• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan pajajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan pajajaran. Tampilkan semua postingan

kerajaan pajajaran


 


“...boh Prabu Siliwangi boh karajaan Pajajaran nepi ka kiwari henteu aya 
buktina sacara historis” (“ ... sampai sekarang kerajaan Pajajaran dan Prabu 
Siliwangi tidak ada buktinya secara historis”)  
 
“Pajajaran” dan “Siliwangi” merupakan dua nama yang sangat melekat 
pada emosi masyarakat di Tatar Sunda. Tidak banyak nama yang bernuansa 
sejarah dipakai dengan penuh kebanggaan untuk nama kekinian. Pajajaran dan 
Siliwangi adalah nama “yang tidak banyak itu”. Pajajaran menjadi nama 
universitas terkenal di Jawa Barat, selain dijadikan nama Gelanggang Olah Raga, 
                                                            
jalan, plaza, dan nama-nama yang lainnya. Demikian juga dengan nama 
Siliwangi, sebagai nama universitas di Tasikmalaya, kompleks kampus UPI Bumi 
Siliwangi, Kodam III Siliwangi, dan stadion Siliwangi. Ketika muncul pendapat 
yang menyoal keberadaan kedua nama itu secara historis, tak ayal lagi muncul 
banyak reaksi. 
Pernyataan Ayip Rosidi di atas disampaikan dalam Orasi Ilmiah 
Penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Bidang Ilmu Budaya Fakultas 
Sastra Universitas Padjadjaran pada tanggal 31 Januari 2011. Pernyataan di atas 
sangat tegas, mendasar, dan bahkan terkesan bersifat vonistis. Implisit di dalam 
pernyataan itu serangkaian pertanyaan: 
1. Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu (pernah) ada atau tidak 
ada? atau  
2. Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu historis atau mitos?  
 Berkait dengan dua pertanyaan itu sebaiknya kita merujuk pada dalil: “ada 
sumber ada sejarah, tidak ada sumber tidak ada sejarah”. Pernyataan yang 
aksiomatik ini hampir tak terbantahkan lagi kebenarannya. Sekarang 
pertanyaannya adalah adakah sumber (sources, facts) yang menunjukkan 
eksistensi Pajajaran dan Prabu Siliwangi? Dalam makalah ini akan dibahas 
terlebih dahulu mengenai Pajajaran. 
Sumber yang berkaitan dengan Pajajaran ini bukan sekedar ada, tapi 
banyak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Pajajaran tidak perlu 
diragukan.  Kalau pun ada yang perlu didiskusikan, bukan lagi persoalan “apakah 
Pajajaran pernah ada atau tidak” dan “adakah bukti historis mengenai 
keberadaannya”, karena persoalan ini sudah sangat jelas dan sudah menjadi fakta 
keras (hard-fact). Akan tapi yang masih menarik didiskusikan adalah mengenai 
persoalan-persoalan lain seperti mana yang lebih tepat di antara tiga nama yang 
disebut dalam sumber: Pakuan Pajajaran, Pakuan, atau Pajajaran; apakah Pakuan 
Pajajaran itu nama keraton, nama (ibu) kota atau nama kerajaan; siapa pendiri 
keraton Pakuan Pajajaran, tahun berapa kerajaan itu didirikan, di mana letaknya, 
dan sebagainya. 
 
 
Sesungguhnya, persoalan-persoalan seputar Pajajaran dan Siliwangi ini 
sudah hampir “tamat” dikaji oleh para peneliti terdahulu, baik peneliti asing 
maupun dalam negeri. Sekedar menyebut beberapa saja, mereka adalah: ten Dam 
(1957), Friederich (1853), Hageman (1867), Holle (1967; 1969) Noorduyn (1959; 
1962), Pleyte (1911; 1914; 1915), Poerbatjaraka (1921), Sutaarga (1965), Atja 
(1968; 1970; 1972), Saleh Danasasmita (1975; 1983; 2003; 2006; 2006). Di antara 
peneliti-peneliti itu Saleh Danasasmita yang paling kemudian.  Keluasan 
penguasaannya terhadap sumber-sumber tradisional dan kekritisannya yang sangat 
tajam, Saleh Danasasmita mendekonstruksi pendapat-pendapat yang dikemukakan 
oleh para peneliti seniornya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis lebih 
banyak mendasarkan pemahaman pada pendapat-pendapat Saleh Danasasmita, 
termasuk kutipan-kutipan sumber-sumber tradisionalnya. 
Dengan demikain, secara awal dapat dikatakan bahwa jangankan sekedar 
eksistensinya (ada atau tidak ada secara historis), persoalan-persoalan lainnya 
yang lebih rumit pun mengenai Pajajaran dan Siliwangi sudah dibahas. Persoalan 
eksistensi, faktanya sudah “keras” dan persoalan-persoalan lainnya bisa jadi masih 
lunak (soft-fact). Artinya, masih terbuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran 
baru seiring dengan perkembangan teori, metodologi, dan temuan fakta baru. 
 
 
Mengenai nama dan keberadaan “Pakuan Pajajaran” terdapat pada 
beberapa  sumber. Sumber-sumber yang memuat nama Pakuan Pajajaran bisa 
dikategorikan otentik, orisinal, dan sezaman. Sumber ini  tidak kurang dari 
enam buah, terdiri atas lima lembar berupa prasasti tembaga (dari Desa 
Kebantenan, Bekasi, dikumpulkan oleh Raden Saleh)3 dan prasasti batu yang ada 
di lingkungan Batutulis, Kecamatan Kota Bogor Selatan. Prasasti tembaga 
                                                             
 Prasasti Kebantenan dibuat pada zaman Sri Baduga, tentu atas perintah Sri Baduga karena 
semuanya berupa piagam resmi. 
 
 
Kebantenan yang lima itu memuat tiga hal, dua lembar berupa piteket4 dan tiga 
lembar berupa sakakala5 ,Bunyi sumber-sumber itu 
sebagai berikut: 
Piteket I: 
“Pun, ini piteket nu séba ka Pajajaran”. 
Piteket II: 
“Pun, ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratu 
Déwata”. 
 
Sakakala: 
“Ong awignam astu, nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kancana, maka 
nguni ka Susuhunan di Pakuan Pajajaran pun”. 
 
Prasasti Batutulis: 
“Wangna pun, ini sakakala, Prebu Ratu purané pun, diwastu diya wingaran 
Prebu Guru Déwataprana diwastu diya dingaran Sri Baduga Maharaja Ratu 
Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Déwata pun ya nu nyusuk na 
Pakwan …”. 
(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, dilantik beliau memakai nama 
Prabu Guru Dewataprana, dilantik (lagi) dengan nama Sri Baduga Maharaja 
Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata). 
Sumber-sumber lain yang mejadi petunjuk keberadaan Pakuan Pajajaran 
adalah: 
1) Carita Parahiyangan: 
 
“Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri 
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri 
Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang 
Sri Ratudéwata”  
 
(Sang Susuktunggal, yaitu yang membuat tempat duduk bagi yang masyhur 
keindahan gelarnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran, 
yang tinggal di kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu 
pakuan Sanghiyang Sri Ratudéwata). 
 
2) Koropak 406 atau Fragmen Carita Parahiyangan: 
 
“Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura 
Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan 
Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul 
siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di 
Pakwan Pajajaran pun.  Telas sinurat bwana kapedem”.    
(Tiba di Pakuan Ilalu bertahta ddi keraton Sri Bima Punta Narayana Madura 
Suradipati. Selesailah semua diisi bekas para leluhur penyelang oleh Rakéyan 
Darmasiksa. Kemudian diperluas sampai selesai. Diceritakan Rakéyan 
Darmasiksa lamanya berkuasa sebagau ratu di Pakuan 110 tahun. Beliau 
berkuasa lama sebagai ratu di Pakuan Pajajaran. Selesai ditulis pada tahun 
30) 
 
3) Naskah lontar MSA. Naskah lontar (sebetulnya nipah) ditemukan di 
Kabuyutan Ciburuy oleh Brandes. Naskah ini disebut juga Naskah MSA. 
Pembukaan pada naskah ini berbunyi: 
 
“Awignamastu. Nihan tembey sasakala Rahyang Banga masa siya nyusuk na 
Pakwan”. 
(Semoga selamat. Begini permulaannya peringatan Rahiyang Banga waktu 
beliau nyusuk Pakwan). 
 
4) Carita Parahiyangan: 
 
“Sang Haliwungngan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakuan”. 
(Sang Haliwungan, yaitu Sang Susuktunggal yang ngabaru di Pakuan). 
 
5) Naskah 406:  
 
“Di inya urut kadatwan. Ku bujangga Sédamanah ngaran Sri Kadatwan 
Bima Punta Narayana  Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku 
Maharaja Tarusbawa jeung bujangga Sédamanah. Disiar ka hulu 
Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Majayajati ku bujangga Sédamanah, 
 
dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”. 
(Di sana bekas keraton. Oleh bujangga Sédamanah diberi nama Sri Kadatwan 
Bima Punta Narayana  Madura Suradipati. Selesai [dibangun] diberi 
berkah oleh Maharaja Tarusbawa dan bujangga Sédamanah. Dicari ke hulu 
Cipakancilan. Ketemu Bagawat Sunda Majayajati oleh bujangga Sédamanah, 
dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa). 
 
6) Prasati Kebantenan I: 
 
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang 
Ratudéwata”. 
 
7) Prasasti Kabantenan II: 
 
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang 
Ratudéwata”. 
 
8) Piagem Kabantenan V: 
 
“Pun, ini piketet nu seba ka Pajajaran, miteketan kabuyutan di Sunda 
Sembawa .” 
 
9) Prasasti Kebantenan I – III: 
 
“Ong Awignamastu nihan sakakala ra Rahyang Niskala Wastu Kancana, 
maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran”. 
 
Dari sumber-sumber di atas ada tiga nama yang digunakan: Pakuan, 
Pajajaran, dan Pakuan Pajajaran. Ketiga nama itu menunjuk pada maksud yang 
sama untuk identitas yang sama pula. Dengan demikian, Pakuan/Pajajaran/Pakuan 
Pajajaran sebagai nama diri atau nama identitas eksistensinya dapat 
dipertanggungjawabkan secara historis. 

Dalam sumber-sumber di atas, memang, tidak ada yang secara eksplisit 
menyebutkan bahwa Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama kerajaan. 
Bukti-bukti sejarah yang ada, hampir bisa dipastikan, semuanya menunjuk pada 
nama pusat kerajaan atau ibu kota.6 Kerajaannya sendiri dikenal dengan nama 
Kerajaan Sunda. Nama inilah yang digunakan terutama oleh “orang luar” ketika 
menyebut kerajaan yang ada di Tatar Sunda.   
Namun demikian, harus diakui bahwa tidak jarang nama kerajaan lebih 
dikenal melalui nama ibu kotanya. Dalam hal ini, istilah “Kerajaan Pajajaran” 
berarti “Kerajaan Sunda yang ibu kotanya bernama Pajajaran”. Bahwa nama 
keraton kemudian meluas menjadi nama ibu kota dan nama kerajaan adalah hal 
yang biasa. Sebagai contoh, dalam prasasti Putih di Lampung Kesultanan Banten 
dinamakan ‘Nagara Surasowan”, padahal Surasowan itu nama keraton Banten. 
Saunggalah adalah nama keraton, tapi kemudian menjadi nama kota.  Yogyakarta 
pun sebenarnya nama keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi kemudian jadi 
populer sebagai nama kesultanan/kerajaan (Danasasmita, 1975: 59). Dengan 
demikian, melalui konstruksi bernalar seperti itu Kerajaan Pajajaran sebagai 
sebuah eksistensi bisa diakui keberadaannya secara historis. 
Tentang asal-usul dan arti kata Pakuan Pajajaran sendiri terdapat banyak 
pendapat (Sumadio, 1974: 383), yaitu: 
1) Menghubungkan kata pakwan  dengan paku  (sejenis pohon, cycas circinalis), 
sedangkan kata pajajaran diartikan sebagai tempat yang berjajar. Pakuan 
pajajaran  diartikan sebagai tempat dengan pohon paku yang berjajar 
2) Menghubungkan kata pakwan dengan kata kuwu. Dengan menunjukkan bukti 
bahwa sebutan pakuwan dan kuwu terdapat dalam Nagarakertagama. 
                                                             
6 Pajajaran sebagai nama kerajaan ditemukan terutama dalam naskah-naskah yang bernilai sastra, 
termasuk carita pantun.  Dalam carita pantun bahkan disebutkan Pajajaran terbagi tiga wilayah: 
Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah, dan Pajajaran Barat (Sumadio, 1974: 376). 
 
3) Kata pakwan  berasal dari kata paku (pasak). Kata paku dapat dihubungkan 
dengan lingga kerajaan yang terletak di samping prasasti Batutulis. Paku 
(lingga) berarti pusat atau poros dunia serta sangat erat hubungannya dengan 
kedudukan raja sebagai pusat jagat.   
 Ketiga pendapat di atas dibantah oleh Saleh Danasasmita (2003: 18-19). 
Dengan berdasar pada Carita Parahiyangan7 dan Koropak 406 yang disebut juga 
Fragmen Carita Parahiyangan8, beliau bersimpulan bahwa Pakuan Pajajaran 
berarti “keraton yang berjajar”. Dikatakan “berjajar” karena  jumlah bangunan 
keratonnya ada lima yang masing-masing diberi nama: Bima, Punta, Narayana, 
Madura, dan Suradipati. 
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berbentuk “federal” yang 
membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja “kecil”. Di 
antaranya adalah Sangiang, Saunggalah, Sindangkasih, Banten, Cirebon, Galuh, 
Kawali, dan Pakuan. Hanya tiga kerajaan yang disebut terakhir inilah yang pernah 
menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda. Pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda 
memang berpindah-pindah. 
Mengenai kerjaan Pakuan Pajajaran sendiri sudah berdiri sejak awal abad 
ke-8. Pendirinya adalah Maharaja Tarusbawa (identik dengan nama Tohaan di 
Sunda)9. Keterangan ini didasarkan pada beberapa  sumber, yaitu Koropak 406, 
Carita Parahiyangan, Pransasti Canggal, dan naskal lontar MSA.  
                                                             
7 Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja 
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura 
Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata 
8 Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. 
Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya 
dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus 
sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun.  Telas sinurat bwana kapedem. 
9 Tarusbawa diganti oleh mantunya bernama Maharaja Harisdarma (identik dengan Sanjaya). 
Harisdarma diganti oleh puteranya bernama Tamperan. Tamperan diganti oleh anaknya bernama 
Rahiyang Banga (Danasasmita, 2003: 23). Sanjaya bias dipastikan berkuasa pada abad ke-8, 
karena beliau membuat Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Bila pada zaman Sanjaya Pakuan 
Pajajaran sudah ada maka dapat dipastikan Pakuan Pajajaran sudah ada setidaknya pada awal abad 
ke-8. 
10 
 
 
III. Prabu Siliwangi 
3.1 Nama Prabu Siliwangi 
Nama Prabu Siliwangi pun bukan nama imajinatif, bukan nama mitos tapi 
nama yang historis. Artinya nama ini memiliki pijakan historis. Dengan demikian, 
diskusi kita pun tidak lagi pada persoalan “apakah Prabu Siliwangi itu ada atau 
tidak ada secara historis” karena keberadaannya didukung oleh fakta yang kuat 
(hard-fact), setidaknya fakta mental dan fakta sosial (mentifact dan socifact). 
Yang menarik didiskusikan adalah apakah Prabu Siliwangi itu nama sejati atau 
nama alias/julukan/gelar. Kalau itu nama alias/gelar/julukan, nama itu identik 
dengan nama siapa. Juga, apakah gelar ini untuk seorang tokoh atau beberapa 
toloh? Kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah sumber/fakta. 
Adakah sumber/fakta sejarah yang bisa menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi? 
Keberadaan Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada beberapa  naskah kuna, di 
antaranya: Naskah Carita Parahiyangan episode XVI (di Perpustakaan Nasional 
RI Jakarta), Naskah Bujangga Manik (di Perpustakaan Oxford Inggris), Naskah 
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (naskah lontar abad XVI, koropal 421),  
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah yang masih kontroversial 
Naskah Wangsakerta (di Museum Sribaduga Bandung). Pada awal abad ke-16 pun 
nama Siliwangi sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam cerita pantun. 
Muncul pertanyaan: nama Prabu Siliwangi itu identik dengan nama siapa? 
Pertanyaan ini muncul mengingat dalam daftar nama raja Pajajaran tidak 
ditemukan nama ini. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Prabu Siliwangi 
merupakan raja terbesar Kerajaan Pajajaran? Pertanyaan ini muncul mengingat 
betapa populernya nama ini, bahkan hampir menenggelamkan keberadaan nama-
nama raja yang lain. Secara asumsi, tidak mungkin nama ini muncul, bahkan 
populer bila nama ini “euweuh di kieuna”, atau menurut istilah Ayip Rosidi 
“henteu aya buktina sacara historis”!  
 
 
Konkretnya, di antara sumber yang memuat nama Siliwangi adalah 
sebagai berikut. 
 
1) Carita Parahiyangan: 
“Manak deui Prebu Maharaja, tawasniya ratu tujuh tahun, kéna kabawa ku 
kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung 
dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakiyan 
di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu. Prebu Wangi 
ngaranna, inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusalarang 
ring giri Wanakusuma”.  
2) Carita Purwaka Caruban Nagari: 
“Hana ta sira natha gung ng siniwi Pakwan Pajajaran Sang Prabu 
Siliwangi ngaranira, anak Sang Prabu Anggalarang, ring Galuh wangsa 
nira, ikang rumuhun paradyéng Surawisésa kadatwan ng parahyangan 
kapernah wétan mandala nira. … Datan lawas pantaraning inabhisekan ta 
Sang Prabu Siliwangi dumadyakna Naradhipa hing Pakwan Pajajaran 
déning uwa nira, irika ta sira lawan winastwan Sang Prabu Dewatawisésa 
paradyéng Pakwan kadatwan yatika Sang Bima wastana”. 
3) Naskah Sang Hyang Siksa Kandang  Karesian: 
“Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, 
Haturwangi, prépantun tanya”.  
 

Yang sudah jelas dari persoalan ini adalah Prabu Siliwangi itu bukan nama 
sejati tapi nama alias/julukan/gelar. Poin yang menarik ketika membicarakan 
Prabu Siliwangi adalah menyoal tokoh ini identik dengan raja yang mana? 
Mengenai hal ini setidaknya muncul dua pendapat. Pertama, tokoh Prabu 
Siliwangi itu banyak. Undang A. Darsa  (2011: 32) berpendapat bahwa dari 32 
raja Kerajaan Sunda ada empat yang mendapat gelar Prabu Siliwangi. Mereka 
adalah raja yang saat memerintah Kerajaan Sunda ditandai dengan geopolitik 
yang guncang yang terjadi pada abad ke-15 dan 16, yaitu saat Barat masuk, saat 
Majapahit runtuh, dan saat masyarakat agraris mulai berkenalan dengan ekonomi 
dagang. Sayang, Undang A. Darsa tidak menyebutkan keempat raja itu siapa saja 
namanya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu 
tujuh, bahkan sampai dua belas orang. Tampaknya ada anggapan bahwa Siliwangi 
itu gelar resmi raja sehingga setiap raja Pajajaran disebut Siliwangi 
Pendapat kedua menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu. 
Tokoh itu identik dengan Prabu Jayadewata. Terhadap pendapat ini, Ayat Rohaedi 
(?) (dalam Sumadio, 1993: 394) memberi tanggapan bahwa mengidentikkan 
Prabu Siliwangi dengan tokoh Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, 1482 – 
1521) sebagaimana disebut dalam Carita Parahiyangan dianggap terlalu berani. 
Mengapa? Raja yang masih memerintah atau baru beberapa tahun meninggal 
dunia sudah disebut-sebut namanya sebagai tokoh ceritera patun (pada tahun 1518 
atau sebelumnya) dianggap sebagai “pamali”. Tanggapan di atas dikritik oleh 
Saleh Danasamita, bahwa mengangkat tokoh yang masih hidup dalam sebuah 
cerita (pantun atau kakawen, misalnya) sudah lumrah.  Terdapat beberapa  contoh 
kasus mengenai hal ini. Empu Kanwa mengangkat lakon raja Erlangga dalam 
Kakawen Arjuna Wiwaha; Empu Darmaja mengangkat lakon perkawinan Raja 
Kameswara dalam Kakawen Smardahana, Empu Sedah dan Empu Panukuh 
mengangkat lakon Raja Jayabaya dalam Kakawen Bharatayuddha. Lakon cerita 
dan sang tokoh hidup sezaman. 
Hasil dari koroborasi beberapa  sumber (Purwaka Caruban, Naskan 
Pamarican, Waruga Jagat, Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Babad 
Siliwangi) yang dilakukan oleh Saleh Danasasmita tampaknya pendapat yang 
lebih kuat adalah Prabu Siliwangi itu hanya satu dan identik dengan tikih raja 
yang bernama Prabu Jayadewata atau Sri Badugamaharaja yang berkuasa sebaga 
raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1482 – 1521. 
 


 Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau 
ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga 
wawangi atau kakasih. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh, 
terkenal, dan punya nama harum.  
 Secara historis tokoh ini memang berganti nama (asilih wewangi, 
silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua 
kalinya.  Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi raja 
Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji 
di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada Prasasti Batu Tulis disebutkan: 
“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi  ngaran Prebu Guru 
Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di 
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”. 
(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan 
nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga 
Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”). 
 
Nama resmi raja dalam bahasa Sunda disebut wawangi. Arti harfiyahnya 
adalah wewangi (seuseungit). Disebut demikian karena harum dan masyhurnya 
raja tampak dalam nama resminya. Keterangan Babad Siliwangi yang 
menyebutkan nama siliwangi berarti asilih wewangi (mengganti nama) cocok 
dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alas an ganti nama 
atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan 
Siliwangi 
1. Keberadaan kerajaan Pajajaran adalah historis, bukan mitos, bukan dongeng. 
Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Nama kerajaan Pajajaran harus 
dibaca sebagai Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajajaran. 
Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. 
2. Keberadaan Prabu Siliwangi pun adalah historis, bukan mitos, bukan 
dongeng. Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Raja Pajajaran yang 
dijuluki Prabu Siliwangi hanya satu . Prabu Siliwangi identik dengan Sri 
Baduga Maharaja.