Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 1. Tampilkan semua postingan
kerajaan di jawatimur 1
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
kerajaan di jawatimur 1
Umumnya dipahami bahwa setelah masa kekuasaan Kediri berakhir abad ke-9
dan ke-10, maka dilanjutkan dengan kekuasaan Keajaan Majapahit terutama pada
abad ke-14. Era emporium Jawa Timur di bawah kekuasaan Majapahit ini dikenal
hampir di seluruh kawasan Nusantara, terutama di Bali yang pengaruhnya
dirasakan hingga saat ini. Tidak mengherankan, jika ingin memahami bagaimana
dinamika warga Majapahit pada abad ke-14, tidaklah berlebihan jika
melihat kondisi sosial budaya warga Bali dewasa ini yang sarat dengan
persoalan tradisi budaya yang bercirikan budaya Jawa Timur saat itu.
Pertanyaannya adalah jika perkembangannya mengarah ke Timur atau ke Bali,
apa yang sebenarnya yang terjadi ke arah Barat khususnya ketika Aerlangga
menjadi Raja di Kediri yang kemudian dilanjutkan dengan penggantinya Ratu Kili
Suci yang memiliki tinggaln sejarah di Situs Semen, kemudian dicoba
dibandingkan dengan tinggalan-tinggalan lainnya seperti Tondowongso, dan
candi-candi baru lainnya di wilayah Kediri di Jawa Timur. Kedua, Bentuk
tinggalan apa yang bisa diangkat untuk memahami era ini dan ketiga, makna
apa yang dapat digali dari tinggalan-tinggalan situs arkeologi dan kesejarahan
itu. Inilah beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang religi, ritual dan sistem kerajaan
di Jawa Timur terutama era Kerajaan Aerlangga di Jawa Timur yang orang
tuanya berasal dari Udayana Bali dan Mahendradatta dari Jawa Timur.
Raja Aerlangga dipercaya oleh warga Jawa dan Bali sebagai keturunan Raja Udayana dari
Bali dan Mahendradatta yang merupakan cicit Mpu Sindok di Jawa Timur. Namun kisah cerita
kerajaan Aerlangga ini lebih tampak berperan di kawasan Jawa Timur, dibandingkan dengan di
Bali sendiri. Akan namun , di kalangan warga Bali sendiri sangat sadar, bahwa
perkembangan yang terjadi di Jawa Timur pada zaman Jawa Hindu ini telah melahirkan
peradaban besar dalam kaitannya dengan diciptakan berbagai karya sastra yang bernilai filsafat
tentang kehidupan yang bermakna tinggi. Karya-karya sastra muncul itu, kemudian menyebar ke
Bali yang hingga kini masih tetap hidup dalam konteks kebudayaan dan peradaban Bali modern
dan postmodern.
Mungkin tidak mengherankan, jika dikatakan, bahwa kalau ingin memahami
perkembangan peradaban dan kebudayaan di Jawa Timur pada saat itu, tampaknya melihat apa
yang berkembang di Bali saat ini dapat dijadikan sebagai sebuah referensi dalam kaitannya
dengan bagaimana perkembangan karya-karya sastra yang masih menggunakan bahasa Jawa
Kuna yang di Bali sendiri disebutkan dengan Bahasa Kawi. Kata Kawi berarti kuna jadi bahasa
Kawi adalah Bahasa Jawa Kuna yang dipergunakan di dalam naskah-naskah sastra di masa lalu,
khususnya pada masa Kerajaan Kediri atau yang dikenal dengan nama Kerajaan Panjalu, yang
dalam proses penyebarannya, hingga saat ini masih dipergunakan di Bali dalam aktifitas religi,
ritual, dan konsep-konsep kekuasaan di masa lalu. Sebutan Panjalu sama seperti Kediri,
dipercaya bahwa saat terjadi peperangan antara Jenggala dan Panjalu, bahwa terjadi peperangan
hanya perebutan tahta di Daha. Sementara ibu kota Daha telah berpindah ke daerah Kediri.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa, nama Kediri adalah sebuah nama yang diberikan oleh
Dewi Kilisuci, yang merupakan puteri Erlangga yang bernama Sri Sanggramawijaya
Dharmmaprasadottunggadewi. Ia ditahbiskan sebagai puteri mahkota yang menjabat juga
sebagai mahamantri I hino. Persoalan muncul ketika putra Dharmawangsa, Samarawijaya,
meminta kekuasaan untuk dapat bertahta di kerajaan. Erlangga memberikan tahta ini dan
Sanggramawijaya dikatakan mengundurkan diri dari pemerintahan dengan membangun
pertapaan di Pucangan. Ada dugaan juga bahwa Kediri berasal dari kata Kedi artinya perempuan
yang tidak menstruasi, adapun diri itu artinya congkak. Sebutan Kediri diberikan oleh dewi
Kilisuci sesuai dengan perilaku dewi sendiri, sebab dewi tidak bersuami dan tidak menstruasi.
Dewi Kilisuci mendoakan negaranya, agar jangan banyak darah manusia yang tumpah. Maka
Kediri dianggap negeri perempuan, bila menyerang perang banyak menangnya, namun bila
diserang akan celaka ,
Pentingnya nilai-nilai peradaban pada masa Kediri pada masa kekuasaan Raja Aerlangga,
bahkan, salah satu universitas terbesar di Jawa Timur ini bernama Universitas Aerlangga yang
terletak di Surabaya sebagai ibu kota propinsi Jawa Timur. Ini menandakan bagaimana peran
Aerlangga di masa lalu masih dikenang dalam dinamika sejarah di Jawa Timur. Tentang nama
besar Raja Airlangga di Jawa Timur (1019M-1037M) yang diabadikan sebagai nama Universitas
di Surabaya Jawa Timur ini, lihat: Sarkawi B Husain, 2010. Mendidik Bangsa: Membangun
Peradaban: Sejarah Universitas Airlangga. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Universitas Airlangga,
Kerajaan Kediri di Jawa Timur ini memiliki dinamika sejarah yang cukup panjang.
Berita-berita dari kitab Chi-Fan-Chi dan Ling-wai-tai-ta menjelaskan tentang kehidupan
warga Kediri bersumber pada pertanian, peternakan, dan perdagangan. Di sini dikenal
sebagai penghasil beras, kapas, dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi,
kerajaan Kediri tampak sejahtera. Hal ini didasar atas kemampuan kerajaan memberikan
penghasilan tetap kepada para pegawainya, meskipun hanya dibayar dengan hasil bumi. Panjalu
dikenal sebagai penghasil lada utama di Jawa Timur. Para pedagang asing, khususnya pedagang
China kerap datang ke wilayah ini untuk menyelundupkan mata uang. Mata uang ini pada
ditukarkan dengan lada. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang China dilarang untuk
berdagang di daerah ini, akan namun larangan ini tidak dihiraukan oleh para pedagang
China. Pedagang-pedagang asing yang datang ke daerah Panjalu membawa berbagai barang
dagangan, seperti emas, perak, barang pecah-belah dari porselen, piring emas dan perak, barang-
barang dari tembaga, kain sutera, dan kain damas. Selain itu, ada juga komoditas lain yang
diperdagangkan di Panjalu, yaitu gading, cula badak, mutiara, kapur barus, tulang penyu, kayu
cendana, rempah-rempah, sulfur, safron, dan bermacam-macam burung. Penduduk Panjalu juga
memelihara ulat sutera, menenun kain sutera beraneka warna dan kain brokat. Hasil dari
komoditas ini diperdagangkan ke seluruh dunia, khususnya di Su-ki-tan yang merupakan
kota pelabuhan terpenting di muara Sungai Brantas Hal ini menunjukkan bahwa daerah Su-ki-tan merupakan daerah
pertama di Jawa Timur yang dikenal oleh para pedagang asing. Kerajaan ini muncul setelah
Erlangga membelah kerajaannya menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri itu. Salah
satu sumber arkeologi yang berjudul, Prasasti Mahaksobya mengisahkan bagaimana terjadinya
pemisahan kedua kerajaan itu. Selain itu, karya Nagarakertagama menjelaskan tentang
terjadinya pemisahan kerajaannya disebabkan rasa sayangnya kepada kedua putranya itu. Selain
itu, Aerlangga memisahkan kerajaannya menjadi dua untuk kedua anakanya yang sedang
bermusuhan. Akan namun , jika dibandingkan dengan Serat Calon Arang dijelaskan, bahwa
Erlangga memecah kerajaannya, sebab ia ingin menobatkan salah satu anaknya menjadi raja di
Bali, namun gagal. Ini disebabkan, sebab ada beberapa pihak yang menurut kisah tradisi lisan
setempat di Kediri, sebab Senapati Kuturan yang tidak menginginkannya.
Di Bali, kisah tentang Kuturan ini tampaknya menimbulkan berbagai interpretasi. Ada
yang mengatakan, bahwa Senapati Kuturan ini, adalah orang yang berbeda dengan nama Mpu
Kuturan yang datang dari Jawa Timur menuju ke Bali. Seberapa jauh kebenaran tentang masalah
ini masih perlu dielaborasi lebih jauh. Sementara adanya sebutan Senapati Kuturan dalam masa
raja Aerlangga ini dapat dipahami. sebab Senapati Kuturan yang berasal dari Kediri ini diusir
oleh raja Aerlangga pada masa kekuasaannya, yang dianggap tidak dapat mematuhi apa yang
dikatakan oleh raja. Ini berarti, bahwa antara raja Aerlangga yang memiliki penasehat Senapati
Kuturan itu terjadi kesalahanpahaman, sehingga nasehat Senapati Kuturan tidak diikuti oleh raja
Aerlangga. Tidak diketahui secara pasti, seberapa jauh kebenaran tradisi lisan yang ada di Kediri
ini (wawancara dengan Juru Kunci di Gunung Kili Suci Situs Semen di Kediri).
Slamet Muljana, dalam bukunya Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (2006, 28-33).
Menguraikan tentang bagaimana terjadinya pemisahan kedua kerajaan Erlangga yang
diperkirakan berlangsung pada tahun 1042 Masehi. Disebutkan bahwa dua kerajaan yang
dipisahkan itu menjadi Kerajaan Jenggala dengan pusatnya di Kahuripan lokaisnya diperkirakan
di lembah Gunung Penanggungan. Sementara Kerajaan Panjalu pusatnya di Daha (yaitu di Kota
Kediri sekarang ini). Adapun yang menjadi batas pemisah antara kedua kerajaan itu adalah
sungai. Akan namun , dalam menentukan batasan sungai tampaknya masih dalam perdebatan.
Meskipun demikian adapun sungai-sungai yang dianggap sebagai batas pemisah kedua kerajaan
itu adalah sungai Brantas, Lamong, Porong, dan Widas.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tampaknya perseteruan antara Raja Aerlangga
yang tidak mengikuti nasehat Senapati Kuturan tampaknya berkelanjutan di kalangan istana
kerajaan. Ini dibuktikan dengan tetap terjadinya perselisihan yang mengakibatkan kehidupan
yang harmonis di antara kedua kerajaan yang dipisahkan itu. Ini terlihat dari persaingan dan
upaya perebutan kekuasaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lainnya yaitu antara
Jenggala dan Panjalu. Perseteruan itu dapat diatasi ketika Raja Panjalu Sri Maharaja Mapanji
Jayabhaya melakukan penyerangan terhadap kerajaan Jenggala. Yuka, Tanaya, et al., 2007)
menyebutkan, bahwa dengan melihat isi dari uraian yang ada pada Prasati Ngantang,
bertahun 1135 menunjukkan bagaimana sebuah era kemenangan Panjalu atas Jenggala dengan
dibuatnya stempel Prasati Ngantang. Prasasti ini berisi ucapan panjalu jayati, yang berarti
Panjalu menang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tahun 1135 diperkirakan
terjadinya peristiwa kekalahan Jenggala atas Panjalu (Lihat: Yuka, Tanaya, P., Ravando, Dieta
Lebe S., dan Iqra R., 2007)
Ini membuktikan, bahwa meskipun Aerlangga merupakan keturunan Raja Bali saat itu,
namun kekuasaan putranya ini juga diakui sah sebagai raja di Jawa Timur. Ini menandakan
bahwa kedua warga yang memiliki hubungan sejarah budaya yang sangat kuat itu memiliki
kesetaraan, sehingga berbagai pengaruh budaya yang berkembang saat itu diakui pula
keberadaannya. Dua saudara Aerlangga yaitu Marakata dan Anak Wungsu juga menjadi raja di
Bali yang dipercaya mengeluarkan beberapa prasasti yang berisi uraian-uraian yang merupakan
bagian pusaka saujana warga Bali. Ini dapat dimengerti sebab , dari prasasti yang
dikeluarkannya itu memuat berbagai masalah penting tentang keagaamaan masalah ekonomi
yang dapat dianggap mengangkat kesejahteraan warga Bali pada saat itu. Demikianlah
peran dan status yang dimainkan oleh putra-putra Raja Udayana yang juga menjadi raja di Bali.
Namun demikian pula halnya dengan kedua putra raja Udayana itu, yaitu Marakata dan
Anak Wungsu, maka Aerlangga yang merupakan saudara tertua itu memiliki berbagai kelebihan
di samping yang dianggap kelemahannya itu. Kelemahannya mungkin dapat dianggap
bagaimana kemudian di akhir masa jabatannya itu terjadi perpecahan yang mengakibatkan
dibaginya kedua kerajaannya itu yang dibantu oleh Mpu Bharadah menjadi Janggala dan
Kahuripan (Kediri sekarang). Namun di pihak yang lainnya adalah, adanya kelebihan-kelebihan
yang ditinggalkannya pada masa Aerlangga itu, dimana pada zaman Kediri inilah terjadi
perkembangan puncak tradisi sastra, budaya warga Jawa Hindu di Jawa Timur. Ini patut
diapresiasi sebab pada masa itulah berkembang berbagai kesusastraan yang berkarakter yang
melahirkan beberapa pujangga besar seperti Jayabaya yang pengaruhnya tidak hanya di Jawa
Timur namun juga di Bali. Inilah beberapa catatan penting yang patut diangkat ke permukaan
dalam konteks pemahaman perkembangan sastra atau kesusastraan dan kebudayaan yang
memiliki puncaknya pada masa itu.
Menurut catatan sejarah, pada masa Kerajaan Kediri telah dikenal sistem kerajaan atau
sejenis pemerintahan desa. Adapun desa pada pada zaman Kediri dikenal dengan sebutan wanua.
Setiap wanua dipimpin oleh seorang kabayan (kepala desa). Menurut etimologi katanya kata
kabayan bersal dari kata bhaya yang berarti orang yang menjaga bahaya. Sementara untuk setiap
wanua di zaman Kediri, ada keinginan untuk tetap dapat diakui sebagai sebuah sima.
Keberadaan Sima merupakan sebidang tanah yang pajaknya lebih rendah dikenai oleh kerajaan
kepada suatu desa. Tambahan pula, Sima merupakan daerah tempat peribadatan agama Hindu.
Keberadaan Sima ini ditandai pula dengan didirikannya bangunan Candi sebagai tempat untuk
pelaksanaan ritual dalam religi tertentu. Bagi seorang kabayan yang Wanua-nya diharapkan akan
menjadi sima harus mempunyai beberapa persyaratan. Di antaranya adalah, bahwa ia harus
menghadap kepada watak dari watak yang kemudian watak inilah akan menghadap kepada raja.
Raja selanjutnya akan menentukan daerah itu cocok atau tidaknya untuk dijadikan sima. Dapat
dikatakan, bahwa keberhasilan menjadi sima itu tergantung dari pertimbangan pendeta kerajaan
yang disebut rajapurohitta (Lihat: Yuka, Tanaya, P., Ravando, Dieta Lebe S., dan Iqra R., 2007).
Selain itu dikatakan, oleh Yuka (et al., 2007), bahwa ada istilah Parasamya atau
Kalpataru. Bagi warga yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara diberikan
penghargaan seperti yang diterima oleh pendeta atau Bagawanta Bhari. Ia dikatakan memperoleh
gelar kehormatan Wanuta Rama yang berarti ayah yang terhormat atau Kepala Desa, dimana
tidak dikenakan berbagai macam pajak atau Mangilaladrbyahaji di daerah yang dikuasai
Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan kawasan kependetaannya. Bagi daerah lainnya seperti
daerah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan I mas Suwarna kepada Sri Maharaja
setiap bulan Kesanga atau bulan kesembilan atau Centra. Tentang adanya pembebasan atas pajak
itu antara lain berupa Kring Padammaduy yang artinya iuran pemadam kebakaran, Tapahaji
erhaji yang artinya iuran yang berkaitan dengan air, Tuhan Tuha dagang yang artinya Kepala
perdagangan, Tuha hujamman yang maknanya ketua kelompok warga , Manghuri
mengandung arti Pujangga Kraton, Pakayungan Pakalangkang mengandung makna iuran
lumbung padi, dan Pamanikan yang berarti Iuran manik-manik, dan permata (Lihat: Yuka,
Tanaya, P., Ravando, Dieta Lebe S., dan Iqra R., 2007).
Akan namun , yang perlu dicatat, bahwa berbagai dinamika yang berkembang itu
tampaknya perlu dielaborasi dalam kaitannya dengan bagaimana interpretasi arkeologi dan
kesejarahan dapat diangkat ke permukaan berkaitan dengan bentuk-bentuk tinggalan situs
arkeologi dan kesejarahan yang ditinggalkan pada masa itu seperti di situs Semen, situs
Tegowangi, situs Tondowongso, Candi Surowono, Situs Toto Kerok, situs Kamandanu, situs
Tunglur dan sisanya seperti Taman Sekartaji yang masih dapat disaksikan hingga sekarang ini.
Apa makna yang dikandung dari tinggalan-tinggalan arkeologi dan kesejarahan itu dan
bagaimana dapat diapresiasi dan dimaknai sebagai potensi budaya yang mengandung kearifan
lokal tidak hanya bagi warga pendukungnya namun juga bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara dewasa ini.
2. Rumusan Masalah
Pertanyaannya adalah jika perkembangannya mengarah ke Timur atau ke Bali, apa yang
sebenarnya yang terjadi ke arah Barat khususnya ketika Aerlangga menjadi Raja di Kediri yang
kemudian dilanjutkan dengan penggantinya Ratu Kili Suci yang memiliki tinggaln sejarah di
Situs Semen, kemudian dicoba dibandingkan dengan tinggalan-tinggalan lainnya seperti
Tondowongso, dan candi-candi baru lainnya di wilayah Kediri di Jawa Timur. Kedua, Bentuk
tinggalan apa yang bisa diangkat untuk memahami era ini dan ketiga, makna apa yang
dapat digali dari tinggalan-tinggalan situs arkeologi dan kesejarahan itu. Inilah beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur terutama era Kerajaan Aerlangga di
Jawa Timur yang orang tuanya berasal dari Udayana Bali dan Mahendradatta dari Jawa Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin antara arkeologi dan sejarah, khususnya dalam
membahas dinamika warga Jawa Hindu di Kediri Jawa Timur. Penelitian ini mencakup
pembahasan tentang Situs Semen, Candi Tigowangi dan Tondowongso. Tidak terlepas
kemungkinan untuk mengadakan penelitian lapangan di sekitar kawasan candi-candi ini
terutama dalam kaitannya dengan dinamika peradaban dan kebudayaan pada masa Raja
Aerlangga di Kediri Jawa Timur. Hubungan atau latar belakang arkeologi dan kesejarahan yang
melatarbelakanginya terutama dengan dinamika sosial budaya di Bali juga akan dikomparasikan
dalam upaya memahami makna religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur.
Kondisi Geografis Kediri di Jawa Timur
Kediri merupakan salah satu Kabupaten yaitu Kabupaten Kediri di Propinsi Jawa Timur.
Daerahnya merupakan dataran rendah dengan dikitari oleh dua gunung yaitu Gunung Kelud,
Gunung Wilis dan Gunung Arjuna. Adanya permukaan tanah yang datar di Kediri tampak tidak
menunjukkan adanya relief yang tajam. Sungai besar Brantas yang memisahkan wilayah ini
membuat akses jalan bagi penduduk yang ingin melintasi kawasan ini. Demikian juga dengan
keberadaan gunung ini memberikan karakteristik tersendiri bagi Kediri, terutama Gunung Kelud
yang meletus dalam jangka waktu tertentu dan mengeluarkan abu vulkanis, sehingga
memberikan kesuburan tersendiri bagi wilayah ini.
Dalam catatan sejarah geografi negara kita , sungai memiliki peranan penting. Keberadaan
sungai seringkali menjadi alasan mengapa di suatu tempat didirikan sebuah kerajaan. Sungai
menjadi sumber untuk melanjutkan kehidupan dan penghidupan manusia di masa lalu. Bahkan
dalam konteks sejarah tradisional negara kita , gerak penduduk di suatu tempat pada umumnya
ditentukan oleh keberadaan sungai. Di Kediri di Jawa Timur ada juga sungai Bengawan
Solo. Sungai ini mempunyai arti signifikan bagi sejarah ekonomi maupun sosial kerajaan Kediri.
Sumber sungai ini berasal dari Gunung Arjuna, dan sungai ini membawa unsure-unsur dataran
tinggi aluvial Malang yang bersifat masam hingga larutan basa-asam menimbulkan unsur garam
yang tidak dapat dilepaskan dari kesuburan tanah. Ini disebabkan, sebab garam merupakan
bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti padi, palawija, dan sebagainya. Demikianlah Sungai
Brantas memiliki fungsi-fungsi penyubur ini yang mengalir dan kemudian melewati daerah
Blitar. Melalui daerah-daerah yang dilewati oleh Sungai Brantas selanjutnya dapat menerima air
yang kemudian sampai di dataran rendah aluvial Tulungangung (Ngrawa) dan Kediri yang
bersifat masam, sehingga daerah itu menjadi subur. Sungai Berantas melewati pegunungan kapur
Kendeng Tengah di sekitar Kabupaten Jombang dan memuntahkan unsur basisnya di rawa-rawa
yang masam di daerah muara dan deretannya sekitar Kabupaten Mojokerto
Di wilayah ini pada masa lalu, terutama pada masa kolonial Belanda merupakan basis
pengembangan perkebunan terutama perkebunan tebu. Hingga saat ini, wilayah ini masih banyak
ditanami pohon tebu yang memberikan manfaat bagi kehidupan warga nya. Selain itu,
kawasan ini juga ditanami tanaman padi, yang memberikan kemakmuran bagi warga nya.
Dalam bidang peternakan, kawasan ini juga memainkan peranan penting, terutama pada
pengembangan peternakan sapi, kambing, ayam dan sebagainya.
Kekhususan Kediri di Jawa Timur
Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jauh sebelum kedatangan pengaruh Indianisasi atau
Hinduisasi di Jawa itu, memang banyak terjadi dinamika warga dan budaya Jawa,
demikian juga dengan daerah sekitarnya seperti di Bali (lihat: Ardhana, 2014). Hal ini terlihat
dari proses sebelum hadirnya kelompok menang yang mampu menciptakan otoritas mereka dan
dikenal sebagai orang berani ―man of prowess‖. Kemudian berkembang menuju ke arah
munculnya sistem kerajaan dan sistem kepercayaan animisme. Dalam kondisi warga seperti
itu, mereka percaya, bahwa para dewa tinggal di pohon besar, di gunung, hutan, laut dan
sebagainya yang mengarah pada terciptanya konsep keseimbangan yaitu antara Tuhan, manusia,
dan lingkungannya (Cf. Dahm, 3). Fase setelah berkembangnya Hinduisasi atau Indianisasi,
yaitu terutama bagaimana warga lokal menyerap istilah politik India dapat dilihat pada
istilah Orang Berani yang banyak dikenal di dunia Melayu itu. Hal ini kemudian berubah
menjadi istilah Raja. Sebelum diperkenalkannya istilah raja itu, kekuasaan para tokoh politik
memang berada di tangan Orang Berani itu.
warga Jawa pada umumnya saat itu membutuhkan adanya stabilitas dalam
kehidupan mereka dari ancaman gangguan keamanan. Kehadiran raja pun diterima yang
memegang kekuasaan sebagai simbol dari penyatuan kerajaan dimana ia dianggap mampu
memelihara stabilitas itu. Selanjutnya agar dapat melegitimasikan kekuasaan yang dimiliki,
kemudian konsep India atau Hindu seperti ide kosmologi dan astrologi yang berasal dari India
bagian Barat Laut sejak abad ke-3 Masehi, mulai diperkenalkannya di Jawa sebagaimana dengan
wilayah-wilayah lainnya di negara kita . Dapat digambarkan bahwa ide ini dapat berkerja sama
dalam konteks paralelisme antara makrokomos dan mikrokosmos. Sebagai dasar-dasar
kepercayaan itu menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia di Jawa dan daerah-daerah
sekitarnya. Satu dasar dari prinsip astrologi adalah bahwa manusia secara tetap berada di bawah
kekuatan-kekuatan yang sangat beragam, yang dilihat dari arah mata angin, posisi planet,
bintang, dan sebagainya. Mereka percaya, bahwa kekuatan ini dapat mempengaruhi keadaan
kesehatan, sepanjang seseorang memahami untuk menjaga keseimbangan antara diri manusia
sendiri dan alam. Mereka berangkat dari pengertian suatu harmoni dalam prinsip yang lainnya
sebagai mana halnya dalam astrologi. Pengertian harmoni ini tampaknya terus dikembangkan di
masa-masa selanjutnya. Makrokosmos dan mikrokosmos memperlihatkan paralelitas, oleh
sebab itu, berada dalam hubungan yang harmonis. Heine-Geldern (1956: 1) mencatat, bahwa
pemahaman filsafat ini menyebar ke Asia Tenggara, misalnya ke Jawa pada abad-abad pertama
masehi. Perkembangan peradaban India di Asia Tenggara, bukanlah sebuah produk paksaan
ekspansi di wilayah ini. Ini dapat dilihat bagaimana penduduk lokal yang masih bertahan hingga
sekarang dari pengaruh-pengaruh luar itu. Oleh sebab itu, ide ini menyebar dan menyatu dengan
berbagai mitos yang ada di warga lokal dengan cara yang damai (Ardhana, 2014).
Penyebaran konsep-konsep kekuasaan Hindu yang berasal dari India ini berlangsung
cukup lama di kawasan itu dalam periode sejarahnya. Mengutip pada Heine-Geldern (1956: 1)
mencatat, bahwa penyebaran ide ini ke Asia Tenggara, terutama ke Jawa pada awal abad Masehi.
Ide ini tampak sangat penting, bila dikaitkan pengaruhnya pada bagaimana pola
penyebarannya sebagaimana sampai pula ke Bali yang pada masa sekarang, tampak ikut
membentuk formasi identitas warga Bali ,Ini tentu sangat penting melihat
proses sejarah dan migrasi yang terjadi di awal-awal perkembangan sejarah kebudayaan.
Pada abad ke-5, telah muncul di Jawa Barat dengan kerajaan Tarumanegara. Bukti-bukti
arkeologi juga tampaknya masih ada berkaitan dengan kerajaan ini, namun perlu penggalian-
penggalian yang lebih mendalam, sehingga dapat dipahami seberapa jauh keluasan kerajaan
Tarumanegara ini. Kemudian pada abad ke-8 telah muncul kerajaan Mataram Hindu di Jawa
Tengah. Dari tinggalan-tinggalan arkeologi dan kesejarahan yang ada di kawasan ini juga
dapat dilihat pada keberadaan Candi Gedong Songo. Candi ini merupakan candi Hindu terbukti
masih adanya tinggalan-tinggalan yoni, meskipun beberapa lingga yang biasanya ada pada
candi itu sudah tidak tampak lagi. Tidak diketahui dengan pasti, mengapa lingga-lingga itu
lenyap, apakah diambil orang dengan maksud bagaimana yang alasannya masih tidak diketahui
secara pasti. Ini tentu merupakan upaya-upaya yang perlu disadarkan kepada warga yang
ada di sekitarnya agar tinggalan-tinggalan itu dapat dipertahankan dan dipelihara
keberlanjutannya sebagai modal sosial dan budaya yang amat penting pada masa kini dan juga
bagi generasi yang akan datang. Demikian juga nantinya dengan beberapa candi di Jawa Timur
dapat dilihat bagaimana lingga-lingga itu juga tidak tampak lagi, sebagaimana dapat dilihat pada
situs Petilasan Calonarang yang berkaitan dengan kekuasaan kerajaan Kediri. Selain pengaruh
Hindu ada juga pengaruh kepercayaan agama Budha. Dalam kaitannya dengan kepercayaan
Hindu dan Buddha ini, bahwa dua atau tiga abad sebelumnya yaitu pada abad ke-8 penduduk
Jawa dan Bali telah dipercaya menganut agama Hindu dan Buddha. Hal ini terjadi terutama pada
zaman kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah pada masa yang sama menganut agama Buddha
sebagaimana tampak pada masa Cailendra
Menarik untuk melihat bagaimana dinamika kebudayaan dan peradaban yang ada di
Jawa Timur ini, ketika wilayah ini berada di bawah kekuasaan Raja Aerlangga. Raja Aerlangga
adalah putra ketiga dari perkawinan Raja Udayana dari Bali dan putrid Mahendradatta dari Jawa
Timur yang juga merupakan cicit dari Mpu Sindok. Kisah keberadaan Raja Udayana di Bali ini
berawal dari ketika memasuki abad ke-10 Masehi (835 Caka/ 913 Masehi) muncul nama seorang
raja Sri Kesari Warmadewa seorang raja yang pertama kali menggunakan gelar Warmadewa di
belakang namanya. Ia kemudian menjadi pendiri Dinasti Warmadewa. Relasi antara India dan
Bali sebagaimana pula dengan Jawa tampak diperkuat. Presentasi raja Udayana di Bali
merupakan bagian dari proses Indianisasi dimana Raja Udayana sebagai Raja Bali tampak
memperkuat hubungan yang terjadi sebelumnya dan proses Hinduisasi yang berlangsung ini
disampaikan secara damai,
Kebudayaan Bali sebelum datangnya pengaruh Indianisasi atau Hinduisasi itu, telah
mengenal sistem hukum adat tentang perkawinan dan pemilikan tanah z. Sistem ini telah mengatur kerja sosial, hukum dalam kehidupan
warga yang demokratis. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi dasar toleransi dan
pengedepanan sikap harmoni terhadap paham-paham keagamaan dan kedatangan aneka ragam
etnis di Bali di masa-masa selanjutnya Udayana yang hadir dalam dinamika sejarah Bali Kuna
pada masa itu mempresentasikan dirinya sebagai kelompok keluarga yang menang (man of
prowess), mencoba membentuk secara perlahan-lahan suatu kelompok penguasa yang penuh
dengan rasa atau sikap atau prilaku toleransi terhadap kelompok penduduk yang berasal dari
kawasan lainnya, akhirnya menjadi sikap toleransi. Inilah yang terjadi pada masa Raja Udayana
yang memerintah Bali dari abad ke-9 hingga ke-11. Pada tinjauan data arkeologi dan sejarah Bali
klasik menunjukkan, bahwa terjadi semakin kuatnya kebudayaan Bali, meskipun unsur-unsur
kebudayaan Hindu Jawa, khususnya peradaban Hindu Jawa Timur yang tampak berpengaruh
secara kuat pada kebudayaan Bali pada masa itu. Sejak masa sejarah Bali Kuna, tampak
pengaruh Indianisasi atau Hinduisasi semakin intens masuk ke Bali. Peranan raja sebagai
penguasa tertinggi menerapkan sistem pemerintahan dengan pusat dan wilayah kekuasaannya
yang berada di Bali dengan nilai-nilai Hindu (India) seperti sistem mandala, sistem warna, sistem
kepercayaan Hindu Buddha. Sistem kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha memang telah
muncul di Bali, sebagaimana terjadi di wilayah lainnya seperti Jawa dan Sumatra.
Sistem kepercayaan yang ada adalah adanya penghormatan kepada nenek moyang atau
roh leluhur yang dipadu dengan nilai-nilai agama Hindu dan Buddha. Selain itu, di Bali
misalnya, peranan tokoh agama yang berpengaruh pada waktu itu yang membawa pengaruh pada
sistem kepercayaan dan kewarga an sebagaimana dilakukan oleh Mpu Kuturan dan Mpu
Bharadah. Mpu Kuturan misalnya membangun desa pakraman di zaman Udayana yang memiliki
fungsi menata dan memelihara kerukunan warga (Geriya, 2013: 43). Schrieke mencatat
bahwa Raja Hindu memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan yang disebut dharma sima
swatantra dan ia melihat keistimewaan antara Mpu Sindok dan Raja Airlangga yang ketika
mereka berkuasa di Jawa tampak memberikan pembebasan pada pajak pada rakyatnya.
Disebutkan bahwa akte-akte pemberian hadiah pembebasan pajak itu mengandung makna bahwa
daerah bebas yang baru dibentuk tidak menjadi bagian dari wilayah hukum.
Di Jawa dan Bali, kedua agama Hindu dan Buddha ini dapat berkembang secara
berdampingan, yang tidak bisa terjadi di India misalnya, sebab seringnya terjadi konflik di
antara kedua penganut agama itu (cf. Goris, 1974: 10). Pola hidup berdampingan secara damai
ini terjadi pula pada masa Raja Udayana di Bali, ketika ia memerintah bersama permaisurinya
Mahendradatta. Akan namun , ini tidak berarti bahwa tidak ada dinamika politik pada periode itu.
Edi Sedyawati et al., (2012: 205) misalnya berpendapat, bahwa di Jawa, terutama pada pusat-
pusat kekuasaan kerajaan di masa Hindu-Buddha menunjukkan adanya kontestasi politik yang
berupa adanya konkurensi-konkurensi politik di antara mereka. Ia menambahkan, bahwa ada dua
alasan kuat tentang adanya persaingan politik ini, yaitu adanya dorongan ilmiah manusia yang
ingin mencapai keadaan yang lebih baik, lebih besar, dan adanya perwujudan aliansi kekuasaan
sebagai akibat persaingan-persaingan yang ditimbulkannya. Namun demikian, tidak diketahui
secara pasti, apakah aspek-aspek ini juga menjadi latar belakang hubungan antara Raja Udayana
yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Jawa ini yang kemudian melahirkan
Aerlangga yang kemudian menjadi raja di Kediri Jawa Timur ini. Daerah yang disebut Kediri
sudah ada pada saat zaman Mataram Hindu Kuna. Ini dikisahkan dari peran seorang Bagawanta
Bhari, yaitu seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi. Ia dikatakan dapat
menyelamatkan lingkungan alam sekitarnya dari ancaman banjir yang terjadi secara tahunan.
Ketekunannya sebagai seorang spiritual yang tanpa pamprih menyebabkan ia akhirnya dapat
menghantarkan dirinya sebagai panutan bagi warga pada saat itu. Besar dugaan, bahwa
Aerlangga diterima menjadi raja di tanah Jawa ini, sebab adanya hubungan darah dari Ibunya
yaitu Mahendradatta, sebagai seorang Jawa. Identitas yang melekat ini tampaknya
mempermudah bagi Aerlangga untuk mendapat pengakuan menjadi raja di Jawa Timur ini.
Membahas masalah religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur pada masa kerajaan
Aerlangga, dianggap penting melihat relasi yang terjadi antara perkembangan peradaban dan
kebudayaan di Jawa Tengah dengan apa yang berkembang kemudian di Bali. Dalam kaitan ini
sangat penting membahas kehidupan ayahnya Aerlangga yang bernama Udayana dan ibunya
Mahendradatta yang berasal dari Jawa Timur.
Tentang kehidupan ayah Aerlangga yaitu Raja Udayana dikenal pada abad ke-11. Ia
adalah salah seorang raja di Bali disebut sebagai salah seorang peletak dasar atau fondasi
kebudayaan Bali, terutama dalam kaitannya dengan sistem politik, hukum dan pemerintahan.
Kekuasaannya, memiliki relasi sejarah yang kuat pada perkembangan sejarah di Jawa Timur,
terutama setelah perkawinannya dengan seorang Putri Jawa dari Jawa Timur yang bernama
Mahendradatta. Ibu Aerlangga yang bernama, Mahendradatta adalah putri
Makutawangsawardhana, cucu Sri Lokapala, atau cicit Mpu Sindok di Jawa Tengah pada tahun
930 Masehi,
Pada sistem kerajaan di Kediri ini, telah dikenal pembagian wilayah dan kekuasaan
secara otonom. Wilayah yang memiliki status otonom itu disebut daerah watak. Wilayah watak
ini memiliki sistem kerajaan tradisional yang sama dengan sistem di kerajaan-kerajaan di Jawa
pada umumnya. Pemimpin wilayah ini, beberapa waktu dipanggil untuk mengunjungi raja di
ibukota kerajaan. Selain itu, pemerintahan kerajaan juga membentuk suatu badan peradilan,
dimana pegawai-pegawainya yang duduk di badan peradilan itu bergelar sang pamgat.
Seandainya wanua itu disetujui, maka wanua itu akan melaksanakan ritual penetapan sima.
Dalam sistem kerajaan di Kediri Jawa Timur ini, tampak ada hubungan relasi kuasa yang kuat
antara penguasa dan abdinya. Relasi kuasa yang terbentuk itu sebenarnya merupakan pertautan
tuan-hamba, dimana dalam hubungannya itu tidak dirasakan sebagai adanya pemaksaan yang
berarti.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja kerajaan Kediri, telah memberikan petunjuk,
bahwa raja dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu. Di sini terjadi pula hubungan dimana seorang
raja dianggap merupakan titisan dewa (devaraja concept). Dari prasasti itu dapat dikatakan,
bahwa warga Kediri menganut agama Hindu yang beraliran Wisnu. Ini terlihat dari konsep
kekuasaan kerajaan yang dipegang oleh seorang raja, dimana dalam sistem sosial kerajaan itu,
seorang raja memiliki kedudukan istimewa (priviledge). Dalam hal ini, raja dianggap sebagai
pusat daya magis, yang merefleksikan daya magisnya di alam sekitarnya sesuai dengan
pandangan kosmologis warga Jawa pada saat itu. Oleh sebab itu, raja dianggap
mempunyai pengaruh untuk memproteksi warganya agar tercapai kesejahteraan. Dalam
kepercayaan Wisnu ini raja dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi. Namun demikian,
ketika Aerlangga untuk memutuskan membagi kedua kerajaannya menjadi Jenggala dan Penjalu
maka perubahan-perubahan pun terjadi di Kerajaaan Kediri dalam arti suasana ketidakstabilan
politik yang semakin berlangsung. Adapun relasi kuasa yang terjadi pada masa Kediri dapat dilihat sebagai berikut:
Hubungan keduanya itu bersifat saling membutuhkan, sehingga sistem kerajaan itu
diharapkan akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan yang penguasa. Sementara para abdi
yang dikuasainya akan merasa memperoleh perlindungan dari tuannya. Schrieke misalnya
mencatat, bahwa Raja Hindu memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan yang disebut
dharma sima swatantra kepada para abdinya. Ini secara jelas terlihat, ketika ia melihat
keistimewaan hubungan antara Mpu Sindok dan Raja Airlangga yang ketika mereka berkuasa di
Jawa tampak memberikan pembebasan pada pajak pada abdinya. Akte-akte pemberian hadiah
pembebasan pajak itu mengandung makna, bahwa daerah bebas yang baru dibentuk tidak
menjadi bagian dari wilayah hukum (Schrieke, 1975: 12).
bila dilihat dari latar belakang kelahiran Aerlangga, sebenarnya tidak terlepas dari
pembahasan tentang ayahnya yang bernama Udayana yang berasal dari Bali dan ibunya yang
bernama Mahendradatta yang berasal dari Jawa Timur. Penting untuk mengetahui bahwa riwayat
hidup dan silsilah yang jelas tentang Aerlangga atau Airlangga yang merupakan putra dari
Udayana dan Mahendradatta ini. Prasasti Pucangan 959 Caka (1037M) menyebutkan tentang
Aerlangga ini yang merupakan keturunan tidak langsung dari Raja Empu Sindok yang dikenal
sebagai pendiri Wangsa Isana yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuna di Jawa tahun 919—
929 M. Putri Empu Sindok Sri Isanatunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala dan anaknya
bernama Makutawangsawarddhana. Sri Makutawangsawarddhana inilah yang mempunyai putri
yang bernama Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatta yang kemudian menikah dengan
Dhammodayana yang dikenal sebagai putra Wangsa Warmmadewa dari Bali.
Hubungan antara Kediri Jawa Timur dan Bali tampaknya sudah berlangsung pada masa
keemasaan kekuasaan ayahnya menjadi raja di Bali. Arti kata Udayana ini, menurut Semadi
Astra yang merujuk pada pendapat Monier-Williams, (1986: 510) dan MacDonell, (1974: 50),
yang sering disebut juuga dharmodayana, terdiri dari kata dharma yang berarti hukum, ajaran
agama, kebenaran, dan kwajiban. Makna kata Udayana berarti terbit, naik, muncul. Sementara
kata Warmadewa terdiri dari kata warma (warman) yang memiliki makna baju zirah, pelindung
dan dewa yang berarti raja, dewa (Monier-Williams, 1986: 510). Dari uraian itu, Semadi Astra
menyimpulkan, bahwa gelar Dharmodayana Warmadewa mempunyai arti ―raja teguh‖ (yang
memakai baju zirah) yang dapat menegakkan hukum atau mengembangkan ajaran religi atau
agama. Ditambahkan, bahwa kata warmadewa mengandung makna keluarga raja-raja (rajakula)
atau dinasti (wamsa) dimana Raja Udayana merupakan salah seorang anggota keluarganya
(Semadi Astra, 2013: 8). Untuk kata Mahendradatta dapat dirujuk pendapat Mardiwarsito dalam
bukunya yang berjudul, Kamus Jawa Kuna (Kawi) –negara kita (1985: 273). Ia mengartikan kata
Mahendradatta ini sebagai maha-indra-datta yaitu maha berarti besar, indra berarti raja, dewa
dan datta berarti pemberian. Makna Mahendradatta yaitu adanya pemberian Dewa Indra. Jadi,
Gunapriyadharmapatni berasal dari beberapa kata yaitu guna berarti sifat baik, priya berarti
suami istri, kekasih, sahabat, dharma berarti hukum, kebajikan, agama, biara, candi dan patni
berarti permaisuri, istri. Jadi, kata Gunapriyadharmapatni berarti permaisuri yang bijaksana, yang
tiada lain adalah Mahendradatta sendiri (Mardiwarsito, 1985: 198). Dalam kaitan ini, Semadi
Astra (2013: 7) mencatat, bahwa ada tiga bagian gelar pasangan ―suami-istri‖ yang perlu dilihat
dari hubungan antara Udayana dan istrinya yaitu, Dharmmodayana, Warmmadewa, dan
Gunapriyadharmmapatni.
Setelah perkawinan Udayana dan Mahendradatta tampak terjadi perkawinan peradaban
juga antara kebudayaan Jawa Timur dan Bali. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan
sehingga Raja Udayana bersama istrinya yang memimpin Bali terjadi penguatan-penguatan
peradaban sebagaimana dapat dilihat dari aspek sosial budaya, hukum, pertahanan, ekonomi dan
politik. Perkembangan peradaban semakin meningkat terutama setelah terjadinya pernikahan
antara Sri Gunapriyadharmapatni (sering disebut sebagai Mahendradatta) dan Udayana yang
menganut agama yang sama yaitu agama Hindu. Adanya perkawinan antara putri dari Jawa,
Gunapriyadharmapatni dan suaminya orang Bali Udayana yang lebih lengkap dikenal sebagai
Dharmodayana Warmadewa ini menghasilkan beberapa perubahan yang mengarah terjadinya
integrasi budaya Hindu Jawa di Bali.
Sumber-sumber kesejarahan menyebutkan bahwa, Udayana hanya diperbolehkan
menikah dengan Mahendradatta ini, jika ia menolak setiap pernikahan lainnya. Hal ini
menyebabkan Mahendradatta yang sering dikenal sebagai Gunapriya tersinggung dan marah.
Kemudian, ia melaksanakan ilmu guna-guna yang berdampak pada keadaan di Bali sebagaimana
berkembangnya cerita Calon Arang yang menurut cerita, Gunapriya dikatakan menjadi ahli sihir
wanita yang dikenal sebagai Rangda dari Girah atau Jirah. Hal ini dikaitkan oleh Goris berkaitan
dengan dicandikannya Gunapriyadharmapatni sebagai seorang dewi berlengan delapan serta
dalam keadaan marah. Patung Gunapriya ini ditemukan di sebuah bukit di Burwan. Goris tidak
memberikan argumen yang jelas tentang kebenaran tradisi ini, lihat Goris (1974: 11). Tambahan
pula, Goris (1974: 12) mencatat, bahwa nama Gunapriya selalu disebut lebih dahulu daripada
nama Udayana dalam prasasti-prasastinya. Dengan demikian, Raja Udayana dianggap lebih
banyak berperan sebagai pangeran-suami dari seorang ratu. Selain itu, menurut Goris, bahwa
Gunapriya mengusahakan agar piagam atau prasasti yang masih sampai saat itu dalam Bahasa
Bali Kuna, diundangkan dalam Bahasa Jawa Kuna. Atas argumen ini, Goris menyimpulkan,
bahwa Gunapriyadharmapatni memainkan peranan yang signifikan dan menentukan sebagai
pimpinan dalam pernikahan dan pemerintahannya.
bahwa Raja Udayana hanya seorang diri tanpa disertai permaisurinya dalam mengeluarkan
prasasti-prasastinya (lihat juga: menjelaskan adanya hasil hubungan pernikahan ini muncul adanya
penguatan hubungan kebudayaan Hindu antara Bali dan Jawa Timur yang sekaligus tercapainya
puncak kebudayaan Jawa Bali Hindu di Bali terutama pada masa kekuasaan Raja Udayana ini
Tampak terjadi penguatan penggunaan Bahasa Jawa Kuna yang di Bali disebut sebagai Bahasa
Kawi yang tampaknya sejak saat itu semakin sering dipergunakan. Hal ini misalnya dapat dilihat
pada makna memukul, menuding yang sudah ditemukan dalam peninggalan yang ada di
prasasti Bali. Kemudian bahasa Jawa Kuna telah juga diadopsi di Bali yang sebenarnya
memperkuat Bahasa Bali itu sendiri. Pada masa-masa selanjutnya, Raja Dharmodayana
Warmadewa disebut sebagai Raja Udayana dan kemudian digantikan oleh Ratu Sri Sang
Ajnyadewi (2016M). menjelaskan bahwa kekuasaan
selanjutnya berada di tangan Raja Marakata (1022-1025M), Anak Wungsu (1049-1077),
Walaprabu (1079-1088M), Sakalendukirana (1088-1101M), dan Suradhipa (1115-1119M).
Dapat disebutkan misalnya adanya konsep karama sudah ada pada zaman Udayana.
Perkembangan yang terjadi sejak masa prasejarah hingga sejarah Bali klasik ini menunjukkan
bagaimana orang Bali pada saat itu sudah memiliki peradaban dan memperoleh pengayaan
dengan munculnya nilai-nilai religi yaitu agama Hindu-Buddha pada saat yang bersamaan
memperkuat sistem kerajaan. Nilai-nilai ini berkembang semakin kuat dengan adanya
pengaruh Hindu dari Jawa Timur pada abad ke-11 dan ke-12 pada masa pemerintahan Raja
Udayana dan keturunannya yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Bali saja, namun juga di Jawa Timur ketika
Aerlangga menjadi raja Kediri. Setelah Raja Udayana di Bali ini, maka ketika putra-putranya
berkuasa sebagai raja seperti Airlangga di Jawa Timur, Marakata yang juga dikenal sebagai
Marasuba Pangkaja, dan Anakwungsu sebagai raja di Bali, tampak kebudayaan Hindu Jawa
Timur lebih semarak berkembang di Bali. Di antara ketiga anaknya itu Aerlangga menjadi raja di
Jawa Timur. Aerlangga dikatakan dikirim ke Jawa pada usia 16 tahun ini adalah merupakan
sebuah tradisi yang dilakukan pada masa Bali Kuna untuk mengirimkan anaknya ke Jawa untuk
menekuni ilmu pengetahuan keagamaan. Namun di usia yang masih sangat muda itu, ia
dikatakan menikah dengan putri Raja Dharmawangsa Tguh. Lama setelah pernikahannya itu,
kerajaannya diserbu oleh raja bawahan, Wurawari. Putri dan Raja Dharmawangsa Tguh gugur
dalam perlawanan itu, dikenal dengan pralaya yang terjadi pada tahun 916 M. Aerlangga yang
dipercaya sebagai penjelmaan Wisnu dipercaya untuk diangkat menjadi Raja pada tahun 941
Caka (1019 M)
Aerlangga dikenal sebagai seorang raja yang baik dan namanya termashur ke seluruh
negeri. Sebelum seorang putra mahkota menjadi seorang raja, oleh dewaraja, putera mahkota
diberikan daerah kekuasaan untuk memimpin, sebagai dasar untuk berlatih memimpin sebuah
kerajaan. Tampaknya hal ini berlangsung pada masa sebelum Jayabhaya naik tahta. Ia menjadi
raja bawahan bergelar pamasa. Pada sistem kekuasaan kerajaan seorang raja, dibantu oleh
ketiga puteranya dan keempat pembesar kerajaan. Dikatakan bahwa, pegawai-pegawai kerajaan
ini tidak menerima gaji tetap, akan namun menerima hasil bumi sebagai upah. Adapun ketiga
putera ialah tiga pembesar yang bergelar Mahamentri, yakni Rakryan Mahamenteri Sirikan,
Rakryan Mahamenteri Halu, dan Rakryan Mahamenteri Hino. Status kekuasaan ini banyak
disebutkan dalam nama abhiseka seorang raja. Pada Prasasti Kahyunaan disebutkan, bahwa
perintah dari Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janadarnawatara diberikan kepada
Rakryan Mahamenteri Sirikan Sang Apanji Isanendra dan Mahamenteri Halu Sang Apanji
Ragadaha. Posisi Rakryan Hino tidak dijumpai pada prasasti-prasasti pada zaman Kediri. Hal ini
tidak jelas pula, apakah posisi itu masih ada atau memang tidak ada, tidak diketahui secara pasti.
Selanjutnya di bawah Mahamenteri, ada empat pembesar kerajaan yaitu yang bergelar
Rakryan. Adapun jabatannya itu adalah Rakryan Kanuruhan, Rakryan Apatih, Rakryan Rakryan
Rangga, dan Rakryan Demung. Adapun tugas mereka untuk mendukung raja dalam urusan
sistem kerajaan.
Pada masa kekuasaan raja Kediri ini berkembang kepustakaan kakawin yang sangat
terkenal di Kediri saja, namun juga menyebar ke Bali. Perkembangan kepustakaan Jawa Kuna ini
sangat mendukung sistem kerajaan yang terbentuk, sebab dalam kepustakaan itu mengandung
nilai-nilai kepahlawanan. Pada masa Kediri ini kakawin digunakan dalam bidang keagamaan,
yaitu syair-syairnya digunakan sebagai bahan pengajaran cerita biasa yang berkembang di antara
anggota warga pada umumnya. Meskipun demikian, kakawin-kakawin ini, terutama hingga
pada masa Singasari, dijadikan sebagai media untuk bersekutu dengan Dewa dimana ajaran-
ajarannya mengilhami pembentukan meditasi atau yoga. Yoga dilakukan sambil membaca ayat-
ayat di kakawin untuk melakukan suatu gerakan pembersihan. Era kejayaan Kediri ini
kesusastraan berkembang dengan sangat pesat. Para pujangga kerajaan seperti Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh menggubah beberapa karya sastra seperti Kitab Baratayudha yang isinya
menggambarkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa, namun sebenarnya isi kitab ini
lebih condong menceritakan pertempuran antara kerajaan Panjalu dan Jenggala. Sementara itu,
Mpu Panuluh juga menggubah karya sastra lainnya, seperti Kakawin Hariwangsa dan
Gatotkacasraya. Masa kekuasaan raja Kediri ini pegelaran pewayangan dilakukan secara lebih
sering dan lebih intensif. Pertunjukkan wayang ini dilaksanakan baik dilakukan dalam
lingkungan keraton, maupun di dalam khalayak umum. Ketika Airlangga berkuasa, cerita-cerita
Hindu dan kisah-kisah pewayangan Bali digubah dan disesuaikan dengan kondisi warga
setempat. Selain itu, cerita-cerita itu dapat bertahan hingga berdirinya kerajaan Singasari. Media
yang digunakan adalah Wayang Gedog walau intensitas penggunaan Wayang Purwa tidaklah
sedikit.
4.1 Raja- raja Kediri
Munculnya kerajaan Kediri di Jawa Timur berkaitan erat dengan raja Airlangga yang
memerintah tahun 1019-1049. Airlangga mempunyai beberapa orang putra, salah satu di
antaranya seorang putri bernama Sanggrama Wijaya. Ia merupakan putri mahkota yang
dicalonkan untuk menggantikan ayahnya (Airlangga) sebagai raja. Namun putri ini menolak, dan
ia memilih kehidupan sebagai seorang pertapa, yang dikenal dengan nama Kili Suci.
sebab memilih kehidupan sebagai seorang pertapa dan menolak menjadi raja, maka
timbul kesulitan bagi Airlangga, sebab ia masih mempunyai beberapa orang putra yang lain.
Untuk menghindari perebutan kekuasaan di antara putra-putranya, Airlangga terpaksa membagi
dua kerajaannya pada tahun 1041 dengan pertolongan seorang Brahmana yang bernama Mpu
Bharadah. Kedua kerajaan itu dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas, dan masing-
masing dikenal dengan sebutan Janggala dan Panjalu (Kartodirdjo, 1975:105). Jenggala dengan
ibukotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu dengan ibukotanya Daha, yang mungkin adalah Kediri
sekarang. Samarawijaya menjadi raja di Panjalu sedangkan Mapanji Garasakan menjadi raja di
Jenggala. Pembagian kerajaan ini diharapkan agar kedua kerajaan dapat hidup rukun dan damai.
Meskipun masing-masing telah memperoleh hak atas tahta, namun Mapanji Garasakan
berambisi untuk menguasai seluruh kerajaan, dan ia menyerang saudaranya yang menjadi raja di
Panjalu. Tampaknya Mapanji Garasakan berhasil mengalahkan Panjalu, sebab dalam waktu
beberapa lama nama kerajaan Panjalu tidak pernah disebut-sebut dalam prasasti.
Tujuh puluh lima tahun setelah pemerintahan raja Samarawijaya, kita baru memperoleh
keterangan tentang kerajaan Panjalu atau Kediri yang diperintah oleh Bameswara (1116-1134),
dan Jayabhaya (1135-1157). Dalam Prasasti Hantang yang dikeluarkan oleh Jayabhaya tahun
1135 ada disebutkan perkataan ―Panjalu Jayati‖ yang artinya ―Panjalu menang‖. Jayabhaya telah
berperang dan menang atas musuh-musuhnya, yaitu kerajaan Jenggala. Kata ―Panjalu Jayati‖
(Panjalu menang) yang dipahatkan dalam prasastinya mungkin dimaksudkan sebagai peringatan
―kemenangan‖ Panjalu atas Jenggala. Kemenangan itu menunjukkan bahwa Jayabhaya adalah
pewaris yang sah dari Kerajaan Panjalu dan berhak memerintah kerajaan leluhurnya.
Jayabhaya adalah raja yang terbesar dan termasyur dari kerajaan Kediri. Ia bergelar
Maharaja Sri Warmeswara Madhusudhana Parakrama Digjayatungga-dewa. Ia berhasil
menyatukan kembali kerajaan Jenggala dan Kediri, yang berarti menyatukan kembali kerajaan
Airlangga. Keberhasilan ini oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh diabadikan dalam karya
sastra Bharatayudha. Kitab ini mengisahkan perang besar antara Pandawa dengan Kurawa
selama 18 hari di Padang Kuruksetra merebut hak atas tahta Astinapura. Peperangan ini mungkin
sebagai kiasan perang saudara antara Kediri/Panjalu dengan Jenggala.
Seruan ―Panjalu Jayati‖ dalam prasasti Hantang yang telah disebutkan di atas kiranya
dapat dibandingkan dengan seruan ―merdeka‖ pada waktu menjelang dan masa awal perjuangan
kemerdekaan negara kita . Demikian pula tentunya bukan suatu kebetulan bahwa raja Jayabhaya
mengeluarkan prasasti Hantang itu adalah juga raja yang mendukung atau memerintahkan
penulisan kakawin Bharatayudha yang bertema perang saudara itu. Tampaknya Jayabhaya
memang sedang menghadapi keadaan persaingan dengan kerajaan lain. Kerajaan lain itu adalah
Jenggala yang merupakan kerajaan Airlangga yang dibagi.
Adanya pertikaian itu disebutkan pula dalam prasasti Wurare tahun 1289 (Kern, 1952:99-
110) yang menyebut nama Panjalu dan Jenggala sebagai nama dua kerajaan di Jawa yang
berperang satu sama lain setelah pembagian dua dilakukan oleh Mpu Bharadah. Kakawin
Negarakertagama (XL:4) yang ditulis tahun 1365 menyebutkan pula pada pertikaian dan
kemudian persatuan kembali, dari kedua kerajaan itu, yaitu Jenggala dan Kediri. Dengan
demikian jelaslah bahwa Panjalu adalah nama lain dari Kediri, dan bahwa ada dua kerajaan,
yaitu Panjalu dan Jenggala, yang semula satu pada zaman Airlangga, kemudian terpisah dan
bersaing keras pada zaman Kediri.
Bahwa persatuan kembali itu memang terjadi pada zaman Singhasari yang ditunjukkan
oleh prasasti Sarwadharma tahun 1296 yang dikeluarkan oleh raja Kertanagara. Dalam prasasti
ini wilayah kerajaan dinyatakan dengan sebutan ―bumi Jenggala Panjali‖. Ini berarti bahwa pada
waktu itu Jenggala dan Panjalu telah dipersatukan. Peranan Kertanagara sebagai raja pemersatu
itu diupayakan pula dengan ungkapan dari prasasti yang sama, yaitu sebutan baginya sebagai
―pinaka catraning bhuwana sajawadwipa‖ (sebagai pelindung atau peneduh seluruh wilayah
pulau Jawa).
Pengganti Jayabhaya, yang menjadi raja di Kediri adalah Sarweswara yang memerintah
selama sepuluh tahun (1159-1169), Aryeswara (1169-1181), Gandra (1181-1182). Suatu hal
yang menarik pada masa pemerintahan raja Gandra adalah dikenalnya jabatan ―Senopati
Sarwajala‖ yang kira-kira dapat disamakan dengan ―laksamana laut‖ pada masa sekarang.
Adanya penyebutan jabatan itu, maka besar kemungkinan kerajaan Kediri telah mempunyai
angkatan laut yang kuat. Selain itu, pada masa Kediri dikenal pula pejabat-pejabat yang
menggunakan ama-nama binatang sebagai namanya, seperti misalnya Kebo Salawak, Lembu
Agra, Gajah Kuning, Macan Putih dan sebagainya.
Raja berikutnya adalah Kameswara. Berdasarkan sumber-sumber prasasti, raja ini
memerintah di Kerajaan Kederi tahun 1182-1185. Pada masa pemerintahan raja ini ditulis kitab
Smaradhahana oleh Mpu Dharmaja. Dalam kitab ini raja dipuji sebagai titisan Dewa Kama
(Kamanjaya), sedangkan permaisurinya bernama Candra Kirana dianggap titisan Dewi Ratih dari
kerajaan Jenggala, sebagai pertanda telah bersatunya kerajaan Jenggala dan Kediri. Pada masa
pemerintahan raja Kameswara ini juga ditulis karya-karya sastra yang lain, seperti Wertasancaya
yang ditulis oleh Mpu Tanakung. Karya Mpu Tanakung yang lain adalah Kitab Lubdaka, yang
menceritakan seorang pemburu bernama Lubdaka mencapai moksa sebab memuja Dewa Siwa
melalui perwujudan Lingga. Mpu Panuluh menulis Kitab Hariwangsa dan Gatotkaca Sraya.
Masa Kediri adalah masa suburnya penulisan karya sastra.
Raja-raja Kediri memiliki kualitas yang khas. Kualitas itu adalah dalam bidang kesenian,
khususnya seni sastra dan seni pertunjukan. Sumber-sumber prasasti dan karya sastra
menggambarkan bahwa kemampuan dalam menciptakan puisi bukn monopoli para kawi
(penyair). Kemampuan dalam bidang ini diduga merupakan bagian dari pendidikan yang harus
diikuti oleh mereka yang berada di lingkungan istana. Mereka tidak hanya dapat menikmati
keindahan puisi, namun juga mampu menulis puisi serta mengekspresikan secara spontan
Dalam kakawin Sumanasantaka yang digubah pada masa Kediri, dikisahkan para
pangeran yang kecewa sebab lamarannya ditolak oleh Dewi Indumati. Rasa kecewa itu
kemudian dinyatakan melalui bait-bait puisi. Demikian pula dalam kakawin Bharatayudha, Mpu
Panuluh menyatakan bahwa syair-syair Baginda Jayabhaya indah tanpa cacat. Raja dipandang
sebagai seorang penyair, sehingga pantas dipilih sebagai guru (Sedyawati, 1985).
Setelah Kameswara yang memerintah di Kediri adalah raja Kertajaya, sekaligus sebagai
raja terakhir kerajaan Kediri. Ia memerintah tahun 1185-1222, setelah dikalahkan oleh raja Ken
Arok dalam pertempuran di Ganter. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan keadaan di Bali dalam waktu yang hampir
bersamaan, di Bali berturut-turut memerintah raja Jayasakti (1133-1150), Ragajaya (1155),
Jayapangus (1177-1181), sedangkan pada masa Kediri memerintah Semarawijaya (1041-1049),
Jayabhaya (1135-1157), dan Kertajaya (1185-1222) yang sama-sama menggunakan kata ―jaya‖
pada bagian namanya. Apakah raja-raja ini mempunyai hubungan kekerabatan? Mungkin
juga, namun sesungguhnya unsur yang hampir sama ini tidak mengherankan, mengingat
kontak antara Jawa dan Bali sudah ada sejak zaman pemerintahan raja Udayana yang beristri
seorang putri Jawa Timur, yaitu Mahendradatta atau Sri Gunapriya Dharmapatni
4.2 Golongan- golongan dalam warga
Dari sumber-sumber tertulis masa Kediri dapat diketahui mengenai adanya beberapa
golongan dalam warga . Golongan-golongan tertentu yang disebutkan oleh sumber-sumber
ini ada yang berhubungan dengan tinggi rendahnya kedudukan mereka dalam warga ,
ada pula yang berhubungan dengan pemilikan hak-hak tertentu ataupun kewajiban-kewajiban
tertentu. Data mengenai golongan-golongan ini kini hendak diungkapkan untuk melihat
kemungkinan adanya peranan tertentu dari golongan-golongan itu yang kiranya berhubungan
dengan struktur warga .
Di puncak penataan warga Kediri itu ada seorang yang dianggap mempunyai
kedudukan tertinggi, yaitu raja. Seberapa besar wilayah yang bernaung di bawah kewibawaannya
di sini tak akan dibahas. Raja yang berkuasa di Kediri umumnya pribadinya dihubungkan dengan
dewa wisnu, ia mempunyai nama yang merupakan julukan wisnu. Terlihat betapa gagasan Hindu
mengenai penjelmaan wisnu ke dunia sebagai raja penyelamat mempengaruhi kalangan raja pada
masa Kediri yang dibicarakan ini. Pada masa Kediri gagasan itu juga dinyatakan oleh kekawin-
kekawin yang diciptakan di keraton pada masa ini .
Raja yang berada di puncak penataan warga itu rupanya juga dianggap berada di
puncak kebudayaan. Ia, di samping disamakan dengan Wisnu sebagai penyelamat dunia, juga
dapat dipersamakan dengan dewa mana pun yang dianggap utama. Ia dapat dipersamakan,
bahkan dianggap penjelmaan, dari dewa Kama. Ini dinyatakan mengenai raja Sri Kameswara
dalam kakawin smaradahana. Pada masa Kediri raja dapat pula disamakan dengan Brahma,
Wisnu, Maheswara, dan semua dewa-dewa, seperti yang dinyatakan dalam prasasti Mula-
Malurung. Juga dalam hal kepujanggaan raja dianggap menempati kedudukan tertinggi, seperti
dinyatakan dalam kakawin sumanasantaka (CLXXXII.1) bahwa raja adalah ―prasiddha guru
ning gurulaghu” (sempurna sebagai guru dalam seni kakawin). Bagaimana peranan raja dalam
kegiatan-kegiatan budaya yang lain pada masa Kediri tidak begitu jelas. Kakawin-kakawin
Kediri bercerita mengenai kemahiran raja-raja berseni sastra, seperti yang tersirat dalam adegan
Aja dan para raja lain yang sedang mengikuti sayembara putri Idumati (Sumanasantaka) dan
juga adegan Abhimanyu yang sedang bercinta (Ghatotkacasraya) dan lain-lain. namun kakawin-
kakawin itu tidak bercerita mengenai kegiatan raja dalam olah seni yang lain. Baru kemudian
pada zaman Majapahit ada cacatan bahwa raja juga memiliki kemahiran dalam seni suara
dan seni tari (Nagarakretagama) pupuh LXVI dan CI). Sumber terakhir ini (XLIIII.5) juga
bercerita mengenai seorang raja Singhasari, yaitu Kertanagara, yang dikatakan tahu mengenai
segala ritual beserta kelengkapan-kelengkapan dan segala ajaran yang utama. Melihat
konteksnya, ritual yang dimaksud adalah ritual keagamaan. Maka, dengan mengetahui
bahwa arca dewa digunakan dalam ritual keagamaan, dapat diduga bahwa raja, khususnya
Jayabhaya, menguasai ketentuan-ketentuan pengarcaan dewa, khususnya dewa-dewa yang sesuai
dengan kepercayaannya.
Sesudah raja, di sekitar, ada lah golongan orang-orang yang merupakan lapisan
teratas dari warga . Paling dekat dengan raja dalam fungsinya sebagai pemimpin tertinggi,
ada seorang pendamping yang berilmu dalam bidang keagamaan. Pada masa Kediri
diketahui bahwa raja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmmeswara mempunyai seorang
pendamping yang merupakan gurunya, disebut pangajyan sri maharaja mpungku
naiyayikadarsana-samreddhi-karana bhairawa-margga-nugaman dharyogiswara (OJO
LXXVIII, sisi depan baris 8-9), yang artinya ―guru dari raja, empu yang mahir menjalankan yoga
dengan jalan bhairawa, yang menyebabkan tercapainya kesempurnaan sesuai dengan nyaya.
Adapun pada masa Singhasari diketahui bahwa Seminingrat pada waktu menjadi raja
mempunyai Sang Pranaraja sebagai pendamping dan pelaksana (pinaka hastapada = sebagai
kaki tangan) pada waktu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan berupa: bhumisoddhana
(penyucian bumi), pendirian (arca) buyutnya di bangunan suci yang disebut sanghyang dharma
di Kalangbret, serta ketika anusuk (meresmikan batas) dharma di Pagar (prasasti Mula-
Malurung, lempeng IIa: Museum Nasional Jakarta nomor E90, transkripsi oleh Boechari).
Prasasti yang disebut terakhir itu juga mengatakan bahwa Sang Pranaraja adalah seorang
saiwaka (=sewaka=penghadap, pengikut) yang patut diteladani: ia selalu mengikuti dharma ning
saiwaka saptati (prasasti Mula-Malurung VIIIa dan IXa) yang artinya ―perilaku yang tepat bagi
saiwaka yang tujuh puluh. Mengenai perilaku antara lain disebutkan pula dalam prasasti ini
bahwa Sang Pranaraja senantiasa mantap jika diutus oleh raja: tak pamrih, tak tahu lapar dan tak
peduli jarak jauh. Di sini terlihat, betapa Sang Pranaraja yang di satu pihak dipuji sebagai tokoh
yang sangat mampu melaksanakan tugas-tugas penting yang berhubungan dengan agama, di
pihak lain dinyatakan bahwa ia hanyalah pembantu raja yang patuh. Kesan yang berbeda
diberikan oleh sumber-sumber masa Kediri. Di situ kemandirian dari tokoh keagamaan yang
terdekat dengan raja itu lebih tampak, atau lebih tepat, tidak ditekankan mengenai keberadaannya
di bawah raja. Tokoh semacam pada masa Kediri adalah pangajyan sri maharaja untuk Mapanji
Jayabhaya Sri Warmmeswara (prasasti Hantang dan Talan, OJO LXVIII dan LXX).
Dari perkembangan hubungan antara raja dan penasehat keagamaannya itu, di mana
tampak bahwa pada masa Kediri raja menjadi lebih menguasai penasehat keagamaannya. Dalam
rangka itu, pengarcaan dewa-dewa pun dapat diarahkan oleh wawasan dan kehendaknya. Hal ini
pada gilirannya mungkin mengakibatkan penyeragaman ketentuan ikonogrfik di kawasan yang
termasuk cakupan wewenangnya.
Dalam lingkungan raja yang terdekat ada kaum kerabatnya. Anggota keluarga raja
yang terdekat itu rupa-rupanya mempunyai kelompok pelayanan masing-masing. Hal ini
disebutkan dalam prasasti raja Kediri Sri Bameswara tahun 1117 Masehi (OJO LXVIII,
khususnya baris 16-17) di mana dinyatakan bahwa para hamba dari rajaputra rajaputri (putra
dan putri raja), binihaji (istri raja), parameswari (permaisuri) serta mereka semua yang tergolong
―warga d