populasi yang tidak memiliki atau kekurangan individu
dengan jenis kelamin jantan atau betina dapat memperkuat populasi
dan meningkatkan prospek untuk kelangsungan hidup populasi itu.
Dalam hal pelepasan individu jantan harus dilihat apakah populasi
yang dimasukinya kekurangan individu jantan. Melepas satwa sitaan
ke lokasi baru yang bukan asalnya juga harus mempertimbangkan
perilaku satwa tersebut, serta kemungkinan membawa penyakit atau
parasit yang dapat merugikan kelangsungan hidup populasi yang telah
eksis dalam jangka panjang.
Apabila si Abah akan ditranslokasi ke lokasi lain yang bukan
asalnya, harus dilihat apakah keuntungan atau manfaatnya lebih
besar dari segala risikonya. Ada 3 pilihan penanganan terhadap satwa
sitaan, yaitu 1) dipelihara di lembaga konservasi; 2) dilepas kembali
.60
ke alam liar; dan 3) euthanasia (IUCN, 2019, 2000). Pemilihan harus
didasarkan atas pertimbangan ilmiah dengan mengindahkan berbagai
sumber panduan (IUCN/SSC, 2013) dan mematuhi regulasi nasional.
Peraturan dan pedoman nasional terkait dengan penanganan satwa
korban konflik dengan manusia antara lain sebagai berikut.
1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008
tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan
Satwa Liar,
2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 Tentang Lembaga
Konservasi,
3) Peraturan Direktur Jendera; Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Nomor P.9/IV-SSET/2011 tentang Pedoman Etika dan
Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konservasi, dan
4) Panduan Penanganan (Handling) Satwa-Mamalia yang dikeluar-
kan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LHK Kemente-
rian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Jika pelepasliaran satwa sitaan ke alam liar memiliki risiko yang
lebih besar daripada manfaatnya, menempatkannya di lembaga kon-
servasi atau fasilitas yang akan memberikan perawatan seumur hidup
dalam kondisi baik dan sejahtera juga memberikan banyak manfaat,
seperti a) untuk edukasi konservasi; b) memiliki peluang hidup lebih
lama dengan perawatan yang saksama; c) potensi untuk digunakan
dalam program pengembangbiakan di lembaga konservasi; d) po-
tensi penangkaran untuk kemungkinan reintroduksi atau program
konservasi lainnya; serta e) potensi untuk digunakan dalam program
konservasi dan penelitian berharga lainnya (IUCN, 2019).
G. Penutup
Telaah terkait penanganan macan tutul si Abah dapat digunakan
sebagai pertimbangan pengambilan keputusan oleh manajemen.
Keputusan untuk melepas kembali ke alam atau merawatnya di
Menakar Manfaat dan ... 61
lembaga konservasi perlu mempertimbangkan pendapat beberapa
ahli lain dan pihak kompeten lainnya, misalnya ahli kesehatan satwa
dan pihak pemangku kawasan calon lokasi pelepasliaran si Abah. Hal
pertama yang perlu diputuskan adalah apakah dari segi kesehatan
si Abah layak dilepas kembali ke alam liar? Jika layak, keputusan
berikutnya adalah kemanakah si Abah harus dilepas?
Jika si Abah tidak layak dilepaskan, keputusan berikutnya yang
harus diambil adalah di manakah si Abah akan ditempatkan agar dapat
menikmati masa tuanya dengan sejahtera dan memberikan manfaat
konservasi. Misalnya, sebagai mantan penguasa di Sawal tentunya si
Abah memiliki “bibit” genetik yang baik untuk digunakan sebagai
pejantan guna pengembangbiakan macan tutul di kebun binatang.
Sebagai contoh, Kebun Binatang Gembira Loka memiliki tiga macan
tutul betina produktif (pada 2018 berumur 5,5–6 tahun), namun tidak
memiliki macan tutul jantan yang unggul. Macan tutul jantan yang
dimiliki tidak subur (berumur 10 tahun pada 2018) dengan testikel
kecil dan prostat sehingga tidak menghasilkan sperma yang baik. Oleh
karena itu, kebun binatang ini perlu dipinjami macan tutul jantan
yang memiliki performa genetik yang baik.
-
AYPBC Widyatmoko, & ILG Nurtjahjaningsih
Banteng jawa (Bos javanicus javanicus) merupakan mamalia terbesar
kedua yang tersisa di Pulau Jawa setelah badak jawa (Rhinocheros
sondaicus). Satwa bertanduk ini dilindungi dan masuk dalam kategori
terancam punah. Jumlahnya saat ini terbatas serta tersebar di empat
taman nasional di Jawa. Perburuan, penurunan, dan degradasi habitat
merupakan penyebab utama penurunan jumlah individu banteng.
Populasi kecil dan terpisah-pisah dalam waktu lama selalu menimbul-
kan pertanyaan apakah kemudian menimbulkan perbedaan karakter
genetik pada masing-masing habitat tersebut. Di sisi lain, jika dilihat
ciri fisiknya, banteng memiliki kemiripan dengan ras sapi bali bahkan
dipercaya sebagai tetua dari ras sapi tersebut. Fakta tersebut menjadi-
kan banteng memiliki potensi besar untuk menambah keragaman
genetik pada sapi bali melalui backcross.
A. Bioekologi Banteng
Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1826) merupakan mamalia besar
yang termasuk dalam family Bovidae. Dilihat dari sudut pandang
taksonomi, jenis banteng memiliki tiga subspesies yang tersebar di
Asia termasuk Indonesia. Dua di antara sub spesies banteng hidup
di Indonesia, yaitu banteng jawa (B. j. javanicus) (Gambar 6.1) dan
banteng lowi/Kalimantan/Borneo (B. j. lowi).
Banteng termasuk satwa liar yang mudah beradaptasi dan dapat
hidup pada beberapa tipe habitat yang berbeda. Sebagai satwa herbivor,
banteng lazim dijumpai di habitat hutan sekunder yang terkadang di
dalamnya terdapat padang rumput. Selain itu, habitat banteng juga
harus memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu pemenuhan mineral.
Hal ini menjadikan banteng di Jawa umum dijumpai di kawasan
yang berdekatan dengan pantai, sementara itu banteng di Kalimantan
dijumpai di kawasan yang memiliki sumur garam. Banteng termasuk
satwa grazer (pemakan rumput) maupun browser (pemakan dedaun-
an). Banteng juga dapat hidup pada habitat dengan curah hujan yang
tinggi dari topografi mulai datar sampai bergelombang.
Banteng merupakan satwa yang hidup berkelompok, dengan
anggota berkisar antara 10–12 individu. Masing-masing kelompok
biasanya terdiri dari banteng jantan dewasa, betina dewasa, dan
anak (Alikodra, 1983). Kelompok banteng tersebut kadang-kadang
bersatu menjadi kelompok besar dengan jumlah mencapai 35–40
ekor. Kumpulan kelompok banteng semacam ini sering terlihat di
padang penggembalaan (grazing area). Banteng biasanya beraktivitas
di tempat yang terbuka dan tersedia hijauan pakan. Banteng termasuk
satwa liar yang aktif pada siang dan malam hari. Banteng menjadi
nokturnal (aktif malam hari) bila pada siang hari terjadi gangguan
baik oleh manusia maupun satwa lainnya.
Hasil pengamatan struktur umur di kebun Pantai Bandealit
Taman Nasional (TN) Meru Betiri dapat diketahui seks rasio dari
banteng jantan dan betina dewasa, yaitu 1:1,76 dan remaja 1:1,57,
sedangkan anak banteng agak sulit dibedakan jenis kelaminnya karena
warna tubuhnya masih sama, yaitu coklat (Garsetiasih, 2012). Seks
Banteng Jawa: Bioekologi ... 65
rasio antara kelas umur dewasa dan remaja tidak terlalu berbeda
sehingga secara umum dapat dikatakan nilai seks rasionya masih
seimbang. Bila dihitung tanpa membedakan kelas umur, seks rasio
banteng jantan dan betina adalah 1:1,7. Komposisi tersebut termasuk
seimbang karena dimungkinkan banteng jantan dapat mengawini dua
banteng betina sehingga proses reproduksi banteng akan berjalan
lebih cepat dan berdampak positif pada peningkatan populasi.
Menurut Alikodra (1983), musim kawin banteng di Ujung Kulon
adalah bulan Juli, September, Oktober, kadang bulan November,
dan Desember. Perkawinan banteng biasanya dilakukan pada waktu
malam hari, tetapi berdasarkan pengamatan di TN Meru Betiri ada
yang melakukan aktivitas kawin pada siang hari. Lama bunting
banteng antara 9,5–10 bulan dengan jumlah anak yang dilahirkan
sebanyak 1–2 ekor, namun kebanyakan satu ekor, dengan umur sapih
10 bulan. Banteng termasuk satwa monoestrus, yaitu mempunyai satu
kali musim kawin dalam satu tahun. Umur banteng betina saat kawin
pertama dan dapat berkembang biak yaitu tiga tahun, sedangkan
banteng jantan lebih dari tiga tahun. Banteng betina selama hidupnya
dapat melahirkan anak sekitar 21 ekor. Di samping itu, banteng dapat
hidup sampai umur 25 tahun.
Catatan lain tentang banteng adalah kedudukannya yang penting
baik secara ekologi maupun ekonomi. Secara ekologi, salah satu peran
banteng adalah sebagai agen penyebaran vegetasi. Catatan Hoogerwerf
(1970) melaporkan bahwa dalam sisa makanan banteng terkadang
dijumpai biji-bijian tumbuhan tertentu, seperti wareng (Gmelina
elliptica) dan kedondong (Spondias pinnata). Secara ekonomi, saat
ini banteng menjadi daya tarik wisata di beberapa taman nasional,
seperti TN Alas Purwo dan TN Ujung Kulon. Banteng di Padang
Penggembalaan Sadengan (TN Alas Purwo) rutin dikunjungi oleh
pelancong, terutama pada musim liburan (Gambar 6.1). Di bidang
ketahanan pangan, banteng juga diyakini sebagai tetua sapi Bali yang
dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia.
.66
Foto: Maryatul Qiptiyah (2016)
Gambar 6.1 Kawanan Banteng Jawa di Taman Nasional Alas
Purwo
B. Sebaran dan Populasi Banteng di Indonesia
Saat ini, laporan perjumpaan banteng di Indonesia terbatas pada
beberapa taman nasional di Jawa dan Kalimantan. Banteng di kedua
pulau tersebut secara taksonomi, memiliki kedudukan berbeda pada
tingkat subspesies dan hal tersebut masih menjadi bahan diskusi
para ahli. Banteng jawa merupakan populasi subspesies terbesar dan
tersebar di Pulau Jawa. Umumnya, penyebaran banteng hanya ada
di kawasan taman nasional di Indonesia. Data terkini menunjukkan
subspesies banteng jawa dijumpai pada empat taman nasional, yaitu
TN Ujung Kulon (provinsi Banten), TN Meru Betiri, TN Alas Purwo
dan TN Baluran (provinsi Jawa Timur). Sementara itu, banteng lowi/
borneo/kalimantan dilaporkan dijumpai di TN Kutai (Kalimantan
Timur) dan TN Kayan Mentarang (Kalimantan Utara) (Gambar 6.2).
Banteng Jawa: Bioekologi ... 67
Foto: Maryatul Qiptiyah (2020)
Gambar 6.2 Peta Sebaran dan Habitat Banteng di Indonesia
Berdasarkan informasi terakhir, banteng di TN Baluran relatif
sulit ditemukan karena adanya perburuan liar dan degradasi habitat
di mana sekitar 60% wilayah Savana Baluran telah tertutup oleh
akasia berduri (Acacia nilotica) Di lokasi lainnya, berdasarkan hasil
perhitungan populasi di TN Meru Betiri pada tahun 2002, banteng
di wilayah kerja Sarongan diperkirakan berjumlah 90 individu/100
ha. Adapun populasi banteng di Pulau Jawa tersaji dalam Tabel 6.1.
Populasi banteng di TN Meru Betiri tersebar di beberapa lokasi,
di antaranya di padang penggembalaan Nanggelan, Pringtali, kebun
pantai Bandealit, dan kebun Sumber Salak. Lokasi-lokasi tersebut
masuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah Ambulu. Selain
di wilayah kerja Ambulu, populasi banteng juga terdapat di wilayah
kerja Sarongan, yaitu di padang penggembalaan Sumber Sari. Populasi
banteng tersebut baru dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisata,
tetapi belum optimal karena belum didukung oleh sarana dan prasa-
rana yang memadai.
C. Ancaman Kelestarian Banteng
Kelestarian banteng di berbagai kawasan ditentukan oleh penga-
manan dan kecukupan daya dukung habitatnya. Rendahnya tingkat
pengamanan banteng pada suatu kawasan akan memicu terjadinya
perburuan liar. Banteng merupakan sumber pangan untuk masyarakat
sehingga rentan untuk diburu. Kejadian perburuan di TN Alas Purwo
biasanya meningkat pada waktu tertentu, seperti saat banyak acara
pernikahan atau hari raya.
Selain kasus perburuan liar, konflik antara banteng dan masyarakat
juga merupakan salah satu yang berpotensi sebagai ancam an terhadap
kelestarian banteng. Sebagai contoh, banteng di Resort Bandealit
Banteng Jawa: Bioekologi ... 69
TN Meru Betiri menimbulkan permasalahan karena masuk ke areal
perkebunan, kemudian memakan, dan merusak tanaman perkebunan
sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan perusahaan
perkebunan (Garsetiasih, 2013). Masuknya banteng pada areal
perkebunan kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, yaitu akibat
kerusakan habitat yang berdampak pada rendahnya daya dukung
habitat banteng di dalam kawasan, khususnya terkait sumber pakan
dan faktor lainnya karena tanaman yang ada di perkebunan lebih
menarik dan disukai oleh banteng. Gangguan banteng terhadap kebun
masyarakat dikhawatirkan akan menjadi konflik dengan masyarakat
dan berakibat pada perburuan yang mengancam kelestarian banteng.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa daya
dukung habitat pakan banteng di kawasan taman nasional sangat
rendah, salah satunya diakibatkan oleh adanya spesies invasif yang
mengganggu padang penggembalaan, di antaranya A. nilotica yang
menginvasi savana di TN Baluran dan Chromolaena odorata yang
menginvasi padang penggembalaan di TN Meru Betiri dan TN Alas
Purwo (Gambar 6.3).
(a) (b)
Keterangan: a. Akasia (Acacia nilotica) b. Kirinyuh (Chromolaena odorata)
Foto: Garsetiasih (2011)
Gambar 6.3 Spesies Tumbuhan Invasif di Padang Penggembalaan
Jenis tanaman invasif tersebut menyebabkan produktivitas pakan
menjadi rendah lalu banteng keluar kawasan dan memakan tanaman
masyarakat. Ketersediaan pakan perlu diperhatikan dalam rangka
.70
upaya konservasi banteng. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan
adalah pengelolaan habitat, khususnya di padang penggembalaan,
untuk memenuhi kebutuhan pakan banteng dengan jenis-jenis
tumbuhan pakan yang cukup dan berkualitas bagus.
D. Banteng Jawa dan Banteng Lowi
Berada pada sub spesies yang berbeda, secara morfologi, banteng jawa
dan banteng kalimatan memiliki perbedaan hanya pada ukuran relatif
tubuhnya. Banteng jawa memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar
daripada banteng kalimantan (Castello, 2016). Kedudukan taksonomi
yang memisahkan banteng jawa dan banteng lowi pada subspesies
yang berbeda masih menjadi bahan diskusi para ahli. Grzimek pada
tahun 1987 dalam Gardner (2014) meragukan kesahihan pembagian
sub spesies tersebut terkait dengan kemampuan banteng kawin de-
ngan sapi peliharaan. Timmins dkk. (2008) mengusulkan penyatuan
banteng lowi ke dalam subspesies banteng jawa. Kedua pendapat
tersebut bertentangan dengan penelitian lainnnya, yaitu Hassanin
dan Ropiquet (2007) yang menyatakan bahwa subspesies banteng
bukan jenis monofiletik (berasal dari keturunan yang sama).
Perbedaan pendapat terkait status sub spesies banteng mendasari
banyaknya penelitian tentang genetika banteng. Upaya mendefi-
nisikan perbedaan banteng jawa dan banteng lowi dilakukan dengan
cara mengurutkan susunan DNA dari masing-masing sampel kedua
subspesies banteng tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa banteng jawa memiliki posisi klaster yang berbeda dengan
banteng lowi, yang berarti kedua subspesies itu secara genetik me-
miliki jalur evolusi yang berbeda atau sudah terpisah sejak lama
(Gambar 6.4).
Waktu pemisahan asal-usul kelompok satwa, termasuk banteng,
dapat ditentukan dengan menggunakan analisis genetik. Secara ge-
netik, pemisahan banteng jawa dan banteng lowi terjadi sekitar 1,25
juta tahun yang lalu (Qiptiyah dkk., 2019b). Banteng jawa dipercaya
lebih tua dari banteng lowi berdasarkan bukti sejarah temuan fosil di
Jawa dan lukisan gua di Kalimantan bagian Timur.
Banteng Jawa: Bioekologi ... 71
Catatan sejarah tentang banteng di Pulau Jawa berawal dari
ditemukannya fosil banteng jawa purba atau leluhur banteng (Bibos
bibos paleosondaicus) di Trinil sekitar satu juta tahun yang lalu. Di
sisi lain, catatan sejarah tentang fosil banteng purba juga ditemukan
di situs Patiayam, di sekitar Muria dan Pati, dengan umur fosil yang
hampir sama (Siswanto & Noerwidi, 2016). Sementara itu, catatan
sejarah banteng lowi di Kalimantan berupa gambar di dinding gua
yang berumur 10 ribu tahun yang lalu (Gardner, 2014).
E. Banteng Jawa vs Sapi Bali
Banteng jawa merupakan tetua sapi bali yang populer dibudidayakan
di beberapa wilayah di Indonesia. Proses domestikasi banteng Jawa
dimulai sejak 3500 sebelum Masehi dan mulai didistribusikan ke
beberapa wilayah di Indonesia sejak lama. Selain di Pulau Bali, ras sapi
bali umum dijumpai di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur. Masa penggalakan transmigrasi merupakan
momentum penyebaran ras sapi ini ke beberapa pulau di Indonesia.
Ras sapi bali diminati karena beberapa kelebihannya, seperti tingkat
mortalitas anakan rendah dan persentase karkas tinggi. Hal ini
menjadikan sapi bali menjadi salah satu andalan sebagai penghasil
daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat.
Ciri banteng jawa juga dimiliki oleh ras sapi bali, seperti warna
tubuh yang dimorfik (berbeda antara jantan dewasa dan betina),
pola warna pada tubuh, serta bentuk tengkorak dan tanduk. Tubuh
keduanya berwarna coklat kemerah merahan, pada bagian pantat
terdapat warna belang putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolah
olah memakai kaos kaki berwarna putih (Gambar 6.5). Jika sudah
dewasa jantan warnanya akan terlihat lebih gelap.
.72
Gambar 6.4 Posisi Filogenetik Banteng Jawa, Banteng Lowi, Banteng Daratan
Asia dan Beberapa Ras Sapi Ternak
Banteng Jawa: Bioekologi ... 73
(a) (b)
Keterangan: a. Jantan b. Betina
Foto: (a) blog.act.id (t.t); (b) Kementerian Pertanian (2016)
Gambar 6.5 Sapi Bali
Perbedaan banteng dan sapi bali yang sering disebutkan adalah
pada ukuran tubuhnya, yaitu banteng jawa relatif lebih besar dari sapi
bali. Berat tubuh banteng antara 400 kg sampai 900 kg (Hoogerwerf,
1970), sedangkan sapi bali dewasa sekitar 300–400 kg. Banteng ber-
tubuh tegap, besar, dan kuat dengan bahu bagian depan lebih tinggi
daripada bagian belakang, panjang kepala 18–22,5 cm, dan panjang
ekor 6,5–7 cm (Sawitri dkk., 2014). Banteng jantan dan betina sama-
sama memiliki tanduk jadi cara mudah untuk membedakan antara
banteng jantan dan betina adalah dari warnanya, jantan berwarna
kulit hitam, sedangkan betina berwarna kulit coklat kemerahan
(Gambar 6.6).
(a) (b)
Keterangan: a. Jantan b. Betina
Foto: Garsetiasih (2011)
Gambar 6.6 Kelompok Banteng di Blok Banyu Putih Perkebunan Bandealit
.74
Kemiripan ciri fisik antara banteng jawa dan sapi bali memuncul-
kan banyak penelitian tentang karakter genetik ke duanya. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa banteng jawa dan sapi bali
memiliki kemiripan urutan DNA bagian mitokondria yang tinggi.
Bahkan, penelitian Qiptiyah dkk. (2019b) mendapatkan sampel DNA
mitokondria banteng jawa, dari berbagai populasi di alam, 100%
identik dibandingkan sapi bali (Gambar 6.4). Hasil ini juga didapatkan
oleh penelitian lainnya untuk sampel DNA banteng yang didapatkan
dari kebun binatang.
Kesamaan urutan DNA mitokondria antara banteng jawa dan
sapi bali memiliki potensi besar dilakukannya backcross (mengawin-
kan sapi bali dengan banteng Jawa). Pemasalahan yang lazim muncul
dalam upaya budi daya sapi adalah terjadinya inbreeding (kawin kera-
bat) sehingga menurunkan keragaman genetik pada ternak budi daya.
Penurunan keragaman genetik diduga menjadi penyebab penurunan
produksi dan kerentanan ternak terhadap penyakit. Terkait dengan hal
ini, backcross merupakan salah satu solusi yang memungkinkan untuk
ditempuh. Dengan kata lain, banteng memiliki posisi penting sebagai
plasma nutfah yang harus dijaga kelestariannya untuk meningkatkan
kualitas sapi bali. Semen banteng penting untuk digunakan melalui
inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik dengan sapi bali.
F. Terpojok di Sudut Taman Nasional: Karakter
genetik banteng yang tersisa
Distribusi banteng jawa, menurut berbagai catatan yang dituangkan
dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK)
Banteng adalah di sebagian Pulau Jawa. Lebih lanjut dalam dokumen
tersebut, ditentukan juga kawasan habitat alam banteng jawa yang
diprioritaskan untuk dikonservasi. Ke empat lokasi taman nasional
yang menjadi habitat alami banteng memiliki jarak geografi cukup
jauh sehingga tidak memungkinkan banteng bisa bermigrasi dari
lokasi satu ke lokasi lainnnya secara alami.
Situasi dan kondisi banteng jawa saat ini berada pada kategori
populasi kecil (jumlah individu sedikit), terisolasi secara geografis
Banteng Jawa: Bioekologi ... 75
(tanpa ada migrasi) sehingga memicu terjadinya perubahan pada vari-
asi genetik banteng. Hal ini berkaitan dengan adanya proses adaptasi
jangka panjang terhadap lingkungan dan/atau mutasi genetik yang
hanya terjadi pada habitat tertentu. Identifikasi terhadap variasi gene-
tik dilakukan dengan cara analisis genetik sehingga akan tergambar
karakter genetik pada masing-masing lokasi habitat.
Analisis genetik dilakukan dengan membandingkan susunan
DNA masing-masing individu banteng pada tingkat jenis maupun
populasi. Hasil penelitian Qiptiyah dkk. (2019a) tentang karakter
DNA banteng jawa pada bagian mitokondria (istilah untuk salah satu
bagian sel) menunjukkan ada empat macam variasi karakter genetik
(haplotipe) di Pulau Jawa. Variasi karakter genetik/haplotipe diilus-
trasikan sebagai satu warna yang berbeda satu sama lain. Gambar 6.7
menunjukkan empat macam haplotipe hasil analisis seluruh sampel
DNA banteng Jawa.
Gambar 6.7 Peta Sebaran Haplotipe Banteng Jawa di Empat Populasi Alam dan
Penangkaran Semi In Situ
.76
Ilustrasi gambar menunjukkan bahwa dua macam karakter
genetik berdasar DNA mitokondria (biasa disebut dengan haplotipe)
banteng Jawa hampir sama pada masing-masing habitat. Sementara
itu, terdapat satu sampel dengan karakter berbeda dijumpai di TN
Ujung Kulon. Banteng jawa TN Meru Betiri memiliki haplotipe unik
yang tidak dimiliki oleh taman nasional lainnya. Sebaliknya, TN Meru
Betiri juga tidak memiliki karakter genetik yang dimiliki oleh taman
nasional lainnya.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa fenomena tersebut
dapat terjadi. Pertama, TN Meru Betiri sejak awal memiliki induk
betina yang berbeda secara genetik dengan induk betina dari taman
nasional lainnya. Kedua, karakter genetik banteng TN Meru Betiri
sudah mengalami mutasi sehingga urutan DNA-nya menjadi berbeda
dengan banteng di taman nasional lainnya.
Keunikan karakter genetik pada DNA pada bagian mitokondria
banteng TN Meru Betiri menimbulkan konsekuensi untuk upaya
konservasi dan pelindungannya. Jika dikaitkan dengan pelepasliaran
banteng, TN Meru Betiri diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam
mengambil keputusan dengan melakukan pengkajian aspek genetik
pada banteng yang akan dilepasliarkan. Hal ini untuk mencegah
keunikan karakter genetik banteng di TN Meru Betiri tidak hilang
sebagai akibat dari desakan karakter genetik banteng lainya.
G. Pentingnya Upaya Konservasi Banteng Jawa
Upaya konservasi banteng menjadi sangat penting untuk dilakukan
karena situasi dan kondisi banteng saat ini yang berada dalam popu-
lasi kecil, ditambah adanya berbagai ancaman terhadap kelangsungan
hidupnya. Contoh populasi kecil terjadi di wilayah Resort Bandealit
TN Meru Betiri di mana jumlah individu banteng jawa diperkirakan
sudah berkurang (Populasi Banteng Taman, 2013). Berdasarkan infor-
masi dari Kepala Balai TNMB pada tahun 2016, di Resort Bandealit,
yang sebelumnya paling banyak dihuni banteng, hanya ditemukan
43 individu banteng (Permata, 2016), padahal sebelumnya mencapai
90 ekor (Garsetiasih, 2012). Populasi Banteng di Resort Bandealit
Banteng Jawa: Bioekologi ... 77
dan Resort Sukamade TN Meru Betiri berkisar sekitar 62 individu
(Ditjen KSDAE, 2017). Fenomena populasi kecil juga terjadi di taman
nasional habitat banteng lainnya, seperti TN Ujung Kulon dan TN
Baluran.
Selain populasi kecil, degradasi habitat, dan kedekatan lokasi
habitat banteng dengan permukiman juga menambah kerentanan
jenis banteng menuju punah. Sebagai satwa liar yang berpotensi seba-
gai sumber protein, perburuan banteng jawa meningkat frekuensinya
pada saat tertentu, seperti perayaan hari besar keagamaan atau pesta.
Konflik banteng jawa lainnya yang pernah dilaporkan adalah serangan
banteng jawa ke tanaman budidaya masyarakat di TN Meru Betiri,
yang mengakibatkan pengusiran banteng dengan menggunakan suara
petasan. Hal ini menjadikan banteng menjadi sulit dijumpai di Padang
Penggembalaan Pringtali. Sementara itu, di TN Baluran, ancaman
konflik banteng dengan masyarakat adalah praktik penggembalaan
ternak secara liar sehingga masuk ke dalam kawasan. Hal ini dapat
berpotensi pada hilangnya keragaman genetik asli banteng akibat
adanya hibridisasi.
H. Upaya Melestarikan Banteng
Pelestarian banteng jawa di Indonesia telah dilakukan dengan berba-
gai pendekatan. Secara hukum, jenis banteng di Indonesia dilindungi
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/Kum.1/12/2018. Selain itu, banteng
juga termasuk dalam kategori satwa terancam punah berdasarkan In-
ternational Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. Selain
itu, dokumen kebijakan untuk upaya konservasi telah dituangkan
dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2011
tentang SRAK Banteng (B. javanicus) di Indonesia tahun 2010–2020.
Berdasarkan rencana aksi konservasi tersebut, perlindungan
jenis banteng idealnya dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif
oleh para pihak. Prinsip lainnya dalam upaya pelestarian banteng
adalah (1) pengelolaan populasi, (2) pengelolaan habitat, (3) sistem
pengelolaan data (pemantauan dinamika populasi), (4) peningkatan
.78
profesional aparat, (5) peningkatan kerja sama para pihak, dan (6)
peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng.
I. Penutup
Fakta bahwa banteng sudah berada pada populasi kecil dan hidup
di habitat terfragmentasi memberikan konsekuensi agar upaya
konservasinya dikerjakan secara serius. Paradigma upaya konservasi
banteng tidak hanya menggunakan paradigma penurunan populasi
(konservasi secara bioekologi), namun juga melibatkan paradigma
populasi kecil (konservasi genetik).
Saat ini, secara konkrit, upaya penyelamatan dan perlindungan
banteng tidak hanya berfokus pada penyelamatan populasi dan habitat
saja, namun juga sudah menyertakan karakter genetik di dalam satwa
tersebut. Namun demikian, aspek genetik memiliki spektrum (baik
target DNA maupun teknik molekuler) yang sangat luas sehingga
perlu didefinisikan lebih lanjut. Kelengkapan data dan informasi ten-
tang karakter genetik penting untuk mendasari upaya pelepasliaran,
pertukaran satwa, dan forensik.
Banteng sebagai nenek moyang dari sapi bali merupakan plasma
nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya sehingga upaya
konservasinya harus ditingkatkan. Pelestarian galur murni jenis
banteng jawa penting dilakukan untuk upaya perbaikan genetik sapi
bali melalui upaya backcross.
Sanctuary atau suaka banteng di Taman Nasional (TN) Baluran penting
dibangun sebagai upaya untuk mengonservasi plasma nutfah sebagai
cikal bakal sapi bali dan sapi madura. Selain itu, upaya tersebut juga
untuk mendukung populasi yang viable atau sintas. Banteng yang ada
di kawasan TN Baluran merupakan banteng dengan ukuran terbesar,
baik bobot badan maupun ukuran tubuhnya, dibandingkan banteng
yang ada di kawasan konservasi lainnya.
A. Sekilas Kawasan TN Baluran
Kawasan TN Baluran dikenal memiliki savana yang luas sehingga
sering disebut sebagai “Afrika”–nya Pulau Jawa. Kawasan tersebut
terletak di ujung timur Pulau Jawa, berbatasan dengan Selat Madura
di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah
selatan dibatasi aliran Sungai Bajulmati, dan sebelah barat dibatasi
R.
Sungai Kelokoran. Secara administratif pemerintahan seluruh kawasan
berada di wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo,
Provinsi Jawa Timur.
Penunjukan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa telah
dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928 melalui usulan AH
Loedeboer yang menguasai wilayah tersebut sebagai lokasi perburuan.
Penetapan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa berdasarkan
Surat Keputusan pemerintah Hindia Belanda Nomor 9 Tahun 1937
(Lembaran Negara Nomor 544 Tahun 1937). Tujuan penetapan ka-
wasan Baluran adalah untuk melindungi berbagai jenis satwa liar dari
kepunahan. Saat pengumuman Strategi Pelestarian Dunia, tanggal 6
Maret 1980, Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan oleh Menteri
Pertanian Republik Indonesia sebagai taman nasional berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 786/Mentan/X/1982
dengan wilayah kerjanya meliputi kawasan TN Baluran, Suaka Mar-
gasatwa Alas Purwo dan Cagar Alam atau Taman Wisata Kawah Ijen.
Namun, sejak tahun 1992 Suaka Margasatwa Alas Purwo dinyatakan
sebagai taman nasional sehingga berpisah dengan TN Baluran. Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 279/Kpts-VI/1997 tanggal
25 Mei 1997 menyatakan bahwa luas TN Baluran adalah 28.750 ha,
terdiri dari 26.990,3 ha daratan dan 2.051,68 ha perairan laut.
Sebagai ekosistem daratan dan laut, TN Baluran memiliki be-
berapa tipe vegetasi dari pegunungan hingga pantai (Suwarni, 2015).
Ekosistem TN Baluran merupakan habitat bagi 28 jenis mamalia,
dua jenis di antaranya merupakan endangered spesies, yakni banteng
dan macan tutul sebagai spesies kunci (key species). Oleh karena itu,
keberadaan banteng perlu dilindungi dengan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang
lampirannya diperbarui melalui Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018.
Pengelolaan TN Baluran sesuai dengan rencana pola ruang
wilayah Kabupaten Situbondo diarahkan sebagai kawasan perlin-
dungan plasma nutfah untuk konservasi sumber daya alam hayati,
Sanctuary Banteng di ... 85
seperti flora, fauna, mikroba, serta ekosistem savana, hutan musim
maupun hutan bakau (Marsudi, 2015). Pengelolaan TN Baluran saat
ini mengalami beberapa permasalahan yang menyebabkan populasi
banteng terus mengalami penurunan. Tahun 2011 populasi banteng
diperkirakan tinggal 22 individu (Suwarni, 2015). Namun, seiring
dengan pengelolaan yang telah dilakukan melalui sanctuary suaka
satwa banteng (SSB), populasi banteng mulai tahun 2018 hingga
saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan hasil
breeding sanctuary di Pusat Riset Bekol, sudah dilepasliarkan kembali
ke alam.
Pembangunan sanctuary banteng di TN Baluran ditujukan untuk
mengembalikan dan meningkatkan populasi serta database banteng.
Hal ini sejalan dengan program dan kegiatan konservasi banteng
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tertuang
dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Banteng (Bos
javanicus) Tahun 2010–2020 (Permenhut Nomor 58, 2011).
B. Permasalahan Pengelolaan
Terdapat beberapa permasalahan terkait konservasi banteng secara
in situ di TN Baluran, yaitu sebagai berikut.
1) Perubahan Habitat
Perubahan habitat satwa mulai terjadi sejak ditanamnya pohon akasia
(Acacia nilotica) sebagai sekat bakar di Savana Bekol. Pertumbuhan
akasia sangat cepat dan tidak terkendali sehingga bersifat invasive
alien species (IAS) yang menyebabkan tidak ada tanaman lain yang
bisa tumbuh di sekitarnya.
Penyebaran akasia dipercepat oleh agen penyebar, seperti ban-
teng, kerbau, dan rusa yang memakan daun dan buah, kemudian
bijinya ikut tersebar melalui kotoran satwa. Di samping itu, akasia
bersifat kosmopolit yang cepat tumbuh karena toleran terhadap
kondisi habitat, tetapi intoleran terhadap naungan. Invasi tanaman
akasia menyebabkan perubahan ekosistem Savana Bekol, Semiang,
Balanan, Kramat, Talpat, Labuan Merak, Air Tawar, dan Karang Tekok
.86
seluas 5.592 ha atau sekitar 40% dari 10.000 ha. Pertumbuhan tanam-
an invasif di savana menyebabkan kerusakan habitat dan rumput
lokal, yang merupakan pakan satwa, tersingkir akibat kalah bersaing
(Riski & Fajar, 2014). Oleh karenanya, tanaman invasif tersebut perlu
dimusnahkan.
Beberapa cara yang telah dicoba untuk memusnahkan spe-
sies asing tersebut atau eradikasi, yaitu secara manual dan mesin.
Eradikasi total pada bagian tanaman akasia telah dilakukan secara
manual dengan alat berat ataupun gergaji, namun diberhentikan
karena operasional alat ini mengganggu keberadaan satwa. Saat ini,
eradikasi dilakukan dengan menebang pohon dan mengolesi bekas
batang dengan herbisida Triclopyr dengan dosis 1 lt/ha agar tanaman
tersebut mati (Setyawati, 2011). Selain itu, dilakukan pula pencabutan
anakan akasia agar tidak menyebar. Saat ini luasan savana yang telah
dibersihkan dari tanaman invasif sekitar 1.500 ha dan satwa telah
kembali dijumpai di beberapa savana, seperti Bekol.
2) Keterbatasan Sumber Air
Taman Nasional Baluran mempunyai tata air radial dan sungai-sungai
yang bermuara ke Laut Jawa. Sungai Bajulmati dan Sungai Kelokoran
terletak di batas kawasan sebelah selatan dan barat mengairi persawah-
an dan perladangan masyarakat. Namun, pengairan tersebut belum
mencukupi kebutuhan sehingga masyarakat membuat sumur artesis.
Pembuatan sumur artesis memengaruhi persediaan air di kawasan
yang akan mengering di musim kemarau. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa mata air, yakni di Palongan, Kelor, Bama, Mesigit, Bilik,
Gatal, Semiang, Kepuh, Talpat, dan Tanjung Sedano. Selain itu, air
yang mengalir di permukaan tanah pada musim hujan di sebagian
batu vulkanik tidak dapat terserap sehingga membentuk kubangan
dan akan mengering ketika musim kemarau. Saat ini, telah diusahakan
pompa air bertenaga matahari untuk memompa air dari tanah untuk
mengisi tempat-tempat air di daerah perlintasan satwa (Gambar 7.1).
Sanctuary Banteng di ... 87
Foto: Reny Sawitri (2017)
Gambar 7.1 Bak Penampungan Air Minum di Lokasi Pelintasan
Satwa di Taman Nasional Baluran
3) Kebakaran
Sebagian besar TN Baluran merupakan ekosistem savana. Savana
adalah tipe ekosistem dataran rendah atau dataran tinggi yang ko-
munitasnya terdiri dari beberapa pohon yang tersebar tidak merata
dan lapisan bawahnya di dominasi oleh rumput-rumputan. Savana
sering mengalami kebakaran, baik terjadi secara alami ataupun akibat
aktivitas manusia, bahkan sering kali tidak terkendali. Keberadaan
ekosistem savana memerlukan api sebagai pengendali ekosistem
untuk menuju ekosistem optimal. Kebakaran pada ekosistem savana
memungkinkan rumput-rumput pakan satwa lebih tersebar dan
produktif. Kebakaran terjadi karena fenomena alam akibat musim
kemarau yang panjang dan suhu relatif tinggi akibat El Nino. Selain
itu, kehadiran masyarakat yang membutuhkan rumput segar untuk
ternak sapi, dapat pula memperluas kebakaran hutan. Apabila keba-
karan tidak terkendali atau terkontrol, kebakaran akan menyebar di
seluruh kawasan. Kebakaran yang terjadi selama lima tahun terakhir
(2010–2014) di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah
I Bekol rata-rata seluas 705,09 ha, sedangkan di SPTN Wilayah II
Karang Tekok seluas 1.300 ha. Hal ini masih berlanjut setiap tahun
dan pada tahun 2018 kebakaran mencapai 1.798,92 ha.
.88
Pembakaran di savana sebaiknya dilakukan secara terkontrol
pada akhir musim penghujan. Tujuannya agar regenerasi rumput
pakan satwa dapat berjalan baik dan dapat memusnahkan jenis
tumbuhan asing invasif, seperti A. nilotica yang saat ini telah menjadi
permasalahan di TN Baluran. Api juga dapat membatasi pertumbuhan
biji tumbuhan berkayu sehingga rumput bebas dari pengaruh naungan
dan persaingan dengan vegetasi lain.
4) Perburuan Satwa Liar
TN Baluran memiliki potensi satwa liar yang cukup tinggi terutama
mamalia dan jenis burung. Namun, potensi yang ada sering diman-
faatkan dengan berbagai cara dan menyebabkan penurunan populasi
serta dapat mengancam kelestariannya. Perburuan satwa liar termasuk
banteng dan rusa yang berada di kawasan TN Baluran dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Selain mamalia, jenis
burung juga sering diburu dan diperdagangkan. Oleh karena itu,
untuk menjaga dan melestarikan keberadaan populasi banteng,
pihak pengelola TN Baluran seharusnya memantau secara rutin dari
tahun ke tahun melalui kegiatan sensus, menjaga kondisi daya dukung
kawasan satwa tersebut, dan melindunginya dari perburuan liar.
5) Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Pengambilan HHBK oleh masyarakat sekitar kawasan, berupa buah,
biji, daun, rumput, dan madu dilakukan di seluruh kawasan TN
Baluran. Pemanfaatan dilakukan dengan tidak mempertimbangkan
zonasi sehingga zona inti dan zona rimba, seperti Gunung Baluran
tidak luput dari perambahan. Rumput sebagai pakan satwa diambil
setiap hari di sepanjang jalan pintu masuk ke Bekol. Buah asam,
biji kemiri, biji akasia yang sudah tua diambil saat musim berbuah
untuk campuran kopi. Selain itu, rencek pohon sebagai kayu bakar
dan madu turut diambil pula (Suriani & Razak, 2011). Kajian lanjut-
an perlu dilakukan terhadap kegiatan pengambilan HHBK, seperti
kuota pengambilan, kelembagaan, tata cara pengambilan yang ramah
lingkungan, dan tempat pengambilan atau zonasinya.
Sanctuary Banteng di ... 89
C. Populasi Banteng
Populasi banteng berdasarkan hasil sensus tahun 1941–2013 pada
daerah-daerah konsentrasi banteng (Suwarni, 2015), tercantum pada
Tabel 7.1. Tabel tersebut menunjukkan penurunan populasi banteng
di TN Baluran secara drastis pada tahun 2003. Berdasarkan hasil
sensus tahun 1997 ditemukan banteng sebanyak 115 individu dengan
metode concentration count (CC) dan 282 individu dengan metode
sensus line transect count. Namun, pada tahun 2003 hanya ditemukan
sebanyak 21 individu. Berdasarkan survei dengan camera trap pada
tahun 2015–2018, populasi banteng mengalami peningkatan tiap
tahunnya dimulai dari 46 individu, 45 individu, 69 individu, dan 112
individu (TN Baluran, 2013).
Fluktuasi populasi banteng tergantung pada keamanan kawasan,
gangguan dari manusia ataupun predator, ketersediaan habitat atau
grazzing ground, ketersediaan pakan, dan air. Setelah tahun 2000,
gangguan perburuan liar menurun karena populasi terkonsentrasi di
Bekol yang relatif aman karena dekat dengan pos penjagaan, pakan
dan air tersedia lebih banyak, dan sebagai lokasi savana terluas me-
miliki daya dukung habitat baik dengan produksi rumput sebanyak
24.750 kg/ha. Predasi antara ajag dan banteng terjadi pada anakan
banteng yang masih lemah, namun selama populasi rusa melimpah,
ajag lebih memilih untuk memburu satwa tersebut.
Sanctuary Banteng di ... 91
D. Sanctuary Banteng
Sanctuary satwa liar adalah kawasan habitat dan lingkungan satwa
yang dilindungi dari gangguan perburuan dan penangkapan. Sanc-
tuary banteng yang terdapat di TN Baluran merupakan suatu unit
manajemen spesies yang bersifat tidak komersial untuk kepentingan
konservasi dan atau kesejahteraan hidupan liar yang mempunyai
fungsi, antara lain untuk tempat penyelamatan, rehabilitasi,
perkembangbiakan dalam rangka proses peningkatan populasi atau
pengawetan jenis satwa liar. Kepentingan sanctuary banteng adalah
melindungi satwa dari kegiatan antropogenik dan predator, lokasi
penelitian untuk mengetahui perilaku dan reproduksinya, serta re-
stocking untuk pelepasliaran.
Foto: Reny Sawitri (2017)
Gambar 7.2 Banteng di Sanctuary Taman Nasional Baluran
Pembangunan sanctuary atau suaka banteng yang lokasinya di
TN Baluran tidak terlepas dari pertimbangan pentingnya satwa ini
sebagai ikon dan kondisi populasi banteng mengkhawatirkan (Gam-
bar 7.2). Sebagai satwa ikon TN Baluran, banteng jantan di kawasan
ini memiliki ukuran paling besar di antara jenis banteng lainnya di
Pulau Jawa (TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, dan TN Ujung Kulon)
dan Kalimantan (TN Kutai dan tanah adat masyarakat S. Belantikan,
Kabupaten Lamandau). Banteng jantan TN Baluran memiliki ukuran
meristik yang terdiri atas bobot badan 700–900 kg, panjang badan
.92
200–260 cm, lebar kaki 65–67 cm, jarak kaki depan belakang 72–90
cm, panjang tanduk 55–57 cm, serta lebar dan panjang telapak kaki
masing-masing sekitar 15–16 cm dan 6,5–7,0 cm (Sawitri dkk., 2011).
Stasiun riset merupakan salah satu fasilitas yang terdapat dalam
sanctuary banteng yang dibangun tahun 2012. Pembangunan stasiun
riset diawali dengan membangun kandang breeding di Savana Bekol.
Tujuan pembangunan stasiun riset tersebut adalah sebagai stock
indukan bagi banteng yang hasilnya dapat dilepasliarkan (restocking),
sumber genetik untuk fresh blood di lembaga konservasi melalui per-
tukaran indukan, dan media penelitian (Novianto, 2015). Sanctuary
Banteng TN Baluran didukung oleh sarana lain, seperti gudang pakan,
menara pemantau, kandang sapih, paddock, pembangunan solar cell
untuk memenuhi kebutuhan listrik, jalan menuju areal breeding, dan
CCTV. Stasiun riset banteng ini menempati lahan seluas 1,22 ha di
Bekol yang terdiri atas dua kandang seluas 8000 m2 dan 2500 m2 ber-
pagar kawat besi setinggi 1,75 m yang dialiri listrik untuk mencegah
masuknya predator anjing hutan dan macan tutul.
E. Indukan dan Perkembangan Populasi
Stok indukan awal banteng pada tahun 2012 diperoleh dari Taman Sa-
fari Indonesia (TSI) II Prigen sebanyak 3 individu (1 jantan, 2 betina)
dan pada tahun 2015 telah menghasilkan 3 anakan (1 betina, 2 jantan).
Selanjutnya, pada tahun 2018 banteng pejantan ditukarkan dengan
banteng pejantan dari TSI III Bali. Tahun 2019 populasi banteng
menjadi 10 individu yang terdiri atas 1 jantan dan 3 betina indukan
serta 3 jantan dan 3 betina anakan (Gambar 7.3) (TN Baluran, 2013).
Saat ini sanctuary banteng di TN Baluran masih memerlukan
penanganan terkait genetiknya, yaitu dengan mendapatkan indukan
jantan lokal untuk dapat dikawinkan dengan indukan betina yang
diperoleh dari TSI II Prigen yang memiliki asal-usul dari TN Meru
Betiri. Jumlah indukan yang diharapkan berjumlah minimal 10 indi-
vidu dan memiliki keragaman genetik yang tetap terjaga. Selain itu,
perlu juga dilakukan perluasan kandang yang ada dan pengembangan
kebun pakan.
F. Manajemen Pakan
Keberhasilan sanctuary banteng dengan kelahiran anak-anak banteng
tidak terlepas dari pengelolaan kandang dan pemberian pakan yang
baik. Pemberian pakan banteng di sanctuary masih mendapatkan
pasokan dari luar (cut and carry) dan bukan pakan alami yang berada
di sekitar kandang. Hal ini karena jenis pakan sulit dibudidayakan
secara alami terkait dengan keterbatasan sumber air. Namun, pengem-
bangan pakan perlu segera dilakukan karena rencana dari pihak pe-
ngelola setelah lima tahun di sanctuary, banteng akan dilepasliarkan.
.94
Foto: Anita Rianti (2019)
Gambar 7.4 Pemberian Pakan Tambahan di
Sanctuary Banteng Taman Nasional Baluran
Pemberian pakan banteng dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada
pagi, siang, dan menjelang sore berupa rumput gajah (Pennisetum
purpureum), rumput Brachiaria reptans, Cynodon dactylon, alang-
alang (Imperata cylindrica), putren atau bonggol dan batang jagung
muda, jerami padi, tebon (sisa batang/tanaman jagung setelah
dipanen), bekatul atau dedak padi (Gambar 7.4). Jumlah pakan
yang diberikan pada banteng di sanctuary sebanyak 16–21 kg pada
setiap kali pemberian pakan. Jumlah konsumsi pakan tersebut diukur
berdasarkan bobot badan banteng yang berada di dalam sanctuary.
Banteng merupakan satwa grazer atau pemakan rumput, namun bisa
juga menjadi browser apabila lahan makin sempit atau ketersediaan
rumput terbatas. Selain itu, banteng diberi konsentrat sebagai pakan
tambahan dan air minum yang dicampur garam, tetes tebu (molase),
dan vitamin.
Sanctuary Banteng di ... 95
G. Kemitraan Pengembangan Sanctuary
Salah satu kelanjutan dari program sanctuary banteng yang dicanang-
kan dalam SRAK Banteng yang disepakati dalam FGD tahun 2015
di Bogor dan Banyuwangi adalah pembangunan stasiun riset dalam
sanctuary. Pembangunan stasiun riset di TN Baluran dilakukan oleh
Copenhagen Zoo, sebagai mitra TN Baluran dan Direktorat Konservasi
Sumber Daya Alam pada tahun 2019. Pembangunan sanctuary ban-
teng diharapkan selesai pada tahun 2021 guna membangun database
tentang banteng di Indonesia.
Kemitraan sanctuary banteng merupakan kelembagaan yang
terdiri atas para pihak dalam suatu kelembagaan sesuai dengan pe-
rencanaan program dalam SRAK Banteng tahun 2010–2020. Kelem-
bagaan yang mendukung keberhasilan kegiatan ini adalah kerja sama
antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem bersama Copenhagen Zoo, dan
para pihak di antaranya peneliti, akademisi, pemerhati lingkungan,
dan masyarakat lokal. Kegiatan dalam kelembagaan ini, meliputi
pembangunan stasiun riset, penyediaan indukan, dan penyediakan
pakan. Namun, sampai saat ini indukan yang diharapkan dari TN
Baluran belum diperoleh.
H. Penutup
Sanctuary banteng di TN Baluran merupakan kegiatan prioritas dalam
rangka melestarikan keberadaan banteng sebagai plasma nutfah sapi
bali di Indonesia. Banteng merupakan satu dari 25 satwa prioritas
untuk dikonservasi yang dituangkan dalam SRAK Banteng tahun
2010–2020. Kegiatan ini diharapkan dapat mencapai target yang
dicanangkan untuk meningkatkan populasi banteng di TN Baluran
dan restocking bagi lokasi yang mengalami kepunahan lokal, seperti
di TN Bali Barat. Melalui pembangunan stasiun riset di Bekol dan
kelembagaan antara para pihak, pembangunan kebun pakan, stok
indukan yang memadai, dan perluasan kandang untuk menerapkan
sistem angon dengan berpindah lokasi secara periodik atau rotation
period dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Penangkaran rusa timor merupakan salah satu cara untuk melindungi
dan melestarikan satwa kekayaan Indonesia. Namun, perburuan yang
tidak terkendali turut memberikan andil terhadap penurunan populasi
rusa di alam. Penangkaran dapat dilakukan dengan pola kemitraan,
seperti yang dilakukan antara Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan (P3H) di Bogor dengan PT Cibaliung Sumber Daya di Banten.
Pola kemitraan yang dilakukan oleh kedua belah pihak bertujuan
untuk menjalin kerja sama agar dapat memenuhi kebutuhan satu sama
lain dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mem-
perkuat, dan saling menguntungkan satu sama lainnya. Kemitraan
sangat membutuhkan dukungan yang maksimal dari kedua belah
pihak agar hasilnya optimal dan dapat menyejahterakan masyarakat
sekitar lokasi. Dengan adanya alih ilmu pengetahuan dan teknologi,
populasi rusa timor di penangkaran Cibaliung makin meningkat.
Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan salah satu
satwa liar Indonesia yang banyak ditangkarkan. Selain rusa timor,
terdapat pula jenis rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792), rusa
bawean (Axis kuhlii Muller, 1840), dan muntjak (Muntiacus muntjak).
Rusa timor memiliki 8 subspesies yang tersebar hampir di seluruh
Indonesia. Rusa timor mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar
habitatnya sehingga mudah untuk ditangkar.
Penangkaran rusa yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Hutan (P3H) diadopsi oleh mitra PT Cibaliung Sumber daya
(PT CSD), anak perusahaan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. yang
bergerak di bidang pertambangan mineral logam emas dan mineral
dan ikutannya. Lokasi penangkaran rusa timor PT CSD terletak
di Kampung Huni, Blok Cibeber, Desa Mangkualam, Kecamatan
Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Lokasi penang-
karan berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, yang
memiliki topografi bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan
lereng 15% (landai atau agak miring), terletak pada ketinggian 1.195
m di atas permukaan laut (Takandjandji dkk., 2016).
B. Pola Kemitraan
Kerja sama penangkaran rusa timor antara P3H dengan PT CSD
dilaksanakan sejak tahun 2012 melalui kegiatan corporate social
responsibility (CSR). Ikatan kerja sama ditandai dengan penandata-
nganan memorandum of understanding (MoU) tanggal 23 Maret 2018
yang diperpanjang hingga 3 tahun ke depan (tahun 2021). Legalitas
izin penangkaran rusa timor telah diperoleh PT CSD dari Balai Besar
KSDA Jawa Barat pada tanggal 26 Mei 2016.
Penangkaran rusa timor yang dilakukan menggunakan pola
kemitraan. Pola kemitraan tersebut bertujuan untuk menjalin kerja
sama agar dapat memenuhi kebutuhan satu sama lain dengan mem-
perhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Kerja sama dalam bentuk kemitraan merupakan
suatu strategi untuk dapat mengembangkan upaya penangkaran rusa
Harapan Baru Pengembangan ... 101
timor. Kemitraan sangat membutuhkan dukungan yang maksimal dari
kedua belah pihak agar hasilnya optimal dan dapat menyejahterakan
masyarakat lokal. Kegiatan kemitraan melalui kegiatan penangkaran
rusa diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan peluang beru-
saha bagi masyarakat sekitar lokasi, terwujudnya peningkatan peran
serta masyarakat dan pihak swasta dalam upaya melestarikan satwa
rusa timor, serta terpeliharanya keamanan dan keutuhan kawasan
pengembangan pertambangan. Contoh kegiatannya adalah pengaritan
hijauan, perawatan, dan pemeliharaan rusa yang dilakukan dengan
melibatkan masyarakat sekitar lokasi.
Kemitraan dilakukan sesuai kesepakatan yang tertuang di dalam
MoU dimana P3H wajib melakukan monitoring dan pengamatan
terhadap rusa timor yang ditangkarkan. P3H berupaya memberikan
dukungan dan inovasi teknologi penangkaran rusa timor. Selain itu,
koordinasi kemitraan dilakukan sesuai dengan desain riset yang
berisi tentang kegiatan penelitian selama berlangsungnya kerja sama.
Desain riset akan menjadi acuan dan sarana bagi P3H dan PT CSD
untuk meningkatkan keterpaduan dan sinergisitas dalam pelaksanaan
penelitian. Kegiatan kemitraan desain riset merupakan hasil diskusi
antarpihak yang dilakukan sejak dimulainya penangkaran rusa hingga
saat ini. Aspek teknis penangkaran rusa timor yang dilakukan, meli-
puti populasi, pakan, kandang, reproduksi dan produksi, kesehatan,
serta pemanfaatan limbah.
C. Sarana Penangkaran
Penangkaran intensif memerlukan sarana dan prasarana, seperti
kandang yang terdiri atas kandang karantina; induk dan anak yang
baru melahirkan; dan kandang terminal/shelter. Sarana pendukung
yang perlu dibangun di dalam areal perkandangan adalah instalasi
air, peneduh, pagar sepanjang batas kandang, serta jalur koridor yang
menghubungkan kandang induk dan anak. PT CSD telah membangun
penangkaran rusa timor dengan menyediakan sarana dan prasarana
seluas 40x40 m yang terdiri atas 5 kotak kandang individu untuk
induk dan anak rusa yang baru lahir seluas 3×10 m, tempat berteduh
3x4 m, tempat pakan 0,8×2,0 m, tempat minum (kolam) 1×3 m, pos
.102
jaga 5×5 m dan kebun pakan 500 m (Gambar 8.1). Selain itu, terdapat
timbangan untuk penimbangan bobot badan rusa.
Foto: Mariana Takandjandji (2014)
Gambar 8.1 Sarana Penangkaran Rusa Timor di Cibaliung
D. Sumber Anakan Rusa
Penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT CSD diawali dengan
pemberian bibit (parent stock) yang merupakan hasil penangkaran
P3H di Bogor Forest Science Park (BOFOS) yang berada di Hutan
Penelitian Dramaga, Bogor. Penangkaran rusa timor dilakukan oleh
PT CSD menggunakan sistem terkurung di mana seluruh kebutuhan
hidup rusa diatur oleh manusia termasuk kebutuhan ruangan, pakan,
tempat berlindung, kesehatan, dan reproduksi (Takandjandji dkk.,
2016). Sistem ini dilakukan secara intensif di dalam kandang terbatas
di mana pakan diberikan dengan cara cut and carry atau pengaritan
dari sekitar lokasi penangkaran.
E. Perkembangan Populasi
Penangkaran rusa di Cibaliung menggunakan jumlah bibit awal
sebanyak 10 individu terdiri atas dua jantan dan delapan betina
dengan sex ratio ideal 1:4. Penangkaran tersebut berkembang dengan
baik sehingga populasi rusa makin bertambah. Pada Agustus 2020,
Harapan Baru Pengembangan ... 103
jumlah rusa terhitung sebanyak 44 individu, terdiri atas 22 jantan dan
22 betina. Angka kelahiran cukup tinggi terutama anak rusa betina
(5,25±4,57 ekor per tahun) meskipun kematian rusa betina juga tinggi
(0,68±0,05 ekor per tahun) (Tabel 8.1).
Tabel 8.1 Perkembangan Populasi Rusa Timor di Penangkaran PT Cibaliung Sumber
daya
No. Parameter
Jantan (Rata-rata
individu/tahun)
Betina (Rata-rata
individu/tahun)
1. Bobot Lahir (kg) 3,44±0,57 3,21±0,45
2. Kelahiran (individu) 3,25±1,89 5,25±4,57
3. Angka Kelahiran (individu) 3,25±1,89 5,25±4,57
4. Angka Kematian (individu) 0,33±0,05 0,68±0,05
5. Waktu Kelahiran
a. Siang (06.00–17.00) (individu) 16,25±2,99 (83,33%) 5,25±4,57 (18,20%)
b. Malam (17.30–05.30) (individu) 3,25±1,89 (16,67%) 23,25±3,77 (81,58%)
Foto: Mariana Takandjandji (2013)
Gambar 8.2 Rusa dan Anakan di Dalam Kandang
Penangkaran PT Cibaliung Sumber daya
.104
F. Pemanfaatan
Rusa timor merupakan salah satu satwa liar yang memiliki banyak
potensi untuk dimanfaatkan, sebagai berikut.
1) Daging
Daging rusa atau venison merupakan salah satu sumber protein he-
wani yang memiliki potensi dan keunggulan, seperti tekstur lembut
sehingga mudah dicerna, warna merah, kandungan kolesterol rendah,
dan banyak digemari masyarakat.
2) Velvet
Velvet adalah ranggah atau tanduk muda terdapat pada rusa jantan,
merupakan salah satu produk alternatif yang dapat dimanfaatkan
tanpa harus membunuh. Serbuk velvet rusa memiliki khasiat sebagai
obat herbal yang dapat dikonsumsi sebagai makanan suplemen untuk
menghilangkan rasa letih dan mencegah kerapuhan tulang (osteopo-
rosis). Pemanenan velvet dilakukan untuk mengurangi risiko dalam
penangkaran rusa, seperti perkelahian antar pejantan dan kerusakan
sarana penangkaran. Velvet dipanen pada umur 55–65 hari kemudian
diolah menjadi serbuk. Selain itu, ranggah keras dapat dipanen pada
saat ranggah gugur dan ranggah tersebut dapat dijadikan sebagai
souvenir.
3) Kulit
Kulit dapat dijadikan sebagai bahan baku industri kerajinan untuk
pembuatan sepatu, jaket, dan aksesori lainnya.
4) Limbah
Limbah merupakan hasil ikutan penangkaran berupa kotoran/faeces,
urine, dan sisa pakan yang dapat dijadikan pupuk atau kompos.
Komoditas tersebut dipanen tanpa harus kehilangan individu hidup
dan dengan pola pemanenan yang baik dapat menjaga kebersihan
kandang sehingga mencegah timbulnya penyakit dan mengurangi
risiko kematian. Limbah penangkaran yang dihasilkan setiap hari di
penangkaran rusa timor Cibaliung, mengandung karbon dan nitrogen
Harapan Baru Pengembangan ... 105
serta memiliki banyak manfaat bagi aspek ekonomi, lingkungan, dan
tanaman.
G. Kelahiran dan Sex-ratio
Hasil penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT CSD membuk-
tikan bahwa bobot lahir rusa jantan lebih tinggi dibandingkan rusa
betina. Perbedaan bobot lahir tersebut umum terjadi pada rusa di
penangkaran. Adiati dan Brahmantiyo (2015) menyatakan rusa jantan
yang baru lahir mempunyai bobot lahir lebih berat dibandingkan rusa
betina. Demikian pula dengan performanya, rusa jantan lebih aktif
dan sehat dibandingkan rusa betina (Setio dan Takandjandji, 2018).
Hal tersebut disebabkan oleh pewarisan dari tetua jantan dan in-
duknya. Selain itu, perbedaan berat lahir anak jantan dan betina pada
satwa ruminansia kecil, termasuk rusa, diduga sebagai akibat faktor
hormon androgen yang terdapat pada sistem hormonal rusa jantan
sehingga menyebabkan bobot lahir jantan lebih tinggi dibandingkan
betina (Hamdani, 2015). Hal ini telah dikonfirmasi sebelumnya oleh
Kaunang dkk. (2014) bahwa jenis kelamin mempengaruhi bobot
lahir. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata bobot lahir anak
rusa berjenis kelamin jantan lebih tinggi (3,36±0,40 kg) dibandingkan
rata-rata bobot lahir rusa betina (2,49±0,32 kg).
Perbedaan bobot lahir juga disebabkan oleh perbedaan respon
dari sel-sel jaringan tubuh terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan anak
rusa jantan lebih mengarah ke pertumbuhan badan dan produksi,
sedangkan anak rusa betina mengarah ke organ-organ reproduksi.
Tambahan lagi, perbedaan bobot lahir juga dipengaruhi oleh sifat
genetik induk. Jenis kelamin anak rusa dipengaruhi oleh sifat genetik
induknya, jika induknya banyak melahirkan anak berkelamin betina
keturunannya juga akan banyak melahirkan anak berjenis kelamin
betina. Oleh karena itu, pencatatan silsilah induk rusa sangat diperlu-
kan untuk mengetahui jenis kelamin anak rusa yang dilahirkan oleh
induk tersebut. Selain itu, tingkat kematian rusa betina lebih tinggi
dibandingkan rusa jantan sehingga sex ratio rusa jantan lebih tinggi
daripada rusa betina karena rusa jantan lebih tahan terhadap penyakit
dibandingkan rusa betina.
.106
Perkembangan populasi rusa timor di PT CSD cukup pesat,
namun perbandingan jenis kelamin (sex ratio) belum ideal (1:1). Sex
ratio rusa timor yang ideal adalah 1:4, yaitu satu jantan berpasangan
dengan 4–5 betina. Sex ratio yang tidak ideal dapat diinterprestasikan
memiliki potensi genetik yang kurang ideal sehingga potensi pertum-
buhan populasi cenderung menurun. Selain itu, perbandingan jenis
kelamin yang tidak ideal dalam suatu tempat penangkaran disebabkan
oleh kelahiran rusa jantan yang lebih banyak daripada rusa betina.
Perbandingan jenis kelamin yang tidak ideal ini, pada generasi selan-
jutnya, akan terjadi kecenderungan kelahiran rusa jantan. Menurut
Destomo dkk. (2020), perbandingan antara jumlah rusa jantan dan
rusa betina perlu dipertimbangkan untuk mengetahui potensi genetik.
Sex ratio yang tidak ideal di penangkaran PT CSD juga disebabkan
oleh kematian rusa betina yang lebih banyak dibandingkan rusa
jantan.
H. Peningkatan populasi rusa betina
Upaya untuk menghasilkan rusa betina di penangkaran PT CSD
dilakukan melalui pendekatan penentuan jenis kelamin berdasarkan
rasio kromosom XX dan XY (Hidayat dkk., 2009). Kegiatan penelitian
ini bertujuan menjaga agar sex ratio tetap ideal dengan meningkatkan
jumlah kelahiran rusa betina. Upaya untuk memperoleh anak rusa
berjenis kelamin betina di penangkaran PT CSD dilakukan dengan
cara menggabungkan rusa jantan dengan kelompok betina yang se-
dang berahi. Namun, sebelum digabung vagina rusa betina disemprot
dengan asam cuka (CH3COOH) pH 5. Penggabungan dilakukan
selama 2 bulan dan setelah itu, rusa jantan dikeluarkan dari komunitas
saat betina sudah mulai bunting.
Kondisi pakan dengan rasio anion dan kation tertentu yang di-
berikan pada induk selama bunting juga mempengaruhi jenis kelamin
anak rusa yang dilahirkan. Hal ini dilakukan dengan menyemprotkan
larutan magnesium clorida (MgCl2) dan magnesium sulfat (MgSO4)
yang bersifat asam pada pakan rusa. Perlakuan ini dapat mening-
katkan konsentrasi Zn dan menekan konsentrasi magnesium dalam
plasma darah.
Harapan Baru Pengembangan ... 107
Rusa betina di penangkaran PT CSD Banten umumnya lahir pada
malam hari (78,57%), sedangkan rusa jantan lebih banyak lahir pada
siang hari (69,23%). Kejadian ini ditemukan juga pada anak rusa yang
lahir di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Hal ini mengindi-
kasikan bahwa selain pencatatan silsilah induk rusa, pola kelahiran
anak rusa berdasarkan jenis kelamin juga dapat teridentifikasi dari
waktu kelahiran.
I. Pengelolaan Kesehatan
Pengelolaan kesehatan rusa sangat penting diperhatikan dalam kegia-
tan penangkaran, jika tidak akan berakibat pada kematian rusa. Kema-
tian rusa timor di penangkaran milik PT CSD umumnya disebabkan
oleh kembung perut (tympani atau bloat). Menurut Yanuartono dkk.
(2018), gejala klinis pada rusa yang terserang kembung perut yakni
perut bagian kiri atas membesar dan cukup keras; apabila ditepuk
akan terasa ada udara dibaliknya dan berbunyi seperti tong kosong,
merasa tidak nyaman; menghentakkan kaki atau berusaha mengais-
ngais perutnya; sulit bernafas; sering kencing dan mengejan; nafsu
makan turun atau tidak mau makan sama sekali; dan gelisah. Rusa
yang terserang tympani atau kembung perut umumnya berumur 6
hingga 12 bulan dan lebih banyak terjadi pada rusa betina. Hal ini
disebabkan karena lantai kandang terlalu becek, lembab, dan waktu
pemberian pakan hijauan yang terlalu pagi. Tympani disebabkan
karena jantung terhimpit oleh angin dan asam lambung sehingga
terjadi kembung perut (Yanuartono dkk., 2018). Selain itu, kematian
rusa akibat kembung perut disebabkan ketidaktahuan dan salah
penanganan oleh para keeper (Takandjandji dkk., 2016).
Selain kondisi kandang dan waktu pemberian pakan, penyakit
perut kembung disebabkan oleh sebagai berikut.
a) Pemberian pakan leguminosa atau kacang-kacangan secara
berlebihan.
Daun legum (turi, lamtoro, kaliandra) yang mengandung kadar
air dan protein yang tinggi menghasilkan asam-asam yang tidak
mudah menguap, seperti sitrat, malat, dan suksinat. Asam-asam
.108
ini akan segera menurunkan pH rumen dalam waktu 30–60
menit pasca pemberian daun legum;
b) Pemberian rumput terlalu muda secara berlebihan atau karena
tidak dilayukan terlebih dahulu; dan
c) Konsumsi pakan buah, ubi jalar, singkong yang terlalu banyak
akan dapat menahan keluarnya gas dari perut.
Pencegahan terhadap penyakit kembung perut pada rusa yakni
dengan cara tidak memberikan hijauan atau leguminosae segar yang
masih muda di pagi hari. Selain itu, hijauan yang akan diberikan
dilayukan terlebih dahulu atau pakan diberikan dalam bentuk kon-
sentrat dengan kuantitas yang sedikit dan perlahan-lahan. Pakan
hijauan diberikan dalam bentuk kasar (tidak dipotong terlalu kecil)
karena makin kasar potongan hijauan (utuh) maka mikrobial rumen
makin lambat mencerna sehingga dapat meminimalkan kemungkinan
terjadinya bloat atau kembung perut. Selain itu, pemberian probiotik
dapat membantu memperbaiki fungsi rumen. Mencegah kembung
perut, pelayuan terhadap pakan dilakukan selama 2–3 jam sehingga
dapat menurunkan kandungan air dan sebaiknya memberikan terlebih
dahulu hijauan yang dipanen pada pagi hari sebelumnya.
Beberapa resep tradisional lain untuk mengobati kembung
perut yang dikutip dari Yanuartono dkk. (2018) kemungkinan dapat
diaplikasikan pada rusa di penangkaran. Resep tersebut antara lain
menggunakan (1) daun kentut atau kesimbukan sebanyak tiga geng-
gam dan bawang merah 20 buah. Daun kentut kemudian diparut halus
dan bawang merah dihaluskan. Selanjutnya, kedua bahan dicampur
dan ditambahkan garam. Setelah itu, campuran bahan dimasukkan
ke dalam botol, ditambahkan air dan siap diminumkan pada rusa; (2)
Sebanyak dua sendok makan getah pepaya dan satu sendok makan
garam dapur dicampurkan secara merata, ditambahkan air, dan
dipindahkan ke dalam botol air sebelum diminumkan pada rusa; dan
(3) Campuran asam jawa dan air putih dengan perbandingan 1:1 (gr/
ml) yang diremas-remas lalu disaring dan tiga sendok makan garam
yang diberikan secara terpisah.
Harapan Baru Pengembangan ... 109
Pemberian campuran obat resep ketiga dilakukan pada saat rusa
dalam posisi berdiri, kepala mendongak, dan mulut terbuka. Kemu-
dian, garam dilemparkan dengan sedikit sentakan dan diusahakan
mengenai faring agar menimbulkan rasa geli sehingga memacu saraf
untuk batuk atau mendehem. Setelah itu, larutan asam diminumkan
sehingga sisa-sisa garam ikut tertelan. Larutan asam ini nantinya
akan mengeluarkan lendir yang mengandung gas beracun dengan
cepat sehingga reaksi batuk akan memicu lendir keluar dan akhirnya
rusa bisa bernafas kembali. Dosis pemberiannya diberikan bertahap,
tergantung tingkat serangan, umur, dan bobot badan rusa. Satu cam-
puran larutan 100 gr asam jawa dapat menyembuhkan kembung perut
stadium awal pada rusa dewasa. Pemberian obat dilakukan 3 kali
sehari masing-masing sebanyak 1 sendok teh garam atau diberikan
2 kali sehari sebanyak 1,5 sendok teh garam.
Solusi kesehatan yang dilakukan di penangkaran PT CSD, yaitu
kandang dibersihkan dari kotoran atau sisa-sisa pakan rusa, kemudian
diolah menjadi pupuk. Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi
pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi penang-
kar karena pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.
J. Implikasi Hasil Penangkaran
Implikasi dari hasil penangkaran rusa timor yang dilakukan oleh PT
CSD di Cibeber, Banten menggunakan desain riset yang dilakukan
oleh P3H, antara lain untuk menghasilkan populasi rusa yang cukup
tinggi. Keberhasilan penangkaran rusa timor di PT CSD tergantung
pada pola pengelolaan. Penangkaran rusa timor yang dilakukan
menghasilkan populasi rusa yang makin banyak. Namun, upaya
pelestarian rusa tersebut perlu diperbaiki untuk terus menggalakkan
konservasi satwa rusa agar populasinya makin bertambah dengan sex
ratio yang ideal.
K. Penutup
Berdasarkan hasil kegiatan penangkaran rusa timor yang bermitra
dengan PT CSD dapat disimpulkan bahwa 1) penangkaran rusa timor
.110
merupakan kegiatan yang dapat membangun kemandirian masyarakat
dalam mengelola rusa timor dan memanfaatkan hasil penangkaran
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar; 2)
penangkaran rusa timor berfungsi sebagai sarana yang melibatkan
masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung; dan
3) hasil penangkaran dapat meningkatkan kepercayaan konsumen
dan mitra bisnis perusahaan.
Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) merupakan salah
satu satwa liar mamalia yang dilindungi, namun memiliki tingkat
perburuan dan perdagangan ilegal cukup tinggi. Perburuan dan
perdagangan ilegal yang berlebihan terhadap trenggiling mengaki-
batkan penurunan populasi sehingga dapat mengancam keberadaan
trenggiling di Indonesia. Satwa trenggiling memiliki keunikan, yakni
tubuhnya bersisik kecuali bagian ujung hidung, bagian ventral dan
lateral wajah; dan bagian bawah tubuh mulai dari leher sampai perut.
Keunikan lainnya adalah satwa ini tidak memiliki gigi; lidahnya
panjang sekitar 25 cm di mana dalam keadaan bahaya selalu meng-
gulung dan menyemprotkan sekreta kelenjar; dapat berdiri dengan
kaki belakang; dan kaki depan digunakan untuk memegang atau me-
manjat. Pakan utamanya adalah semut dan rayap yang dapat diambil
R.
menggunakan lidahnya yang panjang. Trenggiling betina membawa
anaknya di pangkal ekor sebagai bentuk pengasuhan.
A. Satwa Misterius
Trenggiling memiliki nama ilmiah Manis javanica. Nama tersebut
diambil dari bahasa latin Manes yang dalam kepercayaan bangsa
Romawi berarti roh. Nama ini juga merujuk pada penampilannya
dan pola hidupnya yang lebih aktif pada malam hari (nokturnal).
Bahkan, di pedalaman Kalimantan Selatan pada era tahun 60 sampai
80-an, apabila ditemukan trenggiling masuk kampung akan segera
ditangkap dan dimasukkan dalam karung karena dipercaya akan
membawa malapetaka. Namun, satwa ini akan menghilang dengan
sendirinya sehingga dianggap sesuatu yang misterius dan merupa-
kan jelmaan setan. Satwa yang misterius ini, apabila diperhatikan
dengan saksama adalah satwa yang lucu dan unik, tubuhnya penuh
dengan sisik, dan akan menggulung atau mengguling, seperti bola
kalau merasa terganggu. Lidahnya digunakan untuk makan serangga
seperti semut dan rayap dengan ukuran yang lebih panjang daripada
tubuhnya. Anaknya yang masih kecil biasanya digendong di belakang
pangkal ekor induknya dan dibawa kemanapun pergi (Gambar 9.1).
Sejauh ini, sejarah evolusi satwa trenggiling berasal dari evolusi
konvergen, yakni memiliki nenek moyang yang berbeda dan beradap-
tasi dengan lingkungannya. Di Amerika Utara, trenggiling berasal dari
armadillo raksasa (Myrmecophaga tridactyla), sedangkan di Amerika
Selatan, trenggiling berasal dari pemakan semut raksasa yang hidup di
hutan hujan tropis dataran tinggi Brasil (Gaubert & Antunes, 2005).
Di Afrika, trenggiling berasal dari trenggiling raksasa, sedangkan di
Oseania trenggiling berasal dari pemakan semut moncong berduri.
Keseluruhan satwa nenek moyang trenggiling ini memiliki kemiripan
bentuk tubuh dan belalai yang berubah menjadi moncong panjang
sebagai pemakan semut sehingga dimasukkan ke dalam ordo Eden-
tata. Namun, hasil analisis genetika terakhir menunjukkan bahwa
trenggiling dimasukkan dalam kelompok ordo Pholidota yang berang-
gotakan satu famili, yaitu Manidae dan satu genus Manis yang terbagi
115
dalam lima sub genus, yaitu Manis, Paramanis, Smutsia, Phataginus,
dan Uromanis. Menurut Gaubert dkk. (2018), perkembangan tak-
sonomi trenggiling dalam famili Manidae saat ini terbagi menjadi tiga
genus, yakni Manis (trenggiling asia), Smutsia (trenggiling daratan
afrika), dan Phataginus (trenggiling pohon afrika). Trenggiling yang
dijumpai di Benua Asia dan Afrika terdiri atas empat jenis di Afrika,
yaitu M. gigantean, M. temminckii, M. tricuspis, dan M. tetradactyla,
sedangkan empat jenis lainnya ditemui di Asia, yakni M. crassicauda,
M. pentadactyla, M. javanica, dan M. culionensis (Gaubert & Antunes,
2005).
Foto: Reny Sawitri (2016)
Gambar 9.1 Trenggiling Menggendong Anaknya
Berdasarkan morfologi dan meristiknya (Takandjandji &
Sawitri, 2016a), trenggiling jantan memiliki ukuran lebih besar dan
bentuk sisik lebih panjang dibandingkan betinanya yang memiliki
bentuk sisik lebih lebar. Bobot badan jantan berkisar antara 5–7 kg,
tetapi dapat mencapai 12,5 kg. Trenggiling dari Kalimantan memiliki
ukuran bobot badan paling besar dan warna sisik yang lebih gelap
dibandingkan trenggiling dari Pulau Sumatra dan Jawa yang memiliki
bobot badan lebih kecil dan warna sisik lebih terang (Takandjandji
& Sawitri, 2016a). Kepala dan ekornya yang panjang mendatar di
bawah badannya ketika berjalan di atas tanah. Satwa ini memiliki
.116
kepala dan mata kecil yang tertutup eyelids tebal untuk menghindari
masuknya serangga sebagai makanannya, sedangkan kuping bagian
luar mengecil. Trenggiling merupakan satwa yang unik karena tidak
memiliki gigi dan mempunyai lidah yang panjang sekitar 25 cm atau
42% dari panjang badan hingga kepala (Takandjandji & Sawitri,
2016a). Trenggiling juga dikenal sebagai pemakan serangga berupa
rayap dan semut di mana pakan tersebut diambil dengan menggu-
nakan lidahnya yang kecil, panjang, dan berlendir.
Ukuran kaki depan trenggiling lebih panjang dibandingkan kaki
belakang serta dilengkapi dengan cakar jari-jari yang kuat dan pan-
jang yang berfungsi sebagai alat penggali. Trenggiling memiliki ekor
panjang yang berfungsi sebagai alat keseimbangan pada saat berjalan
atau memanjat dan sebagai penutup hidungnya pada saat tidur. Satwa
ini pandai memanjat dan ekornya dipakai untuk memegang ranting
sebagai penopang keseimbangan badan.
Habitat trenggiling di daerah tropika, meliputi hutan alam primer
dan hutan sekunder, h