• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label sumbawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sumbawa. Tampilkan semua postingan

sumbawa




 Menengok wilayah Nusantara yang begitu luas dan plural khususnya 
di bagian timur Indonesia, kita akan menemukan sebuah daerah yang disebut 
Bima. Bima merupakan salah satu dari keenam kabupaten di Provinsi Nusa 
Tenggara Barat (NTB) yang terletak di bagian timur Pulau Sumbawa.  
Selayang pandang bila melihat Bima yang merupakan sebuah daerah kecil di 
pelosok timur Nusantara yang luas, namun dari tempat inilah sebenarnya kita 
bisa menelusuri sejarah Indonesia masa lampau. 
 Daerah ini didiami oleh suku Bima yang dalam bahasa daerah disebut 
“Don Mbojo” (orang Bima) yang merupakan salah satu suku yang ada di NTB.  
Di samping itu juga terdapat suku Sasak yang ada di Pulau Lombok dan suku 
Sumawa di Kabupaten Sumbawa di bagian barat Pulau Sumbawa 
 Apabila kita menelaah buku ini, maka kita akan melihat bahwa penulis 
berusaha memaparkan naskah-naskah yang berkaitan dengan Kerajaan Bima 
yang selanjutnya diberikan transkripinya agar supaya pembaca dapat lebih 
memahami kandungan dokumen-dokumen ini  baik dari segi sejarah 
maupun sastranya.  Pada bagian tertentu beberapa naskah berkaitan 
diperbandingkan (B = naskah di Staatsbibliothek, Berlin; J = naskah di 
Museum Nasional Jakarta; L = naskah di Perpustakaan Universitas Leiden; dan 
S = naskah yang tersimpan di Bima, milik keturunan Sultan yang terakhir).  
Dengan demikian, dapat dilihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing 
dengan maksud saling melengkapi.   
Buku yang berjudul “Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah” ini 
terhimpun tiga teks mengenai sejarah Kerajaan Bima yang ditulis di Bima 
dalam bahasa Melayu antara abad ke-17 dan ke-19.  Buku ini memunculkan 
beberapa bentuk sastra seperti cerita rakyat, puisi dan prosa.  Menurut  
Hamidsyukrie dan Ali (1994:154) ini  berfungsi sebagai sarana pendidikan 
sejarah, perekam peristiwa masa lalu, hiburan, dan protes sosial. 
 Penulis buku ini berusaha berkata  ketiga teks ini  yang 
menyoroti sejarah dan masyarakat Bima.  Bila dibandingkan dengan buku-buku 
atau artikel-artikel lain yang telah terbit serta bahan arsip zaman VOC dan 
zaman penjajahan, maka teks-teks Melayu berasal dari Bima ini mengandung 
informasi yang tidak terdapat dalam sumber lain.  Sebagai contoh, dua puluh 
tahun yang lalu belum diketahui bahwa kesusasteraan Melayu bukan saja 
dikenal tetapi juga dihasilkan di Pulau Sumbawa yang jauh dari daerah 
Sumatera dan Semenanjung Melayu yang dianggap sebagai pusat kebudayaan 
Melayu.  Mengenai penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu, ketiga teks ini 
pun memberikan informasi yang berharga.  Mulai dengan masuknya agama 
Islam bahasa Melayu digunakan di Bima, seperti di Aceh misalnya, sebagai 
bahasa agama, politik, dan sastra, di samping bahasa lokal yang merupakan 
bahasa komunikasi sehari-hari.  
berkata  bahwa sejak bulan Maret 1645, bahasa Melayu telah menjadi 
bahasa yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, dan sosial di 
kerajaan Bima. 
 Teks pertama di buku ini berjudul “Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala 
Dewa-Dewa”, berisi mitos pendirian wangsa raja-raja Bima dan juga 
merupakan uraian sejarah yang mulai dengan penciptaan dunia. “Hikayat Sang 
Bima” merupakan judul teks kedua, mengolah mitos ini  dalam bentuk 
sastra sebagai suatu hikayat yang tokoh-tokohnya adalah tokoh pewayangan 
yang berasal dari kisah Mahabharata.  Teks yang ketiga berjudul “Syair 
Kerajaan Bima” merupakan bentuk sastra berisi kesaksian seorang penduduk 
Bima tentang berbagai peristiwa sezaman. 
  Bagian pertama di buku ini merupakan bab yang berisi tentang 
“Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa” memerikan naskah Cerita 
Asal, Hikayat Sang Bima, sumber lain, perbandingan naskah, dan catatan 
tentang bahasa.  Di samping itu pula, diberikan uraian isi dan perkembangan 
sejarah Cerita Asal ini .  Menurut Zollinger yang pernah melihat sebuah 
naskah cerita itu pada tahun 1847, secara sepintas cerita ini  dapat 
dianggap sebagai campuran kacau dari berbagai dongeng dan legenda yang 
ditimba dari aneka ragam sumber.  Adapun contoh Cerita Asal ini antara lain 
tentang penciptaan jin yang pertama dan manusia yang pertama serta sifat 
manusia menurut agama Islam.  Jin yang pertama bernama Jan Manjan, 
diciptakan Allah seribu tahun lamanya sebelum manusia yang pertama, yaitu 
Nabi Adam.  Jan Manjan diciptakan “dari ujung api yang tiada berasap”, 
sebuah ungkapan yang langsung diterjemahkan dari Al-Qur’an (LV 15).  
Sedangkan Adam diciptakan dari keempat anasir: api, angin, air, dan tanah, 
yang menghasilkan keanekaragaman “tabiat, fill, laku, dan untung” manusia.  
Menurut Al-Qur’an, manusia diciptakan “dari tanah liat kering yang berasal 
dari  lumpur hitam” (Al-Qur’an XV 28, 33).  Pembagian atas empat kelompok 
dalam Cerita Asal tidak berasal dari Al-Qur’an, tetapi dari hasil pemikiran para 
Sufi kemudian.  Diri manusia terbagi atas diri batin dan halus, yaitu nyawa, dan 
diri lahir dan kasar, yaitu badan yang berasal dari keempat anasir dan yang 
dikendalikan oleh empat nafsu (nafsu ammarah atau “nafsu yang menyuruh 
kepada kejahatan”, nafsu sewi atau “nafsu haiwani”, nafsu lawwama atau “jiwa 
yang amat menyesali dirinya sendiri”, dan nafsu mutma’inna atau “jiwa yang 
tenang” yang mendorong manusia mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya 
(h. 41, 42).  Dalam bab kedua, dapat dilihat transkripsi Cerita Asal Bangsa Jin 
dan Segala Dewa-Dewa.  Transkrip ini merupakan sebuah edisi kritis, yaitu 
naskah Schoemann V3 yang tersimpan di Berlin.  Ejaan disesuaikan dengan 
EYD.  Bentuk pengulangan yang dalam naskah ditulis dengan angka dua 
(berbagai2) ditranskripsikan  penuh (berbagai-bagai).  Kata-kata Arab yang 
tidak lazim dalam bahasa Indonesia ditranskripsikan menurut ejaan aslinya.  
Bab ketiga mengandung lampiran Fasal Tambahan pada Naskah L, petikan dari 
Naskah S, Qaul Al-Haqq Sultan Abdul Aziz, kutipan dari Asrar Al Insan, 
silsilah Raja-Raja Bima, Pandawa Lima, dan Dompu. 
 Bagian kedua yakni “Hikayat Sang Bima” berisi pemerian naskah dan 
ringkasan cerita. Di bagian akhir diberikan sebuah transkripsi mengenai hikayat 
ini .  Hikayat ini dihasilkan di Bima sekitar awal abad ke-18 dan 
merupakan perpaduan antara sebuah ceritera para Pandawa dan tradisi Bima 
tentang asal-usul kerajaan.  Baik dari segi penyebaran tradisi pewayangan 
maupun sebagai karya sastra Melayu bersifat sejarah, hikayat ini sangatlah 
penting artinya.  Seorang dalang bernama Wisamarta adalah penulis karya ini 
pada zaman Sultan Bima Hasanuddin.  Ia seorang Melayu yang datang ke Bima 
dan memutuskan untuk menulis hikayat ini berdasarkan sebuah cerita setempat 
dengan tujuan “menghiburkan hatinya yang pilu” serta menceritakan asal-usul 
kerajaan Bima.  Ki dalang mempergunakan tradisi wayang secara bebas dan 
menyusun sebuah cerita baru yang sekaligus berkaitan dengan sejarah Jawa 
(pada masa sekitar tahun 1670-an) dan sejarah Bima (pada masa pendirian 
kerajaan).  Hal ini nampak dari nama-nama kerajaan yang pernah ada seperti 
Pajajaran dan Cirebon.   
 Dalam bagian ketiga buku ini berkaitan dengan “Syair Kerajaan 
Bima”.  Bab pertama berupa pengantar  yang berisi sumber-sumber dan 
ringkasan.  Naskah-naskah yang diketengahkan dalam bagian ini mempunyai 
nilai linguistik, sastra, dan terutama sejarah.  Teks yang terpenting yakni 
sebuah syair yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pulau 
Sumbawa pada dasawarsa kedua abad ke-19.  Syair itu digabungkan dengan 
beberapa teks lain yang dipetik dari berbagai sumber dan menyangkut peristiwa 
atau tokoh yang sama dengan maksud memberikan sebuah lukisan yang 
menyeluruh tentang masyarakat Bima sekitar tahun 1800-an.  Transkripsi Syair  
Kerajaan Bima disajikan dalam bab kedua, dan apabila kita perhatikan naskah 
ini  bersifat prosa dan juga puisi.  Bab ketiga berisi dokumen-dokumen, 
yakni tentang letusan Gunung Tambora, Sultan Abdul Hamid dan Wazir Abdul 
Nabi, dan Sultan Ismail.  Bab terakhir berupa lampiran. 
 Memang buku ini tidak memiliki penutup baik secara keseluruhan 
buku maupun pada tiap bagian dari ketiga teks yang ada.  Akan tetapi, sebelum 
masuk pada teks-teks ini  diberikan pengantar berkenaan dengan teks 
ini .