Tampilkan postingan dengan label ki hajar dewantara 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ki hajar dewantara 2. Tampilkan semua postingan
ki hajar dewantara 2
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
ki hajar dewantara 2
perhatian yang dicurahkan; jika tidak maka orang tidak akan
memberikan nama khusus pada lembaga ini: pawiyatan (wiyata
= belajar). Jadi pada prinsipnya sosok guru memberikan
bimbingan hidup. Inilah yang disebut dengan kata yang lain
“pengajaran”.
Dalam “rumah sekolah Taman Siswo ideal”, para murid
selama pagi, siang dan malam sibuk dengan belajar, dengan
olah raga atau olah seni, di bawah bimbingan para gurunya.
Semuanya tinggal dengan keluarga mereka. Kurikulum pagi
biasa tidak terlalu penting dibandingkan dengan kebersamaan
murid dan guru selama ini sampai larut malam. Kenyataan tidak
bisa dibantah bahwa para murid mengalami kehidupan keluarga
yang sama dalam asrama (sebuah nama lain bagi paguron dalam
masa Hindu-Jawa) seperti di rumah bersama ayah dan ibunya.
Yang dimaksudkan kata “among” dalam bahasa Jawa
adalah “membimbing”. Dalam kehidupan sehari-hari kata
ini digunakan bagi hubungan pengasuh yang diserahi tugas
membimbing anak kecil. Dalam wayang istilah ini ditemukan
kembali pada hubungan panakawan, khususnya Semar dengan
Arjuna. Akan namun dalam prinsip yang dianut oleh Taman
Siswo kondisinya sedikit berbeda, lebih dalam lagi dan harus
69Djoko Marihandono
dihubungkan dengan pandangannya tentang tugas manusia di
dunia ini.
Di Taman Siswo perlu dibedakan tiga periode
perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa. Setiap periode
mencakup waktu delapan tahun (windu). Windu pertama
disebut “zaman wiraga” (wi = mengikuti, raga = fisik). Hal
ini merupakan masa perkembangan fisik dan bagian tubuh
lainnya. Windu kedua disebut “zaman wicipta”. Periode ini
merupakan perkembangan daya intelektual anak, yang sangat
mempengaruhi sifat pemahamannya. Windu ketiga disebut
‘zaman wirama” (wirama = keharmonisan). Ini merupakan masa
penyesuaian dengan dunia luar, di mana anak akan menentukan
tempat yang akan didudukinya di sana. sesudah masa ini, anak
menjadi dewasa. Pada masa ini anak sudah mencapai usia sekitar
23 tahun.25
Lembaga sekolah disesuaikan dengan tuntutan khas
setiap periode. Cabang “Taman Muda” bagi Siswa kira-kira
berkisar dari 9 sampai 14-16 tahun. Periode ini bagi sebagian
besar merupakan “zaman wicipta”, windu kedua. Taman Anak
dan Taman Muda besama-sama menjadi cabang pendidikan dasar
utuh. Lembaga pendidikan menengah yang berada di atasnya
mencakup lima tahun ajaran, dibagi dalam dua sub-cabang, satu
cabang awal tiga tahun yang disebut Taman Dewasa dan cabang
lanjutan dua tahun yang disebut Taman Dewasa Raya (yang
berarti di sini adalah diperluas). Kedua cabang ini menampung
25. Arsip Taman Siswo nomor B28 D Koleksi Nationaal Archief Nederland
dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi).
70 ----
Siswa dari 14-16 tahun sampai 19-23 tahun. Bagi sebagian
besar, periode ini bersamaan dengan “zaman wirama”, masa
penyesuaian dengan dunia luar, masa pematangan usia muda,
masa puber. Zaman wirama dimulai dengan masa kehancuran,
yang kira-kira bersamaan dengan periode Taman Dewasa, atau
bagian awal dari sekolah menengah.
Sebagai organisasi, Taman Siswo bukan merupakan
lembaga (juga tidak memiliki anggota yang membayar iuran)
namun merupakan “wakaf bebas”, sejenis “yayasan” bumiputra,
namun tidak tercatat sebagai lembaga Islam, seperti halnya yang
diwajibkan bagi wakaf biasa, karena mereka tidak terikat pada
aturan-turan Islam. Selanjutnya juga harus ditunggu untuk
meminta status badan hukum karena badan hukum termasuk
kewenangan hukum Eropa.
Setiap Taman Siswo menjadi cabang perserikatan yang
disebut Persatuan Taman Siswo, berkedudukan di Yogyakarta
di bawah pimpinan sebuah Majelis Luhur atau pengurus pusat
yang dipilih oleh kongres tiap empat tahun. Di atas lembaga
ini masih ada “pimpinan umum”, yang untuk jangka waktu
tidak terbatas dipilih. Bersama “Dewan Sesepuh”, memberikan
nasehat, pemimpin umum dan pengurus pusat bersama-sama
menjadi kepemimpinan tertinggi.
Penyelesaian masalah Taman Siswo hanya merupakan
hak anggota yang diserahi oleh para anggota kepada lembaga
yang berwenang untuk itu. Lembaga itu adalah:
* Rapat Besar Umum
* Rapat Besar
71Djoko Marihandono
Pemimpin Umum dan Hak leluasa (pemimpin umum
dengan kewenangan tak terbatas)
* Majelis luhur
* Majelis Cabang
Rapat Besar Umum memiliki kekuatan tertinggi dan
yang paling berhak untuk memutuskan sesuatu. Mereka
bertemu empat tahun sekali di Yogyakarta dan juga mengadakan
pertemuan khusus yang dihadiri oleh semua utusan cabang dari
Persatuan Taman Siswo. Pada Rapat Besar Umum ini juga dipilih
anggota Majelis Luhur yang akan memiliki masa kerja selama
periode 4 tahun. Rapat Besar Umum diberi kewenangan untuk
menentukan pandangan (organisasi) dalam semua persoalan
organisasi dan berwenang untuk mengambil suatu keputusan
dengan memperoleh suara 2/3 dari suara yang ada. Setiap cabang
dalam Rapat Besar Umum setiap lima anggota atau sebagian
darinya bisa memiliki satu suara dengan maksimal lima suara.
Perintah Umum dan Hak Leluasa dipegang oleh pimpinan
umum, yang dipilih untuk jangka waktu tak terbatas oleh Rapat
Besar Umum melalui referendum yang dipilih oleh ¾ dari
seluruh jumlah suara anggota. Pimpinan Umum memanfaatkan
kewenangan ini hanya dalam kondisi penting dan mendesak.
Waktu saat kewenangan ini dimanfaatkan, ditentukan sendiri
oleh pimpinan umum, di samping atas permohonan Majelis
Luhur. Pimpinan umum hanya bertanggungjawab kepada Rapat
Besar Umum.
Rapat Besar merupakan konferensi Majelis Luhur yang
dihadiri oleh semua utusan lembaga pendidikan Taman Siswo di
72 ----
seluruh Hindia Belanda. Rapat Besar diadakan sekali per tahun.
Rapat besar diadakan untuk mengawasi pelaksanaan keputusan
Rapat Besar Umum dan selanjutnya mengatur semua persoalan
yang belum diputuskan oleh Rapat Besar Umum. Majelis Luhur
menjadi pengurus harian Taman Siswo dan kadang-kadang
bila tidak ada Rapat Besar Umum dan hak leluasa sebagai
kekuasaan tertinggi tidak bisa digunakan. Mereka memegang
kekuasaan dan memperhatikan semua pesoalan organisasi serta
bertanggungjawab atas ketertiban dan perdamaian sendiri, dan
membuat laporan tentang aktivitasnya pada setiap Rapat Besar
dan Rapat Besar Umum.
Majelis Luhur terdiri atas:
Badan Pemimpin, yakni lembaga yang memegang
kepemimpinan. Dalam lembaga ini duduk tiga orang anggota.
Salah satu dari ketiganya menjadi ketua yang sekaligus menjadi
ketua Majelis Luhur. Badan Pemimpin mewakili Taman Siswo
untuk kegiatan-kegiatan keluar. Secara garis besar mereka
menjalankan aktivitas Majelis Luhur;
Badan Pemangku Azas, yakni lembaga yang mengawasi
“pelaksanaan” prinsip Taman Siswo murni;
Badan Pemangku Benda, yakni lembaga yang mengawasi
harta milik;
Badan Pengurus, yakni lembaga pengelola, yang
memperhatikan penyelesaian semua persoalan dari lembaga
yang disebut sub a, b dan c;
Juga dalam Majelis Cabang, yang terdiri atas anggota
lembaga pendidikan (lokal), orang menjumpai pembagian
73Djoko Marihandono
yang sama dalam badan seperti pada Majelis Luhur dengan
kewenangan yang sama (dalam konteks cabang).
Dalam anggaran dasar dilarang menerima hadiah,
yang bisa mengikat Taman Siswo baik ekstern maupun intern.
Sebaliknya hadiah yang diberikan tanpa ada ikatan justru tidak
boleh ditolak. Tidak boleh bantuan dimintakan dari orang lain
karena hal ini akan mengganggu jalannya proses pendidikan.
Menurut laporan periode 1935-1936 Taman Siswo dalam
periode itu memiliki 187 cabang, tersebar di seluruh Hindia
Belanda. Jumlah murid dari 136 cabang ini mencapai 11.335
(8.350 Siswa dan 2.855 siswi). Dari periode 1936-1937 Taman
Siswo menampung 184 cabang, dan dari 115 cabang, jumlah
muridnya mencapai 9.015 termasuk 6.653 Siswa dan 2.362
siswi. Laporan periode 1937-1938 menyebutkan informasi
berikut ini: jumlah cabang 190 dengan 225 sekolah; beberapa
cabang dan sekolah masih menjadi calon karena belum diperiksa
atas nama kepemimpinan pusat atau belum disetarakan.
Dari 190 cabang itu, ada 147 cabang di Jawa dan Madura
yang dibuka, 37 di Sumatra, 4 di Borneo, 1 di Celebes dan 1
di Bali. Selama periode 1938-1939 Taman Siswo memiliki
187 cabang. Dari 160 cabang seluruh murid berjumlah 14.627
termasuk 10.476 siswa dan 3.881 siswi.
Semua cabang ini memiliki sekolah Taman Anak dan
sebuah sekolah dasar dan/atau sekolah penghubung; selanjutnya
ada 21 sekolah MULO, 7 sekolah guru dan 1 sekolah menengah.
Juga beberapa cabang mengelola sebuah sekolah rakyat, sebuah
sekolah rakyat khusus untuk gadis, sebuah sekolah pertanian
74 ----
dasar dan/atau sekolah perdagangan, sebuah sekolah pekerjaan
rumah dan sebagainya sebagai bentuk percobaan. Seluruhnya
ada 733 tenaga pengajar, termasuk 100 guru perempuan dan 20
ribu pelajar termasuk 4 ribu siswi.
F. Penutup
sesudah melihat riwayat aktivitas politik RM Soewardi
Soerjaningrat sejak sekolah di STOVIA hingga aktivitasnya di
dunia pers, pembuangannya di negeri Belanda, serta pendirian
lembaga pendidikan Taman Siswo, ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut:
RM Soewardi Soerjaningrat adalah orang yang bersikap sangat nasionalis. Ia dengan
segala resiko yang ada berani mengorbankan kepentingannya
sendiri demi kepentingan warga bumiputera;
Sebagai seorang yang memiliki jiwa nasionalisme yang
tinggi, ia dengan segala upaya dan keahlian dirinya tidak segan-
segan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah kolonial
Belanda yang dianggapnya tidak menghiraukan penderitaan
yang dialami oleh kaum bumiputera;
Dengan keahlian dirinya dalam bidang jurnalistik, ia
mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak sesuai
dengan hati nuraninya. Walaupun dituduh sebagai penghasut,
namun ia tetap merasa benar karena keyakinannya bahwa apa
yang dilakukannya adalah benar. Bahkan, ancaman pembuangan
pun tidak membuatnya gentar;
Sebagai seorang yang nasionalis, ia tidak berhenti untuk
belajar. Banyak hal yang dipelajarinya termasuk mengikuti
75Djoko Marihandono
pelajaran sebagai pengajar. Banyak tokoh yang ia jadikan
panutan, dari tokoh pendidikan Italia, India, maupun tokoh
pendidikan lainnya;
Kesadaran dirinya bahwa pendidikan merupakan unsur
yang sangat penting dalam mempersiapkan bangsa yang
terbebas dari penjajahan merupakan titik tolak karier dalam
hidupnya dalam bidang pendidikan. Sementara itu kehidupan
politik ia gunakan sebagai pagar untuk melindungi pendidikan
dari intervensi kolonial.
Sistem pendidikan yang didasarkan dari jati diri bangsa
akan membuat bangsa yang mandiri, terlepas dari kungkungan
bangsa Barat yang selama ini telah menciptakan pendidikan
yang berorientasi pada kepentiangan kolonial.
Sistem among yang ia canangkan memiliki makna
bahwa anak akan tumbuh secara leluasa. Pamong wajib Tut Wuri
Andayani yang berarti mengikuti dan mempengaruhi agar anak
asuh dapat berjalan ke arah yang baik. Dengan adanya sistem
among ini, maka bebaslah anak mengembangkan bakatnya dan
anak didik selalu mencari jalan sendiri tanpa menunggu perintah
dari atasannya.
Dengan sistem pendidikan yang mengangkat budaya
nasional, maka Perguruan Taman Siswo merupakan lembaga
pendidikan yang meletakkan dasar pendidikan nasional
Indonesia. Dengan mengelaborasi kekayaan kebudayaan
nasional, maka nilai budaya daerah dan nasional tidak akan
pernah luntur dalam kehidupan warga nya. Permainan anak,
lagu-lagu daerah, kesenian khas daerah merupakan kekakayaan
76 ----
nasional yang dijunjung tinggi dan dipelajari dalam lembaga
ini. Dengan upaya yang telah dilakukannya, pantaslah negara
ini memberikan tempat yang tinggi dan terhormat bagi tokoh
pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mengelaborasi budaya
bangsa Indonesia sebagai landasan dari sistem pendidikannya.
Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia merayakan Hari
Pendidikan Nasional, yaitu suatu perayaan untuk mengingatkan
bangsa ini bahwa bidang pendidikan merupakan suatu bidang
yang sangat penting bagi kelanjutan, kejayaan, dan keagungan
bangsa Indonesia. Tanggal ini sengaja dipilih sebagai hari
Pendidikan Nasional karena pada tanggal ini seorang tokoh
pendidikan lahir. Penghargaan yang tinggi diberikan oleh
bangsa Indonesia kepada tokoh pendidikan Indonesia yang telah
mengabdikan dirinya pada pendidikan di Indonesia, yakni Ki
Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara semula memiliki nama Soewardi
Soerjaningrat (RM Soewardi Soerjaningrat ). Sebelum mendharmabaktikan hidupnya
dalam bidang pendidikan, ia banyak berkecimpung dalam bidang
politik bersama-sama dengan teman seperjuangannya: Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo (TM) dan Ernest François Eugène Douwes
80 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Dekker (DD), yang nantinya juga dikenal sebagai Danoedirdja
Setiabhoedi.1 Tiga serangkai ini pernah dihukum dan dibuang
oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai akibat dari tulisan-
tulisan mereka yang disebarkan ke warga pada masa itu.
Apa yang ia lakukan dalam karier sepanjang hidupnya dijadikan
panutan bagi generasi muda khususnya dalam mengatasi
permasalahan yang ada pada zamannya. Tulisan ini hanya akan
difokuskan pada tokoh RM Soewardi Soerjaningrat saat sebagai pengurus Indische Partij
hingga menjadi seorang pendidik yang mendirikan perguruan
Taman Siswo.
B. Soewradi Soerjaningrat
RM Soewardi Soerjaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889 di kampung
Soerjadiningratan, yang letaknya berada di sebelah timur
1. Dalam Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, ada dua orang yang
menggunakan nama Douwes Dekker. Yang pertama adalah tokoh yang
memiliki nama lengkap Edouard Douwes Dekker yang dikenal dengan
nama pena Multatuli. Ia dilahirkan di Amsterdam pada 2 Maret 1820, dan
meninggal di Rhein (wilayah Jerman) pada 19 Februari 1887. Multatuli
dikenal sebagai penulis buku novel yang berjudul Max Havelaar (1860).
Jabatan terakhir yang diembannya adalah Asisten Residen di Lebak
(Karesidenan Banten). Sementara itu, Ernest François Eugène Douwes
Dekker dilahirkan pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, dan meninggal di
Bandung pada 28 Agustus 1950. Ia dikenal sebagai Penulis dan mantan
pemimpin redaksi koran Bataviaasche Nieuwsblad. Ia dikenal sebagai
pendiri Indische Partij, Saat kembali dari pembuangan, ia kembali ke
Hindia Belanda dengan nama samaran Danoedirdja Setiabhudi. Pada
saat pendirian Indische Partij, duduk dalam kepengurusan antara lain
Douwes Dekker, van der Poel, Brunsveld van Hulten, Topee, Fundter dan
Tjipto Mangoenkoesoemo (Lihat “Een vergadering der Indische Partij,
dalam Bataviaasche Nieuwsblad, 19 September 1912, lembar ke-2.
81----
puro Paku Alaman, Yogyakarta. Ia adalah putra keempat dari
pasangan RM Soerjaningrat, putra dari dari permaisuri Sri Paku
Alam III. Ibunya adalah seorang putri kraton sebagai pewaris
Kadilangu, yang merupakan keturunan dari Sunan Kalijogo.2
Pertemuannya dengan isterinya yang bernama Soetartinah
diawali dengan peristiwa keduanya yang harus berhadapan
dengan polisi kolonial, Wedana Sentana Puro Paku Alaman serta
kepala sekolahnya msing-masing. pemicu nya adalah RM Soewardi Soerjaningrat harus
berkelahi dengan anak Belanda yang menggangu Soetartinah.
Setamat dari Europeesche Lagere School (ELS), RM Soewardi Soerjaningrat
melanjutkan sekolahnya di School tot Opleiding van Indische
Artsen (STOVIA) yang berada di Weltevreden. Namun
berhubung fisiknya yang kurang kuat, menyebabkan ia sering
sakit-sakitan, sehingga beasiswa yang diterimanya harus dicabut
sebagai akibat dari seringnya tidak masuk sekolah.3 Selepas dari
STOVIA, ia bekerja sebagai ahli kimia di pabrik gula Kalibagor,
2. Pasangan ini memiliki putra sebanyak 8 orang, yakni RM Soerjosisworo,
RA Dokter Bintang, RA Pratiknyo, RM Soewardi Soerjaningrat, KRMT
Soewarto Serjaningrat, RM Soemarman, RM Soerjodipoero, dan RM
Soerjopranoto.
3. RM Soewardi Soerjaningrat tidak tercatat sebagai lulusan STOVIA. berdasar daftar lulusan
ada beberapa siswa yang berasal dari Paku Alaman, antara lain: Dr.
Raden Mas Soedjono, masuk 17 Juni 1889, lulus pada 19 Januari 1997,
Raden Mas Notosoerasmo, masuk 22 Maret 1997, lulus 1 November 1907;
Raden Mas Sosroprawiro, masuk 1 Maret 199 lulus 1 Oktober 1909; dan
Raden Mas Gondhokoesoemo masuk 14 Desember 1905, lulus 28 Juni
1915 (A. De Waart.(Ed). Ontwikkeling van het Geneeskundig Onderwijs
te Weltevreden, 1851-1926, Perkembangan Pendidikan Kedokteran di
Weltevreden: 1851-1926 (Terj. Djoko Marihandono dan Harto Juwono),
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2014:, hlm. 291-301)
82 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Banyumas. Namun, tidak berapa lama bekerja sebagai ahli kimia,
ia pindah ke kota Yogyakarta. Di kota ini, ia bekerja di apotik
Rathkamp. Namun tidak lama ia bekerja di apotik itu, ia harus
segera meninggalkan pekerjaannya karena di PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja). Waktunya banyak tersita untuk melakukan
korespondesni dengan berbagai macam surat kabar daerah,
terutama dengan surat kabar De Express . 4 Selepas dari bekerja di
apotik, ia memutuskan untuk bekerja sebagai jurnalis seperti apa
yang digelutinya selama itu. Atas permitaan pemimpin redaksi
De Expres Douwes Dekker, RM Soewardi Soerjaningrat diminta untuk membantu koran
terbitan Bandung itu. Dengan demikian, ia harus hijrah dari
Yogyakarta ke kota Bandung.5 Keduanya sudah lama saling
mengenal tatkala Douwes Dekker masih bekerja sebagai redaktur
di surat kabar Bataviaasche Nieuwsblad di bawah pimpinan J.H.
Ritman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa banyak siswa
STOVIA, terutama tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang merasa
cocok dengan DD yang tidak selalu sepaham dengan kebijakan
pemerintah kolonial. Tatkala terjadi pergantian pemimpin koran
itu dari J.H. Ritman ke Zaalberg, banyak di antara redaktur koran
4. Lihat laporan Residen Yogyakarta Liefrink yang berjudul Nota de
betreffende Geschriften van Douwes Dekker.
5. Kedua tokoh ini sudah saling berhubungan. Tatkala Soewardi Sorjaningrat
sekolah di STOVIA, Douwes Dekker dikenalnya sebagai redaktur koran
Bataviaasche Nieusblad. Koran ini berada di bawah pimpinan seorang
Belanda yang bernama JH Ritman. Surat kabar ini dikenal sebagai media
cetak yang objektif, tidak selalu mengikuti garis kebijakan pemerintah
kolonia.
83----
itu yang merasa tidak sepaham dengan pemimpin yang baru itu.
Atas alasan itulah DD menyatakan diri keluar dari Bataviaasche
Nieuwsblad kemudian mendirikan majalah berkala yang
berjudul Het Tijdschrift . Majalah ini bersama-sama dengan De
Express menyeponsori berdirinya Indische Partij.6
Secara sadar dan dengan semangat yang menyala-nyala,
RM Soewardi Soerjaningrat mulai berkecimpung di arena politik di bawah bendera
Indische Partij, yang menerima semua suku bangsa yang ada
di wilayah koloni Hindia Belanda. Partai ini dia rasakan sangat
berguna dalam upaya memajukan pendidikan karena tidak
membedakan suku, agama, dan golongan dari mana anggota
berasal.7 Oleh karena itu, semangat persatuan dan kesatuan
6 Majalah ini selalu memberitakan aktivitas dari Indische Partij yang
izinnya belum diberikan oleh pemerintah kolonial. Dilaporkan bahwa di
Bandung partai ini memiliki 200 orang anggota, di Semarang 200 orang
anggota, bahkan pada saat dilakukan rapat di Semarang yang dihadiri
antara 400 – 500 orang partai baru ini berhasil mengumbulkan dana dari
simpatisannya sebesar f 195, yang berasal dari 135 orang anggota. Di
Surabaya, partai baru ini memiliki anggota sebanyak 600 orang. (Lihat
“DD te Soerabaja” dalam Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch
Indie 9 Desember 1912 lembar ke-2 ; “De Indische Partij” dalam De
Sumatra Post 20 September 1912 dan Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch Indie 20 September 1912 lembar ke-2; “De Bandoengsche
Verkieziezingstrijd” dalam Bataviaasch Nieuwsblad 4 Desember 1912
lembar ke-2). Di Padang kepengurusan Indische Partij diketuai oleh FAN
Loth, dr. Rivai sebagai wakil ketua, L. Ginus sebagai sekretaris, Lim Ek
Tie sebagai bendahara, JC Holtzapffel Sr, J.P.C.A Alting Siberg, Jr, dan
HHJB Mes sebagai komisaris.
7 Lihat “Grootheidsdroom” dalam Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch Indie , 17 Oktober 1912. RM Soewardi Soerjaningrat bersedia bergabung dengan
Indische Partij karena ia menganggap partai ini akan memajukan
pendidikan bagi seluruh bangsa di Hindia Belanda tanpa membedakan
84 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
serta memperjuangkan satu cita-cita menjadikan partai ini lebih
memiliki kekuatan.
Indische Partij didirikan pada 6 September 1912 oleh
DD, seorang indo dari ayah Eropa dan ibu Jawa, yang memiliki
semangat nasionalis yang tinggi, bersama-sama dengan TM
dan RM Soewardi Soerjaningrat . Sejak awal, Indische Partij sudah menyatakan dirinya
sebagai partai politik. Partai politik ini tidak hanya diminati
oleh orang bumiputera, namun juga oleh orang-orang Indo yang
tinggal di Hindia Belanda. Namun, dalam perkembangannya,
orang Indo ini berdiri sendiri, melepaskan diri dari perkumpulan
bumiputera. Gagasan ini sangat ditentang oleh DD. Sejak
awal tiga serangkai ini telah berikrar untuk menanamkan
rasa kebangsaan untuk menjadi bangsa yang bebas merdeka.
Penanaman jiwa nasionalisme inilah yang selalu ditanamkan
oleh ketiganya terhadap para anggotanya.
Rawe-rawe rantas malang-malang putung merupakan
semboyan yang tetap dipegang teguh terutama oleh ketiga pendiri
partai ini. Semboyan ini mereka pertahankan dalam banyak
peristiwa yang menimpa nasib mereka bertiga. Semboyan ini
tertulis dalam lencana Indische Partij, sehingga semoboyan itu
menjadi pedoman dan pegangan seluruh anggota partai ini .
Semboyan ini merupakan gambaran semangat partai politik ini
yang tidak mengenal kata menyerah, karena semua hambatan
suku bangsa maupun agama. Selain itu juga kekaguman RM Soewardi Soerjaningrat pada Douwes
Dekker yang mahir dalam menulis yang membuat ia senang bergabung
di partai ini.
85----
dan rintangan akan mereka hadapi. Begitulah semboyan ini tetap
hidup dalam semua aktivitas partai yang masih muda usianya ini.
C. Comite Boemi Poetera
Perjuangan partai ini dimulai tatkala pemerintah kolonial
Belanda hendak merayakan pembebasan negeri Belanda dari
cengkeraman Prancis. Napoléon Bonaparte yang kalah perang
dan ditangkap di Leipzig menyebabkan ia dibuang di pulau
Elba. Dengan peristiwa ini maka dimulailah Traktat London
I, yang salah satu pasalnya berbunyi mengembalikan Eropa
pada kondisi tahun 1792 tatkala Napoléon Bonaparte belum
melakukan ekspansionisme Napoléon atas seluruh wilayah
Eropa. berdasar kesepakatan itu, pada 15 Nopember
1813, Belanda dinyatakan bebas dari cengkeraman Prancis.
Peringatan 100 tahun peristiwa pembebasan Belanda ini akan
dirayakan secara besar-besaran di wilayah koloni Hindia
Belanda. Oleh karena itu semua tidak hanya orang Belanda saja
yang wajib merayakannya, namun juga penduduk bumiputera.
Untuk menyambut pesta 100 tahun kemerdekaan Belanda ini,
atas inisiatif TM, RM Soewardi Soerjaningrat , Abdul Moeis, AH. Wignyodisastra dan
beberapa tokoh lainnya dibentuklah suatu Komite Peringatan
Seratus Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda yaitu Inlandsche
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid
( Panitia Peringatan 100 tahun kemerdekaan Negeri Belanda) di
86 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Bandung.8 Komite ini dikenal sebagai Comite Boemi Poetera. 9
Tujuan dari komite ini adalah mempergunakan kesempatan untuk
menarik perhatian perhatian umum. Hal ini akan dimanfaatkan
untuk mengkritik pemerintah kolonial dan untuk melakukan
propaganda menentang kebijakan pemerintah, karena menurut
rencana, perayaan itu tidak hanya akan dirayakan oleh bangsa
Belanda saja, namun juga juga oleh warga bumiputera.
Semua harus memberikan sumbangan yang dipungut secara
paksa. Pemungutan sumbangan ini bertujuan agar pesta 100
tahun bebasnya negeri Belanda dari kungkungan Prancis dapat
dilaksanakan secara besar-besaran di wilayah koloni Hindia
Belanda. Para anggota Komite Boemi Putera menghendaki agar
pesta perayaan itu dilaksanakan di ruang tertutup. Banyak di
antara para penduduk bumiputera yang bertanya, mengapa
mereka harus ikut merayakannya. Mereka beranggapan bahwa
kondisi ini merupakan penghinaan kepada bangsa terjajah. 10
8. Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara, Ki Hajar Dewantara Dkk.
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980,hlm.15.
9 Menurut De Preanger Bode , Komite Bumi Putera ini didirikan pada
13 Juli 1913 dengan susunan pengurus sebagai berikut: dr. Tjipto
mangoenkoesoemo, Soejatiman Soeriokoesoemo dari Dinas Pekerjaan
Umum, A.H. Wignja Disastra dari Kaum Muda, Nyonya Soeradji (terlahir
Oneng), Roem pekerjaan dokter bumiputera, Abdoel Moeis redaktur
Sarikat Hindia, dan Soewardi Soerjaningrat. Tujuan didirikannya komite
ini adalah ingin mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda pada hari
peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis. (Lihat
“Die het gevaar Zoekt” dalam De Preanger Bode, 11 Agustus 1913,
lembar ke-2).
10. Asisten Residen di Bogor telah membentuk suatu panitia pengumpulan
uang, sementara di kota lain, seperti di Malang, dengan bantuan para
87----
Komite Boemi Poetra mengedarkan selebaran yang
pertama. Selabaran itu bertuliskan Wij zullen niet mee yang
artinya ‘Kami tidak akan ikut serta’ yang ditulis oleh DD sebelum
ia pergi ke Belanda untuk menghadap ke Mejelis rendah. Berikut
kutipan tulisannya:
….Mengapa kamoe tidak merajakan pesta ito di dalam
kamar bolah dengan pantes-pantes, di tempat sendirian,
di mana kamoe dapat minoem-minoem soepaja moedah
akan berminoem atas kehormatan tanah ajermoe? Tentoe
kamoe ta’akan mendengar setjara bentjih daripada kami
dalam perajaan itoe, kerna kami tida haroes toeroet pesta,
tentoe kamoe tida akan mendengar satjara salah seorang
dari medan kami, jang soeka berpidato, seperti kehendak
saja akan nantang pada kamoe begitoe tiadalah kamoe
akan dapat melarang pada saja akan berpidato begitoe.
Sjoekoerlah sekarang soedah banjak orang, jang djadi
besar di dalam sekolah saja, ja’ni sekolah kemerdekaan.
Ja, Toewan-toewan commisie, mengapakah kamoe tidak
bersoeka-soeka di medan kamoe ampenya kaoem sendiri…11
pamong praja Eropa dan bumiputera berusaha untuk mengumpulkan
uang dari rakyat kecil agar dapat menyelenggarakan pesta yang meriah.
(Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Loc. Cit. hlm, 15-16.)
11 EFE Doewes Dekker, et al. Mijmeringen van Indiers over Hollands
Feesttervierderij in de Kolonie, 1913, hlm. 2.
88 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
DD memprotes peringatan itu dan meminta agar perayaan
itu dilangsungkan tanpa mengikutkan penduduk bumiputera.
Comite Boemi Poetra juga mempertanyakan akan
mendirikan suatu Kolonial Raad atau Dewan Kolonial dengan
anggota yang berjumlah 29 orang, dengan komposisi yang bukan
wakil orang Eropa berjumlah 8 orang. Dari 8 orang ini ,
5 di antaranya adalah kaum bangsawan. sesudah melakukan
kritik terhadap Kolonial Raad yang baru dibentuk, Comite
Boemi Poetra kemudian melakukan mobilisasi anggotanya
untuk mengumpulkan uang yang akan dipergunakan untuk
mengirimkan sebuah telegram kepada Ratu Wilhelmina di
Belanda. Telegram ini intinya mengucapkan selamat atas
perayaan 100 tahun bebasnya Belanda dari kaki tangan Prancis.
Akhir dari telegram itu adalah pernyataan bahwa penduduk
bumiputera pun juga menghendaki adanya Dewan Perwakilan
Rakyat di Hindia Belanda.
Indische Partij menghendaki agar partai baru ini
memperoleh status hukum di wilayah Hindia Belanda. Usulan
pertama ditolak pada 6 Januari 1913 yang didasarkan pada
hasil keputusan rapat tanggal 25 Desember 1912 sesudah melalui
perdebatan dalam pembuatan konsep anggaran dasar partai itu.
Usulan kedua ditolak berdasar Keputusan Gubernur Jenderal
tertanggal 4 Maret 1913 nomor 1. sesudah diubah anggaran
dasarnya, pada 5 Maret 1913 DD mengajukan kembali anggaran
dasar yang sudah diperbaharui. Kemudian untuk ketiga kalinya
usulan ditolak melalui keputusan Gubernur Jenderal tanggal 11
89----
Maret 1913 nomor 1. Dasar penolakannya adalah adanya pasal
111 yang seharusnya tidak boleh ada dalam Anggaran dasar
Indische Partij, karena organisasi ini merupakan partai politik
yang saat itu dilarang oleh pemerintah kolonial. Isi pasal 111
adalah tentang “Tujuan organisasi yaitu mendorong kepentingan
lahir dan batin para anggotanya di setiap bidang dan pertumbuhan
serta kemakmuran Hindia Belanda melalui sarana sah yang
ada dan berusaha menghilangkan semua keterbelakangan dan
ketentuan umum yang menghambat pencapaian tujuan itu, dan
pembentukan lembaga serta ketentuan yang bermanfaat bagi
tujuan itu”. Pasal ini dianggap krusial karena dapat merusak
tatanan yang sudah ditanamkan oleh pemerintah kolonial di
wilayah koloni Hindia Belanda. Kedua, alasan penolakannya
pemberian status hukum adalah karena Indische Partij dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum.12 Dengan penelokanan
itu, DD akan segera pergi ke Belanda untuk menghadap ke Majelis
Rendah untuk mengadukan penolakan pendirian Indische Partij
sesudah menghadap Gubernur Jenderal bersama dengan TM dan
Van Ham.13 Dua hari sesudah keluarnya Surat Keputusan Gubernur
Jenderal, anggota Indische Partij berkumpul di Gedung Cabang
Bandung. Hadir dalam rapat itu DD, Mr. Brunsveld van Hulten,
12. Lihat “Koloniale Zaken” dalam De Sumatera Post , 25 maret 1913
lembar ke-2 dan “RIP” dalam De Preanger Bode”, 20 Maret 1913,
lembar ke-1. Lihat pula De Sumatra Post 19 Maret 1913 lembar ke-2
yang berjudul “De regeering en de IP”.
13 Lihat “De Indische Partij” dalam De Sumatra Post , 15 Maret 1913
lembar ke-2. Koran ini mengutip berita yang sudah dimuat terlebih
dahulu di Koran De Express .
90 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
dan Agerbeek. Agerbeek membentak polisi yang datang, yang
mengakibatkan semua hadirin disuruh meninggalkan gedung itu,
kemudian gedung Indische Partij disegel dan dijaga polisi.14 Hal
ini juga terjadi di Batavia. Anggota Indische Partij cabang
Batavia mengadakan rapat di gedung Loge sesudah keluarnya
surat keputusan itu. Pengelola gedung Loge memberitahukan
bahwa atas permintaan dari pemerintah, gedung itu tidak boleh
disewakan kepada Indische Partij.15
D. Als ik eens Nederlander was
Komite ini kemudian mengeluarkan brosur kedua yang
ditulis oleh RM Soewardi Soerjaningrat dengan judul Als ik eens Nederlander was atau
“Seandainya aku seorang Belanda”.16 Dari tulisan ini, muncullah
kehebohan yang luar biasa Brosur ini dikirimkan ke semua
media yang terbit di Jawa saat itu. Harian De Express misalnya
memuat secara utuh tulisan itu. Bahkan diketahui pula bahwa
brosur ini dicetak di percetakan De Eerste Bandoengsche
Publicatie Maatschappij di bawah pimpinan van der Hoek, yang
14 Lihat “de Indische Partij” dalam De Sumatra Post, 18 Maret 1913
lembar ke-2. Pers Belanda pada umumnya sepakat dengan keputusan
yang diambil oleh Gubernur Jenderal. Hanya Koran Het Volk saja yang
mengkritik kebijakan Gubernur Jenderal ini. (Lihat ‘De Nederlandsche
Pers over de Indische Partij” dalam De Sumatra Post, 8 Maret 1913).
15 Lihat “Indische Partij” dalam De Sumatra Post, 8 Maret 1913 lembar
ke-2.
16 Selebaran ini dicetak oleh NV. Eerste Bandoengsche Publicatie
Maatschappij, yang dipimpin oleh Van der Hoek sebagai direkturnya.
Selebaran ini bias diperoleh dengan membayar f 1 sen. (Lihat “Zig-
Zags” dalam Het nieuws van den dag voor Nederlnadsch Indie. , 26 Juli
1913.
91----
juga menerbitkan harian De Express . 17 Isi brosur itu intinya
antara lain:
Bangsa bumiputra Hindia seyogyanya tidak ikut serta
dalam merayakan peringatan kemerdekaan bangsa Belanda,
yang saat itu sedang menindas kaum bumiputera;
Andai kata RM Soewardi Soerjaningrat seorang Belanda, ia akan memprotes
gagasan peringatan itu, karena kebijakan itu salah. protesnya,
karena itu kebijakan yang salah. Ia akan menyalahkan bangsanya
bahwa merayakan peringatan itu sangat berbahaya, karena akan
menyadarkan kaum bumiputera untuk merdeka;
Andaikata ia orang Belanda, ia tidak akan menghina dan
menindas kaum bumiputera;
Andaikata ia orang Belanda, ia akan meminta sumbangan
kepada semua orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni
Hindia Belanda, dan tidak akan mengikutsertakan kaum
bumiputera karena kondisi mereka saat itu tertindas;
Sebagai bangsa yang tertindas, dengan perayaan itu,
kaum bumiputera memiliki keinginan untuk merdeka seperti
yang dialami oleh orang belanda pada saat itu;
Ia sebagai seorang seorang bumiputera sebagaimana juga
orang Belanda, juga mencintai tanah airnya sepenuh hati. Oleh
karena itu, peringatan perayaan itu sangat menyakitkan hati
kaum bumiputera. Di akhir tulisannya ia mengatakan sbb:
17 berdasar data yang ada, brosur ini dicetak sebanyak 5.000 eksemplar
, yang ditulis dengan dua versi, yakni bahasa Belanda dan bahasa Melayu.
92 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
….Andaikata akoe seorang Belanda, akoe tidak akan
merajakan perajaan itoe di dalam negeri jang sedang kami
djadjah. Pertama, kami haroes memberikan kemerdekaan
kepada rakjat jang kami djadjah, kemoedian baroe
memperingati kemerdekaan kami sendiri……18
Dalam bagian akhir tulisannya RM Soewardi Soerjaningrat bersyukur bahwa dia
tidak dilahirkan sebagai orang Belanda.
Reaksi pemerintah Kolonial Belanda emosional. Pada 20
Juli 1913, pihak Kejaksaan mulai menyita brosur-brosur itu, dan
memusnahkannya. TM, RM Soewardi Soerjaningrat dan Abdoel Moeis diminta segera
menghadap Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) Mr. Monsato
yang secara sengaja didatangkan dari Batavia untuk memeriksa
mereka sebagai saksi.19 Pada saat didengar keterangannya RM Soewardi Soerjaningrat
mengakui terus terang bahwa ialah yang menulis dalam brosur itu.
Akhirnya, ia dinyatakan melanggar Undang-Undang Percetakan
pasal 26 yang intinya sanksi bagi mereka yang mengadu domba
antargolongan yang ada di dalam negeri. RM Soewardi Soerjaningrat dianggap membakar
semangat dengan mengadu domba antargolongan yang ada di
wilayah Hindia Belanda, dan langsung ditahan.20 Dikabarkan
18 Lihat Dra. Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm 29. Pengarang buku ini
mengutip dari tulisan EFE Douwes Dekker Mijmeringen van Indiers over
Hollands Feesttervierderij in de Kolonie, 1913, hlm. 68-73.
19 Lihat “Het Masker af” dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 6 Agustus 1913,
lembar ke-2.
20 De Preanger Bode dalam tulisan berjudul “Toelichting” terbitan 31
Juli 1913 memaparkan tentang penangkapan keempat anggota Komite
93----
oleh De Preanger Bode bahwa penangkapan itu dilakukan secara
tiba-tiba. Semuanya berlangsung serba cepat. Satu setengah
kompi pasukan dari Cikudapateuh dikirim untuk penangkapan
itu. Pasukan berada di bawah komando Letnan den Hartig yang
ditempatkan di sebelah timur stasiun , sementara di bengkel
kereta api RM Soewardi Soerjaningrat di sebelah barat berada di bawah komando Letnan
de Voogt. Beberapa gedung penting pemerintah seperti: kantor
pos, kantor telepon, rumah bupati, gedung residen dan kantor
asisten residen serta penjara dijaga ketat. Bahkan di Cimahi pada
peristiwa penangkapan itu disiagakan kesatuan kavaleri untuk
melindungi jalur telegraf dan telepon.21
Tentu saja, tuduhan itu langsung disangkal oleh yang
bersangkutan. Namun, proses hukum tetap berjalan, dan
dia memperoleh peringatan jeras untuk tidak mengulangi
perbuatannya. Alasannya adalah dapat menganggu keamanan
dan ketenteraman semua bangsa di Hindia Belanda. Namun,
RM Soewardi Soerjaningrat menyangkal terus tuduhan itu dengan alasan bahwa ia
kurang mengerti atas tuduhan menghasut dengan tulisan Als ik
eens Nederlander was. Ia membela diri bahwa yang ia tulis itu
sama dengan yang dirasakan oleh kaum bumiputera. Berhubung
tulisan ini dibuat dalam dua Bahasa, Belanda dan Melayu, maka
semua penduduk bisa membaca dan memahami tulisan itu.
Bumi Putra gara-gara tulisan Seandainya aku orang Belanda. Tulisan
ini dianggap menghasut dan meresahkan warga . Empat orang yang
ditangkap adalah TM, RM Soewardi Soerjaningrat , Abdoel Moeis, dan sekretaris Wignjadisastra.
21 Lihat “Een Arrestatie” dalam Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch Indie, 31 Juli 1913, lembar ke-2.
94 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Dengan demikian ia dianggap menghasut yang mengganggu
keamanan dan ketenteraman warga .
Lain RM Soewardi Soerjaningrat lain pula TM. Ia tidak mau memberikan
keterangan apa pun kepada Jaksa, karena dianggap bertentangan
dengan kode etik dalam undang-undang pers. Ia bahkan
diingatkan oleh jaksa bahwa sebelumnya telah terjadi kasus
yang mirip dengan peristiwa itu, yang menyangkut kasus
Redaktur Kepala surat kabar De Locomotief Vierhout yang
tidak mau menyebutkan siapa penulis artikel di dalam koran itu.
TM tidak mau menanggung resiko. Akhirnya ia berjanji untuk
menyebut nama-nama orang yang ikut serta dalam penyebaran
brosur-brosur itu. Abdoel Moeis termasuk orang yang dipanggil
untuk dimintai keterangannya. Ia mengakui bahwa ialah yang
menerjemahkan tulisan itu dari Bahasa Belanda ke Bahasa
Melayu. Akhirnya Abdoel Moeis dilepas karena hanya dianggap
sebagai seorang pembantu pelaksana saja.
Untuk menampik tulisan RM Soewardi Soerjaningrat Als ik eens Nederlander
was, terbit tulisan yang mirip sama di koran De Preanger Bode ,
tulisan yang berjudul Als ik eens Inlander was, yang ditulis oleh
H. Mulder. Banyak kata kotor muncul dalam tulisan yang bergaya
kasar ini. Bahkan, banyak kalangan para penduduk Belanda yang
tidak dapat menerima tulisan ini. Beruntung Menteri Koloni
Pleyte dalam sidang Parlemen Belanda menyatakan bahwa ia
merasa muak membaca tulisan yang sangat kasar itu.22
22. Lihat tulisan DMG Koch. Menuju Kemerdekaan, Pergerakan Kebangsaan
Indonesia sampai 1942. Terjemahan Abdoel Moeis: Om de Vrijheid),
Jakarta, Jajasan Pembangunan, 1941, hlm. 53.
95----
sesudah pemeriksaan terhadap tulisan RM Soewardi Soerjaningrat berakhir, pada
21 Juli 1913 ketiga anggota Komite dipanggil kembali untuk
diperiksa. Namun dari pemanggilan itu, tidak ada perubahan
apa pun dari berita acara yang dibuat pada hari sebelumnya.
Anggota komite berpendapat bahwa pemanggilan oleh pihak
kejaksaan menunjukkan bahwa pemerintah merasa terusik dan
menganggap bahwa peristiwa yang lebih besar bias terjadi.
Oleh karena itu sebagai insan pers, setidaknya TM dan RM Soewardi Soerjaningrat
ingin menjajagi lebih dalam lagi bagaimana reaksi pemerintah
di Batavia mendudukkan permasalahan ini. Berhubung tidak
ada kelanjutan apa-apa sesudah pemanggilan itu, pada 26 dan
28 Juli 1913 keluarlah tulisan mereka berdua di De Express .
Pada 26 Juli muncul tulisan TM yang berjudul Kracht of Vrees,
(Kekuatan atau Ketakutan). Kemudian pada 28 Juli 1913 muncul
tulisan RM Soewardi Soerjaningrat yang berjudul Een voor Allen, Allen voor Een (Satu
untuk semuanya, semuanya untuk satu). Dalam tulisannya ini
RM Soewardi Soerjaningrat berpendapat bahwa apa yang ia tuliskan mewakili perasaan
kaum bumiputra Walaupun sebagian besar warga diam
seribu bahasa, namun di balik itu semua dirasakan oleh semua
bumiputra termasuk TM dan RM Soewardi Soerjaningrat .
Dalam tulisannya itu, RM Soewardi Soerjaningrat mengajak kaum bumiputra
untuk bersikap tenang, dan selalu siap dalam menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi. Berikut sebagian isi tulisannya
itu:
…. Kita haroes mempoenyai kekoeatan dan kepribadian
dalam menghadapi perdjoeangan nasional ini. Djika
96 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
tidak, maka selamanja saoedara-saoedara akan tetap
menjadi boedak! Lepaskan diri dari perboedakan ini!.
E. Penghuni Hotel Prodeo
Pada 30 Juli 1913 secara tiba datang polisi yang
mengepung rumahnya, dan menangkap RM Soewardi Soerjaningrat . Pemerintah telah
memutuskan untuk menangkap dan menahannya. Selain
Soewardi, dr. Tjipto juga ditangkap dan ditahan bersamanya.
Dikerahkan polisi Belanda dan polisi Ambon yang bersenjata
lengkap untuk menahannya. Selain mereka berdua, Abdoel
Moeis dan AH. Wignyadisastra pun tidak luput dari penangkapan
polisi, karena mereka berdua bekerja sebagai komisaris Komite.
Mengingat bahwa Abdoel Moeis dan Wignjadisastra hanya
sebagai pembantu, dr. Tjipto melakukan protes atas penangkapan
mereka berdua. berdasar protes inilah Abdoel Moeis dan
Wignjadisastra dibebaskan kembali.
Beberapa hari sesudah itu, tepatnya pada 1 Agustus 1913,
DD tiba kembali ke tanah air sesudah beberapa mengunjungi
negeri Belanda untuk menjelaskan status dari partai yang
didirikannya Indische Partij di depan sidang Majelis Rendah
Belanda. sesudah mengetahui apa yang terjadi atas tulisan dua
sahabatnya itu, ia menulis di De Express terbitan 5 Agustus
1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en
RM Soerjadi Soerjaningrat (Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat). Tulisan
itu menjelaskan siapa sebenarnya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
97----
Ia adalah orang yang sangat kuat kepribadiannya, dan dikenal
sebagai orang yang taat pada prinsip yang diyakininya. Atas
jasanya keyika menumpas penyakit pes, ia dianugerahi bintang
tertinggi Ridder in de Orde van Oranje NaRM Soewardi Soerjaningrat au (Bintang Ksatria
dari Kerajaan Belanda), atas jasanya menumpas penyakit itu
yang menjalar di Surabaya, Malang dan Pasuruan pada April
1911.23 Tulisan DD ditujukan untuk memberikan klarifikasi
tentang siapa-siapa sebenarnya kedia tokoh yang telah ditahan
oleh kejaksaan.
Dengan ditahannya TM dan RM Soewardi Soerjaningrat dipenjara, Douwes
Dekker menulis sebagai berikut:
…..Bagaimanapoen djoega, teman-temankoe Tjipto
dan Soewardi, karena sikapnya jang berani di dalam
pendjara mereka tidak merasa terpoekoel djatoeh dan
merasa berbahagia demi kekoeatan bangsa Hindia.24
Sejak munculnya tulisan Soewardi yang pertama
yang menghebohkan warga , Comite Boemi Poetra tidak
diizinkan lagi mengadakan kegiatan apa pun. Semua isi koran
yang sudah terbit diperiksa dan mendapatkan pengawasan yang
sangat ketat. sesudah beberapa lama, hanya berita resmi saja
yang diizinkan untuk diterbitkan dalam koran.
Alasan penahanan RM Soewardi Soerjaningrat adalah bahwa ia yang menulis
brosur selebaran yang dianggap dapat mengganggu ketertiban
23. Lihat Tjipto Mangoenkoesoemo. De Pest op Java en Hare Bestrijding.
Catatan rapat umum pada 10 Januari 1914 di s’Gravenhage.
24. EFE Douwes Dekker, op.cit. hlm. 79.
98 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
warga dan keamanan umum. Namun dalam dakwaannya
RM Soewardi Soerjaningrat ditahan karena peranannya sebagai sekretaris dan bendahara
Comite Boemi Poetra. Oleh karena itu, dampak lain dari
penahanan itu adalah dibekukannya komite itu. Sementara itu,
penahanan TM didasarkan pada dakwaan yang tidak berdasar.
Untuk mengubah sikap TM, pemerintah mencoba untuk
melakukan pendekatan pada ayahnya yang saat itu menjadi
direktur Hoogere Burger School, yakni sekolah setingkat SMA
pada zaman Belanda. Tujuannya adalah untuk membujuk agar
TM tidak bersikap ekstrem. Namun ayahnya menolah untuk
melakukan itu.
Upaya kedua dilakukan dengan menawarkan kepada
adik TM untuk dapat sekolah di HBS secara gratis. Namun,
bujukan itu pun ditolaknya. Pemerintah kolonial tidak habis
akal untuk membujuk dr. Tjipto mangoenkoesoemo yang
telah mendapatkan bintang dari Sri Ratu Belanda. Melalui R.
Soemarsono seorang jaksa di Purwakarta yang merupakan teman
baiknya dan dr. Hazeu yang menjabat sebagai Adviseur voor
Inlandsche Zaken (Penasehat urusan bumiputera) menyarankan
agar TM mengajukan grasi agar tidak ditahan. Namun usaha ini
ditolaknya.
Selama masa penahanan itu, RM Soewardi Soerjaningrat mengalami sakit demam
tinggi, yang perlu segera ditangani oleh dokter, Permintaan
ini pun tidak dikabulkan oleh sipir penjara. Bahkan istrinya
yang bernama RA. Soetartinah yang datang dari Batavia tidak
diizinkan untuk menengok suaminya. Ia diharuskan memperoleh
99----
izin dari Gubernur Jenderal. Nasib yang sama dialami ayahnya,
secara khusus datang dari kota Yogyakarta, hanya diizinkan
untuk menemuinya selama 15 menit dengan didampingi oleh
komisaris polisi.
Beberapa upaya dilakukan agar RM Soewardi Soerjaningrat dan TM bersedia
untuk meminta maaf kepada pemerintah kolonial Belanda.
Namun mereka tidak mau. Kedua tokoh ini tetap tegar tidak
mau menuruti apa yang dikehendaki oleh pemerintah kolonial.
Nasehat yang diberikan oleh ayahnya pun dia terima. Namun
RM Soewardi Soerjaningrat tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau diminta untuk
mengundurkan diri dari semua kegiatan partai politik. Bahkan
dia mengajak seluruh keluarga agar merasa bangga bahwa
salah satu keluarganya dipenjara berkat pendiriannya yang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa. TM dan RM Soewardi Soerjaningrat sepenuhnya
menyadari bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sebagai
akibat dari sikap keras mereka itu.
DD melihat kedua sahabatnya ditahan, ia tidak tinggal
diam. Ia menulis di koran beberapa kali demi membela kedua
sahabatnya itu. Akhirnya DD dituduh melanggar pasal 47
undang-undang pemerintah kolonial Belanda yakni menganggu
keamanan dan ketertiban umum, dengan melakukan propaganda
yang menghasut warga dan dianggap merugikan
pemerintah kolonial pada khususnya dan pemerintah negara
induk pada umunya. Hal yang paling membuat marah penguasa,
saat ia menulis tentang Brieven van de Koningin (Surat-surat
untuk Ratu). Surat ini dianggap telah memprovokasi warga
100 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
untuk melakukan pemeberontakan terhadap pemerintah.
Akhirnya, DD mengalami nasib yang sama dengan kedua
sahabatnya, yakni ditangkap dan diadili.25 Walaupun di dalam
proses pengadilan pemerintah tidak dapat membuktikan apa
yang dituduhkan kepadanya, namun ia tetap ditahan hingga 11
Agustus 1913. Ia ditahan di rumah tahanan di Weltevreden. Pada
11 Agustus ia dihadapkan Residen Batavia H. Rijfsnijder, dan
dinyatakan bebas dari segala tuntutan dengan syarat tidak akan
memprovokasi warga dengan tulisan-tulisannya.
Namun apa yang disyraratkan pada EFE Douwes
Dekker tidak dipatuhinya. Ia tetap mengkritik penahanan kedua
sahabatnya itu, yang menyebabkan ia segera ditangkap dan
dipenjarakan bersama dengan kedua sahabatnya itu. RM Soewardi Soerjaningrat mencoba
menenangkan sahabat-sahabatnya bahwa perjuangan mereka
akan tertoreh pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Perang
urat syaraf antara mereka yang dipenjara dengan warga di
luar penjara terjadi. Desas-desus mengenai rencana pembuangan
mereka pun dihembuskan bahwa mereka akan dibuag ke Fak-
Fak Papua, atau ke Ambon atau bahkan ke tempat yang lebih
jauh lagi. Namun mereka bertiga tetap tegar dan pantang
menyerah, karena di dalam penjara pun mereka tetap menulis
dan memprotes kebijakan pemerintah kolonial.
Berhubung himbauan pemerintah tidak dihiraukan,
bahkan di dalam penjara pun mereka bertiga masih tetap
25. Lihat “Optreden der regeering” dalam De Preanger Bode, 5 Agustus
1913, lembar ke-2.
101----
melakukan provokasi politik, maka pada 18 Agustus 1913,
Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan kepada
ketiga tokoh ini. Atas persetujuan Raad van Nederlandsch Indie,
pemerintah memutuskan untuk menghukum ketiga tokoh ini
dengan dijauhkan dari warga yakni dengan cara dibuang,
dengan alasan demi keamanan dan ketertiban umum. Raad van
Justitie telah memutuskan bahwa ketiganya akan dibuang ke
luar pulau Jawa. berdasar keputusan pemerintah pasal 1
tanggal 18 Agustus 1913 nomor 2 a, dan berdasar pasal 47
peraturan tentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda demi
keamanan dan ketertiban umum, diputuskan:
- TM akan dibuang ke pulau Banda, karesidenan Amboina;
- RM Soewardi Soerjaningrat dibuang ke pulau Bangka; dan
- DD dibuang ke Kupang, karesidenan Timor. 26
Dalam waktu 30 hari sejak ditetapkan mereka harus
segera mengemas barang-barangnya untuk segera menjalani
pembuangannya. Namun berdasar peraturan yang berlaku,
apabila mereka menginginkannya, mereka dapat dikirimkan ke
Negeri Belanda sebagai tempat pembuangannya. Permintaan
ketiga tokoh ini dikabulkan untuk dibuang ke negeri Belanda
dengan harapan dapat melanjutkan kegiatan politik mereka.
Asumsi para pemegang keputusan di wilayah koloni, bahwa
dengan dibuang ke Belanda, mereka akan berhadapan dengan
tokoh-tokoh politik lainnya dan akan terlindas oleh lawan-
26. Lihat “Het Verbaningsbesluit” dalam Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch Indie. 29 Agustus 1913 lembar ke-1.
102 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
lawan politik mereka yang sudah senior dan memiliki reputasi
dunia. Dengan pertimbangan ini , hakim mengabulkan
permintaan mereka untuk dibuang ke negeri Belanda dengan
ketentuan 30 hari sesudah keputusan dibacakan, mereka segera
diberangkatkan ke negeri Belanda. Ketiga terhukum ini ,
walaupun diberikan kesempatan untuk melakukan hukum
dengan mengajukan banding, namun usaha mereka untuk
banding gagal. Hal ini menyebabkan rekan seperjuangan
mereka seperti dr. Wahidin Soedirohoesodo, H. Oemar Said
Tjokroaminoto melakukan protes kepada pemerintah atas
keputusan pembuangan itu. Selain teman seperjuangan mereka,
dari Belanda pun muncul reaksi yang keras baik dari partai
Buruh Sosial Demokrat ( Sociaal Democratische Arbeiders
Partij, dari rekatur majalah Theosofie juga melakukan protes.27
Namun, keputusan telah dijatuhkan dan mereka bertiga harus
segera menjalani hukumannya. Selain hukuman yang dijatuhkan
kepada ketiga tokoh ini, Comite Boemi Poetra juga dibubarkan
dan dianggap sebagai suatu organisasi yang terlarang di wilayah
koloni Hindia Belanda.
F. Perjalanan menuju Pengasingan
Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM, RM Soewardi Soerjaningrat
27. Mr.Toelstra, telah mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal bahwa
Partai Sosial Demokrat tidak menyetujui penahanan dan pembuangan
ketiga tokoh ini. Liht “Nog een Verrassi ” dalam De Tijd, 4 November
1913, lembar ke-2.
103----
bersama isterinya, dan DD beserta isteri dan anak-anaknya
berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok di Batavia menuju
ke negeri Belanda, sebagai tempat pembuangannya melalui
Singapura.28 Namun keberangkatannya mengalami penundaan,
sehingga dikhawatirkan batas waktu keberangkatan ke tempat
pengungsian akan terlewati. Pada 13 September 1913, kapal
mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk Priok. Dari atas kapal
Melchior Treub29, sebuah kapal milik maskapai pelayaran Jerman,
yang akan membawa mereka ke Belanda, RM Soewardi Soerjaningrat masih sempat
menulis pesan yang disampaikan kepada kawan-kawannya yang
mengantarnya dari pelabuhan Tanjung Priok. Pesan itu diberi
judul “Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving” (Peringatan
Kemerdekaan dan Perampasan Kemerdekaan). Beberapa
saat sebelum kapal bergerak, ia menerima kabar dari kawan-
kawannya bahwa uang sumbangan yang telah terkumpul telah
dikembalikan kepada para donaturnya.
Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan
menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan teman-
teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul
dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari
Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai),
28 Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Ki Hadjar Dewantara Dkk.
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980, hlm. 148.Lihat pula “DD Naar Europe”
dalam De Sumatra Post, 9 September 1913 lembar ke-2.
29 Sumber lain mengatakan bahwa mereka bertiga diangkut dengan kapal
Bulow dari pelabuhan Tanjung Priok. Lihat Irna HN Hadi Soewito
Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pistaka,
1985, hlm. 54.
104 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan
itu. Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari RM Soewardi Soerjaningrat dan
TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan
dua orang anaknya menerima f 250 per bulan. Tentu saja beaya
sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-
temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara
spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah
tangga.30
G. Kegiatan selama di Belanda
Kehadiran ketiga buangan politik ke Belanda disambut
musim salju yang mulai turun dan suasana politik yang memanas
sebagai akibatd ari dimulainya Perang Dunia I di Eropa. Kegiatan
pertama yang mereka lakukan adalah mencari tempat tinggal
agar mereka dapat segera berlindung dari serangan hawa dingin.
Dengan uang yang pas-pasan, mereka berhasil menemukan
tempat tinggal di lantai paling atas dari suatu apartemen. Uang
yang mereka peroleh dari dana TADO yang berasal dari Indische
Partij, sangat bermanfaat bagi mereka. Dari dana ini ,
keluarga RM Soewardi Soerjaningrat dan TM masing-masing menerima f 150 per bulan.
DD bersama isteri dan anak-anak mereka menerima f 250 per
bulan. Kondisi itu diketahui oleh kaum bumiputera yang sedang
melanjutkan sekolahnya di Belanda, seperti Gondowinoto,
30. Lihat “DD in Holland”, dalam Bataviaasche Nieuwsblad. 22 Oktober
1913, lembar ke-2.
105----
yang juga masih berkerabat dengan Sri Paku Alam. Keluarga
RM Soewardi Soerjaningrat menerima bantuan beras dan pakaian serta sekadar peralatan
rumah tangga dari Gondowinoto. Kondisi ini mendorong orang
Belanda yang simpati pada perjuangan kaum bumiputera
datang kepada keluarga RM Soewardi Soerjaningrat , namun semua tawaran yang baik
itu ia tolak. Demikian juga tawaran bantuan datang dari Van
Deventer yang menawarkan kepada RM Soewardi Soerjaningrat agar bersedia menjadi
guru di HIS (Hollands Inlandsche School ) di pulau Bangka
dengan pencabutan status hukuman buangnya dan iming-iming
gaji yang tinggi, namun tawaran itu tetap ditolaknya. 31
Kondisi kehidupan RM Soewardi Soerjaningrat beserta isterinya semakin
memprihatinkan. Cadangan uang dari bantuan TADO sudah
semakin menipis. Ketiga tawanan politik ini telah bersepakat
bahwa mereka tetap akan berkecimpung dalam bidang jurnalistik.
Oleh karena itu mulailah mereka menulis kembali yang akan
dikirimkan ke pelbagai surat kabar di negeri Belanda. Tentu saja
tulisan yang berbau propaganda ini akan memperjuangkan cita-
cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam kondisi keuangan
yang sangat kritis, timbul gagasan dari isterinya kalau ia akan
mengiktu tes untuk menjadi guru taman kanak-kanak Fröbel
School di Weimar, Den Haag. Dengan bekerjanya Soetartinah,
isteri RM Soewardi Soerjaningrat sebagai guru taman kanak-kanak, kondisi ekonomi
mereka mulai membaik. RM Soewardi Soerjaningrat dan TM mulai berkonsentrasi
31. Kesediaan RM Soewardi Soerjaningrat sebagai guru HIS di Bangka akan membebaskan dirinya
dari hukuman buang. Bila ia bersedia, ia akan menerima gaji sebesar f
200 per bulan, dan masih dapat dinegosiasikan tambahan gajinya, asalkan
ia mau menjadi pengajar di HIS di pulau Bangka.
106 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
untuk memberikan kontribusi mereka dalam bidang jurnalistik.
Walaupun isteri RM Soewardi Soerjaningrat sudah bekerja, namun berhubung kondisi
negeri Belanda sendiri sedang dalam kondisi perang akibat dari
mulainya Perang Dunia I, kondisi persuratkabaran Belanda
juga goyah, sehingga penghasilan mereka masih belum cukup.
Kondisi yang semakin memburuk menyebabkan kebiasaan
mereka makan nasi setiap hari harus diganti dengan roti, karena
harga beras di negara itu cukup mahal. Bantuan dan tawaran
kerjasama mereka tolak karena alasan tidak ingin terikat, Jadi
RM Soewardi Soerjaningrat maupun TM telah bersepakat untuk menerima kondisi apa
adanya, asalkan bebas dan tidak terikat oleh kepentingan orang
lain.
Bantun dari tanah air juga mengalir secara spontan. HOS
Tjokroaminoto sebagai ketua umum Serikat Dagang Islam dan
pimpinan harian Oetoesan Hindia sepakat untuk mengirimkan
uang dari tanah air sebesar f 25 per bulan untuk menambah
kebutuhan sehari-hari kedua tokoh itu. Dalam kondisi yang
semakin terpepet, DD berhasil memperoleh bantuan dari
pemerintah melalui Menteri Koloni FHT Pleyte. berdasar
surat dari Menteri Koloni, DD akan menerima tambahan uang
sejumlah f 175 sebulan dari Gubernur Jenderal di Batavia sebagai
bantuan selama ia dibuang. RM Soewardi Soerjaningrat juga akan menerima tambahan
uang sebesar f 75 sebulan dan TM akan menerima tambahan
uang sebesar f 125. sesudah pembayaran berakhir sesuai waktu
yang telah ditetapkan dalam surat itu, mereka diizinkan untuk
107----
meminta perpanjangan bantuan itu, hingga statusnya sebagai
tahanan buangan berakhir.
Dalam kondisi ekonomi yang menghimpit akibat terlalu
sedikit uang yang diterimanya, mereka bertiga telah bersepakat
untuk menulis guna mengisi pendapatan mereka, khususnya
guna menyambung kehidupan sehari-hari. Sejak masih di tanah
air, memang mereka dikenal sebagai penulis yang ulung. TM
dikenal sebagai penulis yang sangat lugas, bahasanya pendek-
pendek dan dengan mudah dapat dicerna oleh pembacanya. DD
dikenal sebagai penulis yang sangat kritis, yang sangat ditakuti
oleh lawan-lawannya. Tulisannya selalu menyerang lawan-
lawannya secara telak, sehingga orang sangat kagum dengan
kemampuan yang dimilikinya. Bahkan oleh penulis lainnya ia
mendapatkan julukan oproermaker (si Pemberontak). Demikian
pula RM Soewardi Soerjaningrat , yang menghebohkan di tanah air berkat tulisannya yang
berjudul Seandainya Aku Orang Belanda” yang mengakibatkan
mereka bertiga ditahan dan dibuang di negeri Belanda.
Atas bantuan dari Partai Buruh Sosial Demokrat
( Sociaal Democratische Arbeiders Partij), DD diberikan
kesempatan untuk memberikan caramah di Paleis voor Volkvlift
di Amsterdam. Ceramah itu mendapatkan banyak simpati dari
partai ini karena berisi tentang protes terhadap kolonialis.
Tentu saja partai Demokrat merasa senang karena ceramah
itu berisi tentang kritikan terhadap pemerintah yang saat itu
berkuasa. Dengan ceramah ini , partai Demokrat semakin
108 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
banyak mengkritik pemerintah, terutama atas terjadinya
ktidakadilan antara penduduk bumiputera dan kaum kolonial.
Pada kesempatan lain, ketiga orang buangan ini diminta
untuk memberikan ceramah di Gedung Diligentia di Den
Haag32. Acara itu dihadiri oleh banyak orang karena ada 3 orang
buangan dari Hindia Belanda yang akan memberikan ceramah
di gedung ini . Ketiganya menjadi tokoh yang dibicarakan
dalam baik dalam koran lokal di Hindia Belanda maupun koran-
koran di Belanda. Oleh panitia ketiganya dijajar di podium. TM
duduk di sebelah kiri disampinya RM Soewardi Soerjaningrat beserta isteri, dan kemudia
DD didampingi isterinya, sehingga ketiga tokoh ini tampah
dengan jelas dari kejauhan. Pada kesempatan ini DD diberikan
kesempatan untuk pertama berbicara. Ia mengemukakan falsafah
yang kemudian dikenal banyak orang, yakni Onhoorbar groeit
de padi ‘Padi tumbuh tanpa suara’. Ia mengumpamakan gerakan
nasional di Hindia Belanda tumbuh bagaikan padi yang sedang
tumbuh. Giliran TM tampil di mimbar. Dengan gayanya yang
khas, ia mengemukakan tentang rakyat di Hindia Belanda yang
ingin merdeka, bebas dari cengkeraman penjajah. Ia berbicara
dengan nada yang halus, tanpa ada rasa dendam sedikitpun
kepada bangsa Belanda. Giliran RM Soewardi Soerjaningrat berbicara sebagai pembicara
32 Dalam kegiatan itu DD menjelaskan kaitan antara Indische Partij dan
penahanannya. Pidato DD disambut dengan baik dalam ceramah di
gedung Diligentia, yang disewa untuk keperluan itu. Dilaporan bahwa
ketiga tahanan politik itu dengan gambling telah menjelaskan proses sejak
awal hingga mereka dibuang ke negeri Belanda. (Lihat “DD in Holland”
dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Oktober 1913 lembar ke-2).
109----
ketiga. Dengan kepribadiannya yang halus ia menjelaskan
mengapa mereka bertiga sampai menjadi orang buangan di
negeri Belanda.
Banyak orang yang menghendaki agar pertemuan seperti
itu sering diselenggarakan. Permintaan itu muncul karena pera
hadirin banyak yang tidak memahami apa yang terjadi di wilayah
Hindia Belanda. Oleh karena itu, atas kesepakatan bersama
mereka membuat sebuah majalah yang ditujukan bagi para
pemuda di Hindia Belanda. Majalah itu diberi nama De Indiër,
yang dipimpin oleh TM. Pada edisi pertama dimuat tulisan
DD dan TM, yang menjelaskan bahwa majalah ini merupakan
kelahiran kembali Indische Partij yang telah dibubarkan
sebelum mereka diberangkatkan dengan paksa ke Belanda.33
Sementara itu RM Soewardi Soerjaningrat meluruskan pandangan pendapat kebanyakan
orang Belanda tentang kondisi di Hindia Belanda. Hal ini ia
tegaskan karena informasi yang ada di Belanda tidak sesuai
dengan kenyataannya di wilayah koloni. Ia lebih sening untuk
berkeliling di beberapa wilayah di Belanda untuk memberikan
ceramah tentang kondisi yang sebenarnya terjadi di tanah air.
Kegiatan RM Soewardi Soerjaningrat beserta kawan-kawannya mendapat bantuand ari
Algemeen Nederlands Verbond ( Perkumpulan Umum di negeri
Belanda), Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh
Sosial Demokrat) yang saat itu beroposisi dengan pemerintah,
33 Lihat Frans Berding dalam “Wat we willen” yang dimuat dalam De
Indiër, tahun I, 1913, hlm. 1-2.
110 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
dan mingguan terbitan Rotterdam yang berjudul Oost en West. 34
Majalah ini sesuai dengan judulnya, omsetnya cukup banyak,
dan beredar tidak hanya di Eropa (West ) namun juga di Hindia
Timur (Oost). 35
Dengan demikian, TM dan RM Soewardi Soerjaningrat sudah kembali berkarya
sesuai dengan bidang yang selama ini ditekuninya, yaitu dalam
bidang pers. Beberapa kali tulisannya dimuat dalam dalam
mingguan De Indiër, atau kadang-kadang ditulis bersama-
sama oleh ketiga orang buangan ini.Tulisan-tulian mereka dapat
dimuat antara lain di Koloniaal Weekblad, mingguan Indie,
Nederlandsch Indië oud en Nieuw, Hollandsche Revue, De
Nieuwe Courant, Nieuwe Amsterdammer, Groene Amsterdammer,
Het Volk, Bataviaasche Nieuwsblad, Mataram, Darmo Kondo,
Oetoesan Hindia, De Express , dan beberapa majalah atau koran
lainnya.36
Selain sebagai penulis aktif di beberapa koran dan
mingguan, RM Soewardi Soerjaningrat juga mendirikan Indonesisch Pers Bureau (Biro
Pers Indonesia). Kantornya terletak di Fahrenheitstraat nomor
473, Den Haag. Untuk mendirikan kantor Biro Pers Indonesia
ini, RM Soewardi Soerjaningrat meminjam uang sebesar f. 500 dari H. Van Kol, seorang
34. Lihat Darsiti Soeratman Pahlawan Nasional Ki Hadjar Dewantara,
Jakarta:Djambatan, 1977, hlm. 41.
35. Majalah ini diterbitkan sejak 1878, dan saat itu dijual f 0.10 sen per
eksemplarnya. Majalah ini memuat berbagai macam berita dari Belanda,
surat-surat dari wilayah koloni, cerita pendek, iklan, dsb. Dalam majalah
ini nama Soewardi Soerianingrat tercatat sebagai redaktur pembantu
untuk koresponden Belanda.
36. Lihat Irna H.N. HadiSoewito, Soewardi Soerjaningrat dalam
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 70.
111----
anggota Staten Generaal, yang pernah bekerja di Hindia Belanda
sebagai Kepala Departemen Pekerjaan Umum di Jawa. Uang
ini akan dia kembalikan secara bertahap sebesar f 25 setiap
tanggal 1 setiap bulannya. Maksud dan tujuan didirikannya
Biro Pers Indonesia antara lain untuk memberikan gambaran
dan penjelasan kepada warga Belanda di negeri Belanda
tentang apa yang sebenarnya terjadi di wilayah koloni Hindia
Belanda. 37 Biro Pers Indonesia ini tidak hanya bergerak dalam
bidang pers, namun juga dalam pengembangan kesenian.
Selain berkecimpung dalam bidang pers, RM Soewardi Soerjaningrat mulai
tertarik untuk mengikuti pelajaran di Lager Onderwijs (Sekolah
Guru), sesuai apa yang dicita-citakan selama ia mulai aktif di
Indische Partij, sekaligus melihat aktivitas isterinya sebagai
guru di Fröber School. Sekolah guru ini diselenggarakan
oleh Menteri Dalam Negeri di Den Haag. Setamat mengikuti
sekolah itu, ia memperoleh akta mengajar Akte van Bekwamheid
als Onderwijzer (Ijazah Keterampilan Mengajar). Berita ini
37. RM Soewardi Soerjaningrat pernah menerima surat dari GH Fromberg yang beralamat di
Bourbonstraat no. 16 Charlotte, pada 29 November 1918. Ia menawarkan
kepada RM Soewardi Soerjaningrat apakah bersedia menerbitkan tulisannya yang berjudul “Het
Geval Soewardi” (Peristiwa Soewardi). Apabila RM Soewardi Soerjaningrat tidak bersedia,
maka ia akan mengirimkan tulisannya itu ke majalah De Gids. Surat itu
disambut senang hati oleh RM Soewardi Soerjaningrat demi berkembangnya Pers Biro Indonesia.
Selain itu, RM Soewardi Soerjaningrat juga pernah menerima surat dari Wakil Kepala Centraal
Bureau voor Sociale Adviezen (Biro Pusat Penasehat Sosial) tertanggal 8
Agustus 1918 yang berkeinginan menarik RM Soewardi Soerjaningrat untuk bersedia bekerja sama
dengan dengan biro ini . Tawaran ini diterimanya dengan senang hati,
dengan suatu syarat bahwa ia tidak mau nama RM Soewardi Soerjaningrat dicantumkan dalam
tulisan-tulisannya, mengingat bahwa statusnya adalah orang buangan.
112 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
mengagetkan teman-temannya, terutama DD. Oleh karena
itu, ia memberikan saran kepadanya agar tidak lagi membuat
permasalahan politik baik di Negeri Belanda maupun di
wilayah koloni. Selepas memperoleh ijazah ini , banyak
pihak menyarankan agar dia dapat memanfaatkan kesempatan
untuk mengajar di sekolah di Belanda. Momen-momen
kebahagiaan tiga tokoh buangan ini segera berakhir, karena
DD harus segera melanjutkan studinya ke Zurich di Jerman
untuk menekuni ilmu ekonomi. Sementara itu TM harus segera
dikembalikan ke wilayah Hindia Belanda karena penyakit asma
yang dideritanya.38
Kepiawaian RM Soewardi Soerjaningrat dalam menulis, menyebabkan dirinya
ditawari untuk bekerja di Nederlandsch Zuid-Afrikaansch Pers
Bureau (Biro Pers Afrika Selatan di Belanda). Demikian pula
redaktur majalah Oost en West meminta kepadanya untuk lebih
sering menulis untuk diterbitkan di majalahnya. Nama RM Soewardi Soerjaningrat mulai
naik daun. Banyak kalangan terutama kalangan mahasiswa
yang belajar di negeri Belanda, mulai tertarik dengan tulisan
RM Soewardi Soerjaningrat , dengan memperkokoh semangat kebangsaan mereka. RM Soewardi Soerjaningrat
mulai bergabung dengan Indische Vereeniging yang didirikan
oleh R. Soemitro pada 1908. Wadah persatuan Indonesia ini
tidak hanya diikuti oleh bangsa Hindia, melainkan juga diminati
oleh orang Tionghoa dan maupun orang Belanda. Bersama
38. TM berdasar keputusan Gubernur Jenderal Idenburg 27 Juli 1914,
diizinkan kembali ke tanah air. Semula ia harus dikirimkan ke tempat
pembuangannya di Banda. Namun berhubung alas an kesehatannya, ia
diizinkan untuk tinggal di kota Solo.
113----
dengan para mahasiswa inilah RM Soewardi Soerjaningrat banyak berkecimpung dalam
bidang kesenian. Hal yang mengejutkan terjadi tatkala Indische
Vereeniging yang beralamat di Havenstraat 7 A, Delft mengirim
surat kepada RM Soewardi Soerjaningrat di Fahrenheitstraat 475 untuk memintanya
menjadi tenaga arsiparis lembaga itu dengan memperoleh
imbalan sebesar f 7.50 untuk setiap bulannya. Surat pengangkatan
ini ditandatangani oleh Goenawan Mangoenkoesoemo di atas
sebuah kartupos. Dari sini, kepercayaan terhadap dirinya terus
berkembang, bahkan RM Soewardi Soerjaningrat diminta untuk menangani majalah
mereka yang berjudul Hindia Poetra. Tak lama kemudian, ia
diangkat menjadi ketua redaksi majalah itu. Kebijakan yang
diterapkannya agar tidak terputus dengan kondisi di Hindia
Belanda, ia mengutip beberapa berita dari surat kabar Oetoesan
Hindia, Medan Boediman, dan koran-koran Hindia Belanda
lainnya. Perkembangan Hindia Poetra tidak terlepas dari paham
yang pro maupun kontra. Jelaslah bahwa harian Maasbode
menyambut dengan hangat mulai tergarapnya majalah Hindia
Poetra ini. Namun majalah Het Vaderland mengkritik habis-
habisan munculnya majalah Hindia Poetra. Hal ini tidak terlepas
dari ideologi dari masing-masing majalah itu. Selanjutnya dalam
perkembangannya, pada 17 April 1917 malam diselenggarakan
pertemuan dengan Koninkelijke Nederlandsche Vereeniging di
Amsterdam. Pada kesempatan itu RM Soewardi Soerjaningrat telah membuat corat-coret
di atas peta Hindia Belanda dengan tulisan De Kurk, waarop
Neerlands welvaart drijft (Sebuah Gabus, di mana kemakmuran
Belanda terapung). Di bawah peta dia menulis Het Paard,
114 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
waarop... een dief zit!. ( Kuda, di atas mana... seorang pencuri
duduk). Hal ini menyebabkan munculnya reaksi dari orang-
orang Belanda, yang membuat persatuan orang Hindia semakin
kokoh. Oleh sebab itu, organisasi Indische Vereeniging diganti
namanya menjadi Indonesische Vereeniging , dan majalah Hindia
Poetra diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Di sela-sela waktu senggangnya, RM Soewardi Soerjaningrat mulai membaca
karya beberapa tokoh pendidikan seperti MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori dari Italia,
dan karyo tokoh pendidikan India Rabindranath Tagore. Ia
sangat berkesan dengan kedua tokoh pendidikan itu. MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori
mementingkan hidup jasmani anak-anak dan mengarahkannya
agar mereka memiliki kecerdasan budi. Menurut MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori
dasar utama pendidikan adalah adanya kebebasan dan
spontanitas untuk memperoleh kemerdekaan hidup dalam arti
seluas-luasnya. Sementara itu tokoh pendidikan Rabindranath
Tagore, pendidikan merupakan suatu syarat untuk memperkokoh
kemanusiaan dalam arti seluas-luasnya, termasuk dalam bidang
keagamaan. 39 Bagi RM Soewardi Soerjaningrat sendiri, mereka itu adalah pembongkar
dunia pendidikan lama serta pembangunan pendidikan yang
baru, yang mendasarkan diri pada Kebudayaan Nasional.
Prinsipnya adalah Kembali Kepada yang Bersifat Nasional.
RM Soewardi Soerjaningrat yang semula adalah seorang politikus, telah berganti
profesi menjadi seorang penulis. Profesinya ini ia manfaatkan
benar untuk melakukan rekonsiliasi dengan beberapa elemen
warga yang menganggap betapa pentingnya memunculkan
rasa nasionalisme di Hindia Belanda. Berkat perenungannya
yang cukup cerdas, dibarengi dengan perluasan wawasan
tentang pendidikan, tekadnya untuk menyiapkan generasi muda
dalam menyongsong kemerdekaan semakin besar. Ia semakin
yakin sesudah memahami pandangan tokoh pendidik dari Italia
dan India, bahwa generasi muda perlu dipersiapkan dengan
baik. Perubahan secara radikal dapat dilakukan apabila dimulai
dari generasi muda.
Upaya mendidik kaum muda merupakan syarat utama
dalam membebaskan diri dari kungkungan penjajah. Pendidikan
yang mendasarkan kebudayaan nasional akan mampu
menampik semua upaya pembodohan warga melalui
pendidikan sistem kolonial. Pendidikan kolonial yang ada pada
saat itu tidak membuat warga menjadi cerdas, melainkan
mendidik manusia yang tergantung pada nasib dan bersikap
pasif, menunggu perintah atasan tanpa memiliki inisiatif untuk
memajukan bangsanya yang nyata-nyata berada di bawah garis
kemiskinan. Jumlah anak-anak bumiputera yang masih buta
huruf seera harus diatasi. Keinginan untuk merdeka harus
dimulai dengan mempersiapkan kaum bumiputera yang bebas,
mandiri, cerdas, dan siap bekerja keras. Oleh karena itu generasi
116 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
muda, khususnya anak-anak harus dipersiapkan agar kelak
menjadi bangsa yang mandiri, sadar akan makna kemerdekaan,
sehingga kesadaran akan merebut kemerdekaan bangsa dan
mempertahankan kemerdekaan itu hanya dimiliki oleh orang-
orang terdidik yang memiliki jiwa merdeka.
Pengajaran di bawah pemerintah kolonial menjadikan
bangsa Hindia Belanda selalu bergantung kepada bangsa Eropa.
Oleh karena itu, kondisi ini harus diubah tidakhanya melalui
gerakan politik, namun juga melalui gerakan pendidikan dan
pengajaran nasional yang kondisinya saat itu sangat diperlukan
kehadirannya. Pendidikan nasional harus mampu untuk mandiri,
merdeka, berdasar kekuatan sendiri. Merdeka berarti bebas
dari semua jenis ikatan. Demikian pula prinsip pendidikan bagi
anak-anak muda tidak untuk meminta hak mereka, melainkan
untuk menitikberatkan kepada perkembangan si anak itu sendiri.
Oleh karena itu, tema pendidikan yang penting adalah pendidikan
yang tumbuh menurut kodrat, yang didasarkan atas budaya
nasional, yang dilakukan dengan sistem among. Para pendidik
harus Tut Wuri handayani (Mengikuti dan mempengaruhi
agar anak asuh dapat berkembang ke arah yang baik”. Dengan
adanya sistem ini, maka bebaslah anak dalam mengembangkan
bakatnya dan mereka akan selalu penuh dengan inisiatif, tanpa
harus menunggu perintah yang diberikannya. Semua ini
hanya dapat terjadi dengan tekad yang bulan, menghancurkan
semua hambatan yang berada di depannya. Rawe-Rawe Rantas,
Malang-Malang Putung.
Dalam periodisasi Sejarah Indonesia, awal abad
XX merupakan salah satu episode yang ditandai dengan
tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang mendorong terbentuknya
nasionalisme Indonesia yang mulai tumbuh meski masih
bersifat abstrak. Di sisi lain, kekuasaan Pemerintahan Hindia
Belanda semakin konkret terwujud karena wilayah kekuasaan,
hukum, dan struktur pemerintahan yang nyata sudah terbentuk.
Nasionalisme Indonesia, tumbuh di seluruh strata sosial,
termasuk di lingkungan priyayi (bangsawan) Jawa. Mereka
tumbuh sebagai representasi kelompok “pembangkang” terhadap
tatanan sosial-budaya yang telah mengakar kuat di warga
Jawa. Mereka sadar bahwa tatanan tradisional ini menjadi
alat efektif Pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan
kekuasaannya yang nyata di Indonesia
Dari sekian banyak tokoh pergerakan nasional
generasi pertama, ada golongan priyayi Jawa yang
berpikiran nasionalis, yaitu Soewardi Soerjaningrat, Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo. Ketiga tokoh ini
memiliki karakter yang berbeda dalam menyebarluaskan
nasionalisme Indonesia. Sebagaimana digambarkan oleh
Savitri Prastiti Scherer (1985), Soewardi Soerjaningrat adalah
seorang nasionalis yang masih kuat memegang nilai-nilai
tradisi. Sementara itu, Tjipto Mangoenkoesoemo digambarkan
sebagai seorang nasionalis yang menunjukkan jati diri sebagai
seorang pembakang (terhadap nilai-nilai tradisi) sedangkan
Soetomo dipandang sebagai seorang nasional moderat sehingga
ditempatkan sebagai juru damai.
Dengan persamaan yang dimiliki, sekaligus melekat
di dalamnya perbedaan yang begitu kontras, menarik untuk
diungkap latar belakang budaya yang membentuk karakter ketiga
tokoh nasionalis ini . Menarik juga untuk dikaji tentang
pemikiran ketiganya yang sangat berpengaruh, tidak hanya
pada masa pergerakan nasional, namun masih dirasakan sesudah
Indonesia merdeka. Kedua hal itulah yang menjadi tujuan utama
penulisan makalah ini.
B. Profil Ringkas Tiga Serangkai
Soewardi Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 di
Yogyakarta. Ayahnya, Pangeran Soerjaningrat merupakan
putra pertama Paku Alam III sehingga status sebagai putra
mahkota Pakualaman melekat pada dirinya. Dengan perkataan
lain, Soewardi Soerjaningrat merupakan pewaris kedua tahta
Pakualaman apabila Paku Alam III mangkat dan ayahnya tidak
bisa naik tahta. Akan namun , tahta Pakualaman itu diserahkan
oleh Belanda kepada saudara sepupu Pangeran Soerjaningrat
yang kemudian menjadi Paku Alam IV.1 sesudah Paku Alam IV
mangkat, tahta diserahkan kepada Paku Alam V yang tidak lain
adalah adik laki-laki Paku Alam III. Dari sini, tahta Pakualaman
1. Irna Hanny Hadi Soewito (1982: 51-52) mengatakan bahwa kegagalan
Pangeran Soerjaningrat menjadi Paku Alam IV karena mengalami cacat
netra sejak lahir dan Pemerintah Hindia Belanda menolak menyerahkan
tahta Pakualaman kepada adiknya, Pangeran Sasraningrat karena masih
terlalu muda. Atas usul Ratu Sepuh, sebagai pinisepuh Pakualaman, salah
seorang cucunya yang sarat pengalaman di bidang kepamongprajaan
diangkat menjadi Paku Alam IV.
diwariskan kepada keturunan Paku Alam V2
Dengan kondisi ekonomi yang tidak lebih baik
dibandingkan dengan para pangeran Pakualaman lainnya,
Soewardi Soerjaningrat dimasukkan ke Europeesche Lagere
School (ELS). Selesai dari ELS, Soewardi Soerjaningrat
melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru di Yogyakarta.
Akan namun , tidak selesai karena terbentur masalah biaya. Saat
itulah, datang tawaran beasiswa dari dr. Wahidin Soedirohoesodo
kepada Soewardi untuk menempuh pendidikan di School tot
Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Dengan beasiswa itu,
pada 1905, Soewardi mulai belajar ilmu kedokteran di Stovia,
yang di kalangan pribumi lebih dikenal dengan sebutan Sekolah
Dokter Jawa.3 Akan namun , pendidikan Soewardi di Stovia
2. Dengan pewarisan tahta Pakulaman kepada keturunan Paku Alam V, maka
Pemerintah Hindia Belanda telah memutus hak atas tahta Pakualaman
bagi seluruh keturunan Paku Alam III. Selain itu, kedua anak Paku Alam
III pun menghadapi intrik di antara pangeran yang berdampak pada
“keluarnya” mereka dari keraton. Situasi ini merupakan pondasi awal
bagi Soewardi Soerjaningrat dalam pembentukan karakternya, yakni
aristokrat yang merakyat
3. Masuknya Soewardi Soerjaningrat ke Stovia di luar tradisi kalangan
priyayi-aristrokrat. Hal yang sama ditempuh juga oleh kakaknya yang
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian di Bogor. Lazimnya,
seorang keturunan priyayi-aristokrat, menempuh pendidikan ke HBS
atau Osvia zDalam pandangan Liesbeth Hasselink
pada umumnya, kaum priyayi memiliki karakter sebagai
administrator pemerintahan. Oleh karena itu, mereka akan menyekolahkan
anak laki-lakinya ke Osvia, bukan ke Stovia. Secara pragmatis, sebagai
administrator pemerintahan, priyayi memiliki tanggung jawab, yang di
dalamnya melekat faktor kekuasaan. Sementara itu, seorang dokter tidak
memiliki tanggung jawab di birokrasi dan memiliki karakter tunduk atas
perintah. Dalam perspektif inilah, pilihan ke Osvia menjadi “sebuah
terhenti pada 1910, karena selama empat bulan mengalami sakit
sehingga dirinya gagal naik kelas
sesudah gagal menyelesaikan pendidikannya di Stovia,
Soewardi memutuskan untuk bekerja di pabrik gula Kalibagor
di Banyumas (Jawa Tengah), kemudian bekerja di apotek
Rathkamp, Yogyakarta. Dengan pengalaman pendidikannya
di Stovia, Soewardi mencoba untuk menjadi peramu obat-
obatan di tempatnya bekerja, namun usahanya ini gagal.
Kegagalannya itu disebabkan oleh ketidakfokusan dirinya
terhadap pekerjaannya karena tertarik dengan dunia jurnalistik
yang ditandai dengan pengiriman artikelnya secara konsisten
ke surat kabar De Express dan Oetoesan Hindia . sesudah
diberhentikan dari Apotek Rathkamp, pada 1912, Soewardi
ditawari bekerja di De Express oleh Ernest François Eugène
Douwes Dekker yang berkantor di Bandung
4 . Tawaran ini langsung
diterima karena sesuai dengan minatnya yang mulai tumbuh
di dunia jurnalistik.5 Sejak saat itu, Soewardi Soerjaningrat
kewajiban” bagi kalangan priyayi, dibandingkan dengan Stovia yang
menjadi pilihan utama bagi priyayi rendah.
4. Ernest François Eugène Douwes Dekker menawari pekerjaan di De
Express kepada Soewardi Soerjaningrat karena sangat terkesan dengan
tulisan-tulisannya yang dimuat di koran De Express dan Oetoesan Hindia .
Tulisan-tulisannya yang dibuat selama bekerja di Pabrik Gula Kalibagor
dan Apotek Rathkmap itu, sangat tajam mengkritik pemerintah sehingga
Dekker memandangnya sebagai individu dengan visi yang sejalan
dengan dirinya
5. Soewardi telah mengenal Douwes Dekker saat masih sekolah di
Stovia yang ada saat itu berkedudukan sebagai redaktur Bataviaasche
Nieuwsblad , sebuah surat kabar berhaluan bebas dan tidak mengikuti
haluan Pemerintah Hindia Belanda. Douwes Dekker dengan surat
berhasil membentuk jati dirinya sebagai salah seorang pemimpin
pergerakan yang sangat dikhawatirkan Pemerintah Hindia
Belanda sehingga setiap tindak-tanduknya tidak terlepas dari
pengawasan pemerintah. Buah penanya begitu tajam mengkritik
pemerintah, sehingga pernah dibuang ke Belanda bersama-sama
dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, rekan seperjuangannya di
Bandung.
Tokoh kedua dari tiga serangkai dalam makalah ini adalah
dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang dilahirkan di Ambarawa
pada 1886 sebagai anak pertama dari sebelas saudara.6 Ayahnya,
Mangoenkoesomo, merupakan seorang guru Bahasa Melayu di
Sekolah Dasar Pribumi di Ambarawa. Sementara itu, kakeknya,
Mangoensastro, merupakan seorang guru agama dan putra tertua
seorang perwira pasukan Pangeran Diponegoro. Meskipun
demikian, Tjipto tidak termasuk sebagai golongan priyayi-
birokratis karena tidak seorangpun dari kerabatnya yang bekerja
di pemerintahan
Meskipun berasal dari kalangan priyayi rendah,
kabarnya itu berhasil menarik simpati dari para murid Stovia dan
secara pribadi, Douwes Dekker menaruh kekaguman kepada Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Di awali dengan saling
berkomunikasi, ketiganya berhasil menjalin persahabatan karena merasa
memiliki satu tujuan yang sama, yakni membebaskan warga
pribumi dari ketidakadilan akibat kebijakan Pemerintah Hindia yang
bersifat diskrimintif .
6. Mengenai jumlah saudara kandungnya, M. Balfas (1952: 30) mengatakan
bahwa Tjipto memiliki delapan orang saudara kandung, sedangkan
Savitri Prastiti Scherer (1985: 122) mengatakan bahwa saudara kandung
Tjipto seluruhnya berjumlah sepuluh orang.
Mangoenkoesoemo berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tjipto diterima sebagai
siswa STOVIA yang mendapat predikat dari para gurunya
sebagai murid yang berbakat (een begaald leerling ).7 Predikat
itu diberikan, karena selama menempuh pendidikannya di
STOVIA, Tjipto dinilai sebagai pribadi yang cerdas, jujur, rajin,
berpikiran tajam, dan bersikap tegas. Sikap tegasnya itu, tidak
dapat dilepaskan dari situasi lingkungan sosial-budayanya.
Tjipto terdorong untuk melabrak tradisi bahwa priyayi rendah
harus membungkukkan badan apabila berjumpa dengan priyayi
tinggi dan pejabat Belanda dari golongan apapun.
Perlakuan diskriminatif itu, diterapkan juga dalam
penggunaan baju, baik batik maupun model baju Belanda.
Penggunaan baju tradisional Jawa bagi priyayi rendah sekaligus
sebagai pembeda status sosial yang berdampak pada perlakuan
sosial yang mereka terima. Oleh karena itu, mudahlah dipahami
kalau sejak 1907, Tjipto acapkali melontarkan kritik terhadap
Pemerintah Hindia Belanda dan kalangan priyayi aristrokrat dan
priyayi birokratis, karena mereka pada dasarnya menyokong
Pemerintah Hindia dalam proses merendahkan martabat bangsa
7 Tiga orang adik Tjipto, yakni Gunawan, Budiardjo, dan Sjamsul
Ma’arif pun melanjutkan pendidikan ke Stovia. Sementara itu, adiknya
yang lain, Garmawan, melanjutkan pendidikannya ke Delf Universiteit
di Negeri Belanda ,Hal ini menunjukkan
bahwa Mangoenkoesoemo, seorang priyayi rendah, telah berhasil
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi sehingga
mampu meningkatkan status sosial mereka sebagai priyayi-profesional
sendiri. Kritik ini dilontarkan Tjipto melalui artikel
yang dimuat di surat kabar De Locomotif dan Bataviaasche
Nieuwsblad .
Sikap kritis yang melekat pada diri Tjipto diperlihatkan
juga oleh tindakannya yang membangkang terhadap tradisi di
kalangan warga Jawa. Sebagai seorang dokter, Tjipto
memiliki status tinggi dan terhormat di kalangan Pemerintahan
Hindia Belanda. Akan namun , dalam pandangan warga
Jawa, profesinya sebagai dokter tidak berpengaruh apa-apa
terhadap status sosialnya. Dokter Tjipto, hanyalah seorang
priyayi rendah yang status sosialnya tidak lebih tinggi daripada
seorang asisten wedana. Tindakan pembakangannya terhadap
tradisi diperlihatkan saat bekerja di Demak. Sebagai
seorang dokter, Tjipto memiliki gaji tinggi sehingga mampu
membeli dua ekor kuda untuk menarik keretanya. Tindakan
Tjipto mendapat reaksi keras dari Hadiningrat, Bupati Demak
karena sesuai tradisi kepemilikan kereta dengan dua ekor kuda
merupakan hak istimewa bupati dan keturunan dekatnya. Sikap
yang sama diperlihatkan Tjipto saat bekerja di Surakarta. Pada
saat itu, Tjipto menggunakan alun-alun untuk dijadikan sebagai
tempat melatih kudanya. Tindakan ini mengundang reaksi
keras dari Sunan karena secara tradisi, penggunaan alun-
alun merupakan hak istimewa Sunan dan keturunan dekatnya
Sikap berani Tjipto ditujukan pula kepada Pemerintah
Hindia Belanda saat ia menerima penghargaan Ridderkruis van
Oranye-NaRM Soewardi Soerjaningrat au. Penghargaan itu diterima oleh Tjipto sesudah
berhasil membasmi wabah pes di Malang pada 1910. Waktu
itu, banyak dokter yang menolak membasmi penyakit menular
itu. Akan namun , Tjipto menerims