• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label hatta 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hatta 3. Tampilkan semua postingan

hatta 3





mempersiapkan paket acara yang mengetengahkan kembali sosok dan 
sepak terjang Bung Hatta. Kata Shanti Ruwyastuti, Produser Eksekutif 
Metro TV, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta, mereka akan 
menyajikan tayangan dokumenter yang berlangsung satu jam. "Isinya 
secara garis besar tak berbeda dengan dokumenter Bung Karno tahun 
lalu, yakni menekankan kronologi perjalanan politik, perjalanan pribadi, 
dan apa saja yang menjadi warisannya kepada bangsa Indonesia," ucap 
Shanti. Semestinya tayangan ini akan menarik. Pasalnya, Metro TV akan 
mendapat pasokan materi dari Arsip Nasional, yang memiliki gambar 
Bung Hatta yang terbilang lengkap. Nah, materi program ini selanjutnya 
akan direkam dalam bentuk cakram video alias VCD untuk diperbanyak 
dan dijual kepada umum. Lain lagi SCTV. Selain menayangkan program 
dokumenter dan membuat liputan khusus pelaksanaan perayaan ulang 
tahun seabad Bung Hatta di beberapa tempat, mereka berencana 
menyiarkan langsung perhelatan besar di Bukit Tinggi. Siaran langsung 
ini, kata Budi Dharmawan, Kepala Humas SCTV, kepada Deddy Sinaga 
dari Tempo News Room, bersifat eksklusif. Ditilik dari jenis acaranya, 
tayangan langsung ini belum pasti akan beroleh iklan yang berjejal. 
Lantas untuk apa mereka repot-repot melakukan itu? "Penghormatan 
kepada bapak bangsalah, kepada dia yang telah membuat kemerdekaan 
itu terwujud bersama pahlawan-pahlawan yang lain," ucap Budi. 
 
 
 
69 
 
Mohammad HatMohammad HatMohammad HatMohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaanta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan    
Deliar Noer Penulis biografi politik Mohammad Hatta  
 
Syahdan Hatta, di suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide 
agama (khususnya Islam) dan kebangsaan. Tetapi itu dimilikinya 
tanpa mempersoalkan perbedaan dan persamaan antara keduanya. 
Lahir di Bukit Tinggi, Agustus 100 tahun silam, Mohammad Hatta 
(1902-1980), proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama Sukarno) 
dan wakil presiden pertama negara ini, adalah muslim yang taat 
beragama dan cepat pula berkecimpung dalam pergerakan nasional. 
Ia memang keturunan ulama besar di kampungnya di Batu Hampar, 
belajar mengaji di masa kecil dan waktu remaja pada dua syaikh 
ternama, Syaikh Mohammad Djamil Djambek di Bukit Tinggi dan H. 
Abdullah Ahmad di Padang. Ia bersekolah Belanda dari masa kecil, 
dan malah melanjutkan pelajarannya ke Belanda pada Sekolah Tinggi 
Ekonomi di Rotterdam.  
Daerahnya, Minangkabau, memang termasuk daerah yang banyak 
menentang Belanda (ingatlah Perang Padri di abad ke-19 dan Perang 
Kamang tahun 1908). Di masa remaja ia sering ke kantor Serikat 
Usaha, menghimpun saudagar-saudagar bumiputra di Padang yang 
bersaing melawan pengusaha Belanda dan Cina. Rasa kebangsaan 
seperti ini diperkuatnya pula dengan mengikuti kegiatan dua tokoh 
Minang yang bergerak dalam Sarekat Islam, yaitu Haji Agus Salim 
dan Abdoel Moeis. Sejak tahun 1920, Hatta sudah berada di Negeri 
Belanda. Sebagai mahasiswa, ia menjadi anggota Indische Vereniging 
(Perkumpulan Hindia), suatu perkumpulan sosial yang lima tahun 
kemudiam berubah menjadi organisasi politik, Indonesische Vereniging 
(Perhimpunan Indonesia). Pada tahun berikutnya, 1926, Hatta 
memimpin perkumpulan ini sebagai ketua sampai tahun 1930. 
Majalah organisasi ini, yang semula bernama Hindia Putra (mulai 
tahun 1916), diubah menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1924. Di 
masa itu pula ia, di samping giat memperkenalkan cita-cita 
kemerdekaan di Negeri Belanda, juga mengemukakannya di berbagai 
negeri di Eropa termasuk Belgia, Prancis, dan Jerman. Ia juga aktif 
turut serta dalam organisasi Liga Menentang Imperialisme, 
Menentang Tekanan Kolonial, dan Mendukung Kemerdekaan 
Nasional, yang mempertemukannya dengan berbagai tokoh Asia, 
termasuk Jawaharlal Nehru dari India. Sebagai akibat perjuangannya 
70 
 
di Negeri Belanda itu, bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datok 
Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat, ia terpaksa 
meringkuk dalam tahanan di Den Haag menghadapi tuduhan pihak 
Belanda untuk antara lain menghasut dan memberontak. Pidato 
pembelaannya Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Di depan 
pengadilan, ia juga dibela oleh advokat Mr. J.E.W. Duys (yang juga 
anggota parlemen Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat), yang 
membebaskannya sama sekali dari tuduhan. Memang berbeda juga 
pengadilan di Negeri Belanda yang merdeka dibanding dengan 
Indonesia yang dijajah. Malah Hatta, sesudah  pulang ke Indonesia 
pada tahun 1934, dibuang ke Digul tanpa proses pengadilan apa pun. 
Hatta mempelajari Islam dan kemudian bersikap dan bertindak 
sebagai seorang muslim. Ia tidak keras membela Islam, tetapi semua 
tindak-tanduk dan tingkah lakunya, termasuk secara pribadi, dan 
dalam berjuang dan mengemukakan cita-cita (politik, ekonomi, 
sosial), ia selaraskan dengan tuntutan Islam. Ia juga tidak 
terpengaruh oleh pergaulan bebas, termasuk di Negeri Belanda. Ia 
tidak pula suka minum minuman keras. Baginya, ajaran agama Islam 
itu memimpin tingkah lakunya, tetapi juga membina pandangannya 
tentang kehidupan warga  dan negara. Berbeda dengan tokoh-
tokoh lain, termasuk Sukarno, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, 
ia juga tidak terlibat dalam perdebatan mengenai kedudukan Islam, 
khususnya dalam hubungan dengan negara. Bagi Hatta, Islam 
otomatis saja berkaitan dengan kehidupan warga  dan negara. 
Baginya, seorang muslim harus mengikuti "suruhan dan larangan" 
agama (menyuruh yang baik, melarang yang tidak baik) dalam 
hidup. Ada dua hal yang sangat mempengaruhi Hatta dalam melihat 
dan memahami Islam. Kedua soal ini menyangkut iman 
(kepercayaan) dan kepedulian pada warga  masalah hablum 
minallah, hablum minannas (hubungan dengan Allah, hubungan 
dengan sesama manusia). Dalam hal yang pertama, praktis ia tidak 
berteori. Ia tidak mempertanyakan seseorang (termasuk dirinya 
sendiri) mengapa dan kenapa ia beriman. Ia benar-benar beriman, 
percaya pada Allah. Ia tidak mengkaji bukti keberadaan Tuhan. 
(Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama, Yayasan Idayu, Jakarta, 1980, 
hlm. 9). Baginya lagi , "Agama (Islam) ... kepercayaan yang mutlak. 
Yang pokok dari agama ialah Tuhan tadi, dan peraturan Tuhan." 
(Ilmu dan Agama, hlm. 12.) Menurut Hatta, rasa percaya kepada 
Allah Swt itu harus dipupuk dan ditindaklanjuti dengan amal dan 
71 
 
perbuatan. Maka, sesuai dengan Quran surat Al-Muzammil (surat 
73), pemupukan ini antara lain dilakukan dengan "mengerjakan salat 
pada malam hari dan membaca ayat-ayat Quran yang sudah 
diturunkan dengan bacaan yang bagus dan terang." Dan, "dengan 
sepenuh hati," ia menambahkan. (Mohammad Hatta, Nuzulul 
Qur'an, Angkasa, Bandung, 1966, hlm. 8). Ia kaitkan pula soal ini 
dengan surat Al-Muddatstsir 74:1-7, yang menyuruh kita bangkit dari 
tidur, membersihkan pakaian, yang bagi Hatta ini berarti 
"membersihkan hati, pikiran, dan perasaan, serta budi pekerti dan 
kelakuan". Secara umum, hal ini sebagai perintah "kepada manusia 
untuk berbuat baik sesamanya, karena Allah" (Nuzulul Qur'an, hlm. 
8-9). Dalam kaitan dengan kehidupan warga , dan juga negara, 
menurut Hatta, di zaman Nabi di masa Madinah, ayat-ayat Quran 
yang turun kepada Rasulullah "memberi petunjuk, cara, bagaimana 
pemimpin Islam berjuang. (Maka) selama di Madinah, Nabi tidak saja 
sebagai pemimpin warga , tetapi juga sebagai kepala pemerintah 
(Nuzulul Qur'an, hlm. 13-14). Ia tambahkan bahwa di samping 
Quran, hadis pun menjadi sumber hukum Islam. Hatta 
mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanya sementara. Karena 
itu, bumi haruslah dipelihara, ditinggalkan dalam keadaan yang 
lebih baik dari di masa kita hidup. Ini berarti perlu membangun 
warga  dan negara. Hatta merujuk pada Q.S. Ali Imran 4:109 
dalam hubungan ini. Bagi HATTA, berjuang untuk membela tanah 
air, bangsa, dan warga  bagi seorang muslim tidak mengandung 
pilihan lain, karena soal ini menyangkut soal tugas hidup sebagai 
manusia. Ini ia buktikan dengan sikap dan perbuatannya. 
Penahanannya oleh pemerintah di Negeri Belanda dan 
pembuangannya ke Digul dan Banda Neira tidak menyurutkan tekad 
dan semangatnya. Malah sepanjang hidupnya ia berbuat positif bagi 
tanah air, bangsa, dan warga , baik sebagai manusia biasa 
maupun saat  memegang jabatan. saat  ia berada di Negeri 
Belanda, ia menulis, berpidato, turut dalam berbagai konferensi 
internasional. Semua itu untuk membebaskan negerinya dari 
penjajahan dan untuk mencerdaskan bangsa terutama dalam 
berpolitik. Hatta menjaga benar agar persatuan Indonesia dapat 
tegak-persatuan antar-suku, ras, malah antar-agama. Di kalangan 
Islam, ketaatannya beribadah tentu memiliki  catatan sendiri (di 
zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari 
untuk memimpin organisasi ini). Sedangkan di kalangan kebangsaan, 
72 
 
pembuangannya oleh pemerintah Belanda ke Digul dan Banda 
menempatkannya sebagai tokoh yang sangat dihormati. Hatta memang 
menolak paham komunisme dan fasisme-dua paham yang tidak 
memberi toleransi kepada pihak lain. Tetapi ia juga menjaga agar 
hubungan dengan pihak komunis Indonesia di zaman Belanda tidak 
memicu permusuhan. Tentu ia mencatat bahwa pihak Semaun 
memintanya supaya memimpin perjuangan nasional, tetapi juga bahwa 
Stalin membatalkannya. Dengan pemberontakan PKI di Madiun tahun 
1948, Hatta yakin sekali bahwa pihak komunis tidak bisa diajak bekerja 
sama. Karena itu, ia termasuk orang yang gigih mengingatkan Sukarno, 
terutama di masa Demokrasi Terpimpin, agar tidak menerapkan 
Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Ia bisa memahami 
paham Marxisme, tetapi tidak berarti bahwa ia mengikuti paham ini. 
Kebangsaan yang dipahaminya juga tidak bermaksud menekan atau 
memandang rendah orang lain; jauh pula dari sifat ekspansi. Karena itu, 
dalam perdebatan dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan 
Indonesia tahun 1945, Hatta tidak setuju bila Indonesia mencakup juga 
Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, dan Timor Timor, kecuali 
kalau bagian-bagian ini dengan kemauan sendiri bergabung. Ia turut 
serta bersama beberapa tokoh dalam Panitia 9, Juni 1945, merumuskan 
apa yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. Pembukaan ini 
memuat tujuh kata tentang syariat Islam yang wajib dijalankan oleh para 
pemeluknya ("Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 
bagi pemeluknya"). Karena pada tanggal 17 Agustus 1945 ia 
memperoleh kabar bahwa bagian Indonesia Timur akan melepaskan diri 
dari kesatuan Indonesia bila soal syariat ini ditegakkan, dan ia khawatir 
benar hal ini akan terjadi atau sekurang-kurangnya akan merupakan 
masalah, padahal proklamasi kemerdekaan pasti akan diganggu oleh 
kaum kolonial terutama Belanda yang ingin menjajah kembali, ia 
mengusulkan kata-kata ini diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa". 
Usul ini diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam 
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Menurut pendapatnya, perubahan 
ini tidak mengabaikan wajibnya syariat Islam berlaku di Indonesia, 
karena kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" menggambarkan tauhid, yang 
hanya dijumpai dalam agama Islam. Bahwa ia tidak bermaksud 
menghilangkan perwujudan syariat dalam kehidupan, itu terbukti 
kemudian dalam dua hal. Pertama, bahwa pada tahun 1973 ia 
mengingatkan Presiden Soeharto agar Rancangan Undang-Undang 
Perkawinan yang dimajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat tahun 1973 
disesuaikan dengan tuntutan kalangan Islam yang telah memicu 
73 
 
demonstrasi demi demonstrasi oleh kalangan muda. Presiden Soeharto 
akhirnya mengubahnya sehingga, permulaan tahun 1974, RUU itu 
sudah dapat disahkan. Kedua, saat  pada permulaan Soeharto 
berkuasa, gerakan atau partai yang ia dirikan (bersama-sama kalangan 
muda Islam) "berjiwa Islam" dan "berjuang atas dasar 'Ketuhanan Yang 
Maha Esa' yang harus diamalkan benar-benar dengan perbuatan." Ia 
juga memperjuangkan sosialisme, yang baginya bersumber pada dua 
pemikiran: Islam yang ajarannya memberantas kemiskinan dan 
sosialisme Barat yang juga ingin membangkitkan kalangan yang miskin 
untuk sejahtera. Karena itu, ia juga merujuk pada Pasal 27 Ayat 2 UUD 
1945 tentang hak setiap warga negara "atas pekerjaan dan penghidupan 
yang layak bagi kemanusiaan" sebagai ketentuan yang memang 
diperintahkan oleh ajaran Islam serta tujuan cita-cita kita bernegara. 
Atas dasar kedua sumber ini pula ia menentang kapitalisme. Dalam 
hubungan dengan Pancasila, partai menekankan bahwa Ketuhanan 
Yang Maha Esa (yang bagi Hatta sama dengan tauhid) merupakan 
"dasar yang memimpin dalam Pancasila, yang menjiwai dan memberi 
semangat kepada sila-sila lainnya". Hatta berusaha benar dalam 
perjuangannya menegakkan hal-hal ini. Malah, sesudah  ia berhenti 
sebagai wakil presiden dan pensiunnya memang tidak mencukupi 
untuk hidup dari bulan ke bulan, ia tidak mau menerima jabatan 
komisaris (yang bergaji besar) pada berbagai perusahaan, baik asing 
maupun pribumi. "Apa kata rakyat nanti!" demikian katanya. sesudah  ia 
berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1956, ia masih terus-
menerus mengingatkan Sukarno dan beberapa menteri agar berpegang 
teguh pada cita-cita kemerdekaan. Apa yang diterimanya? Brosur 
kecilnya, Demokrasi Kita (1980), malah diberangus. Ia juga dilarang 
memberi kuliah, termasuk di Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Staf 
dan Komando Angkatan Darat di Bandung. Kedua lembaga ini adalah 
tempat ia dari semula mengajar. Ia memang hidup antara segi Islam dan 
segi kebangsaan, tetapi ia senantiasa berusaha mewujudkan kedua segi 
ini dalam satu kesatuan, dengan membaktikan dirinya kepada Allah 
dalam perjuangan hidupnya. Tetapi ia tidak gembar-gembor dengan 
dua macam cita-cita ini. Ia memang tidak berhasil, karena akhirnya di 
zaman Sukarno ia tidak didengar lagi dan di zaman Soeharto ia tidak 
dipedulikan. Praktis ia dianggap angin lalu. Tetapi, dialah sebenarnya 
yang patut dan perlu dicontoh oleh siapa pun di Indonesia ini, baik ia 
sebagai pribadi maupun pejabat. Ia memang jujur, ikhlas, dan santun. Ia 
memegang amanah. 
 
74 
 
Dia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah TertawaDia yang Tak Pernah Tertawa    
 
CERITA ini dituturkan oleh Des Alwi, anak angkat Hatta. Setting-nya 
di Banda, saat  si Bung tengah menjalani masa-masa awal 
pembuangan bersama Sutan Sjahrir. Syahdan, Hatta dan Sjahrir 
mulai akrab dengan anak-anak setempat. Keduanya sering diajak 
jalan-jalan melihat karang di pantai. Pada suatu hari Minggu yang 
cerah, serombongan anak-anak yang dipimpin Des Alwi membawa 
kedua "Bung" itu berenang ke pantai yang jauh dari pelabuhan. 
Lokasinya bersih dan tenang. Siapa sangka, Hatta dan Sjahrir 
ternyata tak bisa berenang. Tapi bukan anak Banda namanya kalau 
mereka menyerah. Mereka lalu "memaksa" Hatta dan Sjahrir belajar.  
Singkat cerita, kedua "Bung" itu bisa dibujuk turun ke air. Tapi dasar 
Hatta, bukannya mencopot celana panjang dan menggantinya 
dengan celana renang, ia malah menggulung celana panjang sampai 
selutut dan tetap memakai sepatu tenis sewaktu berenang. "Kami 
terpingkal-pingkal melihat kejadian itu," kata Des Alwi mengenang. 
Mungkin karena malu, akhirnya Hatta memutuskan berenang 
sendiri, mojok di sudut pantai. Hatta ternyata takut air.  
Dia selalu memegangi sisi kole-kole (perahu tradisional setempat) 
erat-erat saat  diajak berenang agak ke tengah laut. saat  sudah 
lumayan mahir berenang pun, ia selalu memilih duduk di tengah 
kalau diajak naik perahu, takut jatuh. Kendati demikian, Hatta 
dikenang sebagai orang yang berdisiplin, terutama soal waktu. Para 
pekerja perkebunan setempat hafal betul, Hatta selalu jalan-jalan sore 
secara rutin pada jam yang sama. Saban hari, dari Senin hingga Sabtu 
sore, sekitar pukul 4-5, ia akan mengelilingi Pulau Banda melewati 
kebun pala.  
Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer bolak-balik, Hatta 
menelusuri jalan setapak. Rutenya sama: dari rumah menuju masjid, 
berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala, dan berakhir 
di dekat pantai ujung pulau. Di situ ia berhenti sebentar, lalu balik ke 
arah semula. Saking rutin dan tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila 
Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima." 
Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting 
karena tidak ada jam di kebun yang luas ini . Bagaimana Hatta 
bisa tepat waktu?  
75 
 
Disiplin. Selain itu, dia selalu berjalan secara teratur, sigap, dan 
jarang berhenti untuk sekadar ngobrol dengan pekerja perkebunan. 
Di kala senggang, Hatta lebih suka ketenangan dengan membaca 
buku. Gayanya jauh berbeda dibandingkan dengan Sjahrir, yang 
kerap memutar lagu klasik seperti komposisi Beethoven atau 
Jacowski di sebuah gramofon. Karena itulah Hatta sering menegur 
Des Alwi, yang membantu Sjahrir memutar gramofon. Suatu pagi, 
Sjahrir menyuruh Des Alwi menyiapkan gramofon dan memutarkan 
lagu-lagu klasik favoritnya di beranda rumah. Karena merasa 
terganggu, Hatta pun menegurnya, "Jangan keras-keras. Itu terlalu 
Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan." Karena ditegur, Des pun 
mengadu ke Sjahrir. Yang dilapori tenang saja dan dengan enteng 
malah berkata, "Hatta mengatakan aku kebarat-baratan? Dia sendiri 
kalau mimpi pakai bahasa Belanda." Bagaimana sosok Hatta di mata 
kawannya yang lain? Di mata Sukarno, anak Bukit Tinggi itu sosok 
yang serius. Ia tak pernah menari, tertawa, atau menikmati hidup. 
Pun saat  ia muda. Jejaka Hatta adalah orang yang memerah 
mukanya bila bertemu dengan seorang gadis. Cara terbaik untuk 
melukiskan pribadi Hatta, kata Sukarno (seperti dikutip Cindy 
Adams di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia), 
adalah dengan mengisahkan suatu kejadian di suatu sore, saat  
Hatta dalam perjalanan ke suatu tempat dan satu-satunya 
penumpang lain dalam kendaraan adalah seorang gadis cantik. Di 
suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah. Si sopir terpaksa 
pergi mencari bantuan. saat  dua jam kemudian sopir kembali 
dengan bantuan, ia mendapati gadis itu terbaring di sudut yang jauh 
dalam kendaraan dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Satu 
kisah lucu terjadi saat  Hatta tengah bersiap mengikuti ujian 
doktoral di Rotterdam, 1932. Suatu saat, dia menemui 
pembimbingnya, Profesor C.W. de Vries, untuk berkonsultasi 
sekaligus minta persetujuan ikut ujian. De Vries mewanti-wanti, 
Hatta harus membaca karangan G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre. 
Alamak! Di benak Hatta segera terbayang buku setebal bantal. 
Hatinya bertanya-tanya, "Dapatkah buku setebal itu aku pelajari 
dengan intensif tanpa melalaikan buku-buku yang lain?" Sesampai di 
rumah, Hatta langsung mencari buku itu dan mempelajarinya 
dengan tekun. Selama empat bulan, setiap hari Hatta membaca buku 
ini . Buku-buku dan diktat lain hanya ia perhatikan sekadarnya. 
Tiap hari Hatta juga menenggak tonikum supaya badan dan 
76 
 
pikirannya kuat. Empat bulan berlalu. Badan Hatta menjadi lesu dan 
otaknya tak sanggup lagi menerima pelajaran baru. Walaupun buku 
mahatebal itu sudah selesai dipelajarinya, Hatta justru tak mengingat 
satu pun. Padahal waktu ujian tinggal dua minggu. Akhirnya Hatta 
memutuskan berhenti belajar. Tiap hari Hatta hanya berjalan-jalan 
saja sambil minum tonikum. Dua hari sebelum ujian, Hatta kembali 
membolak-balik buku. Berhasil. Ia bisa mengingat semua yang ia 
pelajari selama empat bulan. Akhirnya Hatta pun maju ujian doktoral 
pada Juni 1932. Ternyata tak ada satu pun soal ujian yang berasal dari 
buku Jellinek. Masih tentang pengalaman Hatta di luar negeri. Kali 
ini setting-nya di Hamburg, 1921. Pada suatu malam, Hatta 
menonton opera bersama tiga rekannya, Dr. Eichele, Dahlan 
Abdullah, dan Usman Idris. Sebelum menonton, mereka makan 
malam dulu di sebuah restoran. Dahlan, Eichele, dan Usman 
memesan bir untuk minum. Entah karena mau mengirit atau 
memang tak suka bir, Hatta memilih air es. Rupanya, harga segelas es 
ternyata lebih mahal dibandingkan dengan segelas bir. Dahlan pun 
menertawai Hatta. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
77 
 
Bung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan DemokrasiBung Hatta dan Demokrasi    
 
Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah 
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta  
 
Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan 
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang di Pejambon, 
terlibat dalam debat panas (lihat Risalah Sidang BPUPKI, SetNeg R.I. 
1992): Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis-hak menyatakan 
pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan 
hak berserikat-ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? 
Sukarno (dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta 
(Muhammad Yamin, dan lain-lain) mendukung. Menarik sekali 
melihat argumentasi masing-masing. Sukarno mendasarkan 
penolakannya pada dua argumen. Pertama, menyatakan bahwa 
warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu 
sama dengan membuka pintu bagi individualisme: "Kita rancangkan 
UUD dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu" 
(Risalah 207). Kedua, menurut Sukarno, rakyat memerlukan keadilan 
sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu "tidak dapat mengisi perut 
orang yang hendak mati kelaparan". Mohammad Hatta pun menolak 
liberalisme. Tetapi ia mengajukan suatu kekhawatiran yang rupa-
rupanya di luar bayangan Sukarno. Hatta: "Janganlah kita 
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk 
menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan" [Ris. 
209]. Hatta mengkhawatirkan munculnya negara kekuasaan. Sukarno 
tidak menanggapi kekhawatiran Hatta ini. Apakah karena ia tidak 
dapat membayangkan bahwa sesudah kaum kolonialisme diusir, 
para pemimpin Indonesia sendiri bisa menjadi diktator dan 
penindas? Perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa 
Hatta yang memiliki wawasan permasalahan lebih mendalam. Hatta 
juga tidak mau mempertentangkan keadilan sosial dengan hak-hak 
demokratis. Dalam sebuah pidato di Aceh 25 tahun kemudian 
(Sesudah 25 tahun, 1970), ia menulis: "Apakah yang dimaksud 
dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain 
daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia 
dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan 
tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila 
pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan 
78 
 
kedaulatan rakyat." Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat 
penting: Ke-adilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan 
rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat 
terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Ternyata, Hatta 
membuktikan diri sebagai penganalisis yang lebih tajam, sedangkan 
Sukarno tidak melihat hubungan antara ketidakadilan sosial dan 
keadaan yang tidak demokratis. Rakyat hampir selalu lapar bukan 
karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak 
berdaya. Menciptakan keadilan sosial mengandaikan pemberdayaan 
demokratis rakyat. Menolak pemastian hak rakyat untuk 
menyuarakan sendiri apa yang dibutuhkan dan diharapkannya akan 
menghasilkan "negara penyelenggara" ala Orde Baru, saat  rakyat 
disuruh dengan diam menerima penyelenggaraan kesejahteraannya 
oleh elite dari atas yang tanpa mengenal malu memanfaatkan 
ketidakberdayaan rakyat untuk mengalihkan semakin banyak dari 
hasil kerja sosial ke dalam kantong mereka sendiri. Tambahan lagi, 
apakah betul bahwa rakyat tidak meminati kebebasan-kebebasan, 
melainkan sudah puas asal perutnya terisi? Apakah rakyat Indonesia 
dalam perang kemerdekaan hanya sekadar mau mengisi perutnya? 
Salah pengertian elite seperti itu kemudian terbukti fatal di Timor 
Loro Sa'e. Sebagai catatan samping: Mengartikan hak asasi manusia 
sebagai ekspresi individualisme merupakan salah paham yang fatal 
juga, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal 
untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan hak asasi manusia 
justru melindungi dan memberdayakan mereka yang paling lemah 
dan terancam dalam warga , dan sekaligus membatasi 
kesewenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan hak asasi 
manusia bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling 
nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya 
yang paling lemah. Hatta begitu ngotot tentang kebebasan-kebebasan 
demokratis karena ia sejak semula meyakini demokrasi, melawan 
"kaum ningrat, fasis, dan komunis" yang "membenci kerakyatan" (Ke 
arah Indonesia Merdeka, 1932A). Pada 1960, sewaktu Sukarno 
menyingkirkan sisa-sisa demokrasi Indonesia, Hatta menyatakan lagi 
keyakinannya bahwa "demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia" 
(Demokrasi Kita). Apa dasar harapan kontrafaktual itu? Menurut 
Hatta, semangat demokratis para pendiri Republik memiliki  tiga 
sumber. Pertama, paham sosialisme Barat yang menjunjung tinggi 
perikemanusiaan; kedua, ajaran Islam; ketiga, kolektivisme 
79 
 
warga  Indonesia sebagaimana kelihatan di desa (Hatta 1960). 
Dan, begitu dapat kita lanjutkan, karena tiga faktor itu tetap ada, cita-
cita demokrasi tidak akan padam di Indonesia. Hal perikemanusiaan 
boleh dianggap barang tentu. Yang signifikan adalah bahwa Hatta 
memasukkan Islam ke dalam unsur pendukung demokrasi. 
Mengingat dewasa ini sering disuarakan pendapat bahwa Islam dan 
demokrasi tidak bisa berjalan bersama, penilaian Hatta ini pantas 
dijadikan titik tolak untuk memikirkan dan mengaktualkan kembali 
peran Islam dalam membangun demokrasi di Indonesia. Topik 
"kolektivisme" warga  Indonesia, "demokrasi aseli Indonesia" 
atau "demokrasi desa" sering menjadi acuan para pendiri Republik. 
Adalah Hatta yang, berhadapan dengan pelbagai kedangkalan yang 
lazim didengung-dengungkan, merincikan dengan jernih apa yang 
dimaksud (Hatta 1932A). Ia memakai istilah "demokrasi desa", tetapi 
(dalam Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, 1932B) ia 
menolak omongan tentang "demokrasi asli Indonesia" sebagai 
"semboyan kosong tidak berisi". Distingsi itu penting. Istilah 
"demokrasi aseli" bisa memberi kesan seakan-akan di wilayah 
Nusantara sejak dulu ada sistem pemerintahan demokratis. Tetapi 
struktur kekuasaan tradisional di Nusantara tentu selalu feodal dan 
otokratis, dan rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja (Hatta 
1932B). Hatta sangat antifeodalisme. Ia mempersalahkan "kaum 
ningrat" atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia sangat 
khawatir jangan sampai "kalau Indonesia sampai merdeka... 
kekuasaan... jatuh ke dalam tangan kaum ningrat.... Dan dalam 
Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!" 
(1932A). Implikasinya: Bicara tentang "demokrasi aseli" bisa 
melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat tempat rakyat lagi-lagi tidak 
berdaulat. Lain halnya "demokrasi desa". Demokrasi itu merupakan 
kenyataan dalam lingkungan komunal desa. Demokrasi desa terdiri 
atas tiga hal : "Musyawarat dan mufakat", "hak rakyat" untuk 
mengadakan "protes", dan "cita-cita tolong-menolong" (Hatta 1932A). 
Demokrasi desa itu bagi Hatta bukan sebuah model negara 
demokratis seakan-akan daripadanya bisa dibangun demokrasi yang 
lain daripada "demokrasi Barat". Melainkan demokrasi desa 
merupakan medan latihan untuk menembangkan sikap-sikap 
demokratis. Di situ rakyat sudah biasa mengambil keputusan 
bersama, berkompromi, berdebat, dan akhirnya mendukung mufakat 
bersama, jadi untuk mengembangkan sikap-sikap yang memang 
diperlukan dalam demokrasi modern. Jadi, kedaulatan rakyat bagi 
Hatta terwujud dalam "demokrasi Barat"? Ya dan tidak. Ya dalam 
pengertian politik. Menurut Hatta, tak ada demokrasi politik khas 
Indonesia, lain daripada demokrasi-demokrasi lain di dunia. Yang 
menjadi masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat 
pada dimensi politik. Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak 
akan berdaulat betul-betul kecuali juga berdaulat dalam bidang 
ekonomi. Di sini terletak keterbatasan paham kedaulatan rakyat di 
Barat. Apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para 
pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah 
kritik paling mendasar Hatta terhadap pengertian warga  
demokratis di Barat. Dan meskipun sampai hari ini, apalagi dengan 
keambrukan semua sistem sosialisme, pengertian "demokrasi 
ekonomi" tetap belum dapat dibumikan, siapa yang dapat 
menyangkal bahwa kritik Hatta ini  mengenai sebuah masalah 
dan tantangan terbesar bukan hanya bagi Indonesia, melainkan, 
memang, bagi segenap warga  yang betul-betul mau 
demokratis? Hatta begitu mengesan karena ia berani bersikap 
berprinsip dan seratus persen integer. Dalam BPUPKI ia berani 
memperjuangkan dimasukkannya kebebasan-kebebasan demokratis 
ke dalam undang-undang dasar. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ia 
meyakinkan saudara-saudara se-BPKI agar mendasarkan undang-
undang dasar Republik pada lima sila yang dapat didukung oleh 
segenap komponen bangsa. Tanggal 4 November Hattalah yang 
menandatangani maklumat pemerintah yang mengizinkan 
pembentukan pluralitas partai. Dan pada 1957 Bung Hatta 
meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena merasa tidak 
lagi sanggup menanggung kebijakan politik Presiden Sukarno. Bisa 
dimengerti bahwa para pemimpin Orde Baru tidak mengizinkan 
orang sekaliber Mohammad Hatta mendirikan sebuah Partai 
Demokrasi Islam Indonesia. Pada saat elite politik semakin 
memanfaatkan kebebasan demokratis untuk berkorupsi besar-
besaran, sosok Bung Hatta dan pikirannya mendesak menjadi titik 
orientasi bagi kita semua. 

Dia yang berjuang dengan seluruh hidup dan ketajaman pena. 
Hatta, Buku yang Tak Pernah Tamat Dibaca 
Bukit Tinggi dan Padang membentuk fondasi kesadaran religius dan 
politik Hatta dalam tahun-tahun pertumbuhannya. Dalam rumah 
rumah kayu tempat ia dilahirkan, surau tua, bahkan perpustakaan 
yang penuh jelaga, roh anak Minang itu tetap hidup dalam ruang dan 
waktu masa silam. 
Karena Kasih Sepanjang Jalan 
Betawi mempertemukan Mohammad Hatta dengan Mak Etek Ayub 
Rais, anak sahabat kakeknya. Saudagar perantau Minang ini 
mengabaikan rasa takutnya sendiri untuk Hatta. 
Surat buat Bung Hatta 
Kisah yang Tertinggal di Sudut Rotterdam 
Di Belanda, Hatta mematangkan diri sebagai pemikir dan aktivis 
gerakan. TEMPO menapaki kembali beberapa tempat yang dulu 
pernah disinggahi proklamator itu. 
Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap 'Kroketten' di Belanda 
Mohammad Hatta dan sejumlah tokoh ternama dunia lainnya 
menjadi nama jalan di Belanda. 
Roti dan Dongeng Arab di Klein Europeesch Stad 
Hari-Hari Bersama Om Kacamata 
Di Lereng Gunung Menumbing 
Bagi warga Bangka, teladan dan buah gagasan Hatta bak gugusan 
bintang yang menerangi langit kelam. 
Beberapa Jam di Tanah Buangan 
Sebuah Penjara Tak Bertepi 
Digul memang bukan Gulag. Tapi bukan kekejaman yang 
membunuhmu, melainkan kebosanan dan kebosanan.... 
 
 

Tak seperti Sukarno, Hatta bukanlah obyek foto yang bergelora. 
Kekuatan terletak pada konteks sejarah foto-foto itu. 
Berburu Potret 
Koleksi foto Hatta berserakan di banyak tempat. Ada yang terawat 
rapi, ada pula yang merana nasibnya. 
Yang Berumah di Tepi Air 
Dwitunggal dan Dwitanggal 
Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir 
hayat Sukarno. 
Perhelatan Sederhana untuk Si Bung 
Dengan biaya minim, pelbagai kegiatan diadakan untuk memperingati 
seabad Bung Hatta. Tujuannya adalah memperkenalkan kembali sosok dan 
pemikirannya. 
Mohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan 
Dia yang Tak Pernah Tertawa 
Hatta dianggap sosok yang serius. Justru karena itu, ia jadi lucu. 
   
 
 
JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad 
Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu: "Di mana-
mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana 
semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai 
uang makin merosot. "Perkembangan demokrasi pun telantar karena 
percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban 
sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan 
jalannya pemerintahan di tangan partai-partai." Hampir tidak ada yang 
perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata demi kata. Krisis politik, ekonomi, 
dan konstitusi. Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui 
Indonesia lagi, setengah abad sesudah  Megawati Sukarnoputri menyimpan 
boneka mainannya, Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal 
Endriartono Sutarto menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16. Tidak 
ada yang baru di kolong langit, kata orang. Sejarah adalah repetisi 
pengalaman-pengalaman. Tapi, jika Indonesia terperosok ke lubang hitam 
yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar 
belajar dari sejarah yang benar. "Belajarlah dari sejarah". Sukarno 
mengatakan hal itu. Soeharto bicara yang sama. Masalahnya adalah sejarah 
yang mana. Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan 
ideologi dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang 
kalah, dalam perebutan itu. Pada 1960-an, tulisan Hatta berjudul Demokrasi 
Kita itu dinyatakan sebagai bacaan terlarang. Buya Hamka, pemimpin 
majalah Pandji Masjarakat yang memuat tulisannya, dipenjarakan. 
Sementara itu, pemerintah Orde Baru menyusutkan citranya sekadar 
sebagai "Bapak Koperasi"-citra sempit yang mengerdilkan keluasan 
pikirannya. Dan kini, di tengah perayaan 100 tahun kelahirannya, sebagian 
besar pikiran Hatta masih tercampak dalam buku-buku penghuni sudut 
sempit perpustakaan berdebu. Tapi, makin dilupakan, pikiran Hatta makin 
jernih dan nyaring kedengarannya. Lihatlah bagaimana Demokrasi Kita 
tetap relevan sesudah  sekian lama. Di situ Hatta menawarkan keseimbangan 
menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan. Seperti sekarang, Indonesia 
setengah abad lalu menawarkan optimisme yang diwarnai euforia politik 
dan kebebasan. Namun, Proklamasi 1945, mirip dengan reformasi 1998, 
ternyata juga menjadi pembuka "kotak Pandora" seperti dikisahkan dalam 
mitos Yunani Kuno. Kolonialisme Belanda, idem-ditto otoritarianisme 
Soeharto, menyimpan terlalu lama dalam kotak segala macam penyakit 
sosial-ekonomi. Dan saat  dibuka, bertebaranlah aneka ragam problem 
yang selama ini terpendam. Dalam risalah itu dia mengkritik para politisi 
yang tersesat. Hatta tidak antipartai. Bagi dia, partai adalah wujud 
kedaulatan rakyat. Tapi, dia mengecam para politisi yang menjadikan 
"partai sebagai tujuan dan negara sebagai alatnya". Demokrasi dapat 
berjalan baik, menurut Hatta, jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di 
kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata dia, "Perkembangan politik 
yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, 
membuka jalan untuk lawannya: diktator." Hatta benar adanya. Pada 1959, 
antara lain atas desakan militer, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden 
yang membubarkan parlemen. Sukarno juga mengembalikan UUD 1945-
yang kala itu tak hanya sedianya diamandemen tapi bahkan diganti-ke 
tempatnya semula. Tahun itu menandai dimulainya era kediktatoran yang 
kemudian dilestarikan Jenderal Soeharto hingga 40 tahun kemudian. Tapi 
Hatta mengecam semangat ultrademokratis sama kerasnya dengan dia 
mengkritik kediktatoran. "Diktator yang bergantung pada kewibawaan 
orang-seorang tidak lama umurnya" dan "akan roboh dengan sendirinya 
seperti rumah dari kartu". Beberapa tahun sebelum jatuhnya Bung Karno, 
Hatta telah meramalkan: "sistem yang dilahirkan Sukarno itu tidak lebih 
panjang umurnya dari Sukarno sendiri". Dan andai saja Soeharto, yang 
menggantikan Sukarno sesudah  1965, juga menyimak Hatta dengan lebih 
baik. Hatta bukan ahli nujum. Ramalannya yang tajam bersumber dari 
kajian luasnya terhadap sejarah dunia. Demokrasi Kita hanya satu dari 
tulisan Hatta yang mengingatkan pembacanya tentang keniscayaan "hukum 
besi daripada sejarah dunia". Sementara Demokrasi Kita merupakan reaksi 
atas munculnya kediktatoran Sukarno, pandangan lebih komprehensif 
tentang kenegaraan muncul dalam tulisan lain tiga tahun sebelumnya. 
Sama ringkasnya namun tidak kalah efektif memadatkan pengalaman 
seorang patriot yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk 
Indonesia. Risalah berjudul Lampau dan Datang itu disampaikan dalam 
pidato penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada, 
Yogyakarta, hanya tiga hari sebelum dia mundur dari jabatan wakil 
presiden yang kemudian menandai akhir cerita Dwi-Tunggal. saat  
mengantarkan edisi Inggris pidato itu, sejarawan asal Amerika George 
Kahin menyebutnya sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas 
tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi 
Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi 
intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta 
sebagai seorang patriot dan negarawan. Membaca Lampau dan Datang 
adalah seperti berlayar dengan mesin waktu. Kita seolah diajak dalam 
tamasya sejarah, untuk menyaksikan terbentuknya Indonesia. Kita juga 
diminta mengintip kehidupan Hatta sendiri, pengalaman dan 
pengamatannya terhadap dinamika politik bangsa, serta impian-impian 
masa depannya tentang negeri ini. Melalui tinjauan reflektif, Hatta berkisah 
tentang rangsangan intelektual dan politik yang dia hadapi saat  
menyaksikan bangsanya diimpit sistem eksploitasi kolonial dan pemikiran 
tradisional, serta membandingkannya dengan pergolakan dunia yang riuh 
sesudah  Perang Dunia I. Dia menguraikan bentuk negara yang diidam-
idamkan-sebuah negeri yang tidak tergelincir "pada penekanan hak 
individu di satu pihak, atau penumpuan kekuasaan pada seseorang di 
pihak lain". Pidato itu, menurut Taufik Abdullah, "makin meneguhkan 
kedudukan Hatta sebagai pemimpin yang paling terkemuka dalam usaha 
mencari bentuk demokrasi yang paling sesuai bagi negara nasional modern 
yang multietnis dan multisejarah". Lampau dan Datang, di samping 
Demokrasi Kita, juga menjadi jendela yang baik bagi ratusan artikel dan 
puluhan buku yang pernah ditulis Hatta sepanjang hayatnya. Dia memang 
satu-satunya dari bapak bangsa kita yang paling banyak menulis. Jika ada 
jasanya yang terbesar, tak lain adalah karena itu: dia menjadi reporter yang 
mencatat, melaporkan, dan memberi komentar tertulis atas suksesi 
peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Hatta 
menulis pertama kali saat  berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk 
universitas. Dimuat dalam majalah Jong Sumatera, tulisan itu mengisahkan 
secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya yang 
terbujuk kawin lagi. "Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di 
matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi 
yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang 
amat merdu bunyinya." Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman 
picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah 
personifikasi "Indonesia". sesudah  ditinggal mati suaminya, Brahmana dari 
Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang 
kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih 
mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anak-anaku". 
Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. 
Yakni saat  Maharaja Mars yang bengis naik takhta di "negeri maghrib", 
yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis. 
Pada 1920, saat  Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar 
menerapkan kebijakan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat 
pribumi, sesudah  mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama 
Perang Dunia I-perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai 
Maharaja Mars. Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan 
minatnya pada sastra. Dia mengutip sajak Heinrich Heine dalam bahasa 
Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta 
Dostojevsky. Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang 
memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia-sebuah konsep yang 
masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya 
yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya 
yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah 
senjata dia untuk memerdekakan bangsanya. Bakat menulisnya, dan 
timbunan bacaannya, kian meluap saat  Hatta kuliah di Negeri Belanda. 
Buku dan perpustakaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tapi Hatta bukan 
cendekiawan di menara gading. Di jantung kekuasaan kolonial itu, dia ikut 
mengubah watak Indische Vereeniging, perhimpunan mahasiswa Hindia, 
yang semula lebih bersifat sosial, menjadi gerakan politik perlawanan. 
Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pertama pemuda yang 
memperkenalkan kata "Indonesia" dalam pengertian geopolitik, yakni 
saat  mereka mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi 
Indonesisch Vereeniging. Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah 
Hindia Poetra, yang belakangan juga diberi nama lebih provokatif: 
Indonesia Merdeka. Hatta menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah 
itu, dalam bahasa Belanda yang dipujikan. Kelak, dalam Momoir-nya yang 
terbit pada 1980, Hatta mengenang betapa "para profesor Leiden 
meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda 
Indonesia". Di samping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta 
sendiri fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, yang membuat tulisan 
dan pidatonya tentang gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung 
lebih luas secara internasional. Banyak tulisan Hatta menjadi bukti 
terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah 
yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata. 
Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi, ketajaman 
pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada 
tembakan salvo mana pun. Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik 
pemerintah kolonial, Hatta ditahan pada 1927. Dia tidak surut. Dari ruang 
penjara yang sempit, dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia 
bacakan selama tiga setengah jam di depan pengadilan. Judul pidato itu, 
Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik 
yang menumental. Di situlah, persis di ulu hati kekuasaan kolonial, dia 
menusukkan tikamannya. Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar 
sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia 
mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia-sebuah partai politik yang lebih 
menekankan aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah. 
Dia juga aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya: Daulat 
Ra'jat. Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di situ dia dibuang ke Boven 
Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut sebagai 
Siberianya Hindia Belanda. Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti 
buku ke tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya memiliki amunisi 
cukup untuk meluncurkan tulisan-tembakan salvonya-ke koran-koran di 
Batavia maupun Den Haag. Dia memang tak bisa dibungkam. Hatta adalah 
orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara 
bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam 
dan menggetarkan. sesudah  kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai 
seorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman 
akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan 
konstitusi dan menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak 
berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya 
alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan 
rakyat serta kehidupan ekonomi mereka. Memenuhi sumpahnya hanya 
kawin sesudah  Indonesia merdeka, dia melamar Rachmi Rahim pada 
November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak 
akan dipikirkan orang lain: buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya 
sendiri. Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan 
politik yang diwarnai perpecahan di kalangan pendiri negara. Terpaksa 
menjadi perdana menteri sesudah  beberapa kali kabinet jatuh-bangun, Hatta 
harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda, 
diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, dan 
pembentukan tentara nasional. Namun, di sela-sela kesibukannya, dia 
masih menulis artikel ataupun buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari 
politik, koperasi dan perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Dia 
setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius 
internasional tentang kebijakan luar negeri. Di situlah Hatta menyodorkan 
konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah 
Indonesia hingga kini. saat  wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu 
judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang 
termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang 
langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. 
Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis. Dengan begitu 
luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara lebih baik 
untuk memperingati 100 tahun kelahiran Hatta kecuali dengan membaca 
kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?