• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ki hajar dewantara 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ki hajar dewantara 2. Tampilkan semua postingan

ki hajar dewantara 2




perhatian yang dicurahkan; jika tidak maka orang tidak akan 
memberikan nama khusus pada lembaga ini: pawiyatan (wiyata  
= belajar). Jadi pada prinsipnya sosok guru memberikan 
bimbingan hidup. Inilah yang disebut dengan kata yang lain 
“pengajaran”.
 Dalam “rumah sekolah Taman Siswo ideal”, para murid 
selama pagi, siang dan malam sibuk dengan belajar, dengan 
olah raga atau olah seni, di bawah bimbingan para gurunya. 
Semuanya tinggal dengan keluarga mereka. Kurikulum pagi 
biasa tidak terlalu penting dibandingkan dengan kebersamaan 
murid dan guru selama ini sampai larut malam. Kenyataan tidak 
bisa dibantah bahwa para murid mengalami kehidupan keluarga 
yang sama dalam asrama (sebuah nama lain bagi paguron  dalam 
masa Hindu-Jawa) seperti di rumah bersama ayah dan ibunya.
 Yang dimaksudkan kata “among” dalam bahasa Jawa 
adalah “membimbing”. Dalam kehidupan sehari-hari kata 
ini digunakan bagi hubungan pengasuh yang diserahi tugas 
membimbing anak kecil. Dalam wayang istilah ini ditemukan 
kembali pada hubungan panakawan, khususnya Semar dengan 
Arjuna. Akan namun  dalam prinsip yang dianut oleh Taman 
Siswo kondisinya sedikit berbeda, lebih dalam lagi dan harus 
69Djoko Marihandono
dihubungkan dengan pandangannya tentang tugas manusia di 
dunia ini.
 Di Taman Siswo perlu dibedakan tiga periode 
perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa. Setiap periode 
mencakup waktu delapan tahun (windu). Windu pertama 
disebut “zaman wiraga” (wi = mengikuti, raga = fisik). Hal
ini merupakan masa perkembangan fisik dan bagian tubuh
lainnya. Windu kedua disebut “zaman wicipta”. Periode ini 
merupakan perkembangan daya intelektual anak, yang  sangat 
mempengaruhi sifat pemahamannya. Windu ketiga disebut 
‘zaman wirama” (wirama = keharmonisan). Ini merupakan masa 
penyesuaian dengan dunia luar, di mana anak akan menentukan 
tempat yang akan didudukinya di sana. sesudah masa ini, anak 
menjadi dewasa. Pada masa ini anak sudah mencapai usia sekitar 
23 tahun.25
 Lembaga sekolah disesuaikan dengan tuntutan khas 
setiap periode. Cabang “Taman Muda” bagi Siswa kira-kira 
berkisar dari 9 sampai 14-16 tahun. Periode ini bagi sebagian 
besar merupakan “zaman wicipta”, windu kedua. Taman Anak 
dan Taman Muda besama-sama menjadi cabang pendidikan dasar 
utuh. Lembaga pendidikan menengah yang berada di atasnya 
mencakup lima tahun ajaran, dibagi dalam dua sub-cabang, satu 
cabang awal tiga tahun yang disebut Taman Dewasa dan cabang 
lanjutan  dua tahun yang disebut Taman Dewasa Raya (yang 
berarti di sini adalah diperluas). Kedua cabang ini menampung 
25. Arsip Taman Siswo  nomor B28 D Koleksi Nationaal Archief Nederland 
dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi). 
70 ---- 
Siswa dari 14-16 tahun sampai 19-23 tahun. Bagi sebagian 
besar, periode ini bersamaan dengan “zaman wirama”, masa 
penyesuaian dengan dunia luar, masa pematangan usia muda, 
masa puber. Zaman wirama dimulai dengan masa kehancuran, 
yang kira-kira bersamaan dengan periode Taman Dewasa, atau 
bagian awal dari sekolah menengah. 
 Sebagai organisasi, Taman Siswo bukan merupakan 
lembaga (juga tidak memiliki anggota yang membayar iuran) 
namun  merupakan “wakaf bebas”, sejenis “yayasan” bumiputra, 
namun  tidak tercatat sebagai lembaga Islam, seperti halnya yang 
diwajibkan bagi wakaf biasa, karena mereka tidak terikat pada 
aturan-turan Islam. Selanjutnya juga harus ditunggu untuk 
meminta status badan hukum karena badan hukum termasuk 
kewenangan hukum Eropa. 
 Setiap Taman Siswo menjadi cabang perserikatan yang 
disebut Persatuan Taman Siswo, berkedudukan di Yogyakarta 
di bawah pimpinan sebuah Majelis Luhur atau pengurus pusat 
yang dipilih oleh kongres tiap empat tahun. Di atas lembaga 
ini masih ada “pimpinan umum”, yang untuk jangka waktu 
tidak terbatas dipilih. Bersama “Dewan Sesepuh”, memberikan 
nasehat, pemimpin umum dan pengurus pusat bersama-sama 
menjadi kepemimpinan tertinggi.
 Penyelesaian masalah Taman Siswo hanya merupakan 
hak anggota yang diserahi oleh para anggota kepada lembaga 
yang berwenang untuk itu. Lembaga itu adalah:
* Rapat Besar Umum
* Rapat Besar
71Djoko Marihandono
Pemimpin Umum dan Hak leluasa (pemimpin umum 
dengan kewenangan tak terbatas)
* Majelis luhur
* Majelis Cabang
Rapat Besar Umum memiliki kekuatan tertinggi dan 
yang paling berhak untuk memutuskan sesuatu. Mereka 
bertemu empat tahun sekali di Yogyakarta dan juga mengadakan 
pertemuan khusus yang  dihadiri oleh semua utusan cabang dari 
Persatuan Taman Siswo. Pada Rapat Besar Umum ini juga dipilih 
anggota  Majelis Luhur yang akan memiliki masa kerja selama 
periode 4 tahun. Rapat Besar Umum diberi kewenangan untuk 
menentukan pandangan (organisasi) dalam semua persoalan 
organisasi dan berwenang untuk mengambil suatu keputusan 
dengan memperoleh suara 2/3 dari suara yang ada. Setiap cabang 
dalam Rapat Besar Umum  setiap lima anggota  atau sebagian 
darinya bisa memiliki satu suara dengan maksimal lima suara.
 Perintah Umum dan Hak Leluasa dipegang oleh pimpinan 
umum, yang dipilih untuk jangka waktu tak terbatas oleh Rapat 
Besar Umum melalui  referendum yang dipilih oleh ¾ dari 
seluruh jumlah suara anggota. Pimpinan Umum memanfaatkan 
kewenangan ini hanya dalam kondisi penting dan mendesak. 
Waktu saat  kewenangan ini dimanfaatkan, ditentukan sendiri 
oleh pimpinan umum, di samping atas permohonan Majelis 
Luhur. Pimpinan umum hanya bertanggungjawab kepada Rapat 
Besar Umum. 
 Rapat Besar merupakan konferensi Majelis Luhur yang 
dihadiri oleh semua utusan lembaga pendidikan Taman Siswo di 
72 ---- 
seluruh Hindia Belanda. Rapat Besar diadakan sekali per tahun. 
Rapat besar diadakan untuk mengawasi pelaksanaan keputusan 
Rapat Besar Umum dan selanjutnya mengatur semua persoalan 
yang belum diputuskan oleh Rapat Besar Umum. Majelis Luhur 
menjadi pengurus harian Taman Siswo dan kadang-kadang 
bila  tidak ada Rapat Besar Umum dan  hak leluasa sebagai 
kekuasaan tertinggi tidak bisa digunakan. Mereka memegang 
kekuasaan dan memperhatikan semua pesoalan organisasi serta 
bertanggungjawab atas ketertiban dan perdamaian sendiri, dan 
membuat laporan tentang aktivitasnya pada setiap Rapat Besar 
dan Rapat Besar Umum.
 Majelis Luhur terdiri atas:
Badan Pemimpin, yakni lembaga yang memegang 
kepemimpinan. Dalam lembaga ini duduk tiga orang anggota.  
Salah satu dari ketiganya menjadi ketua yang sekaligus menjadi 
ketua Majelis Luhur. Badan Pemimpin mewakili Taman Siswo 
untuk kegiatan-kegiatan keluar. Secara garis besar mereka 
menjalankan aktivitas Majelis Luhur;
Badan Pemangku Azas, yakni lembaga yang mengawasi 
“pelaksanaan” prinsip Taman Siswo murni;
Badan Pemangku Benda, yakni lembaga yang mengawasi 
harta milik;
Badan Pengurus, yakni lembaga pengelola, yang 
memperhatikan penyelesaian semua persoalan dari lembaga 
yang disebut sub a, b dan c;
Juga dalam Majelis Cabang, yang terdiri atas anggota 
lembaga pendidikan (lokal), orang menjumpai pembagian 
73Djoko Marihandono
yang sama dalam badan seperti pada Majelis Luhur dengan  
kewenangan yang sama (dalam konteks cabang).
 Dalam anggaran dasar dilarang menerima hadiah, 
yang bisa mengikat Taman Siswo baik ekstern maupun intern. 
Sebaliknya hadiah yang diberikan tanpa ada ikatan justru tidak 
boleh ditolak. Tidak boleh bantuan dimintakan dari orang lain 
karena hal ini akan mengganggu jalannya proses pendidikan. 
 Menurut laporan periode 1935-1936 Taman Siswo  dalam 
periode itu memiliki 187 cabang, tersebar di seluruh Hindia 
Belanda. Jumlah murid dari 136 cabang ini mencapai 11.335 
(8.350 Siswa dan 2.855 siswi). Dari periode 1936-1937 Taman 
Siswo menampung 184 cabang, dan dari 115 cabang, jumlah 
muridnya mencapai  9.015 termasuk 6.653 Siswa dan 2.362 
siswi. Laporan periode  1937-1938 menyebutkan informasi 
berikut ini: jumlah cabang 190 dengan 225 sekolah; beberapa 
cabang dan sekolah masih menjadi calon karena belum diperiksa 
atas nama kepemimpinan pusat atau belum disetarakan.
 Dari 190 cabang itu, ada 147 cabang di Jawa dan Madura 
yang dibuka, 37 di Sumatra, 4 di Borneo, 1 di Celebes dan 1 
di Bali. Selama periode 1938-1939 Taman Siswo memiliki 
187 cabang. Dari 160 cabang seluruh murid berjumlah 14.627 
termasuk 10.476 siswa dan 3.881 siswi.
 Semua cabang ini memiliki sekolah Taman Anak dan 
sebuah sekolah dasar dan/atau sekolah penghubung; selanjutnya 
ada 21 sekolah MULO, 7 sekolah guru dan 1 sekolah menengah. 
Juga beberapa cabang mengelola sebuah sekolah rakyat, sebuah 
sekolah rakyat khusus untuk gadis, sebuah sekolah pertanian 
74 ---- 
dasar dan/atau sekolah perdagangan, sebuah sekolah pekerjaan 
rumah dan sebagainya sebagai bentuk percobaan. Seluruhnya  
ada 733 tenaga pengajar, termasuk 100 guru perempuan dan 20 
ribu pelajar termasuk 4 ribu siswi.
F. Penutup
sesudah melihat riwayat aktivitas politik RM Soewardi 
Soerjaningrat sejak sekolah di STOVIA hingga aktivitasnya di 
dunia pers, pembuangannya di negeri Belanda, serta pendirian  
lembaga pendidikan Taman Siswo, ada beberapa hal yang 
dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut:
RM Soewardi Soerjaningrat   adalah orang yang bersikap sangat nasionalis. Ia dengan 
segala resiko yang ada berani mengorbankan kepentingannya 
sendiri demi kepentingan warga  bumiputera;
Sebagai seorang yang memiliki jiwa nasionalisme yang 
tinggi, ia dengan segala upaya dan keahlian dirinya tidak segan-
segan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah kolonial 
Belanda yang dianggapnya tidak menghiraukan penderitaan 
yang dialami oleh kaum bumiputera;
Dengan keahlian dirinya dalam bidang jurnalistik, ia 
mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak sesuai 
dengan hati nuraninya. Walaupun dituduh sebagai penghasut, 
namun ia tetap merasa benar karena keyakinannya bahwa apa 
yang dilakukannya adalah benar. Bahkan, ancaman pembuangan 
pun tidak membuatnya gentar;
Sebagai seorang yang nasionalis, ia tidak berhenti untuk 
belajar. Banyak hal yang dipelajarinya termasuk mengikuti 
75Djoko Marihandono
pelajaran sebagai pengajar. Banyak tokoh yang ia jadikan 
panutan, dari tokoh pendidikan Italia, India, maupun tokoh 
pendidikan lainnya;
Kesadaran dirinya bahwa pendidikan merupakan unsur 
yang sangat penting dalam mempersiapkan bangsa yang 
terbebas dari penjajahan merupakan titik tolak karier dalam 
hidupnya dalam bidang pendidikan. Sementara itu kehidupan 
politik ia gunakan sebagai pagar untuk melindungi pendidikan 
dari intervensi kolonial.
Sistem pendidikan yang didasarkan dari jati diri bangsa 
akan membuat bangsa yang mandiri, terlepas dari kungkungan 
bangsa Barat yang selama ini telah menciptakan pendidikan 
yang berorientasi pada kepentiangan kolonial.
Sistem among  yang ia canangkan memiliki makna 
bahwa anak akan tumbuh secara leluasa. Pamong wajib Tut Wuri 
Andayani  yang berarti mengikuti dan mempengaruhi agar anak 
asuh dapat berjalan ke arah yang baik. Dengan adanya sistem 
among  ini, maka bebaslah anak mengembangkan bakatnya dan 
anak didik selalu mencari jalan sendiri tanpa menunggu perintah 
dari atasannya.
Dengan sistem pendidikan yang mengangkat budaya 
nasional, maka Perguruan Taman Siswo merupakan lembaga 
pendidikan yang meletakkan dasar pendidikan nasional 
Indonesia. Dengan mengelaborasi kekayaan kebudayaan 
nasional, maka nilai budaya daerah dan nasional tidak akan 
pernah luntur dalam kehidupan warga nya. Permainan anak, 
lagu-lagu daerah, kesenian khas daerah merupakan kekakayaan 
76 ---- 
nasional yang dijunjung tinggi dan dipelajari dalam lembaga 
ini. Dengan upaya yang telah dilakukannya, pantaslah negara 
ini memberikan tempat yang tinggi dan terhormat bagi tokoh 
pendidikan Ki Hadjar Dewantara  yang mengelaborasi budaya 
bangsa Indonesia sebagai landasan dari sistem pendidikannya.
         
     
Setiap  2 Mei, bangsa Indonesia merayakan Hari 
Pendidikan Nasional, yaitu suatu perayaan untuk mengingatkan 
bangsa ini bahwa bidang pendidikan merupakan suatu bidang 
yang sangat penting bagi kelanjutan, kejayaan, dan keagungan 
bangsa Indonesia.  Tanggal ini sengaja dipilih sebagai hari 
Pendidikan Nasional karena pada tanggal ini seorang tokoh 
pendidikan lahir.  Penghargaan yang tinggi diberikan oleh 
bangsa Indonesia kepada tokoh pendidikan Indonesia yang telah 
mengabdikan dirinya pada pendidikan di Indonesia, yakni Ki 
Hadjar Dewantara.
 Ki Hadjar Dewantara semula memiliki nama Soewardi 
Soerjaningrat (RM Soewardi Soerjaningrat  ). Sebelum mendharmabaktikan hidupnya 
dalam bidang pendidikan, ia banyak berkecimpung dalam bidang 
politik bersama-sama dengan teman seperjuangannya: Dr. Tjipto 
Mangoenkoesoemo (TM)  dan Ernest François Eugène Douwes 
80 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Dekker (DD), yang nantinya juga dikenal sebagai Danoedirdja 
Setiabhoedi.1 Tiga serangkai ini pernah dihukum dan dibuang 
oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai akibat dari tulisan-
tulisan mereka yang disebarkan ke warga  pada masa itu. 
Apa yang ia lakukan dalam karier sepanjang hidupnya dijadikan 
panutan bagi generasi muda khususnya dalam  mengatasi 
permasalahan yang ada pada zamannya. Tulisan ini hanya akan 
difokuskan pada tokoh RM Soewardi Soerjaningrat   saat sebagai pengurus Indische Partij 
hingga menjadi seorang pendidik yang mendirikan perguruan 
Taman Siswo.
B. Soewradi Soerjaningrat
RM Soewardi Soerjaningrat   dilahirkan pada 2 Mei 1889 di kampung 
Soerjadiningratan, yang letaknya berada di sebelah timur 
1.  Dalam Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, ada dua orang yang 
menggunakan nama Douwes Dekker.  Yang pertama  adalah tokoh yang 
memiliki nama lengkap Edouard Douwes Dekker yang dikenal dengan 
nama  pena Multatuli. Ia dilahirkan di Amsterdam pada 2 Maret 1820, dan 
meninggal di Rhein (wilayah Jerman) pada 19 Februari 1887.  Multatuli 
dikenal sebagai penulis buku novel  yang berjudul Max Havelaar  (1860). 
Jabatan terakhir yang diembannya adalah Asisten Residen di Lebak 
(Karesidenan Banten). Sementara itu,   Ernest François Eugène Douwes 
Dekker dilahirkan pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, dan meninggal di 
Bandung pada 28 Agustus 1950. Ia dikenal sebagai Penulis dan mantan 
pemimpin redaksi koran Bataviaasche Nieuwsblad. Ia dikenal sebagai 
pendiri Indische Partij, Saat kembali dari pembuangan, ia kembali ke 
Hindia Belanda dengan nama samaran  Danoedirdja Setiabhudi. Pada 
saat pendirian Indische Partij, duduk dalam kepengurusan antara lain 
Douwes Dekker, van der Poel, Brunsveld van Hulten, Topee, Fundter dan 
Tjipto Mangoenkoesoemo (Lihat “Een vergadering der Indische Partij, 
dalam Bataviaasche Nieuwsblad,  19 September 1912, lembar ke-2.
81---- 
puro Paku Alaman, Yogyakarta. Ia adalah putra keempat dari 
pasangan RM Soerjaningrat, putra dari dari permaisuri Sri Paku 
Alam III. Ibunya adalah seorang putri kraton sebagai pewaris 
Kadilangu, yang merupakan keturunan dari Sunan Kalijogo.2 
Pertemuannya dengan isterinya yang bernama Soetartinah 
diawali dengan peristiwa keduanya yang harus berhadapan 
dengan polisi kolonial, Wedana Sentana Puro Paku Alaman serta  
kepala sekolahnya msing-masing. pemicu nya adalah  RM Soewardi Soerjaningrat   harus 
berkelahi dengan anak Belanda yang menggangu Soetartinah. 
 Setamat dari Europeesche Lagere School (ELS), RM Soewardi Soerjaningrat   
melanjutkan sekolahnya di  School tot Opleiding van Indische 
Artsen (STOVIA) yang berada di Weltevreden. Namun 
berhubung fisiknya yang kurang kuat, menyebabkan ia sering
sakit-sakitan, sehingga beasiswa yang diterimanya harus dicabut 
sebagai akibat dari seringnya tidak masuk sekolah.3 Selepas dari 
STOVIA, ia bekerja sebagai ahli kimia di pabrik gula Kalibagor, 
2.  Pasangan ini memiliki putra sebanyak 8 orang, yakni RM Soerjosisworo, 
RA Dokter Bintang, RA Pratiknyo, RM Soewardi Soerjaningrat, KRMT 
Soewarto Serjaningrat, RM Soemarman, RM Soerjodipoero, dan RM 
Soerjopranoto.  
3.  RM Soewardi Soerjaningrat   tidak tercatat sebagai lulusan STOVIA. berdasar  daftar lulusan 
ada beberapa siswa yang berasal dari Paku Alaman, antara lain: Dr. 
Raden Mas Soedjono,  masuk  17 Juni 1889, lulus pada  19 Januari 1997, 
Raden Mas Notosoerasmo, masuk 22 Maret 1997, lulus 1 November 1907;  
Raden Mas Sosroprawiro, masuk 1 Maret 199 lulus 1 Oktober 1909; dan  
Raden Mas Gondhokoesoemo masuk 14 Desember 1905, lulus 28 Juni 
1915 (A. De Waart.(Ed). Ontwikkeling van het Geneeskundig Onderwijs 
te Weltevreden, 1851-1926,  Perkembangan Pendidikan Kedokteran di 
Weltevreden: 1851-1926  (Terj. Djoko Marihandono dan Harto Juwono), 
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2014:, hlm. 291-301)
82 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Banyumas. Namun, tidak berapa lama bekerja sebagai ahli kimia, 
ia pindah ke kota Yogyakarta. Di kota ini, ia bekerja di apotik 
Rathkamp.  Namun tidak lama ia bekerja di apotik itu, ia harus 
segera meninggalkan pekerjaannya karena  di PHK (Pemutusan 
Hubungan Kerja). Waktunya banyak tersita  untuk melakukan 
korespondesni dengan berbagai macam surat kabar daerah, 
terutama dengan surat kabar De Express  . 4  Selepas dari bekerja di 
apotik, ia memutuskan untuk bekerja sebagai jurnalis seperti apa 
yang digelutinya selama itu.  Atas permitaan pemimpin redaksi 
De Expres Douwes Dekker,  RM Soewardi Soerjaningrat   diminta untuk membantu koran 
terbitan Bandung itu. Dengan demikian, ia harus hijrah dari 
Yogyakarta ke kota Bandung.5  Keduanya sudah lama saling 
mengenal tatkala Douwes Dekker masih bekerja sebagai redaktur 
di surat kabar Bataviaasche Nieuwsblad  di bawah pimpinan J.H. 
Ritman.  Dengan demikian dapat dipahami bahwa banyak siswa 
STOVIA, terutama tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang merasa 
cocok dengan DD yang tidak selalu sepaham dengan kebijakan 
pemerintah kolonial. Tatkala terjadi pergantian pemimpin koran 
itu dari J.H. Ritman ke Zaalberg, banyak di antara redaktur koran 
4. Lihat laporan Residen Yogyakarta Liefrink yang berjudul Nota de 
betreffende Geschriften van Douwes Dekker.  
5.  Kedua tokoh ini sudah saling berhubungan. Tatkala Soewardi Sorjaningrat 
sekolah di STOVIA, Douwes Dekker dikenalnya sebagai redaktur koran 
Bataviaasche  Nieusblad.  Koran ini berada di bawah pimpinan seorang 
Belanda yang bernama JH Ritman. Surat kabar ini dikenal sebagai media 
cetak yang objektif, tidak selalu mengikuti garis kebijakan pemerintah 
kolonia.
83---- 
itu yang merasa tidak sepaham dengan pemimpin yang baru itu. 
Atas alasan itulah DD menyatakan diri keluar dari Bataviaasche 
Nieuwsblad  kemudian mendirikan majalah berkala yang 
berjudul Het Tijdschrift .  Majalah ini bersama-sama dengan De 
Express    menyeponsori berdirinya Indische Partij.6
 Secara sadar dan dengan semangat yang menyala-nyala, 
RM Soewardi Soerjaningrat    mulai berkecimpung di arena politik di bawah bendera 
Indische Partij, yang menerima semua suku bangsa yang ada 
di wilayah koloni Hindia Belanda. Partai ini dia rasakan sangat 
berguna dalam upaya memajukan pendidikan karena  tidak 
membedakan suku, agama, dan golongan dari mana anggota 
berasal.7 Oleh karena itu, semangat persatuan dan kesatuan 
6 Majalah ini selalu memberitakan aktivitas dari Indische Partij yang 
izinnya  belum diberikan oleh pemerintah kolonial. Dilaporkan bahwa di 
Bandung partai ini memiliki 200 orang anggota,  di Semarang 200 orang 
anggota, bahkan pada saat dilakukan rapat di Semarang yang dihadiri 
antara 400 – 500 orang partai baru ini berhasil mengumbulkan dana dari 
simpatisannya sebesar f 195, yang berasal dari 135 orang anggota. Di 
Surabaya, partai baru ini memiliki anggota sebanyak 600 orang. (Lihat 
“DD te Soerabaja” dalam Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch 
Indie  9 Desember 1912 lembar ke-2 ; “De Indische Partij” dalam De 
Sumatra Post  20 September 1912 dan Het Nieuws van den dag voor 
Nederlandsch Indie  20 September 1912 lembar ke-2; “De Bandoengsche 
Verkieziezingstrijd” dalam  Bataviaasch Nieuwsblad  4 Desember 1912 
lembar ke-2). Di Padang kepengurusan Indische Partij diketuai oleh FAN 
Loth, dr. Rivai sebagai wakil ketua, L. Ginus sebagai sekretaris, Lim Ek 
Tie sebagai bendahara, JC Holtzapffel Sr, J.P.C.A Alting Siberg, Jr, dan 
HHJB Mes sebagai komisaris. 
7 Lihat “Grootheidsdroom” dalam Het Nieuws van den dag voor 
Nederlandsch Indie , 17 Oktober 1912. RM Soewardi Soerjaningrat   bersedia bergabung dengan 
Indische Partij karena ia menganggap partai ini akan memajukan 
pendidikan bagi seluruh bangsa di Hindia Belanda tanpa membedakan 
84 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
serta memperjuangkan satu cita-cita menjadikan partai ini lebih 
memiliki kekuatan.
 Indische Partij didirikan pada 6 September 1912 oleh 
DD, seorang indo dari ayah Eropa dan ibu Jawa, yang memiliki 
semangat nasionalis yang tinggi, bersama-sama dengan TM 
dan RM Soewardi Soerjaningrat  . Sejak awal, Indische Partij sudah menyatakan dirinya 
sebagai partai politik. Partai politik ini tidak hanya diminati 
oleh orang bumiputera, namun juga oleh orang-orang Indo yang 
tinggal di Hindia Belanda. Namun, dalam perkembangannya, 
orang Indo ini berdiri sendiri, melepaskan diri dari perkumpulan 
bumiputera. Gagasan ini sangat ditentang oleh DD. Sejak 
awal tiga serangkai ini telah berikrar untuk menanamkan 
rasa kebangsaan untuk menjadi bangsa yang bebas merdeka. 
Penanaman jiwa nasionalisme inilah yang selalu ditanamkan  
oleh ketiganya terhadap para anggotanya. 
 Rawe-rawe rantas malang-malang putung  merupakan 
semboyan yang tetap dipegang teguh terutama oleh ketiga pendiri 
partai ini. Semboyan ini mereka pertahankan dalam banyak 
peristiwa yang menimpa nasib mereka bertiga.  Semboyan ini 
tertulis dalam lencana Indische Partij, sehingga semoboyan itu 
menjadi pedoman dan pegangan seluruh anggota partai ini . 
Semboyan ini merupakan gambaran semangat partai politik ini 
yang tidak mengenal kata menyerah, karena semua hambatan 
suku bangsa maupun agama. Selain itu juga kekaguman RM Soewardi Soerjaningrat   pada Douwes 
Dekker yang mahir dalam menulis yang  membuat ia senang bergabung 
di partai ini.
85---- 
dan rintangan akan mereka hadapi. Begitulah semboyan ini tetap 
hidup dalam semua aktivitas partai yang masih muda usianya ini.
C. Comite Boemi Poetera
 Perjuangan partai ini dimulai tatkala pemerintah kolonial 
Belanda hendak merayakan pembebasan negeri Belanda dari 
cengkeraman Prancis. Napoléon Bonaparte yang kalah perang 
dan ditangkap di Leipzig menyebabkan ia dibuang di pulau 
Elba. Dengan peristiwa ini maka dimulailah Traktat London 
I, yang salah satu pasalnya berbunyi mengembalikan Eropa 
pada kondisi tahun 1792 tatkala Napoléon Bonaparte belum 
melakukan ekspansionisme Napoléon atas seluruh wilayah 
Eropa.  berdasar  kesepakatan itu, pada 15 Nopember 
1813, Belanda dinyatakan bebas dari cengkeraman Prancis. 
Peringatan 100 tahun peristiwa pembebasan Belanda ini akan 
dirayakan secara besar-besaran di wilayah koloni Hindia 
Belanda. Oleh karena itu semua tidak hanya orang Belanda saja 
yang wajib merayakannya, namun juga penduduk bumiputera. 
Untuk menyambut pesta 100 tahun kemerdekaan Belanda ini, 
atas inisiatif  TM, RM Soewardi Soerjaningrat  , Abdul Moeis, AH. Wignyodisastra dan 
beberapa tokoh lainnya dibentuklah suatu Komite Peringatan 
Seratus Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda yaitu Inlandsche 
Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid 
( Panitia Peringatan 100 tahun kemerdekaan Negeri Belanda) di 
86 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Bandung.8 Komite ini dikenal sebagai Comite Boemi Poetera. 9   
Tujuan dari komite ini adalah mempergunakan kesempatan untuk 
menarik perhatian perhatian umum. Hal ini akan dimanfaatkan 
untuk mengkritik pemerintah kolonial dan untuk melakukan 
propaganda menentang kebijakan pemerintah, karena menurut 
rencana, perayaan itu tidak hanya akan dirayakan oleh bangsa 
Belanda saja, namun  juga juga oleh warga  bumiputera. 
Semua harus memberikan sumbangan yang dipungut secara 
paksa.  Pemungutan sumbangan ini bertujuan agar pesta 100 
tahun bebasnya negeri Belanda dari kungkungan Prancis dapat 
dilaksanakan secara besar-besaran di wilayah koloni Hindia 
Belanda. Para anggota Komite Boemi Putera  menghendaki agar 
pesta perayaan itu dilaksanakan di ruang tertutup.  Banyak di 
antara para penduduk bumiputera yang bertanya, mengapa 
mereka harus ikut merayakannya. Mereka beranggapan bahwa 
kondisi ini merupakan penghinaan kepada bangsa terjajah. 10
8. Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara, Ki Hajar Dewantara Dkk.  
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980,hlm.15.
9 Menurut  De Preanger Bode , Komite Bumi Putera ini didirikan pada 
13 Juli 1913 dengan  susunan pengurus sebagai berikut: dr. Tjipto 
mangoenkoesoemo, Soejatiman Soeriokoesoemo dari Dinas Pekerjaan 
Umum, A.H. Wignja Disastra dari Kaum Muda, Nyonya Soeradji (terlahir 
Oneng), Roem pekerjaan dokter bumiputera, Abdoel Moeis redaktur 
Sarikat Hindia, dan Soewardi Soerjaningrat. Tujuan didirikannya komite 
ini adalah ingin mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda  pada hari 
peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis. (Lihat 
“Die het gevaar Zoekt” dalam  De Preanger Bode,  11 Agustus 1913, 
lembar ke-2).
10.  Asisten Residen di Bogor telah membentuk suatu panitia pengumpulan 
uang, sementara di kota lain, seperti di Malang,  dengan bantuan para 
87---- 
 Komite Boemi Poetra mengedarkan selebaran yang 
pertama. Selabaran itu bertuliskan Wij zullen niet mee  yang 
artinya ‘Kami tidak akan ikut serta’ yang ditulis oleh DD sebelum 
ia pergi ke Belanda untuk menghadap ke Mejelis rendah. Berikut 
kutipan tulisannya:
….Mengapa kamoe tidak merajakan pesta ito di dalam 
kamar bolah dengan pantes-pantes, di tempat sendirian, 
di mana kamoe dapat minoem-minoem soepaja moedah 
akan berminoem atas kehormatan tanah ajermoe? Tentoe 
kamoe ta’akan mendengar setjara bentjih daripada kami 
dalam perajaan itoe, kerna kami tida haroes toeroet pesta, 
tentoe kamoe tida akan mendengar satjara salah seorang 
dari medan kami, jang soeka berpidato, seperti kehendak 
saja akan nantang pada kamoe begitoe tiadalah kamoe 
akan dapat melarang pada saja akan berpidato begitoe. 
Sjoekoerlah sekarang soedah banjak orang, jang djadi 
besar di dalam sekolah saja, ja’ni sekolah kemerdekaan.
Ja, Toewan-toewan commisie, mengapakah kamoe tidak 
bersoeka-soeka di medan kamoe ampenya kaoem sendiri…11
pamong praja Eropa dan bumiputera berusaha untuk mengumpulkan 
uang dari rakyat kecil agar dapat menyelenggarakan pesta yang meriah. 
(Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Loc. Cit. hlm, 15-16.)
11  EFE Doewes Dekker, et al. Mijmeringen van Indiers over Hollands 
Feesttervierderij in de Kolonie,  1913, hlm. 2.
88 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
DD memprotes peringatan itu dan meminta agar perayaan 
itu dilangsungkan tanpa mengikutkan penduduk bumiputera. 
 Comite Boemi Poetra  juga mempertanyakan akan  
mendirikan suatu Kolonial Raad  atau Dewan Kolonial  dengan 
anggota yang berjumlah 29 orang, dengan komposisi yang bukan 
wakil orang Eropa berjumlah 8 orang. Dari 8 orang ini , 
5 di antaranya adalah kaum bangsawan. sesudah melakukan 
kritik terhadap Kolonial Raad yang baru dibentuk, Comite 
Boemi Poetra kemudian melakukan mobilisasi anggotanya 
untuk mengumpulkan uang yang akan dipergunakan untuk 
mengirimkan sebuah telegram kepada Ratu Wilhelmina di 
Belanda.  Telegram ini intinya mengucapkan selamat atas 
perayaan 100 tahun bebasnya Belanda dari kaki tangan Prancis.  
Akhir dari telegram itu adalah pernyataan bahwa penduduk 
bumiputera pun juga menghendaki adanya Dewan Perwakilan 
Rakyat di Hindia Belanda.
 Indische Partij menghendaki agar partai baru ini 
memperoleh status hukum di wilayah Hindia Belanda. Usulan 
pertama ditolak  pada 6 Januari 1913 yang didasarkan pada 
hasil keputusan rapat tanggal 25 Desember 1912 sesudah melalui 
perdebatan dalam pembuatan konsep anggaran dasar partai itu.  
Usulan kedua ditolak berdasar  Keputusan Gubernur Jenderal 
tertanggal 4 Maret 1913 nomor 1. sesudah diubah anggaran 
dasarnya, pada 5 Maret 1913  DD mengajukan kembali anggaran 
dasar yang sudah diperbaharui. Kemudian untuk ketiga kalinya 
usulan ditolak melalui keputusan Gubernur Jenderal tanggal 11 
89---- 
Maret 1913 nomor 1. Dasar penolakannya adalah adanya pasal 
111 yang seharusnya tidak boleh ada dalam Anggaran dasar 
Indische Partij, karena organisasi ini merupakan partai politik 
yang saat itu dilarang oleh pemerintah kolonial.  Isi pasal 111 
adalah tentang “Tujuan organisasi yaitu mendorong kepentingan 
lahir dan batin para anggotanya di setiap bidang dan pertumbuhan 
serta kemakmuran Hindia Belanda melalui sarana sah yang 
ada dan berusaha menghilangkan semua keterbelakangan dan 
ketentuan umum yang menghambat pencapaian tujuan itu, dan 
pembentukan lembaga serta ketentuan yang bermanfaat bagi 
tujuan itu”. Pasal ini dianggap krusial karena dapat merusak 
tatanan yang sudah ditanamkan oleh pemerintah kolonial di 
wilayah koloni Hindia Belanda. Kedua, alasan penolakannya 
pemberian status hukum adalah karena Indische Partij dianggap 
bertentangan dengan ketertiban umum.12 Dengan penelokanan 
itu, DD akan segera pergi ke Belanda untuk menghadap ke Majelis 
Rendah untuk mengadukan penolakan pendirian Indische Partij 
sesudah menghadap Gubernur Jenderal bersama dengan TM dan 
Van Ham.13 Dua hari sesudah keluarnya Surat Keputusan Gubernur 
Jenderal, anggota Indische Partij berkumpul di Gedung Cabang 
Bandung. Hadir dalam rapat itu DD, Mr. Brunsveld van Hulten, 
12.  Lihat “Koloniale Zaken” dalam De Sumatera Post , 25 maret 1913 
lembar ke-2 dan  “RIP” dalam De Preanger Bode”,  20 Maret 1913, 
lembar ke-1.  Lihat pula De Sumatra Post  19 Maret 1913 lembar ke-2 
yang berjudul “De regeering en de IP”.
13  Lihat  “De Indische Partij” dalam De Sumatra Post , 15 Maret 1913 
lembar ke-2. Koran ini mengutip berita yang sudah dimuat terlebih 
dahulu di Koran De Express  .  
90 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
dan Agerbeek.  Agerbeek membentak polisi yang datang, yang 
mengakibatkan semua hadirin disuruh meninggalkan gedung itu, 
kemudian  gedung Indische Partij disegel dan dijaga polisi.14 Hal 
ini  juga terjadi di Batavia. Anggota Indische Partij cabang 
Batavia mengadakan rapat di gedung Loge sesudah keluarnya 
surat keputusan itu.  Pengelola gedung Loge memberitahukan 
bahwa atas permintaan dari pemerintah, gedung itu tidak boleh 
disewakan kepada Indische Partij.15
D. Als ik eens Nederlander was
 Komite ini kemudian mengeluarkan brosur kedua yang 
ditulis oleh RM Soewardi Soerjaningrat   dengan judul Als ik eens Nederlander was  atau 
“Seandainya aku seorang Belanda”.16 Dari tulisan ini, muncullah 
kehebohan yang luar biasa  Brosur ini dikirimkan ke semua 
media yang terbit di Jawa saat itu.  Harian De Express    misalnya 
memuat secara utuh tulisan itu. Bahkan diketahui pula bahwa 
brosur ini  dicetak di percetakan De Eerste Bandoengsche 
Publicatie Maatschappij di bawah pimpinan van der Hoek, yang 
14 Lihat “de Indische Partij” dalam De Sumatra Post,  18 Maret 1913 
lembar ke-2. Pers Belanda pada umumnya sepakat dengan keputusan 
yang diambil oleh Gubernur Jenderal. Hanya Koran Het Volk  saja yang 
mengkritik kebijakan Gubernur Jenderal ini. (Lihat ‘De Nederlandsche 
Pers over de Indische Partij” dalam De Sumatra Post,  8 Maret 1913). 
15  Lihat “Indische Partij” dalam  De Sumatra Post,  8 Maret 1913 lembar 
ke-2.
16 Selebaran ini dicetak oleh NV. Eerste Bandoengsche Publicatie 
Maatschappij, yang dipimpin oleh Van der Hoek sebagai direkturnya. 
Selebaran ini bias diperoleh dengan membayar f 1 sen. (Lihat “Zig-
Zags” dalam Het nieuws van den dag voor Nederlnadsch Indie. , 26 Juli 
1913.
91---- 
juga menerbitkan harian De Express  .  17 Isi brosur itu intinya 
antara lain:
Bangsa bumiputra Hindia seyogyanya tidak ikut serta 
dalam merayakan peringatan kemerdekaan bangsa Belanda, 
yang saat itu sedang menindas kaum bumiputera;
Andai kata RM Soewardi Soerjaningrat   seorang Belanda, ia akan memprotes  
gagasan peringatan itu, karena kebijakan itu salah. protesnya, 
karena itu kebijakan yang salah.  Ia akan menyalahkan bangsanya 
bahwa merayakan peringatan itu sangat berbahaya, karena akan 
menyadarkan kaum bumiputera untuk merdeka;
Andaikata ia orang Belanda, ia tidak akan menghina dan 
menindas kaum bumiputera;
Andaikata ia orang Belanda, ia akan meminta sumbangan 
kepada semua orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni 
Hindia Belanda, dan tidak akan mengikutsertakan kaum 
bumiputera karena kondisi mereka saat itu tertindas;
Sebagai bangsa yang tertindas, dengan perayaan itu, 
kaum bumiputera memiliki keinginan untuk merdeka seperti 
yang dialami oleh orang belanda pada saat itu;
Ia sebagai seorang seorang bumiputera sebagaimana juga 
orang Belanda, juga mencintai tanah airnya sepenuh hati. Oleh 
karena itu, peringatan perayaan itu sangat menyakitkan hati 
kaum bumiputera. Di akhir  tulisannya ia mengatakan sbb:
17  berdasar  data yang ada, brosur ini dicetak sebanyak 5.000 eksemplar 
, yang ditulis dengan dua versi, yakni bahasa Belanda dan bahasa Melayu. 
92 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
….Andaikata akoe seorang Belanda, akoe tidak akan 
merajakan perajaan itoe di dalam negeri jang sedang kami 
djadjah. Pertama, kami haroes memberikan kemerdekaan 
kepada rakjat jang kami djadjah, kemoedian baroe 
memperingati kemerdekaan kami sendiri……18
Dalam bagian akhir tulisannya RM Soewardi Soerjaningrat   bersyukur bahwa dia 
tidak dilahirkan sebagai orang Belanda.
 Reaksi pemerintah Kolonial Belanda emosional. Pada 20 
Juli 1913, pihak Kejaksaan mulai menyita brosur-brosur itu, dan 
memusnahkannya. TM, RM Soewardi Soerjaningrat   dan Abdoel Moeis diminta segera 
menghadap Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) Mr. Monsato 
yang secara sengaja didatangkan dari Batavia untuk memeriksa 
mereka sebagai saksi.19  Pada saat didengar keterangannya RM Soewardi Soerjaningrat   
mengakui terus terang bahwa ialah yang menulis dalam brosur itu. 
Akhirnya, ia dinyatakan melanggar Undang-Undang Percetakan 
pasal 26 yang intinya sanksi bagi mereka yang mengadu domba 
antargolongan yang ada di dalam negeri. RM Soewardi Soerjaningrat   dianggap membakar 
semangat dengan mengadu domba antargolongan yang ada di 
wilayah Hindia Belanda, dan langsung ditahan.20 Dikabarkan 
18 Lihat  Dra. Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam 
Pengasingan.  Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm 29. Pengarang buku ini 
mengutip dari tulisan EFE Douwes Dekker Mijmeringen van Indiers over 
Hollands Feesttervierderij in de Kolonie,  1913, hlm. 68-73.
19  Lihat “Het Masker af” dalam Bataviaasch Nieuwsblad,  6 Agustus 1913, 
lembar ke-2.
20 De Preanger Bode  dalam tulisan berjudul “Toelichting” terbitan 31 
Juli 1913 memaparkan tentang penangkapan keempat anggota Komite 
93---- 
oleh De Preanger Bode bahwa penangkapan itu dilakukan secara 
tiba-tiba. Semuanya berlangsung serba cepat.  Satu setengah 
kompi pasukan dari Cikudapateuh dikirim untuk penangkapan 
itu.  Pasukan berada di bawah komando Letnan den Hartig yang 
ditempatkan di sebelah timur stasiun , sementara di bengkel 
kereta api RM Soewardi Soerjaningrat   di sebelah barat berada di bawah komando Letnan 
de Voogt. Beberapa gedung penting pemerintah seperti: kantor 
pos, kantor telepon, rumah bupati, gedung residen  dan kantor 
asisten residen serta penjara dijaga ketat. Bahkan di Cimahi pada 
peristiwa penangkapan itu disiagakan kesatuan kavaleri untuk 
melindungi jalur telegraf dan telepon.21
 Tentu saja, tuduhan itu langsung disangkal oleh yang 
bersangkutan.  Namun, proses hukum tetap berjalan, dan 
dia memperoleh peringatan jeras untuk tidak mengulangi 
perbuatannya. Alasannya adalah dapat menganggu keamanan 
dan ketenteraman semua bangsa di Hindia Belanda.  Namun, 
RM Soewardi Soerjaningrat   menyangkal terus tuduhan itu dengan alasan bahwa ia 
kurang mengerti atas tuduhan menghasut dengan tulisan Als ik 
eens Nederlander was.   Ia membela diri bahwa yang ia tulis itu 
sama dengan yang dirasakan oleh kaum bumiputera. Berhubung 
tulisan ini dibuat dalam dua Bahasa, Belanda dan Melayu, maka 
semua penduduk bisa membaca dan memahami tulisan itu.  
Bumi Putra gara-gara tulisan Seandainya aku orang Belanda. Tulisan 
ini dianggap menghasut dan meresahkan warga . Empat orang yang 
ditangkap adalah TM, RM Soewardi Soerjaningrat  , Abdoel Moeis, dan sekretaris Wignjadisastra. 
21  Lihat “Een Arrestatie” dalam Het nieuws van den dag voor 
Nederlandsch Indie,  31 Juli 1913, lembar ke-2.
94 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Dengan demikian ia dianggap menghasut yang mengganggu 
keamanan dan ketenteraman warga .
 Lain RM Soewardi Soerjaningrat   lain pula TM. Ia tidak mau memberikan 
keterangan apa pun kepada Jaksa, karena dianggap bertentangan 
dengan kode etik dalam undang-undang pers.  Ia bahkan 
diingatkan oleh jaksa bahwa sebelumnya telah terjadi kasus 
yang mirip dengan peristiwa itu, yang menyangkut kasus 
Redaktur Kepala surat kabar De Locomotief  Vierhout yang 
tidak mau menyebutkan siapa penulis artikel di dalam koran itu. 
TM tidak mau menanggung resiko. Akhirnya ia berjanji untuk 
menyebut nama-nama orang yang ikut serta dalam penyebaran 
brosur-brosur itu. Abdoel Moeis termasuk orang yang dipanggil 
untuk dimintai keterangannya. Ia mengakui bahwa ialah yang 
menerjemahkan tulisan itu dari Bahasa Belanda ke Bahasa 
Melayu. Akhirnya Abdoel Moeis dilepas karena hanya dianggap 
sebagai seorang pembantu pelaksana saja.
 Untuk menampik tulisan RM Soewardi Soerjaningrat   Als ik eens Nederlander 
was,  terbit tulisan yang mirip sama di koran De Preanger Bode , 
tulisan yang berjudul Als ik eens Inlander was,  yang ditulis oleh 
H. Mulder. Banyak kata kotor muncul dalam tulisan yang bergaya 
kasar ini. Bahkan, banyak kalangan para penduduk Belanda yang 
tidak dapat menerima tulisan ini. Beruntung Menteri Koloni  
Pleyte dalam sidang Parlemen Belanda menyatakan bahwa ia 
merasa muak membaca tulisan yang sangat kasar itu.22 
22. Lihat tulisan DMG Koch. Menuju Kemerdekaan, Pergerakan Kebangsaan 
Indonesia sampai 1942.  Terjemahan Abdoel Moeis: Om de Vrijheid), 
Jakarta, Jajasan Pembangunan, 1941, hlm. 53.
95---- 
 sesudah pemeriksaan terhadap tulisan RM Soewardi Soerjaningrat   berakhir, pada 
21 Juli 1913 ketiga anggota Komite dipanggil kembali  untuk 
diperiksa. Namun dari pemanggilan itu, tidak ada perubahan 
apa pun dari berita acara yang dibuat pada hari sebelumnya. 
Anggota komite berpendapat bahwa pemanggilan oleh pihak 
kejaksaan menunjukkan bahwa pemerintah merasa terusik dan 
menganggap bahwa peristiwa yang lebih besar bias terjadi. 
Oleh karena itu sebagai insan pers, setidaknya TM dan RM Soewardi Soerjaningrat   
ingin menjajagi lebih dalam lagi bagaimana reaksi pemerintah 
di Batavia mendudukkan permasalahan ini. Berhubung tidak 
ada kelanjutan apa-apa sesudah pemanggilan itu, pada 26 dan 
28 Juli 1913 keluarlah tulisan mereka berdua di  De Express  .  
Pada 26 Juli muncul tulisan TM yang berjudul Kracht of Vrees,  
(Kekuatan atau Ketakutan).  Kemudian pada 28 Juli 1913 muncul 
tulisan RM Soewardi Soerjaningrat   yang berjudul Een voor Allen, Allen voor Een  (Satu 
untuk semuanya, semuanya untuk satu).  Dalam tulisannya ini 
RM Soewardi Soerjaningrat   berpendapat bahwa apa yang ia tuliskan mewakili perasaan 
kaum bumiputra Walaupun sebagian besar warga  diam 
seribu bahasa, namun di balik itu semua dirasakan oleh semua  
bumiputra termasuk TM dan RM Soewardi Soerjaningrat  .  
 Dalam tulisannya itu, RM Soewardi Soerjaningrat   mengajak kaum bumiputra 
untuk bersikap tenang, dan selalu siap dalam menghadapi segala 
kemungkinan yang bakal terjadi. Berikut sebagian isi tulisannya 
itu:
…. Kita haroes mempoenyai kekoeatan dan kepribadian 
dalam menghadapi perdjoeangan nasional ini. Djika 
96 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
tidak, maka selamanja saoedara-saoedara akan tetap 
menjadi boedak! Lepaskan diri dari perboedakan ini!.
E. Penghuni Hotel Prodeo
 Pada 30 Juli 1913 secara tiba datang polisi yang 
mengepung rumahnya, dan menangkap RM Soewardi Soerjaningrat  . Pemerintah telah 
memutuskan untuk menangkap dan menahannya. Selain 
Soewardi, dr. Tjipto juga ditangkap dan ditahan bersamanya.  
Dikerahkan polisi Belanda dan polisi Ambon yang bersenjata 
lengkap untuk menahannya.  Selain mereka berdua, Abdoel 
Moeis dan AH. Wignyadisastra pun tidak luput dari penangkapan 
polisi, karena mereka berdua bekerja sebagai komisaris Komite.  
Mengingat bahwa Abdoel Moeis dan Wignjadisastra hanya 
sebagai pembantu, dr. Tjipto melakukan protes atas penangkapan 
mereka berdua. berdasar  protes inilah Abdoel Moeis dan 
Wignjadisastra dibebaskan kembali.
Beberapa hari sesudah itu, tepatnya pada 1 Agustus 1913, 
DD  tiba kembali ke tanah air sesudah beberapa mengunjungi  
negeri Belanda untuk menjelaskan status dari partai yang 
didirikannya Indische Partij di depan sidang Majelis Rendah 
Belanda. sesudah mengetahui apa yang terjadi atas tulisan dua 
sahabatnya itu, ia menulis di De Express   terbitan 5 Agustus 
1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en 
RM Soerjadi Soerjaningrat (Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto 
Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat).  Tulisan 
itu menjelaskan siapa sebenarnya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. 
97---- 
Ia adalah orang yang sangat kuat kepribadiannya, dan dikenal 
sebagai orang yang taat pada prinsip yang diyakininya. Atas 
jasanya keyika menumpas penyakit pes, ia dianugerahi bintang 
tertinggi Ridder in de Orde van Oranje NaRM Soewardi Soerjaningrat  au  (Bintang Ksatria 
dari Kerajaan Belanda), atas jasanya menumpas penyakit itu  
yang menjalar di Surabaya, Malang dan Pasuruan pada April 
1911.23 Tulisan DD ditujukan untuk memberikan klarifikasi
tentang siapa-siapa sebenarnya kedia tokoh yang telah ditahan 
oleh kejaksaan. 
 Dengan ditahannya TM dan RM Soewardi Soerjaningrat   dipenjara, Douwes 
Dekker menulis sebagai berikut:
…..Bagaimanapoen djoega, teman-temankoe Tjipto 
dan Soewardi, karena sikapnya jang berani di dalam 
pendjara mereka tidak merasa terpoekoel djatoeh dan 
merasa berbahagia demi kekoeatan bangsa Hindia.24 
Sejak munculnya tulisan Soewardi yang pertama 
yang menghebohkan warga , Comite Boemi Poetra  tidak 
diizinkan lagi mengadakan kegiatan apa pun. Semua isi koran 
yang sudah terbit diperiksa  dan mendapatkan pengawasan yang 
sangat ketat. sesudah beberapa lama, hanya berita resmi saja 
yang diizinkan untuk diterbitkan dalam koran. 
 Alasan penahanan RM Soewardi Soerjaningrat   adalah bahwa ia yang menulis 
brosur selebaran yang dianggap dapat mengganggu ketertiban 
23. Lihat Tjipto Mangoenkoesoemo. De Pest op Java en Hare Bestrijding.  
Catatan rapat umum pada 10 Januari 1914 di s’Gravenhage.
24. EFE Douwes Dekker, op.cit. hlm. 79. 
98 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
warga  dan keamanan umum.  Namun dalam dakwaannya 
RM Soewardi Soerjaningrat   ditahan karena peranannya  sebagai sekretaris dan bendahara 
Comite Boemi Poetra.  Oleh karena itu, dampak lain dari 
penahanan itu adalah dibekukannya komite itu. Sementara itu, 
penahanan TM didasarkan pada dakwaan yang tidak berdasar.  
Untuk mengubah sikap TM, pemerintah mencoba untuk 
melakukan pendekatan pada ayahnya yang saat itu  menjadi 
direktur Hoogere Burger School,  yakni sekolah setingkat SMA 
pada zaman Belanda. Tujuannya adalah untuk membujuk agar 
TM tidak bersikap ekstrem. Namun ayahnya menolah  untuk 
melakukan itu.
 Upaya kedua dilakukan dengan menawarkan kepada 
adik TM untuk dapat sekolah di HBS secara gratis.  Namun, 
bujukan itu pun ditolaknya. Pemerintah kolonial tidak habis 
akal untuk membujuk dr. Tjipto mangoenkoesoemo yang 
telah mendapatkan bintang dari Sri Ratu Belanda. Melalui R. 
Soemarsono seorang jaksa di Purwakarta yang merupakan teman 
baiknya dan dr. Hazeu yang menjabat sebagai Adviseur voor 
Inlandsche Zaken (Penasehat urusan bumiputera)  menyarankan 
agar TM mengajukan grasi agar tidak ditahan. Namun usaha ini 
ditolaknya.
 Selama masa penahanan itu, RM Soewardi Soerjaningrat   mengalami sakit demam 
tinggi, yang perlu segera ditangani oleh dokter, Permintaan 
ini pun tidak dikabulkan oleh sipir penjara. Bahkan istrinya 
yang bernama RA. Soetartinah yang datang dari Batavia tidak 
diizinkan untuk menengok suaminya. Ia diharuskan memperoleh 
99---- 
izin dari Gubernur Jenderal. Nasib yang sama dialami  ayahnya, 
secara khusus datang dari kota Yogyakarta, hanya diizinkan 
untuk menemuinya selama 15 menit dengan didampingi oleh 
komisaris polisi. 
 Beberapa upaya dilakukan agar RM Soewardi Soerjaningrat   dan TM bersedia 
untuk meminta maaf kepada pemerintah kolonial Belanda. 
Namun mereka tidak mau. Kedua tokoh ini tetap tegar tidak 
mau menuruti apa yang dikehendaki oleh pemerintah kolonial.  
Nasehat yang diberikan oleh ayahnya pun dia terima. Namun 
RM Soewardi Soerjaningrat   tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau diminta untuk 
mengundurkan diri dari semua kegiatan partai politik. Bahkan 
dia mengajak seluruh keluarga agar merasa bangga bahwa 
salah satu keluarganya dipenjara berkat pendiriannya yang 
memperjuangkan kemerdekaan bangsa. TM dan RM Soewardi Soerjaningrat   sepenuhnya 
menyadari bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi  sebagai 
akibat dari sikap keras mereka itu. 
 DD melihat kedua sahabatnya ditahan, ia tidak tinggal 
diam. Ia menulis di koran beberapa kali demi membela kedua 
sahabatnya itu. Akhirnya DD dituduh melanggar pasal 47 
undang-undang pemerintah kolonial Belanda yakni menganggu 
keamanan dan ketertiban umum, dengan melakukan propaganda 
yang menghasut warga  dan dianggap merugikan 
pemerintah kolonial pada khususnya dan pemerintah negara 
induk pada umunya. Hal yang paling membuat marah penguasa, 
saat  ia menulis tentang Brieven van de Koningin  (Surat-surat  
untuk Ratu). Surat ini dianggap telah memprovokasi warga  
100 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
untuk melakukan pemeberontakan terhadap pemerintah.  
Akhirnya, DD mengalami nasib yang sama dengan kedua 
sahabatnya, yakni ditangkap dan diadili.25 Walaupun  di dalam 
proses pengadilan pemerintah tidak dapat membuktikan apa 
yang dituduhkan kepadanya, namun ia tetap ditahan hingga 11 
Agustus 1913. Ia ditahan di rumah tahanan di Weltevreden. Pada 
11 Agustus ia dihadapkan Residen Batavia  H. Rijfsnijder, dan 
dinyatakan bebas dari segala tuntutan dengan syarat tidak akan 
memprovokasi warga  dengan tulisan-tulisannya.
 Namun apa yang disyraratkan pada EFE Douwes 
Dekker tidak dipatuhinya. Ia tetap mengkritik penahanan kedua 
sahabatnya itu, yang menyebabkan ia segera ditangkap dan 
dipenjarakan bersama dengan kedua sahabatnya itu. RM Soewardi Soerjaningrat   mencoba 
menenangkan sahabat-sahabatnya bahwa perjuangan mereka 
akan tertoreh pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Perang 
urat syaraf antara mereka yang dipenjara dengan warga  di 
luar penjara terjadi. Desas-desus mengenai rencana pembuangan 
mereka pun dihembuskan bahwa mereka akan dibuag  ke Fak-
Fak Papua, atau ke Ambon atau bahkan ke tempat yang lebih 
jauh lagi. Namun mereka bertiga tetap tegar dan pantang 
menyerah, karena di dalam penjara pun mereka tetap menulis 
dan memprotes kebijakan pemerintah kolonial. 
 Berhubung himbauan pemerintah tidak dihiraukan, 
bahkan di dalam penjara pun mereka bertiga masih tetap 
25.  Lihat “Optreden der regeering”  dalam De Preanger Bode,  5 Agustus 
1913, lembar ke-2.
101---- 
melakukan provokasi politik, maka pada 18 Agustus 1913, 
Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan kepada 
ketiga tokoh ini. Atas persetujuan Raad van Nederlandsch Indie,  
pemerintah memutuskan untuk menghukum ketiga tokoh ini 
dengan dijauhkan dari warga  yakni dengan cara dibuang, 
dengan alasan demi keamanan dan ketertiban umum.  Raad van 
Justitie  telah memutuskan bahwa ketiganya akan dibuang ke 
luar pulau Jawa. berdasar  keputusan pemerintah pasal 1 
tanggal 18 Agustus 1913 nomor 2 a, dan berdasar  pasal 47 
peraturan tentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda demi 
keamanan dan ketertiban umum, diputuskan: 
- TM akan dibuang ke pulau Banda, karesidenan Amboina;  
- RM Soewardi Soerjaningrat   dibuang ke pulau Bangka; dan 
- DD dibuang ke Kupang, karesidenan Timor. 26
Dalam waktu 30 hari sejak ditetapkan mereka harus 
segera mengemas barang-barangnya  untuk segera menjalani 
pembuangannya. Namun berdasar  peraturan yang berlaku, 
apabila mereka menginginkannya, mereka dapat dikirimkan ke 
Negeri Belanda sebagai tempat pembuangannya. Permintaan 
ketiga tokoh ini dikabulkan untuk dibuang ke negeri Belanda 
dengan harapan dapat melanjutkan kegiatan politik mereka. 
Asumsi para pemegang keputusan di wilayah koloni, bahwa 
dengan dibuang ke Belanda, mereka akan berhadapan dengan 
tokoh-tokoh politik lainnya dan akan terlindas oleh lawan-
26.  Lihat “Het Verbaningsbesluit” dalam Het nieuws van den dag voor 
Nederlandsch Indie.  29 Agustus 1913 lembar ke-1.
102 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
lawan politik mereka yang sudah senior dan memiliki reputasi 
dunia. Dengan pertimbangan ini , hakim mengabulkan 
permintaan mereka untuk dibuang  ke negeri Belanda dengan 
ketentuan 30 hari sesudah keputusan dibacakan, mereka segera 
diberangkatkan ke negeri Belanda. Ketiga terhukum ini , 
walaupun diberikan kesempatan untuk melakukan hukum 
dengan mengajukan banding, namun usaha mereka untuk 
banding gagal. Hal ini menyebabkan rekan seperjuangan 
mereka seperti dr. Wahidin Soedirohoesodo, H. Oemar Said 
Tjokroaminoto melakukan protes kepada pemerintah atas 
keputusan pembuangan itu.  Selain teman seperjuangan mereka, 
dari Belanda pun muncul reaksi yang keras baik dari partai 
Buruh Sosial Demokrat ( Sociaal Democratische Arbeiders 
Partij,  dari rekatur majalah Theosofie juga melakukan protes.27 
Namun, keputusan telah dijatuhkan dan mereka bertiga harus 
segera menjalani hukumannya. Selain hukuman yang dijatuhkan 
kepada ketiga tokoh ini, Comite Boemi Poetra  juga dibubarkan 
dan dianggap sebagai suatu organisasi yang terlarang di wilayah 
koloni Hindia Belanda.
 
F. Perjalanan menuju Pengasingan
Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM, RM Soewardi Soerjaningrat   
27.  Mr.Toelstra, telah mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal bahwa 
Partai Sosial Demokrat tidak menyetujui penahanan  dan pembuangan 
ketiga tokoh ini. Liht “Nog een Verrassi ” dalam De Tijd,  4 November 
1913, lembar ke-2.
103---- 
bersama isterinya, dan DD beserta isteri dan anak-anaknya 
berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok di Batavia menuju 
ke negeri Belanda, sebagai tempat pembuangannya melalui 
Singapura.28 Namun keberangkatannya mengalami penundaan, 
sehingga dikhawatirkan batas waktu keberangkatan ke tempat 
pengungsian akan terlewati. Pada 13 September 1913, kapal 
mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk Priok. Dari atas kapal 
Melchior Treub29, sebuah kapal milik maskapai pelayaran Jerman, 
yang akan membawa mereka ke Belanda, RM Soewardi Soerjaningrat   masih sempat 
menulis pesan yang disampaikan kepada kawan-kawannya yang 
mengantarnya dari pelabuhan Tanjung Priok. Pesan itu diberi 
judul “Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving” (Peringatan 
Kemerdekaan dan Perampasan Kemerdekaan).  Beberapa 
saat sebelum kapal bergerak, ia menerima kabar dari kawan-
kawannya bahwa uang sumbangan yang telah terkumpul telah 
dikembalikan kepada para donaturnya.
 Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan 
menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan teman-
teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul 
dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari 
Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai), 
28 Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Ki Hadjar Dewantara Dkk.  
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980, hlm. 148.Lihat pula “DD Naar Europe” 
dalam De Sumatra Post,  9 September 1913 lembar ke-2.
29 Sumber lain mengatakan bahwa mereka bertiga diangkut dengan kapal 
Bulow  dari pelabuhan Tanjung Priok. Lihat Irna HN Hadi Soewito 
Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan.  Jakarta: Balai Pistaka, 
1985, hlm. 54.
104 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan 
itu.  Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari RM Soewardi Soerjaningrat   dan 
TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan 
dua orang anaknya menerima f 250 per bulan.  Tentu saja beaya 
sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. 
Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-
temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara 
spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah 
tangga.30
G. Kegiatan selama di Belanda 
Kehadiran ketiga buangan politik ke Belanda disambut 
musim salju yang mulai turun dan suasana politik yang memanas 
sebagai akibatd ari dimulainya Perang Dunia I di Eropa.  Kegiatan 
pertama yang mereka lakukan adalah mencari tempat tinggal 
agar mereka dapat segera berlindung dari serangan hawa dingin. 
Dengan uang yang pas-pasan, mereka berhasil menemukan 
tempat tinggal di lantai paling atas dari suatu apartemen. Uang 
yang mereka peroleh dari dana TADO yang berasal dari Indische 
Partij, sangat bermanfaat bagi mereka.  Dari dana ini , 
keluarga RM Soewardi Soerjaningrat   dan TM masing-masing menerima f 150 per bulan. 
DD bersama isteri dan anak-anak mereka menerima f 250 per 
bulan. Kondisi itu diketahui oleh kaum bumiputera yang sedang 
melanjutkan sekolahnya di Belanda, seperti Gondowinoto, 
30.  Lihat “DD in Holland”, dalam Bataviaasche Nieuwsblad.  22 Oktober 
1913, lembar ke-2.
105---- 
yang juga masih berkerabat dengan Sri Paku Alam. Keluarga 
RM Soewardi Soerjaningrat   menerima bantuan beras dan pakaian serta sekadar peralatan 
rumah tangga dari Gondowinoto. Kondisi ini mendorong orang 
Belanda yang simpati pada perjuangan kaum bumiputera  
datang kepada keluarga RM Soewardi Soerjaningrat  , namun semua tawaran yang baik 
itu ia tolak. Demikian juga tawaran bantuan datang dari Van 
Deventer yang menawarkan kepada RM Soewardi Soerjaningrat   agar bersedia menjadi 
guru di HIS (Hollands Inlandsche School ) di pulau Bangka 
dengan pencabutan status hukuman buangnya dan iming-iming 
gaji yang tinggi, namun tawaran itu tetap ditolaknya. 31
 Kondisi kehidupan RM Soewardi Soerjaningrat   beserta isterinya semakin 
memprihatinkan. Cadangan uang dari bantuan TADO sudah 
semakin menipis. Ketiga tawanan politik ini telah bersepakat 
bahwa mereka tetap akan berkecimpung dalam bidang jurnalistik. 
Oleh karena itu mulailah mereka menulis kembali yang akan 
dikirimkan ke pelbagai surat kabar di negeri Belanda. Tentu saja 
tulisan yang berbau propaganda ini akan memperjuangkan cita-
cita kemerdekaan bangsa Indonesia.  Dalam kondisi keuangan 
yang sangat kritis, timbul gagasan dari isterinya kalau ia akan 
mengiktu tes untuk menjadi guru taman kanak-kanak  Fröbel 
School di Weimar, Den Haag. Dengan bekerjanya Soetartinah, 
isteri RM Soewardi Soerjaningrat   sebagai guru taman kanak-kanak, kondisi ekonomi 
mereka mulai membaik. RM Soewardi Soerjaningrat   dan TM mulai berkonsentrasi 
31. Kesediaan RM Soewardi Soerjaningrat   sebagai guru HIS di Bangka akan membebaskan dirinya 
dari hukuman buang. Bila ia bersedia, ia akan menerima gaji sebesar  f 
200 per bulan, dan masih dapat dinegosiasikan tambahan gajinya, asalkan 
ia mau menjadi pengajar di HIS di pulau Bangka.
106 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
untuk memberikan kontribusi mereka dalam bidang jurnalistik. 
Walaupun isteri RM Soewardi Soerjaningrat   sudah bekerja, namun berhubung kondisi 
negeri Belanda sendiri sedang dalam kondisi perang akibat dari 
mulainya Perang Dunia I, kondisi persuratkabaran Belanda 
juga goyah, sehingga penghasilan mereka masih belum cukup. 
Kondisi yang semakin memburuk menyebabkan kebiasaan 
mereka makan nasi setiap hari harus diganti dengan roti, karena 
harga beras di negara itu cukup mahal.  Bantuan dan tawaran 
kerjasama mereka tolak karena alasan tidak ingin terikat, Jadi 
RM Soewardi Soerjaningrat   maupun TM telah bersepakat untuk menerima kondisi apa 
adanya, asalkan bebas dan tidak terikat oleh kepentingan orang 
lain.
 Bantun dari tanah air juga mengalir secara spontan. HOS 
Tjokroaminoto sebagai ketua umum Serikat Dagang Islam dan 
pimpinan harian Oetoesan Hindia  sepakat untuk mengirimkan 
uang dari tanah air sebesar f 25 per bulan untuk menambah 
kebutuhan sehari-hari kedua tokoh itu. Dalam kondisi yang 
semakin terpepet, DD berhasil memperoleh bantuan dari 
pemerintah melalui Menteri Koloni FHT Pleyte.  berdasar  
surat dari Menteri Koloni, DD akan menerima tambahan uang 
sejumlah f 175 sebulan dari Gubernur Jenderal di Batavia sebagai 
bantuan selama ia dibuang.  RM Soewardi Soerjaningrat   juga akan menerima tambahan 
uang sebesar f 75 sebulan dan TM akan menerima tambahan 
uang sebesar f 125.  sesudah pembayaran berakhir sesuai waktu 
yang telah ditetapkan dalam surat itu, mereka diizinkan untuk 
107---- 
meminta perpanjangan bantuan itu, hingga statusnya sebagai 
tahanan buangan berakhir. 
 Dalam kondisi ekonomi yang menghimpit akibat terlalu 
sedikit uang yang diterimanya, mereka bertiga telah bersepakat 
untuk menulis guna mengisi pendapatan mereka, khususnya 
guna menyambung kehidupan sehari-hari.  Sejak masih di tanah 
air, memang mereka dikenal sebagai penulis yang ulung. TM 
dikenal sebagai penulis yang sangat lugas, bahasanya pendek-
pendek dan dengan mudah dapat dicerna oleh pembacanya. DD 
dikenal sebagai penulis yang sangat kritis, yang sangat ditakuti 
oleh lawan-lawannya. Tulisannya selalu menyerang lawan-
lawannya secara telak, sehingga orang sangat kagum dengan 
kemampuan yang dimilikinya. Bahkan oleh penulis lainnya ia 
mendapatkan julukan oproermaker (si Pemberontak). Demikian 
pula RM Soewardi Soerjaningrat  , yang menghebohkan di tanah air berkat tulisannya yang 
berjudul Seandainya Aku Orang Belanda” yang mengakibatkan 
mereka bertiga ditahan dan dibuang di negeri Belanda.
 Atas bantuan dari Partai Buruh Sosial Demokrat 
( Sociaal Democratische Arbeiders Partij),  DD diberikan 
kesempatan untuk memberikan caramah di Paleis voor Volkvlift 
di Amsterdam. Ceramah itu mendapatkan banyak simpati dari 
partai ini  karena berisi tentang protes terhadap kolonialis. 
Tentu saja partai Demokrat merasa senang karena ceramah 
itu berisi tentang kritikan terhadap pemerintah yang saat itu 
berkuasa. Dengan ceramah ini , partai Demokrat semakin 
108 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
banyak mengkritik pemerintah, terutama atas terjadinya 
ktidakadilan antara  penduduk bumiputera dan kaum kolonial.
 Pada kesempatan lain, ketiga orang buangan ini diminta 
untuk memberikan ceramah di Gedung Diligentia di Den 
Haag32. Acara itu dihadiri oleh banyak orang karena ada 3 orang 
buangan dari Hindia Belanda yang akan memberikan ceramah 
di gedung ini . Ketiganya menjadi tokoh yang dibicarakan 
dalam baik dalam koran lokal di Hindia Belanda maupun koran-
koran di Belanda.  Oleh panitia ketiganya dijajar di podium. TM 
duduk di sebelah kiri disampinya RM Soewardi Soerjaningrat   beserta isteri, dan kemudia 
DD didampingi isterinya, sehingga ketiga tokoh ini tampah 
dengan jelas dari kejauhan.  Pada kesempatan ini DD diberikan 
kesempatan untuk pertama berbicara.  Ia mengemukakan falsafah 
yang kemudian dikenal banyak orang, yakni Onhoorbar groeit 
de padi  ‘Padi tumbuh tanpa suara’. Ia mengumpamakan gerakan 
nasional di Hindia Belanda tumbuh bagaikan padi yang sedang 
tumbuh.  Giliran TM tampil di mimbar. Dengan gayanya yang 
khas, ia mengemukakan tentang rakyat di Hindia Belanda yang 
ingin merdeka, bebas dari cengkeraman penjajah. Ia berbicara 
dengan nada yang halus, tanpa ada rasa dendam sedikitpun 
kepada bangsa Belanda. Giliran RM Soewardi Soerjaningrat   berbicara sebagai pembicara 
32  Dalam kegiatan itu DD menjelaskan kaitan antara Indische Partij dan 
penahanannya. Pidato DD disambut dengan baik dalam ceramah di 
gedung Diligentia, yang disewa untuk keperluan itu.  Dilaporan bahwa 
ketiga tahanan politik itu dengan gambling telah menjelaskan proses sejak 
awal hingga mereka dibuang ke negeri Belanda. (Lihat “DD in Holland” 
dalam Bataviaasch Nieuwsblad,  22 Oktober 1913 lembar ke-2).
109---- 
ketiga. Dengan kepribadiannya yang halus ia menjelaskan 
mengapa mereka bertiga sampai menjadi orang buangan di 
negeri Belanda. 
 Banyak orang yang menghendaki agar pertemuan seperti 
itu sering diselenggarakan. Permintaan itu muncul karena pera 
hadirin banyak yang tidak memahami apa yang terjadi di wilayah 
Hindia Belanda. Oleh karena itu, atas kesepakatan bersama 
mereka membuat sebuah majalah yang ditujukan bagi para 
pemuda di Hindia Belanda. Majalah itu diberi nama De Indiër, 
yang dipimpin oleh TM.  Pada edisi pertama dimuat tulisan 
DD dan TM, yang menjelaskan bahwa majalah ini merupakan 
kelahiran kembali Indische Partij yang telah dibubarkan 
sebelum mereka diberangkatkan dengan paksa ke Belanda.33 
Sementara itu RM Soewardi Soerjaningrat   meluruskan pandangan pendapat kebanyakan 
orang Belanda tentang kondisi di Hindia Belanda.  Hal ini ia 
tegaskan karena informasi yang ada di Belanda tidak sesuai 
dengan kenyataannya di wilayah koloni.  Ia lebih sening untuk 
berkeliling di beberapa wilayah di Belanda untuk memberikan 
ceramah tentang kondisi yang sebenarnya terjadi di tanah air.  
Kegiatan RM Soewardi Soerjaningrat   beserta kawan-kawannya mendapat bantuand ari 
Algemeen Nederlands Verbond ( Perkumpulan Umum di negeri 
Belanda), Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh 
Sosial Demokrat) yang saat itu beroposisi dengan pemerintah, 
33 Lihat Frans Berding  dalam “Wat we willen” yang dimuat dalam  De 
Indiër,  tahun I, 1913, hlm. 1-2.  
110 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
dan mingguan terbitan Rotterdam yang berjudul Oost en West. 34   
Majalah ini sesuai dengan judulnya, omsetnya cukup banyak, 
dan beredar tidak hanya di Eropa (West ) namun  juga di Hindia 
Timur (Oost). 35
 Dengan demikian, TM dan RM Soewardi Soerjaningrat   sudah kembali berkarya 
sesuai dengan bidang yang selama ini ditekuninya, yaitu dalam 
bidang pers.  Beberapa kali tulisannya dimuat dalam dalam 
mingguan De Indiër,  atau kadang-kadang ditulis bersama-
sama oleh ketiga orang buangan ini.Tulisan-tulian mereka dapat 
dimuat antara lain di Koloniaal Weekblad,  mingguan Indie, 
Nederlandsch Indië oud en Nieuw, Hollandsche Revue,  De 
Nieuwe Courant, Nieuwe Amsterdammer, Groene Amsterdammer, 
Het Volk, Bataviaasche Nieuwsblad, Mataram, Darmo Kondo, 
Oetoesan Hindia, De Express  ,  dan beberapa majalah atau koran 
lainnya.36
 Selain sebagai penulis aktif di beberapa koran dan 
mingguan, RM Soewardi Soerjaningrat   juga mendirikan Indonesisch Pers Bureau (Biro 
Pers Indonesia). Kantornya terletak di  Fahrenheitstraat nomor 
473, Den Haag.  Untuk mendirikan kantor Biro Pers Indonesia 
ini, RM Soewardi Soerjaningrat   meminjam uang sebesar f. 500 dari H. Van Kol, seorang 
34. Lihat Darsiti Soeratman Pahlawan Nasional Ki Hadjar Dewantara,  
Jakarta:Djambatan, 1977, hlm. 41.
35. Majalah ini diterbitkan sejak 1878, dan saat itu dijual f 0.10 sen per 
eksemplarnya. Majalah ini memuat berbagai macam berita dari Belanda, 
surat-surat dari wilayah koloni, cerita pendek, iklan, dsb.  Dalam majalah 
ini nama Soewardi Soerianingrat tercatat sebagai redaktur pembantu 
untuk koresponden Belanda.
36. Lihat Irna H.N. HadiSoewito, Soewardi Soerjaningrat dalam 
Pengasingan.  Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 70.
111---- 
anggota Staten Generaal, yang pernah bekerja di Hindia Belanda 
sebagai Kepala Departemen Pekerjaan Umum di Jawa.  Uang 
ini akan dia kembalikan secara bertahap sebesar f 25 setiap 
tanggal 1 setiap bulannya. Maksud dan tujuan didirikannya 
Biro Pers Indonesia  antara lain untuk memberikan gambaran 
dan penjelasan kepada warga  Belanda di negeri Belanda 
tentang apa yang sebenarnya terjadi di wilayah koloni Hindia 
Belanda. 37 Biro Pers Indonesia ini tidak hanya bergerak dalam 
bidang pers, namun  juga dalam pengembangan kesenian. 
 Selain berkecimpung dalam bidang pers, RM Soewardi Soerjaningrat   mulai 
tertarik untuk mengikuti pelajaran di Lager Onderwijs (Sekolah 
Guru), sesuai apa yang dicita-citakan selama ia mulai aktif di 
Indische Partij, sekaligus melihat aktivitas isterinya sebagai 
guru di Fröber School.  Sekolah guru ini diselenggarakan 
oleh Menteri Dalam Negeri di Den Haag. Setamat mengikuti 
sekolah itu, ia memperoleh akta mengajar Akte van Bekwamheid 
als Onderwijzer (Ijazah Keterampilan Mengajar). Berita ini 
37.  RM Soewardi Soerjaningrat   pernah menerima surat dari GH Fromberg yang beralamat di 
Bourbonstraat no. 16 Charlotte, pada 29 November 1918. Ia menawarkan 
kepada RM Soewardi Soerjaningrat   apakah bersedia menerbitkan tulisannya yang berjudul “Het 
Geval Soewardi” (Peristiwa Soewardi).  Apabila RM Soewardi Soerjaningrat   tidak bersedia, 
maka ia akan mengirimkan tulisannya itu ke majalah De Gids.  Surat itu 
disambut senang hati oleh RM Soewardi Soerjaningrat    demi berkembangnya Pers Biro Indonesia. 
Selain itu, RM Soewardi Soerjaningrat   juga pernah menerima surat dari Wakil Kepala Centraal 
Bureau voor Sociale Adviezen  (Biro Pusat Penasehat Sosial) tertanggal 8 
Agustus 1918 yang berkeinginan menarik RM Soewardi Soerjaningrat   untuk bersedia bekerja sama 
dengan dengan biro ini . Tawaran ini diterimanya dengan senang hati, 
dengan suatu syarat bahwa ia tidak mau nama RM Soewardi Soerjaningrat   dicantumkan dalam 
tulisan-tulisannya, mengingat bahwa statusnya adalah orang buangan.
112 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
mengagetkan teman-temannya, terutama DD. Oleh karena 
itu, ia memberikan saran kepadanya agar tidak lagi membuat 
permasalahan politik  baik di Negeri Belanda maupun di 
wilayah koloni. Selepas memperoleh ijazah ini , banyak 
pihak menyarankan agar dia dapat memanfaatkan kesempatan 
untuk mengajar di sekolah di Belanda.  Momen-momen 
kebahagiaan tiga tokoh buangan ini segera berakhir, karena 
DD harus segera melanjutkan studinya ke Zurich di Jerman 
untuk menekuni ilmu ekonomi. Sementara itu TM harus segera 
dikembalikan ke wilayah Hindia Belanda karena penyakit asma 
yang dideritanya.38  
 Kepiawaian RM Soewardi Soerjaningrat   dalam menulis, menyebabkan dirinya 
ditawari untuk bekerja di Nederlandsch Zuid-Afrikaansch Pers 
Bureau (Biro Pers Afrika Selatan di Belanda).  Demikian pula 
redaktur majalah Oost en West  meminta kepadanya untuk lebih 
sering menulis untuk diterbitkan di majalahnya. Nama RM Soewardi Soerjaningrat   mulai 
naik daun. Banyak kalangan terutama kalangan mahasiswa 
yang belajar di negeri Belanda, mulai tertarik dengan tulisan 
RM Soewardi Soerjaningrat  , dengan memperkokoh semangat kebangsaan mereka.  RM Soewardi Soerjaningrat   
mulai bergabung dengan Indische Vereeniging  yang didirikan 
oleh R. Soemitro pada 1908.  Wadah persatuan Indonesia ini 
tidak hanya diikuti oleh bangsa Hindia, melainkan juga diminati 
oleh orang Tionghoa dan maupun orang Belanda. Bersama 
38. TM  berdasar  keputusan Gubernur Jenderal Idenburg 27 Juli 1914, 
diizinkan kembali ke tanah air. Semula ia harus dikirimkan ke tempat 
pembuangannya di Banda. Namun berhubung alas an kesehatannya, ia 
diizinkan untuk tinggal di kota Solo.
113---- 
dengan para mahasiswa inilah RM Soewardi Soerjaningrat   banyak berkecimpung dalam 
bidang kesenian. Hal yang mengejutkan terjadi tatkala Indische 
Vereeniging  yang beralamat di Havenstraat 7 A, Delft mengirim 
surat kepada RM Soewardi Soerjaningrat   di Fahrenheitstraat 475 untuk memintanya 
menjadi tenaga arsiparis lembaga itu dengan memperoleh 
imbalan sebesar f 7.50 untuk setiap bulannya.  Surat pengangkatan 
ini ditandatangani oleh Goenawan Mangoenkoesoemo di atas 
sebuah kartupos.  Dari sini, kepercayaan terhadap dirinya terus 
berkembang, bahkan RM Soewardi Soerjaningrat   diminta untuk menangani majalah 
mereka yang berjudul Hindia Poetra.  Tak lama kemudian, ia 
diangkat menjadi ketua redaksi majalah itu. Kebijakan yang 
diterapkannya agar tidak terputus dengan kondisi di Hindia 
Belanda, ia mengutip beberapa berita dari surat kabar Oetoesan 
Hindia, Medan Boediman,  dan koran-koran Hindia Belanda 
lainnya. Perkembangan Hindia Poetra  tidak terlepas dari paham 
yang pro maupun kontra. Jelaslah bahwa harian Maasbode  
menyambut dengan hangat mulai tergarapnya majalah Hindia 
Poetra  ini. Namun majalah Het Vaderland  mengkritik habis-
habisan munculnya majalah Hindia Poetra.  Hal ini tidak terlepas 
dari ideologi dari masing-masing majalah itu.  Selanjutnya dalam 
perkembangannya, pada  17 April 1917 malam diselenggarakan 
pertemuan dengan Koninkelijke Nederlandsche Vereeniging  di 
Amsterdam. Pada kesempatan itu RM Soewardi Soerjaningrat  telah membuat corat-coret 
di atas peta Hindia Belanda  dengan tulisan De Kurk, waarop 
Neerlands welvaart drijft  (Sebuah Gabus, di mana kemakmuran 
Belanda terapung). Di bawah peta dia menulis Het Paard, 
114 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
waarop... een dief zit!. ( Kuda, di atas mana... seorang pencuri 
duduk).  Hal ini menyebabkan munculnya reaksi dari orang-
orang Belanda, yang membuat persatuan orang Hindia semakin 
kokoh. Oleh sebab itu, organisasi Indische Vereeniging  diganti 
namanya menjadi Indonesische Vereeniging , dan majalah Hindia 
Poetra  diganti menjadi Indonesia Merdeka.   
 Di sela-sela waktu senggangnya, RM Soewardi Soerjaningrat   mulai membaca 
karya beberapa tokoh pendidikan seperti MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori dari Italia, 
dan karyo tokoh pendidikan India Rabindranath Tagore.  Ia 
sangat berkesan dengan kedua tokoh pendidikan itu. MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori 
mementingkan hidup jasmani anak-anak dan mengarahkannya 
agar mereka memiliki kecerdasan budi. Menurut MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori 
dasar utama pendidikan adalah adanya kebebasan dan 
spontanitas untuk memperoleh kemerdekaan hidup dalam arti 
seluas-luasnya. Sementara itu tokoh pendidikan Rabindranath 
Tagore, pendidikan merupakan suatu syarat untuk memperkokoh 
kemanusiaan dalam arti seluas-luasnya, termasuk dalam bidang 
keagamaan. 39 Bagi RM Soewardi Soerjaningrat   sendiri, mereka itu adalah pembongkar 
dunia pendidikan lama  serta pembangunan pendidikan yang 
baru, yang mendasarkan diri pada Kebudayaan Nasional. 
Prinsipnya adalah Kembali Kepada yang Bersifat Nasional. 
 
RM Soewardi Soerjaningrat   yang semula adalah seorang politikus, telah berganti 
profesi menjadi seorang penulis. Profesinya ini ia manfaatkan 
benar untuk melakukan rekonsiliasi dengan beberapa elemen 
warga  yang menganggap betapa pentingnya memunculkan 
rasa nasionalisme di Hindia Belanda. Berkat perenungannya 
yang cukup cerdas, dibarengi dengan perluasan wawasan 
tentang pendidikan, tekadnya untuk menyiapkan generasi muda 
dalam menyongsong kemerdekaan semakin besar. Ia semakin 
yakin sesudah memahami pandangan tokoh pendidik dari Italia 
dan India, bahwa generasi muda perlu dipersiapkan dengan 
baik. Perubahan secara radikal dapat dilakukan apabila dimulai 
dari generasi muda.
 Upaya mendidik kaum muda merupakan syarat utama 
dalam membebaskan diri dari kungkungan penjajah. Pendidikan 
yang mendasarkan kebudayaan nasional akan mampu 
menampik semua upaya pembodohan warga  melalui 
pendidikan sistem kolonial. Pendidikan kolonial yang ada pada 
saat itu tidak membuat warga  menjadi cerdas, melainkan 
mendidik manusia yang tergantung pada nasib dan bersikap 
pasif, menunggu perintah atasan tanpa memiliki inisiatif untuk 
memajukan bangsanya yang nyata-nyata berada di bawah garis 
kemiskinan.  Jumlah anak-anak bumiputera yang masih buta 
huruf  seera harus diatasi. Keinginan untuk merdeka harus 
dimulai dengan mempersiapkan kaum bumiputera yang bebas, 
mandiri, cerdas, dan siap bekerja keras.  Oleh karena itu generasi 
116 Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
muda, khususnya anak-anak harus dipersiapkan agar kelak 
menjadi bangsa yang mandiri, sadar akan makna kemerdekaan, 
sehingga kesadaran akan merebut kemerdekaan bangsa dan 
mempertahankan kemerdekaan itu hanya dimiliki oleh orang-
orang terdidik yang memiliki jiwa merdeka.
 Pengajaran di bawah pemerintah kolonial menjadikan 
bangsa Hindia Belanda selalu bergantung kepada bangsa Eropa. 
Oleh karena itu, kondisi ini  harus diubah tidakhanya melalui 
gerakan politik, namun juga melalui gerakan pendidikan dan 
pengajaran nasional yang kondisinya saat itu sangat diperlukan 
kehadirannya. Pendidikan nasional harus mampu untuk mandiri, 
merdeka, berdasar  kekuatan sendiri.  Merdeka berarti bebas 
dari semua jenis ikatan.  Demikian pula prinsip pendidikan bagi 
anak-anak muda tidak untuk meminta hak mereka, melainkan 
untuk menitikberatkan kepada perkembangan si anak itu sendiri.  
Oleh karena itu,  tema pendidikan yang penting adalah pendidikan 
yang tumbuh menurut kodrat, yang didasarkan atas budaya 
nasional, yang dilakukan dengan sistem among.   Para pendidik 
harus Tut Wuri handayani  (Mengikuti dan mempengaruhi 
agar anak asuh dapat berkembang ke arah yang baik”.  Dengan 
adanya sistem ini, maka bebaslah anak dalam mengembangkan 
bakatnya  dan mereka akan selalu penuh dengan inisiatif, tanpa 
harus menunggu perintah yang diberikannya.   Semua ini 
hanya dapat terjadi dengan tekad yang bulan, menghancurkan 
semua hambatan yang berada di depannya. Rawe-Rawe Rantas, 
Malang-Malang Putung.

 
Dalam periodisasi Sejarah Indonesia, awal abad 
XX merupakan salah satu episode yang ditandai dengan 
tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang mendorong terbentuknya 
nasionalisme Indonesia yang mulai tumbuh meski masih 
bersifat abstrak. Di sisi lain, kekuasaan Pemerintahan Hindia 
Belanda semakin konkret terwujud karena wilayah kekuasaan, 
hukum, dan struktur pemerintahan yang nyata sudah terbentuk. 
Nasionalisme Indonesia, tumbuh di seluruh strata sosial, 
termasuk di lingkungan priyayi (bangsawan) Jawa. Mereka 
tumbuh sebagai representasi kelompok “pembangkang” terhadap 
tatanan sosial-budaya yang telah mengakar kuat di warga  
Jawa. Mereka sadar bahwa tatanan tradisional ini  menjadi 
alat efektif Pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan 
kekuasaannya yang nyata di Indonesia 
Dari sekian banyak tokoh pergerakan nasional 
generasi pertama, ada golongan priyayi Jawa yang 
berpikiran nasionalis, yaitu Soewardi Soerjaningrat, Tjipto 
Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo. Ketiga tokoh ini  
memiliki karakter yang berbeda dalam menyebarluaskan 
nasionalisme Indonesia. Sebagaimana digambarkan oleh 
Savitri Prastiti Scherer (1985), Soewardi Soerjaningrat adalah 
seorang nasionalis yang masih kuat memegang nilai-nilai 
tradisi. Sementara itu, Tjipto Mangoenkoesoemo digambarkan 
sebagai seorang nasionalis yang menunjukkan jati diri sebagai 
seorang pembakang (terhadap nilai-nilai tradisi) sedangkan 
Soetomo dipandang sebagai seorang nasional moderat sehingga 
ditempatkan sebagai juru damai.

Dengan persamaan yang dimiliki, sekaligus melekat 
di dalamnya perbedaan yang begitu kontras, menarik untuk 
diungkap latar belakang budaya yang membentuk karakter ketiga 
tokoh nasionalis ini . Menarik juga untuk dikaji tentang 
pemikiran ketiganya yang sangat berpengaruh, tidak hanya 
pada masa pergerakan nasional, namun masih dirasakan sesudah 
Indonesia merdeka. Kedua hal itulah yang menjadi tujuan utama 
penulisan makalah ini. 
B. Profil Ringkas Tiga Serangkai
Soewardi Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 di 
Yogyakarta. Ayahnya, Pangeran Soerjaningrat merupakan 
putra pertama Paku Alam III sehingga status sebagai putra 
mahkota Pakualaman melekat pada dirinya. Dengan perkataan 
lain, Soewardi Soerjaningrat merupakan pewaris kedua tahta 
Pakualaman apabila Paku Alam III mangkat dan ayahnya tidak 
bisa naik tahta. Akan namun , tahta Pakualaman itu diserahkan 
oleh Belanda kepada saudara sepupu Pangeran Soerjaningrat 
yang kemudian menjadi Paku Alam IV.1 sesudah Paku Alam IV 
mangkat, tahta diserahkan kepada Paku Alam V yang tidak lain 
adalah adik laki-laki Paku Alam III. Dari sini, tahta Pakualaman 
1.  Irna Hanny Hadi Soewito (1982: 51-52) mengatakan bahwa kegagalan 
Pangeran Soerjaningrat menjadi Paku Alam IV karena mengalami cacat 
netra sejak lahir dan Pemerintah Hindia Belanda menolak menyerahkan 
tahta Pakualaman kepada adiknya, Pangeran Sasraningrat karena masih 
terlalu muda. Atas usul Ratu Sepuh, sebagai pinisepuh Pakualaman, salah 
seorang cucunya yang sarat pengalaman di bidang kepamongprajaan 
diangkat menjadi Paku Alam IV.
diwariskan kepada keturunan Paku Alam V2 
Dengan kondisi ekonomi yang tidak lebih baik 
dibandingkan dengan para pangeran Pakualaman lainnya, 
Soewardi Soerjaningrat dimasukkan ke Europeesche Lagere 
School  (ELS). Selesai dari ELS, Soewardi Soerjaningrat 
melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru di Yogyakarta. 
Akan namun , tidak selesai karena terbentur masalah biaya. Saat 
itulah, datang tawaran beasiswa dari dr. Wahidin Soedirohoesodo 
kepada Soewardi untuk menempuh pendidikan di School tot 
Opleiding van Indische Artsen  (STOVIA). Dengan beasiswa itu, 
pada 1905, Soewardi mulai belajar ilmu kedokteran di Stovia, 
yang di kalangan pribumi lebih dikenal dengan sebutan Sekolah 
Dokter Jawa.3 Akan namun , pendidikan Soewardi di Stovia 
2. Dengan pewarisan tahta Pakulaman kepada keturunan Paku Alam V, maka 
Pemerintah Hindia Belanda telah memutus hak atas tahta Pakualaman 
bagi seluruh keturunan Paku Alam III. Selain itu, kedua anak Paku Alam 
III pun menghadapi intrik di antara pangeran yang berdampak pada 
“keluarnya” mereka dari keraton. Situasi ini merupakan pondasi awal 
bagi Soewardi Soerjaningrat dalam pembentukan karakternya, yakni 
aristokrat yang merakyat 
3.  Masuknya Soewardi Soerjaningrat ke Stovia di luar tradisi kalangan 
priyayi-aristrokrat. Hal yang sama ditempuh juga oleh kakaknya yang 
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian di Bogor. Lazimnya, 
seorang keturunan priyayi-aristokrat, menempuh pendidikan ke HBS 
atau Osvia zDalam pandangan Liesbeth Hasselink  
pada umumnya, kaum priyayi memiliki karakter sebagai 
administrator pemerintahan. Oleh karena itu, mereka akan menyekolahkan 
anak laki-lakinya ke Osvia, bukan ke Stovia. Secara pragmatis, sebagai 
administrator pemerintahan, priyayi memiliki tanggung jawab, yang di 
dalamnya melekat faktor kekuasaan. Sementara itu, seorang dokter tidak 
memiliki tanggung jawab di birokrasi dan memiliki karakter tunduk atas 
perintah. Dalam perspektif inilah, pilihan ke Osvia menjadi “sebuah 
terhenti pada 1910, karena selama empat bulan mengalami sakit 
sehingga dirinya gagal naik kelas 
sesudah gagal menyelesaikan pendidikannya di Stovia, 
Soewardi memutuskan untuk bekerja di pabrik gula Kalibagor 
di Banyumas (Jawa Tengah), kemudian bekerja di apotek 
Rathkamp, Yogyakarta. Dengan pengalaman pendidikannya 
di Stovia, Soewardi mencoba untuk menjadi peramu obat-
obatan di tempatnya bekerja, namun usahanya ini  gagal. 
Kegagalannya itu disebabkan oleh ketidakfokusan dirinya 
terhadap pekerjaannya karena tertarik dengan dunia jurnalistik 
yang ditandai dengan pengiriman artikelnya secara konsisten 
ke surat kabar De Express    dan Oetoesan Hindia . sesudah 
diberhentikan dari Apotek Rathkamp, pada 1912, Soewardi 
ditawari bekerja di De Express    oleh Ernest François Eugène 
Douwes Dekker yang berkantor di Bandung 
4 . Tawaran ini  langsung 
diterima karena sesuai dengan minatnya yang mulai tumbuh 
di dunia jurnalistik.5 Sejak saat itu, Soewardi Soerjaningrat 
kewajiban” bagi kalangan priyayi, dibandingkan dengan Stovia yang 
menjadi pilihan utama bagi priyayi rendah.
4.  Ernest François Eugène Douwes Dekker menawari pekerjaan di De 
Express    kepada Soewardi Soerjaningrat karena sangat terkesan dengan 
tulisan-tulisannya yang dimuat di koran De Express    dan Oetoesan Hindia . 
Tulisan-tulisannya yang dibuat selama bekerja di Pabrik Gula Kalibagor 
dan Apotek Rathkmap itu, sangat tajam mengkritik pemerintah sehingga 
Dekker memandangnya sebagai individu dengan visi yang sejalan 
dengan dirinya 
5. Soewardi telah mengenal Douwes Dekker saat  masih sekolah di 
Stovia yang ada saat itu berkedudukan sebagai redaktur Bataviaasche 
Nieuwsblad , sebuah surat kabar berhaluan bebas dan tidak mengikuti 
haluan Pemerintah Hindia Belanda. Douwes Dekker dengan surat 
berhasil membentuk jati dirinya sebagai salah seorang pemimpin 
pergerakan yang sangat dikhawatirkan Pemerintah Hindia 
Belanda sehingga setiap tindak-tanduknya tidak terlepas dari 
pengawasan pemerintah. Buah penanya begitu tajam mengkritik 
pemerintah, sehingga pernah dibuang ke Belanda bersama-sama 
dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, rekan seperjuangannya di 
Bandung.
Tokoh kedua dari tiga serangkai dalam makalah ini adalah 
dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang dilahirkan di Ambarawa 
pada 1886 sebagai anak pertama dari sebelas saudara.6 Ayahnya, 
Mangoenkoesomo, merupakan seorang guru Bahasa Melayu di 
Sekolah Dasar Pribumi di Ambarawa. Sementara itu, kakeknya, 
Mangoensastro, merupakan seorang guru agama dan putra tertua 
seorang perwira pasukan Pangeran Diponegoro. Meskipun 
demikian, Tjipto tidak termasuk sebagai golongan priyayi-
birokratis karena tidak seorangpun dari kerabatnya yang bekerja 
di pemerintahan 
Meskipun berasal dari kalangan priyayi rendah, 
kabarnya itu berhasil menarik simpati dari para murid Stovia dan 
secara pribadi, Douwes Dekker menaruh kekaguman kepada Soewardi 
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Di awali dengan saling 
berkomunikasi, ketiganya berhasil menjalin persahabatan karena merasa 
memiliki satu tujuan yang sama, yakni membebaskan warga  
pribumi dari ketidakadilan akibat kebijakan Pemerintah Hindia yang 
bersifat diskrimintif .
6. Mengenai jumlah saudara kandungnya, M. Balfas (1952: 30) mengatakan 
bahwa Tjipto memiliki delapan orang saudara kandung, sedangkan 
Savitri Prastiti Scherer (1985: 122) mengatakan bahwa saudara kandung 
Tjipto seluruhnya berjumlah sepuluh orang. 
Mangoenkoesoemo berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke 
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tjipto diterima sebagai 
siswa STOVIA yang mendapat predikat dari para gurunya 
sebagai murid yang berbakat (een begaald leerling ).7 Predikat 
itu diberikan, karena selama menempuh pendidikannya di 
STOVIA, Tjipto dinilai sebagai pribadi yang cerdas, jujur, rajin, 
berpikiran tajam, dan bersikap tegas. Sikap tegasnya itu, tidak 
dapat dilepaskan dari situasi lingkungan sosial-budayanya. 
Tjipto terdorong untuk melabrak tradisi bahwa priyayi rendah 
harus membungkukkan badan apabila berjumpa dengan priyayi 
tinggi dan pejabat Belanda dari golongan apapun.
Perlakuan diskriminatif itu, diterapkan juga dalam  
penggunaan baju, baik batik maupun model baju Belanda. 
Penggunaan baju tradisional Jawa bagi priyayi rendah sekaligus 
sebagai pembeda status sosial yang berdampak pada perlakuan 
sosial yang mereka terima. Oleh karena itu, mudahlah dipahami 
kalau sejak 1907, Tjipto acapkali melontarkan kritik terhadap 
Pemerintah Hindia Belanda dan kalangan priyayi aristrokrat dan 
priyayi birokratis, karena mereka pada dasarnya menyokong 
Pemerintah Hindia dalam proses merendahkan martabat bangsa 
7 Tiga orang adik Tjipto, yakni Gunawan, Budiardjo, dan Sjamsul 
Ma’arif pun melanjutkan pendidikan ke Stovia. Sementara itu, adiknya 
yang lain, Garmawan, melanjutkan pendidikannya ke Delf Universiteit  
di Negeri Belanda ,Hal ini menunjukkan 
bahwa Mangoenkoesoemo, seorang priyayi rendah, telah berhasil 
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi sehingga 
mampu meningkatkan status sosial mereka sebagai priyayi-profesional 
sendiri. Kritik ini  dilontarkan Tjipto melalui artikel 
yang dimuat di surat kabar De Locomotif  dan Bataviaasche 
Nieuwsblad .
Sikap kritis yang melekat pada diri Tjipto diperlihatkan 
juga oleh tindakannya yang membangkang terhadap tradisi di 
kalangan warga  Jawa. Sebagai seorang dokter, Tjipto 
memiliki status tinggi dan terhormat di kalangan Pemerintahan 
Hindia Belanda. Akan namun , dalam pandangan warga  
Jawa, profesinya sebagai dokter tidak berpengaruh apa-apa 
terhadap status sosialnya. Dokter Tjipto, hanyalah seorang 
priyayi rendah yang status sosialnya tidak lebih tinggi daripada 
seorang asisten wedana. Tindakan pembakangannya terhadap 
tradisi diperlihatkan saat  bekerja di Demak. Sebagai 
seorang dokter, Tjipto memiliki gaji tinggi sehingga mampu 
membeli dua ekor kuda untuk menarik keretanya. Tindakan 
Tjipto mendapat reaksi keras dari Hadiningrat, Bupati Demak 
karena sesuai tradisi kepemilikan kereta dengan dua ekor kuda 
merupakan hak istimewa bupati dan keturunan dekatnya. Sikap 
yang sama diperlihatkan Tjipto saat  bekerja di Surakarta. Pada 
saat itu, Tjipto menggunakan alun-alun untuk dijadikan sebagai 
tempat melatih kudanya. Tindakan ini  mengundang reaksi 
keras dari Sunan karena secara tradisi, penggunaan alun-
alun merupakan hak istimewa Sunan dan keturunan dekatnya 
Sikap berani Tjipto ditujukan pula kepada Pemerintah 
Hindia Belanda saat  ia menerima penghargaan Ridderkruis  van 
Oranye-NaRM Soewardi Soerjaningrat  au. Penghargaan itu diterima oleh Tjipto sesudah 
berhasil membasmi wabah pes di Malang pada 1910. Waktu 
itu, banyak dokter yang menolak membasmi penyakit menular 
itu. Akan namun , Tjipto menerims