• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 2. Tampilkan semua postingan

Satwa langka Indonesia 2

 














populasi yang tidak memiliki atau kekurangan individu 

dengan jenis kelamin jantan atau betina dapat memperkuat populasi 

dan meningkatkan prospek untuk kelangsungan hidup populasi itu. 

Dalam hal pelepasan individu jantan harus dilihat apakah populasi 

yang dimasukinya kekurangan individu jantan. Melepas satwa sitaan 

ke lokasi baru yang bukan asalnya juga harus mempertimbangkan 

perilaku satwa tersebut, serta kemungkinan membawa penyakit atau 

parasit yang dapat merugikan kelangsungan hidup populasi yang telah 

eksis dalam jangka panjang. 

Apabila si Abah akan ditranslokasi ke lokasi lain yang bukan 

asalnya, harus dilihat apakah keuntungan atau manfaatnya lebih 

besar dari segala risikonya. Ada 3 pilihan penanganan terhadap satwa 

sitaan, yaitu 1) dipelihara di lembaga konservasi; 2) dilepas kembali 

.60

ke alam liar; dan 3) euthanasia (IUCN, 2019, 2000). Pemilihan harus 

didasarkan atas pertimbangan ilmiah dengan mengindahkan berbagai 

sumber panduan (IUCN/SSC, 2013) dan mematuhi regulasi nasional. 

Peraturan dan pedoman nasional terkait dengan penanganan satwa 

korban konflik dengan manusia antara lain sebagai berikut.

1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008 

tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan 

Satwa Liar,

2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 

P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 Tentang Lembaga 

Konservasi,

3) Peraturan Direktur Jendera; Perlindungan Hutan dan Konservasi 

Alam Nomor P.9/IV-SSET/2011 tentang Pedoman Etika dan 

Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konservasi, dan

4) Panduan Penanganan (Handling) Satwa-Mamalia yang dikeluar-

kan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LHK Kemente-

rian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Jika pelepasliaran satwa sitaan ke alam liar memiliki risiko yang 

lebih besar daripada manfaatnya, menempatkannya di lembaga kon-

servasi atau fasilitas yang akan memberikan perawatan seumur hidup 

dalam kondisi baik dan sejahtera juga memberikan banyak manfaat, 

seperti a) untuk edukasi konservasi; b) memiliki peluang hidup lebih 

lama dengan perawatan yang saksama; c) potensi untuk digunakan 

dalam program pengembangbiakan di lembaga konservasi; d) po-

tensi penangkaran untuk kemungkinan reintroduksi atau  program 

konservasi lainnya; serta e) potensi untuk digunakan dalam program 

konservasi dan penelitian berharga lainnya (IUCN, 2019).

G. Penutup

Telaah terkait penanganan macan tutul si Abah dapat digunakan 

sebagai pertimbangan pengambilan keputusan oleh manajemen. 

Keputusan untuk melepas kembali ke alam atau merawatnya di 

Menakar Manfaat dan ... 61

lembaga konservasi perlu mempertimbangkan pendapat beberapa 

ahli lain dan pihak kompeten lainnya, misalnya ahli kesehatan satwa 

dan pihak pemangku kawasan calon lokasi pelepasliaran si Abah. Hal 

pertama yang perlu diputuskan adalah apakah dari segi kesehatan 

si Abah layak dilepas kembali ke alam liar? Jika layak, keputusan 

berikutnya adalah kemanakah si Abah harus dilepas? 

Jika si Abah tidak layak dilepaskan, keputusan berikutnya yang 

harus diambil adalah di manakah si Abah akan ditempatkan agar dapat 

menikmati masa tuanya dengan sejahtera dan memberikan manfaat 

konservasi. Misalnya, sebagai mantan penguasa di Sawal tentunya si 

Abah memiliki “bibit” genetik yang baik untuk digunakan sebagai 

pejantan guna pengembangbiakan macan tutul di kebun binatang. 

Sebagai contoh, Kebun Binatang Gembira Loka memiliki tiga macan 

tutul betina produktif (pada 2018 berumur 5,5–6 tahun), namun tidak 

memiliki macan tutul jantan yang unggul. Macan tutul jantan yang 

dimiliki tidak subur (berumur 10 tahun pada 2018) dengan testikel 

kecil dan prostat sehingga tidak menghasilkan sperma yang baik. Oleh 

karena itu, kebun binatang ini perlu dipinjami macan tutul jantan 

yang memiliki performa genetik yang baik.

-

AYPBC Widyatmoko, & ILG Nurtjahjaningsih

Banteng jawa (Bos javanicus javanicus) merupakan mamalia terbesar 

kedua yang tersisa di Pulau Jawa setelah badak jawa (Rhinocheros 

sondaicus). Satwa bertanduk ini dilindungi dan masuk dalam kategori 

terancam punah. Jumlahnya saat ini terbatas serta tersebar di empat 

taman nasional di Jawa. Perburuan, penurunan, dan degradasi habitat 

merupakan penyebab utama penurunan jumlah individu banteng. 

Populasi kecil dan terpisah-pisah dalam waktu lama selalu menimbul-

kan pertanyaan apakah kemudian menimbulkan perbedaan karakter 

genetik pada masing-masing habitat tersebut. Di sisi lain, jika dilihat 

ciri fisiknya, banteng memiliki kemiripan dengan ras sapi bali bahkan 

dipercaya sebagai tetua dari ras sapi tersebut. Fakta tersebut menjadi-

kan banteng memiliki potensi besar untuk menambah keragaman 

genetik pada sapi bali melalui backcross.


A. Bioekologi Banteng

Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1826) merupakan mamalia besar 

yang termasuk dalam family Bovidae. Dilihat dari sudut pandang 

taksonomi, jenis banteng memiliki tiga subspesies yang tersebar di 

Asia termasuk Indonesia. Dua di antara sub spesies banteng hidup 

di Indonesia, yaitu banteng jawa (B. j. javanicus) (Gambar 6.1) dan 

banteng lowi/Kalimantan/Borneo (B. j. lowi). 

Banteng termasuk satwa liar yang mudah beradaptasi dan dapat 

hidup pada beberapa tipe habitat yang berbeda. Sebagai satwa herbivor, 

banteng lazim dijumpai di habitat hutan sekunder yang terkadang di 

dalamnya terdapat padang rumput. Selain itu, habitat banteng juga 

harus memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pemenuhan mineral. 

Hal ini menjadikan banteng di Jawa umum dijumpai di kawasan 

yang berdekatan dengan pantai, sementara itu banteng di Kalimantan 

dijumpai di kawasan yang memiliki sumur garam. Banteng termasuk 

satwa grazer (pemakan rumput) maupun browser (pemakan dedaun-

an). Banteng juga dapat hidup pada habitat dengan curah hujan yang 

tinggi dari topografi mulai datar sampai bergelombang.

Banteng merupakan satwa yang hidup berkelompok, dengan 

anggota berkisar antara 10–12 individu. Masing-masing kelompok 

biasanya terdiri dari banteng jantan dewasa, betina dewasa, dan 

anak (Alikodra, 1983). Kelompok banteng tersebut kadang-kadang 

bersatu menjadi kelompok besar dengan jumlah mencapai 35–40 

ekor. Kumpulan kelompok banteng semacam ini sering terlihat di 

padang penggembalaan (grazing area). Banteng biasanya beraktivitas 

di tempat yang terbuka dan tersedia hijauan pakan. Banteng termasuk 

satwa liar yang aktif pada siang dan malam hari. Banteng menjadi 

nokturnal (aktif malam hari) bila pada siang hari terjadi gangguan 

baik oleh manusia maupun satwa lainnya.

Hasil pengamatan struktur umur di kebun Pantai Bandealit 

Taman Nasional (TN) Meru Betiri dapat diketahui seks rasio dari 

banteng jantan dan betina dewasa, yaitu 1:1,76 dan remaja 1:1,57, 

sedangkan anak banteng agak sulit dibedakan jenis kelaminnya karena 

warna tubuhnya masih sama, yaitu coklat (Garsetiasih, 2012). Seks 

Banteng Jawa: Bioekologi ... 65

rasio antara kelas umur dewasa dan remaja tidak terlalu berbeda 

sehingga secara umum dapat dikatakan nilai seks rasionya masih 

seimbang. Bila dihitung tanpa membedakan kelas umur, seks rasio 

banteng jantan dan betina adalah 1:1,7. Komposisi tersebut termasuk 

seimbang karena dimungkinkan banteng jantan dapat mengawini dua 

banteng betina sehingga proses reproduksi banteng akan berjalan 

lebih cepat dan berdampak positif pada peningkatan populasi.

       Menurut Alikodra (1983), musim kawin banteng di Ujung Kulon 

adalah bulan Juli, September, Oktober, kadang bulan November, 

dan Desember. Perkawinan banteng biasanya dilakukan pada waktu 

malam hari, tetapi berdasarkan pengamatan di TN Meru Betiri ada 

yang melakukan aktivitas kawin pada siang hari. Lama bunting 

banteng antara 9,5–10 bulan dengan jumlah anak yang dilahirkan 

sebanyak 1–2 ekor, namun kebanyakan satu ekor, dengan umur sapih 

10 bulan. Banteng termasuk satwa monoestrus, yaitu mempunyai satu 

kali musim kawin dalam satu tahun. Umur banteng betina saat kawin 

pertama dan dapat berkembang biak yaitu tiga tahun, sedangkan 

banteng jantan lebih dari tiga tahun. Banteng betina selama hidupnya 

dapat melahirkan anak sekitar 21 ekor. Di samping itu, banteng dapat 

hidup sampai umur 25 tahun.

Catatan lain tentang banteng adalah kedudukannya yang penting 

baik secara ekologi maupun ekonomi. Secara ekologi, salah satu peran 

banteng adalah sebagai agen penyebaran vegetasi. Catatan Hoogerwerf 

(1970) melaporkan bahwa dalam sisa makanan banteng terkadang 

dijumpai biji-bijian tumbuhan tertentu, seperti wareng (Gmelina 

elliptica) dan kedondong (Spondias pinnata). Secara ekonomi, saat 

ini banteng menjadi daya tarik wisata di beberapa taman nasional, 

seperti TN Alas Purwo dan TN Ujung Kulon. Banteng di Padang 

Penggembalaan Sadengan (TN Alas Purwo) rutin dikunjungi oleh 

pelancong, terutama pada musim liburan (Gambar 6.1). Di bidang 

ketahanan pangan, banteng juga diyakini sebagai tetua sapi Bali yang 

dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. 

.66

Foto: Maryatul Qiptiyah (2016)

Gambar 6.1 Kawanan Banteng Jawa di Taman Nasional Alas 

Purwo

B. Sebaran dan Populasi Banteng di Indonesia

Saat ini, laporan perjumpaan banteng di Indonesia terbatas pada 

beberapa taman nasional di Jawa dan Kalimantan. Banteng di kedua 

pulau tersebut secara taksonomi, memiliki kedudukan berbeda pada 

tingkat subspesies dan hal tersebut masih menjadi bahan diskusi 

para ahli. Banteng jawa merupakan populasi subspesies terbesar dan 

tersebar di Pulau Jawa. Umumnya, penyebaran banteng hanya ada 

di kawasan taman nasional di Indonesia. Data terkini menunjukkan 

subspesies banteng jawa dijumpai pada empat taman nasional, yaitu 

TN Ujung Kulon (provinsi Banten), TN Meru Betiri, TN Alas Purwo 

dan TN Baluran (provinsi Jawa Timur). Sementara itu, banteng lowi/

borneo/kalimantan dilaporkan dijumpai di TN Kutai (Kalimantan 

Timur) dan TN Kayan Mentarang (Kalimantan Utara) (Gambar 6.2). 

Banteng Jawa: Bioekologi ... 67

Foto: Maryatul Qiptiyah (2020)

Gambar 6.2 Peta Sebaran dan Habitat Banteng di Indonesia

Berdasarkan informasi terakhir, banteng di TN Baluran relatif 

sulit ditemukan karena adanya perburuan liar dan degradasi habitat 

di mana sekitar 60% wilayah Savana Baluran telah tertutup oleh 

akasia berduri (Acacia nilotica) Di lokasi lainnya, berdasarkan hasil 

perhitungan populasi di TN Meru Betiri pada tahun 2002, banteng 

di wilayah kerja Sarongan diperkirakan berjumlah 90 individu/100 

ha. Adapun populasi banteng di Pulau Jawa tersaji dalam Tabel 6.1.


Populasi banteng di TN Meru Betiri tersebar di beberapa lokasi, 

di antaranya di padang penggembalaan Nanggelan, Pringtali, kebun 

pantai Bandealit, dan kebun Sumber Salak. Lokasi-lokasi tersebut 

masuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah Ambulu. Selain 

di wilayah kerja Ambulu, populasi banteng juga terdapat di wilayah 

kerja Sarongan, yaitu di padang penggembalaan Sumber Sari. Populasi 

banteng tersebut baru dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisata, 

tetapi belum optimal karena belum didukung oleh sarana dan prasa-

rana yang memadai. 

C. Ancaman Kelestarian Banteng

Kelestarian banteng di berbagai kawasan ditentukan oleh penga-

manan dan kecukupan daya dukung habitatnya. Rendahnya tingkat 

pengamanan banteng pada suatu kawasan akan memicu terjadinya 

perburuan liar. Banteng merupakan sumber pangan untuk masyarakat 

sehingga rentan untuk diburu. Kejadian perburuan di TN Alas Purwo 

biasanya meningkat pada waktu tertentu, seperti saat banyak acara 

pernikahan atau hari raya. 

Selain kasus perburuan liar, konflik antara banteng dan masyarakat 

juga merupakan salah satu yang berpotensi sebagai ancam an terhadap 

kelestarian banteng. Sebagai contoh, banteng di Resort Bandealit 

Banteng Jawa: Bioekologi ... 69

TN Meru Betiri menimbulkan permasalahan karena masuk ke areal 

perkebunan, kemudian memakan, dan merusak tanaman perkebunan 

sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan perusahaan 

perkebunan (Garsetiasih, 2013). Masuknya banteng pada areal 

perkebunan kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, yaitu akibat 

kerusakan habitat yang berdampak pada rendahnya daya dukung 

habitat banteng di dalam kawasan, khususnya terkait sumber pakan 

dan faktor lainnya karena tanaman yang ada di perkebunan lebih 

menarik dan disukai oleh banteng. Gangguan banteng terhadap kebun 

masyarakat dikhawatirkan akan menjadi konflik dengan masyarakat 

dan berakibat pada perburuan yang mengancam kelestarian banteng. 

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa daya 

dukung habitat pakan banteng di kawasan taman nasional sangat 

rendah, salah satunya diakibatkan oleh adanya spesies invasif yang 

mengganggu padang penggembalaan, di antaranya A. nilotica yang 

menginvasi savana di TN Baluran dan Chromolaena odorata yang 

menginvasi padang penggembalaan di TN Meru Betiri dan TN Alas 

Purwo (Gambar 6.3). 

(a)    (b)

Keterangan: a. Akasia (Acacia nilotica) b. Kirinyuh (Chromolaena odorata)

Foto: Garsetiasih (2011)

Gambar 6.3 Spesies Tumbuhan Invasif di Padang Penggembalaan

Jenis tanaman invasif tersebut menyebabkan produktivitas pakan 

menjadi rendah lalu banteng keluar kawasan dan memakan tanaman 

masyarakat. Ketersediaan pakan perlu diperhatikan dalam rangka 

.70

upaya konservasi banteng. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan 

adalah pengelolaan habitat, khususnya di padang penggembalaan, 

untuk memenuhi kebutuhan pakan banteng dengan jenis-jenis 

tumbuhan pakan yang cukup dan berkualitas bagus.  

D. Banteng Jawa dan Banteng Lowi

Berada pada sub spesies yang berbeda, secara morfologi, banteng jawa 

dan banteng kalimatan memiliki perbedaan hanya pada ukuran relatif 

tubuhnya. Banteng jawa memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar 

daripada banteng kalimantan (Castello, 2016). Kedudukan taksonomi 

yang memisahkan banteng jawa dan banteng lowi pada subspesies 

yang berbeda masih menjadi bahan diskusi para ahli.  Grzimek pada 

tahun 1987 dalam Gardner (2014) meragukan kesahihan pembagian 

sub spesies tersebut terkait dengan kemampuan banteng kawin de-

ngan sapi peliharaan. Timmins dkk. (2008) mengusulkan penyatuan 

banteng lowi ke dalam subspesies banteng jawa. Kedua pendapat 

tersebut bertentangan dengan penelitian lainnnya, yaitu Hassanin 

dan Ropiquet (2007) yang menyatakan bahwa subspesies banteng 

bukan jenis monofiletik (berasal dari keturunan yang sama).

Perbedaan pendapat terkait status sub spesies banteng mendasari 

banyaknya penelitian tentang genetika banteng. Upaya mendefi-

nisikan perbedaan banteng jawa dan banteng lowi dilakukan dengan 

cara mengurutkan susunan DNA dari masing-masing sampel kedua 

subspesies banteng tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan 

bahwa banteng jawa memiliki posisi klaster yang berbeda dengan   

banteng lowi, yang berarti kedua subspesies itu secara genetik me-

miliki jalur evolusi yang berbeda atau sudah terpisah sejak lama 

(Gambar 6.4).

Waktu pemisahan asal-usul kelompok satwa, termasuk banteng, 

dapat ditentukan dengan menggunakan analisis genetik. Secara ge-

netik, pemisahan banteng jawa dan banteng lowi terjadi sekitar 1,25 

juta tahun yang lalu (Qiptiyah dkk., 2019b). Banteng jawa dipercaya 

lebih tua dari banteng lowi berdasarkan bukti sejarah temuan fosil di 

Jawa dan lukisan gua di Kalimantan bagian Timur.

Banteng Jawa: Bioekologi ... 71

Catatan sejarah tentang banteng di Pulau Jawa berawal dari 

ditemukannya fosil banteng jawa purba atau leluhur banteng (Bibos 

bibos paleosondaicus) di Trinil sekitar satu juta tahun yang lalu. Di 

sisi lain, catatan sejarah tentang fosil banteng purba juga ditemukan 

di situs Patiayam, di sekitar Muria dan Pati, dengan umur fosil yang 

hampir sama (Siswanto & Noerwidi, 2016). Sementara itu, catatan 

sejarah banteng lowi di Kalimantan berupa gambar di dinding gua 

yang berumur 10 ribu tahun yang lalu (Gardner, 2014).

E. Banteng Jawa vs Sapi Bali

Banteng jawa merupakan tetua sapi bali yang populer dibudidayakan 

di beberapa wilayah di Indonesia. Proses domestikasi banteng Jawa 

dimulai sejak 3500 sebelum Masehi dan mulai didistribusikan ke 

beberapa wilayah di Indonesia sejak lama. Selain di Pulau Bali, ras sapi 

bali umum dijumpai di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan 

Nusa Tenggara Timur. Masa penggalakan transmigrasi merupakan 

momentum penyebaran ras sapi ini ke beberapa pulau di Indonesia. 

Ras sapi bali diminati karena beberapa kelebihannya, seperti tingkat 

mortalitas anakan rendah dan persentase karkas tinggi. Hal ini 

menjadikan sapi bali menjadi salah satu andalan sebagai penghasil 

daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat.

Ciri banteng jawa juga dimiliki oleh ras sapi bali, seperti warna 

tubuh yang dimorfik (berbeda antara jantan dewasa dan betina), 

pola warna pada tubuh, serta bentuk tengkorak dan tanduk. Tubuh 

keduanya berwarna coklat kemerah merahan, pada bagian pantat 

terdapat warna belang putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolah 

olah memakai kaos kaki berwarna putih (Gambar 6.5). Jika sudah 

dewasa jantan warnanya akan terlihat lebih gelap. 

.72

Gambar 6.4 Posisi Filogenetik Banteng Jawa, Banteng Lowi, Banteng Daratan 

Asia dan Beberapa Ras Sapi Ternak

Banteng Jawa: Bioekologi ... 73

 (a)         (b)

Keterangan: a. Jantan b. Betina

Foto: (a) blog.act.id (t.t); (b) Kementerian Pertanian (2016)

Gambar 6.5 Sapi Bali

Perbedaan banteng dan sapi bali yang sering disebutkan adalah 

pada ukuran tubuhnya, yaitu banteng jawa relatif lebih besar dari sapi 

bali. Berat tubuh banteng antara 400 kg sampai 900 kg (Hoogerwerf, 

1970), sedangkan sapi bali dewasa sekitar 300–400 kg. Banteng ber-

tubuh tegap, besar, dan kuat dengan bahu bagian depan lebih tinggi 

daripada bagian belakang, panjang kepala 18–22,5 cm, dan panjang 

ekor 6,5–7 cm (Sawitri dkk., 2014). Banteng jantan dan betina sama-

sama memiliki tanduk jadi cara mudah untuk membedakan antara 

banteng jantan dan betina adalah dari warnanya, jantan berwarna 

kulit hitam, sedangkan betina berwarna kulit coklat kemerahan 

(Gambar 6.6).

  (a)    (b)

Keterangan: a. Jantan b. Betina

Foto: Garsetiasih (2011)

Gambar 6.6 Kelompok Banteng di Blok Banyu Putih Perkebunan Bandealit

.74

Kemiripan ciri fisik antara banteng jawa dan sapi bali memuncul-

kan banyak penelitian tentang karakter genetik ke duanya. Beberapa 

hasil penelitian menunjukkan bahwa banteng jawa dan sapi bali 

memiliki kemiripan urutan DNA bagian mitokondria yang tinggi. 

Bahkan, penelitian Qiptiyah dkk. (2019b) mendapatkan sampel DNA 

mitokondria banteng jawa, dari berbagai populasi di alam, 100% 

identik dibandingkan sapi bali (Gambar 6.4). Hasil ini juga didapatkan 

oleh penelitian lainnya untuk sampel DNA banteng yang didapatkan 

dari kebun binatang.

Kesamaan urutan DNA mitokondria antara banteng jawa dan 

sapi bali memiliki potensi besar dilakukannya backcross (mengawin-

kan sapi bali dengan banteng Jawa). Pemasalahan yang lazim muncul 

dalam upaya budi daya sapi adalah terjadinya inbreeding (kawin kera-

bat) sehingga menurunkan keragaman genetik pada ternak budi daya. 

Penurunan keragaman genetik diduga menjadi penyebab penurunan 

produksi dan kerentanan ternak terhadap penyakit. Terkait dengan hal 

ini, backcross merupakan salah satu solusi yang memungkinkan untuk 

ditempuh. Dengan kata lain, banteng memiliki posisi penting sebagai 

plasma nutfah yang harus dijaga kelestariannya untuk meningkatkan 

kualitas sapi bali. Semen banteng penting untuk digunakan melalui 

inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik dengan sapi bali. 

F. Terpojok di Sudut Taman Nasional: Karakter  

genetik banteng yang tersisa

Distribusi banteng jawa, menurut berbagai catatan yang dituangkan 

dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) 

Banteng adalah di sebagian Pulau Jawa. Lebih lanjut dalam dokumen 

tersebut, ditentukan juga kawasan habitat alam banteng jawa yang 

diprioritaskan untuk dikonservasi. Ke empat lokasi taman nasional 

yang menjadi habitat alami banteng memiliki jarak geografi cukup 

jauh sehingga tidak memungkinkan banteng bisa bermigrasi dari 

lokasi satu ke lokasi lainnnya secara alami. 

Situasi dan kondisi banteng jawa saat ini berada pada kategori 

populasi kecil (jumlah individu sedikit), terisolasi secara geografis 

Banteng Jawa: Bioekologi ... 75

(tanpa ada migrasi) sehingga memicu terjadinya perubahan pada vari-

asi genetik banteng. Hal ini berkaitan dengan adanya proses adaptasi 

jangka panjang terhadap lingkungan dan/atau mutasi genetik yang 

hanya terjadi pada habitat tertentu. Identifikasi terhadap variasi gene-

tik dilakukan dengan cara analisis genetik sehingga akan tergambar 

karakter genetik pada masing-masing lokasi habitat.

Analisis genetik dilakukan dengan membandingkan susunan 

DNA masing-masing individu banteng pada tingkat jenis maupun 

populasi. Hasil penelitian Qiptiyah dkk. (2019a) tentang karakter 

DNA banteng jawa pada bagian mitokondria (istilah untuk salah satu 

bagian sel) menunjukkan ada empat macam variasi karakter genetik 

(haplotipe) di Pulau Jawa. Variasi karakter genetik/haplotipe diilus-

trasikan sebagai satu warna yang berbeda satu sama lain. Gambar 6.7 

menunjukkan empat macam haplotipe hasil analisis seluruh sampel 

DNA banteng Jawa.

Gambar 6.7 Peta Sebaran Haplotipe Banteng Jawa di Empat Populasi Alam dan 

Penangkaran Semi In Situ

.76

Ilustrasi gambar menunjukkan bahwa dua macam karakter 

genetik berdasar DNA mitokondria (biasa disebut dengan haplotipe) 

banteng Jawa hampir sama pada masing-masing habitat. Sementara 

itu, terdapat satu sampel dengan karakter berbeda dijumpai di TN 

Ujung Kulon. Banteng jawa TN Meru Betiri memiliki haplotipe unik 

yang tidak dimiliki oleh taman nasional lainnya. Sebaliknya, TN Meru 

Betiri juga tidak memiliki karakter genetik yang dimiliki oleh taman 

nasional lainnya.

Setidaknya terdapat dua alasan mengapa fenomena tersebut 

dapat terjadi. Pertama, TN Meru Betiri sejak awal memiliki induk 

betina yang berbeda secara genetik dengan induk betina dari taman 

nasional lainnya. Kedua, karakter genetik banteng TN Meru Betiri 

sudah mengalami mutasi sehingga urutan DNA-nya menjadi berbeda 

dengan banteng di taman nasional lainnya.

Keunikan karakter genetik pada DNA pada bagian mitokondria 

banteng TN Meru Betiri menimbulkan konsekuensi untuk upaya 

konservasi dan pelindungannya. Jika dikaitkan dengan pelepasliaran 

banteng, TN Meru Betiri diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam 

mengambil keputusan dengan melakukan pengkajian aspek genetik 

pada banteng yang akan dilepasliarkan. Hal ini untuk mencegah 

keunikan karakter genetik banteng di TN Meru Betiri tidak hilang 

sebagai akibat dari desakan karakter genetik banteng lainya.

G. Pentingnya Upaya Konservasi Banteng Jawa 

Upaya konservasi banteng menjadi sangat penting untuk dilakukan 

karena situasi dan kondisi banteng saat ini yang berada dalam popu-

lasi kecil, ditambah adanya berbagai ancaman terhadap kelangsungan 

hidupnya. Contoh populasi kecil terjadi di wilayah Resort Bandealit 

TN Meru Betiri di mana jumlah individu banteng jawa diperkirakan 

sudah berkurang (Populasi Banteng Taman, 2013). Berdasarkan infor-

masi dari Kepala Balai TNMB pada tahun 2016, di Resort Bandealit, 

yang sebelumnya paling banyak dihuni banteng, hanya ditemukan 

43 individu banteng (Permata, 2016), padahal sebelumnya mencapai 

90 ekor (Garsetiasih, 2012). Populasi Banteng di Resort Bandealit 

Banteng Jawa: Bioekologi ... 77

dan Resort Sukamade TN Meru Betiri berkisar sekitar 62 individu 

(Ditjen KSDAE, 2017). Fenomena populasi kecil juga terjadi di taman 

nasional habitat banteng lainnya, seperti TN Ujung Kulon dan TN 

Baluran. 

Selain populasi kecil, degradasi habitat, dan kedekatan lokasi 

habitat banteng dengan permukiman juga menambah kerentanan 

jenis banteng menuju punah. Sebagai satwa liar yang berpotensi seba-

gai sumber protein, perburuan banteng jawa meningkat frekuensinya 

pada saat tertentu, seperti perayaan hari besar keagamaan atau pesta. 

Konflik banteng jawa lainnya yang pernah dilaporkan adalah serangan 

banteng jawa ke tanaman budidaya masyarakat di TN Meru Betiri, 

yang mengakibatkan pengusiran banteng dengan menggunakan suara 

petasan. Hal ini menjadikan banteng menjadi sulit dijumpai di Padang 

Penggembalaan Pringtali. Sementara itu, di TN Baluran, ancaman 

konflik banteng dengan masyarakat adalah praktik penggembalaan 

ternak secara liar sehingga masuk ke dalam kawasan. Hal ini dapat 

berpotensi pada hilangnya keragaman genetik asli banteng akibat 

adanya hibridisasi.

H. Upaya Melestarikan Banteng

Pelestarian banteng jawa di Indonesia telah dilakukan dengan berba-

gai pendekatan. Secara hukum, jenis banteng di Indonesia dilindungi 

berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 

Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/Kum.1/12/2018. Selain itu, banteng 

juga termasuk dalam kategori satwa terancam punah berdasarkan In-

ternational Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. Selain 

itu, dokumen kebijakan untuk upaya konservasi telah dituangkan 

dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2011 

tentang SRAK Banteng (B. javanicus) di Indonesia tahun 2010–2020. 

Berdasarkan rencana aksi konservasi tersebut, perlindungan 

jenis banteng idealnya dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif 

oleh para pihak. Prinsip lainnya dalam upaya pelestarian banteng 

adalah (1) pengelolaan populasi, (2) pengelolaan habitat, (3) sistem 

pengelolaan data (pemantauan dinamika populasi), (4) peningkatan 

.78

profesional aparat, (5) peningkatan kerja sama para pihak, dan (6) 

peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng. 

I. Penutup

Fakta bahwa banteng sudah berada pada populasi kecil dan hidup 

di habitat terfragmentasi memberikan konsekuensi agar upaya 

konservasinya dikerjakan secara serius. Paradigma upaya konservasi 

banteng tidak hanya menggunakan paradigma penurunan populasi 

(konservasi secara bioekologi), namun juga melibatkan paradigma 

populasi kecil (konservasi genetik). 

Saat ini, secara konkrit, upaya penyelamatan dan perlindungan 

banteng tidak hanya berfokus pada penyelamatan populasi dan habitat 

saja, namun juga sudah menyertakan karakter genetik di dalam satwa 

tersebut. Namun demikian, aspek genetik memiliki spektrum (baik 

target DNA maupun teknik molekuler) yang sangat luas sehingga 

perlu didefinisikan lebih lanjut. Kelengkapan data dan informasi ten-

tang karakter genetik penting untuk mendasari upaya pelepasliaran, 

pertukaran satwa, dan forensik. 

Banteng sebagai nenek moyang dari sapi bali merupakan plasma 

nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya sehingga upaya 

konservasinya harus ditingkatkan. Pelestarian galur murni jenis 

banteng jawa penting dilakukan untuk upaya perbaikan genetik sapi 

bali melalui upaya backcross.

Sanctuary atau suaka banteng di Taman Nasional (TN) Baluran penting 

dibangun sebagai upaya untuk mengonservasi plasma nutfah sebagai 

cikal bakal sapi bali dan sapi madura. Selain itu, upaya tersebut juga 

untuk mendukung populasi yang viable atau sintas. Banteng yang ada 

di kawasan TN Baluran merupakan banteng dengan ukuran terbesar, 

baik bobot badan maupun ukuran tubuhnya, dibandingkan banteng 

yang ada di kawasan konservasi lainnya.

A. Sekilas Kawasan TN Baluran

Kawasan TN Baluran dikenal memiliki savana yang luas sehingga  

sering disebut sebagai “Afrika”–nya Pulau Jawa. Kawasan tersebut 

terletak di ujung timur Pulau Jawa, berbatasan dengan Selat Madura 

di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah 

selatan dibatasi aliran Sungai Bajulmati, dan sebelah barat dibatasi 

R. 

Sungai Kelokoran. Secara administratif pemerintahan seluruh kawasan 

berada di wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, 

Provinsi Jawa Timur. 

Penunjukan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa telah 

dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928 melalui usulan AH 

Loedeboer yang menguasai wilayah tersebut sebagai lokasi perburuan. 

Penetapan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa berdasarkan 

Surat Keputusan pemerintah Hindia Belanda Nomor 9 Tahun 1937 

(Lembaran Negara Nomor 544 Tahun 1937). Tujuan penetapan ka-

wasan Baluran adalah untuk melindungi berbagai jenis satwa liar dari 

kepunahan. Saat pengumuman Strategi Pelestarian Dunia, tanggal 6 

Maret 1980, Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan oleh Menteri 

Pertanian Republik Indonesia sebagai taman nasional berdasarkan 

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 786/Mentan/X/1982 

dengan wilayah kerjanya meliputi kawasan TN Baluran, Suaka Mar-

gasatwa Alas Purwo dan Cagar Alam atau Taman Wisata Kawah Ijen. 

Namun, sejak tahun 1992 Suaka Margasatwa Alas Purwo dinyatakan 

sebagai taman nasional sehingga berpisah dengan TN Baluran. Surat 

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 

25 Mei 1997 menyatakan bahwa luas TN Baluran adalah 28.750 ha, 

terdiri dari 26.990,3 ha daratan dan 2.051,68 ha perairan laut. 

Sebagai ekosistem daratan dan laut, TN Baluran memiliki be-

berapa tipe vegetasi dari pegunungan hingga pantai (Suwarni, 2015). 

Ekosistem TN Baluran merupakan habitat bagi 28 jenis mamalia, 

dua jenis di antaranya merupakan endangered spesies, yakni banteng 

dan macan tutul sebagai spesies kunci (key species). Oleh karena itu, 

keberadaan banteng perlu dilindungi dengan mengacu pada Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan 

Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 

tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang 

lampirannya diperbarui melalui Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018. 

Pengelolaan TN Baluran sesuai dengan rencana pola ruang 

wilayah Kabupaten Situbondo diarahkan sebagai kawasan perlin-

dungan plasma nutfah untuk konservasi sumber daya alam hayati, 

Sanctuary Banteng di ... 85

seperti flora, fauna, mikroba, serta ekosistem savana, hutan musim 

maupun hutan bakau (Marsudi, 2015). Pengelolaan TN Baluran saat 

ini mengalami beberapa permasalahan yang menyebabkan populasi 

banteng terus mengalami penurunan. Tahun 2011 populasi banteng 

diperkirakan tinggal 22 individu (Suwarni, 2015). Namun, seiring 

dengan pengelolaan yang telah dilakukan melalui sanctuary suaka 

satwa banteng (SSB), populasi banteng mulai tahun 2018 hingga 

saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan hasil 

breeding sanctuary di Pusat Riset Bekol, sudah dilepasliarkan kembali 

ke alam. 

Pembangunan sanctuary banteng di TN Baluran ditujukan untuk 

mengembalikan dan meningkatkan populasi serta database banteng. 

Hal ini sejalan dengan program dan kegiatan konservasi banteng 

oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tertuang 

dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Banteng (Bos 

javanicus) Tahun 2010–2020 (Permenhut Nomor 58, 2011). 

B. Permasalahan Pengelolaan 

Terdapat beberapa permasalahan terkait konservasi banteng secara 

in situ di TN Baluran, yaitu sebagai berikut.

1) Perubahan Habitat

Perubahan habitat satwa mulai terjadi sejak ditanamnya pohon akasia 

(Acacia nilotica) sebagai sekat bakar di Savana Bekol. Pertumbuhan 

akasia sangat cepat dan tidak terkendali sehingga bersifat invasive 

alien species (IAS) yang menyebabkan tidak ada tanaman lain yang 

bisa tumbuh di sekitarnya.

Penyebaran akasia dipercepat oleh agen penyebar, seperti ban-

teng, kerbau, dan rusa yang memakan daun dan buah, kemudian 

bijinya ikut tersebar melalui kotoran satwa. Di samping itu, akasia 

bersifat kosmopolit yang cepat tumbuh karena toleran terhadap 

kondisi habitat, tetapi intoleran terhadap naungan. Invasi tanaman 

akasia menyebabkan perubahan ekosistem Savana Bekol, Semiang, 

Balanan, Kramat, Talpat, Labuan Merak, Air Tawar, dan Karang Tekok 

.86

seluas 5.592 ha atau sekitar 40% dari 10.000 ha. Pertumbuhan tanam-

an invasif di savana menyebabkan kerusakan habitat dan rumput 

lokal, yang merupakan pakan satwa, tersingkir akibat kalah bersaing 

(Riski & Fajar, 2014). Oleh karenanya, tanaman invasif tersebut perlu 

dimusnahkan. 

Beberapa cara yang telah dicoba untuk memusnahkan spe-

sies asing tersebut atau eradikasi, yaitu secara manual dan mesin. 

Eradikasi total pada bagian tanaman akasia telah dilakukan secara 

manual dengan alat berat ataupun gergaji, namun diberhentikan 

karena operasional alat ini mengganggu keberadaan satwa. Saat ini, 

eradikasi dilakukan dengan menebang pohon dan mengolesi bekas 

batang dengan herbisida Triclopyr dengan dosis 1 lt/ha agar tanaman 

tersebut mati (Setyawati, 2011). Selain itu, dilakukan pula pencabutan 

anakan akasia agar tidak menyebar. Saat ini luasan savana yang telah 

dibersihkan dari tanaman invasif sekitar 1.500 ha dan satwa telah 

kembali dijumpai di beberapa savana, seperti Bekol. 

2) Keterbatasan Sumber Air

Taman Nasional Baluran mempunyai tata air radial dan sungai-sungai 

yang bermuara ke Laut Jawa. Sungai Bajulmati dan Sungai Kelokoran 

terletak di batas kawasan sebelah selatan dan barat mengairi persawah-

an dan perladangan masyarakat. Namun, pengairan tersebut belum 

mencukupi kebutuhan sehingga masyarakat membuat sumur artesis. 

Pembuatan sumur artesis memengaruhi persediaan air di kawasan 

yang akan mengering di musim kemarau. Hal ini dapat dilihat pada 

beberapa mata air, yakni di Palongan, Kelor, Bama, Mesigit, Bilik, 

Gatal, Semiang, Kepuh, Talpat, dan Tanjung Sedano. Selain itu, air 

yang mengalir di permukaan tanah pada musim hujan di sebagian 

batu vulkanik tidak dapat terserap sehingga membentuk kubangan 

dan akan mengering ketika musim kemarau. Saat ini, telah diusahakan 

pompa air bertenaga matahari untuk memompa air dari tanah untuk 

mengisi tempat-tempat air di daerah perlintasan satwa (Gambar 7.1).

Sanctuary Banteng di ... 87

Foto: Reny Sawitri (2017)

Gambar 7.1 Bak Penampungan Air Minum di Lokasi Pelintasan 

Satwa di Taman Nasional Baluran

3) Kebakaran 

Sebagian besar TN Baluran merupakan ekosistem savana. Savana 

adalah tipe ekosistem dataran rendah atau dataran tinggi yang ko-

munitasnya terdiri dari beberapa pohon yang tersebar tidak merata 

dan lapisan bawahnya di dominasi oleh rumput-rumputan. Savana 

sering mengalami kebakaran, baik terjadi secara alami ataupun akibat 

aktivitas manusia, bahkan sering kali tidak terkendali. Keberadaan 

ekosistem savana memerlukan api sebagai pengendali ekosistem 

untuk menuju ekosistem optimal. Kebakaran pada ekosistem savana 

memungkinkan rumput-rumput pakan satwa lebih tersebar dan 

produktif. Kebakaran terjadi karena fenomena alam akibat musim 

kemarau yang panjang dan suhu relatif tinggi akibat El Nino. Selain 

itu, kehadiran masyarakat yang membutuhkan rumput segar untuk 

ternak sapi, dapat pula memperluas kebakaran hutan. Apabila keba-

karan tidak terkendali atau terkontrol, kebakaran akan menyebar di 

seluruh kawasan. Kebakaran yang terjadi selama lima tahun terakhir 

(2010–2014) di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah 

I Bekol rata-rata seluas 705,09 ha, sedangkan di SPTN Wilayah II 

Karang Tekok seluas 1.300 ha. Hal ini masih berlanjut setiap tahun 

dan pada tahun 2018 kebakaran mencapai 1.798,92 ha. 

.88

Pembakaran di savana sebaiknya dilakukan secara terkontrol 

pada akhir musim penghujan. Tujuannya agar regenerasi rumput 

pakan satwa dapat berjalan baik dan dapat memusnahkan jenis 

tumbuhan asing invasif, seperti A. nilotica yang saat ini telah menjadi 

permasalahan di TN Baluran. Api juga dapat membatasi pertumbuhan 

biji tumbuhan berkayu sehingga rumput bebas dari pengaruh naungan 

dan persaingan dengan vegetasi lain. 

4) Perburuan Satwa Liar

TN Baluran memiliki potensi satwa liar yang cukup tinggi terutama 

mamalia dan jenis burung. Namun, potensi yang ada sering diman-

faatkan dengan berbagai cara dan menyebabkan penurunan populasi 

serta dapat mengancam kelestariannya. Perburuan satwa liar termasuk 

banteng dan rusa yang berada di kawasan TN Baluran dilakukan 

untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Selain mamalia, jenis 

burung juga sering diburu dan diperdagangkan. Oleh karena itu, 

untuk menjaga dan melestarikan keberadaan populasi banteng, 

pihak pengelola TN Baluran seharusnya memantau secara rutin dari 

tahun ke tahun melalui kegiatan sensus, menjaga kondisi daya dukung 

kawasan satwa tersebut, dan melindunginya dari perburuan liar.

5) Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Pengambilan HHBK oleh masyarakat sekitar kawasan, berupa buah, 

biji, daun, rumput, dan madu dilakukan di seluruh kawasan TN 

Baluran. Pemanfaatan dilakukan dengan tidak mempertimbangkan 

zonasi sehingga zona inti dan zona rimba, seperti Gunung Baluran 

tidak luput dari perambahan. Rumput sebagai pakan satwa diambil 

setiap hari di sepanjang jalan pintu masuk ke Bekol. Buah asam, 

biji kemiri, biji akasia yang sudah tua diambil saat musim berbuah 

untuk campuran kopi. Selain itu, rencek pohon sebagai kayu bakar 

dan madu turut diambil pula (Suriani & Razak, 2011). Kajian lanjut-

an perlu dilakukan terhadap kegiatan pengambilan HHBK, seperti 

kuota pengambilan, kelembagaan, tata cara pengambilan yang ramah 

lingkungan, dan tempat pengambilan atau zonasinya. 

Sanctuary Banteng di ... 89

C. Populasi Banteng 

Populasi banteng berdasarkan hasil sensus tahun 1941–2013 pada 

daerah-daerah konsentrasi banteng (Suwarni, 2015), tercantum pada 

Tabel 7.1. Tabel tersebut menunjukkan penurunan populasi banteng 

di TN Baluran secara drastis pada tahun 2003. Berdasarkan hasil 

sensus tahun 1997 ditemukan banteng sebanyak 115 individu dengan 

metode concentration count (CC) dan 282 individu dengan metode 

sensus line transect count. Namun, pada tahun 2003 hanya ditemukan 

sebanyak 21 individu. Berdasarkan survei dengan camera trap pada 

tahun 2015–2018, populasi banteng mengalami peningkatan tiap 

tahunnya dimulai dari 46 individu, 45 individu, 69 individu, dan 112 

individu (TN Baluran, 2013).


Fluktuasi populasi banteng tergantung pada keamanan kawasan, 

gangguan dari manusia ataupun predator, ketersediaan habitat atau 

grazzing ground, ketersediaan pakan, dan air. Setelah tahun 2000, 

gangguan perburuan liar menurun karena populasi terkonsentrasi di 

Bekol yang relatif aman karena dekat dengan pos penjagaan, pakan 

dan air tersedia lebih banyak, dan sebagai lokasi savana terluas me-

miliki daya dukung habitat baik dengan produksi rumput sebanyak 

24.750 kg/ha. Predasi antara ajag dan banteng terjadi pada anakan 

banteng yang masih lemah, namun selama populasi rusa melimpah, 

ajag lebih memilih untuk memburu satwa tersebut.

Sanctuary Banteng di ... 91

D. Sanctuary Banteng

Sanctuary satwa liar adalah kawasan habitat dan lingkungan satwa 

yang dilindungi dari gangguan perburuan dan penangkapan. Sanc-

tuary banteng yang terdapat di TN Baluran merupakan suatu unit 

manajemen spesies yang bersifat tidak komersial untuk kepentingan 

konservasi dan atau kesejahteraan hidupan liar yang  mempunyai 

fungsi, antara lain untuk tempat penyelamatan, rehabilitasi, 

perkembangbiakan dalam rangka proses peningkatan populasi atau 

pengawetan jenis satwa liar. Kepentingan sanctuary banteng adalah 

melindungi satwa dari kegiatan antropogenik dan predator, lokasi 

penelitian untuk mengetahui perilaku dan reproduksinya, serta re-

stocking untuk pelepasliaran. 

Foto: Reny Sawitri (2017)

Gambar 7.2 Banteng di Sanctuary Taman Nasional Baluran

Pembangunan sanctuary atau suaka banteng yang lokasinya di 

TN Baluran tidak terlepas dari pertimbangan pentingnya satwa ini 

sebagai ikon dan kondisi populasi banteng mengkhawatirkan (Gam-

bar 7.2). Sebagai satwa ikon TN Baluran, banteng jantan di kawasan 

ini memiliki ukuran paling besar di antara jenis banteng lainnya di 

Pulau Jawa (TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, dan TN Ujung Kulon) 

dan Kalimantan (TN Kutai dan tanah adat masyarakat S. Belantikan, 

Kabupaten Lamandau). Banteng jantan TN Baluran memiliki ukuran 

meristik yang terdiri atas bobot badan 700–900 kg, panjang badan 

.92

200–260 cm, lebar kaki 65–67 cm, jarak kaki depan belakang 72–90 

cm, panjang tanduk 55–57 cm, serta lebar dan panjang telapak kaki 

masing-masing sekitar 15–16 cm dan 6,5–7,0 cm (Sawitri dkk., 2011).

Stasiun riset merupakan salah satu fasilitas yang terdapat dalam 

sanctuary banteng yang dibangun tahun 2012. Pembangunan stasiun 

riset diawali dengan membangun kandang breeding di Savana Bekol. 

Tujuan pembangunan stasiun riset tersebut adalah sebagai stock 

indukan bagi banteng yang hasilnya dapat dilepasliarkan (restocking), 

sumber genetik untuk fresh blood di lembaga konservasi melalui per-

tukaran indukan, dan media penelitian (Novianto, 2015). Sanctuary 

Banteng TN Baluran didukung oleh sarana lain, seperti gudang pakan, 

menara pemantau, kandang sapih, paddock, pembangunan solar cell 

untuk memenuhi kebutuhan listrik, jalan menuju areal breeding, dan 

CCTV. Stasiun riset banteng ini menempati lahan seluas 1,22 ha di 

Bekol yang terdiri atas dua kandang seluas 8000 m2 dan 2500 m2 ber-

pagar kawat besi setinggi 1,75 m yang dialiri listrik untuk mencegah 

masuknya predator anjing hutan dan macan tutul. 

E. Indukan dan Perkembangan Populasi

Stok indukan awal banteng pada tahun 2012 diperoleh dari Taman Sa-

fari Indonesia (TSI) II Prigen sebanyak 3 individu (1 jantan, 2 betina) 

dan pada tahun 2015 telah menghasilkan 3 anakan (1 betina, 2 jantan). 

Selanjutnya, pada tahun 2018 banteng pejantan ditukarkan dengan 

banteng pejantan dari TSI III Bali. Tahun 2019 populasi banteng 

menjadi 10 individu yang terdiri atas 1 jantan dan 3 betina indukan 

serta 3 jantan dan 3 betina anakan (Gambar 7.3) (TN Baluran, 2013). 


Saat ini sanctuary banteng di TN Baluran masih memerlukan 

penanganan terkait genetiknya, yaitu dengan mendapatkan indukan 

jantan lokal untuk dapat dikawinkan dengan indukan betina yang 

diperoleh dari TSI II Prigen yang memiliki asal-usul dari TN Meru 

Betiri. Jumlah indukan yang diharapkan berjumlah minimal 10 indi-

vidu dan memiliki keragaman genetik yang tetap terjaga. Selain itu, 

perlu juga dilakukan perluasan kandang yang ada dan pengembangan 

kebun pakan.

F. Manajemen Pakan

Keberhasilan sanctuary banteng dengan kelahiran anak-anak banteng 

tidak terlepas dari pengelolaan kandang dan pemberian pakan yang 

baik. Pemberian pakan banteng di sanctuary masih mendapatkan 

pasokan dari luar (cut and carry) dan bukan pakan alami yang berada 

di sekitar kandang. Hal ini karena jenis pakan sulit dibudidayakan 

secara alami terkait dengan keterbatasan sumber air. Namun, pengem-

bangan pakan perlu segera dilakukan karena rencana dari pihak pe-

ngelola setelah lima tahun di sanctuary, banteng akan dilepasliarkan. 

.94

Foto: Anita Rianti (2019)

Gambar 7.4 Pemberian Pakan Tambahan di 

Sanctuary Banteng Taman Nasional Baluran

Pemberian pakan banteng dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada 

pagi, siang, dan menjelang sore berupa rumput gajah (Pennisetum 

purpureum), rumput Brachiaria reptans, Cynodon dactylon, alang-

alang (Imperata cylindrica), putren atau bonggol dan batang jagung 

muda, jerami padi, tebon (sisa batang/tanaman jagung setelah 

dipanen), bekatul atau dedak padi (Gambar 7.4). Jumlah pakan 

yang diberikan pada banteng di sanctuary sebanyak 16–21 kg pada 

setiap kali pemberian pakan. Jumlah konsumsi pakan tersebut diukur 

berdasarkan bobot badan banteng yang berada di dalam sanctuary. 

Banteng merupakan satwa grazer atau pemakan rumput, namun bisa 

juga menjadi browser apabila lahan makin sempit atau ketersediaan 

rumput terbatas. Selain itu, banteng diberi konsentrat sebagai pakan 

tambahan dan air minum yang dicampur garam, tetes tebu (molase), 

dan vitamin.

Sanctuary Banteng di ... 95

G. Kemitraan Pengembangan Sanctuary

Salah satu kelanjutan dari program sanctuary banteng yang dicanang-

kan dalam SRAK Banteng yang disepakati dalam FGD tahun 2015 

di Bogor dan Banyuwangi  adalah pembangunan stasiun riset dalam 

sanctuary. Pembangunan stasiun riset di TN Baluran dilakukan oleh 

Copenhagen Zoo, sebagai mitra TN Baluran dan Direktorat Konservasi 

Sumber Daya Alam pada tahun 2019. Pembangunan sanctuary ban-

teng diharapkan selesai pada tahun 2021 guna membangun database 

tentang banteng di Indonesia.

Kemitraan sanctuary banteng merupakan kelembagaan yang 

terdiri atas para pihak dalam suatu kelembagaan sesuai dengan pe-

rencanaan program dalam SRAK Banteng tahun 2010–2020. Kelem-

bagaan yang mendukung keberhasilan kegiatan ini adalah kerja sama 

antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Konservasi 

Sumber Daya Alam dan Ekosistem bersama Copenhagen Zoo, dan 

para pihak di antaranya peneliti, akademisi, pemerhati lingkungan, 

dan masyarakat lokal. Kegiatan dalam kelembagaan ini, meliputi 

pembangunan stasiun riset, penyediaan indukan, dan penyediakan 

pakan. Namun, sampai saat ini indukan yang diharapkan dari TN 

Baluran belum diperoleh.

H. Penutup

Sanctuary banteng di TN Baluran merupakan kegiatan prioritas dalam 

rangka melestarikan keberadaan banteng sebagai plasma nutfah sapi 

bali di Indonesia. Banteng merupakan satu dari 25 satwa prioritas 

untuk dikonservasi yang dituangkan dalam SRAK Banteng tahun 

2010–2020. Kegiatan ini diharapkan dapat mencapai target yang 

dicanangkan untuk meningkatkan populasi banteng di TN Baluran 

dan restocking bagi lokasi yang mengalami kepunahan lokal, seperti 

di TN Bali Barat. Melalui pembangunan stasiun riset di Bekol dan 

kelembagaan antara para pihak, pembangunan kebun pakan, stok 

indukan yang memadai, dan perluasan kandang untuk menerapkan 

sistem angon dengan berpindah lokasi secara periodik atau rotation 

period dapat dilakukan secara efektif dan efisien.


Penangkaran rusa timor merupakan salah satu cara untuk melindungi 

dan melestarikan satwa kekayaan Indonesia. Namun, perburuan yang 

tidak terkendali turut memberikan andil terhadap penurunan populasi 

rusa di alam. Penangkaran dapat dilakukan dengan pola kemitraan, 

seperti yang dilakukan antara Pusat Penelitian dan Pengembangan 

Hutan (P3H) di Bogor dengan PT Cibaliung Sumber Daya di Banten. 

Pola kemitraan yang dilakukan oleh kedua belah pihak bertujuan 

untuk menjalin kerja sama agar dapat memenuhi kebutuhan satu sama 

lain dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mem-

perkuat, dan saling menguntungkan satu sama lainnya. Kemitraan 

sangat membutuhkan dukungan yang maksimal dari kedua belah 

pihak agar hasilnya optimal dan dapat menyejahterakan masyarakat 

sekitar lokasi. Dengan adanya alih ilmu pengetahuan dan teknologi, 

populasi rusa timor di penangkaran Cibaliung makin meningkat.


Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan salah satu 

satwa liar Indonesia yang banyak ditangkarkan. Selain rusa timor, 

terdapat pula jenis rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792), rusa 

bawean (Axis kuhlii Muller, 1840), dan muntjak (Muntiacus muntjak). 

Rusa timor memiliki 8 subspesies yang tersebar hampir di seluruh 

Indonesia. Rusa timor mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar 

habitatnya sehingga mudah untuk ditangkar. 

Penangkaran rusa yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengem-

bangan Hutan (P3H) diadopsi oleh mitra PT Cibaliung Sumber daya 

(PT CSD), anak perusahaan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. yang 

bergerak di bidang pertambangan mineral logam emas dan mineral 

dan ikutannya. Lokasi penangkaran rusa timor PT CSD terletak 

di Kampung Huni, Blok Cibeber, Desa Mangkualam, Kecamatan    

Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Lokasi penang-

karan berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, yang 

memiliki topografi bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan 

lereng 15% (landai atau agak miring), terletak pada ketinggian 1.195 

m di atas permukaan laut (Takandjandji dkk., 2016).

B. Pola Kemitraan

Kerja sama penangkaran rusa timor antara P3H dengan PT CSD 

dilaksanakan sejak tahun 2012 melalui kegiatan corporate social 

responsibility (CSR). Ikatan kerja sama ditandai dengan penandata-

nganan memorandum of understanding (MoU) tanggal 23 Maret 2018 

yang diperpanjang hingga 3 tahun ke depan (tahun 2021). Legalitas 

izin penangkaran rusa timor telah diperoleh PT CSD dari Balai Besar 

KSDA Jawa Barat pada tanggal 26 Mei 2016. 

Penangkaran rusa timor yang dilakukan menggunakan pola 

kemitraan. Pola kemitraan tersebut bertujuan untuk menjalin kerja 

sama agar dapat memenuhi kebutuhan satu sama lain dengan mem-

perhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling 

menguntungkan. Kerja sama dalam bentuk kemitraan merupakan 

suatu strategi untuk dapat mengembangkan upaya penangkaran rusa 

Harapan Baru Pengembangan ... 101

timor. Kemitraan sangat membutuhkan dukungan yang maksimal dari 

kedua belah pihak agar hasilnya optimal dan dapat menyejahterakan 

masyarakat lokal. Kegiatan kemitraan melalui kegiatan penangkaran 

rusa diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan peluang beru-

saha bagi masyarakat sekitar lokasi, terwujudnya peningkatan peran 

serta masyarakat dan pihak swasta dalam upaya melestarikan satwa 

rusa timor, serta terpeliharanya keamanan dan keutuhan kawasan 

pengembangan pertambangan. Contoh kegiatannya adalah pengaritan 

hijauan, perawatan, dan pemeliharaan rusa yang dilakukan dengan 

melibatkan masyarakat sekitar lokasi.

Kemitraan dilakukan sesuai kesepakatan yang tertuang di dalam 

MoU dimana P3H wajib melakukan monitoring dan pengamatan 

terhadap rusa timor yang ditangkarkan. P3H berupaya memberikan 

dukungan dan inovasi teknologi penangkaran rusa timor. Selain itu, 

koordinasi kemitraan dilakukan sesuai dengan desain riset yang 

berisi tentang kegiatan penelitian selama berlangsungnya kerja sama. 

Desain riset akan menjadi acuan dan sarana bagi P3H dan PT CSD 

untuk meningkatkan keterpaduan dan sinergisitas dalam pelaksanaan 

penelitian. Kegiatan kemitraan desain riset merupakan hasil diskusi 

antarpihak yang dilakukan sejak dimulainya penangkaran rusa hingga 

saat ini. Aspek teknis penangkaran rusa timor yang dilakukan, meli-

puti populasi, pakan, kandang, reproduksi dan produksi, kesehatan, 

serta pemanfaatan limbah.

C. Sarana Penangkaran

Penangkaran intensif memerlukan sarana dan prasarana, seperti 

kandang yang terdiri atas kandang karantina; induk dan anak yang 

baru melahirkan; dan kandang terminal/shelter. Sarana pendukung 

yang perlu dibangun di dalam areal perkandangan adalah instalasi 

air, peneduh, pagar sepanjang batas kandang, serta jalur koridor yang 

menghubungkan kandang induk dan anak. PT CSD telah membangun 

penangkaran rusa timor dengan menyediakan sarana dan prasarana 

seluas 40x40 m yang terdiri atas 5 kotak kandang individu untuk 

induk dan anak rusa yang baru lahir seluas 3×10 m, tempat berteduh 

3x4 m, tempat pakan 0,8×2,0 m, tempat minum (kolam) 1×3 m, pos 

.102

jaga 5×5 m dan kebun pakan 500 m (Gambar 8.1). Selain itu, terdapat 

timbangan untuk penimbangan bobot badan rusa. 

Foto: Mariana Takandjandji (2014)

Gambar 8.1 Sarana Penangkaran Rusa Timor di Cibaliung

D. Sumber Anakan Rusa

Penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT CSD diawali dengan 

pemberian bibit (parent stock) yang merupakan hasil penangkaran 

P3H di Bogor Forest Science Park (BOFOS) yang berada di Hutan 

Penelitian Dramaga, Bogor. Penangkaran rusa timor dilakukan oleh 

PT CSD menggunakan sistem terkurung di mana seluruh kebutuhan 

hidup rusa diatur oleh manusia termasuk kebutuhan ruangan, pakan, 

tempat berlindung, kesehatan, dan reproduksi (Takandjandji dkk., 

2016). Sistem ini dilakukan secara intensif di dalam kandang terbatas 

di mana pakan diberikan dengan cara cut and carry atau pengaritan 

dari sekitar lokasi penangkaran. 

E. Perkembangan Populasi

Penangkaran rusa di Cibaliung menggunakan jumlah bibit awal 

sebanyak 10 individu terdiri atas dua jantan dan delapan betina 

dengan sex ratio ideal 1:4. Penangkaran tersebut berkembang dengan 

baik sehingga populasi rusa makin bertambah. Pada Agustus 2020, 

Harapan Baru Pengembangan ... 103

jumlah rusa terhitung sebanyak 44 individu, terdiri atas 22 jantan dan 

22 betina. Angka kelahiran cukup tinggi terutama anak rusa betina 

(5,25±4,57 ekor per tahun) meskipun kematian rusa betina juga tinggi 

(0,68±0,05 ekor per tahun) (Tabel 8.1). 

Tabel 8.1 Perkembangan Populasi Rusa Timor di Penangkaran PT Cibaliung Sumber 

daya

No. Parameter

Jantan (Rata-rata 

individu/tahun)

Betina (Rata-rata 

individu/tahun)

1. Bobot Lahir (kg) 3,44±0,57 3,21±0,45 

2. Kelahiran (individu) 3,25±1,89 5,25±4,57

3. Angka Kelahiran (individu) 3,25±1,89 5,25±4,57

4. Angka Kematian (individu) 0,33±0,05 0,68±0,05

5. Waktu Kelahiran 

a. Siang (06.00–17.00) (individu) 16,25±2,99 (83,33%) 5,25±4,57 (18,20%)

b. Malam (17.30–05.30) (individu) 3,25±1,89 (16,67%) 23,25±3,77 (81,58%)

Foto: Mariana Takandjandji (2013)

Gambar 8.2 Rusa dan Anakan di Dalam Kandang 

Penangkaran PT Cibaliung Sumber daya

.104

F. Pemanfaatan

Rusa timor merupakan salah satu satwa liar yang memiliki banyak 

potensi untuk dimanfaatkan, sebagai berikut.

1) Daging

Daging rusa atau venison merupakan salah satu sumber protein he-

wani yang memiliki potensi dan keunggulan, seperti tekstur lembut 

sehingga mudah dicerna, warna merah, kandungan kolesterol rendah, 

dan banyak digemari masyarakat. 

2) Velvet

Velvet adalah ranggah atau tanduk muda terdapat pada rusa jantan, 

merupakan salah satu produk alternatif yang dapat dimanfaatkan 

tanpa harus membunuh. Serbuk velvet rusa memiliki khasiat sebagai 

obat herbal yang dapat dikonsumsi sebagai makanan suplemen untuk 

menghilangkan rasa letih dan mencegah kerapuhan tulang (osteopo-

rosis). Pemanenan velvet dilakukan untuk mengurangi risiko dalam 

penangkaran rusa, seperti perkelahian antar pejantan dan kerusakan 

sarana penangkaran. Velvet dipanen pada umur 55–65 hari kemudian 

diolah menjadi serbuk. Selain itu, ranggah keras dapat dipanen pada 

saat ranggah gugur dan ranggah tersebut dapat dijadikan sebagai 

souvenir. 

3) Kulit 

Kulit dapat dijadikan sebagai bahan baku industri kerajinan untuk 

pembuatan sepatu, jaket, dan aksesori lainnya.

4) Limbah 

Limbah merupakan hasil ikutan penangkaran berupa kotoran/faeces, 

urine, dan sisa pakan yang dapat dijadikan pupuk atau kompos. 

Komoditas tersebut dipanen tanpa harus kehilangan individu hidup 

dan dengan pola pemanenan yang baik dapat menjaga kebersihan 

kandang sehingga mencegah timbulnya penyakit dan mengurangi 

risiko kematian. Limbah penangkaran yang dihasilkan setiap hari di 

penangkaran rusa timor Cibaliung, mengandung karbon dan nitrogen 

Harapan Baru Pengembangan ... 105

serta memiliki banyak manfaat bagi aspek ekonomi, lingkungan, dan 

tanaman. 

G. Kelahiran dan Sex-ratio

Hasil penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT CSD membuk-

tikan bahwa bobot lahir rusa jantan lebih tinggi dibandingkan rusa 

betina. Perbedaan bobot lahir tersebut umum terjadi pada rusa di 

penangkaran. Adiati dan Brahmantiyo (2015) menyatakan rusa jantan 

yang baru lahir mempunyai bobot lahir lebih berat dibandingkan rusa 

betina. Demikian pula dengan performanya, rusa jantan lebih aktif 

dan sehat dibandingkan rusa betina (Setio dan Takandjandji, 2018). 

Hal tersebut disebabkan oleh pewarisan dari tetua jantan dan in-

duknya. Selain itu, perbedaan berat lahir anak jantan dan betina pada 

satwa ruminansia kecil, termasuk rusa, diduga sebagai akibat faktor 

hormon androgen yang terdapat pada sistem hormonal rusa jantan 

sehingga menyebabkan bobot lahir jantan lebih tinggi dibandingkan 

betina (Hamdani, 2015). Hal ini telah dikonfirmasi sebelumnya oleh 

Kaunang dkk. (2014) bahwa jenis kelamin mempengaruhi bobot 

lahir. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata bobot lahir anak 

rusa berjenis kelamin jantan lebih tinggi (3,36±0,40 kg) dibandingkan 

rata-rata bobot lahir rusa betina (2,49±0,32 kg). 

Perbedaan bobot lahir juga disebabkan oleh perbedaan respon 

dari sel-sel jaringan tubuh terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan anak 

rusa jantan lebih mengarah ke pertumbuhan badan dan produksi, 

sedangkan anak rusa betina mengarah ke organ-organ reproduksi. 

Tambahan lagi, perbedaan bobot lahir juga dipengaruhi oleh sifat 

genetik induk. Jenis kelamin anak rusa dipengaruhi oleh sifat genetik 

induknya, jika induknya banyak melahirkan anak berkelamin betina 

keturunannya juga akan banyak melahirkan anak berjenis kelamin 

betina. Oleh karena itu, pencatatan silsilah induk rusa sangat diperlu-

kan untuk mengetahui jenis kelamin anak rusa yang dilahirkan oleh 

induk tersebut. Selain itu, tingkat kematian rusa betina lebih tinggi 

dibandingkan rusa jantan sehingga sex ratio rusa jantan lebih tinggi 

daripada rusa betina karena rusa jantan lebih tahan terhadap penyakit 

dibandingkan rusa betina.

.106

Perkembangan populasi rusa timor di PT CSD cukup pesat, 

namun perbandingan jenis kelamin (sex ratio) belum ideal (1:1). Sex 

ratio rusa timor yang ideal adalah 1:4, yaitu satu jantan berpasangan 

dengan 4–5 betina. Sex ratio yang tidak ideal dapat diinterprestasikan 

memiliki potensi genetik yang kurang ideal sehingga potensi pertum-

buhan populasi cenderung menurun. Selain itu, perbandingan jenis 

kelamin yang tidak ideal dalam suatu tempat penangkaran disebabkan 

oleh kelahiran rusa jantan yang lebih banyak daripada rusa betina. 

Perbandingan jenis kelamin yang tidak ideal ini, pada generasi selan-

jutnya, akan terjadi kecenderungan kelahiran rusa jantan. Menurut 

Destomo dkk. (2020), perbandingan antara jumlah rusa jantan dan 

rusa betina perlu dipertimbangkan untuk mengetahui potensi genetik. 

Sex ratio yang tidak ideal di penangkaran PT CSD juga disebabkan 

oleh kematian rusa betina yang lebih banyak dibandingkan rusa 

jantan.

H. Peningkatan populasi rusa betina

Upaya untuk menghasilkan rusa betina di penangkaran PT CSD 

dilakukan melalui pendekatan penentuan jenis kelamin berdasarkan 

rasio kromosom XX dan XY (Hidayat dkk., 2009). Kegiatan penelitian 

ini bertujuan menjaga agar sex ratio tetap ideal dengan meningkatkan 

jumlah kelahiran rusa betina. Upaya untuk memperoleh anak rusa 

berjenis kelamin betina di penangkaran PT CSD dilakukan dengan 

cara menggabungkan rusa jantan dengan kelompok betina yang se-

dang berahi. Namun, sebelum digabung vagina rusa betina disemprot 

dengan asam cuka (CH3COOH) pH 5. Penggabungan dilakukan 

selama 2 bulan dan setelah itu, rusa jantan dikeluarkan dari komunitas 

saat betina sudah mulai bunting. 

Kondisi pakan dengan rasio anion dan kation tertentu yang di-

berikan pada induk selama bunting juga mempengaruhi jenis kelamin 

anak rusa yang dilahirkan. Hal ini dilakukan dengan menyemprotkan 

larutan magnesium clorida (MgCl2) dan magnesium sulfat (MgSO4) 

yang bersifat asam pada pakan rusa. Perlakuan ini dapat mening-

katkan konsentrasi Zn dan menekan konsentrasi magnesium dalam 

plasma darah. 

Harapan Baru Pengembangan ... 107

Rusa betina di penangkaran PT CSD Banten umumnya lahir pada 

malam hari (78,57%), sedangkan rusa jantan lebih banyak lahir pada 

siang hari (69,23%). Kejadian ini ditemukan juga pada anak rusa yang 

lahir di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Hal ini mengindi-

kasikan bahwa selain pencatatan silsilah induk rusa, pola kelahiran 

anak rusa berdasarkan jenis kelamin juga dapat teridentifikasi dari 

waktu kelahiran.

I. Pengelolaan Kesehatan 

Pengelolaan kesehatan rusa sangat penting diperhatikan dalam kegia-

tan penangkaran, jika tidak akan berakibat pada kematian rusa. Kema-

tian rusa timor di penangkaran milik PT CSD umumnya disebabkan 

oleh kembung perut (tympani atau bloat). Menurut  Yanuartono dkk. 

(2018), gejala klinis pada rusa yang terserang kembung perut yakni 

perut bagian kiri atas membesar dan cukup keras; apabila ditepuk 

akan terasa ada udara dibaliknya dan berbunyi seperti tong kosong, 

merasa tidak nyaman; menghentakkan kaki atau berusaha mengais-

ngais perutnya; sulit bernafas; sering kencing dan mengejan; nafsu 

makan turun atau tidak mau makan sama sekali; dan gelisah. Rusa 

yang terserang tympani atau kembung perut umumnya berumur 6 

hingga 12 bulan dan lebih banyak terjadi pada rusa betina. Hal ini 

disebabkan karena lantai kandang terlalu becek, lembab, dan waktu 

pemberian pakan hijauan yang terlalu pagi. Tympani disebabkan 

karena jantung terhimpit oleh angin dan asam lambung sehingga 

terjadi kembung perut (Yanuartono dkk., 2018). Selain itu, kematian 

rusa akibat kembung perut disebabkan ketidaktahuan dan salah 

penanganan oleh para keeper (Takandjandji dkk., 2016). 

Selain kondisi kandang dan waktu pemberian pakan, penyakit 

perut kembung disebabkan oleh sebagai berikut.

a) Pemberian pakan leguminosa atau kacang-kacangan secara 

berlebihan. 

Daun legum (turi, lamtoro, kaliandra) yang mengandung kadar 

air dan protein yang tinggi menghasilkan asam-asam yang tidak 

mudah menguap, seperti sitrat, malat, dan suksinat. Asam-asam 

.108

ini akan segera menurunkan pH rumen dalam waktu 30–60 

menit pasca pemberian daun legum; 

b) Pemberian rumput terlalu muda secara berlebihan atau karena 

tidak dilayukan terlebih dahulu; dan 

c) Konsumsi pakan buah, ubi jalar, singkong yang terlalu banyak 

akan dapat menahan keluarnya gas dari perut.

Pencegahan terhadap penyakit kembung perut pada rusa yakni 

dengan cara tidak memberikan hijauan atau leguminosae segar yang 

masih muda di pagi hari. Selain itu, hijauan yang akan diberikan 

dilayukan terlebih dahulu atau pakan diberikan dalam bentuk kon-

sentrat dengan kuantitas yang sedikit dan perlahan-lahan. Pakan 

hijauan diberikan dalam bentuk kasar (tidak dipotong terlalu kecil) 

karena makin kasar potongan hijauan (utuh) maka mikrobial rumen 

makin lambat mencerna sehingga dapat meminimalkan kemungkinan 

terjadinya bloat atau kembung perut. Selain itu, pemberian probiotik 

dapat membantu memperbaiki fungsi rumen. Mencegah kembung 

perut, pelayuan terhadap pakan dilakukan selama 2–3 jam sehingga 

dapat menurunkan kandungan air dan sebaiknya memberikan terlebih 

dahulu hijauan yang dipanen pada pagi hari sebelumnya. 

Beberapa resep tradisional lain untuk mengobati kembung 

perut yang dikutip dari Yanuartono dkk. (2018) kemungkinan dapat 

diaplikasikan pada rusa di penangkaran. Resep tersebut antara lain 

menggunakan (1) daun kentut atau kesimbukan sebanyak tiga geng-

gam dan bawang merah 20 buah. Daun kentut kemudian diparut halus 

dan bawang merah dihaluskan. Selanjutnya, kedua bahan dicampur 

dan ditambahkan garam. Setelah itu, campuran bahan dimasukkan 

ke dalam botol, ditambahkan air dan siap diminumkan pada rusa; (2) 

Sebanyak dua sendok makan getah pepaya dan satu sendok makan 

garam dapur dicampurkan secara merata, ditambahkan air, dan 

dipindahkan ke dalam botol air sebelum diminumkan pada rusa; dan 

(3) Campuran asam jawa dan air putih dengan perbandingan 1:1 (gr/

ml) yang diremas-remas lalu disaring dan tiga sendok makan garam 

yang diberikan secara terpisah. 

Harapan Baru Pengembangan ... 109

Pemberian campuran obat resep ketiga dilakukan pada saat rusa 

dalam posisi berdiri, kepala mendongak, dan mulut terbuka. Kemu-

dian, garam dilemparkan dengan sedikit sentakan dan diusahakan 

mengenai faring agar menimbulkan rasa geli sehingga memacu saraf 

untuk batuk atau mendehem. Setelah itu, larutan asam diminumkan 

sehingga sisa-sisa garam ikut tertelan. Larutan asam ini nantinya 

akan mengeluarkan lendir yang mengandung gas beracun dengan 

cepat sehingga reaksi batuk akan memicu lendir keluar dan akhirnya 

rusa bisa bernafas kembali. Dosis pemberiannya diberikan bertahap, 

tergantung tingkat serangan, umur, dan bobot badan rusa. Satu cam-

puran larutan 100 gr asam jawa dapat menyembuhkan kembung perut 

stadium awal pada rusa dewasa. Pemberian obat dilakukan 3 kali 

sehari masing-masing sebanyak 1 sendok teh garam atau diberikan 

2 kali sehari sebanyak 1,5 sendok teh garam.

Solusi kesehatan yang dilakukan di penangkaran PT CSD, yaitu 

kandang dibersihkan dari kotoran atau sisa-sisa pakan rusa, kemudian 

diolah menjadi pupuk. Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi 

pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi penang-

kar karena pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.

J. Implikasi Hasil Penangkaran

Implikasi dari hasil penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT 

CSD di Cibeber, Banten menggunakan desain riset yang dilakukan 

oleh P3H, antara lain untuk menghasilkan populasi rusa yang cukup 

tinggi. Keberhasilan penangkaran rusa timor di PT CSD tergantung 

pada pola pengelolaan. Penangkaran rusa timor yang dilakukan 

menghasilkan populasi rusa yang makin banyak. Namun, upaya 

pelestarian rusa tersebut perlu diperbaiki untuk terus menggalakkan 

konservasi satwa rusa agar populasinya makin bertambah dengan sex 

ratio yang ideal. 

K. Penutup

Berdasarkan hasil kegiatan penangkaran rusa timor yang bermitra 

dengan PT CSD dapat disimpulkan bahwa 1) penangkaran rusa timor 

.110

merupakan kegiatan yang dapat membangun kemandirian masyarakat 

dalam mengelola rusa timor dan memanfaatkan hasil penangkaran 

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar; 2) 

penangkaran rusa timor berfungsi sebagai sarana yang melibatkan 

masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung; dan 

3) hasil penangkaran dapat meningkatkan kepercayaan konsumen 

dan mitra bisnis perusahaan.

Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) merupakan salah 

satu satwa liar mamalia yang dilindungi, namun memiliki tingkat 

perburuan dan perdagangan ilegal cukup tinggi. Perburuan dan 

perdagangan ilegal yang berlebihan terhadap trenggiling mengaki-

batkan penurunan populasi sehingga dapat mengancam keberadaan 

trenggiling di Indonesia. Satwa trenggiling memiliki keunikan, yakni 

tubuhnya bersisik kecuali bagian ujung hidung, bagian ventral dan 

lateral wajah; dan bagian bawah tubuh mulai dari leher sampai perut. 

Keunikan lainnya adalah satwa ini tidak memiliki gigi; lidahnya 

panjang sekitar 25 cm di mana dalam keadaan bahaya selalu meng-

gulung dan menyemprotkan sekreta kelenjar; dapat berdiri dengan 

kaki belakang; dan kaki depan digunakan untuk memegang atau me-

manjat. Pakan utamanya adalah semut dan rayap yang dapat diambil 

R. 

menggunakan lidahnya yang panjang. Trenggiling betina membawa 

anaknya di pangkal ekor sebagai bentuk pengasuhan.

A. Satwa Misterius

Trenggiling memiliki nama ilmiah Manis javanica. Nama tersebut 

diambil dari bahasa latin Manes yang dalam kepercayaan bangsa 

Romawi berarti roh. Nama ini juga merujuk pada penampilannya 

dan pola hidupnya yang lebih aktif pada malam hari (nokturnal). 

Bahkan, di pedalaman Kalimantan Selatan pada era tahun 60 sampai 

80-an, apabila ditemukan trenggiling masuk kampung akan segera 

ditangkap dan dimasukkan dalam karung karena dipercaya akan 

membawa malapetaka. Namun, satwa ini akan menghilang dengan 

sendirinya sehingga dianggap sesuatu yang misterius dan merupa-

kan jelmaan setan. Satwa yang misterius ini, apabila diperhatikan 

dengan saksama adalah satwa yang lucu dan unik, tubuhnya penuh 

dengan sisik, dan akan menggulung atau mengguling, seperti bola 

kalau merasa terganggu. Lidahnya digunakan untuk makan serangga 

seperti semut dan rayap dengan ukuran yang lebih panjang daripada 

tubuhnya. Anaknya yang masih kecil biasanya digendong di belakang 

pangkal ekor induknya dan dibawa kemanapun pergi (Gambar 9.1).

Sejauh ini, sejarah evolusi satwa trenggiling berasal dari evolusi 

konvergen, yakni memiliki nenek moyang yang berbeda dan beradap-

tasi dengan lingkungannya. Di Amerika Utara, trenggiling berasal dari 

armadillo raksasa (Myrmecophaga tridactyla), sedangkan di Amerika 

Selatan, trenggiling berasal dari pemakan semut raksasa yang hidup di 

hutan hujan tropis dataran tinggi Brasil (Gaubert & Antunes, 2005). 

Di Afrika, trenggiling berasal dari trenggiling raksasa, sedangkan di 

Oseania trenggiling berasal dari pemakan semut moncong berduri. 

Keseluruhan satwa nenek moyang trenggiling ini memiliki kemiripan 

bentuk tubuh dan belalai yang berubah menjadi moncong panjang 

sebagai pemakan semut sehingga dimasukkan ke dalam ordo Eden-

tata. Namun, hasil analisis genetika terakhir menunjukkan bahwa 

trenggiling dimasukkan dalam kelompok ordo Pholidota yang berang-

gotakan satu famili, yaitu Manidae dan satu genus Manis yang terbagi 

115

dalam lima sub genus, yaitu Manis, Paramanis, Smutsia, Phataginus, 

dan Uromanis. Menurut Gaubert dkk. (2018), perkembangan tak-

sonomi trenggiling dalam famili Manidae saat ini terbagi menjadi tiga 

genus, yakni Manis (trenggiling asia), Smutsia (trenggiling daratan 

afrika), dan Phataginus (trenggiling pohon afrika). Trenggiling yang 

dijumpai di Benua Asia dan Afrika terdiri atas empat jenis di Afrika, 

yaitu M. gigantean, M. temminckii, M. tricuspis, dan M. tetradactyla, 

sedangkan empat jenis lainnya ditemui di Asia, yakni M. crassicauda, 

M. pentadactyla, M. javanica, dan M. culionensis (Gaubert & Antunes, 

2005).

    

Foto: Reny Sawitri (2016)

Gambar 9.1 Trenggiling Menggendong Anaknya

Berdasarkan morfologi dan meristiknya (Takandjandji & 

 Sawitri, 2016a), trenggiling jantan memiliki ukuran lebih besar dan 

bentuk sisik lebih panjang dibandingkan betinanya yang memiliki 

bentuk sisik lebih lebar. Bobot badan jantan berkisar antara 5–7 kg, 

tetapi dapat mencapai 12,5 kg. Trenggiling dari Kalimantan memiliki 

ukuran bobot badan paling besar dan warna sisik yang lebih gelap 

dibandingkan trenggiling dari Pulau Sumatra dan Jawa yang memiliki 

bobot badan lebih kecil dan warna sisik lebih terang (Takandjandji 

& Sawitri, 2016a). Kepala dan ekornya yang panjang mendatar di 

bawah badannya ketika berjalan di atas tanah. Satwa ini memiliki 

.116

kepala dan mata kecil yang tertutup eyelids tebal untuk menghindari 

masuknya serangga sebagai makanannya, sedangkan kuping bagian 

luar mengecil. Trenggiling merupakan satwa yang unik karena tidak 

memiliki gigi dan mempunyai lidah yang panjang sekitar 25 cm atau 

42% dari panjang badan hingga kepala (Takandjandji & Sawitri, 

2016a). Trenggiling juga dikenal sebagai pemakan serangga berupa 

rayap dan semut di mana pakan tersebut diambil dengan menggu-

nakan lidahnya yang kecil, panjang, dan berlendir.

Ukuran kaki depan trenggiling lebih panjang dibandingkan kaki 

belakang serta dilengkapi dengan cakar jari-jari yang kuat dan pan-

jang yang berfungsi sebagai alat penggali. Trenggiling memiliki ekor 

panjang yang berfungsi sebagai alat keseimbangan pada saat berjalan 

atau memanjat dan sebagai penutup hidungnya pada saat tidur. Satwa 

ini pandai memanjat dan ekornya dipakai untuk memegang ranting 

sebagai penopang keseimbangan badan.

Habitat trenggiling di daerah tropika, meliputi hutan alam primer 

dan hutan sekunder, h