• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label jawa kuno di bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jawa kuno di bali. Tampilkan semua postingan

jawa kuno di bali




Secara historis, Bali mengalami dua proses, yakni “Jawanisasi” 
di satu pihak, dan “Balinisasi” di pihak lainnya. Berbaurnya 
kedua aliran tersebut berimplikasi pada perkembangan 
budaya dan bahasa Bali. Akulturasi budaya dan bahasa tidak 
mungkin terhindarkan. Fenomena tersebut dapat dibuktikan 
melalui sejumlah data-data kebahasaan bahasa Jawa Kuna 
yang digunakan oleh masyarakat Bali. Berdasarkan data-
data yang diperoleh ternyata penggunaan kosa kata bahasa 
Jawa Kuna masih eksis dengan mengikuti sistem/ kaidah 
bahasa Bali. Hal itu dapat dilihat pada ranah tulis dan ranah 
lisan. Pada ranah tulis, pemakaian bahasa Jawa Kuna banyak 
dijumpai dalam penulisan karya sastra, prasasti (babad), 
awig-awig, nama orang, nama wilayah/ tempat, dan nama 
organisasi/kelompok sosial. Dalam ranah lisan, pemakaian 
bahasa Jawa Kuna dapat dijumpai dalam kegiatan, yakni; 
seni pertunjukan, upacara adat dan keagamaan, mabebasan, 
nasihat-nasihat, lomba pidato berbahasa Bali atau pemakalah. 
Penggunaan kosa kata bahasa Jawa Kuna dalam ranah 
tersebut menambah kesan wibawa bahasa, lebih arkais, dan 
lebih estetis.
Kata kunci: eksistensi, dinamika, difusi bahasa, arkais, 
estetis.
Pendahuluan 
Pergaulan antarsuku khususnya di Bali sudah lazim terjadi sejak dahulu. Persentuhan tersebut menyebabkan 
Bali menjadi daerah yang memiliki penduduk yang bersifat 
heterogen demikian pula bahasanya. Buktinya, di Bali terdapat 
banyak bahasa pendatang seperti bahasa Jawa, bahasa Osing, 
dan bahasa Bugis. Kehidupan yang berbaur itu menimbulkan 
kehidupan masyarakat saling mempengaruhi dalam berbagai 
aspek kehidupan khususnya kontak bahasa (language contact). 
Dalam kontak bahasa itu terjadinya pinjam-meminjam kosa kata 
antarbahasa sehingga akhirnya masyarakat menjadi bilingualism 
Pernyataan di atas nampak nyata dalam pemakaian Bahasa 
Bali (disingkat  BB) di Bali. Salah satu bahasa yang berpengaruh 
besar terhadap perkembangan BB adalah bahasa Jawa Kuna 
(disingkat BJK). Bahkan, karena intensitas yang begitu tinggi 
antara BJK dengan BB seringkali tidak bisa dikenali kosa kata 
BB itu adalah dari BJK. Berdasarkan pengamatan, penggunaan 
kosa kata BJK saat ini sangat banyak dalam berbagai ranah. 
Pengambilan topik ini didasari oleh dimensi fungsional BJK 
di Bali. Adapun masalah yang diangkat diformulasikan dalam 
Eksistensi dan Dinamika Kosa Kata Bahasa Jawa Kuna ...
bentuk pertanyaan, yaitu “bagaimanakah eksistensi dan 
dinamika pemakaian BJK pada masyarakat Bali, sehingga perlu 
dibahas secara lebih khusus?
Terkait dengan masalah di atas, dirujuk beberapa konsep 
dan istilah yang cukup relevan untuk menganalisis masalah 
tersebut. Untuk itu, metode yang digunakan dalam tulisan ini 
diklasifikasikan atas tiga jenis, yaitu metode pengumpulan 
data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Metode tersebut 
dibantu dengan teknik rekaman digital.  Selanjutnya, dilakukan 
pengarsipan/ pendokumentasian data baik bersifat metadata, 
maupun deskripsi data, sehingga data siap dianalisis dan 
disajikan.
Konsep dan Istilah
1. Eksistensi dan Dinamika  
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (1995: 253), 
‘eksistensi’ dimaknai sebagai ‘keberadaan’. Artinya, eksistensi 
pada hakikatnya tentang penilaian ada atau tidak adanya 
pengaruh tentang suatu hal. Misalnya, suatu bahasa dapat 
muncul dan digunakan pada suatu masyarakat bahasa tertentu. 
Eksistensi juga mengandung pengertian bahwa suatu keadaan 
nyata dan dapat diperhitungkan. Selain itu, eksistensi dianggap 
sebagai sebuah istilah yang dapat diapresiasi kepada seseorang 
yang sudah banyak memberi pengaruh positif kepada orang 
lain.
Istilah ‘dinamika’ pada awalnya digunakan oleh bagian 
ilmu fisika yang berhubungan dengan benda yang bergerak  dan 
tenaga yang menggerakkan. Selanjutnya berkembang menjadi 
dinamika kelompok, yaitu gerakan atau kekuatan yang dimiliki 
sekumpulan orang di masyarakat yang dapat menimbulkan 
perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. 
Di samping itu, di kenal adanya ‘dinamika pembangunan’ dan 
Dinamika kebahasaan merupakan sebuah gerak atau arus 
perkembangan suatu bahasa. Perkembangan sebuah bahasa  
sangat didominasi oleh masyarakat yang bilingual/ multilingual 
dan lambat laun bahasa tersebut berbaur sehingga saling 
mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh tersebut terjadi juga 
pada  perkembangan struktur  kebahasaan.  Wardhaugh (1990) 
mengatakan, bahwa perubahan struktur kebahasaan dapat dilihat 
sudut internal dan eksternal. Di samping itu, perkembangan 
suatu bahasa dapat terjadi karena interferensi, yakni interferensi 
fonek, interferensi gramatikal, interferensi leksikal, maupun 
interferensi secara keseluruhan (Weinrich, 1953).
2. Difusi Bahasa
Istilah ‘difusi’ merupakan pengaruh dan pengalihan 
pranata budaya melewati batas-batas bahasa, khususnya inovasi 
dan peminjaman  Jika dikaitkan dengan 
pengaruh BJK terhadap BB tentunya membawa dampak terhadap 
penggunaan kata-kata tersebut baik yang mengalami perubahan 
atau pun pinjaman seutuhnya sehingga menjadi khazanah kosa 
kata BB. Dengan kata lain, BB terbuka terhadap pengaruh bahasa 
lain yang ada disekitarnya.
Bahasa Jawa Kuna di Bali
Pengaruh bahasa Jawa Kuna di Bali tampak terjadi 
ketika berkembangnya Kerajaan Kediri di bawah kekuasaan 
Raja Erlangga. Perkembangan semakin pesat ketika Majapahit 
menaklukkan dan menguasai Bali mulai 1343. Pengaruh Jawa 
semakin berkembang, ketika wangsa Jawa itu mendirikan 
keratonnya di Samprangan, Bali Selatan Bagian Tengah. 
Selanjutnya dipindahkan ke Gelgel dan beberapa keluarganya 
memerintah kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Hingga kini, mereka 
masih membanggakan diri mereka yang berasal dari bangsawan-
bangsawan Jawa. Orang Jawa yang turut dalam ekspedisi tersebut 
kemudian menetap berangsur-angsur di Bali. Sejak saat itulah Bali 
mengalami suatu proses “Jawanisasi” yang sistematis. Orang-
orang brahmana dari Jawa menetap di Bali sambil membawa 
ajaran dan praktik keagamaannya. Berbaurnya kedua aliran itu, 
yakni proses “Jawanisasi” di satu pihak terhadap masyarakat dan 
kebudayaan Bali melalui kontak dengan kalangan keraton beserta 
peraturan-peraturan administratifnya, dan meningkatnya proses 
“Balinisasi”di pihak lain di kalangan keraton-keraton itu sendiri. 
Suatu ketika keadaan di Jawa semakin berubah dan pengaruh 
Jawa semakin pudar sampai segala hubungan terputus, sehingga 
menyebabkan Bali melahirkan keanekaan bentuk kebudayaan 
yang meriah 
Terkait dengan itu, BJK tidak hanya dimaklumi tetapi 
dipelajari, ditiru, dan dikembangkan sehingga terwariskanlah 
karya-karya sastra yang ada di Bali saat ini (lihat foto 1). Lebih 
lanjut, Zoetmulder mengatakan:“kepada Balilah kita berhutang budi 
karena sastra Jawa Kuna diselamatkan di Bali”. Di Bali, BJK lazim 
disebut Bahasa Kawi. Kalau ditelusuri secara mendalam istilah 
kawi dapat diartikan sebagai ‘karang/gubah’. Di Bali juga dikenal 
istilah pengawi ‘pengarang’. Penyebutan istilah Bahasa Kawi, 
karena BJK digunakan oleh para pengarang dalam menuliskan 
karya-karya sastranya.
Saat ini di Bali, BJK tidak hanya terdapat dalam karya 
sastra-karya sastra saja, melainkan dibangkitkan lagi peng-
gunaannya dalam ranah-ranah tertentu; seperti mabebasan (acara 
menambangkan dan manfsirkan puisi tradisional Bali baris 
demi baris), upacara-upacara, dan sebagainya. Selanjutnya, 
Dibia (2012) mengatakan bahwa BJK adalah bahasa ungkap 
yang sangat penting dalam seni pertunjukan Bali, walaupun 
penggunaannya seringkali tidak lagi secara murni. Dengan 
demikian, pemakaian BJK itu tidak hanya terbatas pada karya 
sastra tulis melainkan juga dalam bentuk seni pertunjukan. 
Penggunaan BJK dapat menambah wibawa bahasa, para praktisi 
BJK mengatakan bahwa BJK taksu-nya (gereget) budaya Bali.
Suatu fenomena penting di era 2000-an ini bahwa 
pengarang atau pangawi di Bali masih mampu menggunakan 
BJK untuk mengekspresikan imajinasinya ke dalam karya sastra 
kakawin. Hal itu dibuktikan adanya ciptaan kakawin, seperti 
kakawin Ananda Bhuwana yang dikarang oleh I Wayan Seregeg, 
S.Pd. Disamping itu pula, parakawi Bali sering menyelipkan 
kosa kata-kosa kata, ungkapan-ungkapan BJK ke dalam karya 
sastra Bali, seperti dalam geguritan/ paparikan atau pun dalam 
karya sastra prosa. Ungkapan “Bahasa Jawa Kuna adalah bahasa 
mati” khususnya dalam masyarakat Bali tidaklah sepenuhnya 
berlaku.
Berbagai Ranah Bahasa
Maraknya wacana “ajeg bali” sejak tahun 2001/2002 
mengarahkan asumsi penulis tentang eksistensi BJK di 
masyarakat semakin meningkat. Berbagai ranah penggunaan 
BJK di Bali mengisyaratkan bahwa bahasa ini semakin diapresiasi 
lagi sebagai media baik dalam situasi formal maupun nonformal. 
Hal yang perlu didalami lebih jauh  adalah terjadinya eksistensi 
dan dinamika BJK di Bali saat ini. Sesuai dengan masalah yang 
diungkapkan di atas kiranya dapat dijelaskan melalui fakta-
fakta penggunaan BJK dalam berbagai ranah di masyarakat Bali 
saat ini. Adapun penggunaan kosa kata tersebut dapat ditelusuri 
melalui ranah tulis dan ranah lisan. Kedua ranah tersebut 
dideskripsikan dan dijelaskan seperti berikut ini.
1. Ranah Tulis
Dalam ranah tulis, penggunaan BJK dapat dijumpai dalam 
penulisan prasasti-prasasti, awig-awig, babad (silsilah), dan karya 
sastra. Babad untuk menuliskan garis keturunan atau silsilah atau 
klan di Bali. Seiring perkembangan desa adat di Bali penulisan 
awig-awig (peraturan desa) pada sebuah desa pakraman juga 
semakin banyak. Pendokumentasian seperti di atas biasanya 
ditulis dengan aksara Bali di atas daun lontar. Namun, saat ini 
pendokumentasian itu kerap kali ditulis kembali dalam bentuk 
buku disertai transliterasi dan terjemahannya ke dalam bahasa 
Indonesia melalui alat-alat yang lebih mutakhir. Pemutakhiran 
tersebut dilakukan untuk memudahkan dan memahami isi dan 
maknanya.
Selain digunakan dalam penulisan tersebut, kata-kata 
BJK juga digunakan dalam penulisan nama orang, organisasi/
kelompok sosial, nama-nama tempat di Bali. Dalam penulisan 
nama-nama tersebut dipastikan mengandung makna-makna 
tertentu dantujuan tertentu yang sandangnya. Beberapa contoh 
nama orang berikut ini menggunakan kata-kata BJK.
(Data-1) “paramartha, adi marthayoga, adi kirti ningrat, adi nugraha, 
dwipayana, dwi saputra, widagda sastra, sobhita sistasari, upadana, 
sobhita trynadari, indra gunawan, sukma lestari, mahedra putra...
Sebagai nama orang, kata-kata BJK yang digunakan 
biasanya kata-kata dasar. Kata-kata dasar tersebut  biasanya 
ditambahkan dengan unit pembeda jenis kelamin yang sangat 
jelas, seperti, ...ri,  ....ti, ....tha, ...wan. Apabila sebagai nama seorang 
perempuan biasanya diakhiri dengan suku kata mengandung 
fonem /i/ dan apabila sebagai nama laki-laki biasanya diakhiri 
dengan suku kata mengandung fonem /a/. Penggunaan kata-
kata Jawa Kuna tersebut dirasakan lebih estetis.
2. Ranah Lisan
Selain digunakan dalam ranah tulis, BJK digunakan 
dalam ranah lisan. Dalam ranah lisan, penggunaan BJK di 
masyarakat Bali dapat ditelusuri melalui fakta kebahasaan yang 
terdapat dalam seni pertunjukan, upacara adat dan keagamaan, 
mabebasan,  nasihat, dan pidato/ pemakalah. Pemakaian tersebut 
dapat dijelaskan seperti berikut ini.
2.1 Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan di Bali sangat banyak menggunakan BJK. 
Pertunjukkan itu antara lain; seni pewayangan, seni pegambuhan, 
seni pe-topeng-an, seni calonarang,  tari kecak, dan sendratari. 
Bentuk-bentuk penggunaan BJK oleh para seniman Bali dapat 
berupa mantra, prolog/ monolog, narasi, dan dialog (Dibia, 
2012). Bahkan, dalam seni kolaborasi kontemporer pun yang 
mengambil tema tentang suatu kerajaan kerap kali digunakan 
unsur-unsur BJK baik hanya sepenggal kata, frasa, klausa, 
ataupun kalimat. Beberapa contoh penggunaan BJK dalam seni 
pertunjukan dapat dipaparkan berikut ini.
(data-2) “Sira raja Jaya Pangus atemu lawan Diah Kang Ching Wie”
 ‘Beliau raja Jaya Pangus bertemu dengan Diah Kang Ching 
Wie’
 (Pertunjukan di Bali Agung Safari Marine Park Gianyar).
Data (2) di atas menunjukkan bahwa tuturan itu merupa-
kan suatu kalimat di mana semua unsur yang membangun kalimat 
itu adalah kata-kata BJK. Penggunaan unsur-unsur linguistik 
yang ditampilkan pada saat itu, kebesaran seorang tokoh yang 
akan tampil adalah seorang raja Bali Kuna. Ketika tokoh-tokoh 
yang lain tampil baik dalam dialog maupun monolog seniman 
itu menggunakan BB kemudian diartikan dengan bahasa 
Inggris. Hal yang dapat dipetik dalam pertunjukan itu adalah 
penggunaan kata-kata BJK secara penuh dapat diungkapkan 
dalam sebuah kalimat yang lengkap. Hal ini menandakan bahwa 
para seniman di Bali mampu penggunaan bahasa ini tidak saja 
dalam batas kata bahkan, lebih dari pada tataran kata.
 Dalam pertunujukan wayang kulit, misalnya yang dikutip 
oleh Dibia (2012, dalam Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2005:49) 
bahwa penggunaan Bahasa Kawi atau Jawa Kuna ini biasanya 
digunakan pada pembukaan pertunjukan dengan prolog yang 
disebut alasarum. Bait-bait itu diucapkan dalang sebagai berikut 
ini.
(data-3) “Rahina tatas kamantyan unining mredangga kala sangka 
gurnnitantara,  gumuruh ikang gubar bala...
Terjemahan Indonesia:
 Tepat pada waktunya, ketika suara terompet bergema di 
angkasa, bergemuruh gendrang perang itu,...
Kalau disimak data (3) di atas, seluruh teks menggunakan 
BJK. Ini berarti bahasa ini digunakan secara lengkap baik dalam 
tataran frasa, klausa ataupun kalimat. Di sisi lain, dalam sela-
sela dialog tokoh-tokoh sering juga menggunakan BJK baik 
sepatah kata atau pun lebih. Hal itu dapat ditampilkan beberapa 
cuplikan dialog dalam wayang Cenkblonk. 
(data-4) apang nanang ngelah panak suputra, mawacana ida pedanda, 
to dewasa melah ngardi santana, nak mula onyang misi sukha 
duhka, 
  tan kawarna lampahira wipraya lumaku.
Terjemahan Indonesia:
Kalau ayahanda (ingin) mempunyai anak yang berbudi luhur, 
(lalu) pendeta berkata, “itu hari baik melakukan perkawinan, 
memang semua itu ada baik buruknya, tak diceritakan 
perjalannannya kemudian beliau pergi”
Pada data (4) di atas banyak ditemukan kata-kata BJK 
yang digunakan dalang untuk menyampaikan pesan yang mau 
disampaikan kepada para pemirsa. Kalau diperhatikan kata-
kata yang bercetak tebal itu merupakan kata-kata BJK dengan 
proses gramatika/morfologis kemudian digunakan secara 
langsung untuk menambah kompetensi dan estetis, sehingga 
menampakkan kebilingualan seorang dalang. Hal seperti ini 
menunjukkan BJK masih eksis digunakan oleh para seniman.
 Upacara Adat dan Keagamaan
Upacara-upacara adat dan keagamaan di Bali khususnya 
masyarakat yang beragama Hindu acap kali menggunakan 
kata-kata BJK dalam mengomunikasikan maksud yang akan 
disampaikan oleh penutur pada lawan tuturnya. Misalnya, 
dalam upacara perkawinan ditemukan berbagai pelibat wicara 
yang ada dalam peristiwa itu. Dalam perkawinan tentunya 
melibatkan dua pihak keluarga yang akan bersatu dalam sebuah 
keluarga besar. Pada umumnya bentuk perkawinan  adat  Bali 
dibedakan atas tiga macam, yaitu (1) ngidih, mapadik ketika 
keluarga si laki-laki meminang si gadis pada keluarganya’ (2) 
merangkat, ngerorod ‘perkawinan lari’ yakni si laki-laki melarikan 
si gadis dari keluarganya; (3) melegandang ‘kawin paksa’ jenis 
perkawinan ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Bali 
Salah satu jenis perkawinan yang memungkinkan adanya 
suatu dialog dan pelibat-pelibatnya adalah jenis perkawinan 
ngidih dan mepadik. Dalam prosesi tersebut tampak, bahwa pihak 
laki-laki datang ke pihak perempuan dan diterima secara baik-
baik. Pada prosesi itu umumnya dilaksanakan berdasarkan tata 
cara yang berlaku yakni pembukaan acara, isi pembicaraan, dan 
Dalam peristiwa itu tentunya menggunakan salah satu 
wahana, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa yang 
digunakan pada saat seperti itu adalah BB yang banyak  terdapat 
kata-kata BJK. Untuk membuktikan eksistensi penggunaan BJK 
dalam ranah seperti itu dapat dilihat pada kutipan antara pelibat 
wicara dalam suatu upacara perkawinan dengan  cara ngidih/ 
memadik ‘meminang’ di bawah ini. 
(data-5)
Pembukaan acara: pinih riin titiang matur suksma ring bapak 
pangenter acara, kaping kalih para manggala sane 
kusumayang titiang, lugrayang titiang malarapan 
antuk pangastungkara “Om Swastyastu”
Isi pembicaraan: ring dinane mangkin titiang wantah ngalepas status anake 
alit puniki mangda ipun kajangkepang maring calon 
swami(n)nipun. Mangda kapuput antuk pawiwahan 
makacihna ipun sampun sah   makurenan. 
Penutup acara: titiang ngaturan suksma banget duaning acara puniki 
sampun  kalaksana, yening wenten salah atur titiang 
nunas geng sinampura “Om shanti shanti shanti 
Om” 
Terjemahan Indonesia Pembuka Acara:
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih 
kepada bapak pembawa acara, kedua kepada para 
pimpinan yang saya hormati, izinkan saya berdoa 
dengan mengucapkan “om swastyastu (semoga 
tidak ada halangan)”
Terjemahan Indonesia Isi Pembicaraan:
Pada hari ini saya akan melepas status gadis ini 
untuk dinikahkan dengan calon suaminya. Agar 
diselesaikan dengan upacara pernikahan sebagai 
ciri mereka sudah sah bersuami istri”

Bahasa yang digunakan itu termasuk ragam halus dalam BB. 
Jadi penggunaan BJK umumnya digunakan dalam bahasa alus 
dan sangat berkontras dengan BB kepara (lumrah). Kata-kata dari 
BJK tidak digunakan dalam bahasa kasar.
Selain dalam situasi seperti di atas, BJK digunakan juga oleh 
para sulinggih, pemangku dan masyarakat yang menghaturkan/ 
melaksanakan suatu persembahan (menghaturkan segehan). 
Salah satu contoh dapat dilihat pada pelaksanaan upacara 
ngerupuk. Dalam persembahan tersebut biasanya diucapkan 
mantra disertai dengan saa seperti berikut ini.
(data-6)  Ih sang bhuta kala  nghulun angaturaken segehan manca warna 9 
tanding, segehan cacahan satus kutus, segehan agung  iki tadahen 
segehangku iki. Ri huwus anadah segehangku iki mulih ta  ring 
unggwanta sowang-sowang aywa ngrebeda. 
Terjemahan Indonesia:
Hai, sang bhuta kala, hamba menghaturkan persembahan 
lima warna 9 wadah, persembahan cacahan satus kutus, segehan 
agung, nikmatilah persembahanku ini. Setelah menikmati 
persembahanku ini kembalilah ke tempatmu masing-masing 
(dan) jangan mengganggu.
Data (6) di atas menunjukkan penggunaan kosa kata BJK. 
Kata-kata seperti itu biasanya digunakan untuk menghaturkan 
segehan di lebuh (pintu keluar pagar rumah) yang dipercaya ada 
sebagai penunggu tempat itu. Upacara ngerupuk itu dilaksanakan 
setahun sekali tepatnya sehari sebelum Nyepi yang lazim 
disebut tawur agung sasih kasanga ‘persembahan besar bulan 
kesembilan’ untuk menyambut tahun baru Isaka. Dalam upacara 
persembahan seperti itu BJK sering diucapkan. Pengucapan saa 
seperti di atas bertujuan agar persembahan mereka diterima 
dengan baik dan diindahkan. Hal ini membuktikan, bahwa BJK 
pada ranah, seperti ini masih eksis digunakan oleh masyarakat 
atau yang mewakili mengucapkan saa tersebut.
 Mabebasan
 Dewasa ini mabebasan sangat marak di Bali. Istilah 
mabebasan ini dapat diartikan suatu penerjemahan suatu teks. 
Teks-teks yang digunakan dalam mabebasan adalah teks berupa 
kakawin atau gaguritan. Teks kakawin menggunakan bermacam-
macan pola guru-laghu yang disebut wirama, sedangkan teks 
geguritan pada lingsa dan aturan-aturan diikat dalam pupuh-
pupuh. Jadi, mabebasan adalah menembangkan atau menyanyikan 
suatu wirama sesuai dengan pola-pola tertentu yang mengikatnya 
dan memberikan padanan atau artinya sehingga lebih mudah 
dipahami. Berikut ini diberikan dua bait contoh kakawin yang 
digunakan dalam mabebasan.
(Data 7-1) Kawit sarat samaya kāla nirār parangka, nton tang pradeśa ri 
hawanira kapwa ramya,kweh lwah magőng katĕmu de nira tirtha 
dibya,udyāna len talaga nirjhara kapwa mahning. (Wirama 
Basantatilaka, Ramayana). 
Tegesnyane
 Inggih ring sasih katigane sane nampih sasih kapat ri kala irika 
ida sang Rama kaping kalih arin ida sang laksmana lunga ka 
tengahing alas,raris kacingak ring salantang pamargin idane 
desa-desa makamiwah pajajahan idane sane dahat ulangun 
pisan, katah wyakti tukade sane ageng-ageng semaliha toyannyane 
dahat pisan, tios mangkin caritayang indik talaga sane wenten irika 
taler wenten tetamanan makamiwah ceburan toyanne bih wyakti 
toyannyane sami dahat pisan.
Terjemahan Indonesia Data 7-1:
Ketika awal musim berbunga beliau tiba di sana, sepanjang 
perjalanannya dilihatlah desa-desa yang sangat indah,  
banyak sungai yang besar airnya jernih ditemuinya, taman 
dengan kolamnya disertai pancuran yang  sangat jernih 
Artinya,
Pada akhir bulan ketiga (sekitar bulan September Masehi) 
menjelang bulan keempat (sekitar bulan Oktober Masehi) 
ketika Sang Rama dan adiknya Sang Laksmana pergi ke 
hutan, sepanjang perjalanannya di daerah-daerah yang 
dilaluinya terlihat sangat menakjubkan, banyak sungai yang 
besar-besar lagi pula airnya dalam sekali, lain lagi diceritakan 
tentang kolam dan taman dengan pancuran yang airnya 
besar.
(Data 7-2) Nahan tangguh nirang antĕn,tustodhani sirang kaka,kapwa 
nūsup sireng alas,adoh sangka ring aśrama (Wirama Anastub)
Tegesnyane
 Inggih sakadi asapunika wuwangun atur ida arin ida pamekasan 
sang Laksmana,mawastu ledang pakayunan ida sang kaka sang 
Ramadewa,sane mangkin sampun makakalih masusupan ring 
tengahing alas,tan dumadi sampun doh saking asrama.
Terjemahan Indonesia Data 7-2:
 Demikian nasihat adiknya (Sang Laksmana), senaglah hati 
kakaknya, lalu bersama beliau menyusup ke hutan, (sudah) 
jauh dari asrama.
Artinya
 Seperti itulah perkataan adiknya Sang Laksmana sehingga 
senanglah hati Sang Rama, saat ini keduanya sudah masuk 
ke dalam hutan tak disadari sudah jauh dari asrama.
Kedua data (7-1) dan (7-2) di atas menggunakan BJK 
kemudian diartikan ke dalam BB. Ketika menerjemahkan ke 
dalam BB ditemukan kosa kata BJK digunakan secara langsung 
yang disertai perubahan sistem/ kaidah dalam BB. Kata sasih, 
lunga, desa-desa, pajajahan, pada penerjemahan (7-1) dan pakayunan, 
mawastu, masusupan, sampun, doh, asrama pada penerjemahan 
(7-2). Kata lunga dalam BB merupakan kata yang diadopsi dari 
BJK lungha ‘pergi’. Demikian pula pada kata pakayunan yang 
berasal dari kata BJK hyun ‘ingin’ dalam BB menjadi kayun dengan 
proses afiksasinya. Hal ini menandakan bahwa BJK masih sering 
digunakan dalam masyarakat Bali.

Di masyarakat sering kata-kata BJK digunakan untuk 
memberi nasihat-nasihat pada anak-anak, sanak saudara, dan 
sebagainya. Hal itu dapat dilihat kutipan yang tercetak tebal 
perikut ini.
(Data 8) ”Luh, melahang ragane ngaba raga, sawireh gumine jani liu 
anake mapi-mapi luung nanging sujatine nguluk-nguluk, apang 
sing dadi kaucap luh jele, nirguna to luh,...”
Terjemahan Indonesia: 
 Anakku, bertingkah lakulah dengan baik karena jaman 
sekarang banyak orang berpura-pura baik namun 
sesungguhnya ingin menipu, agar tidak disebut perempuan 
hina, itu tak berguna”

 Teks Pidato/ Makalah
Penggunaan kosa kata BJK sangat banyak ditemukan 
dalam teks lomba berpidato berBB, baik hanya menyelipkan 
satu atau dua kata BJK ataupun lebih dari itu. Tidak jarang juga 
penggunaan ungkapan-ungkapan dari BJK secara langsung 
diadopsi ke dalam penggunaan pidato BB. Pernyataan itu dapat 
dilihat pada kutipan teks pidato berikut ini.
Data (9-1) “...., inggih punika: “moksartam Jagaditha ya ca iti Dharma, 
gemah lipah lohjinawi tata tentrem kerta raharja. Taler 
tatan kirang apangan kinum, wahya dhyatmika, sukha tan 
pawali duhka, majalaran pasuecan Ida Hyang Widhi Wasa”. 
(teks pidato yang diselenggarakan oleh Badan Arsip dan 
Dokumentasi Kota  Denpasar tahun 2012).
Terjemahan Indonesia:
“...., yaitu: kebahagian dunia itulah tujuan kebenaran, 
subur makmur aman sejahtera, semua tenteram tidak ada 
melanggar peraturan, juga tidak kurang makanan dan 
minuman, berbudi luhur, kesenangan tiada akhir, berkat 
anugerah Tuhan Yang Mahaesa”

Pada data (9-1) di atas tercermin tiga jenis bahasa yang 
digunakan, yakni bahasa Sansekerta, BJK, dan BB. Teks lain 
dengan ungkapan yang sama juga ditampilkan seperti berikut.
Data (9-2)  “Yan punika sida kaulati sareng sami, sinah jagat Baline landuh, 
gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja sekala-
niskala, sane kabaos moksartam jagat hita ya ca iti dharma 
(teks pidata yang diselenggarakan oleh Badan arsip dan 
Dokumentasi Kota  Denpasar).
Terjemahan Indonesia:
Jika itu yang kita cari, pasti Bali makmur, subur makmur 
aman sejahtera dunia dan akhirat, yakni kebahagian dunia 
itulah tujuan kebenaran.
Pada kedua kutipan teks pidato di atas terdapat  perbedaan 
bentuk ungkapan BJK yang ditunjukkan pada kata jagaditha, lipah 
pada data (9-1) dan jagathita, ripah pada data (9-2). Ungkapan 
tersebut diadopsi dari BJK dan digunakan secara utuh walaupun 
seringkali tidak sesuai dengan kaidah BJK. Ungkapan lain yang 
sering digunakan oleh masyarakat Bali yaitu “weruh ring aran, tan 
weruh ring rupa” artinya ‘tahu namanya, tidah tahu wajahnya’.
Eksistensi lainnya, penggunaan BJK pada masyarakat Bali 
dapat dilihat pada kutipan pidato berikut ini.
Data (9- 3) “Wenten kasurat ring kakawin Ramayana (watapatya) kaca 
52. Sakti singa katakut, ring wira sama winuwus, tatnanyan 
pamati-mati, yeka anung satirun-tirun. 
Artos ipun
 Kawisesan i singa ngajejehin, ring kawanenan tan patandingan 
kaucap, nanging plapan ipun yan amati-mati, punika wantah 
patut anggen tatuladan. (teks pidato yang diselenggarakan 
oleh Badan Arsip dan Dokumentasi Kota  Denpasar tahun 
2012).
Terjemahan Indonesia Data 9-3:
Seperti yang tersurat dalam Kakawin Ramayana (watapatya) 
halaman 52, kekuatan si singa me nakutkan, keberaniannya 
sudah terkenal, hati-hati ketika membunuh, itu pantas 
ditiru.
Artinya:
 Kekuatan si singa menakutkan, konon terkenal akan 
keberaniannya tiada tandingan, namun hati-hati ketika 
mau membunuh,  itu pantas ditiru.
Pada data (9-3) di atas, si orator mengungkapkan sebuah 
teks BJK kemudian diartos ‘diartikan lagi dengan menggunakan 
BB’. Dalam terjemahan BB ditemukan kosa kata BJK yaitu 
kawisesan ‘kepintaran’. Padahal BB sangat banyak mempunyai 
kosa kata yang dapat disetarakan dengan kata sakti  di atas. Kata 
kawisesan dapat disetarakan dengan kata kaduwegan, kawikanan, 
dan kapradnyan. Hal ini menunjukkan justru kata-kata BJK sangat 
memiliki peluang besar untuk dibangkitkan kembali untuk 
menambah kosa kata BB sehingga BB tampak lebih  bergereget. 
Para pakar bahasa dan budaya Bali menyebutkan bahwa “BJK 
merupakan taksu budaya Bali”. Demikian pula pada teks pidato  
menggunakan kosa kata BJK yowana ‘remaja’, kenapa lebih 
senang menggunakan kata itu, sedangkan BB sendiri memiliki 
padanan yang cocok untuk merujuk kata tersebut, yakni daa 
truna, bajang-bajang, anom-anom, truna-truni. Kata-kata itu dikutip 
pada teks pidato (9-4) berikut ini.
Data (9-4) Gegambelan sekadi musik gegendingan basa Inggris nyusup ring 
pedusunan, ring pos kamling akeh para yowanane ngontak 
gegendingan barat mesuara cedag-cedug yadiastun rerahinan 
Galungan”.
Terjemahan Indonesia Data 9-4:
 Irama musik seperti lagu berbahasa Inggris (sudah) masuk 
pedesaan, di pos kamling banyak remaja memutar lagu 
barat bersuara keras walaupun hari raya Galungan”
Data (9-5) ..., raris kaweruhanne punika anggen nyanggra kauripan 
wekasan, duaning punika marupa kapatutan iraga maprawreti, 
maka panrestian jadma Bali luih guna 
Terjemahan Indonesia Data 9-5:
..., kemudian pengetahuan itu (seharusnya) digunakan 
untuk menyongsong kehidupan yang akan datang sebagai 
landasan kita bertingkah laku, sebagai manusia Bali yang 
baik dan berguna”
Kata kaweruhan pada data (9-5) dapat disejajarkan dengan 
kata kawisesan dalam BB. Kata kaweruhan juga sering digunakan 
oleh masyarakat Bali untuk mengungkapkan suatu pengetahuan 
yang diinginkan. Kata kaweruhan secara langsung digunakan 
dengan mengikuti sistem/ kaidah dalam BB. Demikian pula, 
pada kata maprawreti. Kata maprawrěti terkadang diucapkan 
maprawerti. Kata-kata lain, seperti kasukrětan dalam BB diucapkan 
kasukertan. 
Selain teks pidato, penggunaan BJK ditemukan pada 
kumpulan makalah Kongres BB tahun 2001. Hal itu dapat dilihat 
kutipan berikut ini.
Data  (10)  “Kahanan susastra Bali Purwa sampun wenten duk isaka 
warsa  831”.
 
Terjemahan Indonesia:
    “Keberadaan sastra Bali Purwa (tradisional) sudah ada 
sejak tahun isaka 831 (909 Masehi)”
Pada kutipan tersebut terdapat kosa kata BJK kahanan 
‘keberadaan’. kalau dicari padanannya dalam BB adalah 
kawentenan ‘keberadaan’. Penulis menilai bahwa penggunaan 
kata-kata seperti itu menampakkan suatu pengetahuan bagi 
pemakalah yang mengetahui tentang BJK, sehingga makalahnya 
tampak lebih memiliki nuansa yang berbeda.
Penutup
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa 
BJK masih digunakan dalam masyarakat Bali dalam berbagai 
ranahnya. Penggunaan kosa kata BJK lebih banyak digunakan 
dalam situasi formal, di samping itu digunakan dalam situasi 
nonformal. Seperti yang telah dideskripsikan di atas bahwa 
pada ranah-ranah tertentu penggunaan BJK masih eksis di Bali. 
Penggunaan kosa kata yang berasal dari BJK memiliki kesan 
lebih arkais dan estetis. Mengingat BJK pernah sebagai bahasa 
persatuan di Nusantara maka bahasa ini wajar banyak dipinjam 
sebagai kosa kata BB.
Hal yang perlu disarankan bahwa ada kemungkinan 
besar bahwa BJK tidak hanya terdapat di Bali melainkan juga 
bisa terdapat di sejumlah bahasa daerah lain di Nusantara. Oleh 
karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai 
eksistensi BJK di Nusantara.