Tampilkan postingan dengan label majapahit 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 3. Tampilkan semua postingan
majapahit 3
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
majapahit 3
Keberhasilan Majapahit menjadi kerajaan besar tidak lepas dari proses pemanfaatan kondisi
alam. Secara geografis, Majapahit yang terletak di pedalaman memungkinkannya menjadi
kerajaan agraris dengan limpahan hasil alam sebagai komoditi utamanya. Disamping itu,
lambat laun Majapahit juga mampu menjadi kerajaan maritim yang kuat dengan
mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur perdagangan dari pedalaman menuju hilir
(pesisir). Majapahit membuat pelabuhan-pelabuhan dagang di sepanjang aliran sungai untuk
memaksimalkan kegiatan dagang. Salah satu pelabuhan sungai yang penting pada masa
Majapahit yaitu Pelabuhan Canggu. Letak pelabuhan Canggu di masa Majapahit, pada masa
kini dapat diidentikkan dengan Desa Canggu di Kecamatan Jetis Mojokerto. Pelabuhan ini
tidak berdiri sendiri, ada beberapa pelabuhan penopang lain, di antaranya Pelabuhan Bubat
yang sekarang dapat diidentikkan dengan Desa Tempuran, Kecamatan Sooko Mojokerto, dan
Pelabuhan Terung yang terletak di Dusun Terung Kecamatan Krian, Sidoarjo. Sementara itu,
Pelabuhan Canggu memiliki fungsi yang beragam diantaranya sebagai pangkalan militer,
pelabuhan dagang, bahkan pelabuhan bea cukai. berdasar fungsinya sebagai pelabuhan
sungai, Canggu mampu menjadi salah satu penopang kemakmuran Majapahit.
Majapahit merupakan sebuah kerajaan dengan tipe agraris yang semi komersil, Ibu
kota kerajaan terletak di Trowulan, Mojokerto. Kondisi alam di sekitar kerajaan yang subur
memungkinkan Majapahit memperoleh hasil alam yang melimpah. Ma Huan (seorang Cina
muslim pengiring ekspedisi Cheng Ho) memberitakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan
penghasil beras, di sana padi dapat dipanen dua kali dalam setahun. Selain itu buah pisang,
semangka, manggis, dan kelapa juga merupakan komoditi dari Majapahit.1 Laporan Ma Huan
diperkuat dengan berita Negarakertagama pupuh 88, “demi keselamatan, dan kemajuan
masyarakat desa dianjurkan para pemimpin desa merawat jembatan dan jalan dengan sebaik-
baiknya, ladang dan sawah dijaga dan dikerjakan secara baik”.2
Pemanfaatan dan penataan kekayaan alam berimplikasi terhadap melimpahnya
komoditi barang dagang. Keadaan ini memberi peluang Majapahit untuk terlibat dalam
perdagangan. Hasil bumi dari sekitar kerajaan diangkut ke berbagai tempat untuk
diperdagangkan. Begitu pula sebaliknya, pedagang dari berbagai daerah datang ke pusat
kerajaan untuk menjual barang dagang dari daerah lain.
Mengingat letak geografis Majapahit berada jauh dari laut, maka proses distribusi
barang dilakukan dengan cara pelayaran mengikuti aliran sungai Brantas yang bermuara di
Laut Jawa.3 Pemanfaatan aliran sungai sebagai jalur perdagangan inilah yang membuat
perekonomian Majapahit semakin maju. Hilir mudik pedagang dari dan ke Majapahit
menjadikan lalu lintas pelayaran sungai semakin ramai.
Lambat laun muncul pelabuhan-pelabuhan sungai sebagai tempat sandar kapal di
sepanjang aliran Sungai Brantas mulai dari sekitar ibu kota Majapahit hingga muara. Prasasti
Canggu 1280 Saka (1358 M) menyebutkan ada 34 pelabuhan di sepanjang sungai
Brantas.4 Pada pembahasan ini akan diulas salah satu dari pelabuhan sungai terpenting pada
masa Majapahit yaitu Pelabuhan Canggu. Permasalahan yang akan dikaji dalam pembahasan
ini yaitu letak Pelabuhan Canggu berdasar bukti arkeologis, pelabuhan lain di sekitar
Canggu, serta fungsi Pelabuhan Canggu masa Majapahit.
A. Letak Pelabuhan Canggu
Identifikasi mengenai letak Pelabuhan Canggu dapat diperoleh dari kitab Ying Yai
Sheng Lan yang ditulis Ma-Huan tahun 1415 M. Ma Huan menginformasikan bahwa ada
empat kota di Jawa yang semuanya tanpa tembok. Kota-kota ini yaitu Tuban, Gresik,
Surabaya, dan Majapahit. Majapahit dapat dicapai dengan menyusuri sungai melalui
Surabaya dengan perahu kecil ke arah selatan dan turun di pelabuhan Canggu, kemudian
berjalan ke arah selatan selama satu setengah hari.7 Laporan ini menyatakan bahwa
Canggu terletak di sebelah utara pusat kota Majapahit. Canggu terletak lebih dekat dengan
pusat kota Majapahit dibandingkan dengan pelabuhan laut di sekitar Surabaya.
Sementara itu, Prasasti Canggu menginformasikan secara rinci mengenai lokasi
Pelabuhan Canggu, yaitu:
kapangkwa denikang anāmbingi sayawadwipamandala.
Wilayah Canggu yang disebut dalam prasasti Canggu terletak diantara Mabuwur dan
Sarbo. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusmini Eriawati, Mabuwur saat ini
diketahui menjadi desa Jatiduwur di perbatasan Jombang-Mojokerto, sedangkan Sarbo
sekarang dikenal dengan Dusun Serbo, Desa Bogempinggir Kecamatan Balongbendo yang
terletak di timur laut Canggu, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo. Mengenai desa
penyeberangan Godog, Rumasan, Randu Gowok, Wahas, dan Nagara saat ini tidak dikenal
lagi desa-desa ini .
Desa-desa penyeberangan pada Prasasti Canggu disebutkan secara berurutan mulai
hulu hingga hilir sungai, maka dapat disimpulkan bahwa Canggu terletak di wilayah antara
Desa Jatiduwur dan Serbo.9 Di antara Jatiduwur dan Serbo ada sebuah desa dengan nama
Canggu, Kecamatan Jetis, Mojokerto yang dapat diidentikkan dengan Pelabuhan Canggu
masa Majapahit. Identifikasi ini diperkuat dengan penelitian Hutama yang menyimpulkan
bahwa Desa Canggu berdasar temuan arkeologisnya identik dengan pelabuhan kuno masa
lampau.
B. Pelabuhan Lain di Sekitar Canggu
1. Pelabuhan Bubat
Kitab Negarakertagama pupuh 85 menginformasikan toponim Bubat, yaitu:
Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar di utara kota terbentang
apangan bernama Bubat sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga diarak
abdi berjalan membuat kagum setiap orang. Bubat yaitu lapangan luas lebar dan
rata membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya dan setengah krosa ke
utara bertemu tebing sungai dikelilingi bangunan menteri di dalam kelompok.
Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang tiangnya penuh berukir
dengan isi dongeng Parwa dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana tempat
menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
Selain itu Pararaton juga menginformasikan bahwa Bubat terletak di sebelah utara
keraton. Bubat memiliki lapangan yang luas membentang ke arah timur, dan Sungai
Brantas terletak di sebelah utara Bubat. Maclaine Pont seorang peneliti keraton Majapahit
mengungkapkan bahwa lapangan Bubat terletak di sebelah utara Alun-alun utara kerajaan
dengan luas lapangan sekitar 1 Km². Sementera itu, pasar terletak di sebelah barat lapangan
Bubat, di antara lapangan Bubat dan pasar ada jalan dengan lebar 40 m. Jalan ini
menghubungkan pelabuhan Canggu dengan pusat kerajaan.
Pernyataan di atas diperkuat dengan naskah Bujangga Manik, dikisahkan pada
pertengahan abad ke-15, seorang Brahmana dari kerajaan Pakuan bernama Bujangga Manik,
melakukan perjalanan ke arah timur sampai di pulau Bali.
“…angalalar aing ka bubat cunduk aing ka manguntur ka buruan majapahit
angalalar ka darma anyar na karang kajramaan ti kidulna karang kaja sadatang ka
palintahan samungkur ti majapahit nanjak ka gunung pawitra….”
terjemahan:
“…. berkunjunglah saya ke Bubat saya tiba di Manguntur ke halaman depan
Majapahit berkunjunglah saya ke Darma Anyarnya Karang Kajraman di selatannya
ada Karang Kaja tibalah di Palintahan setelah meninggalkan Majapahit
mendakilah saya ke Gunung Pawitra….”
Bujangga Manik datang dari arah barat menuju ke Majapahit yang terletak di sebelah
timur. Sehingga dipastikan Bujangga Manik menaiki perahu dan mengikuti arah hilir sungai
Brantas. Dari rute yang dilewati oleh Bujangga Manik menunjukkan bahwa Bujangga Manik
memasuki pelabuhan Bubat setelah menyeberangi sungai Brantas di sekitar Kertosono,
perbatasan Nganjuk – Jombang.
Dari beberapa pemberitaan di atas, dan penelusuran toponim Bubat yang dilakukan
oleh Hadi Sidomulyo, maka disimpulkan wilayah Bubat pada saat sekarang diidentifikasikan
terletak di desa Tempuran, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto. Bubat dibatasi oleh
sungai di sebelah utara dan di sebelah timur. Sungai yang membatasi wilayah Bubat yaitu
kali Gunting dan sungai Brantas.14 Pertemuan dua sungai di desa Tempuran inilah tempat
keberadaan pelabuhan Bubat.
2. Pelabuhan Terung
Pelabuhan Trung atau Terung disebut dalam Prasasti Canggu dan karya sastra. Pada
uraian prasasti Canggu disebutkan bahwa Panji Angraksaji yang bertempat tinggal di Terung
memperoleh hadiah dari raja berupa hak swatantra. Hak khusus ini diberikan supaya
wilayah terung yang juga menjadi pelabuhan sungai dapat dikelola dengan baik oleh Panji
Angraksaji.
Karya sastra Babad Tanah Jawi menceritakan, pada masa Brawijaya V, putra Arya
Damar dari Palembang, yaitu Raden Kusen yang sudah memeluk agama Islam diangkat
menjadi Adipati di Terung. Pada karya sastra lain, yaitu Serat Kanda menginformasikan
bahwa Raden Kusen atau Adipati Terung merupakan salah satu penggagas penyerangan
Demak atas Majapahit. Wilayah Terung yang dipimpin oleh Raden Kusen selamat dari
penyerangan pasukan Demak yang menghancurkan wilayah Majapahit dan sekitarnya,
karena wilayah Terung dan Adipati terung sudah memeluk Islam.15 Uraian mengenai Terung
dalam Serat Kanda menunjukkan bahwa pasukan Demak yang akan menyerang Majapahit
melewati Terung.
Wilayah Terung juga diceritakan dalam Kidung Sunda, mengenai kedatangan raja
Sunda bersama Putri dan bala tentara di Majapahit. Raja Sunda mendarat di pelabuhan
Terung kemudian ke Mahibit untuk mengambil air bersih. Pada waktu itu Akuwu Bubat
melapor pada Hayam Wuruk bahwa tentara Sunda telah mendarat dan terpencar memenuhi
hilir sungai Brantas sampai ke Canggu.16 Pelabuhan Terung dalam Kidung Sunda dapat
disimpulkan berada di dekat Canggu dan Bubat, sehingga kedatangan rombongan dari Sunda
sudah dapat diketahui oleh Akuwu Bubat.
Pelabuhan Terung diberitakan pula keberadaanya dalam Kidung Harsawijaya yang
menyebutkan bila orang hendak ke Madura, maka penumpang harus turun di Terung. Van
Stein Callenfels menjelaskan bahwa Kidung Harsawijaya tidak menyebutkan mengenai selat
Madura, sehingga seolah-olah Terung berada di Madura.17 Sedangkan menurut Sri Soejatmi
Satari menggambarkan lebih jelas mengenai pelabuhan Terung. Penumpang yang akan
menuju Madura, dengan naik perahu dari pelabuhan Canggu, perahu akan transit di
pelabuhan Terung. Pelayaran dari pelabuhan Terung menuju Madura menggunakan perahu
yang ukurannya lebih besar untuk sampai di muara sungai ataupun sampai ke Madura.18
Letak pelabuhan Terung masa kerajaan Majapahit dapat diketahui dari prasasti
Canggu yang menyebutkan Terung berada di antara Sarba dan Kambang Cri. Kambang Sri
saat ini diketahui sebagai desa Bangsri yang terletak di kecamatan Sukodono, Sidoarjo.
Sedangkan Sarba, pada saat ini diidentikkan dengan Dusun Serbo, Kecamatan Balongbendo.
berdasar keterangan ini pelabuhan Terung terletak diantara kecamatan
Balongbendo dan kecamatan Sukodono. Kecamatan Krian yang terletak diantara dua
kecamatan ini ada desa Terung yang dapat dimungkinkan merupakan tempat
pelabuhan Terung masa Majapahit.
C. Fungsi Pelabuhan Canggu
1. Pelabuhan atau Pangkalan Militer
Pada masa kerajaan Singosari, Wisnuwardhana (1248-1268) mendirikan benteng yang
berada di wilayah Canggu. Benteng ini dibangun sebagai persiapan penyerangan ke
daerah Mahibit. Pada masa selanjutnya, Raden Wijaya (1294-1350) memanfaatkan wilayah
strategis Canggu sebagai taktik penyerangan balasan terhadap raja Jayakatwang yang
berdiam di Daha. Melalui jalur sungai Brantas, Daha dapat mudah dicapai melalui pelabuhan
Canggu.
Bertepatan dengan persiapan penyerangan ke Daha, pasukan Tartar datang untuk
menghukum raja Jawa. Kaisar Kubilaikhan mengirim tentara sebesar 20.000 orang pada awal
tahun 1292 di bawah pimpinan Shihpi, Kau Hsing, dan Ike Mese. Ike Mese berangkat
terlebih dahulu dengan 500 pasukan dan mendarat di Tuban. Tentara Tartar di bawah
pimpinan Shihpi mendarat di muara sungai Sedayu kemudian bergerak ke timur untuk
membangun pertahanan di wilayah Patsieh (Pacekan).19
Raden Wijaya mengatur siasat lagi dengan memanfaatkan pasukan Tartar dalam
rangka penyerangan ke Daha. Ia mengirim utusan untuk menemui pasukan Tartar dan
menjelaskan bahwa ia sedang dalam sengketa dengan raja Jayakatwang dari Daha yang telah
berhasil membunuh raja Kertanegara. Pasukan Tartar akhirnya setuju untuk membantu Raden
Wijaya menyerang Daha, karena Raden Wijaya menyatakan tunduk kepada Kaisar
Kubilaikhan.
Pasukan Tartar yang dipimpin Ike Mese segera datang ke Canggu untuk membuat
pertahanan. Kabar kerjasama antara pasukan Tartar dan pasukan pemberontak yang dipimpin
Raden Wijaya tersebar hingga keraton Daha. Menanggapi kabar ini Jayakatwang segera
mengirim pasukan Daha untuk menyerang Majapahit. Pasukan Jayakatwang yang menyerang
pertahanan tentara Tartar di Canggu berhasil ditakhlukkan oleh Kau Hsing. Delapan hari
kemudian tentara Tartar mengadakan persiapan untuk menyerang Daha. Tentara Tartar dibagi
menjadi tiga pasukan. Satu pasukan berlayar dari Canggu melewati sungai Brantas menuju
hulu di bawah pimpinan Shihpi. Ike Mese dan pasukannya menyerang melalui arah timur.
Pasukan lainnya di bawah pimpinan Kau Hsing menyerang melalui arah barat. Tentara Tartar
akhirnya dapat memperoleh kemenangan setelah 4 hari menyerang Daha.
Raden Wijaya yang sebenarnya tidak mau tunduk kepada kaisar Cina setelah
Jayakatwang ditakhlukkan, berupaya menyingkirkan tentara Tartar dari wilayah Majapahit.
Siasat penumpasan pasukan Tartar dilakukan Raden Wijaya dan perwira perangnya. Rangga
Lawe dan Sora ditugaskan menjalankan strategi penumpasan yang sudah direncanakan.
Pemberitaan dalam Pararaton menunjukkan, ketika tentara Tartar yang tidak bersenjata akan
membawa dua putri dari Tumapel sebagai tanda pengakuan tunduk kepada Kaisar, dibunuh
oleh Sora di dalam Balairung. Tentara Tartar yang berhasil kabur, dikejar oleh Ranggalawe
dan dibunuh di pelabuhan Canggu.
Wilayah Canggu yang dijadikan basis pertahanan oleh sebagian tentara Tartar pada
saat persiapan penyerangan Daha menunjukkan Canggu merupakan wilayah yang sangat
memungkinkan sebagai wilayah pertahanan dalam peperangan. Uraian dari Pararaton juga
menunjukkan wilayah Canggu ada balairung atau semacam tempat pertemuan yang
digunakan Rangga Lawe dan Sora ketika akan membunuh pasukan Tartar membuktikan
bahwa Canggu merupakan wilayah yang sudah tertata sebagai basis militer.
Kerajaan Majapahit akhirnya resmi berdiri setelah pengusiran tentara Tartar di
wilayah Majapahit dan Raden Wijaya sebagai rajanya. Penasbihan Raden Wijaya menjadi
raja pertama Majapahit diuraikan dalam Pararaton dengan Candrasengkala Rasa Rupa Dwi
Citangcu yaitu pada tahun saka 1216 (1294 M). Wilayah Tarik diyakini sebagai pusat
kerajaan Majapahit pada saat awal berdiri. Wilayah yang terletak di dekat pelabuhan Canggu
merupakan tempat yang strategis untuk pertahanan ketika ada serangan dari luar pada saat
Majapahit baru didirikan. Area militer di pelabuhan Canggu juga diperlukan untuk menjaga
keamanan di sekitar pelabuhan.
Sutjipto Tjiptoatmojo dalam disertasinya mengungkapkan bahwa jalur sungai
merupakan jalur yang sangat penting untuk keperluan militer selain jalan darat yang juga
digunakan sebagai mobilitas militer. Pengawasan terhadap wilayah bawahan kerajaan
menjadi lancar dengan mobilitas militer yang lancar pula. Persiapan keperluan perang yang
menjadi pertahanan negara dapat dipersiapkan dengan baik, apabila fasilitas perang juga
memadai.Canggu sebagai pelabuhan sungai memadai sebagai basis militer sekaligus dapat
memperlancar mobilitas militer untuk pengawasan terhadap keamanan di sekitar pelabuhan
Canggu.
2. Pelabuhan Perdagangan Sungai
Letak geografis Majapahit yang berada jauh dari laut tidak menjadikan kendala
Majapahit untuk bertransformasi menjadi kerajaan agraris sekaligus maritim, dengan
memanfaatkan aliran sungai Brantas yang bermuara di Laut Jawa sebagai penghubung
wilayah pedalaman dengan pesisir. Pelabuhan sungai menjadi penting keberadaannya bagi
perdagangan, salah satunya yaitu pelabuhan Canggu.
Pelabuhan Canggu pada masa kerajaan Majapahit merupakan pelabuhan yang
penting, kapal-kapal dagang dapat berlabuh dan berlayar keluar masuk sungai Brantas dari
pelabuhan Canggu menuju selat Madura. Penduduk di sekitar pusat kota Majapahit menjadi
daya tarik pedagang asing untuk berdagang di Majapahit, walaupun pusat kota Majapahit
jauh dari laut pedagang asing memanfaatkan pelabuhan Canggu sebagai pelabuhan kapal dan
pusat perdagangan.23 Komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Canggu pada waktu itu
selain beras, yang merupakan hasil bumi terutama dari Jawa, dan rempah-rempah yang
berasal dari daerah Maluku, juga ada bermacam-macam jenis kain, keramik, dan logam
yang berasal dari India dan Cina.
Sri Soejatmi Satari menjelaskan aktifitas perekonomian di sekitar pelabuhan Canggu
pada masa Majapahit. Pelabuhan Canggu merupakan pelabuhan barang, sementara Bubat,
dan Terung merupakan pelabuhan penumpang. Kapal dagang yang membawa komoditas
pedagangan akan menggunakan pelabuhan Canggu sebagai dermaganya. Alat angkut yang
dipakai untuk menyeberang dari sisi sungai satu ke sisi sungai yang lain menggunakan rakit
atau sampan, kapal angkutan barang yang lebih besar digunakan untuk hilir mudik sampai ke
wilayah pelabuhan pantai. Kapal yang lebih besar lagi akan digunakan sebagai alat angkut
yang dapat mengarungi lautan.
Mengenai perdagangan pada masa Majapahit ataupun pada masa sebelumnya ada
pada data tertulis, baik prasasti, naskah maupun berita Cina. Perdagangan antar desa, antar
wilayah, dan internasional dapat diketahui dari prasasti pada masa sebelum Majapahit.
Prasasti Kamalagyan 959 Saka (1037 M) memberikan informasi bahwa pada saat itu
pelabuhan Hujung Galuh merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat perdagangan.
Prasasti Kamalagyan juga memberitakan bahwa Airlangga memberikan hadiah kepada warga
di sekitar bendungan Waringi Sapta yang telah memperbaiki bendungan ini . Perbaikan
terhadap bendungan dapat memperlancar arus aliran sungai, sehingga pedagang dapat
menggunakan kembali sungai Brantas sebagai jalur perdagangan.
“… kapwa ta sukhamanah nikāŋ maparahu samaŋhulu manalapbhanda ri hujuŋ
ğaluh tka rikaŋ parapuhawaŋ parabanyaga sankariŋ dwipantara samanunten ri hujuŋ
ğaluh…”
Artinya:
“… semuanya bersenang hati orang-orang yang berperahu pergi ke hulu mengambil
barang dagangan di hujung galuh demikan pula nahkoda kapal, para pedagang dari
berbagai pulau mereka pergi ke hulu di hujung galuh” 26
Ada beberapa sumber sejarah yang di dalamnya secara jelas menunjukkan deskripsi
lokasi pelabuhan Canggu. Sumber-sumber sejarah itu yaitu Prasasti Canggu yang berisi
tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-
aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas penyeberangan. Prasasti Canggu
menggambarkan bahwa Canggu merupakan nama suatu desa penyeberangan. Panji
Marggabhaya disebutkan sebagai petugas penyeberangan atau lebih tepat disebut sebagai
pengelola pelabuhan Canggu. Seperti tertera di dalam kutipan prasasti Canggu sebagai
berikut:
….. makādi mahādwija. i pingsornyājñā pāduka çri mahārāja. kumonakěn ikanang
anambangi sayawadwipamandala. makādi pañji marggabhaya. makasikasir ajaran
rata. sthatita. munggwi canggu pagawayakna sang hyang ājñāhaji praçasti.
rājasanagaralañcana. munggwe salah sikining tāmra. riptopala. kapangkwa
denikang anāmbingi sayawadwipamandala.
terjemahan:
Adapun isi pertulisan perintah Raja itu, setelah diturunkan kepada para
pegawai rendah, ialah supaya segala orang disegenap mandala Pulau Jawa
diseberangkan, terutama sekali Panji Marggabhaya yang bertempat tinggal di Canggu
harus melaksanakan pertulisan perintah Raja menjadi piagam perunggu bertanda
lencana Rajasanegara dan digariskan atas piagam perunggu atau di atas batu. Piagam
itu harus dipegang teguh oleh semua orang yang menambang penyeberangan
disegenap mandala Pulau Jawa.
Aktifitas perdagangan di pelabuhan Canggu dan sekitarnya menguntungkan kerajaan
Majapahit, sehingga Hayam Wuruk memberikan hak swatantra atas jasa pengelola
pelabuhan-pelabuhan sungai. Hak atas swatantra itu diberikan kepada Panji Margabhaya, dan
Panji Angraksaji. Panji Margabhaya merupakan pengelola pelabuhan-pelabuhan sungai yang
bertempat tinggal di Canggu, sedangkan Panji Angraksaji bertempat tinggal di Terung. Panji
Marggabhaya dan Panji Angraksaji merupakan pegawai rendah yang ditugaskan oleh Hayam
Wuruk untuk mengelola pelabuhan Canggu dan pelabuhan Terung.
Prasasti Canggu juga mengatur hak dan kewajiban para penambang perahu. Tukang
tambang memperoleh hak istimewa sehingga dapat melayani penumpang dengan baik dalam
menunaikan kewajibannya. Para penambang ini tidak dikenai pajak atas kegiatannya,
bahkan mereka juga diperbolehkan mengadu ayam dan berjudi, tanpa dikenai denda oleh
kerajaan. Ketentuan atas hak para penambang dalam melakukan tugasnya dijelaskan pada
prasasti Canggu, sebagai berikut:
kuněng asing awakanya, swāmigata. lungha sangke swāminya. tan bwatana
ktekang anambangy angěntasakěn sangkeng nadítira yadin sādhu prawrěttinyang
anamambangi. kalut sangkeng astacora, muwah yan hana stri karěm asing
awakanya. kasambut ta ya denda nganambangi tan sanggahěn strisanggrahana kteka
nganambangy angěntasakěn anambut iriya. muwah yan hana wwang kapūrwwarěnan
tinambang aweh ta yeng anambangy asing awakani pawehanya. yadyapin
olihanyanyaya. ikang pawehnya. tan dosana tekang anambangi tan sanggahěn
anganggapi dusta. muwah ri sdenganikang anambangi amwata padatining akalang.
dagangan asing awakanya. karěm pwekang dagangan. tan bwatana tekang
anambangi, ndatan wehana ta ya tambangan yan cirnekang dagangan muwah..
terjemahan:
walaupun bagaimana kedudukannya: baik ditinggal suaminya atau
meninggalkan suami, maka tidaklah dibolehkan tukang penambang menyeberangkan
mereka dari sisi sungai ke sisi yang lain, apabila tingkah laku tukang penambang itu
senonoh adanya. Hal demikian berlaku juga bagi delapan jenis pencurian. Selanjutnya
apabila ada seorang wanita tenggelam ke dalam air, walaupun bagaimana juga
kedudukannya, maka penambang ini diperbolehkan memegang badannya pada
saat membawa ke seberang. Selanjutnya apabila di antara orang yang diseberangkan
itu ada yang belum melunaskan hutangnya, maka mereka diharuskan supaya
menjaminkan tubuhnya, jikalau perbuatan itu berakibat aniaya, maka perlakuan itu
menjadi ganti penyeberangan dan terhadap tukang penambang perbuatan itu tidaklah
dimasukkan ke dalam tindak kejahatan, dan mereka itu tidak dipandang bersalah dan
menjalankan kejahatan. Selanjutnya apabila pada saat menyeberangkan kepadanya
ditunjukkan suatu beban, bagaimanapun jenisnya bila barang itu jatuh ke dalam air,
maka tukang penambang itu tidak bertanggung jawab atas peristiwa itu, dan mereka
tidak berkewajiban membayar barang yang hilang pada saat penambang ini .
3. Pelabuhan Bea Cukai
Pajak pada masa Majapahit diperoleh dari banyak sektor, diantaranya: sektor
pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor pelayaran. Keempat sektor ini
diberi perhatian oleh penguasa perdagangan karena diharapkan dapat memberikan kontribusi
besar terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pajak perdagangan
mulai dipungut ketika barang dagang dari luar memasuki wilayah Majapahit. Pajak semacam
ini dapat dikatakan sebagai pajak bea dan cukai. Selain itu pemungutan pajak juga berlaku
pada alat angkut barang dagang berupa perahu yang sandar di pelabuhan Canggu yang dapat
dikenai pajak sandar.
Pada prasasti Canggu diperoleh informasi mengenai tata cara pemungutan pajak
dagang. Urusan pajak dagang diserahkan kepada pengelola pelabuhan, dan dalam waktu
tertentu mereka diharuskan menyetor target pajak yang sudah ditetapkan. Seperti yang
dijelaskan pada Prasasti Canggu lempeng IXa baris ke-5 sampai 6 dengan bunyi demikian:
“panji marggabhya, mwang panjayangraksāji. kyajaran rāgi sthāpita munggwi trung.
manghanaken tā pamūjāngken sārini puspanyānghaturakén sambah ri sang hyang
ājñā haji praçasti. 400, ring sarahi mijil angkěn pūrnnamaning āsāda”
terjemahan:
“ Panji Marggabhaya, Panji Angraksaji, dan Ki Ajaran Ragi yang bertempat tinggal di
Terung maka mereka mengirimkan bunga cukai pada tiap-tiap pemujaan sebagai
tanda kehormatan memuliakan Pertulisan Perintah Raja, yaitu: 400 mata uang
masing-masing orang yang harus dibayar pada tiap-tiap hari terang bulan Asada
(bulan keempat)….”
Prasasti Canggu di atas menerangkan bahwa setiap bulan Asada pengelola Pelabuhan
yang memperoleh hak istimewa ini wajib memberikan sesembahan berupa mata uang
sebanyak 400 kepada raja. Hasil cukai yang didapat dari pajak sandar tidak ditentukan dalam
prasasti Canggu, tetapi pihak pengelola diharuskan membayar sebanyak 400 kepada raja
sebagai tanda bakti. Perolehan hasil cukai dari pelabuhan dipastikan lebih banyak dari cukai
yang diberikan kepada raja setiap bulan Asada.
Sistem penarikan cukai yang dilakukan di pelabuhan Canggu maupun pelabuhan yang
lain tidak diuraikan dalam prasasti. Sistem penarikan cukai baru dapat diketahui dari dapat
diketahui dari laporan Dong Xi Yang Kao yang ditulis pada tahun 1618. Laporan Dong Xi
Yang Kao ini ditulis ketika mengunjungi pelabuhan Banten, dalam laporannya diterangkan
bahwa ketika kapal Cina tiba di pelabuhan, seorang ketua akan naik kapal. Kapten kapal akan
memberi sekeranjang jeruk dan dua buah payung kecil. Setelah itu sang ketua segera menulis
surat untuk raja. Buah-buahan dan kain sutera segera dikirimkan sebagai hadiah bagi sang
raja ketika kapal memasuki sungai. Syahbandar memiliki enam anak buah, yang terdiri
dari empat orang Cina dan dua orang pribumi. Orang Cina yang mengerti bahasa asing
bertindak sebagai penerjemah. Orang pribumi bertugas untuk mengurus bidang
administrasi.
Keterangan dari laporan Cina ini menunjukkan bahwa ada dua jenis pajak
yang diberikan kepada penguasa setempat, yaitu pajak resmi dan pajak tidak resmi. Pajak
resmi yaitu pajak perdagangan berupa cukai perdagangan ekspor dan impor dan wajib
dibayar oleh seluruh pedagang. Pajak pajak tidak resmi yaitu hadiah yang diberikan kepada
penguasa setempat agar urusan perdagangan menjadi lancar. Adrian B. Lapian menjelaskan
hal yang sama, menurutnya selain membayar bea cukai pedagang harus membawa pula
barang persembahan untuk raja, bendhara, tumenggung, dan syahbandar besarnya nilai
barang ditetepkan oleh syahbandar. Peraturan yang ditetapkan oleh umumya syahbandar
tidak akan menuntut jumlah yang berlebihan dari pedagang yang senegerinya.
Kidung Sunda menceritakan bahwa untuk menjamu raja Sunda, raja Majapahit
memerintahkan menyediakan hidangan berupa manisan dan arak. Kedua jenis hidangan ini
dimintakan dari syahbandar. Pemberitaan dalam Kidung Sunda ini menginformasikan
bahwa Syahbandar juga memiliki kewajiban menyediakan keperluan raja dalam menyambut
tamu kerajaan. Syahbandar dapat dipastikan meminta barang persembahan kepada pedagang
Cina karena arak merupakan komoditi perdagangan dari Cina.
Majapahit dalam sejarahnya yang panjang dikenal sebagai kerajaan yang besar dan
menguasai hampir seluruh daerah di Nusantara. Keberhasilan ini tidak lepas dari proses
pemanfaatan kondisi alam. Secara geografis, Majapahit yang terletak di pedalaman
memungkinkannya menjadi kerajaan agraris dengan hasil alam sebagai tumpuannya. Namun,
lebih dari itu Majapahit juga bertransformasi menjadi kerajaan maritim yang kuat. Majapahit
mampu mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur perdagangan dari pedalaman menuju
hilir (pesisir) dan membuat pelabuhan-pelabuhan dagang di sepanjang aliran sungai. Salah
satu pelabuhan yang penting pada masa Majapahit yaitu Pelabuhan Canggu. Letak
pelabuhan Canggu di masa Majapahit, pada masa kini dapat diidentikkan dengan Desa
Canggu di Kecamatan Jetis Mojokerto. Pelabuhan ini tidak berdiri sendiri, ada beberapa
pelabuhan penopang lain, di antaranya Pelabuhan Bubat yang sekarang dapat diidentikkan
dengan Desa Tempuran, Kecamatan Sooko Mojokerto, dan Pelabuhan Terung yang terletak
di Dusun Terung Kecamatan Krian, Sidoarjo. Sementara itu, Pelabuhan Canggu memiliki
fungsi yang beragam diantaranya sebagai pangkalan militer, pelabuhan dagang, bahkan
pelabuhan bea cukai. berdasar fungsinya, Pelabuhan Canggu mampu menjadi salah satu
penopang kemakmuran Majapahit.