Tampilkan postingan dengan label hatta 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hatta 3. Tampilkan semua postingan
hatta 3
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
hatta 3
sepak terjang Bung Hatta. Kata Shanti Ruwyastuti, Produser Eksekutif
Metro TV, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta, mereka akan
menyajikan tayangan dokumenter yang berlangsung satu jam. "Isinya
secara garis besar tak berbeda dengan dokumenter Bung Karno tahun
lalu, yakni menekankan kronologi perjalanan politik, perjalanan pribadi,
dan apa saja yang menjadi warisannya kepada bangsa Indonesia," ucap
Shanti. Semestinya tayangan ini akan menarik. Pasalnya, Metro TV akan
mendapat pasokan materi dari Arsip Nasional, yang memiliki gambar
Bung Hatta yang terbilang lengkap. Nah, materi program ini selanjutnya
akan direkam dalam bentuk cakram video alias VCD untuk diperbanyak
dan dijual kepada umum. Lain lagi SCTV. Selain menayangkan program
dokumenter dan membuat liputan khusus pelaksanaan perayaan ulang
tahun seabad Bung Hatta di beberapa tempat, mereka berencana
menyiarkan langsung perhelatan besar di Bukit Tinggi. Siaran langsung
ini, kata Budi Dharmawan, Kepala Humas SCTV, kepada Deddy Sinaga
dari Tempo News Room, bersifat eksklusif. Ditilik dari jenis acaranya,
tayangan langsung ini belum pasti akan beroleh iklan yang berjejal.
Lantas untuk apa mereka repot-repot melakukan itu? "Penghormatan
kepada bapak bangsalah, kepada dia yang telah membuat kemerdekaan
itu terwujud bersama pahlawan-pahlawan yang lain," ucap Budi.
69
Mohammad HatMohammad HatMohammad HatMohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan
Deliar Noer Penulis biografi politik Mohammad Hatta
Syahdan Hatta, di suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide
agama (khususnya Islam) dan kebangsaan. Tetapi itu dimilikinya
tanpa mempersoalkan perbedaan dan persamaan antara keduanya.
Lahir di Bukit Tinggi, Agustus 100 tahun silam, Mohammad Hatta
(1902-1980), proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama Sukarno)
dan wakil presiden pertama negara ini, adalah muslim yang taat
beragama dan cepat pula berkecimpung dalam pergerakan nasional.
Ia memang keturunan ulama besar di kampungnya di Batu Hampar,
belajar mengaji di masa kecil dan waktu remaja pada dua syaikh
ternama, Syaikh Mohammad Djamil Djambek di Bukit Tinggi dan H.
Abdullah Ahmad di Padang. Ia bersekolah Belanda dari masa kecil,
dan malah melanjutkan pelajarannya ke Belanda pada Sekolah Tinggi
Ekonomi di Rotterdam.
Daerahnya, Minangkabau, memang termasuk daerah yang banyak
menentang Belanda (ingatlah Perang Padri di abad ke-19 dan Perang
Kamang tahun 1908). Di masa remaja ia sering ke kantor Serikat
Usaha, menghimpun saudagar-saudagar bumiputra di Padang yang
bersaing melawan pengusaha Belanda dan Cina. Rasa kebangsaan
seperti ini diperkuatnya pula dengan mengikuti kegiatan dua tokoh
Minang yang bergerak dalam Sarekat Islam, yaitu Haji Agus Salim
dan Abdoel Moeis. Sejak tahun 1920, Hatta sudah berada di Negeri
Belanda. Sebagai mahasiswa, ia menjadi anggota Indische Vereniging
(Perkumpulan Hindia), suatu perkumpulan sosial yang lima tahun
kemudiam berubah menjadi organisasi politik, Indonesische Vereniging
(Perhimpunan Indonesia). Pada tahun berikutnya, 1926, Hatta
memimpin perkumpulan ini sebagai ketua sampai tahun 1930.
Majalah organisasi ini, yang semula bernama Hindia Putra (mulai
tahun 1916), diubah menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1924. Di
masa itu pula ia, di samping giat memperkenalkan cita-cita
kemerdekaan di Negeri Belanda, juga mengemukakannya di berbagai
negeri di Eropa termasuk Belgia, Prancis, dan Jerman. Ia juga aktif
turut serta dalam organisasi Liga Menentang Imperialisme,
Menentang Tekanan Kolonial, dan Mendukung Kemerdekaan
Nasional, yang mempertemukannya dengan berbagai tokoh Asia,
termasuk Jawaharlal Nehru dari India. Sebagai akibat perjuangannya
70
di Negeri Belanda itu, bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datok
Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat, ia terpaksa
meringkuk dalam tahanan di Den Haag menghadapi tuduhan pihak
Belanda untuk antara lain menghasut dan memberontak. Pidato
pembelaannya Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Di depan
pengadilan, ia juga dibela oleh advokat Mr. J.E.W. Duys (yang juga
anggota parlemen Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat), yang
membebaskannya sama sekali dari tuduhan. Memang berbeda juga
pengadilan di Negeri Belanda yang merdeka dibanding dengan
Indonesia yang dijajah. Malah Hatta, sesudah pulang ke Indonesia
pada tahun 1934, dibuang ke Digul tanpa proses pengadilan apa pun.
Hatta mempelajari Islam dan kemudian bersikap dan bertindak
sebagai seorang muslim. Ia tidak keras membela Islam, tetapi semua
tindak-tanduk dan tingkah lakunya, termasuk secara pribadi, dan
dalam berjuang dan mengemukakan cita-cita (politik, ekonomi,
sosial), ia selaraskan dengan tuntutan Islam. Ia juga tidak
terpengaruh oleh pergaulan bebas, termasuk di Negeri Belanda. Ia
tidak pula suka minum minuman keras. Baginya, ajaran agama Islam
itu memimpin tingkah lakunya, tetapi juga membina pandangannya
tentang kehidupan warga dan negara. Berbeda dengan tokoh-
tokoh lain, termasuk Sukarno, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir,
ia juga tidak terlibat dalam perdebatan mengenai kedudukan Islam,
khususnya dalam hubungan dengan negara. Bagi Hatta, Islam
otomatis saja berkaitan dengan kehidupan warga dan negara.
Baginya, seorang muslim harus mengikuti "suruhan dan larangan"
agama (menyuruh yang baik, melarang yang tidak baik) dalam
hidup. Ada dua hal yang sangat mempengaruhi Hatta dalam melihat
dan memahami Islam. Kedua soal ini menyangkut iman
(kepercayaan) dan kepedulian pada warga masalah hablum
minallah, hablum minannas (hubungan dengan Allah, hubungan
dengan sesama manusia). Dalam hal yang pertama, praktis ia tidak
berteori. Ia tidak mempertanyakan seseorang (termasuk dirinya
sendiri) mengapa dan kenapa ia beriman. Ia benar-benar beriman,
percaya pada Allah. Ia tidak mengkaji bukti keberadaan Tuhan.
(Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama, Yayasan Idayu, Jakarta, 1980,
hlm. 9). Baginya lagi , "Agama (Islam) ... kepercayaan yang mutlak.
Yang pokok dari agama ialah Tuhan tadi, dan peraturan Tuhan."
(Ilmu dan Agama, hlm. 12.) Menurut Hatta, rasa percaya kepada
Allah Swt itu harus dipupuk dan ditindaklanjuti dengan amal dan
71
perbuatan. Maka, sesuai dengan Quran surat Al-Muzammil (surat
73), pemupukan ini antara lain dilakukan dengan "mengerjakan salat
pada malam hari dan membaca ayat-ayat Quran yang sudah
diturunkan dengan bacaan yang bagus dan terang." Dan, "dengan
sepenuh hati," ia menambahkan. (Mohammad Hatta, Nuzulul
Qur'an, Angkasa, Bandung, 1966, hlm. 8). Ia kaitkan pula soal ini
dengan surat Al-Muddatstsir 74:1-7, yang menyuruh kita bangkit dari
tidur, membersihkan pakaian, yang bagi Hatta ini berarti
"membersihkan hati, pikiran, dan perasaan, serta budi pekerti dan
kelakuan". Secara umum, hal ini sebagai perintah "kepada manusia
untuk berbuat baik sesamanya, karena Allah" (Nuzulul Qur'an, hlm.
8-9). Dalam kaitan dengan kehidupan warga , dan juga negara,
menurut Hatta, di zaman Nabi di masa Madinah, ayat-ayat Quran
yang turun kepada Rasulullah "memberi petunjuk, cara, bagaimana
pemimpin Islam berjuang. (Maka) selama di Madinah, Nabi tidak saja
sebagai pemimpin warga , tetapi juga sebagai kepala pemerintah
(Nuzulul Qur'an, hlm. 13-14). Ia tambahkan bahwa di samping
Quran, hadis pun menjadi sumber hukum Islam. Hatta
mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanya sementara. Karena
itu, bumi haruslah dipelihara, ditinggalkan dalam keadaan yang
lebih baik dari di masa kita hidup. Ini berarti perlu membangun
warga dan negara. Hatta merujuk pada Q.S. Ali Imran 4:109
dalam hubungan ini. Bagi HATTA, berjuang untuk membela tanah
air, bangsa, dan warga bagi seorang muslim tidak mengandung
pilihan lain, karena soal ini menyangkut soal tugas hidup sebagai
manusia. Ini ia buktikan dengan sikap dan perbuatannya.
Penahanannya oleh pemerintah di Negeri Belanda dan
pembuangannya ke Digul dan Banda Neira tidak menyurutkan tekad
dan semangatnya. Malah sepanjang hidupnya ia berbuat positif bagi
tanah air, bangsa, dan warga , baik sebagai manusia biasa
maupun saat memegang jabatan. saat ia berada di Negeri
Belanda, ia menulis, berpidato, turut dalam berbagai konferensi
internasional. Semua itu untuk membebaskan negerinya dari
penjajahan dan untuk mencerdaskan bangsa terutama dalam
berpolitik. Hatta menjaga benar agar persatuan Indonesia dapat
tegak-persatuan antar-suku, ras, malah antar-agama. Di kalangan
Islam, ketaatannya beribadah tentu memiliki catatan sendiri (di
zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari
untuk memimpin organisasi ini). Sedangkan di kalangan kebangsaan,
72
pembuangannya oleh pemerintah Belanda ke Digul dan Banda
menempatkannya sebagai tokoh yang sangat dihormati. Hatta memang
menolak paham komunisme dan fasisme-dua paham yang tidak
memberi toleransi kepada pihak lain. Tetapi ia juga menjaga agar
hubungan dengan pihak komunis Indonesia di zaman Belanda tidak
memicu permusuhan. Tentu ia mencatat bahwa pihak Semaun
memintanya supaya memimpin perjuangan nasional, tetapi juga bahwa
Stalin membatalkannya. Dengan pemberontakan PKI di Madiun tahun
1948, Hatta yakin sekali bahwa pihak komunis tidak bisa diajak bekerja
sama. Karena itu, ia termasuk orang yang gigih mengingatkan Sukarno,
terutama di masa Demokrasi Terpimpin, agar tidak menerapkan
Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Ia bisa memahami
paham Marxisme, tetapi tidak berarti bahwa ia mengikuti paham ini.
Kebangsaan yang dipahaminya juga tidak bermaksud menekan atau
memandang rendah orang lain; jauh pula dari sifat ekspansi. Karena itu,
dalam perdebatan dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia tahun 1945, Hatta tidak setuju bila Indonesia mencakup juga
Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, dan Timor Timor, kecuali
kalau bagian-bagian ini dengan kemauan sendiri bergabung. Ia turut
serta bersama beberapa tokoh dalam Panitia 9, Juni 1945, merumuskan
apa yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. Pembukaan ini
memuat tujuh kata tentang syariat Islam yang wajib dijalankan oleh para
pemeluknya ("Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya"). Karena pada tanggal 17 Agustus 1945 ia
memperoleh kabar bahwa bagian Indonesia Timur akan melepaskan diri
dari kesatuan Indonesia bila soal syariat ini ditegakkan, dan ia khawatir
benar hal ini akan terjadi atau sekurang-kurangnya akan merupakan
masalah, padahal proklamasi kemerdekaan pasti akan diganggu oleh
kaum kolonial terutama Belanda yang ingin menjajah kembali, ia
mengusulkan kata-kata ini diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Usul ini diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Menurut pendapatnya, perubahan
ini tidak mengabaikan wajibnya syariat Islam berlaku di Indonesia,
karena kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" menggambarkan tauhid, yang
hanya dijumpai dalam agama Islam. Bahwa ia tidak bermaksud
menghilangkan perwujudan syariat dalam kehidupan, itu terbukti
kemudian dalam dua hal. Pertama, bahwa pada tahun 1973 ia
mengingatkan Presiden Soeharto agar Rancangan Undang-Undang
Perkawinan yang dimajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat tahun 1973
disesuaikan dengan tuntutan kalangan Islam yang telah memicu
73
demonstrasi demi demonstrasi oleh kalangan muda. Presiden Soeharto
akhirnya mengubahnya sehingga, permulaan tahun 1974, RUU itu
sudah dapat disahkan. Kedua, saat pada permulaan Soeharto
berkuasa, gerakan atau partai yang ia dirikan (bersama-sama kalangan
muda Islam) "berjiwa Islam" dan "berjuang atas dasar 'Ketuhanan Yang
Maha Esa' yang harus diamalkan benar-benar dengan perbuatan." Ia
juga memperjuangkan sosialisme, yang baginya bersumber pada dua
pemikiran: Islam yang ajarannya memberantas kemiskinan dan
sosialisme Barat yang juga ingin membangkitkan kalangan yang miskin
untuk sejahtera. Karena itu, ia juga merujuk pada Pasal 27 Ayat 2 UUD
1945 tentang hak setiap warga negara "atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan" sebagai ketentuan yang memang
diperintahkan oleh ajaran Islam serta tujuan cita-cita kita bernegara.
Atas dasar kedua sumber ini pula ia menentang kapitalisme. Dalam
hubungan dengan Pancasila, partai menekankan bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa (yang bagi Hatta sama dengan tauhid) merupakan
"dasar yang memimpin dalam Pancasila, yang menjiwai dan memberi
semangat kepada sila-sila lainnya". Hatta berusaha benar dalam
perjuangannya menegakkan hal-hal ini. Malah, sesudah ia berhenti
sebagai wakil presiden dan pensiunnya memang tidak mencukupi
untuk hidup dari bulan ke bulan, ia tidak mau menerima jabatan
komisaris (yang bergaji besar) pada berbagai perusahaan, baik asing
maupun pribumi. "Apa kata rakyat nanti!" demikian katanya. sesudah ia
berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1956, ia masih terus-
menerus mengingatkan Sukarno dan beberapa menteri agar berpegang
teguh pada cita-cita kemerdekaan. Apa yang diterimanya? Brosur
kecilnya, Demokrasi Kita (1980), malah diberangus. Ia juga dilarang
memberi kuliah, termasuk di Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat di Bandung. Kedua lembaga ini adalah
tempat ia dari semula mengajar. Ia memang hidup antara segi Islam dan
segi kebangsaan, tetapi ia senantiasa berusaha mewujudkan kedua segi
ini dalam satu kesatuan, dengan membaktikan dirinya kepada Allah
dalam perjuangan hidupnya. Tetapi ia tidak gembar-gembor dengan
dua macam cita-cita ini. Ia memang tidak berhasil, karena akhirnya di
zaman Sukarno ia tidak didengar lagi dan di zaman Soeharto ia tidak
dipedulikan. Praktis ia dianggap angin lalu. Tetapi, dialah sebenarnya
yang patut dan perlu dicontoh oleh siapa pun di Indonesia ini, baik ia
sebagai pribadi maupun pejabat. Ia memang jujur, ikhlas, dan santun. Ia
memegang amanah.
74
Dia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah Tertawa
CERITA ini dituturkan oleh Des Alwi, anak angkat Hatta. Setting-nya
di Banda, saat si Bung tengah menjalani masa-masa awal
pembuangan bersama Sutan Sjahrir. Syahdan, Hatta dan Sjahrir
mulai akrab dengan anak-anak setempat. Keduanya sering diajak
jalan-jalan melihat karang di pantai. Pada suatu hari Minggu yang
cerah, serombongan anak-anak yang dipimpin Des Alwi membawa
kedua "Bung" itu berenang ke pantai yang jauh dari pelabuhan.
Lokasinya bersih dan tenang. Siapa sangka, Hatta dan Sjahrir
ternyata tak bisa berenang. Tapi bukan anak Banda namanya kalau
mereka menyerah. Mereka lalu "memaksa" Hatta dan Sjahrir belajar.
Singkat cerita, kedua "Bung" itu bisa dibujuk turun ke air. Tapi dasar
Hatta, bukannya mencopot celana panjang dan menggantinya
dengan celana renang, ia malah menggulung celana panjang sampai
selutut dan tetap memakai sepatu tenis sewaktu berenang. "Kami
terpingkal-pingkal melihat kejadian itu," kata Des Alwi mengenang.
Mungkin karena malu, akhirnya Hatta memutuskan berenang
sendiri, mojok di sudut pantai. Hatta ternyata takut air.
Dia selalu memegangi sisi kole-kole (perahu tradisional setempat)
erat-erat saat diajak berenang agak ke tengah laut. saat sudah
lumayan mahir berenang pun, ia selalu memilih duduk di tengah
kalau diajak naik perahu, takut jatuh. Kendati demikian, Hatta
dikenang sebagai orang yang berdisiplin, terutama soal waktu. Para
pekerja perkebunan setempat hafal betul, Hatta selalu jalan-jalan sore
secara rutin pada jam yang sama. Saban hari, dari Senin hingga Sabtu
sore, sekitar pukul 4-5, ia akan mengelilingi Pulau Banda melewati
kebun pala.
Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer bolak-balik, Hatta
menelusuri jalan setapak. Rutenya sama: dari rumah menuju masjid,
berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala, dan berakhir
di dekat pantai ujung pulau. Di situ ia berhenti sebentar, lalu balik ke
arah semula. Saking rutin dan tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila
Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima."
Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting
karena tidak ada jam di kebun yang luas ini . Bagaimana Hatta
bisa tepat waktu?
75
Disiplin. Selain itu, dia selalu berjalan secara teratur, sigap, dan
jarang berhenti untuk sekadar ngobrol dengan pekerja perkebunan.
Di kala senggang, Hatta lebih suka ketenangan dengan membaca
buku. Gayanya jauh berbeda dibandingkan dengan Sjahrir, yang
kerap memutar lagu klasik seperti komposisi Beethoven atau
Jacowski di sebuah gramofon. Karena itulah Hatta sering menegur
Des Alwi, yang membantu Sjahrir memutar gramofon. Suatu pagi,
Sjahrir menyuruh Des Alwi menyiapkan gramofon dan memutarkan
lagu-lagu klasik favoritnya di beranda rumah. Karena merasa
terganggu, Hatta pun menegurnya, "Jangan keras-keras. Itu terlalu
Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan." Karena ditegur, Des pun
mengadu ke Sjahrir. Yang dilapori tenang saja dan dengan enteng
malah berkata, "Hatta mengatakan aku kebarat-baratan? Dia sendiri
kalau mimpi pakai bahasa Belanda." Bagaimana sosok Hatta di mata
kawannya yang lain? Di mata Sukarno, anak Bukit Tinggi itu sosok
yang serius. Ia tak pernah menari, tertawa, atau menikmati hidup.
Pun saat ia muda. Jejaka Hatta adalah orang yang memerah
mukanya bila bertemu dengan seorang gadis. Cara terbaik untuk
melukiskan pribadi Hatta, kata Sukarno (seperti dikutip Cindy
Adams di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia),
adalah dengan mengisahkan suatu kejadian di suatu sore, saat
Hatta dalam perjalanan ke suatu tempat dan satu-satunya
penumpang lain dalam kendaraan adalah seorang gadis cantik. Di
suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah. Si sopir terpaksa
pergi mencari bantuan. saat dua jam kemudian sopir kembali
dengan bantuan, ia mendapati gadis itu terbaring di sudut yang jauh
dalam kendaraan dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Satu
kisah lucu terjadi saat Hatta tengah bersiap mengikuti ujian
doktoral di Rotterdam, 1932. Suatu saat, dia menemui
pembimbingnya, Profesor C.W. de Vries, untuk berkonsultasi
sekaligus minta persetujuan ikut ujian. De Vries mewanti-wanti,
Hatta harus membaca karangan G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre.
Alamak! Di benak Hatta segera terbayang buku setebal bantal.
Hatinya bertanya-tanya, "Dapatkah buku setebal itu aku pelajari
dengan intensif tanpa melalaikan buku-buku yang lain?" Sesampai di
rumah, Hatta langsung mencari buku itu dan mempelajarinya
dengan tekun. Selama empat bulan, setiap hari Hatta membaca buku
ini . Buku-buku dan diktat lain hanya ia perhatikan sekadarnya.
Tiap hari Hatta juga menenggak tonikum supaya badan dan
76
pikirannya kuat. Empat bulan berlalu. Badan Hatta menjadi lesu dan
otaknya tak sanggup lagi menerima pelajaran baru. Walaupun buku
mahatebal itu sudah selesai dipelajarinya, Hatta justru tak mengingat
satu pun. Padahal waktu ujian tinggal dua minggu. Akhirnya Hatta
memutuskan berhenti belajar. Tiap hari Hatta hanya berjalan-jalan
saja sambil minum tonikum. Dua hari sebelum ujian, Hatta kembali
membolak-balik buku. Berhasil. Ia bisa mengingat semua yang ia
pelajari selama empat bulan. Akhirnya Hatta pun maju ujian doktoral
pada Juni 1932. Ternyata tak ada satu pun soal ujian yang berasal dari
buku Jellinek. Masih tentang pengalaman Hatta di luar negeri. Kali
ini setting-nya di Hamburg, 1921. Pada suatu malam, Hatta
menonton opera bersama tiga rekannya, Dr. Eichele, Dahlan
Abdullah, dan Usman Idris. Sebelum menonton, mereka makan
malam dulu di sebuah restoran. Dahlan, Eichele, dan Usman
memesan bir untuk minum. Entah karena mau mengirit atau
memang tak suka bir, Hatta memilih air es. Rupanya, harga segelas es
ternyata lebih mahal dibandingkan dengan segelas bir. Dahlan pun
menertawai Hatta.
77
Bung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan Demokrasi
Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang di Pejambon,
terlibat dalam debat panas (lihat Risalah Sidang BPUPKI, SetNeg R.I.
1992): Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis-hak menyatakan
pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan
hak berserikat-ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak?
Sukarno (dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta
(Muhammad Yamin, dan lain-lain) mendukung. Menarik sekali
melihat argumentasi masing-masing. Sukarno mendasarkan
penolakannya pada dua argumen. Pertama, menyatakan bahwa
warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu
sama dengan membuka pintu bagi individualisme: "Kita rancangkan
UUD dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu"
(Risalah 207). Kedua, menurut Sukarno, rakyat memerlukan keadilan
sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu "tidak dapat mengisi perut
orang yang hendak mati kelaparan". Mohammad Hatta pun menolak
liberalisme. Tetapi ia mengajukan suatu kekhawatiran yang rupa-
rupanya di luar bayangan Sukarno. Hatta: "Janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk
menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan" [Ris.
209]. Hatta mengkhawatirkan munculnya negara kekuasaan. Sukarno
tidak menanggapi kekhawatiran Hatta ini. Apakah karena ia tidak
dapat membayangkan bahwa sesudah kaum kolonialisme diusir,
para pemimpin Indonesia sendiri bisa menjadi diktator dan
penindas? Perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa
Hatta yang memiliki wawasan permasalahan lebih mendalam. Hatta
juga tidak mau mempertentangkan keadilan sosial dengan hak-hak
demokratis. Dalam sebuah pidato di Aceh 25 tahun kemudian
(Sesudah 25 tahun, 1970), ia menulis: "Apakah yang dimaksud
dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain
daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia
dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan
tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila
pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan
78
kedaulatan rakyat." Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat
penting: Ke-adilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan
rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat
terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Ternyata, Hatta
membuktikan diri sebagai penganalisis yang lebih tajam, sedangkan
Sukarno tidak melihat hubungan antara ketidakadilan sosial dan
keadaan yang tidak demokratis. Rakyat hampir selalu lapar bukan
karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak
berdaya. Menciptakan keadilan sosial mengandaikan pemberdayaan
demokratis rakyat. Menolak pemastian hak rakyat untuk
menyuarakan sendiri apa yang dibutuhkan dan diharapkannya akan
menghasilkan "negara penyelenggara" ala Orde Baru, saat rakyat
disuruh dengan diam menerima penyelenggaraan kesejahteraannya
oleh elite dari atas yang tanpa mengenal malu memanfaatkan
ketidakberdayaan rakyat untuk mengalihkan semakin banyak dari
hasil kerja sosial ke dalam kantong mereka sendiri. Tambahan lagi,
apakah betul bahwa rakyat tidak meminati kebebasan-kebebasan,
melainkan sudah puas asal perutnya terisi? Apakah rakyat Indonesia
dalam perang kemerdekaan hanya sekadar mau mengisi perutnya?
Salah pengertian elite seperti itu kemudian terbukti fatal di Timor
Loro Sa'e. Sebagai catatan samping: Mengartikan hak asasi manusia
sebagai ekspresi individualisme merupakan salah paham yang fatal
juga, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal
untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan hak asasi manusia
justru melindungi dan memberdayakan mereka yang paling lemah
dan terancam dalam warga , dan sekaligus membatasi
kesewenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan hak asasi
manusia bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling
nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya
yang paling lemah. Hatta begitu ngotot tentang kebebasan-kebebasan
demokratis karena ia sejak semula meyakini demokrasi, melawan
"kaum ningrat, fasis, dan komunis" yang "membenci kerakyatan" (Ke
arah Indonesia Merdeka, 1932A). Pada 1960, sewaktu Sukarno
menyingkirkan sisa-sisa demokrasi Indonesia, Hatta menyatakan lagi
keyakinannya bahwa "demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia"
(Demokrasi Kita). Apa dasar harapan kontrafaktual itu? Menurut
Hatta, semangat demokratis para pendiri Republik memiliki tiga
sumber. Pertama, paham sosialisme Barat yang menjunjung tinggi
perikemanusiaan; kedua, ajaran Islam; ketiga, kolektivisme
79
warga Indonesia sebagaimana kelihatan di desa (Hatta 1960).
Dan, begitu dapat kita lanjutkan, karena tiga faktor itu tetap ada, cita-
cita demokrasi tidak akan padam di Indonesia. Hal perikemanusiaan
boleh dianggap barang tentu. Yang signifikan adalah bahwa Hatta
memasukkan Islam ke dalam unsur pendukung demokrasi.
Mengingat dewasa ini sering disuarakan pendapat bahwa Islam dan
demokrasi tidak bisa berjalan bersama, penilaian Hatta ini pantas
dijadikan titik tolak untuk memikirkan dan mengaktualkan kembali
peran Islam dalam membangun demokrasi di Indonesia. Topik
"kolektivisme" warga Indonesia, "demokrasi aseli Indonesia"
atau "demokrasi desa" sering menjadi acuan para pendiri Republik.
Adalah Hatta yang, berhadapan dengan pelbagai kedangkalan yang
lazim didengung-dengungkan, merincikan dengan jernih apa yang
dimaksud (Hatta 1932A). Ia memakai istilah "demokrasi desa", tetapi
(dalam Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, 1932B) ia
menolak omongan tentang "demokrasi asli Indonesia" sebagai
"semboyan kosong tidak berisi". Distingsi itu penting. Istilah
"demokrasi aseli" bisa memberi kesan seakan-akan di wilayah
Nusantara sejak dulu ada sistem pemerintahan demokratis. Tetapi
struktur kekuasaan tradisional di Nusantara tentu selalu feodal dan
otokratis, dan rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja (Hatta
1932B). Hatta sangat antifeodalisme. Ia mempersalahkan "kaum
ningrat" atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia sangat
khawatir jangan sampai "kalau Indonesia sampai merdeka...
kekuasaan... jatuh ke dalam tangan kaum ningrat.... Dan dalam
Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!"
(1932A). Implikasinya: Bicara tentang "demokrasi aseli" bisa
melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat tempat rakyat lagi-lagi tidak
berdaulat. Lain halnya "demokrasi desa". Demokrasi itu merupakan
kenyataan dalam lingkungan komunal desa. Demokrasi desa terdiri
atas tiga hal : "Musyawarat dan mufakat", "hak rakyat" untuk
mengadakan "protes", dan "cita-cita tolong-menolong" (Hatta 1932A).
Demokrasi desa itu bagi Hatta bukan sebuah model negara
demokratis seakan-akan daripadanya bisa dibangun demokrasi yang
lain daripada "demokrasi Barat". Melainkan demokrasi desa
merupakan medan latihan untuk menembangkan sikap-sikap
demokratis. Di situ rakyat sudah biasa mengambil keputusan
bersama, berkompromi, berdebat, dan akhirnya mendukung mufakat
bersama, jadi untuk mengembangkan sikap-sikap yang memang
diperlukan dalam demokrasi modern. Jadi, kedaulatan rakyat bagi
Hatta terwujud dalam "demokrasi Barat"? Ya dan tidak. Ya dalam
pengertian politik. Menurut Hatta, tak ada demokrasi politik khas
Indonesia, lain daripada demokrasi-demokrasi lain di dunia. Yang
menjadi masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat
pada dimensi politik. Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak
akan berdaulat betul-betul kecuali juga berdaulat dalam bidang
ekonomi. Di sini terletak keterbatasan paham kedaulatan rakyat di
Barat. Apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para
pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah
kritik paling mendasar Hatta terhadap pengertian warga
demokratis di Barat. Dan meskipun sampai hari ini, apalagi dengan
keambrukan semua sistem sosialisme, pengertian "demokrasi
ekonomi" tetap belum dapat dibumikan, siapa yang dapat
menyangkal bahwa kritik Hatta ini mengenai sebuah masalah
dan tantangan terbesar bukan hanya bagi Indonesia, melainkan,
memang, bagi segenap warga yang betul-betul mau
demokratis? Hatta begitu mengesan karena ia berani bersikap
berprinsip dan seratus persen integer. Dalam BPUPKI ia berani
memperjuangkan dimasukkannya kebebasan-kebebasan demokratis
ke dalam undang-undang dasar. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ia
meyakinkan saudara-saudara se-BPKI agar mendasarkan undang-
undang dasar Republik pada lima sila yang dapat didukung oleh
segenap komponen bangsa. Tanggal 4 November Hattalah yang
menandatangani maklumat pemerintah yang mengizinkan
pembentukan pluralitas partai. Dan pada 1957 Bung Hatta
meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena merasa tidak
lagi sanggup menanggung kebijakan politik Presiden Sukarno. Bisa
dimengerti bahwa para pemimpin Orde Baru tidak mengizinkan
orang sekaliber Mohammad Hatta mendirikan sebuah Partai
Demokrasi Islam Indonesia. Pada saat elite politik semakin
memanfaatkan kebebasan demokratis untuk berkorupsi besar-
besaran, sosok Bung Hatta dan pikirannya mendesak menjadi titik
orientasi bagi kita semua.
Dia yang berjuang dengan seluruh hidup dan ketajaman pena.
Hatta, Buku yang Tak Pernah Tamat Dibaca
Bukit Tinggi dan Padang membentuk fondasi kesadaran religius dan
politik Hatta dalam tahun-tahun pertumbuhannya. Dalam rumah
rumah kayu tempat ia dilahirkan, surau tua, bahkan perpustakaan
yang penuh jelaga, roh anak Minang itu tetap hidup dalam ruang dan
waktu masa silam.
Karena Kasih Sepanjang Jalan
Betawi mempertemukan Mohammad Hatta dengan Mak Etek Ayub
Rais, anak sahabat kakeknya. Saudagar perantau Minang ini
mengabaikan rasa takutnya sendiri untuk Hatta.
Surat buat Bung Hatta
Kisah yang Tertinggal di Sudut Rotterdam
Di Belanda, Hatta mematangkan diri sebagai pemikir dan aktivis
gerakan. TEMPO menapaki kembali beberapa tempat yang dulu
pernah disinggahi proklamator itu.
Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap 'Kroketten' di Belanda
Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh ternama dunia lainnya
menjadi nama jalan di Belanda.
Roti dan Dongeng Arab di Klein Europeesch Stad
Hari-Hari Bersama Om Kacamata
Di Lereng Gunung Menumbing
Bagi warga Bangka, teladan dan buah gagasan Hatta bak gugusan
bintang yang menerangi langit kelam.
Beberapa Jam di Tanah Buangan
Sebuah Penjara Tak Bertepi
Digul memang bukan Gulag. Tapi bukan kekejaman yang
membunuhmu, melainkan kebosanan dan kebosanan....
Tak seperti Sukarno, Hatta bukanlah obyek foto yang bergelora.
Kekuatan terletak pada konteks sejarah foto-foto itu.
Berburu Potret
Koleksi foto Hatta berserakan di banyak tempat. Ada yang terawat
rapi, ada pula yang merana nasibnya.
Yang Berumah di Tepi Air
Dwitunggal dan Dwitanggal
Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir
hayat Sukarno.
Perhelatan Sederhana untuk Si Bung
Dengan biaya minim, pelbagai kegiatan diadakan untuk memperingati
seabad Bung Hatta. Tujuannya adalah memperkenalkan kembali sosok dan
pemikirannya.
Mohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan
Dia yang Tak Pernah Tertawa
Hatta dianggap sosok yang serius. Justru karena itu, ia jadi lucu.
JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad
Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu: "Di mana-
mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana
semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai
uang makin merosot. "Perkembangan demokrasi pun telantar karena
percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban
sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan
jalannya pemerintahan di tangan partai-partai." Hampir tidak ada yang
perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata demi kata. Krisis politik, ekonomi,
dan konstitusi. Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui
Indonesia lagi, setengah abad sesudah Megawati Sukarnoputri menyimpan
boneka mainannya, Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal
Endriartono Sutarto menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16. Tidak
ada yang baru di kolong langit, kata orang. Sejarah adalah repetisi
pengalaman-pengalaman. Tapi, jika Indonesia terperosok ke lubang hitam
yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar
belajar dari sejarah yang benar. "Belajarlah dari sejarah". Sukarno
mengatakan hal itu. Soeharto bicara yang sama. Masalahnya adalah sejarah
yang mana. Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan
ideologi dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang
kalah, dalam perebutan itu. Pada 1960-an, tulisan Hatta berjudul Demokrasi
Kita itu dinyatakan sebagai bacaan terlarang. Buya Hamka, pemimpin
majalah Pandji Masjarakat yang memuat tulisannya, dipenjarakan.
Sementara itu, pemerintah Orde Baru menyusutkan citranya sekadar
sebagai "Bapak Koperasi"-citra sempit yang mengerdilkan keluasan
pikirannya. Dan kini, di tengah perayaan 100 tahun kelahirannya, sebagian
besar pikiran Hatta masih tercampak dalam buku-buku penghuni sudut
sempit perpustakaan berdebu. Tapi, makin dilupakan, pikiran Hatta makin
jernih dan nyaring kedengarannya. Lihatlah bagaimana Demokrasi Kita
tetap relevan sesudah sekian lama. Di situ Hatta menawarkan keseimbangan
menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan. Seperti sekarang, Indonesia
setengah abad lalu menawarkan optimisme yang diwarnai euforia politik
dan kebebasan. Namun, Proklamasi 1945, mirip dengan reformasi 1998,
ternyata juga menjadi pembuka "kotak Pandora" seperti dikisahkan dalam
mitos Yunani Kuno. Kolonialisme Belanda, idem-ditto otoritarianisme
Soeharto, menyimpan terlalu lama dalam kotak segala macam penyakit
sosial-ekonomi. Dan saat dibuka, bertebaranlah aneka ragam problem
yang selama ini terpendam. Dalam risalah itu dia mengkritik para politisi
yang tersesat. Hatta tidak antipartai. Bagi dia, partai adalah wujud
kedaulatan rakyat. Tapi, dia mengecam para politisi yang menjadikan
"partai sebagai tujuan dan negara sebagai alatnya". Demokrasi dapat
berjalan baik, menurut Hatta, jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di
kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata dia, "Perkembangan politik
yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki,
membuka jalan untuk lawannya: diktator." Hatta benar adanya. Pada 1959,
antara lain atas desakan militer, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden
yang membubarkan parlemen. Sukarno juga mengembalikan UUD 1945-
yang kala itu tak hanya sedianya diamandemen tapi bahkan diganti-ke
tempatnya semula. Tahun itu menandai dimulainya era kediktatoran yang
kemudian dilestarikan Jenderal Soeharto hingga 40 tahun kemudian. Tapi
Hatta mengecam semangat ultrademokratis sama kerasnya dengan dia
mengkritik kediktatoran. "Diktator yang bergantung pada kewibawaan
orang-seorang tidak lama umurnya" dan "akan roboh dengan sendirinya
seperti rumah dari kartu". Beberapa tahun sebelum jatuhnya Bung Karno,
Hatta telah meramalkan: "sistem yang dilahirkan Sukarno itu tidak lebih
panjang umurnya dari Sukarno sendiri". Dan andai saja Soeharto, yang
menggantikan Sukarno sesudah 1965, juga menyimak Hatta dengan lebih
baik. Hatta bukan ahli nujum. Ramalannya yang tajam bersumber dari
kajian luasnya terhadap sejarah dunia. Demokrasi Kita hanya satu dari
tulisan Hatta yang mengingatkan pembacanya tentang keniscayaan "hukum
besi daripada sejarah dunia". Sementara Demokrasi Kita merupakan reaksi
atas munculnya kediktatoran Sukarno, pandangan lebih komprehensif
tentang kenegaraan muncul dalam tulisan lain tiga tahun sebelumnya.
Sama ringkasnya namun tidak kalah efektif memadatkan pengalaman
seorang patriot yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk
Indonesia. Risalah berjudul Lampau dan Datang itu disampaikan dalam
pidato penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hanya tiga hari sebelum dia mundur dari jabatan wakil
presiden yang kemudian menandai akhir cerita Dwi-Tunggal. saat
mengantarkan edisi Inggris pidato itu, sejarawan asal Amerika George
Kahin menyebutnya sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas
tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi
Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi
intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta
sebagai seorang patriot dan negarawan. Membaca Lampau dan Datang
adalah seperti berlayar dengan mesin waktu. Kita seolah diajak dalam
tamasya sejarah, untuk menyaksikan terbentuknya Indonesia. Kita juga
diminta mengintip kehidupan Hatta sendiri, pengalaman dan
pengamatannya terhadap dinamika politik bangsa, serta impian-impian
masa depannya tentang negeri ini. Melalui tinjauan reflektif, Hatta berkisah
tentang rangsangan intelektual dan politik yang dia hadapi saat
menyaksikan bangsanya diimpit sistem eksploitasi kolonial dan pemikiran
tradisional, serta membandingkannya dengan pergolakan dunia yang riuh
sesudah Perang Dunia I. Dia menguraikan bentuk negara yang diidam-
idamkan-sebuah negeri yang tidak tergelincir "pada penekanan hak
individu di satu pihak, atau penumpuan kekuasaan pada seseorang di
pihak lain". Pidato itu, menurut Taufik Abdullah, "makin meneguhkan
kedudukan Hatta sebagai pemimpin yang paling terkemuka dalam usaha
mencari bentuk demokrasi yang paling sesuai bagi negara nasional modern
yang multietnis dan multisejarah". Lampau dan Datang, di samping
Demokrasi Kita, juga menjadi jendela yang baik bagi ratusan artikel dan
puluhan buku yang pernah ditulis Hatta sepanjang hayatnya. Dia memang
satu-satunya dari bapak bangsa kita yang paling banyak menulis. Jika ada
jasanya yang terbesar, tak lain adalah karena itu: dia menjadi reporter yang
mencatat, melaporkan, dan memberi komentar tertulis atas suksesi
peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Hatta
menulis pertama kali saat berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk
universitas. Dimuat dalam majalah Jong Sumatera, tulisan itu mengisahkan
secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya yang
terbujuk kawin lagi. "Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di
matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi
yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang
amat merdu bunyinya." Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman
picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah
personifikasi "Indonesia". sesudah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari
Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang
kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih
mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anak-anaku".
Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat.
Yakni saat Maharaja Mars yang bengis naik takhta di "negeri maghrib",
yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.
Pada 1920, saat Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar
menerapkan kebijakan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat
pribumi, sesudah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama
Perang Dunia I-perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai
Maharaja Mars. Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan
minatnya pada sastra. Dia mengutip sajak Heinrich Heine dalam bahasa
Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta
Dostojevsky. Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang
memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia-sebuah konsep yang
masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya
yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya
yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah
senjata dia untuk memerdekakan bangsanya. Bakat menulisnya, dan
timbunan bacaannya, kian meluap saat Hatta kuliah di Negeri Belanda.
Buku dan perpustakaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tapi Hatta bukan
cendekiawan di menara gading. Di jantung kekuasaan kolonial itu, dia ikut
mengubah watak Indische Vereeniging, perhimpunan mahasiswa Hindia,
yang semula lebih bersifat sosial, menjadi gerakan politik perlawanan.
Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pertama pemuda yang
memperkenalkan kata "Indonesia" dalam pengertian geopolitik, yakni
saat mereka mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi
Indonesisch Vereeniging. Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah
Hindia Poetra, yang belakangan juga diberi nama lebih provokatif:
Indonesia Merdeka. Hatta menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah
itu, dalam bahasa Belanda yang dipujikan. Kelak, dalam Momoir-nya yang
terbit pada 1980, Hatta mengenang betapa "para profesor Leiden
meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda
Indonesia". Di samping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta
sendiri fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, yang membuat tulisan
dan pidatonya tentang gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung
lebih luas secara internasional. Banyak tulisan Hatta menjadi bukti
terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah
yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata.
Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi, ketajaman
pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada
tembakan salvo mana pun. Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik
pemerintah kolonial, Hatta ditahan pada 1927. Dia tidak surut. Dari ruang
penjara yang sempit, dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia
bacakan selama tiga setengah jam di depan pengadilan. Judul pidato itu,
Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik
yang menumental. Di situlah, persis di ulu hati kekuasaan kolonial, dia
menusukkan tikamannya. Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar
sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia
mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia-sebuah partai politik yang lebih
menekankan aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah.
Dia juga aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya: Daulat
Ra'jat. Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di situ dia dibuang ke Boven
Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut sebagai
Siberianya Hindia Belanda. Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti
buku ke tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya memiliki amunisi
cukup untuk meluncurkan tulisan-tembakan salvonya-ke koran-koran di
Batavia maupun Den Haag. Dia memang tak bisa dibungkam. Hatta adalah
orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara
bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam
dan menggetarkan. sesudah kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai
seorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman
akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan
konstitusi dan menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak
berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya
alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan
rakyat serta kehidupan ekonomi mereka. Memenuhi sumpahnya hanya
kawin sesudah Indonesia merdeka, dia melamar Rachmi Rahim pada
November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak
akan dipikirkan orang lain: buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya
sendiri. Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan
politik yang diwarnai perpecahan di kalangan pendiri negara. Terpaksa
menjadi perdana menteri sesudah beberapa kali kabinet jatuh-bangun, Hatta
harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda,
diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, dan
pembentukan tentara nasional. Namun, di sela-sela kesibukannya, dia
masih menulis artikel ataupun buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari
politik, koperasi dan perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Dia
setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius
internasional tentang kebijakan luar negeri. Di situlah Hatta menyodorkan
konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah
Indonesia hingga kini. saat wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu
judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang
termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang
langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau.
Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis. Dengan begitu
luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara lebih baik
untuk memperingati 100 tahun kelahiran Hatta kecuali dengan membaca
kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?