imperialisme
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
imperialisme
Artikel ini ini menggambarkan globalisasi dengan cara pandangnya masing-masing.
Globalisasi berkaitan erat dengan komunikasi dan komunikasi global melahirkan
imperialisme Budaya Trend atau imperialisme media. Kedua konsep itu datang dari banyak mazhab
pemikiran (arus informasi bebas yang senjang, dependensi, sistem dunia, dan kolonialisme
elektronik) sebagai respons dan kritik terhadap dominasi Budaya Trend dan media Barat. Dengan
memakai metoda kepustakaan, digambarkan sejarah, pengertian dan asumsi-asumsi sekaligus
kritikan terhadap konsep imperialisme Budaya Trend . Berikutnya, penulis menggambarkan
pengaruh imperialisme Budaya Trend di negara kita . Pada era Orla, imperialisme Budaya Trend ada namun
terkendali akibat politik Trend rezim Soekarno yang “menasionalisasi Budaya Trend ”.
Sementara pada era rezim Orde Baru , imperialisme Budaya Trend lebih menonjol sebab politik
Trend pintu terbuka (open sky policy) dan pada era reformasi, imperialisme Budaya Trend
semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik.
Dan wajah imperialisme Budaya Trend semakin beragam tidak hanya datang dari Barat, melainkan
juga dari non-Barat, termasuk Asia. Makin menguatnya imperialisme Budaya Trend dewasa ini,
telah menimbulkan kesadaran kaum elit sehingga dalam Pilpres 2014 gagasan nasionalisme,
kemandirian dan doktrin Trisakti menjadi materi kampanye politik para capres dan cawapres.
“Globalization” dipandang
Tomlinson (1999:2), sebagai:
“complex connectivity referring to the
rapidly developing and ever more
complex network of interconnections
and interdependencies that
characterize modern social life”.
Interkoneksi dan interdependensi yang
demikian cepat dalam globalisasi
terjadi akibat perkembangan teknologi
informasi yang dewasa ini semakin
konvergen. sebab globalisasi
merupakan bagian dari concern semua
negara, maka banyak peneliti tertarik
dengannya.
Para analisis globalisasi
menurut Held and McGrew (1999)
terbagi ke dalam tiga mazhab
pemikiran (school of thought):
hyperglobalist, skeptics dan
transformationalist. Pertama,
kelompok yang melihat globalisasi
sebagai ancaman bagi satu negara
sebab ia akan mengurangi kekuasaan
negara dan digantikan kemudian oleh
datangnya pasar global. Mazhab ini
melihat faktor ekonomi sebagai
determinan globalisasi yang akan
mendenasionalisasi ekonomi satu
negara dan akan menyebabkan
hilangnya kedaulatan negara. Kedua,
mazhab skeptic menyatakan bahwa
globalisasi adalah sebuah mitos
seberapa yang dimaksud dengan
globalisasi dalam perspektif ekonomi
sebagaimana dinyatakan kaum
hyperglobalist bukanlah fakta yang
universal. Interdependensi ekonomi
hanyalah terbatas pada OECD.
Ketiga, mazhab
transformasionalis yang menganggap
globalisasi punya konsekuensi
struktural dan merupakan kekuatan
pendorong perubahan warga
lewat pengaruh ekonomi, politik dan
sosial dengan jalan proses dialektis.
Jadi globalisasi bukan sekedar
homogeni atau heterogen, konvergen
atau divergen melainkan sebuah proses
dialektis yang menimbulkan baik
integrasi atau fragmentasi sekaligus.
Dalam konteks mazhab inilah
kemudian, komunikasi menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari
pembicaraan globalisasi. Bahkan
McLuhan melihat globalisasi dan
komunikasi sebagai konsep yang
deeply interwined, saat ia
mengetengahkan “medium is the
message” dan “global village”.
Menurut Rentenan, 2005:4) “Secara
praktis tidak mungkin ada globalisasi
tanpa media dan komunikasi”.
Dengan menunjukkan eratnya
kaitan komunikasi dengan globalisasi,
maka Rentenan mendefinisikan
globalisasi sebagai : ”process in which
worldwide economic, political, cultural
And social relations have become
increasingly mediated across time and
space”(p.8). Peranan media dan
komunikasi dalam proses globalisasi
menjadi sangat strategis dan penting.
Pertama, berbagai perusahaan media
mogul dewasa ini semakin beroperasi
secara global. Kedua, banyak
infrastruktur komunikasi global
memfasilitasi arus informasi global.
Ketiga, media global berperan penting
dalam memandang berbagai peristiwa
lintas dunia untuk membangun sistem
makna bersama.
Tulisan ini ingin
menggambarkan: (1) bagaimana
imperialisme media memandang
globalisasi dan relasi antarnegara
dalam konteks posisi dan peran media;
(2) dapatkah konsep imperialisme
media menggambarkan dan
membuktikan dampak media secara
utuh dan menyeluruh atas terbentuknya
homogenisasi Budaya Trend di negara-negara
berkembang, sehingga penjajahan
Budaya Trend dari Barat nyata terbukti; dan
(3) bagaimana reaksi dan kritik yang
selama ini berkembang dari para
3
peneliti komunikasi terhadap konsep
imperialisme media?; dan (4) adakah
imperialisme media di negara kita ?.
Tulisan ini akan diawali dengan
mendeskripsikan konsep imperialime
Budaya Trend dan imperialisme media serta
pengaruh tradisi intelektual di
belakangnya. Kedua, akan
menunjukkan berbagai teori yang
melandasi munculnya konsep
imperialisme media. Ketiga,
menyajikan kritikan terhadap konsep
imperialisme media. Dan keempat,
mendiskusikan ada tidaknya
imperialisme media di negara kita .
Analisis didasarkan atas studi literatur
(library research) dan analisis kritis
terhadap gejala media dan Budaya Trend
imperialisme yang berkembang di
negara kita . Penggunaan konsep
imperialisme media atau imperialisme
Budaya Trend disini tidak dimaksudkan
sebagai dua konsep yang terpilah tegas
(mutually exclusive), tetapi
mengandung satu pengertian ibarat dua
sisi dalam satu mata uang logam.
KERANGKA PEMIKIRAN
Sejarah Imperialisme Media
Sehabis Perang Dunia II, terjadi
Perang Dingin (Cold War) antara Blok
Barat yang dipimpin Amerika dengan
Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Perang ini berlangsung dari 1945
hingga 1989 saat tembok Berlin
runtuh. Amerika mewakili ideologi
kapitalis dan Soviet mewakili ideologi
sosialis. Dalam konteks pergulatan
komunikasi internasional, Amerika
memperjuangkan laissez-faire dan free
flow of information sebagai bagian dari
freedom of the press. Belakangan
Unesco juga menuntut free flow across
border to lead better world yang
didukung para peneliti program riset
komunikasi internasional (KI)yang
tergabung dalam MIT Center for
International Studies. MIT ini lalu
membentuk Program Riset dalam
Komunikasi Internasional yang
dipimpin Lasswell, Ithiel de Sola
Pool, Karl Dutsch, Daniel Lerner,
Schramm, dan Lucian Pye. Riset
mereka didanai Ford Foundation.
Keterlibatan Amerika dalam
PD II dengan Soviet, membuat para
peneliti terperangkap dalam bias Barat
sebab strategi KI dirancang agar pro-
Barat dan anti-komunis. Paradigma KI
yang menjual doktrin free flow dan the
ideal to lead better world kemudian
dilegitimasi oleh metoda riset
komunikasi yang berpusat pada efek
empiris media yang diprakarsai
Lasswell, Lazarsfeld dan Hovland.
Lahirnya paradigma pembangunan
modernisasi yang di dalamnya
menempatkan media sebagai magic
multiplyer effects pembangunan, telah
dijadikan sarana untuk mencapai cita-
cita perubahan warga dari
tradisonal menuju modern.
Namun sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi,
agensi-agensi kantor berita Barat
seperti Reuters atau French Press
Agency dan Associated Press (AP)
telah mengonstruksi realitas dunia
menurut persepsi Barat. Kala itu, Barat
lebih banyak memberitakan berbagai
peristiwa negatif negara-negara Dunia
Ketiga seperti Amerika Latin, Afrika
dan Asia. Mereka digambarkan sebagai
negara yang penuh bencana, kudeta,
revolusi dan berita-berita negatif
lainnya. Di tengah kondisi demikian,
datang tawaran pinjaman utang luar
negeri, alih teknologi dan resep Budaya Trend
agar negara-negara Dunia Ketiga
mengikuti jalan modernisasi Barat dan
sebagian negara Amerika Latin, Afrika
dan Asia pun mengikuti jalan tersebut.
Di tengah hiruk-pikuk
modernisasi, pada 1960-an diam-diam
muncul para sarjana komunikasi Eropa
yang tergabung dalam
InternationalAssociation
Communication Research (IAMCR).
4
Kelompok ini berasal dari Association
for Education in Journalism and mass
Communication (AEJMC) yng
memiliki tradisi riset kritis. Dengan
bantuan Unesco, mereka membentuk
Education and Research in
International Communication. Dalam
riset-riset mereka, ditemukan betapa
program-program berita dan hiburan
Barat mendominasi media Amerika
Latin, Afrika dan Asia. sebab itu,
mereka melihat adanya imperialisme
baru yang dilakukan bukan secara
hard poweryakni penggunaan kekuatan
militer untuk menguasai satu negara,
melainkan melalui soft power
(diplomasi) yang disebutnya sebagai
imperialisme Budaya Trend dan media.
Wacana imperialisme media,
semakin menggema pada 1970-an
terutama di Amerika Latin lewat para
pemikir seperti Antonio Pasquali
(1963), Luis Ramiro Beltran (1976),
Mario Kaplun (1973), F. Rayyes Matta
(1977). Sementara dari Inggris, muncul
mazhab Frankfurt yang membawa
tradisi kritis terhadap ilmu sosial,
termasuk bidang komunikasi.
Munculnya Andre Gunnar Frank yang
mengecam modernisasi lewat
paradigma dependensia telah
memperkaya analisis media terhadap
dinamika global komunikasi.
Philip Elliot dan Peter Golding
lewat Center of Mass Communication
Research pada Universitas Leicester,
Inggris mempublikasikan sebuah studi
yang mengambarkan dominasi Barat
atas arus pemberitaan internasional,
khususnya antara Inggris dengan
negara-negara Afrika (Martin dan
Heibert, 1990:288). Sarjana Inggris
yang lain Oliver Boyd Barret (1977),
telah memperkenalkan konsep
“imperialisme media” dan dianggap
sebagai pemuka teori ini. Tampaknya
tokoh yang paling menonjol adalah
Herbert Schiller yang menulis Mass
Commucation and American Empire
(1969) dan Communication and
Cultural Domination (1976). Tokoh-
tokoh lain yang menyumbang penting
adalah Armand Mattelart, Cess J.
Hamelink, McChasney, Nordenstreng,
Noam Chomsky, dan banyak lagi.
Dalam konteks tradisi
keilmuan, teori komunikasi massa
Amerika mewakili mazhab dominan
positivisme. Paradigma ini mengacu
pada empirisme kuantitatif dan
administratif dengan dukungan riset
psikologi-sosial, sosiologi struktur-
fungsional yang percaya akan
keteraturan (order) dan konsensus.
Sementara itu, dari sudut riset
komunikasi, positivisme dipengaruhi
oleh persuasi dan propaganda dan
determinisme teknologi informasi yang
menempatkan komunikasi massa
sebagai agen perubahan sosial.
Sedangkan imperialisme media datang
dengan sebuah tradisi riset baru yakni
paradigma kritis yang banyak
dipengaruhi ilmuwan Eropa. Tradisi ini
dipengaruhi neo-Marxis yang
memandang realitas sosial dalam poros
konflik dan pengaruh teori ekonomi-
politik serta warga massa yang
memandang media sebagai alat
kekuasaan kelompok hegemonik dan
dominan di warga sehingga
media menimbulkan kesadaran palsu
(false-conciousness) terhadap
warga (McQuail, 2005:96-133).
Pengertian Imperialisme Media
Menurut Livingston A. White,
imperialisme Budaya Trend punya ragam
istilah yang banyak. Boyd-Barret
(1977) menyebutnya “imperialisme
media”, Link 1984 dan Muhammadi,
(1995) menyebutnya, “dominasi dan
dependensi Budaya Trend ”, McPhail (1987)
menyebutnya,”kolonialisme
elektronik”, Hamelink (1983)
menyebutnya, “sinkronisasi Budaya Trend ”,
Galtung (1979) menyebutnya,
“imperialisme struktural”, Mattelart
5
(1994) menyebutnya, “imperialisme
ideologis” dan imperialisme ekonomi.
Namun istilah yang paling populer
dipakai adalah “imperialisme Budaya Trend ”
atau “imperialisme media”.
Asumsinya, lanjut A. White, sebab
media menempati posisi sentral dalam
penciptaan Budaya Trend . sebab itu, dua
istilah ini sering saling bertukar
(interchangeble), ibarat dua anak
kembar.
“Imperialisme Budaya Trend ”, kata
Salwen (1991:30) adalah istilah yang
bermuatan ideologis yang sering
berkaitan dengan penggambaran efek
atau pengaruh media massa Barat
terhadap khalayak luar negeri. Para
peneliti imperialism Budaya Trend (IM)
sepakat sebagaimana digambarkan
Berltran, (1978b:184) bahwa :
”cultural imperialism is a verifiable
process of social influence by which a
nation imposes on other countries its
set of beliefs, values, knowledge, and
behavioral norms as well as its
overall style of life”. Sementara
Schiller (1979) mendefinisikan
imperialisme Budaya Trend :…”Sum of the
processes by which a society is
brought into the modern world system
and how its dominating stratum is
attracted, pressured, forced, and
sometimes bribed into shaping social
institution to correspond to, or even
promote, the value and structures of
the dominating center of the system”.
Cess Hamelink (1983:2-3)
secara deskriptif menggambarkan
hilangnya identitas lokal berupa adat-
istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan
gaya hidup setempat yang digantikan
oleh semua yang serba Amerika akibat
serbuan media mereka. Konsep lain
dari imperialisme Budaya Trend adalah,apa
yang disebut imperialisme media
(media imperialism). Menurut Boyd-
Barrett, “media imperialism refers to
the process whereby, the ownership,
structure, distribution or content of the
media in any one country are, single or
together, subject to substantial
external pressures from the media
interests of any other country or
countries, without proportionate
reciprocation of influences by the
country so effected”. Dalam konteks
bingkai imperialisme media, media
sering diidentikkan sebagai
“ideological state apparatuses” yang
membawa kepentingan negara maju,
khususnya Amerika.
Dengan merujuk pada definisi
imperialisme Budaya Trend dan media
sebagaimana dikemukakan di atas,
dapatlah tergambarkan, bagaimana
globalisasi dipahami oleh kelompok
ini. Bagi mereka, globalisasi
ditafsirkan, sebagaimana yang
didefinisikan Anthony Gidden
yakni:”Globalization as the spread of
modernity, which he defines as the
extention of the nation-state system,
the world capitalist economy, the
world military order and the
international devision of
labor”(Giddens dalam Thussu,
2006:63). Dari perspektif teori
globalisasi, kaum imperialis media,
dapat dimasukkan ke dalam kubu
hyperglobalist yang memandang
globalisasi sebagai ancaman ekonomi
global dan militer dari negara-negara
maju terhadap negara-negara
berkembang dan belum berkembang
(Tomlinson dalam Muhammadi,
1997:74).
Menurut Barret, teori
imperialisme Budaya Trend terbagi ke dalam
dua model. Pertama, model Schiller
yang lebih ideologis dan yang kedua
adalah model yang generik atau
bersifat umum. Masing-masing
kelompok ini membangun tradisi
program riset dengan jalan yang
berbeda. Model pertama dibangun oleh
kelompok pendekatan ekonomi-politik
yang didasarkan pada tradisi neo-
Marxis. Paradigma dependensia
6
misalnya, banyak mewarnai
pendekatan awal program riset
imperialisme Budaya Trend .Sedangkan
kelompok yang kedua, datang dari para
ilmuwan mazhab behavioristik yang
menyodorkan program riset
komunikasi dengan penekanan pada
efek media ,studi analisis isi dan studi
arus berita.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini akan diawali dengan
mendeskripsikan konsep imperialime
Budaya Trend dan imperialisme media serta
pengaruh tradisi intelektual di
belakangnya. Kedua, akan menunjukkan
berbagai teori yang melandasi munculnya
konsep imperialisme media. Ketiga,
menyajikan kritikan terhadap konsep
imperialisme media. Dan keempat,
mendiskusikan ada tidaknya imperialisme
media di negara kita .
Pendekatan metodologis yang
dipakai dalam kajian ini, menggunakan
pendekatan kualitatif. Sedangkan metoda
pengumpulan data didasarkan atas studi
literatur (library research) atau analisis
dokumen dan analisis kritis terhadap gejala
media dan Budaya Trend imperialisme yang
berkembang di negara kita . Riset
kepustakaan atau analisis dokumen adalah
sebuah cara untuk menggali data dari
sumber yang berbentuk buku, jurnal,
majalah, surat kabar, undang-undang,
website dan data tertulis lainnya yang
relevan dengan topik bahasan.
Penggunaan konsep imperialisme
media atau imperialisme Budaya Trend disini
tidak dimaksudkan sebagai dua konsep
yang terpilah tegas (mutually exclusive),
tetapi mengandung satu pengertian ibarat
dua sisi dalam satu mata uang logam.
Namun, apabila harus dikonstruksi melalui
polarisasi mazhab pemikiran (school of
thought), penulis condong memilih konsep
imperialisme Budaya Trend (cultural
imperialism), sebuah konsep yang yang
sering digunakan oleh mazhab neo-
Marxist.
Dalam usaha menunjukkan hasil
survei tentang ada tidaknya gejala
imperialisme Budaya Trend di negara kita , penulis
menggunakan metoda kronologis ysitu
dengan memetakan penggambaran gejala
imperialisme Budaya Trend pada masa rezim
Orde Lama, rezim Orde Baru dan rezim
Orde Reformasi.
HASIL PENELITIAN
Teori dan Asumsi Imperialisme Media
Imperialisme media
dikonstruksikan oleh empat teori:
ketimpangan arus informasi (flow of
information gap) dependensia, world
system theory (WST), dan electronic
colonialism (ECT). Dunia mengalami
kesenjangan informasi antara negara
Pusat(core) dengan negara Pinggiran
(periphery). Kaum dependenista
menganggap bahwa pembangunan
telah melahirkan keterbelakangan
negara-negara dunia ketiga. Sementara
itgu, teori sistem dunia melihat
terjadinya eksploitasi dan hubungan
asimetris antara “negara pusat” kepada
“negara pinggiran” dan “semi
pinggiran”. Kolonialisme elektronik
memandang relasi sepihak yang
dibentuk oleh importasi hardware dan
sofware beserta unsur pendukungnya
untuk mengubah warga setempat.
Teori kolonialisme elektronik
(Electronic Colonialism Theory)
merupakan bagian dari teori makro
(Phail,2010:16) yang tradisi risetnya
datang dari Innis, McLuhan, Mattelart,
Ellul, Bagdikian, dan Barnett. Teori
ECTini kata Phail, menekankan
pada:”posits that foreign produced,
created, or manufactured cultural
products have the ability to influence,
or possible displace, indigenous
cultural productions, artifacts, and
media to the detriment of recieving
nations (hal.320). Informasi dari luar
menurut teori ini bisa menyebabkan
7
penolakan, perubahan, pengasingan
terhadap kebiasaan otentik setempat,
pesan-pesan domestik dan sejarah
kulturalnya. Sementara kultur
konsumerisme akan merajalela
mendominasi realitas media sebab
makin berkuasanya perusahaan-
perusahaan multinasional yang datang
ke negara-negara berkembang.
Kedua, teori sistem dunia
(WST) yang dikembangkan oleh
Immanuel Wellernstein. Menurut teori
ini, relasi negara-bangsa (nation-state)
terbagi ke dalam tiga zona: core, semi
peripheral dan peripheral zone.
Diasumsikan bahwa relasi satu wilayah
dengan wilayah lain menunjukkan
ketidaksamaan dan ketidakmerataan
dalam hubungan ekonomi. Wilayah
pusat (core zona) mendominasi dan
mengontrol dua wilayah lainnya yakni
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah
pusat berusaha mengontrol dan
merumuskan sifat dan lingkup
interaksinya dengan kedua wilayah
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah
pusat juga menyediakan teknologi
peringkat keras, lunak, modal,
pengetahuan, barang dan jasa kepada
dua wilayah yang berfungsi sebagai
pasar dan konsumen sekaligus.
Ketiga, teori dependensi.
Program riset imperialisme Budaya Trend
kaum dependenista menganggap
bahwa realitas dunia terbagi kedalam
dua kategori: Negara maju (core) dan
Negara pinggiran (periphery). Negara-
negara pinggiran sangat bergantung
pada media yang dimiliki Negara
maju. Dalam konteks ini imperialisme
Budaya Trend dilihat sebagai alat Negara
maju untuk memelihara dominasi
setelah mereka meninggalkan
penjajahannya dalam bentuk
penguasaan militer. Pandangan
ekonomi-politik kaum dipendenista
melihat imperialisme Budaya Trend sebagai
produk ekonomi-politik kaum
imperialis.
Keempat, ketidakseimbangan
informasi (imbalance flow of
information). Hampir 80% informasi
dunia dikuasai oleh Utara. Sedangkan
Selatan hanya menguasai kurang lebih
20% informasi. Studi Tapio Varis pada
1980-an tentang arus pesan televisi
dunia yang didukung Unesco
menyimpulkan seriusnya pertukaran
informasi yang tidak seimbang antara
Utara dan Selatan. “Most countries”,
kata Varis, “are passive recipients of
information disseminated by a view
other countries” (Roach,1997:47). Hal
ini terjadi sebab teknologi informasi
dan komunikasi - hard-ware maupun
software- konglomerasi media, dan
kekuatan ekonomi dan politik dikuasai
negara-negara Utara. “Dominasi
Barat”, kata Stevenson, “mencakup
seluruh aspek komunikasi global,
berita, Budaya Trend pop, bahasa Inggris
sebagai bahasa global, dan teknologi
komunikasi” (Stevenson dalam Salwen
and Stacks, 1996:188). Kegiatan
negara-negara superpower kala itu
dalam melakukan propaganda,
melibatkan organisasi-organisasi
intelegens-nya seperti CIA, KGB,
Mossad, MI-5, dan RAW, telah
menimbulkan dominasi komunikasi
dan informasi negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang.
Para sarjana Amerika Latin
misalnya, memakai kacamata teori
dependensia untuk mengkaji
perusahaan media massa yang
berkembang di negeri itu pada1970
dan 1980-an. Empatdari lima
perusahaan jaringan televisi swasta
besar yang ada Amerika Latin
(sepertiGlobo TV di Brasil dan
Televisa di Mexico), ternyata tidak
menunjukkan watak kepemilikan
sebagaimana yang lazim ada di Negara
Ketiga (Third World). Menurut kaum
dependista, media dan rakyat Amerika
Latin terus bergantung pada negara-
negara maju, terkait dengan berita dan
8
kebutuhan kulturalnya. Herbert
Schiller (1969) dalam Mass
Communication and American Empire
mampu menunjukkan keterlibatan
pemerintahan Amerika dan
perusahaan-perusahaan bisnisnya yang
mencengkram sistem media Dunia
Ketiga. Dorfman dan Matterlart (1975)
dalam How to Read Donald Duck,
misalnya, mampu melacak jejak-jejak
ideologis kaum imperialis dalam
komik Walt Disney yang
didistribusikan secara luas ke Amerika
Latin.
Dari berbagai studi yang
dilakukan kaum imperialis media,
paradigma dominan Barat mengenai
komunikasi dan teknologi informasi,
menurut Gudykunst dan Mody
(2002:9), dikritik tajam sebagai
berikut:
1. Teknologi komunikasi dan
informasi yang disebarluaskan
Barat, dianggap sebagai nilai yang
mengandung muatan paternalistik
dan etnosentrisBarat.
2. Metodologi riset komunikasi
internasional Barat yang berpusat
pada efek media telah
mengabaikan konteks ideologi,
ekonomi, politik, dan Budaya Trend
negara-negara Dunia Ketiga.
3. Model Lasswell yang mengacu
pada: who, say what, in which
channel and with what effect harus
digantikan dengan pertanyaan riset
yang baru: “who owns and
controls the distribution of
communication and for what
purpose and intents?
4. Media merupakan bagian integral
dari “ideological state
apparatuses” yakni bagian dari alat
negara yang menanamkan nilai-
nilai ideologis kepada publik.
Dari sebagian besar teori dan
riset imperialisme media, terdapat
beberapa asumsi pemikiran yang
melandasinya. Pertama, bahwa
imperialisme media berasumsi bahwa
dominasi dan hegemoni Budaya Trend dan
media terjadi disebabkan sebab faktor
eksternal, seperti faktor ekonomi dan
politik yang mempengaruhi operasi
media. Sementara itu, paradigma
modernisasi melihat keterbelakangan
warga terjadi sebab “cacat
mental” yang dialami oleh warga
yang belum maju. Kedua, studi dan
riset media menekankan pada efek
media dengan menggunakan teori
hypodermic needle (teori jarum
hipodermik) yang mengandaikan
bahwa media memiliki pengaruh
langsung terhadap khalayaknya.
Ketiga,relasi antarnegara dalam
komunikasi internasional dan
globalisasi telah melahirkan
homogenisasi Budaya Trend dan media di
negara-negara berkembang. Keempat,
khalayak dianggap sebagai entitas
yang pasif dalam menerima informasi
dan komunikasi dari luar. Kelima,
teori-teori imperiliasme media pada
umumnya menggunakan teori-teori
makro komunikasi yang menekankan
pada arus informasi satu arah (one way
flow of information) atau “top down
transmission system from dominant
country to dominated
country”.Keenam, imperialisme
Budaya Trend percaya bahwa media
memainkan peran penting dalam
pembentukan Trend .
Dari perspektif paradigmatik,
teori kritis imperialisme Budaya Trend atau
dependensi dapat dibedakan dari teori
free flow dan free market yang
berparadigma positivisme-modernisasi.
Menurut Daniel Biltereyst, kedua
mazhab ini menunjukan perbedaan
signifikan dalam memandang realitas
dunia komunikasi. Pertama, paradigma
dependensi berada pada posisi
paradigma kritis, penganut kaum kiri-
progresif dan bermazhab imperialisme
Budaya Trend . Sedangkan paradigma free
9
market menganut paradigma
administratif, berposisi sebagai kaum
konservatif dan penganut mazhab free
flow of information. Kedua, kaum
dependensi melihat dominasi Amerika
sebagai wujud konspirasi hukum pasar
kapitalis yang tertanam dalam nilai-
nilai, norma dan ideologi kapitalis
Amerika dengan nilai yang sudah
distandarisasi.
Sedangkan pada free market,
merujuk pada hukum free market yang
percaya pada seleksi alamiah yang
bebas di ruang publik dan memandang
Budaya Trend sebagai nilai universal yang
bisa diterima siapapun. Ketiga, pada
dependensi konsep khalayak dilihat
sebagai entitas yang pasif dan
dianggap sebagai komoditas.
Sedangkan pada free market, khalayak
dipandang sebagai entitas yang terbuka
dan menunjukan kebutuhan dan
permintaan yang kooperatif. Keempat,
dari sudut pengaruh Budaya Trend , kaum
dependensi melihat pengaruh media
Barat menimbulkan ketergantungan
bangsa-bangsa bukan-Barat,
menciptakan homogenisasi dan
sinkronisasi Budaya Trend serta menciptakan
kesadaran dan kebutuhan palsu (false
needs and consciousness). Dan bisa
ditambahkan disini sebagai faktor
kelima bahwa teori dependensi
menggunakan teori-teori makro.
Sedangkan free market menggunakan
teori-teori mikro.
PEMBAHASAN
Kritik terhadap Teori Imperialisme
Media
Menurut para pengeritik
imperialisme media, Sriberny-
Muhammadi (2001) misalnya,
imperialisme media mengandung
problematik baik secara teoretis
maupun secara empiris. Media,
tambahnya, bukanlah faktor tunggal
dan menentukan yang mempengaruhi
khalayak. Terdapat determinan-
determinan lain yang juga
mempengaruhi khalayak seperti faktor
industri (fesyen, turisme, arsitek dll)
dan warisan pendidikan kolonial. Lagi
pula, kata yang lain, konsep
imperialisme media kurang memiliki
ketepatan definisi yang jelas. Hampir
semua pengagas teori ini, memiliki
defenisi yang sangat beragam.
Sui Nam Lee (1988) misalnya,
mengeritik konsep ini sebagai istilah
yang tidak spesifik. Namun, saat ia
menawarkan imperialisme media
digantikan dengan istilah
”imperialisme komunikasi”, juga
menimbulkan perdebatan. Selain itu,
data ekonomi dari imperialisme media
mungkin dapat diukur lewat statistik,
tapi mengukur data Budaya Trend , lebih sulit
untuk diukur. Di sini kata Golding dan
Harris (1997:5) media imperialisme
telah mencampuradukkan efek
ekonomi dan Budaya Trend secara arbitrer
(semena-mena).
Kritikus lain menyatakan
bahwa konseptualisasi tentang
polarisasi kekuatan dunia ke dalam tiga
kategori: firsth world, second world,
dan third world, dewasa ini sudah tidak
relevan lagi mengingat jatuhnya
benteng Jerman Timur sebagai babak
baru dalam sejarah dunia yang ditandai
dengan makin banyak dan
kompfleksnya realitas komunikasi
internasional dewasa ini. “US is not the
only dominant player in term of media
production”, kata Thussu (2007: 11-28
). Dalam Media on the Move, Thussu
menunjukkan gejala industri baru di
sebelah Selatan yang mulai melakukan
counter-cultureterhadap produksi
Hollywood. Tumbuhnya industri
hiburan Bollywood, telenovela di
Amerika Latin, Cina, Korea dan
sejumlah negara Timur Tengah seperti
Iran, Mesir dan Turki yang selalu
mendapat perhatian di festival
perfilman dunia. sebab itu, ia
kemudian membagi arus informasi
10
dunia ke dalam tiga kategori: global,
transnasional dan geo-cultural.
Imperialisme media pun
mengabaikan peranan khalayak yang,
menurut banyak penelitian,
menunjukkan resistensi terhadap
kepemilikan dan isi pesan dari
berbagai media asing. Straubhaar
(2000) misalnya, meperkenalkan
konsep cultural proximity yang
menunjukkan bahwa khalayak lebih
memilih program siaran yang lebih
dekat dengan ikatan kulturnya daripada
siaran Budaya Trend asing. Dalam keseharian
kita misalnya, meskipun Indovision
banyak menawarkan seperti stasiun
berita CNN, al-Jazeera atau berbagai
sumber hiburan lainnya, ternyata yang
lebih banyak ditonton adalah berita-
berita dan hiburan dari stasiun televisi
nasional sendiri. Selain hambatan
bahasa, faktor lainnya adalah sebab
alasan cultural proximity itu.
Dari temuan-temuan riset
tentang khalayak yang menggunakan
teori reception misalnya, menunjukkan
bahwa pesan yang diterima khalayak
ternyata menimbulkan pesan polisemic
yakni pesan yang tidak tunggal tetapi
beragam dan mengundang banyak
tafsir dari tiap khalayak. Ternyata,
menurut riset reception, khalayak itu
bersifat aktif saat mendapat pesan
dari luar. Menurut Fiske dan de
Certeau, khalayak dinilai sebagai
“active producers of meaning, not
consumers of media meaning”. Studi-
studi kualitatif dan etnografik oleh Ien
Ang dalam Watching Dallas (1985),
Janice Radway (1987) tentang Reading
the Romance, David Morley (1986)
tentang Family Television,
membuktikan bahwa khalayak punya
persepsi yang berbeda-beda atas isi
pesan yang diterimanya.
Kritik lainnya yang tertuju
pada imperialisme media misalnya,
selain sebab peta politik dunia yang
sudah berubah, penemuan teknologi
informasi pun sudah demikian drastis
berubah. Munculnya media baru telah
telah mengeliminasi struktur dan
sebaran isi pesan asimetrik yang
kemudian digantikan oleh pesan yang
bersifat interaktik dan simetrik. Pola
hubungan subyek-obyek sudah
ditengarai oleh konsep yang disebut
Computer-mediated communication
(CMC) sehingga melahirkan pola
hubungan yang intersubyektivitas
dalam ruang maya network society
yang bersifat egaliter dan demokratis.
Efek kultural dari media global
pun tidak lah dengan sederhana
menimbulkan homogenisasi Budaya Trend ,
tetapi globalisasi Budaya Trend telah
melahirkan cultural hybridization
yakni saling bercampur, berfusi,
berbaur dan saling menyatu antara satu
Trend dengan Trend
lainnya. Bahkan yang lain menyatakan
bahwa efek globalisasi dalam
Trend telah melahirkan
glocalization yakni hasil sintesis antara
homogenisasi Budaya Trend dengan
heterogenisasi Budaya Trend , sehingga
menimbulkan jalan tengah glokalisasi.
Sementara menurut yang lain efek
globalisasi dalam Trend telah
melahirkan heterogenisasi Budaya Trend
sehingga realitas warga semakin
plural. Kasus jilbab kaum muslimat di
berbagai negara Eropa misalnya,
bukannya “jiwa Eropa” menghilangkan
identitas khas mereka, justru
sebaliknya yang terlihat adalah
menguatkan penegakan dan perluasan
hak-hak mereka di tengah dominasi
warga yang menafikannya.
Selain itu, teori imperialisme
media tidak bisa diterapkan dalam
semua situasi, terutama terhadap
situasi kekinian yang telah
menunjukkan berbagai pergeseran
aktor negara (state-actors), non-state
actors, konvergensi teknologi
informasi dan komunikasi, ideologi
dan sistem politik dunia yang semakin
11
terbuka, plural, dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Dari
sudut worldviews teori, temuan riset
empiris dan peta dunia, relevan untuk
mengkonstruksi relasi negara dalam
dinamika komunikasi internasional
pada 1970-an. Belakangan, setelah
banyak kritik dan tanggapan serta riset
baru, pandangan dunia (worldviews)
imperialisme media perlu mendapat
berbagai revisi.
Hal lain yang juga membuat
bias teori imperialisme media,
memakai pendekatan ekonomi-politik
dengan menganalisis hubungan media
dengan kebijakan luar negeri Amerika.
Imperialisme media juga kurang
memperhatikan elit nasional di negara
berkembang yang didukung elit
dominan dalam komunikasi
internasional untuk memelihara dan
menjaga struktur ekonomi-politik elit
nasional atau lokal sendiri.
Konsentrasinya pada dampak bisnis
transnasional dan peran kekuatan
eksternal terhadap perkembangan
ekonomi dan sosial, namun
imperialisme media mengabaikan kelas
di tingkat nasional dan lokal, gender,
etnik dan relasi keuasaan antarpara
aktor
Imperialisme Budaya Trend di negara kita
Adakah imperialisme Budaya Trend di
negara kita ? Jawabannya, secara
hipotetis ada. Masalahnya seberapa
jauh derajat kualitas dan kuantitasnya,
membutuhkan satu riset. Faktor waktu,
faktor politik Trend yang dianut
rezim, dan dinamika warga ,
merupakan beberapa variabel yang
penting diperhatikan. Bila mengacu
pada kurun waktu zaman Orde Lama
misalnya, gejala imperialisme Budaya Trend
Barat melalui Budaya Trend pop seperti
musik rock and roll atau Beatless
misalnya, cukup digemari publik.
Demikian juga gejala pornografis
dalam poster, iklan, dan ilustrasi
media, sudah cukup marak. Waktu itu,
Perang Dingin antara Amerika dengan
Uni Soviet demikian kuat sehingga
negara kita berada di antara dua
pengaruh negara adikuasa tersebut.
Namun politik Trend era
Soekarno pada saat itu lebih condong
pada semangat anti-imperialisme.
sebab itu, melalui ajaran Trisaksinya:
(yakni daulat politik, daulat ekonomi
dan daulat Trend ), rezim Orla
melarang segala bentuk Trend
pop dari Barat.
Para personil Koes Ploes
misalnya, yang terpengaruh Beatless
dan Rock and Roll, sempat
dipenjarakan. Para seniman Lekra yang
“dekat” dengan PKI, dan pengaruh
politiknya cukup besar pada waktu itu,
“segera menjadi pelopor bagi gerakan
Budaya Trend yang ikut dalam arus
penentangan terhadap imperialisme
Trend ”
Mereka demikian rajin mengeritik
pemerintah agar lebih tegas menolak
Trend Nekolim. Zaman
Demokrasi Terpimpin model
Soekarno, ingin membangun politik
keBudaya Trend n dengan cara melakukan
“nasionalisasi Trend ” Caranya, dengan
menghidupkan kembali seni-seni
tradisi rakyat yang tumbuh di kalangan
komunitas dan etnis yang ada di
negara kita .
Berbeda dengan Orde Baru,
rezim Orde Baru menganut politik
Trend sebaliknya. Ia lebih
terbuka bahkan sangat lunak dengan
“imperialisme Budaya Trend ” Barat. Orde Baru
melakukan politik Trend dengan
cara: “internationalization of
culture”, Semua bentuk Trend
Barat: ilmu, teknologi dan Budaya Trend pop
dibuka dengan massif. Strategi
pembangunan ekonomi misalnya,
sangat dipengaruhi oleh ekonomi
model kapitalis. “Mafia Berkeley”
misalnya, adalah para perancang
strategi pembangunan di era Orde Baru
yang “dekat” dengan mazhab ekonomi
liberal Barat. Dalam komunitas
keilmuan saat itu, hanya ISEI yang
cukup menonjol sebab para
anggotanya banyak yang saat itu
tengah menjadi birokrat. Sementara
peran ilmu-ilmu sosial lain, Ilmu-ilmu sosial waktu itu
diperankan sebagai bagian dari narasi
besar paradigma positivisme yang
mendasari gerak modernisasi di
negara kita , sehingga strategi
pembangunan meniru (copy paste)
model strategi pembangunan
modernisasi Barat.
Keterikatan rezim Orba dengan
Bank Dunia, IMF dan WTO adalah
bagian dari ekonomi global yang sulit
dihindari untuk tidak dikatakan sebagai
bagian dari wujud imperialisme
Budaya Trend Barat. Di berbagai universitas
mulai dibuka jurusan studi
pembangunan. Adanya mata kuliah
“wiraswasta” misalnya di Fekon atau
jurnalistik pembangunan di Fikom
misalnya, adalah kasus-kasus yang
menunjukkan jejak-jejak imperialisme
Budaya Trend yang dibawa “ideologi”
modernisasi, merembes dan
“mensubversi” komunitas ilmuwan
kita. Deregulasi, privatisasi, dan
liberalisasi ekonomi model neoliberal,
telah menumpulkan peran ilmu sosial
di sudut “pinggiran”.
Demikian juga dengan
Trend pop Barat. saat rezim
Orba meluncurkan Satelit Palapa
sebagai bagian dari “open sky policy”,
industri televisi demikian pesat
berkembang. Di samping TVRI,
muncul pula banyak stasiun TV Swasta
yang menyuguhkan musik, iklan, film,
variety shows dan sinetron yang
banyak berasal dari impor Barat. Pada
1990-an misalnya, ANTV bermitra
dengan MTV yang memiliki jaringan
dengan berbagai televisi dunia. Global
TV bermitra dengan MTV yang porsi
hiburannya lebih mengangkat
Trend pop Korea. SCTV
bermitra dengan Entertaiment and
Sport Programme Network (ESPN).
Sementara Indosiar bermitra dengan
Home Box Office (HBO) yang banyak
menayangkan film-film laga layar
lebar. Dominasi iklan, sinetron, dan
film-film asing di berbagai televisi
nasional, demikian massif terutama
sebelum terjadinya krisis ekonomi
1998. Namun gejalanya mulai
berkurang setelah rezim Orba
mengalami krisis ekonomi yang
berakibat kemudian pada pergantian
rezim berikutnya.
Dalam hal iklan misalnmya, studi
Ginting menyimpulkan bahwa : ”Dari
20 yang diamati terdapat nilai-nilai
Budaya Trend asing yang menonjol yaitu
perubahan pola interaksi personal
individu, seksualitas (personal
intimacy), kecantikan (beauty), pola
hidup konsumtif, dan tingginya
penggunaan istilah asing pada iklan”
(hal.2, tanpa tahun). Demikian juga
dalam hal mode, media massa sangat
menonjol dalam menyosialisasikan
gaya hidup dan mode Barat. Hasil studi
Yohana (2009:98) pada Majalah
Gogirl misalnya, menunjukkan bahwa
rubrik fashen Hollitrend banyak
mengangkat produk Barat seperti:
harem, jumpsuit, vintage dress, bubbly
skirt, legging, ripped jeans, vest dan
bomber jacket.
Yang menarik dicatat dalam
kaitannya dengan politik keBudaya Trend n
pada rezim Orba, kebijakannya,
bersifat “dual policy” satu pihak,
membuka pintu lebar-lebar bagi
Trend Barat, namun di pihak
lain, melakukan “tekanan” terhadap
kaum intelektual dan politisi atau
kekuatan civil yang akan berpotensi
menggangu stabilitas nasional.
Demokrasi politik yang dibangun
bersifat “semu” dalam pengertian,
meskipun media massa sebagai bagian
dari “pilar keempat” demokrasi, namun
fungsi pengawasannya (watchdog
function) , hampir tidak diberi ruang
gerak yang leluasa. Demikian juga
dengan partai politik. Meskipun
terdapat tiga partai politik dengan
Golkar sebagai “the rulling party”, dan
PPP dengan PDI sebagai “oposisi”,
setidak-tidaknya “bukan partai
pemerintah”, namun kedua partai
tersebut dapat “dikendalikan” rezim
Orba. Demikian halnya dengan
kekuatan “civil society”, kelompok
Islam yang sering “mengganggu”
pemerintah, kemudian diwadahi dalam
ICMI, meskipun sebagaian elit Islam
seperti Gus Dur misalnya, sempat
mendirikan “forum demokrasi” sebagai
upaya membangun proses
demokratisasi dari bawah. Kala itu,
semua gagasan ekonomi, Budaya Trend dan
sosial diperbolehkan “bebas tanpa
syarat”, kecuali liberalisasi dan
demokrasi politik.
Dibandingkan dengan rezim
Orla, gejala imperialisme Budaya Trend Barat
pada masa Orba, tampak jauh lebih
menonjol. Cara pandang neo-liberal
dalam ekonomi yang dianut para elite
atau, cara berpakaian dan penggunaan
merk yang “branded” dari Barat,
perilaku pejabat publik dan
keluarganya yang sering berbelanja ke
luar negeri, semakin tingginya anggota
warga mengonsumsi jenis
makanan KFC, McDonald, AW dan
minuman Cola Cola misalnya, sudah
lumrah menjadi kebiasaan santapan
warga kita. Sementara itu di
bidang industri film dan musik
misalnya, hampir setiap hari televisi
yang ada di negara kita , menyuguhkan
banyak film kekerasan produk
Amerika. Jaringan bioskop seperti
Blitz dan XXI di tiap pusat kota
misalnya, dikuasai oleh film impor
Amerika. Artis-artis Hollywood sudah
cukup dikenal warga kita.
Demikian pula dalam industri musik,
lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian
dari “makanan” keseharian anak-anak
dan remaja kita.
Era Reformasi, politik
Trend semakin terbuka lebar.
Negara seakan mengalami “stateless”
dalam kaitannya dengan gerak
imperialisme Budaya Trend . Globalisasi yang
semakin intensif dan mendatangkan
perkembangan teknologi informasi
yang bersifat interaktif, maka sumber
pengetahuan tidak saja datang dari
media konvensional, tetapi juga dari
inkonvensional saat warga
semakin gandrung memanfaatkan
media sosial yang di era reformasi ini
semakin massif. Dalam pada itu, rezim
reformasi bukan saja akrab dan terbuka
dengan imperialisme Budaya Trend Barat dan
non-Barat, melainkan telah membuka
“kotak pendora” bagi liberalisasi
politik yang selama ini “disandra”
rezim Orba sehingga melahirkan
kembali sistem multipartai dan
pemilihan langsung presiden, gubernur
dan walikota-bupati. Di era multimedia
sekarang, para pejabat publik dan
politisi, ibarat selebriti yang main
sinetron penuh “dramatik” di televisi
dan media sosial yang kemudian
menjadi bgagian dari Trend pop.
Baju kota-kotak ala Jokowi misalnya,
telah menjadi bagian dari Trend
pop warga .
Pemanfaatan media sosial, bukan
saja telah meningkatkan partisipasi
politik warga dalam pilkada atau
pilpres, melainkan juga hak untuk
memilih produk Trend pop yang
datang dari tiap penjuru dunia.
Kegandrungan remaja kota terhadap
K-Pop yang membuat boyband dan
girlband asal Korea menjadi
trendsetter, menurut hasil riset S2
komunikasi UI, itu akibat akses
internet , Demikian
juga dengan Trend pop dari
Jepang, Peranc is, Inggris, Spanyol,
Timur Tengah seperti musik nasyid
misalnya, dengan mudah diakes
melalui internet. Jadi, media massa
maupun media sosial dewasa ini telah
menjadi sumber utama bagi akselerasi
dan sosialisdasi Budaya Trend pop dunia.
Akibatnya, imperialisme Budaya Trend Barat
dan non-Barat semakin deras merasuki
kalangan warga negara kita .
Imperialisme Budaya Trend di era
reformasi, tampak semakin menonjol
dibandingkan era rezim Orba. Sebab
kualitas dan intensitasnya, frekuensi
dan bobotnya, semakin lebar, luas dan
merasuk segala sendi-sendi kehidupan
ekonomi, politik dan Budaya Trend .
Imperialisme yang datang sekarang,
bukan hanya dari Barat melainkan juga
dari non-Barat. Sudah lama orang kita
juga mengenal dan mengapresiasi film
dan musik India, Cina, Jepang dan
sekarang yang cukup digandrungi
adalah musik Korea. Musik dan film
dari Timur Tengah pun dewasa ini
sudah mulai diapresiasi. Festival-
festival film di Barat misalnya, banyak
juga dimenangkan oleh Iran, termasuk
negara kita . Makanan Cina, Jepang
termasuk makanan Timur Tengah
seperti kebab dan nasi kebuli, bukanlah
makanan asing lagi bagi warga
negara kita .
Hal yang menarik, akibat
“desakan” imperialisme Budaya Trend yang
datang dari segala arah, muncul juga
gerakan counter-culture (perlawanan)
Budaya Trend untuk menguatkan indigeneous
culture (Budaya Trend asli) kita. Pemerintah
daerah di sebagian kota dan propinsi,
telah mewajibkan penggunaan bahasa
daerah dan pakaian khas subkulturnya
masing-masing. Busana batik pun
sudah lama dijadikan pakaian nasional
kita, termasuk beberapa jenis musik
seperti angklung dan tarian daerah
yang dipakai untuk menyambut para
tamu negara dan dijadikan “alat”
diplomasi publik dalam pertemuan
antarBudaya Trend di mancanegara. Gejala
busana muslimah yang tradisinya
sudah mendunia dan semakin menjadi
“trendi” sekarang, merupakan bagian
dari counter-culture dari kaum
muslimat dunia terhadap cara
berbusana Barat.
Menonjolnya imperialisme
Budaya Trend di semua sektor kerhidupan
dewasa ini, telah melahirkan kesadaran
politik dari elite politik sehingga
muncul wacana baru tentang
pentingnya kedaulatan ekonomi,
politik dan Budaya Trend sebagai materi
utama kampanye politik pada kedua
calon Capres dan Cawapres Prabowo-
Hatta dan Jokowi-JK saat Pilpres 2014
kemarin. Apalagi saat pilres
dimenangkan pasangan Jokowi-JK,
maka semangat menghadirkan kembali
semangat Trisakti, akan menjadi basis
legitimasi yang kokoh bagi perjalanan
pemerintahan atau rezim baru
mendatang. Sayangnya, dukungan
partai-partai koalisi pemerintah di
parlemen hasil Pemilu 2014 lalu, tidak
memberi topangan cukup kuat
dibandingkan koalisi partai yang kalah
bertarung pada pilpres lalu, membuat
efektivitas kabinet Jokowi-JK, berada
dalam situasi yang spekulatif.
Kemenangan partai non-
pemerintah dalam mengembalikan
pilkada langsung menjadi tidak
langsung, MD3 dan pemilihan
pimpinan DPR, apakah merupakan
isyarat sebagai langkah taktis untuk
menopang strategi menguatkan
identitas politik keBudaya Trend n nasional,
atau sekedar “balas dendam” jangka
pendek agar rezim Jokowi-JK menjadi
tidak efektif dan akhirnya tidak
memberi kontribusi bagi ikhtiar
melemahkan imperialisme Budaya Trend
yang dewasa ini semakin menggurita?.
Di atas permaianan politik jangka
pendek dan situasional ini, yakin
bahwa dil ubuk hati terdalam para
elite, sudah terbentuk kesadaran
bersama akan mimpi sebuah bangsa
yang “dibayangkan”: kuat dalam
ekonomi, politik dan Trend !.
sumbawa
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
sumbawa
Menengok wilayah Nusantara yang begitu luas dan plural khususnya
di bagian timur Indonesia, kita akan menemukan sebuah daerah yang disebut
Bima. Bima merupakan salah satu dari keenam kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) yang terletak di bagian timur Pulau Sumbawa.
Selayang pandang bila melihat Bima yang merupakan sebuah daerah kecil di
pelosok timur Nusantara yang luas, namun dari tempat inilah sebenarnya kita
bisa menelusuri sejarah Indonesia masa lampau.
Daerah ini didiami oleh suku Bima yang dalam bahasa daerah disebut
“Don Mbojo” (orang Bima) yang merupakan salah satu suku yang ada di NTB.
Di samping itu juga terdapat suku Sasak yang ada di Pulau Lombok dan suku
Sumawa di Kabupaten Sumbawa di bagian barat Pulau Sumbawa
Apabila kita menelaah buku ini, maka kita akan melihat bahwa penulis
berusaha memaparkan naskah-naskah yang berkaitan dengan Kerajaan Bima
yang selanjutnya diberikan transkripinya agar supaya pembaca dapat lebih
memahami kandungan dokumen-dokumen ini baik dari segi sejarah
maupun sastranya. Pada bagian tertentu beberapa naskah berkaitan
diperbandingkan (B = naskah di Staatsbibliothek, Berlin; J = naskah di
Museum Nasional Jakarta; L = naskah di Perpustakaan Universitas Leiden; dan
S = naskah yang tersimpan di Bima, milik keturunan Sultan yang terakhir).
Dengan demikian, dapat dilihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing
dengan maksud saling melengkapi.
Buku yang berjudul “Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah” ini
terhimpun tiga teks mengenai sejarah Kerajaan Bima yang ditulis di Bima
dalam bahasa Melayu antara abad ke-17 dan ke-19. Buku ini memunculkan
beberapa bentuk sastra seperti cerita rakyat, puisi dan prosa. Menurut
Hamidsyukrie dan Ali (1994:154) ini berfungsi sebagai sarana pendidikan
sejarah, perekam peristiwa masa lalu, hiburan, dan protes sosial.
Penulis buku ini berusaha berkata ketiga teks ini yang
menyoroti sejarah dan masyarakat Bima. Bila dibandingkan dengan buku-buku
atau artikel-artikel lain yang telah terbit serta bahan arsip zaman VOC dan
zaman penjajahan, maka teks-teks Melayu berasal dari Bima ini mengandung
informasi yang tidak terdapat dalam sumber lain. Sebagai contoh, dua puluh
tahun yang lalu belum diketahui bahwa kesusasteraan Melayu bukan saja
dikenal tetapi juga dihasilkan di Pulau Sumbawa yang jauh dari daerah
Sumatera dan Semenanjung Melayu yang dianggap sebagai pusat kebudayaan
Melayu. Mengenai penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu, ketiga teks ini
pun memberikan informasi yang berharga. Mulai dengan masuknya agama
Islam bahasa Melayu digunakan di Bima, seperti di Aceh misalnya, sebagai
bahasa agama, politik, dan sastra, di samping bahasa lokal yang merupakan
bahasa komunikasi sehari-hari.
berkata bahwa sejak bulan Maret 1645, bahasa Melayu telah menjadi
bahasa yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, dan sosial di
kerajaan Bima.
Teks pertama di buku ini berjudul “Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala
Dewa-Dewa”, berisi mitos pendirian wangsa raja-raja Bima dan juga
merupakan uraian sejarah yang mulai dengan penciptaan dunia. “Hikayat Sang
Bima” merupakan judul teks kedua, mengolah mitos ini dalam bentuk
sastra sebagai suatu hikayat yang tokoh-tokohnya adalah tokoh pewayangan
yang berasal dari kisah Mahabharata. Teks yang ketiga berjudul “Syair
Kerajaan Bima” merupakan bentuk sastra berisi kesaksian seorang penduduk
Bima tentang berbagai peristiwa sezaman.
Bagian pertama di buku ini merupakan bab yang berisi tentang
“Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa” memerikan naskah Cerita
Asal, Hikayat Sang Bima, sumber lain, perbandingan naskah, dan catatan
tentang bahasa. Di samping itu pula, diberikan uraian isi dan perkembangan
sejarah Cerita Asal ini . Menurut Zollinger yang pernah melihat sebuah
naskah cerita itu pada tahun 1847, secara sepintas cerita ini dapat
dianggap sebagai campuran kacau dari berbagai dongeng dan legenda yang
ditimba dari aneka ragam sumber. Adapun contoh Cerita Asal ini antara lain
tentang penciptaan jin yang pertama dan manusia yang pertama serta sifat
manusia menurut agama Islam. Jin yang pertama bernama Jan Manjan,
diciptakan Allah seribu tahun lamanya sebelum manusia yang pertama, yaitu
Nabi Adam. Jan Manjan diciptakan “dari ujung api yang tiada berasap”,
sebuah ungkapan yang langsung diterjemahkan dari Al-Qur’an (LV 15).
Sedangkan Adam diciptakan dari keempat anasir: api, angin, air, dan tanah,
yang menghasilkan keanekaragaman “tabiat, fill, laku, dan untung” manusia.
Menurut Al-Qur’an, manusia diciptakan “dari tanah liat kering yang berasal
dari lumpur hitam” (Al-Qur’an XV 28, 33). Pembagian atas empat kelompok
dalam Cerita Asal tidak berasal dari Al-Qur’an, tetapi dari hasil pemikiran para
Sufi kemudian. Diri manusia terbagi atas diri batin dan halus, yaitu nyawa, dan
diri lahir dan kasar, yaitu badan yang berasal dari keempat anasir dan yang
dikendalikan oleh empat nafsu (nafsu ammarah atau “nafsu yang menyuruh
kepada kejahatan”, nafsu sewi atau “nafsu haiwani”, nafsu lawwama atau “jiwa
yang amat menyesali dirinya sendiri”, dan nafsu mutma’inna atau “jiwa yang
tenang” yang mendorong manusia mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya
(h. 41, 42). Dalam bab kedua, dapat dilihat transkripsi Cerita Asal Bangsa Jin
dan Segala Dewa-Dewa. Transkrip ini merupakan sebuah edisi kritis, yaitu
naskah Schoemann V3 yang tersimpan di Berlin. Ejaan disesuaikan dengan
EYD. Bentuk pengulangan yang dalam naskah ditulis dengan angka dua
(berbagai2) ditranskripsikan penuh (berbagai-bagai). Kata-kata Arab yang
tidak lazim dalam bahasa Indonesia ditranskripsikan menurut ejaan aslinya.
Bab ketiga mengandung lampiran Fasal Tambahan pada Naskah L, petikan dari
Naskah S, Qaul Al-Haqq Sultan Abdul Aziz, kutipan dari Asrar Al Insan,
silsilah Raja-Raja Bima, Pandawa Lima, dan Dompu.
Bagian kedua yakni “Hikayat Sang Bima” berisi pemerian naskah dan
ringkasan cerita. Di bagian akhir diberikan sebuah transkripsi mengenai hikayat
ini . Hikayat ini dihasilkan di Bima sekitar awal abad ke-18 dan
merupakan perpaduan antara sebuah ceritera para Pandawa dan tradisi Bima
tentang asal-usul kerajaan. Baik dari segi penyebaran tradisi pewayangan
maupun sebagai karya sastra Melayu bersifat sejarah, hikayat ini sangatlah
penting artinya. Seorang dalang bernama Wisamarta adalah penulis karya ini
pada zaman Sultan Bima Hasanuddin. Ia seorang Melayu yang datang ke Bima
dan memutuskan untuk menulis hikayat ini berdasarkan sebuah cerita setempat
dengan tujuan “menghiburkan hatinya yang pilu” serta menceritakan asal-usul
kerajaan Bima. Ki dalang mempergunakan tradisi wayang secara bebas dan
menyusun sebuah cerita baru yang sekaligus berkaitan dengan sejarah Jawa
(pada masa sekitar tahun 1670-an) dan sejarah Bima (pada masa pendirian
kerajaan). Hal ini nampak dari nama-nama kerajaan yang pernah ada seperti
Pajajaran dan Cirebon.
Dalam bagian ketiga buku ini berkaitan dengan “Syair Kerajaan
Bima”. Bab pertama berupa pengantar yang berisi sumber-sumber dan
ringkasan. Naskah-naskah yang diketengahkan dalam bagian ini mempunyai
nilai linguistik, sastra, dan terutama sejarah. Teks yang terpenting yakni
sebuah syair yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pulau
Sumbawa pada dasawarsa kedua abad ke-19. Syair itu digabungkan dengan
beberapa teks lain yang dipetik dari berbagai sumber dan menyangkut peristiwa
atau tokoh yang sama dengan maksud memberikan sebuah lukisan yang
menyeluruh tentang masyarakat Bima sekitar tahun 1800-an. Transkripsi Syair
Kerajaan Bima disajikan dalam bab kedua, dan apabila kita perhatikan naskah
ini bersifat prosa dan juga puisi. Bab ketiga berisi dokumen-dokumen,
yakni tentang letusan Gunung Tambora, Sultan Abdul Hamid dan Wazir Abdul
Nabi, dan Sultan Ismail. Bab terakhir berupa lampiran.
Memang buku ini tidak memiliki penutup baik secara keseluruhan
buku maupun pada tiap bagian dari ketiga teks yang ada. Akan tetapi, sebelum
masuk pada teks-teks ini diberikan pengantar berkenaan dengan teks
ini .
bahasa dalam wayang
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
bahasa dalam wayang
Pada pertunjukan wayang bahasa memegang
peranan yang sangat penting, dapat dibayangkan betapa tidak mungkinnya sebuah
pertunjukan wayang tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Penggunaan bahasa sebagai
bentuk bahasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali adalah hal yang tidak asing lagi, karena
bahasa sebagai mata rantai jalannya ceritera. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan
Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa adalah: Bahasa
Kawi, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan sebagainya, yang sesuai
dengan kebutuhan tokoh tertentu. Bahasa Kawi yang dipergunakan oleh tokoh (raja, dewa,
ksatria) yang kemudian diterjemahkan oleh punakawan. Gaya bahasa dalam pertunjukan
Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat variatif.
Ada yang bersifat sindiran (ironi), ada yang bersifat perumpamaan (personifikasi), ada yang
bersifat perbandingan (metafora) dan ada pula dialog yang mengagung-agungkan sesuatu
secara berlebihan (hiperbolisme). Dari bahasa-bahasa yang digunakan dalam pertunjukan
Wayang Calonarang oleh dalang Ida Bagus Sudiksa ada yang berbahasa alus (singgih), ada
yang biasa (pepadan), ada pula yang estetik sehingga membuat penonton menjadi teringat
terus. Bahasa seperti itu biasanya berupa tutur, tidak terlepas dari kemampuan seorang dalang
selaku orator yang ulung. Menurut Marajaya, pengelompokan bahasa tersebut antara lain ; (1)
berbentuk prosa atau gancaran (bahasa Kawi dan bahasa Bali); (2) berbentuk tembang atau
puisi (kekawin, tandak, bebaturan); dan (3) berbentuk prosa liris atau palawakya (penyacah
dan pengelengkara).1
1). Gaya Alternasi
Menurut Rota teknik penyampaian tutur secara berselang-seling disebut gaya
alternasi. Gaya alternasi merupakan jenis gaya tutur yang paling banyak digunakan oleh
dalang dalam pertunjukan wayang kulit Bali, baik dari bentuk tut tutur antara bahasa Bali
dengan bahasa Kawi, maupun berbentuk tembang maupun gancaran.2
a) Gaya Alternasi Bahasa Kawi dengan Bahasa Bali
Gaya bahasa seperti ini paling banyak ditemukan jenisnya dalam pertunjukan wayang
kulit Bali. Pada Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung banyak sekali dipergunakan,
adapun contoh-contoh gaya ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan dialog sebagai berikut:
Twalen : sawirira cerakanira..! (tembang). Aratu.. sang amurbeng
(dalam bahasa Bali) Jagat Kediri, sugra titiang sugra, aksi sembah pangubak-
tin titiang aratu, sapunika taler gusti patih mamitang
lugra, pinaka pengabih linggih ida. Ring tepenganemang-
kin presangga purun titiang ngojah maka kawit atur
palungguh gusti ring ida, Ida Dewa Agung. Inggih aratu
sang anyakra werti Jagat Kediri palungguh iratu, aksi
ratu sembah pangu baktin titiang pina ka pengabil ling-
gih iratu, saha tan keni kecakra bawa, presangga purun
titiang ngeriinin mapaungu atur, napi te awinan asapuni-
ka.., riantukan iratu sampun malinggih iriki ring singasa-
nane. Napi awinan nadak sara ngutus sikian titiang mang-
da tangkil iriki ring ajeng?, yan kapinih kangkat,durusang
telin pawecana mangda galang apadang titiang nampa
nyuwun pakinkin, panglelaca druwene, asapunika daging
atur dane gusti patih.
Arti bebasnya adalah: menjawablah seorang abdi, wahai paduka Raja Kediri,
hamba mohon ampun, terimalah sembah hamba ini paduka,
begitu pula sang maha Patih sebagai abdi baginda raja. Di
saat seperti ini hamba memberanikan diri menyampaikan,
apa yang maha patih katakan kepada baginda raja. Maafkan
hamba yang mulia sebagai Raja Kediri, terimalah sembah
hambamu sebagai abdi, agar tidak terkena kutuk, karena
hamba terlalu berani mengawali berbicara, apa sebabnya
demikian ? Karena paduka telah duduk di singgasana. Apa
sebabnya paduka mendadak menyuruh hamba agar meng-
hadap, kalau ada sesuatu, silahkan katakan agar hamba jelas
menerimanya, apa tujuan baginda memerintahkan hamba
ini. Demikian kata-kata maha patih.
Prabu Kediri : Ri wawu asamangkana saturang nirang kriana patih, irika (dalam
Bahasa Kawi) Sri Aji Rangda tan sah mandra-mandra pwa sojar ira.
Bwah..hah..ah..ah..! ahum..ahum paman kriana patih, yaya
tuhu mabener ndatan ana singsal, ingulun yata sampun
nyineng, kinon kalaganta prapta aneng kene, ana patanya-
ning ulun ri kalaganta. Ri sampun wus kapisarja meh
rong puluhing warsa ya ta sampun kapisarja yayi Diah
Padma Yoni, apan kasengguh angalaraken Dharma Weci
pwa sira, kang kadiang paran kang pretakjana?, menawa
kurang kramanikang tuanta angemong, amengku buana
yeki? Mangkana petanyaning ulun?.
Arti bebasnya adalah: baru sedemikian kata-kata sang maha patih, segeralah Sang
Maharaja Erlangga dengan lemah – lembut menjawab.
(sambil tertawa), he patihku, memang benar aku mengutus
dan menyuruhmu datang ke sini. Ada yang ingin ku tanya-
kan kepadamu, setelah diusir, kira-kira dua puluh tahun,
Diah Padma Yoni telah diusir, karena dibilang sebagai pe-
laku mistik. Bagaimana pula perkataan rakyatku, mungkin
ada yang kurang di saat aku menjalankan tugas sebagai
pemimpin kerajaan ini. Demikian yang aku tanyakan !.
Wredah : Aratu..! mamitang lugra titiang, aksi ta sembah pangubak-
(dalam Bahasa Bali) tin titiang, sapunika naler gusti patih, lugra ta titiang! Ri
tepengane mangkin titiang gumanti ngojah naler nulurang
embas penyawis pawecanan iratu, minakadi atur dane
gusti patih ; ”uduh paman pengabih gelahe. Mara rasa
makleteg, suba duang dasa tiban pramiswarin gelahe,
Diah Padma Yoni nu uli beling cenik, nu ngidam dugas nto,
katundung uli dini, uli di gumi Kediri. Apan kasengguh bisa
ngeliak, ngelarang dharma weci. Nah disuba katundunge
men.. men kenken jani, saget apa ada pakrimik panjake
disuba katundung iadi Diah Padma Yoni ?. buin basik,
kenken mirib ada tuna?, dija mirib ada kuang saget gelah
ngitungang gumine dini di Kediri?, yan sinah ada tuna,
sinah ada praciren penyacad para panjak-panjak gelahe
dini di sawewengkon Kediri. Nah to ne mebuat takonang
gelah tekening paman, wireh paman pengabih linggih
gelahe di Kediri!” Asapunika penyawis embas pawecanan
ida sesuwunan, asapunika ratu ! Durusang gusti patih...
durusang asapunapi!.
Arti bebasnya adalah: Ampun yang mulia, terimalah sembah hambamu ini, begitu
pula sang maha patih, hamba minta maaf sebelumnya. Pada
kesempatan ini hamba akan menjelaskan apa yang paduka
raja katakan, untuk menjawab atas pertanyaan sang maha
patih. “hai patihku, baru aku teringat, telah dua puluh tahun
berlalu istriku, Diah Padma Yoni semasih hamil muda,
diusir dari sini, dari Kerajaan Kediri. Karena dikatakan
sebagai pelaku black magic, selalu berbuat huru-hara.
Setelah istriku Diah Padma Yoni diusir, bagaimana ucapan
rakyat?, lagi pula mungkin ada kekuranganku memimpin
Kerajaan Kediri?. Kalau ada kurang, jelas ada protes dari
rakyat di wilayah Kerajaan Kediri. Nah, itu yang terpenting
aku tanyakan kepada maha patih, karena engkau sebagai
abdiku di Kerajaan Kediri ini. Demikina kata-kata sang
mulia raja, silahkan sang maha patih, silahkan!
Patih Madri : Ri sada kala samangkana sadnyanirang Sri Aji! Singgih
(dalam Bahasa Kawi) Sri Bhupati! Bwah..hah..hah..ah..! tan ana ceda Narendra
ndra! Subhaga wirya siniwi, tuhu widagda ngelus bhumi.
Tan ana cedania Sri Aji, mangkana ayua sengsaya paduka
gemah ripah loh jinawi, mupu kang sarwa tinandur murah
kang sarwa tinuku. Tan kurang sandang pangan. Mangka-
na kramanikang wang, pretakjana aneng Kediri. Samang
Samangkana Sri Narendra saturan nirang kriana patih.
Arti bebasnya adalah: Demikian kata-kata sang raja. Ampun paduka raja, bwah..
hah..hah..! (tertawa), tidak ada yang menghujat paduka raja,
semua tunduk menghormati, karena paduka pintar sebagai
pemimpin. Tiada yang mencela paduka, jangan risaukan
paduka, kerajaan mencapai kejayaan, semua tanaman
berhasil dipanen, gampang mendapatkan yang ingin dibeli,
tidak kekurangan makanan, begitu keadaan rakyat paduka
raja di Kerajaan Kediri ini. Demikianlah jawaban sang
maha patih.
b) Gaya Alternasi Bahasa Bertembang dengan Bahasa Gancaran
Yang dimaksud dengan gaya jenis ini adalah penggunaan tutur-tutur bertembang dan
tutur bukan bertembang (gancaran) secara berselang-seling. Bertembang wujudnya berupa
petikan-petikan atau jenis tembang lainnya.3 Dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon
Kautus Rarung, gaya ini dapat dilihat dari petikan-petikan dialog sebagai berikut:
Twalen : Mangda nyen tan pocol nedunang Pusaka Gria Telaga
Kerobokan, pican Ida Betara Gunung Agunge, nesuba
tegarang uli dija ja kitane ! Bapa muka warung dah !, dadi
ba jani mebeanja, kewala sing dadi nyen ke warung sing
ngaba pipis, nganggeh lantas !, ngae ngae lek ati.
Sambilang bapa ngeroko, nyem bungute uli busan !
(bahasa gancaran).
Arti bebasnya adalah : Agar tidak percuma menurunkan Pusaka Gria Telaga
Kerobokan, pemberian Bhatara di Gunung Agung, inilah!
Silahkan dicoba dari mana saja maunya, ayah membuka
warung sekarang Mredah ! Sekarang sudah boleh kalau
mau membeli,tetapi tidak boleh ke warung tidak membawa
uang, lalu ngebon! Bikin malu saja! Sambil ayah mengisap
rokok, terasa dingin bibir ayah dari tadi!
Liak destine mecanda
Ngwetuang wisya mandi
Ngelarang Aji Pangiwa
Siwa Gni Mwang Siwa Gandu
Durga sakti kearcana
Ngawe gering
Sasab grubug lan merana (bahasa bertembang). Pupuh
Ginada Basur.
Arti bebasnya adalah : Para black magic bermain-main
memunculkan aura yang menyengat
melakukan ilmu mistik
Siwa Gni dan Siwa Gandu
kesaktian Durga dimohon
membuat penyakit
perhara dan wabah penyakit
Twalen : buin megending basur nah, pang nyak ya teka liake !
(bahasa gancaran) Mamusti masuku tunggal
Nunggalang adnyana sandi
Japa mantra kauncarang
Ngamijilang geni murub
Tuhu luih mawisesa
Iku yukti
Brahma Semeru ngarania. (bahasa bertembang). Pupuh
Ginada Basur.
Arti bebasnya adalah : lagi nembang basur ah! Agar mau datang black magic-nya!
berdoa sambil berdiri menggunakan satu kaki
memusatkan fikiran yang rahasia
isi Weda dilantunkan
mengeluarkan api yang berkobar-kobar
memang sangat hebat dan dahsyat
itu sesungguhnya
Brahma Semeru namanya.
Dari petikan dialog di atas dapat kita lihat adanya keindahan dalam bertutur. Ada
dinamika tutur sehingga dialog pada pertunjukan wayang menjadi indah didengar dan tidak
membosankan bagi para penikmatnya.
2). Gaya Bahasa Bertembang
Dilihat dari segi dialog sebagai kompenen baku teater, maka fungsi bahasa
bertembang pada umumnya dapat menopang keberhasilan dialog itu. Bahasa bertembang
juga merupakan salah satu kompenen tutur yang ilustratif, meningkatkan kadar estetik dialog,
terutama membangun suasana (mood) dramatik yang sedang berlaku.4 Tembang-tembang
yang digunakan sangat variatif, hal ini dapat dilihat dari bebaturan dan kutipan dari kekawin-
kekawin yang dipakai tatembangan disaat pertunjukan Wayang Calonarang, di samping itu
dalang tidak hanya terpaku pada sumber pada kekawin, akan tetapi banyak tatembangan
modern yang digunakan untuk memberikan sentuhaan-sentuhan khusus pada pertunjukan
Wayang Calonarang. Tutur bertembang yang terdapat dalam pertunjukan Wayang
Calonarang lakon Kautus Rarung merupakan kutipan-kutipan kekawin sumbernya, tetapi
dijadikan kidung, karena tidak terikat oleh metrum, guru lagu dan lain sebagainya. Tutur
bertembang dapat dilihat dari awal pertunjukan, yaitu pada alas harum, bagian awal dialog
berupa bebaturan dan kekawin. Bahasa bertembang meliputi tandak, bebaturan, dan
palawakya sebagai berikut:
a). Tandak
Tandak merupakan bahasa bertembang yang irama serta temponya serasi dengan
irama dan tempo gamelan yang mengiringi adegan.5 Kawi Dalang membolehkan mengutip
dari puisi sebelumnya, meski lakonnya dari jaman kidung, tetapi boleh mengutip dari
kekawin. Dalam Kamus Bali-Indonesia, kata tandak hanya diberi penjelasan singkat, yakni
tari atau nyanyi. Tandak dalam pertunjukan Wayang Kulit tidak selalu sama dengan irama
gamelan. Disini kepekaan terhadap suara atau nada gamelan, sehingga terjadi harmonisasi
antara tandak dengan gamelan. Jika tidak peka terhadap nada suara gamelan, bisa
mengakibatkan terjadinya istilah ”bero” dan ”ngandang”. Bero ngandang (istilah dalam
bahasa Bali) artinya nada vokal tidak sesuai dengan nada gamelan. Pada pertunjukan Wayang
Calonarang lakon Kautus Rarung, tandak bisa kita lihat pada kutipan di bawah ini:
-Meh rahina semu bang Hyang Aruna,
-Kadi netraning ngogarapuh.
-Dawuh kalih sampun ahyas mijil sira Sri Bupati,
-Abra murub Agringsing wayang.
Sumber baris satu dan dua dikutip dari kakawin Bharatayuda, dan baris ke tiga dan ke
empat dikutip dari Kidung Tantri). Tandak ini digunakan pada waktu kayonan keluar hingga
menjelang rapat atau paruman).
b) Bebaturan
Pertunjukan Wayang Calonaran lakon Kautus Rarung, dapat kita lihat bahwa
bebaturan selalu bahasa Kawi. Di daerah Sukawati Gianyar, bebaturan sering dinyanyikan
untuk mengawali sebuah dialog. Bebaturan berfungsi sebagai perumpamaan atau kiasan
untuk memberikan bayangan apa yang akan dibicarakan oleh tokoh-tokoh yang berbicara.
Menurut Ida Bagus Sudiksa, bebaturan pada awal tokoh akan berbicara dalam sidang atau
paruman maupun dalam pangkat. Adapun bebaturan dapat dilihat pada kutipan berikut:
Patih Madri : Sawur ira tana panjang, singgih sabda muniwara wet katalian
bakti lawan asih (bebaturan). Tabe.. tabe.. tabe Sri Maharaja,
kesama akena, kesama akena patik Narendra pun kriana patih.
Mene purwani metu umatura atatanya ri jeng paduka Sri Nara
nata, apa marmitanian nyadpada kaya mangke, dadya ta sagad-
gada paduka nyineng patik Sri Aji sidhaning, menawa ana kang
pangartekan Sri Aji andadi, lah enak wistara akena presama,
lamakaneng patik Sri Narendra maweruha! Samangkana..!
Arti bebasnya adalah :
jawabannya tidaklah begitu panjang, ampunilah wahai orang
suci, karena ikatan kasih dan sayang. Ampun baginda raja,
maafkan lah patih baginda seperti hamba ini. Sebagai awal kata
hamba bertanya kepada paduka raja, apa sebabnya hamba diperin-
tah untuk menghadap baginda seperti sekarang ini? Mengapa
seperti tergesa-gesa paduka menyuruh agar menghadap? Mungkin
ada sesuatu hal yang perlu paduka bicarakan, silahkan katakan,
agar hamba sebagai patih mengetahuinya! Demikianlah.
Twalen : Sawur ira cerakanira..! (bebaturan). Ratu... sang amurbeng Jagat
Kediri, sugra.. titiang sugra, aksi sembah pangubaktin titiang
aratu..! sapunika taler gusti patih, mamitang lugra.. pinaka
pengabih linggih ida. Ring tepengan sekadi mangkin presangga
purun titiang ngojah maka kawit atur palungguh gusti ring ida,
ida Dewa Agung.... asapunika daging atur gusti patih.
Arti bebasnya adalah :
Jawaban seorang abdi kerajaan. Yang mulya baginda Raja Kediri,
ampunilah hamba, terimalah sembah bakti hamba ini! Begitu pula
maha patih, sebagai kaki tangan baginda raja. Di dalamkesempat-
an ini, rasanya lancang hamba menjelaskan apa yang maha patih
katakan kepada baginda raja. Demikian kata-kata maha patih.
c) Palawakya
Palawakya adalah seni deklamasi Bali yang melodi dan ritme Bahasa Jawa Kuna.
Biasanya palawakya ini juga dipergunakan oleh pendeta/pemangku saat memimpin suatu
upacara keagamaan bagi umat Hindu di Bali.6 Dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali,
palawakya umumnya berada pada bagian penyacah parwa (pada ceritera Parwa), penyacah
kanda (pada wayang Ramayana), begitu pula Penyacah Kanda Calonarang, juga digunakan
oleh sang dalang pada pangelengkara dan pada beberapa dialog. Dipastikan hampir setiap
pertunjukan Wayang Kulit Bali menggunakan palawakya. Begitu pula halnya pada
pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, banyak palawakya yang digunakan
oleh dalang Ida Bagus Sudiksa. Adapun palawakya tersebut seperti dalam Penyacah Kanda
Calonarang adalah sebagai berikut :
Ceritanan...! pira pinten gatikunang ikang kala. Mijil Sanghyang
Suniantara, kadi gelap kumerasah sumusuping rangdu praja mandala.
Gumeter...gatinikang Pertiwitala, Apah, Teja, Bayu, Akasa, Wintang
Trenggana muang ikang Surya Candra. Umerep ri sahinganing
premana, swasta ya paripurna tan kecawuhing pangila-ila muang
tekang sosot sapa. Antyanta menggalaning sembahing ulun ri padana
sira Hyang. Mijil...! Sanghyang Ringgit ya ta molah cara, wet tinuduh
denira Sanghyang Perama Kawi, ekanira Sanghyang Guru Reka, paran
ri sapretingkahira ya iketa maka manggeh Dang Guru Carita, purwa
ikang krama wada, Mpu Beradah mangarcana ketatwaning carita,
Pengiwa lawan Penengen, Aweci lawan Dharma, ya ta matemahan
Carita Calonarang, ah...ah....ah...! hoh...hoh... hoh...! leyak mai-mai
Mapupul sedaya, ya ta panungguning setra matunggalan lawan
sariranku. Pamurtyaning Betari, Candi Kusuma mungguh ring Jejeleg,
Krak Kumuda ring Papusuhan, belah Sanghyang Ibu Pertiwi..! mijil
Pamurtyaning leak gundul, kita dadi petapakan suku kiwa-tengen,
mai...mai...mai...! ah...ah...ah...! hoh...hoh...hoh...! Saksana mijil...!
Sanghyang Kawi Swara Murthi amunggel punang carita. Mara
sadanira sira Nateng Kediri Pura nora ana waneh, sedeng ahum
agendu rasa ana marikanang sabha, iniring tekap kriana patih, ndatan
doh cerakanira maka ruang siki. Samangkana.... pamurwaning carita.