• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 2. Tampilkan semua postingan

kerajaan banjar 2

 Tuan Guru al-Banjari ini semisal di

Tembilahan pada abad 20 adanya Syekh Abdurrahman Shiddiq yang

dikenal dengan Tuan Guru Sapat Mufti Kesultanan Siak Indragiri pada

masa Sultan Isa berkuasa, Tuan Haji Husien Kedah, Mufti Kesultanan

Kedah (1863-1965). Dato Seri Harussani bin Haji Zakaria MuftiKerajaan Negeri Perak di kerajaan Riau Lingga, Syekh Syahabuddin

al-Banjari sahabat Raja Ali Haji penulis Gurindam Duabelas dan

beberapa Tuan Guru di Bengkalis, Selangor dan Johor. Sebuah

penegasan adanya dakwah Islam dari Tanah Melayu di selatan Borneo/

Kalimantan menjadi pijakan dan pusat menuntut ilmu agama Islam

oleh warga  di rantau ( Rahmadi, 2010: 304-305 dan Arbain, 2013:

31).

Tersebarnya agama Islam ke segala pelosok daerah yaitu 

usaha al-Banjari beserta anak-cucunya yang sudah mempunyai ilmu

pengetahuan hasil didikannya sendiri. Mereka menyebarkan ke daerah￾daerah seperti Pagatan (Kabupaten Tanah Bumbu), Taniran dan Negara

(Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai

Utara), Jatuh dan Pemangkih (Kabupaten Hulu Sungai Tengah), Kelua

(Kabupaten Tabalong), Juai dan Paringin (Kabupaten Balangan),

Marabahan (Kabupaten Barito Kuala), daerah-daerah ini semuanya ada

di Kalimantan Selatan. Di samping itu, keturunan Al-Banjari dan mu￾rid-muridnya juga menyebarkan Islam ke daerah Kalimantan Tengah,

seperti Kapuas, Palangka Raya, Pangkalan Bun, Sampit, Muara Teweh

dan Puruk Cahu. Begitu juga, di Kalimantan Timur para keturunan

dan murid-murid al-Banjari menyebarkan Islam ke daerah Paser,

Balikpapan, Samarinda dan Kutai. Keturunan al-Banjari juga ada yang

mendirikan pesantren yang bernama Saigoniyah di Kampung Saigon,

Pontianak Kalimantan Barat. Di hampir semua kota yang disebutkan

di atas, baik yang ada di Kalimantan Selatan, Timur, Tengah dan Barat

ada  keturunan dan murid-murid M. Arsyad al-Banjari yang masih

berprofesi sebagai ulama dan guru agama Islam, 








Etnis Banjar ialah penduduk asli sebagian wilayah Propinsi
Kalimantan Selatan. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal
Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di
kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu
masa yang lama sekali akhirnya, –setelah bercampur dengan penduduk
yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku
Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan–
terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan,
(Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada
asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai
Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus, orang Batang Banyu
mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala)
mendiami daerah sekitar Banjarmasin (dan Martapura). Bahasa yang
mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah
bahasa Melayu –sama halnya seperti saat  berada di daerah asalnya
di Sumatera atau sekitarnya–, yang di dalamnya ada  banyak sekali
kosa kata asal Jawa dan asal Dayak.1
Nama Banjar diperoleh sebab  mereka dahulu –sebelum
dihapuskan pada tahun 1860–, yaitu warga Kesultanan Banjarmasin
atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula
berdirinya. saat  ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir dMartapura, nama ini  nampaknya sudah baku atau tidak berubah
lagi. Orang Banjar memeluk agama Islam dan tergolong taat
menjalankan perintah agamanya.2
Yang dimaksud dengaa Etnis Banjar dalam tulisan ini ialah or￾ang-orang yang secara turun-temurun memakai  Bahasa Banjar
sebagai bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Meski pun saat ini
orang-orang yang berbahasa Banjar ditemukan juga di daerah lain,
namun dapat dipastikan bahwa tempat tinggal mereka semula dan yang
terutama sampai saat ini ialah wilayah Propinsi Kalimantan Selatan.
Ada beberapa catatan yang harus dikemukakan sehubungan dengan
pernyataan yang terakhir ini. Di wilayah Kabupaten Barito Kuala
ada  sekelompok penduduk yang dinamakan orang Bakumpai, yang
mengaku dan diakui sebagai orang Banjar, namun mereka
mengembangkan bahasa sendiri (bahasa Bakumpai) yang berbeda
sekali dengan bahasa Banjar. Di daerah pegunungan ada  kelompok￾kelompok orang Bukit, yang sering digolongkan ke dalam suku Dayak,
tetapi saya berpendapat, mereka ini sama asal-usulnya dengan orang
Banjar. Memang orang Bukit ini mengembangkan bahasa sendiri yang
dinamakan bahasa Bukit atau kadang-kadang bahasa Labuhan, namun
antara kedua bahasa itu yaitu bahasa Banjar dan bahasa Bukit– begitu
banyak sekali persamaan kosa kata, sehingga bahasa Bukit dapat
digolongkan sebagai salah satu dialek bahasa Banjar. Suatu wilayah
yang luas yang saat ini yaitu  wilayah Kabupaten Kota Baru juga
masih dapat dipersoalkan sebagai wilayah Banjar. Tentu saja ke dalam
daerah yang tadi saya bayangkan sebagai Tanah Banjar banyak
berdatangan orang-orang asal penduduk daerah nusantara lainnya. Akan
tetapi saya bisa mengatakan secara pasti, bahwa seluruh penduduk
Kalimantan Selatan, baik penduduk asli yang tadi dibayangkan sebagai
mungkin bukan Banjar, mau pun penduduk asal pendatang yang
kemudian menetap di sini, semuanya tampak sedang dalam proses
pembanjaran. Selain bahasa nampak sekali agama Islam sudah
yaitu  ciri pokok orang BanjarSangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di
sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman
secara massal diduga terjadi setelah raja, -Pangeran Samudera yang
kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah– memeluk Islam diikuti
warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti
oleh elit ibukota, –masing-masing disertai kelompok bubuhannya– dan
oleh elit daerah, –juga diikuti warga bubuhannya– dan demikianlah
seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling
bawah.
Dengan masuk Islamnya para bubuhan, –kelompok demi
kelompok– maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah
menjadi identitas orang Banjar dan yaitu  cirinya yang pokok,
meski pun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak
merata. Dapat dikatakan bahwa pada tahap permulaan berkembangnya
Islam ini , kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Is￾lam telah terintegrasikan ke dalamnya: dengan masuk Islamnya
bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai
bagian dari kepercayaan bubuhan. Tidak heran bila saat  itu ungkapan
keislaman secara berkelompok lebih dominan dibandingkan ibadah
perseorangan umpamanya. Namun orang Banjar berusaha belajar
mendalami ajaran agamanya serentak ada kesempatan untuk itu,
sehingga akhirnya orang Banjar secara relatif dapat digolongkan or￾ang yang taat menjalankan agamanya, seperti halnya sekarang.
Intensitas keberagamaan warga  Banjar meningkat tajam
setelah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kembali dari mengaji di
tanah Arab dan membuka pengajian di Dalam Pagar, –sebuah
perkampungan yang dibangunnya di atas tanah perwatasan yang
dihadiahkan oleh Sultan kepadanya– terletak tidak terlalu jauh dari
keraton saat  itu. Murid-muridnya kemudian membuka pengajian pula
di tempatnya masing-masing, yang antara lain yaitu keturunannya
sendiri, seakan-akan yaitu  perwujudan dari hasil munajatnya
kepada Tuhan agar dikaruniai ilmu keagamaan sampai tujuh keturunan
(-alim tujuh turunan-). Salah sebuah kitab yang dianggap sebagai
perwujudan ajaran-ajaran Syekh, –terkenal sebagai kitab perukunan–
menjadi pegangan umat di kawasan ini selama lebih dan satu abad.
Ceritera rakyat menggambarkan bahwa kitab perukunan sebenarnya
ialah hasil catatan salah seorang cucu perempuan Syekh yang cerdassaat  mengikuti pengajian khusus wanita yang diberikan oleh Syekh,
dan kemudian dicetak dan diakukan sebagai dikarang oleh mufti
Jamaluddin, salah seorang anak Syekh. Kitab ini, –menurut penulis–
belakangan ditambah dan disempurnakan, dan dinamakan Perukunan
Besar atau Perukunan Melayu, yang dicetak sebagai dikarang oleh Haji
Abdurrasyid Banjar. Selain peningkatan pengamalan sehari-hari ajaran
Islam, Syekh juga berhasil menegaskan peran tokoh agama dalam
pemerintahan sebagai kadi dan mufti. Syekh juga berhasil membentuk
pengadilan agama, yang tersebar di daerah-daerah dan terus berlanjut
sampai lebih dari seratus tahun sesudah meninggalnya. Pada tahun 1835
Sultan Adam (meninggal 1857), –melalui kitab hukum yang dinamakan
Undang-Undang Sultan Adam– memerintahkan warganya agar
membangun langgar dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ibadah
bersama yang –barangkali– yaitu  asal-muasal orang Banjar gemar
membangun langgar.4
Jadi, proses Islamisasi etnis Banjar dimulai jauh sebelum Sultan
Suriansyah (1526) memeluk Islam. Namun, pengislaman etnis Banjar
secara besar-besaran sebab  dipengaruhi oleh keislaman Sultan
Suriansyah. Corak keislaman etnis Banjar pada tahap awal lebih
didominasi sufistik, baru setelah M. Arsyad Al-Banjari pulang dari
Mekkah corak keislaman etnis Banjar lebih berimbang antara tauhid,
fikih dan tasawuf.
B. Filsafat Hidup
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, terdiri kata philo yang
berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu menicintai atau menginginkan,
dan shopia yang berarti kebijaksanaan atau kebenaran.5
Dengan
demikian, secara istilah filsafat berarti mencintai kebenaran atau
mencintai kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates sebagai filsuf, sebab 
ia mencintai kebijaksanaan. Sebelum Socrates, ada  dua kelompok
yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti para
cendekiawan.Istilah filsafat pertama kali dipakai  oleh Pythagoras.7
 Dia me￾ngatakan bahwa manusia dapat dibagi menjadi tiga golongan.Pertama,
manusia yang mencintai kesenangan, kedua, manusia yang mencintai
kegaiatan; ketiga, manusia yang mencintai kebijaksanaan.Pengertian
ketiga dari Pythagoras tentang manusia ini yang kemudian memberikan
gambaran tentang pengertian filsafat, yaitu kebijaksanaan.8
Selanjutnya Harun Nasution berpendapat, bahwa kata falsafat
berasal dari kata Arab falsafa dengan wazan (timbangan) fa’lala,
fa’lalah, dan fi’lah. Menurut Harun Nasution, bahwa kata benda dari
falsafa yaitu falsafah dan filsaf. Dalam bahsa Indonesia banyak
dipakai  kata filsafat, padahal bukan berasal dari kata Arab dan bukan
dari kata Inggris philoshopy. Dia mempertanyakan apakah kata fil
berasal dari bahasa Inggris dan safah dari kata Arab, sehingga terjadilah
gabungan antara keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat.9
Namun, menurut Amsal Bakhtiar, bahwa kendati istilah filsafat
berasal dari bahasa Arab, kata filsafat dapat diterima dalam bahasa
Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang diindonesiakan mengalami
perubahan dalam vokalnya, seperti kata masjid menjadi kata mesjid
dan kata karamat menjadi kata keramat. sebab  itu, perubahan huruf a
menjadi I dalam kata falsafat menjadi filsafat dapat ditolelir.10 Selain
itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan
pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan
hukumnya.11
Sementara itu, Sidi Gazalba berpendapat ada tiga ciri pokok dalam
filsafat. Pertama, adanya unsur berpikir yang dalam ini 
memakai  akal. Kedua, adanya unsur-unsur yang ingin dicapai
melalui berpikir ini , yaitu mencari hakikat atau inti mengenai
segala sesuatu. Ketiga, adanya ciri khusus yang ada  dalam polaberpikir, yaitu mendalam, sistematik dan universal dalam rangka
mencari kebenaran.12
Abuddin Nata, mengatakan dari berbagai definisi filsafat
dihubungan antara satu dengan yang lain, dapatlah disimpulkan, sebagai
berikut. Pertama, filsafat tumbuh dari pengertian sederhana sampai
kepada definisi yang lengkap. Kedua, dari definisi filsafat yang beragam
ini  dapat diketahui adanya komponen filsafat, yaitu: (1) tentang
bentuk kegiatan berpikir yaitu berpikir; (2) tentang alat yang dipakai 
untuk berpikir yaitu akal pikiran; (3) tentang hasil dari pemikiran, yaitu
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu; (4) objek yang dipikirkan,
yaitu tentang segala sesuatu yang ada maupun metafisik; (5) tentang
sifat dari pemikiran ini  yakni sistematik, mendalam, radikal,
spekulatif, universal dan konsisten.13
Dengan demikian, secara bahasa kata falsafat selain diterima dalam
bahasa Arab juga diterima dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
dengan pengertian mencintai, menyukai, menyenangi kebijaksanaan
dan kebenaran. Orang yang demikian itu disebut filsuf artinya orang
yang bijaksana atau orang yang menyukai kebenaran.14
Manusia yang berpikir dapat disebut berfilsafat, berpikir yang
disebut berfilsafat itu harus memenuhi beberapa syarat yang istimewa.
Maka sebagai syarat yang pertama yaitu keinsyafan.Berfilsafat ialah
berpikir dengan insyaf. Yang dimaksud dengan berpikir dengan insyaf
ialah berpikir dengan teliti, menurut aturan yang pasti. Orang yang
berfilsafat itu dengan teliti dan beraturan memikirkan segala yang masuk
kedalam pikirannya dari seluruh alam, baik yang di luar maupun yang
ada di dalam dirinya.15
Selanjutnya, Sultan Takdir Alisjahbana mengatakan, bagi suatu
warga  berfilsafat sangat penting, sebab yang menjadi inti atau
jiwa kebudayaan pada suatu tempat dan masa itu tidaklah lain dibandingkan 
pikiran-pikiran ahli pikir bangsa itu pada tempat dan masa itu. Di setiap era filsafatlah dalam arti yang seluas-luasnya yang menetapkan, apa
yang dikehendaki dan dicita-citakan suatu warga , apa yang baik
dan buruk, apa yang berharga dan tidak berharga.16
Jadi, filsafat yaitu mencari kebijaksanaan atau kebenaran dan
berfilsafat yaitu berpikir secara mendalam, sistematik, dan universal
tentang sesuatu yang ada maupun metafisik untuk memperoleh
kebenaran.
Manusia pada fitrahnya selalu berusaha mencari nilai-nilai
kebenaran dan nilai-nilai ideal. Mereka mempuyai keinginan untuk
mengenal apa tujuan hidup dan bagaimana kebahagian itu diperoleh.
sebab  itu, mereka membutuhkan pengetahuan-pengetahuan yang jelas
sebagai suatu filsafat hidup yang memuaskan dan sesuai nilai-nilai
ilahiah dan kemanusiaan, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam
mengarungi kehidupan.17
Kehidupan ini yaitu laksana tenunan yang selalu bersambung.
Sekalian makhluk di muka bumi ini seakan-akan tidak kelihatan di
dalam tenunan ini, sebab  sangat kecil. Maka tenunan hayat yang kita
lihat ini yaitu ujung dari pangkal kain yang telah lalu, yang
bersambung, tiada putus, sejak dari awal tiada diketahui kapankah
sampai kepada akhir yang belum diketahui. Dan setelah waktu yang
ditentukan itu dilaluinya, maka kehidupan itupun berhenti pada suatu
perhentian yang bernama “el-maut”.18
Hidup dalam pandangan Islam yaitu kebermaknaan dalam
kualitas secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat,
hidup yang penuh arti dan bermanfaat bagi lingkungan. Hidup seseorang
dalam Islam diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban￾kewajiban sebagai manusia hidup yang telah diatur oleh Dienull Is￾lam. Ada dan tiadanya seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa
besar manfaat yang dirasakan oleh umat dengan kehadiran dirinya.
Makna hidup dalam Islam bukan sekadar berpikir tentang realita,
bukan sekadar berjuang untuk mempertahankan hidup, tetapi lebih dariitu memberikan pencerahan dan keyakinan bahwa hidup ini bukan
sekali, tetapi hidup yang berkelanjutan, hidup yang melampaui batas
usia manusia di bumi, hidup yang harus dipertanggungjawabkan di
hadapan sang Khalik. Setiap orang beriman harus meyakini bahwa
setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lain yang lebih baik, abadi
dan lebih indah yaitu alam akhirat (Q.S. Adl-dluha: 4).
Selanjutnya, Hamka mengatakan bahwa filsafat hidup orang Is￾lam yaitu mengakui adanya Tuhan yang Maha Esa. Setelah itu
memandang sama derajat manusia. Tidak ada lebih si anu atas si fulan,
semuanya sama di sisi Tuhan. Kelebihan seorang dari yang yang lain
yaitu takwanya, budinya dan kecerdasan akalnya, bukan sebab 
pangkat dan hartanya.19
Tujuan hidup muslim tergambar dalam sebuah doa di dalam
Alquran yang berbunyi: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
(Q.S. 2: 202). Bukanlah maksud ayat di atas untuk menyuruh kita
semata-mata berdoa, melainkan juga mengharapkan agar kita
mewujudkan harapan-harapan yang terkandung dalam doa itu dengan
perbuatan-perbuatan nyata. Pesan atau konsep yang terkandung di
dalam doa ini  menjadi tujuan, cita-cita hidup setiap muslim; ia
yaitu  religious idea yang menggerakkan dan mengarahkan hidup
dan kehidupan setiap muslim. Tujuan atau cita-cita hidup ini haruslah
senantiasa hidup dan dihidupkan dalam hati sanubari setiap muslim
sehingga dapat menjadi motor dan kompas kehidupannya. sebab  itulah
ayat ini  hampir selalu ada pada setiap doa yang dibaca, baik dalam
doa selepas shalat, doa selamat, doa tolak bala, doa arwah dan segala
macam doa lainnya.
Sudah barang tentu bahwa ayat ini  tidak hanya tinggal berupa
doa dan kita tidak cuma pandai berdoa. Setiap muslim haruslah selalu
berusaha dengan sungguh-sungguh, selalu berikhtiar untuk mencapai
cita-cita dengan mewujudkan perbuatan-perbuatan dan langkah-langkah
yang konkret sebab  sesungguhnya kehidupan manusia senantiasa
dinyatakan dengan kerja atau buah perbuatan. Nilai-nilai tidak berarti
apa-apa tanpa diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan amaliah yangkonkret (Q.S. 19: 105, Q.S. 53: 59, Q.S. 61: 2-3). Islam menghendaki
penyempurnaan diri dan bukan penyangkalan diri. Islam tidak
menghendaki agar manusia mengunci diri dengan bertapa di tempat
sepi, dan juga Islam tidak menyuruh manusia untuk menolak kekayaan
materiil (Q.S. 7: 31). Islam tidak membenarkan adanya pemisahan
antara “moral” dan “materiil”, duniawi dan spiritual, tetapi sebaliknya
menyuruh manusia mengerahkan segenap tenaga untuk membangun
kehidupan duniawi di atas landasan moral yang sehat. Islam
mengharuskan manusia untuk menyatukan kekuatan-kekuatan moral
dan materiil. Hidup yang berarti yaitu hidup yang dijalani dengan
sungguh-sungguh dan sempurna, sehingga manusia dapat mewujudkan
dirinya dengan mengembangkan kecakapan atau potensi diri dan
memenuhi segala keperluan hidup. Ini juga berarti bahwa sesungguhnya
keselamatan dan kebahagiaan spiritual hanya dapat dicapai melalui
kekayaan materiil yang dipakai  untuk kebaikan manusia demi cita￾cita yang luhur.
Jadi, Filsafat hidup manusia yaitu mengakui adanya Tuhan,
beramal kebajikan agar hidup berkualitas, bahagia di dunia dan di
akhirat.
C. Unsur-unsur Filsafat Hidup Etnis Banjar
Menarik untuk disimak hasil penelitian Alfani Daud yang berjudul:
“Pembenihan serta Pemupukan Tatanilai Sosial Budaya dalam
Keluarga Indonesia untuk daerah Kalimantan Selatan”. Adapun
temuan-temuan penelitian ini  adalah:
 Berkenaan dengan makna hidup, nilai yang sudah membaku dalam
warga  Banjar ialah ‘hidup untuk bekerja’, dan ‘hidup untuk
beramal-ibadat’. Secara umum tidak ada  perbedaan antara pola
tata-nilai orang tua dan pola tata-nilai remaja. Sehingga dapat dikatakan
nilai-nilai ini secara mantap telah berhasil diteruskan oleh para generasi
orang tua kepada generasi remaja. Tetapi bila dilihat per komunitas,
nampak adanya pergeseran nilai, tetapi hanya berkenaan dengan nilai
‘hidup untuk beramal-ibadat’. Dalam komunitas kota besar nilai ini
yang di kalangan orang tua berada dalam kelas ‘agak kuat’ bergeser
menjadi ‘lemah’ di kalangan remaja. Keadaan sebaliknya terjadi dalam
komunitas kota kecil. Sedang dalam komunitas pedesaan nilai ‘hidupuntuk beramal-ibadat’ ini bergeser lebih tajam lagi, yaitu dari kelas
‘kuat’ di kalangan orang tua turun menjadi ‘lemah’ di kalangan remaja.
Nilai ‘hidup untuk bekerja’ menempati kelas ‘sangat kuat’, baik
di kalangan orang tua maupun di kalangan remaja, dalam ketiga
komunitas yang diteliti. ini  memberikan kesan bahwa bagi orang
Banjar, hidup tanpa bekerja sama dengan kehilangan makna hidupnya.
Kesan ini menggembirakan, sebab  ini  berarti nilai itu menunjang
tujuan hidup untuk kesejahteraan di dunia. Tetapi kami berpendapat
lain, yaitu bahwa nilai ‘hidup untuk bekerja’ bagi orang Banjar masih
lebih bersifat ideal yang belum tercermin sepenuhnya dalam kenyataan.
Beberapa sinyalemen di bawah ini akan mendukung pernyataan itu.
Sering terlihat di beberapa kalangan orang Banjar adanya kebiasaan￾kebiasaan santai, seperti: nongkrong di warung teh, ngobrol di pinggir
jalan, bermain kartu atau catur pada waktu dan bahkan di tempat kerja,
yang kesemuanya mengesankan bahwa mereka banyak menyia-nyiakan
waktu yang seyogianya dimanfaatkan untuk bekerja. Saya sendiri
memperoleh kesan yang mendalam, bahwa di kalangan petani tumbuh
cita-cita untuk hidup santai pada suatu saat di kemudian hari, yaitu
dengan jalan menyerahkan sawahnya kepada petani lain atas dasar sewa
atau bagi hasil, sedangkan ia sendiri menganggur atau mengatur-atur
saja. Ada juga yang mengisi waktunya dengan berjualan kecil-kecilan
di muka rumahnya, atau bahkan pergi mendulang intan. Di komunitas
pedesaan ada  3 orang responden remaja yang menyatakan
pandangan ‘hidup untuk bersenang-senang’. Saya yakin mereka yang
menganut nilai seperti ini ialah para remaja yang “menghayalkan” pada
suatu saat akan berhasil dalam usaha mendulang intan dan dengan
demikian menjadi kaya, lalu akan hidup santai.20
Dari berbagai perbincangan atau diskusi dengan para antroplog,
sosiolog, budayawan ataupun sejarawan diperoleh refleksi bahwa
watak umum orang Banjar digambarkan kepada dua hal: (1) memiliki
sosok budaya demokratik-egalitir seperti budaya demokratik dalam
kesamaan dan menanggalkan segala sifat hierarkis/paternalistic; (2)
memiliki budaya dagang seperti sifat egaliter, mandiri dan dinamis.Persoalannya kini yaitu haruskah kita menerima gambaran watak
orang Banjar ini  tanpa mengkritisinya? Seperti pada karakter
memiliki sosok budaya demokratik-egalitir pada tataran empiris justru
memunculkan ekses berupa stigma negative terhadap watak orang
Banjar. Sikap kesetaraan, mandiri, dan dinamis, menjadikan orang
Banjar dikesankan dan cenderunh susah diatur, susah diajak disiplin,
bahkan “manimpakul” atau “mailung larut” (tidak punya pendirian).
ini  tercermin dari berbagai kasus yang menyangkut dalam
pergaulan, sikap berlalu lintas, kurang peduli kebersihan lingkungan,
dan sebagainya.
Beberapa tahun silam, seorang yang pernah menjabat Kepala
Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan yang nota bene adalah
pendatang pernah mengeluhkan kondisi lalu lintas kota Banjarmasin
yang sangat semrawut, sebab  warga nya susah diajak disiplin
berlalu lintas, salin serobot, menerobos lampu merah, parker atau
berhenti seenaknya, dan sebagainya. Lebih parah lagi, saat  lalu lintas
bertambah padat timbul kebiasaan baru pada segelincir orang yang
membuang bangkai binatang (tikus, ular, dan lain-lain) ke jalan raya
agar terlindas roda kendaraan dan kering terpanggang sinar matahari.21
Di bawah ini penulis mencoba memaparkan beberapa unsur filsafat
hidup etnis Banjar, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat
negative, yaitu:
Pertama, Baiman, yaitu setiap orang Banjar meyakini adanya
Tuhan/Allah). Setiap individu etnis Banjar selalu disuruh untuk
mempelajari tentang rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat,
nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah, hari kiamat dan qada dan qadar. Bila
belum mempelajari tentang keimanan ini dianggap keberagamaan or￾ang Banjar belum sempurna.
Orang Banjar meyakini sepenuhnya keenam rukun iman, dan
melaksanakan dengan rajin kelima rukun Islam. Orang Banjar percaya
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Allah-lah yangmenciptakan alam dan seluruh isinya, termasuk makhluk-makhluk
halus. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, menciptakan segala
sesuatu dari tidak ada menjadi ada dan sanggup pula menjadikannya
dari ada menjadi tidak ada. Sesuai dengan kemahatahuanNya ini, or￾ang Banjar juga percaya bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu
sejak semula (azali).
Kedua, Bauntung (Orang Banjar harus punya keterampilan hidup).
Jadi orang Banjar dari kecil sudah diajari keterampilan kejuruan, yaitu
keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang ada 
dilingkungannya. ini  bisa dilihat dari asal orang Banjar ini ,
misalnya orang Kelua punya keahlian menjahit, orang Amuntai punya
keahlian membuat lemari, orang Alabio punya keahlian sebagai
pedagang kain, orang Negara punya keahlian sebagai pedagang emas,
membuat gerabah, membuat perahu/kapal, orang Mergasari punya
keahlian membuat anyaman, orang Martapura punya keahlian
berdagang batu-batuan (emas, intan, jambrut, dan lain-lain).
Orang Banjar selalu diajari life skill atau keterampilan agar hidup
bisa mandiri. Orang Banjar harus bekerja terus-menerus, sebab  setiap
kali selesai suatu tugas, tugas lain telah menanti (Q.S. 94: 7). Tentu
saja suatu tugas dapat dilaksanakan dengan baik bila dibekali
pengetahuan yang cukup tentang tugas itu, dan dengan melaksanakan
tugas secara baik dan penuh kesungguhan niscaya pengalaman dan
pengetahuan akan makin bertambah, seperti yang disabdakan
Rasulullah: “Siapa yang mengamalkan apa yang telah ia ketahui,
niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya”.22 Memang dalam melaksanakan tugas dan melakukan
kegiatan kita pernah, atau bahkan sering menemui kegagalan, tetapi
kita akan terus berbuat. Kegagalan tidaklah menjadi alasan untuk
berhenti berbuat dan berputus asa. “Sesungguhnya tidaklah berputus
asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir” (Q.S. 12: 87).
Jadi, orang Banjar dalam hidupnya harus punya skill atau keahlian,
agar hidupnya bisa eksis atau survive. Di samping itu, orang Banjar
dalam mengarungi kehidupan harus berhati-hati dan optimismKetiga, Batuah, arti berkah atau bermanfaat bagi kehidupan or￾ang lain. Orang Banjar sebagai pemeluk agama Islam, tentu akan
mengamalkan ajaran secara baik, yaitu agar hidupnya membawa
kebaikan bagi orang lain. sebab  sebaik-baik manusia yaitu yang
bermanfaat bagi orang lain. Bahkan dalam Al-Qur’an surah at-Tin ayat
4, Allah berfirman: “Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik￾baiknya”. Selanjutnya Allah mengatakan: “bahwa manusia yang terbaik
atau beruntung yaitu yang beriman dan beramal shaleh” (al-Ahsri:
3). Jadi orang Banjar dalam tatanan masa lalu maupun saat ini selalu
diharapkan agar hidupnya berguna bagi dirinya, keluarga dan orang
banyak. Agar bisa berguna bagi warga , maka orang Banjar harus
memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanpaat dan beramal kebajikan.
Keempat, Cangkal, yaitu ulet dan rajin dalam bekerja. Orang
Banjar harus bekerja keras untuk menggapai cita-cita, sehingga di masa
lalu mereka suka merantau. Jadi sifat cangkal dalam bekerja adalah
salah satu identitas orang Banjar. Akan tetapi budaya madam
(merantau) di kalangan anak muda Banjar sudah berkurang, bahkan
anak remaja Banjar saat ini lebih suka tinggal di Banua saja. Orang
Banjar dalam bekerja selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara
kepentingan dunia dan akhirat. Hidup ini harus diisi dengan kerja keras,
berdo’a dan beribadah kepada Allah swt.
Agama Islam mengajarkan agar ummatnya selalu mengadakan
keseimbangan antara persiapan untuk kehidupan di akhirat dan
kehidupan di dunia. “Carilah pada apa yang telah diberikan Allah untuk
akhirat, tetapi jangan lupakan bagian kamu di dunia” (Q.S. 28: 77).
Tekanan selalu diberikan untuk kedua-duanya, atau dengan perkataan
lain, nilai ‘hidup untuk bekerja’ dan nilai ‘hidup untuk beramal-ibadat’
harus selalu berkembang sama kuat. Di dalam Alquran ummat Islam
diperintah untuk meninggalkan urusan duniawi jika panggilan untuk
beribadat telah dikumandangkan, tetapi setelah ibadat selesai dikerjakan
masing-masing disuruh untuk berusaha sungguh-sungguh mencari
nafkah. Namun dalam pada itu tetap ditekankan agar saat  sibuk
mencari nafkah itu selalu dalam keadaan ingat kepada Allah (Q.S. 62:9-
10).
Jadi, orang Banjar harus bekerja keras dalam meraih yang dicita￾citakannya. Dalam pandangan orang Banjar bekerja harus maksimal,berdo’a dan bertawakal kepada Allah swt., sehingga hidupnya akan
bahagia di dunia dan di akhirat.
Kelima, Baik tingkah laku, yaitu orang Banjar dalam pergaulan
sehari—hari harus menunjukkan budi perkerti yang luhur agar dia
disenangi orang lain. Dengan kata lain, orang Banjar harus pandai
beradaptasi dengan lingkungan di mana dia bertempat tinggal,
metodenya agar orang Banjar dalam pergaulan bisa efektif adalah
dengan rajin melakukan ibadah di masjid atau langgar, ikut pengajian,
mengajari anak-anak membaca Alquran, dan lain-lain.
Keenam, Kompetitif individual, yaitu orang Banjar terkenal
sebagai pekerja keras dalam menggapai cita-citanya tetapi bekerja
secara sendiri-sendiri tidak secara kolektif, sehingga orang Banjar tidak
mampu membangun suatu poros kekuatan ekonomi atau politik di
pentas Nasional. Orang Banjar cenderung memiliki sifat individual dan
ego yang tinggi sehingga susah diatur.
Watak dagang yang melekat pada warga  Banjar di satu sisi
memberikan pengaruh yang positip bagi sikap dan perilaku mereka,
terutama sikap kompetitif dalam upaya peningkatan kesejahteraan
hidup, tetapi di sisi lain terkadang juga membawa pengaruh yang negatif
seperti cenderung bersikap individualistik dan selalu berorientasi
kepada perhitungan untung rugi dalam berbuat dan bertindak. Di dalam
pelaksanaan ibadah keagamaan misalnya, ada sebagian anggota
warga  yang cenderung bersikap seperti ini, sehingga pelaksanaan
ibadah lebih dilihat dari aspek formalitas semata tanpa banyak
memperhatikan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam ibadah
ini . Misalnya, penunaian kewajiban zakat, di sini terutama zakat
padi dan zakat dagang (zakat yang diperhitungkan dari nilai barang￾barang yang diperniagakan), tetapi juga zakat fitrah. Sebagian
warga  ada yang membayar zakat dengan cara hilah, yaitu
menyerahkan zakatnya kepada salah seorang atau beberapa orang yang
dianggap mustahiq kemudian si penerima menyerahkan kembali harta
zakat itu kepada wajib zakat sebagai hibah untuk dibagikan kepada
siapa saja yang diinginkan pihak muzakki. Dengan adanya penyerahan
kepada mustahiq maka secara formal zakat sudah dibayar dan dengan
dikembalikannya harta zakat itu kepada wajib zakat, ia bebasmembagikannya kepada orang-orang yang dikehendakinya, termasuk
kepada kerabat dekatnya sendiri.23
Ketujuh, Materialis-pragmatis (sebab  pengaruh kehidupan
modern para pemuda Banjar gaya hidup sudah mengarah ke materialis￾pragmatis. Menurut Ahmad Juhaidi dalam Tesisnya yang berjudul:
Pemikiran Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan (Studi Terhadap
Artikel Pada Harian Banjarmasin Post dan Kalimantan Post Tahun
2000-2004), mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang dominan
muncul di Kalimantan Selatan menunjukkan lebih cenderung kepada
tipologi pragmatis yaitu dari sudut pandang kepentingan praktis dalam
kehidupan.24
Gaya hidup orang Banjar saat ini disebab kan pengaruh
globaliasasi dengan trend hidup yang materialis-pragmatis, sehingga
pola hidup orang Banjar sangat konsumtif. ini  bisa dilihat dengan
menjamurnya warung makan dari pinggir jalan sampai restoran yang
selalu dipadati pengunjung untuk menikmati berbagai jenis makanan
yang disajikan oleh warung atau restoran ini . Budaya orang Banjar
yaitu suka nonkrong di warung sebagai wadah untuk berkomunikasi
antar sesama warga. Biasanya setiap warung dari pagi sampai malam
selalu ramai pengunjung, bahkan segala informasi cepat menyebar dari
mulut ke mulut dengan media warung.
Di sisi lain, gaya hidup anak muda Banjar dalam memilih kerja,
lebih mengutamakan kerja kantoran yang berdasi atau karyawan su￾permarket dari pada pedagang kecil dengan modal sendiri dan mandiri.
Menarik juga untuk dilihat untuk trend berkomunikasi orang Banjar
saat ini, yaitu dengan gonta-ganti berbagai merek HP, bahkan setiap
orang memiliki dua atau tiga buah HP, dan toko-toko penjual HP selalu
dipenuhi para pembeli.
Kedelapan, sikap qana’ah dan pasrah. Orang Banjar selagi
muda yaitu perkerja keras untuk meraih cita-citanya, tapi kalau sudah
berhasil dan sudah tua hidupnya santai untuk menikmati hidup dan
beribadah kepada Allah untuk mengisi waktu. Biasanya orang Banjardalam mengisi waktu tua atau masa pensiun yaitu mengikuti
pengajian-pengajian agama yang ada di sekitar tempat tinggalnya,
menggaduh atau memelihara cucu dan lain-lain. Dengan demikian,
kebanyakan orang Banjar di masa tuanya bekerja seadanya saja dan
yang terpenting yaitu beribadah kepada Allah.
Kesembilan, haram manyarah dan waja sampai kaputing, yaitu
pantang menyarah dan tegar pendirian. Kata hikmah di atas diungkap
oleh Pangeran Antasari dalam rangka memberi motivasi pasukannya
atau pejuang untuk melawan pasukan penjajah Belanda. Orang Banjar
mempunyai pendirian yang kuat untuk mempertahankan keyakinan atau
yang diperjuangkan, sehingga tidak mudah goyang atau terombang￾ambing oleh situasi dan kondisi yang dihadapi. Oleh sebab  itu, biasanya
orang Banjar dalam memperjuangkan cita-citanya selalu berprinsip
haram manyarah dan waja sampai kaputing. Bahkan dalam
mempertahan harga diri orang Banjar selalu berprinsip dalas hangit
kada manyarah, artinya berjuang sampai titis darah penghabisan tidak
akan menyarah.
Prinsip hidup orang Banjar yang teguh di atas mulai luntur digusur
oleh zaman, sehingga orang Banjar saat tidak punya pendirian yang
kuat dan mudah terombang-ambing oleh arus kehidupan. Dulu orang
Banjar berani tarung sebab  status dan kehormatan yang harus dibela,
kini cenderung menghindari masalah dan tanggungjawab.




Masuknya Islam ke Nusantara atau Indonesia yang dibawa oleh
para pedagang Gujarat, ulama sufi dan mubaligh pada sekitar abad
XVII menurut Nurcholis Madjid sudah mengalami apa yang disebut
asimilasi nilai kultural. Di mana proses Islamisasi ini  lebih
menekankan upaya adaptasi ajaran Islam dengan budaya setempat.
Salah satu di antara adanya adaptasi itu, lenturnya pemahaman Islam
dan pengaruh ajaran agama terdahulu atas Islam, sehingga “Islam
lembek” sebagai ungkapan adanya celah-celah campuraduknya ajaran
Islam yang orisinil dengan agama nenek moyang (Nurcholis Madjid,
1995; 32-33).
Salah satu contoh Sunan Kalijaga mencoba membawa misi Islam
dalam cerita wayang saat  melakukan dakwah terhadap warga 
pulau Jawa. Wayang sama sekali tidak pernah dikenal di dalam kultur
Islam, namun kreativitas pemeluknya bisa berkembang sesuai dengan
kebutuhan pragmatis serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Islam.
Islam masuk ke Kalimantan Selatan pada masa jauh lebih belakang
dibanding, misalnya, Sumatera Utara atau Avej. Diperkirakan telah ada
sejumlah muslim di wilayah ini sejak awal abad ke-15, tetapi Islamisasi
mencapai momentumnya baru setelah pasukan kesultanan Demak di
Jawa datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam
perjuangannya dengan kalangan elit istana kerajaan Daha. Setelah
kemenangannya, Pangeran Samudra memenuhi janjinya untuk beralih
memeluk agama Islam pada sekitar tahun 936 H/1526 M dan diangkat
sebagai sultan yang pertama di Kasultanan Banjar. Dia diberi gelarSultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang dai Arab. (Azyumardi
Azra, 1995; 251).
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan
Selatan), kerajaan pertama di Borneo Selatan yaitu Kerajaan Nan
Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai
dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi
Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan
Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis
Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau
Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. sehingga
sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku
Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman
ini yaitu Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun
1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi
Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM
(Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/
Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun
dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja
Banjar yaitu Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan
raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja
Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang yaitu 
lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata. (Henri,
dkk., 2004: 121).
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah
berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus
menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu :
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian.
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar
penggantinya yaitu cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya
Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera yaitu Raden
Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama.
Wasiat ini  menyebabkan Raden Samudera terancam
keselamatannya sebab  para putra Maharaja Sukarama juga berambisi
sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan
Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri
dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran
Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan
Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra
yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin,
ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama
Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan
di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih.
Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000
prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing
memuat 400 prajurit mampu menahan serangan ini  (Slamet
Muljana, 2005: 70). Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia
menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran
Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan
Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran
Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan Banjar dengan
gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk Is￾lam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade
pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara
praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar
upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa
Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak
lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban
pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan
Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal sebab  mendapat
perlawanan yang sengit (Graaf, 1986).
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan
kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan￾pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban
(1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram
kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan
sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan
Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
(Mataram’s overseas empire”, diakses 11 august 2011).
 Seiring dengan hal itu, sebab  merasa telah memiliki kekuatan
yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan
dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana,
Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan
Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap
dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, ini  terjadi
pada tahun 1636. (Sartono Kartodirdjo, 1993: 121).
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan
Kesultanan Mataram, tetapi sebab  kekurangan logistik, maka rencana
serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun
1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat
dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa
mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan
di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Di samping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram,
kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada
tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah
hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-
1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu,
pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin, (Shaleh Putuhena, 2007).Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut duit.(John
Bucknill, 2000).
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah
asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan
Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada
daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di
Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan￾kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk
Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin yaitu  kerajaan terkuat di pulau
Kalimantan. Sultan Banjar memakai  perkakas kerajaan yang
bergaya Hindu (Lembaga Kebudajaan Indonesia (1814).
Wilayah Kesultanan Banjar
Wilayah Kesultanan Banjar Raya yaitu negeri-negeri yang
menjadi wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar khususnya
sampai pertengahan abad ke-17 dan abad sebelumnya. (Willem Adrian,
1865: 2).
 Kesultanan Banjar yaitu  penerus dari kerajaan Hindu di
Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar di
Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara￾Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan
Arum (Tanjung) (Bondan, 1953). Sejak awal abad ke-16 berdirilah
Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak
di Kalimantan, sedangkan Demak yaitu penerus Majapahit. Menurut
Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah
yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan pal￾ing barat yaitu negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan
wilayah taklukan paling timur yaitu negeri Karasikan (Banjar Kulan/
Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan yaitu antara satu
tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman
dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya
ada  3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan
Dayak Pari (Ot Danum) yang yaitu  bagian dari rakyat kerajaan
Banjar. Kesultanan Brunei yaitu  kesultanan yang pertama di pulauKalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun
1526. Kedua kesultanan yaitu  saingan. Kesultanan Brunei
menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada masa
kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan
Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal. (James
Cook, 1790: 1095).
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah
meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan
pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1. Negara Agung
2. Mancanegara
3. Daerah Pesisir (daerah tepi/daerah terluar)
Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar yaitu Banjarmasin
kemudian pindah ke Martapura. (Richard Brookes, 1838: 61). Pada
masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah
pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana
raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di
barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di timur
laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas
dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada
raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri￾negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa
Agung/Sawakung). (JJ. Rass, 1990). Negeri-negeri bekas milik
Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di
sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi
3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana)
dan Banjarmasin. Tanjung Sambar yaitu  perbatasan kuno antara
wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala
Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung
Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat) yaitu perbatasan
wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi
Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung
Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah
mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah
membuktikan daerah-daerah ini  dimasukkan dalam wilayah
Hindia Belanda. (Edward Smedly, 1845: 713). Perbatasan di pedalaman,daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk
dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang
dinamakan daerah Lawai (Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Majalah
ilmu alam untuk Indonesia, 1856: 10-11). Sanggau dan Sintang juga
dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari
bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar ada  beberapa
distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala
kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah
Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar
(Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit,
Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut “negara Kerajaan
Banjar”. Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di
Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun. (Nugroho
Notosusanto, 1992). Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada
dalam wilayah Kesultanan Banjar, sebab  tidak memiliki jajahan di
luar kepulauan Kalimantan, walaupun orang Banjar juga merantau
sampai keluar pulau Kalimantan.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas
yaitu dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu
pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah
Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh
pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan
Sambas hindu yang yaitu  keturunan Bangsawan Majapahit dari
Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu
ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan
Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung
dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian
runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan
Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan
Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga
seterusnya Kesultanan Sambas yaitu berdaulat penuh yaitu tidak
pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali
pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh
Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh
Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada
dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sul￾tan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar
ini  tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap sebab 
dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang
fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan
Sultan Banjar.
· Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura, maka kota
Martapura sebagai Kota Raja yaitu  wilayah/ring pertama
dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
· Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
1. Satui
2. Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787.
3. Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu
Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau
Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709 (Sir William Thorn,
2004) atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas
(Banjarmasin bagian barat) yaitu  daerah yang mula-mula
dimiliki VOC-Belanda. (Walter Hamilton, 1828). Pulau Tatas
termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan
kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama
(Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai
wilayah kesultanan sampai 1860.
3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua
Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai
1860.
5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.9. Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anzaman
ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda
pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
10.Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito.
Pada 13 Agustus 1787, Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda
tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir) dan Tamiang Layang (Dusun
Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan
Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
· Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua
daerah ini yaitu  wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum
pemekaran yang terdiri dari :
o Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan
Tanah Dayak (Biaju) yaitu meliputi daerah Kerajaan
Kotawaringin (dengan distrik-distriknya: Jelai dan Kumai),
Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik Kotawaringin
di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh
(sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan
dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan
dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin
dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar.
Juga turut diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum),
yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi)
yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot
Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua
distrik-distrik di wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak
diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara
resmi daerah-daerah Dayak pedalaman ini  diduduki Belanda
sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
o Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Negara bagian
Paser dan Negara bagian Tanah Bumbu. Kerajaan Paser didirikan
oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha,
sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun
belakangan berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun
1703 Tanah Paser berubah dari pemerintahan Panembahan
menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia Belanda
pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia
Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha
bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan
mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah
intinya terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan),
Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung,
Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi,
penguasa Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal,
Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut)
membuat kontrak politik dengan Hindia-Belanda yang
menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri
Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali)
menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya.
Tahun 1846 Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa
Cantung yang kelak menjadi swapraja tersendiri terpisah dari
wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja
Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran
Aji Musa, kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir
yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan
Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan
Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan
tahta Kesultanan Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La
Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan Laut Pulo
sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan
Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan
menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda.
Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan
kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban.
Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC￾Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826.
Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling
Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi
Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan,
Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku,
Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan,
Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalamBorneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di
Samarinda sejak tahun 1846.
· Teritorial/ring keempat, yaitu Pesisir yaitu daerah terluar, maka
dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin
bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada
masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I
dengan VOC pada 20 Oktober 1756 yang berencana untuk
menaklukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri yaitu
Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir
terdiri dari :
o Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan
timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan
Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan
di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam Kesultanan
Banjar.
1. Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai
Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati menjadi
kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus
1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan
Hindia Belanda.
2. Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi
Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah Berau yang melepaskan
diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh Kesultanan Sulu (&
Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
o Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan
kemudian di bawah pengaruh Brunei yaitu Negara bagian
Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil). Ed￾ward Balfour, 1885). Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah
angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi
Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
1. Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian
Sanggau, Negara bagian Sintang dan Negara bagian Lawai). Wilayah
Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi
dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yangbermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito
di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit
semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan Dara
Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim
utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan
Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah
yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4
Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang
diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787. Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada
di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak (protektorat
VOC Belanda).
2. Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar
Kalbar) Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti
Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan
Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka
dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah
maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari
membayar upeti. (JJ Rass, 1990). Saat itu Raja Sukadana memiliki
bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan
Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya
Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din.
Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana
mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan
Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai
daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana
dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana
Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan
Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana/Tanjungpura (sebagian
besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian
diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan
Pontianak, sebab  itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan
diubah menjadi Panembahan (Soekmon, 1981).
3. Wilayah terluar di barat yaitu Negara bagian Sambas. Menurut
Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu,wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya
Pangeran Adipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti
dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada
Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642). (Tijdsscrhrift
voor Nederlands-Indie, 18610. Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas
menjadi daerah protektorat VOC-Belanda dan lepas dari pengaruh
kesultanan Banjar. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh
Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram pada bulan
Oktober tahun 1641 yang yaitu  persembahan (bukan upeti)
terakhir yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan
Mataram). (H.J. de Graaf, 1986). Semula Kerajaan Sambas
diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/
Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas
diperintah oleh Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan
bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas digabungkan ke
dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas,
yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
(Bernanard Dorleans).
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan
kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran
Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan
Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja
pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya,
menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera
dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran
Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan
meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan
Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu
Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun
1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata
Alam. sebab  takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan
di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta
bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan ini  dan
mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil
mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa
melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian
Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda,
sebab  di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada
VOC. Dalam pertempuran