Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 3. Tampilkan semua postingan
kerajaan di jawatimur 3
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
kerajaan di jawatimur 3
dewa‘ (Yaksa, Raksasa, Pisaca, Pretasura, Gandharwa, Bhuta, Khinnara,
Widhyadhara, Mahoraga), mahluk penjaga pintu semesta (Mahakala, Nandiswara), unsur
bintang (caturasra) dan juga arwah-arwah leluhur yang melindungi bumi dan keraton (rahyangta
rumuhun, sirangbasa ing wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kadatwan dst-)
Perlu ditegaskan bahwa pengelompokan dan tata-urut penyebutan dewata itu tidak selalu
sama dan lengkap. Beberapa prasasti memuat susunan kalimat kutukan pendek dan hanya
menyebut beberapa tokoh, namun ada pula yang panjang dan memuat deretan dewata dalam
jumlah banyak. Demikian pula susunannya tidak selalu menunjukkan urutan yang hirarkis di
mana dewa-dewa utama disebut mendahului nama-nama lain yang memiliki kedudukan di
bawahnya.
Menarik pula untuk diungkapkan walaupun kedua agama (Hindu Budha) dipeluk
sebagian besar warga Kediri, namun kepercayaan asli, masih dapat diamati melalui
tinggalan-tinggalan sejarah dan arkeologi. Kepercayaan asli merupakan kepercayaan yang
berkembang sebelum kedua agama itu masuk dalam kehidupan warga Kediri. Konsep yang
mendasari kepercayaan asli adalah anggapan bahwa alam semesta didiami oleh makhluk-
makhluk halus atau roh-roh. Manusia selalu menjalin hubungan dengan roh-roh ini agar
terhindar dari marabahaya dan memperoleh kesejahteraan.
Anggarapan adanya makhluk halus/roh merupakan unsur keyakinan yang mencakup
konsepsi tentang nenek moyang yang senantiasa memberi perlindungan dan kesejahteraan.
Sehubungan dengan kepercayaan itu, lalu muncul bentuk-bentuk ritual , misalnya ritual
pemujaan terhadap nenek moyang atau roh leluhur melalui bangunan-bangunan megalitik berupa
batu dalam bentuk menhir, arca-arca sederhana, tahta batu, punden berundak, dan lain-lain.
Dalam kepercayaan asli berkembang pula anggapan bahwa gunung merupakan tempat arwah
nenek moyang bersemayam. Dengan demikian gunung dianggap sebagai tempat suci dan
keramat . Susunan bangunan yang menerapkan konsep pemujaan arwah
roh leluhur adalah bangunan yang termasuk budaya megalitik. Dasar kebudayaan megalitik
adalah kepercayaan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan
adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan warga . Jasad seorang
yang telah meninggal dipusatkan pada bangunan batu yang kemudian menjadi media pemujaan
dan tahta kedatangan serta lambang si mati.
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa Kediri dapat diketahui dari
berbagai aspek, di antaranya adalah susunan bangunan serta lokasi penempatan di tempat-tempat
yang tinggi, seperti di lereng gunung atau daerah perbukitan atau puncak gunung. Misalnya
dapat dilihat di Gunung Kelud, Gunung Arjuna, dan Gunung Penanggungan.
Keberadaan bangunan keagamaan di lereng gunung, merupakan salah satu ungkapan
kepercayaan bahwa tempat yang tinggi adalah tempat yang suci, tempat bersemayam para
leluhur. Para leluhur atau nenek moyang yang bersemayam di puncak gunung diharapkan datang
untuk memberi kesejahteraan dan kesuburan bagi warga di sekitarnya. Sudah tentu untuk
mendatangkan para roh ini harus melalui proses ritual /ritual sesuai dengan kepercayaan
warga pada waktu itu.
Susunan Dewa - dewa
Meskipun agama Hindu dan Buddha memiliki kemiripan datam konsepsinya tentang
kebenaran tertinggi, namun keduanya memiliki perbedaan dalam menggambarkan dewa-dewa
yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan akhir. Datam kedua agama itu dikenal dewa-dewa
yang merupakan tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh pendamping. Dalam agama Hindu
personifikasi dari dewa-dewa pokok itu adalah tokoh kedewataan yang memiliki kisah hidup
sebagaimana manusia, namun dapat juga mewakili suatu pengertian yang melambangkan konsep
tertentu sebagaimana telah dikemukakan di atas. Berlainan dengan itu, dalam agama Buddha
tokoh-tokoh utama bukanlah tokoh mitos sebagaimana dewa-dewa Hindu, melainkan semata-
mata merupakan lambang dari konsep tertentu.
Hal serupa juga berlaku pada dewa-dewa yang tingkatannya berada di bawahnya. Pada
susunan dewa-dewa Hindu, tokoh-tokoh di bawah dewa utama biasanya dianggap memiliki
hubungan kekerabatan atau hubungan ‗kesejarahan‘ dengan dewa-dewa utama ini , misalnya
hubungan antara Siwa dan Ganesa adalah hubungan antara ayah dan anak. Sedangkan dalam
agama Buddha, tokoh-tokoh di bawah dewa utama adalah perwujudan lebih rendah atau emanasi
dari dewa utamanya. Hubungan antara tokoh utama dan tokoh pendamping bukanlah hubungan
kekerabatan, melainkan suatu lambang yang mewakili struktur konsep. Baik dalam agama Hindu
maupun Buddha tokoh-tokoh pengiring bisa disusun dalam tata unit panjang, sehingga
pernah mengusulkan untuk membedakan dewa-dewa pengiring menjadi
dua bagian, yakni ‗pengiring besar‘ dan ‗pengiring kecil‘.
Dalam agama Hindu di bawah dewa utama Siwa ada ‗pengiring besar‘ yang
mencakup Durga, Ganesa, Agastya, Nandiswara dan Mahakala. Sedangkan mereka yang
tergolong ‗pengiring kecil‘ adalah mahluk-mahluk kahyangan, misalnya para Kinnara, Gana,
Bhuta, dan lain-lain yang umumnya tidak memiliki nama pribadi. Dalam agama Buddha yang
tergolong ‗pengiring besar‘ adalah para Boddhisattwa, misalnya Padmapani, Awalokiteswara,
Manjusri, dan lain-lain. Termasuk ‗pengiring kecil‘ adalah dewa-dewa yang nama-namanya
mewakili unsur ‗panca indera‘ (biasanya menggunakan kata wajra di depan atau akhir namanya)
Dalam bagian ini perhatian akan dipusatkan pada dewa-dewa utama
dengan beberapa tokoh yang tergolong ‗pengiring besar‘. Meskipun demikian, akan
dikemukakan juga beberapa tokoh lain yang kehadirannya dapat dijadikan petunjuk untuk
memahami perkembangan orientasi pemujaan di Jawa.
Dalam agama Hindu dikenal tiga dewa utama yang biasanya menjadi sasaran pemujaan,
yakni Siwa, Wisnu, dan Brahma. Di Jawa kemunculan dewa Siwa biasanya disertai dengan
dewa-dewa lain yang termasuk ‗keluarga Siwa‘ sehingga terkesan bahwa pemujaan kepada Siwa
termasuk juga pemujaan kepada dewa-dewa ‗pengiring besar‘ ini. Di samping itu, ada
petunjuk bahwa pada masa tertentu dewa perempuan menempati kedudukan penting yang
dikenal dengan sebutan sakti. Di bawah ini dikemukakan secara garis besar kemunculan dewa-
dewa ini .
Pada masa Jawa Timur tidak pernah ditemukan kehadiran tiga dewa Trimurti sekaligus
dalam satu candi. Dalam beberapa kasus, pernah dijumpai arca dewa Brahma di dalam candi atau
di lingkungan candi yang bersifat Siwa, misalnya di candi Gurah dekat Kediri dan di dekat candi
Singhasari. Namun, identitas tokoh ini masih menimbulkan persoalan (lihat uraian tokoh
Brahma). Arca Wisnu yang lazim dijumpai dalam kesatuan Trimurti tidak pernah dijumpai di
kedua tempat ini ,
Peninggalan-peninggalan masa lalu, Timur, menunjukkan bahwa agama Hindu yang
dianut pada masa Jawa Kuno cenderung beraliran Siwa. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan
bahwa hampir di semua candi yang ditemukan bersama-sama arcanya dijumpai arca Siwa atau
lingga yang menjadi simbolnya, Sebagai dewa tertinggi, Siwa dapat
digambarkan dalam berbagai wujud sesuai dengan situasinya. Di Jawa perwujudan yang paling
sering dijumpai adalah dalam bentuk lingga.
Pada masa Jawa Timur, di samping dijumpai lingga-batu dalam bilik
utama candi, juga dijumpai lingga-logam yang menjadi satu dengan yoni-
nya dan juga lingga yang ditampilkan sebagai motif hiasan lampu
perunggu yang dikenal sebagai kisah episode Lingodbhawamurti. Di candi
Singasari, wujud lingga-batu yang berpasangan dengan yoni-nya
diketahui masih berada di tempat aslinya, yakni di bilik pusat. Keadaan
serupa ini tidak berbeda dengan apa yang dijumpai di candi-candi Jawa
Tengah. Apa yang tampak istimewa adalah bahwa bangunan candinya
itu sendiri agaknya dirancang sebagai sebuah lingga-yoni dalam bentuk
monumen. Dalam konstruksi ini lapik candinya secara jelas dibuat
sebagai yoni dengan cerat menghadap ke utara, sedangkan bagian lingga
tentunya adalah bagian tubuh hingga atap candinya.
Pada masa Jawa Tiinur ini bentuk lingga sebagai simbol Siwa tampaknya memang
menempati kedudukan istimewa. Di Panarukan, misalnya, dijumpai sebuah lingga emas beserta
yoni-nya. Ukurannya yang hanya 10,5 cm serta bagian yoni-nya yang tidak memiliki saluran air
sebagai penampung air siraman sebagaimana umum dijumpai
pada lingga-yoni dari batu, merupakan petunjuk bahwa benda ini digunakan untuk keperluan
khusus, mungkin sebagai sarana pemujaan yang terbatas di lingkungan keraton. Selain itu, lingga
juga ditampilkan dalam bentuk motif adegan pada lampu perunggu. Adegan itu diambil dari
suatu kisah tentang keunggulan Siwa yang dikenal dengan ceritera Lingodhbhawamurti. Lampu
perunggu ini dijumpai di Sirah Kencong (kaki Gunung Kawi), Blitar. Episode ini diambil dari
mitos awal pemujaan lingga. Dalam mitos ini dikisahkan tentang pertengkaran dewa Brahma
dengan Wisnu mengenai siapa di antara mereka yang paling unggul. Pada saat yang sama
muncul Siwa dalam bentuk tiang yang diselimuti ribuan nyala api semesta yang tanpa ujung dan
pangkal. Brahma (dalam bentuk angsa) mencoba mencari ujungnya ke udara tidak berhasil dan
Wisnu (dalam bentuk babi hutan) juga gagal untuk mencari pangkalnya di dasar bumi.
Menyadari ketidak-mampuannya itu, mereka berdua mengakui bahwa Siwa-lah yang paling
unggul , Episode mitos ini juga dikenal dalam kesusasteraan Jawa Kuno,
Bhomakawya, yang digubah pada masa Kadiri, abad ke-11 hingga awal abad ke-13 (). Dari keterangan ini telah jelas bahwa Siwa diakui sebagai dewa utama
di antara dewa-dewa Trimurti.
Di samping berupa lingga, Siwa juga ditampilkan dalam wujud manusia atau
antropomorfis. Dalam wujud ini ia digambarkan dalam dua karakter, yakni dengan pembawaan
tenang yang biasanya digambarkan sebagi Siwa Mahadewa dan dengan pembawaan ganas
(kroddha) yang dikenal sebagai Siwa Mahakala. Dalam katakter pertama ia ditampilkan
mengenakan pakaian kebesaran, menggunakan mahkota dengan hiasan tengkorak-bulan sabit
(chandra-kapala), tangannya empat dengan membawa tanda-tanda kedewataan berupa trisula,
camara, aksamala, dan kendi (kamandalu).
Di Jawa Timur arca Siwa Mahadewa dari batu yang telah banyak dikenal adalah arca
Siwa dari candi Kidal yang dianggap sebagai ‗arca-potret‘ Raja Anusapati dari Singhasari.
Berbeda dengan arca sejenis dari Jawa Tengah, dari empat tangan Siwa hanya dua yang
memegang laksana, yakni tangan-tangan belakang, sedangkan dua tangan depan ditempelkan di
bawah dada. Tangan kanan mengepal dengan ibu jari menghadap ke atas dan telapak tangan kiri
sebagai penyangganya. Sebuah lagi dalam ukuran yang lebih kecil dijumpai di Mojokerto. Posisi
tangan arca ini mirip dengan arca sebelumnya, yakni dua tangan depan ditempelkan di bawah
dada, namun posisi kedua telapak tangannya dilekatkan satu sama lain dengan ibu jari kedua
tangan dipertemukan. Di puncak persentuhan ibu jari itu ditempatkan sekuntum bunga. Arca ini
juga dikenal sebagai ‗arca-potret‘ Arca-arca jenis ini juga
ditemukan di luar konteks percandian, di antaranya pernah dilaporkan berasal dari Mojokerto,
Malang, Kediri, Surabaya dan Probolinggo
Penggambaran Siwa dalam bentuk Bhairawa hanya dijumpai pada masa Jawa Timur.
Arca ini ditemukan di dekat candi Singasari dan dikenal dengan nama Cakracakra. Arca ini
ditampilkan tanpa mengenakan pakaian sama sekali kecuali perhiasan berupa mahkota, kalung
dan sabuk yang semuanya terbentuk dari susunan tengkorak manusia. Wajahnya ditampilkan
sebagai wajah raksasa dengan mulut terbuka hingga gigi dan taringnya tampak, mata melotot,
dan rambutnya mengikat terjurai. Tangannya berjumlah empat, dua tangan belakang masing-
masing memegang tombak bermata tiga (trisula) dan kendang kecil (damaru), dua tangan-depan
masing-masing memegang pisau belati dan mangkuk tengkorak manusia. Tokoh ini digambarkan
dalam posisi duduk di atas kendaraan berupa srigala dan sebagai landasannya berupa deretan
tengkorak manusia ,
Letak asli arca ini tidak diketahui. ada dugaan bahwa arca ini berasal dari bilik
tengah candi Singasari, namun dilihat dari aturan ikonografinya tidak cocok mengingat di dalam
bilik pusat candi ini sudah ada lingga. Dugaan lain yang dikemukakan adalah bahwa arca ini
merupakan sebuah arca utama yang menempati bangunan tersendiri yang terletak di dekat candi
Singhasari. Bangunan ini dilaporkan terdiri dari tiga bilik berderet arah utara selatan. Di dalam
bilik pusat candi inilah arca Bhairawa kemungkinan berasal sebab bilik urara dan selatan
ditempati oleh dua arca yang masing-masing menggambarkan aspek tenang dan aspek kroda dari
Dewi (isteri Siwa). Aspek tenang dari isteri Siwa diwujudkan dalam bentuk arca Parwati
bertangan empat yang diapit oleh dua pengiring di kiri kanan. Di atas kedua arca pengiring ini
ada relief tokoh Ganesa dan Siwa (kanan), dan tokoh Bhairawa bersama Kartikeya (kiri).
Aspek krodha diwujudkan dalam bentuk arca Camunda yang bertangan delapan yang diapit oleh
arca Bhairawa di kiri dan Ganesa di kanan. Sebuah inskripsi yang dipahatkan pada arca
menunjuk angka tahun 1292 M . Mengingat penggambaran
Bhairawa pada kedua arca Dewi ini menggambarkan replika dari arca Bhairawa yang besar maka
kemungkinan ini tampaknya lebih masuk akal.
Variasi lain dari penggambaran Siwa yang bersifat krodha adalah dalam wujud
triwikrama atau krurabhairawa. Penggambaran secara demikian tidak ditemukan dalam bentuk
arca namun hanya dikemukakan dalam karya sastra, khususnya dalam Smaradahana. Dalam
wujud ini ia digambarkan memiliki badan yang sangat besar, tingginya melebihi angkasa,
berkepala tiga, matanya seperti matahari dan bulan, lubang hidungnya besar, taringnya tajam,
dan memiliki tangan seribu z
Di samping ditampilkan sebagai tokoh yang berdiri sendiri. Siwa juga ditampilkan
dengan tokoh pasangannya atau istrinya, yakni Uma atau Parwati. Dalam komposisi serupa ini
Siwa antara lain ditampilkan dalam bentuk Ardhanareswari, yakni penggambaran aspek laki-laki
dan perempuan yang diwujudkan dalam satu tokoh. Di Jawa Siwa dalam wujud ini diketahui ada
18 buah arca. Dari jumlah ini , 15 buah diketahui berasal dari Jawa Timur, sedangkan tiga
lainnnya tidak diketahui asalnya. Arca-arca ini diketahui berasal dari candi Jawi, candi
Tigawangi, Singasari, Mojokerto, Surabaya, Malang, dan Kediri ,
Penjelmaan Siwa dalam bentuk ini juga disebutkan dalam sumber-sumber kakawin dari masa
Kadiri, yakni Arjunawiwaha dan Smaradahana
MONUMEN MASA KEDIRI
Bangunan Peribadatan
Pada masa Jawa Timur khususnya candi-candi dengan kategori bangunan berbilik
didirikan tahun 760. Candi-candi Hindu ini umumnya tidak memiliki pembatas halaman yang
tegas, atau bahkan mungkin tidak ada. Namun, semuanya adalah bangunan yang memiliki bilik
untuk menempatkan arca atau lingga sebagai lambang dewa Siwa. Dilihat dari segi ukurannya,
bangunan-bangunan ini tampaknya hanya mampu menampung sedikit jemaat dan mungkin juga
dengan pengaturan prosesi yang tidak terlalu rumit.
Pada periode ini dijumpai juga candi-candi Hindu di Jawa Timur, yakni candi Badut,
mungkin dibangun tahun 760 dan candi Sanggariti. Bagaimana hubungan antara tradisi
pembuatan candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi pada masa lalu masih merupakan
persoalan, namun dari sudut gaya bangunan ada petunjuk adanya pengaruh dari satu tempat
ke tempat lain. Perbingkaian kaki kedua candi Jawa Timur ini mirip dengan candi-candi di
Dieng. Pembagian vertikal dari proporsi bangunan candi Badut, misalnya, memiliki kemiripan
dengan candi di Dieng dan Gedong Songo, namun penggarapan sebagian hiasannya tampak lebih
maju. Sedangkan candi Sanggariti, denahnya serupa dengan salah satu candi di Dieng, yakni
candi Sembodro . Dalam hubungan ini, arah pengaruh
diduga dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perlu ditegaskan bahwa sebagian dari candi-candi
Hindu tertua ini telah mengalami beberapa kali perombakan atau penambahan, di antaranya
terjadi pada pertengahan pertama abad ke-9 ,
Prasasti-prasasti lainnya menyebutkan bangunan suci yang bernama Sang Hyang
Padadeng Kadawuhan ), dan sejumlah bangunan suci di Kamalgyan yang diberi sebutan-sebutan Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, Wihara, Sala, Kamulan,
Parhyangan, dan Parapatapan, dengan keterangan tambahan bahwa yang terpenting adalah
bhuktyan sang hyang dharma ring isanabhawana yang diberi nama Surapura ,Bagaimana bentuk bangunan-bangunan suci ini tidak
diketahui, terapi mengingat sisa-sisanya tidak ada maka dapat diduga dibuat dari bahan-bahan
organik yang mudah rusak sebab faktor cuaca dan waktu.
Satu-satunya sisa bangunan candi dalam arti rumah dewa hanya dijumpai sebuah dari
periode Jawa Timur awal ini, yakni candi Gurah, bangunan candinya telah hancur terapi
beberapa arca yang ditemukan masih bagus. Segi bangunannya memperlihatkan periode Jawa
Tengah, namun dari penggarapan seni arcanya mirip seni arca abad ke-13. Sedangkan huruf
prasasti yang ditemukan mirip dengan tulisan abad ke-11 dan ke-12. Oleh sebab itu, Soekmono
menyebut kepurbakalaan ini merupakan penyambung dari gaya seni Jawa -Tengah dan Jawa
Timur , Di samping itu, ada kemungkinan bangunan-bangunan kecil
yang dibuat dengan bahan mudah rusak didirikan untuk memuja Buddha sejak awal abad ke-10,
khususnya pada masa Sindok hingga Airlangga, sebagaimana tercermin dalam beberapa prasasti
dari masa pemerintahan kedua raja ini z
Dibandingkan dengan candi-candi di Jawa Tengah, candi-candi di Jawa Timur tidak
banyak yang dirancang dalam suatu gugusan besar. Satu-satunya yang masih tampak dengan
jelas adalah candi Panataran. Namun, gugusan candi ini tidak mencerminkan rancangan
bangunan yang ‗selesai‘ (sebagaimana terkesan pada gugusan candi-candi di Jawa Tengah),
melainkan merupakan bangunan peribadatan yang memungkinkan sejumlah bangunan baru
‗tumbuh‘ ke arah yang tidak terpola. Hal ini tercermin di dalam pahatan angka tahun yang
berbeda-beda pada bangunan-bangunan yang berbeda, di antaranya 1369 (candi Angka Tahun),
dan 1375 (Teras Pendopo) (Dumarcay 1986:98), Angka tahun yang berbeda-beda juga dijumpai
pada sebagian arca-arcanya, khususnya arca-arca penjaganya (dwarapala), yakni 1319 (dua
buah), 1320 (dua buah), dan 1347 (empat buah)
Bangunan yang menari di wilayah Kabupaten Kediri adalah candi Surawana, walaupun
candi ini mungkin dibuat pada masa kerajaan Majapahit. Candi Surawana terletak di Desa
Surawana, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Penduduk menyebutnya juga dengan nama Candi
Bloran. Candi Surawana terletak sekitar 300 m sebelah timur jalan raya Pare-Kediri. Candi yang
menghadap ke arah barat ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 7,80 m x 7,80 m. Bagian
candi yang masih tersisa adalah bagian kaki dan tubuhnya saja, sedangkan bagian atapnya sudah
tidak ada lagi. Bangunan candi ini terbuat dari batu andesit di bagian atas, sedangkan pondasinya
terbuat dari batu bata yang terletak pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan tanah.
Pada bagian kaki candi ada beberapa pelipit yang berelief, terutama yang berada di
atas dan di bawah panil-panil berelief, Pada bagian tubuh candi jumlah pelipitnya semakin
sedikit, dan pelipit ini digantikan oleh hiasan-hiasan tonjolan di atas pelipit yang berbentuk
padma. Pelipit mahkota yang membatasi tubuh dan atap candi masih tampak sebagian saja.
Secara keseluruhan proporsi bangunan Candi Surawana ini tampak tambun, tidak seperti halnya
candi-candi di zaman Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini didukung oleh
kurangnya hiasan-hiasan atau panil-panil yang berposisi tegak, dan yang dimiliki hanya berupa
pilar-pilar berhias dan berelief pada bagian sudut bangunan kaki dan tubuh candi saja. Pilar-pilar
ini mempunyai relief berupa gana yang posisinya sedang duduk berjongkok, dengan tangan
ke atas dan seakan-akan mendukung tubuh candi. Pada setiap sisi kaki candi ada tujuh panil
yang semuanya berada di tengah dengan ukuran lebih besar dan posisinya tegak. Semua panil ini
mempunyai relief binatang, yaitu cerita Tantri. Sedangkan pada tubuh candi, yaitu masing-
masing di sisi selatan, timur, dan utara ada tiga panil. Sebuah panil besar diapit oleh dua
buah panil kecil, dan panil-panil besar ini bereliefkan cerita Arjunawiwaha, sedangkan panil-
panil kecil yang berada di sudut-sudut bereliefkan cerita Bubuksah (sudut timur laut), cerita Sri
Tanjung (di sudut tenggara) dan Arjunawiwaha (di sudut barat daya). Relief-relief ini
adalah:
Relief Sri Tanjung. Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa, suaminya sendiri sebab fitnah
Raja Sulakrama dan Negeri Sindureja. Dalam perjalanan ke dunia roh Sri Tanjung naik ikan
melintasi sungai (relief seorang wanita naik ikan). Sidapaksa duduk di tepi sungai yang dilalui
roh Sri Tanjung (relief seorang lelaki duduk).
Relief Bubuksah. Bubuksah dan Gagangaking adalah dua orangsakti, dan keduanya
menjalankan ‗laku‘ (perbuatan agar nanti setelah meninggal dapat naik ke surga) berdasarkan
keyakinannya masing-masing. Tindakan Bubuksah adalah memakan semua makanan pemberian
dari Hyang Maha Agung yang ada di dunia, sehingga ia berbadan gemuk. Sedangkan
Gagangaking memilih laku bertapa, menjauhi makan dan minum, sehingga ia berbadan kurus.
Pada pigura tampak dua orang, seorang kurus dan seorang gemuk sedang duduk berhadapan.
Dalam pigura itu Bubuksah memalingkan kepala ke kanan.
Relief Arjunawiwaha. Arjuna tinggal di pertapaan Indrakila yang diikuti oleh para
punakawan. Suatu hari pertapaan kedatangan babi hutan yang ternyata suruhan Niwatakawaca,
yang hendak bermaksud merusak pertapaan dan membunuh Arjuna. Kemudian babi hutan itu
dipanah oleh Arjuna, yang waktunya juga bersamaan ketika Dewa Siwa melepaskan anak
panahnya. Kedua anak panah ini tepat mengenai sasaran, sehingga teijadi pertengkaran
tentang anak panah yang mengenai babi hutan ini . Setelah Arjuna tahu bahwa ia
berhadapan dengan Dewa Siwa, Arjuna menyembah dan Dewa Siwa berhasil membatalkan
tapanya Arjuna, sehingga Arjuna diajak ke khayangan. Pada pigura tampak Arjuna diikuti oleh
dua orang punakawan dalam menghadapi babi hutan yang kemudian kena anak panahnya.
Tangan kanan Arjuna menunjuk anak panah ini , sedangkan tangan kiri berada di
pinggangnya. Di depan babi hutan berdiri Dewa Siwa, yang posisi tangan kanannya berada di
pinggang, sedangkan tangan kirinya sedang memegang busur panah.
Berdasarkan keterangan Kitab Negarakertagama, di Candi Surawana ada suatu tempat
yang bemama Shurabhana, yakni sebagai tempat pendharmaan dari Raja Wengker, dan
Shurabhana sendiri sama dengan nama tempat yang sekarang ada, yaitu Surawana. bila hal
ini benar maka pendharmaan Raja Wengker di Shurabhana ialah Candi Surawana. Di dalam
Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa Raja Wengker meninggal pada tahun 1388 M.
bila Candi Surawana didirikan setelah ritual Sradha (ritual pcringatan 12 tahun sesudah
kematian), maka candi Surawana didirikan sekitar tahun 1400 M.
Selain candi Surawana di Kediri juga dijumpai candi yang hampir sama yaitu candi
Tigawangi. Candi Tigawangi terletak di Desa Tigawangi, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri,
atau berada di sebelah barat Candi Surawana dengan jarak sekitar 4,5 km jauhnya. Nama candi
ini ada di dalam Kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa Bhre Matahun didarmakan di
Tigawangi dengan abhiseka darmanya di Kusumapura. Selain itu nama Tigawangi ada juga
di Kitab Negarakertagama, dan selanjutnya dikatakan bila beberapa data dari Kitab Pararaton
digabungkan dengan Kitab Negarakertagama, maka didapat penjelasan bahwa Bhre Matahun
meninggal setelah tahun 1310 Saka (1388 M). bila perkiraan ini benar maka Candi
Tigawangi sebagai pendarmaan dari Bhre Matahun didirikan pada tahun 1400 M (pada saat
ritual Sradha yaitu 12 tahun setelah meninggal).
Candi ini lebih besar dibandingkan dengan Candi Surawana, namun candi ini keadaannya
lebih parah dari pada Candi Surawana. Candi Tigawangi berdenah bujur sangkar dengan ukuran
11,2 x 11,2 m. Bagian-bagian yang masih lengkap adalah kaki dan tubuh candi, Bidang-bidang
yang berisi relief pada candi yang menghadap ke barat itu sebagian besar masih utuh. Pada
bagian kaki candi ada pelipit yang melingkar dan beberapa diantaranya berukir. Tiap-tiap
sisi pada kaki candi ada tiang panil yang berelief, dan sisi genta yang ada pada kaki
candinya juga mempunyai ukiran. Pada bagian tubuh candi, yakni di tengah-tengah ketiga sisi
depan candi ada pilar-pilar tanpa ukiran yang menghubungkan antara tubuh dan kaki candi,
dan pilar-pilar ini tampak belum selesai dikerjakan. Sedangkan di tubuh candinya ada panil
besar yang berelief. Beberapa pelipit pada kaki candi diberi hiasan, dan pada tiap sisi kaki candi
ditemukan tiga panil dalam posisi tegak yang masing-masing diberi hiasan raksasa (gana) yang
posisinya duduk jongkok dengan kedua tangan diangkat ke atas seakan-akan mendukung
sesuatu. Di atasnya ada hiasan berupa tonjolan-tonjolan yang berhias dan melingkari kaki
candi. Di atas tonjolan berhias ini ada sisi genta yang berhias juga. dan hiasan-hiasan
ini dikombinasikan sedemikian rupa sehingga menunjukkan hiasan yang serasi. Sedangkan relief
pada tubuh candi, pada setiap sisi dinding tubuh candinya juga ada dua pigura besar yang
berisi relief. Untuk membaca relief Candi Tigawangi orang harus berjalan mengelilingi candi
dengan arah berlawanan jarum jam. Relief-relief yang berada di pigura-pigura ini
menggambarkan cerita Sudamala, yakni tentang peruwatan. Dalam cerita Sudamala, tokoh yang
diruwat adalah Batari Durga, sedangkan yang meruwat adalah Sadewa.
Bangunan lain di Jawa yang termasuk kategori tanpa bilik dan berupa punden berundak
baru muncul kembali pada masa Jawa Timur, yakni bangunan-bangunan yang biasanya dijumpai
di pegunungan, khususnya di Penanggungan. Bangunan tertua dari jenis ini didirikan pada tahun
1119 M, yakni Jedong, dan termuda dari tahun 1511, yakni Kepurbakalaan LXVII (Van
Romondt 1951:52). Berbeda dengan Borobudur, bangunan di Penanggungan merupakan gugusan
bangunan-bangunan kecil yang tersebar dan lebih banyak memiliki sifat agama Hindu dengan
corak Siwa. Bangunan sejenis lainnya ditemukan kembali di wilayah Jawa Tengah, di lereng
Gunung Lawu, yakni candi Sukuh dan Ceto. Dibandingkan dengan candi-candi di
Penanggungan, candi ini lebih besar ukurannya, juga lebih baik kondisi fisiknya. Candi ini
diketahui berasal dari awal abad ke-15 (1416-1459) dan, sebagaimana candi-candi sejenis di
Penanggungan juga bersifat Siwa
Petirtaan. Telah dikemukakan di depan bahwa bangunan petirtaan terutama dijumpai di
Jawa Timur. Di antara bangunan jenis ini yang telah umum dikenal adalah Jalatunda yang
diperkirakan didirikan pada tahun 899 Saka (977 M), demikian angka tahun yang dipahatkan
pada bangunannya. Bangunan ini didirikan di sisi barat Gunung Penanggungan dan masih
mengalami berbagai perubahan hingga abad ke-14 . Serupa dengan
itu adalah pemandian Belahan. Diduga bangunan ini didirikan untuk memperingati
meninggalnya Raja Airlangga pada tahun 1049; yakni angka kronogram yang dipahat pada
lempeng batu. Menurut rekontruksi, di pusat bangunan ini semula ada sebuah arca Wisnu di
tengah di apit oleh dua arca dewi yang merupakan istrinya, yakni Sri dan Laksmi yang
digambarkan sebagai arca pancuran
Bangunan Gua. Di samping bangunan-bangunan di atas, ada juga
bangunan-bangunan dengan konstruksi yang khas sebab pada umumnya merupakan konstruksi
alam, yakni bangunan gua yang mungkin sekali digunakan untuk bertapa. Kajian mengenai jenis
bangunan ini masih pada tingkat yang sangat awal sehingga belum dapat diperoleh pengetahuan
yang memadai, khususnya mengenai fungsinya. Jumlahnya tidak banyak, namun dijumpai baik di
Jawa Tengah maupun di Jawa Timur
Di Jawa Timur ada di Selomangleng Tulungagung, Selamangleng Kediri (keduanya
diperkirakan dari abad ke-10) dan di Gunung Penanggungan (terutama dari abad ke-14 dan ke-
15). Bangunan ini biasanya hadir di sekitar bangunan-bangunan keagamaan, terutama yang
bercorak Hindu. Bangunan lain yang biasanya berdekatan dengan gua adalah petirtaan. Tidak
diketahui dengan persis apakah ketiganya memiliki hubungan dalam konteks peribadatan
tertentu. Yang jelas, di dalam bangunan gua ini dapat dijumpai relief yang dikenal dalam
bangunan Hindu. Di Gua Selomangleng Tulungagung, misalnya, ada relief adegan yang
diambil dari cerita Arjunawiwaha demikian juga di Gua Pasir. Sedangkan di Gua,
Selomangleng Kediri ada pahatan tokoh Tataghata Amitabha. Dengan demikian, bangunan-
bangunan gua dapat dikaitkan dengan
peribadatan agama Hindu maupun Buddha
Satu lagi candi yang cukup penting di wilayah Kediri adalah candi Gurah. Candi Gurah
ditemukan pada tahun 1957 di Desa Tiru (Gurah), dekat Kediri, oleh seorang petani yang
menemukan patung sewaktu menggali sumur. Candi Siwa ini dibangun dengan bata merah dan
batu andesit. Bangunan utama Candi Gurah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran ± 12 x 12 m.
Candi ini menghadap barat dan ada tiga buah bangunan kecil (menghadap timur)
berhadapan dengan bangunan utama. Candi yang diperkirakan merupakan bangunan arsitektur
bergaya Jawa Tengah mempunyai makara yang di dalam rahang yang terbuka ada patung
burung. Pada candi ini ditemukan tiga buah patung yang utama yaitu patung dengan empat buah
kepala yang diidentifikasi sebagai Brahma dan dua patung lagi yaitu patung Bhatara Surya
(Dewa Matahari) dan patung Chandra (Dewa Bulan). Kedua patung ini mempunyai ukiran yang
indah dan bentuk yang hampir sama namun dapat dibedakan sebab patung Chandra tangan
kanannya terletak di paha kanan, sedangkan tangan kirinya berada diatas lututnya. Sedangkan
kedua tangan Bhatara Surya terletak di atas lutut yang terlipat dimana lutut sebelah kiri terletak
di atas kaki sebelah kanan. Kedua belah telapak tangan ada ukiran bunga. Khusus patung
yang berkepala empat bila ditinjau dari segi trimurti itu kemungkinan bukan dewa Brahma,
namun Bhatara Guru (Shiva atau Guru Agastya). Patung ini diperkirakan dari abad ke-11 - 12 M.
Saat ini ketiga buah patung ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan inventaris No.
8454-8456.
Dapat pula ditambahkan bahwa dari segi sifat bangunannya, gua-gua ini dapat
dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yakni bangunan yang sepenuhnya gua alam tanpa banyak
modifikasi (Dieng dan beberapa gua di Gunung Penanggungan: X,XI,LXI), gua-gua dengan
penggarapan tambahan (Gua Tritis, Lawa, Kendalisada), dan gua-gua buatan (Ratu Baka,
Selamangleng Kediri, Selamangleng Tulungagung, Gua Pasir)
6.2 Relief
Menurut tujuan penggambarannya, relief dapat dibedakan menjadi dua, yakni relief
ceritera dan relief non cerita. Relief jenis pertama dimaksudkan untuk menyampaikan pesan
secara naratif, sedangkan relief non-cerita lebih tekankan pada penyampaian pesan simboliknya.
Dalam kenyataan, hadirnya dua jenis relief ini sering tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan yang lain, sehingga lebih mudah memahami maknanya bila keduanya dikemukakan
sebagai satu kesatuan.
Pada umumnya dipahami bahwa suatu relief dibuat atas dasar kitab sastra atau karya tulis
yang menjadi pegangannya. Namun, berlainan dengan kitab sastra yang umumnya merupakan
karya individual, relief yang dipahat pada candi lebih merupakan karya kolektif yang hanya
dibuat, sekali sehingga tidak memberikan kemungkinan untuk mengalami perubahan pada masa-
masa berikutnya. Meskipun sifatnya berbeda, namun cukup jelas bahwa di antara keduanya
ada kaitan. Dalam hal ini, kitab-kitab merupakan sumber acuan yang digunakan untuk
melukiskan suatu komposisi relief cerita. Bahwa relief-relief cerita itu sebagian besar dipahatkan
pada bangunan keagamaan, kiranya menjelaskan bahwa faktor agama merupakan pertimbangan
utama yang melatarbelakangi hubungan antara pencipta sastra dan pembuat relief.
Agaknya, dapat dikemukakan asumsi bahwa sebab relief dari segi
isinya tidak memiliki perbedaan dengan kitab sastra yang menjadi
acuannya, maka sampai tingkat tertentu keduanya juga memiliki fungsi-
fungsi yang sama. Meski demikian, perlu pula diingat bahwa tidak semua
relief yang dipahat pada dinding-diuding candi di Jawa bersumber dari
karya-karya sastra yang dikenal dalam khasanah sastra Jawa Kuno.
ada juga jenis-jenis relief non-cerita yang sumbernya tidak dapat
dengan mudah ditetapkan. Misalnya relief tentang dewa-dewa dan
mahluk-mahluk lain penghuni kahyangan, di samping satwa biasa yang
dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi-fungsi keagamaan seperti apakah yang mungkin melatarbelakangi pemahatan
suatu relief masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Pertanyaan pokok mungkin dapat
dikemukakan di sini, yakni untuk maksud apa dan ditujukan kepada siapa sebenarnya relief
suatu candi itu dipahatkan? Kita tidak mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan atau tidak
dilakukan para jemaat terhadap gambar-gambar pahatan relief ketika datang ke candi-candi
dalam aktivitas ritualnya. Kita telah mengetahui bahwa ada relief-relief yang harus dibaca secara
pradaksina (berjalan dengan cara menempatkan relief ini di sebelah kanan) dan ada pula
yang sebaliknya, yakni prasawya. Jika memang ada aktivitas ritual semacam itu, keutamaan
apakah yang diperoleh dari jemaat ini ketika tindakan itu dilakukan masih tetap belum
diketahui.
Dapat pula diajukan pertanyaan lain: Adakah kemungkinan bahwa relief cerita itu tidak
semata-mata ditujukan bagi kepentingan jemaat, namun juga diarahkan kepada sasaran lain,
misalnya untuk mengagungkan atau menghormati dewa atau raja yang didewakan di dalam bilik
suatu candi?. Di sini hanya akan dikemukakan dugaan-dugaan atas dasar observasi terhadap
sejumlah relief dan sumber-sumber acuan yang mungkin digunakan untuk menggambarkan
relief-relief ini . Sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang mungkin terkait dengan maksud
penggambaran suatu relief, yakni sebagai sarana penggambaran kosmos besar, sebagai sarana
penggambaran pengalaman spiritual, dan sebagai sarana untuk menghormati dewa atau tokoh
tertemu yang dianggap sebagai tokoh ideal. Berikut ini akan dikemukakan contoh masing-
masing dan selanjutnya dilihat kecenderungan kemunculannya pada periode Jawa Kuno.
Apa yang dikemukakan oleh Sedyawati itu tampaknya tidak bertentangan juga dengan
kenyataan di Jawa Timur. Setidaknya bila dikaitkan dengan penggambaran relief pada bangunan
induk candi Penataran. Bangunan utama candi Penataran tersusun dari tiga ringkatan batur di
bagian bawah dan sebuah badan candi yang ditopang di atasnya. Bagian atap candinya sudah
tidak ada sebab mungkin terbuat dari bahan yang mudah rusak. Mengingat susunan candi
Panataran mirip dengan pura di Bali, ada dugaan bahwa atapnya berupa susunan yang
menggambarkan Meru. Pada dinding luar badan candi induk ini ada relief yang
menggambarkan dewa laki-laki pada sudut-sudut dan relung-relungnya. Di antara kedua posisi
relief ini dipahatkan juga dewa-dewa perempuan dan ular Pada batur ketiga yang menjadi landasan badan bangunan ada hiasan berupa
naga bersayap dan singa bersayap. Pada dinding teras kedua memuat relief Kresnayana. Di
dinding teras terbawah dipahatkan relief Ramayana.
Berdasarkan pilihan wujud-wujud yang digambarkan pada candi induk Penataran itu,
kiranya jelas bahwa keseluruhan reliefnya, dari atas hingga ke bawah, melambangkan suasana
dunia para dewa. Terlebih lagi bila benar bahwa puncak candi induk menggambarkan atap meru
sebagaimana umum dikenal di Bali.
Masih di dalam kompleks candi Penataran ada sebuah bangunan lagi yang memiliki
relevansi dalam pembicaraan ini, yakni candi Naga. Candi ini juga tidak ada lagi atapnya, namun
pada bagian badannya dipahatkan ular besar melilit badan candi ini. Di tempat yang sama juga
digambarkan sembilan orang dengan pakaian kebesaran menyangga badan naga ini
Adegan itu mirip sekali, meskipun tidak identik, dengan episode cerita ‗Pengadukan
Lautan Susu‘ yang dikenal dengan kisah Samudramanthana. Dalam kisah ini pengadukan
samudera itu dilakukan dalam upaya pencarian air amarta (air yang dapat mengekalkan
kehidupan) yang ada di dasar samudera. Alat pengaduknya adalah Gunung Mandara yang
diputar dengan menarik lilitan ular naga Basuki pada bagian kepala dan ekornya oleh para dewa
dan raksasa (tidak digambar di candi Naga). Cukup menarik bahwa pada masa Jawa Timur, relief
dengan episode cerita Samudramanthana cukup populer. Kecuali ada di candi Naga, cerita
Samudramanthana juga dijumpai di candi (tugu) Ampel Gading (Malang), Sirah Kencong
(Blitar) dan candi Kesiman Tengah. Relief ular yang sedang melilit gunung
dengan landasan bunga padma dijumpai sebagai bagian pusat dari candi jalatunda . Dalam hal ini Bosch telah menunjukkan bahwa relief Samudramanthana merupakan
salah satu bentuk kesenian Jawa Kunn yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan
makrokosmos ,
Termasuk ke dalam kategori ini adalah relief Bubuksah dan Gagang-Aking. Relief ini
dipahatkan dalam lima panil di candi Surowana yang bersumber pada cerita tentang dua tokoh
kakak-beradik yang menjalankan kehidupan sebagai pertapa dengan cara yang berbeda sama
sekali dan masing-masing tetap menjalankan caranya sendiri tanpa bersedia dipengaruhi yang
lain. Bubuksah, sang kakak, memakan apa saja yang dapat dimakan termasuk hewan dan
manusia yang berhasil ditangkapnya. Sedangkan Gagang Aking hanya memakan tumbuhan
seperlunya saja. Meskipun keduanya masuk sorga, namun Bubuksah (yang memiiiki jiwa
pengorbanan diri lebih besar) ditempatkan di surga yang lebih tinggi daripada adiknya. Cerita itu
juga dianggap sebagai penggambaran ideal dari cara-cara bertapa yang dilakukan oleh pendeta
Buddha (Bubuksah) dan pendeta Siwa
Contoh lainnya lagi adalah Parthayajna (dipahatkan di candi Jago) yang mengisahkan
tentang usaha Arjuna dalam bertapa di Indrakila untuk mencari kebenaran tertinggi yang
diperolehnya dari beberapa orang guru yang memberikannya pengetahuan tahap demi tahap . Sebagaimana diketahui, bertapa merupakan salah satu cara untuk
mencari kebenaran tertinggi, atau untuk menyatu dengan Atman yang biasanya dilakukan dengan
jalan mengendalikan badan, bicara, dan pikiran
Sarana Menghormat Dewa. Penggambaran relief cerita dalam fungsi ketiga ini tercermin
dalam relief-relief yang menggambarkan kisah tindakan-tindakan kepahlawanan dari para dewa
atau mahluk setengah dewa.
Di Jawa Tengah ada dua relief yang kiranya dapat dimasukan dalam kategori ini, yakni
Ramayana dan Kresnayana yang keduanya dipahatkan di candi Lara Jonggrang. Relief
Ramayana yang dipahatkan di candi Siwa dan Brahma mengisahkan tentang perjuangan panjang
dari Rama, dan Hanoman, melawan Rahwana. Kakawin Ramayana, yang mungkin merupakan
sumber acuan relief ini, menyebutkan pada bagian akhirnya bahwa tindakan Rama sebagai raja
tiga-dunia diharapkan dapat menyebabkan seluruh dunia mengikuti Rama. Selanjutnya, sang
penyair menyebutkan bahwa penulisan syairnya itu dimaksudkan sebagai sumbangan bagi
tercapainya cita-cita ini ,Relief Kresnayana, yang
dipahatkan di candi Wisnu, bersumber dari kisah tentang tokoh Kresna muda yang berperan
sebagai semacam ‗pahlawan cinta‘ yang berhasil merebut sang kekasih (Rukmini) dari laki-laki
lain (Raja Suniti) yang tidak dicintainya
Kedua relief cerita di atas juga dikenal di Jawa Timur. Relief Ramayana, khususnya
bagian akhir, dipahatkan di candi induk Penataran. Sedangkan Kresnayana, kecuali di candi
induk Penataran, juga dijumpai di candi Jago. Dalam hal Jawa Timur, ada kecenderungan
yang menonjol untuk menggambarkan relief-relief ceritera yang diambil dari tokoh-tokoh heroik
yang dikenal dalam kisah Mahabharata. Misalnya adalah Garuda. Tokoh yang dikenal dalam
Adiparwa ini digambarkan sebagai pahlawan yang berhasil membebaskan
ibunya, Winata, dari tawanan para ular anak Kadru setelah sebelumnya
berhasil memperoleh air amerta Penampilan Garuda dalam peranan ini
dijumpai dalam relief-relief yang dipahatkan di candi-candi Kidal,
Sawentar, Kedaton, dan Sukuh.
Tokoh lainnya adalah Sahadewa, sebagaimana tergambar dalam relief yang bersumber
dari cerita Sudamala (Candi Tigawangi). Tokoh-tokoh lainnya lagi adalah Arjuna, sebagaimana
dipahatkan dalam relief Arjunawiwaha (Gua Sela Mangleng Tulungagung, Gua Pasir, Jago,
Kedaton, Candi, Surawana) dan relief Parthayajna (Jago); Kresna dan Sambha dalam relief
Bhomantaka (Kedaton); Bima, khususnya Bima Bungkus dan Nawa Ruci (Sukuh), Gatotkaca dan
Abimanyu dalam relief Gatotkacasraya (Sukuh), Sri Tanjung (anak Sadewa), dalam relief Sri
Tanjung (Penataran, Surawana) dan tokoh-tokoh Pendawa lain (Jalatunda) serta Panji (Penataran,
Kediri). Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa sebagian besar relief candi Surawana di Jawa
Timur terutama bersumber dari kitab Mahabharata. Tokoh yang paling sering ditampilkan adalah
Arjuna, khususnya dalam relief Arjunawiwaha.
Apa yang dapat ditunjukkan di atas adalah beberapa contoh dari kemungkinan fungsi
relief yang dipahatkan pada candi-candi atau bangunan keagamaan pada umumnya. Perlu
dikemukakan di sini bahwa masih ada banyak relief yang tidak diketahui maksud maupun
fungsinya. Satu hal yang cukup jelas adalah bahwa fungsi keagamaan merupakan salah satu
bagian yang penting dari relief. ada juga kemungkinan lain, misalnya sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan-pesan moral, di samping merupakan sarana enkulturasi dari sejumlah kisah
suci yang mewakili tradisi besar dan yang pada awalnya merupakan khasanah tradisi asing.
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa tidak semua relief dipahatkan pada
bangunan keagamaan. Sejumlah relief, juga dengan tema-tema yang biasanya dipahatkan di
candi-candi, dipahatkan pada benda-benda tertentu, misalnya wadah-wadah atau lempeng-
lempeng logam. Relief-relief juga dapat dijumpai pada pelbagai arca, baik sebagai bagian yang
memberi makna pada arca itu sendiri maupun sebagai bagian yang berdiri sendiri. Hiasan yang
terakhir ini biasanya dipahatkan di sisi kiri-kanan atau bagian belakang arca.
Meskipun sebagian besar relief-relief cerita itu memiliki sumber acuan dalam kitab sastra,
namun cerita dalam relief tidaklah selalu sejajar dengan cerita dalam kitab-kitab sastra, misalnya
Ramayana di candi Lara Jonggrang dan Kunjarakarna di candi Jago. Selain itu, relief yang sama
bisa digambarkan dengan cara yang berbeda pada candi-candi yang berbeda, baik menyangkut
pilihan adegan ataupun pilihan episodenya (Ramayana Lara Jonggrang dan Penataran).
Hal ini dapat terjadi sebab dua kemungkinan, yakni bahwa seniman pemahat, meskipun
mengacu kepada sumber sastra, tetap memiliki kebebasan hingga tingkat tertentu. Kemungkinan
lainnya adalah bahwa seniman pemahat relief mengikuti ketentuan umum menurut sumber sastra
yang dijadikan acuan, namun kitab ini yang kini sampai kepada kita telah mengalami
perubahan-perubahan ketika naskah ini disalin dari masa ke masa.
6.3 Arca
Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca adalah sarana ritual yang
digunakan untuk melambangkan kehadiran dewa tertentu, namun dapat pula melambangkan
gagasan keagamaan tertentu. Dalam hal yang pertama, arca dipandang sebagai media yang dapat
‗hidup‘ ketika esensi kedewataan masuk ke dalamnya melalui suatu ritual tertentu. Sedangkan
dalam hal kedua, arca dipandang sebagai perlambangan hakikat kebenaran tertinggi yang tidak
dikaitkan dengan kehadiran kekuatan-kekuatan supernatural tertentu. Dalam pemikiran
keagamaan Hindu kedua cara pandang di atas dinyatakan dalam perwujudan arca,
sedangkan dalam agama Buddha cara pandang kedualah yang paling
sering digambarkan dalam wujud arca.
Berbeda dengan Jawa Tengah, arca-arca dewa dari Jawa Timur menunjukkan
kecenderungan untuk semakin meninggalkan aturan-aturan yang dikenal dalam ketentuan
ikonografi India, baik dalam ciri-ciri ikonografinya maupun dalam ikonometrinya. Kalau pun
benar bahwa pada masa Jawa Timur pernah muncul pengaruh baru yang kuat dari India, maka
hampir selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam menerapkan ketentuan itu, bahkan
pada tokoh-tokoh dewata yang tergolong dewa utama, dan mungkin ada di wilayah pusat
kerajaan, misalnya tokoh-tokoh Ganesa, Cakracakra, Camunda, dan juga Prajnaparamita
Kecenderungan lain yang mencolok adalah bahwa pada masa Jawa Timur, khususnya
sejak masa akhir Kerajaan Singhasari, mulai muncul penggarapan arca dewa yang ditampilkan
dengan ekspresi menakutkan. Contoh yang paling menyolok adalah arca Cakracakra atau
Bhairawa dan arca Camunda dari Singasari. Juga arca Amoghapasha serta beberapa arca
pengiringnya yang dijumpai di candi Jago (Malang). Arca lainnya adalah Durga dan Ganesa
yang dijumpai di candi Singasari. Penonjolan aspek menyeramkan dari kedua arca ini terutama
bukan pada penggambaran rokohnya, namun pada atribut-atribut yang menyertainya, yakni berupa
tengkorak-tengkorak manusia.
Di Jawa juga ada penggambaran arca pasangan di mana tokoh laki-laki dan
perempuan digambarkan tanpa memberi tekanan yang tajam kepada perbedaan ukuran. Hal ini
terlihat pada pasangan arca Siwa dan Parwati dari perunggu yang dijumpai di Klaten. Juga
pasangan arca-arca baru dari masa Jawa Timur, di antaranya adalah arca pasangan (arca
‗penganten‘) yang dijumpai di Jebuk, dua buah arca pancuran (laki-laki dan perempuan) dari
Mojokerto dan dua arca Siwa dan Parwati dari Kediri. Dapat pula ditambahkan bahwa arca pusat
pada candi Sumberjati (laki-laki) yang digambarkan dengan gaya yang serupa dengan arca pusat
candi Rimbi (perempuan) juga memiliki ukuran yang sama . Bahkan dalam
kasus candi Belahan, kedua arca perempuan yang mengapit Wisnu digambarkan dengan ukuran
lebih besar daripada Wisnu sendiri sebagai dewa utamanya
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa para pembuat arca di Jawa cenderung
berupaya untuk melakukan modifikasi atau penafsiran sendiri atas model-model yang berlaku di
India. Kecenderungan serupa ini semakin jelas tampak pada arca-arca dari masa Jawa Timur.
Menarik untuk dikaji bahwa di daerah Kediri dijumpai sebuah arca yang cukup besar,
oleh warga disebut arca Totokerot. Di Desa Bulu Pasar, Kecamatan Pagu, Kediri, ada
sesosok arca besar dari batu monolit berukuran tinggi sekitar 2,60 m dan lebar bagian terlebar
2,30 m. Menurut laporan akhir abad ke-19, sebagian tubuh arca besar itu telah terbenam ke
dalam tanah. Keadaan itu masih berlangsung hingga tahun 1970-an. Kemudian arca ini
berhasil diangkat dan sekarang dilengkapi lapik semen berbentuk kubus. Arca itu bersikap duduk
dengan kaki kanan dilipat berdiri, kaki kirinya duduk ndhe-prok. Tangan kanannya diletakkan di
lutut kaki kanannya, mungkin semula memegang gada yang ujungnya disandarkan ke bahu,
namun sekarang genggaman telapak tangan dan gada itu tidak ada lagi (rusak). Adapun tangan
kirinya telah patah sebatas bahu, sehingga tidak diketahui lagi sikapnya semula.
Secara sepintas seseorang yang paham perihal kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa akan
mengetahui bahwa arca besar itu tidak lain menggambarkan sosok raksasa penjaga atau
dwarapala yang menghadap ke arah barat. Segera setelah diketahui sebagai dwarapala, tentu
akan dicari dwarapala yang lain lagi, sebab biasanya dwarapala selalu sepasang. Pencarian itu
agaknya akan sia-sia sebab dwarapala yang disebut penduduk sebagai ―Totokerot‖ itu sekarang
ini tidak mempunyai pasangannnya lagi, artinya arca itu berdiri sendirian saja
Jika penggarapan ikonometri dilihat dalam jangka waktu panjang, dengan cakupan
wilayah yang luas, tampak bahwa pada masa Jawa Tengah ketentuan ikonometri yang diterapkan
lebih terikat dengan aturan-aturan India. Hal ini terutama tercermin dalam arca-arca utama yang
bercorak Hindu, khususnya yang ditempatkan di candi-candi di pusat kerajaan. Sedangkan arca-
arca yang dibuat di wilayah pinggiran cenderung memiliki kemungkinan lebih besar untuk
digambarkan tanpa terlalu ketat mengikuti pola-pola pusat, misalnya arca-arca yang ditemukan
di daerah Semarang, Pekalongan, dan Gedong Songo. Kecenderungan serupa juga berlaku pada
arca-arca Buddha.
Pendeta. Pada umumnya tokoh ini ditampilkan sebagai orang tua berjenggot dan berperut
buncit. Mengenakan pakaian jubah dan tali kasta serta membawa tasbih. Gambaran serupa itu
biasanya khas dijumpai pada arca Hindu yang dikenal sebagai Agastya, yakni tokoh mitos yang
diberi tugas menyebarkan ajaran Hindu. Di samping itu, pernah pula dikemukakan dugaan
adanya tokoh pendeta Buddha yang ditampilkan dengan ciri-ciri yang berbeda sama sekali. Ciri-
ciri pendeta Buddha digambarkan hampir sepenuhnya sama dengan arca Tataghata. Bedanya
hanya pada penggambaran kepala yang dibiarkan gundul tanpa rambut ikal, usnisa, dan urna-
sebagaimana umum diketahui sebagai ciri penting tokoh Tataghata.
Di Jawa Tengah hanya diketahui satu jenis tokoh pendeta Hindu yang dikenal sebagai
Agastya. Namun, tokoh ini tampaknya diperlakukan secara istimewa, setidak-tidaknya bila
dilihat dari penempatan tokoh ini di dalam suatu percandian. Pada sejumlah candi Hindu yang
relungnya masih berisi arca tokoh ini ditempatkan di relung dinding selatan, sedangkan relung-
relung lain ditempati arca-arca dewa utama, yakni Durga, Ganesa, dan kadang-kadang Mahakala
dan Nandiskala. Keistimewaannya adalah bahwa Agastya merupakan tokoh pendeta yang sejajar
dengan tokoh-tokoh dewata. Sejauh data yang dapat dicapai, tidak ada perwujudan arca pendeta
Hindu lain kecuali Agastya.
Di Jawa Timur arca pendeta Hindu serupa dengan di Jawa Tengah (dalam wujud
Agastya) juga ditampilkan dalam kedudukan yang serupa, yakni di relung selatan sebuah candi.
Misalnya yang jelas dijumpai di candi Singasari. Dijumpai juga arca lain yang dikenal sebagai
Trenawindu, sesuai dengan nama yang dipahatkan pada arca ini (bhagawan trinawingdu
maharsih). Arca ini ditemukan terlepas dari konteks percandiannya sehingga tidak diketahui
apakah merupakan bagian dari suatu kelompok dewata ataukah ditampilkan secara tersendiri.
Bedanya dengan ciri-ciri Agastya yang umum dikenal adalah bahwa arca ini digambarkan tidak
berjenggot, namun memiliki kumis panjang. Ia juga tidak berdiri di atas landasan berupa padma,
meskipuri memiliki prabhamandala dari laksana yang khas dimiliki Agastya, yakni tasbih
REKAM JEJAK BUDAYA KEDIRI : WISATA PUSAKA BUDAYA
Kebesaran Kerajaan Kediri di Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang ( abad 11-13 )
telah meninggalkan kekayaan ragam jejak-jejak budaya yang tak ternilai. Budaya yang tangible
maupun yang intangible secara kualitas, maupun kuantitas hingga kini menjadi kekayaan dan
kebanggaan warga Kabupaten Kediri. Di sisi lain letak wilayah bekas kerajaan besar ini
yang berada di dekat Sungai Brantas dan di antara dua gunung, yakni Gunung Wilis dan
Gunung Kelud, telah menjadikan tanah di daerah kabupaten ini subur dan menguntungkan. Oleh
sebab nnya tidaklah berlebihan jika ada anggapan yang mengatakan bahwa Kabupaten Kediri
sebagai ―harta karun Jawa‖.
Kerajaan Kediri yang pernah berkuasa di Jawa ( Timur ) pada kurun waktu 1038-1144 M
memiliki andil besar dalam membangun kejayaan
sejarah masa kerajaan Nusantara. Beberapa raja besar seperti Sri Bameswara dan Jayabhaya
mampu berperan penting dalam membangun kebesaran terutama bidang politik, sosial budaya
yang warga pada masa sekarang masih sangat menghargainya.Khususnya mengenai
―Ramalan Jayabaya‖ yang masih banyak pihak yang meyakininya sebagai petunjuk dalam
memahami gejala-gejala sosial yang selalu berkembang sesuai dengan konteks sejarahnya. Para
raja Kediri juga menempatkan Wisnu di jajaran tertinggi diantara dewa-dewa
Ragam peninggalan budaya yang tangible meliputi beberapa situs, prasasti, candi, benda
cagar budaya ( bcb ), dan museum beserta budaya yang intangible yang berupa ritual adat
daerah, penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan legenda yang terbungkus
dalam folklore merupakan wujud kearifan lokal warga Kediri. Hal itu pada dasarnya
memberikan pengetahuan dan pembelajaran tentang nilai-nilai luhur sebuah peradaban yang itu
menjadi kekayaan serta kebanggaan tersendiri bagi warga Kediri , sebab itu merupakan
bukti akan kekuatan dan kejayaan pendahulunya di wilayah Kediri.
Untuk masa kini tinggalan luhur budaya yang mencerminkan budaya tinggi dari kerajaan
Kediri dulu,rupanya telah mendatangkan kesempatan yang sangat bagus dan menguntungkan,
baik bagi warga warga maupun pemerintah daerah di wilayah bekas kerajaan besar itu.
Wujud pusaka budaya yang bernilai sejarah menjadi harta karun warga Kediri , dan ini
merupakan potensi pariwisata yang berpeluang sangat bagus dalam menempatkan Kediri
sebagai destinasi wisata dunia. Pada gilirannya hal ini akan mampu meningkatkan tingkat
kesejahteraan warga Kediri. Bagaimana kegiatan pariwisata itu mampu memberi kontribusi
yang positif dalam meningkatkan pendapatan warga , serta potensi wisata apa saja yang
bisa diandalkan untuk mencapai tujuan itu ?
4.1. Pariwisata Kediri dan Pengembangan Ekonomi
Menurut UU. No.9 Th. 1990 Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
wisata,yakni pengembangan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di
bidang ini . Sumber-sumber pariwisata bisa dikatagorikan menjadi potensi alam,
kebudayaan dan manusia (Purwani Wisantisari, tanpa halaman ). Model pariwisata yang
dikembangkan di Kabupaten Kediri sesuai dengan potensi yang dimiliki adalah berbasis pada
pusaka budaya yang bernilai historis. Nilai dan tradisi warga Kediri yang diwarnai oleh
kebesaran sejarahnya , menumbuhkan semangat kebanggaan diri sebagai orang Kediri. Meskipun
demikian , mereka tidak menutup diri dari masuknya arus pariwisata. Sikap yang cukup terbuka
dan akomodatif mendorong masayarakat di wilayah ini mengembangkan model pariwisata
budaya, atau sebab kekayaan peninggalan sejarahnya merupakan pusaka bangsa maka menjadi
pariwisata pusaka budaya. Model budaya yang disertai dengan industri kreatif kini menjadi
pasangan sebagai sarana promosi tujuan wisata dan meningkatkan daya saing untuk menarik
kunjungan wisatawan,
Pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan perekonomian bagi
suatu daerah. Boleh jadi pariwisata merupakan ujung tombak dari kemajuan suatu daerah.
Pariwisata memiliki tanggung jawab untuk membawa nama /citra suatu daerah agar dikenal di
tingkat nasional. Semakin berkualitas pelayanan pariwisata di suatu daerah , maka daerah itu
semakin berkembang dan dikenal. Demikian pula tentang pariwisata di Kediri yang memiliki
keunikan tersendiri, yakni wisata budaya yang sangat kental bernuansa nilai-nilai historis yang
berlandaskan kebesaran kerajaan Kediri . Keagungan ini merepresentasikan sebuah peradaban
yang melahirkan karya seni budaya tinggi baik yang monumental ,maupun yang berwujud
kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur yang tak pernah luntur apalagi lenyap oleh
gerusan masa. Sebut saja beberapa ceritera legenda yang menjadi folklore menyiratkan adanya
nilai-nilai yang menjadi kearifan lokal yang memberikan pengetahuan dan pembelajaran norma
dan nilai luhur yang terus menunjukkan fungsinya bagi falsafah kehidupan manusia (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri, tanpa tahun : 1-6 ).
Kabupaten Kediri memiliki peran yang sangat penting dalam arena perjalanan sejarah
bangsa negara kita masa kuno. Hal ini terbukti dari munculnya Kerajaan Kediri yang menjadi
representasi penting bagi kebesaran kerajaan di Jawa Timur sekitar abad 11-12. Dari
perkembangan sejarahnya, nama Kediri sebenarnya sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram
Hindu yang pada waktu itu ibukotanya berada di wilayah Jawa Tengah hingga pada perjalanan
sejarah selanjutnya melalui dinamika sosial politik yang pada akhirnya terjadi perpindahan pusat
pemerintahan ke Jawa Timur atau lebih tepatnya di wilayah Kabupaten Kediri sekarang. Jadi
boleh dikatakan bahwa Kerajaan Kediri menjadi tonggak awal bagi pusat kekuasaan di Jawa,
menggantikan Jawa Tengah ( kerajaan Mataram Kuno ) yang sudah runtuh terlebih dahulu.
Perkembangan sejarah ini menjadi modal utama bagi pengembangan wisata di Kediri.
Pengembangan pariwisata pada dasarnya menyiratkan beberapa tujuan postif, walaupun
tidak dapat dikesampingkan timbulnya beberapa masalah yang cukup kompleks. Tujuan
pengembangan pariwisata di semua daerah tujuan wisata, dapat dilihat dari aspek makro dan
mikro. Pada tingkat makro, pariwisata diharapkan mampu meningkatkan penerimaan
pemerintahan daerah , kesempatan kerja, potensi alam dan budaya . Pada tingkat mikro ingin
mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga . Beberapa pemerintah daerah dewasa ini
sangat aktif dalam mengelola pengembangan wisata di daerahnya, dengan berbagai usaha seperti
memberdayakan segala potensi budaya yang dimilikinya dan pengembangan sektor lain yang
terkait. Industri pariwisata memberikan kesempatan serta menambah pekerjaan untuk usaha –
usaha yang erat hubungannya dengannya seperti: pemandu wisata, seniman, hotel dan rumah
makan. Besarnya manfaat dari pengembangan industri pariwisata mendorong pihak terkait untuk
membuat formulasi tentang cara atau strategi untuk keberhasilan pariwisata. Untuk itu dicoba
dipasangkan antara modal budaya dengan industri kreatif sebagai sarana promosi tujuan wisata,
disamping itu juga difungsikan untuk menarik kunjungan wisatawan.
Pariwisata budaya merupakan perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginanuntuk
meluaskan pandangan hidup seseorang dengan jalan melakukan peninjauan ke luar negeri untuk
mempelajari keadaan rakyat , kebiasaan dan adat istiadat , gaya hidup serta kebudayaan mereka.
Jenis pariwisata budaya ini merupakan jenis yang paling populer di beberapa destinasi wisata
yang ada di negara kita . Wisatawan itu mengunjungi tempat wisata sebab ingin melihat kesenian,
seperti; tari-tarian , monumen sejarah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan
yang berlaku di tempat wisata yang dikunjungi. Berpijak dari pemahaman itu, perlu segera
diantisipasi dengan melakukan penataan segala potensi yang dilmiliki , seperti mengadakan
pencerahan kepada warga untuk ikut berperan serta dalam menjaga, melestarikan dan
mengkomodifikasinya sesuai dengan tuntutan komerialisasi yang diharapkan akan mampu
mendatangkan keuntungan –keuntungan bagi mayarakat, dan pada gilirannya bisa meningkatkan
kesejahteraan hidup warga di wilayah pariwisata.
Masih terkait dengan tujuan pengembangan pariwisata di Kabupaten Kediri, intinya adalah
mengacu kepada tujuan secara umum , yakni untuk memperkenalkan kebudayaan, keindahan
alam kepribadian bangsa negara kita kepada warga wisatawan dan sekaligus membantu
meningkatkan pendapatan warga . Disamping itu pengembangan pariwisata membuka
kesempatan bagi wisatawan dalam negeri untuk mengenal budaya tanah airnya sendiri ,Dengan demikian pada dasarnya bisa dikatakan
bahwa manfaat pariwisata adalah meningkatkan pendapatan devisa dan warga , perluasan
kesempatan dan lapangan kerja, serta mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang
pariwisata dan industri sampingan lainnya. Wisatawan yang membeli souvenir barang seni akan
menstimulir kegiatan para pengrajin untuk memperbanyak produksinya. Toko souvenir tumbuh
sebagai penyalur berbagai kreasi seni sebagai hasil produksi pengrajin. Intinya seorang
wisatawan ingin melihat dan memperoleh sesuatu yang unik, berkepribadian asli namun indah.
Hal ini akan berpengaruh bagi pengembangan kreasi pergelaran seni budaya yang semakin
berkualitas. Mungkin terjadi bahwa bahwa perkembangan seni budaya ini pada awalnya lebih
dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Akan namun melalui proses
persaingan dan sikap selektif dari wisatawan , pada akhirnya aspek kualitas akan lebih
diperhatikan dibandingkan hanya sekedar target kuantitas oleh penyelenggara industri pariwisata.
Oleh sebab besarnya manfaat yang diperoleh dengan pengembangan pariwisata baik secara
ekonomis, maupun seni budaya, pemerintah