ngnya habitat orang utan sehingga me-
ngancam kelangsungan hidup orang utan yang berada didalamnya.
Hutan yang makin rusak menyebabkan sumber pakan orang utan
menjadi berkurang. Pengaruh kondisi alam Kalimantan Timur yang
kurang subur turut memperburuk situasi ini. Seperti yang diketahui,
kondisi hutan di Kalimantan Timur tidaklah seragam. Meijaard dkk.
(2001) dalam buku yang berjudul Di Ambang Kepunahan! Kondisi
Orang Utan Liar di Awal Abad Ke-21 menyebutkan bahwa hutan
di Kalimantan layaknya mosaik yang memiliki tingkat kesuburan
yang berbeda-beda. Implikasinya, produktivitas hutan pun akan
berbeda-beda. Satwa seperti orang utan yang memerlukan asupan
makan dengan kualitas baik tentunya akan terpengaruh dan ia
akan mengembara jauh untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Tidak jarang dalam pengembaraannya orang utan akan memasuki
kebun-kebun kelapa sawit atau kebun masyarakat. Bagi orang utan
yang penetap, ketersediaan pakan yang rendah di dalam hutan akan
mendorongnya untuk mencari sumber pakan alternatif, seperti umbut
sawit dan kambium. Fenomena inilah yang nantinya menimbulkan
konflik orang utan-manusia yang marak terjadi di Kalimantan Timur.
Bagi orang utan, konflik kadang menimbulkan hal yang fatal, seperti
kematian, kehilangan induk, atau cacat.
Tidak hanya potensi konflik orang utan dan manusia, keterse-
diaan pakan berkualitas rendah dalam hutan yang telah rusak juga
dapat mempengaruhi sistem reproduksi betina. Di Kalimantan, jarak
kebuntingan bagi orang utan betina rata-rata adalah tujuh sampai
sembilan tahun dengan satu anak pada tiap kelahirannya. Apabila
sumber daya seperti pakan terbatas, orang utan betina dapat menunda
kebuntingannya. Status orang utan yang berada dalam posisi kritis
dan di ambang kepunahan dapat menghambat upaya penambahan
populasi orang utan di alam.
.168
E. Mempertahankan Hutan dan Orang Utan
Hutan tepi Sungai Menamang adalah oase bagi orang utan yang hidup
di tengah gempuran perubahan habitat yang cepat di sekitarnya. Pun
bagi manusia, keberadaan hutan yang masih hijau dan baik kondisinya
mampu memberikan manfaat, seperti hasil hutan bukan kayu, udara
yang bersih, dan bahkan laboratorium alam bagi sekolah-sekolah di
sekitar hutan. Mengingat pentingnya Hutan Menamang, keberadaan
hutan tepi sungai tersebut perlu dipertahankan. Melindungi hutan
tepi Sungai Menamang tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja
tetapi harus melibatkan pihak lain, seperti perusahaan, masyarakat,
pemerintah daerah, dan sekolah-sekolah yang ada di sekitar kawasan
hutan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi hutan
tepi sungai dan satwa di dalamnya, termasuk orang utan, dalam 20,
50, ataupun 100 tahun ke depan tidak ada pilihan lain kecuali bahu
membahu dalam melindunginya.
Perusahaan dan pemerintah daerah seharusnya berperan aktif
dalam monitoring perkembangan kebun plasma masyarakat agar
perkembangannya tidak sampai mengorbankan hutan. Ketentuan
yang mengharuskan adanya kawasan lindung selebar 50–100 m dari
tepi sungai seharusnya dipatuhi oleh siapa pun. Bagi pihak yang
melanggar, sanksi yang tegas harus diberikan. Pentingnya hutan di
tepi sungai juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
Menyelenggarakan pendidikan konservasi bagi sekolah-sekolah
di sekitar hutan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh
untuk mengenalkan hutan dan orang utan. Sesuai dengan namanya,
dalam pendidikan konservasi terkandung unsur pendidikan yang
berarti sebuah proses untuk mengubah pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat agar lebih menghargai dan mencintai lingkungan.
Dengan mengajarkan pendidikan konservasi sejak dini, diharapkan
akan terbentuk generasi-generasi yang sadar lingkungan. Pendidikan
konservasi dapat dilakukan melalui jalur formal, seperti sekolah,
maupun nonformal. Jika jalur formal yang dipilih tentunya kerja
sama dengan pihak-pihak terkait seperti dinas pendidikan setempat
sangat diperlukan.
169
F. Penutup
Sebuah artikel yang berjudul “Menjaga Orang utan, Hutan, dan Bumi
Kita” dengan lugas menjelaskan mengapa kita harus peduli dengan
orang utan? Sang penulis menguraikan jika kita menjaga orang utan
yang berarti menjaganya dari kepunahan secara tidak langsung kita
akan menjaga keberlangsungan hutan hujan tropis Indonesia. Orang
utan adalah pemakan buah dan penjelajah ulung hutan tropis, di
saat orang utan memakan buah, ia akan menjatuhkan biji-bijian
dari buah yang dimakannya, menjamin terjadinya proses regene-
rasi pohon-pohon hutan. Sebagai satwa arboreal, orang utan akan
menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon, mematahkan
ranting dan cabang sehingga membentuk lubang-lubang pada kanopi
pohon yang memungkinkan sinar matahari menyentuh lantai hutan.
Cahaya matahari akan membangunkan biji-biji pohon untuk berke-
cambah. Singkatnya, dengan adanya regenerasi pohon-pohon hutan,
keberadaan hutan hujan tropis akan lestari. Hutan yang lestari akan
bermanfaat bagi manusia karena perannya sebagai sumber oksigen,
pengendali banjir, penyedia air bersih, dan beragam manfaat lainnya.
Meskipun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang
belum paham akan manfaat keberadaan orang utan. Satwa ini masih
tersisihkan dan kerap menjadi korban dari aktivitas pembangunan
yang mengatasnamakan kesejahteraan. Melestarikan orang utan tidak
akan serta merta dapat dirasakan manfaatnya saat ini, melainkan di
kemudian hari. Lebih baik bagi anak cucu untuk bisa melihat orang
utan secara langsung saat mereka dewasa kelak daripada hanya sebuah
dongeng pengantar tidur yang dibacakan oleh orang tuanya.
Habitat orang utan morio (Pongo pygmaeus morio) pada awalnya
adalah hamparan hutan tropis dataran rendah Borneo yang kom-
pak dengan sumber pakan buah-buahan yang melimpah. Hanya
sungai besar, gunung tinggi dan terjal yang menjadi pembatas antar
populasi saat itu. Sayangnya, saat ini berbagai aktivitas manusia telah
me-ngubah bentang alami tersebut dan menyebabkan populasi orang
utan saling terpisah dan terisolasi satu dengan lainnya. Pengelolaan
skala bentang alam melalui konsep kawasan ekosistem esensial
ditujukan untuk merangkai kembali habitat yang tercerai-berai dan
memberikan harapan baru kehidupan orang utan yang lebih baik.
T.
A. Orang Utan Morio
Orang utan adalah salah satu satwa primata yang paling sering dibi-
carakan dan dibahas dalam seminar dan jurnal-jurnal ilmiah oleh
para primatolog dunia. Satu hal yang membuatnya spesial adalah
keberadaannya sebagai satu-satunya kera besar yang sebaran alaminya
di Benua Asia. Beberapa kerabat dekatnya, yaitu simpanse, gorila, dan
bonobo, hanya ditemukan di Afrika. Pengelompokan yang sangat
dekat, secara taksonomi, dengan manusia dalam famili yang sama,
yaitu Hominidae, menjadikan orang utan menarik untuk dikaji dari
berbagai aspek.
Orang utan kalimantan secara meyakinkan merupakan spesies
tersendiri yang berbeda dengan orang utan sumatra berdasarkan
kajian morfologi dan genetiknya. Fakta genetik ini dibuktikan
berdasarkan hasil penelitian Xiufeng Xu dan Ulfur Arnason, dua
orang peneliti dari University of Lund, Swedia, yang menerbitkan
makalahnya dalam Journal of Molecular Evolution edisi 43 tahun
1996. Penelitian tersebut menganalisis DNA Mitokondria dari sampel
jaringan dan darah orang utan. Hasil penelitian membuktikan bahwa
orang utan sumatra dan orang utan kalimantan terpisah sejak 10 juta
tahun yang lalu. Lebih lanjut, orang utan kalimantan dibagi menjadi
tiga subspesies yang secara geografis terpisah oleh tiga pembatas
sungai besar, Sungai Mahakam, Sungai Barito, dan Sungai Kapuas.
Salah satu subspesies tersebut adalah orang utan morio (P.p. morio)
yang menyebar di Borneo bagian timur dan utara (Groves, 2001).
Sebuah catatan lama menyebutkan bahwa nama morio pertama kali
diberikan oleh Sir Richard Owen, seorang biolog asal Inggris pada
tahun 1836, untuk deskripsi dua buah tengkorak orang utan sebagai
Simia morio.
Orang utan morio memiliki ukuran terkecil dibandingkan dua
subspesies lainnya di Kalimantan. Orang utan tersebut menyebar
di sebelah utara Sungai Mahakam sampai di Sabah, Malaysia.
Hasil Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) orang utan
yang dilaksanakan pada tahun 2016 menyatakan bahwa populasi
orang utan morio baik di habitat alami maupun hasil reintroduksi
Merangkai Kembali Habitat ... 173
diperkirakan sekitar 14.630 individu yang tersebar dalam 17 meta-
populasi (Utami-Atmoko dkk., 2017). Laporan tersebut menyatakan
bahwa metapopulasi Wehea-Lesan adalah salah satu metapopulasi
yang berukuran sedang dengan populasi mencapai 620 individu.
Kelangsungan hidup metapopulasi tersebut termasuk kategori rentan
tergantung pada tingkat kehilangan habitat yang akan terjadi. Bersama
dengan metapopulasi di lanskap Taman Nasional Kutai, metapopulasi
Wehea-Lesan adalah populasi prioritas untuk konservasi orang utan
morio di Kalimantan Timur (Gambar 13.1).
Sumber: Utami-Atmoko dkk. (2017)
Gambar 13.1 Metapopulasi Orang Utan Morio di Kalimantan
Timur
B. Bentang Alam Wehea Kelay
Bentang alam Wehea-Kelay adalah habitat penting bagi orang utan
morio. Arealnya meliputi hamparan hutan hujan tropis yang secara
alami berbatasan dengan Sungai Wehea dan Telen di sebelah selatan;
berbatasan dengan Sungai Kelay di bagian utara; di sebelah timur
dibatasi oleh jalan poros Muara Wahau-Tanjung Redeb; dan sebelah
barat merupakan gugusan pegunungan yang menjadi hulu daerah
aliran sungai (DAS) Telen dan Wehea serta DAS Kelay (Gambar 13.2).
Bentang alam Wehea-Kelay didelineasi menjadi sebuah kawasan eko-
.174
sistem esensial (KEE) seluas 532.143 ha dengan kondisi 67% luasan-
nya berupa dataran rendah dan sekitar 87% arealnya masih berupa
kawasan berhutan (Pokja KEE Wehea-Kelay, 2016). Hutan tropis
dataran rendah di Bentang alam Wehea-Kelay adalah habitat ideal
bagi orang utan sedangkan areal di sebelah barat kondisinya relatif
curam dengan ketinggian berkisar antara 500–1.889 mdpl. Ketinggian
lebih dari 500 mdpl diperkirakan sudah tidak viable bagi habitat orang
utan. Meskipun John A. Griswold, Jr., dalam ekspedisinya The Asiatic
Primate tahun 1937, pernah melihat orang utan pada ketinggian lebih
dari 1.800 mdpl di Sabah, Malaysia (Coolidge, 1940) dan mungkin
saat ini hal tersebut tidak pernah dijumpai lagi.
Sumber: Atmoko dkk. (2018)
Gambar 13.2 Peta Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay
Orang utan adalah satwa bendera (flagship species) di KEE
Wehea-Kelay. Jenis tersebut merupakan jenis karismatik yang
berperan sebagai simbol upaya konservasi di Bentang Alam Wehea-
Kelay. Meskipun demikian, kawasan tersebut juga masih memiliki
keanekaragaman hayati lainnya yang tidak kalah penting, seperti
beruang madu, macan dahan, owa, dan rangkong. Kegiatan survei
keanekaragaman hayati telah dilakukan oleh Forum KEE Wehea-
Merangkai Kembali Habitat ... 175
Kelay dengan melibatkan beberapa anggota forum yang kompeten.
Sejauh ini hasil survei menunjukkan bahwa hutan di kawasan KEE
Wehea-Kelay setidaknya masih memiliki sebanyak 346 spesies pohon
berkayu, 77 spesies mamalia, 271 spesies burung, 47 spesies reptilia,
dan 70 spesies amfibia (Atmoko dkk., 2018). Jumlah spesies tersebut
masih berpotensi untuk bertambah karena sampai tahun 2019 ke-
giatan survei masih terus dilanjutkan.
C. Tekanan Habitat Orang Utan
Secara umum, ancaman terhadap keberadaan orang utan di KEE
Wehea-Kelay ada dua, yaitu ancaman langsung dan tidak langsung.
Ancaman secara langsung di antaranya penebangan hutan baik secara
ilegal maupun secara legal, tetapi tidak menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan terbaik, oleh perusahaan pemegang izin usaha peman-
faatan hasil hutan kayu (IUPHHK), perburuan liar, kebakaran hutan,
dan konversi areal hutan menjadi nonhutan. Sementara itu, ancaman
secara tidak langsung di antaranya adalah penegakan hukum yang
lemah, kebijakan tata ruang, keterlibatan pemegang konsesi yang
masih kurang, anggapan orang utan sebagai hama, dan penguasaan
lahan secara ilegal.
Saat ini bentang Alam Wehea-Kelay telah terbagi menjadi be-
berapa unit manajemen, yaitu hutan lindung dan izin hak guna usaha
(HGU) yang meliputi perkebunan kelapa sawit, hak pengusahaan
hutan (HPH), dan hutan tanaman industri (HTI). Sayangnya pada saat
izin HGU diberikan kepada beberapa perusahaan, tidak ada edukasi
sejak awal terkait pentingnya areal tersebut sebagai habitat orang
utan. Salah satu contoh adalah penggunaan teknik land clearing areal
hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan
dari segala penjuru. Hal tersebut mengakibatkan terperangkapnya
beberapa populasi orang utan di petak-petak hutan tersisa yang tidak
mampu mendukung kehidupan orang utan secara lestari. Selain itu,
areal high conservation value (HCV) ditetapkan tanpa memperhatikan
konektivitas habitat satwa liar dan diambilkan dari areal yang curam
berbatu dan tidak ekonomis jika dikelola untuk produksi.
.176
D. Inisiasi KEE
Berawal dari tantangan, ancaman, dan arti penting Bentang Alam
Wehea-Kelay sebagai habitat penting bagi orang utan maka Pemerin-
tah Provinsi Kalimantan Timur berkomitmen melindungi kawasan-
kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi termasuk di kawasan
habitat orang utan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten
Berau, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, pihak
swasta, The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Adat Wehea
sepakat untuk membangun kesepahaman dalam rangka sinergitas
antarunit manajemen dalam pelestarian orang utan. Kesepakatan
tertuang dalam perjanjian kerja sama pengelolaan kawasan bernilai
konservasi tinggi (KBKT) di kawasan Bentang Alam Wehea seluas
264.480 ha yang ditandatangani para pihak pada tanggal 17 April 2015.
Pada tahap awal terdapat enam unit manajemen yang bergabung,
meliputi tiga perusahaan pemegang izin konsesi IUPHHK-Hutan
Alam, satu pemegang izin konsesi IUPHHK-HTI, satu pemegang
izin perkebunan kelapa sawit, dan satu pengelolaan hutan lindung
oleh masyarakat adat.
Satu tahun setelah kesepakatan para pihak tersebut ditindak-
lanjuti dengan terbitnya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur
tentang Pembentukan Forum Pengelolaan KEE Koridor Orang Utan
Bentang alam Wehea-Kelay. Pada waktu yang hampir bersamaan,
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
membentuk kelompok kerja (Pokja) Fasilitasi Pembentukan Kelem-
bagaan Pengelola Koridor Hidupan Liar Bentang Alam Wehea-Kelay.
Tugas dari pokja tersebut di antaranya adalah menyusun rencana aksi
pengelolaan KEE dan mengumpulkan data serta informasi terkait
KEE koridor hidupan liar dan KBKT Bentang Alam Wehea-Kelay.
Hasil kerja dari pokja selama sekitar empat bulan adalah dokumen
pengelolaan KEE Koridor orang utan Bentang Alam Wehea-Kelay
dengan pendekatan best management practices.
Merangkai Kembali Habitat ... 177
E. Partisipasi dan Peran Multi Stakeholder
Pengelolaan Bentang Alam Wehea-Kelay dalam bingkai KEE Wehea-
Kelay merupakan proses yang dibangun secara bersama-sama oleh
para pihak untuk bersinergi menyelamatkan habitat orang utan dan
satwa liar. Bentang alam Wehea-Kelay, meliputi berbagai unit manaje-
men, di antaranya adalah konsesi IUPHHK, kebun kelapa sawit, dan
hutan lindung.
1) Hutan Lindung
Hutan Lindung Wehea diibaratkan sebagai zona inti KEE Wehea-
Kelay. Pengusulannya sebagai hutan lindung telah dilakukan sejak
2004 oleh pemerintah Kabupaten Kutai Timur bersama Masyarakat
Adat Wehea. Kawasan yang diusulkan adalah kawasan hutan produksi
eks Gruti III yang berada di Kabupaten Kutai Timur. Pada tahun 2013
melalui SK 554/Menhut-II/2013, kawasan hutan produksi eks HPH
PT Gruti III seluas 27.997 ha ditetapkan menjadi Hutan Lindung
Wehea. Saat ini masyarakat sedang berproses untuk pengusulan hutan
adat seluas 24.125 ha dan hutan desa seluas 3.872 ha
Kawasan hutan seluas 38.000 ha pada awalnya adalah areal
konsesi IUPHHK PT Gruti III yang kemudian ditetapkan sebagai
hutan lindung. Masyarakat adat yang berdiam di sekitar Hutan
Lindung Wehea adalah Suku Dayak Wehea yang sangat memahami
pentingnya hutan bagi kehidupan mereka dan anak cucu. Badan Pe-
ngelola Hutan Lindung Wehea bersama Lembaga Adat Dayak Wehea
telah membentuk tim monitoring Hutan Lindung Wehea yang sering
disebut dengan Petkuq Mehuey (PM) yang artinya pasukan penjaga
hutan. Anggota PM berasal dari para pemuda Dayak Wehea yang
bertugas melakukan pengamanan dan monitoring terhadap semua
kegiatan yang ada di dalam hutan lindung.
Pengelolaan dilakukan secara terpadu antara masyarakat adat,
pemerintah daerah, dan swasta. Keberhasilan dalam menjaga dan
mengelola hutan mengantarkan Lembaga Adat Wehea mendapatkan
penghargaan Schooner Prize Award tahun 2008 di Vancouver, Kanada
(Hutan Wehea raih, 2008) . Selanjutnya, pada tahun 2009 Masyarakat
.178
Adat Wehea mendapatkan penghargaan Kalpataru dengan kategori
penyelamat lingkungan (Kalpataru untuk lembaga, 2009).
2) Kebun Kelapa Sawit
Pembangunan perkebunan kelapa sawit melalui konversi hutan di
Kalimantan berpotensi merusak dan menghilangkan habitat orang
utan. Tidak hanya terjadi pada hutan alam primer, tetapi juga pada
hutan sekunder. Hal ini karena orang utan juga banyak dijumpai pada
hutan sekunder. Umumnya pembangunan perkebunan kelapa sawit
diawali dengan kegiatan land clearing. Orang utan yang terjebak pada
petak hutan yang tersisa di tengah hamparan kebun sawit berpotensi
menimbulkan konflik dengan manusia. Hutan yang tersisa biasanya
bertopografi berat dan hanya tersedia sumber pakan terbatas bagi
orang utan. Pada beberapa kasus, konflik terjadi sewaktu bibit sawit
mulai ditanam pada tahun pertama. Saat itu orang utan mulai mencari
asupan pakan lain di dalam areal kebun sawit sehingga tak ayal umbut
tanaman sawit yang masih muda menjadi sasarannya.
Sosialisasi kepada staf dan pengelolaan resolusi konflik dengan
orang utan dan satwa liar lainnya harus menjadi perhatian pihak
manajemen perusahaan. Sebagai panduan dapat menggunakan pe-
tunjuk teknis penanganan konflik manusia-orang utan di dalam dan
sekitar perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan bilingual oleh WWF
Indonesia tahun 2007 (Yuwono dkk., 2007). Petunjuk teknis tersebut
dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit manajemen.
Selanjutnya, petunjuk tersebut dapat diterjemahkan melalui pedoman
dan standard operating procedure (SOP) untuk memudahkan penera-
pannya di lapangan. Sementara itu, KEE Wehea-Kelay sendiri juga
telah menyusun Panduan Pengelolaan Habitat Orang Utan Kalimantan
di Bentang Alam Wehea-Kelay yang dapat menjadi rujukan dalam
mitigasi konflik orang utan-manusia bagi para anggotanya.
3) Areal konsesi HPH
Habitat orang utan di areal HPH masih memberikan ruang bagi
orang utan karena adanya sistem rotasi penebangan. Orang utan
Merangkai Kembali Habitat ... 179
masih mendapat kesempatan untuk berpindah ke tempat yang
kaya akan sumber daya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/
Menhut-II/2009 menyatakan bahwa teknik tebang pilih digunakan
pada hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi, yaitu
hanya memperkenankan penebangan pohon berdiameter ≥ 40 cm
dan diameter ≥ 50 cm pada hutan produksi terbatas dengan sistem
silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) atau tebang rumpang
TR). Rumpang (Gap) yang tercipta akibat penebangan akan kembali
terhubung dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, artinya
hampir seluruh kawasan HPH masih memungkinkan menjadi koridor
bagi pergerakan orang utan. Selain itu, pengelolaan dan kebijakan
perusahaan yang pro terhadap pelestarian orang utan harus terus
ditingkatkan sehingga potensi konflik menurun. Beberapa perusahaan
juga telah melaksanakan reduced impact logging (RIL), yaitu kegiatan
pembalakan yang berdampak rendah terhadap lingkungan.
F. Tata Kelola Learning by doing
Tata kelola KEE Wehea-Kelay dilakukan dalam skala bentang alam
karena mayoritas kawasan berhutan adalah habitat orang utan. Selain
habitat orang utan, bentang alam Wehea-Kelay merupakan daerah
aliran sungai (DAS ) penting bagi Sungai Kelay yang mengalir ke Ka-
bupatan Berau dan Sungai Wehea yang mengalir ke Sungai Mahakam.
Di sisi lain, bentang alam Wehea-Kelay sebagian besar dikelola oleh
beberapa konsesi perusahaan, walaupun sejaitinya habitat orang utan
tidak dapat dibatasi oleh delineasi unit pengelola konsesi. Perencanaan
tata kelola kawasan yang terintegrasi dalam skala bentang alam dapat
melindungi habitat orang utan secara efektif dan efisien. Pengelolaan
secara kolaboratif dilakukan dengan melibatkan para pihak, seperti
pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemegang izin konsesi, dan
masyarakat setempat.
.180
Sumber: Tri Atmoko (2019)
Gambar 13.3 Bagan Kegiatan Pelatihan, Workshop, Kegiatan Lapangan, dan
Hasil Publikasi Forum Wehea-Kelay
Pengelolaan KEE Wehea-Kelay tidak hanya terkait perlindungan
orang utan saja, tetapi juga terkait dengan kegiatan pencegahan ke-
bakaran hutan/lahan, pencegahan perambahan dan perburuan liar,
penelitian, dan kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia
(SDM) (Gambar 13.3). Peningkatan SDM dilakukan terhadap staf
perusahaan dan masyarakat lokal dalam pelatihan teknis, seperti survei
keanekaragaman hayati atau penanganan konflik dengan orangutan.
Setiap unit manajemen membuat perencanaan terkait upaya pelesta-
rian orang utan di arealnya masing-masing dengan selalu menekankan
upaya-upaya preventif dalam mencegah terjadinya konflik orang
utan dengan karyawan perusahaan. Prosedur penanganan terhadap
orang utan yang berpotensi konflik pun terus dikembangkan melalui
learning by doing untuk mendapatkan formula pengelolaan terbaik.
Sosialisasi dan pelatihan teknik monitoring orang utan dan satwa
liar lainnya dilakukan oleh unit manajemen dalam rangka pembekalan
para karyawan. Selanjutnya, melalui payung pokja KEE mereka saling
bersinergi dalam kegiatan pelestarian orang utan. Kegiatan sosialisasi
terhadap staf perusahaan dan berbagai pelatihan bagi staf dan peneliti
Merangkai Kembali Habitat ... 181
anggota forum sering dilakukan dengan dukungan sumber dana dari
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Sebagai implementasi pelatihan, survei telah dilakukan oleh
Forum KEE Wehea-Kelay dengan melibatkan tim peneliti, teknisi,
staf perusahaan, dan Masyarakat Adat Wehea. Kegiatan tersebut di
antaranya adalah survei orang utan dan keanekaragaman hayati lain-
nya di areal hutan lindung dan areal konsesi perusahaan pemegang
HGU dalam wilayah Bentang Alam Wehea-Kelay. Output pelaksanaan
kegiatan dituangkan dalam bentuk berbagai publikasi, baik dalam
bentuk buku, pedoman, maupun makalah ilmiah (Gambar 13.4).
Sumber: Tri Atmoko (2019)
Gambar 13.4 Publikasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial
Wehea-Kelay
G. Penutup
Keberadaan bentang alam Wehea-Kelay sebagai habitat bagi orang
utan morio dan keanekaragaman hayati lainnya sangat penting. Hal
ini dikarenakan orang utan tidak mengenal istilah batasan adminis-
trasi dan unit manajemen. Kesatuan lanskap yang luas dengan hutan
.182
yang saling terhubung diharapkan dapat menjadi habitat terbaik bagi
kelestarian orang utan. KEE Wehea-Kelay terbentuk dengan didasari
semangat yang kuat dari berbagai unit manajemen dan berbagai
stakeholder untuk merangkai kembali habitat orang utan di bentang
alam Wehea Kelay. Harapannya KEE Wehea-Kelay dapat menjadi
monumen alam bertahtakan perhiasan yang indah bernama “Morio”.
Bekantan merupakan primata endemik Kalimantan yang hidup
tersebar pada habitat alam, baik di dalam maupun di luar kawasan
konservasi. Habitat bekantan yang umumnya terdapat di ekosistem
lahan basah sudah banyak diokupasi untuk kepentingan yang bersifat
ekonomi sehingga habitat bekantan makin sempit dan terfragmentasi.
Perlu upaya bersama untuk melestarikan bekantan dari kepunahan,
khususnya habitat bekantan yang terdapat di lahan manusia. Sesung-
guhnya, bekantan dengan perilakunya yang unik, mempunyai nilai
estetik yang dapat diangkat sebagai daya tarik objek wisata. Program
konservasi bekantan dengan berbasis eko-wisata merupakan salah
satu jalan keluar yang dapat dilakukan, yang penting adalah komitmen
semua pihak untuk mendukung program konservasi bekantan.
S.
A. Bekantan, Primata Unik dari Kalimantan
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.1787) adalah jenis satwa yang
termasuk ke dalam ordo Primata, famili Cercopithecidae, dan sub-
famili Colobinae (Jolly, 1972). Bekantan merupakan satwa endemik
Kalimantan sehingga Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ting-
kat I Kalimantan Selatan Nomor 29 Tahun 1990 menetapkan bekantan
sebagai Satwa Identitas Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan
persetujuan DPRD Nomor 161/112/ DPRD, tanggal 28 Maret 1990.
Jenis primata ini tergolong langka, dengan habitat terbatas di hutan
mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi sungai (riverine), dan hutan
rawa air tawar (Salter dkk., 1985). Bekantan juga dijumpai di hutan
karet dan hutan bukit kapur (karst) (Soendjoto dkk., 2005). Selain itu,
bekantan juga dijumpai hidup jauh di daratan yang berjarak 250–300
km dari laut (Soendjoto, 2005). Sayangnya, habitat hutan bakau, hu-
tan sekitar sungai, dan rawa gambut telah banyak terdegradasi oleh
berbagai aktivitas manusia. Berdasarkan Red list yang dikeluarkan
oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada
tahun 2020, bekantan dikategorikan sebagai satwa endangered atau
genting. Bekantan tercatat sebagai satwa dilindungi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.106/2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/
MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa Yang Dilindungi.
Bekantan termasuk jenis primata sexual dimorphisme, yaitu
memiliki perbedaan dimensi antara jantan dengan betina. Panjang
badan-kepala bekantan jantan adalah 73–76 cm (rata-rata 75,5 cm),
sedangkan pada bekantan betina adalah 61–64 cm (rata-rata 62 cm).
Berat bekantan jantan adalah sekitar 20 kg, sedangkan bekantan betina
adalah setengahnya (Gambar 14.1). Selain itu, satwa ini mempunyai
morfologi yang khas, yaitu pada jantan dewasa memiliki hidung yang
besar, menonjol agak menggantung dan memiliki selaput pada jari
kaki dan jari tangannya (Napier & Napier, 1985).
Tantangan dan Peluang ... 187
Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan tercatat
sebesar 3,49% per tahun. Sebelumnya, pada tahun 1995 telah terjadi
penurunan luas 6 tipe ekosistem habitat antara 20–88% (Meijaard &
Nijman, 2000) dan laju penurunan ke enam habitat ini, baik di dalam
maupun di luar kawasan, adalah sebesar 2% per tahun (Manansang
dkk., 2005). Akibatnya, populasi bekantan cenderung menurun ka-
rena primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat. Kawasan
hutan riparian merupakan kawasan yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, kawasan tersebut
sering terokupasi untuk berbagai kepentingan, seperti membangun
areal persawahan, ladang, dan perkebunan kelapa sawit, selain peng-
gunaan sungai sebagai sarana transportasi masyarakat. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya degradasi habitat bekantan.
B. Bekantan di Kalimantan Selatan
Bekantan tersebar hampir di seluruh ekosistem lahan basah di
Kalimantan Selatan, baik di kawasan konservasi maupun di luar
kawasan konservasi, yaitu di areal penggunaan lain (APL). Bekantan
ditemukan di Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Bakut, Cagar Alam
(a) (b)
Keterangan: a. Jantan, b. Betina
Foto: Sofian Iskandar (2014)
Gambar 14.1 Perbedaan Bentuk Tubuh Bekantan
.188
(CA) Pulau Kaget, TWA Pulau Kembang, dan Suaka Margasatwa
(SM) Kuala Lupak. Populasi bekantan di kawasan TWA Pulau Bakut
tercatat sekitar 74 individu, di CA Pulau Kaget 30 individu, SM Kuala
Lupak 170 individu, dan TWA Pulau Kembang 21 individu. Sebaran
bekantan tercatat ditemui pada 10 lokasi di wilayah Kabupaten
Barito Kuala (Soendjoto dkk., 2001), 18 lokasi di Kabupaten Tabalong
(Soendjoto dkk., 2003), 13 lokasi di Kabupaten Balangan, dan 18 lokasi
di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Soendjoto dkk., 2013). Sementara
itu, populasi bekantan di Kabupaten Tabalong dijumpai di 18 lokasi
yang habitatnya sudah berupa kebun, bekas ladang, tepi sungai, hutan
mangrove, dan areal permukiman. Pada beberapa titik pengamatan,
bekantan dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu 20–30
individu dalam satu kelompok, sementara di habitat yang kecil dan
terisolasi, dijumpai beberapa individu saja (Soendjoto dkk., 2013).
Bekantan di Kabupaten Tapin hidup di areal sempadan Sungai
Puting yang sudah terdegradasi (Gambar 14.2). Luas habitatnya yang
semula 1.932 ha menyusut hingga 240 ha. Sebagian besar habitatnya
sudah terokupasi menjadi persawahan, kebun palawija, dan perkebun-
an sawit (Iskandar dkk., 2017). Populasi bekantan di Sungai Puting
pada awal 2013 terhitung sebanyak 258 individu dalam 11 kelompok
(Alikodra & Srimulyaningsih, 2015). Namun, pada sensus yang di-
lakukan tahun 2015, hanya tersisa sekitar 192 individu dalam sembilan
kelompok (Iskandar dkk., 2017). Terlihat jelas bahwa penurunan
luasan dan kualitas habitat dapat mempengaruhi populasi bekantan
di habitat alaminya.
Tantangan dan Peluang ... 189
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: a. Rawa yang ditumbuhi gelam (Melaleuca sp.) dan pulantan (Alstonia sp.);
b. Kondisi di sekitar Sungai Puting di Kabupaten Tapin; c. Bekantan berada di pohon tidur;
d. Aktivitas kelompok bekantan di hutan rawa gelam
Foto: Sofian Iskandar (2014)
Gambar 14.2 Habitat Bekantan di Kabupaten Tapin
C. Kehidupan Bekantan di Habitat Manusia
Bekantan melakukan aktivitas hariannya secara berkelompok. Ak-
tivitas hidup bekantan yang utama adalah menjelajah untuk mencari
sumber pakan. Bekantan merupakan satwa yang melakukan aktivitas
hariannya di siang hari (diurnal), yaitu dimulai sejak terbitnya ma-
tahari hingga menjelang matahari terbenam. Pada habitat bekantan
di Rawa Gelam, Sungai Puting, aktivitas harian dilakukan selama
11–12 jam yang dimulai pada pukul 06.30 dan berakhir pada pukul
18.00 setelah menempati pohon tidur. Dalam satu hari beraktivitas,
bekantan menghabiskan rata-rata waktunya untuk makan 31,1%,
bergerak 14,3%, istirahat 52,13%, dan aktivitas sosial 2,5% (Gambar
14.3) (Iskandar dkk., 2016).
.190
Di habitat rawa gelam, bekantan yang merupakan pemakan daun
mengonsumsi delapan jenis tumbuhan pakan dalam bentuk daun
(89,4%), bunga (6,82%), dan buah (3,78%). Gambar 14.4 menampilkan
jenis pakan yang paling sering dikonsumsi bekantan, yaitu pulantan,
kelakai, tamparah, perupuk, dan paku-pakuan (Iskandar dkk., 2016).
Bekantan memerlukan waktu lebih lama untuk mencerna selulosa
dan serat yang terkandung dalam daun menjadi energi dibandingkan
primata pemakan buah. Struktur pencernaan pada primata pemakan
daun lebih besar dan panjang daripada ukuran tubuhnya sehingga
diperlukan waktu yang lebih lama dalam mencerna dan menyerap
nutrisi yang dihasilkan dari daun dibandingkan buah (Milton, 1981).
Sumber: Iskandar dkk. (2016)
Gambar 14.3 Persentase Proporsi Penggunaan Waktu Aktivitas
Harian pada Empat Kelompok Bekantan di Rawa Gelam, Sungai
Puting
Tantangan dan Peluang ... 191
Kelompok bekantan di habitat Rawa Gelam mempunyai rata-rata
proporsi waktu istirahat 52,13% dari total aktivitas hariannya. Bekan-
tan beristirahat siang pada kisaran waktu antara pukul 09.00 hingga
pukul 15.00. Pada pagi hari (pukul 06.00–09.00), suhu udara pada
habitat bekantan di rawa gelam berkisar antara 32–33°C, menjelang
siang hari suhu udara naik antara 35–36°C, dan kembali menurun
hingga 33–34°C saat sore hari (Iskandar dkk., 2016). Tingginya suhu
udara pada siang hari mempengaruhi pola aktivitasnya di mana be-
kantan memilih untuk beristirahat untuk menghemat energi. Aktivitas
pergerakan dilakukan oleh bekantan untuk mencari sumber pakan
dan tempat beristirahat. Rata-rata proporsi waktu aktivitas bergerak
kelompok bekantan adalah 14,27%. Panjang jelajah harian bekan-
tan bervariasi antara 432–860 meter dengan rata-rata 600,5 meter
(Iskandar dkk., 2016). Pergerakan bekantan di Rawa Gelam dilakukan
dengan berjalan di atas tanah dan melompat dari satu pohon ke pohon
lainnya. Sumber pakan utama di Rawa Gelam adalah daun muda,
buah pulantan, beberapa jenis rumput, dan paku-pakuan. Bekantan
di Rawa Gelam sangat jarang melakukan aktivitas sosial, yaitu hanya
2,5% dari seluruh waktu aktivitas hariannya. Aktivitas sosial yang
Sumber: Iskandar dkk. (2016)
Gambar 14.4 Perbedaan Komposisi Pakan Bekantan Saat
Musim Penghujan dan Kemarau
.192
tercatat adalah menyelisik sebesar 49,15%, bermain 28,81%, dan
lain-lain 22,03% (Iskandar dkk., 2016). Kondisi ini terjadi hampir di
semua jenis primata pemakan daun. Menyelisik merupakan aktivitas
sosial yang paling sering dilakukan oleh bekantan dibandingkan ak-
tivitas sosial yang lainnya. Aktivitas menyelisik merupakan aktivitas
saling membersihkan parasit yang terdapat pada tubuh. Selain itu,
menyelisik juga menandakan kedekatan sosial antara individu yang
melakukannya.
D. Ancaman Kelestarian Bekantan
Penurunan kualitas dan luasan hutan sebagai habitat bekantan
merupakan permasalahan utama dalam melestarikan satwa ini.
Degradasi habitat bekantan relatif cepat karena lahan habitat bekantan
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Habitat tepi sungai adalah areal
yang pertama dibuka oleh masyarakat untuk menginvasi lahan di
belakangnya sebagai pemukiman dan pembukaan lahan untuk perta-
nian hingga terbentuk perkampungan. Kondisi ini akan membentuk
fragmentasi dan degradasi habitat di hutan riparian yang berpotensi
sebagai habitat bekantan dari hulu hingga ke muara sungai.
Sebaran populasi bekantan telah terpencar antara 15–40 km
(Bismark & Iskandar, 2002), sedangkan populasi bekantan yang tersisa
di habitat terfragmentasi berupa ladang dan permukiman telah diang-
gap sebagai hama oleh sebagian masyarakat (Soendjoto dkk., 2005).
Pada tahun 1990 habitat bekantan telah dilaporkan berkurang seluas
49% dan pada tahun 1995 dilaporkan tinggal 39% dan hanya 15% dari
habitatnya berada di kawasan konservasi (Meijaard & Nijman, 2000).
Perkiraan penurunan habitat bekantan sekitar 2% setahun akibat
kerusakan habitat tidak hanya terjadi di luar kawasan konservasi,
bahkan telah memasuki kawasan konservasi.
Habitat bekantan yang spesifik, keterbatasan sumber pakan, dan
kompetisi dengan jenis primata lain, menyebabkan bekantan akan
lebih sensitif terhadap kerusakan habitat. Peningkatan arus lalu lintas
sungai dan eksploitasi hutan telah menyebabkan kerusakan habitat
dan dipercepat lajunya oleh kebakaran hutan, pembalakan liar, serta
Tantangan dan Peluang ... 193
konversi hutan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian.
Kerusakan habitat yang berdampak parah adalah pemanfaatan hutan
mangrove karena tipe ekosistem riverine mangrove ini merupakan
habitat utama bekantan. Degradasi habitat, perburuan, dan konversi
lahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20
tahun. Di kawasan hutan mangrove penurunan populasi bekantan
tercatat sebesar 3,1 persen per tahun (Bismark, 2002). Selain itu, telah
terjadi proses adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan.
Meskipun demikian, bekantan tidak dapat terlepas dari kebutuhannya
terhadap sumber air, danau, dan sungai dengan berbagai tumbuhan
di sempadannya (Soendjoto dkk., 2005).
Perkiraan jumlah total bekantan di Kalimantan adalah 25.000
individu dengan sekitar 5.000 individu berada di dalam kawasan kon-
servasi. Untuk pelestarian bekantan diperlukan pencegahan terhadap
kerusakan, penurunan kualitas, dan luas habitat akibat pembalakan
liar, kebakaran hutan, dan perburuan. Di samping itu, juga diperlukan
pengamanan hutan sempadan sungai yang merupakan mangrove dan
rawa gambut, serta areal perkebunan yang menjadi habitat bekantan.
Berdasarkan hasil analisis Population and Habitat Viability Analysis
(PHVA) bekantan (Manansang dkk., 2004), menurunnya kualitas
dan luasan habitat bekantan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
konversi habitat, pembangunan perkebunan kelapa sawit, tambak
rakyat, pertambangan rakyat, fragmentasi habitat, kebakaran hutan,
habitat dengan kualitas sumber pakan rendah, dan pola penggunaan
lahan.
E. Apa yang Harus Dilakukan untuk Melindungi
Bekantan
Jika ancaman terhadap kelestarian bekantan tidak segera diatasi,
tidak mustahil di masa mendatang akan terjadi kepunahan lokal di
berbagai habitat bekantan. Fragmentasi habitat akibat pemanfaatan
lahan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan yang lestari
populasi menyebabkan bekantan terpencar-pencar dalam sub-sub
populasi. Bahkan, tidak mustahil beberapa sub populasi menjadi
.194
terisolasi. Berbagai upaya harus dilakukan untuk melindungi populasi
bekantan di habitat manusia agar populasi bekantan dapat tetap hidup
dan berkembang biak.
Untuk melaksanakan upaya pelestarian bekantan di habitatnya
maka seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah,
pelaku usaha, masyarakat, dan perguruan tinggi perlu bersinergi
untuk mewujudkannya. Pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, dan
kota memegang peran penting dalam mewujudkan upaya pelestarian
bekantan dengan menerbitkan payung hukum yang dapat dijadikan
landasan bagi pihak terkait. Salah satu payung hukum yang pen-
ting adalah peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Dengan dasar Peraturan Daerah tersebut maka areal habitat bekantan
dapat ditetapkan sebagai kawasan perlindungan khusus.
Perlindungan bekantan di habitat manusia tidak perlu mengubah
status lahan yang ada menjadi kawasan konservasi, melainkan hanya
dengan menata pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan agar tetap
dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Namun, juga
tetap mempunyai fungsi ekologis bagi kehidupan bekantan. Berbagai
alternatif pengelolaan lahan dapat direncanakan, tetapi hal utama
yang harus dilakukan adalah mengembalikan habitat bekantan sesuai
dengan kebutuhan minimum habitat bekantan.
Untuk menyelamatkan bekantan, kegiatan restorasi habitat
merupakan hal utama yang harus dilakukan. Restorasi yang dilakukan
harus mampu menyediakan pohon sumber pakan untuk pergerakan
dan tempat beristirahat. Selain pohon untuk kebutuhan bekantan,
ditanam juga jenis pohon yang dapat memberikan manfaat ekonomi
bagi masyarakat. Jika restorasi habitat bekantan sudah memperlihatkan
keberhasilannya, kawasan tersebut dapat juga dikembangkan sebagai
daerah tujuan wisata minat khusus. Pengembangan kegiatan ekowisata
berbasis satwa liar sangat berpotensi untuk memberikan kontribusi
tidak saja bagi masyarakat, tapi juga bagi pemerintah daerah setempat.
Pengembangan kegiatan ekowisata berbasis satwa liar, secara
langsung maupun tidak langsung, dapat memberikan manfaat lain
dari segi ekonomi masyarakat. Banyak pihak yang dapat berkontribusi
Tantangan dan Peluang ... 195
dalam kegiatan ekowisata tersebut. Masyarakat dapat dilibatkan dalam
pengelolaan ekowisata tersebut sebagai penyedia jasa transportasi,
homestay, pedagang makanan, dan cendera mata. Bagi pemerintah,
kegiatan ekowisata dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD).
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan
bekantan perlu dilakukan, salah satunya melalui program penyadar-
tahuan. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai cara seperti penyebaran poster, penyuluhan ke sekolah,
dan ke desa-desa sekitar habitat bekantan. Dalam pelaksanaannya,
sebaiknya juga melibatkan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan pemuda.
F. Penutup
Bekantan adalah salah satu jenis primata endemik Kalimantan dan
merupakan salah satu kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia
yang harus dijaga kelestariannya. Konservasi bekantan selayaknya
menjadi salah satu perhatian utama dari berbagai pihak. Keberadaan
bekantan di suatu wilayah dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
sebagai salah satu sumber pendapatan negara dan masyarakat, di anta-
ranya melalui pengembangan program ekowisata. Target dan tujuan
pembangunan berkelanjutan adalah keberlanjutan dari sisi ekologi,
ekonomi, dan sosial. Dengan melestarikan bekantan sebagai salah
satu jenis kekayaan hayati Indonesia, diharapkan dapat memberikan
nilai tambah ekonomi dan sosial bagi masyarakat lokal.
Sigung (Mydaeus javanensis) adalah satwa yang unik. Terbatasnya
informasi bioekologis yang diketahui dari mamalia kecil (small
mammal) ini, membuat sigung termasuk kategori least concern dalam
IUCN Red Data List. Bagi sebagian masyarakat asli Indonesia seperti
suku Orang Rimba, sigung memiliki nilai kultural yang masih melekat
kuat hingga saat ini. Sejalan dengan waktu, tutupan lahan berubah
menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan manusia pada eranya. Di
era biofuel ini, komoditas tanaman penghasil minyak nabati men-
jadi sangat penting artinya bagi ketahanan pangan dan energi suatu
bangsa. Sawit telah menjadi andalan perekonomian bangsa kita, bah-
kan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar di
dunia. Dengan realitas saat ini di mana perkebunan sawit berkembang
luas, tentu ada pertanyaan muncul di benak kita, mungkinkah sigung
bisa bertahan di lanskap yang telah berubah? Tulisan ini membawa
kita melihat lebih jauh kondisi yang sering kali dianggap kontroversi
ini. “Kacamata” ilmiah digunakan dengan cara melihat data dan fakta
dari rangkaian hasil riset yang pernah dilakukan oleh berbagai peneliti
dan praktisi.
A. Mengenal Sigung
Mungkin banyak dari kita yang tidak mengenal sigung sebaik kita
mengenal satwa lainnya, seperti orang utan, rusa, badak, atau hari-
mau. Dari segi penampilan, sekilas sigung tampak seperti musang,
tetapi dengan bentuk tubuh yang sedikit berbeda. Keunikannya
adalah rambut di tubuh sigung lebat, panjang, dan berwarna hitam
atau coklat, sedangkan rambut berwarna putih tumbuh dari kepala
bagian atas, punggung, hingga ekor (Gambar 15.1). Dalam bahasa
lokal di Kalimantan, sigung biasanya dikenal dengan nama teledu,
telegu, kesensedu, kensedu, atau sadu/sa’at. Dalam ilmu taksonomi,
sigung yang memiliki nama ilmiah Mydaeus javanensis ini tergolong
ke dalam kelas Mamalia.
Sumber: U.Name.Me (2018)
Gambar 15.1 Profil Preparat Sigung di Museum Natural History
di Vienna
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 201
Perilaku sigung cukup unik, yaitu aktif mencari makan di malam
hari (nokturnal), sedangkan di siang hari (diurnal) waktunya lebih
banyak dihabiskan dalam lubang di dalam tanah. Makanan kesu-
kaannya adalah cacing tanah, serangga, bagian tumbuhan, bahkan
binatang yang telah mati. Oleh karena jenis makanannya itu, sigung
dikelompokkan sebagai satwa karnivor, walaupun sebagian ahli
berpendapat dia juga memiliki karakter satwa omnivor.
Sigung adalah satwa yang cukup menarik dan memiliki kekhasan
yang bisa jadi tidak dimiliki oleh satwa lain, yaitu mengeluarkan bau
busuk dari kelenjar di dekat ekor. Saat merasa terganggu, sigung
menggunakan bau tersebut untuk mengusir dan menghindar dari
bahaya. Cairan yang berbau tersebut dapat menyebabkan pingsan
pada manusia, bahkan kerusakan mata pada binatang (Nowak, 1999).
Di alam, sigung sering kali dijumpai di Pulau Kalimantan yang
menjadi bagian wilayah Indonesia dan Malaysia. Di luar itu, beberapa
ahli menyatakan sigung secara terbatas hanya bisa dijumpai di Jawa,
Sumatra, dan Kepulauan Natuna. Berdasarkan distribusinya ini, Sigung
M.j. javanensis ini terdiri atas tiga subspecies, yaitu M.j.javanensis
yang umum ditemukan di Jawa, M.j. lucifer umum ditemukan di
Kalimantan, dan M.j.ollula umum ditemukan di Kepulauan Natuna
bagian utara (Long & Killingley, 1983; Hwang & Lariviere, 2003).
Selain karena sebarannya yang terbatas, sigung adalah satwa yang
tidak mudah dijumpai sehingga pengetahuan tentang bioekologinya
belum cukup memadai. Menemukan dan mendokumentasikan sigung
secara langsung adalah tantangan tersendiri, karena sifat nokturnalnya
membuat waktu perjumpaan sering kali sangat singkat. Dalam
sepuluh tahun terakhir, beberapa peneliti mencoba menguak lebih
jauh tentang wilayah penyebarannya. Salah satunya dilakukan oleh
Rustam dan Giordano (2014) yang menemukan keberadaan sigung di
hutan Kalimantan Utara. Mereka menyebut temuan tersebut adalah
temuan ke-10 dari catatan-catatan sebelumnya sejak 2012 di wilayah
tersebut. Pada umumnya, sigung tersebut dijumpai di hutan sekunder
dan primer dekat sungai dan areal persawahan. Samejima dkk. (2016)
mencoba menginventarisasi catatan tentang keberadaan sigung di
.202
empat wilayah Kalimantan di Indonesia (Barat, Timur, Tengah,
Selatan) selama periode sejak akhir abad 19 hingga awal abad 20.
Hasil penelitian mereka tersebut menunjukkan sebaran sigung di
Kalimantan belum tercatat dengan baik karena terbatasnya bukti dan
dokumentasi yang diperoleh, serta bias survei karena beragamnya
metode yang digunakan. Meskipun demikian, Samejima dan tim
berhasil mengidentifikasi pola sebaran habitat untuk sigung, meliputi
wilayah timur-utara Kalimantan sebagai wilayah yang lebih sesuai
serta wilayah barat-selatan sebagai habitat yang kurang sesuai. Setelah
itu, Wong dkk. (2018) berhasil mendokumentasikan 323 catatan ke-
beradaan sigung di tiga wilayah hutan di Malaysia. Sebanyak 19.875
tangkapan camera trap malam hari diperoleh selama kurun waktu
2008–2010 dan 2014–2015.
Data terbaru mengenai sigung di Kalimantan dilaporkan oleh
Meijaard dkk (2019), yaitu diketahui tujuh penemuan terbaru ke-
beradaan sigung di Kalimantan pada habitat yang beragam, mulai
dari hutan Dipterocarpa dataran rendah, hutan rawa gambut dan air
tawar, area sub-urban seperti lahan pemukiman dan pertanian, hingga
perkebunan kelapa sawit. Hasil-hasil penelitian ini memberikan
gambaran bahwa sigung menempati habitat yang sangat beragam.
B. Polemik Keanekaragaman Hayati dan Kebun Sawit
Indonesia tidak saja menjadi “rumah” bagi sigung, tapi juga bagi jutaan
keragaman hayati tropis lainnya. Kalimantan sendiri sebagai habitat
utama sigung adalah salah satu hotspot keanekaragaman hayati tropis
utama di Indonesia. Indonesia terkenal dengan jargon sebagai negara
megabiodiversity sekaligus agraris pada saat bersamaan. Kondisi
ini tidaklah mudah bagi Indonesia sebagai negara berkembang de-
ngan populasi penduduk yang tinggi karena wilayah-wilayah yang
menjadi hotspot keanekaragaman hayati juga sekaligus merupakan
area budi daya potensial. Secara umum negara-negara tropis yang
mengandalkan perekonomiannya pada pertanian juga merupakan
wilayah sebaran dan hotspot keanekaragaman hayati dunia. Kondisi
tersebut menyebabkan sering terjadinya konflik (Molotoks dkk.,
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 203
2017). Bahkan, Indonesia tergolong salah satu wilayah dengan risiko
konflik tertinggi di dunia (Gambar 15.2).
Jika di zaman orde baru negara kita pernah sukses dengan
swasembada beras, saat ini kelapa sawit adalah komoditas paling po-
puler di Indonesia. Tidak ada komoditas pertanian yang paling besar
kontribusinya bagi perekonomian Indonesia selain kelapa sawit. Data
Bappenas tahun 2018, menyebutkan kontribusi kelapa sawit terhadap
produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2017 mencapai 3,47% dan
berhasil menyerap 16,2 juta tenaga kerja. Tidak salah jika kemudian
Indonesia bersama-sama dengan Malaysia, menjadi negara penghasil
dan pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, dengan kontribusi
sebesar 85% dari total produksi dunia.
Sumber: Molotoks dkk. (2017)
Gambar 15.2 Tingkat Risiko Akibat Konflik Biodiversitas dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam di Berbagai Negara di Dunia
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memang berkembang
sangat pesat. Hingga tahun 2019, luas perkebunan kelapa sawit telah
mencapai luas 16,4 juta hektar yang tersebar di semua pulau besar
di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi alam Indonesia
yang subur. Tidak salah jika ada pepatah yang mengatakan “tongkat
ditanam pun jadi tanaman”. Posisi geografis Indonesia yang terletak
di khatulistiwa dengan sinar matahari melimpah, curah hujan, serta
.204
kondisi tanah yang mendukung adalah anugerah terbesar bagi rakyat
Indonesia. Kelapa sawit adalah tanaman tropis, dan sejauh ini, kelapa
sawit dapat tumbuh subur dan berproduksi tinggi hanya di wilayah
tropis. Tidak mengherankan jika kelapa sawit menjadi andalan
komoditas Indonesia dan menjadi pesaing bahkan ancaman bagi
negara-negara produsen minyak nabati lain di dunia.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai
negara megabiodiversity kemudian menuai polemik dan kontroversi.
Deforestasi menjadi topik yang cukup “sensitif " karena terkait de-
ngan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dianggap berasal dari
pembukaan hutan primer, seperti yang terungkap dari beberapa
hasil penelitian Koh dan Wilcove (2008), serta Vijay dkk. (2016).
Sejak perkebunan kelapa sawit berkembang pesat dan menjadikan
Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia,
tudingan negatif mengenai deforestasi hutan primer di Indonesia
terus menjadi isu utama di kalangan negara-negara Eropa sebagai
negara-negara tujuan ekspor utama sawit Indonesia.
Namun demikian, fakta juga menunjukkan bahwa perkebunan
sawit di Indonesia dibangun pada berbagai tipe tutupan lahan. Ada
sederet hasil penelitian yang membuktikan hal tersebut. Gunarso
dkk. (2013) mengungkap bahwa satu-satunya penyebab terbesar
hilangnya hutan di Indonesia adalah berkaitan dengan penebangan
tidak lestari dan diikuti oleh kebakaran hutan, yang kemudian mem-
bentuk perubahan sejumlah besar area lanskap hutan menjadi area
pertanian dan semak belukar. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit
justru dibangun pada areal nonhutan, bekas konsesi kehutanan, areal
pertanian, atau perkebunan (Santosa dkk., 2016; Austin dkk., 2017).
Bahkan, wilayah Kalimantan dinyatakan bahwa sumber terbesar lahan
untuk perkebunan baru berasal dari semak dan padang rumput (48%
atau 1,3 juta ha) (Gunarso dkk., 2013). Beberapa hasil penelitian
terakhir juga menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi areal
perkebunan di Indonesia cenderung terus menurun (Gaveau dkk.,
2016; Austin dkk., 2017). Sebuah kajian ekologi spasial kemudian
turut memperkuat argumen mengenai asal usul lahan beberapa
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 205
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan yang berasal dari semak,
bekas areal perladangan, dan hutan sekunder (Kwatrina dkk., 2019).
Terlepas dari berbagai hasil riset ilmiah yang ada, sejauh mana
kelapa sawit telah berkontribusi terhadap deforestasi masih terus
menjadi perdebatan. Hari-hari ini, keberadaan sigung dan satwa
liar lainnya di Kalimantan juga terus menjadi sorotan karena ting-
ginya pemanfaatan lahan untuk tujuan ekonomi dan pembangunan.
Kalimantan yang memiliki luas areal perkebunan sawit kedua terbesar
di Indonesia setelah Riau (28,83% dari keseluruhan luas areal sawit
di Indonesia) menghadapi sederet permasalahan perubahan dan alih
fungsi hutan dan lahan yang kemudian seolah menjadi momok yang
menakutkan bagi kelangsungan keanekaragaman hayati.
C. Lanskap Mosaik Perkebunan Sawit dan Masa
Depan Konservasi Sigung
Dalam peradaban manusia, sumber daya alam selalu menjadi tump-
uan dan modal pembangunan. Bahkan organisasi pangan dunia WHO
pada tahun 2003 menyebutkan, hampir 75% dari populasi dunia
menyandarkan kebutuhan hidup primernya pada keanekaragam an
hayati. Di tengah sorotan dunia, Indonesia harus membuktikan diri
sebagai negara yang punya perhatian besar terhadap konservasi
keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga
sejalan dengan komitmen Indonesia secara global terhadap pencapai-
an tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development
Goals (SDG’s).
Salah satu ciri pembangunan berkelanjutan adalah efisiensi dan
efektifitas. Konservasi keanekaragaman hayati harus menjamin ke dua
kriteria tersebut juga berlaku di lanskap perkebunan sawit. Bagaimana
itu bisa dilakukan?
1. Memahami konsep pengelolaan
Memahami ‘lanskap’ dan ‘ekosistem’, dua konsep dalam mengelola
keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Forman dan
Godron (1986) mendefinisikan lanskap sebagai sebuah areal het-
.206
erogen yang tersusun dari ekosistem yang berinteraksi. Sementara itu
menurut Odum (1971), ekosistem ialah organisme-organisme hidup
dan lingkungan tidak hidupnya (abiotik) yang berhubungan erat tak
terpisahkan dan saling memengaruhi satu sama lain.
Lanskap perkebunan sawit memiliki kedua karakteristik lanskap
dan ekosistem, yang dicirikan oleh beberapa tipe habitat yang secara
ekologis saling terhubung satu sama lain. Dalam satu hamparan kebun
sawit dapat ditemukan kebun sawit muda, kebun sawit sedang, kebun
sawit tua, semak belukar, bahkan hutan sekunder berupa patch hutan
di antara hamparan kebun sawit. Patch hutan tersebut sering kali
kemudian ditetapkan sebagai area bernilai konservasi tinggi, sebuah
area yang menjadi hotspot dan rumah bagi beragam jenis tumbuhan
dan satwa liar. Setiap habitat memiliki keunikan dan nilai pentingnya
masing-masing. Areal kebun dan semak belukar berfungsi sebagai
areal mencari makan/mangsa, sedangkan patch hutan lebih banyak
berfungsi sebagai kover atau tempat berlindung bagi satwa. Selain itu,
hutan juga menyediakan habitat bagi beberapa spesies spesialis, yaitu
jenis yang memerlukan kondisi habitat khusus, seperti keberadaan
pohon dengan strata yang lebih lengkap. Keseluruhan tipe-tipe habitat
pada perkebunan kelapa sawit dan wilayah sekitarnya ini merupakan
sebuah lanskap yang berfungsi sebagai sebuah ekosistem mosaik.
Konsep yang diperkenalkan oleh Wiens (1995) ini menyatakan bahwa
prinsip lanskap mosaik adalah heterogenitas, di mana terdapat lebih
dari satu elemen pada suatu lanskap. Makin beragam elemennya maka
makin membentuk variasi dan kompleksitas secara spasial. Pendekatan
mosaik dapat menyediakan landasan ilmiah untuk berbagai masalah
konservasi berbasis ekologi (Hitchman dkk., 2018).
Walaupun pengetahuan kita tentang ekologi sigung masih
terbatas, tetapi hasil-hasil penelitian yang ada memberikan kita
pengetahuan bahwa sigung termasuk satwa yang cukup adaptif
dan mampu hidup pada ragam habitat yang luas, termasuk lanskap
perkebunan sawit. Mengapa? Karena sigung adalah satwa yang tidak
sepenuhnya tergantung pada keberadaan hutan. Hwang dan Lariviere
(2003) menyatakan, secara ekologi sigung hidup di hutan sekunder
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 207
dan area terbuka seperti kebun yang berbatasan dengan hutan, bahkan
dalam lubang di area hutan yang terbuka. Untuk dapat berperan se-
bagai habitat sigung, lanskap mosaik perkebunan kelapa sawit harus
memenuhi komponen dasar kebutuhan hidup satwa liar, di antaranya
sumber pakan, tempat hidup, dan tempat berlindung. Sigung sangat
suka mencari pakan di permukaan dan di dalam tanah. Beragam kelas
umur tanaman sawit, semak belukar, serta patch hutan menciptakan
iklim mikro yang memungkinkan hidupnya berbagai satwa mangsa
dan biota, seperti serangga, cacing, dan tumbuhan. Ini terbukti pada
salah satu penelitian di tahun 2018, di mana camera trap malam hari
menangkap aktivitas sigung sedang mencari pakan pada area kebun
sawit tua (Gambar 15.3).
Foto: Yanto Santosa (2018)
Gambar 15.3 Sigung tertangkap Camera Trap di
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah tahun 2018.
2. Area bernilai konservasi tinggi
Menjadikan area bernilai konservasi tinggi, atau biasa disebut
ABKT, sebagai sentra dari rangkaian mosaik habitat dalam kon-
servasi keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit. Peran
yang dimainkan ABKT sangat penting, di mana area ini berkontri-
.208
busi sebesar 30–50% spesies mamalia kecil dari keseluruhan lanskap
mosaik perkebunan kelapa sawit (Gambar 15.4). ABKT ini harus
efektif agar dapat berfungsi secara ekologis bagi kehidupan sigung.
Ada sederet prasyarat dan kriteria agar sebuah area ABKT menjadi
efektif, di antaranya harus memiliki luas yang representatif dengan
mempertimbangkan luas area efektif bagi flagship species, top predator,
atau umbrella species, serta pertimbangan jarak terhadap jalan dan
permukiman. Konektivitas antarhabitat di dalam lanskap perkebunan
terwakili oleh ABKT yang terletak di sepanjang sungai (Kwatrina,
2018).
Foto: Rozza Tri Kwatrina (2017)
Gambar 15.4 Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) dan
Kebun Sawit Sebagai Bagian Habitat Sigung di Lanskap
Mosaik Perkebunan Kelapa Sawit
Keberadaan ABKT menjadi strategis karena mampu me-
ningkatkan heterogenitas dan meminimalkan dampak dari mitos
“homogenitas perkebunan monokultur” yang terlanjur melekat kuat
pada perkebunan sawit. Beberapa kajian kami lakukan pada kelompok
satwa mamalia, herpetofauna, burung, dan kupu-kupu untuk melihat
dampak perkebunan sawit terhadap kelimpahan dan keanekaragaman
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 209
jenis satwa liar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak
ekologis tersebut tidaklah seragam, melainkan beragam sesuai dengan
taksa satwanya. Sebagian memang berdampak terhadap hilangnya
spesies (biodiversity loss), tetapi sebagian lainnya justru menyebabkan
bertambahnya jumlah spesies (biodiversity gain).
Kehadiran sigung sebagai satwa karnivor dan penyeimbang
dalam ekosistem ialah bukti bahwa rantai makanan dapat berjalan
karena tersedianya sumber pakan dan mangsa bagi sigung. Dalam
rantai makanan tersebut, sigung berperan sebagai satu mata rantai
dari keseluruhan tingkat tropic dalam ekosistem perkebunan kelapa
sawit (Tabel 15.1). Hal ini sekaligus membuktikan bahwa proses
ekologi dapat berjalan melalui berbagai tingkatan tropik yang tersebar
di lanskap perkebunan kelapa sawit (Gambar 15.5).
Tabel 15.1 Kelompok Spesies Satwa Berdasarkan Tingkat Tropik pada Piramida
Makanan pada Lanskap Perkebunan Kelapa Sawit
Tingkat tropik Spesies
Top predator Elang
Konsumen tingkat III Kucing hutan, sigung, biawak
Konsumen tingkat II Ular, Primata, burung insektivor, burung omnivor,
burung karnivor
Konsumen tingkat I Burung frugivora, burung granivora, burung nektarivo-
ra, burung omnivor, serangga Lepidoptera, tikus, bajing,
Amfibi, artropoda, Primata, babi, kadal
Produsen Biji, buah, daun, nektar, serasah
Sumber: Kwatrina (2018)
.210
Gambar 15.5 Ilustrasi sebaran beberapa kelompok mamalia dan hubungannya
dengan kelompok lainnya (burung, herpetofauna, dan serangga lepidoptera) pada
berbagai kelas umur tanaman kelapa sawit dan ABKT di lanskap perkebunan
kelapa sawit
Perubahan dan alih fungsi lahan tidak dipungkiri akan menim-
bulkan dampak secara ekologi. Namun, kita dapat menaruh harapan
bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai andalan komoditas Indonesia
dapat dikelola secara berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip-
prinsip ekologi dan konservasi. Agar semua tujuan dan manfaat
kelestarian ekologis, ekonomis, dan sosial dapat tercapai maka suatu
Mungkinkah Melestarikan Sigung ... 211
ABKT harus efektif. Bagaimana tidak, peran ekologis yang dimainkan
oleh sigung sebagai satwa karnivor dalam ekosistem dapat memi-
nimalkan biaya yang diperlukan untuk mengontrol populasi satwa
yang berpotensi sebagai hama dalam pengelolaan perkebunan. Pada
akhirnya, keseluruhan proses ekologi dalam lanskap akan membuat
pengelolaan menjadi efektif.
D. Penutup
Jika kita kembali pada pertanyaan di awal, ”Mungkinkah konservasi
sigung dilakukan di lanskap perkebunan kelapa sawit?” Dengan op-
timis kita bisa menjawab, sangat mungkin. Dengan mengoptimalkan
peran ABKT, konservasi keanekaragaman hayati tidak saja hanya
menjadi domain area konservasi tetapi juga area produksi. Selama
prinsip-prinsip ekologis dan heterogenitas habitat pada lanskap
mosaik diterapkan, Indonesia tidak saja dapat memproduksi kelapa
sawit secara berkelanjutan, tetapi juga sekaligus melestarikan sigung.
Sering kali ketika mendengar kata ular maka yang terbayang adalah
reptil melata yang mengerikan, menjijikkan, dan berbahaya. Sejak
kecil kita telah terdoktrin tentang betapa berbahaya dan mengerikan-
nya ular. Semua jenis ular dianggap berbisa, agresif, dan mematikan
sehingga sudah sepantasnya dibunuh dan dimusnahkan. Dogma
tentang ular yang berbahaya ini tidak semuanya benar, pasalnya
beberapa jenis ular tidak berbisa dan cenderung tidak agresif, salah
satunya adalah sanca batik. Bahkan sanca batik menjadi salah satu
jenis reptil yang sering diperdagangkan karena kulitnya yang cantik,
dan akhir-akhir ini makin populer sebagai hewan peliharaan (pet).
A. Tak kenal maka tak sayang
Sanca batik dikenal juga dengan nama lokal sanca kembang, sanca
timur laut, ular sawah, atau ular petola. Dalam bahasa Inggris, sanca
batik dikenal sebagai reticulated python atau kerap disingkat retics.
Penyebaran sanca batik, meliputi Bangladesh, India, Laos, Malaysia,
Myanmar, Thailand, dan Vietnam (Das, 2015). Khusus penyebarannya
di Indonesia mulai dari pulau Anambas, Banda Besar, Bangka Belitung,
Sulawesi, Sumatra, Jawa, Sumba, Ternate, Timor, dan Verlate (Orr,
2015). Jenis ini pertama kali dideskripsikan sebagai Boa reticulata
oleh naturalist asal Jerman, Johann Gottlob Theaenus Schneider pada
tahun 1801. Perubahan tata nama binomialnya terjadi beberapa kali.
Perubahan pertama menjadi Python reticulatus (Relox dkk., 2011),
kemudian pada awal tahun 2000, Hoser melakukan reklasifikasi
genusnya menjadi Broghammerus (Rawlings dkk., 2008). Perubahan
terjadi lagi pada tahun 2011, dengan mengembalikan genus ke Python
(Relox dkk., 2011). Perubahan nama terakhir terjadi di tahun 2014,
di mana Python reticulatus menjadi Malayopython reticulatus (Barker
dkk., 2015).
Sanca batik merupakan jenis ular dari suku Pythonidae yang
berukuran besar dan memiliki ukuran tubuh terpanjang di antara
jenis ular lain. Sanca batik ternyata memiliki ukuran tubuh yang lebih
panjang dibandingkan anakonda (Eunectes murinus) yang merupa-
kan ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Selama masa
hidupnya, panjang tubuh sanca batik dapat mencapai 15 meter dan
bobot badan dapat mencapai 158 kg (Mexico, 2008).
B. Keunikan Kulit Sanca Batik
Keunikan sanca batik dibanding dengan ular jenis lain adalah ter-
letak di kulitnya. Kulit sanca batik seperti namanya, bercorak dan
menyerupai batik. Layaknya batik, ular ini memiliki motif punggung
menyerupai rantai dengan warna dasar perak abu-abu atau cokelat,
bergaris tepi warna hitam, kuning, atau oranye. Terdapat juga bintik-
bintik berwarna terang di samping badannya. Jika dilihat di bawah
sinar matahari, seluruh tubuh ular ini seperti memantulkan warna
tiga dimensi (hologram). Bagian bawah kulit ular ini berwarna putih
dan kebanyakan tidak memiliki motif/polos. Masing-masing sanca
batik memiliki keunikan pada motif dan warna kulitnya berdasarkan
daerah sebarannya.
Sanca Batik, Sang ... 217
Sanca batik di pulau Jawa identik dengan warna yang lebih
cerah, perpaduan krem kuning bercampur dengan coklat atau
perak (Gambar 16.1), sedangkan sanca batik di pulau Kalimantan
warna dasar kulitnya lebih gelap dibandingkan di Jawa atau Sumatra
(Gambar 16.2). Selain itu, terdapat sanca batik albino yang memiliki
perpaduan warna kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal dengan
pola lingkaran berbentuk jala. Sanca batik karamel adalah jenis hasil
persilangan antara indukan sanca batik corak gelap dengan sanca batik
albino (Gambar 16.4). Jenis sanca batik karamel, sepanjang tahun
2016 sampai sekarang adalah jenis yang paling banyak dicari untuk
peliharaan (pet) oleh para pecinta retics karena keunikan corak dan
warnanya.
Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)
Gambar 16.1 Sanca Batik dari Pulau Jawa
.218
Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)
Gambar 16.2 Sanca Batik dari Pulau Kalimantan
Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)
Gambar 16.3 Sanca Batik Albino
Sanca Batik, Sang ... 219
Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)
Gambar 16.4 Sanca Batik Karamel
C. Satwa Adaptif
Sanca batik hidup di hutan-hutan tropis yang lembab (Mattison,
2005). Ular ini bergantung pada ketersediaan air sehingga sering
dijumpai tidak jauh dari genangan air, seperti sungai, sawah, kolam,
dan rawa. Sanca batik sering ditemukan masuk ke pekarangan bahkan
rumah penduduk, karena habitat ular ini termasuk sangat fleksibel.
Hal ini menandakan sanca batik mempunyai tingkat toleransi dan
adaptif yang tinggi terhadap keberadaan manusia (Sihombing &
Takandjandji, 2019). Tingkat adaptif sanca batik terhadap keberadaan
manusia tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya, ular sanca batik tetap bisa bertahan dalam kondisi habitat
yang langsung bersinggungan dengan aktivitas manusia. Sementara
itu, dampak negatifnya adalah sanca batik menjadi mudah ditemu-
kan karena tingginya tingkat perjumpaan dengan manusia sehingga
mudah untuk ditangkap dan diperjualbelikan.
.220
Sanca batik merupakan satwa ektotermik, artinya ular ini tidak
memiliki kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup untuk
menjaga diri mereka tetap hangat. Oleh karena itu, sanca batik tergan-
tung pada sumber panas lingkungan, seperti cahaya matahari. Hal ini
menjelaskan mengapa sebagian besar satwa ektotermik terbatas pada
bagian-bagian dunia yang memiliki dua musim dan mengapa sanca
batik sering terlihat berjemur di tempat yang terbuka. Selain untuk
memenuhi kebutuhan panas tubuh, berjemur juga dibutuhkan sanca
batik untuk proses metabolisme dan mencerna makanan (Mattinson,
2005). Suhu normal yang dibutuhkan sanca batik rata-rata adalah
26,5–31oC (Takandjandji dkk., 2018). Jadi, jika suhu terlalu panas
atau sebaliknya terlalu dingin, sanca batik akan lebih banyak diam
untuk meminimalisasi energi yang terpakai.
D. Predator Pembelit
Sanca batik merupakan hewan yang aktif di malam hari (nokturnal)
dan memiliki kemampuan menyamarkan diri (kamuflase) yang sangat
baik untuk memudahkan menangkap mangsa. Berdasarkan hasil pe-
nelitian, sanca batik tidak agresif, ular jenis ini cenderung menunggu
mangsa hingga berada cukup dekat dengannya supaya dapat dililit
dan dilumpuhkan. Mangsa yang dililit sanca batik biasanya sulit untuk
meloloskan diri karena lilitan yang sangat kencang dapat membuat
mangsa kesulitan bernapas, bahkan kebanyakan mengalami kematian
setelah kehabisan napas dan mengalami patah tulang. Ular ini lantas
menelan mangsa mulai dari kepala sampai semua bagian tubuhnya.
Hal yang unik dari cara makan ular jenis ini adalah mereka bisa men-
gonsumsi mangsa yang lebih besar dari tubuhnya. Rahasianya terletak
dari rahang sanca batik yang tidak memiliki engsel, artinya rahang
atas dan bawah tidak dihubungkan oleh tulang sehingga terpisah
antara bagian atas dan bawahnya. Hal ini memudahkan ular sanca
menelan makanan berukuran yang lebih besar dari mulutnya sampai
habis tak bersisa. Rata-rata waktu untuk menelan semua bagian tubuh
mangsa tergantung dari ukuran mangsa. Jika ukuran mangsa kecil
hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit, tetapi jika mangsa yang
Sanca Batik, Sang ... 221
dikonsumsi cukup besar, sanca batik membutuhkan waktu sampai
dengan 3 jam untuk menelan seluruh bagian tubuh mangsa.
Setelah makanan berhasil ditelan secara utuh, ular sanca batik
tidak akan makan dan bersembunyi maupun berdiam diri sampai ma-
kanan tercerna sepenuhnya. Waktu yang diperlukan untuk mencerna
makanan juga tergantung dari seberapa besar mangsa yang dimakan.
Jika mangsa yang dimakan berukuran besar, ular ini tidak akan makan
setidaknya dalam waktu tiga bulan. Namun, jika makanannya kecil
sanca batik akan kembali mencari mangsa setelah 4–5 hari. Ular
besar seperti jenis Python memiliki cairan lambung dengan tingkat
keasaman yang lebih tinggi dibandingkan manusia sehingga proses
mencerna makanan menjadi lebih cepat bahkan mampu menghan-
curkan benda asing yang ikut tertelan (Enok dkk., 2013).
E. Keunikan Reproduksi
Ular sanca batik termasuk satwa ovipar (bertelur), waktu dewasa
kelamin pada ular sanca batik adalah saat umur 2–3 tahun di mana
panjang tubuh ular jantan 2–2,5 m pada jantan dan 3 m pada betina
(Mattison, 2005). Normalnya, ular sanca batik bereproduksi setahun
sekali dengan periode lama waktu kebuntingan antara 4–4,5 bulan
(Mattison, 2005). Selama masa kebuntingan, induk ular akan mencari
lokasi sarang yang cocok dan optimal untuk mengerami telurnya
(biasanya di tempat yang terlindungi, lembap, dan tidak jauh dari
kolom air). Jumlah telur yang dihasilkan sanca batik tergantung dari
panjangnya ular. Ular besar dari famili Pythonidae yang panjangnya
5 m dapat menghasilkan telur sebanyak 40–50 butir dan ular yang
panjangnya 2–3 m menghasilkan telur sebanyak 20–30 butir (Barker
dkk., 2015). Setelah bertelur, induk ular sanca batik akan memberikan
kehangatan untuk telur-telurnya dengan cara mengeraminya. Induk
ular dapat menaikkan suhu badannya sampai 5°C dengan membuat
gesekan dari kontraksi otot-otot perut jika suhu di lingkungan sekitar
terlalu dingin (Barker dkk., 2015). Suhu optimal inkubasi telur antara
28–30oC dengan lama pengeraman telur 2–2,5 bulan (Takandjandji
dkk., 2018). Tingkat keberhasilan penetasan telur sanca batik tergan-
.222
tung dari kondisi kesehatan induk dan ukuran telur yang dihasilkan.
Optimalnya, telur yang menetas berdiameter 120×82 mm dan berat
telur 250–300 gr. Telur sanca batik yang telah menetas biasanya
memiliki robekan berbentuk lurus membujur seperti digunting (16.5).
Foto: Vivin Silvaliandra Sihombing (2018)
Gambar 16.5 Telur Sanca Batik yang Sudah Menetas
F. Membongkar Mitos dan Fakta Sanca Batik
Berbicara tentang ular, apalagi dari jenis besar seperti sanca batik,
sudah pasti tidak lepas soal mitos dan cerita berbau klenik. Dahulu,
orang beranggapan jika seseorang melihat ular besar akan mendapat
kesialan, atau bahkan yang lebih ekstrem jika menemukan ular sanca
di rumah, artinya mendapat kiriman ilmu santet dar