• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label tentara belanda di indonesia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentara belanda di indonesia 1. Tampilkan semua postingan

tentara belanda di indonesia 1




Serdadu Belanda di negara kita 





yang pernah terlibat perang di negara kita  pada tahun 1945-1949, yang secara 
umum menunjukkan nuansa berbeda dengan narasi sejarah yang dipromosikan 
oleh pemerintah Belanda selama setidaknya empat dekade terakhir. Meskipun 
Belanda ‘berbagi’ sejarah kolonial yang panjang dengan negara kita , namun 
periode 1945-1949 menjadi episode sejarah yang paling ‘panas dan emosional’ 
di Belanda (juga di negara kita ) dan hingga saat ini masih menjadi perdebatan 
akademik maupun politis di sana. Pokok perdebatan terpusat pada pertanyaan 
apakah memang telah terjadi kekerasan yang berlebihan atau kejahatan perang 
yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk negara kita  – utamanya 
penduduk sipil, selama berlangsungnya operasi militer pada periode itu . 
Selain itu, pertanyaan itu  juga menjadi sangat politis sebab  terkait gugatan 
akan keabsahan perang itu  yang secara langsung terkait posisi politik dan 
pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan negara kita , dan hubungan bilateral 
Belanda dan negara kita  kemudian hari. Pertanyaan itu , kiranya belakangan 
menjadi semakin kencang diajukan oleh publik Belanda setelah menguatnya 
kesadaran mereka akan Hak Asasi Manusia (HAM), dan keinginan Belanda 
untuk mencitrakan dirinya sebagai negara pelopor HAM di dunia.1
 Pertama-tama harus ditekankan bahwa artikel  ini yaitu  sebuah karya 
ilmiah yang dihasilkan melalui proses kerja sistematis dengan metodologi yang 
jelas berlandaskan semangat akademis. Penulisnya, Prof. Gert Oostindie yaitu  
direktur KITLV sekaligus profesor sejarah Belanda kolonial dan poskolonial 
di Universitas Leiden. Sebagai karya akademik artikel  ini memang terasa ‘berat’ 
meskipun menyajikan analisis yang cermat dan hati-hati, dengan bahasa tutur 
yang mengalir. Sumber utamanya yaitu  kesaksian para veteran perang yang 
berusaha merekam dan mewariskan ingatannya melalui apa yang disebut penulis 
artikel  ini sebagai naskah  ego (ego document), yaitu: artikel  catatan harian, 
surat menyurat dengan keluarga dan kolega, memoar, biografi, dan rekaman 
wawancara. Sebagaimana dijelaskan penulis, mereka umumnya yaitu  bekas 
tentara wajib militer – bukan militer profesional, yang ‘terpaksa’ harus ikut 
berperang sebab  keinginan sendiri, terbujuk propaganda, perintah, atau bahkan 
ancaman dari negaranya, sehingga memiliki ingatan dan penilaian yang berbeda 
dengan kelompok tentara lainnya. Tercatat ada 659 judul korpus naskah  yang 
ditulis oleh/tentang 1.362 orang dipakai  sebagai sumber utama penulisan 
artikel  ini; sebuah jumlah yang relatif ‘kecil’ dibandingkan jumlah total veteran 
yang ikut perang di negara kita . Meskipun penulis mengakui sumber itu  
tidak bisa mewakili pandangan para veteran Belanda secara keseluruhan, namun 
viii

kesaksian dalam naskah  ego itu  bisa membantu memberi  informasi 
alternatif tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan selama periode yang 
kompleks itu .
 Sudah barang tentu penerbitan artikel  ini dalam versi bahasa negara kita  
patut disambut gembira. Pertama-tama, sebab  artikel  ini menceritakan secara 
tidak langsung tentang realitas historis yang terjadi di negara kita  melalui kaca 
mata para veteran perang Belanda yang bisa jadi belum banyak tersaji dalam 
historiografi negara kita . Selain itu, artikel  ini juga memperkenalkan perkembangan 
dan perdebatan mutakhir tentang historiografi perang tahun 1945-1949 di 
Belanda. Memang harus diakui bahwa perkembangan historiografi dan perdebatan 
akademik di Belanda dan di negara kita  tentang periode ini, hampir bisa dikatakan 
berjalan sendiri-sendiri dan relatif jarang sekali ‘bertemu’ atau ‘dipertemukan’. 
Tidak seperti periode sejarah kolonial lainnya, yang mana perbincangan akademik 
di antara para peneliti Belanda dan negara kita  berjalan cukup intensif, dan karya-
karya akademik dari kedua belah pihak relatif cukup saling dikenali, terutama 
karya-karya akademisi Belanda yang sudah banyak dialihbahasakan ke dalam 
bahasa negara kita . Informasi tentang perdebatan historiografis di Belanda tentang 
periode ini tidak banyak diikuti oleh banyak sejarawan dan masyarakat peminat 
sejarah di negara kita , kecuali oleh segelintir orang melalui diskusi terbatas mereka 
di surat kabar, blog, atau media sosial.
 Dalam bab Pendahuluan, misalnya, penulis menguraikan posisi artikel  ini 
dalam perdebatan historiografis mutakhir di Belanda, sebagai upaya lebih lanjut 
untuk merevisi Excessennota yang terbit pertama kali pada tahun 1969.2 artikel  
terakhir dianggap oleh banyak pihak merupakan ‘artikel  putih’ resmi Pemerintah 
Kerajaan Belanda tentang dampak dari operasi militer Belanda di negara kita  
pada periode 1945-1950. artikel  itu  menyebutkan 110 kasus kekerasan yang 
dilakukan tentara Belanda terhadap para pejuang dan penduduk sipil negara kita . 
Menurut artikel  ini, kekerasan itu  merupakan ‘ekses’ semata, sebagai kejadian 
yang tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu-individu tentara Belanda 
(bukan sebab  perintah atau strategi resmi atasan atau kesatuannya), dan terjadi 
secara insidental. Selama lebih dari seperempat abad lamanya, versi sejarah resmi 
ini relatif tidak mendapatkan ‘penentangan’ dari versi alternatif walaupun diskusi 
publik dan polemik tentang perang itu  terus berlangsung di berbagai media, 
forum, dan dalam parlemen Belanda. artikel  karya J.A.A. van Doorn dan W.J. 
Hendrix, Ontsporing van Geweld3  yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970 
menjadi satu-satunya pengecualian sebab  menawarkan penjelasan berbeda. 

ix
Baru pada kurun lima tahun terakhir, Excessennota mendapatkan bantahan 
serius oleh generasi baru sejarawan Belanda. Dua di antaranya yang terbaru 
yaitu  karya Louis Zweers dan Rémy Limpach. Louis Zweers dalam disertasinya 
‘De Gecensureerde Oorlog’ yang dipertahankan pada akhir 2013 berpendapat 
bahwa Pemerintah Belanda telah menutup-nutupi banyak hal, terutama tentang 
aksi kekerasan dan ‘kejahatan perang’ yang dilakukan tentaranya terhadap 
pejuang dan penduduk negara kita  selama perang 1945-1949.4 Sementara itu, 
Rémy Limpach dalam disertasinya ‘De Brandende Kampongs van Generaal 
Spoor’ menegaskan bantahannya terhadap Excessennota bahwa kekerasan yang 
dilakukan tentara Belanda itu  pada dasarnya bersifat ‘struktural’ dan bukan 
semata-mata ekses belaka.5 Entah kebetulan atau tidak karya-karya baru itu  
muncul setelah kasus Rawagede dan Westerling berhasil dibawa ke pengadilan 
Belanda pada tahun 2011 dan 2012, yang berhasil ‘memaksa’ Pemerintah 
Belanda untuk mengeluarkan permohonan maaf dan memberi  kompensasi 
kepada keluarga korban kedua peristiwa kekerasan itu . artikel  yang ada di 
hadapan pembaca ini merupakan langkah progresif berikutnya dari ‘historiografi 
revisionist’ itu , dengan menampilkan kesaksian dari para pelaku sejarah 
periode itu .
 Selain menyajikan diskusi historiografis, artikel  ini juga menawarkan 
sejumlah fakta dan penjelasan menarik tentang kompleksitas latar belakang dan 
kondisi tentara Belanda sebelum, selama, dan sesudah dikirim ke negara kita , yang 
mungkin belum banyak diketahui masyarakat negara kita . Dari segi komposisi 
misalnya, ternyata dari total 220.000 tentara yang dikerahkan Pemerintah 
Belanda selama perang, 160.000 di antaranya yaitu  orang Belanda dan 60.000 
sisanya yaitu  tentara KNIL rekrutan lokal dari berbagai etnis, utamanya 
Ambon, Minahasa, Jawa, dan sebagainya. Dari 160.000 tentara Belanda itu , 
sekitar 100.000 orang merupakan tentara wajib militer, 50.000 sukarelawan 
perang, dan hanya 1.000 orang tentara profesional. Dari sisi usia, para tentara 
wajib militer dan sukarelawan itu  rata-rata yaitu  anak-anak muda 
berusia 20 tahunan, yang sebagian besar bahkan belum pernah memperoleh 
pelatihan militer dan pengalaman bepergian jauh dari tempat kelahirannya. 
Mereka memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang negara kita , tentang 
masyarakat dan budayanya, dan tentang kondisi sebenarnya di negara kita  saat 
itu; sementara pembekalan militer yang mereka peroleh sebelum berangkat 
sangat jauh dari mencukupi. Mereka sebagian besar memiliki motivasi dan misi 
yang ‘naif ’ – sebagian sebab  propaganda pemerintahnya: bahwa tujuan utama 
x
mereka ke ‘Hindia Belanda’ yaitu  untuk membebaskannya dari Fasisme Jepang 
dan kemudian menegakkan keamanan dan ketertiban, melindungi penduduknya 
dari ‘para pengacau’. Mereka tidak memiliki bayangan bahwa mereka akan 
menghadapi resistensi sengit dari pemuda, pejuang, dan tentara negara kita . 
Kondisi ini tentu berpengaruh besar terhadap apa yang terjadi dan apa yang 
mereka lakukan di medan pertempuran nantinya.
 Bagian terpenting dari artikel  ini tentunya yaitu  diskusi tentang kekerasan 
eksesif atau kejahatan perang yang terjadi pada periode konflik itu . Sebagai 
karya ilmiah, artikel  ini tentu saja tidak lagi ingin terjebak pada pertanyaan lama 
yang memperdebatkan secara emosional ada dan tidaknya perbuatan itu . 
Penulis secara tegas, mengakui adanya berbagai kekerasan eksesif yang dilakukan 
tentara Belanda itu , namun ia ingin menjawab pertanyaan yang lebih 
lanjut ‘mengapa dan dalam kondisi apa perbuatan dan aksi itu  bisa terjadi’. 
Tujuannya bukanlah untuk mencari apologi atau pembenaran, namun lebih pada 
upaya untuk memahami dan mencari penjelasan yang lebih baik tentang proses 
historis yang melatari terjadinya rangkaian kekerasan eksesif itu . Untuk 
tujuan itulah, maka artikel  ini menampilkan kutipan langsung dari korpus-korpus 
naskah  ego yang berisi kesaksian ‘para pelaku’ itu . Tentu saja, isinya 
sangat subyektif dan sepenuhnya menunjukkan sudut pandang mereka, dan 
barangkali bagi sebagian besar pembaca dan masyarakat negara kita  akan sedikit 
mengguncangkan. Tapi justru di situlah daya tarik artikel  ini, sebab  berusaha 
menunjukan secara ‘jujur’ perasaan, emosi, dan refleksi (sebagian) tentara 
Belanda, terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang mereka alami. Bisa dikatakan 
sangat jarang sekali ditemukan, terlebih untuk konteks negara kita  sendiri, 
sumber-sumber sejarah yang mengungkapkan perspektif dari ‘pelaku peristiwa 
kekerasan’.
 Tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang terjadi, melalui 
sumber itu , penulis menemukan adanya 779 laporan kekerasan – jauh di atas 
laporan Excessennota. Menurut penulis kekerasan itu  bisa dikelompokkan 
menjadi enam kategori, yaitu 1. kejahatan individual di luar konteks militer, 2. 
kekerasan menggunakan senjata mesin, artileri, dan serangan udara, 3. kekerasan 
selama patroli dan pengawasan, 4. kekerasan yang terkait pekerjaan intelijen, 
5. Kekerasan akibat operasi khusus, dan 6. kekerasan jenis lainnya, meliputi 
kelalaian, intimidasi, vandalisme, dan pemakaian  amunisi ilegal. Menurut 
pengakuan penyusun naskah  ego itu , kekerasan itu  seringkali terjadi 
sebab  mereka terjebak pada situasi mendesak, pada lingkaran kekerasan atau 

xi
‘perangkap kekerasan’ sehingga prinsip better safe than sorry, kill or to be killed, 
menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, seringkali juga aksi kekerasan eksesif 
dilakukan sebagian mereka, sebagai balas dendam atas apa yang dilakukan para 
pejuang, pemuda milisi atau tentara TNI (sebelumnya BKR, lalu TRI) kepada 
penduduk sipil Belanda selama periode Bersiap6 (akhir 1945 hingga akhir 
1946) dan kepada teman-teman mereka sesama militer. Di sini, sebagaimana 
ditekankan penulis artikel  ini, kesaksian yang disampaikan para veteran itu  
ingin menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi defensif, bukan ofensif, 
sehingga apa yang dilakukan yaitu  keterpaksaan (yang tentu saja belum tentu 
benar adanya).
 Dari sudut pandang militer, sejumlah sejarawan menilai bahwa konflik 
bersenjata antara Belanda dan negara kita  pada tahun 1945-1949 yaitu  perang 
asimetris (asymetric warfare), sebuah perang yang tidak berimbang, terutama 
dari sisi persenjataan. Belanda menggunakan persenjataan modern, sementara 
pihak negara kita  lebih banyak menggunakan senjata tradisional ditambah sedikit 
senjata modern hasil rampasan dari Jepang. Dalam keadaan timpang itu , 
bisa dipahami jika pejuang dan tentara negara kita  menggunakan strategi perang 
gerilya yang membingungkan dan menyulitkan tentara Belanda. Akibatnya, aksi 
kekerasan terhadap penduduk sipil seringkali tidak terhindarkan, sebab  pihak 
Belanda kebingungan untuk menentukan siapa ‘musuh’ sebenarnya. Pada sisi yang 
lain, di kubu negara kita  sendiri ada beragam kelompok milisi dan organisasi 
semi-militer yang tidak jarang saling berselisih satu dengan lainnya (sebab  faktor 
ideologis tapi juga pragmatis) dan seringkali melakukan inisiatif sendiri tanpa 
berkonsultasi dengan tentara profesional negara kita , yang saat itu jumlahnya 
masih terbatas. Kondisi itu  pada akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan 
berlapis, tidak hanya kekerasan antara tentara Belanda (Inggris dan sekutu) 
dengan pejuang dan tentara negara kita , namun  juga kekerasan antar kelompok di 
negara kita , seperti dalam kasus Peristiwa Madiun 1948 dan sejumlah ‘revolusi 
sosial’ lainnya.7
 Dalam konteks kekerasan eksesif tentara Belanda, penulis menggarisbawahi 
adanya kebencian rasial dan etnosentrisme yang ikut bermain dalam setiap 
peristiwa kekerasan. Kebencian rasial tergambar dalam ungkapan kemarahan, 
dendam, ketakutan, dan frustrasi mereka yang terbaca secara gamblang dan vulgar 
dalam kutipan-kutipan yang tersaji. Mereka menganggap pihak negara kita  sering 
menyalahi kesepakatan damai, dan mereka melakukan berbagai bentuk kekerasan 
yang tidak dikenal dalam budaya Barat mereka. Dalam kaitan itu, pandangan 
xii

etnosentrisme terbaca dengan kuat dalam pandangan mereka bahwa pelaku 
kekerasan eksesif seringkali dilakukan oleh tentara KNIL rekrutan lokal, bukan 
oleh tentara wajib militer Belanda, sebab  mereka pada dasarnya sudah terbiasa 
dengan ‘kondisi dan cara lokal’. Meskipun tidak sepenuhnya bisa dipercaya, 
demikian menurut penulis, namun banyak naskah  ego menyebutkan bahwa 
tentara-tentara KNIL yaitu  pelaku utama kekerasan eksesif. Mereka selalu 
berada di front paling depan untuk menghadapi gerilya tentara negara kita , dan 
mereka sering dipakai  dalam interogasi, penyiksaan dan eksekusi, termasuk 
dalam kejahatan perang skala besar yang dilakukan pasukan khusus pimpinan 
Kapten Westerling di Sulawesi Selatan.
 Selain memori kelam yang penuh emosi tentang ‘perang jahanam itu ’, 
artikel  ini juga menampilkan aspek dan sisi lain dari ingatan perang para veteran 
itu  yang lebih ‘manusiawi’. Selain perasaan dan pandangan negatif tentang 
lawannya, sebagian dari mereka juga menunjukkan kenangan yang positif tentang 
negara kita : kekaguman akan keindahan alamnya, keramahan penduduknya, 
kelezatan makanannya, dan bahkan penghormatan akan kegigihan semangat 
juang tentara negara kita  dalam mempertahankan kemerdekaan negerinya. Bab 
9 tentang kehidupan tentara, bahkan menunjukkan adanya hubungan pribadi 
sejumlah tentara dengan para perempuan negara kita  – meskipun banyak pula 
yang bernuansa negatif. Pertemanan tidak jarang ditunjukan oleh sebagian 
mereka dengan tentara negara kita , terutama setelah gencatan senjata. Mereka 
sadar bahwa perang tidak dinginkan oleh kedua belah pihak, dan mereka 
menyalahkan para politisi di belakang meja, yang seringkali memutuskan sesuatu 
tanpa mempedulikan perasaan dan kondisi mereka di medan pertempuran. 
Kekecewaan itu  semakin kuat terutama setelah kembali ke tanah airnya, 
setelah sedikit basa-basi penyambutan, mereka dihujani dengan kritik dan bahkan 
tuduhan bahwa mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang 
yang seharusnya tidak terjadi, dan tidak akan pernah dimenangkannya. Kondisi 
itulah yang menyebabkan mereka merasa ‘berada di sisi sejarah yang salah’.
 Lalu kira-kira apa makna kehadiran artikel  ini bagi masyarakat negara kita ? 
Tentu sebagamana disinggung di awal, pertama-tama artikel  ini merupakan 
pengantar yang baik untuk memperkenalkan perkembangan historiografis di 
Belanda dan perdebatan mereka tentang sejarah dekolonisasinya di negara kita . 
Pada sisi yang lain, barangkali artikel  ini juga bisa menimbulkan kesan yang 
menegaskan kebenaran narasi nasionalistik historiografi negara kita  selama ini 
bahwa tentara Belanda memang telah melakukan kejahatan perang di negara kita . 

xiii
Namun menurut hemat kami, kesan seperti itu sebaiknya disimpan saja. Akan 
lebih produktif untuk memandang kehadiran artikel  ini, terutama bagi para 
sejarawan negara kita , sebagai undangan – jika bukan tantangan – untuk meneliti 
kembali periode perang kemerdekaan tahun 1945-1949 yang belakangan 
minatnya cenderung menurun. artikel  ini bisa menjadi contoh bagaimana realitas-
realitas kekerasan di masa lampau coba difahami secara ‘dingin’ dan kritis. artikel  
ini hanya menampilkan satu sisi persepsi saja, hanya dari pihak tentara wajib 
militer Belanda, tentu akan sangat dibutuhkan perspektif tentara negara kita  untuk 
mengimbangi atau melengkapinya. Oleh sebab  itu, sejarawan negara kita  juga 
perlu segera melakukan pengumpulan dan kemudian penilaian naskah  ego 
dari para veteran negara kita  sebagaimana yang dilakukan penulis artikel  ini. Kita 
juga punya cukup banyak biografi, memoar, dan hasil wawancara sejarah lisan 
tentang periode itu  dan tentunya arsip yang kaya di sejumlah lokasi dan 
lembaga kearsipan. Kiranya, usaha seperti itu harus segera dilakukan sehubungan 
dengan semakin berkurangnya jumlah pelaku sejarah dari periode ini yang masih 
bisa ditemui dalam masyarakat kita.
 Selain itu, artikel  ini juga bisa menjadi cermin untuk melihat ‘celah’ dan 
‘ruang kosong’ yang ada dalam historiografi perang kemerdekaan kita selama 
ini. Kami bayangkan, pembaca negara kita  dan khususnya sejarawan dan peminat 
sejarah, akan menemukan banyak poin yang mengejutkan atas ‘tuduhan’ yang 
disampaikan dalam naskah  ego itu , terutama menyangkut aksi-aksi 
kekerasan yang katanya juga dilakukan pejuang, pemuda, dan tentara negara kita . 
Tentunya ini  perlu diklarifikasi lebih lanjut, apakah memang itu cuma ekspresi 
emosional dan tuduhan ‘ngawur’ mereka semata ataukah memang historis adanya. 
Tak kalah penting yaitu  aspek-aspek humanis yang secara langsung maupun 
tidak langsung dimunculkan oleh artikel  ini, kiranya bisa diteliti lebih lanjut. 
Bagaimana, misalnya, masyarakat negara kita  pada waktu itu menjalani hidupnya 
sehari-hari, bekerja mencari sesuap nasi di tengah suasana perang, bagaimana 
relasi sebagian di antara mereka dengan para tentara Belanda termasuk di lokalisasi 
pelacuran, dan seterusnya. Pendek kata, artikel  ini bisa mengingatkan kita semua 
bahwa periode perang kemerdekaan masih menyisakan banyak agenda riset bagi 
penelitian lanjutan. Secara teoretik, artikel  ini juga menunjukkan bahwa sejarah 
bukanlah sebuah titik, ia yaitu  sebuah koma dalam kalimat panjang yang belum 
selesai, dan memang sebaiknya jangan pernah dianggap selesai. Pengkajian ulang, 
penelitian kembali, dan pemaknaan baru harus selalu dilakukan sebab  itu 
xiv

merupakan kebutuhan kita pada masa sekarang, sebagai salah satu cara untuk 
mempersiapkan masa depan kita semua yang lebih baik. 
Selamat membaca.
       Yogyakarta, Agustus 2016
Catatan
1  Stef Scagliola, ‘Cleo’s “unfinished business”: Coming to terms with dutch war crimes in 
negara kita ’s war of independence’,  Journal of Genocide Research, 14 (3-4) (2012), hlm. 419-439.
2  Jan Bank, et al., Excessennota: Nota betre#ende het archiefonderzoek naar de gegevens omtrent 
excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950 (Den Haag: 
Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, 1995).
3  J.A.A. van Doorn & W.J. Hendrix, Ontsporing van geweld: het Nederlands-Indonesisch con%ict, 
(Zutphen: Walburg, 2012.)
4  Louis Zweers, De gecensureerde oorlog. Militairen versus media in Nederlands-Indië, 1945-1949 
(Zutphen: Walburg, 2013).
5  Rémy Limpach, De brandende kampongs van Generaal Spoor (Amsterdam: Boom Uitgevers, 
2016).
6  ‘Periode Bersiap’ (Bersiap periode) mengacu pada masa sesudah Jepang menyerah dan saat tentara 
Sekutu ditugaskan menjaga keamanan sebelum kedatangan tentara Belanda. Pada saat itu ribuan 
penduduk sipil Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan Ambon menjadi korban beragam aksi 
kekerasan yang dilakukan pemuda dan milisi negara kita . Istilah Bersiap, dimunculkan oleh para 
penyintas dan sangat dikenal dalam historiografi Belanda, namun hampir tidak dikenal dalam 
historiografi negara kita . Tentang kekerasan Bersiap ini lihat misalnya Herman Bussemaker, 
Bersiap! Opstand in Het Paradijs: De Bersiap-Periode op Java en Madura (Zutphen: Walburg, 
2013); Robert Cribb, ‘#e Brief Genocide of the Eurasians in negara kita , 1945/1946’ dalam A. 
Dirk Moses (ed.), Empire, Colony, Genocide: Conquest, Occupation, and Subaltern Resistance in 
World History (New York: Berghahn Books, 2008), hlm. 424-439.
7  Remco Raben, ‘On genocide and mass violence in colonial negara kita ’, Journal of Genocide 
Research, 14 (3-4) (2012), hlm. 485-502; William Frederick, ‘Shadows of an Unseen Hand: 
Some Patterns of Violence in the negara kita n Revolution’, dalam Freek Colombijn dan J. 
#omas Lindblad (ed.), Roots of Violence in negara kita : Contemporary Violence in Historical 
Perspective (Leiden: KITLV Press, 2002), hlm. 143-173.
xv
Kata pengantar edisi negara kita 
Apakah suka atau tidak, negara kita  dan Belanda telah berbagi sejarah selama 
beberapa abad. ‘Berbagi’ sejarah, sejarah ‘bersama’: sebutan yang ramah untuk 
sejarah kolonial, dan kata-kata itu kedengaran lebih indah daripada apa yang 
kebanyakan terjadi di masa lalu. Namun demikian: lebih dari tujuh puluh tahun 
setelah negara kita  menyatakan kemerdekaannya, dengan besar hati diusulkan agar 
tidak mengungkit-ungkit masa lalu yang sarat beban itu dan justru sebaiknya 
bersama-sama melihat ke depan. Beberapa hari yang lalu, pada malam menjelang 
kunjungan kilatnya ke Belanda, Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa 
melihat ke depan yaitu  semboyan utamanya. Bagi beliau, penelitian tentang 
perang dekolonisasi 1945-1949 tidak memiliki prioritas. Demikianlah, reaksi 
beliau atas ungkapan Menteri Luar Negeri Belanda Belanda Bert Koenders, yang 
beberapa minggu sebelumnya – pada waktu melakukan kunjungan kerja ke 
negara kita  – justru menganjurkan untuk mengadakan penyelidikan menyeluruh 
terhadap periode itu, termasuk juga penyelidikan terhadap pokok pembicaraan 
yang menyakitkan, yaitu: kejahatan perang Belanda.
Di negara kita , sejarah tahun 1945-1949 diceritakan dari perspektif yang 
sama sekali berbeda daripada di Belanda. Paparan cerita yang dominan di 
negara kita  yaitu  tentang lahirnya Republik negara kita  sebagai buah perjuangan 
heroik sekelompok suku bangsa yang bersatu untuk kemerdekaan mereka. Suatu 
perjuangan yang dipimpin oleh Sukarno dan juga oleh TNI. Di negara saya, 
paparan ceritanya di satu sisi tentang penderitaan orang-orang Belanda selama 
pendudukan Jepang (1942-1945) dan periode Bersiap (akhir 1945 - awal 1946), 
di sisi lainnya tentang usaha yang memakan waktu lama dan sia-sia untuk 
melakukan dekolonisasi sesuai dengan cara yang diinginkan Belanda. Kesamaan 
kedua paparan itu yaitu  kecenderungan untuk hanya berbicara tentang konflik 
dekolonisasi bilateral dan dengan demikian menyembunyikan kompleksitas 
Revolusi negara kita , dengan semua konflik internalnya.
Sebagai seorang sejarawan Belanda, saya yaitu  orang yang paling tidak 
berhak untuk memberitahu rekan-rekan negara kita  saya, atau orang negara kita  
xvi

yang manapun, apa yang seharusnya terutama mereka cari, atau tidak cari, 
tentang sejarah negara kita  yang masih muda. Sebagai seorang sejarawan dan 
direktur KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) – 
lembaga yang sejak tahun 1851 di bawah perlindungan keluarga kerajaan Belanda 
berkembang menjadi gudang pengetahuan tentang negara kita  – bagaimanapun 
juga saya merasa bertanggung jawab untuk menyumbangkan suatu pemahaman 
yang baik di negara saya sendiri tentang apa arti kolonialisme bagi rakyat di 
Nusantara, dan bagaimana kolonialisme ini dulu diakhiri. Dengan keyakinan 
ini, saya sebelumnya juga telah menulis artikel -artikel  tentang sejarah kolonial dan 
pascakolonial Belanda.
Serdadu Belanda di negara kita , 1945-1950: Kesaksian perang pada sisi sejarah 
yang salah merupakan karya yang layak dalam rangka ini. Edisi Belandanya telah 
diterbitkan tahun lalu dan juga dalam pandangan politik memiliki sejarah awal 
yang menarik; Anda dapat membacanya di halaman pertanggungjawaban di 
bagian belakang artikel  ini. artikel  ini merupakan bagian dari perdebatan Belanda 
yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi semakin kritis saja, tidak hanya 
dalam hal legitimasi aksi politik dan militer Belanda, namun  juga tentang praktik 
aksi itu, dan khususnya dalam masalah kejahatan perang. Kesimpulan yang 
saya tarik dalam artikel  ini yaitu  bahwa tindakan-tindakan kejahatan itu  
merupakan unsur yang bersifat struktural dalam pelaksanaan perang kami. 
Penting bagi negara saya untuk membuka mata terhadap hal itu , lengkap 
dengan semua nuansa yang ada. Belanda senang menampilkan dirinya sebagai 
penjaga hak asasi manusia internasional, suatu usaha yang mulia. Namun, saya 
yakin bahwa justru suatu negara dengan sejarah kolonialnya yang berjangka 
panjang hanya bisa memainkan perannya secara meyakinkan, kalau negara itu 
benar-benar berani secara terbuka berbicara tentang kegagalan sendiri yang 
pernah terjadi sebelumnya untuk memenuhi standar moral yang tinggi. Dan 
sayangnya, hal itu juga berlaku untuk banyak peristiwa sejarah kami di negara kita  
antara tahun 1945 dan 1949.
Berdasarkan keyakinan itu, artikel  Serdadu Belanda di negara kita  ditulis. artikel  
ini yaitu  artikel  dengan banyak ruang untuk nuansa, dengan memperhatikan 
kompleksitas dan kontradiksi dari masa itu. artikel  ini tidak memiliki pesan moral, 
namun  mengajak pembaca untuk memikirkan tentang politik dan moralitas. 
Paling tidak, saya berharap bahwa pembaca Belanda merasakan maksud saya 
itu. Yang pasti, bahwa perhatian publik yang besar terhadap artikel  ini di negara 

xvii
saya mencerminkan adanya kemauan yang berkembang untuk membuka mata 
terhadap masa lalu itu .
Saya tidak bisa memprediksi apa arti edisi negara kita  ini. Saya berterima 
kasih kepada penerbit Yayasan Pustaka Obor negara kita  atas inisiatifnya untuk 
menerbitkan terjemahan ini, dan saya berharap artikel  ini akan dibaca dan akan 
didiskusikan, termasuk juga pada unsur-unsur yang terasa kurang sesuai dengan 
wacana yang umum dalam perang di negara kita . Saya ingin mengucapkan terima 
kasih khususnya kepada Susi Moeimam, Maya Liem, Nurhayu Santoso atas 
terjemahan mereka yang berkualitas, kepada Abdul Wahid (UGM) atas kata 
pengantarnya yang indah, kepada Andreas Haryono (Obor) atas koordinasi dan 
bimbingannya yang baik dan cermat, kepada Marrik Bellen (KITLV-Jakarta) 
atas bantuan dan perantaraannya, kepada Ireen Hoogenboom dan Harry Poeze 
(KITLV) atas bantuan mereka yang terus-menerus dan juga terima kasih kepada 
Dutch Foundation for Literature, Erasmushuis, Kedutaan Besar Belanda, 
KITLV-Jakarta dan Prometheus. Harapannya artikel  ini akan dapat merangsang 
sejarawan negara kita  untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dari perspektif 
mereka sendiri. Bukanlah peran saya untuk merumuskan agenda negara kita  untuk 
penelitian sejarah. Saya sangat yakin bahwa bersama-sama melihat kembali ke 
belakang dapat membantu kedua negara kita untuk bersama-sama tetap terus 
melihat ke depan.
Gert Oostindie, April 2016
xviii
Kata pengantar edisi Belanda
Perang kami di negara kita  tetap saja membangkitkan emosi yang tinggi pada 
generasi kemudian di Belanda. Itu tidaklah aneh. Di waktu itu Belanda 
mengerahkan 220.000 serdadunya untuk suatu perang yang tidak dimenangkan 
dan yang sesudahnya semakin sering dicap salah. Pada dasawarsa pertama 
setelah kegagalan total itu, isu perang itu  dipendam hilang dalam ingatan 
kolektif. Sejak soal perang itu diungkap kembali, maka debat umum itu terutama 
membahas pertanyaan apakah para serdadu Belanda telah bersalah melakukan 
tindak kejahatan perang. Itu baru satu sudut pandang saja, ada sejumlah 
pertanyaan lebih luas yang diajukan mengenai episode yang secara bersamaan 
merupakan perang dekolonisasi dan perang sipil yang kacau, dan yang melahirkan 
Republik negara kita  yang berangkatan senjata kuat. Namun, pertanyaan tentang 
kejahatan perang tetap sangat penting, meskipun hanya sebab  Belanda banyak 
berpatokan pada nilai-nilai agenda internasional tentang hak asasi manusia, 
dalam perdamaian dan peperangan. Termasuk dalam pertanyaan itu yaitu  
refleksi masa lalu angkatan bersenjatanya sendiri.
 Sejak penyerahan kedaulatan negara kita  pada Desember 1949 pemerintah 
Belanda membuat tiga pernyataan yang mengundang perhatian tentang perang 
di negara kita . Di tahun 1969 Perdana Menteri Piet de Jong menyatakan bahwa 
serdadu Belanda mungkin saja telah melakukan kesalahan terhadap apa yang 
disebut spesifik dengan ‘ekses-ekses’– eufemisme untuk tindakan kejahatan 
perang – namun  ‘bahwa angkatan bersenjata itu secara keseluruhan telah 
melakukan tindakan yang tepat dan benar’. Di tahun 2005 Kabinet Balkenende 
melalui ucapan Menteri Luar Negeri Ben Bot menyampaikan penyesalan atas 
penderitaan yang diakibatkan, dan menyatakan bahwa Belanda telah melakukan 
perang ‘dengan berpijak pada sisi sejarah yang salah’. Jadi, suatu perang, yang 
setelah ditinjau di kemudian hari, dianggap seharusnya tidak dilakukan (begitu). 
Pada akhirnya di tahun 2011 Kabinet Rutte meminta maaf kepada janda-
janda dari para lelaki negara kita  yang ditembak mati tanpa pengadilan di Desa 

xix
Rawagede di Jawa. Kemudian lagi-lagi menyusul permintaan maaf, yang setiap 
kali dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa khusus seperti di Sulawesi, namun  tidak 
untuk tindakan serdadu Belanda dalam pengertian lebih luas.
 Bahwa tindak kejahatan perang dilakukan oleh pihak Belanda yaitu  
jelas. Sementara ini sudah muncul pelbagai penelitian yang mennaskah tasikan 
kejahatan-kejahatan itu. Juga dalam media peristiwa-peristiwa yang baru 
dikemukakan, atau peristiwa yang sudah diketahui mendapat perhatian lagi. 
Namun, dalam skala mana dan di bawah kondisi apa ‘tindakan-tindakan di luar 
batas semacam itu’ betul terjadi – dan apakah istilah itu cukup mencakup – 
tetaplah tidak jelas dan menjadi perdebatan.
 Para veteran memperdengarkan suara mereka dalam perdebatan ini. 
Itu masuk akal: mereka ada di sana waktu itu, mereka mengalami realita yang 
sebenarnya, mereka tahu apa yang dibicarakan. Namun, mereka sama sekali tidak 
bersuara sama, dan pastilah tidak jika menyangkut tindak kejahatan perang. 
Ada, dalam jumlah yang terbatas, yang sekarang juga masih memperdengarkan 
suaranya di media, dan dalam jumlah lebih banyak, mempublikasikan 
pengalaman-pengalaman mereka, atau menugaskan orang menerbitkannya. 
Setiap naskah  ego (egodocumenten) atau catatan pribadi itu masing-masing 
hanyalah kesaksian individual namun  analisis yang sistematis dan tanpa prasangka 
dari korpus keseluruhan dapat memberi  gambaran yang lebih seimbang, dan 
dengan begitu juga gambaran yang lebih jelas dalam perang itu sendiri.
 Itu merupakan titik tolak dari artikel  ini, didasarkan pada semua publikasi 
naskah  ego dari para serdadu yang bertugas dalam angkatan bersenjata Belanda 
di negara kita  antara 1945 dan 1950.1 Korpus ini merupakan sumber yang unik – 
659 artikel  harian, korespondensi, artikel  kenangan, memoar, sketsa biografis, teks 
dalam 100.000 halaman dengan isi kata-kata dari 1.362 tentara dan veteran. Itu 
yaitu  sumber yang perlu ditangani secara hati-hati – tentang hal itu akan lebih 
banyak ditemukan kemudian dalam artikel  ini – namun  walaupun begitu sumber 
itu menyediakan cukup bahan sebagai sumbangan kuat bagi perdebatan tentang 
perang.
1  Secara resmi KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger ‘Tentara Kerajaan Hindia-Belanda’) 
tidak termasuk dalam angkatan bersenjata Belanda (Nederlandse Koninklijke Landmacht/
KL ‘Angkatan Darat Kerajaan Belanda’ dan Nederlandse Koninklijke Marine/KM ‘Angkatan 
Laut Kerajaan Belanda’), namun  angkatan bersenjata Hindia-Belanda. Namun, dalam situasi 
setelah perang, pembedaan resmi ini tidak ada lagi. Oleh sebab  itu, dalam artikel  ini, misalnya 
juga dalam reaksi pemerintah atas Excessennota (Nota Ekses), disebutkan tentang ‘angkatan 
bersenjata Belanda’ dengan KNIL tercakup di dalamnya.
Apa yang dihasilkan oleh penelitian ini? Pertama-tama yaitu  sebuah artikel  
yang berisi pernyataan-pernyataan langsung dari para laki-laki itu, dan satu-dua 
perempuan, yang seringkali sangat memberi kesan mendalam, dalam formulasi-
formulasi yang mereka pilih sendiri atau kuasakan pada orang lain. Dalam makna 
itu, artikel  ini merupakan bunga rampai. Cerita itu seolah-olah merupakan cerita 
yang utuh namun  itu semu. Ada tema-tema yang dipilih atas dasar pemikiran 
bahwa tema-tema ini dapat membantu memahami perang dan cara pikir serta 
tindakan dari para serdadu itu. Dari sejumlah pasase yang melimpah ruah 
diseleksi kutipan-kutipan yang representatif dan memiliki kekuatan isi kata. 
Memang mungkin saja menambah lagi dengan ratusan halaman berisi kutipan-
kutipan dengan nada dan isi yang serupa.
Penelitian ini memberi  gambaran tentang keragaman yang sangat 
besar, suatu ragam yang luas tentang kenangan, pengamatan, visi, dan perasaan. 
Di dalamnya dapat diuraikan pola-pola. Pertama-tama tentang pertanyaan 
bagaimana para serdadu yang dikirim itu berpikir tentang misi yang harus mereka 
penuhi di suatu negeri yang sama sekali asing bagi mereka. Arah kecenderungannya 
jelas. Di awal misi itu  dipikirkan dari sudut pembebasannya dan selanjutnya 
dipikirkan pelaksanaan penertiban dan pengamanannya, dan masih di waktu 
perang itu sendiri tumbuh sikap skeptis dan sinis. Terutama di tahun terakhir 
perang, ketika pelbagai perspektif dengan cepat memburuk, terjadi demoralisasi; 
ini dapat mengakibatkan tindak-tindak kekerasan yang di luar jalur. Setelah 
perang, semakin banyak veteran yang meragukan arti dan manfaat perang.
Gambaran apa yang dimiliki oleh para serdadu Belanda itu tentang 
negara kita ? Kebanyakan dari para serdadu itu jelas-jelas hanya memiliki 
gambaran yang sangat samar tentang negeri dan masyarakatnya. Komentar 
tentang masyarakatnya beragam dari mulai adanya simpati melalui paternalisme 
dan eksotisme sampai rasisme yang blak-blakan. Secara positif dapat dikatakan: 
mereka ingin melindungi ‘pribumi’ terhadap musuh militer (TNI) yang biasanya 
digambarkan sangat negatif. Walaupun begitu, timbul juga sikap pengertian 
terhadap para perintis kemerdekaan. Sikap pengertian itu sudah dimiliki oleh 
sejumlah orang di tahun-tahun terakhir perang, sesudah perang lebih menguat 
lagi. Namun, cara lawan, atau lebih tepat lawan-lawan, melakukan perang terus 
saja dinilai negatif. Argumen bahwa musuh berperang secara tak diduga dan 
kejam juga di kemudian hari di kalangan sendiri dipakai sebagai pernyataan dan 
pembenaran untuk tindakan keras. 

xxi
Mengenai angkatan bersenjata sendiri ada garis pemisah antara 
Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda 
(KM) di satu pihak, Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) di lain pihak. Para 
serdadu Belanda menilai secara ambivalen baik metode keras dari para tentara 
KNIL maupun kolega-kolega mereka yang rekrutan lokal itu, yang dikatakan 
bahwa mereka itu berani, efektif, dan dengan begitu dibutuhkan, namun  mereka 
itu seringkali juga melakukan tindak kekerasan. Politik Belanda banyak sekali 
dinilai negatif: pemerintah di Den Haag yang jauh tidak mengerti apapun tentang 
kenyataan di tempat, lemah dan tidak berprinsip, melenyapkan kesuksesan 
militernya di meja perundingan sebab  khawatir akan opini internasional.
 Sebagian besar, antara 75 dan 80 persen dari semua tentara dan veteran 
tidak melaporkan tindak kejahatan perang, menyatakan secara eksplisit mereka 
bukanlah pelaku atau saksinya, dan/atau membantah tegas bahwa kejahatan-
kejahatan itu memang terjadi. Hanyalah sebagian kecil saja yang menyebutkan 
tentang tindakan-tindakan kekerasan di luar jalur. Walaupun demikian, dalam 
korpus 659 naskah  ego teridentifikasi hampir 800 tindakan kejahatan perang, 
dari pembakaran dan perampokan dengan penganiayaan dan penyiksaan sampai 
pemberondongan atau penembakan individual dan kolektif. Separuh dari berita 
ini menyangkut korban mati, seperti eksekusi tanpa pengadilan dan penembakan 
tawanan ‘yang melarikan diri’; kategori berikutnya, seperempatnya, menyangkut 
penganiayaan-penganiayaan. Ini merupakan data yang mengejutkan.
 Pertanyaan-pertanyaan seputar laporan yang kurang lengkap dan 
representativitasnya dibicarakan secara rinci dalam artikel  ini. Merupakan 
ilusi berpikir bahwa waktu dapat dibuat suatu penetapan yang kuat tentang 
jumlah tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara angkatan 
bersenjata Belanda. Masuk akallah kalau segala acuan ke kejahatan-kejahatan 
yang ditemukan dalam korpus ini – yang disinyalir hanya oleh sekelompok kecil 
saja dari keseluruhan angkatan bersenjata – hanya merupakan bagian kecil dari 
hal yang besar yang bisa diketahui. Penghitungan dasar memberi  gambaran 
bahwa jumlah kejahatan perang haruslah ditaksir cenderung ke puluhan ribu 
daripada ribuan. Secara kolektif dan dalam konteks kontragerilya, angkatan 
bersenjata Belanda telah bersalah melakukan tindak kejahatan perang dalam 
skala yang signifikan; tindakan kekerasan yang melampaui batas ini terjadi secara 
struktural, bukan fenomena insidental saja, demikian seharusnya disimpulkan. 
Gambaran itu sangat berbeda dengan yang disampaikan oleh Kabinet De Jong 
pada tahun 1969, dan suatu kesimpulan yang hanya sesuai dengan citra diri 
xxii

nasional negeri Belanda yang apik di mana tindakan kekerasan semacam itu 
hanyalah diasosiasikan dengan negara-negara lain. 
Dengan ini sama sekali tidak boleh disimpulkan bahwa semua tentara 
terlibat dalam hal tindak kejahatan perang. Juga jangan pula mengartikan bahwa 
pimpinan militer secara sistematis mendorong tindakan kejahatan perang, 
sebagai praktik yang diperbolehkan. Tindakan seperti itu justru dilarang secara 
eksplisit. Mengenai pertanggungjawaban militer dan politik atas kejahatan 
berdasarkan korpus ini hanyalah bisa diberikan pernyataan-pernyataan secara 
hati-hati: tentang rantai komando tidak cukup ditemukan dalam naskah  
ego, dan apalagi yang ada yaitu  pernyataan-pernyataan yang bertentangan. 
Boleh dikatakan bahwa para perwira (bawahan) yang lebih rendah diberikan 
sangat banyak keleluasaan. Sedikitnya nampak seolah-olah tindak preventif dan 
penghukuman atas kejahatan perang tidak mendapat prioritas utama, khususnya 
ketika konflik itu meruncing dan kemungkinan menang perang berbalik. Itu 
yaitu  kesimpulan yang memprihatinkan yang juga didapatkan oleh peneliti-
peneliti lain, berdasarkan sumber-sumber yang sama sekali berbeda. 
 Di saat-saat tindakan kekerasan digambarkan, tindakan itu juga 
dipikirkan, baik di tempat maupun (jauh) di kemudian hari. Refleksi-refleksi 
itu beragam. Pernyataan-pernyataan dikemukakan yang kadang-kadang juga 
bersifat menuntut pembenaran: tantangan-tantangan yang tidak dapat diduga 
dari kontragerilya; keharusan mengambil keputusan cepat, better safe than 
sorry, tindak balas dendam terhadap perbuatan keji musuh. Ada juga keraguan, 
kadang-kadang penyesalan tentang perilaku sendiri atau tentang keterlibatan ikut 
bersalah yang dialami – dengan berjalannya tahun, jadi terutama dalam memoar 
dan catatan biografi, hal itu diungkapkan lebih sering dan lebih tegas.
 Dua bab terakhir yang berdasarkan tema terutama dipusatkan untuk 
membahas tentang kehidupan serdadu dan juga periode kepulangan mereka dan 
khususnya saat sesudahnya. Sebanyak mungkin melalui naskah -naskah  ego 
itu didapatkan informasi yang selama perang tidak, hanya sepintas atau sembunyi-
sembunyi ditulis oleh para serdadu, seperti stres dan seks. Di mana sejumlah 
besar (mantan) tentara menempatkan tindak kekerasan eksesif itu dalam konteks 
better safe than sorry, maka wajarlah kalau ketakutan dan stres dapat dikaitkan 
dengan perilaku semacam itu. Praktik seks bayaran yang kebanyakan tidak 
diungkapkan, namun  ternyata sudah meluas – pemerkosaan jarang sekali disebut 
– memberi kesan telah terjadi suatu penyimpangan dari norma-norma di rumah. 
Tidak tertutup kemungkinan adanya paralel di sini. Di mana keadaan perang 

xxiii
menyebabkan lepas kendali, dan penurunan batas normatif seks, maka ini juga 
bisa berlaku untuk pemakaian  kekerasan yang melampaui batas. 
 Di dalam cerita-cerita dari para veteran yang lama sesudah kepulangannya 
(memberi kuasa untuk) menuliskan pengalaman dan perasaannya, kelihatan 
sekali adanya sikap telah diperlakukan secara tidak adil: tentang banyaknya 
penempatan paksa dalam perang yang sesudahnya dianggap sebagai suatu 
kesalahan, tentang tahun-tahun yang hilang sebagai warga sipil, tentang 
kurangnya penghargaan dari politik dan masyarakat, tentang ketidakmengertian, 
bahkan di lingkungan dekat mereka sendiri. Dalam konteks itu naskah -
naskah  ego itu seringkali lebih mengungkapkan – yang bisa dimengerti – 
keluh kesah diri daripada pencelaan diri. Lama-kelamaan trauma menjadi tema. 
Dan kekerasan dibicarakan berangsur-angsur dengan lebih terbuka dan kritis, 
walaupun juga mayoritas menyatakan bahwa mereka bukan saksi, apalagi pelaku 
kejahatan perang. Pernyataan yang terakhir itu menjelaskan adanya nada sengit 
dari para veteran dalam debat-debat kemudian yang membela diri terhadap apa 
yang mereka pandang sebagai tuduhan yang tidak beralasan.
 Bagaimana hubungan antara titik-titik tera 1969-2005-2011 dan temuan-
temuan itu dalam artikel  ini? Bahkan suatu kesimpulan yang disusun sangat hati-
hati pun menguburkan titik tolak pemerintah tahun 1969 yang menyatakan 
bahwa kekerasan eksesif hampir tidak pernah terjadi. Kesimpulan dari tahun 
2005, bahwa setelah ditinjau kemudian Belanda seharusnya tidak menjalankan 
perang itu (begitu), yaitu  pada dasarnya suatu kesimpulan politik, dari perspektif 
ilmiah yang paling-paling dapat didukung dengan pernyataan bahwa semua 
perang dekolonisasi yang dilakukan oleh negeri-negeri induknya pada akhirnya 
mencerminkan pandangan dunia yang kuno dan seluruh perang itu gagal. Dari 
sudut pandang inilah anak judul artikel  ini dipilih dan dalam judul disebutkan 
‘negara kita ’, bukan ‘Hindia’.
 Permintaan maaf yang disampaikan oleh pemerintah Belanda di tahun 
2011 untuk tindakan kejahatan perang yang spesifik kembali menjadi tanda 
isyarat politik, lagipula dipaksa dalam ruang pengadilan. Para veteran Belanda 
mengecam permintaan maaf dari pemerintahnya dengan mengacu ke tindakan 
kejahatan perang yang dilakukan oleh pihak lawan. Bahwa pihak(-pihak) lawan 
telah bersalah melakukan kejahatan perang dalam skala yang besar dipandang 
jelas. Apakah sebab  itu semua pihak harus meminta maaf yaitu  pertanyaan 
yang lain, yang berkaitan dengan soal legitimasi perang itu sendiri dan dengan 
demikian pertanyaan siapakah agresor yang memancing tindak kekerasan balik – 
xxiv

tentang hal itu pada waktu itu ada perbedaan pendapat, namun  juga setelah 
di belakang hari perbedaan itu masih ada. Pertimbangan itu, dan pertanyaan 
apakah permintaan maaf dan ganti rugi uang memang benar dan diinginkan, 
yaitu  suatu perkara politik dan bukanlah topik artikel  ini. artikel  Serdadu Belanda 
di negara kita  ini memang memberi  kesan bahwa jika ada kemungkinan niat 
pemerintah selanjutnya memberi ganti rugi, maka itu akan menyangkut suatu 
jumlah tindak kejahatan perang yang lebih besar daripada yang selama ini 
disangka di Belanda.
 artikel  Serdadu Belanda di negara kita  tidak memberi  penilaian moral. 
Maksud penelitian ini yaitu  untuk merekonstruksi tanpa prasangka aspek-
aspek perang yang hakiki dan cara mengatasinya dan dengan demikian 
memperlakukan dengan adil orang-orang yang memartikel kan segala pengalaman 
dan kenangannya atau yang menguasakan ke orang lain untuk menyusunnya 
dalam artikel . Dalam makna itu, Serdadu Belanda di negara kita  juga merupakan 
bukti penghargaan bagi para lelaki itu. Secara bersamaan diajukan pertanyaan-
pertanyaan yang sulit berdasarkan cerita-cerita mereka dan kadang-kadang ditarik 
kesimpulan-kesimpulan yang menyakitkan, terutama tentang pemakaian  dan 
pernyataan tentang tindak kekerasan ekstrem. Dari perspektif masa kini tidaklah 
bisa dihindari, bahkan diharuskan, bahwa pertanyaan-pertanyaan ini dibawa ke 
meja diskusi. Namun, Serdadu Belanda di negara kita  juga menjelaskan bahwa 
kebanyakan yang bersangkutan sudah selama perang, dan yang pasti sesudahnya, 
bergelut dengan segala pertanyaan ini. Tidak hanya pertanyaan tentang arti dan 
pembenaran perang itu namun  juga tentang pemakaian  tindak kekerasan: di 
mana letak batasnya, untuk kolektif dan untuk diri sendiri?
xxv
Catatan untuk pembaca
Dalam artikel  asli
Kutipan-kutipan dialihkan dari naskah -naskah  ego asli tanpa perubahan, 
kecuali perubahan-perubahan kecil pada tanda baca, pemakaian huruf besar dan 
kesalahan pengetikan yang penting. Dalam teks-teks lain untuk nama geografis 
dan orang dipakai  ejaan bahasa negara kita  yang modern. Pada kutipan dari 
naskah  ego dicantumkan tanggal publikasi dan/atau catatan asli. Jenis sumber 
juga diberikan, seperti berikut:
anders: and
artikel: art
biografie: bio
brieven: brv
bundel: bdl
dagboek: dgb
gedenkboek: ged
interview: int
memoires: mem
roman: rom
Dalam artikel  terjemahan ini
Dalam artikel  terjemahan teks kutipan dari naskah  ego di artikel  asli dialihkan 
ke bahasa negara kita  dengan susunan kalimat separalel mungkin aslinya, dengan 
mengikuti kaidah bahasa negara kita . Pemakaian tanda baca dalam teks terjemahan 
didasarkan atas kelaziman dalam bahasa negara kita . Ejaan lama pada nama 
geografis dan orang dalam kutipan dari naskah  ego dipertahankan seperti 
dalam artikel  aslinya. Keterangan pada kutipan tentang tanggal publikasi dan/atau 
xxvi

catatan asli serta jenis sumber juga dicantumkan dalam singkatan negara kita nya, 
seperti berikut:
artikel: art
biografi: bio
artikel  harian: bh
artikel  kenangan: bk
interviu: int
kumpulan: kpln
lainnya: ln
memoar: mem
roman: rom
surat: srt
Di dalam teks terjemahan, dalam setiap bab pada penyebutan pertama dari 
istilah Belanda, disebutkan pertama istilah Belanda itu  dan kemudian 
diikuti dengan terjemahan negara kita nya, misal: Genieveldcompagnie (Kompi 
Zeni), Oorlogsvrijwilliger (OVW, sukarelawan perang). Pada penyebutan kedua 
dan selanjutnya dalam bab itu  dipakai  terjemahan negara kita nya saja, 
kecuali pada Excessennota yang tetap dipakai istilah Belandanya dan ditulis 
miring sebab  istilah ini yaitu  judul artikel . Demikian juga untuk penyebutan 
pertama pada nama resmi kesatuan militer Belanda, dipakai  lebih dahulu 
istilah Belandanya dengan diikuti oleh singkatannya. Terjemahan negara kita nya 
diberikan sesudahnya dalam kurung, misal: Nederlandse Koninklijke Landmacht 
(KL, Angkatan Darat Belanda), Korps Speciale Troepen (KST, Korps Pasukan 
Khusus). Pada penyebutan selanjutnya dalam bab itu  dipakai  terjemahan 
negara kita nya dan kadang, jika dirasa lebih memperjelas, dalam kombinasinya 
dengan singkatan Belanda, misal: Angkatan Darat (Kerajaan) Belanda (KL), Korps 
Pasukan Khusus (KST). Dalam konteks terjemahan yang sudah jelas mengacu ke 
nama kesatuan Belanda, pada umumnya pada naskah  ego, seringkali cukup 
dipakai  dalam kombinasi dengan singkatan Belandanya saja, misal: tentara 
KL, anggota KST.
11 
Pendahuluan
Tujuh puluh tahun yang lalu, perang dekolonisasi Belanda-negara kita  berawal. 
Kini, di kedua negara hanya tinggal sedikit militer dari generasi terakhir, yang 
pada masa mereka direkrut masih merupakan pemuda hijau. Semua politikus 
dan pejabat tinggi militer dari masa itu – yang memang lebih tua usianya – 
sudah meninggal. Kadang-kadang ada veteran yang mau diwawancarai, dan ada 
beberapa dari mereka yang masih dalam proses menulis memoar, namun  yang 
pasti semua kegiatan itu semakin berkurang saja. Rupanya, waktu tidak pernah 
berhenti menjalankan tugasnya. Kadang-kadang, keluarga mereka menemukan 
surat-surat atau artikel  harian dan bertanya-tanya apa yang harus dilakukan 
dengan itu semua. Mereka mungkin jadi menyalahkan diri sendiri sebab  dulu 
tidak lebih banyak bertanya kepada ayah atau kakek mereka tentang masa itu, 
tentang apa yang mereka alami di sana dan apakah masa itu membekas dalam 
hidup mereka, atau tidak.
Kanon sejarah negara kita  tidak dapat ditafsirkan secara lain: suatu 
revolusi yang sah di mana melalui suatu perjuangan heroik sekelompok suku 
bangsa bersatu memaksa penjajah bertekuk lutut dan berjuang bersama demi 
kemerdekaan mereka. Dalam kisah-kisah yang disajikan di museum nasional dan 
artikel  pelajaran sekolah masih sedikit ruang untuk nuansa itu. Hampir tidak ada 
refleksi tentang pertentangan-pertentangan internal yang mendalam dari Revolusi 
negara kita  di mana orang negara kita  bukan hanya berperang melawan kekuasaan 
kolonial namun  juga berperang melawan sesama mereka sendiri, atau juga tentang 
orang negara kita  yang berpihak pada Belanda dan kadang-kadang berjuang untuk 
mereka. Kurang ada perhatian untuk proses perundingan dan dukungan yang 
krusial bagi para pejuang Republik dalam masyarakat internasional di bawah 
pimpinan AS. Cerita yang mendominasi salah satunya tentang kepahlawanan 
2
para militer. Memoar mereka, yang sebagian besar ditulis semasa rezim jenderal 
Suharto, dipenuhi dengan rasa kebanggaan. Bisa dimaklumi, sebab  mereka 
berbicara tentang peran mereka sebagai pemenang perjuangan yang sejalan dan 
setujuan. Tidak perlu diragukan lagi pasti juga ada kenangan-kenangan dan 
cerita-cerita lain, namun  jumlahnya masih belum banyak dan cerita-cerita itu 
belum bisa tercakup dalam kanon sejarah negara kita .
Tidak dapat dikatakan ada kanon sejarah Belanda yang jelas; ingatan 
Belanda tentang masa perang terpecah-pecah dan penuh dengan pertentangan-
pertentangan. Perang ini tentu saja tidak dituliskan dengan rasa bangga dalam 
artikel  tahunan sejarah nasional Belanda. Wajar, sebab  perang itu berakhir dengan 
kegagalan total. Angkatan pertama militer mendaftarkan diri secara sukarela 
untuk mengusir si ‘musuh Jepang’ dari ‘negeri Hindia kami’, tapi rupanya di 
sana tidak ada pertempuran melawan Jepang. Orang Jepang sudah berkapitulasi 
sebelum pasukan pertama Belanda menjejakkan kaki di bumi Hindia. Setelah itu, 
pemulihan ‘Orde en Vrede’ (Ketertiban dan Perdamaian) dijadikan moto, tapi hal 
itu tidak berhasil dicapai, setidaknya tidak di setiap tempat dan yang pasti tidak 
permanen. Yang pada awalnya diperkenalkan sebagai aksi militer terbatas terhadap 
para pemberontak yang memiliki sedikit dukungan dari penduduk negara kita , 
akhirnya menjadi perang betulan, suatu gerilya dan kontragerilya dengan ukuran 
besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Belanda. Perang 
yang pada awalnya juga didukung secara luas dalam politik Belanda, namun  yang 
makna dan legitimasinya dalam dasawarsa berikutnya semakin dipertanyakan –
berpuncak pada deklarasi pemerintah Belanda tahun 2005, yang menyatakan 
bahwa setelah ditinjau kembali ternyata negara kami berada ‘pada sisi sejarah 
yang salah’. ‘Kami’ pada waktu itu belum mengerti bahwa zaman telah berubah 
selamanya, bahwa peran kami di negara kita  sudah berakhir. 
Tapi kenangan dan penilaian tetap sangat terpecah dan perdebatan tentang 
tahun-tahun 1945-1950 terus membangkitkan emosi yang kuat, setidaknya di 
antara kelompok terakhir yang mengalami sendiri periode itu  dan kerabat 
keluarga mereka: bukan hanya para veteran dan anak-anak mereka, namun  juga 
keluarga dari ‘para repatrian’ yang telah kehilangan negeri Hindia mereka dan 
harus menukar Republik negara kita  yang baru dengan Belanda. Mereka terus-
menerus dihadapkan dengan pendapat-pendapat bahwa kolonialisme Belanda 
di Hindia bukan tindakan yang benar, dan sebab  itu orang-orang yang ada 
di sana pada masa sebelum perang juga menjadi tersangka dan dituduh ‘salah’, 

3
seperti juga mereka yang setelah masa perang membela orde kolonial melawan 
nasionalisme.
Tuduhan salah itu  menimpa baik para repatrian maupun para 
veteran, yang oleh sebab  itu merasa diri mereka bersama-sama didudukkan di 
kursi tersangka – beberapa dari mereka tetap merasakan perasaan itu hingga saat 
ini. Banyak dari mereka, dengan atau tanpa perasaan pahit, hanya mengangkat 
bahu dalam menanggapi banyaknya kesalahpahaman, beberapa dari mereka 
menentang mati-matian melawan apa yang mereka anggap sebagai prasangka 
dan kurangnya pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. 
Dan dalam hal itu mereka sering benar: cara banyak orang yang di belakang hari 
memberi  penilaian yang menghakimi tentang suatu periode yang sebenarnya 
hanya sedikit mereka ketahui yaitu  sangat mudah. Memang boleh dikatakan 
memalukan, tapi tidak mengherankan. Sebenarnya seperti halnya semua sejarah 
kolonial Belanda, perang ini juga hanya sedikit menjadi bagian dari kesadaran 
nasional. Baru-baru ini sajalah hal itu mendapat lebih banyak perhatian dalam 
dunia pendidikan, media, dan kehidupan budaya.
Perang kolonial
Militer dilatih untuk berperang. Perang-perang yang sering dipandang perlu 
untuk membela negara sendiri, sekutu, atau untuk membuat dunia lebih aman. 
Dahulu keadaannya berbeda, namun  kini tidak ada negara yang secara eksplisit 
memberi  tugas agresif kepada bala tentaranya sendiri – ‘pertahanan’ yaitu  
semboyan masa kini. ini  tentu berlaku untuk angkatan bersenjata Belanda, 
yang sebagai anggota NATO pada pascaperang terutama mendapatkan tugas-
tugas pertahanan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, angkatan bersenjata 
Belanda semakin sering terlibat dalam misi perdamaian internasional. Operasi 
itu, selalu dalam konteks internasional, sering berkarakter misi pembangunan: 
suatu kombinasi dari penjagaan perdamaian dan peningkatan pembangunan 
lokal. Dengan begitu para militer bukan hanya dilatih untuk bertempur secara 
militer, namun  juga untuk melakukan pekerjaan pembangunan.
Berdasarkan keyakinan dan kepentingan pribadi yang bisa dimengerti, 
sejak abad kesembilan belas sampai pada masa pendudukan Jerman pada 
tahun 1940, Belanda menggolongkan dirinya sebagai negara netral dengan 
ambisi militer utama untuk melindungi perbatasan negara sendiri. Pada masa 
antarperang, Belanda tidak memiliki  budaya militer yang kuat; juga tidak 
4
setelah tahun 1945, walaupun pada masa itu status netralnya sudah ditinggalkan. 
Meskipun begitu, pada tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia II, Kerajaan 
Belanda melancarkan operasi militer terbesar dalam sejarahnya, bukan di Eropa 
tapi di tanah jajahan Hindia-Belanda. Misi yang diperintahkan kepada para 
militer memang bersifat kolonial dan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan 
geopolitik Belanda yang tidak dapat dianggap sepele, namun  kalau dilihat dari 
konteks kehidupan sekarang, sifat misi itu  lebih biasa dan kontemporer 
daripada yang mungkin dapat diduga. Moto yang dipakai  yaitu  pemulihan 
ketenangan dan keamanan, menciptakan tuntutan-tuntutan yang dibutuhkan 
untuk pembangunan kembali setelah adanya pendudukan asing yang 
menghancurkan. Pekerjaan pembangunan dengan tujuan yang mengingatkan 
pada misi penjaga perdamaian masa kini, termasuk memerangi para ‘ekstremis’ 
dan ‘teroris’.
Kenyataan yang sebenarnya yaitu  lebih rumit, dan ada sejarah awal kolonial 
di mana dahulu angkatan bersenjata di daerah kolonial dibebani tugas yang sangat 
berbeda daripada tugas yang biasanya di Belanda. (Koninklijk) Nederlands-
Indisch Leger (KNIL) yang didirikan pada tahun 1830 menjalankan serangkaian 
panjang aksi militer dan perang dalam rangka ‘pasifikasi’ di Nusantara. KNIL 
dan juga polisi – yang keduanya dipimpin oleh orang Belanda dan sebagian besar 
diperkuat oleh orang-orang keturunan Eropa (Indo) dan orang-orang negara kita  
– diperlukan untuk memelihara ketertiban dan keadaan tenang. Yang dimaksud 
yaitu  ketertiban dan keadaan yang relatif tenang menurut definisi yang lazim 
buat suatu negara kolonial yang terus-menerus menjadi semakin besar, suatu 
negara yang mandatnya tidak ada selain dari kewajaran dalam cara bagaimana 
‘negara induk’ serta penduduk Eropa di Nusantara menganggap ‘Orde Kolonial’ 
itu sebagai sesuatu yang lazim. 
Di daerah tanah jajahan pemikiran itu berangsur-angsur berubah, sudah 
dimulai sebelum pecahnya perang dan yang pasti setelahnya. Pada tanggal 17 
Agustus 1945, dua hari setelah Jepang berkapitulasi, Sukarno dan Mohammad 
Hatta memproklamasikan Republik negara kita . Dan di saat itu pula dimulai 
aksi militer Belanda terbesar, yang dipertanggungjawabkan sebagai suatu misi 
‘Voor Orde en Vrede’ (Untuk Ketertiban dan Perdamaian), namun  yang tentu 
di luar Belanda semakin dianggap sebagai perang kolonial murni. Hal itu tidak 
mengherankan. Sudah jelas bahwa motif Belanda sebagian dapat dikatakan bersifat 
paternalistis, namun  juga ada motif lain yang jelas-jelas memiliki kepentingan 
geopolitik dan terutama ekonomi: Negeri Belanda yang menjadi sangat miskin 

5
setelah pendudukan Jerman khawatir kalau tanpa adanya hubungan kuat dengan 
‘Hindia’ tidak bisa menyelamatkan diri.
Bagi para militer KNIL, jumlahnya antara 70 – 80.000 orang, situasinya 
juga terasa baru: mereka harus membangun kembali pasukan mereka sesudah 
pendudukan Jepang, lalu mereka harus bekerja sama dengan bala tentara Belanda 
yang jumlahnya secara cepat lebih besar daripada mereka itu, dan bahkan dalam 
perang Aceh sebelumnya belum pernah terjadi pertempuran yang sebegitu 
besar-besaran dan penuh kekerasan demi memperebutkan kedaulatan. Bahwa 
kekerasan harus dipakai  untuk memerangi ‘pemberontakan’, bukanlah hal 
yang baru bagi KNIL. 
Bagi kebanyakan militer yang baru didatangkan dari Belanda, semuanya 
justru merupakan hal baru. Bukan hanya daerah tropis, daerah yang penduduk 
setempatnya digambarkan sebagai masyarakat yang memiliki  mentalitas dan 
suasana hati yang sulit diduga, namun  yang terasa baru untuk kebanyakan dari 
mereka juga fakta nyata bahwa mereka yaitu  militer dan harus bertindak sebagai 
militer. 100.000 dari 150.000 orang Belanda yang ditempatkan di negara kita  
antara tahun 1945 dan 1950 yaitu  tentara wajib militer. Mereka yaitu  pemuda 
hijau tanpa pengalaman militer. Sangat mungkin saja mereka sudah pernah 
melihat cara kerja tentara Belanda pada masa ‘meidagen’ 1 tahun 1940, sesudah itu 
empat sampai lima tahun melihat aksi dari tentara Jerman, dan kemudian juga 
tentara Sekutu. Namun, berbeda dengan para tentara profesional yang jumlahnya 
sangat terbatas dan para sukarelawan perang, anak-anak muda itu  sampai 
sesaat sebelum mereka naik kapal belum pernah memegang senjata, dan juga 
tidak pernah mengikuti pendidikan militer.
Misi yang ditugaskan pada mereka saat dikirim ke Hindia, digambarkan 
sebagai pekerjaan yang bertujuan perdamaian dan pembangunan masyarakat. 
Bahwa mungkin akan ada keterlibatan dengan kegiatan perang juga jelas bagi 
mereka. namun  lama, ukuran, dan intensitas dari apa yang pada akhirnya memang 
menjadi perang yang sebenarnya, yaitu  hal yang sama sekali berbeda dari dugaan 
mereka. Di pihak Belanda hampir semua pihak – politik, militer, opini publik 
– pada awalnya memiliki  perkiraan yang terlalu optimis; butuh waktu lama 
sebelum mereka menyadari hal yang sebenarnya terjadi, dan kemudian menjadi 
jelas bahwa ternyata exit strategy belum tersedia.
1  Masa penyerbuan Jerman ke Belanda di bulan Mei 1940.
6
Tidak pernah ada perang yang bersih, dan terutama perang berkarakter 
gerilya dan kontragerilya seringkali kotor. Pengertian kata ‘bersih’ saja sudah 
merupakan konsep yang sulit. Andai saja perang bisa diterima, di mana batas 
antara tindakan perang ‘biasa’ dan kejahatan perang yang tidak diperbolehkan? 
Dan apakah hubungan intensi pihak yang berperang dengan hal itu? Apakah 
ke(tidak)absahan aksi militer Belanda bisa memiliki  konsekuensi untuk 
evaluasi kekerasan di belakang hari? Apakah kekerasan itu sudah tentunya harus 
dianggap ‘salah’ sebab  sekarang, (lama) setelah kejadian itu berlalu, tampaknya 
menjadi konsensus bahwa perang ini merupakan refleks kolonial yang ‘salah’ dan 
tidak bijaksana? Itu semua merupakan pertanyaan retorik yang bernada moralistis. 
Pendekatan dalam artikel  ini berbeda – artikel  ini mengemukakan pertanyaan-
pertanyaan analitis tentang sifat dan frekuensi kejahatan perang, tentang konteks 
pelaksanaan tindakan itu, dan tentang bagaimana pemikiran orang-orang yang 
terlibat tentang hal itu, pada masa itu sendiri dan di belakang hari.
Jalannya perang
Ketika Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945 dan dua hari kemudian 
Republik negara kita  diproklamasikan, tidak ada tentara Belanda di Jawa dan 
Sumatra. Ketertiban itu harus dijaga oleh koalisi yang agak ganjil yang terdiri dari 
pasukan Inggris – bagian dari South East Asia Command (Komando Sekutu Asia 
Tenggara) – yang mendarat pada bulan September dan tentara Jepang yang telah 
dikalahkan. Pimpinan militer Inggris di Asia Tenggara di bawah komando Lord 
Louis Mountbatten menyadari bahwa ada perlawanan kuat di wilayah-wilayah 
negara kita  terhadap pemulihan tatanan kolonial, dan juga menyadari bahwa 
kekuatan militer mereka jauh dari memadai. Oleh sebab  itu, yang dijadikan 
pegangan mereka yaitu  pengendalian diri agar tidak membangkitkan agresi 
negara kita  dan menjaga jarak dengan pemerintah Hindia-Belanda yang ingin 
dengan segera tanah jajahan itu  berada di bawah kontrol mereka lagi.
namun  pasukan Inggris tidak berhasil mempertahankan ketertiban, dan 
mereka sendiri juga tidak berhasil untuk tetap berada di luar pertempuran 
itu. Oleh para politikus Republik negara kita  dan para militer, pasukan Inggris 
dipandang sebagai kaki tangan kolonialisme Belanda, yang bagaimanapun 
kehadirannya tidak dikehendaki. Di berbagai tempat, terutama di Surabaya, 
pada akhir Oktober - awal November 1945 berlangsung suatu pertempuran yang 
menewaskan ratusan tentara dari pihak Inggris dan dalam jumlah yang berlipat 

7
ganda dari pihak pejuang negara kita . Bagi Inggris peristiwa itu tidak bakalan 
mendatangkan kehormatan atau keuntungan strategis. Maka, antara Juni dan 
Desember 1946 semua pasukannya meninggalkan negara kita . Pada waktu itu 
Belanda juga sudah menghadirkan militernya kembali di Nusantara, meskipun 
kehadiran mereka di Jawa dan Sumatra sampai musim panas 1947 masih dibatasi 
dengan beberapa enklave saja (di dalam dan sekitar kota Jakarta, Bandung, 
Semarang, Surabaya, Medan, dan Palembang). Sementara Inggris pada waktu itu 
segera merundingkan perdamaian, dan meyakinkan pendapat bahwa kembali ke 
status quo kolonial praperang dengan semakin bertambahnya hari semakin tidak 
terpikirkan, penguasa Belanda malah berpendapat yang sebaliknya. Pemulihan 
ketertiban di bawah kekuasaan Belanda yaitu  prioritas; apakah dan bagaimana 
kemudian harus bekerja sama dengan kaum nasionalis masih lama menjadi isu 
perdebatan antara para pemimpin sendiri dan antara lapisan atas para pejabat 
pemerintah dan militer.
Setengah tahun pertama setelah Jepang menyerah, situasi di sebagian besar 
Nusantara ditandai dengan pertempuran sengit demi kekuasaan – kebijakan 
politik memecah-belah dan menguasai (divide et impera) dari Jepang sangat 
memicu terjadinya pertempuran itu. Pada waktu itu terjadi bentrokan-bentrokan 
keras antara kelompok-kelompok masyarakat negara kita  yang saling bersaing, 
juga terjadi tindakan kekerasan terhadap etnis minoritas – generasi pertama dan 
kedua imigran Eropa, kelompok yang lebih besar dari orang campuran negara kita -
Eropa (Indo) – dan juga kekerasan terhadap‘pribumi’ yang dipandang sebagai 
kolaborator. Kekerasan yang terjadi selama masa Bersiap yaitu  sangat mengerikan. 
Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 sampai 
20.000 orang lebih – perkiraan angka yang jauh berbeda ini memperlihatkan 
kekacauan sosial dan administrasi pada periode itu. Angka jumlah pembunuhan 
Peranakan Tionghoa, yang telah tinggal selama beberapa generasi di daerah tanah 
jajahan itu, hanya bisa ditebak. Di masa itu terjadi penjarahan dan pembunuhan. 
Peristiwa pembunuhan itu  disertai penyiksaan keji dan pemerkosaan.
Di belakang hari peristiwa itu dikaitkan dengan genosida. Secara 
analitis kaitan itu satu langkah terlalu jauh; pada masa itu tidak ada upaya 
untuk memusnahkan seluruh penduduk Eropa atau Cina. Juga tidak bisa 
dianggap bahwa kekerasan masa Bersiap itu sengaja diatur dan dikendalikan 
oleh