Tampilkan postingan dengan label kerajaan pajajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan pajajaran. Tampilkan semua postingan
kerajaan pajajaran
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
kerajaan pajajaran
“...boh Prabu Siliwangi boh karajaan Pajajaran nepi ka kiwari henteu aya
buktina sacara historis” (“ ... sampai sekarang kerajaan Pajajaran dan Prabu
Siliwangi tidak ada buktinya secara historis”)
“Pajajaran” dan “Siliwangi” merupakan dua nama yang sangat melekat
pada emosi masyarakat di Tatar Sunda. Tidak banyak nama yang bernuansa
sejarah dipakai dengan penuh kebanggaan untuk nama kekinian. Pajajaran dan
Siliwangi adalah nama “yang tidak banyak itu”. Pajajaran menjadi nama
universitas terkenal di Jawa Barat, selain dijadikan nama Gelanggang Olah Raga,
jalan, plaza, dan nama-nama yang lainnya. Demikian juga dengan nama
Siliwangi, sebagai nama universitas di Tasikmalaya, kompleks kampus UPI Bumi
Siliwangi, Kodam III Siliwangi, dan stadion Siliwangi. Ketika muncul pendapat
yang menyoal keberadaan kedua nama itu secara historis, tak ayal lagi muncul
banyak reaksi.
Pernyataan Ayip Rosidi di atas disampaikan dalam Orasi Ilmiah
Penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Bidang Ilmu Budaya Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran pada tanggal 31 Januari 2011. Pernyataan di atas
sangat tegas, mendasar, dan bahkan terkesan bersifat vonistis. Implisit di dalam
pernyataan itu serangkaian pertanyaan:
1. Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu (pernah) ada atau tidak
ada? atau
2. Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu historis atau mitos?
Berkait dengan dua pertanyaan itu sebaiknya kita merujuk pada dalil: “ada
sumber ada sejarah, tidak ada sumber tidak ada sejarah”. Pernyataan yang
aksiomatik ini hampir tak terbantahkan lagi kebenarannya. Sekarang
pertanyaannya adalah adakah sumber (sources, facts) yang menunjukkan
eksistensi Pajajaran dan Prabu Siliwangi? Dalam makalah ini akan dibahas
terlebih dahulu mengenai Pajajaran.
Sumber yang berkaitan dengan Pajajaran ini bukan sekedar ada, tapi
banyak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Pajajaran tidak perlu
diragukan. Kalau pun ada yang perlu didiskusikan, bukan lagi persoalan “apakah
Pajajaran pernah ada atau tidak” dan “adakah bukti historis mengenai
keberadaannya”, karena persoalan ini sudah sangat jelas dan sudah menjadi fakta
keras (hard-fact). Akan tapi yang masih menarik didiskusikan adalah mengenai
persoalan-persoalan lain seperti mana yang lebih tepat di antara tiga nama yang
disebut dalam sumber: Pakuan Pajajaran, Pakuan, atau Pajajaran; apakah Pakuan
Pajajaran itu nama keraton, nama (ibu) kota atau nama kerajaan; siapa pendiri
keraton Pakuan Pajajaran, tahun berapa kerajaan itu didirikan, di mana letaknya,
dan sebagainya.
Sesungguhnya, persoalan-persoalan seputar Pajajaran dan Siliwangi ini
sudah hampir “tamat” dikaji oleh para peneliti terdahulu, baik peneliti asing
maupun dalam negeri. Sekedar menyebut beberapa saja, mereka adalah: ten Dam
(1957), Friederich (1853), Hageman (1867), Holle (1967; 1969) Noorduyn (1959;
1962), Pleyte (1911; 1914; 1915), Poerbatjaraka (1921), Sutaarga (1965), Atja
(1968; 1970; 1972), Saleh Danasasmita (1975; 1983; 2003; 2006; 2006). Di antara
peneliti-peneliti itu Saleh Danasasmita yang paling kemudian. Keluasan
penguasaannya terhadap sumber-sumber tradisional dan kekritisannya yang sangat
tajam, Saleh Danasasmita mendekonstruksi pendapat-pendapat yang dikemukakan
oleh para peneliti seniornya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis lebih
banyak mendasarkan pemahaman pada pendapat-pendapat Saleh Danasasmita,
termasuk kutipan-kutipan sumber-sumber tradisionalnya.
Dengan demikain, secara awal dapat dikatakan bahwa jangankan sekedar
eksistensinya (ada atau tidak ada secara historis), persoalan-persoalan lainnya
yang lebih rumit pun mengenai Pajajaran dan Siliwangi sudah dibahas. Persoalan
eksistensi, faktanya sudah “keras” dan persoalan-persoalan lainnya bisa jadi masih
lunak (soft-fact). Artinya, masih terbuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran
baru seiring dengan perkembangan teori, metodologi, dan temuan fakta baru.
Mengenai nama dan keberadaan “Pakuan Pajajaran” terdapat pada
beberapa sumber. Sumber-sumber yang memuat nama Pakuan Pajajaran bisa
dikategorikan otentik, orisinal, dan sezaman. Sumber ini tidak kurang dari
enam buah, terdiri atas lima lembar berupa prasasti tembaga (dari Desa
Kebantenan, Bekasi, dikumpulkan oleh Raden Saleh)3 dan prasasti batu yang ada
di lingkungan Batutulis, Kecamatan Kota Bogor Selatan. Prasasti tembaga
Prasasti Kebantenan dibuat pada zaman Sri Baduga, tentu atas perintah Sri Baduga karena
semuanya berupa piagam resmi.
Kebantenan yang lima itu memuat tiga hal, dua lembar berupa piteket4 dan tiga
lembar berupa sakakala5 ,Bunyi sumber-sumber itu
sebagai berikut:
Piteket I:
“Pun, ini piteket nu séba ka Pajajaran”.
Piteket II:
“Pun, ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratu
Déwata”.
Sakakala:
“Ong awignam astu, nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kancana, maka
nguni ka Susuhunan di Pakuan Pajajaran pun”.
Prasasti Batutulis:
“Wangna pun, ini sakakala, Prebu Ratu purané pun, diwastu diya wingaran
Prebu Guru Déwataprana diwastu diya dingaran Sri Baduga Maharaja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Déwata pun ya nu nyusuk na
Pakwan …”.
(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, dilantik beliau memakai nama
Prabu Guru Dewataprana, dilantik (lagi) dengan nama Sri Baduga Maharaja
Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata).
Sumber-sumber lain yang mejadi petunjuk keberadaan Pakuan Pajajaran
adalah:
1) Carita Parahiyangan:
“Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri
Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang
Sri Ratudéwata”
(Sang Susuktunggal, yaitu yang membuat tempat duduk bagi yang masyhur
keindahan gelarnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran,
yang tinggal di kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu
pakuan Sanghiyang Sri Ratudéwata).
2) Koropak 406 atau Fragmen Carita Parahiyangan:
“Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan
Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul
siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di
Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem”.
(Tiba di Pakuan Ilalu bertahta ddi keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Selesailah semua diisi bekas para leluhur penyelang oleh Rakéyan
Darmasiksa. Kemudian diperluas sampai selesai. Diceritakan Rakéyan
Darmasiksa lamanya berkuasa sebagau ratu di Pakuan 110 tahun. Beliau
berkuasa lama sebagai ratu di Pakuan Pajajaran. Selesai ditulis pada tahun
30)
3) Naskah lontar MSA. Naskah lontar (sebetulnya nipah) ditemukan di
Kabuyutan Ciburuy oleh Brandes. Naskah ini disebut juga Naskah MSA.
Pembukaan pada naskah ini berbunyi:
“Awignamastu. Nihan tembey sasakala Rahyang Banga masa siya nyusuk na
Pakwan”.
(Semoga selamat. Begini permulaannya peringatan Rahiyang Banga waktu
beliau nyusuk Pakwan).
4) Carita Parahiyangan:
“Sang Haliwungngan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakuan”.
(Sang Haliwungan, yaitu Sang Susuktunggal yang ngabaru di Pakuan).
5) Naskah 406:
“Di inya urut kadatwan. Ku bujangga Sédamanah ngaran Sri Kadatwan
Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku
Maharaja Tarusbawa jeung bujangga Sédamanah. Disiar ka hulu
Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Majayajati ku bujangga Sédamanah,
7
dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”.
(Di sana bekas keraton. Oleh bujangga Sédamanah diberi nama Sri Kadatwan
Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesai [dibangun] diberi
berkah oleh Maharaja Tarusbawa dan bujangga Sédamanah. Dicari ke hulu
Cipakancilan. Ketemu Bagawat Sunda Majayajati oleh bujangga Sédamanah,
dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
6) Prasati Kebantenan I:
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang
Ratudéwata”.
7) Prasasti Kabantenan II:
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang
Ratudéwata”.
8) Piagem Kabantenan V:
“Pun, ini piketet nu seba ka Pajajaran, miteketan kabuyutan di Sunda
Sembawa .”
9) Prasasti Kebantenan I – III:
“Ong Awignamastu nihan sakakala ra Rahyang Niskala Wastu Kancana,
maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran”.
Dari sumber-sumber di atas ada tiga nama yang digunakan: Pakuan,
Pajajaran, dan Pakuan Pajajaran. Ketiga nama itu menunjuk pada maksud yang
sama untuk identitas yang sama pula. Dengan demikian, Pakuan/Pajajaran/Pakuan
Pajajaran sebagai nama diri atau nama identitas eksistensinya dapat
dipertanggungjawabkan secara historis.
Dalam sumber-sumber di atas, memang, tidak ada yang secara eksplisit
menyebutkan bahwa Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama kerajaan.
Bukti-bukti sejarah yang ada, hampir bisa dipastikan, semuanya menunjuk pada
nama pusat kerajaan atau ibu kota.6 Kerajaannya sendiri dikenal dengan nama
Kerajaan Sunda. Nama inilah yang digunakan terutama oleh “orang luar” ketika
menyebut kerajaan yang ada di Tatar Sunda.
Namun demikian, harus diakui bahwa tidak jarang nama kerajaan lebih
dikenal melalui nama ibu kotanya. Dalam hal ini, istilah “Kerajaan Pajajaran”
berarti “Kerajaan Sunda yang ibu kotanya bernama Pajajaran”. Bahwa nama
keraton kemudian meluas menjadi nama ibu kota dan nama kerajaan adalah hal
yang biasa. Sebagai contoh, dalam prasasti Putih di Lampung Kesultanan Banten
dinamakan ‘Nagara Surasowan”, padahal Surasowan itu nama keraton Banten.
Saunggalah adalah nama keraton, tapi kemudian menjadi nama kota. Yogyakarta
pun sebenarnya nama keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi kemudian jadi
populer sebagai nama kesultanan/kerajaan (Danasasmita, 1975: 59). Dengan
demikian, melalui konstruksi bernalar seperti itu Kerajaan Pajajaran sebagai
sebuah eksistensi bisa diakui keberadaannya secara historis.
Tentang asal-usul dan arti kata Pakuan Pajajaran sendiri terdapat banyak
pendapat (Sumadio, 1974: 383), yaitu:
1) Menghubungkan kata pakwan dengan paku (sejenis pohon, cycas circinalis),
sedangkan kata pajajaran diartikan sebagai tempat yang berjajar. Pakuan
pajajaran diartikan sebagai tempat dengan pohon paku yang berjajar
2) Menghubungkan kata pakwan dengan kata kuwu. Dengan menunjukkan bukti
bahwa sebutan pakuwan dan kuwu terdapat dalam Nagarakertagama.
6 Pajajaran sebagai nama kerajaan ditemukan terutama dalam naskah-naskah yang bernilai sastra,
termasuk carita pantun. Dalam carita pantun bahkan disebutkan Pajajaran terbagi tiga wilayah:
Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah, dan Pajajaran Barat (Sumadio, 1974: 376).
9
3) Kata pakwan berasal dari kata paku (pasak). Kata paku dapat dihubungkan
dengan lingga kerajaan yang terletak di samping prasasti Batutulis. Paku
(lingga) berarti pusat atau poros dunia serta sangat erat hubungannya dengan
kedudukan raja sebagai pusat jagat.
Ketiga pendapat di atas dibantah oleh Saleh Danasasmita (2003: 18-19).
Dengan berdasar pada Carita Parahiyangan7 dan Koropak 406 yang disebut juga
Fragmen Carita Parahiyangan8, beliau bersimpulan bahwa Pakuan Pajajaran
berarti “keraton yang berjajar”. Dikatakan “berjajar” karena jumlah bangunan
keratonnya ada lima yang masing-masing diberi nama: Bima, Punta, Narayana,
Madura, dan Suradipati.
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berbentuk “federal” yang
membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja “kecil”. Di
antaranya adalah Sangiang, Saunggalah, Sindangkasih, Banten, Cirebon, Galuh,
Kawali, dan Pakuan. Hanya tiga kerajaan yang disebut terakhir inilah yang pernah
menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda. Pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda
memang berpindah-pindah.
Mengenai kerjaan Pakuan Pajajaran sendiri sudah berdiri sejak awal abad
ke-8. Pendirinya adalah Maharaja Tarusbawa (identik dengan nama Tohaan di
Sunda)9. Keterangan ini didasarkan pada beberapa sumber, yaitu Koropak 406,
Carita Parahiyangan, Pransasti Canggal, dan naskal lontar MSA.
7 Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura
Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata
8 Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya
dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus
sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem.
9 Tarusbawa diganti oleh mantunya bernama Maharaja Harisdarma (identik dengan Sanjaya).
Harisdarma diganti oleh puteranya bernama Tamperan. Tamperan diganti oleh anaknya bernama
Rahiyang Banga (Danasasmita, 2003: 23). Sanjaya bias dipastikan berkuasa pada abad ke-8,
karena beliau membuat Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Bila pada zaman Sanjaya Pakuan
Pajajaran sudah ada maka dapat dipastikan Pakuan Pajajaran sudah ada setidaknya pada awal abad
ke-8.
10
III. Prabu Siliwangi
3.1 Nama Prabu Siliwangi
Nama Prabu Siliwangi pun bukan nama imajinatif, bukan nama mitos tapi
nama yang historis. Artinya nama ini memiliki pijakan historis. Dengan demikian,
diskusi kita pun tidak lagi pada persoalan “apakah Prabu Siliwangi itu ada atau
tidak ada secara historis” karena keberadaannya didukung oleh fakta yang kuat
(hard-fact), setidaknya fakta mental dan fakta sosial (mentifact dan socifact).
Yang menarik didiskusikan adalah apakah Prabu Siliwangi itu nama sejati atau
nama alias/julukan/gelar. Kalau itu nama alias/gelar/julukan, nama itu identik
dengan nama siapa. Juga, apakah gelar ini untuk seorang tokoh atau beberapa
toloh? Kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah sumber/fakta.
Adakah sumber/fakta sejarah yang bisa menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi?
Keberadaan Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada beberapa naskah kuna, di
antaranya: Naskah Carita Parahiyangan episode XVI (di Perpustakaan Nasional
RI Jakarta), Naskah Bujangga Manik (di Perpustakaan Oxford Inggris), Naskah
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (naskah lontar abad XVI, koropal 421),
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah yang masih kontroversial
Naskah Wangsakerta (di Museum Sribaduga Bandung). Pada awal abad ke-16 pun
nama Siliwangi sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam cerita pantun.
Muncul pertanyaan: nama Prabu Siliwangi itu identik dengan nama siapa?
Pertanyaan ini muncul mengingat dalam daftar nama raja Pajajaran tidak
ditemukan nama ini. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Prabu Siliwangi
merupakan raja terbesar Kerajaan Pajajaran? Pertanyaan ini muncul mengingat
betapa populernya nama ini, bahkan hampir menenggelamkan keberadaan nama-
nama raja yang lain. Secara asumsi, tidak mungkin nama ini muncul, bahkan
populer bila nama ini “euweuh di kieuna”, atau menurut istilah Ayip Rosidi
“henteu aya buktina sacara historis”!
Konkretnya, di antara sumber yang memuat nama Siliwangi adalah
sebagai berikut.
1) Carita Parahiyangan:
“Manak deui Prebu Maharaja, tawasniya ratu tujuh tahun, kéna kabawa ku
kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung
dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakiyan
di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu. Prebu Wangi
ngaranna, inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusalarang
ring giri Wanakusuma”.
2) Carita Purwaka Caruban Nagari:
“Hana ta sira natha gung ng siniwi Pakwan Pajajaran Sang Prabu
Siliwangi ngaranira, anak Sang Prabu Anggalarang, ring Galuh wangsa
nira, ikang rumuhun paradyéng Surawisésa kadatwan ng parahyangan
kapernah wétan mandala nira. … Datan lawas pantaraning inabhisekan ta
Sang Prabu Siliwangi dumadyakna Naradhipa hing Pakwan Pajajaran
déning uwa nira, irika ta sira lawan winastwan Sang Prabu Dewatawisésa
paradyéng Pakwan kadatwan yatika Sang Bima wastana”.
3) Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian:
“Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Haturwangi, prépantun tanya”.
Yang sudah jelas dari persoalan ini adalah Prabu Siliwangi itu bukan nama
sejati tapi nama alias/julukan/gelar. Poin yang menarik ketika membicarakan
Prabu Siliwangi adalah menyoal tokoh ini identik dengan raja yang mana?
Mengenai hal ini setidaknya muncul dua pendapat. Pertama, tokoh Prabu
Siliwangi itu banyak. Undang A. Darsa (2011: 32) berpendapat bahwa dari 32
raja Kerajaan Sunda ada empat yang mendapat gelar Prabu Siliwangi. Mereka
adalah raja yang saat memerintah Kerajaan Sunda ditandai dengan geopolitik
yang guncang yang terjadi pada abad ke-15 dan 16, yaitu saat Barat masuk, saat
Majapahit runtuh, dan saat masyarakat agraris mulai berkenalan dengan ekonomi
dagang. Sayang, Undang A. Darsa tidak menyebutkan keempat raja itu siapa saja
namanya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu
tujuh, bahkan sampai dua belas orang. Tampaknya ada anggapan bahwa Siliwangi
itu gelar resmi raja sehingga setiap raja Pajajaran disebut Siliwangi
Pendapat kedua menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu.
Tokoh itu identik dengan Prabu Jayadewata. Terhadap pendapat ini, Ayat Rohaedi
(?) (dalam Sumadio, 1993: 394) memberi tanggapan bahwa mengidentikkan
Prabu Siliwangi dengan tokoh Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, 1482 –
1521) sebagaimana disebut dalam Carita Parahiyangan dianggap terlalu berani.
Mengapa? Raja yang masih memerintah atau baru beberapa tahun meninggal
dunia sudah disebut-sebut namanya sebagai tokoh ceritera patun (pada tahun 1518
atau sebelumnya) dianggap sebagai “pamali”. Tanggapan di atas dikritik oleh
Saleh Danasamita, bahwa mengangkat tokoh yang masih hidup dalam sebuah
cerita (pantun atau kakawen, misalnya) sudah lumrah. Terdapat beberapa contoh
kasus mengenai hal ini. Empu Kanwa mengangkat lakon raja Erlangga dalam
Kakawen Arjuna Wiwaha; Empu Darmaja mengangkat lakon perkawinan Raja
Kameswara dalam Kakawen Smardahana, Empu Sedah dan Empu Panukuh
mengangkat lakon Raja Jayabaya dalam Kakawen Bharatayuddha. Lakon cerita
dan sang tokoh hidup sezaman.
Hasil dari koroborasi beberapa sumber (Purwaka Caruban, Naskan
Pamarican, Waruga Jagat, Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Babad
Siliwangi) yang dilakukan oleh Saleh Danasasmita tampaknya pendapat yang
lebih kuat adalah Prabu Siliwangi itu hanya satu dan identik dengan tikih raja
yang bernama Prabu Jayadewata atau Sri Badugamaharaja yang berkuasa sebaga
raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1482 – 1521.
Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau
ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga
wawangi atau kakasih. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh,
terkenal, dan punya nama harum.
Secara historis tokoh ini memang berganti nama (asilih wewangi,
silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua
kalinya. Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi raja
Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji
di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada Prasasti Batu Tulis disebutkan:
“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru
Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.
(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan
nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”).
Nama resmi raja dalam bahasa Sunda disebut wawangi. Arti harfiyahnya
adalah wewangi (seuseungit). Disebut demikian karena harum dan masyhurnya
raja tampak dalam nama resminya. Keterangan Babad Siliwangi yang
menyebutkan nama siliwangi berarti asilih wewangi (mengganti nama) cocok
dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alas an ganti nama
atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan
Siliwangi
1. Keberadaan kerajaan Pajajaran adalah historis, bukan mitos, bukan dongeng.
Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Nama kerajaan Pajajaran harus
dibaca sebagai Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajajaran.
Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran.
2. Keberadaan Prabu Siliwangi pun adalah historis, bukan mitos, bukan
dongeng. Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Raja Pajajaran yang
dijuluki Prabu Siliwangi hanya satu . Prabu Siliwangi identik dengan Sri
Baduga Maharaja.