• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 4. Tampilkan semua postingan

Satwa langka Indonesia 4

 













ngnya habitat orang utan sehingga me-

ngancam kelangsungan hidup orang utan yang berada didalamnya. 

Hutan yang makin rusak menyebabkan sumber pakan orang utan 

menjadi berkurang. Pengaruh kondisi alam Kalimantan Timur yang 

kurang subur turut memperburuk situasi ini. Seperti yang diketahui, 

kondisi hutan di Kalimantan Timur tidaklah seragam. Meijaard dkk. 

(2001) dalam buku yang berjudul Di Ambang Kepunahan! Kondisi 

Orang Utan Liar di Awal Abad Ke-21 menyebutkan bahwa hutan 

di Kalimantan layaknya mosaik yang memiliki tingkat kesuburan 

yang berbeda-beda. Implikasinya, produktivitas hutan pun akan 

berbeda-beda. Satwa seperti orang utan yang memerlukan asupan 

makan dengan kualitas baik tentunya akan terpengaruh dan ia 

akan mengembara jauh untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. 

Tidak jarang dalam pengembaraannya orang utan akan memasuki 

kebun-kebun kelapa sawit atau kebun masyarakat. Bagi orang utan 

yang penetap, ketersediaan pakan yang rendah di dalam hutan akan 

mendorongnya untuk mencari sumber pakan alternatif, seperti umbut 

sawit dan kambium. Fenomena inilah yang nantinya menimbulkan 

konflik orang utan-manusia yang marak terjadi di Kalimantan Timur. 

Bagi orang utan, konflik kadang menimbulkan hal yang fatal, seperti 

kematian, kehilangan induk, atau cacat. 

Tidak hanya potensi konflik orang utan dan manusia, keterse-

diaan pakan berkualitas rendah dalam hutan yang telah rusak juga 

dapat mempengaruhi sistem reproduksi betina. Di Kalimantan, jarak 

kebuntingan bagi orang utan betina rata-rata adalah tujuh sampai 

sembilan tahun dengan satu anak pada tiap kelahirannya. Apabila 

sumber daya seperti pakan terbatas, orang utan betina dapat menunda 

kebuntingannya. Status orang utan yang berada dalam posisi kritis 

dan di ambang kepunahan dapat menghambat upaya penambahan 

populasi orang utan di alam.

.168

E. Mempertahankan Hutan dan Orang Utan

Hutan tepi Sungai Menamang adalah oase bagi orang utan yang hidup 

di tengah gempuran perubahan habitat yang cepat di sekitarnya. Pun 

bagi manusia, keberadaan hutan yang masih hijau dan baik kondisinya 

mampu memberikan manfaat, seperti hasil hutan bukan kayu, udara 

yang bersih, dan bahkan laboratorium alam bagi sekolah-sekolah di 

sekitar hutan. Mengingat pentingnya Hutan Menamang, keberadaan 

hutan tepi sungai tersebut perlu dipertahankan. Melindungi hutan 

tepi Sungai Menamang tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja 

tetapi harus melibatkan pihak lain, seperti perusahaan, masyarakat, 

pemerintah daerah, dan sekolah-sekolah yang ada di sekitar kawasan 

hutan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi hutan 

tepi sungai dan satwa di dalamnya, termasuk orang utan, dalam 20, 

50, ataupun 100 tahun ke depan tidak ada pilihan lain kecuali bahu 

membahu dalam melindunginya. 

Perusahaan dan pemerintah daerah seharusnya berperan aktif 

dalam monitoring perkembangan kebun plasma masyarakat agar 

perkembangannya tidak sampai mengorbankan hutan. Ketentuan 

yang mengharuskan adanya kawasan lindung selebar 50–100 m dari 

tepi sungai seharusnya dipatuhi oleh siapa pun. Bagi pihak yang 

melanggar, sanksi yang tegas harus diberikan. Pentingnya hutan di 

tepi sungai juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat.

Menyelenggarakan pendidikan konservasi bagi sekolah-sekolah 

di sekitar hutan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh 

untuk mengenalkan hutan dan orang utan. Sesuai dengan namanya, 

dalam pendidikan konservasi terkandung unsur pendidikan yang 

berarti sebuah proses untuk mengubah pengetahuan, sikap, dan 

perilaku masyarakat agar lebih menghargai dan mencintai lingkungan. 

Dengan mengajarkan pendidikan konservasi sejak dini, diharapkan 

akan terbentuk generasi-generasi yang sadar lingkungan. Pendidikan 

konservasi dapat dilakukan melalui jalur formal, seperti sekolah, 

maupun nonformal. Jika jalur formal yang dipilih tentunya kerja 

sama dengan pihak-pihak terkait seperti dinas pendidikan setempat 

sangat diperlukan.

 169

F. Penutup

Sebuah artikel yang berjudul “Menjaga Orang utan, Hutan, dan Bumi 

Kita” dengan lugas menjelaskan mengapa kita harus peduli dengan 

orang utan? Sang penulis menguraikan jika kita menjaga orang utan 

yang berarti menjaganya dari kepunahan secara tidak langsung kita 

akan menjaga keberlangsungan hutan hujan tropis Indonesia. Orang 

utan adalah pemakan buah dan penjelajah ulung hutan tropis, di 

saat orang utan memakan buah, ia akan menjatuhkan biji-bijian 

dari buah yang dimakannya, menjamin terjadinya proses regene-

rasi pohon-pohon hutan. Sebagai satwa arboreal, orang utan akan 

menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon, mematahkan 

ranting dan cabang sehingga membentuk lubang-lubang pada kanopi 

pohon yang memungkinkan sinar matahari menyentuh lantai hutan. 

Cahaya matahari akan membangunkan biji-biji pohon untuk berke-

cambah. Singkatnya, dengan adanya regenerasi pohon-pohon hutan, 

keberadaan hutan hujan tropis akan lestari. Hutan yang lestari akan 

bermanfaat bagi manusia karena perannya sebagai sumber oksigen, 

pengendali banjir, penyedia air bersih, dan beragam manfaat lainnya. 

Meskipun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang 

belum paham akan manfaat keberadaan orang utan. Satwa ini masih 

tersisihkan dan kerap menjadi korban dari aktivitas pembangunan 

yang mengatasnamakan kesejahteraan. Melestarikan orang utan tidak 

akan serta merta dapat dirasakan manfaatnya saat ini, melainkan di 

kemudian hari. Lebih baik bagi anak cucu untuk bisa melihat orang 

utan secara langsung saat mereka dewasa kelak daripada hanya sebuah 

dongeng pengantar tidur yang dibacakan oleh orang tuanya. 

Habitat orang utan morio (Pongo pygmaeus morio) pada awalnya 

adalah hamparan hutan tropis dataran rendah Borneo yang kom-

pak dengan sumber pakan buah-buahan yang melimpah. Hanya 

sungai besar, gunung tinggi dan terjal yang menjadi pembatas antar 

populasi saat itu. Sayangnya, saat ini berbagai aktivitas manusia telah 

 me-ngubah bentang alami tersebut dan menyebabkan populasi orang 

utan saling terpisah dan terisolasi satu dengan lainnya. Pengelolaan 

skala bentang alam melalui konsep kawasan ekosistem esensial 

ditujukan untuk merangkai kembali habitat yang tercerai-berai dan 

memberikan harapan baru kehidupan orang utan yang lebih baik.

T. 

A. Orang Utan Morio

Orang utan adalah salah satu satwa primata yang paling sering dibi-

carakan dan dibahas dalam seminar dan jurnal-jurnal ilmiah oleh 

para primatolog dunia. Satu hal yang membuatnya spesial adalah 

keberadaannya sebagai satu-satunya kera besar yang sebaran alaminya 

di Benua Asia. Beberapa kerabat dekatnya, yaitu simpanse, gorila, dan 

bonobo, hanya ditemukan di Afrika. Pengelompokan yang sangat 

dekat, secara taksonomi, dengan manusia dalam famili yang sama, 

yaitu Hominidae, menjadikan orang utan menarik untuk dikaji dari 

berbagai aspek. 

Orang utan kalimantan secara meyakinkan merupakan spesies 

tersendiri yang berbeda dengan orang utan sumatra berdasarkan 

kajian morfologi dan genetiknya. Fakta genetik ini dibuktikan 

berdasarkan hasil penelitian Xiufeng Xu dan Ulfur Arnason, dua 

orang peneliti dari University of Lund, Swedia, yang menerbitkan 

makalahnya dalam Journal of Molecular Evolution edisi 43 tahun 

1996. Penelitian tersebut menganalisis DNA Mitokondria dari sampel 

jaringan dan darah orang utan. Hasil penelitian membuktikan bahwa 

orang utan sumatra dan orang utan kalimantan terpisah sejak 10 juta 

tahun yang lalu. Lebih lanjut, orang utan kalimantan dibagi menjadi 

tiga subspesies yang secara geografis terpisah oleh tiga pembatas 

sungai besar, Sungai Mahakam, Sungai Barito, dan Sungai Kapuas. 

Salah satu subspesies tersebut adalah orang utan morio (P.p. morio) 

yang menyebar di Borneo bagian timur dan utara (Groves, 2001). 

Sebuah catatan lama menyebutkan bahwa nama morio pertama kali 

diberikan oleh Sir Richard Owen, seorang biolog asal Inggris pada 

tahun 1836, untuk deskripsi dua buah tengkorak orang utan sebagai 

Simia morio. 

Orang utan morio memiliki ukuran terkecil dibandingkan dua 

subspesies lainnya di Kalimantan. Orang utan tersebut menyebar 

di sebelah utara Sungai Mahakam sampai di Sabah, Malaysia. 

Hasil Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) orang utan 

yang dilaksanakan pada tahun 2016 menyatakan bahwa populasi 

orang utan morio baik di habitat alami maupun hasil reintroduksi 

Merangkai Kembali Habitat ... 173

diperkirakan sekitar 14.630 individu yang tersebar dalam 17 meta-

populasi (Utami-Atmoko dkk., 2017). Laporan tersebut menyatakan 

bahwa metapopulasi Wehea-Lesan adalah salah satu metapopulasi 

yang berukuran sedang dengan populasi mencapai 620 individu. 

Kelangsungan hidup metapopulasi tersebut termasuk kategori rentan 

tergantung pada tingkat kehilangan habitat yang akan terjadi. Bersama 

dengan metapopulasi di lanskap Taman Nasional Kutai, metapopulasi 

Wehea-Lesan adalah populasi prioritas untuk konservasi orang utan 

morio di Kalimantan Timur (Gambar 13.1).

Sumber: Utami-Atmoko dkk. (2017)

Gambar 13.1 Metapopulasi Orang Utan Morio di Kalimantan 

Timur

B. Bentang Alam Wehea Kelay

Bentang alam Wehea-Kelay adalah habitat penting bagi orang utan 

morio. Arealnya meliputi hamparan hutan hujan tropis yang secara 

alami berbatasan dengan Sungai Wehea dan Telen di sebelah selatan; 

berbatasan dengan Sungai Kelay di bagian utara; di sebelah timur 

dibatasi oleh jalan poros Muara Wahau-Tanjung Redeb; dan sebelah 

barat merupakan gugusan pegunungan yang menjadi hulu daerah 

aliran sungai (DAS) Telen dan Wehea serta DAS Kelay (Gambar 13.2). 

Bentang alam Wehea-Kelay didelineasi menjadi sebuah kawasan eko-

.174

sistem esensial (KEE) seluas 532.143 ha dengan kondisi 67% luasan-

nya berupa dataran rendah dan sekitar 87% arealnya masih berupa 

kawasan berhutan (Pokja KEE Wehea-Kelay, 2016). Hutan tropis 

dataran rendah di Bentang alam Wehea-Kelay adalah habitat ideal 

bagi orang utan sedangkan areal di sebelah barat kondisinya relatif 

curam dengan ketinggian berkisar antara 500–1.889 mdpl. Ketinggian 

lebih dari 500 mdpl diperkirakan sudah tidak viable bagi habitat orang 

utan. Meskipun John A. Griswold, Jr., dalam ekspedisinya The Asiatic 

Primate tahun 1937, pernah melihat orang utan pada ketinggian lebih 

dari 1.800 mdpl di Sabah, Malaysia (Coolidge, 1940) dan mungkin 

saat ini hal tersebut tidak pernah dijumpai lagi.

Sumber: Atmoko dkk. (2018)

Gambar 13.2 Peta Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay

Orang utan adalah satwa bendera (flagship species) di KEE 

Wehea-Kelay. Jenis tersebut merupakan jenis karismatik yang 

berperan sebagai simbol upaya konservasi di Bentang Alam Wehea-

Kelay. Meskipun demikian, kawasan tersebut juga masih memiliki 

keanekaragaman hayati lainnya yang tidak kalah penting, seperti 

beruang madu, macan dahan, owa, dan rangkong. Kegiatan survei 

keanekaragaman hayati telah dilakukan oleh Forum KEE Wehea-

Merangkai Kembali Habitat ... 175

Kelay dengan melibatkan beberapa anggota forum yang kompeten. 

Sejauh ini hasil survei menunjukkan bahwa hutan di kawasan KEE 

Wehea-Kelay setidaknya masih memiliki sebanyak 346 spesies pohon 

berkayu, 77 spesies mamalia, 271 spesies burung, 47 spesies reptilia, 

dan 70 spesies amfibia (Atmoko dkk., 2018). Jumlah spesies tersebut 

masih berpotensi untuk bertambah karena sampai tahun 2019 ke-

giatan survei masih terus dilanjutkan.

C. Tekanan Habitat Orang Utan

Secara umum, ancaman terhadap keberadaan orang utan di KEE 

Wehea-Kelay ada dua, yaitu ancaman langsung dan tidak langsung. 

Ancaman secara langsung di antaranya penebangan hutan baik secara 

ilegal maupun secara legal, tetapi tidak menerapkan prinsip-prinsip 

pengelolaan terbaik, oleh perusahaan pemegang izin usaha peman-

faatan hasil hutan kayu (IUPHHK), perburuan liar, kebakaran hutan, 

dan konversi areal hutan menjadi nonhutan. Sementara itu, ancaman 

secara tidak langsung di antaranya adalah penegakan hukum yang 

lemah, kebijakan tata ruang, keterlibatan pemegang konsesi yang 

masih kurang, anggapan orang utan sebagai hama, dan penguasaan 

lahan secara ilegal. 

Saat ini bentang Alam Wehea-Kelay telah terbagi menjadi be-

berapa unit manajemen, yaitu hutan lindung dan izin hak guna usaha 

(HGU) yang meliputi perkebunan kelapa sawit, hak pengusahaan 

hutan (HPH), dan hutan tanaman industri (HTI). Sayangnya pada saat 

izin HGU diberikan kepada beberapa perusahaan, tidak ada edukasi 

sejak awal terkait pentingnya areal tersebut sebagai habitat orang 

utan. Salah satu contoh adalah penggunaan teknik land clearing areal 

hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan 

dari segala penjuru. Hal tersebut mengakibatkan terperangkapnya 

beberapa populasi orang utan di petak-petak hutan tersisa yang tidak 

mampu mendukung kehidupan orang utan secara lestari. Selain itu, 

areal high conservation value (HCV) ditetapkan tanpa memperhatikan 

konektivitas habitat satwa liar dan diambilkan dari areal yang curam 

berbatu dan tidak ekonomis jika dikelola untuk produksi.

.176

D. Inisiasi KEE

Berawal dari tantangan, ancaman, dan arti penting Bentang Alam 

Wehea-Kelay sebagai habitat penting bagi orang utan maka Pemerin-

tah Provinsi Kalimantan Timur berkomitmen melindungi kawasan-

kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi termasuk di kawasan 

habitat orang utan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 

bekerja  sama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten 

Berau, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, pihak 

swasta, The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Adat Wehea 

sepakat untuk membangun kesepahaman dalam rangka sinergitas 

antarunit manajemen dalam pelestarian orang utan. Kesepakatan 

tertuang dalam perjanjian kerja sama pengelolaan kawasan bernilai 

konservasi tinggi (KBKT) di kawasan Bentang Alam Wehea seluas 

264.480 ha yang ditandatangani para pihak pada tanggal 17 April 2015. 

Pada tahap awal terdapat enam unit manajemen yang bergabung, 

meliputi tiga perusahaan pemegang izin konsesi IUPHHK-Hutan 

Alam, satu pemegang izin konsesi IUPHHK-HTI, satu pemegang 

izin perkebunan kelapa sawit, dan satu pengelolaan hutan lindung 

oleh masyarakat adat.

Satu tahun setelah kesepakatan para pihak tersebut ditindak-

lanjuti dengan terbitnya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur 

tentang Pembentukan Forum Pengelolaan KEE Koridor Orang Utan 

Bentang alam Wehea-Kelay. Pada waktu yang hampir bersamaan, 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem 

membentuk kelompok kerja (Pokja) Fasilitasi Pembentukan Kelem-

bagaan Pengelola Koridor Hidupan Liar Bentang Alam Wehea-Kelay. 

Tugas dari pokja tersebut di antaranya adalah menyusun rencana aksi 

pengelolaan KEE dan mengumpulkan data serta informasi terkait 

KEE koridor hidupan liar dan KBKT Bentang Alam Wehea-Kelay. 

Hasil kerja dari pokja selama sekitar empat bulan adalah dokumen 

pengelolaan KEE Koridor orang utan Bentang Alam Wehea-Kelay 

dengan pendekatan best management practices. 

Merangkai Kembali Habitat ... 177

E. Partisipasi dan Peran Multi Stakeholder

Pengelolaan Bentang Alam Wehea-Kelay dalam bingkai KEE Wehea-

Kelay merupakan proses yang dibangun secara bersama-sama oleh 

para pihak untuk bersinergi menyelamatkan habitat orang utan dan 

satwa liar. Bentang alam Wehea-Kelay, meliputi berbagai unit manaje-

men, di antaranya adalah konsesi IUPHHK, kebun kelapa sawit, dan 

hutan lindung.

1) Hutan Lindung

Hutan Lindung Wehea diibaratkan sebagai zona inti KEE Wehea-

Kelay. Pengusulannya sebagai hutan lindung telah dilakukan sejak 

2004 oleh pemerintah Kabupaten Kutai Timur bersama Masyarakat 

Adat Wehea. Kawasan yang diusulkan adalah kawasan hutan produksi 

eks Gruti III yang berada di Kabupaten Kutai Timur. Pada tahun 2013 

melalui SK 554/Menhut-II/2013, kawasan hutan produksi eks HPH 

PT Gruti III seluas 27.997 ha ditetapkan menjadi Hutan Lindung 

Wehea. Saat ini masyarakat sedang berproses untuk pengusulan hutan 

adat seluas 24.125 ha dan hutan desa seluas 3.872 ha

Kawasan hutan seluas 38.000 ha pada awalnya adalah areal 

konsesi IUPHHK PT Gruti III yang kemudian ditetapkan sebagai 

hutan lindung. Masyarakat adat yang berdiam di sekitar Hutan 

Lindung Wehea adalah Suku Dayak Wehea yang sangat memahami 

pentingnya hutan bagi kehidupan mereka dan anak cucu. Badan Pe-

ngelola Hutan Lindung Wehea bersama Lembaga Adat Dayak Wehea 

telah membentuk tim monitoring Hutan Lindung Wehea yang sering 

disebut dengan Petkuq Mehuey (PM) yang artinya pasukan penjaga 

hutan. Anggota PM berasal dari para pemuda Dayak Wehea yang 

bertugas melakukan pengamanan dan monitoring terhadap semua 

kegiatan yang ada di dalam hutan lindung. 

Pengelolaan dilakukan secara terpadu antara masyarakat adat, 

pemerintah daerah, dan swasta. Keberhasilan dalam menjaga dan 

mengelola hutan mengantarkan Lembaga Adat Wehea mendapatkan 

penghargaan Schooner Prize Award tahun 2008 di Vancouver, Kanada 

(Hutan Wehea raih, 2008) . Selanjutnya, pada tahun 2009 Masyarakat 

.178

Adat Wehea mendapatkan penghargaan Kalpataru dengan kategori 

penyelamat lingkungan (Kalpataru untuk lembaga, 2009).

2) Kebun Kelapa Sawit

Pembangunan perkebunan kelapa sawit melalui konversi hutan di 

Kalimantan berpotensi merusak dan menghilangkan habitat orang 

utan. Tidak hanya terjadi pada hutan alam primer, tetapi juga pada 

hutan sekunder. Hal ini karena orang utan juga banyak dijumpai pada 

hutan sekunder. Umumnya pembangunan perkebunan kelapa sawit 

diawali dengan kegiatan land clearing. Orang utan yang terjebak pada 

petak hutan yang tersisa di tengah hamparan kebun sawit berpotensi 

menimbulkan konflik dengan manusia. Hutan yang tersisa biasanya 

bertopografi berat dan hanya tersedia sumber pakan terbatas bagi 

orang utan. Pada beberapa kasus, konflik terjadi sewaktu bibit sawit 

mulai ditanam pada tahun pertama. Saat itu orang utan mulai mencari 

asupan pakan lain di dalam areal kebun sawit sehingga tak ayal umbut 

tanaman sawit yang masih muda menjadi sasarannya.

Sosialisasi kepada staf dan pengelolaan resolusi konflik dengan 

orang utan dan satwa liar lainnya harus menjadi perhatian pihak 

manajemen perusahaan. Sebagai panduan dapat menggunakan pe-

tunjuk teknis penanganan konflik manusia-orang utan di dalam dan 

sekitar perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan bilingual oleh WWF 

Indonesia tahun 2007 (Yuwono dkk., 2007). Petunjuk teknis tersebut 

dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit manajemen. 

Selanjutnya, petunjuk tersebut dapat diterjemahkan melalui pedoman 

dan standard operating procedure (SOP) untuk memudahkan penera-

pannya di lapangan. Sementara itu, KEE Wehea-Kelay sendiri juga 

telah menyusun Panduan Pengelolaan Habitat Orang Utan  Kalimantan 

di Bentang Alam Wehea-Kelay yang dapat menjadi rujukan dalam 

mitigasi konflik orang utan-manusia bagi para anggotanya.

3) Areal konsesi HPH

Habitat orang utan di areal HPH masih memberikan ruang bagi 

orang utan karena adanya sistem rotasi penebangan. Orang utan 

Merangkai Kembali Habitat ... 179

masih mendapat kesempatan untuk berpindah ke tempat yang 

kaya akan sumber daya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/

Menhut-II/2009 menyatakan bahwa teknik tebang pilih digunakan 

pada hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi, yaitu 

hanya memperkenankan penebangan pohon berdiameter ≥ 40 cm 

dan diameter ≥ 50 cm pada hutan produksi terbatas dengan sistem 

silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) atau tebang rumpang 

TR). Rumpang (Gap) yang tercipta akibat penebangan akan kembali 

terhubung dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, artinya 

hampir seluruh kawasan HPH masih memungkinkan menjadi koridor 

bagi pergerakan orang utan. Selain itu, pengelolaan dan kebijakan 

perusahaan yang pro terhadap pelestarian orang utan harus terus 

ditingkatkan sehingga potensi konflik menurun. Beberapa perusahaan 

juga telah melaksanakan reduced impact logging (RIL), yaitu kegiatan 

pembalakan yang berdampak rendah terhadap lingkungan.

F.  Tata Kelola Learning by doing

Tata kelola KEE Wehea-Kelay dilakukan dalam skala bentang alam 

karena mayoritas kawasan berhutan adalah habitat orang utan. Selain 

habitat orang utan, bentang alam Wehea-Kelay merupakan daerah 

aliran sungai (DAS ) penting bagi Sungai Kelay yang mengalir ke Ka-

bupatan Berau dan Sungai Wehea yang mengalir ke Sungai Mahakam. 

Di sisi lain, bentang alam Wehea-Kelay sebagian besar dikelola oleh 

beberapa konsesi perusahaan, walaupun sejaitinya habitat orang utan 

tidak dapat dibatasi oleh delineasi unit pengelola konsesi. Perencanaan 

tata kelola kawasan yang terintegrasi dalam skala bentang alam dapat 

melindungi habitat orang utan secara efektif dan efisien. Pengelolaan 

secara kolaboratif dilakukan dengan melibatkan para pihak, seperti 

pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemegang izin konsesi, dan 

masyarakat setempat. 

.180

Sumber: Tri Atmoko (2019)

Gambar 13.3 Bagan Kegiatan Pelatihan, Workshop, Kegiatan Lapangan, dan 

Hasil Publikasi Forum Wehea-Kelay 

Pengelolaan KEE Wehea-Kelay tidak hanya terkait perlindungan 

orang utan saja, tetapi juga terkait dengan kegiatan pencegahan ke-

bakaran hutan/lahan, pencegahan perambahan dan perburuan liar, 

penelitian, dan kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia 

(SDM) (Gambar 13.3). Peningkatan SDM dilakukan terhadap staf 

 perusahaan dan masyarakat lokal dalam pelatihan teknis, seperti survei 

keanekaragaman hayati atau penanganan konflik dengan orangutan. 

Setiap unit manajemen membuat perencanaan terkait upaya pelesta-

rian orang utan di arealnya masing-masing dengan selalu menekankan 

upaya-upaya preventif dalam mencegah terjadinya konflik orang 

utan dengan karyawan perusahaan. Prosedur penanganan terhadap 

orang utan yang berpotensi konflik pun terus dikembangkan melalui 

learning by doing untuk mendapatkan formula pengelolaan terbaik. 

Sosialisasi dan pelatihan teknik monitoring orang utan dan satwa 

liar lainnya dilakukan oleh unit manajemen dalam rangka pembekalan 

para karyawan. Selanjutnya, melalui payung pokja KEE mereka saling 

bersinergi dalam kegiatan pelestarian orang utan. Kegiatan sosialisasi 

terhadap staf perusahaan dan berbagai pelatihan bagi staf dan peneliti 

Merangkai Kembali Habitat ... 181

anggota forum sering dilakukan dengan dukungan sumber dana dari 

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). 

Sebagai implementasi pelatihan, survei telah dilakukan oleh 

Forum KEE Wehea-Kelay dengan melibatkan tim peneliti, teknisi, 

staf perusahaan, dan Masyarakat Adat Wehea. Kegiatan tersebut di 

antaranya adalah survei orang utan dan keanekaragaman hayati lain-

nya di areal hutan lindung dan areal konsesi perusahaan pemegang 

HGU dalam wilayah Bentang Alam Wehea-Kelay. Output pelaksanaan 

kegiatan dituangkan dalam bentuk berbagai publikasi, baik dalam 

bentuk buku, pedoman, maupun makalah ilmiah (Gambar 13.4).

Sumber: Tri Atmoko (2019)

Gambar 13.4 Publikasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial 

Wehea-Kelay

G.  Penutup

Keberadaan bentang alam Wehea-Kelay sebagai habitat bagi orang 

utan morio dan keanekaragaman hayati lainnya sangat penting. Hal 

ini dikarenakan orang utan tidak mengenal istilah batasan adminis-

trasi dan unit manajemen. Kesatuan lanskap yang luas dengan hutan 

.182

yang saling terhubung diharapkan dapat menjadi habitat terbaik bagi 

kelestarian orang utan. KEE Wehea-Kelay terbentuk dengan didasari 

semangat yang kuat dari berbagai unit manajemen dan berbagai 

stakeholder untuk merangkai kembali habitat orang utan di bentang 

alam Wehea Kelay. Harapannya KEE Wehea-Kelay dapat menjadi 

monumen alam bertahtakan perhiasan yang indah bernama “Morio”. 


Bekantan merupakan primata endemik Kalimantan yang hidup 

tersebar pada habitat alam, baik di dalam maupun di luar kawasan 

konservasi. Habitat bekantan yang umumnya terdapat di ekosistem 

lahan basah sudah banyak diokupasi untuk kepentingan yang bersifat 

ekonomi sehingga habitat bekantan makin sempit dan terfragmentasi. 

Perlu upaya bersama untuk melestarikan bekantan dari kepunahan, 

khususnya habitat bekantan yang terdapat di lahan manusia. Sesung-

guhnya, bekantan dengan perilakunya yang unik, mempunyai nilai 

estetik yang dapat diangkat sebagai daya tarik objek wisata. Program 

konservasi bekantan dengan berbasis eko-wisata merupakan salah 

satu jalan keluar yang dapat dilakukan, yang penting adalah komitmen 

semua pihak untuk mendukung program konservasi bekantan.

S. 

A. Bekantan, Primata Unik dari Kalimantan

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.1787) adalah jenis satwa yang 

termasuk ke dalam ordo Primata, famili Cercopithecidae, dan sub-

famili Colobinae (Jolly, 1972). Bekantan merupakan satwa endemik 

 Kalimantan sehingga Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ting-

kat I Kalimantan Selatan Nomor 29 Tahun 1990 menetapkan bekantan 

sebagai Satwa Identitas Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan 

persetujuan DPRD Nomor 161/112/ DPRD, tanggal 28 Maret 1990. 

Jenis primata ini tergolong langka, dengan habitat terbatas di hutan 

mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi sungai (riverine), dan hutan 

rawa air tawar (Salter dkk., 1985). Bekantan juga dijumpai di hutan 

karet dan hutan bukit kapur (karst) (Soendjoto dkk., 2005). Selain itu, 

bekantan juga dijumpai hidup jauh di daratan yang berjarak 250–300 

km dari laut (Soendjoto, 2005). Sayangnya, habitat hutan bakau, hu-

tan sekitar sungai, dan rawa gambut telah banyak terdegradasi oleh 

berbagai aktivitas manusia. Berdasarkan Red list yang dikeluarkan 

oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 

tahun 2020, bekantan dikategorikan sebagai satwa endangered atau 

genting. Bekantan tercatat sebagai satwa dilindungi berdasarkan 

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis 

Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 

dan Kehutanan Nomor P.106/2018 tentang Perubahan Kedua Atas 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/

MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan 

Satwa Yang Dilindungi.

Bekantan termasuk jenis primata sexual dimorphisme, yaitu 

memiliki perbedaan dimensi antara jantan dengan betina. Panjang 

badan-kepala bekantan jantan adalah 73–76 cm (rata-rata 75,5 cm), 

sedangkan pada bekantan betina adalah 61–64 cm (rata-rata 62 cm). 

Berat bekantan jantan adalah sekitar 20 kg, sedangkan bekantan betina 

adalah setengahnya (Gambar 14.1). Selain itu, satwa ini mempunyai 

morfologi yang khas, yaitu pada jantan dewasa memiliki hidung yang 

besar, menonjol agak menggantung dan memiliki selaput pada jari 

kaki dan jari tangannya (Napier & Napier, 1985).

Tantangan dan Peluang ... 187

Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan tercatat 

sebesar 3,49% per tahun. Sebelumnya, pada tahun 1995 telah terjadi 

penurunan luas 6 tipe ekosistem habitat antara 20–88% (Meijaard & 

Nijman, 2000) dan laju penurunan ke enam habitat ini, baik di dalam 

maupun di luar kawasan, adalah sebesar 2% per tahun (Manansang 

dkk., 2005). Akibatnya, populasi bekantan cenderung menurun ka-

rena primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat. Kawasan 

hutan riparian merupakan kawasan yang mempunyai nilai ekonomi 

tinggi bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, kawasan tersebut 

sering terokupasi untuk berbagai kepentingan, seperti membangun 

areal persawahan, ladang, dan perkebunan kelapa sawit, selain peng-

gunaan sungai sebagai sarana transportasi masyarakat. Hal tersebut 

menyebabkan terjadinya degradasi habitat bekantan. 

B. Bekantan di Kalimantan Selatan

Bekantan tersebar hampir di seluruh ekosistem lahan basah di 

Kalimantan Selatan, baik di kawasan konservasi maupun di luar 

kawasan konservasi, yaitu di areal penggunaan lain (APL). Bekantan 

ditemukan di Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Bakut, Cagar Alam 

(a)         (b)

Keterangan: a. Jantan, b. Betina

Foto: Sofian Iskandar (2014)

Gambar 14.1 Perbedaan Bentuk Tubuh Bekantan 

.188

(CA) Pulau Kaget, TWA Pulau Kembang, dan Suaka Margasatwa 

(SM) Kuala Lupak. Populasi bekantan di kawasan TWA Pulau Bakut 

tercatat sekitar 74 individu, di CA Pulau Kaget 30 individu, SM Kuala 

Lupak 170 individu, dan TWA Pulau Kembang 21 individu. Sebaran 

bekantan tercatat ditemui pada 10 lokasi di wilayah Kabupaten 

Barito Kuala (Soendjoto dkk., 2001), 18 lokasi di Kabupaten Tabalong 

(Soendjoto dkk., 2003), 13 lokasi di Kabupaten Balangan, dan 18 lokasi 

di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Soendjoto dkk., 2013). Sementara 

itu, populasi bekantan di Kabupaten Tabalong dijumpai di 18 lokasi 

yang habitatnya sudah berupa kebun, bekas ladang, tepi sungai, hutan 

mangrove, dan areal permukiman. Pada beberapa titik pengamatan, 

bekantan dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu 20–30 

individu dalam satu kelompok, sementara di habitat yang kecil dan 

terisolasi, dijumpai beberapa individu saja (Soendjoto dkk., 2013). 

Bekantan di Kabupaten Tapin hidup di areal sempadan Sungai 

Puting yang sudah terdegradasi (Gambar 14.2). Luas habitatnya yang 

semula 1.932 ha menyusut hingga 240 ha. Sebagian besar habitatnya 

sudah terokupasi menjadi persawahan, kebun palawija, dan perkebun-

an sawit (Iskandar dkk., 2017). Populasi bekantan di Sungai Puting 

pada awal 2013 terhitung sebanyak 258 individu dalam 11 kelompok 

(Alikodra & Srimulyaningsih, 2015). Namun, pada sensus yang di-

lakukan tahun 2015, hanya tersisa sekitar 192 individu dalam sembilan 

kelompok (Iskandar dkk., 2017). Terlihat jelas bahwa penurunan 

luasan dan kualitas habitat dapat mempengaruhi populasi bekantan 

di habitat alaminya.

Tantangan dan Peluang ... 189

(a)                (b)

(c)                (d)

Keterangan: a. Rawa yang ditumbuhi gelam (Melaleuca sp.) dan pulantan (Alstonia sp.); 

b. Kondisi di sekitar Sungai Puting di Kabupaten Tapin; c. Bekantan berada di pohon tidur; 

d. Aktivitas kelompok bekantan di hutan rawa gelam

Foto: Sofian Iskandar (2014)

Gambar 14.2 Habitat Bekantan di Kabupaten Tapin

C. Kehidupan Bekantan di Habitat Manusia

Bekantan melakukan aktivitas hariannya secara berkelompok. Ak-

tivitas hidup bekantan yang utama adalah menjelajah untuk mencari 

sumber pakan. Bekantan merupakan satwa yang melakukan aktivitas 

hariannya di siang hari (diurnal), yaitu dimulai sejak terbitnya ma-

tahari hingga menjelang matahari terbenam. Pada habitat bekantan 

di Rawa Gelam, Sungai Puting, aktivitas harian dilakukan selama 

11–12 jam yang dimulai pada pukul 06.30 dan berakhir pada pukul 

18.00 setelah menempati pohon tidur. Dalam satu hari beraktivitas, 

bekantan menghabiskan rata-rata waktunya untuk makan 31,1%, 

bergerak 14,3%, istirahat 52,13%, dan aktivitas sosial 2,5% (Gambar 

14.3) (Iskandar dkk., 2016). 

.190

Di habitat rawa gelam, bekantan yang merupakan pemakan daun 

mengonsumsi delapan jenis tumbuhan pakan dalam bentuk daun 

(89,4%), bunga (6,82%), dan buah (3,78%). Gambar 14.4 menampilkan 

jenis pakan yang paling sering dikonsumsi bekantan, yaitu pulantan, 

kelakai, tamparah, perupuk, dan paku-pakuan (Iskandar dkk., 2016). 

Bekantan memerlukan waktu lebih lama untuk mencerna selulosa 

dan serat yang terkandung dalam daun menjadi energi dibandingkan 

primata pemakan buah. Struktur pencernaan pada primata pemakan 

daun lebih besar dan panjang daripada ukuran tubuhnya sehingga 

diperlukan waktu yang lebih lama dalam mencerna dan menyerap 

nutrisi yang dihasilkan dari daun dibandingkan buah (Milton, 1981).

Sumber: Iskandar dkk. (2016)

Gambar 14.3 Persentase Proporsi Penggunaan Waktu Aktivitas 

Harian pada Empat Kelompok Bekantan di Rawa Gelam, Sungai 

Puting

Tantangan dan Peluang ... 191

Kelompok bekantan di habitat Rawa Gelam mempunyai rata-rata 

proporsi waktu istirahat 52,13% dari total aktivitas hariannya. Bekan-

tan beristirahat siang pada kisaran waktu antara pukul 09.00 hingga 

pukul 15.00. Pada pagi hari (pukul 06.00–09.00), suhu udara pada 

habitat bekantan di rawa gelam berkisar antara 32–33°C, menjelang 

siang hari suhu udara naik antara 35–36°C, dan kembali menurun 

hingga 33–34°C saat sore hari (Iskandar dkk., 2016). Tingginya suhu 

udara pada siang hari mempengaruhi pola aktivitasnya di mana be-

kantan memilih untuk beristirahat untuk menghemat energi. Aktivitas 

pergerakan dilakukan oleh bekantan untuk mencari sumber pakan 

dan tempat beristirahat. Rata-rata proporsi waktu aktivitas bergerak 

kelompok bekantan adalah 14,27%. Panjang jelajah harian bekan-

tan bervariasi antara 432–860 meter dengan rata-rata 600,5 meter             

(Iskandar dkk., 2016). Pergerakan bekantan di Rawa Gelam dilakukan 

dengan berjalan di atas tanah dan melompat dari satu pohon ke pohon 

lainnya. Sumber pakan utama di Rawa Gelam adalah daun muda, 

buah pulantan, beberapa jenis rumput, dan paku-pakuan. Bekantan 

di Rawa Gelam sangat jarang melakukan aktivitas sosial, yaitu hanya 

2,5% dari seluruh waktu aktivitas hariannya. Aktivitas sosial yang 

Sumber: Iskandar dkk. (2016)

Gambar 14.4 Perbedaan Komposisi Pakan Bekantan Saat 

Musim Penghujan dan Kemarau

.192

tercatat adalah menyelisik sebesar 49,15%, bermain 28,81%, dan 

lain-lain 22,03% (Iskandar dkk., 2016). Kondisi ini terjadi hampir di 

semua jenis primata pemakan daun. Menyelisik merupakan aktivitas 

sosial yang paling sering dilakukan oleh bekantan dibandingkan ak-

tivitas sosial yang lainnya. Aktivitas menyelisik merupakan aktivitas 

saling membersihkan parasit yang terdapat pada tubuh. Selain itu, 

menyelisik juga menandakan kedekatan sosial antara individu yang 

melakukannya.

D. Ancaman Kelestarian Bekantan

Penurunan kualitas dan luasan hutan sebagai habitat bekantan 

merupakan permasalahan utama dalam melestarikan satwa ini. 

Degradasi habitat bekantan relatif cepat karena lahan habitat bekantan 

mempunyai nilai ekonomi tinggi. Habitat tepi sungai adalah areal 

yang pertama dibuka oleh masyarakat untuk menginvasi lahan di 

belakangnya sebagai pemukiman dan pembukaan lahan untuk perta-

nian hingga terbentuk perkampungan. Kondisi ini akan membentuk 

fragmentasi dan degradasi habitat di hutan riparian yang berpotensi 

sebagai habitat bekantan dari hulu hingga ke muara sungai. 

Sebaran populasi bekantan telah terpencar antara 15–40 km 

 (Bismark & Iskandar, 2002), sedangkan populasi bekantan yang tersisa 

di habitat terfragmentasi berupa ladang dan permukiman telah diang-

gap sebagai hama oleh sebagian masyarakat (Soendjoto dkk., 2005). 

Pada tahun 1990 habitat bekantan telah dilaporkan berkurang seluas 

49% dan pada tahun 1995 dilaporkan tinggal 39% dan hanya 15% dari 

habitatnya berada di kawasan konservasi (Meijaard & Nijman, 2000). 

Perkiraan penurunan habitat bekantan sekitar 2% setahun akibat 

kerusakan habitat tidak hanya terjadi di luar kawasan konservasi, 

bahkan telah memasuki kawasan konservasi.

Habitat bekantan yang spesifik, keterbatasan sumber pakan, dan 

kompetisi dengan jenis primata lain, menyebabkan bekantan akan 

lebih sensitif terhadap kerusakan habitat. Peningkatan arus lalu lintas 

sungai dan eksploitasi hutan telah menyebabkan kerusakan habitat 

dan dipercepat lajunya oleh kebakaran hutan, pembalakan liar, serta 

Tantangan dan Peluang ... 193

konversi hutan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian. 

Kerusakan habitat yang berdampak parah adalah pemanfaatan hutan 

mangrove karena tipe ekosistem riverine mangrove ini merupakan 

habitat utama bekantan. Degradasi habitat, perburuan, dan konversi 

lahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20 

tahun. Di kawasan hutan mangrove penurunan populasi bekantan 

tercatat sebesar 3,1 persen per tahun (Bismark, 2002). Selain itu, telah 

terjadi proses adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan. 

Meskipun demikian, bekantan tidak dapat terlepas dari kebutuhannya 

terhadap sumber air, danau, dan sungai dengan berbagai tumbuhan 

di sempadannya (Soendjoto dkk., 2005).

Perkiraan jumlah total bekantan di Kalimantan adalah 25.000 

individu dengan sekitar 5.000 individu berada di dalam kawasan kon-

servasi. Untuk pelestarian bekantan diperlukan pencegahan terhadap 

kerusakan, penurunan kualitas, dan luas habitat akibat pembalakan 

liar, kebakaran hutan, dan perburuan. Di samping itu, juga diperlukan 

pengamanan hutan sempadan sungai yang merupakan mangrove dan 

rawa gambut, serta areal perkebunan yang menjadi habitat bekantan. 

Berdasarkan hasil analisis Population and Habitat Viability Analysis 

(PHVA) bekantan (Manansang dkk., 2004), menurunnya kualitas 

dan luasan habitat bekantan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu  

konversi habitat, pembangunan perkebunan kelapa sawit, tambak 

rakyat, pertambangan rakyat, fragmentasi habitat, kebakaran hutan, 

habitat dengan kualitas sumber pakan rendah, dan pola penggunaan 

lahan.

E. Apa yang Harus Dilakukan untuk Melindungi  

Bekantan 

Jika ancaman terhadap kelestarian bekantan tidak segera diatasi, 

tidak mustahil di masa mendatang akan terjadi kepunahan lokal di 

berbagai habitat bekantan. Fragmentasi habitat akibat pemanfaatan 

lahan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan yang lestari 

populasi menyebabkan bekantan terpencar-pencar dalam sub-sub 

populasi. Bahkan, tidak mustahil beberapa sub populasi menjadi 

.194

terisolasi. Berbagai upaya harus dilakukan untuk melindungi populasi 

bekantan di habitat manusia agar populasi bekantan dapat tetap hidup 

dan berkembang biak.

Untuk melaksanakan upaya pelestarian bekantan di habitatnya 

maka seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, 

pelaku usaha, masyarakat, dan perguruan tinggi perlu bersinergi 

untuk mewujudkannya. Pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, dan 

kota memegang peran penting dalam mewujudkan upaya pelestarian 

bekantan dengan menerbitkan payung hukum yang dapat dijadikan 

landasan bagi pihak terkait. Salah satu payung hukum yang pen-    

ting adalah peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. 

Dengan dasar Peraturan Daerah tersebut maka areal habitat bekantan 

dapat ditetapkan sebagai kawasan perlindungan khusus.

Perlindungan bekantan di habitat manusia tidak perlu mengubah 

status lahan yang ada menjadi kawasan konservasi, melainkan hanya 

dengan menata pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan agar tetap 

dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Namun, juga 

tetap mempunyai fungsi ekologis bagi kehidupan bekantan. Berbagai 

alternatif pengelolaan lahan dapat direncanakan, tetapi hal utama 

yang harus dilakukan adalah mengembalikan habitat bekantan sesuai 

dengan kebutuhan minimum habitat bekantan. 

Untuk menyelamatkan bekantan, kegiatan restorasi habitat 

merupakan hal utama yang harus dilakukan. Restorasi yang dilakukan 

harus mampu menyediakan pohon sumber pakan untuk pergerakan 

dan tempat beristirahat. Selain pohon untuk kebutuhan bekantan, 

ditanam juga jenis pohon yang dapat memberikan manfaat ekonomi 

bagi masyarakat. Jika restorasi habitat bekantan sudah memperlihatkan 

keberhasilannya, kawasan tersebut dapat juga dikembangkan sebagai 

daerah tujuan wisata minat khusus. Pengembangan kegiatan ekowisata 

berbasis satwa liar sangat berpotensi untuk memberikan kontribusi 

tidak saja bagi masyarakat, tapi juga bagi pemerintah daerah setempat.

Pengembangan kegiatan ekowisata berbasis satwa liar, secara 

langsung maupun tidak langsung, dapat memberikan manfaat lain 

dari segi ekonomi masyarakat. Banyak pihak yang dapat berkontribusi 

Tantangan dan Peluang ... 195

dalam kegiatan ekowisata tersebut. Masyarakat dapat dilibatkan dalam 

pengelolaan ekowisata tersebut sebagai penyedia jasa transportasi, 

homestay, pedagang makanan, dan cendera mata. Bagi pemerintah, 

kegiatan ekowisata dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD). 

Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan 

bekantan perlu dilakukan, salah satunya melalui program penyadar-

tahuan. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan 

berbagai cara seperti penyebaran poster, penyuluhan ke sekolah, 

dan ke desa-desa sekitar habitat bekantan. Dalam pelaksanaannya, 

sebaiknya juga melibatkan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh 

agama, dan pemuda.

F. Penutup

Bekantan adalah salah satu jenis primata endemik Kalimantan dan 

merupakan salah satu kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia 

yang harus dijaga kelestariannya. Konservasi bekantan selayaknya 

menjadi salah satu perhatian utama dari berbagai pihak. Keberadaan 

bekantan di suatu wilayah dapat dimanfaatkan dan dikembangkan 

sebagai salah satu sumber pendapatan negara dan masyarakat, di anta-

ranya melalui pengembangan program ekowisata. Target dan tujuan 

pembangunan berkelanjutan adalah keberlanjutan dari sisi ekologi, 

ekonomi, dan sosial. Dengan melestarikan bekantan sebagai salah 

satu jenis kekayaan hayati Indonesia, diharapkan dapat memberikan 

nilai tambah ekonomi dan sosial bagi masyarakat lokal. 


Sigung (Mydaeus javanensis) adalah satwa yang unik. Terbatasnya 

informasi bioekologis yang diketahui dari mamalia kecil (small 

mammal) ini, membuat sigung termasuk kategori least concern dalam 

IUCN Red Data List. Bagi sebagian masyarakat asli Indonesia seperti 

suku Orang Rimba, sigung memiliki nilai kultural yang masih melekat 

kuat hingga saat ini. Sejalan dengan waktu, tutupan lahan berubah 

menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan manusia pada eranya. Di 

era biofuel ini, komoditas tanaman penghasil minyak nabati men-

jadi sangat penting artinya bagi ketahanan pangan dan energi suatu 

bangsa. Sawit telah menjadi andalan perekonomian bangsa kita, bah-

kan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar di 

dunia. Dengan realitas saat ini di mana perkebunan sawit berkembang 

luas, tentu ada pertanyaan muncul di benak kita, mungkinkah sigung 

bisa bertahan di lanskap yang telah berubah? Tulisan ini membawa 


kita melihat lebih jauh kondisi yang sering kali dianggap kontroversi 

ini. “Kacamata” ilmiah digunakan dengan cara melihat data dan fakta 

dari rangkaian hasil riset yang pernah dilakukan oleh berbagai peneliti 

dan praktisi.

A. Mengenal Sigung

Mungkin banyak dari kita yang tidak mengenal sigung sebaik kita 

mengenal satwa lainnya, seperti orang utan, rusa, badak, atau hari-

mau. Dari segi penampilan, sekilas sigung tampak seperti musang, 

tetapi dengan bentuk tubuh yang sedikit berbeda. Keunikannya 

adalah rambut di tubuh sigung lebat, panjang, dan berwarna hitam 

atau coklat, sedangkan rambut berwarna putih tumbuh dari kepala 

bagian atas, punggung, hingga ekor (Gambar 15.1). Dalam bahasa 

lokal di Kalimantan, sigung biasanya dikenal dengan nama teledu, 

telegu, kesensedu, kensedu, atau sadu/sa’at. Dalam ilmu taksonomi, 

sigung yang memiliki nama ilmiah Mydaeus javanensis ini tergolong 

ke dalam kelas Mamalia. 

Sumber: U.Name.Me (2018)

Gambar 15.1 Profil Preparat Sigung di Museum Natural History 

di Vienna 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 201

Perilaku sigung cukup unik, yaitu aktif mencari makan di malam 

hari (nokturnal), sedangkan di siang hari (diurnal) waktunya lebih 

banyak dihabiskan dalam lubang di dalam tanah. Makanan kesu-

kaannya adalah cacing tanah, serangga, bagian tumbuhan, bahkan 

binatang yang telah mati. Oleh karena jenis makanannya itu, sigung 

dikelompokkan sebagai satwa karnivor, walaupun sebagian ahli 

berpendapat dia juga memiliki karakter satwa omnivor. 

Sigung adalah satwa yang cukup menarik dan memiliki kekhasan 

yang bisa jadi tidak dimiliki oleh satwa lain, yaitu mengeluarkan bau 

busuk dari kelenjar di dekat ekor. Saat merasa terganggu, sigung 

menggunakan bau tersebut untuk mengusir dan menghindar dari 

bahaya. Cairan yang berbau tersebut dapat menyebabkan pingsan 

pada manusia, bahkan kerusakan mata pada binatang (Nowak, 1999). 

Di alam, sigung sering kali dijumpai di Pulau Kalimantan yang 

menjadi bagian wilayah Indonesia dan Malaysia. Di luar itu, beberapa 

ahli menyatakan sigung secara terbatas hanya bisa dijumpai di Jawa, 

Sumatra, dan Kepulauan Natuna. Berdasarkan distribusinya ini, Sigung 

M.j. javanensis ini terdiri atas tiga subspecies, yaitu M.j.javanensis 

yang umum ditemukan di Jawa, M.j. lucifer umum ditemukan di 

Kalimantan, dan M.j.ollula umum ditemukan di Kepulauan Natuna 

bagian utara (Long & Killingley, 1983; Hwang & Lariviere, 2003). 

Selain karena sebarannya yang terbatas, sigung adalah satwa yang 

tidak mudah dijumpai sehingga pengetahuan tentang bioekologinya 

belum cukup memadai. Menemukan dan mendokumentasikan sigung 

secara langsung adalah tantangan tersendiri, karena sifat nokturnalnya 

membuat waktu perjumpaan sering kali sangat singkat. Dalam 

sepuluh tahun terakhir, beberapa peneliti mencoba menguak lebih 

jauh tentang wilayah penyebarannya. Salah satunya dilakukan oleh 

Rustam dan Giordano (2014) yang menemukan keberadaan sigung di 

hutan Kalimantan Utara. Mereka menyebut temuan tersebut adalah 

temuan ke-10 dari catatan-catatan sebelumnya sejak 2012 di wilayah 

tersebut. Pada umumnya, sigung tersebut dijumpai di hutan sekunder 

dan primer dekat sungai dan areal persawahan. Samejima dkk. (2016) 

mencoba menginventarisasi catatan tentang keberadaan sigung di 

.202

empat wilayah Kalimantan di Indonesia (Barat, Timur, Tengah, 

Selatan) selama periode sejak akhir abad 19 hingga awal abad 20. 

Hasil penelitian mereka tersebut menunjukkan sebaran sigung di 

Kalimantan belum tercatat dengan baik karena terbatasnya bukti dan 

dokumentasi yang diperoleh, serta bias survei karena beragamnya 

metode yang digunakan. Meskipun demikian, Samejima dan tim 

berhasil mengidentifikasi pola sebaran habitat untuk sigung, meliputi 

wilayah timur-utara Kalimantan sebagai wilayah yang lebih sesuai 

serta wilayah barat-selatan sebagai habitat yang kurang sesuai. Setelah 

itu, Wong dkk. (2018) berhasil mendokumentasikan 323 catatan ke-

beradaan sigung di tiga wilayah hutan di Malaysia. Sebanyak 19.875 

tangkapan camera trap malam hari diperoleh selama kurun waktu 

2008–2010 dan 2014–2015. 

Data terbaru mengenai sigung di Kalimantan dilaporkan oleh 

Meijaard dkk (2019), yaitu diketahui tujuh penemuan terbaru ke-

beradaan sigung di Kalimantan pada habitat yang beragam, mulai 

dari hutan Dipterocarpa dataran rendah, hutan rawa gambut dan air 

tawar, area sub-urban seperti lahan pemukiman dan pertanian, hingga 

perkebunan kelapa sawit. Hasil-hasil penelitian ini memberikan 

gambaran bahwa sigung menempati habitat yang sangat beragam. 

B. Polemik Keanekaragaman Hayati dan Kebun Sawit 

Indonesia tidak saja menjadi “rumah” bagi sigung, tapi juga bagi jutaan 

keragaman hayati tropis lainnya. Kalimantan sendiri sebagai habitat 

utama sigung adalah salah satu hotspot keanekaragaman hayati tropis 

utama di Indonesia. Indonesia terkenal dengan jargon sebagai negara 

megabiodiversity sekaligus agraris pada saat bersamaan. Kondisi 

ini tidaklah mudah bagi Indonesia sebagai negara berkembang de-

ngan populasi penduduk yang tinggi karena wilayah-wilayah yang 

menjadi hotspot keanekaragaman hayati juga sekaligus merupakan 

area budi daya potensial. Secara umum negara-negara tropis yang 

mengandalkan perekonomiannya pada pertanian juga merupakan 

wilayah sebaran dan hotspot keanekaragaman hayati dunia. Kondisi 

tersebut menyebabkan sering terjadinya konflik (Molotoks dkk., 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 203

2017). Bahkan, Indonesia tergolong salah satu wilayah dengan risiko 

konflik tertinggi di dunia (Gambar 15.2).

Jika di zaman orde baru negara kita pernah sukses dengan 

swasembada beras, saat ini kelapa sawit adalah komoditas paling po-

puler di Indonesia. Tidak ada komoditas pertanian yang paling besar 

kontribusinya bagi perekonomian Indonesia selain kelapa sawit. Data 

Bappenas tahun 2018, menyebutkan kontribusi kelapa sawit terhadap 

produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2017 mencapai 3,47% dan 

berhasil menyerap 16,2 juta tenaga kerja. Tidak salah jika kemudian 

Indonesia bersama-sama dengan Malaysia, menjadi negara penghasil 

dan pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, dengan kontribusi 

sebesar 85% dari total produksi dunia. 

Sumber: Molotoks dkk. (2017)

Gambar 15.2 Tingkat Risiko Akibat Konflik Biodiversitas dan Pemanfaatan 

Sumber Daya Alam di Berbagai Negara di Dunia

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memang berkembang 

sangat pesat. Hingga tahun 2019, luas perkebunan kelapa sawit telah 

mencapai luas 16,4 juta hektar yang tersebar di semua pulau besar 

di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi alam Indonesia 

yang subur. Tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan “tongkat 

ditanam pun jadi tanaman”. Posisi geografis Indonesia yang terletak 

di khatulistiwa dengan sinar matahari melimpah, curah hujan, serta 

.204

kondisi tanah yang mendukung adalah anugerah terbesar bagi rakyat 

Indonesia. Kelapa sawit adalah tanaman tropis, dan sejauh ini, kelapa 

sawit dapat tumbuh subur dan berproduksi tinggi hanya di wilayah 

tropis. Tidak mengherankan jika kelapa sawit menjadi andalan 

komoditas Indonesia dan menjadi pesaing bahkan ancaman bagi 

negara-negara produsen minyak nabati lain di dunia.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai 

negara megabiodiversity kemudian menuai polemik dan kontroversi. 

Deforestasi menjadi topik yang cukup “sensitif " karena terkait de-

ngan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dianggap berasal dari 

pembukaan hutan primer, seperti yang terungkap dari beberapa 

hasil penelitian Koh dan Wilcove (2008), serta Vijay dkk. (2016). 

Sejak perkebunan kelapa sawit berkembang pesat dan menjadikan 

Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, 

tudingan negatif mengenai deforestasi hutan primer di Indonesia 

terus menjadi isu utama di kalangan negara-negara Eropa sebagai 

negara-negara tujuan ekspor utama sawit Indonesia. 

Namun demikian, fakta juga menunjukkan bahwa perkebunan 

sawit di Indonesia dibangun pada berbagai tipe tutupan lahan. Ada 

sederet hasil penelitian yang membuktikan hal tersebut. Gunarso 

dkk. (2013) mengungkap bahwa satu-satunya penyebab terbesar 

hilangnya hutan di Indonesia adalah berkaitan dengan penebangan 

tidak lestari dan diikuti oleh kebakaran hutan, yang kemudian mem-

bentuk  perubahan sejumlah besar area lanskap hutan menjadi area 

pertanian dan semak belukar. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit 

justru dibangun pada areal nonhutan, bekas konsesi kehutanan, areal 

pertanian, atau perkebunan (Santosa dkk., 2016; Austin dkk., 2017). 

Bahkan, wilayah Kalimantan dinyatakan bahwa sumber terbesar lahan 

untuk perkebunan baru berasal dari semak dan padang rumput (48% 

atau 1,3 juta ha) (Gunarso dkk., 2013). Beberapa hasil penelitian 

terakhir juga menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi areal 

perkebunan di Indonesia cenderung terus menurun (Gaveau dkk., 

2016; Austin dkk., 2017). Sebuah kajian ekologi spasial kemudian 

turut memperkuat argumen mengenai asal usul lahan beberapa 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 205

perkebunan kelapa sawit di Kalimantan yang berasal dari semak, 

bekas areal perladangan, dan hutan sekunder (Kwatrina dkk., 2019).

Terlepas dari berbagai hasil riset ilmiah yang ada, sejauh mana 

kelapa sawit telah berkontribusi terhadap deforestasi masih terus 

menjadi perdebatan. Hari-hari ini, keberadaan sigung dan satwa 

liar lainnya di Kalimantan juga terus menjadi sorotan karena ting-

ginya pemanfaatan lahan untuk tujuan ekonomi dan pembangunan. 

 Kalimantan yang memiliki luas areal perkebunan sawit kedua terbesar 

di Indonesia setelah Riau (28,83% dari keseluruhan luas areal sawit 

di Indonesia) menghadapi sederet permasalahan perubahan dan alih 

fungsi hutan dan lahan yang kemudian seolah menjadi momok yang 

menakutkan bagi kelangsungan keanekaragaman hayati. 

C. Lanskap Mosaik Perkebunan Sawit dan Masa 

Depan Konservasi Sigung 

Dalam peradaban manusia, sumber daya alam selalu menjadi tump-

uan dan modal pembangunan. Bahkan organisasi pangan dunia WHO 

pada tahun 2003 menyebutkan, hampir 75% dari populasi dunia 

menyandarkan kebutuhan hidup primernya pada keanekaragam an 

hayati. Di tengah sorotan dunia, Indonesia harus membuktikan diri 

sebagai negara yang punya perhatian besar terhadap konservasi 

keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga 

sejalan dengan komitmen Indonesia secara global terhadap pencapai-

an tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development 

Goals (SDG’s).

Salah satu ciri pembangunan berkelanjutan adalah efisiensi dan 

efektifitas. Konservasi keanekaragaman hayati harus menjamin ke dua 

kriteria tersebut juga berlaku di lanskap perkebunan sawit. Bagaimana 

itu bisa dilakukan? 

1. Memahami konsep pengelolaan

Memahami ‘lanskap’ dan ‘ekosistem’, dua konsep dalam mengelola 

keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Forman dan 

Godron (1986) mendefinisikan lanskap sebagai sebuah areal              het-

.206

erogen yang tersusun dari ekosistem yang berinteraksi. Sementara itu 

menurut Odum (1971), ekosistem ialah organisme-organisme hidup 

dan lingkungan tidak hidupnya (abiotik) yang berhubungan erat tak 

terpisahkan dan saling memengaruhi satu sama lain. 

Lanskap perkebunan sawit memiliki kedua karakteristik lanskap 

dan ekosistem, yang dicirikan oleh beberapa tipe habitat yang secara 

ekologis saling terhubung satu sama lain. Dalam satu hamparan kebun 

sawit dapat ditemukan kebun sawit muda, kebun sawit sedang, kebun 

sawit tua, semak belukar, bahkan hutan sekunder berupa patch hutan 

di antara hamparan kebun sawit. Patch hutan tersebut sering kali 

kemudian ditetapkan sebagai area bernilai konservasi tinggi, sebuah 

area yang menjadi hotspot dan rumah bagi beragam jenis tumbuhan 

dan satwa liar. Setiap habitat memiliki keunikan dan nilai pentingnya 

masing-masing. Areal kebun dan semak belukar berfungsi sebagai 

areal mencari makan/mangsa, sedangkan patch hutan lebih banyak 

berfungsi sebagai kover atau tempat berlindung bagi satwa. Selain itu, 

hutan juga menyediakan habitat bagi beberapa spesies spesialis, yaitu 

jenis yang memerlukan kondisi habitat khusus, seperti keberadaan 

pohon dengan strata yang lebih lengkap. Keseluruhan tipe-tipe habitat 

pada perkebunan kelapa sawit dan wilayah sekitarnya ini merupakan 

sebuah lanskap yang berfungsi sebagai sebuah ekosistem mosaik. 

Konsep yang diperkenalkan oleh Wiens (1995) ini menyatakan bahwa 

prinsip lanskap mosaik adalah heterogenitas, di mana terdapat lebih 

dari satu elemen pada suatu lanskap. Makin beragam elemennya maka 

makin membentuk variasi dan kompleksitas secara spasial. Pendekatan 

mosaik dapat menyediakan landasan ilmiah untuk berbagai masalah 

konservasi berbasis ekologi (Hitchman dkk., 2018).

Walaupun pengetahuan kita tentang ekologi sigung masih 

terbatas, tetapi hasil-hasil penelitian yang ada memberikan kita 

pengetahuan bahwa sigung termasuk satwa yang cukup adaptif 

dan mampu hidup pada ragam habitat yang luas, termasuk lanskap 

perkebunan sawit. Mengapa? Karena sigung adalah satwa yang tidak 

sepenuhnya tergantung pada keberadaan hutan. Hwang dan Lariviere 

(2003) menyatakan, secara ekologi sigung hidup di hutan sekunder 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 207

dan area terbuka seperti kebun yang berbatasan dengan hutan, bahkan 

dalam lubang di area hutan yang terbuka. Untuk dapat berperan se-

bagai habitat sigung, lanskap mosaik perkebunan kelapa sawit harus 

memenuhi komponen dasar kebutuhan hidup satwa liar, di antaranya 

sumber pakan, tempat hidup, dan tempat berlindung. Sigung sangat 

suka mencari pakan di permukaan dan di dalam tanah. Beragam kelas 

umur tanaman sawit, semak belukar, serta patch hutan menciptakan 

iklim mikro yang memungkinkan hidupnya berbagai satwa mangsa 

dan biota, seperti serangga, cacing, dan tumbuhan. Ini terbukti pada 

salah satu penelitian di tahun 2018, di mana camera trap malam hari 

menangkap aktivitas sigung sedang mencari pakan pada area kebun 

sawit tua (Gambar 15.3).

Foto: Yanto Santosa (2018)

Gambar 15.3 Sigung tertangkap Camera Trap di 

perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah tahun 2018.

2. Area bernilai konservasi tinggi 

Menjadikan area bernilai konservasi tinggi, atau biasa disebut 

ABKT, sebagai sentra dari rangkaian mosaik habitat dalam kon-

servasi keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Peran 

yang dimainkan ABKT sangat penting, di mana area ini berkontri-

.208

busi sebesar 30–50% spesies mamalia kecil dari keseluruhan lanskap 

mosaik perkebunan kelapa sawit (Gambar 15.4). ABKT ini harus 

efektif agar dapat berfungsi secara ekologis bagi kehidupan sigung. 

Ada sederet prasyarat dan kriteria agar sebuah area ABKT menjadi 

efektif, di antaranya harus memiliki luas yang representatif dengan 

mempertimbangkan luas area efektif bagi flagship species, top predator, 

atau umbrella species, serta pertimbangan jarak terhadap jalan dan 

permukiman. Konektivitas antarhabitat di dalam lanskap perkebunan 

terwakili oleh ABKT yang terletak di sepanjang sungai (Kwatrina, 

2018). 

Foto: Rozza Tri Kwatrina (2017)

Gambar 15.4 Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) dan 

Kebun Sawit Sebagai Bagian Habitat Sigung di Lanskap 

Mosaik Perkebunan Kelapa Sawit 

Keberadaan ABKT menjadi strategis karena mampu me-

ningkatkan heterogenitas dan meminimalkan dampak dari mitos 

“homogenitas perkebunan monokultur” yang terlanjur melekat kuat 

pada perkebunan sawit. Beberapa kajian kami lakukan pada kelompok 

satwa mamalia, herpetofauna, burung, dan kupu-kupu untuk melihat 

dampak perkebunan sawit terhadap kelimpahan dan keanekaragaman 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 209

jenis satwa liar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak 

ekologis tersebut tidaklah seragam, melainkan beragam sesuai dengan 

taksa satwanya. Sebagian memang berdampak terhadap hilangnya 

spesies (biodiversity loss), tetapi sebagian lainnya justru menyebabkan 

bertambahnya jumlah spesies (biodiversity gain). 

Kehadiran sigung sebagai satwa karnivor dan penyeimbang 

dalam ekosistem ialah bukti bahwa rantai makanan dapat berjalan 

karena tersedianya sumber pakan dan mangsa bagi sigung. Dalam 

rantai makanan tersebut, sigung berperan sebagai satu mata rantai 

dari keseluruhan tingkat tropic dalam ekosistem perkebunan kelapa 

sawit (Tabel 15.1). Hal ini sekaligus membuktikan bahwa proses 

ekologi dapat berjalan melalui berbagai tingkatan tropik yang tersebar 

di lanskap perkebunan kelapa sawit (Gambar 15.5). 

Tabel 15.1 Kelompok Spesies Satwa Berdasarkan Tingkat Tropik pada Piramida 

Makanan pada Lanskap Perkebunan Kelapa Sawit

Tingkat tropik Spesies

Top predator Elang 

Konsumen tingkat III Kucing hutan, sigung, biawak

Konsumen tingkat II Ular, Primata, burung insektivor, burung omnivor, 

burung karnivor

Konsumen tingkat I Burung frugivora, burung granivora, burung nektarivo-

ra, burung omnivor, serangga Lepidoptera, tikus, bajing, 

Amfibi, artropoda, Primata, babi, kadal

Produsen Biji, buah, daun, nektar, serasah

Sumber: Kwatrina (2018)

.210

Gambar 15.5 Ilustrasi sebaran beberapa kelompok mamalia dan hubungannya 

dengan kelompok lainnya (burung, herpetofauna, dan serangga lepidoptera) pada 

berbagai kelas umur tanaman kelapa sawit dan ABKT di lanskap perkebunan 

kelapa sawit

Perubahan dan alih fungsi lahan tidak dipungkiri akan menim-

bulkan dampak secara ekologi. Namun, kita dapat menaruh harapan 

bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai andalan komoditas Indonesia 

dapat dikelola secara berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip-

prinsip ekologi dan konservasi. Agar semua tujuan dan manfaat 

kelestarian ekologis, ekonomis, dan sosial dapat tercapai maka suatu 

Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 211

ABKT harus efektif. Bagaimana tidak, peran ekologis yang dimainkan 

oleh sigung sebagai satwa karnivor dalam ekosistem dapat memi-

nimalkan biaya yang diperlukan untuk mengontrol populasi satwa 

yang berpotensi sebagai hama dalam pengelolaan perkebunan. Pada 

akhirnya, keseluruhan proses ekologi dalam lanskap akan membuat 

pengelolaan menjadi efektif. 

D. Penutup

Jika kita kembali pada pertanyaan di awal, ”Mungkinkah konservasi 

sigung dilakukan di lanskap perkebunan kelapa sawit?” Dengan op-

timis kita bisa menjawab, sangat mungkin. Dengan mengoptimalkan 

peran ABKT, konservasi keanekaragaman hayati tidak saja hanya 

menjadi domain area konservasi tetapi juga area produksi. Selama 

prinsip-prinsip ekologis dan heterogenitas habitat pada lanskap 

mosaik diterapkan, Indonesia tidak saja dapat memproduksi kelapa 

sawit secara berkelanjutan, tetapi juga sekaligus melestarikan sigung. 


Sering kali ketika mendengar kata ular maka yang terbayang adalah 

reptil melata yang mengerikan, menjijikkan, dan berbahaya. Sejak 

kecil kita telah terdoktrin tentang betapa berbahaya dan mengerikan-

nya ular. Semua jenis ular dianggap berbisa, agresif, dan mematikan 

sehingga sudah sepantasnya dibunuh dan dimusnahkan. Dogma 

tentang ular yang berbahaya ini tidak semuanya benar, pasalnya 

beberapa jenis ular tidak berbisa dan cenderung tidak agresif, salah 

satunya adalah sanca batik. Bahkan sanca batik menjadi salah satu 

jenis reptil yang sering diperdagangkan karena kulitnya yang cantik, 

dan akhir-akhir ini makin populer sebagai hewan peliharaan (pet).

A. Tak kenal maka tak sayang

Sanca batik dikenal juga dengan nama lokal sanca kembang, sanca 

timur laut, ular sawah, atau ular petola. Dalam bahasa Inggris, sanca 


batik dikenal sebagai reticulated python atau kerap disingkat retics. 

Penyebaran sanca batik, meliputi Bangladesh, India, Laos, Malaysia, 

Myanmar, Thailand, dan Vietnam (Das, 2015). Khusus penyebarannya 

di Indonesia mulai dari pulau Anambas, Banda Besar, Bangka Belitung, 

Sulawesi, Sumatra, Jawa, Sumba, Ternate, Timor, dan Verlate (Orr, 

2015). Jenis ini pertama kali dideskripsikan sebagai Boa reticulata 

oleh naturalist asal Jerman, Johann Gottlob Theaenus Schneider pada 

tahun 1801. Perubahan tata nama binomialnya terjadi beberapa kali. 

Perubahan pertama menjadi Python reticulatus (Relox dkk., 2011), 

kemudian pada awal tahun 2000, Hoser melakukan reklasifikasi 

genusnya menjadi Broghammerus (Rawlings dkk., 2008). Perubahan 

terjadi lagi pada tahun 2011, dengan mengembalikan genus ke Python 

(Relox dkk., 2011). Perubahan nama terakhir terjadi di tahun 2014, 

di mana Python reticulatus menjadi Malayopython reticulatus (Barker 

dkk., 2015).

Sanca batik merupakan jenis ular dari suku Pythonidae yang 

berukuran besar dan memiliki ukuran tubuh terpanjang di antara 

jenis ular lain. Sanca batik ternyata memiliki ukuran tubuh yang lebih 

panjang dibandingkan anakonda (Eunectes murinus) yang merupa-

kan ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Selama masa 

hidupnya, panjang tubuh sanca batik dapat mencapai 15 meter dan 

bobot badan dapat mencapai 158 kg (Mexico, 2008). 

B. Keunikan Kulit Sanca Batik 

Keunikan sanca batik dibanding dengan ular jenis lain adalah ter-

letak di kulitnya. Kulit sanca batik seperti namanya, bercorak dan 

menyerupai batik. Layaknya batik, ular ini memiliki motif punggung 

menyerupai rantai dengan warna dasar perak abu-abu atau cokelat, 

bergaris tepi warna hitam, kuning, atau oranye. Terdapat juga bintik-

bintik berwarna terang di samping badannya. Jika dilihat di bawah 

sinar matahari, seluruh tubuh ular ini seperti memantulkan warna 

tiga dimensi (hologram). Bagian bawah kulit ular ini berwarna putih 

dan kebanyakan tidak memiliki motif/polos. Masing-masing sanca 

batik memiliki keunikan pada motif dan warna kulitnya berdasarkan 

daerah sebarannya. 

Sanca Batik, Sang ... 217

Sanca batik di pulau Jawa identik dengan warna yang lebih 

cerah, perpaduan krem kuning bercampur dengan coklat atau 

perak (Gambar 16.1), sedangkan sanca batik di pulau Kalimantan 

warna dasar kulitnya lebih gelap dibandingkan di Jawa atau Sumatra 

(Gambar 16.2). Selain itu, terdapat sanca batik albino yang memiliki 

perpaduan warna kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal dengan 

pola lingkaran berbentuk jala. Sanca batik karamel adalah jenis hasil 

persilangan antara indukan sanca batik corak gelap dengan sanca batik 

albino (Gambar 16.4). Jenis sanca batik karamel, sepanjang tahun 

2016 sampai sekarang adalah jenis yang paling banyak dicari untuk 

peliharaan (pet) oleh para pecinta retics karena keunikan corak dan 

warnanya.

       

 

Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)

Gambar 16.1 Sanca Batik dari Pulau Jawa

.218

Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)

Gambar 16.2 Sanca Batik dari Pulau Kalimantan 

Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)

Gambar 16.3 Sanca Batik Albino 

Sanca Batik, Sang ... 219

           

 

 

 

 

 

Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)

Gambar 16.4 Sanca Batik Karamel 

C. Satwa Adaptif

Sanca batik hidup di hutan-hutan tropis yang lembab (Mattison, 

2005). Ular ini bergantung pada ketersediaan air sehingga sering 

dijumpai tidak jauh dari genangan air, seperti sungai, sawah, kolam, 

dan rawa. Sanca batik sering ditemukan masuk ke pekarangan bahkan 

rumah penduduk, karena habitat ular ini termasuk sangat fleksibel. 

Hal ini menandakan sanca batik mempunyai tingkat toleransi dan 

adaptif yang tinggi terhadap keberadaan manusia (Sihombing & 

Takandjandji, 2019). Tingkat adaptif sanca batik terhadap keberadaan 

manusia tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dampak 

positifnya, ular sanca batik tetap bisa bertahan dalam kondisi habitat 

yang langsung bersinggungan dengan aktivitas manusia. Sementara 

itu,  dampak negatifnya adalah sanca batik menjadi mudah ditemu-

kan karena tingginya tingkat perjumpaan dengan manusia sehingga 

mudah untuk ditangkap dan diperjualbelikan. 

.220

Sanca batik merupakan satwa ektotermik, artinya ular ini tidak 

memiliki kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup untuk 

menjaga diri mereka tetap hangat. Oleh karena itu, sanca batik tergan-

tung pada sumber panas lingkungan, seperti cahaya matahari. Hal ini 

menjelaskan mengapa sebagian besar satwa ektotermik terbatas pada 

bagian-bagian dunia yang memiliki dua musim dan mengapa sanca 

batik sering terlihat berjemur di tempat yang terbuka. Selain untuk 

memenuhi kebutuhan panas tubuh, berjemur juga dibutuhkan sanca 

batik untuk proses metabolisme dan mencerna makanan (Mattinson, 

2005). Suhu normal yang dibutuhkan sanca batik rata-rata adalah 

26,5–31oC (Takandjandji dkk., 2018). Jadi, jika suhu terlalu panas 

atau sebaliknya terlalu dingin, sanca batik akan lebih banyak diam 

untuk meminimalisasi energi yang terpakai.

D. Predator Pembelit

Sanca batik merupakan hewan yang aktif di malam hari (nokturnal) 

dan memiliki kemampuan menyamarkan diri (kamuflase) yang sangat 

baik untuk memudahkan menangkap mangsa. Berdasarkan hasil pe-

nelitian, sanca batik tidak agresif, ular jenis ini cenderung menunggu 

mangsa hingga berada cukup dekat dengannya supaya dapat dililit 

dan dilumpuhkan. Mangsa yang dililit sanca batik biasanya sulit untuk 

meloloskan diri karena lilitan yang sangat kencang dapat membuat 

mangsa kesulitan bernapas, bahkan kebanyakan mengalami kematian 

setelah kehabisan napas dan mengalami patah tulang. Ular ini lantas 

menelan mangsa mulai dari kepala sampai semua bagian tubuhnya. 

Hal yang unik dari cara makan ular jenis ini adalah mereka bisa men-

gonsumsi mangsa yang lebih besar dari tubuhnya. Rahasianya terletak 

dari rahang sanca batik yang tidak memiliki engsel, artinya rahang 

atas dan bawah tidak dihubungkan oleh tulang sehingga terpisah 

antara bagian atas dan bawahnya. Hal ini memudahkan ular sanca 

menelan makanan berukuran yang lebih besar dari mulutnya sampai 

habis tak bersisa. Rata-rata waktu untuk menelan semua bagian tubuh 

mangsa tergantung dari ukuran mangsa. Jika ukuran mangsa kecil 

hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit, tetapi jika mangsa yang 

Sanca Batik, Sang ... 221

dikonsumsi cukup besar, sanca batik membutuhkan waktu sampai 

dengan 3 jam untuk menelan seluruh bagian tubuh mangsa.

Setelah makanan berhasil ditelan secara utuh, ular sanca batik 

tidak akan makan dan bersembunyi maupun berdiam diri sampai ma-

kanan tercerna sepenuhnya. Waktu yang diperlukan untuk mencerna 

makanan juga tergantung dari seberapa besar mangsa yang dimakan. 

Jika mangsa yang dimakan berukuran besar, ular ini tidak akan makan 

setidaknya dalam waktu tiga bulan. Namun, jika makanannya kecil 

sanca batik akan kembali mencari mangsa setelah 4–5 hari. Ular 

besar seperti jenis Python memiliki cairan lambung dengan tingkat 

keasaman yang lebih tinggi dibandingkan manusia sehingga proses 

mencerna makanan menjadi lebih cepat bahkan mampu menghan-

curkan benda asing yang ikut tertelan (Enok dkk., 2013).

E. Keunikan Reproduksi

Ular sanca batik termasuk satwa ovipar (bertelur), waktu dewasa 

kelamin pada ular sanca batik adalah saat umur 2–3 tahun di mana 

panjang tubuh ular jantan 2–2,5 m pada jantan dan 3 m pada betina 

(Mattison, 2005). Normalnya, ular sanca batik bereproduksi  setahun 

sekali dengan periode lama waktu kebuntingan antara 4–4,5 bulan 

(Mattison, 2005). Selama masa kebuntingan, induk ular akan mencari 

lokasi sarang yang cocok dan optimal untuk mengerami telurnya 

(biasanya di tempat yang terlindungi, lembap, dan tidak jauh dari 

kolom air). Jumlah telur yang dihasilkan sanca batik tergantung dari 

panjangnya ular. Ular besar dari famili Pythonidae yang panjangnya 

5 m dapat menghasilkan telur sebanyak 40–50 butir dan ular yang 

panjangnya 2–3 m menghasilkan telur sebanyak 20–30 butir (Barker 

dkk., 2015). Setelah bertelur, induk ular sanca batik akan memberikan 

kehangatan untuk telur-telurnya dengan cara mengeraminya. Induk 

ular dapat menaikkan suhu badannya sampai 5°C dengan membuat 

gesekan dari kontraksi otot-otot perut jika suhu di lingkungan sekitar 

terlalu dingin (Barker dkk., 2015). Suhu optimal inkubasi telur antara 

28–30oC dengan lama pengeraman telur 2–2,5 bulan (Takandjandji 

dkk., 2018). Tingkat keberhasilan penetasan telur sanca batik tergan-

.222

tung dari kondisi kesehatan induk dan ukuran telur yang dihasilkan. 

Optimalnya, telur yang menetas berdiameter 120×82 mm dan berat 

telur 250–300 gr. Telur sanca batik yang telah menetas biasanya 

memiliki robekan berbentuk lurus membujur seperti digunting (16.5).

Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)

Gambar 16.5 Telur Sanca Batik yang Sudah Menetas 

F. Membongkar Mitos dan Fakta Sanca Batik

Berbicara tentang ular, apalagi dari jenis besar seperti sanca batik, 

sudah pasti tidak lepas soal mitos dan cerita berbau klenik. Dahulu, 

orang beranggapan jika seseorang melihat ular besar akan mendapat 

kesialan, atau bahkan yang lebih ekstrem jika menemukan ular sanca 

di rumah, artinya mendapat kiriman ilmu santet dar