• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label majapahit 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 3. Tampilkan semua postingan

majapahit 3





Keberhasilan Majapahit menjadi kerajaan besar tidak lepas dari proses pemanfaatan kondisi 
alam. Secara geografis, Majapahit yang terletak di pedalaman memungkinkannya menjadi 
kerajaan agraris dengan limpahan hasil alam sebagai komoditi utamanya. Disamping itu, 
lambat laun Majapahit juga mampu menjadi kerajaan maritim yang kuat dengan 
mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur perdagangan dari pedalaman menuju hilir 
(pesisir). Majapahit membuat pelabuhan-pelabuhan dagang di sepanjang aliran sungai untuk 
memaksimalkan kegiatan dagang. Salah satu pelabuhan sungai yang penting pada masa 
Majapahit yaitu  Pelabuhan Canggu. Letak pelabuhan Canggu di masa Majapahit, pada masa 
kini dapat diidentikkan dengan Desa Canggu di Kecamatan Jetis Mojokerto. Pelabuhan ini 
tidak berdiri sendiri, ada beberapa pelabuhan penopang lain, di antaranya Pelabuhan Bubat 
yang sekarang dapat diidentikkan dengan Desa Tempuran, Kecamatan Sooko Mojokerto, dan 
Pelabuhan Terung yang terletak di Dusun Terung Kecamatan Krian, Sidoarjo. Sementara itu, 
Pelabuhan Canggu memiliki  fungsi yang beragam diantaranya sebagai pangkalan militer, 
pelabuhan dagang, bahkan pelabuhan bea cukai. berdasar  fungsinya sebagai pelabuhan 
sungai, Canggu mampu menjadi salah satu penopang kemakmuran Majapahit. 
 

Majapahit merupakan sebuah kerajaan dengan tipe agraris yang semi komersil, Ibu 
kota kerajaan terletak di Trowulan, Mojokerto. Kondisi alam di sekitar kerajaan yang subur 
memungkinkan Majapahit memperoleh hasil alam yang melimpah. Ma Huan (seorang Cina 
muslim pengiring ekspedisi Cheng Ho) memberitakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan 
penghasil beras, di sana padi dapat dipanen dua kali dalam setahun. Selain itu buah pisang, 
semangka, manggis, dan kelapa juga merupakan komoditi dari Majapahit.1 Laporan Ma Huan 
diperkuat dengan berita Negarakertagama pupuh 88, “demi keselamatan, dan kemajuan 
masyarakat desa dianjurkan para pemimpin desa merawat jembatan dan jalan dengan sebaik-
baiknya, ladang dan sawah dijaga dan dikerjakan secara baik”.2  
Pemanfaatan dan penataan kekayaan alam berimplikasi terhadap melimpahnya 
komoditi barang dagang. Keadaan ini memberi peluang Majapahit untuk terlibat dalam 
perdagangan. Hasil bumi dari sekitar kerajaan diangkut ke berbagai tempat untuk 
diperdagangkan. Begitu pula sebaliknya, pedagang dari berbagai daerah datang ke pusat 
kerajaan untuk menjual barang dagang dari daerah lain.  
Mengingat letak geografis Majapahit berada jauh dari laut, maka proses distribusi 
barang dilakukan dengan cara pelayaran mengikuti aliran sungai Brantas yang bermuara di 
Laut Jawa.3 Pemanfaatan aliran sungai sebagai jalur perdagangan inilah yang membuat 
perekonomian Majapahit semakin maju. Hilir mudik pedagang dari dan ke Majapahit 
menjadikan lalu lintas pelayaran sungai semakin ramai.  
Lambat laun muncul pelabuhan-pelabuhan sungai sebagai tempat sandar kapal di 
sepanjang aliran Sungai Brantas mulai dari sekitar ibu kota Majapahit hingga muara. Prasasti 
Canggu 1280 Saka (1358 M) menyebutkan ada  34 pelabuhan di sepanjang sungai 
Brantas.4 Pada pembahasan ini akan diulas salah satu dari pelabuhan sungai terpenting pada 
masa Majapahit yaitu Pelabuhan Canggu. Permasalahan yang akan dikaji dalam pembahasan 
ini yaitu  letak Pelabuhan Canggu berdasar bukti arkeologis, pelabuhan lain di sekitar 
Canggu, serta fungsi Pelabuhan Canggu masa Majapahit. 
 
                                                           
A. Letak Pelabuhan Canggu 
Identifikasi mengenai letak Pelabuhan Canggu dapat diperoleh dari kitab Ying Yai 
Sheng Lan yang ditulis Ma-Huan tahun 1415 M. Ma Huan menginformasikan bahwa ada 
empat kota di Jawa yang semuanya tanpa tembok. Kota-kota ini  yaitu  Tuban, Gresik, 
Surabaya, dan Majapahit. Majapahit dapat dicapai dengan menyusuri sungai melalui 
Surabaya dengan perahu kecil ke arah selatan dan turun di pelabuhan Canggu, kemudian 
berjalan ke arah selatan selama satu setengah hari.7 Laporan ini  menyatakan bahwa 
Canggu terletak di sebelah utara pusat kota Majapahit. Canggu terletak lebih dekat dengan 
pusat kota Majapahit dibandingkan dengan pelabuhan laut di sekitar Surabaya.  
Sementara itu, Prasasti Canggu menginformasikan secara rinci mengenai lokasi 
Pelabuhan Canggu, yaitu: 
 kapangkwa denikang anāmbingi sayawadwipamandala. 
                                                           
Wilayah Canggu yang disebut dalam prasasti Canggu terletak diantara Mabuwur dan 
Sarbo. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusmini Eriawati, Mabuwur saat ini 
diketahui menjadi desa Jatiduwur di perbatasan Jombang-Mojokerto, sedangkan Sarbo 
sekarang dikenal dengan Dusun Serbo, Desa Bogempinggir Kecamatan Balongbendo yang 
terletak di timur laut Canggu, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo. Mengenai desa 
penyeberangan Godog, Rumasan, Randu Gowok, Wahas, dan Nagara saat ini tidak dikenal 
lagi desa-desa ini .  
Desa-desa penyeberangan pada Prasasti Canggu disebutkan secara berurutan mulai 
hulu hingga hilir sungai, maka dapat disimpulkan bahwa Canggu terletak di wilayah antara 
Desa Jatiduwur dan Serbo.9 Di antara Jatiduwur dan Serbo ada  sebuah desa dengan nama 
Canggu, Kecamatan Jetis, Mojokerto yang dapat diidentikkan dengan Pelabuhan Canggu 
masa Majapahit. Identifikasi ini diperkuat dengan penelitian Hutama yang menyimpulkan 
bahwa Desa Canggu berdasar  temuan arkeologisnya identik dengan pelabuhan kuno masa 
lampau.
 
B. Pelabuhan Lain di Sekitar Canggu 
1. Pelabuhan Bubat 
Kitab Negarakertagama pupuh 85 menginformasikan toponim Bubat, yaitu: 
 Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar di utara kota terbentang 
apangan bernama Bubat sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga diarak 
abdi berjalan membuat kagum setiap orang. Bubat yaitu  lapangan luas lebar dan 
rata membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya dan setengah krosa ke 
utara bertemu tebing sungai dikelilingi bangunan menteri di dalam kelompok. 
Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang tiangnya penuh berukir 
dengan isi dongeng Parwa dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana tempat 
menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
  Selain itu Pararaton juga menginformasikan bahwa Bubat terletak di sebelah utara 
keraton. Bubat memiliki  lapangan yang luas membentang ke arah timur, dan Sungai 
Brantas terletak di sebelah utara Bubat. Maclaine Pont seorang peneliti keraton Majapahit 
mengungkapkan bahwa lapangan Bubat terletak di sebelah utara Alun-alun utara kerajaan 
dengan luas lapangan sekitar 1 Km². Sementera itu, pasar terletak di sebelah barat lapangan 
Bubat, di antara lapangan Bubat dan pasar ada  jalan dengan lebar 40 m. Jalan ini  
menghubungkan pelabuhan Canggu dengan pusat kerajaan.
 Pernyataan di atas diperkuat dengan naskah Bujangga Manik, dikisahkan pada 
pertengahan abad ke-15, seorang Brahmana dari kerajaan Pakuan bernama Bujangga Manik, 
melakukan perjalanan ke arah timur sampai di pulau Bali.  
“…angalalar aing ka bubat cunduk aing ka manguntur ka buruan majapahit 
angalalar ka darma anyar na karang kajramaan ti kidulna karang kaja sadatang ka 
palintahan samungkur ti majapahit nanjak ka gunung pawitra….” 
terjemahan: 
“…. berkunjunglah saya ke Bubat saya tiba di Manguntur ke halaman depan 
Majapahit berkunjunglah saya ke Darma Anyarnya Karang Kajraman di selatannya 
ada  Karang Kaja tibalah di Palintahan setelah meninggalkan Majapahit 
mendakilah saya ke Gunung Pawitra….”
 
Bujangga Manik datang dari arah barat menuju ke Majapahit yang terletak di sebelah 
timur. Sehingga dipastikan Bujangga Manik menaiki perahu dan mengikuti arah hilir sungai 
Brantas. Dari rute yang dilewati oleh Bujangga Manik menunjukkan bahwa Bujangga Manik 
memasuki pelabuhan Bubat setelah menyeberangi sungai Brantas di sekitar Kertosono, 
perbatasan Nganjuk – Jombang.  
 Dari beberapa pemberitaan di atas, dan penelusuran toponim Bubat yang dilakukan 
oleh Hadi Sidomulyo, maka disimpulkan wilayah Bubat pada saat sekarang diidentifikasikan 
terletak di desa Tempuran, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto. Bubat dibatasi oleh 
sungai di sebelah utara dan di sebelah timur. Sungai yang membatasi wilayah Bubat yaitu  
kali Gunting dan sungai Brantas.14 Pertemuan dua sungai di desa Tempuran inilah tempat 
keberadaan pelabuhan Bubat.  
2. Pelabuhan Terung 
 Pelabuhan Trung atau Terung disebut dalam Prasasti Canggu dan karya sastra. Pada 
uraian prasasti Canggu disebutkan bahwa Panji Angraksaji yang bertempat tinggal di Terung 
                                                           
memperoleh hadiah dari raja berupa hak swatantra. Hak khusus ini  diberikan supaya 
wilayah terung yang juga menjadi pelabuhan sungai dapat dikelola dengan baik oleh Panji 
Angraksaji. 
 Karya sastra Babad Tanah Jawi menceritakan, pada masa Brawijaya V, putra Arya 
Damar dari Palembang, yaitu Raden Kusen yang sudah memeluk agama Islam diangkat 
menjadi Adipati di Terung. Pada karya sastra lain, yaitu Serat Kanda menginformasikan 
bahwa Raden Kusen atau Adipati Terung merupakan salah satu penggagas penyerangan 
Demak atas Majapahit. Wilayah Terung yang dipimpin oleh Raden Kusen selamat dari 
penyerangan pasukan Demak yang menghancurkan wilayah Majapahit dan sekitarnya, 
karena wilayah Terung dan Adipati terung sudah memeluk Islam.15 Uraian mengenai Terung 
dalam Serat Kanda menunjukkan bahwa pasukan Demak yang akan menyerang Majapahit 
melewati Terung. 
 Wilayah Terung juga diceritakan dalam Kidung Sunda, mengenai kedatangan raja 
Sunda bersama Putri dan bala tentara di Majapahit. Raja Sunda mendarat di pelabuhan 
Terung kemudian ke Mahibit untuk mengambil air bersih. Pada waktu itu Akuwu Bubat 
melapor pada Hayam Wuruk bahwa tentara Sunda telah mendarat dan terpencar memenuhi 
hilir sungai Brantas sampai ke Canggu.16 Pelabuhan Terung dalam Kidung Sunda dapat 
disimpulkan berada di dekat Canggu dan Bubat, sehingga kedatangan rombongan dari Sunda 
sudah dapat diketahui oleh Akuwu Bubat.  
 Pelabuhan Terung diberitakan pula keberadaanya dalam Kidung Harsawijaya yang 
menyebutkan bila orang hendak ke Madura, maka penumpang harus turun di Terung. Van 
Stein Callenfels menjelaskan bahwa Kidung Harsawijaya tidak menyebutkan mengenai selat 
Madura, sehingga seolah-olah Terung berada di Madura.17 Sedangkan menurut Sri Soejatmi 
Satari menggambarkan lebih jelas mengenai pelabuhan Terung. Penumpang yang akan 
menuju Madura, dengan naik perahu dari pelabuhan Canggu, perahu akan transit di 
pelabuhan Terung. Pelayaran dari pelabuhan Terung menuju Madura menggunakan perahu 
yang ukurannya lebih besar untuk sampai di muara sungai ataupun sampai ke Madura.18 
 Letak pelabuhan Terung masa kerajaan Majapahit dapat diketahui dari prasasti 
Canggu yang menyebutkan Terung berada di antara Sarba dan Kambang Cri. Kambang Sri 
saat ini diketahui sebagai desa Bangsri yang terletak di kecamatan Sukodono, Sidoarjo. 
                                                           
Sedangkan Sarba, pada saat ini diidentikkan dengan Dusun Serbo, Kecamatan Balongbendo. 
berdasar  keterangan ini  pelabuhan Terung terletak diantara kecamatan 
Balongbendo dan kecamatan Sukodono. Kecamatan Krian yang terletak diantara dua 
kecamatan ini  ada  desa Terung yang dapat dimungkinkan merupakan tempat 
pelabuhan Terung masa Majapahit. 
 
C. Fungsi Pelabuhan Canggu 
1. Pelabuhan atau Pangkalan Militer 
Pada masa kerajaan Singosari, Wisnuwardhana (1248-1268) mendirikan benteng yang 
berada di wilayah Canggu. Benteng ini  dibangun sebagai persiapan penyerangan ke 
daerah Mahibit. Pada masa selanjutnya, Raden Wijaya (1294-1350) memanfaatkan wilayah 
strategis Canggu sebagai taktik penyerangan balasan terhadap raja Jayakatwang yang 
berdiam di Daha. Melalui jalur sungai Brantas, Daha dapat mudah dicapai melalui pelabuhan 
Canggu. 
Bertepatan dengan persiapan penyerangan ke Daha, pasukan Tartar datang untuk 
menghukum raja Jawa. Kaisar Kubilaikhan mengirim tentara sebesar 20.000 orang pada awal 
tahun 1292 di bawah pimpinan Shihpi, Kau Hsing, dan Ike Mese. Ike Mese berangkat 
terlebih dahulu dengan 500 pasukan dan mendarat di Tuban. Tentara Tartar di bawah 
pimpinan Shihpi mendarat di muara sungai Sedayu kemudian bergerak ke timur untuk 
membangun pertahanan di wilayah Patsieh (Pacekan).19  
Raden Wijaya mengatur siasat lagi dengan memanfaatkan pasukan Tartar dalam 
rangka penyerangan ke Daha. Ia mengirim utusan untuk menemui pasukan Tartar dan 
menjelaskan bahwa ia sedang dalam sengketa dengan raja Jayakatwang dari Daha yang telah 
berhasil membunuh raja Kertanegara. Pasukan Tartar akhirnya setuju untuk membantu Raden 
Wijaya menyerang Daha, karena Raden Wijaya menyatakan tunduk kepada Kaisar 
Kubilaikhan.  
Pasukan Tartar yang dipimpin Ike Mese segera datang ke Canggu untuk membuat 
pertahanan. Kabar kerjasama antara pasukan Tartar dan pasukan pemberontak yang dipimpin 
Raden Wijaya tersebar hingga keraton Daha. Menanggapi kabar ini  Jayakatwang segera 
mengirim pasukan Daha untuk menyerang Majapahit. Pasukan Jayakatwang yang menyerang 
pertahanan tentara Tartar di Canggu berhasil ditakhlukkan oleh Kau Hsing. Delapan hari 
kemudian tentara Tartar mengadakan persiapan untuk menyerang Daha. Tentara Tartar dibagi 
                                                           
menjadi tiga pasukan. Satu pasukan berlayar dari Canggu melewati sungai Brantas menuju 
hulu di bawah pimpinan Shihpi. Ike Mese dan pasukannya menyerang melalui arah timur. 
Pasukan lainnya di bawah pimpinan Kau Hsing menyerang melalui arah barat. Tentara Tartar 
akhirnya dapat memperoleh kemenangan setelah 4 hari menyerang Daha.
Raden Wijaya yang sebenarnya tidak mau tunduk kepada kaisar Cina setelah 
Jayakatwang ditakhlukkan, berupaya menyingkirkan tentara Tartar dari wilayah Majapahit. 
Siasat penumpasan pasukan Tartar dilakukan Raden Wijaya dan perwira perangnya. Rangga 
Lawe dan Sora ditugaskan menjalankan strategi penumpasan yang sudah direncanakan. 
Pemberitaan dalam Pararaton menunjukkan, ketika tentara Tartar yang tidak bersenjata akan 
membawa dua putri dari Tumapel sebagai tanda pengakuan tunduk kepada Kaisar, dibunuh 
oleh Sora di dalam Balairung. Tentara Tartar yang berhasil kabur, dikejar oleh Ranggalawe 
dan dibunuh di pelabuhan Canggu. 
Wilayah Canggu yang dijadikan basis pertahanan oleh sebagian tentara Tartar pada 
saat persiapan penyerangan Daha menunjukkan Canggu merupakan wilayah yang sangat 
memungkinkan sebagai wilayah pertahanan dalam peperangan. Uraian dari Pararaton juga 
menunjukkan wilayah Canggu ada  balairung atau semacam tempat pertemuan yang 
digunakan Rangga Lawe dan Sora ketika akan membunuh pasukan Tartar membuktikan 
bahwa Canggu merupakan wilayah yang sudah tertata sebagai basis militer. 
 Kerajaan Majapahit akhirnya resmi berdiri setelah pengusiran tentara Tartar di 
wilayah Majapahit dan Raden Wijaya sebagai rajanya. Penasbihan Raden Wijaya menjadi 
raja pertama Majapahit diuraikan dalam Pararaton dengan Candrasengkala Rasa Rupa Dwi 
Citangcu yaitu pada tahun saka 1216 (1294 M). Wilayah Tarik diyakini sebagai pusat 
kerajaan Majapahit pada saat awal berdiri. Wilayah yang terletak di dekat pelabuhan Canggu 
merupakan tempat yang strategis untuk pertahanan ketika ada serangan dari luar pada saat 
Majapahit baru didirikan. Area militer di pelabuhan Canggu juga diperlukan untuk menjaga 
keamanan di sekitar pelabuhan. 
Sutjipto Tjiptoatmojo dalam disertasinya mengungkapkan bahwa jalur sungai 
merupakan jalur yang sangat penting untuk keperluan militer selain jalan darat yang juga 
digunakan sebagai mobilitas militer. Pengawasan terhadap wilayah bawahan kerajaan 
menjadi lancar dengan mobilitas militer yang lancar pula. Persiapan keperluan perang yang 
menjadi pertahanan negara dapat dipersiapkan dengan baik, apabila fasilitas perang juga 
                                                           
memadai.Canggu sebagai pelabuhan sungai memadai sebagai basis militer sekaligus dapat 
memperlancar mobilitas militer untuk pengawasan terhadap keamanan di sekitar pelabuhan 
Canggu. 
2. Pelabuhan Perdagangan Sungai 
Letak geografis Majapahit yang berada jauh dari laut tidak menjadikan kendala 
Majapahit untuk bertransformasi menjadi kerajaan agraris sekaligus maritim, dengan 
memanfaatkan aliran sungai Brantas yang bermuara di Laut Jawa sebagai penghubung 
wilayah pedalaman dengan pesisir. Pelabuhan sungai menjadi penting keberadaannya bagi 
perdagangan, salah satunya yaitu  pelabuhan Canggu.  
Pelabuhan Canggu pada masa kerajaan Majapahit merupakan pelabuhan yang 
penting, kapal-kapal dagang dapat berlabuh dan berlayar keluar masuk sungai Brantas dari 
pelabuhan Canggu menuju selat Madura. Penduduk di sekitar pusat kota Majapahit menjadi 
daya tarik pedagang asing untuk berdagang di Majapahit, walaupun pusat kota Majapahit 
jauh dari laut pedagang asing memanfaatkan pelabuhan Canggu sebagai pelabuhan kapal dan 
pusat perdagangan.23 Komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Canggu pada waktu itu 
selain beras, yang merupakan hasil bumi terutama dari Jawa, dan rempah-rempah yang 
berasal dari daerah Maluku, juga ada  bermacam-macam jenis kain, keramik, dan logam 
yang berasal dari India dan Cina.  
Sri Soejatmi Satari menjelaskan aktifitas perekonomian di sekitar pelabuhan Canggu 
pada masa Majapahit. Pelabuhan Canggu merupakan pelabuhan barang, sementara Bubat, 
dan Terung merupakan pelabuhan penumpang. Kapal dagang yang membawa komoditas 
pedagangan akan menggunakan pelabuhan Canggu sebagai dermaganya. Alat angkut yang 
dipakai untuk menyeberang dari sisi sungai satu ke sisi sungai yang lain menggunakan rakit 
atau sampan, kapal angkutan barang yang lebih besar digunakan untuk hilir mudik sampai ke 
wilayah pelabuhan pantai. Kapal yang lebih besar lagi akan digunakan sebagai alat angkut 
yang dapat mengarungi lautan. 
Mengenai perdagangan pada masa Majapahit ataupun pada masa sebelumnya ada  
pada data tertulis, baik prasasti, naskah maupun berita Cina. Perdagangan antar desa, antar 
wilayah, dan internasional dapat diketahui dari prasasti pada masa sebelum Majapahit. 
Prasasti Kamalagyan 959 Saka (1037 M) memberikan informasi bahwa pada saat itu 
pelabuhan Hujung Galuh merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat perdagangan. 
                                                           
Prasasti Kamalagyan juga memberitakan bahwa Airlangga memberikan hadiah kepada warga 
di sekitar bendungan Waringi Sapta yang telah memperbaiki bendungan ini . Perbaikan 
terhadap bendungan dapat memperlancar arus aliran sungai, sehingga pedagang dapat 
menggunakan kembali sungai Brantas sebagai jalur perdagangan. 
“… kapwa ta sukhamanah nikāŋ maparahu samaŋhulu manalapbhanda ri hujuŋ 
ğaluh tka rikaŋ parapuhawaŋ parabanyaga sankariŋ dwipantara samanunten ri hujuŋ 
ğaluh…” 
Artinya: 
“… semuanya bersenang hati orang-orang yang berperahu pergi ke hulu mengambil 
barang dagangan di hujung galuh demikan pula nahkoda kapal, para pedagang dari 
berbagai pulau mereka pergi ke hulu di hujung galuh” 26 
 
Ada beberapa sumber sejarah yang di dalamnya secara jelas menunjukkan deskripsi 
lokasi pelabuhan Canggu. Sumber-sumber sejarah itu yaitu  Prasasti Canggu yang berisi 
tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-
aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas penyeberangan. Prasasti Canggu 
menggambarkan bahwa Canggu merupakan nama suatu desa penyeberangan. Panji 
Marggabhaya disebutkan sebagai petugas penyeberangan atau lebih tepat disebut sebagai 
pengelola pelabuhan Canggu. Seperti tertera di dalam kutipan prasasti Canggu sebagai 
berikut: 
….. makādi mahādwija. i pingsornyājñā pāduka çri mahārāja. kumonakěn ikanang 
anambangi sayawadwipamandala. makādi pañji marggabhaya. makasikasir ajaran 
rata. sthatita. munggwi canggu pagawayakna sang hyang ājñāhaji praçasti. 
rājasanagaralañcana. munggwe salah sikining tāmra. riptopala. kapangkwa 
denikang anāmbingi sayawadwipamandala. 
terjemahan: 
Adapun isi pertulisan perintah Raja itu, setelah diturunkan kepada para 
pegawai rendah, ialah supaya segala orang disegenap mandala Pulau Jawa 
diseberangkan, terutama sekali Panji Marggabhaya yang bertempat tinggal di Canggu 
harus melaksanakan pertulisan perintah Raja menjadi piagam perunggu bertanda 
lencana Rajasanegara dan digariskan atas piagam perunggu atau di atas batu. Piagam 
itu harus dipegang teguh oleh semua orang yang menambang penyeberangan 
disegenap mandala Pulau Jawa. 
 
Aktifitas perdagangan di pelabuhan Canggu dan sekitarnya menguntungkan kerajaan 
Majapahit, sehingga Hayam Wuruk memberikan hak swatantra atas jasa pengelola 
pelabuhan-pelabuhan sungai. Hak atas swatantra itu diberikan kepada Panji Margabhaya, dan 
Panji Angraksaji. Panji Margabhaya merupakan pengelola pelabuhan-pelabuhan sungai yang 
                                                           
bertempat tinggal di Canggu, sedangkan Panji Angraksaji bertempat tinggal di Terung. Panji 
Marggabhaya dan Panji Angraksaji merupakan pegawai rendah yang ditugaskan oleh Hayam 
Wuruk untuk mengelola pelabuhan Canggu dan pelabuhan Terung. 
Prasasti Canggu juga mengatur hak dan kewajiban para penambang perahu. Tukang 
tambang memperoleh hak istimewa sehingga dapat melayani penumpang dengan baik dalam 
menunaikan kewajibannya. Para penambang ini  tidak dikenai pajak atas kegiatannya, 
bahkan mereka juga diperbolehkan mengadu ayam dan berjudi, tanpa dikenai denda oleh 
kerajaan. Ketentuan atas hak para penambang dalam melakukan tugasnya dijelaskan pada 
prasasti Canggu, sebagai berikut: 
kuněng asing awakanya, swāmigata. lungha sangke swāminya. tan bwatana 
ktekang anambangy angěntasakěn sangkeng nadítira yadin sādhu prawrěttinyang 
anamambangi. kalut sangkeng astacora, muwah yan hana stri karěm asing 
awakanya. kasambut ta ya denda nganambangi tan sanggahěn strisanggrahana kteka 
nganambangy angěntasakěn anambut iriya. muwah yan hana wwang kapūrwwarěnan 
tinambang aweh ta yeng anambangy asing awakani pawehanya. yadyapin 
olihanyanyaya. ikang pawehnya. tan dosana tekang anambangi tan sanggahěn 
anganggapi dusta. muwah ri sdenganikang anambangi amwata padatining akalang. 
dagangan asing awakanya. karěm pwekang dagangan. tan bwatana tekang 
anambangi, ndatan wehana ta ya tambangan yan cirnekang dagangan muwah.. 
terjemahan: 
walaupun bagaimana kedudukannya: baik ditinggal suaminya atau 
meninggalkan suami, maka tidaklah dibolehkan tukang penambang menyeberangkan 
mereka dari sisi sungai ke sisi yang lain, apabila tingkah laku tukang penambang itu 
senonoh adanya. Hal demikian berlaku juga bagi delapan jenis pencurian. Selanjutnya 
apabila ada seorang wanita tenggelam ke dalam air, walaupun bagaimana juga 
kedudukannya, maka penambang ini  diperbolehkan memegang badannya pada 
saat membawa ke seberang. Selanjutnya apabila di antara orang yang diseberangkan 
itu ada yang belum melunaskan hutangnya, maka mereka diharuskan supaya 
menjaminkan tubuhnya, jikalau perbuatan itu berakibat aniaya, maka perlakuan itu 
menjadi ganti penyeberangan dan terhadap tukang penambang perbuatan itu tidaklah 
dimasukkan ke dalam tindak kejahatan, dan mereka itu tidak dipandang bersalah dan 
menjalankan kejahatan. Selanjutnya apabila pada saat menyeberangkan kepadanya 
ditunjukkan suatu beban, bagaimanapun jenisnya bila barang itu jatuh ke dalam air, 
maka tukang penambang itu tidak bertanggung jawab atas peristiwa itu, dan mereka 
tidak berkewajiban membayar barang yang hilang pada saat penambang ini . 
 
3. Pelabuhan Bea Cukai 
Pajak pada masa Majapahit diperoleh dari banyak sektor, diantaranya: sektor 
pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor pelayaran. Keempat sektor ini  
diberi perhatian oleh penguasa perdagangan karena diharapkan dapat memberikan kontribusi 
                                                          
besar terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat.  Pajak perdagangan 
mulai dipungut ketika barang dagang dari luar memasuki wilayah Majapahit. Pajak semacam 
ini dapat dikatakan sebagai pajak bea dan cukai. Selain itu pemungutan pajak juga berlaku 
pada alat angkut barang dagang berupa perahu yang sandar di pelabuhan Canggu yang dapat 
dikenai pajak sandar.  
Pada prasasti Canggu diperoleh informasi mengenai tata cara pemungutan pajak 
dagang. Urusan pajak dagang diserahkan kepada pengelola pelabuhan, dan dalam waktu 
tertentu mereka diharuskan menyetor target pajak yang sudah ditetapkan. Seperti yang 
dijelaskan pada Prasasti Canggu lempeng IXa baris ke-5 sampai 6 dengan bunyi demikian: 
“panji marggabhya, mwang panjayangraksāji. kyajaran rāgi sthāpita munggwi trung. 
manghanaken tā pamūjāngken sārini puspanyānghaturakén sambah ri sang hyang 
ājñā haji praçasti. 400, ring sarahi mijil angkěn pūrnnamaning āsāda” 
terjemahan: 
“ Panji Marggabhaya, Panji Angraksaji, dan Ki Ajaran Ragi yang bertempat tinggal di 
Terung maka mereka mengirimkan bunga cukai pada tiap-tiap pemujaan sebagai 
tanda kehormatan memuliakan Pertulisan Perintah Raja, yaitu: 400 mata uang 
masing-masing orang yang harus dibayar pada tiap-tiap hari terang bulan Asada 
(bulan keempat)….” 
 
Prasasti Canggu di atas menerangkan bahwa setiap bulan Asada pengelola Pelabuhan 
yang memperoleh hak istimewa ini  wajib memberikan sesembahan berupa mata uang 
sebanyak 400 kepada raja. Hasil cukai yang didapat dari pajak sandar tidak ditentukan dalam 
prasasti Canggu, tetapi pihak pengelola diharuskan membayar sebanyak 400 kepada raja 
sebagai tanda bakti. Perolehan hasil cukai dari pelabuhan dipastikan lebih banyak dari cukai 
yang diberikan kepada raja setiap bulan Asada. 
 Sistem penarikan cukai yang dilakukan di pelabuhan Canggu maupun pelabuhan yang 
lain tidak diuraikan dalam prasasti. Sistem penarikan cukai baru dapat diketahui dari dapat 
diketahui dari laporan Dong Xi Yang Kao yang ditulis pada tahun 1618. Laporan Dong Xi 
Yang Kao ini ditulis ketika mengunjungi pelabuhan Banten, dalam laporannya diterangkan 
bahwa ketika kapal Cina tiba di pelabuhan, seorang ketua akan naik kapal. Kapten kapal akan 
memberi sekeranjang jeruk dan dua buah payung kecil. Setelah itu sang ketua segera menulis 
surat untuk raja. Buah-buahan dan kain sutera segera dikirimkan sebagai hadiah bagi sang 
raja ketika kapal memasuki sungai. Syahbandar memiliki  enam anak buah, yang terdiri 
dari empat orang Cina dan dua orang pribumi. Orang Cina yang mengerti bahasa asing 
                                                           
bertindak sebagai penerjemah. Orang pribumi bertugas untuk mengurus bidang 
administrasi.
 Keterangan dari laporan Cina ini  menunjukkan bahwa ada  dua jenis pajak 
yang diberikan kepada penguasa setempat, yaitu pajak resmi dan pajak tidak resmi. Pajak 
resmi yaitu  pajak perdagangan berupa cukai perdagangan ekspor dan impor dan wajib 
dibayar oleh seluruh pedagang. Pajak pajak tidak resmi yaitu  hadiah yang diberikan kepada 
penguasa setempat agar urusan perdagangan menjadi lancar. Adrian B. Lapian menjelaskan 
hal yang sama, menurutnya selain membayar bea cukai pedagang harus membawa pula 
barang persembahan untuk raja, bendhara, tumenggung, dan syahbandar besarnya nilai 
barang ditetepkan oleh syahbandar. Peraturan yang ditetapkan oleh umumya syahbandar 
tidak akan menuntut jumlah yang berlebihan dari pedagang yang senegerinya.  
 Kidung Sunda menceritakan bahwa untuk menjamu raja Sunda, raja Majapahit 
memerintahkan menyediakan hidangan berupa manisan dan arak. Kedua jenis hidangan ini 
dimintakan dari syahbandar. Pemberitaan dalam Kidung Sunda ini  menginformasikan 
bahwa Syahbandar juga memiliki kewajiban menyediakan keperluan raja dalam menyambut 
tamu kerajaan. Syahbandar dapat dipastikan meminta barang persembahan kepada pedagang 
Cina karena arak merupakan komoditi perdagangan dari Cina. 
  
 
 Majapahit dalam sejarahnya yang panjang dikenal sebagai kerajaan yang besar dan 
menguasai hampir seluruh daerah di Nusantara. Keberhasilan ini tidak lepas dari proses 
pemanfaatan kondisi alam. Secara geografis, Majapahit yang terletak di pedalaman 
memungkinkannya menjadi kerajaan agraris dengan hasil alam sebagai tumpuannya. Namun, 
lebih dari itu Majapahit juga bertransformasi menjadi kerajaan maritim yang kuat. Majapahit 
mampu mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur perdagangan dari pedalaman menuju 
hilir (pesisir) dan membuat pelabuhan-pelabuhan dagang di sepanjang aliran sungai. Salah 
satu pelabuhan yang penting pada masa Majapahit yaitu  Pelabuhan Canggu. Letak 
pelabuhan Canggu di masa Majapahit, pada masa kini dapat diidentikkan dengan Desa 
Canggu di Kecamatan Jetis Mojokerto. Pelabuhan ini tidak berdiri sendiri, ada beberapa 
pelabuhan penopang lain, di antaranya Pelabuhan Bubat yang sekarang dapat diidentikkan 
                                                           
dengan Desa Tempuran, Kecamatan Sooko Mojokerto, dan Pelabuhan Terung yang terletak 
di Dusun Terung Kecamatan Krian, Sidoarjo. Sementara itu, Pelabuhan Canggu memiliki  
fungsi yang beragam diantaranya sebagai pangkalan militer, pelabuhan dagang, bahkan 
pelabuhan bea cukai. berdasar  fungsinya, Pelabuhan Canggu mampu menjadi salah satu 
penopang kemakmuran Majapahit.