 
Sama Pemanfaatan; Bangun Guna Serah atau Bangun Serah 
Guna atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. 
 
a. Sewa 
 
Sewa atas BMN dilaksanakan terhadap (Pasal 28 ayat (1)): 
1) BMN yang berada pada Pengelola Barang, yang mana 
berdasar  Pasal 4 ayat (1) yang dimaksud dengan 
Pengelola Barang adalah Menkeu. 
2) BMN yang berada pada Pengguna Barang, yang mana 
berdasar  Pasal 6 ayat (1) yang dimaksud dengan 
Pengguna Barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga 
selaku pimpinan Kementerian/Lembaga. 
Pasal 29 mengatur bahwa BMN dapat disewakan kepada 
pihak lain dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun 
dan dapat diperpanjang untuk: 
1) Kerja sama infrastruktur; 
2) Kegiatan dengan karkteristik usaha yang memerlukan 
waktu lebih dari 5 (lima) tahun; atau 
3) Ditentukan lain dalam Undang-undang. 
Sewa dikenakan formula tarif/besaran sewa, yang 
ditentukan oleh pengelola barang datau pengguna barang.  
 Hasil sewa BMN merupakan penerimaan negara sehingga 
seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum 
negara. 
 
b. Kerja Sama Pemanfaatan 
 
Pasal 31 mengatur bahwa kerja sama pemanfaatan BMN 
dilaksanakan dalam rangka: 
a. Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna 
BMN/Barang Milik Daerah; dan/atau 
b. Meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah. 
Pasal 33 membatasi pelaksanaan kerja sama pemanfaatan 
atas BMN yang hasur dilaksanakn dengan ketentuan: 
1) Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam 
APBN untuk memenuhi biaya operasional, 
pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan 
terhadap BMN ini ; 
2) Mitra kerja sama pemanfaatan ditetapkan melalui 
tender, kecuali untuk BMN yang bersifat khusus dapat 
dilakukan penunjukan langsung; 
3) Penunjukan langsung mitra kerja sama pemanfaatan 
atas BMN yang bersifat khusus sebagaimana 
dimaksud di atas dilakukan oleh Pengguna Barang 
terhadap Badan Usaha Milik Negara yang memiliki 
bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai 
ketentuan peraturan perundang-undangan; 
4) Mitra kerja sama pemanfaatan harus membayar 
kontribusi tetap setiap tahun selama jangka waktu 
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian 
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ke 
renening kas umum negara; 
5) Besaran pembayaran kontribusi teatap da pembagian 
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ditetapkan 
dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh: 
a) Pengelola Barang, untuk BMN pada Pengelola 
Barang dan BMN berupa tanah dan/atau 
bangunan serta sebagian tanah dan/atau 
bangunan yang berada pada Pengguna Barang; 
b) Pengguna Barang dan dapat melibatkan 
Pengelola Barang, untuk BMN selain tanah 
dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna 
Barang. 
6) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan 
pembagian/keuntungan hasil kerja sama 
pemnafaatan harus mendapat persetujuan Pengelola 
Barang; 
7) Dalam kerja sama pemanfaatan BMN berupa tanah 
dan/atau bangunan, sebagian kontribusi tetap dan 
pembagian keuntungannya dapat berupa bangunan 
beserta fasilitasnya yang dibangun dalam satu 
kesatuan perencanaan tetapi tidak termasuk sebagai 
objek kerja sama pemanfaatan; 
8) Besaran nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai 
bagian dari kontribusi tetap dan kontribusi pembagian 
keuntungan sebagaimana dimaksud di atas paling 
banya 10% (sepuluh persen) dari total penerimaan 
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan selama 
masa kerja sama pemanfaatan, namun dalam hal 
mitra kerja sama pemanfaatan atas BMN untuk 
penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha 
Milik Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian 
keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi 70% (tujuh 
puluh persen) dari hasil perhitiungan tim yang 
besarannya ditetapkan oleh Menkau atau pejabat yang 
ditunjuk oleh Menkeu (ayat (5) j.o. ayat (6)); 
9) Bangunan yang dibangun dengan biaya sebagian 
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dari awal 
pengadaannya merupakan BMN; 
10) Selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerja sama 
pemanfaatan dilarang menjaminkan atau 
menggadaikan BMN yang menjadi objek kerja sama 
pemanfaatan; dan 
11) Jangka waktu kerja sama pemanfaatan paling lama 
30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani 
dan dapat diperpanjang, kecuali untuk kerja sama 
pemanfaatan atas BMN untuk penyediaan 
infrastruktur adalah paling lama 50 (lima puluh) 
tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat 
diperpanjang. 
 
c. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna 
 
Model kerja sama ini dilakukan dengan pertimbangan 
(Pasal 34 ayat (1)): 
a. Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas 
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara untuk 
kepentingan pelayanan umum dalam rangka 
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan 
b. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam 
APBN untuk penyediaan bangunan dan fasilitas 
ini . 
Jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah 
Guna paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian 
ditandatangani (Pasal 36 ayat (1)) yang mana 
penetapannya dilakukan dengan tender. (Pasal 36 ayat 
(2)). 
Mitra Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna yang 
telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian 
(Pasal 36 ayat (3): 
1) Wajib membayar kontribusi ke rekening kas umum 
negara setiap tahun, yang besarannya ditetapkan 
berdasar  hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh 
pejabat yang berwenang; 
2) Wajib memelihara objek Bangun Guna Serah atau 
Bangun Serah Guna, dan 
3) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau 
memindahtangankan: 
a) Tanah yang menjadi objek Bangun Guna Serah atau 
Bangun Serah Guna; 
b) Hasil Bangun Guna Serah yang dipakai  langsung 
untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi 
pemerintah pusat; dan/atau 
c) Hasil Bangun Serah Guna. 
 
d. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur 
 
Pasal 38 mengatur bahwa kerja sama penyediaan 
infrastruktur dilaksanakan terhadap: 
a. BMN berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola 
Barang/Pengguna Barang; 
b. BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang 
masih dipakai  oleh Pengguna Barang; atau 
c. BMN selain tanah dan/atau bangunan. 
Kerja sama penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan 
oleh Pengelola Barang atau Pengguna Barang dengan 
persetujuan Pengelola Barang. 
Kerja sama penyediaan infrastruktur dilakukan oleh 
pemerintah dan badan usaha yang mana badan usaha ini 
dapat berbentuk (Pasal 39 ayat (1) dan (2): 
a. Perseroan terbatas; 
b. Badan Usaha Milik Negara; 
c. Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau 
d. Koperasi. 
Jangka waktu kerja sama penyediaan infrastruktur adalah 
untuk paling lama 50 (lima puluh) tahun dan dapat 
diperpanjang (Pasal 39 ayat (3)). 
Selama masa jangka waktu kerja sama penyediaan 
infrastruktur, mitra kerja sama: 
1) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau 
memindahkan BMN yang menjadi objek kerja sama; 
2) Wajib memelihara objek kerja sama dan barang hasil 
kerja sama; dan 
3) Dapat dibebankan pembagian kelebihan keuntungan 
sepanjang ada  kelebihan keuntungan yang 
diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian 
dimulai (clawback). 
berdasar  Pasal 54, BMN/Barang Milik Daerah yang tidak 
diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan 
negara/daerah dapat dipindahtangankan. 
Pemindahtanganan BMN/Barang Milik Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:  
a. Penjualan;  
b. Tukar Menukar;  
c. Hibah; atau  
d. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah. 
 
Pasal 55 ayat (1) mengatur juga persyaratan persetujuan DPR 
untuk Pemindahtanganan BMN untuk:  
a. tanah dan/atau bangunan; atau 
b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari 
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 
 
 
D. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Pemindahan 
dan Pembangunan IKN 
 Walaupun RUU IKN tidak mengatur tentang teknis 
pemindahan dan pembangunan IKN, tetapi ketentuan-
ketentuan pokoknya akan diatur. Karenanya, RUU IKN akan 
bersinggungan dengan beberapa Peraturan Perundang-
undangan, mulai dari UU No. 2 Tahun 2012 tentang 
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan 
Umum dan Kerangka Pengaturan seputar Kerjasama 
Pemerintah dan Badan Usaha, seperti Perpres 38 Tahun 2015 
dan peraturan pelaksana di bawahnya.  
 
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi 
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum 
Pasal 6 jo. Pasal 7 menetapkan kerangka dasar 
penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum berada 
pada wewenang pemerintah pusat yang harus sesuai dengan: 
a. Rencana Tata Ruang Wilayah; 
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah; 
c. Rencana Strategis; dan 
d. Rencana Kerja setiap instansi (lembaga negara, 
kementerian dan lembaga nonkementerian, pemerintah 
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan 
Hukum Milik Negara (BHMN)/BUMN yang mendapat 
penugasan khusus pemerintah pusat) yang 
memerlukan tanah. 
Maka dapat dilihat bahwa pengadaan tanah dilakukan 
dengan sistem perencanaan yang harmonis dengan rencana-
rencana lainnya untuk memastikan arah pengadaan tanah 
tetap berada pada jalur perencanaan yang sudah ditetapkan 
sebelumnya. 
 
Pasal 10 menjabarkan pengadaan tanah dipakai  untuk 
pembangunan: 
a. Pertahanan dan keamanan nasional; 
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, 
stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; 
c. Waduk, bedungan, bendung, irigasi, saluran air 
minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan 
bangunan pengairan lainnya; 
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; 
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi 
listrik; 
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah 
pusat; 
h. Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah; 
i. Rumah sakit pemerintah pusat/pemerintah daerah; 
j. Fasilitas keselamatan umum; 
k. Tempat pemakaman umum pemerintah 
pusat/pemerintah daerah; 
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka 
hijau publik; 
m. Cagar alam dan cagar budaya; 
n. Kantor pemerintah pusat/pemerinta daerah/desa; 
o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau 
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat 
berpenghasilan rendah dengan status sewa; 
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah 
pusat/pemerintah daerah; 
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; 
dan 
r. Pasar umum dan lapangan parkir umrum. 
 
Pasal 10 ayat (1) mewajibkan pemerintah pusat untuk 
melaksanakan pengadaan dari jenis-jenis peruntukan di 
atas yang tanahnya selanjutnya dimiliki oleh pemerintah 
pusat atau pemerintah daerah. ayat (20 menjelaskan juga 
bahwa bila instansi yang memerlukan pengadaan tanah 
untuk kepentingan umum adalah BUMN, maka tanahnya 
menjadi milik BUMN ini . 
 
Meski seakan-akan terpisah, namun Pasal 12 ayat (1) 
mengatur bahwa pemerintah pusat dapat bekerja sama 
dengan BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau 
badan usaha swata, sehingga memungkinkan fleksibilitas 
opsi pelaksanaan pengadaan tanah menggunakan skema 
kerjasama untuk membantu pelaksanaan pembangunan 
infrastruktur yang dibangun di atas tanah yang 
direncanakan ini . 
 
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan 
Dasar Pokok-Pokok Agraria 
Penyelenggaraan pemberian hak atas tanah diatur 
berdasar  ketentuan Pasal 2 yang mana negara 
memiliki hak menguasai yang diwujudkan dengan 
pemberian wewenang untuk : 
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, 
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air 
dan ruang angkasa; 
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan 
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan 
ruang angkasa; 
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan 
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan 
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. 
Hak menguasai ini  dapat dikuasakan kepada daerah 
dan masyarakat-masyarakat hukum adat yang 
peruntukannya tidak bertentangan dengan kepentingan 
nasional. Dengan demikian pada hakikatnya hak 
menguasai negara adalah nafas dari hak yang nantinya 
akan diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-
undangan selanjutnya. 
 
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tenntang 
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai 
atas Tanah 
Hak pengelolaan dikenal melalui peraturan ini yang 
didefinisikan sebagai:  
“hak menguasai dari negara yang kewenangan 
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada 
pemegangnya.” 
 
Jadi hak pengelolaan bila dikatikan dengan Pasal 2 ayat 
(4) Undang-Undang Nomo. 5 Tahun 1960 adalah 
penitikberatan pada tujuan hak menguasai negara dan 
melindungi kepentingan nasional, sehingga pengaturan 
mengenai hak pengelolaan perlu untuk dirinci. 
 
Wewenang pemegang hak pengelolaan dalam pengaturan 
ini antara lain:  
a. pemberian usul kepada Menteri yang 
menyelenggarakan urusan di bidang agrarian atau 
pejabat yang ditunjuk atas Hak Guna Bangunan dan 
Hak Pakai yang dimohonkan atas tanah hak 
pengelolaan (Pasal 22 ayat (2), Pasal 42 ayat (2)); 
b. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan 
Pasal 26 ayat (3)) dan pemberian usul atas 
perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai (Pasal 46 
ayat (2)); 
c. Pembatalan Hak Guna Banguna dan Hak Pakai (Pasal 
35 ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1) huruf b); dan 
d. Peralihan Hak Guna Banguna karena pewarian (Pasal 
34 ayat (6)) dan peralihan Hak Pakai (Pasal 54 ayat (9)). 
 
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata 
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan 
Hak Pengelolaan 
Peraturan ini menjelaskan bahwa pada dasarnya hak 
pengelolaan dapat dibangun untuk: 
e. Hak Guna Bangunan (Pasal 21); dan 
f. Hak Pakai (Pasal 41); 
 
Pasal 67 mengatur bahwa pihak-pihak yang dapat 
menerima hak pengelolaan antara lain: 
a. Instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah; 
b. Badan Usaha Milik Negara; 
c. Badan Usaha Milik Daerah; 
d. PT. Persero; 
e. Badan Otorita; 
f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang 
ditunjuk pemerintah. 
Yang mana pemberian hak pengelolaan ini  dilakukan 
sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya 
berkaitan dengan pengelolaan tanah. 
 
Yang mana dalam aturan ini disebutkan bahwa 
permohonan hak pengelolaan diajukan kepada Menteri 
yang menyelenggarakan urusan di bidang agrarian melalui 
kepala kantor pertanahan yang daerah kerjanya meliputi 
letak tanah yang bersangkutan (Pasal 70), dengan ini 
pengaturan di rancangan undang-undang perlu untuk 
menjelaskan hak pengelolaan yang diberikan kepada 
Otorita Ibu Kota Negara sehingga adanya kepastian adanya 
perwujudan perlindungan kepentingan nasional yang 
secara akarnya sudah diatur dalam Undang-Undang 
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. 
 
Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama 
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan 
Infrastruktur 
Pasal 5 mengatur mengenai jenis infrastruktur ekonomi 
dan infrastruktur sosial dapat dilakukan dengan skema 
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), 
antara lain: 
a. Infrastruktu transportasi; 
b. Infrastruktur jalan; 
c. Infrastuktur sumber daya air dan irigasi; 
d. Infrastruktur air minum; 
e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat; 
f. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat; 
g. Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan; 
h. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika; 
i. Infrastruktur ketenagalistrikan; 
j. Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi 
terbarukan; 
k. Infrastruktur konservasi energi; 
l. Infrastruktur fasilitas perkotaan; 
m. Infrastruktur fasilitas pendidikan; 
n. Infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga, 
serta kesenian; 
o. Infrastruktur kawasan; 
p. Infrastruktur pariwisata; 
q. Infrastruktur kesehatan; 
r. Infrastruktur lembaga permasyarakatan; dan 
s. Infrastruktur perumahan rakyat. 
 
Pasal 6 mengatur bahwa menteri/kepala lembaga/kepala 
daerah bertindak selaku Penanggung Jawab Proyek 
Kerjasama (PJPK), serta Pasal 8 memungkinan BUMN 
bertindak sebagai PJPK, dengan demikian dalam konteks 
ini dapat dikatakan bahwa KPBU berdasar  prakarsa 
pemerintah/pemerintah daerah/BUMN dapat 
dilaksanakan dengan pengaturan dan batasan jenis 
infrastruktur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan 
wewenang bertindak sebagai PJPK melekat secara mutlak 
kepada menteri/kepala lembaga/kepala daerah/BUMN, 
yang dalam peraturan ini BUMN bertindak sebagai badan 
usaha yang sesuai dengan ketetapan berdasar  
peraturan perundang-undangan mengenai BUMN dan 
anggaran dasar dalam hal kuasa teknis pelaksanaan 
tahapan KPBU. Namun perlu dilihat bahwa ada  
pengecualian secara teknis dalam hal KPBU diajukan atas 
prakarsa badan usaha, meski tetap pengajuannya kepada 
menteri/kepala lembaga/kepala daerah sebagai PJPK 
berdasar  peraturan ini. Peraturan Mengenai 
Kedudukan Lembaga Negara, Tentara Nasional 
negara kita, Kepolisian Republik negara kita, Kedutaan 
Besar/Perwakilan Diplomatik, dan Organisasi 
Internasional 
Di samping kedudukan-kedudukan lembaga negara yang 
disebutkan di atas yang secara tegas disebutkan 
berkedudukan di Ibu Kota Negara, lembaga-lembaga 
pemerintah non kementerian juga perlu ditegaskan 
mengenai kedudukannya sehingga pengaturan di 
rancangan undang-undang menjadi signifikan. 
 
Kejelasan yang sama juga diatur kedudukannya terhadap 
kedutaan besar/perwakilan diplomatik serta organisasi 
internasional. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus 
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan 
Republik negara kita menyatakan bahwa Provinsi DKI 
Jakarta memiliki peran yang salah satunya sebagai 
tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta 
pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga 
dengan demikian apabila keduataan besar/perwakilan 
diplomatik dan organisasi internasional memiliki opsi 
untuk memindahkan kedudukan yang dapat dikecualikan 
apabila diatur secara tegas agar juga ikut pindah dalam 
rancangan undang-undang. 
 
E. Undang-Undang yang Terdampak RUU IKN dalam 
Kaitannya dengan Omnibus Law 
Bagian ini menganalisis Peraturan Perundang-undangan 
 yang terdampak  dari diundangkannya RUU IKN, yakni 
 sejauh apa materi muatan yang akan diatur oleh RUU IKN 
berdampak terhadap  materi muatan peraturan 
perundang-undangan lain. Dampak itu berkaitan 
 dengan penyebutan istilah Ibu Kota Negara yang disematkan 
 pada Jakarta dan juga dampak pengaturan dari RUU IKN 
 terhadap Peraturan perundang-undangan lain. Hal ini 
nantinya akan berkaitan konsep "Omnibus Law" yang akan 
dipakai  di dalam RUU IKN. 
 
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 
Pasal 399 Undang-Undang ini menyebut "Provinsi Daerah 
Khusus Ibu Kota Jakarta" sehingga dengan 
diundangkannya RUU IKN dan ditetapkannya 
pemindahan IKN berdasar  RUU a quo, maka perlu ada 
perubahan terhadap Pasal ini.  
2. UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI 
Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Sebagai Undang-Undang 
yang mengatur Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, tentu 
akan ada banyak dampak dari dari diundangkannya RUU 
IKN terhadap Undang-Undang ini. Setidaknya ada 27 
pasal yang berhubungan dengan Jakarta sebagai IKN. 
Harus diadakan perubahan menyeluruh terhadap 
Undang-Undang ini dengan diundangkannya RUU IKN; 
3. UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, 
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dengan 
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus 
diubah karena sebagian wilayah Provinsi Kalimantan 
Timur dijadikan wilayah IKN. 
4. UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang 
Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di 
Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 9) sebagai 
Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Kutai 
Kartanegara; Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-
Undang ini harus diubah karena sebagian wilayah 
Kabupaten Kutai Kartanegara dijadikan wilayah IKN. 
5. UU No. 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten 
Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur. 
Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini 
harus diubah karena sebagian Kabupaten Penajam Paser 
Utara dijadikan wilayah IKN.  
6. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank negara kita. Pasal 
5 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur bahwa Bank 
negara kita berkedudukan di Ibukota negara Republik 
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa  Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta. 
7. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin 
Simpanan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur 
bahwa LPS berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik 
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta. 
8. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa 
keuangan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur 
bahwa OJK berkedudukan di Ibu Kota Negara Kesatuan 
Republik negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat 
rencana bahwa Lembaga negara/Kementerian 
Negara/Lembaga Pemerintah di bidang ekonomi dan 
keuangan tetap di Jakarta. 
9. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 
Pasal 2 Undang-Undang ini mengatur bahwa Kementerian 
Negara berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik 
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana 
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga 
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di 
Jakarta 
10. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan 
Peraturan Zonasi. RUU IKN mengatur pengelolaan aset 
Pemerintah Pusat yang ada di Jakarta sebagai sumber 
pembiayaan pembangunan IKN dan dikerjasamakan 
dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaan 
aset ini  akan mengubah kondisi zonasi di DKI 
Jakarta pada tempat di mana adanya aset Pemerintah 
Pusat sehingga peraturan perundang-undangan tentang 
detail tata ruang dan zonasi di Provinsi DKI Jakarta harus 
disesuaikan.  
11. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 
Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036. Dengan 
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus 
diubah karena sebagian wilayah Provinsi Kalimantan 
Timur dijadikan wilayah IKN. Dengan demikian, seluruh 
peraturan-perundang-undangan di Kalimantan Timur 
tentang tara ruang harus disesuaikan, karena baik batas 
wilayah dan peruntukannya berubah.  
 
A. Landasan Filosofis 
 
berdasar  Lampiran Angka 2 UU No. 12/2011, landasan 
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang 
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita 
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah 
bangsa negara kita yang bersumber dari Pancasila dan 
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
negara kita Tahun 1945. 
 
Dengan demikian, pada bagian ini, yang penting untuk diuji 
adalah sejauh mana Rancangan Undang-Undang tentang Ibu 
Kota Negara telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak 
bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 
Tahun 1945. Jelas, tidak ada satu pun dari uraian-uraian 
dari Naskah Akademik ini pada bagian sebelumnya yang 
melanggar Pancasila, yang ada justru upaya perwujudan sila-
sila Pancasila. Tidak ada satu pun uraian yang melanggar 
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada satu pun uraian 
yang melanggar prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, 
tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip Persatuan 
negara kita, tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip 
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam 
Permusyawaratan Perwakilan, dan akhirnya tidak ada satu 
pun uraian yang melanggar prinsip Keadilan Sosial Bagi 
Seluruh Rakyat negara kita.  
 
Justru, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu 
Kota Negara ini adalah upaya untuk mewujudkan 2 dari 4 
tujuan nasional sebagaimana yang termaktub di dalam 
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi segenap 
bangsa negara kita dan seluruh tumpah darah negara kita dan 
untuk memajukan kesejahteraan umum.  
 
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata 
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik 
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang 
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi 
warga negara negara kita di wilayah Ibu Kota Negara dari 
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi 
sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang 
akhirnya dapat memajukan kesejahteraan umum. 
 
 
B. Landasan Yuridis 
 
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang 
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan 
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, 
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin 
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan 
yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan 
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk 
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa 
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah 
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang 
tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-
Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya 
sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang 
sama sekali belum ada. 
berdasar  uraian-uraian yang disampaikan pada bagian 
sebelumnya, sudah cukup jelas diuraikan bahwa Rancangan 
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ini akan mengisi 
kekosongan hukum karena hingga 75 tahun negara kita 
merdeka, negara kita belum memiliki satu pun Undang-
Undang pokok yang mengatur tentang Ibu Kota Negara.  
 
Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Republik 
negara kita berdasar  Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 
jo. UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Setelah itu, berturut-turut, 
berbagai Undang-Undang kembali menetapkan Jakarta 
sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), mulai dari UU No. 11 
Tahun 1990, UU No. 34 Tahun 1999, hingga terakhir, yang 
masih berlaku hingga saat ini, diatur melalui UU No. No. 29 
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus 
Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik 
negara kita.  
 
Undang-Undang yang disahkan sejak 1961 hingga 2007 itu 
sesungguhnya adalah Undang-Undang yang menetapkan 
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, yang kemudian di dalamnya 
diatur tentang berbagai hal mengenai tata kelola, bentuk, dan 
susunan pemerintahan di Jakarta menyesuaikan penetapan 
ini . Materi muatan RUU yang akan disusun 
berdasar  Naskah Akademik ini akan menyusun kerangkat 
utuh normatif tentang pengelolaan Ibu Kota Negara.  
Di samping itu, Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara ini akan mengatasi persoalan hukum berupa otonomi 
khusus yang melekat pada pemerintahan Ibu Kota Negara. 
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi DKI 
Jakarta sedang menyusun Naskah Akademik untuk 
Perubahan UU No. 29 Tahun 2007 dalam rangka 
mengadakan harmonisasi dan penyesuaian mengenai 
beberapa hal terkait urusan pemerintahan yang dalam 
praktiknya menemui keruwetan akibat posisi Jakarta yang 
berperan ganda, yakni sebagai daerah otonom khusus Ibu 
Kota dan juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah 
pusat. Dengan demikian, RUU yang disusun berdasar  
Naskah Akademik ini akan mengatasi persoalan hukum 
ini . 
 
 
C. Landasan Sosiologis 
 
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan 
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris 
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan 
masyarakat dan negara. 
 
Uraian pada BAB II telah menguraikan dengan rinci 
bagaimana penerapan teori-teori, asas/prinsip, dan gagasan-
gagasan mengenai tata kelola pemerintahan akan 
menyelesaikan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan 
masyarakat dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan 
ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan yang bersih dari 
korupsi, lingkungan hidup yang lebih baik, ketahanan 
terhadap bencana yang mumpuni, dan pencegahan kejahatan 
yang lebih mantap.  
 
Dari sisi negara, tentu tata kelola Ibu kota Negara yang akan 
dituangkan di dalam RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi 
kebutuhan yang mendesak agar seluruh administrasi 
pemerintahan IKN dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan 
efisien.   
 
 
  
saran 
 
Seluruh materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang 
Ibu Kota Negara sebagai satu kesatuan akan menyasar 
tujuan-tujuan (objectives) dari kehidupan bernegara 
sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD NRI 
Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa negara kita dan 
memajukan kesejahteraan umum.  
 
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata 
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik 
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang 
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi 
warga negara negara kita di wilayah Ibu Kota Negara dari 
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi 
sekaligus dapat memajukan kesejahteraan umum. 
 
Rancangan Undang-Undang ini akan menata kembali 
berbagai benang kusut penataan perkotaan holistik dan 
modern, tata kelola lingkungan hidup, penanggulangan 
bencana, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, 
tangkas, dan berorientasi pada pemecahan masalah publik 
serta pelayanan publik yang baik. Ibu Kota Negara 
diharapkan dapat menjadi contoh baik untuk kota yang 
modern, berteknologi tinggi, dengan tata kelola pemerintahan 
sangat baik, dan berwawasan pembangunan berkelanjutan 
baik di negara kita maupun di dunia.  
 
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan 
 
Beberapa pokok-pokok yang akan diatur di dalam Rancangan 
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara antara lain 
meliputi: ketentuan tentang kedudukan, pembentukan, 
fungsi, prinsip, dan cakupan wilayah, ketentuan tentang 
pembagian wilayah, ketentuan tentang Kegiatan Pemindahan 
Ibu Kota Negara; ketentuan tentang Bentuk, Susunan, dan 
Urusan Pemerintahan Ibu Kota Negara; ketentuan tentang 
kedudukan lembaga negara, perwakilan negara asing, dan 
perwakilan organisasi internasional, ketentuan tentang Tata 
Ruang, Pertanahan, Lingkungan Hidup, dan Penanggulangan 
Bencana; dan ketentuan terkait Pendanaan dan pengelolaan 
anggaran pendapatan dan belanja.  
 
Sebagai Undang-Undang yang mengatur sesuatu secara 
umum dan abstrak, maka nantinya diperlukan beberapa 
peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana 
dari Undang-Undang ini . Hal itu dikarenakan tidak 
semua hal teknis akan dapat ditampung dan diatur secara 
komprehensif di dalam materi-materi muatan pasal Undang-
Undang. Jenis peraturan perundang-undangan yang akan 
menjadi peraturan pelaksana adalah peraturan presiden.  
 
Di samping itu, kegiatan pemindahan Ibu Kota Negara 
dilakukan dengan mempertimbangkan kerja sama dengan  
Pemerintah Daerah Ibu Kota Negara sebelumnya, yaitu 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.  
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang 
 
Materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota 
Negara akan mencakup tiga hal, yaitu Ketentuan Umum, 
Materi yang Akan Diatur, dan Ketentuan Peralihan. Ada pun 
ruang lingkup dari materi muatan Undang-Undang Ibu Kota 
Negara yaitu: 
 
Bab I: Ketentuan Umum 
Beberapa hal yang diatur di dalam Bab ini antara lain 
pembatasan definisi terhadap beberapa istilah yang 
dipakai  di dalam Undang-Undang ini: 
 
1. Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan 
Republik negara kita. 
2. Lembaga Negara adalah lembaga yang menjalankan 
fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di tingkat pusat 
serta lembaga lain sebagaimana ditentukan dalam 
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita 
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. 
3. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik negara kita 
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara 
Republik negara kita yang dibantu oleh Wakil Presiden 
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945. 
4. Presiden adalah Presiden Republik negara kita 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 
Negara Republik negara kita Tahun 1945. 
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita yang 
selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan 
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 
Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.  
6. Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara yang 
selanjutnya disingkat KSN IKN adalah kawasan khusus 
yang akan dan menyelenggarakan fungsi sebagai Ibu 
Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan 
Undang-Undang ini. 
7. Ibu Kota Negara […] yang selanjutnya disebut sebagai 
IKN […] adalah suatu wilayah di dalam Negara Kesatuan 
Republik negara kita yang menjadi tempat kedudukan Ibu 
Kota Negara dan menjalankan fungsi sebagai Ibu Kota 
Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan 
Undang-Undang ini.  
8. Pemerintahan Khusus Ibu Kota Negara […]yang 
selanjutnya disebut sebagai Pemerintahan Khusus IKN 
[…] adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus di 
IKN […] yang diatur dengan Undang-Undang ini.   
9. Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut 
sebagai Otorita IKN adalah lembaga pemerintah 
setingkat kementerian yang dibentuk untuk 
melaksanakan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan Ibu Kota Negara yang baru, serta 
penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN […]. 
10. Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut 
sebagai Kepala Otorita IKN adalah pimpinan Otorita IKN 
yang berkedudukan setingkat menteri yang bertanggung 
jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN 
dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan 
Pemerintahan Khusus IKN […]. 
11. Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya 
disebut sebagai Wakil Kepala Otorita IKN adalah wakil 
pimpinan yang bertugas membantu Kepala Otorita IKN 
atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN dalam 
pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan 
pemindahan IKN, serta penyelenggaraan Pemerintahan 
Khusus IKN […]. 
12. Rencana Induk Pembangunan Ibu Kota Negara adalah 
dokumen perencanaan terpadu untuk melaksanakan 
pembangunan, pemindahan dan pengelolaan Ibu Kota 
Negara […] yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.  
13. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli 
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja 
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.