• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 3. Tampilkan semua postingan

kerajaan di jawatimur 3





dewa‘ (Yaksa, Raksasa, Pisaca, Pretasura, Gandharwa, Bhuta, Khinnara, 
Widhyadhara, Mahoraga), mahluk penjaga pintu semesta (Mahakala, Nandiswara), unsur 
bintang (caturasra) dan juga arwah-arwah leluhur yang melindungi bumi dan keraton (rahyangta 
rumuhun, sirangbasa ing wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kadatwan dst-) 
Perlu ditegaskan bahwa pengelompokan dan tata-urut penyebutan dewata itu tidak selalu 
sama dan lengkap. Beberapa prasasti memuat susunan kalimat kutukan pendek dan hanya 
menyebut beberapa tokoh, namun  ada pula yang panjang dan memuat deretan dewata dalam 
jumlah banyak. Demikian pula susunannya tidak selalu menunjukkan urutan yang hirarkis di 
mana dewa-dewa utama disebut mendahului nama-nama lain yang memiliki kedudukan di 
bawahnya. 
Menarik pula untuk diungkapkan walaupun kedua agama (Hindu Budha) dipeluk 
sebagian besar warga  Kediri, namun  kepercayaan asli, masih dapat diamati melalui 
tinggalan-tinggalan sejarah dan arkeologi. Kepercayaan asli merupakan kepercayaan yang 
berkembang sebelum kedua agama itu masuk dalam kehidupan warga  Kediri. Konsep yang 
mendasari kepercayaan asli adalah anggapan bahwa alam semesta didiami oleh makhluk-
makhluk halus atau roh-roh. Manusia selalu menjalin hubungan dengan roh-roh ini  agar 
terhindar dari marabahaya dan memperoleh kesejahteraan. 
Anggarapan adanya makhluk halus/roh merupakan unsur keyakinan yang mencakup 
konsepsi tentang nenek moyang yang senantiasa memberi perlindungan dan kesejahteraan. 
Sehubungan dengan kepercayaan itu, lalu muncul bentuk-bentuk ritual , misalnya ritual  
pemujaan terhadap nenek moyang atau roh leluhur melalui bangunan-bangunan megalitik berupa 
batu dalam bentuk menhir, arca-arca sederhana, tahta batu, punden berundak, dan lain-lain. 
Dalam kepercayaan asli berkembang pula anggapan bahwa gunung merupakan tempat arwah 
nenek moyang bersemayam. Dengan demikian gunung dianggap sebagai tempat suci dan 
keramat . Susunan bangunan yang menerapkan konsep pemujaan arwah 
roh leluhur adalah bangunan yang termasuk budaya megalitik. Dasar kebudayaan megalitik 
adalah kepercayaan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan 
adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan warga . Jasad seorang 
yang telah meninggal dipusatkan pada bangunan batu yang kemudian menjadi media pemujaan 
dan tahta kedatangan serta lambang si mati. 
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa Kediri dapat diketahui dari 
berbagai aspek, di antaranya adalah susunan bangunan serta lokasi penempatan di tempat-tempat 
yang tinggi, seperti di lereng gunung atau daerah perbukitan atau puncak gunung. Misalnya 
dapat dilihat di Gunung Kelud, Gunung Arjuna, dan Gunung Penanggungan. 
Keberadaan bangunan keagamaan di lereng gunung, merupakan salah satu ungkapan 
kepercayaan bahwa tempat yang tinggi adalah tempat yang suci, tempat bersemayam para 
leluhur. Para leluhur atau nenek moyang yang bersemayam di puncak gunung diharapkan datang 
untuk memberi kesejahteraan dan kesuburan bagi warga  di sekitarnya. Sudah tentu untuk 
mendatangkan para roh ini  harus melalui proses ritual /ritual sesuai dengan kepercayaan 
warga  pada waktu itu. 

Susunan Dewa - dewa  
Meskipun agama Hindu dan Buddha memiliki kemiripan datam konsepsinya tentang 
kebenaran tertinggi, namun keduanya memiliki perbedaan dalam menggambarkan dewa-dewa 
yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan akhir. Datam kedua agama itu dikenal dewa-dewa 
yang merupakan tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh pendamping. Dalam agama Hindu 
personifikasi dari dewa-dewa pokok itu adalah tokoh kedewataan yang memiliki kisah hidup 
sebagaimana manusia, namun  dapat juga mewakili suatu pengertian yang melambangkan konsep 
tertentu sebagaimana telah dikemukakan di atas. Berlainan dengan itu, dalam agama Buddha 
tokoh-tokoh utama bukanlah tokoh mitos sebagaimana dewa-dewa Hindu, melainkan semata-
mata merupakan lambang dari konsep tertentu. 
Hal serupa juga berlaku pada dewa-dewa yang tingkatannya berada di bawahnya. Pada 
susunan dewa-dewa Hindu, tokoh-tokoh di bawah dewa utama biasanya dianggap memiliki 
hubungan kekerabatan atau hubungan ‗kesejarahan‘ dengan dewa-dewa utama ini , misalnya 
hubungan antara Siwa dan Ganesa adalah hubungan antara ayah dan anak. Sedangkan dalam 
agama Buddha, tokoh-tokoh di bawah dewa utama adalah perwujudan lebih rendah atau emanasi 
dari dewa utamanya. Hubungan antara tokoh utama dan tokoh pendamping bukanlah hubungan 
kekerabatan, melainkan suatu lambang yang mewakili struktur konsep. Baik dalam agama Hindu 
maupun Buddha tokoh-tokoh pengiring bisa disusun dalam tata unit panjang, sehingga 
 pernah mengusulkan untuk membedakan dewa-dewa pengiring menjadi 
dua bagian, yakni ‗pengiring besar‘ dan ‗pengiring kecil‘. 
Dalam agama Hindu di bawah dewa utama Siwa ada  ‗pengiring besar‘ yang 
mencakup Durga, Ganesa, Agastya, Nandiswara dan Mahakala. Sedangkan mereka yang 
tergolong ‗pengiring kecil‘ adalah mahluk-mahluk kahyangan, misalnya para Kinnara, Gana, 
Bhuta, dan lain-lain yang umumnya tidak memiliki nama pribadi. Dalam agama Buddha yang 
tergolong ‗pengiring besar‘ adalah para Boddhisattwa, misalnya Padmapani, Awalokiteswara, 
Manjusri, dan lain-lain. Termasuk ‗pengiring kecil‘ adalah dewa-dewa yang nama-namanya 
mewakili unsur ‗panca indera‘ (biasanya menggunakan kata wajra di depan atau akhir namanya) 
Dalam bagian ini perhatian akan dipusatkan pada dewa-dewa utama 
dengan beberapa tokoh yang tergolong ‗pengiring besar‘. Meskipun demikian, akan 
dikemukakan juga beberapa tokoh lain yang kehadirannya dapat dijadikan petunjuk untuk 
memahami perkembangan orientasi pemujaan di Jawa. 
Dalam agama Hindu dikenal tiga dewa utama yang biasanya menjadi sasaran pemujaan, 
yakni Siwa, Wisnu, dan Brahma. Di Jawa kemunculan dewa Siwa biasanya disertai dengan 
dewa-dewa lain yang termasuk ‗keluarga Siwa‘ sehingga terkesan bahwa pemujaan kepada Siwa 
termasuk juga pemujaan kepada dewa-dewa ‗pengiring besar‘ ini. Di samping itu, ada  
petunjuk bahwa pada masa tertentu dewa perempuan menempati kedudukan penting yang 
dikenal dengan sebutan sakti. Di bawah ini dikemukakan secara garis besar kemunculan dewa-
dewa ini . 
Pada masa Jawa Timur tidak pernah ditemukan kehadiran tiga dewa Trimurti sekaligus 
dalam satu candi. Dalam beberapa kasus, pernah dijumpai arca dewa Brahma di dalam candi atau 
di lingkungan candi yang bersifat Siwa, misalnya di candi Gurah dekat Kediri dan di dekat candi 
Singhasari. Namun, identitas tokoh ini masih menimbulkan persoalan (lihat uraian tokoh 
Brahma). Arca Wisnu yang lazim dijumpai dalam kesatuan Trimurti tidak pernah dijumpai di 
kedua tempat ini  ,
Peninggalan-peninggalan masa lalu, Timur, menunjukkan bahwa agama Hindu yang 
dianut pada masa Jawa Kuno cenderung beraliran Siwa. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan 
bahwa hampir di semua candi yang ditemukan bersama-sama arcanya dijumpai arca Siwa atau 
lingga yang menjadi simbolnya, Sebagai dewa tertinggi, Siwa dapat 
digambarkan dalam berbagai wujud sesuai dengan situasinya. Di Jawa perwujudan yang paling 
sering dijumpai adalah dalam bentuk lingga. 
Pada masa Jawa Timur, di samping dijumpai lingga-batu dalam bilik 
utama candi, juga dijumpai lingga-logam yang menjadi satu dengan yoni- 
nya dan juga lingga yang ditampilkan sebagai motif hiasan lampu 
perunggu yang dikenal sebagai kisah episode Lingodbhawamurti. Di candi 
Singasari, wujud lingga-batu yang berpasangan dengan yoni-nya 
diketahui masih berada di tempat aslinya, yakni di bilik pusat. Keadaan 
serupa ini tidak berbeda dengan apa yang dijumpai di candi-candi Jawa 
Tengah. Apa yang tampak istimewa adalah bahwa bangunan candinya 
itu sendiri agaknya dirancang sebagai sebuah lingga-yoni dalam bentuk 
monumen. Dalam konstruksi ini lapik candinya secara jelas dibuat 
sebagai yoni dengan cerat menghadap ke utara, sedangkan bagian lingga 
tentunya adalah bagian tubuh hingga atap candinya. 
Pada masa Jawa Tiinur ini bentuk lingga sebagai simbol Siwa tampaknya memang 
menempati kedudukan istimewa. Di Panarukan, misalnya, dijumpai sebuah lingga emas beserta 
yoni-nya. Ukurannya yang hanya 10,5 cm serta bagian yoni-nya yang tidak memiliki saluran air 
sebagai penampung air siraman  sebagaimana umum dijumpai 
pada lingga-yoni dari batu, merupakan petunjuk bahwa benda ini digunakan untuk keperluan 
khusus, mungkin sebagai sarana pemujaan yang terbatas di lingkungan keraton. Selain itu, lingga 
juga ditampilkan dalam bentuk motif adegan pada lampu perunggu. Adegan itu diambil dari 
suatu kisah tentang keunggulan Siwa yang dikenal dengan ceritera Lingodhbhawamurti. Lampu 
perunggu ini dijumpai di Sirah Kencong (kaki Gunung Kawi), Blitar. Episode ini diambil dari 
mitos awal pemujaan lingga. Dalam mitos ini dikisahkan tentang pertengkaran dewa Brahma 
dengan Wisnu mengenai siapa di antara mereka yang paling unggul. Pada saat yang sama 
muncul Siwa dalam bentuk tiang yang diselimuti ribuan nyala api semesta yang tanpa ujung dan 
pangkal. Brahma (dalam bentuk angsa) mencoba mencari ujungnya ke udara tidak berhasil dan 
Wisnu (dalam bentuk babi hutan) juga gagal untuk mencari pangkalnya di dasar bumi. 
Menyadari ketidak-mampuannya itu, mereka berdua mengakui bahwa Siwa-lah yang paling 
unggul , Episode mitos ini juga dikenal dalam kesusasteraan Jawa Kuno, 
Bhomakawya, yang digubah pada masa Kadiri, abad ke-11 hingga awal abad ke-13 (). Dari keterangan ini  telah jelas bahwa Siwa diakui sebagai dewa utama 
di antara dewa-dewa Trimurti. 
Di samping berupa lingga, Siwa juga ditampilkan dalam wujud manusia atau 
antropomorfis. Dalam wujud ini ia digambarkan dalam dua karakter, yakni dengan pembawaan 
tenang yang biasanya digambarkan sebagi Siwa Mahadewa dan dengan pembawaan ganas 
(kroddha) yang dikenal sebagai Siwa Mahakala. Dalam katakter pertama ia ditampilkan 
mengenakan pakaian kebesaran, menggunakan mahkota dengan hiasan tengkorak-bulan sabit 
(chandra-kapala), tangannya empat dengan membawa tanda-tanda kedewataan berupa trisula, 
camara, aksamala, dan kendi (kamandalu). 
Di Jawa Timur arca Siwa Mahadewa dari batu yang telah banyak dikenal adalah arca 
Siwa dari candi Kidal yang dianggap sebagai ‗arca-potret‘ Raja Anusapati dari Singhasari. 
Berbeda dengan arca sejenis dari Jawa Tengah, dari empat tangan Siwa hanya dua yang 
memegang laksana, yakni tangan-tangan belakang, sedangkan dua tangan depan ditempelkan di 
bawah dada. Tangan kanan mengepal dengan ibu jari menghadap ke atas dan telapak tangan kiri 
sebagai penyangganya. Sebuah lagi dalam ukuran yang lebih kecil dijumpai di Mojokerto. Posisi 
tangan arca ini mirip dengan arca sebelumnya, yakni dua tangan depan ditempelkan di bawah 
dada, namun  posisi kedua telapak tangannya dilekatkan satu sama lain dengan ibu jari kedua 
tangan dipertemukan. Di puncak persentuhan ibu jari itu ditempatkan sekuntum bunga. Arca ini 
juga dikenal sebagai ‗arca-potret‘  Arca-arca jenis ini juga 
ditemukan di luar konteks percandian, di antaranya pernah dilaporkan berasal dari Mojokerto, 
Malang, Kediri, Surabaya dan Probolinggo 
Penggambaran Siwa dalam bentuk Bhairawa hanya dijumpai pada masa Jawa Timur. 
Arca ini ditemukan di dekat candi Singasari dan dikenal dengan nama Cakracakra. Arca ini 
ditampilkan tanpa mengenakan pakaian sama sekali kecuali perhiasan berupa mahkota, kalung 
dan sabuk yang semuanya terbentuk dari susunan tengkorak manusia. Wajahnya ditampilkan 
sebagai wajah raksasa dengan mulut terbuka hingga gigi dan taringnya tampak, mata melotot, 
dan rambutnya mengikat terjurai. Tangannya berjumlah empat, dua tangan belakang masing-
masing memegang tombak bermata tiga (trisula) dan kendang kecil (damaru), dua tangan-depan 
masing-masing memegang pisau belati dan mangkuk tengkorak manusia. Tokoh ini digambarkan 
dalam posisi duduk di atas kendaraan berupa srigala dan sebagai landasannya berupa deretan 
tengkorak manusia ,
Letak asli arca ini tidak diketahui. ada  dugaan bahwa arca ini berasal dari bilik 
tengah candi Singasari, namun  dilihat dari aturan ikonografinya tidak cocok mengingat di dalam 
bilik pusat candi ini sudah ada  lingga. Dugaan lain yang dikemukakan adalah bahwa arca ini 
merupakan sebuah arca utama yang menempati bangunan tersendiri yang terletak di dekat candi 
Singhasari. Bangunan ini dilaporkan terdiri dari tiga bilik berderet arah utara selatan. Di dalam 
bilik pusat candi inilah arca Bhairawa kemungkinan berasal sebab  bilik urara dan selatan 
ditempati oleh dua arca yang masing-masing menggambarkan aspek tenang dan aspek kroda dari 
Dewi (isteri Siwa). Aspek tenang dari isteri Siwa diwujudkan dalam bentuk arca Parwati 
bertangan empat yang diapit oleh dua pengiring di kiri kanan. Di atas kedua arca pengiring ini 
ada  relief tokoh Ganesa dan Siwa (kanan), dan tokoh Bhairawa bersama Kartikeya (kiri). 
Aspek krodha diwujudkan dalam bentuk arca Camunda yang bertangan delapan yang diapit oleh 
arca Bhairawa di kiri dan Ganesa di kanan. Sebuah inskripsi yang dipahatkan pada arca 
menunjuk angka tahun 1292 M . Mengingat penggambaran 
Bhairawa pada kedua arca Dewi ini menggambarkan replika dari arca Bhairawa yang besar maka 
kemungkinan ini tampaknya lebih masuk akal. 
Variasi lain dari penggambaran Siwa yang bersifat krodha adalah dalam wujud 
triwikrama atau krurabhairawa. Penggambaran secara demikian tidak ditemukan dalam bentuk 
arca namun  hanya dikemukakan dalam karya sastra, khususnya dalam Smaradahana. Dalam 
wujud ini ia digambarkan memiliki badan yang sangat besar, tingginya melebihi angkasa, 
berkepala tiga, matanya seperti matahari dan bulan, lubang hidungnya besar, taringnya tajam, 
dan memiliki tangan seribu z
Di samping ditampilkan sebagai tokoh yang berdiri sendiri. Siwa juga ditampilkan 
dengan tokoh pasangannya atau istrinya, yakni Uma atau Parwati. Dalam komposisi serupa ini 
Siwa antara lain ditampilkan dalam bentuk Ardhanareswari, yakni penggambaran aspek laki-laki 
dan perempuan yang diwujudkan dalam satu tokoh. Di Jawa Siwa dalam wujud ini diketahui ada 
18 buah arca. Dari jumlah ini , 15 buah diketahui berasal dari Jawa Timur, sedangkan tiga 
lainnnya tidak diketahui asalnya. Arca-arca ini diketahui berasal dari candi Jawi, candi 
Tigawangi, Singasari, Mojokerto, Surabaya, Malang, dan Kediri ,
Penjelmaan Siwa dalam bentuk ini juga disebutkan dalam sumber-sumber kakawin dari masa 
Kadiri, yakni Arjunawiwaha dan Smaradahana

MONUMEN MASA KEDIRI  
  
 
 Bangunan Peribadatan  
 Pada masa Jawa Timur khususnya candi-candi dengan kategori bangunan berbilik 
didirikan tahun 760. Candi-candi Hindu ini umumnya tidak memiliki pembatas halaman yang 
tegas, atau bahkan mungkin tidak ada. Namun, semuanya adalah bangunan yang memiliki bilik 
untuk menempatkan arca atau lingga sebagai lambang dewa Siwa. Dilihat dari segi ukurannya, 
bangunan-bangunan ini tampaknya hanya mampu menampung sedikit jemaat dan mungkin juga 
dengan pengaturan prosesi yang tidak terlalu rumit. 
Pada periode ini dijumpai juga candi-candi Hindu di Jawa Timur, yakni candi Badut, 
mungkin dibangun tahun 760 dan candi Sanggariti. Bagaimana hubungan antara tradisi 
pembuatan candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi pada masa lalu masih merupakan 
persoalan, namun  dari sudut gaya bangunan ada  petunjuk adanya pengaruh  dari satu tempat 
ke tempat lain. Perbingkaian kaki kedua candi Jawa Timur ini mirip dengan candi-candi di 
Dieng. Pembagian vertikal dari proporsi bangunan candi Badut, misalnya, memiliki kemiripan 
dengan candi di Dieng dan Gedong Songo, namun penggarapan sebagian hiasannya tampak lebih 
maju. Sedangkan candi Sanggariti, denahnya serupa dengan salah satu candi di Dieng, yakni 
candi Sembodro . Dalam hubungan ini, arah pengaruh 
diduga dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perlu ditegaskan bahwa sebagian dari candi-candi 
Hindu tertua ini telah mengalami beberapa kali perombakan atau penambahan, di antaranya 
terjadi pada pertengahan pertama abad ke-9 ,
Prasasti-prasasti lainnya menyebutkan bangunan suci yang bernama Sang Hyang 
Padadeng Kadawuhan ), dan sejumlah bangunan suci di Kamalgyan yang diberi sebutan-sebutan Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, Wihara, Sala, Kamulan, 
Parhyangan, dan Parapatapan, dengan keterangan tambahan bahwa yang terpenting adalah 
bhuktyan sang hyang dharma ring isanabhawana yang diberi nama Surapura ,Bagaimana bentuk bangunan-bangunan suci ini  tidak 
diketahui, terapi mengingat sisa-sisanya tidak ada maka dapat diduga dibuat dari bahan-bahan 
organik yang mudah rusak sebab  faktor cuaca dan waktu. 
Satu-satunya sisa bangunan candi dalam arti rumah dewa hanya dijumpai sebuah dari 
periode Jawa Timur awal ini, yakni candi Gurah, bangunan candinya telah hancur terapi 
beberapa arca yang ditemukan masih bagus. Segi bangunannya memperlihatkan periode Jawa 
Tengah, namun  dari penggarapan seni arcanya mirip seni arca abad ke-13. Sedangkan huruf 
prasasti yang ditemukan mirip dengan tulisan abad ke-11 dan ke-12. Oleh sebab  itu, Soekmono 
menyebut kepurbakalaan ini merupakan penyambung dari gaya seni Jawa -Tengah dan Jawa 
Timur , Di samping itu, ada  kemungkinan bangunan-bangunan kecil 
yang dibuat dengan bahan mudah rusak didirikan untuk memuja Buddha sejak awal abad ke-10, 
khususnya pada masa Sindok hingga Airlangga, sebagaimana tercermin dalam beberapa prasasti 
dari masa pemerintahan kedua raja ini  z
Dibandingkan dengan candi-candi di Jawa Tengah, candi-candi di Jawa Timur tidak 
banyak yang dirancang dalam suatu gugusan besar. Satu-satunya yang masih tampak dengan 
jelas adalah candi Panataran. Namun, gugusan candi ini tidak mencerminkan rancangan 
bangunan yang ‗selesai‘ (sebagaimana terkesan pada gugusan candi-candi di Jawa Tengah), 
melainkan merupakan bangunan peribadatan yang memungkinkan sejumlah bangunan baru 
‗tumbuh‘ ke arah yang tidak terpola. Hal ini tercermin di dalam pahatan angka tahun yang 
berbeda-beda pada bangunan-bangunan yang berbeda, di antaranya 1369 (candi Angka Tahun), 
dan 1375 (Teras Pendopo) (Dumarcay 1986:98), Angka tahun yang berbeda-beda juga dijumpai 
pada sebagian arca-arcanya, khususnya arca-arca penjaganya (dwarapala), yakni 1319 (dua 
buah), 1320 (dua buah), dan 1347 (empat buah) 
Bangunan yang menari di wilayah Kabupaten Kediri adalah candi Surawana, walaupun 
candi ini mungkin dibuat pada masa kerajaan Majapahit. Candi Surawana terletak di Desa 
Surawana, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Penduduk menyebutnya juga dengan nama Candi 
Bloran. Candi Surawana terletak sekitar 300 m sebelah timur jalan raya Pare-Kediri. Candi yang 
menghadap ke arah barat ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 7,80 m x 7,80 m. Bagian 
candi yang masih tersisa adalah bagian kaki dan tubuhnya saja, sedangkan bagian atapnya sudah 
tidak ada lagi. Bangunan candi ini terbuat dari batu andesit di bagian atas, sedangkan pondasinya 
terbuat dari batu bata yang terletak pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan tanah. 
Pada bagian kaki candi ada  beberapa pelipit yang berelief, terutama yang berada di 
atas dan di bawah panil-panil berelief, Pada bagian tubuh candi jumlah pelipitnya semakin 
sedikit, dan pelipit ini  digantikan oleh hiasan-hiasan tonjolan di atas pelipit yang berbentuk 
padma. Pelipit mahkota yang membatasi tubuh dan atap candi masih tampak sebagian saja. 
Secara keseluruhan proporsi bangunan Candi Surawana ini tampak tambun, tidak seperti halnya 
candi-candi di zaman Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini didukung oleh 
kurangnya hiasan-hiasan atau panil-panil yang berposisi tegak, dan yang dimiliki hanya berupa 
pilar-pilar berhias dan berelief pada bagian sudut bangunan kaki dan tubuh candi saja. Pilar-pilar 
ini  mempunyai relief berupa gana yang posisinya sedang duduk berjongkok, dengan tangan 
ke atas dan seakan-akan mendukung tubuh candi. Pada setiap sisi kaki candi ada  tujuh panil 
yang semuanya berada di tengah dengan ukuran lebih besar dan posisinya tegak. Semua panil ini 
mempunyai relief binatang, yaitu cerita Tantri. Sedangkan pada tubuh candi, yaitu masing-
masing di sisi selatan, timur, dan utara ada  tiga panil. Sebuah panil besar diapit oleh dua 
buah panil kecil, dan panil-panil besar ini bereliefkan cerita Arjunawiwaha, sedangkan panil-
panil kecil yang berada di sudut-sudut bereliefkan cerita Bubuksah (sudut timur laut), cerita Sri 
Tanjung (di sudut tenggara) dan Arjunawiwaha (di sudut barat daya). Relief-relief ini  
adalah: 
Relief Sri Tanjung. Sri Tanjung dibunuh oleh Sidapaksa, suaminya sendiri sebab  fitnah 
Raja Sulakrama dan Negeri Sindureja. Dalam perjalanan ke dunia roh Sri Tanjung naik ikan 
melintasi sungai (relief seorang wanita naik ikan). Sidapaksa duduk di tepi sungai yang dilalui 
roh Sri Tanjung (relief seorang lelaki duduk). 
Relief Bubuksah. Bubuksah dan Gagangaking adalah dua orangsakti, dan keduanya 
menjalankan ‗laku‘ (perbuatan agar nanti setelah meninggal dapat naik ke surga) berdasarkan 
keyakinannya masing-masing. Tindakan Bubuksah adalah memakan semua makanan pemberian 
dari Hyang Maha Agung yang ada di dunia, sehingga ia berbadan gemuk. Sedangkan 
Gagangaking memilih laku bertapa, menjauhi makan dan minum, sehingga ia berbadan kurus. 
Pada pigura tampak dua orang, seorang kurus dan seorang gemuk sedang duduk berhadapan. 
Dalam pigura itu Bubuksah memalingkan kepala ke kanan. 
Relief Arjunawiwaha. Arjuna tinggal di pertapaan Indrakila yang diikuti oleh para 
punakawan. Suatu hari pertapaan kedatangan babi hutan yang ternyata suruhan Niwatakawaca, 
yang hendak bermaksud merusak pertapaan dan membunuh Arjuna. Kemudian babi hutan itu 
dipanah oleh Arjuna, yang waktunya juga bersamaan ketika Dewa Siwa melepaskan anak 
panahnya. Kedua anak panah ini  tepat mengenai sasaran, sehingga teijadi pertengkaran 
tentang anak panah yang mengenai babi hutan ini . Setelah Arjuna tahu bahwa ia 
berhadapan dengan Dewa Siwa, Arjuna menyembah dan Dewa Siwa berhasil membatalkan 
tapanya Arjuna, sehingga Arjuna diajak ke khayangan. Pada pigura tampak Arjuna diikuti oleh 
dua orang punakawan dalam menghadapi babi hutan yang kemudian kena anak panahnya. 
Tangan kanan Arjuna menunjuk anak panah ini , sedangkan tangan kiri berada di 
pinggangnya. Di depan babi hutan berdiri Dewa Siwa, yang posisi tangan kanannya berada di 
pinggang, sedangkan tangan kirinya sedang memegang busur panah. 
Berdasarkan keterangan Kitab Negarakertagama, di Candi Surawana ada suatu tempat 
yang bemama Shurabhana, yakni sebagai tempat pendharmaan dari Raja Wengker, dan 
Shurabhana sendiri sama dengan nama tempat yang sekarang ada, yaitu Surawana. bila hal 
ini benar maka pendharmaan Raja Wengker di Shurabhana ialah Candi Surawana. Di dalam 
Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa Raja Wengker meninggal pada tahun 1388 M. 
bila Candi Surawana didirikan setelah ritual  Sradha (ritual  pcringatan 12 tahun sesudah 
kematian), maka candi Surawana didirikan sekitar tahun 1400 M.
Selain candi Surawana di Kediri juga dijumpai candi yang hampir sama yaitu candi 
Tigawangi. Candi Tigawangi terletak di Desa Tigawangi, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, 
atau berada di sebelah barat Candi Surawana dengan jarak sekitar 4,5 km jauhnya. Nama candi 
ini ada  di dalam Kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa Bhre Matahun didarmakan di 
Tigawangi dengan abhiseka darmanya di Kusumapura. Selain itu nama Tigawangi ada  juga 
di Kitab Negarakertagama, dan selanjutnya dikatakan bila beberapa data dari Kitab Pararaton 
digabungkan dengan Kitab Negarakertagama, maka didapat penjelasan bahwa Bhre Matahun 
meninggal setelah tahun 1310 Saka (1388 M). bila perkiraan ini  benar maka Candi 
Tigawangi sebagai pendarmaan dari Bhre Matahun didirikan pada tahun 1400 M (pada saat 
ritual  Sradha yaitu 12 tahun setelah meninggal). 
Candi ini lebih besar dibandingkan dengan Candi Surawana, namun candi ini keadaannya 
lebih parah dari pada Candi Surawana. Candi Tigawangi berdenah bujur sangkar dengan ukuran 
11,2 x 11,2 m. Bagian-bagian yang masih lengkap adalah kaki dan tubuh candi, Bidang-bidang 
yang berisi relief pada candi yang menghadap ke barat itu sebagian besar masih utuh. Pada 
bagian kaki candi ada  pelipit yang melingkar dan beberapa diantaranya berukir. Tiap-tiap 
sisi pada kaki candi ada  tiang panil yang berelief, dan sisi genta yang ada pada kaki 
candinya juga mempunyai ukiran. Pada bagian tubuh candi, yakni di tengah-tengah ketiga sisi 
depan candi ada  pilar-pilar tanpa ukiran yang menghubungkan antara tubuh dan kaki candi, 
dan pilar-pilar ini tampak belum selesai dikerjakan. Sedangkan di tubuh candinya ada  panil 
besar yang berelief. Beberapa pelipit pada kaki candi diberi hiasan, dan pada tiap sisi kaki candi 
ditemukan tiga panil dalam posisi tegak yang masing-masing diberi hiasan raksasa (gana) yang 
posisinya duduk jongkok dengan kedua tangan diangkat ke atas seakan-akan mendukung 
sesuatu. Di atasnya ada  hiasan berupa tonjolan-tonjolan yang berhias dan melingkari kaki 
candi. Di atas tonjolan berhias ini  ada  sisi genta yang berhias juga. dan hiasan-hiasan 
ini dikombinasikan sedemikian rupa sehingga menunjukkan hiasan yang serasi. Sedangkan relief 
pada tubuh candi, pada setiap sisi dinding tubuh candinya juga ada  dua pigura besar yang 
berisi relief. Untuk membaca relief Candi Tigawangi orang harus berjalan mengelilingi candi 
dengan arah berlawanan jarum jam. Relief-relief yang berada di pigura-pigura ini 

menggambarkan cerita Sudamala, yakni tentang peruwatan. Dalam cerita Sudamala, tokoh yang 
diruwat adalah Batari Durga, sedangkan yang meruwat adalah Sadewa. 
Bangunan lain di Jawa yang termasuk kategori tanpa bilik dan berupa punden berundak 
baru muncul kembali pada masa Jawa Timur, yakni bangunan-bangunan yang biasanya dijumpai 
di pegunungan, khususnya di Penanggungan. Bangunan tertua dari jenis ini didirikan pada tahun 
1119 M, yakni Jedong, dan termuda dari tahun 1511, yakni Kepurbakalaan LXVII (Van 
Romondt 1951:52). Berbeda dengan Borobudur, bangunan di Penanggungan merupakan gugusan 
bangunan-bangunan kecil yang tersebar dan lebih banyak memiliki sifat agama Hindu dengan 
corak Siwa. Bangunan sejenis lainnya ditemukan kembali di wilayah Jawa Tengah, di lereng 
Gunung Lawu, yakni candi Sukuh dan Ceto. Dibandingkan dengan candi-candi di 
Penanggungan, candi ini lebih besar ukurannya, juga lebih baik kondisi fisiknya. Candi ini 
diketahui berasal dari awal abad ke-15 (1416-1459) dan, sebagaimana candi-candi sejenis di 
Penanggungan juga bersifat Siwa 
Petirtaan. Telah dikemukakan di depan bahwa bangunan petirtaan terutama dijumpai di 
Jawa Timur. Di antara bangunan jenis ini yang telah umum dikenal adalah Jalatunda yang 
diperkirakan didirikan pada tahun 899 Saka (977 M), demikian angka tahun yang dipahatkan 
pada bangunannya. Bangunan ini didirikan di sisi barat Gunung Penanggungan dan masih 
mengalami berbagai perubahan hingga abad ke-14 . Serupa dengan 
itu adalah pemandian Belahan. Diduga bangunan ini didirikan untuk memperingati 
meninggalnya Raja Airlangga pada tahun 1049; yakni angka kronogram yang dipahat pada 
lempeng batu. Menurut rekontruksi, di pusat bangunan ini semula ada  sebuah arca Wisnu di 
tengah di apit oleh dua arca dewi yang merupakan istrinya, yakni Sri dan Laksmi yang 
digambarkan sebagai arca pancuran 
Bangunan Gua. Di samping bangunan-bangunan di atas, ada  juga 
bangunan-bangunan dengan konstruksi yang khas sebab  pada umumnya merupakan konstruksi 
alam, yakni bangunan gua yang mungkin sekali digunakan untuk bertapa.  Kajian mengenai jenis 
bangunan ini masih pada tingkat yang sangat awal sehingga belum dapat diperoleh pengetahuan 
yang memadai, khususnya mengenai fungsinya.  Jumlahnya tidak banyak, namun  dijumpai baik di 
Jawa Tengah maupun di Jawa Timur 
Di Jawa Timur ada  di Selomangleng Tulungagung, Selamangleng Kediri (keduanya 
diperkirakan dari abad ke-10) dan di Gunung Penanggungan (terutama dari abad ke-14 dan ke-
15). Bangunan ini biasanya hadir di sekitar bangunan-bangunan keagamaan, terutama yang 
bercorak Hindu. Bangunan lain yang biasanya berdekatan dengan gua adalah petirtaan. Tidak 
diketahui dengan persis apakah ketiganya memiliki hubungan dalam konteks peribadatan 
tertentu. Yang jelas, di dalam bangunan gua ini dapat dijumpai relief yang dikenal  dalam  
bangunan   Hindu.   Di Gua  Selomangleng Tulungagung, misalnya, ada  relief adegan yang 
diambil dari cerita Arjunawiwaha demikian juga di Gua  Pasir.  Sedangkan di Gua, 
Selomangleng Kediri ada  pahatan tokoh Tataghata Amitabha. Dengan demikian, bangunan-
bangunan gua dapat dikaitkan dengan 
peribadatan agama Hindu maupun Buddha 
Satu lagi candi yang cukup penting di wilayah Kediri adalah candi Gurah. Candi Gurah 
ditemukan pada tahun 1957 di Desa Tiru (Gurah), dekat Kediri, oleh seorang petani yang 
menemukan patung sewaktu menggali sumur. Candi Siwa ini dibangun dengan bata merah dan 
batu andesit. Bangunan utama Candi Gurah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran ± 12 x 12 m. 
Candi ini menghadap barat dan ada  tiga buah bangunan kecil (menghadap timur) 
berhadapan dengan bangunan utama. Candi yang diperkirakan merupakan bangunan arsitektur 
bergaya Jawa Tengah mempunyai makara yang di dalam rahang yang terbuka ada  patung 
burung. Pada candi ini ditemukan tiga buah patung yang utama yaitu patung dengan empat buah 
kepala yang diidentifikasi sebagai Brahma dan dua patung lagi yaitu patung Bhatara Surya 
(Dewa Matahari) dan patung Chandra (Dewa Bulan). Kedua patung ini mempunyai ukiran yang 
indah dan bentuk yang hampir sama namun dapat dibedakan sebab  patung Chandra tangan 
kanannya terletak di paha kanan, sedangkan tangan kirinya berada diatas lututnya. Sedangkan 
kedua tangan Bhatara Surya terletak di atas lutut yang terlipat dimana lutut sebelah kiri terletak 
di atas kaki sebelah kanan. Kedua belah telapak tangan ada  ukiran bunga. Khusus patung 
yang berkepala empat bila ditinjau dari segi trimurti itu kemungkinan bukan dewa Brahma, 
namun  Bhatara Guru (Shiva atau Guru Agastya). Patung ini diperkirakan dari abad ke-11 - 12 M. 
Saat ini ketiga buah patung ini  disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan inventaris No. 
8454-8456. 
Dapat pula ditambahkan bahwa dari segi sifat bangunannya, gua-gua ini  dapat 
dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yakni bangunan yang sepenuhnya gua alam tanpa banyak 
modifikasi (Dieng dan beberapa gua di Gunung Penanggungan: X,XI,LXI), gua-gua dengan 
penggarapan tambahan (Gua Tritis, Lawa, Kendalisada), dan gua-gua buatan (Ratu Baka, 
Selamangleng Kediri, Selamangleng Tulungagung, Gua Pasir) 
 
6.2 Relief 
Menurut tujuan penggambarannya, relief dapat dibedakan menjadi dua, yakni relief 
ceritera dan relief non cerita. Relief jenis pertama dimaksudkan untuk menyampaikan pesan 
secara naratif, sedangkan relief non-cerita lebih tekankan pada penyampaian pesan simboliknya. 
Dalam kenyataan, hadirnya dua jenis relief ini  sering tidak bisa dipisahkan antara satu 
dengan yang lain, sehingga lebih mudah memahami maknanya bila keduanya dikemukakan 
sebagai satu kesatuan. 
Pada umumnya dipahami bahwa suatu relief dibuat atas dasar kitab sastra atau karya tulis 
yang menjadi pegangannya. Namun, berlainan dengan kitab sastra yang umumnya merupakan 
karya individual, relief yang dipahat pada candi lebih merupakan karya kolektif yang hanya 
dibuat, sekali sehingga tidak memberikan kemungkinan untuk mengalami perubahan pada masa-
masa berikutnya. Meskipun sifatnya  berbeda, namun cukup jelas bahwa di antara keduanya 
ada  kaitan. Dalam hal ini, kitab-kitab merupakan sumber acuan yang digunakan untuk 
melukiskan suatu komposisi relief cerita. Bahwa relief-relief cerita itu sebagian besar dipahatkan 
pada bangunan keagamaan, kiranya menjelaskan bahwa faktor agama merupakan pertimbangan 
utama yang melatarbelakangi hubungan antara pencipta sastra dan pembuat relief. 
Agaknya, dapat dikemukakan asumsi bahwa sebab  relief dari segi 
isinya tidak memiliki perbedaan dengan kitab sastra yang menjadi 
acuannya, maka sampai tingkat tertentu keduanya juga memiliki fungsi- 
fungsi yang sama. Meski demikian, perlu pula diingat bahwa tidak semua 
relief yang dipahat pada dinding-diuding candi di Jawa   bersumber dari 
karya-karya sastra yang dikenal dalam khasanah sastra Jawa Kuno. 
ada  juga jenis-jenis relief non-cerita yang sumbernya tidak dapat 
dengan mudah ditetapkan. Misalnya relief tentang dewa-dewa dan 
mahluk-mahluk lain penghuni kahyangan, di samping satwa biasa yang 
dikenal dalam kehidupan sehari-hari.  
Fungsi-fungsi keagamaan seperti apakah yang mungkin melatarbelakangi pemahatan 
suatu relief masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Pertanyaan pokok mungkin dapat 
dikemukakan di sini, yakni untuk maksud apa dan ditujukan kepada siapa sebenarnya  relief 
suatu candi itu dipahatkan? Kita tidak mengetahui apa sebenarnya yang dilakukan atau tidak 
dilakukan para jemaat terhadap gambar-gambar pahatan relief ketika datang ke candi-candi 
dalam aktivitas ritualnya. Kita telah mengetahui bahwa ada relief-relief yang harus dibaca secara 
pradaksina (berjalan dengan cara menempatkan relief ini  di sebelah kanan) dan ada pula 
yang sebaliknya, yakni prasawya. Jika memang ada aktivitas ritual semacam itu, keutamaan 
apakah yang diperoleh dari jemaat ini  ketika tindakan itu dilakukan masih tetap belum 
diketahui. 
Dapat pula diajukan pertanyaan lain: Adakah kemungkinan bahwa relief cerita itu tidak 
semata-mata ditujukan bagi kepentingan jemaat, namun  juga diarahkan kepada sasaran lain, 
misalnya untuk mengagungkan atau menghormati dewa atau raja yang didewakan di dalam bilik 
suatu candi?. Di sini hanya akan dikemukakan dugaan-dugaan atas dasar observasi terhadap 
sejumlah relief dan sumber-sumber acuan yang mungkin digunakan untuk menggambarkan 
relief-relief ini . Sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang mungkin terkait dengan maksud 
penggambaran suatu relief, yakni sebagai sarana penggambaran kosmos besar, sebagai sarana 
penggambaran pengalaman spiritual, dan sebagai sarana untuk menghormati dewa atau tokoh 
tertemu yang dianggap sebagai tokoh ideal. Berikut ini akan dikemukakan contoh masing-
masing dan selanjutnya dilihat kecenderungan kemunculannya pada periode Jawa Kuno. 
Apa yang dikemukakan oleh Sedyawati itu tampaknya tidak bertentangan juga dengan 
kenyataan di Jawa Timur. Setidaknya bila dikaitkan dengan penggambaran relief pada bangunan 
induk candi Penataran. Bangunan utama candi Penataran tersusun dari tiga ringkatan batur di 
bagian bawah dan sebuah badan candi yang ditopang di atasnya. Bagian atap candinya sudah 
tidak ada sebab  mungkin terbuat dari bahan yang mudah rusak. Mengingat susunan candi 
Panataran mirip dengan pura di Bali, ada dugaan bahwa atapnya berupa susunan yang 
menggambarkan Meru. Pada dinding luar badan candi induk ini ada  relief yang 
menggambarkan dewa laki-laki pada sudut-sudut dan relung-relungnya. Di antara kedua posisi 
relief ini  dipahatkan juga dewa-dewa perempuan dan ular Pada batur ketiga yang menjadi landasan badan bangunan ada  hiasan berupa 
naga bersayap dan singa bersayap. Pada dinding teras kedua memuat relief Kresnayana. Di 
dinding teras terbawah dipahatkan relief Ramayana. 
Berdasarkan pilihan wujud-wujud yang digambarkan pada candi induk Penataran itu, 
kiranya jelas bahwa keseluruhan reliefnya, dari atas hingga ke bawah, melambangkan suasana 
dunia para dewa. Terlebih lagi bila benar bahwa puncak candi induk menggambarkan atap meru 
sebagaimana umum dikenal di Bali. 
Masih di dalam kompleks candi Penataran ada  sebuah bangunan lagi yang memiliki 
relevansi dalam pembicaraan ini, yakni candi Naga. Candi ini juga tidak ada lagi atapnya, namun 
pada bagian badannya dipahatkan ular besar melilit badan candi ini. Di tempat yang sama juga 
digambarkan sembilan orang dengan pakaian kebesaran menyangga badan naga ini  
Adegan itu mirip sekali, meskipun tidak identik, dengan episode cerita ‗Pengadukan 
Lautan Susu‘ yang dikenal dengan kisah Samudramanthana. Dalam kisah ini pengadukan 
samudera itu dilakukan dalam upaya pencarian air amarta (air yang dapat mengekalkan 
kehidupan) yang ada  di dasar samudera. Alat pengaduknya adalah Gunung Mandara yang 
diputar dengan menarik lilitan ular naga Basuki pada bagian kepala dan ekornya oleh para dewa 
dan raksasa (tidak digambar di candi Naga). Cukup menarik bahwa pada masa Jawa Timur, relief 
dengan episode cerita Samudramanthana cukup populer. Kecuali ada  di candi Naga, cerita 
Samudramanthana juga dijumpai di candi (tugu) Ampel Gading (Malang), Sirah Kencong 
(Blitar)  dan candi Kesiman Tengah. Relief ular yang sedang melilit gunung 
dengan landasan bunga padma dijumpai sebagai bagian pusat dari candi jalatunda . Dalam hal ini Bosch telah menunjukkan bahwa relief Samudramanthana merupakan 
salah satu bentuk kesenian Jawa Kunn yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan 
makrokosmos ,
Termasuk ke dalam kategori ini adalah relief Bubuksah dan Gagang-Aking. Relief ini 
dipahatkan dalam lima panil di candi Surowana yang bersumber pada cerita tentang dua tokoh 
kakak-beradik yang menjalankan kehidupan sebagai pertapa dengan cara yang berbeda sama 
sekali dan masing-masing tetap menjalankan caranya sendiri tanpa bersedia dipengaruhi yang 
lain. Bubuksah, sang kakak, memakan apa saja yang dapat dimakan termasuk hewan dan 
manusia yang berhasil ditangkapnya. Sedangkan Gagang Aking hanya memakan tumbuhan 
seperlunya saja. Meskipun keduanya masuk sorga, namun  Bubuksah (yang memiiiki jiwa 
pengorbanan diri lebih besar) ditempatkan di surga yang lebih tinggi daripada adiknya. Cerita itu 
juga dianggap sebagai penggambaran ideal dari cara-cara bertapa yang dilakukan oleh pendeta 
Buddha (Bubuksah) dan pendeta Siwa 
Contoh lainnya lagi adalah Parthayajna (dipahatkan di candi Jago) yang mengisahkan 
tentang usaha Arjuna dalam bertapa di Indrakila untuk mencari kebenaran tertinggi yang 
diperolehnya dari beberapa orang guru yang memberikannya pengetahuan tahap demi tahap . Sebagaimana diketahui, bertapa merupakan salah satu cara untuk 
mencari kebenaran tertinggi, atau untuk menyatu dengan Atman yang biasanya dilakukan dengan 
jalan mengendalikan badan, bicara, dan pikiran 
Sarana Menghormat Dewa. Penggambaran relief cerita dalam fungsi ketiga ini tercermin 
dalam relief-relief yang menggambarkan kisah tindakan-tindakan kepahlawanan dari para dewa 
atau mahluk setengah dewa. 
Di Jawa Tengah ada dua relief yang kiranya dapat dimasukan dalam kategori ini, yakni 
Ramayana dan Kresnayana yang keduanya dipahatkan di candi Lara Jonggrang. Relief 
Ramayana yang dipahatkan di candi Siwa dan Brahma mengisahkan tentang perjuangan panjang 
dari Rama, dan Hanoman, melawan Rahwana. Kakawin Ramayana, yang mungkin merupakan 
sumber acuan relief ini, menyebutkan pada bagian akhirnya bahwa tindakan Rama sebagai raja 
tiga-dunia diharapkan dapat menyebabkan seluruh dunia mengikuti Rama. Selanjutnya, sang 
penyair menyebutkan bahwa penulisan syairnya itu dimaksudkan sebagai sumbangan bagi 
tercapainya cita-cita ini  ,Relief Kresnayana, yang 
dipahatkan di candi Wisnu, bersumber dari kisah tentang tokoh Kresna muda yang berperan 
sebagai semacam ‗pahlawan cinta‘ yang berhasil merebut sang kekasih (Rukmini) dari laki-laki 
lain (Raja Suniti) yang tidak dicintainya 
Kedua relief cerita di atas juga dikenal di Jawa Timur. Relief Ramayana, khususnya 
bagian akhir, dipahatkan di candi induk Penataran. Sedangkan Kresnayana, kecuali di candi 
induk Penataran, juga dijumpai di candi Jago. Dalam hal Jawa Timur, ada  kecenderungan 
yang menonjol untuk menggambarkan relief-relief ceritera yang diambil dari tokoh-tokoh heroik 
yang dikenal dalam kisah Mahabharata. Misalnya adalah Garuda. Tokoh yang dikenal dalam 
Adiparwa ini digambarkan sebagai pahlawan yang berhasil membebaskan 
ibunya, Winata, dari tawanan para ular anak Kadru setelah sebelumnya 
berhasil memperoleh air amerta Penampilan Garuda dalam peranan ini 
dijumpai dalam relief-relief yang dipahatkan di candi-candi Kidal, 
Sawentar, Kedaton, dan Sukuh.  
Tokoh lainnya adalah Sahadewa, sebagaimana tergambar dalam relief yang bersumber 
dari cerita Sudamala (Candi Tigawangi). Tokoh-tokoh lainnya lagi adalah Arjuna, sebagaimana 
dipahatkan dalam relief Arjunawiwaha (Gua Sela Mangleng Tulungagung, Gua Pasir, Jago, 
Kedaton, Candi, Surawana) dan relief Parthayajna (Jago); Kresna dan Sambha dalam relief 
Bhomantaka (Kedaton); Bima, khususnya Bima Bungkus dan Nawa Ruci (Sukuh), Gatotkaca dan 
Abimanyu dalam relief Gatotkacasraya (Sukuh), Sri Tanjung (anak Sadewa), dalam relief Sri 
Tanjung (Penataran, Surawana) dan tokoh-tokoh Pendawa lain (Jalatunda) serta Panji (Penataran, 
Kediri). Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa sebagian besar relief candi Surawana di Jawa 
Timur terutama bersumber dari kitab Mahabharata. Tokoh yang paling sering ditampilkan adalah 
Arjuna, khususnya dalam relief Arjunawiwaha. 
Apa yang dapat ditunjukkan di atas adalah beberapa contoh dari kemungkinan fungsi 
relief yang dipahatkan pada candi-candi atau bangunan keagamaan pada umumnya. Perlu 
dikemukakan di sini bahwa masih ada  banyak relief yang tidak diketahui maksud maupun 
fungsinya. Satu hal yang cukup jelas adalah bahwa fungsi keagamaan merupakan salah satu 
bagian yang penting dari relief. ada  juga kemungkinan lain, misalnya sebagai sarana untuk 
menyampaikan pesan-pesan moral, di samping merupakan sarana enkulturasi dari sejumlah kisah 
suci yang mewakili tradisi besar dan yang pada awalnya merupakan khasanah tradisi asing. 
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa tidak semua relief dipahatkan pada 
bangunan keagamaan. Sejumlah relief, juga dengan tema-tema yang biasanya dipahatkan di 
candi-candi, dipahatkan pada benda-benda tertentu, misalnya wadah-wadah atau lempeng-
lempeng logam. Relief-relief juga dapat dijumpai pada pelbagai arca, baik sebagai bagian yang 
memberi makna pada arca itu sendiri maupun sebagai bagian yang berdiri sendiri. Hiasan yang 
terakhir ini biasanya dipahatkan di sisi kiri-kanan atau bagian belakang arca. 
Meskipun sebagian besar relief-relief cerita itu memiliki sumber acuan dalam kitab sastra, 
namun  cerita dalam relief tidaklah selalu sejajar dengan cerita dalam kitab-kitab sastra, misalnya 
Ramayana di candi Lara Jonggrang dan Kunjarakarna di candi Jago. Selain itu, relief yang sama 
bisa digambarkan dengan cara yang berbeda pada candi-candi yang berbeda, baik menyangkut 
pilihan adegan ataupun pilihan episodenya (Ramayana Lara Jonggrang dan Penataran). 
Hal ini dapat terjadi sebab  dua kemungkinan, yakni bahwa seniman pemahat, meskipun 
mengacu kepada sumber sastra, tetap memiliki kebebasan hingga tingkat tertentu. Kemungkinan 
lainnya adalah bahwa seniman pemahat relief mengikuti ketentuan umum menurut sumber sastra 
yang dijadikan acuan, namun  kitab ini  yang kini sampai kepada kita telah mengalami 
perubahan-perubahan ketika naskah ini  disalin dari masa ke masa. 
 
6.3  Arca  
Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca adalah sarana ritual yang 
digunakan untuk melambangkan kehadiran dewa tertentu, namun  dapat pula melambangkan 
gagasan keagamaan tertentu. Dalam hal yang pertama, arca dipandang sebagai media yang dapat 
‗hidup‘ ketika esensi kedewataan masuk ke dalamnya melalui suatu ritual  tertentu. Sedangkan 
dalam hal kedua, arca dipandang sebagai perlambangan hakikat kebenaran tertinggi yang tidak 
dikaitkan dengan kehadiran kekuatan-kekuatan supernatural tertentu. Dalam pemikiran 
keagamaan Hindu kedua cara pandang di atas dinyatakan dalam perwujudan arca, 
sedangkan dalam agama Buddha cara pandang kedualah yang paling 
sering digambarkan dalam wujud arca.  
Berbeda dengan Jawa Tengah, arca-arca dewa dari Jawa Timur menunjukkan 
kecenderungan untuk semakin meninggalkan aturan-aturan yang dikenal dalam ketentuan 
ikonografi India, baik dalam ciri-ciri ikonografinya maupun dalam ikonometrinya. Kalau pun 
benar bahwa pada masa Jawa Timur pernah muncul pengaruh baru yang kuat dari India, maka 
hampir selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam menerapkan ketentuan itu, bahkan 
pada tokoh-tokoh dewata yang tergolong dewa utama, dan mungkin ada  di wilayah pusat 
kerajaan, misalnya tokoh-tokoh Ganesa, Cakracakra, Camunda, dan juga Prajnaparamita 
Kecenderungan lain yang mencolok adalah bahwa pada masa Jawa Timur, khususnya 
sejak masa akhir Kerajaan Singhasari, mulai muncul penggarapan arca dewa yang ditampilkan 
dengan ekspresi menakutkan. Contoh yang paling menyolok adalah arca Cakracakra atau 
Bhairawa dan arca Camunda dari Singasari. Juga arca Amoghapasha serta beberapa arca 
pengiringnya yang dijumpai di candi Jago (Malang). Arca lainnya adalah Durga dan Ganesa 
yang dijumpai di candi Singasari. Penonjolan aspek menyeramkan dari kedua arca ini terutama 
bukan pada penggambaran rokohnya, namun  pada atribut-atribut yang menyertainya, yakni berupa 
tengkorak-tengkorak manusia. 
Di Jawa juga ada  penggambaran arca pasangan di mana tokoh laki-laki dan 
perempuan digambarkan tanpa memberi tekanan yang tajam kepada perbedaan ukuran. Hal ini 
terlihat pada pasangan arca Siwa dan Parwati dari perunggu yang dijumpai di Klaten. Juga 
pasangan arca-arca baru dari masa Jawa Timur, di antaranya adalah arca pasangan (arca 
‗penganten‘) yang dijumpai di Jebuk, dua buah arca pancuran (laki-laki dan perempuan) dari 
Mojokerto dan dua arca Siwa dan Parwati dari Kediri. Dapat pula ditambahkan bahwa arca pusat 
pada candi Sumberjati (laki-laki) yang digambarkan dengan gaya yang serupa dengan arca pusat 
candi Rimbi (perempuan) juga memiliki ukuran yang sama . Bahkan dalam 
kasus candi Belahan, kedua arca perempuan yang mengapit Wisnu digambarkan dengan ukuran 
lebih besar daripada Wisnu sendiri sebagai dewa utamanya
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa para pembuat arca di Jawa cenderung 
berupaya untuk melakukan modifikasi atau penafsiran sendiri atas model-model yang berlaku di 
India. Kecenderungan serupa ini semakin jelas tampak pada arca-arca dari masa Jawa Timur. 
Menarik untuk dikaji bahwa di daerah Kediri dijumpai sebuah arca yang cukup besar, 
oleh warga  disebut arca Totokerot. Di Desa Bulu Pasar, Kecamatan Pagu, Kediri, ada  
sesosok arca besar dari batu monolit berukuran tinggi sekitar 2,60 m dan lebar bagian terlebar 
2,30 m. Menurut laporan akhir abad ke-19, sebagian tubuh arca besar itu telah terbenam ke 
dalam tanah. Keadaan itu masih berlangsung hingga tahun 1970-an. Kemudian arca ini  
berhasil diangkat dan sekarang dilengkapi lapik semen berbentuk kubus. Arca itu bersikap duduk 
dengan kaki kanan dilipat berdiri, kaki kirinya duduk ndhe-prok. Tangan kanannya diletakkan di 
lutut kaki kanannya, mungkin semula memegang gada yang ujungnya disandarkan ke bahu, 
namun  sekarang genggaman telapak tangan dan gada itu tidak ada lagi (rusak). Adapun tangan 
kirinya telah patah sebatas bahu, sehingga tidak diketahui lagi sikapnya semula. 
Secara sepintas seseorang yang paham perihal kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa akan 
mengetahui bahwa arca besar itu tidak lain menggambarkan sosok raksasa penjaga atau 
dwarapala yang menghadap ke arah barat. Segera setelah diketahui sebagai dwarapala, tentu 
akan dicari dwarapala yang lain lagi, sebab biasanya dwarapala selalu sepasang. Pencarian itu 
agaknya akan sia-sia sebab  dwarapala yang disebut penduduk sebagai ―Totokerot‖ itu sekarang 
ini tidak mempunyai pasangannnya lagi, artinya arca itu berdiri sendirian saja 
Jika penggarapan ikonometri dilihat dalam jangka waktu panjang, dengan cakupan 
wilayah yang luas, tampak bahwa pada masa Jawa Tengah ketentuan ikonometri yang diterapkan 
lebih terikat dengan aturan-aturan India. Hal ini terutama tercermin dalam arca-arca utama yang 
bercorak Hindu, khususnya yang ditempatkan di candi-candi di pusat kerajaan. Sedangkan arca-
arca yang dibuat di wilayah pinggiran cenderung memiliki kemungkinan lebih besar untuk 
digambarkan tanpa terlalu ketat mengikuti pola-pola pusat, misalnya arca-arca yang ditemukan 
di daerah Semarang, Pekalongan, dan Gedong Songo. Kecenderungan serupa juga berlaku pada 
arca-arca Buddha. 
Pendeta. Pada umumnya tokoh ini ditampilkan sebagai orang tua berjenggot dan berperut 
buncit. Mengenakan pakaian jubah dan tali kasta serta membawa tasbih. Gambaran serupa itu 
biasanya khas dijumpai pada arca Hindu yang dikenal sebagai Agastya, yakni tokoh mitos yang 
diberi tugas menyebarkan ajaran Hindu. Di samping itu, pernah pula dikemukakan dugaan 
adanya tokoh pendeta Buddha yang ditampilkan dengan ciri-ciri yang berbeda sama sekali. Ciri-
ciri pendeta Buddha digambarkan hampir sepenuhnya sama dengan arca Tataghata. Bedanya 
hanya pada penggambaran kepala yang dibiarkan gundul tanpa rambut ikal, usnisa, dan urna-
sebagaimana umum diketahui sebagai ciri penting tokoh Tataghata. 
Di Jawa Tengah hanya diketahui satu jenis tokoh pendeta Hindu yang dikenal sebagai 
Agastya. Namun, tokoh ini tampaknya diperlakukan secara istimewa, setidak-tidaknya bila 
dilihat dari penempatan tokoh ini di dalam suatu percandian. Pada sejumlah candi Hindu yang 
relungnya masih berisi arca tokoh ini ditempatkan di relung dinding selatan, sedangkan relung-
relung lain ditempati arca-arca dewa utama, yakni Durga, Ganesa, dan kadang-kadang Mahakala 
dan Nandiskala. Keistimewaannya adalah bahwa Agastya merupakan tokoh pendeta yang sejajar 
dengan tokoh-tokoh dewata. Sejauh data yang dapat dicapai, tidak ada perwujudan arca pendeta 
Hindu lain kecuali Agastya. 
Di Jawa Timur arca pendeta Hindu serupa dengan di Jawa Tengah (dalam wujud 
Agastya) juga ditampilkan dalam kedudukan yang serupa, yakni di relung selatan sebuah candi. 
Misalnya yang jelas dijumpai di candi Singasari. Dijumpai juga arca lain yang dikenal sebagai 
Trenawindu, sesuai dengan nama yang dipahatkan pada arca ini  (bhagawan trinawingdu 
maharsih). Arca ini ditemukan terlepas dari konteks percandiannya sehingga tidak diketahui 
apakah merupakan bagian dari suatu kelompok dewata ataukah ditampilkan secara tersendiri. 
Bedanya dengan ciri-ciri Agastya yang umum dikenal adalah bahwa arca ini digambarkan tidak 
berjenggot, namun  memiliki kumis panjang. Ia juga tidak berdiri di atas landasan berupa padma, 
meskipuri memiliki prabhamandala dari laksana yang khas dimiliki Agastya, yakni tasbih 

REKAM JEJAK BUDAYA KEDIRI : WISATA PUSAKA BUDAYA 
 
        Kebesaran Kerajaan Kediri di Jawa Timur  yang memiliki sejarah panjang ( abad 11-13 ) 
telah meninggalkan kekayaan ragam jejak-jejak budaya yang tak ternilai.  Budaya yang tangible 
maupun yang intangible secara kualitas, maupun kuantitas  hingga kini menjadi kekayaan dan 
kebanggaan warga  Kabupaten Kediri. Di sisi lain letak wilayah bekas kerajaan besar ini 
yang berada di dekat Sungai Brantas  dan di antara dua gunung, yakni Gunung Wilis dan 
Gunung Kelud, telah menjadikan tanah di daerah kabupaten ini subur dan menguntungkan.  Oleh 
sebab nnya tidaklah berlebihan jika ada anggapan yang mengatakan bahwa Kabupaten Kediri 
sebagai ―harta karun Jawa‖. 
        Kerajaan Kediri yang pernah berkuasa di Jawa ( Timur ) pada kurun waktu 1038-1144 M 
memiliki andil besar dalam membangun kejayaan 
sejarah masa kerajaan Nusantara. Beberapa raja besar seperti Sri Bameswara dan Jayabhaya 
mampu berperan penting dalam membangun kebesaran terutama bidang politik, sosial budaya 
yang warga  pada masa sekarang masih sangat menghargainya.Khususnya mengenai 
―Ramalan Jayabaya‖ yang masih banyak pihak yang meyakininya sebagai petunjuk dalam 
memahami gejala-gejala sosial yang selalu berkembang sesuai dengan konteks sejarahnya. Para 
raja Kediri juga menempatkan Wisnu di jajaran tertinggi diantara dewa-dewa 
        Ragam peninggalan budaya yang tangible meliputi beberapa situs, prasasti, candi, benda 
cagar budaya ( bcb ), dan museum  beserta budaya yang intangible yang berupa ritual  adat 
daerah, penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan legenda yang terbungkus 
dalam folklore merupakan wujud kearifan lokal warga  Kediri. Hal itu pada dasarnya 
memberikan pengetahuan dan pembelajaran tentang nilai-nilai luhur sebuah peradaban yang itu 
menjadi kekayaan serta kebanggaan tersendiri bagi warga  Kediri , sebab  itu merupakan 
bukti akan kekuatan dan kejayaan pendahulunya di wilayah Kediri. 
       Untuk masa kini tinggalan luhur budaya yang mencerminkan budaya tinggi dari kerajaan 
Kediri dulu,rupanya telah mendatangkan kesempatan yang sangat bagus dan menguntungkan, 
baik bagi warga warga   maupun pemerintah daerah di wilayah bekas kerajaan besar itu. 
Wujud pusaka budaya yang  bernilai sejarah menjadi harta karun warga  Kediri , dan ini 
merupakan potensi pariwisata yang berpeluang sangat bagus dalam  menempatkan Kediri 
sebagai destinasi wisata dunia. Pada gilirannya hal ini akan mampu meningkatkan tingkat 
kesejahteraan warga  Kediri. Bagaimana kegiatan pariwisata itu mampu memberi kontribusi  
yang positif dalam meningkatkan pendapatan warga  , serta potensi wisata apa saja yang 
bisa diandalkan untuk mencapai tujuan itu ? 
4.1.  Pariwisata Kediri dan Pengembangan Ekonomi  
        Menurut UU. No.9 Th. 1990 Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan 
wisata,yakni pengembangan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di 
bidang ini . Sumber-sumber pariwisata bisa dikatagorikan menjadi potensi alam, 
kebudayaan dan manusia (Purwani Wisantisari, tanpa halaman ). Model pariwisata yang 
dikembangkan di Kabupaten Kediri sesuai dengan potensi yang dimiliki adalah berbasis pada 
pusaka budaya yang bernilai historis. Nilai dan tradisi warga  Kediri yang diwarnai oleh 
kebesaran sejarahnya , menumbuhkan semangat kebanggaan diri sebagai orang Kediri. Meskipun 
demikian , mereka tidak menutup diri dari masuknya arus pariwisata. Sikap yang cukup terbuka 
dan akomodatif mendorong masayarakat di wilayah ini mengembangkan model pariwisata 
budaya, atau sebab  kekayaan peninggalan sejarahnya merupakan pusaka bangsa maka menjadi 
pariwisata pusaka budaya.  Model budaya yang disertai dengan industri kreatif kini menjadi 
pasangan sebagai sarana promosi tujuan wisata dan meningkatkan daya saing untuk menarik 
kunjungan wisatawan,
        Pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan perekonomian bagi 
suatu daerah. Boleh jadi pariwisata merupakan ujung tombak dari kemajuan suatu daerah. 
Pariwisata memiliki tanggung jawab untuk membawa nama /citra suatu daerah agar dikenal di 
tingkat nasional. Semakin berkualitas pelayanan pariwisata di suatu daerah , maka daerah itu 
semakin berkembang dan dikenal. Demikian pula tentang pariwisata di Kediri yang memiliki 
keunikan tersendiri, yakni wisata budaya yang sangat kental bernuansa nilai-nilai historis  yang 
berlandaskan kebesaran kerajaan Kediri . Keagungan ini merepresentasikan sebuah peradaban 
yang melahirkan karya seni budaya tinggi baik yang monumental ,maupun yang berwujud 
kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur  yang tak pernah luntur apalagi lenyap oleh 
gerusan masa. Sebut saja beberapa ceritera legenda yang menjadi folklore menyiratkan adanya 
nilai-nilai yang menjadi kearifan lokal yang memberikan pengetahuan dan pembelajaran norma 
dan nilai luhur yang terus menunjukkan fungsinya bagi falsafah kehidupan manusia (Dinas 
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri, tanpa tahun : 1-6 ). 
        Kabupaten Kediri memiliki peran yang sangat penting dalam arena perjalanan sejarah 
bangsa negara kita  masa kuno. Hal ini terbukti dari munculnya Kerajaan Kediri yang menjadi 
representasi penting bagi kebesaran kerajaan di Jawa Timur sekitar abad 11-12. Dari 
perkembangan sejarahnya, nama Kediri sebenarnya sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram 
Hindu yang pada waktu itu ibukotanya berada di wilayah Jawa Tengah hingga pada perjalanan 
sejarah selanjutnya melalui dinamika sosial politik yang pada akhirnya terjadi perpindahan pusat 
pemerintahan ke Jawa Timur  atau lebih tepatnya di wilayah Kabupaten Kediri sekarang. Jadi 
boleh dikatakan bahwa Kerajaan Kediri menjadi  tonggak awal bagi pusat kekuasaan di Jawa, 
menggantikan Jawa Tengah  ( kerajaan Mataram Kuno ) yang sudah runtuh terlebih dahulu.  
Perkembangan sejarah ini menjadi modal utama bagi pengembangan wisata di Kediri. 
       Pengembangan pariwisata pada dasarnya menyiratkan beberapa tujuan postif, walaupun 
tidak dapat dikesampingkan timbulnya beberapa masalah yang cukup kompleks. Tujuan 
pengembangan pariwisata di semua daerah tujuan wisata, dapat dilihat dari aspek makro dan 
mikro. Pada tingkat makro, pariwisata diharapkan mampu meningkatkan penerimaan 
pemerintahan daerah , kesempatan kerja, potensi alam dan budaya . Pada tingkat mikro ingin 
mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga  . Beberapa pemerintah daerah dewasa ini 
sangat aktif dalam mengelola pengembangan wisata di daerahnya, dengan berbagai usaha seperti 
memberdayakan segala potensi budaya yang dimilikinya dan pengembangan sektor lain yang 
terkait. Industri pariwisata  memberikan kesempatan serta menambah pekerjaan untuk usaha –
usaha yang erat hubungannya dengannya seperti: pemandu wisata, seniman, hotel dan rumah 
makan. Besarnya manfaat dari pengembangan industri pariwisata mendorong pihak terkait untuk 
membuat formulasi tentang cara atau strategi untuk keberhasilan pariwisata.  Untuk itu dicoba 
dipasangkan antara modal budaya dengan industri kreatif sebagai sarana promosi tujuan wisata, 
disamping itu juga difungsikan untuk menarik kunjungan wisatawan. 
        Pariwisata budaya merupakan perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginanuntuk 
meluaskan pandangan hidup seseorang dengan jalan melakukan peninjauan ke luar negeri untuk 
mempelajari keadaan rakyat , kebiasaan dan adat istiadat , gaya hidup serta kebudayaan mereka. 
Jenis pariwisata budaya ini merupakan jenis yang paling populer di beberapa destinasi wisata  
yang ada di negara kita . Wisatawan itu mengunjungi tempat wisata sebab  ingin melihat kesenian, 
seperti; tari-tarian , monumen sejarah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan 
yang berlaku di tempat wisata yang dikunjungi. Berpijak dari pemahaman itu, perlu segera 
diantisipasi dengan melakukan penataan segala potensi yang dilmiliki , seperti mengadakan 
pencerahan kepada warga  untuk ikut berperan serta dalam menjaga, melestarikan dan 
mengkomodifikasinya sesuai dengan tuntutan komerialisasi  yang diharapkan akan mampu 
mendatangkan keuntungan –keuntungan bagi mayarakat, dan pada gilirannya bisa meningkatkan 
kesejahteraan hidup warga  di wilayah pariwisata.  
        Masih terkait dengan tujuan pengembangan pariwisata di Kabupaten Kediri,  intinya adalah 
mengacu kepada tujuan secara umum , yakni untuk memperkenalkan kebudayaan, keindahan 
alam kepribadian bangsa negara kita  kepada warga  wisatawan dan sekaligus membantu 
meningkatkan pendapatan warga . Disamping itu pengembangan pariwisata membuka 
kesempatan bagi wisatawan dalam negeri untuk mengenal budaya tanah airnya sendiri ,Dengan demikian pada dasarnya bisa dikatakan 
bahwa manfaat pariwisata adalah meningkatkan pendapatan devisa dan warga , perluasan 
kesempatan dan lapangan kerja, serta mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang 
pariwisata dan industri sampingan lainnya. Wisatawan yang membeli souvenir barang seni  akan 
menstimulir kegiatan para pengrajin untuk memperbanyak produksinya. Toko souvenir tumbuh 
sebagai penyalur berbagai kreasi seni sebagai hasil produksi pengrajin. Intinya seorang 
wisatawan ingin melihat dan memperoleh sesuatu yang unik, berkepribadian  asli namun  indah.  
Hal ini akan berpengaruh bagi pengembangan kreasi pergelaran seni budaya yang semakin 
berkualitas.  Mungkin terjadi bahwa bahwa perkembangan seni budaya ini pada awalnya lebih 
dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Akan namun  melalui proses 
persaingan dan sikap selektif dari wisatawan , pada akhirnya aspek kualitas akan lebih 
diperhatikan dibandingkan hanya sekedar target kuantitas oleh penyelenggara industri pariwisata. 
Oleh sebab  besarnya manfaat yang diperoleh dengan pengembangan pariwisata baik secara 
ekonomis, maupun seni budaya, pemerintah