Tampilkan postingan dengan label majapahit 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 2. Tampilkan semua postingan
majapahit 2
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
majapahit 2
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama
dalam bentuk puja sastra dan bagaimana puja sastra ini tersurat dalam Negarakertagama.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga akan mengikuti prosedur kerja sejarah yakni
heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Data dikumpulkan mealui studi pustaka. Sumber data
yang utama dalam penelitian ini adalah Negarakertagama yang telah diterjemahkan oleh Slamet
Mulyana yang termuat dalam Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya ditambah dengan sumber sumber
lain yang relevan. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik ekstern dan intern untuk
mendapatkan fakta. Fakta kemudian diinterpretasikan, dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya
yang kemudian dituangkan dalam bentuk cerita sejarah. Hasil analisa data menunjukan bahwa
masyarakat Majapahit terstruktur dalam empat kasta atau sering juga disebut catur warna yakni
brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Prapanca masuk dalam golongan brahmana. Kaum brahmana
bertugas dalam bidang keagamaan, pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra
yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Negarakertagama
merupakan karya sastra dimana sastra merupakan sarana untuk memuja kebesaran seorang raja. Tidak
mengherankan bila Prapanca dari awal gubahannya sudah menyampaikan bahwa ada dorongan rasa
cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujangga-pujangga lainnya dalam
menggubah kekawin. Bait-bait yang digubah oleh Prapanca penuh dengan pujian di dalamnya tidak ada
lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh
sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap
raja Hayam Wuruk. Bahkan pada bagian akhir Prapanca berharap barang siapa mendengar kisah raja,
tak puas hatinya, bertambah baktinya, menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Fakta sejarah menunjukan bahwa Kerajaan
Majapahit adalah salah satu kerajaan yang
pernah berdiri di Indonesia yang pernah
mengalami masa keemasan, menguasai
seluruh wilayah Indonesia yang sekarang,
bahkan sampai pada beberapa daerah yang
sekarang bukan menjadi wilayah kekuasaan
negara Republik Indonesia. Karena itu
tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
kerajaan Majapahit disebut sebagai negara
nasional ke dua sesudah kerajaan Sriwijaya.
Bukti-bukti kebesaran Majapahit
yang berupa karya sastra merupakan
warisan budaya dan bangsa yang sangat
besar arti dan manfaatnya seperti kitab
Negarakertagama yang digubah oleh
Prapanca. Atas petunjuk Prapanca dengan
Negarakertagamanya dapat diketahui
beberapa nama pujangga besar yang hidup
sezaman dengan Prapanca. Diantaranya
adalah Uppapati Sudarma yang ahli dalam
menggubah pujasastra dalam prasasti,
dalam bentuk kakawin yang sangat indah
yang hanya boleh diperdengarkan dalam
lingkunagn istana. Bahkan ada beberapa
pujangga asing yang menggubah
pujasastranya untuk raja Hayam Wuruk,
diantaranya pendeta Budaditya yang
menggubah rangkaian seloka Bogawali.
Pendeta ini berasal dari daerah Kancipuri,
Sadwihara di Jambudwipa. Demikian juga
Brahmana Sri Mutali Saherdaya yang
menggubah pujian seloka yang sangat
Indah (Negarakertagama pupuh XCIII).
Lahirnya beberapa pujangga
dengan karya sastranya tidak bisa
dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat
Majapahit yang sangat setabil. Terciptanya
stabilitas kerajaan yang sangat mantap
adalah berkat peran besar
Tribhuwanatunggadewi yang memegang
tampuk pemerintahan. Kegoncangan
politik mulai reda, dan ketentraman mulai
pulih. Lebih-lebih sesudah Gajah Mada
mendampingi Tribhuwanatunggadewi
tahun 1334, keadaan semakin mantap dan
berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai ke daerah seberang
lautan. Keadaan ini sangat berbeda dengan
situasi yang dialami poleh para
pendahulunya. Berbagai bentuk kekacauan
politik yang ditunjukan oleh adanya
berbagai pembrontakan diantaranya
pembrontakan Nambi, pembrontakan
Rangga Lawe, pembront akan Rangga
Lawe, Lembu Sora maupun pembrontakan
yang dilakukan oleh Tanca. Kekacauan
politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi
padamasa Ken Arok memerintah Singasari.
Kiranya tepat jika zaman ini disebut
sebagai zaman pancaroba dimana pelbagai
nilai-nilai kehidupan sedang bergoncang
sehingga pembangunan dan keagungan
hanya merupakan impian.
Prapanca sebagai sebagai
penggubah Negarakertagama dt desa
Kamalasana. Negara kertagama banyak
memberikan informasi yang sangat
berharga diantaranya kehidupan politik,
sosial, keagamaan, kebudayaan maupun
adat istiadat sehingga merupakan gudang
pengetahuan tentang Majapahit.
Negarakertagama menduduki tempat yang
pertama dalam kesusastraan Jawa karena
isisnya bukan tentanng dewa-dewa atau
cerita-cerita kepahlawanan yang berbau
mitos sepeeti kebanyak karya pujangga
lainnya. Karya Prapanca ini dalam
beberapa bagiannya menguraikan tentang
sejarah dari zaman Singasari-Majapahit
pada abad XIV dengan focus utamanya
perjalanan Hayam Wuruk ke berbagai
daerah kekuasaannya. Disamping itu
pengetahuan penggubah Negarakertagama .
ini tentang situasi Majapahit sangat luas
karena ia hidup pada zaman Hayam Wuruk
dan bahkan pernah menjabat sebagai
Dharmadyaksa Kasogatan, seorang hakim
tinggi dari Agama Budha.
Prapanca menggunakan latar
belakang sejarah Majapahit pada dasarnya
dimaksudkan untuk memuja keagungan
Majapahit, keluhuran raja Hayam Wuruk
yang sedang memegang tampuk
pemerintahan. Ia mencurahkan segenap
daya dan kemampuannya untuk
menunjukan kebesaran dan keagungan
Majapahit beserta rajayang memerintah.
Konsekwensi logis dari watak
kepujasastraannya adalah uraian Prapanca
serba sedap, menjauhi segala sesuatu yang
dapat mengurangi keagungan negara atau
keluhuran raja yang dipujanya. Apa yang
dilakukan oleh Prapanca adalah bukan
untuk menulis sejarah dalam pengertian
sejarah ilmiah melainkan semata-mata
menulis puja sastra dengan menggunakan
latar belakang sejarah, keadaan negara
serta masyarakat pada masanya.
Berbeda dengan situasi sekarang,
banyak karya sastra yang berisi kritik social
terhadap keadaan masyarakat. Puisi karya
Wiji Tukul dalam kumpulan puisinya yang
berjudul “Aku Ingin Menjadi Peluru” yang
diteliti oleh Hantisa Oksinata menemukan
bahwa karya Wiji Tukul ini berisi
kritik terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah yang berkuasa, kritik akan
penderitaan orang miskin, kritik terhadap
perlindungan hak kaum buruh juga
menyoroti realitas social yang ada di
. Kritik social juga dapat
ditemukan dalam Novel Catatan Juang
karya Fiersa Besari yang diteliti oleh Ria
Rukiyanti menemukan bahwa karya
ini berisi kritik terhadap kerusakan
lingkungan, kritik terhadap kebijakan
public dan birokrasi serta kebijakan
pertanahan
berdasar paparan di atas maka
dalam penelitian ini difokuskan pada dua
permasalahan yakni mengapa Prapanca
menggubah Negarakertagama sebagai puja
sastra, dan bagaimana Prapanca
menyampaikan gubahan yang berisi
keagungan Majapahit. Untuk menganalisa
permasalahan ini akan dikaji
menggunakan pendekatan tiga wujud
kebudayaan yakni system budaya, wujud
ideal kebudayaan yang bersifat abstrak,
system social merupakan aktifitas manusia
dalam berhubungan, berinteraksi dan
bergaul dalam masyarakat, dan budaya fisik
yang berupa benda-benda budaya sebagai
hasil budaya manusia , Setiap tindakan manusia diwarnai
oleh nilai yang hidup dimasyarakatnya.
Benda budaya merupakan cermin dari nilai
yang hidup dalam masyarakat serta prilaku
social masyarakat. Singkatnya, analisa
budaya merupakan suatu upaya untuk
masuk ke dalam dunia konseptual
kelompok manusia tertentu. Ia berusaha
untuk memahami nilai-nilai, konsep-
konsep dan gagasan-gagasan melalui mana
dan dengan cara apa sekelompok manusia
itu hidup serta memahami baik
pengalamannya sendiri maupun dunia
dimana ia hidup Untuk memahami
mengapa mereka bertingkah laku adalah
tindak tanduk manusia sesungguhnya
ditandai oleh suatu upaya pencarian makna
terus menerus.
Struktur Masyarakat Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang
bercorak Hindu. Cirri khas kerajaan Hindu
adalah struktur masyarakatnya dibagi
menjadi empat golongan yang sering
disebut dengan catur warna, teridiri dari
brahmana, kesatria, wesya dan sudra.
Karena dalam setia struktur sosial
mempunayi system sikap yang
menggariskan tata karma yang patut dan
mengokohkan struktur struktur yang
bersagkutan ( Hsu 1983 : 2 ), maka setiap
warna memiliki darmanya masing-
masing dan tugas kehidupannya adalah
untuk melaksanakan darmanya. Ia
menemukan darmanya dalam kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan, oleh
kedudukannya dalam dunia dan dalam
masyarakat. Setiap orang diharapakn
memenuhi darmanya dengan setia demi
pemeliharaan keselarasan kosmos. Dengan
demikian, kita tidak bisa lepas dari norma-
norma yang berlaku dan telah diterima oleh
masyarakatnya, karena norma dan nilai
telah menggariskan dengan tegas apa yang
boleh dan harus dilakukan oleh setiap
golongan maupun orang dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Bahkan ada yang
menggariskan bahwa kerjakanlah
kewajibanmu walaupun tidak dengan
sempurna dari pada mengerjakan
kewajiban orang lain walaupun dengan
sempurna. Tegasnya, setiap manusia sudah
ditentukan kewajibannya dalam struktur
masyarakat dimana individu itu hidup.
Kewajiban masing-masing warna
yang hidup dalam masyarakat Majapahit
telah diatur secara tegas, tidak bisa ditawar-
tawar karena menurut kitab Undang-
undang Manawa, lebih baik menjalankan
kerja dalam bidang kewajiban yang
ditentukan menurut kastanya (walaupun)
kurang sempurna dari pada mengerjakan
dengan sempurna kewajiban kasta lain,
barang siapa mengerjakan kewajiban kasta
lain ia akan dikeluarkan dari kastanya
sendiri
Brahmana
Seorang pendeta yang ingin mencapai
kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu
dengan Brahman harus menjalankan enam
darma yaitu : mengajar, belajar, melakukan
persajian untuk dirinya sendiri, melakukan
persajian untuk orang lain, membagi dan
memberi derma .
Disamping itu, seorang brahmana
memiliki dua belas brata yaitu : 1)
dharma menjalankan kewajiban
berdasar kebenaran, 2) satya : jujur lahir
batin, 3) satya : mengatasi indria, 4) dhama
: menasehati diri, sabar, 5) wimatsaritwa :
tidak dengki, iri hati, 6) hrih : memiliki
perasaan malu, 7) titiksa : dapat menguasai
rasa marah, 8) anasuya : tidak berbuat dosa,
9) yadnya : suka memuja dan memuji, 10)
ahana : memberikan punia, 11) dhrti :
menenangkan, menyucikan pikiran dan
memuaskan apa yang ada atas dasar budi
utama dan 12) ksama : uka member maaf
ataupun ampun
Seorang brahmana juga harus selalu
minum air dari tempat yang suci bagi
brahmana atau yang suci bagi Prajapati atau
yang suci bagi dewa-dewa adan jangan
sekali-kali yang suci bagi arwah yang
meninggal. Brahmana yang tidak
melakukan tapa dan mempelajari weda
namun gembira bila menerima punia
(sedekah) ia akan tenggelam ke dalam
neraka dibuat dari batu yang akhirnya ke
dasar sungai.
Brahmana akan lahir sebagai sudra
bila ia berhubungan dengan orang-orang
yang tidak baik atau orang yang rendah
budinya. Betapa beratnya beban yang harus
dipikul oleh seorang brahmana, ini
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
yang menganggap brahmana adalah orang
suci yang menurut Undang-undang
Manawa golongan brahmana ini dilahirkan
dari mulutnya Brahman. Tidaklah
berlebihan bila golongan brahmana
menempati kedudukan yang sangat penting
yang berkaitan dengan masalah-masalah
keagamaan.
Dalam bidang keagamaan pendeta
memiliki wewenang sepenuhnya dan
menjadi pemimpin masyarakat. Orang-
orang dari golongan lain bergantung
sepenuhnya kepada para pendeta. Sebagian
besar dari upacara agama yang dianggap
penting sekali untuk berlangsungnya
kehidupan masyarakat seperti penyucian air
(thirta ), penyucian tanah untuk mendirikan
candi dan tempat pemujaan, upacara
kelahiran, inisiasi dan kematia ( Sradha ),
menghilangkan pengaruh lelembut, dan
mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat,
melakukan persajian dan menyajikan
pujian-pujian, semuanya itu hanya boleh
dilakukan kaum pendeta. Kaum awam
hanya datang untuk menghadirinya dan
memberikan sumbangan berupa kemenyan,
bunga dan makanan saja
Hanya pendeta yang dapat
melakukan sesaji dengan upacara yang
tepat. Keselamatan masyarakat sangat
tergantung dari sesaji dan upacara yang
tepat. Tidak sembarang orang bisa
melakukan lebih-lebih dalam melakukan
sesaji harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan seperti yang tercantum dalam
kitab suci yang berbahasa Sansekerta.
Hanya pendeta yang bisa mempelajarinya
Berkaitan dengan masalah
keagamaan adalah pembinaan dan
pengawasan candi-candi sebagai tempat
pemujaan yang juga dilakukan oleh kaum
pendeta. Negarakertagama pupuh
LXXIV/2 memberitakan bahwa dua puluh
tujuh candi makam raja dijaga oleh petugas
atas perintah raja dan diawasi oleh pendeta
ahli sastra. Ini menunjukan bahwa
kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah
dan bangunan suci di kerajaan Majapahit
tidak berbeda dengan kekuasaan kaum
pendeta Kristen di Eropa pada abad
pertengahan.
Beberapa orang pendeta juga
diserahi tugas dalam bidang pemerintahan.
Banyak diantara mereka yng menjadi
anggota badan peradilan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Kepala
agama Siwa dan Buda diangkat sebagai
Dharmadyaksa ( hakim tinggi ) dan diberi
gelar Dang Acarya. Mereka adalah
pembantu raja dalam proses peradilan.
Pengangkatan seorang pendeta ke dalam
lembaga peradilan sangat penting artinya,
mengingat Kutara Manawa telah
menggariskan bahwa semoga Sang
Amurwabhmi teguh hatinya dalam
menerapkan besar kecilnya denda, jangan
sampai salah terap. Jangan sampai orang
yang bertingkah salah luput dari tindakan Atau dengan
rumusan yang lain, hukuman hanya dapat
ditetapkan oleh orang-orang suci, jujur,
yang bertindak menurut dharma yang
bijaksana
Satu golongan lagi yang juga
termasuk ahli agama adalah pujangga. Kata
pujangga berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu bhujangga yang berarti ular. Binatang
ular oleh banyak bangsa dianggap sebagai
lambang kebijaksanaan yang istimewa.
Untuk menjadi pujangga yang baik
bukanlah ditentukan oleh semabarang
orang. Seseorang dapat disebut sebagai
pujangga apabila ia memiliki delapan
keahlian sekaligus yaitu ahli dalam bidang
kesusastraan ( pramengsastra ), ahli dalam
bidang tulis menulis atau mendongeng
(awisastra ), ahli dalam bidang
menyanyikan tembang atau gending
(madarwalagu ), ahli dalam bidang olah
raga atau memiliki perasaan yang sangat
halus dan peka ( nawungsidha ) dan hidup
dalam keutamaan atau bersih lahir dan batin
dalam perjalanan hidupnya ( sambagana ),
Seorang pujangga ( kawi ) kraton
yang berkewajiban menulis puja sastra,
sebelum menulis puja sastra mereka
terlebih dahulu melakukan tapa untuk
menyucikan diri dan mendapatkan
kekuatan gaib agar indrianya menjadi peka
untuk menangkap keindahan. Bagi seorang
pujangga ia berusaha untuk menyatukan
keindahan dalam dirinya. Perlu juga
dikemukakan bahwa bagi seorang pujangga
penulisan kakawin merupakan usaha untuk
menyatukan dirinya dengan yang dipujanya
atau dengan kata lain, penulisan kakawin
adalah suatu yoga sastra dan karya yang
dihasilkan adalah yantra yaitu alat yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan
yoga yang akan menyertai perjalanannya
yang terakhir yang akan memberi kekuatan
untuk mencapai moksa atau kelepasan (
). Yantra adalah alat
untuk memfokuskan pikiran dan peasaan
dan sekaligus reseptakulum untuk dewa
yang dituju dengan konsentrasi pikirannya.
Menurur C.C. Berg, sebuah hasil
karya sastra ditujukan untuk memuja raja
harus disampaikan kepada kalangan kraton
dan dengan resmi karya ini dibaca
oleh Sudharmopapati, menteri agama.
Kalau mutu karya sastra ini tidak
dianggap terlalu rendah kemungkinan dapat
dipahatkan pada prasasti yang disebut
stutinarpati. Tapi rupanya tidak semua
karya pujangga sastra yang walaupun telah
diterima atau lolos sensor dari pejabat
keraton akan dapat diterima oleh
Sudharmopapati, karena merekapun dapat
menolak membacanya
Negarakertagama dan Keagungan
Majapahit
Di dalam istana kerajan ada sejumlah
pujangga dan penyair yang disebut para
kawi. Fungsinya dapat diumpamakan
semacam lembaga-lembaga sastra dan
kebudayan ( Hartoko 1984 : 76 ). Mereka
adalah golongan professional dalam bidang
sastra. Raja bertindak sebagai pelindung
dan sekaligus sebagai sumber inspirasi.
Sebagai konsekuensinya adalah kisahnya
akan berjalan dari istana ke istana dari putri
ke pahlawan, dari kemegahan demi
kemegahan, keluarga dan anak cucunya,
sampai ke soal-soal yang kecil diterangkan.
Timbul tenggelamnya raja dan kerajaan,
peperangan, kepahlawanan, kejatuhan raja,
roman putri dan pangeran serta asal-
usulnya merupakan pengetahuan masa lalu
yang diwariskan sebagai sejarah
Kenyataan ini dapat dipahami
karena salah satu fungsi sastra adalah
sebagai sarana untuk memuliakan raja.
Penulisan puja sastra pada hakikatnya
adalah melakukan pekerjaan sastra, dalam
pengertian bahwa sang pujangga
memberikan suatu kekuatan gaib kepada
raja yang dilukiskan yang selanjutnya
melalui diri sang raja kekuatan gaib itu akan
bermanfaat bagi rakyat. Suatu puja sastra
baik dengan kata-kata yang diucapkan
maupun dengan huruf yang dituliskan akan
membawa akibat yang nyata bagi raja.
berdasar pemikiran ini dapatlah
dikatakan bahwa pemujaan terhadap
seorang raja, penguraian tentang
kekuasaannya, kebijaksanaannya,
kemurahan hatinya akan membawa akibat
raja itupun akan benar-benar berkuasa dan
tidak terkalahkan. Singkatnya, sastra dapat
meningkatkan kesaktian seorang raja
dengan menciptakan suasana sakral.
Negarakertagama yang oleh
Prapanca sendiri disebut dengan
Dasawarna, digubah untuk memuja raja
Hayam Wuruk, karena didorong rasa cinta
bakti kepada raja, walaupun menurut
Prapanca ia tidak semahir pujangga-
pujangga lainnya dalam menggubah
kekawin, dan apa boleh buat harus
berkorban rasa, pasti akan ditertawakan
(Pupuh XCIV/4). Pernyataan Prapanca ini
bukan berarti meragukan kemampuannya
dalam menggubah kekawin. Ungkapan itu
hanyalah sebagai sarana untuk
memperkenalkan diri, menyampaikan
potret diri atau dengan meminjam istilah adalah sebagai
ungkapan “ Andhap Asor” yang pada
umumnya dapat digolongkan kedalam dua
kelompok yaitu ungkapan yang berkaitan
dengan pribadi kawi itu sendiri dan
ungkapan yang berkaitan dengan hasil
karyanya.
Pada masyarakat yang percaya pada
kultus dewa raja, maka raja adalah seorang
pelindung dan sumber berkat bagi
pujangga. Sehingga pada awal gubahannya
sudah ada permohonan terhadap raja yang
sedang berkuasa agar berkenan menerima
serta memberikan restunya serta gembira
bila mendengar gubahannya. Juga
diungkapkan agar gubahannya itu dapat
menambah kejayaan raja dan kemakmuran
kerajaannya. Tugasnya sebagai imam
dalam literer. Hal semacam ini dapat dilihat
dalam Negarakertagama Pupuh I, dimana
Prapanca memulai gubahannya dengan :
1. Om sembah pujiku orang hina
kebawah telapak kaki pelindung
jagat Siwa Buda janma Batara,
senantiasa tenang tenggelam
dalam samadi Sang Sri
Prawatanata, pelindung para
miskin, rajaadiraja dunia Dewa
Batara lebih khayal dari yang
khayal tapi tampak diatas dunia.
2. Merata serta merestui segala
makhluk, nirguna bagi kaum
Wismana Iswara bagi yogi,
purusa bagi Kapila, hartawan
bagi Jembala, Wagindra dalam
segala ilmu, Dewa asmara
dalam cinta birahi, Dewa Yama
di dalam menghilangkan
penghalang dan menjamin
damai dunia.
Uraian Prapanca yang menyebut
beberapa nama dewa untuk menunjukkan
Raja Rajasanegara telah mengamalkan
ajaran serta asta brata yaitu suatu etika
kepemimpinan dengan mengikuti sifat-
sifat para dewa yang ada dalam agama
Hindu. Asta Brata ini merupakan
wejangan Sri Rama kepada Wibisanapada
saat beliau dilantik menjadi Raja Alengka.
Disamping itu juga dapat diartikan sebagai
usaha Prapanca untuk memohon berkah
dari para dewa agar mau melindungi raja
dan kerajaannya. Dengan menyebut nama-
nama dewa adalah untuk meningkatkan
kekuatan magis seseorang raja yang
sedang dipuja. Bagi Prapanca sendiri
merupakan seruan kepada para dewa agar
mau memberikan berkahnya dan mau
menjelma dalam gubahannya. Sastra
ibaratkan sebuah candi, sebagai tempat
bersemayamnya para dewa. Sastra adalah
sebagai sarana untuk melakukan semadi,
untuk mendekatkan diri dengan sang
pencipta. Untuk menambah wawasan
terhadap pandangan ini, kiranya perlu
dikemukakan pengakuan Mpu Prapanca
yang berkaitan dengan pekerjaannya
Seruan kepada dewa agar diberkati
merupakan suatu tata karma dan telah
menjadi ciri utama dalam sebuah karya
sastra. Mereka meyakini bahwa hanya
batin manusia yang mendapat
perlindungan dari para dewa dan raja akan
merasakan ketenangan batin dalam
menjalankan tugas-tugasnya serta tidak
akan mendapat berbagai rintangan. Ini
merupakan pengakuan hakiki dan
keterikatan manusia yang dalam hal ini
para pujangga terhadap para dewa dan raja
sebagai wakil dewa di atas bumi. Tanpa
pengayoman dari para dewa (raja)
pekerjaan tidak akan berjalan dengan
lancar dan dapat diselesaikan sesuai
dengan yang diharapkan. Pujian dan
permohonan kehadapan para dewa sama
bobotnya dengan pujian terhadap raja.
Bagi Prapanca, keluhuran Raja
Rajasa Dyah Hayam Wuruk sudah
Nampak ketika ia berada dalam kandung.
Isyarat keluhuran ini berupa
peristiwa-peristiwa alamiah seperti Gempa
bumi, kepul asap, hujan abu, guruh
halilintar menyambar-nyambar, Gunung
Kempud gemuruh membunuh durjana,
penjahat musnah dari negara. Isyarat
keluhuran dapat berupa sinar, cahaya biru
bundar yang melayang-layang di langit
dan jatuh pada orang yang telah
ditakdirkan untuk menjadi penguasa.
Orang yang memilki wahyu ini akan
memiliki kekuatn adikodrati. Bagi rakyat,
itu merupakan suatu tanda akan
munculnya seorang pemimpin baru
Kesejatian kekuasan seseorang
akan nampak dalam akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kekuasaan itu sendiri,
misalnya tidak aka nada musuh dari luar,
tidak aka nada kekacauan yang dapat
menggangu petani pada pekerjaannya di
sawah, kesuburan tanah tetap terjamin dan
memberikan panen yang berlimpah dan
masyarakatnya hidup teratur. Singkatnya,
tercipta suasana tata tentram kertta raharja,
gemah lipah loh jinawi. Keterangan
Prapanca yang mengatakan bahwa wipra,
satria, waisyaa dan sudra sempurna dalam
pengabdian, dari semua desa di wilayah
negara, pajak mengalir bagaikan air,
semua pulau laksana daerah pedusunan
tempat menimbun bahan makanan, jelas
menunjukan sikap Prapanca yang ingin
membuktikan akan keluhuran dan
kesejatian kekuasaan Raja Hayam Wuruk
( pupuh LXXXI).
Berita yang diberikan Prapanca
ini juga memberikan pemahaman bahwa
keajegan suatu kekuasaan sangat
ditentukan oleh cara pelaksanaannya.
Sebagai makna kekuasaan yang
merupakan hasil pemusatan kekuatan-
kekuatan kosmis oleh seorang raja, begitu
pula raja akan kehilangan kemampuan
untuk memusatkan kekuatan kosmis
ini . Seorang penguasa yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk
menuruti hawa nafsunya, mulai menindas
bawahan dan rakyatnya, berarti ia telah
mempersiapkan keruntuhannya sendiri. Ia
telah memboroskan energinya sendiri
sehingga ia menjadi kasar dan semakin
tergantung dari luar. Sebaliknya seorang
raja haruslah bersikap alus (halus) karena
alus merupakan inti kemanusiaan yang
beradab dan sekaligus menunjukkan
kekuatan batin. Alus pertama-tama berarti
suatu permukaan halus dalam arti fisik,
namun lalu berarti juga lembut, luwes,
sopan, beradab, peka dan sebagainya.
Sikap halus bukan berarti kelemahan namun
dalam kenyataannya halus adalah
kebalikannya. Orang yang halus berarti ia
dapat mengontrol dirinya sendiri secara
sempurna dan dengan demikian memiliki
kekuatan batin.
Orang yang benar-benar berkuasa tidak
perlu berbicara keras-keras agar didengar,
memukul meja dan marah-marah agar
diperhatikan, cukuplah apabila ia
memberikan perintah-perintah secara tidak
langsung, baik dalam bentuk anjuran,
senyuman maupun dengan sindiran yang
dapat membangkitkan gairah kerja.
Sesuai dengan wawasan
masyarakat terutama sekali pujangga,
bahwa kekuasaan adalah hasil dari
pemusatan kekuatan-kekuatan kosmis,
maka sudah sewajarnya bila raja ingin
memperbesar kekuasaannya. Untuk
mencapai tujuan itu, ia akan
mengumpulkan semua potensi-potensi
magis yang ada dalam wilayah
kekuasaannya seperti benda-benda
keramat terutama pusaka-pusaka seperti
keris, tombak dan gamelan. Ia ingin
dikelilingi oleh manusia-manusia yang
dianggap keramat, menarik dukun-dukun
dan resi-resi termasyur ke dalam
keratonnya,
Perjalanan raja baik perjalanan keliling
kota maupun perjalanan ke berbagai
daerah, dengan menggunakan kereta atau
ditandu dengan kereta kencana, selalu
didampingi oleh para pujangga atau para
pendeta serta diiringi oleh gaung gong
beserta atribut-atribut religious lainnya.
Bagi rakyat, kereta yanag dipakai oleh raja
merupakan benda keramat yang dapat
memberikan keselamatan. Dari
Negarakertagama dapat diketetahui bahwa
raja Majapahit menghabiskan sebagian
besar waktunnya untuk melakukan siarah
ke candi-candi makam yang dibuat oleh
leluhurnya. Negarakertagama pupuh
LXVII yang menceritakan perjalanan
keliing raja Hayam Wuruk yang sekaligus
merupakan inti dari isi Negarakertagama,
di dalamnya banyak menceritakan tentang
tempat-tempat suci yang dikunjungi oleh
raja Hayam Wuruk. Misalnya candi
makam Pancasara, candi makam di Kalayu
dimana ia mengadakan upacara
penyekaran yang disebut dengan upacara
memegat gigi. Candi makam di Singasari,
Kagenengan, candi Jago, candi Kidal,
maupun candi-candi yang lainnya.
Prapanca yang ikut serta dalam perjalanan
safari keliling ini sangat terkesan
dengan candi Kagenengan yang bukan saja
karena sebagai temapat Ken Arok
dicandikan, melainkan juga karena
keindahannya. Terhadap candi
Kagenengan ini, diperuntukan bagi Ken
Arok sebagai cikal bakal kerajaan
Singasari Majapahit. Prapanca
menyampaikan kekagumannnya (lihat
Negarakertagama pupuh XXXVII ).
Selain dengan melakukan siarah
ke candi-candi makam, seorang raja juga
dapat mewarisi kekuatan gaib yang
dimiliki oeh leluhurnya dengan cara
melakukan selamatan srada.
Negarakertagama pupuh LXII-LXIX
menguraikan bahwa upacara srada yang
dilakukan di istana pada tahun saka
bersirah empat bulan badrapada ( Agustus
1362 M ) adalah untuk memperingati hari
wafatnya Sri Rajapatni ibu dari
Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwardani atau nenek Hayam
Wuruk sendiri.
Prapanca lewat
negarakertagamanya memberikan pujian
akan kemegahan istana Majapaiht. Bagi
para pujangga maupun rakyat biasa istana
bukan saja sebagai pusat aktifitas politik
dan budaya melainkan juga sebagai pusat
keramat kerajaan yang menjadi lambang
makrokosmos. Keagungan seorang raja
akan kentara dari keindahan dan
kemegahan istananya. Atribut-atribut
keduniawian yang dimiliki oleh seorang
akan mencerminkan setatus sosialnya.
Prapanca yang menyaksikan dengan mata
kepala sendiri keadaan Majapahit pada
abad XIV memberikan keterangan
terperinci tentang kompossi keratin
Majapahit, keindahannya sampai pada para
punggawa dan pegawai kerajaan. Pada
bagian dalam, di sebelah selatan balai
menguntur adalah paseban, tempat berdiri
para pembesar negara yang ingin
menghadap kepada raja. Di sebelah selatan
menguntur, ada lagi paseban memanjang ke
selatan kea rah pintu keluar ke dua, terbagi
atas beberapa ruangan. Semuanya bertulang
kuat, bertiang kokoh tiada tercela. Masuk
pintu kedua dari selatan, di sebelah kanan
jalan adalah halaman istana. Di sebelah
utara halaman istana Kertawardana dan
permaisurinya. Di sebelah selatan halaman
adalah istana raja Paguhan Singawardana
dan permaisurinya. Istana sang prabu
berada di sebelah timur. Keadaan di luar
benteng. Di bagian sebelah timur adalah
tempat tinggal Dhrmadyaksa Kasiwan
Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa
lainnya. Pada bagian selatan tempat tinggal
Dharmadyaksa Kasogatan dan para pendeta
Buda. Di bagian barat, tempat tinggal para
arya, menteri dan sanak kadang raja. Di
sebelah timur yang dipisah oleh jalan
aadalah pasanggrahan Wijayarajasa. Di
seblah selatan, pasanggrahan raja Wengker,
ini adalah pasanggrahan Rajasawardana.
Kedua pasanggrahan ini tidak jauh dari
istana sang prabu. Di bagian utara ada pasar
dengan pasanggrahan Narpati di
belakangnya. Di sebelah timur laut kraton
adalah rumah kediaman Gajah Mada. Di
sebelah selatan kraton ada gedung
kejaksaan yang diapit oleh rumah upapati
dan pendeta. Di sebelah timur gedung
kejaksaan ini adalah perumahan pendeta
siwa dan pendeta buda di sebelah baratnya.
Semua rumah bertiang kuat berukir indah.
Kakinya dari batu merah pating berujul.
genting atapnya termasuk serba
meresapkan pandangan, menarik perhatian.
Bunga tanjung kesara, cempaka dan lain-
lainnya berpancar di halaman. Begitulah
Prapanca memuji keindahan kraton
Majapahit.
Pujian Prapanca akan
keagungan Majapahit dan Raja hayam
Wuruk juga disampaikan dalam pupuh
XIII – XIV yang menceritakan luas
wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit,
karena luas wilayah kekuasaan juga
merupakan indicator kabesaran sebuah
kerajaan. berdasar pupuh-pupuh di
atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
wilayah Indonesia yang sekarang dan
beberapa wilayah yang sekarang menjadi
wilayah negara tetangga seperti Melayu,
Sulu menjadi wilayah kekuasaan
Majapahit.
Luasnya wilayah kekuasaan
Majapahit ini tidak bisa dilepaskan dari
peranan Gajah Mada. Gajah Mada yang
diangkat sebagai patih Amangkubhumi,
pada saat peresmiannya ia telah
mengucapkan sumpah yang sekarang
dikenal dengan Sumpah Palapa. Katanya,
huwus kalah nusantara, isun amukti palapa,
huwus kalah Gurun, Seram, Tanjungpura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, isun amukti palapa
Prapanca sebagai pujangga kerajaan
yang menulis sastra untuk muja raja dan
kerajaannya lazimnya akan menyampaikan
garis keturunan raja atau nenek moyang
raja yang sedang berkuasa. Demikian juga
dengan Negarakertagama yang oleh
Prapanca diberi nama Dasawarnana,
silsilah raja Hayam Wuruk termuat dalam
pupuh II – VII yang antara lain mengatakan
bahwa Sri Rajapatni yang bagaikan titisan
Parama Bagawati adalah nenek
Rajasanegara ( Hayam Wuru ) yang wafat
tahun saka dresti saptaruna ( 1272 saka )
yang kemudian digantikan oleh
Tribhuwanatunggadewi, ibu dari raja
Hayam Wuruk, yang kawin dengan
Kertanegara yang bersemayam di
Singasari. Sedangkan putrid Rajadewi
Maharajasa adalah bibinya, yang bertahta
di Daha yang kawin dengan Wijay Rajasa
dari Wengker. Beliau memiliki dua
orang saudara perempuan, yang tertua
bernama Bre Lasem, yang kawin dengan
Bre Matahum. Yang muda bergelar Bre
Pajang yang kawin dengan Singhawardana
dari Paguhan.
Silsilah keluarga raja-raja
Majapahit ini dilanjutkan oleh Prapanca
dalam Negarakertagama pupuh XL – XLIX
yang dimulai dari Ken Arok sebagai cikal
bakal kerajaan Singasari-Majapahit. Ken
Arok yang oleh Negarakertagama disebut
Ranggahrajasa, lahir tahun saka lautan desa
bulan (1104) tanpa ibu di sebelah timur
Guung Kawi dengan ibu kotanya Kuta
Raja. Tahun saka lautan dadu siwa (1144)
ia berhasil mengalahkan Kertajaya dari
Kediri sehingga Jeggala dan Kediri bersatu
di bawah kekuasannya. Dialah yang
menjadi cikal bakal raja-raja agung yang
memerintah pulau Jawa.
Menurut Negarakertagama, sesudah
Kertanegara wafat terjadi pembrontakan
yang dilakukan oleh Jayakatwang, orang
yang berwatak jahat karena ingin berkuasa
di Kediri. namun akhirnya Jayakatwang
dapat ditundukan oleh Dyah Wijaya. Hasil
perkawinan antara Raden Wijaya dengan
Rajapatni melahirkan dua orang putrid,
yang sulung menjadi rani di Jiwana dan
yang bungsu menjadi rani di Daha.
Raden Wijaya kemudian digantikan
oleh putranya Jayanegara. Pada masa
pemerintahannya ia berhasil memadamkan
pembrontakan Nambi di Pejarakan,
Lumajang. Tahun saka bulan memanah
surya ( 1250 ) ia meninggal yang kemudian
digantikan oleh rani di Jiwana yakni
Wijayatunggadewi atau
Tribhuwanatunggadewi. Pada masa
pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ia
berhasil mengalahkan Sadeng dan Keta.
Selama bertahta semuanya terserah kepada
menteri bijak yakni Gajah Mada.
Konsekwensi logis dari peran
Prapanca sebagai pujangga kraton
Majapahit adalah ia akan mengungkapkan
keberhasilan raja-raja Majapahit dan
terhadap raja yang tidak mau tunduk ia
bisa memberikan cap sebagai orang yang
nista atau jahat. Kecendrungan kearah ini
jelas namapak dalam Negarakertagama
pupuh XLIX/4 yang mengatakan bahwa
raja Bali yang alpa dan rendah budi gugur
bersama tentaranya sehingga kejahatan
menjauh dan ketentraman tercipta. namun
bila dilihat prasasti Langgaran, ada
informasi tentang jati diri raja Bali yang
terakhir , raja Asta Asura Ratna Bumi
Banten adalah raja yang baik dan
memikirkan nasib rakyatnya
Apa yang disampaikan oleh
Prapanca dapat dipahami karena peran
yang harus dilakoni. Sebagai pujangga
yang menggubah puja sastra tidak ada lagi
tempat tanpa pujian akan keagungan,
keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang
ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa,
istananya, luas wilayah kekuasannya, asal
usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja
Hayam Wuruk. Selain itu Prapanca adalah
putra seorang dharmadyaksa, sehinga
norma-norma bagi seorang brahmana
sudah melembaga dalam dirinya.
berdasar analisa data di atas dapat
disimpulkan bahwa mengapa prapanca
menggubah Negarakertagama sebagai puja
sastra tidak lepas dari struktur masyarakat
majapahit. Masyarakat Majapahit yang
bercorak Hindu, struktur masyarakatnya
terbagi menjadi emapt golongan yang
disebut catur warna. Masing-masing
golongan sudah memiliki tugas yang
diatur secara tegas. Kaum brahmana
bertugas dalam bidang keagamaan, dan
pujangga yang juga masuk elite agama
bertugas menyusun sastra yang ditujukan
untuk menambah keagungan raja, kejayaan
raja dan kerajaannya.
Bagi seorang pujangga, tidak ada
tempat tanpa pujian kepada raja yang
menjadi pelindung sekaligus sumber
inspiraasi. Mulai dari tnda-tanda keluhuran
seorang raja yang sudah nampak sejak
berada dalam kandungan, sifat-sifatnya
yang sama dengan para dewa, wujud
fisiknya yang halus, kesaktiannya,
keindahan istana sebagai lambang
kemakmuran dan ketertiban kosmos, luas
wilayah kekuasaannya sebagai bukti
kesejatian kekuasannya maupun asal
usulnya yang berasal dari para dewa yang
memang ditakdirkan untuk memerintah
dunia. Semuanya ini dilakukan oleh para
pujangga untuk memberi mantra kekuatan
magis kepada raja serta untuk
memantapkan nilai dan tata karena
kewajaran dan keseimbangan kosmos
adalah tujuan yang utama.