• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label sastra persia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra persia. Tampilkan semua postingan

sastra persia







Buku Siyāsat Nāme ditulis pada permulaan abad ke-XI oleh Nizam al Mulk yang hidup antara 
tahun 1018-1092. Buku ini dipersembahkan oleh Nizam al Mulk yang menjabat sebagai Wazir 
(sekretaris kerajaan) pada Dinasti Seljuq saat itu kepada raja Malik Syah Seljuqi (492-511 
H) sebagai pedoman dan tata cara memerintah dalam sebuah kerajaan. Buku ini tidak hanya 
berkaitan dengan sejarah, politik dan sosial Iran, tetapi juga menarik dari segi bahasa, budaya dan 
ideologi. Siyāsat Nāmeh adalah buku yang sangat penting dalam rangkaian karya dalam sejarah 
kesusasteraan Persia. Adapun buku yang serupa dengan Siyāsat Nāme dan terdapat dalam sastera 
Melayu adalah Tajussalatin yang ditulis belakangan setelah lima abad dari Siyāsat Nāme atau 
tepatnya pada tahun 1603. Buku ini ditulis oleh Bukhari al-Jauhari juga untuk dipersembahkan 
kepada raja Sultan Alauddin Raiyyat Shah (1589-1603) di Aceh.

Bahasa Persia merupakan salah satu bahasa tertua di dunia yang sampai hari ini jumlah 
penuturnya kurang lebih ada seratus juta orang. Rumpun bahasa Persia adalah Indo-Iran yang 
menginduk dengan bahasa-bahasa Indo- Eropa. Tersebar luasnya rumpun bahasa ini di Asia dan 
Eropa disebabkan perpindahan besar-besaran bangsa Arya dari Kaukasus (Siberia) ke dataran tinggi 
Iran secara berkelanjutan dan berkesinambungan sejak tahun 3000 SM. sampai abad ke-13 M. Saat 
ini bahasa Persia menjadi bahasa resmi di tiga negara Iran, Tajikistan dan Afghanistan. Penduduk 
Samarkand dan Bukhara yang merupakan bagian dari negara Uzbekistan juga memakai  bahasa 
Persia sebagai bahasa sehari-hari. 
Bahasa Persia terbagi menjadi tiga periode: periode Persia Kuno, periode Persia Tengah dan 
Persia Baru yaitu bahasa Persia setelah invasi tentara Islam dengan penggunaan aksara Arab 
(hijaiyyah) dalam penulisannya. 
Emperatur besar dunia beberapa abad dahulu adalah Persia, Romawi, Yunani dan China. 
Persia yang secara geografis berada di tengah-tengah menjadi strategis pada saat itu. Oleh sebabnya 
Persia  menjadi salah satu peradaban tertua dunia, begitu juga dengan budaya dan sastranya. 
Kesusasteraan Persia sudah berkembang sejak ratusan tahun sebelum masehi, ini dapat dilihat 
dari kitab suci penganut Zoroaster/Majusi “Avesta”. Kitab ini  sebagian besar berisi tentang puji-
pujian dan kebesaran sang Tuhan “Ahuramazda” yang ditulis dalam bentuk puisi. Nama Avesta 
sendiri berasal dari nama tulisan dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini, oleh karenanya para 
peneliti menamakan kitab suci ini dengan nama Avesta. Bahasa Avesta adalah akar dari bahasa 
Persia kuno sebelum bahasa Parthi, Soghdi dan Pahlevi. Seperti diketahui bahwa “Persia Raya” 
sebelum kedatangan Islam mayoritas penduduknya menganut agama Zoroaster/Majusi. Sampai 
saat ini agama Zoroaster adalah salah satu agama minoritas yang diakui undang-undang di Iran.
Siyāsat Nāme
Abu Ali al-Hasan al-Tusi Nizam al-Mulk (1018–1092) lahir pada tanggal 10/21 Dzul Qa’dah 
408/415 H. di Nughan yang masuk dalam wilayah pedesaan Radkan, Kota Thoos, Iran. Nizam al 
Mulk menghabiskan masa kecilnya di kota Thoos, saat umurnya 11 tahun dia sudah menghafal 
Quran, kemudian melanjutukan pengembaraan intlektualnya di Thoos, Merv dan Neishabur untuk 
belajar Fiqih Syafi’i dan Hadis. 
Pada saat Alp Arsalan menjadi raja (1063-1072) Nizam al Mulk diangkat menjadi Wazir kerajaan 
Seljuq. Jabatan ini dibebankan kepadanya selama tiga puluh tahun, hingga terjadi kekisruhan 
dalam kerajaan Seljuq, Nizam al Mulk pun diberhentikan dari jabatannya. Tak lama kemudian pada 
tanggal 10 Ramadhan 485 H.Nizam al Mulk wafat dalam perjalanan dari Isfahan menuju Baghdad di 
tangan pengikut fanatik Isma’iliyyah, atas perintah Hasan Sabbah (Dekhodʿ, 1998: 22575). Hasan 
al Sabah adalah pelopor sekte Ismailiyyah di Iran dan seorang yang gila kekuasaan. Hasan Sabbah 
akhirnya diterima di benteng bukit Alamut di Qazvin, milik pengikut sekte Alawi. Setelah berhasil 
mengkhianati penghuninya Hasan al Sabbah berkuasa penuh (1090). Pada masa kekuasaannya Ia 
membentuk kelompok pembunuh gelap yang terdiri dari pengikutnya yang terkenal fanatik dengan 
nama “Assasin”dan sangat ditakuti oleh para pembesar (Assagaf, 2009: 305-306).   
Pada masa Nizam Al Mulk menjabat sebagai wazir, keilmuan berkembang pesat di wilayah 
kekuasaan Seljuq dengan banyak berdirinya madrasah dan Khaniqah. Puncak gemilang keilmuan 
hasil dari buah karya pemikiran Nizam al Mulk adalah, banyak berdiri  madrasah “Nizamiyah” 
yang dibangun olehnya di beberapa kota seperti Baghdad, Bashrah, Isfahan, Merv, Neisyabur, Herat 
dan Amul. Setiap bulannya Nizam al Mulk memberikan penghargaan khusus kepada siswa dan 
 
guru berperestasi. Imam Ghazali adalah salah satu ilmuan jebolan dari madrasah ini . Disebutkan juga bahwa Omar Khayyam seorang astronom, matematikawan dan 
penyair adalah sahabat dari Nizam al Mulk, sehingga banyak dukungan baik finansial maupun 
politik yang diberikan Nizam al Mulk kepada sahabatnya ini  Dari beberapa  
karya tulis yang dihasilkan oleh Nizam al Mulk yang akan dibahas dalam makalah ini  dan yang 
paling terkenal adalah Siyāsat Nāme atau Siyar al Mulk. Buku ini ditulis pada saat Nizam al Mulk 
masih menjabat sebagai Wazir untuk dipersembahkan kepada Malik Syah I (1072-1092). Siyāsat 
Nāme adalah buku hasil dari ideologi, pemikiran dan pengalaman Nizam Al Mulk menjelang akhir 
hayatnya atau dengan kata lain buku yang ditulis sebagai ringkasan dari respon kejadian politik 
dan sosial di zaman tersebut. Setiap tema dalam buku ini ditulis dari sisi perspektif penulis yang ia 
ungkapkan secara umum di setiap bab. Hampir dari keseluruhan isi buku ini adalah pedoman dan 
pengajaran dalam manajemen sebuah pemerintahan (baca: kerajaan). Buku ini adalah salah satu 
buku terbaik dalam khazanah kekayaan kesusasteraan Persia. 
Siyāsat Nāme pada awalnya tersusun dalam 39 pasal, beberapa tahun berikutnya seiring 
bertambahnya pengalaman, penulis merevisi dan menambah sebelas pasal hingga menjadi lima 
puluh pasal. Di dalam buku ini selain berisikan nasehat ada juga tamsil, tafsir quran, hadis, kisah 
para nabi dan cerita dari para raja-raja yang terkenal adil. Style dan karakteristik Siyāsat Nāme adalah 
penggunaan strukur bahasa dan kalimat yang sederhana dengan kumpulan kata dan susunan yang 
sangat indah. Karena indah dari kesederhanaan inilah menjadikan buku ini tak lekang oleh waktu 
dan dapat dibaca dengan mudah sampai hari ini. Seluruh kalimat yang tertulis dalam buku ini 
singkat dan jelas hingga tidak ada satu kata pun yang bermakna rancu .
 Buku ini dibuka dengan pasal pertama dan kedua yang menjelaskan tentang eksistensi manusia 
dalam melewati hari-harinya di dunia, pujian kepada sang pencipta dan pengenalan tentang 
kekuasaan Tuhan. Selanjutnya tentang sifat dari raja-raja yang zalim dan yang adil beserta kisah-
kisah dari raja-raja tersebut, kemudian tentang tentara kerajaan dan kesejahteraannya, bimbingan 
untuk abdi dalam, para mentri dan pegawai kerajaan, persenjataan perang, firasat Alp Arsalan dan 
cerita-cerita pendek yang menyertainya, selanjutnya dari pasal empat puluh sampai lima puluh 
lebih berbicara masalah hal-hal yang berkaitan dengan objek dari seluruh elemen yang ada di 
kerajaan dan riwayat sejarah.  
Contoh negara dambaan yang ideal dalam pandangan Nizam al Mulk adalah negara dibawah 
kekuasan Dinasti Sasanid dan setelah kedatangan Islam seperti dinasti Samanid, Ale Buyah dan 
Ghaznawi. Menurut Nizam al Mulk feodalismelah akar masalah terjadinya disintegrasi bangsa di 
zamannya. Motivasi Nizam al Mulk menulis Siyāsat Nāme ini dilatarbelakangi kekisruhan terus 
menerus dari konflik yang lahir dari perbedaan. Dikarenakan situasi politik yang tak menentu seperti 
perseteruan antara keturunan raja1 dan konflik antar mazhab hingga menyebabkan melemahnya 
kontrol kerajaan kepada rakyat. Situasi inilah yang menggerakkan Nizam al Mulk untuk mengajukan 
tulisannya kepada pihak kerajaan  sebagai bentuk usaha atau penawaran solusi 
untuk meredam konflik yang berkelanjutan 
Tajussalatin
Tajussalatin adalah buku pertama berbahasa melayu yang membahas masalah politik, 
pemerintahan dan akhlak. Setelah Malaka jatuh, tampillah kesultanan Aceh di Sumatera Utara 
sebagai negeri terkuat di negeri melayu. Kesultanan ini menjadi pusat kebudayaan melayu dan 
pengetahuan Islam, pewaris mazhab teologi dan sastra Pasai. 
Tajussalatin yang ditulis oleh Bukhari al Jauhari atau al Johori dalam tahun 1603 dimaksud 
sebagai persembahan kepada sultan Aceh Alauddin Riayyat Syah. Sultan yang bertakhta tahun 
1589-1604 seorang raja yang tertarik ilmu tasawuf. Adapun kitab Tajussalatin merupakan satu-
satunya karangan Bukhari yang diketahui sampai sekarang. Buku ini termasuk ke dalam kelompok 
kitab adab (etika) , Sedangkan riwayat hidup Buchari tidak diketahui. 
Tajussalatin menjadi bukti tentang kecendikiaan yang sangat tinggi dari pengarangnya. Buku 
ini disusun atas dasar kompilasi dari tak kurang tiga puluh karangan-karangan Arab dan Persia 
mengenai keagamaan dan politik, kebijakan kenegaraan dan kemasyarakatan, sejarah dan tata 
susila. Bahasa Tajussalatin mengandung turunan-turunan khas bahasa Persia. Gayanya juga sangat 
mirip dengan gaya karangan Persia. Ini bisa dilihat, misalnya dalam sisipan-sisipan bentuk puisi 
khas Persia, yaitu Matsnawi, Ghazal dan Rubai. Dalam kata pengantar atau eksordiumnya yang 
bercorak khusus serta dalam karangan-karangan yang dikutip. Semuanya itu menunjukkan tentang 
pribadi pengarang Tajussalatin bahwa Ia seorang pujangga cendikiawan Persia (atau berbahasa 
Persia) ,
Diantara buku-buku berbahasa Persia yang menjadi sumber penulisan dan disebutkan di 
dalam Tajussalatin ialah Siyāsat Nāme, kitab al Asrar karangan Fariduddin Atthar, Akhlak e Muhsini 
karya Wa’iz Kasyfi dan banyak lagi kisah percintaan  dan legenda rakyat Persia yang bahkan diantara 
legenda tersebut sudah tidak terdengar lagi di Iran sendiri, seperti kisah Perempuan tua di Isfahan 
korban kezaliman raja.
Penulis Tajussalatin sendiri tidak menyebutkan nama aslinya melainkan takhallus-nya yaitu 
Bukhari al-Jauhari. Kata Bukhari menunjuk kepada Bukhara, ibukota kerajaan Khawarizmi pada 
abad ke-13 M, bagian dari Persia Raya. Adapun nama al-Jauhari bisa jadi menunjuk pada tempatnya 
lahir di Johor atau asal-usul orang tuanya sebagai saudagar batu permata.
Tujuan penulisan kitab ini menurut pengarangnya ialah memberi pedoman bagi raja-raja 
Melayu dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan organisasi pemerintahan dan lembaga yang 
dipimpinnya. Buku ini disusun dalam 24 fasal: 
Fasal pertama, mengenai cara-cara manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-
usul kejadiannya dan untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Fasal kedua, menyatakan peri 
mengenal Tuhan selaku Pencipta, dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia pergi.
Fasal ketiga, membicarakan arti kehidupan di dunia. Manusia hidup di dunia diumpamakan 
sebagai seorang musafir yang singgah sebentar di negeri asing dan dalam perantauannya itu harus 
berusaha mengumpulkan bekal yang untuk dibawa pulang ke kampung halamannya di akhirat. 
Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan pengetahuannya yang benar tentang Tuhan.
Fasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia. Digambarkan betapa 
sukar dan pilunya manusia melepaskan nafasnya yang penghabisan di hadapan sang maut. Manusia 
harus senantiasa ingat bahwa setiap orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.
Fasal kelima, membicarakan arti adil dan keadilan, tanda-tanda kebesaran dan kemuliaan 
seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan negeri yang diperintahnya.
Fasal keenam, membicarakan metode pelaksanaan keadilan dalam pemerintahan. Kitab suci 
al-Qur’an menyuruh manusia berbuat adil dan baik (ihsan) di dunia, sebab hanya dengan pedang 
keadilan dan pekerti ihsan ia bisa menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan hamba-Nya dalam 
arti sesungguhnya. Fasal ketujuh, membicarakan pekerti raja-raja yang adil, keharusannya bergaul 
dengan para ulama, cendekiawan, ahli hikmah dan orang arif. Raja yang adil dapat menjaga 
dan melindungi rakyatnya dari perbuatan zalim para pembesar kerajaan. Dia tidak boleh hanya 
mendengar dari menteri dan pegawai kerajaan mengenai keadaan negeri dan rakyat, tetapi harus 
melihat sendiri keadaan negeri dan rakyatnya. 
Fasal kedelapan,  membicarakan raja kafir tetapi adil seperti Raja Nusyirwan. Ia adil karena 
menjalankan pemerintahan bersandarkan pada hikmah dan senantiasa memakai  akal yang 
sehat dalam mengambil kebijakan. Fasal kesembilan, menyatakan raja-raja yang zalim. Raja yang 
zalim merupakan bayang-bayang Iblis di muka bumi. 
Selanjutnya, fasal kesepuluh, membicarakan segala menteri dan penasehat raja; fasal kesebelas, 
membicarakan pekerjaan seorang sekretaris kerajaan dan para penulis pada umumnya; fasal 
keduabelas, membicarakan pekerjaan seorang utusan; fasal ketiga belas, membicarakan keadaan 
pegawai kerajaan; fasal keempat belas, membicarakan cara-cara mendidik anak; fasal kelimabelas, 
membicarakan cara menghemat uang negara; fasal keenam belas, membicarakan kedudukan akal 
budi; fasal ketujuh belas, membicarakan ilmu qiyafah dan firasat; fasal kesembilan belas, membicarakan 
tanda qiyafah dan firasat; fasal kedua puluh,  membicarakan hubungan rakyat beragama Islam dengan 
rajanya yang beragama Islam; fasal kedua puluh satu, membicarakan rakyat yang tidak beragama 
Islam dan hubungannya dengan raja Islam; fasal kedua puluh dua, membicarakan pentingnya 
kedermawanan dan kemurahan hati; fasal kedua puluh tiga, membicarakan  bagaimana memegang 
dan patuh pada janji; fasal kedua puluh empat, menyatakan kesudahan kitab ini. Bukhari menutup 
karangannya dengan menyeru semua raja membaca Taj al Salatin setiap pagi setelah sembahyang 
shubuh, ketika pikiran dalam keadaan hening. Oleh karena itu penulis menyarankan raja untuk 
mengingat dan memuliakan kitabnya dengan memperlakukannya seperti mutiara pada telinga 
budi dan simpan maknanya seperti mata pada cincin hati 
Motivasi penulisan Tajussalatin dilatarbelakangi oleh kondisi politik dan sosial masyarakat 
Aceh pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17, yaitu ketika kesultanan Aceh sedang giat meluaskan 
kawasannya. Sulthan Alauddin Raiyyat Syah sudah tua dan belum menunjuk penggantinya. Dua 
putranya selalu ribut berebut singgasana dan semakin hari semakin berpengaruh buruk pada 
kondisi masyarakat. Sampai bencana besar datang kepada rakyat Aceh, ketika salah satu putra 
Sultan berhasil menduduki takhta hingga ayahnya sang Sultanpun dipenjarakan olehnya. Hal 
inilah yang kemungkinan mendorong Bukhari untuk menyusun buku pedoman untuk raja-raja 
Aceh agar dapat memerintah dengan ideal dan memiliki pengetahuan bagaimana memimpin di 
sebuah wilayah yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnik dan agama.
Pengaruh Siyāsat Nāme dalam Tajussalatin
Sebelum memaparkan pengaruh tersebut, ada baiknya kita mengingat kembali jejak Persia 
yang tampak jelas dalam buku Tajussalatin. Diantaranya adalah penggunaan kosa kata farsi seperti: 
Gurg (serigala), Nowrooz (tahun baru), mugh (penganut Zoroaster/Majusi) Mubid Mubidan (Imam/
pemimpin agama Zoroaster).
Selalu memakai  kata “bermula dan diceritakan” pada permulaan paragraf atau 
sebelum memulai cerita. Dua kata ini lazim digunakan pada karya tulis periode klasik 
Persia.
Bukhari sebagai pengganti namanya selalu menyebut dirinya dengan “hamba” atau “hamba 
faqir”, dua istilah ini sangatlah lazim dan sering digunakan penulis periode klasik Persia, 
bahkan sampai sekarang di Iran pun dalam tutur bahasa lisan, “hamba” sering diucapkan 
sebagai pengganti kata “saya”.
Di dalam buku Tajussalatin banyak cerita atau kisah lama Persia yang di dalam budaya 
melayu sendiri kurang dikenal. Seperti cerita keadilan raja Anusyirwan, Khosrou dan Syirin, 
Mahmud dan Ayaz, Hakim Bozorg Mehr, cerita raja zalim dan nenek tua di Isfahan dan 
kisah raja-raja kuno Persia.
memakai  kata ‘Ajam’ yang berarti orang Persia.
Dua tamsil Persia yang ditulis dengan bahasa Persia, yang pertama adalah nasehat dari 
Attar Neisyaburi “in bedān mānad ke mardi qei kunad/ bāz meil khurdan an kei kunad”2 dan 
yang kedua “har ke be nām farifte Shavad be nān darmānad va har ke be nān khiyānat kunad be jān 
darmānad.3
Bukhari dalam bukunya menyisipkan puisi bergenre Persia seperti Ghazal, Mastnawi, Ruba’i 
dan Qit’ah dengan memakai  bahasa melayu.
 Penulis Tajussalatin pada pendahuluan bukunya menyebutkan, bahwasanya sumber-sumber 
yang dipakai dalam penulisan buku ini terdiri dari berbagai buku besar berbahasa Persia dan Arab 
yang masyhur pada zamannya, yang menurut Braginsky sendiri merujuk dari kira-kira  tiga puluh 
buku. Akan tetapi para sejarawan tidak pernah menyebutkan ukuran seberapa besar pengaruh 
sumber tersebut pada isi Tajussalatin. Bila diperhatikan dengan seksama pengaruh paling besar 
yang diterima Tajussalatin bersumber dari  Siyāsat Nāme. Berikut adalah beberapa point kemiripan 
dengan sedikit perbedaan yang penulis kaji untuk menguatkan pendapat di atas:
Motivasi Bukhari al Jauhari menyusun Tajussalatin terinspirasi dari pemikiran Nizam 
al Mulk. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa Nizam al Mulk menulis Siyāsat Nāme 
bertujuan untuk mengajar raja-raja dari dinasti Seljuq makna keadilan dan berlaku adil. 
Begitu juga Bukhari al Jauhari menulis bukunya berdasarkan niat yang sama juga dengan 
latar belakang kondisi sosial politik masyarakat pada zaman tersebut yang hampir sama 
dengan kondisi masyarakat di era Seljuq, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik 
dan mazhab yang sedang terlibat konflik.
Kesamaan struktur buku dalam Siyāsat Nāme dan Tajussalatin. Setiap pasal memiliki tema 
yang berbeda, yang di setiap pasalnya penulis mula-mula menjelaskan atau mendefinisikan 
makna tema atau memulainya dengan prinsip akhlak, kemudian menggulirkan cerita 
panjang atau pendek, hadis, ayat Quran dan kata-kata hikmah dari para pembesar terdahulu 
sebagai penopang dan dokumenter tema tersebut. 
Tema besar atau asli dalam kedua buku ini adalah keadilan. Ide keadilan adalah adalah 
ide pokok yang medasari kedua buku ini. Kisah tentang penguasa yang adil dan bijak 
menghiasi dihampir semua kedua buku ini dengan tokoh yang sama pula.
Tajussalatin menyadur sepuluh cerita yang ada di dalam Siyāsat Nāme dan hampir tidak 
ada perbedaan yang mencolok alur dan isi dari kisah-kisah tersebut. Sepuluh kisah tersebut 
adalah:kisah Rast Ravesyn, tatacara pengadilan raja-raja Persia, nasehat Abu Ali Daqaq, 
Abdullah ibn Thahir, Ismail Samani, Umar Abdul Aziz, kisah Bahram Choobin dan 
Khosrou Parviz, Ma’mun ar Rasyid dan kemauan keras. 
Kesimpulan
Siyāsat Nāme dan Tajussalatin adalah dua buku yang membahas tentang ketatanegaraan. 
Kedua buku ini ditulis memakai  pendekatan berdasarkan realitas masyarakat hetrogen yang 
hidup berdampingan dalam satu wilayah, sehingga para raja bisa mengambil keputusan dan 
kebijakan politik dengan seadil-adilnya. Ide keadilan bernafaskan syari’at Islam adalah fokus besar 
yang diusung oleh kedua penulis.  Siyāsat Nāme dan Tajussalatin adalah dua buku warisan dua 
bangsa besar yang sampai saat ini masih dapat dibaca. Semoga dengan media kesusasteraan dapat 
menyambung kembali hubungan yang terputus sejak berabad-abad silam.