• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 1. Tampilkan semua postingan

kerajaan di jawatimur 1









Umumnya dipahami bahwa setelah masa kekuasaan Kediri berakhir abad ke-9 
dan ke-10, maka dilanjutkan dengan kekuasaan Keajaan Majapahit terutama pada 
abad ke-14. Era emporium Jawa Timur di bawah kekuasaan Majapahit ini dikenal 
hampir di seluruh kawasan Nusantara, terutama di Bali yang pengaruhnya 
dirasakan hingga saat ini. Tidak mengherankan, jika ingin memahami bagaimana 
dinamika warga  Majapahit pada abad ke-14, tidaklah berlebihan jika 
melihat kondisi sosial budaya warga  Bali dewasa ini yang sarat dengan 
persoalan tradisi budaya yang bercirikan budaya Jawa Timur saat itu. 
Pertanyaannya adalah jika perkembangannya mengarah ke Timur atau ke Bali, 
apa yang sebenarnya yang terjadi ke arah Barat khususnya ketika Aerlangga 
menjadi Raja di Kediri yang kemudian dilanjutkan dengan penggantinya Ratu Kili 
Suci yang memiliki tinggaln sejarah di Situs Semen, kemudian dicoba 
dibandingkan dengan tinggalan-tinggalan lainnya seperti Tondowongso, dan 
candi-candi baru lainnya di wilayah Kediri di Jawa Timur. Kedua, Bentuk 
tinggalan apa yang bisa diangkat untuk memahami era ini  dan ketiga, makna 
apa yang dapat digali dari tinggalan-tinggalan situs arkeologi dan kesejarahan 
itu. Inilah beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini untuk 
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang religi, ritual dan sistem kerajaan 
di Jawa Timur terutama era Kerajaan Aerlangga di Jawa Timur yang orang 
tuanya berasal dari Udayana Bali dan Mahendradatta dari Jawa Timur.  
Raja Aerlangga dipercaya oleh warga  Jawa dan Bali sebagai keturunan Raja Udayana dari 
Bali dan Mahendradatta yang merupakan cicit Mpu Sindok di Jawa Timur. Namun kisah cerita 
kerajaan Aerlangga ini lebih tampak berperan di kawasan Jawa Timur, dibandingkan dengan di 
Bali sendiri. Akan namun , di kalangan warga  Bali sendiri sangat sadar, bahwa 
perkembangan yang terjadi di Jawa Timur pada zaman Jawa Hindu ini telah melahirkan 
peradaban besar dalam kaitannya dengan diciptakan berbagai karya sastra yang bernilai filsafat 
tentang kehidupan yang bermakna tinggi. Karya-karya sastra muncul itu, kemudian menyebar ke 
Bali yang hingga kini masih tetap hidup dalam konteks kebudayaan dan peradaban Bali modern 
dan postmodern.  
Mungkin tidak mengherankan, jika dikatakan, bahwa kalau ingin memahami 
perkembangan peradaban dan kebudayaan di Jawa Timur pada saat itu, tampaknya melihat apa 
yang berkembang di Bali saat ini dapat dijadikan sebagai sebuah referensi dalam kaitannya 
dengan bagaimana perkembangan karya-karya sastra yang masih menggunakan bahasa Jawa 
Kuna yang di Bali sendiri disebutkan dengan Bahasa Kawi. Kata Kawi berarti kuna jadi bahasa 
Kawi adalah Bahasa Jawa Kuna yang dipergunakan di dalam naskah-naskah sastra di masa lalu, 
khususnya pada masa Kerajaan Kediri atau yang dikenal dengan nama Kerajaan Panjalu, yang 
dalam proses penyebarannya, hingga saat ini masih dipergunakan di Bali dalam aktifitas religi, 
ritual, dan konsep-konsep kekuasaan di masa lalu. Sebutan Panjalu sama seperti Kediri, 
dipercaya bahwa saat terjadi peperangan antara Jenggala dan Panjalu, bahwa terjadi peperangan  
hanya perebutan tahta di Daha. Sementara ibu kota Daha telah berpindah ke daerah Kediri.   
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa, nama Kediri adalah sebuah nama yang diberikan oleh 
Dewi Kilisuci, yang merupakan puteri Erlangga yang bernama Sri Sanggramawijaya 
Dharmmaprasadottunggadewi. Ia ditahbiskan sebagai puteri mahkota yang menjabat juga 
sebagai mahamantri I hino. Persoalan muncul ketika putra Dharmawangsa, Samarawijaya, 
meminta kekuasaan untuk dapat bertahta di kerajaan. Erlangga memberikan tahta ini  dan 
Sanggramawijaya dikatakan mengundurkan diri dari pemerintahan dengan membangun 
pertapaan di Pucangan. Ada dugaan juga bahwa Kediri berasal dari kata Kedi artinya perempuan 
yang tidak menstruasi, adapun diri itu artinya congkak. Sebutan Kediri diberikan oleh dewi 
Kilisuci sesuai dengan perilaku dewi sendiri, sebab  dewi tidak bersuami dan tidak menstruasi. 
Dewi Kilisuci mendoakan negaranya, agar jangan banyak darah manusia yang tumpah. Maka 
Kediri dianggap negeri perempuan, bila menyerang perang banyak menangnya, namun  bila 
diserang akan celaka ,
Pentingnya nilai-nilai peradaban pada masa Kediri pada masa kekuasaan Raja Aerlangga, 
bahkan, salah satu universitas terbesar di Jawa Timur ini bernama Universitas Aerlangga yang 
terletak di Surabaya sebagai ibu kota propinsi Jawa Timur. Ini menandakan bagaimana peran 
Aerlangga di masa lalu masih dikenang dalam dinamika sejarah di Jawa Timur. Tentang nama 
besar Raja Airlangga di Jawa Timur (1019M-1037M) yang diabadikan sebagai nama Universitas 
di Surabaya Jawa Timur ini, lihat: Sarkawi B Husain, 2010. Mendidik Bangsa: Membangun 
Peradaban: Sejarah Universitas Airlangga. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan 
Universitas Airlangga,
Kerajaan Kediri di Jawa Timur ini memiliki dinamika sejarah yang cukup panjang. 
Berita-berita dari kitab Chi-Fan-Chi dan Ling-wai-tai-ta menjelaskan tentang kehidupan 
warga  Kediri bersumber pada pertanian, peternakan, dan perdagangan. Di sini dikenal 
sebagai penghasil beras, kapas, dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, 
kerajaan Kediri tampak sejahtera. Hal ini didasar atas kemampuan kerajaan memberikan 
penghasilan tetap kepada para pegawainya, meskipun hanya dibayar dengan hasil bumi. Panjalu 
dikenal sebagai penghasil lada utama di Jawa Timur. Para pedagang asing, khususnya pedagang 
China kerap datang ke wilayah ini untuk menyelundupkan mata uang. Mata uang ini  pada 
ditukarkan dengan lada. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang China dilarang untuk 
berdagang di daerah ini, akan namun  larangan ini  tidak dihiraukan oleh para pedagang 
China. Pedagang-pedagang asing yang datang ke daerah Panjalu membawa berbagai barang 
dagangan, seperti emas, perak, barang pecah-belah dari porselen, piring emas dan perak, barang-
barang dari tembaga, kain sutera, dan kain damas. Selain itu, ada juga komoditas lain yang 
diperdagangkan di Panjalu, yaitu gading, cula badak, mutiara, kapur barus, tulang penyu, kayu 
cendana, rempah-rempah, sulfur, safron, dan bermacam-macam burung. Penduduk Panjalu juga 
memelihara ulat sutera, menenun kain sutera beraneka warna dan kain brokat. Hasil dari 
komoditas ini  diperdagangkan ke seluruh dunia, khususnya di Su-ki-tan yang merupakan 
kota pelabuhan terpenting di muara Sungai Brantas   Hal ini menunjukkan bahwa daerah Su-ki-tan merupakan daerah 
pertama di Jawa Timur yang dikenal oleh para pedagang asing. Kerajaan ini muncul setelah 
Erlangga membelah kerajaannya menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri itu. Salah 
satu sumber arkeologi yang berjudul, Prasasti Mahaksobya mengisahkan bagaimana terjadinya 
pemisahan kedua kerajaan itu. Selain itu, karya Nagarakertagama  menjelaskan tentang 
terjadinya pemisahan kerajaannya disebabkan rasa sayangnya kepada kedua putranya itu. Selain 
itu, Aerlangga memisahkan kerajaannya menjadi dua untuk kedua anakanya yang sedang 
bermusuhan. Akan namun , jika dibandingkan dengan Serat Calon Arang dijelaskan, bahwa 
Erlangga memecah kerajaannya, sebab  ia ingin menobatkan salah satu anaknya menjadi raja di 
Bali, namun gagal. Ini disebabkan, sebab  ada beberapa pihak yang menurut kisah tradisi lisan 
setempat di Kediri, sebab  Senapati Kuturan yang tidak menginginkannya.  
Di Bali, kisah tentang Kuturan ini tampaknya menimbulkan berbagai interpretasi. Ada 
yang mengatakan, bahwa Senapati Kuturan ini, adalah orang yang berbeda dengan nama Mpu 
Kuturan yang datang dari Jawa Timur menuju ke Bali. Seberapa jauh kebenaran tentang masalah 
ini masih perlu dielaborasi lebih jauh. Sementara adanya sebutan Senapati Kuturan dalam masa 
raja Aerlangga ini dapat dipahami. sebab  Senapati Kuturan yang berasal dari Kediri ini diusir 
oleh raja Aerlangga pada masa kekuasaannya, yang  dianggap tidak dapat mematuhi apa yang 
dikatakan oleh raja. Ini berarti, bahwa antara raja Aerlangga yang memiliki penasehat Senapati 
Kuturan itu terjadi kesalahanpahaman, sehingga nasehat Senapati Kuturan tidak diikuti oleh raja 
Aerlangga. Tidak diketahui secara pasti, seberapa jauh kebenaran tradisi lisan yang ada di Kediri 
ini (wawancara dengan Juru Kunci di Gunung Kili Suci Situs Semen di Kediri).  
 Slamet Muljana, dalam bukunya Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (2006, 28-33). 
Menguraikan tentang bagaimana terjadinya pemisahan kedua kerajaan Erlangga yang 
diperkirakan berlangsung pada tahun 1042 Masehi. Disebutkan bahwa dua kerajaan yang 
dipisahkan itu menjadi Kerajaan Jenggala dengan pusatnya di Kahuripan lokaisnya diperkirakan   
di lembah Gunung Penanggungan. Sementara Kerajaan Panjalu pusatnya di Daha (yaitu di Kota 
Kediri sekarang ini). Adapun yang menjadi batas pemisah antara kedua kerajaan itu adalah 
sungai. Akan namun , dalam menentukan batasan sungai tampaknya masih dalam perdebatan. 
Meskipun demikian adapun sungai-sungai yang dianggap sebagai batas pemisah kedua kerajaan 
itu adalah sungai Brantas, Lamong, Porong, dan Widas.  
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tampaknya perseteruan antara Raja Aerlangga 
yang tidak mengikuti nasehat Senapati Kuturan tampaknya berkelanjutan di kalangan istana 
kerajaan. Ini dibuktikan dengan tetap terjadinya perselisihan yang mengakibatkan kehidupan 
yang harmonis di antara kedua kerajaan yang dipisahkan itu. Ini terlihat dari persaingan dan 
upaya perebutan kekuasaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lainnya yaitu antara 
Jenggala dan Panjalu. Perseteruan itu dapat diatasi ketika Raja Panjalu Sri Maharaja Mapanji 
Jayabhaya melakukan penyerangan terhadap kerajaan Jenggala. Yuka, Tanaya, et al., 2007) 
menyebutkan, bahwa dengan melihat isi dari uraian yang ada  pada Prasati Ngantang, 
bertahun 1135 menunjukkan bagaimana sebuah era kemenangan Panjalu atas Jenggala dengan 
dibuatnya stempel Prasati Ngantang. Prasasti ini berisi ucapan panjalu jayati, yang berarti 
Panjalu menang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tahun 1135 diperkirakan 
terjadinya peristiwa kekalahan Jenggala atas Panjalu (Lihat: Yuka, Tanaya, P., Ravando, Dieta 
Lebe S., dan Iqra R., 2007) 
Ini membuktikan, bahwa meskipun Aerlangga merupakan keturunan Raja Bali saat itu, 
namun kekuasaan putranya ini juga diakui sah sebagai raja di Jawa Timur. Ini menandakan 
bahwa kedua warga  yang memiliki hubungan sejarah budaya yang sangat kuat itu memiliki 
kesetaraan, sehingga berbagai pengaruh budaya yang berkembang saat itu diakui pula 
keberadaannya. Dua saudara Aerlangga yaitu Marakata dan Anak Wungsu juga menjadi raja di 
Bali yang dipercaya mengeluarkan beberapa prasasti yang berisi uraian-uraian yang merupakan 
bagian pusaka saujana warga  Bali. Ini dapat dimengerti sebab , dari prasasti yang 
dikeluarkannya itu memuat berbagai masalah penting tentang keagaamaan masalah ekonomi 
yang dapat dianggap mengangkat kesejahteraan warga  Bali pada saat itu. Demikianlah 
peran dan status yang dimainkan oleh putra-putra Raja Udayana yang juga menjadi raja di Bali.  
Namun demikian pula halnya dengan kedua putra raja Udayana itu, yaitu Marakata dan 
Anak Wungsu, maka Aerlangga yang merupakan saudara tertua itu memiliki berbagai kelebihan 
di samping yang dianggap kelemahannya itu. Kelemahannya mungkin dapat dianggap 
bagaimana kemudian di akhir masa jabatannya itu terjadi perpecahan yang mengakibatkan 
dibaginya kedua kerajaannya itu yang dibantu oleh Mpu Bharadah menjadi Janggala dan 
Kahuripan (Kediri sekarang). Namun di pihak yang lainnya adalah, adanya kelebihan-kelebihan 
yang ditinggalkannya pada masa Aerlangga itu, dimana pada zaman Kediri inilah terjadi 
perkembangan puncak tradisi sastra, budaya warga  Jawa Hindu di Jawa Timur. Ini patut 
diapresiasi sebab  pada masa itulah berkembang berbagai kesusastraan yang berkarakter yang 
melahirkan beberapa pujangga besar seperti Jayabaya yang pengaruhnya tidak hanya di Jawa 
Timur namun  juga di Bali. Inilah beberapa catatan penting yang patut diangkat ke permukaan 
dalam konteks pemahaman perkembangan sastra atau kesusastraan dan kebudayaan yang 
memiliki puncaknya pada masa itu.  
Menurut catatan sejarah, pada masa Kerajaan Kediri telah dikenal sistem  kerajaan atau 
sejenis pemerintahan desa. Adapun desa pada pada zaman Kediri dikenal dengan sebutan wanua. 
Setiap wanua dipimpin oleh seorang kabayan (kepala desa). Menurut etimologi katanya kata 
kabayan bersal dari kata bhaya yang berarti orang yang menjaga bahaya. Sementara untuk setiap 
wanua di zaman Kediri, ada keinginan untuk tetap dapat diakui sebagai sebuah sima. 
Keberadaan Sima merupakan sebidang tanah yang pajaknya lebih rendah dikenai oleh kerajaan 
kepada suatu desa. Tambahan pula, Sima merupakan daerah tempat peribadatan agama Hindu.  
Keberadaan Sima ini ditandai pula dengan didirikannya bangunan Candi sebagai tempat untuk 
pelaksanaan ritual dalam religi tertentu. Bagi seorang kabayan yang Wanua-nya diharapkan akan 
menjadi sima harus mempunyai beberapa persyaratan. Di antaranya adalah, bahwa ia harus 
menghadap kepada watak dari watak yang kemudian watak inilah akan menghadap kepada raja. 
Raja selanjutnya akan menentukan daerah itu cocok atau tidaknya untuk dijadikan sima. Dapat 
dikatakan, bahwa keberhasilan menjadi sima itu tergantung dari pertimbangan pendeta kerajaan 
yang disebut rajapurohitta (Lihat: Yuka, Tanaya, P., Ravando, Dieta Lebe S., dan Iqra R., 2007).  
Selain itu dikatakan, oleh Yuka (et al., 2007), bahwa ada  istilah Parasamya atau 
Kalpataru. Bagi warga  yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara diberikan 
penghargaan seperti yang diterima oleh pendeta atau Bagawanta Bhari. Ia dikatakan memperoleh 
gelar kehormatan Wanuta Rama yang berarti ayah yang terhormat atau Kepala Desa, dimana 
tidak dikenakan berbagai macam pajak atau Mangilaladrbyahaji di daerah yang dikuasai 
Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan kawasan kependetaannya. Bagi daerah lainnya seperti 
daerah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan I mas Suwarna kepada Sri Maharaja 
setiap bulan Kesanga atau bulan kesembilan atau Centra. Tentang adanya pembebasan atas pajak 
itu antara lain berupa Kring Padammaduy yang artinya iuran pemadam kebakaran, Tapahaji 
erhaji yang artinya iuran yang berkaitan dengan air, Tuhan Tuha dagang yang artinya Kepala 
perdagangan, Tuha hujamman yang maknanya ketua kelompok warga , Manghuri 
mengandung arti Pujangga Kraton, Pakayungan Pakalangkang mengandung makna iuran 
lumbung padi, dan Pamanikan yang berarti Iuran manik-manik, dan permata (Lihat: Yuka, 
Tanaya, P., Ravando, Dieta Lebe S., dan Iqra R., 2007). 
Akan namun , yang perlu dicatat, bahwa berbagai dinamika yang berkembang itu 
tampaknya perlu dielaborasi dalam kaitannya dengan bagaimana interpretasi arkeologi dan 
kesejarahan dapat diangkat ke permukaan berkaitan dengan bentuk-bentuk tinggalan situs 
arkeologi dan kesejarahan yang ditinggalkan pada masa itu seperti di situs Semen, situs 
Tegowangi, situs Tondowongso, Candi Surowono, Situs Toto Kerok, situs Kamandanu, situs 
Tunglur dan sisanya seperti Taman Sekartaji yang masih dapat disaksikan hingga sekarang ini. 
Apa makna yang dikandung dari tinggalan-tinggalan arkeologi dan kesejarahan itu dan 
bagaimana dapat diapresiasi dan dimaknai sebagai potensi budaya yang mengandung kearifan 
lokal tidak hanya bagi warga  pendukungnya namun  juga bagi kehidupan berbangsa dan 
bernegara dewasa ini.  
 
2. Rumusan Masalah  
Pertanyaannya adalah jika perkembangannya mengarah ke Timur atau ke Bali, apa yang 
sebenarnya yang terjadi ke arah Barat khususnya ketika Aerlangga menjadi Raja di Kediri yang 
kemudian dilanjutkan dengan penggantinya Ratu Kili Suci yang memiliki tinggaln sejarah di 
Situs Semen, kemudian dicoba dibandingkan dengan tinggalan-tinggalan lainnya seperti 
Tondowongso, dan candi-candi baru lainnya di wilayah Kediri di Jawa Timur. Kedua, Bentuk 
tinggalan apa yang bisa diangkat untuk memahami era ini  dan ketiga, makna apa yang 
dapat digali dari tinggalan-tinggalan situs arkeologi dan kesejarahan itu. Inilah beberapa 
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih 
baik tentang religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur terutama era Kerajaan Aerlangga di 
Jawa Timur yang orang tuanya berasal dari Udayana Bali dan Mahendradatta dari Jawa Timur. 
 
 

Penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin antara arkeologi dan sejarah, khususnya dalam 
membahas dinamika warga  Jawa Hindu di Kediri Jawa Timur. Penelitian ini mencakup 
pembahasan tentang Situs Semen, Candi Tigowangi dan Tondowongso. Tidak terlepas 
kemungkinan untuk mengadakan penelitian lapangan di sekitar kawasan candi-candi ini  
terutama dalam kaitannya dengan dinamika peradaban dan kebudayaan pada masa Raja 
Aerlangga di Kediri Jawa Timur. Hubungan atau latar belakang arkeologi dan kesejarahan yang 
melatarbelakanginya terutama dengan dinamika sosial budaya di Bali juga akan dikomparasikan 
dalam upaya memahami makna religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur.  
 

 Kondisi Geografis Kediri di Jawa Timur  
Kediri merupakan salah satu Kabupaten yaitu Kabupaten Kediri di Propinsi Jawa Timur. 
Daerahnya merupakan dataran rendah dengan dikitari oleh dua gunung yaitu Gunung Kelud, 
Gunung Wilis dan Gunung Arjuna. Adanya permukaan tanah yang datar di Kediri tampak tidak 
menunjukkan adanya relief yang tajam. Sungai besar Brantas yang memisahkan wilayah ini 
membuat akses jalan bagi penduduk yang ingin melintasi kawasan ini. Demikian juga dengan 
keberadaan gunung ini memberikan karakteristik tersendiri bagi Kediri, terutama Gunung Kelud 
yang meletus dalam jangka waktu tertentu dan mengeluarkan abu vulkanis, sehingga 
memberikan kesuburan tersendiri bagi wilayah ini.  
Dalam catatan sejarah geografi negara kita , sungai memiliki peranan penting. Keberadaan 
sungai seringkali menjadi alasan mengapa di suatu tempat didirikan sebuah kerajaan. Sungai 
menjadi sumber untuk melanjutkan kehidupan dan penghidupan manusia di masa lalu. Bahkan 
dalam konteks sejarah tradisional negara kita , gerak penduduk di suatu tempat pada umumnya 
ditentukan oleh keberadaan sungai. Di  Kediri di Jawa Timur ada  juga sungai Bengawan 
Solo. Sungai ini mempunyai arti signifikan bagi sejarah ekonomi maupun sosial kerajaan Kediri. 
Sumber sungai ini berasal dari Gunung Arjuna, dan sungai ini membawa unsure-unsur dataran 
tinggi aluvial Malang yang bersifat masam hingga larutan basa-asam menimbulkan unsur garam 
yang tidak dapat dilepaskan dari kesuburan tanah. Ini disebabkan, sebab  garam merupakan 
bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti padi, palawija, dan sebagainya. Demikianlah Sungai 
Brantas memiliki fungsi-fungsi penyubur ini  yang mengalir dan kemudian melewati daerah 
Blitar. Melalui daerah-daerah yang dilewati oleh Sungai Brantas selanjutnya dapat menerima air 
yang kemudian sampai di dataran rendah aluvial Tulungangung (Ngrawa) dan Kediri yang 
bersifat masam, sehingga daerah itu menjadi subur. Sungai Berantas melewati pegunungan kapur 
Kendeng Tengah di sekitar Kabupaten Jombang dan memuntahkan unsur basisnya di rawa-rawa 
yang masam di daerah muara dan deretannya sekitar Kabupaten Mojokerto  
Di wilayah ini pada masa lalu, terutama pada masa kolonial Belanda merupakan basis 
pengembangan perkebunan terutama perkebunan tebu. Hingga saat ini, wilayah ini masih banyak 
ditanami pohon tebu yang memberikan manfaat bagi kehidupan warga nya. Selain itu, 
kawasan ini juga ditanami tanaman padi, yang memberikan kemakmuran bagi warga nya. 
Dalam bidang peternakan, kawasan ini juga memainkan peranan penting, terutama pada 
pengembangan peternakan sapi, kambing, ayam dan sebagainya. 
 
 Kekhususan Kediri di Jawa Timur  
Catatan sejarah menunjukkan, bahwa jauh sebelum kedatangan pengaruh Indianisasi atau 
Hinduisasi di Jawa itu, memang banyak terjadi dinamika warga  dan budaya  Jawa, 
demikian juga dengan daerah sekitarnya seperti di Bali (lihat: Ardhana, 2014). Hal ini terlihat 
dari proses sebelum hadirnya kelompok menang yang mampu menciptakan otoritas mereka dan 
dikenal sebagai orang berani ―man of prowess‖. Kemudian berkembang menuju ke arah 
munculnya sistem kerajaan dan sistem kepercayaan animisme. Dalam kondisi warga  seperti 
itu, mereka percaya, bahwa para dewa tinggal di pohon besar, di gunung, hutan, laut dan 
sebagainya yang mengarah pada terciptanya konsep keseimbangan yaitu antara Tuhan, manusia, 
dan lingkungannya (Cf. Dahm, 3). Fase setelah berkembangnya Hinduisasi atau Indianisasi, 
yaitu terutama bagaimana warga  lokal menyerap istilah politik India dapat dilihat pada 
istilah Orang Berani yang banyak dikenal di dunia Melayu itu. Hal ini kemudian berubah 
menjadi istilah Raja. Sebelum diperkenalkannya istilah raja itu, kekuasaan para tokoh politik 
memang berada di tangan Orang Berani itu.  
warga  Jawa pada umumnya saat itu membutuhkan adanya stabilitas dalam 
kehidupan mereka dari ancaman gangguan keamanan. Kehadiran raja pun diterima yang 
memegang kekuasaan sebagai simbol dari penyatuan kerajaan dimana ia dianggap mampu 
memelihara stabilitas itu. Selanjutnya agar dapat melegitimasikan kekuasaan yang dimiliki, 
kemudian konsep India atau Hindu seperti ide kosmologi dan astrologi yang berasal dari India 
bagian Barat Laut sejak abad ke-3 Masehi, mulai diperkenalkannya di Jawa sebagaimana dengan 
wilayah-wilayah lainnya di negara kita . Dapat digambarkan bahwa ide ini dapat berkerja sama 
dalam konteks paralelisme antara makrokomos dan mikrokosmos. Sebagai dasar-dasar 
kepercayaan itu menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia di Jawa dan daerah-daerah 
sekitarnya. Satu dasar dari prinsip astrologi adalah bahwa manusia secara tetap berada di bawah 
kekuatan-kekuatan yang sangat beragam, yang dilihat dari arah mata angin, posisi planet, 
bintang, dan sebagainya. Mereka percaya, bahwa kekuatan ini dapat mempengaruhi keadaan 
kesehatan, sepanjang seseorang memahami untuk menjaga keseimbangan antara diri manusia 
sendiri dan alam. Mereka berangkat dari pengertian suatu harmoni dalam prinsip yang lainnya 
sebagai mana halnya dalam astrologi. Pengertian harmoni ini tampaknya terus dikembangkan di 
masa-masa selanjutnya. Makrokosmos dan mikrokosmos memperlihatkan paralelitas, oleh 
sebab  itu, berada dalam hubungan yang harmonis. Heine-Geldern (1956: 1) mencatat, bahwa 
pemahaman filsafat ini menyebar ke Asia Tenggara, misalnya ke Jawa pada abad-abad pertama 
masehi. Perkembangan peradaban India di Asia Tenggara, bukanlah sebuah produk paksaan 
ekspansi di wilayah ini. Ini dapat dilihat bagaimana penduduk lokal yang masih bertahan hingga 
sekarang dari pengaruh-pengaruh luar itu. Oleh sebab  itu, ide ini menyebar dan menyatu dengan 
berbagai mitos yang ada di warga  lokal dengan cara yang damai (Ardhana, 2014).  
Penyebaran konsep-konsep kekuasaan Hindu yang berasal dari India ini berlangsung 
cukup lama di kawasan itu dalam periode sejarahnya. Mengutip pada Heine-Geldern (1956: 1) 
mencatat, bahwa penyebaran ide ini ke Asia Tenggara, terutama ke Jawa pada awal abad Masehi. 
Ide ini tampak sangat penting, bila dikaitkan pengaruhnya pada bagaimana pola 
penyebarannya sebagaimana sampai pula ke Bali yang pada masa sekarang, tampak ikut 
membentuk formasi identitas warga  Bali ,Ini tentu sangat penting melihat 
proses sejarah dan migrasi yang terjadi di awal-awal perkembangan sejarah kebudayaan.  
Pada abad ke-5, telah muncul di Jawa Barat dengan kerajaan Tarumanegara. Bukti-bukti 
arkeologi juga tampaknya masih ada berkaitan dengan kerajaan ini, namun perlu penggalian-
penggalian yang lebih mendalam, sehingga dapat dipahami seberapa jauh keluasan kerajaan 
Tarumanegara ini. Kemudian pada abad ke-8 telah muncul kerajaan Mataram Hindu di Jawa 
Tengah. Dari tinggalan-tinggalan arkeologi dan kesejarahan yang ada  di kawasan ini juga 
dapat dilihat pada keberadaan Candi Gedong Songo. Candi ini merupakan candi Hindu terbukti 
masih adanya tinggalan-tinggalan yoni, meskipun beberapa lingga yang biasanya ada  pada 
candi itu sudah tidak tampak lagi. Tidak diketahui dengan pasti, mengapa lingga-lingga itu 
lenyap, apakah diambil orang dengan maksud bagaimana yang alasannya masih tidak diketahui 
secara pasti. Ini tentu merupakan upaya-upaya yang perlu disadarkan kepada warga  yang 
ada di sekitarnya agar tinggalan-tinggalan itu dapat dipertahankan dan dipelihara 
keberlanjutannya sebagai modal sosial dan budaya yang amat penting pada masa kini dan juga 
bagi generasi yang akan datang.  Demikian juga nantinya dengan beberapa candi di Jawa Timur 
dapat dilihat bagaimana lingga-lingga itu juga tidak tampak lagi, sebagaimana dapat dilihat pada 
situs Petilasan Calonarang yang berkaitan dengan kekuasaan kerajaan Kediri. Selain pengaruh 
Hindu ada  juga pengaruh kepercayaan agama Budha. Dalam kaitannya dengan kepercayaan 
Hindu dan Buddha ini, bahwa dua atau tiga abad sebelumnya yaitu pada abad ke-8 penduduk 
Jawa dan Bali telah dipercaya menganut agama Hindu dan Buddha. Hal ini terjadi terutama pada 
zaman kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah pada masa yang sama menganut agama Buddha 
sebagaimana tampak pada masa Cailendra 
Menarik untuk melihat bagaimana dinamika kebudayaan dan peradaban yang ada  di 
Jawa Timur ini, ketika wilayah ini berada di bawah kekuasaan Raja Aerlangga. Raja Aerlangga 
adalah putra ketiga dari perkawinan Raja Udayana dari Bali dan putrid Mahendradatta dari Jawa 
Timur yang juga merupakan cicit dari Mpu Sindok. Kisah keberadaan Raja Udayana di Bali ini 
berawal dari ketika memasuki abad ke-10 Masehi (835 Caka/ 913 Masehi) muncul nama seorang 
raja Sri Kesari Warmadewa seorang raja yang pertama kali menggunakan gelar Warmadewa di 
belakang namanya. Ia kemudian menjadi pendiri Dinasti Warmadewa. Relasi antara India dan 
Bali sebagaimana pula dengan Jawa tampak diperkuat. Presentasi raja Udayana di Bali 
merupakan bagian dari proses Indianisasi dimana Raja Udayana sebagai Raja Bali tampak 
memperkuat hubungan yang terjadi sebelumnya dan proses Hinduisasi yang berlangsung ini 
disampaikan secara damai,
Kebudayaan Bali sebelum datangnya pengaruh Indianisasi atau Hinduisasi itu, telah 
mengenal sistem hukum adat tentang perkawinan dan pemilikan tanah z. Sistem ini telah mengatur kerja sosial, hukum dalam kehidupan 
warga  yang demokratis. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi dasar toleransi dan 
pengedepanan sikap harmoni terhadap paham-paham keagamaan dan kedatangan aneka ragam 
etnis di Bali di masa-masa selanjutnya Udayana yang hadir dalam dinamika sejarah Bali Kuna 
pada masa itu mempresentasikan dirinya sebagai kelompok keluarga yang menang  (man of 
prowess), mencoba membentuk secara perlahan-lahan suatu kelompok penguasa yang penuh 
dengan rasa atau sikap atau prilaku toleransi terhadap kelompok penduduk yang berasal dari 
kawasan lainnya, akhirnya menjadi sikap toleransi. Inilah yang terjadi pada masa Raja Udayana 
yang memerintah Bali dari abad ke-9 hingga ke-11. Pada tinjauan data arkeologi dan sejarah Bali 
klasik menunjukkan, bahwa terjadi semakin kuatnya kebudayaan Bali, meskipun unsur-unsur 
kebudayaan Hindu Jawa, khususnya peradaban Hindu Jawa Timur yang tampak berpengaruh 
secara kuat pada kebudayaan Bali pada masa itu. Sejak masa sejarah Bali Kuna, tampak 
pengaruh Indianisasi atau Hinduisasi semakin intens masuk ke Bali. Peranan raja sebagai 
penguasa tertinggi menerapkan sistem pemerintahan dengan pusat dan wilayah kekuasaannya 
yang berada di Bali dengan nilai-nilai Hindu (India) seperti sistem mandala, sistem warna, sistem 
kepercayaan Hindu Buddha. Sistem kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha memang telah 
muncul di Bali, sebagaimana terjadi di wilayah lainnya seperti Jawa dan Sumatra.  
Sistem kepercayaan yang ada adalah adanya penghormatan kepada nenek moyang atau 
roh leluhur yang dipadu dengan nilai-nilai agama Hindu dan Buddha. Selain itu, di Bali 
misalnya, peranan tokoh agama yang berpengaruh pada waktu itu yang membawa pengaruh pada 
sistem kepercayaan dan kewarga an sebagaimana dilakukan oleh Mpu Kuturan dan Mpu 
Bharadah. Mpu Kuturan misalnya membangun desa pakraman di zaman Udayana yang memiliki 
fungsi menata dan memelihara kerukunan warga  (Geriya, 2013: 43). Schrieke mencatat 
bahwa Raja Hindu memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan yang disebut dharma sima 
swatantra dan ia melihat keistimewaan antara Mpu Sindok dan Raja Airlangga yang ketika 
mereka berkuasa di Jawa tampak memberikan pembebasan pada pajak pada rakyatnya. 
Disebutkan bahwa akte-akte pemberian hadiah pembebasan pajak itu mengandung makna bahwa 
daerah bebas yang baru dibentuk tidak menjadi bagian dari wilayah hukum. 
Di Jawa dan Bali, kedua agama Hindu dan Buddha ini dapat berkembang secara 
berdampingan, yang tidak bisa terjadi di India misalnya, sebab  seringnya terjadi konflik di 
antara kedua penganut agama itu (cf. Goris, 1974: 10). Pola hidup berdampingan secara damai 
ini terjadi pula pada masa Raja Udayana di Bali, ketika ia memerintah bersama permaisurinya 
Mahendradatta. Akan namun , ini tidak berarti bahwa tidak ada dinamika politik pada periode itu. 
Edi Sedyawati et al., (2012: 205) misalnya berpendapat, bahwa di Jawa, terutama pada pusat-
pusat kekuasaan kerajaan di masa Hindu-Buddha menunjukkan adanya kontestasi politik yang 
berupa adanya konkurensi-konkurensi politik di antara mereka. Ia menambahkan, bahwa ada dua 
alasan kuat tentang adanya persaingan politik ini, yaitu adanya dorongan ilmiah manusia yang 
ingin mencapai keadaan yang lebih baik, lebih besar, dan adanya perwujudan aliansi kekuasaan 
sebagai akibat persaingan-persaingan yang ditimbulkannya. Namun demikian, tidak diketahui 
secara pasti, apakah aspek-aspek ini juga menjadi latar belakang hubungan antara Raja Udayana 
yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Jawa ini yang kemudian melahirkan 
Aerlangga yang kemudian menjadi raja di Kediri Jawa Timur ini. Daerah yang disebut Kediri 
sudah ada pada saat zaman Mataram Hindu Kuna. Ini dikisahkan dari peran seorang Bagawanta 
Bhari, yaitu seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi. Ia dikatakan dapat 
menyelamatkan lingkungan alam sekitarnya dari ancaman banjir yang terjadi secara tahunan. 
Ketekunannya sebagai seorang spiritual yang tanpa pamprih menyebabkan ia akhirnya dapat 
menghantarkan dirinya sebagai panutan bagi warga  pada saat itu. Besar dugaan, bahwa 
Aerlangga diterima menjadi raja di tanah Jawa ini, sebab  adanya hubungan darah dari Ibunya 
yaitu Mahendradatta, sebagai seorang Jawa. Identitas yang melekat ini tampaknya 
mempermudah bagi Aerlangga untuk mendapat pengakuan menjadi raja di Jawa Timur ini.   
 
Membahas masalah religi, ritual dan sistem kerajaan di Jawa Timur pada masa kerajaan 
Aerlangga, dianggap penting melihat relasi yang terjadi antara perkembangan peradaban dan 
kebudayaan di Jawa Tengah dengan apa yang berkembang kemudian di Bali. Dalam kaitan ini 
sangat penting membahas kehidupan ayahnya Aerlangga yang bernama Udayana dan ibunya 
Mahendradatta yang berasal dari Jawa Timur.  
Tentang kehidupan ayah Aerlangga yaitu Raja Udayana dikenal pada abad ke-11. Ia 
adalah salah seorang raja di Bali disebut sebagai salah seorang peletak dasar atau fondasi 
kebudayaan Bali, terutama dalam kaitannya dengan sistem politik, hukum dan pemerintahan. 
Kekuasaannya, memiliki relasi sejarah yang kuat pada perkembangan sejarah di Jawa Timur, 
terutama setelah perkawinannya dengan seorang Putri Jawa dari Jawa Timur yang bernama 
Mahendradatta. Ibu Aerlangga yang bernama, Mahendradatta adalah putri 
Makutawangsawardhana, cucu Sri Lokapala, atau cicit Mpu Sindok di Jawa Tengah pada tahun 
930 Masehi,
Pada sistem kerajaan di Kediri ini, telah dikenal pembagian wilayah dan kekuasaan 
secara otonom. Wilayah yang memiliki status otonom itu disebut daerah watak. Wilayah watak 
ini memiliki sistem kerajaan tradisional yang sama dengan sistem di kerajaan-kerajaan di Jawa 
pada umumnya. Pemimpin wilayah ini, beberapa waktu dipanggil untuk mengunjungi raja di 
ibukota kerajaan. Selain itu, pemerintahan kerajaan juga membentuk suatu badan peradilan, 
dimana pegawai-pegawainya yang duduk di badan peradilan itu bergelar sang pamgat. 
Seandainya wanua itu disetujui, maka wanua itu akan melaksanakan ritual  penetapan sima. 
Dalam sistem kerajaan di Kediri Jawa Timur ini, tampak ada hubungan relasi kuasa yang kuat 
antara penguasa dan abdinya. Relasi kuasa yang terbentuk itu sebenarnya merupakan pertautan 
tuan-hamba, dimana dalam hubungannya itu tidak dirasakan sebagai adanya pemaksaan yang 
berarti. 
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja kerajaan Kediri, telah memberikan petunjuk, 
bahwa raja dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu. Di sini terjadi pula hubungan dimana seorang 
raja dianggap merupakan titisan dewa (devaraja concept). Dari prasasti itu dapat dikatakan, 
bahwa warga  Kediri menganut agama Hindu yang beraliran Wisnu. Ini terlihat dari konsep 
kekuasaan kerajaan yang dipegang oleh seorang raja, dimana dalam sistem sosial kerajaan itu, 
seorang raja memiliki kedudukan istimewa (priviledge). Dalam hal ini, raja dianggap sebagai 
pusat daya magis, yang merefleksikan daya magisnya di alam sekitarnya sesuai dengan 
pandangan kosmologis warga  Jawa pada saat itu. Oleh sebab  itu, raja dianggap 
mempunyai pengaruh  untuk memproteksi warganya agar tercapai kesejahteraan. Dalam 
kepercayaan Wisnu ini raja dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi. Namun demikian, 
ketika Aerlangga untuk memutuskan membagi kedua kerajaannya menjadi Jenggala dan Penjalu 
maka perubahan-perubahan pun terjadi di Kerajaaan Kediri dalam arti suasana ketidakstabilan 
politik yang semakin berlangsung. Adapun relasi kuasa yang terjadi pada masa Kediri dapat dilihat sebagai berikut: 
Hubungan keduanya itu bersifat saling membutuhkan, sehingga sistem kerajaan itu 
diharapkan akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan yang penguasa. Sementara para abdi 
yang dikuasainya akan merasa memperoleh perlindungan dari tuannya. Schrieke misalnya 
mencatat, bahwa Raja Hindu memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan yang disebut 
dharma sima swatantra kepada para abdinya. Ini secara jelas terlihat, ketika ia melihat 
keistimewaan hubungan antara Mpu Sindok dan Raja Airlangga yang ketika mereka berkuasa di 
Jawa tampak memberikan pembebasan pada pajak pada abdinya. Akte-akte pemberian hadiah 
pembebasan pajak itu mengandung makna, bahwa daerah bebas yang baru dibentuk tidak 
menjadi bagian dari wilayah hukum (Schrieke, 1975: 12).  
bila dilihat dari latar belakang kelahiran Aerlangga, sebenarnya tidak terlepas dari 
pembahasan tentang ayahnya yang bernama Udayana yang berasal dari Bali dan ibunya yang 
bernama Mahendradatta yang berasal dari Jawa Timur. Penting untuk mengetahui bahwa riwayat 
hidup dan silsilah yang jelas tentang Aerlangga atau Airlangga yang merupakan putra dari 
Udayana dan Mahendradatta ini. Prasasti Pucangan 959 Caka (1037M) menyebutkan tentang 
Aerlangga ini yang merupakan keturunan tidak langsung dari Raja Empu Sindok yang dikenal 
sebagai pendiri Wangsa Isana yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuna di Jawa tahun 919—
929 M. Putri Empu Sindok Sri Isanatunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala dan anaknya 
bernama Makutawangsawarddhana. Sri Makutawangsawarddhana inilah yang mempunyai putri 
yang bernama Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatta yang kemudian menikah dengan 
Dhammodayana yang dikenal sebagai putra Wangsa Warmmadewa dari Bali.  
Hubungan antara Kediri Jawa Timur dan Bali tampaknya sudah berlangsung pada masa 
keemasaan kekuasaan ayahnya menjadi raja di Bali. Arti kata Udayana ini, menurut Semadi 
Astra yang merujuk pada pendapat Monier-Williams, (1986: 510) dan MacDonell, (1974: 50), 
yang sering disebut juuga dharmodayana, terdiri dari kata dharma yang berarti hukum, ajaran 
agama, kebenaran, dan kwajiban. Makna kata Udayana berarti terbit, naik, muncul. Sementara 
kata Warmadewa terdiri dari kata warma (warman) yang memiliki makna baju zirah, pelindung 
dan dewa yang berarti raja, dewa (Monier-Williams, 1986: 510). Dari uraian itu, Semadi Astra 
menyimpulkan, bahwa gelar Dharmodayana Warmadewa mempunyai arti ―raja teguh‖ (yang 
memakai baju zirah) yang dapat menegakkan hukum atau mengembangkan ajaran religi atau 
agama. Ditambahkan, bahwa kata warmadewa mengandung makna keluarga raja-raja (rajakula) 
atau dinasti (wamsa) dimana Raja Udayana merupakan salah seorang anggota keluarganya 
(Semadi Astra, 2013: 8). Untuk kata Mahendradatta dapat dirujuk pendapat Mardiwarsito dalam 
bukunya yang berjudul, Kamus Jawa Kuna (Kawi) –negara kita  (1985: 273). Ia mengartikan kata 
Mahendradatta ini sebagai maha-indra-datta yaitu maha berarti besar, indra berarti raja, dewa 
dan datta berarti pemberian. Makna Mahendradatta yaitu adanya pemberian Dewa Indra. Jadi, 
Gunapriyadharmapatni berasal dari beberapa kata yaitu guna berarti sifat baik, priya berarti 
suami istri, kekasih, sahabat, dharma berarti hukum, kebajikan, agama, biara, candi dan patni 
berarti permaisuri, istri. Jadi, kata Gunapriyadharmapatni berarti permaisuri yang bijaksana, yang 
tiada lain adalah Mahendradatta sendiri (Mardiwarsito, 1985: 198). Dalam kaitan ini, Semadi 
Astra (2013: 7) mencatat, bahwa ada tiga bagian gelar pasangan ―suami-istri‖ yang perlu dilihat 
dari hubungan antara Udayana dan istrinya yaitu, Dharmmodayana, Warmmadewa, dan 
Gunapriyadharmmapatni.   
Setelah perkawinan Udayana dan Mahendradatta tampak terjadi perkawinan peradaban 
juga antara kebudayaan Jawa Timur dan Bali. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan 
sehingga Raja Udayana bersama istrinya yang memimpin Bali terjadi penguatan-penguatan 
peradaban sebagaimana dapat dilihat dari aspek sosial budaya, hukum, pertahanan, ekonomi dan 
politik. Perkembangan peradaban semakin meningkat terutama setelah terjadinya pernikahan 
antara Sri Gunapriyadharmapatni (sering disebut sebagai Mahendradatta) dan Udayana yang 
menganut agama yang sama yaitu agama Hindu. Adanya perkawinan antara putri dari Jawa, 
Gunapriyadharmapatni dan suaminya orang Bali Udayana yang lebih lengkap dikenal sebagai 
Dharmodayana Warmadewa ini menghasilkan beberapa perubahan yang mengarah terjadinya 
integrasi budaya Hindu Jawa di Bali.  
Sumber-sumber kesejarahan menyebutkan bahwa, Udayana hanya diperbolehkan 
menikah dengan Mahendradatta ini, jika ia menolak setiap pernikahan lainnya. Hal ini 
menyebabkan Mahendradatta yang sering dikenal sebagai Gunapriya tersinggung dan marah. 
Kemudian, ia melaksanakan ilmu guna-guna yang berdampak pada keadaan di Bali sebagaimana 
berkembangnya cerita Calon Arang yang menurut cerita, Gunapriya dikatakan menjadi ahli sihir 
wanita yang dikenal sebagai Rangda dari Girah atau Jirah. Hal ini dikaitkan oleh Goris berkaitan 
dengan dicandikannya Gunapriyadharmapatni sebagai seorang dewi berlengan delapan serta 
dalam keadaan marah. Patung Gunapriya ini ditemukan di sebuah bukit di Burwan. Goris tidak 
memberikan argumen yang jelas tentang kebenaran tradisi ini, lihat Goris (1974: 11). Tambahan 
pula, Goris (1974: 12) mencatat, bahwa nama Gunapriya selalu disebut lebih dahulu daripada 
nama Udayana dalam prasasti-prasastinya. Dengan demikian, Raja Udayana dianggap lebih 
banyak berperan sebagai pangeran-suami dari seorang ratu. Selain itu, menurut Goris, bahwa 
Gunapriya mengusahakan agar piagam atau prasasti yang masih sampai saat itu dalam Bahasa 
Bali Kuna, diundangkan dalam Bahasa Jawa Kuna. Atas argumen ini, Goris menyimpulkan, 
bahwa Gunapriyadharmapatni memainkan peranan yang signifikan dan menentukan sebagai 
pimpinan dalam pernikahan dan pemerintahannya.
bahwa Raja Udayana hanya seorang diri tanpa disertai permaisurinya dalam mengeluarkan 
prasasti-prasastinya (lihat juga: menjelaskan adanya hasil hubungan pernikahan ini muncul adanya 
penguatan hubungan kebudayaan Hindu antara Bali dan Jawa Timur yang sekaligus tercapainya 
puncak kebudayaan Jawa Bali Hindu di Bali terutama pada masa kekuasaan Raja Udayana ini 
Tampak terjadi penguatan penggunaan Bahasa Jawa Kuna yang di Bali disebut sebagai Bahasa 
Kawi yang tampaknya sejak saat itu semakin sering dipergunakan. Hal ini misalnya dapat dilihat 
pada makna memukul, menuding yang sudah ditemukan dalam peninggalan yang ada  di 
prasasti Bali. Kemudian bahasa Jawa Kuna telah juga diadopsi di Bali yang sebenarnya 
memperkuat Bahasa Bali itu sendiri. Pada masa-masa selanjutnya, Raja Dharmodayana 
Warmadewa disebut sebagai Raja Udayana dan kemudian digantikan oleh Ratu Sri Sang 
Ajnyadewi (2016M). menjelaskan bahwa kekuasaan 
selanjutnya berada di tangan Raja Marakata (1022-1025M), Anak Wungsu (1049-1077), 
Walaprabu (1079-1088M), Sakalendukirana (1088-1101M), dan Suradhipa (1115-1119M). 
Dapat disebutkan misalnya adanya konsep karama sudah ada pada zaman Udayana. 
Perkembangan yang terjadi sejak masa prasejarah hingga sejarah Bali klasik ini menunjukkan 
bagaimana orang Bali pada saat itu sudah memiliki peradaban dan memperoleh pengayaan 
dengan munculnya nilai-nilai religi yaitu agama Hindu-Buddha pada saat yang bersamaan 
memperkuat sistem kerajaan. Nilai-nilai ini  berkembang semakin kuat dengan adanya 
pengaruh Hindu dari Jawa Timur pada abad ke-11 dan ke-12 pada masa pemerintahan Raja 
Udayana dan keturunannya yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.  
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Bali saja, namun  juga di Jawa Timur ketika 
Aerlangga menjadi raja Kediri.   Setelah Raja Udayana di Bali ini, maka ketika putra-putranya 
berkuasa sebagai raja seperti Airlangga di Jawa Timur, Marakata yang juga dikenal sebagai 
Marasuba Pangkaja, dan Anakwungsu sebagai raja di Bali, tampak kebudayaan Hindu Jawa 
Timur lebih semarak berkembang di Bali. Di antara ketiga anaknya itu Aerlangga menjadi raja di 
Jawa Timur. Aerlangga dikatakan dikirim ke Jawa pada usia 16 tahun ini adalah merupakan 
sebuah tradisi yang dilakukan pada masa  Bali Kuna untuk mengirimkan anaknya ke Jawa untuk 
menekuni ilmu pengetahuan keagamaan. Namun di usia yang masih sangat muda itu, ia 
dikatakan menikah dengan putri Raja Dharmawangsa Tguh. Lama setelah pernikahannya itu, 
kerajaannya diserbu oleh raja bawahan, Wurawari. Putri dan Raja Dharmawangsa Tguh gugur 
dalam perlawanan itu, dikenal dengan pralaya yang terjadi pada tahun 916 M. Aerlangga yang 
dipercaya sebagai penjelmaan Wisnu dipercaya untuk diangkat menjadi Raja pada tahun 941 
Caka (1019 M) 
Aerlangga dikenal sebagai seorang raja yang baik dan namanya termashur ke seluruh 
negeri. Sebelum seorang putra mahkota menjadi seorang raja, oleh dewaraja, putera mahkota 
diberikan daerah kekuasaan untuk memimpin, sebagai dasar untuk berlatih memimpin sebuah 
kerajaan. Tampaknya hal ini berlangsung pada masa sebelum Jayabhaya naik tahta. Ia menjadi 
raja bawahan bergelar pamasa.  Pada sistem kekuasaan kerajaan seorang raja, dibantu oleh 
ketiga puteranya dan keempat pembesar kerajaan. Dikatakan bahwa, pegawai-pegawai kerajaan 
ini tidak menerima gaji tetap, akan namun  menerima hasil bumi sebagai upah. Adapun ketiga 
putera ialah tiga pembesar yang bergelar Mahamentri, yakni Rakryan Mahamenteri Sirikan, 
Rakryan Mahamenteri Halu, dan Rakryan Mahamenteri Hino. Status kekuasaan ini banyak 
disebutkan dalam nama abhiseka seorang raja. Pada Prasasti Kahyunaan disebutkan, bahwa 
perintah dari  Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janadarnawatara diberikan kepada   
Rakryan Mahamenteri Sirikan Sang Apanji Isanendra dan Mahamenteri Halu Sang Apanji 
Ragadaha. Posisi Rakryan Hino tidak dijumpai pada prasasti-prasasti pada zaman Kediri. Hal ini 
tidak jelas pula, apakah posisi itu masih ada atau memang tidak ada, tidak diketahui secara pasti. 
Selanjutnya di bawah Mahamenteri, ada  empat pembesar kerajaan yaitu yang bergelar 
Rakryan. Adapun jabatannya itu adalah Rakryan Kanuruhan, Rakryan Apatih, Rakryan Rakryan 
Rangga, dan Rakryan Demung. Adapun tugas mereka untuk mendukung raja dalam urusan 
sistem kerajaan. 
Pada masa kekuasaan raja Kediri ini berkembang kepustakaan kakawin yang sangat 
terkenal di Kediri saja, namun  juga menyebar ke Bali. Perkembangan kepustakaan Jawa Kuna ini 
sangat mendukung sistem kerajaan yang terbentuk, sebab  dalam kepustakaan itu mengandung 
nilai-nilai kepahlawanan. Pada masa Kediri ini kakawin digunakan dalam bidang keagamaan, 
yaitu syair-syairnya digunakan sebagai bahan pengajaran cerita biasa yang berkembang di antara 
anggota warga  pada umumnya. Meskipun demikian, kakawin-kakawin ini, terutama hingga 
pada masa Singasari, dijadikan sebagai media untuk bersekutu dengan Dewa dimana ajaran-
ajarannya mengilhami pembentukan meditasi atau yoga. Yoga dilakukan sambil membaca ayat-
ayat di kakawin untuk melakukan suatu gerakan pembersihan. Era kejayaan Kediri ini 
kesusastraan berkembang dengan sangat pesat. Para pujangga kerajaan seperti Mpu Sedah dan 
Mpu Panuluh menggubah beberapa karya sastra seperti Kitab Baratayudha yang isinya 
menggambarkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa, namun  sebenarnya isi kitab ini  
lebih condong menceritakan pertempuran antara kerajaan Panjalu dan Jenggala. Sementara itu, 
Mpu Panuluh juga menggubah karya sastra lainnya, seperti Kakawin Hariwangsa dan 
Gatotkacasraya. Masa kekuasaan raja Kediri ini pegelaran pewayangan dilakukan secara lebih 
sering dan lebih intensif. Pertunjukkan wayang ini dilaksanakan baik dilakukan dalam 
lingkungan keraton, maupun di dalam khalayak umum. Ketika Airlangga berkuasa, cerita-cerita 
Hindu dan kisah-kisah  pewayangan Bali digubah dan disesuaikan dengan kondisi warga  
setempat. Selain itu, cerita-cerita itu dapat bertahan hingga berdirinya kerajaan Singasari. Media 
yang digunakan adalah Wayang Gedog walau intensitas penggunaan Wayang Purwa tidaklah 
sedikit. 
 
4.1  Raja- raja Kediri 
Munculnya kerajaan Kediri di Jawa Timur berkaitan erat dengan raja Airlangga yang 
memerintah tahun 1019-1049. Airlangga mempunyai beberapa orang putra, salah satu di 
antaranya seorang putri bernama Sanggrama Wijaya. Ia merupakan putri mahkota yang 
dicalonkan untuk menggantikan ayahnya (Airlangga) sebagai raja. Namun putri ini menolak, dan 
ia memilih kehidupan sebagai seorang pertapa, yang dikenal dengan nama Kili Suci.  
sebab  memilih kehidupan sebagai seorang pertapa dan menolak menjadi raja, maka 
timbul kesulitan bagi Airlangga, sebab  ia masih mempunyai beberapa orang putra yang lain. 
Untuk menghindari perebutan kekuasaan di antara putra-putranya, Airlangga terpaksa membagi 
dua kerajaannya pada tahun 1041 dengan pertolongan seorang Brahmana yang bernama Mpu 
Bharadah. Kedua kerajaan itu dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas, dan masing-
masing dikenal dengan sebutan Janggala dan Panjalu (Kartodirdjo, 1975:105). Jenggala dengan 
ibukotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu dengan ibukotanya Daha, yang mungkin adalah Kediri 
sekarang. Samarawijaya menjadi raja di Panjalu sedangkan Mapanji Garasakan menjadi raja di 
Jenggala. Pembagian kerajaan ini diharapkan agar kedua kerajaan dapat hidup rukun dan damai. 
Meskipun masing-masing telah memperoleh hak atas tahta, namun  Mapanji Garasakan 
berambisi untuk menguasai seluruh kerajaan, dan ia menyerang saudaranya yang menjadi raja di 
Panjalu. Tampaknya Mapanji Garasakan berhasil mengalahkan Panjalu, sebab  dalam waktu 
beberapa lama nama kerajaan Panjalu tidak pernah disebut-sebut dalam prasasti. 
Tujuh puluh lima tahun setelah pemerintahan raja Samarawijaya, kita baru memperoleh 
keterangan tentang kerajaan Panjalu atau Kediri yang diperintah oleh Bameswara (1116-1134), 
dan Jayabhaya (1135-1157). Dalam Prasasti Hantang yang dikeluarkan oleh Jayabhaya tahun 
1135 ada disebutkan perkataan ―Panjalu Jayati‖ yang artinya ―Panjalu menang‖. Jayabhaya telah 
berperang dan menang atas musuh-musuhnya, yaitu kerajaan Jenggala. Kata ―Panjalu Jayati‖ 
(Panjalu menang) yang dipahatkan dalam prasastinya mungkin dimaksudkan sebagai peringatan 
―kemenangan‖ Panjalu atas Jenggala. Kemenangan itu menunjukkan bahwa Jayabhaya adalah 
pewaris yang sah dari Kerajaan Panjalu dan berhak memerintah kerajaan leluhurnya. 
Jayabhaya adalah raja yang terbesar dan termasyur dari kerajaan Kediri. Ia bergelar 
Maharaja Sri Warmeswara Madhusudhana Parakrama Digjayatungga-dewa. Ia berhasil 
menyatukan kembali kerajaan Jenggala dan Kediri, yang berarti menyatukan kembali kerajaan 
Airlangga. Keberhasilan ini  oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh diabadikan dalam karya 
sastra Bharatayudha. Kitab ini mengisahkan perang besar antara Pandawa dengan Kurawa 
selama 18 hari di Padang Kuruksetra merebut hak atas tahta Astinapura. Peperangan ini mungkin 
sebagai kiasan perang saudara antara Kediri/Panjalu dengan Jenggala. 
Seruan ―Panjalu Jayati‖ dalam prasasti Hantang yang telah disebutkan di atas kiranya 
dapat dibandingkan dengan seruan ―merdeka‖ pada waktu menjelang dan masa awal perjuangan 
kemerdekaan negara kita . Demikian pula tentunya bukan suatu kebetulan bahwa raja Jayabhaya 
mengeluarkan prasasti Hantang itu adalah juga raja yang mendukung atau memerintahkan 
penulisan kakawin Bharatayudha yang bertema perang saudara itu. Tampaknya Jayabhaya 
memang sedang menghadapi keadaan persaingan dengan kerajaan lain. Kerajaan lain itu adalah 
Jenggala yang merupakan kerajaan Airlangga yang dibagi. 
Adanya pertikaian itu disebutkan pula dalam prasasti Wurare tahun 1289 (Kern, 1952:99-
110) yang menyebut nama Panjalu dan Jenggala sebagai nama dua kerajaan di Jawa yang 
berperang satu sama lain setelah pembagian dua dilakukan oleh Mpu Bharadah. Kakawin 
Negarakertagama (XL:4) yang ditulis tahun 1365 menyebutkan pula pada pertikaian dan 
kemudian persatuan kembali, dari kedua kerajaan itu, yaitu Jenggala dan Kediri. Dengan 
demikian jelaslah bahwa Panjalu adalah nama lain dari Kediri, dan bahwa ada dua kerajaan, 
yaitu Panjalu dan Jenggala, yang semula satu pada zaman Airlangga, kemudian terpisah dan 
bersaing keras pada zaman Kediri. 
Bahwa persatuan kembali itu memang terjadi pada zaman Singhasari yang ditunjukkan 
oleh prasasti Sarwadharma tahun 1296 yang dikeluarkan oleh raja Kertanagara. Dalam prasasti 
ini wilayah kerajaan dinyatakan dengan sebutan ―bumi Jenggala Panjali‖. Ini berarti bahwa pada 
waktu itu Jenggala dan Panjalu telah dipersatukan. Peranan Kertanagara sebagai raja pemersatu 
itu diupayakan pula dengan ungkapan dari prasasti yang sama, yaitu sebutan baginya sebagai 
―pinaka catraning bhuwana sajawadwipa‖ (sebagai pelindung atau peneduh seluruh wilayah 
pulau Jawa). 
Pengganti Jayabhaya, yang menjadi raja di Kediri adalah Sarweswara yang memerintah 
selama sepuluh tahun (1159-1169), Aryeswara (1169-1181), Gandra (1181-1182). Suatu hal 
yang menarik pada masa pemerintahan raja Gandra adalah dikenalnya jabatan ―Senopati 
Sarwajala‖ yang kira-kira dapat disamakan dengan ―laksamana laut‖ pada masa sekarang. 
Adanya penyebutan jabatan itu, maka besar kemungkinan kerajaan Kediri telah mempunyai 
angkatan laut yang kuat. Selain itu, pada masa Kediri dikenal pula pejabat-pejabat yang 
menggunakan ama-nama binatang sebagai namanya, seperti misalnya Kebo Salawak, Lembu 
Agra, Gajah Kuning, Macan Putih dan sebagainya. 
Raja berikutnya adalah Kameswara. Berdasarkan sumber-sumber prasasti, raja ini 
memerintah di Kerajaan Kederi tahun 1182-1185. Pada masa pemerintahan raja ini ditulis kitab 
Smaradhahana oleh Mpu Dharmaja. Dalam kitab ini raja dipuji sebagai titisan Dewa Kama 
(Kamanjaya), sedangkan permaisurinya bernama Candra Kirana dianggap titisan Dewi Ratih dari 
kerajaan Jenggala, sebagai pertanda telah bersatunya kerajaan Jenggala dan Kediri. Pada masa 
pemerintahan raja Kameswara ini juga ditulis karya-karya sastra yang lain, seperti Wertasancaya 
yang ditulis oleh Mpu Tanakung. Karya Mpu Tanakung yang lain adalah Kitab Lubdaka, yang 
menceritakan seorang pemburu bernama Lubdaka mencapai moksa sebab  memuja Dewa Siwa 
melalui perwujudan Lingga. Mpu Panuluh menulis Kitab Hariwangsa dan Gatotkaca Sraya. 
Masa Kediri adalah masa suburnya penulisan karya sastra. 
Raja-raja Kediri memiliki kualitas yang khas. Kualitas itu adalah dalam bidang kesenian, 
khususnya seni sastra dan seni pertunjukan. Sumber-sumber prasasti dan karya sastra 
menggambarkan bahwa kemampuan dalam menciptakan puisi bukn monopoli para kawi 
(penyair). Kemampuan dalam bidang ini diduga merupakan bagian dari pendidikan yang harus 
diikuti oleh mereka yang berada di lingkungan istana. Mereka tidak hanya dapat menikmati 
keindahan puisi, namun  juga mampu menulis puisi serta mengekspresikan secara spontan 
Dalam kakawin Sumanasantaka yang digubah pada masa Kediri, dikisahkan para 
pangeran yang kecewa sebab  lamarannya ditolak oleh Dewi Indumati. Rasa kecewa itu 
kemudian dinyatakan melalui bait-bait puisi. Demikian pula dalam kakawin Bharatayudha, Mpu 
Panuluh menyatakan bahwa syair-syair Baginda Jayabhaya indah tanpa cacat. Raja dipandang 
sebagai seorang penyair, sehingga pantas dipilih sebagai guru (Sedyawati, 1985).  
Setelah Kameswara yang memerintah di Kediri adalah raja Kertajaya, sekaligus sebagai 
raja terakhir kerajaan Kediri. Ia memerintah tahun 1185-1222, setelah dikalahkan oleh raja Ken 
Arok dalam pertempuran di Ganter. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri. 
Sementara itu, jika dibandingkan dengan keadaan di Bali dalam waktu yang hampir 
bersamaan, di Bali berturut-turut memerintah raja Jayasakti (1133-1150), Ragajaya (1155), 
Jayapangus (1177-1181), sedangkan pada masa Kediri memerintah Semarawijaya (1041-1049), 
Jayabhaya (1135-1157), dan Kertajaya (1185-1222) yang sama-sama menggunakan kata ―jaya‖ 
pada bagian namanya. Apakah raja-raja ini  mempunyai hubungan kekerabatan? Mungkin 
juga, namun  sesungguhnya unsur yang hampir sama ini  tidak mengherankan, mengingat 
kontak antara Jawa dan Bali sudah ada sejak zaman pemerintahan raja Udayana yang beristri 
seorang putri Jawa Timur, yaitu Mahendradatta atau Sri Gunapriya Dharmapatni 
4.2  Golongan- golongan dalam warga   
Dari sumber-sumber tertulis masa Kediri dapat diketahui mengenai adanya beberapa 
golongan dalam warga . Golongan-golongan tertentu yang disebutkan oleh sumber-sumber 
ini  ada yang berhubungan dengan tinggi rendahnya kedudukan mereka dalam warga , 
ada pula yang berhubungan dengan pemilikan hak-hak tertentu ataupun kewajiban-kewajiban 
tertentu. Data mengenai golongan-golongan ini kini hendak diungkapkan untuk melihat 
kemungkinan adanya peranan tertentu dari golongan-golongan itu yang kiranya berhubungan 
dengan struktur warga . 
Di puncak penataan warga  Kediri itu ada  seorang yang dianggap mempunyai 
kedudukan tertinggi, yaitu raja. Seberapa besar wilayah yang bernaung di bawah kewibawaannya 
di sini tak akan dibahas. Raja yang berkuasa di Kediri umumnya pribadinya dihubungkan dengan 
dewa wisnu, ia mempunyai nama yang merupakan julukan wisnu. Terlihat betapa gagasan Hindu 
mengenai penjelmaan wisnu ke dunia sebagai raja penyelamat mempengaruhi kalangan raja pada 
masa Kediri yang dibicarakan ini. Pada masa Kediri gagasan itu juga dinyatakan oleh kekawin-
kekawin yang diciptakan di keraton pada masa ini . 
Raja yang berada di puncak penataan warga  itu rupanya juga dianggap berada di 
puncak kebudayaan. Ia, di samping disamakan dengan Wisnu sebagai penyelamat dunia, juga 
dapat dipersamakan dengan dewa mana pun yang dianggap utama. Ia dapat dipersamakan, 
bahkan dianggap penjelmaan, dari dewa Kama. Ini dinyatakan mengenai raja Sri Kameswara 
dalam kakawin smaradahana. Pada masa Kediri raja dapat pula disamakan dengan Brahma, 
Wisnu, Maheswara, dan semua dewa-dewa, seperti yang dinyatakan dalam prasasti Mula-
Malurung. Juga dalam hal kepujanggaan raja dianggap menempati kedudukan tertinggi, seperti 
dinyatakan dalam kakawin sumanasantaka (CLXXXII.1) bahwa raja adalah ―prasiddha guru 
ning gurulaghu” (sempurna sebagai guru dalam seni kakawin). Bagaimana peranan raja dalam 
kegiatan-kegiatan budaya yang lain pada masa Kediri tidak begitu jelas. Kakawin-kakawin 
Kediri bercerita mengenai kemahiran raja-raja berseni sastra, seperti yang tersirat dalam adegan 
Aja dan  para raja lain yang sedang mengikuti sayembara putri Idumati (Sumanasantaka) dan 
juga adegan Abhimanyu yang sedang bercinta (Ghatotkacasraya) dan lain-lain. namun  kakawin-
kakawin itu tidak bercerita mengenai kegiatan raja dalam olah seni yang lain. Baru kemudian 
pada zaman Majapahit ada  cacatan bahwa raja juga memiliki kemahiran dalam seni suara 
dan seni tari (Nagarakretagama) pupuh LXVI dan CI). Sumber terakhir ini (XLIIII.5) juga 
bercerita mengenai seorang raja Singhasari,  yaitu Kertanagara, yang dikatakan tahu mengenai 
segala ritual  beserta kelengkapan-kelengkapan dan segala ajaran yang utama. Melihat 
konteksnya, ritual  yang dimaksud adalah ritual  keagamaan. Maka, dengan mengetahui 
bahwa arca dewa digunakan dalam ritual  keagamaan, dapat diduga bahwa raja, khususnya 
Jayabhaya, menguasai ketentuan-ketentuan pengarcaan dewa, khususnya dewa-dewa yang sesuai 
dengan kepercayaannya. 
Sesudah raja, di sekitar, ada lah golongan orang-orang yang merupakan lapisan 
teratas dari warga . Paling dekat dengan raja dalam fungsinya sebagai pemimpin tertinggi, 
ada  seorang pendamping yang berilmu dalam bidang keagamaan. Pada masa Kediri 
diketahui bahwa raja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmmeswara mempunyai seorang 
pendamping yang merupakan gurunya, disebut pangajyan sri maharaja mpungku 
naiyayikadarsana-samreddhi-karana bhairawa-margga-nugaman dharyogiswara (OJO 
LXXVIII, sisi depan baris 8-9), yang artinya ―guru dari raja, empu yang mahir menjalankan yoga 
dengan jalan bhairawa, yang menyebabkan tercapainya kesempurnaan sesuai dengan nyaya. 
Adapun pada masa Singhasari diketahui bahwa Seminingrat pada waktu menjadi raja 
mempunyai Sang Pranaraja sebagai pendamping dan pelaksana (pinaka hastapada = sebagai 
kaki tangan) pada waktu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan berupa: bhumisoddhana 
(penyucian bumi), pendirian (arca) buyutnya di bangunan suci yang disebut sanghyang dharma 
di Kalangbret, serta ketika anusuk (meresmikan batas) dharma di Pagar (prasasti Mula-
Malurung, lempeng IIa: Museum Nasional Jakarta nomor E90, transkripsi oleh Boechari). 
Prasasti yang disebut terakhir itu juga mengatakan bahwa Sang Pranaraja adalah seorang 
saiwaka (=sewaka=penghadap, pengikut) yang patut diteladani: ia selalu mengikuti dharma ning 
saiwaka saptati (prasasti Mula-Malurung VIIIa dan IXa) yang artinya ―perilaku yang tepat bagi 
saiwaka yang tujuh puluh. Mengenai perilaku antara lain disebutkan pula dalam prasasti ini 
bahwa Sang Pranaraja senantiasa mantap jika diutus oleh raja: tak pamrih, tak tahu lapar dan tak 
peduli jarak jauh. Di sini terlihat, betapa Sang Pranaraja yang di satu pihak dipuji sebagai tokoh 
yang sangat mampu melaksanakan tugas-tugas penting yang berhubungan dengan agama, di 
pihak lain dinyatakan bahwa ia hanyalah pembantu raja yang patuh. Kesan yang berbeda 
diberikan oleh sumber-sumber masa Kediri. Di situ kemandirian dari tokoh keagamaan yang  
terdekat dengan raja itu lebih tampak, atau lebih tepat, tidak ditekankan mengenai keberadaannya 
di bawah raja. Tokoh semacam pada masa Kediri adalah pangajyan sri maharaja untuk Mapanji 
Jayabhaya Sri Warmmeswara (prasasti Hantang dan Talan, OJO LXVIII dan LXX).  
Dari perkembangan hubungan antara raja dan penasehat keagamaannya itu, di mana 
tampak bahwa pada masa Kediri raja menjadi lebih menguasai penasehat keagamaannya. Dalam 
rangka itu, pengarcaan dewa-dewa pun dapat diarahkan oleh wawasan dan kehendaknya. Hal ini 
pada gilirannya mungkin mengakibatkan penyeragaman ketentuan ikonogrfik di kawasan yang 
termasuk cakupan wewenangnya. 
Dalam lingkungan raja yang terdekat ada  kaum kerabatnya. Anggota keluarga raja 
yang terdekat itu rupa-rupanya mempunyai kelompok pelayanan masing-masing. Hal ini 
disebutkan dalam prasasti raja Kediri Sri Bameswara tahun 1117 Masehi (OJO LXVIII,   
khususnya baris 16-17) di mana dinyatakan bahwa para hamba dari rajaputra rajaputri (putra 
dan putri raja), binihaji (istri raja), parameswari (permaisuri) serta mereka semua yang tergolong 
―warga d