• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

budaya jawa

Istilah pribumisasi Islam dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus 
Dur) pada era 1980-an2
. Tentu saja, istilah pribumisasi secara praksis jauh 
lebih tua. Dakwah Walisongo di pulau Jawa, misalnya, telah menggunakan 
kearifan-kearifan lokal dan tradisi sebagai metode. Walisongo tidak 
seluruhnya menghapus tradisi-tradisi lokal dan menggantinya dengan Islam. 
Walisongo mempertahankan segi-segi tradisi dan mencoba mengadaptasinya 
dengan ajaran Islam tanpa merusak nilai substansialnya. Salah satu contoh, 
bangunan masjid kuno masih mempertahankan model Hindu-Budha pada 
aspek kubahnya yang bersusun tiga.
Pribumisasi Islam, karena itu, memiliki kaitan langsung dengan sejarah 
perkembangan Islam di Nusantara dan telah terjadi dalam sejarah yang 
panjang. Pribumisasi Islam sebagai suatu proses sosio-historis yaitu 
sebuah keniscayaan. Hal ini demikian karena universalitas Islam 
memerlukan penjabaran operasional sehingga eksistensinya lebih efektif. 
Selanjutnya, universalitas tak akan efektif tanpa diikat oleh nilai-nilai lokal. 
Agar universalitas Islam terasa hadir dan relevan dengan gemuruh kehidupan 
sosial di bumi, ia perlu diturunkan ke tingkat abstraksi yang sederhana; yang mudah dimengerti oleh akal; dan agar menjadi pedoman hidup praksis bagi 
manusia. Dari argumen inilah, pribumisasi Islam menemukan maknanya.
Persoalannya, apakah istilah pribumisasi Islam masih relevan dengan 
tantangan-tantangan modern yang jauh lebih rumit? Bagaimanakah 
pribumisasi Islam dilakukan tanpa merusak “tatakrama” atau kaidah baku 
Islam? Dan bagaimana meletakkan Islam dalam cangkang budaya Jawa yang 
eksistensinya dipenuhi peradaban silang antara Animisme-Hindu-Budha yang 
jauh lebih tua dan lebih dulu ada? Bagaimana pula hubungan pribumisasi 
Islam dan harmoni budaya bagi terciptanya integrasi bangsa? Pertanyaan￾pertanyaan di atas akan dicoba bahas dan diperdebatkan dalam perspektif 
historis-antropologis.
Penting dicatat bahwa tiga topik utama, yakni: pribumisasi Islam, 
budaya Jawa, dan integrasi bangsa memiliki kaitan erat. Pribumisasi yaitu
suatu proses atau transformasi unsur-unsur asing dengan unsur-unsur lokal. 
Ada potensi konflik dalam hubungan antara ketiganya. Karena itu, menelisik 
Islam dan budaya Jawa dalam konteks negara-bangsa menjadi sangat penting
guna menemukan potensi konflik dan konsensus. Selanjutnya, potensi￾potensi tersebut dapat dipakai sebagai instrumen integrasi bangsa melalui 
kecakapan mengelola konflik menjadi konsensus. Jadi, pribumisasi Islam 
dalam budaya Jawa bukan dipandang sebagai proses “meluruhnya” budaya 
Jawa ke dalam Islam, tapi sebuah proses “beri dan terima” antara keduanya 
dalam pengertian akulturasi menuju integrasi bangsa.
Pendekatan historis-antropologis akan digunakan untuk menelisik 
hubungan antara pribumisasi Islam, budaya, dan integrasi bangsa. Sejak 
meluasnya karya E.B. Tylor Primitive Culture3 dan J.G. Frazer The Golden 
Bough4 ke warga , agama telah menjadi fokus utama teori antropologi. 
Di antara masalah-masalah utama dalam diskusi antropologi mengenai 
agama yaitutentang sifat, asal-usul kepercayaan keagamaan, hubungan￾hubungan logis dan historis antara mitos, kosmologis, dan ritual; serta antara agama dan ranah kebudayaan lain. Pribumisasi Islam yaitusoal cara agama 
ini diadaptasi ke dalam lokalitas oleh para agen. Sementara budaya Jawa 
yaitusuatu campuran antara animisme, Hindu, Budha, dan keperyaan￾kepercayaan lain yang telah lama ada. Saling pengaruh antara agama-agama 
itu lalu  dilihat potensinya di dalam membangun integrasi bangsa.
Menegaskan Pribumisasi Islam
Mungkin istilah “pribumisasi” yaitu data baru dalam ensiklopedi, 
jika ada. Dalam konteks Islam, pribumisasi mengacu pada proses terjadinya 
nilai-nilai Islam pada suatu komunitas warga atau bangsa, tepatnya bangsa 
non-Arab, misalnya, wong Jawa. Jika demikian, “pribumisasi” -menurut 
saya- sama dengan transformasi unsur-unsur Islam pada unsur-unsur budaya 
pribumi. Jika diperluas lagi, pribumisasi yaitukelanjutan dari proses 
akulturasi budaya. Yakni, sebuah proses di mana unsur-unsur luar diterima
oleh unsur-unsur lokal atau sebaliknya.
Jika pribumisasi Islam diletakkan dalam konteks budaya Jawa, maka ia 
dapat diartikan sebagai suatu proses pertemuan atau saling adopsi antara 
unsur-unsur Islam dan unsur-unsur lokal Jawa. Dua entitas tidak saling
meniadakan, tetapi saling memperkaya. Di sini peran pembawa Islam ke 
Nusantara, khususnya ke Jawa—para Walisongo—sangat penting. Mereka 
telah memilih tafsir Islam yang memerhatikan lokalitas. Pemahaman Islam 
dirujukkan pada konteks-konteks budaya Jawa.
Apa yang dilakukan para pembawa Islam ke Jawa bukanlah sebuah 
anomali. Para penyebar Islam benar-benar menyadari bahwa Jawa dengan 
kekayaan tradisi dan peradabannya yang panjang bukanlah blangko kosong. 
Jawa yaitukenyataan lain yang kekayaan tradisi dan norma-norma 
hidupnya tidak lebih buruk dari tradisi-tradisi agama. Islamisasi yang terjadi 
sejak masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-15, yaitumelalui proses damai 
dan penuh kearifan. Tak ada perang; tak ada penaklukan; dan tak ada 
pemaksaan agama di Jawa selama transformasi Islam berlangsung di siniApa artinya? Jawa yaitusebuah lokus yang menjadi atau panci lebur 
bagi agama-agama dari luar selama ribuan tahun. Secara intrinsik, manusia 
Jawa yaitusangat terbuka dan menonjolkan pada harmoni. Selama jutaan 
tahun Jawa menganut agama animisme dan ribuan tahun menganut agama 
Hindu-Budha, lalu Islam datang disusul Kristen. 6 Saling memberi dan 
menerima bagi Jawa dan lainnya sudah terjadi begitu lama sehingga tumbuh 
sebuah kultur terbuka. Sifat keterbukaan inilah yang menyebabkan budaya 
Jawa masih terus berevolusi dan terus dimasuki unsur-unsur non-Jawa 
termasuk nilai-nilai Islam.
Dilihat dari sejarah asal-usul, semua agama di Jawa yaituimpor. 
Hindu berasal dari India, Budha dari India-China, Islam dan Kristen berasal 
dari Timur Tengah (Arab).7 Agama asli dari Jawa yaitu“agama” Animisme 
suatu kepercayaan pada roh-roh dan penguasa-penguasa di luar dirinya. Nah, 
kenyataan sejarah ini memperkuat bahwa agama di Jawa yaituproduk 
hibrida dari saling silang budaya agama-agama yang datang ke sini. Para 
islamolog menyebutnya sebagai agama sinkretik. Walisongo menyadari ini sebagai kenyataan sehingga metode dakwahnya sangat toleran dan 
menghargai tradisi-tradisi lokal.
Namun demikian, hal ini tidak sepenuhnya diterima sebagai 
kenyataan. Di titik ini, hingga kini masih terjadi pertarungan antara Islam 
nominal dan Islam maksimal -istilah untuk menyebut Islam sinkretik dan 
kaum santri. Varian Islam tradisional dan Islam modernis pun muncul 
sebagai akibat logis dari kategorisasi di atas. Clifford Geertz, di sisi lain, 
mempertegas konsep santri, priyayi, dan abangan.8 Priyayi yaitukelompok 
yang dikategorikan Geertz sebagai mewarisi tradisi Hindu-Budha dalam 
praksis sehari-hari. Sementara abangan yaitukelompok yang kental dengan 
animismenya yang masih mempercayai roh halus, lelembut, dan makhluk 
gaib yang bisa memengaruhi nasib.9 Hanya kaum santri yang benar-benar 
dianggap Muslim. Dalam pandangan Geertz, Islam bagi orang Jawa hanyalah 
lapisan tipis yang membalut mereka.
Tentu saja, pandangan Geertz tidak sepi kritik. Menurut Harsya W. 
Bahtiar, Geertz salah meletakkan kategori agama ke dalam kategori sosial, 
terutama varian priyayi. Marshall G. Hogdson, di sisi lain, menganggap 
pandangan Geertz sangat bias karena ia mendasarkan teorinya pada 
perspektif kaum modernis. Secara faktual, praktik-praktik Islam dan 
islamisasi di Jawa oleh Hogdson dianggap sebagai sangat sempurna sehingga 
dengan sendirinya menutup pandangan-pandangan Geertz yang bias itu. 
Dalam kata-kata Hodgson “...for one who knows`Islam, his comprehensive 
data -despite his intention- show how very little has survived from the Hindu 
past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was 
so complete.”  Lebih jauh, Zamahsyari Dhofir menggambarkan praktik 
Islam begitu dalam dilihat dari hubungan-hubungan yang sering di antara 
varian-varian yang ada. Dhofir, misalnya, memberi contoh tentang seorang 
priyayi atau abangan yang selalu minta tolong pada kaum santri untuk 
mendoakan atau untuk menyembelihkan ayam.
Argumen-argumen itu menunjukkan bahwa pribumisasi Islam di Jawa 
telah berurat berakar dan melahirkan banyak teori. Teori-teori itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun secara prinsip, pribumisasi Islam maupun 
ide-ide besar dunia ke dalam lokalitas Jawa yaituproses alamiah yang tak 
bisa dihentikan. `Proses semacam ini juga terjadi di wilayah lain. saat Islam 
menyebar dan keluar dari cangkang jazirah Arabia, Islam berakulturasi 
dengan wilayah-wilayah “pendudukan”. Afrika, India, Asia Selatan, Eropa, 
Amerika, Asia Tenggara, dan Australia yaituwialyah-wilayah yang 
memiliki peradabannya sendiri saat Islam datang. Artinya, interaksi 
intelektual antara Islam dan budaya-budaya setempat melahirkan khazanah 
Islam yang lebih berwawasan.
Perjumpaan Islam dengan wilayah-wilayah lain mencatat dengan 
gemilang bagaimana tafsir tentang Islam makin kaya. Khazanah sastra, seni, 
sains, filsafat, hermeneutika, pengobatan, dan teater memperkaya pandangan 
Islam. Dalam perjumpaan dengan peradaban Helenisme (Yunani-Romawi) 
di Abad Pertengahan, Islam mereguk banyak manfaat. Terjadi lompatan 
peradaban Islam ke seluruh penjuru dunia. Ajaran Islam yang bersumber pada 
Alquran dan Hadits diperkaya oleh pandangan-pandangan hibrida. Keduanya 
diterjemahkan dan ditafsirkan ke berbagai bahasa. Dari perjumpaan inilah, 
Islam oleh Bernard Lewis disebut menjadi “pengantar” bagi lahirnya 
peradaban Barat modern.
Kenyataan sejarah ini menjadi dasar bagi teori bahwa pribumisasi 
Islam di Jawa, pada dasarnya, kelanjutan dari proses sejarah di atas. Proses 
pribumisasi ini berlangsung secara halus dan terjadi dalam waktu yang 
perlahan. Pribumisasi ini terjadi di level warga  maupun di level pusat￾pusat kerajaan.  Di level warga , pribumisasi berjalan lebih lambat. 
Sementara di level kerajaan berjalan lebih cepat. Harus diingat bahwa 
perubahan-perubahan sosial digerakkan oleh kaum elit. Karena itu, keraton di 
mana raja dan strukturnya berkuasa dapat menentukan serangkaian aturan. 
Islam di keratonlah yang sesungguhnya menafsirkan Islam dalam kerangka budaya Jawa. Tak heran jika tafsir-tafsir keraton tentang Islam sangat 
dominan dan memengaruhi pandangan dunia warga nya.
Pandangan dunia Keraton tentang Islam ikut memengaruhi persepsi 
dan kesadaran publik. Orang awam akan selalu menganggap bahwa itulah 
tafsir yang benar tentang Islam. Meski di dalam keraton ada ulama yang 
tugasnya menjadi penasehat raja, para ulama tidak secara langsung 
menentukan garis-garis praksis kehidupan raja dan keluarganya. Raja dan 
keraton melaksanakan secara selektif ajaran Islam. Meski mereka bergelar 
sultan yang diperoleh melalui restu penguasa atau khalifah di Mekah dan 
berkedudukan sebagai Sayidin Panatagama, mereka hanya melakukan zakat 
dan puasa, tetapi tidak melakukan salat lima waktu serta tidak tertarik 
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam 
dalam tafsir keraton -sebagai pemegang hegemoni makna Islam- telah 
diadaptasi dengan nilai-nilai Jawa. Tentu saja, praktik ini tidak berlaku pada 
semua kerabat keraton.
Sejalan dengan nilai-nilai spesifik budaya Jawa sebagaimana 
dicitrakan keraton, ada benarnya bila Islam di sini bersifat sinkretik meski 
tidak dalam arti mutlak. Tapi sinkretisme ini tidak hanya terjadi pada agama 
Islam, juga terjadi pada agama Hindu, Budha, dan Kristen. Warisan sejarah 
selama berabad-abad tidak seluruhnya luruh. Ada “gagasan abadi” yang tetap 
ada dalam aliran manusia Jawa meski mereka hidup serta berkembang 
dengan berbagai anasir luar. Bahkan kalau diamati dengan cermat, agama 
Hindu-Budha yang selama berabad-abad menjadi agama kerajaan Majapahit, 
Sriwijaya, Kediri, dan lain-lain sebenarnya bersifat sinkretik. Atau setidak￾tidaknya hanya dipraktikkan oleh raja dan keluarganya sementara di hati 
rakyat tetap bersemayam kepercayaan pada pengaruh para leluhur dan roh￾roh lainnya.
Seperti diketahui bahwa Islam sudah tersebar pada masa Majapahit, 
terutama di pesisir pantai utara. Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Mahapatih Gadjah Mada (w. 1364 M) sebenarnya sudah bersentuhan dengan 
Islam yang disebarkan melalui para pedagang di pelabuhan-pelabuhan. 
Hanya saja, sebagai agama pendatang baru, Islam belum unjuk gigi. Islam 
hidup berdampingan dengan agama Hindu, Budha, dan agama asli Jawa.
Dalam persentuhannya ini, tentu saja, Islam tidak langsung terang-terangan 
mengajarkan pokok-pokok ajaran. Ada kompromi-kompromi antara Islam 
dan budaya. Para pemeluk Islam baru yaitumereka yang tadinya beragama 
Hindu, Budha, dan atau Animisme. Para muallaf itu, tentu saja, tidak 
seluruhnya meninggalkan tradisi-tradisi lamanya. Adaptasi, akulturasi, dan 
inkulturasi terus terjadi dan membentuk apa yang Islam di hari ini sebagian 
besar dipraktikkan di Jawa.
Demikianlah, saat secara perlahan Islam makin kuat dan mendirikan 
kerajaan Islam di Demak (1478-1549) yang lalu  merebut Majapahit 
pada 1478 M, Islam telah berpindah menjadi agama kerajaan. Raden Patah 
yang lalu  menjadi raja Demak yaituputra salah satu keturunan 
Majapahit yang menikah dengan putri Champa. Bahkan menurut Slamet 
Mulyana, kerajaan Majapahit yang terakhir sudah menganut agama Islam 
sebelum akhirnya runtuh.  Meskipun demikian, keruntuhan Majapahit 
berlanjut pada Mataram Islam dengan praktik-praktik Islam sinkretis.
Jadi, pribumisasi Islam terjadi sejak Islam pertamakali diperkenalkan 
kepada orang Jawa dan dianut sebagai agama kerajaan. Pribumisasi Islam 
yaitutahapan pemahaman orang Jawa tentang Islam. Raja-raja Mataram 
Islam sejak itu tidak lagi meminta legitimasi pada trah Hindu-Budha, tetapi 
langsung kepada khalifah di Mekah. Simbol-simbol Islam mulai dibuat untuk 
memperbesar keabsahan para raja di samping simbol-simbol Jawa. Dalam 
cerita Babad Tanah Jawa, misalnya, para raja Mataram dikaitkan sebagai keturunan para Nabi. Ini bertujuan untuk memberi legitimasi, sehingga bisa 
menambah kewibawaan. 
Tahap demi tahap, tafsir Islam dari keraton mulai mengakumulasi 
menjadi seperangkat ajaran dan praksis Islam. Pribumisasi Islam, karena itu, 
terjadi sangat intens di level ini. Apalagi Islam yang dikembangkan di Jawa 
yaitudimensi tasawuf atau batin, sehingga pemujaan pada simbol-simbol 
lebih dominan. Dimensi tasawuf atau esoteris Islam lebih mementingkan 
harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Sementara dimensi eksoterik atau 
fikih mementingkan aspek-aspek hukum dan bersifat lebih ketat. Praktik 
Islam esoteris inilah yang lebih dominan dalam kehidupan keraton. 
Dengan demikian, membaca “pribumisasi Islam” hendaknya tidak dari 
sudut pandang fikih, contoh apakah secara fikih ini boleh atau tidak boleh. 
Tetapi memerhatikan pula aspek-aspek esoteris Islam dan simbol-simbol 
batin budaya Jawa. Sudut pandang ini, menurut saya, lebih adil dan 
menerobos cangkang kekakuan fikih. Dalam jangka panjang, sudut pandang 
Islam esoteris dapat menjadi pilar bagi tumbuhnya toleransi, harmoni, dan 
menciptakan titik-titik temu peradaban.
Pribumisasi Islam Melalui Budaya
Penyebaran Islam ke Jawa melalui tahap-tahap sosiologis, budaya, dan 
juga teologis. saat Islam masuk dan menyebar ke sini, karena itu, ia tidak 
berada di ruang kosong. Gugus-gugus nilai, norma-norma, dan tradisi-tradisi 
Jawa telah berurat berakar dalam jiwa orang-orang Jawa dan Islam 
menggenapi makna-makna secara lebih kaya. Dengan Keraton sebagai center 
of excellence dan juga center of social change, penyebaran, pemaknaan, dan 
pemahaman Islam ikut serta dalam proses yang saya sebut pribumisasi ini.
Keraton pada masanya, pernah menjadi satu-satunya agen perubahan 
sosial. Tak heran jika, islamisasi massif terjadi dari Keraton. Titik taut nilai￾nilai Jawa dengan Islam lebih terletak di aspek esoterisnya sehingga Islam 
tasawuf-lah yang paling kental memengaruhi pandangan-pandangan dunia 
orang Islam Jawa. Menarik untuk dicatat bahwa pendekatan tasawuf,
ternyata efektif bagi penerimaan bangsa Jawa untuk menerima Islam. Hal ini 
terjadi, menurut beberapa  pengamat, karena tasawuf lebih mudah berkompromi, luwes, dan lebih menekankan substansi ketimbang bentuk.
Nah, para ulama sebagai agen perubahan dan atau perantara budaya 
memainkan peran tepat di dalam mengawinkan tradisi-tradisi lokal dengan 
tradisi-tradisi Islam. Ini berbeda dengan dimensi fikih yang lebih formal dan 
legalistik sehingga ada beberapa benturan, meski hal ini lebih banyak 
“disembunyikan”. 
Sesungguhnya ada konflik antara pendekatan fikih dan tradisi Jawa. 
Namun bagi orang Jawa, keselarasan atau harmoni antara jagad gede 
(makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos) sangat menonjol sehingga 
diusaha kan untuk selalu dijaga dengan baik. usaha  ini menemukan 
bentuknya dalam ungkapan selamet. Orang Jawa memiliki konsep tentang 
“rasa” yang sangat baik dalam menghadapi benturan-benturan. 25 Dan 
nampaknya dalam konteks pribumisasi Islam cara ini sangat berhasil.
Kata selamet, menurut Geertz memiliki makna lengkap dan menjadi 
pokok nilai Jawa yang terpenting. Kata selamet mewadahi konsep sejahtera, 
aman, makmur, terlindung dari gangguan bahaya-bahaya alam maupun 
adikodrati.  Dalam pandangan orang Jawa, kata selamet mewakili 
keseluruhan cita-cita manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam 
semesta. Dari kata selamet inilah ritual-ritual Jawa muncul dalam wujud, 
misalnya, tingkeban (ritual hamil tujuh bulan anak pertama), Babaran, 
Pasaran, Pitonan, dan lain-lain. Juga upacara saat kematian, perkawinan, 
panen, dan lain-lain yang pada intinya untuk mencari keselamatan atau 
selamet.
Pandangan dunia orang Jawa dan Islam pada tahap sosiologis bertemu 
dalam wujud-wujud budaya. Wali Songo mengadopsi wayang, seni, dan
gamelan, dalam penyebaran Islam. Pada waktu itu, cara ini menjadi metode sangat efektif untuk mengislamkan Jawa. Upacara-upacara yang 
diselenggarakan Keraton juga terkait erat dengan Islam, contoh Garebeg.
Ada tiga upacara Garebeg yang dihubungkan dengan agama Islam di 
Keraton, yakni: Garebeg Mulud jatuh pada 12 Rabiul Awwal, Garebeg Puasa 
pada 1 Sawal, dan Garebeg Besar jatuh pada 10 Dzulhijjah untuk merayakan 
Hari Haji. Dalam upacara Garebeg ini simbol-simbol Islam ditampilkan dan 
menggambarkan suatu praksis Islam Jawa.
Selain itu, pribumisasi Islam di Jawa juga terjadi pada pemakaian 
kalender yang yaitu gabungan unsur-unsur Hindu dan Islam seperti 
Kalender Saka dengan sistem lunar (qamariyah). Nama-nama Arab untuk 12 
bulan juga ditampilkan dengan rasa Jawa seperti 1) Suro untuk Asyura 
(Muharram), 2) Sapar untuk Shafar, 3) Mulud (dikonversi dari bahasa Arab, 
Mauli>d), 4) Bakdo Mulud (dikonversi dari ba’dal mauli>d) untuk Rabi>’u al￾Tsa>ni, 5) Jumadil Awal untuk Juma>d al-È—la>, 6) Jumadalakhir untuk Juma>d al￾Tsa>niyah, 7) Rejeb untuk Raja>b, 8) Ruwah (diambil dari kata arwa>h, “ruh￾ruh” -karena kepercayaan bahwa ruh-ruh akan dibangkitkan menjelang 
Ramadhan), untuk bulan Syakban, 9) Poso, untuk Ramadan, 10) Sawal, 
untuk Syawwa>l, 11) Selo (kata Jawa yang berarti “di antara”, yakni di antara 
dua hari besar Islam I>d al-Fitri dan I>d al-Adha>), untuk DzÈ—l Qa’dah, dan 12) 
Besar (kata Jawa yang artinya “besar”, yakni bulan berlangsungnya perayaan 
hari besar I>d al-Adha>), untuk bulan Zulhijjah. Pribumisasi kalender Islam ke 
dalam kalender Jawa menunjukkan proses-proses budaya dan memberikan 
makna betapa Islam berenang dalam gelombang air Jawa tanpa tenggelam 
serta mengalami konflik.
Secara fisik, pribumisasi Islam muncul dalam bentuk bangunan seperti 
Masjid dengan kubah susun tiga, ornamen batik, dan modifikasi-modifikasi 
lain yang berbeda dengan Timur Tengah dan atau Islam. Masjid Demak yang 
yaitu bangunan Masjid dari masa kerajaan Islam pertama di Jawa 
dengan kubah susun tiga dan juga masjid-masjid kuno lain di Jawa dapat 
disebut sebagai pribumisasi Islam fisikal. Hal ini penting untuk dicatat 
karena suatu bangunan fisik tidak muncul tanpa konsep filosofis 
pendukungnya. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ada tiga tahapan suatu 
“benda” muncul. Pertama, mentifact yaitu suatu wujud ide, keyakinan, filsafat yang mendasari. Kedua, sociofact yaitu sistem sosial dan aktivitas 
manusia yang dilakukan dalam kehidupan, dan artifact, yaitu wujud benda 
atau bangunan yang yaitu hasil dari dua tahap sebelumnya.31 Dari sudut 
teori antropologi ini, bangunan-bangunan Masjid dengan meminjam struktur 
bukan Islam bukanlah dibuat tanpa sadar, tetapi didasarkan pada 
pertimbangan-pertimbangan matang. Dan ini menegaskan terjadinya 
pribumisasi Islam dalam wujud artefak. Bahkan bila dicermati lebih dalam, 
kubah bersusun tiga sebenarnya adopsi dari tradisi Hindu. Kubah bersusun 
tiga di Jawa hampir mirip dengan bangunan masjid di Kerala, India Selatan.
Dan bangunan susun tiga yaitutradisi Hindu sebagaimana dijumpai dalam 
bangunan candi baik di India maupun di Nusantara. 
Selain itu, makam-makam di Jawa yang memakai kaligrafi Arab; 
bedug dan kentungan yang terdapat di masjid-mushala; dan bangunan 
pondok pesantren yang berhiasi Jawa menggambarkan perpaduan antara 
Islam-Jawa. Bahkan pondok pesantren dengan ruang-ruang belajar dan kamar 
tidur santri yang dibimbing seorang kyai disebut sebagai pengambilalihan 
dari padepokan-padepokan Hindu-Budha di masa lalu. Di zaman peradaban 
Hindu-Budha, Nusantara dikenal sebagai pusat belajar agama. Sriwijaya 
pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Budha yang dikunjungi 
pengembara dari negeri China, Champa, dan sekitarnya. Pendeta China yang 
sangat terkenal, I-Tsing pernah tinggal bertahun-tahun untuk belajar agama 
di sana. Setelah era Islam yang dikembangkan dari kerajaan Malaka, 
padepokan-padepokan itu ditiru oleh sistem pesantren.
Selanjutnya, pengajaran Alquran dan cabang ilmu Islam lainnya di 
pesantren diajarkan dengan bahasa Jawa dan kode-kode tertentu yang 
diilhami oleh konsep-konsep Jawa. Misalnya, pengajian kitab kuning -
sebutan untuk buku berbahasa Arab tanpa haraka>t- melalui sorogan.
Kaidah-kaidah bahasa Arab seperti mubtada’ dipakai kata “utawi” dan 
khaba>r dipakai kata “iku”, dan lain-lainnya. Peminjaman kode-kode 
pembelajaran bahasa Jawa untuk memahami Alquran dan ilmu turunannya menunjukkan daya cipta para kyai di dalam memudahkan pengajaran Islam 
kepada orang Jawa.
Pribumisasi Islam melalui budaya, dengan demikian, tidak mengalami 
hambatan berarti di sepanjang sejarahnya. Meskipun demikian, sebuah kredit 
harus diberikan kepada para Wali Songo dan para ulama yang tidak 
mempertentangkan secara tajam antara Islam dan budaya Jawa. Prestasi
mereka terletak pada bagaimana Islam diterjemahkan dengan idiom-idiom
Jawa. Dari fakta-fakta sejarah ini, dapat ditegaskan bahwa ternyata ada akar￾akar toleransi dan keterbukaan antara keduanya: Islam dan budaya Jawa. 
Kita sulit membayangkan jika sejak awal Islam disebarkan di Nusantara 
dengan pendekatan Wahabi, pasti akan terjadi benturan-benturan dan ini 
akan mencitrakan sebuah kekakuan.
Itulah sebabnya, ada hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran sejarah 
perkembangan Islam yang disebarkan dengan pendekatan tasawuf. Inti dari 
tasawuf yaituakhlak, dan akhlak itu lebih mementingkan substansi 
daripada kulit. Karena di Jawa telah ada tradisi-tradisi agama sangat panjang 
dengan karakter harmoni dan keselarasan, maka ajaran Islam tasawuf mudah 
diterima. Bahkan diterima dengan tangan terbuka. Islam tasawuf ini juga 
yang banyak menarik para islamolog untuk memberikan kredit karena 
perannya dalam memoderasi Islam radikal.
Jadi, penerimaan Islam oleh sebagian besar orang Jawa hanyalah 
menunggu waktu saja. Kearifan warga  Jawa telah siap sejak lama untuk 
dimasuki agama yang mementingkan keselarasan antara Tuhan, manusia, dan 
alam. Ini hampir sama miripnya dengan penerimaan warga  Madinah 
atas Islam yang dibawa Muhammad saw. Hal ini terjadi karena warga  
Madinah sudah biasa dengan tradisi agama (di Madinah ada warga  
Yahudi dan Nasrani) dibandingkan Mekkah. 
Membandingkan dua peristiwa di atas, dapat ditegaskan bahwa 
keberhasilan pribumisasi Islam melalui budaya sangat tergantung pada 
bagaimana elit-elit intelektual Islam menerjemahkannya ke dalam idiom￾idiom lokal. Ini memerlukan kecerdasan di dalam memilih suatu pendekatan. 
Sekali pendekatan itu keliru dipilih maka akan menjadi boomerang dan 
lalu akan mengalami banyak hambatan. Sejarah telah membuktikan 
bahwa pendekatan-pendekatan yang kaku dan tidak memerhatikan lokalitas 
apalagi bertentangan dengan akal sehat akan tergerus dan ditelan sejarah. Di Jawa perkembangan Islam pernah mengalami interupsi dengan 
kasus hukuman mati pada Syekh Siti Jenar oleh pembela ortodoksi. Hal ini 
juga dialami kaum abangan yang dikecam Muslim ortodoks akibat 
mempraktikkan sinkretisme Islam. Puncak konflik antara santri dan abangan 
terjadi pada tragedi G 30 S tahun 1965 di mana pembunuhan kaum abangan 
oleh kaum santri yang berafiliasi pada organisasi-organisasi Islam dilakukan 
di beberapa  daerah di Jawa. Dalam konteks sejarah peradaban Islam, juga 
terdapat contoh bagaimana sekte-sekte radikal seperti khawarij, misalnya, 
tak dapat berkembang dalam sejarah dan mati muda. Ini pelajaran penting 
yang telah menjadi bukti. Para ulama di masa lalu, nampaknya, telah 
mempelajari hukum besi ini sehingga mereka tidak memaksakan ajaran Islam 
dengan pendekatan legal-formal.
Pribumisasi Islam dan Integrasi Bangsa
saat Islam sudah mengalami pribumisasi, ia tidak lagi dikerangkeng 
dalam hegemoni tafsir tunggal contoh tafsir Arabo-centris yang 
berkarakter budaya Arab.  Sebuah kitab suci, tentu saja, pemaknaannya 
seringkali dipengaruhi oleh para penafsirnya dan para penafsir itu 
dipengaruhi oleh lingkungan serta kecenderungan budayanya. Islam yang 
terpribumisasi, dengan demikian, sangat relevan dengan konteks-konteks 
budaya Jawa khususnya dan budaya Nusantara pada umumnya. 
Sebagai agama mayoritas bangsa, Islam telah menjadi kenyataan hidup 
dan telah memainkan peran penting dalam perjuangan bangsa. Ini terjadi 
karena Islam telah ditafsirkan sesuai dengan konteks-konteks kebudayaan bangsa oleh para ulama dan kaum intelektual. Pribumisasi Islam yang 
berjalan baik dalam sejarahnya di Nusantara menunjukkan bahwa ia tak lagi 
asing dan dapat diterima sebagai bagian organik dari kebudayaan. Islam 
yaitunilai dan kearifan bangsa. Ia menjadi identitas nasional, meskipun ia 
tumbuh merayap melalui penafsiran lokal Jawa, Sunda, Melayu, dan Bugis.
Ada banyak contoh bagaimana kata-kata Arab-Islam terserap dalam bahasa 
Nusantara. Juga adat-istiadat terkait, misalnya, perayaan Maulid Nabi 
Muhammad di Jawa, Sumatra, Bugis, dan lain-lain. Contoh-contoh akulturasi 
itu harus diterima sebagai pengayaan dan bukan sebagai bidah. 
Lagi-lagi peran kaum intelektual sangat penting dalam transformasi 
nilai Islam ke nilai lokal atau dari Islam universal ke Islam partikular suku￾suku di Nusantara. Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib pernah berujar, 
“innama> yunthiquh al-rija>l” (sesungguhnya Alquran berbicara melalui 
manusia). Artinya, para pembaca teks Alquran sangat berpengaruh di dalam 
menerjemahkan makna Alquran. Makin luas dan berintegritas para pembaca 
Alquran, maka maknanya akan luas dan penuh moral. Sebaliknya, makin 
sempit dan bodoh pembaca Alquran, maknanya akan sempit dan kaku. Jadi, 
para ulama dan kaum intelektual Muslim perlu terus-menerus mengusahakan 
tafsir-tafsir Alquran yang kontekstual, lokal, dan mendorong pada integrasi 
bangsa. Usaha-usaha semacam ini, menurut saya, layak disebut sebagai 
pribumisasi Islam Nusantara yang, pada gilirannya, akan menopang integrasi 
bangsa.
Harus diakui bahwa integrasi bangsa tidak semata-mata soal hubungan
Islam dan negara, tetapi soal yang lebih kompleks meliputi aspek politik, 
ekonomi, sosial, dan budaya. Irwan Abdullah menyebut empat aspek yang 
menyebabkan disintegrasi sosial, yakni: pertama, kondisi sosial yang bersifat 
akut yang menggambarkan persoalan penting yang harus ditanggapi, seperti 
kebodohan dan kemiskinan. Kedua, penyimpangan perilaku yang melawan 
hukum seperti korupsi, ketidakadilan, kejahatan, dan obat-obatan terlarang. 
Ketiga, persoalan yang menyangkut disorganisasi yang memperlihatkan 
rendahnya ketaatan publik terhadap berbagai peraturan dan terhadap sesuatuyang bernilai komunal. Keempat, persoalan disfungsi sosial yang 
menunjukkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial dan jaringan￾jaringan sosial secara meluas.
Meski analisis Irwan Abdullah terkait disintegrasi sosial, namun ini 
bisa dipakai dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Faktor-faktor 
kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hukum, salah urus tata kelola 
pemerintahan, dan lain-lain yaitujuga terkait dengan tugas profetik agama 
Islam. Pribumisasi Islam mengandaikan bahwa ajaran-ajaran Islam itu sampai 
ke penjabaran operasional sehingga memandu jalannya perilaku-perilaku 
sosial. Islam harus hadir dalam nilai-nilainya sehingga menciptakan integrasi 
sosial dan lalu memantapkan integrasi bangsa.
Selanjutnya, integrasi bangsa menuntut pula integrasi antar dan intra 
umat beragama. Tafsir-tafsir agama sangat menentukan wujud nyata 
integrasi baik dalam bentuk kerukunan, harmoni sosial, maupun hilangnya 
pendakuan kebenaran berlebihan para pemeluk agama, utamanya Islam. 
Tampilnya -meminjam istilah MB. Hooker- “manusia-manusia transisi”
semacam Agus Salim, Hatta, Natsir, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, 
Abdurrahman Wahid, dan lain-lain sangat menentukan arah baru Islam 
dengan sistem teologinya yang lebih terbuka. Gerakan-gerakan terbuka dari 
para kaum elit tersebut memungkinkan Islam mengalami pribumisasi 
berkelanjutan sejak ia masuk ke Nusantara. Islam tampil membumi dan 
bersenyawa dengan budaya-budaya tempatan berkat peran kaum elit 
intelektual Islam tanpa pertikaian berarti. Bahkan kaum elit Islam -pada 
masa gerakan kemerdekaan itu- berusaha melakukan usaha-usaha teologis￾politis agar Islam tidak berhadap-hadapan dengan kepentingan negara. 
Hasilnya yaitukesepakatan dan perjanjian luhur berupa Pancasila sebagai 
dasar negara. Tentu saja, pencapaian ini sangat sulit dan memerlukan sikap 
terbuka dengan wawasan-wawasan kebangsaan serta kenegaraan. Wawasan 
keislaman tidaklah memadai tanpa ditopang oleh wawasan-wawasan 
kemodernan dengan gagasan besar dunia.Nah, kaum elit yaitusekelompok manusia yang dengan kecerdasan 
dan kearifannya menanggapi tantangan-tantangan masa depan melalui 
penyusunan konsep-konsep utama.  KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan 
Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan NU, M. Hatta dan Syafrudin 
Prawiranegara dengan pemikiran ekonomi Islam, Agus Salim dengan 
pemikiran sosial budaya, Hazairin dengan pemikiran hukum, dan lain￾lainnya.
Di era yang lebih lalu , datang eksponen, seperti Mukti Ali, 
Harun Nasution, HM. Rasyidi, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, 
Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, dan lain-lain. 
Mereka yaituelit-elit intelektual Islam yang dengan ketajaman analisisnya 
menjawab tantangan-tantangan zaman dengan bahasa kaumnya dan dengan 
istilah-istilah modern melalui berbagai karya. Karya-karya mereka pada 
dasarnya yaitutafsir Islam dalam kerangka relevantisasi dengan konteks￾konteks zamannya. Konteks-konteks zaman dalam arti ini yaituisu-isu 
keadilan, pemberdayaan, demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, integrasi 
bangsa, dan lain-lain. Islam tidak lagi dikurung dalam kerangka pemihakan 
pada kepentingan mazhab dan kelompoknya. Tafsir Islam telah keluar dari 
cangkang mazhab dan sektarianisme menerobos sekat-sekat. Tema-tema 
yang diusung pun lebih berkelas, misalnya, tentang nilai-nilai universal yang 
dimiliki setiap suku dan atau bangsa. Para pemikir Islam itu telah menyadari 
bahwa kita tak perlu takut dengan perpecahan hanya karena isu-isu 
pembaharuan. Tapi, pada saat sama, kaum elit itu bekerja keras mendidik 
umatnya dengan ajaran-ajaran Islam yang lebih cair dan terbuka melalui 
strategi kebudayaan, yakni pendidikan.
Penting dicatat bahwa ada garis kebersinambungan antara pribumisasi 
Islam model Wali Songo di zaman-zaman lampau dengan pribumisasi Islam 
di masa kini. Tujuan pribumisasi Islam yang disebut pertama yaitu
membangun integrasi Islam dan budaya lokal dalam kerangka kesatuan umat. Sementara di masa kini, pribumisasi Islam bertujuan menciptakan Islam 
sebagai perekat kesatuan bangsa. Di masa kini, pribumisasi Islam lebih 
diperlukan untuk merawat hubungan Islam dan negara secara protagonis 
dengan tafsir-tafsir yang inklusif. Pasang-surut hubungan Islam dan negara di 
masa Orla dan Orba yang pernah mengancam disintegrasi bangsa harus 
menjadi pelajaran.
Harus diakui bahwa jasa kaum elit intelektual Islam sangat penting 
dalam mencairkan hubungan Islam-negara sepanjang masa-masa 
pembentukannya. Salah satu yang menonjol yaitumasalah dasar negara, ide 
tentang konstitusi, dan hubungan antara agama dan negara. Pancasila sebagai 
dasar negara dan tafsir atas sila-silanya pernah menjadi perdebatan sengit 
pada tahun 1950-an sampai akhirnya kembali kepada Dekrit Presiden. Fakta 
sejarah ini menunjukkan bahwa mempertahankan integrasi bangsa dalam 
kerangka Negara Kesatuan Republik negara kita bukanlah pekerjaan ringan. 
Dibutuhkan keterlibatan kaum elit Islam, elit penguasa, dan elit-elit politik 
dari beragam latar belakang untuk merumuskan konsensus-konsensus baru 
yang bersifat integratif.
Itulah sebabnya respons-respons yang tepat dari pemerintah sangat 
dibutuhkan. Menurut Christine Drake ada tiga kebijakan pemerintah Orde 
Baru dalam merespon tantangan-tantangan integrasi.  Pertama yaitu
tanggapan melalui kebijakan pemerintah yang berdimensi budaya melalui 
pengembangan bahasa negara kita sebagai bahasa persatuan. Ia dijadikan 
sebagai bahasa pengantar wajib dalam pendidikan dari sekolah dasar hingga 
perguruan tinggi. Selain pengembangan bahasa, juga dikembangkan sistem 
pendidikan yang mewajibkan pengajaran Pancasila dan Pendidikan 
Kewarganegaraan ke dalam pendidikan nasional. Ini dimaksudkan untuk 
menanamkan nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan nasional kepada anak-anak 
didik.Terkait kebijakan terhadap umat Islam sebagai pemeluk mayoritas, 
pemerintah tidak memperlakukan secara tertutup tetapi secara tepat dan 
proporsional melakukan komunikasi politik melalui elit-elit Islam.
Kebijakan kedua yaitudari dimensi hubungan.
Sejak tahun 1967 -
saat Soeharto menduduki Pejabat Presiden Sementara- memulaipembangunan infrastruktur besar-besaran dan bertahap untuk 
menghubungkan wilayah Nusantara yang luas. Jalan-jalan, televisi, listrik, 
dan jembatan-jembatan yang strategis dibangun dalam usaha  memperbaiki 
interaksi antara daerah satu dengan daerah lainnya dan dengan pemerintah. 
Ketiga, kebijakan pembangunan ekonomi.  Pembangunan ekonomi 
dilakukan dengan Repelita (rencana pembangunan lima tahun) dan 
dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara daerah dan pusat. Secara 
relatif, selama Orba pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan 
pendapatan negara, tetapi dari sisi pembagian masih menyisakan 
kesenjangan. Namun begitu, tanggapan pemerintah cukup efektif meredam 
disintegrasi bangsa untuk kurun waktu yang lama.
Analisis Christine Drake sebenarnya kurang sempurna. Dia tidak 
banyak mengulas hubungan agama dan negara dari perspektif kaum elit 
Islam. Menurut saya, perspektif yang disebut terakhir cukup membantu 
dalam mencairkan ketegangan hubungan Islam dan negara yang dalam 
sejarahnya mengalami pasang-surut. Doktrin-doktrin Islam tidak lagi dilihat 
dari perspektif dogmatik, tetapi dilihat dari perspektif kemodernan dan 
global. Perspektif yang telah keluar dari cangkang teologi ini mendorong 
perubahan wawasan umat Islam ke arah yang lebih terbuka. Munculnya 
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan mobilitas kaum santri makin 
mempercepat perubahan itu. Hasilnya yaitutumbuhnya kelas-kelas 
warga  egaliter, demokratis, inklusif, dan sikap intelektual. Tentu saja, 
keadaan-keadaan ini memudahkan terjadinya transformasi-transformasi 
sosio-kultural secara lebih mudah di dalam tubuh umat Islam. Dan umat 
Islam negara kita memasuki dunia baru, sebuah dunia yang tidak lagi hidup 
dalam cangkangnya, tetapi telah berdialog dengan peradaban lain yang lebih 
kaya.
Namun terburu-buru harus disebutkan bahwa perubahan ini berawal 
dari lokal, yakni penerimaan Islam oleh pribumi. Lalu beranjak ke komunitas 
yang lebih luas, yakni Nusantara yang lalu  setelah negara kita merdeka 
menjadi Negara-bangsa negara kita. Dari argumen itu dapat ditegaskan bahwa 
tak ada integrasi bangsa tanpa integrasi suku-suku bangsa. Tak ada harmoni 
Islam dan negara tanpa harmoni pemahaman ajaran agama. Juga tak ada 
moderasi sosial tanpa moderasi ajaran Islam. Dengan hubungan akrab antara 
Jawa, Islam, dan negara negara kita maka terjadi keakraban antara hubunganketiganya-meskipun untuk itu diperlukan usaha terus-menerus semua potensi 
bangsa untuk merawatnya dengan penuh dedikasi serta komitmen keislaman 
dan kenegara kitaan.

Islam dan budaya Jawa yaitu tema utama yang menjadi wacana dalam 
kehidupan Nusantara. Selama berabad-abad lalu saat Islam datang ke 
Nusantara, keduanya berdialog dengan kepercayaan lain seperti Hindu, 
Budhha dan agama lokal lainnya. Kebudayaan Jawa, di sisi lain, yaitu 
warisan warga  Jawa selama ribuan tahun dan terus memperkaya 
khazanah budaya dunia. Hubungan antara Islam dan Jawa, oleh karenanya, 
menarik perhatian para peneliti dan telah menghasilkan banyak karya ilmiah. 
Sepanjang sejarah, hubungan antara Islam dan budaya Jawa tidak selalu 
berjalan mulus. Ketegangan dan konsensus terjadi di antara keduanya, baik 
secara jelas terlihat ataupun tidak. Ketegangan tersebut merujuk kepada 
pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi Islam di Jawa yaitu proses 
transformasi saling pinjam antara unsur-unsur luar ke dalam lokalitas Jawa 
atau sebaliknya. Pribumisasi Islam, oleh karenanya, yaitu artikulasi 
interaksi sosial budaya Islam dan Jawa. Dalam konteks negara-bangsa, 
pribumisasi Islam harus naik ke level yang lebih tinggi, untuk mencapai 
integrasi nasional. Artikel ini membahas pribumisasi Islam dalam konteks 
budaya Jawa, yang bertujuan untuk membangun integrasi nasional. Diskusi 
ini berangkat dari gagasan bahwa tidak ada integrasi tanpa integrasi suku￾suku, dan tidak ada integrasi bangsa tanpa integrasi pemeluk agama

kerajaan banjar 4

andi lait, Dahlan

Saal, Abdul Karim Japeri, H. Amran Abdullah (bekas ketua PWM

Kalimantan Selatan) dan lain-lain. Dari pihak puteri antaranya St.

Masjamiah Amran Abdullah, Siti Fatimah Saifuddin, Siti Maimunah

Hasan dan lain-lain.

Sekolah-sekolah yang mutu pelajaran umumnya dipersamakan

dengan pelajaran sekolah negeri dan mendapat subsidi pula dari

pemerintah, ditambah dengan pengetahuan agama dan

kemuhammadiyahan, berjalan dengan pesat. Dan mengeluarkan hasil

siswa-siswa yang dapat diandalkan. Di samping itu kegiatan tabligh

makin berjalan nyata, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, HW dan lain￾lain mendapat sambutan hangat, di antara yang senang dan tidak senangUntuk pembinaan amal usaha Muhammadiyah dan gerakan dakwahnya

di masa selanjutnya, maka dikirim pula pemuda-pemuda dan pemudi￾pemudi keluarga Muhammadiyah Alabio belajar ke Jawa, yaitu

Surabaya, Yogyakarta, Solo dan Jakarta.

Setelah pada tahun 1927 H. M. Japeri naik haji yang kedua kalinya

bersama isteri beliau dan seorang putera beliau Kasyful Anwar dan

menetap di Mekkah selama satu tahun, maka sekembalinya di Alabio

tahun 1928 dalam usia yang bertambah lanjut, kegiatan beliau bukan

berkurang, bahkan makin bertambah. Dengan semangat baru, beliau

menyebarkan Muhammadiyah ke luar Alabio, mengadakan perjalanan

tidak hanya di tempat-tempat sekitar Alabio, bahkan sampai ke tempat￾tempat lain di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan

Timur dan juga Kalimantan Barat. Usaha beliau tidak sia-sia, berdirilah

sampai saat  wafat beliau, Muhammadiyah di Hambuku, Sungai

Tabukan, Jarang Kuantan dan Pandam Pelantan Sihin (masuk

Kabupaten Hulu Sungai Utara), Kelua dan Haruai (Kab. Tabalong),

Pauh Birayang (Kab. Hulu Sungai Tengah), Kandangan dan Negara

(Kab. Hulu Sungai Selatan), Rantau (Kab. Tapin), Martapura dan

Karang Intan (Kab. Banjar), Banjarmasin (Kodya Banjarmasin), Anjir

Serapat, Kuala Kapuas, Madumai, Muara Teweh, Puruk Cahu, Sampit,

Muara Samba, Kasungan, Tumbang Sinamang, (Kalimantan Tengah),

Kotabaru, Pulau Laut, Balikpapan, Sangai-Sangai, Tanjung Redap,

Pulau Derawan (Kalimantan Timur) Pontianak dan beberapa tempat

lain di Kalimantan Barat. Di tempat-tempat itu dibangun sekolah￾sekolah Muhammadiyah, dengan guru-gurunya kebanyakan dari

keluaran Wustha/Mu’alimin Muhammadiyah Alabio, selain itu dari

Jawa.

Dalam kesibukannya itu, beliau mengarang beberapa buku yakni

“Buku Neraca”, buku “Risalah Nasihatul Ikhwan” dicetak di Singapura,

dan “Akidatul Iman wal Islam” yang dikarang dalam perjalanan ke

Kotabaru, Pulau Laut dan dicetak saat  beliau berada di Balikpapan

tahun 1910. Seorang sahabat beliau, H. Bastami pernah berkata: H. M.

Japeri menyiarkan agama bukan hanya dengan propaganda, tetapi beliau

dengan perbuatan nyata dan bukti. Antaranya dengan harta bendanya.

Dalam usaha untuk kehidupan keluarganya, H. M. Japeri antara lain

memelihara ternak kerbau di Tempakang, Sambuju, Kecamatan Danau

Panggang Babirik yang harus didatangi dengan naik perahu yangjaraknya cukup jauh dari Alabio. Juga mempunyai sawah dan kebun,

di antaranya kebun karet yang sebagian dibagi kerjakan oleh kaum

tani.

Lebih kurang dua bulan beliau sakit, sesudah shalat Ashar,

memberikan wasiat kepada keluarga, anak-anaknya yang menengoknya

serta membaca kalimat: “La ilaha illalaah”, hari Selasa Tanggal 2

Rabi’ul Awwal 1351 bertepatan dengan 5 Juli 1932 jam 17.00, beliau

berpulang ke Rahmatullah dengan tenang, dalam usia lebih kurang 61

tahun menurut Hijriyah atau lebih kurang 57 tahun menurut Masehi.

Simpul kata, bahwa K.H. Jaferi yaitu pendiri dan tokoh

Muhammadiyah Kalimantan Selatan yang telah mengabdikan diri untuk

memajukan pendidikan. []
















H. M. AS’AD

Tuan Guru H. Muhammad As’ad (1908-1991). Beliau lahir di

desa Jatuh, kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah pada

tanggal 1 Agustus 1903. Orang tua beliau bernama Tuan Guru H.

Muhammad Yusuf, seorang ulama yang ada di desa Jatuh. H.

Muhammad As’ad menurut beberapa kalangan yang sempat mengenal

beliau dari dekat, di antaranya KH. Abdul Gani yang menyebut beliau

sebagai seorang ulama yang konsekuen, tegas dan mempunyai

keikhlasan yang tinggi dalam berjuang menegakkan kalimatullah.

Sementara Drs. H.M. Asy’ari, MA (mantan Rektor IAIN Antasari)

menyebut beliau sebagai seorang ulama yang selama hayatnya selaluberjuang untuk menyampaikan syiar-syiar Islam kepada ummat

manusia, tanpa mengenal lelah. Dalam bahasa yang lain yaitu ‘izzul

Islam wal Muslimin’. Selain itu beliau dikenal sebagai spesialis ilmu

hadits, yang hafal lebih kurang sepuluh ribu hadits.

Tuan Guru H. M. As’ad mendapat pendidikan dimulai dari orang

tuanya sendiri, yaitu H. M. Yusuf. Orang tua beliau pernah

memperdalam agama di tanah suci Mekkah. Semenjak kecil H. M.

As’ad mendapatkan pendidikan dari orang tuanya dalam berbagai ilmu

lughat (bahasa Arab). Sesudah itu beliau melanjutkan pendidikan ke

Vervolk Schoole selama 3 tahun, yaitu 1916-1919. Kemudian memasuki

Madrasah Arabic School di Amuntai selama 2 tahun, yaitu 1925-1927.

Di sinilah beliau bertemu dan berguru dengan Tuan Guru Haji

Abdurrasyid. Pada tahun 1927 beliau melanjutkan menuntut ilmu ke

Madrasah Saulatiah semacam Madrasah Mu’allimin di tanah suci

Mekkah dan tamat pada tahun 1930. Di antara guru-guru beliau saat 

belajar di Mekkah yaitu Said Yamani imam Masjidil Haram pengajar

Fiqih, Syeikh Ali al-Maliki ahli ahwu sharaf, Jamil Maliki adalah

pengarang yang bermazhab Maliki dan Hasan Maliki juga seorang ahli

dalam bahasa Arab.

Pada tahun 1930, H. M. As’ad melanjutkan pendidikannya ke

Mesir di Universitas al-Azhar. Kebanyakan orang-orang garby (asing)

hanya mengikuti pendidikan non gelar termasuk H. M. As’ad ini. Ini

disebabkan sebab  mereka yang mengikuti pendidikan gelar harus

memenuhi persyaratan tertentu yang cukup berat, yaitu harus hafal Al￾Qur’an. Bidang-bidang keilmuan yang diikuti oleh H. M. As’ad selama

di Universitas al-Azhar yaitu tafsir, hadis, dan fiqih.

Selama di al-Azhar, beliau sempat berguru dengan Yusuf Dajwi,

seorang tenaga pengajar yang tunanetra dan ahli ilmu tafsir. Ia Juga

berguru dengan Muhammad Samaliti ahli hadis, yang mengajar hadis

Muslim dan rawi-rawinya, Muhammad Bakhid Muthi’i mufti Mesir

ahli fatwa dan ahli dalam bidang fiqih, Ahmad Shiddiq ahli hadis dan

mampu meembaca hadis tanpa membuka kitab hadis, dan guru beliau

Habibullah Samqithi ahli hadis, pengarang kitab “Ziadal Muslimin

Bainal Thabaqal Bukhari Muslim”.

Pada tahun 1933 beliau pulan ke tanah air. Setelah kembali, beliau

meneruskan program madrasaha Hidayah Islamiyah yang telah

dibinanya. Oleh H. M. As’ad, sistem pendidikan di Madrasah ini dirubahdan diperbaharui dari sistem halaqah ke sistem klasikal serta berjenjang

mulai ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah. Pada tahun 1934, beliau

bersama-sama para ulama yang berada di Amuntai, Barabai, Kandangan

dan Banjar mendirikan sautu organisasi yang bergerak di bidang

pendidikan Islam, yang kemudian dinamakan Persatuann Perguruan

Islam (PPI). Waktu itu terpilih sebagai ketua R. Mansur Ismail dan

H.M. As’ad terpilih sebagai bendahara (Tim Fak-Tar, 2013: 48-50).

Persatuan Perguruan Islam ini bergerak di bidang pendidikan dan

masing-masing cabang mempunyai madrasah-madrasah binaan sampai

ke desa-desa. Kegiatan madrasah-madrasah di bawah naungan

Persatuan Perguruan Islam ini berjalan terus sampai datangnya

penjajahan Jepang di Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan

penyelenggaraan pendidikan di bawah binaan PPI ini tidak terurus dan

terbengkalai disebabkan para pendiri dan pelopornya ikut aktif dalam

perjuangan membela dan mempertahan kemerdekaan NKRI. Di

samping itu, H. M. As’ad juga berperan aktif mendirikan Madrasah

Mu’allimin Barabai pada tanggal 3 Maret 1950 bersama Tuan Guru H.

Mursyid Yahya (Orang tua Hasbullah Mursyid dan Sa’dillah Mursyid)

dan H. M. Abbas. Madrasah Mu’allimin Barabai terdiri dari Madrasah

Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dan sampai sekarang Madrasah

Mu’allimin masih berdiri tegar. Beliau juga pernah menjadi anggota

Musyawaratul Thalibin, bahkan pernah menjadi utusan kongres

Musyawaratul Thalibin. Pada tahun 1957 beliau diangkat sebagai Qadhi

(Ketua) Pengadilan Agama di Tanjung selama 6 bulan, selanjutnya

beliau menjadi Ketua Pengadilan Agama di Barabai (1958-1971).

Bahkan dari 1971 sampai tahun 1980 an beliau masih aktif memberikan

fatwa-fatwa keagamaan di Pengadilan Agama Barabai.

Pada tanggal 20 September 1961 bersama-sama dengan H.

Abdurrahman Ismail, Zafry Zamzam, H. Usman dan K. H. Abd. Wahab

Sya’rani mendirikan Universitas Islam disebut dengan UNISAN (Uni￾versitas Islam Antasari), yang terdiri dari Fakultas Syari’ah Banjarmasin

cabang Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin di Amuntai,

Fakultas Tarbiyah di Barabai dan Fakultas Syari’ah di Kandangan. Pada

tahun 1962 ditambah pula dengan fakultas Publisistik di Banjarmasin.

Dengan kebijakan pemerintah pusat melalui keputusan Menteri Agama

saat itu K. H. Syaifuddin Zuhri, tertanggal 20 Nopember 1964

diresmikanlah IAIN Antasari yang berpusat di Banjarmasin, sebagaiRektor pertama diangkatlah K.H. Zafry Zamzam, dan sekaligus

menetapkan pimpinan fakultasnya masing: Fakultas Syari’ah

Banjarmasin sebagai Dekannya yaitu H. Abdurrahman Ismail, MA.,

Fakultas Ushuluddin di Amuntai sebagai dekannya K.H. Abdul Wahab

Sya’rani, Fakultas Syari’ah di Kandangan sebagai dekannya H. Usman,

Fakultas Tarbiyah di Barabai sebagai dekannya yaitu H.M. As’ad.

Jabatan ini beliau pegang sampai dia pensiun tahun 1971. Dan setelah

pensiunpun beliau tetap diangkat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah sejak

1971-1973 (Dwi Windu IAIN Antasari, 1980: 21-23).

Pengintegrasian Fakultas-fakultas di daerah, berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Agama nomor 40/78, 20 Mei 1978 Fakultas Syari’ah

di Kandangan, Fakultas Tarbiyah di Barabai dan Fakultas Ushuluddin

di Amuntai dipindahkan ke Faklutas-fakultas induk di IAIN Antasari

Banjarmasin. Dan sejak tahun 1978 ini  ketiga fakultas itu tidak

boleh menerima mahasiswa baru. Berdasarkan realitas di atas, maka

Tuan Guru H. M. As’ad dan Tuan Guru H. Abdul Hamid Karim,

bersama tokoh-tokoh pendidik yang lain mengadakan musyawarah

untuk mendirikan Sekolah Tinggi agar para alumni Madrasah Aliyah,

PGA, dan SMA yang ada di sekitar Barabai bisa melanjutkan kuliah.

Maka sejak tahun 1978 itu didirikanlah Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

(STIT) Al-Washliyah Barabai dan ditunjuk sebagai Ketuanya adalah

Tuan Guru H. Abdul Hamid Karim. Kemudian, pada tahun 1993 H.

Hasan Husaini, Lc sebagai Ketua dan Sahriansyah sebagai Pembantu

Ketua I STIT Al-Washliyah Barabai ikut aktif lobi terhadap Bapak Drs.

H. Marwan Saridjo untuk perubahan STIT menjadi Sekolah Tinggi

Agama Islam Al-Washliyah dengan dua Jurusan, yaitu Pendidikan

Agama Islam dan Bimbingan Penyuluhan Islam. Setelah pensiun H.

M. As’ad lebih banyak mengisi majelis ta’lim dan pengajian hadis

khususnya kitab Kutubus-sittah, pengajian ini terus berlangsung sampai

beliau meninggal (1991). Pada Tahun 1981-1982 saya (sahriansyah)

dan Syamsul Mu’arif cucu beliau sendiri seminggu sekali kami belajar

ilmu tauhid dengan Tuan Guru H. M. As’ad. Dan sekarang di Majelis

Pengajian Hadis ini yang terletak di Jalan P. Antasari Barabai terus

dilanjutkan oleh murid beliau yang bernama Tuan Guru H. M. Yusuf.

‘Tuan Guru H.M. As’ad yaitu  salah tokoh pendiri mesjid

agung Riadhusshalihin Barabai, bersama dengan Tuan Guru H. Abdul

Hamid Karim, Tuan Guru H. M. Dahlan, H. Abdurrahman dan lain-lain bersepekat membentuk panitia pembangunan Mesjid

Riadhusshalihin ini , dengan susunan panitia sebagai berikut:

Ketua Umum yaitu Tuan Guru H.M. As’ad, Ketua I yaitu Tuan Guru

H. Abdul Hamid Karim, Ketua II yaitu Tuan Guru H. M. Dahlan,

Sekretaris yaitu H. Bihdar Rasyidi, BA. SEKDA Kabupaten HST,

dan bendahara yaitu H. Abdurrahman (Polisi).

Adapun lokasi pembangunan mesjid Riadhusshalihin yang dipilih

oleh panitia yaitu di jalan H. Damanhuri dan berada di tengah-tengah

kota Barabai sebagai ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Awal

tahun 1966 dimulai kegiatan-kegiatan, antara lain: (1) penerimaan tanah

wakaf dari warga  untuk pembangunan mesjid agung ini ; (2)

penerimaan wakaf berupa uang dan bahan bangunan; (3) gotong royong

seluruh warga  Barabai untuk mengangkut pasir dan tanah ke lokasi

masjid, dan ini yaitu  ciri khas dari warga  Barabai.

Antusias warga  kota Barabai sangat tinggi untuk memiliki

sebuah mesjid yang besar, megah dan monomental seperti tak

tertahankan, maka diawal tahun 1967 dimulailah shalat jum’at pertama

di bawah bangunan darurat, di atas hamparan pasir, bertiang bambu

dan beratap daun rumbia, bertindak sebagai khatib yaitu Tuan Guru

H. Hasan Ahmad, sebagai imam yaitu qari H. Djazuli dan muazin

yaitu H. Samsun Shaleh.

Mesjid Agung Riadhusshalihin Barabai ini berdiri di atas tanah

lebih dari 2 hektar, yaitu 20.193 meter persegi, sehingga memudahkan

untuk menata bangunan, taman, lahan parkir, dan bangunan lainnya,

seperti MAN 1 Barabai, Kantor Pengadilan Agama Barabai, KUA

Barabai, Kantor MUI Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan lain-lain.

Mesjid ini diberi nama Riadhusshalihin, sejauh ini belum diketahui

pasti tentang asal usulnya, namun nama ini dikenal dengan nama sebuah

kitab hadis karangan Imam Nawawi. Dan diketahui pula bahwa pendiri

utama masjid agung ini yaitu seorang ulama hadis yang telah hafal

ribuan hadis, yaitu Tuan Guru H.M. As’ad, yang makamnya terletak di

dalam areal masjid Agung Riadhusshalihin ini (Direktori, 2009: 64-

65).

Adapun karya tulis yang pernah beliau tulis adalah: “Agama Is￾lam”, yang ditulis bersama H. Mansur Ismail dan H. Jailani Sahari.

“Ilmu Tajwid “ yang berisikan tentang pedoman membaca al-Qur’anyang disusun bersama adiknya, yaitu Tuan Guru H. M. Rafi’I adalah

guru para qari-qariah yang ada di Kalimantan Selatan saat itu.

Ada beberapa pandangan beliau dalam bidang agama, sosial dan

kewarga an, yaitu:

1. Antara dunia dan akhirat masing-masing ada kepentingannya.

Masalah keduniaan penting untuk meningkatkan tarap hidup dan

keteraturan hidup. Ketaraturan hidup ini harus memperhatikan

qaidah-qaidah syara’ (ajaran Islam).

2. Kewajiban agama mencakup aspek kewajiban kepada Allah maupun

terhadap warga  menurut hukum yang digariskan agama.

3. Zakat tidak hanya terbatas pada jenis-jenis kekayaan tertentu tetapi

juga sumber kekayaan lainnya yang lebih beraneka ragam yang dapat

dikenakan zakat dan diberikan kepada penerima dalam arti seluas￾luasnya. Terhadap jenis kekayaan yang belum dirumuskan menurut

hukum fiqih yang telah ada dapat diqiaskan kepada barang dagangan

(tijarah) yang nilainya disamakan dengan nisab emas. Tentang zakat

gaji PNS dihitung dari sisa yang dapat disimpan dengan lama (satu

tahun) diperlakukan seperti nisabnya emas.

4. Hubungan antara ulama dan umara perlu dibina lebih erat dalam

rangka mengemban misi kebenaran menurut ajaran Islam.

5. Tentang emansipasi wanita, wanita dari segi fitrahnya memang

berbeda termasuk dalam segi hukum seperti waris, kesaksian dan

ibadah, tetapi haknya dalam ranah publik (berprestasi) dan menerima

imbalaan dari prestasinya harus memperoleh hak yang sama dan

tetap menghormati pada fitrahnya, artinya bila seorang wanita sedang

hamil/menyusui harus tetap harus memperoleh perlakuan manusiawi

dengan gaji yang tetap meskipun dalam keadaan cuti ((Tim Fak￾Tar, 2013: 51-52).

Tuan Guru H. Muhammad As’ad berpulang kerahmatullah pada

tanggal 27 Desember 1991 di Barabai. Ia dikarunia oleh Allah swt 10

orang anak dari perkawinannya dengan Hj. Sarah dan Hj. Sundari, yakni

Napisah As’ad, H. Abdul Djawad As’ad, Hj. Azizah As’ad, Abdul Kahir

As’ad, H. Ubaidillah As’ad, Naziah As’ad, Hj. Naimah As’ad, Fathullah

As’ad, Abdul Mun’im As’ad, dan H. Fadlullah As’ad.[]










Hasbullah Yasin
H. HASBULLAH YASIN (1900-1945). H. Hasbullah Yasin
dikenal sebagai pejuang kemerdekaan RI, di samping sebagai ulama
dan guru agama. Beliau yaitu anak keempat dari enam bersaudara ,
yaitu H. Abdul Wahab, H. Muhammad Thahir, Hj. Syafiyah, Hj.
Aminah, dan H. Maksum Yasin. Ayahnya H. Yasin yaitu Penghulu
Distrik Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara yang mempunyai
pengaruh besa dan dihormati orang.
Sejak kecil H. Hasbullah Yasin dididik untuk selalu taat
melaksanakan segala perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan￾Nya. Selain mendapat pendidikan dari ayahnya, Hasbullah Yasin belajar
juga di Vervolg School Alabio. Beliau tetap memperdalam agama
dengan cara belajar pada ulama setempat , seperti H. M. Jaferi (Tokoh
pendiri Muhammadiyah Alabio Kalimantan Selatan) dan Tuan GuruH. Abdul Rasyid (Pendiri Pondok Pesantren RAKHA Amuntai). Setelah
lulus dari Vervolg School Alabio beliau melanjutkan pendidikannya
ke Arabische School di Pekapuran Amuntai.
Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Pahlawan Nasional
yang ke-45, tanggal 10 Nopember 1990. sekarang kita sedang
menziarahi makam seorang Pahlawan Kemerdekaan tempat
terkuburnya alm. Bapak H. Hasbullah Yasin yang telah gugur sebagai
pahlawan kusuma bangsa pada tanggal 27 Oktober 1945. Beliau syahid
dengan menantang penjajah serta membela bangsa dan tanah airnya.
Beliau meninggal dunia sewaktu sedang berhadapan dengan
tentara penjajah Belanda yang menamakan dirinya NICA. Dengan
secara tiba-tiba beliau disergap oleh dua orang tentara NICA, seorang
berkebangsaan Belanda dan seorang berkebangsaan Indonesia.
Peristiwa ini  terjadi sewaktu almarhum baru selesai mengambil
air wudhu di tepi sungai. Hal yang demikian terjadi lantaran Bapak H.
Hasbullah Yasin yaitu salah seorang yang gigih mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia yang baru dua bulan diproklamasikan.
Beliau juga penggerak adanya pasukan pemberontak melawan penjajah
Belanda/NICA.
Atas pengorbanan beliau ini, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong￾Royong Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Utara telah memberikan
surat penghargaan dengan mengatakan bahwa beliaulah sebagai unsur
pertama penggerak adanya pemberontakan untuk kemerdekaan RI
dalam Daerah Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Utara sebagaimana
dinyatakan dalam suratnya No. 26/DPR GR tanggal 20 Mei 1962.
Beliau juga diberikan surat penghargaan dari Presiden RI/Panglima
Tertinggi dengan surat No. 175 Tahun 1995 dan sebuah Bintang Gerilya
yang diakui sebagai Anumerta dengan pangkat Letnan I, sebagai
penghargaan atas perjuangan kemerdekaan RI.
Pemerintah telah menawarkan kepada keluarga almarhum agar
berkenan kiranya kubur beliau dipindahkan atau dibawa ke Makam
Pahlawan Tabur yang terletak di Kecamatan Amuntai Utara. Atau kubur
beliau ini dibuatkan sebuah makam tersendiri dengan betonan yang
indah. Tetapi oleh keluarga beliau dan murid-murid beliau meminta
agar kubur/makam ini tidak dipindahkan dan dibiarkan sedemikian rupasebab  mengikuti petuah beliau semasa hidup agar pembuatan suatu
kubur dalam keadaan sederhana sesuai dengan anjuran Rasulullah.
Siapakah beliau ini? Almarhum H. Hasbullah Yasin yaitu seorang
ulama yang dalam ilmunya dan seorang pemimpin yang dicintai dan
disegani warga  di sini. Beliau dilahirkan di Kampung Sungai
Pandan Kecamatan Sungai Pandan sekitar tahun 1900. Sejak kecilnya
beliau dididik dan diajari taat beragama oleh ayahnya yang bernama
H. Yasin (seorang Penghulu Besar Distrik Alabio) almarhum berguru
dengan beberapa orang ulama kenamaan di daerah ini, yang antara
lain Tuan guru H. Jafri. Kemudian beliau berguru dengan H. Abd.
Rasyid di Pekapuran Amuntai. Beliau juga bersekolah dan tamat dari
SDN Kota Alabio. Pada tahun 1927 Hasbullah Yasin berangkat
Makkatul Mukarramah untuk memperdalam ilmu tahun agama selama
tiga . Beliau sangat ahli di bidang Nahwu dan Musthalah Hadis, dan
juga memperdalam ilmu kesusteraan Timur Tengah.
Beliau kembali ke tanah air pada tahun 1930 dan beliau mengasuh
Perguruan Madrasah Wustha Mu’alimin Muhammaduyah tingkat
Tsanawiyah. Di antara murid-murid bekas asuhan beliau banyaklah
yang mendapat kedudukan baik dalam warga  dan di antaranya
pula ada yang memegang jabatan penting, baik sipil maupun militer.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di tengah-tengah
kesibukannya sebagai guru agama di Wustha Mu’allimin
Muhammadiyah Alabio, Hasbullah Yasin juga sangat giat melakukan
dakwah. Belanda tidak pernah menghalangi-halangi aktivis beliau,
sebab belanda menganggap kegiatan ini  tidak membahayakan
mereka.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) mula-mula beliau
diangkat menjadi tuan imam pada Mesjid Sungai Pandan, kemudian
menjabat kepala dari imam-imam dalam Kewedanaan Alabio.
Kemudian diangkat lagi menjadi Humbo Sidion selaku kepala agama
dalam Kabupaten Hulu Sungai memegang urusan sosial, dan pernah
juga menjabat sebagai Ketua Urusan Yatim pada Jam’iyah Islamiyah
di Kandangan. Banyaknya jabatan yang pernah beliau pegang pada
masa pendudukan Jepang yaitu  suatu pengakuan terhadap
kemampuan beliau dalam bidang keagamaan dan kewarga an.Dalam kondisi yang demikian itu Hasbullah Yasin mempunyai
ruang gerak yang memungkinkan beliau untuk berhubungan dengan
warga  Alabio khususnya dan warga  se Hulu Sungai pada
umumnya. Beliau dikenal seorang yang dalam ilmunya dan ahli dalam
berpidato, banyak pula beliau mengusahakan perbaikan sengketa￾sengketa dalam warga . Sejak dahulu beliau sudah dikenal seorang
muslim nasionalis yang mana beliau sering membangkitkan semangat
kemerdekaan bangsa.
Manakala Proklamasi Kemerdekaan RI telah berkumandang yang
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau bergembira dan beliau
turut mempersiapkan berdirinya Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) di
Alabio yang mengambil cabang dari pusatnya di Banjarmasin. NICA
yang ikut membonceng tentara sekutu sudah mulai bergerak untuk
menguasai dan menduduki daerah-daerah wilayah Indonesia yang tidak
ketinggalan di daerah kita di sini. Dalam saat yang genting ini almarhum
bekerja keras pula menyadarkan rakyat dan membangkitkan semangat
rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru
diproklamasikan dibantu dengan teman-teman seperjuangan beliau.
Beliau hasung pemuda-pemudi agar siap siaga berjuang untuk tanah
air dan agama. Di antara kegiatan-kegiatan beliau yang menonjol
adalah:
1. Mengumpulkan murid-murid sekolah, pemuda-pemuda dan
warga  ribuan orang di Komplek Kantor Sei Pandan dengan
acara menaikkan bendera merah putih, kemudian pidato
gembelengan semangat oleh beliau sendiri, kemudian pawai atau
barisan keliling kota.
2. Beliau mengundang alim-ulama dalam daerah Kecamatan Sei
Pandan, Babirik, dan Danau Panggung untuk membentuk Badan
Musyawarah Alim-Ulama Alabio dan memusyawarahkan hukum
Islam mengenai kemerdekaan dan orang-orang yang anti
kemerdekaan Indonesia. Hasil keputusan yang dijadikan statement
itu disebarluaskan dalam daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Tengah dan Selatan.
Kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh H. Hasbullah Yasin dan
kawan-kawan beliau ini dianggap oleh pemerintah NICA suatu bahaya
yang menghalang-halangi mereka untuk menjajah kembali kawasan
kita. Tentara NICA sudah mulai menampakkan giginya dan datang keAlabio membuat tulisan besar NICA pada kantor, gudang dan los pasar
Alabio. Melihat tantangan NICA ini, H. Hasbullah Yasin membentuk
Barisan Berani Mati (PBM).
Pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 1945 sekembali beliau dari
rapat rahasia kiranya beliau tidak lepas dari intaian musuh. Entah beliau
ada mendapat perasaan-perasaan gaib atau memang akan melakukan
shalat Dhuhur, sebelum sampai ke rumah beliau, beliau menyimpang
dan turun ke tepi sungai serta mengambil air wudhu. Setelah beliau
bergerak naik ke tepi sungai itu. Dua tentara NICA ini  sudah siap
dengan mengacungkan senjata api menyuruh beliau menyerah. Tekad
beliau pantang menyerah dan beliau terjatuh dan menghembuskan nafas
yang penghabisan. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.
Beliau telah pergi untuk selama-lamanya namun nama dan
semangat beliau tetap menyala-nyala di dada pemuda-pemuda kita.
Tentara NICA datang beberapa buah jeep dan semua pengikut beliau
menjadi orang buruan yang selalu dicari-cari dan dikejar-kejar. Pada
pertengahan tahun 1945 semangat rakyat seumumnya menggelora,
timbullah beberapa kesatuan gerilyawan yang memakai nama
bermacam-macam, tibalah saatnya mengakui dan menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Empat tahun sesudah meninggalkannya almarhum. Yakni tepat
tanggal 27 Oktober 1949 bertempat di Lapangan Gembira diadakan
rapat raksasa. Lapangan ini penuh padat dengan pengunjung￾pengunjung laki-laki dan perempuan. Letnan Kolonel H. Hasan Basri
dan stafnya bersama pejabat-pejabat dari beberapa daerah pasukan
gerilyawan keluar menampakkan diri. Letnan Kolonel H. Hasan Basri
mengadakan pidato dan meresmikan dan mengakui H. Hasbullah Yasin
seorang pahlawan yang gugur mempertahankan kemerdekaan serta
mengangkat beliau dengan pangkat Letnan I. Para terkemuka ziarah
ke kubur beliau ini dan menaruh karangan-karangan bunga yang diawali
oleh Letnan Kolonel H. Hasan Basri sendiri. Mudah-mudahan Allah
selalu merahmati arwah beliau, meredai perjuangan beliau dan
memasukkannya ke dalam Jannatun Na’iem.
KH. Hasbullah Yasin sejak hidupnya sebagai guru agama yang
memiliki aliran dan pandangan hidup yang khas dengan sifat-sifat wara’
dan zuhud, yang lebih menekankan hidup kerohanian walaupun beliausekali-sekali ikut juga mengusahakan perekonomian/perindustrian yang
didapatnya dari hasil karya menelaah kitab-kitab besar berbahasa Arab
seperti Daa Iratul Ma’arif (Ensiklopedia: Mohd. Faried Wadjy). Ciri￾ciri dari peri hidup alm. H. Hasbullah Yasin sesuai sekali dengan
namanya, beliau mempunyai perhitungan yang teliti untung dan ruginya
dinilai dari sudut iman dan taqwallah. Sinar iman dan taqwa seolah￾olah selalu menghiasi wajah almarhum ini  almarhum lebih banyak
menyepikan dirinya dibandingkan  senda-gurau yang tak tentu. Kalau beliau
berkata atau berpidato hatta bergurau sekali pun, di mana semuanya
berbau kerohanian dan agama dan tanda berpikir yang penuh
penyelidikan dan kebijaksanaan. Kehilangan beliau cukup
mengharukan hati segenap lapisan warga  Muhammadiyah dan
kaum muslimin yang sadar akan arti ulama, sebab  almarhum selain
aktif dalam Muhammadiyah, juga menjadi pelopor para alim ulama ke
arah kesadaran membela tanah air dan kehormatan agama alm. H.
Hasbullah Yasin dinyatakan dengan resmi sebagai pahlawan bangsa
dan mendapat bintang gerilya dari Kepala Begara RI. Beliau memiliki
jasmani yang lemah, tetapi memiliki semangat yang membaja pantang
menyerah.
H. Hasbullah Yasin yaitu seorang ulama, pejuang dan pendidik.
Beliau juga salah satu tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah di
Alabio atau Kalimantan Selatan. Organisasi Muhammadiyah berdiri
di Alabio atau Kalimantan Selatan pada tahun 1925 yang dimotori K.
H. Muhammad Jaferi dan H. Usman Amin. Adapun sifat-sifat mulia
yang H. Hasbullah miliki adalah:
a. Bersifat Tawadhu, yaitu rendah diri atau bersikap sederhana dalam
menjalani kehidupan dunia. Bahkan kuburan beliau tidak diizinkan
untuk diberi bangunan permanen.
b. Selalu giat menuntut ilmu, baik kepada ulama yang ada di seputar
Amuntai maupun di Mekkah al-Mukarramah.
c. Selalu mengedepankan sifat musyawarah dan mufakat, bahkan beliau
sering diminta untuk memediasi atau mendamaikan antar warga yang
bertikai.
d. Selalu istiqamah atau konsisten dalam memperjuangkan cita-cita
bangsa dan agama Islam.e. Memiliki sifat jihad atau kerja keras dalam memperjuangkan
kebenaran dan keadilan, bahkan nyawa jadi taruhannya.[]
Referensi
Dachlan, Abd. Chalik, 70 Tahun Muhammadiyah Alabio 1925-1995, t.t., t.p.
Kaderi, A.H., “Riwayat Singkat H. Hasbullah Yasin Pejuang Kemerdekaan RI di
Alabio”, makalah, 17 Agustus 1981.
Makkie, dkk., Ulama Kalimantan Selatan Dari Masa Kemasa, Banjarmasin, MUI
Kalimantan Selatan, 2010.
Sahriansyah, dkk., Sejarah Muhammadiyah di Kalimantan Selatan (1925-2007),
Banjarmasin, Antasari Press, 2011.
By SAHRIANSYAH
B. Wahidah Arsyad
Dra. Hj. Wahidah Arsyad (1942-2006). Qari’ah yang satu ini
sehari-harinya dipanggil Ibu Wahidah Arsyad, sebuah nama yang cukup
kental bagi warga  Kalimantan Selatan. Sedangkal embel-embel
Arsyad di belakang namanya yaitu nama suaminya H.M. Arsyad.
Wahidah Arsyad mulai menggeluti seni baca al-Qur’an di era tahun
70-an, namanya melejit sebagai qari’ah terbaik III pada MTQ Nasional
I di Makasar (1968) dan sebagai qari’ah jemputan MTQ Internasional
di Kuala Lumpur Malaysia. Lebih lagi saat  ia meraih terbaik I
golongan dewasa pada MTQ nasional keempat (1971) di Medan
Sumatera Utara. Atas keberhasilannya itu ia memperoleh sejumlah piala
di antaranya berbentuk ‘masjid dari emas’ yang langsung diberikan
Presiden Republik Indonesia, menyusul sejumlah piagam penghargaan.
Dan yang tak bisa dilupakannya yaitu setelah meraih juara I di Medan
diberikan bonus menunaikan ibadah haji bersama suami tercintanya,
yang biayanya sepenuhnya ditanggung pihak pemerintah.
Salah satu guru yang mengajari tajwid dan tilawah kepada Dra.
Hj. Wahidah Arsyad yaitu KH. Muhammaad Rafi’ie. KH.
Muhammaad Rafi’ie yaitu  rujukan belajar para qari dan qariah
di Kalimantan Selatan saat itu. KH. Muhammaad Rafi’ie yaitu tokoh
pejuang dan ulama ini, tetap meneruskan perjungannya mengisi
kemerdekaan melalui kegiatan ormas Islam. Ia sempat mempelopori
pembangunan empat buah Masjid dan empat buah Madrasah di Kambat
SelatanMenurut penuturan anak bungsunya (Ferzanna SE) yang sekarang
PNS di Kantor Badan Pengawas Kabupaten Banjar Martapura dan
sesuai yang disebutkan dalam Buku Apa dan Siapa Bumi Murakata
bahwa Wahidah Arsyad lahir di Malaka (Malaysia) pada tanggal 17
Juni 1942. Meskipun menurut adik kandungnya (H. Aswan Bustami)
ia dilahirkan di Barabai, saat  ia masi kecil dibawa merantau ke Malaka
(Malaysia) dan dibesarkan beberapa tahun di sana. Wahidah Arsyad
anak pertama dari dua bersaudara pasangan H. Bustami Ahmad (alm)
dengan Siti Salhah (alm). Saudaranya yaitu H. Aswan Bustami yang
kini masih tinggal di Barabai di Jl. Simpang Gang Kesturi Rt 8 Rw 2
Kecamatan Barabai Kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Wanita yang murah senyum dan berpenampilan sederhana ini
berlatar-belakang pendidikan Sekolah Rakyat Negeri (SDN), lalu
memasuki Madarasah Mualimin Barabai selanjutnya kuliah di Fakultas
Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin hingga meraih gelar sarjana (S1/
Dra). Pendidikan non formalnya, sejak kecil mempelajari seni baca al￾Qur’an dengan orang tuanya sendiri, H. Bustami Ahmad, qari dan guru
seni baca al-Qur’an terkenal di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Dari perkawinannya dengan H.M Arsyad (w.1985) telah dikaruniai
5 orang anak masing-masing Wahyuni, Zain Hakim sekarang bekerja
sebagai PNS di Klinik Banjarbaru, Miftahurrizki bekerja di Perusahaan
Kelapa Sawit, M. Sadik SE bekerja sebagai PNS Bappeda, dan
Ferzanna SE PNS di Badan Pengawas Kabupaten Banjar.
Kemahiran di bidang seni baca al-Qur’an dengan suara merdu
dan khas yang dimilikinya mulai populer setelah meraih Juara III MTQ
Nasional I di Makassar, membuat warga  Kalimantan Selatan
kagum terhadapnya. Apalagi siaran RRI yang selalu direlay warga 
setiap waktu saat  itu hanya di RRI Makassar. sebab  dalam berbagai
kesempatan orang ingin bertemu dengannya. Salah satu caranya
mengundangnya untuk membaca ayat suci al-Qur’an pada acara
tertentu, seperti pada peringatan hari besar Islam, pada kegiatan Pekan
Amal dan lain-lain. ini  sebagaimana yang dilakukan warga 
Kecamatan Kelua Tabalong. Sejak sore warga  berbondong datang
ke tempat acara, selain menghadiri Pekan Amal, yang terpenting lagi
mau melihat dari dekat dan mendengar suara emas Wahidah Arsyad. Ia
juga sering diunndang keberbagai daerah yaitu setelah terpilih menjadi
qariah terbaik III di Makassar ini .Setahun silam saat dilaksanakannya Seleksi Tilawah Alquran

(STA) tingkat provinsi di Kandangan, saya (Prof. Dr. Kamrani Buseri)

diminta menyampaikan makalah pada pertemuan pengurus LPTQ.

Salah seorang peserta bertanya, mengapa Kalimantan Selatan akhir￾akhir ini pada MTQ Nasional posisinya selalu kurang

menggembirakan? Memang hasil MTQ Nasional pada tahun 70-80 an

sangat menggembirakan. Qari dan qariah Kalsel menghiasi lembaran

kejuaraan seperti Alm Hj Wahidah Arsyad, Gazali Rahman, dan Zahri

Fadhli. Bahkan, Syamsuri Arsyad yang suara merdu masuk rekaman

piringan hitam dan beredar luas di negara ini.

Atas pertanyaan peserta seminar ini , spontan saya

memberikan komentar, sebab  kita saat ini seringkali kurang menaati

teori dan ajaran. Terhadap jalannya MTQ atau STQ, ada komentar

pinggiran yang menyatakan bahwa penilaian kejuaraan telah dimasuki

unsur subjektivitas dan ketidakadilan. Kesan ini  muncul sebab 

setiap daerah yang menjadi tuan rumah selalu menjadi juara umum,

walaupun hal itu bukan terlarang.

Dari segi teori, kualitas apapun akan bisa diraih bila ditangani

secara objektif. Sementara menurut ajaran bahwa kualitas bisa dicapai

bilamana ditangani secara adil, atau tidak dilakukan dengan pilih kasih

bahkan kezaliman. Objektif dalam musabaqah artinya akan memilih

apa adanya bukan rekayasa, atau bukan atas kecenderungan perorangan/

subjektif. Sementara adil yaitu menghindari pilih kasih dan

mengabaikan pesan-pesan sponsor dan menjauhkan kecurangan￾kecurangan.

Allah menegaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah

kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi sebab 

Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum

kerabatmu. Islam sangat menghargai kualitas dan membenci kezaliman

atau ketidakadilan, juga penghianatan. Justru ketidakadilan dan

penghianatan akan merendahkan kualitas.

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari

suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka

dengan cara yang Jujur Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang￾orang yang berkhianat” (Alquran: Al-Anfaal:58).Dalam penilaian, baik perhakiman dan evaluasi hasil belajar

bilamana ada rekayasa dan berlaku curang, maka akan memperoleh

kecelakaan besar, yakni rusaknya kualitas, dan kualitas itulah yang

menjadi modal dalam persaingan ke depan di berbagai kehidupan.

Kemampuannya berprestasi di bidang seni baca al-Qur’an ini di

samping kerajinan dan keuletan belajar dan berlatih, juga sebab 

mendapat bimbingan dari guru mengajinya sejak kecil yaitu orang

tuanya (H. Bustami Ahmad) qari dan tuan guru qur’an terkenal di

Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kalimantan Selatan. Jadi

kemahiran seni baca al-Qur’an bapaknya diwariskannya kepada

anaknya Wahidah, ibarat pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.

Untuk mensosialisakan kemahirannya dibidang seni baca al￾Qur’an ini, Wahidah Arsyad memberi kesempatan kepada warga 

yang berminat untuk belajar di rumahnya Jl. Merpati No. 2 A Banjarbaru

IV. Pembelajaran ini hanya berjalan beberapa tahun dan tidak bertahan

lama, sebab  kesibukannya dalam berbagai orgsnisasi sosial keagamaan

dan kewarga an. Meskipun demikian apa yang dilakukannya cukup

memotivasi warga , terutama untuk warga  Banjarbaru dan

sekitarnya. Termasuk beberapa daerah lain di hulu sungai, seperti di

Barabai, di Tapin Rantau dan di Kandangan. Menurut penuturan anak

bungsunya. (Ferzanna SE), ibunya pernah diundang ceramah di

Bandung Jawa Barat, terkait ini  maka tidak salah Pengurus Partai

Golkar Kalimantan Selatan mengamanahinya sebagai salah seorang

pengurus pengajian Al-Hidayah, sebuah organisasi sosial keagamaan

yang bergerak dibidang dakwah di bawah naungan Golongan Karya.

Itu pula sebabnya setiap kali ada pengajian Al-Hidayah, mesti ada yang

namanya Dra. Hj. Wahidah Arsyad.

Di samping itu ia juga salah seorang Pengurus Golkar Kalimantan

Selatan dan terlibat banyak dalam kepengurusan LPTQ dan IPQAH

Kalimantan Selatan. Tercatat sebagai Penyuluh Agama Honorer (PAH)

pada Kantor Wilayah Departemen Agama Kalimantan Selatan bersama

tokoh agama Banjarbaru lainnya, di antaranya KH. Mukhyar Usman,

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banjarbaru sekaligus salah

seorang Pengurus MUI Kalimantan Selatan.

Di luar dugaan, kalau Hj. Wahidah Arsyad juga berbakat di bidang

politik, profesi di bidang ini dimulainya sejak tahun 1977

mengantarkannya menjadi anggota DPRD Kabupaten Banjar, mewakiliGolkar. Sempat dua periode menjadi wakil rakyat di lembaga terhormat

ini. Karier politiknya terus meningkat dan berhasil menjadi anggota

DPRD Provinsi Kalimantan Selatan hingga tahun 1977 selama lebih

kurang 19 tahun ia menggeluti tugas sebagai wakil rakyat. Dalam

posisinya sebagai wakil rakyat itu, Wahidah Arsyad bersama anggota

DPRD lainnya sempat melakukan kunjungan ke negeri, ke Thailand

pada tahun 1977.

Meskipun kegiatannya berjibun, menurut penilaian anaknya, ia

tidak pernah mengabaikan suami dan urusan rumah-tangga, termasuk

menata 5 anak yang disayanginya. sebab  itu bagi anak-anaknya,

ibunya yaitu figur ibu teladan yang penyabar. Dan setelah suaminya

meninggal (1985) sebab  menderita penyakit liver ia tidak mau lagi

berkeluarga.

Setelah sekian lama menderita komplikasi berbagai penyakit

terutama diabetes, wanita kebanggaan warga  Kalimantan Selatan

ini meninggal dunia pada tanggal 11 Februari 2006/02 Muharram 1427

H. Dalam usia 64 tahun. Dimakamkan di Pemakaman Umum Guntung

Lua Banjarbaru. Sepeninggalannya, ada satu anaknya yang tetap

menempati kediamannya, sementara yang lain sudah memiliki rumah

sendiri. Semogalah almarhumah yang pernah berprestasi gemilang

mengharumkan nama baik daerah ini mendapat tempat yang layak di

sisi Allah sesuai perjuangan yang dilakukannya, amin. []

Referensi

Kamrani Buseri,” Taat Teori dan Agama yang Terabaikan”, diakses tanggal 7

Nopember 2014.

Makkie, dkk., Ulama Kalimantan Selatan Dari Masa Kemasa, Banjarmasin, MUI

Kalimantan Selatan, 2010.

Murjani Sani, M. Gazali, dan M. Abduh Amrie, Qari dan Qariah Kalimantan

Selatan yang Berprestasi di Tingkat Nasional dan Internasional, Banjarmasin: IAIN

Antasari Press, 2013.










Riwayat Hidup Syekh Muhammad Zaini Ghani
Muhammad Zaini Ghani yang lazimnya dipanggil dengan sebutan
Guru Ijai atau Abah Guru yaitu termasuk seorang ulama kharismatik
yang ada di Kalimantan Selatan dan beliau yaitu  keturunan dari
Syekh Muhammad Arsyad Al-Bajari.
Guru Ijai yaitu  salah seorang keturunan anak cucu dari Syekh
Muhammad Arsyad Al-Bajari. Nama lengkap beliau yaitu Kiyai Haji
Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Abdul Ghani bin H. Abdullah bin
Mufti H. Muhammad Khalid bin Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ibu beliau bernama Hj. Masliah binti
H. Mulya. Beliaau dilahirkan pada malam Rabu 27 Muharram 1361 H
atau bertepatan dengan 11 Pebruari 1942 M di Martapura.Sejak kecilnya Guru Ijai dididik oleh kedua orang tuanya dan
neneknya yang bernama Salbiyah. Di masa itu beliau sudah mulai
ditanamkan pendidikan tauhid, akhlak dan membaca Al-Qur’an.
Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan
ekonomi yang lemah. Namun mereka selalu memperhatikan untuk
membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka
membaca al-Qur’an. Sehingga setiap malam Guru Ijai selalu membawa
bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada
Guru Hasan Keraton yang mengajar al-Qur’an (Abu Daudi, 2003 :
241).
Pada usia lebih kurang 7 tahun beliau sudah mulai belajar di
Madrasah Darussalam Kampung Keraton Martapura sampai usia lebih
kurang 9 tahun. Kemudian beliau melanjutkan studi ke Madrasah
Darussalam Pesayangan Martapura, hingga sampai tamat yang lamanya
kurang lebih 20 tahun. Di samping memperoleh pengetahuan agama
di madrasah ini , beliau juga pergi ke Bangil Jawa Timur untuk
menuntut ilmu di sana. Sekambalinya dari Bangil beliau langsung
diangkat menjadi guru di pondok pesantren Darussalam Martapura
sekitar 5 tahun lamanya dan beliau juga mengajar di rumah untuk para
santri (Isa Anshari, 1998 : 31-32).
Adapun guru-guru Syekh Muhammad Zaini Ghani selagi di
Ibtidaiyah yaitu Guru Abd. Mu’az, Sulaiman, Muhmmad Zein, H.
Abd. Hamid Husin, H Mahalli,H. Rafi’I, Syahran, H. Husin Dakhlan,dan H. Salman Yusuf. Sedangkan guru-guru beliau di Tsanawiyah
yaitu Tuan Guru H. Sya’rani ‘Arif, H. Husin Qadri, H. Salim Ma’ruf,
H. Seman Mulya dan H. Salman Jalil. Kemudian, guru-guru beliau di
bidang tajwid yaitu H. Sya’rani ‘Arif, Al-hafizh H. Nashrun Thahir
dan H. Aini Kandangan. Guru khusus beliau yaitu H. Muhammad
Syarwani Abdan dan Syekh Said Muhammad Amin Kutby.
H. M. Syarwani Abdan
Selanjutnya, guru pertama beliau di bidang Ruhani yaitu al-
‘allamah Ali Junaidi Berau dan al’allamah H. Muhammad Syarwani
Abdan. Kemudian H.Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan
kepada Kiayi Falak, dan Kiayi Falak menyerahkan kepada Syekh
Muhammad Amin Kutby, kemudian beliau menyerakan kepada Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari yang selanjutnya langsung dipimpin oleh
Rasulullah saw
Atas petunjuk al-‘allamah Ali Junaidi Berau, beliau dianjurkan
untuk belajar kepada H. Muhammad Gadung Rantau bin H. Salman
Farisi bin H. Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari mengenai Nur Muhammad. Sedangkan sanad-sanad
dalam berbagai bidang ilmu dan thariqat beliau terima dari Kiayi Falak
(Bogor), Syekh Muhamad Yasin Padang (Mekkah), Syekh Hasan
Masysyath, Syekh Ismail Yamani dan Syekh abd. Kadir al-Baar (Abu
Daudi, 2003 : 242-243).
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, K.H. Muhammad Zaini Ghani
sudah mendapat khsususiat dan anugerah dari Allah swt berupa
kasyaf Hissi, yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di balik tabir.
Pada usia itu beliau didatangi oleh seorang bekas pemberontak yang
sangat ditakuti atas kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang
ini  mengejutkan keluarga beliau. Akan tetapi, laki-laki ini 
saat  melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta dia
minta dibimbing dan ditaubatkan.
Mendengar hal demikian, beliau langsung masuk dan
memberitahukan masalah orang ini  kepada ayah dan keluarganya
di dalam rumah. Namun, sepeninggalan beliau masuk rumah orang
ini  tertidur pulas.
Setelah dia terbangun dari tidurnya, maka iapun diberi makan dan
saat  tamu makan beliau menemui ayahnya dan menerangkan maksud
dan tujuan kedatangan tamu ini . Maka kata ayah beliau apa saja
ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan, beliau menanyakan kepada
tamu ini  sebagaimana maksud ayahnya, dan jawabanya langsung
disampaikan kepada ayah beliau. Kemudian ayah beliau meminta untuk
bertanya lagi dan berulang kali ditanyakan apa lagi ilmu yang ia miliki,
maka pada akhirnya saat  beliau hendak menyampaikan kepada tamu
ini . Maka tamu ini  saat  melihat beliau mendekat kepadanya
langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong
ditaubatkan dengan harapan Allah swt mengampuni dosa-dosanya (Abu
Daudi, 2003 : 243-244).
B. Pemikiran
Pemikiran keagamaan K.H. M. Zaini Ghani dimaksud di sini
meliputi enam hal, yaitu : Kehidupan duniawi, bekerja, modal usaha,
persoalan bank, masalah zakat dan masalah kemiskinan.
a. Kehidupan Duniawi
K.H. M. Zaini Ghani mengatakan bahwa untuk hidup damai dan
sejahtera lahir dan batin harus diberlakukan hukum Islam. Ada dua
pendapat yang dikemukan K.H. M. Zaini Ghani berkaitan dengan
kehidupan duniawi, yaitu :
1. Kalau hendak mendapat ketenangan hidup di dunia ini, maka jangan
berhutang sebab  nantinya hidup akan terikat dengan hutang yang
berkepenjangan. ini  akan mengganggu ketenangan hidup dan
yang lebih rugi lagi akan mengganggu beribadah kepada Allah swt.
Setelah bisa hidup tanpa hutang, seorang muslim harus berusaha
agar mempunyai kelebihan dalam hidup. Kelebihan ini  dipakai 
untuk membantu orang lain yang memerlukan. Dengan cara itu, berarti
orang ini  telah melakukan perintah jihad, sebab jihad menurut
Guru Ijai terlebih dahulu dengan harta baru diikuti dengan jiwa.(Abdurrahman Jaferi, 2000 : 27-28). Dalam ini  beliau menyebutkan
ayat al Qur’an yang berkaitan jihad, antara lain surat at-Taubah ayat
20 dan 42.
2. Seorang Muslim boleh saja memiliki dan memakai  atau
memanfaatkan fasilitas kemewahan dunia, selama hal itu tidak
menjadikan dinding atau penghalang antara dirinya dengan Allah
swt.
Fasilitas duniawi yang dimiliki harus dipakai  sebagai alat
pendukung dalam melakukan ibadah kepada Allah swt.Sebagai
ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah swt
kepadanya. Bersyukur tidak cukup hanya dengan ucapan saja,
melainkan harus diamalkan dalam bentuk perbuatan atau ibadah.
Pengertian diatas yaitu pengertian konsep zuhud dalam
kehidupan dunia menurut K.H. M. Zaini Ghani. Zuhud tidak dipahami
dengan meninggalkan fasilitas duniawi, tetapi memakai  fasilitas
duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
b. Bekerja
Pemikiran K.H. M. Zaini Ghani tentang bekerja meliputi beberapa
hal sebagai berkut :
1. Pekerjaan
Pemikiran tentang sesuatu pekerjaan yang baik dikaitkan dengan
ada atau tidak adanya unsur riba. Beliau mengatakan bahwa pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan, apa saja jenisnya asal bersih dari riba.
Pada saat berbicara tentang hadis Nabi Muhammad saw dikatakan
bahwa pekerjaan bertani dalah lebih utama, muia dan afdal, tetapi pada
pembicaraan lain beiau lebih menekankan pekerjaan berdagang lebih
diutamakan. Dalam praktik keseharian tampaknya beliau lebih banyak
menyerahkan modal uang kepada para pedagang dan pengusaha
dibandingkan  usaha bertani.
2. Cara bekerja
Secara umum K.H. M. Zaini Ghani mengatakan bahwa seseorang
yang bekerja pada profesi apa saja harus mentaati aturan agama antara
lain harus jujur dalam segala hal sehingga tidak ada pihak lain yang
dirugikan. Beliau juga menyebutkan contoh jujur dalam timbangan,
takaran dan ukuran.Secara khusus ada lima prinsip yang harus diperhatikan dalam
bekerja, yaitu :
2.a. Dalam berusaha atau bekerja jangan sekali-kali menerima atau
membayar bunga dalam bentuk apapun.
2.b. Kalau berusaha atau bekerja berkungsi (modal patungan) dan
mendapat keuntungan, maka pembagian keuntungan lebih baik
mengalah 1% (49 % kita terima dan 51 % diserahkan kepada teman
bekerja) dibandingkan  dibagi sama (50% : 50%).
2.c. Kalau bekerja sebagai penjual jasa (penghubung) antara penjual
dengan pembeli sesuatu barang, maka jangan mengambil keuntungan
dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Keuntungan diambil
dari enjual barang.
2.d. Dalam bekerja sehari-hari jangan merobing yaitu menjualkan
belikan pakaian yang sudah dipakai sendiri.
2.e. Kalau bekerja sebagai pedagang harus punya barang sendiri
walaupun hanya satu potong. Maksudnya berdagang harus
mempunyai modal sendiri walaupun sedikit. ini  terkait dengan
prinsip bahwa hidup jangan punya utang.
3. Waktu Berusaha atau Bekerja
Berkaitan dengan waktu bekerja K.H. M. Zaini Ghani mengemukakan
beberapa hal, yaitu :
3.a. Apabila waktu bekerja dilihat pada adanya siang dan malam, maka
bekerja hendaknya pada siang hari saja. sebab  waktu malam hari
hendaknya dipakai  untuk beristirahat dan beribadah (qiyamul
lail dan munajat) ke hadirat Allah swt.
3.b. Apabila dilihat pada rentang waktu satu tahun (12 bulan) maka
hendaknya waktu bekerja hanya 11 bulan. Satu bulan yaitu bulan
ramadhan dikhususkan untuk beribadah meningkatkan keimanan
dan ketakwaan secara khusus kepada Allah swt.
3.c. Apabila dilihat dari sisi kemungkinan lama usia hidup (yang
dijadikan patokan yaitu usia ghalib atau sesuai dengan umur Nabi
Muhammad saw. Yaitu 63 tahun). Maka seorang muslim dituntut
harus bekerja sampai dia mempunyai harta atau tabungan yang
diperhitungkan cukup untuk keperluan hidup dirinya sendiri dan
semua orang yang menjadi tanggungjawabnya sampai dengan usiaghalib. Beliau berkomentar bahwa seseorang muslim harus bekerja
dengan sungguh-sungguh tidak boleh malas apalagi menganggur.
3.d. Apabila dilihat dari sisi ada waktu yang dibolehkan atau waktu
dilarang bekerja, maka seorang muslim “kada baik” atau dilarang
bekerja pada waktu di mana orang harus melaksanakan kewajiban
individual (fardhu ‘ain) seperti waktu shalat Jum’at, waktu shalat
Idul Fithri dan Idul Adha.
4. Tujuan Bekerja
K.H. M. Zaini Ghani mengatakan bahwa tujuan bekerja
yaitu untuk mendapatkan hasil yang dapat dipakai  untuk
memenuhi keperluan diri sendiri dan semua orang yang
menjadi tanggungjawabnya seperti isteri dan anak-anaknya.
Semua itu dilakukan sebab  memenuhi perintah Allah swt.
5. Penggunaan Hasil Usaha
Seseorang yag mau berusaha dan bekerja dengan
sungguh-sungguh diiringi dengan do’a dan tawakkal kepada
Allah swt. Insya Allah akan mendapat hasil. Ungkapan
ini  sering dilontarkan K.H. M. Zaini Ghani pada saat
memberikan pengajian agama di Komplek Sekumpul
Martapura.
Berkenaan dengan penggunaan hasil usaha K.H. M. Zaini
Ghani mempunyai pemikiran bahwa setiap mendapatkan
hasil berusaha, maka hendaklah dibagi tiga yaitu sepetiga
(33,3 %) dipergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari,
sepertiga (33,3%) diinfakkan untuk keperluan orang lain
(istilah beliau jihad harta) dan sepertiga (33.3%) lainnya
ditabung untuk bekal masa depan atau menambah modal
berusaha. (Abdurrahman Jaferi, 2000 : 30-35).
c. Modal Berusaha atau Bekerja
Semua jenis usaha atau pekerjaan sudah barang tentu diperlukan
modal. Dalam kenyataan hidup keseharian seseorang mungkin saja
tidak dapat berusaha sebab  tidak punya modal, seperti petani yang
tidak punya modal untuk membeli bibit tanaman, pupuk dan lainnya,
seorang tukang bangunan ang tidak punya alat pertukangan. Begitujuga seorang pedagang yang punya modal terbatas tentu sulit untuk
bisa beusaha dengan baik.
Sebagai jalan pemecahan dari permasalahan di atas K.H. M. Zaini
Ghani mengemukakan tinjauan dari dua belah pihak atau dua kelompok
manusia itu sendiri, yaitu :
1. Kelompok orang kaya (pemilik modal)
Bagi orang kaya diharuskan bekerja sama dengan orang lain yang
mau berusaha tetapi tidak punya modal. Dalam ini  ada dua cara
yang harus ditempuh, yaitu :
1.a. Kalau kita memberikan modal dengan seseorang dengan jumlah
modal sama banyaknya dengan modal yang dimilikinya dan kita
tidak mengerjakan usaha ini . Maka jika mendapat
keuntungan harus dibagi dengan cara bagi dua, seperdua (50 %)
diserahkan kepada teman berpatungan yang melakukan usaha
dan seperdua lainnya (50%) dibagi dua dengan : 24 % diterima
oleh pihak yang menanam modal tapi tidak ikut berusaha dan 26
% diterima oleh teman yang mengerjakan usaha. Jika dalam
kegiatan usaha mengalami kerugian, maka beban kerugian
ditanggung bersama. Namun, besar kerugian lebih besar
dibebankan kepada pemilik modal dan tidak ikut mengerjakan
usaha dengan prosentasi disepakati bersama.
1.b. Kalau seseorang pemilik modal menanam modal (100 %) kepada
seseorang yang mau berusaha tapi tidak punya modal. Maka jika
mendapat keuntungan harus dibagi dua, 50 % bagi pemilik modal
dan 50 % bagi yang melakukan usaha. Sebaliknya, jika
mengalami kerugian maka semua kerugian hanya ditanggung
pemilik modal, sebab orang yang menjalankan usaha juga
mengalami kerugian tenaga dan pikiran.
2. Kelompok orang lemah (tidak punya modal)
Orang yang tidak punya modal atau kekurangan modal untuk
berusaha dibolehkan berutang yang tidak ada bunga. Berusaha
dengan modal berhutang dibenarkan hanya pada batas waktu
tertentu bukan selamanya. Kalau selalu terikat dengan utang maka
hidup tidak akan tenang dan berakibat mengganggu untuk
beribadah kepada Allah swt. 
Persoalan Bank
Salah satu prinsip pemikiran K.H. M. Zaini Ghani yang berkaitan
dengan bank yaitu “jangan membayar bunga atau menerima bunga,
jangan membayar rinten atau menerima rinten”. Setiap orang yang
bekerjasama dengan bank (meminjam atau menyimpan uang) akan
terkait dengan bunga bank. Bunga bank berapapun jumlahnya tetap
tidak boleh (haram). Dengan berdasarkan pada prinsip di atas beliau
berpendapat bahwa simpan pinjam di bank yaitu suatu per￾buatan maksiat, sebab  itu harus dijauhi.
Berkenaan keharusan menabung 33,3 % dari hasil usaha. Menurut
beliau hendaklah dilakukan sendiri di rumah, sebab  untuk memenuhi
keperluan masa akan datang, baik keperluan diri sendiri maupun or￾ang yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam praktik keseharian K.H.
M. Zaini Ghani memang menabung di rumah sendiri dalam bentuk
uang rupiah, dolar Amerika dan berbentuk emas.
K.H. M. Zaini Ghani sependapat dan setuju jika syari’at Islam
diterapkan di seluruh Indonesia. ini  sering terlontar dalam berbagai
kesempatan, secara khusus termuat dalam Tabloid Jum’at Serambi
Ummah N0. 012/Th. I tanggal 21-27 Januari 2000.
Bertitik tolak dari pemikiran ini , beliau sependapat dan setuju
didirikan Bank Syari’ah, yaitu bank yang bergerak dan operasionalnya
berdasar dan sesuai dengan hukum Islam. Beliau juga mendukung
didirikan baitul mal. (Abdurrahman Jaferi, 2000 : 37-38).
e. Masalah Zakat
Dari hasil wawancara dan beberapa ceramah ang disampaikan K.H.
M. Zaini Ghani berkaitan dengan zakat secara umum dapat dikemukan
sebagai berikut :
1.Pelaksanaan kewajiban membayar zakat dengan cara hilah
sebagaimna yang lazim dilakukan oleh sebagian besar muslim Banjar
yang berzakat hukumnya boleh. ini  dilakukan untuk meyakinkan
hati yang berzakat terhadap orang yang berhak menerima zakat,
sebab zakat tidak boleh diberikan kepada seseorang yang fasiq meski
dia berhak menerima zakat. Setelah sejumlah zakat diterima tidak
boleh dikembalikan kepada orang yang mengeluarkan zakat, akantetapi sipenerima mendapat amanah untuk menerusan kepada para
penerima zakat yang dibenarkan dalam Islam.
2. Pengelolaan zakat bisa saja dilakukan oleh sebuah organisasi dengan
syarat semua yang terlibat di dalamnya benar-benar dapat dipercaya
(amanah) agar tidak ada penyalahgunaan dari hasil pengumpulan
zakat.
3. Pemberdayaan zakat harus diusahakan, sebab  praktik zakat yang
berlaku secara tradisional di kalangan warga  belum mampu
merubah kondisi kemiskinan para penerima zakat. Salah satu fungsi
zakat yaitu mengurangi kemiskinan. Salah satu usaha untu menuju
ke arah itu praktik zakat harus dikembangkan dari yang bersifat
konsumtif kepada modal usaha yang produktif sehingga secara
bertahap dapat merubah kondisi kemiskinan menjadi kondisi yang
berkemampuan dan seterusnya menjadi orang-orang yang mampu
membayar zakat. (Abdurrahman Jaferi, 2000 :38-40).
f.Masalah kemiskinan
Beberapa pemikiran tentang kemiskinan dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Keberadaan orang-orang miskin dari zaman ke zaman memang
selalu ada, sebab  yaitu  bagian dari roda kehidupan manusia.
2. Usaha mengentaskan kemiskinan dilakukan dengan cara :
a. Membina dan memantapkan keimanan dan ketakwaan pada
fuqara dan masakin (fakir dan miskin). ini  dilakukan agar
mereka tidak menggantungkan diri dengan sesama manusia tetapi
selalu dekat dengan Allah swt. Yang Maha Menentukan
kehidupan manusia. ini  yaitu tugas dan tanggung jawab
para ulama.
b. Mengembangkan dan memaksimalkan fungsi zakat. Ada satu
ungkapan yang pernah dikemukakan oleh K.H. M. Zaini Ghani
“Jika orang-orang kaya (mereka yang wajib membayar zakat)
menunaikan kewajiban membayar zakat niscaya orang-orang
miskin semakin berkurang”. Maksudnya bahwa para hartawan
mempunyai kewajiban dalam mengentaskan kemiskinan dengan
membayar zakat melalui cara merubah dari yang bersifat
konsumtif kepada yang bersifat produktif.c. Harus ada kerja sama antara ulama, para hartawan dan
pemerintah. Para ulama melakukan pengentasan kemiskinan
rohani (moral spritual) para hartawan melakukan pengentasan
materi dan memberi bantuan modal usaha dan pemerintah bantuan
bimbingan teknis pengelolaan usaha (Abdurrahman Jaferi, 2000
:40-41).
D. Keutamaan Perilaku Syekh Muhammad Zaini
Ghani
Di antara sifat terpuji yang menonjol pada diri pribadi beliau adalah
sabar, ridha, kitmanul mashaib (pandai menyembunyikan penderitaan),
sopan santun, lemah lambut, kasih sayang, ramah tamah, suka homur,
tidak pemarah, sangat murah (dermawan), sehingga beliau dikasihi dan
disayangi oleh segenap lapisan warga , sahabat, dan murid-murid
beliau. (Abu Daudi, 2003 : 244-245)
Kalau ada orang yang tidak senang terhadap aktivitas pengajian
agama yang beliau lakukan dengan berbagai kritikan dan hasutan,
beliaupun tidak pernah membalas. Beliau hanya diam dan tidak ada
reaksi, sebab  beliau anggap mereka belum mengerti, bahkan tidak
mengetahui dan tidak mau bertanya (Abu Daudi, 2003 : 245).
Beliau yaitu orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad dan
benar-benar mencerminkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an,
misalnya beliau akan menghadiri majelis yang sifat da’wah Islamiyah,
maka sebelum beliau pergi ke tempat ini  dan beliau lebih dahulu
menginfakan harta untuk pelaksanaan kegiatan ini . Jadi, beliau
berjihad dengan harta lebih dahulu dan dengan anggota badan. Dengan
demikian, beliau benar-benar mengamalkan isi al-Qur’an ;
Artinya : “Dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah (at-Taubah : 41)”.
Jelasnya, beliau tegas melaksanakan jihad yakni menegakkan
kebenaran, menghapus segala bentuk kemunkaran. Beliau selalu netral
terhadap partai politik. Hidup tidak mempunyai beban utang apapun.
Tidak punya musuh. Tidak mengeluh dan putus asa. Hidup selalu
optimis dan penuh tawakkal kepada Allah swt. (Abdurrahan Jaferi, 1998
: 26).Menurut hemat penulis keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani
terbagi atas tiga macam, yaitu keutamaan dari bakat alamiah, aspek
amaliah dan aspek batin. Di bawah ini dicoba diulas secara sederhana
tentang ketiga aspek keutamaan beliau, sebagai berikut :
2. Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam
aspek bakat alamiah.
Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam aspek bakat
alamiah terbagi atas empat macam, yaitu :
a. Syekh Muhammad Zaini Ghani diberi Allah ingatan yang kuat
dengan begitu beliau hafal al-Qur’an dan tafsir Lil Imamain al
Jalalain. (Abu Daudi, 2003: 245). Sehingga materi pengajian
yang beliau berikan sudah menjadi pengetahuan pribadi dan ada
di dalam pemikirannya. Oleh sebab  itu, materi pengajian yang
beliau sampaikan di pengajian Sekumpul Martapura cukup
memuaskan dan menarik bagi ribuan jamaah untuk selalu
mengikutinya.
b. Syekh Muhammad Zaini Ghani diberi Allah suara yang merdu.
ini  bisa didengar saat  beliau membaca al-Qur’an atau syair
Maulid al-Habsyi dengan suara yang sangat merdu dan memukau
sehingga setiap orang yang mendengarnya akan merasa takjub
dn terpesona dengan keindahan suara Syekh Muhammad Zaini
Ghani.
c. Syekh Muhammad Zaini Ghani diberi Allah wajah tampan, postur
tubuh yang ideal dan kulit yang putih, sehingga penampilan beliau
sangat menarik lagi meyakinkan, berwibawa tetapi lemah lambut
penuh kasih sayang. Oleh sebab  itu, setiap orang yang
memandang beliau selalu terpesona. Jadi sangat wajar bila banyak
wanita yang jatuh cinta kepada Syekh Muhammad Zaini Ghani,
tetapi beliau tetap istiqamah dengan sunnah Rasulullah saw
dengaan punya isteri sebanyak empat orang. Perlu diketahui,
banyak wanita yang siap menjadi pendamping hidup Syekh
Muhammad Zaini Ghani dengan taat dan setia. Di sisi lain yang
perlu dicamkan bagi para pembaca, bahwa Syekh Muhammad
Zaini Ghani walapun punya isteri empat orang tetapi beliau bisa
berlaku adil terhadap semua isteri beliau.
d. Syekh Muhammad Zaini Ghani diberi Allah swt stamina atau
daya tahan tubuh yang kuat. Semasa hidup beliau tidak pernah
sakit yang berarti, kecuali di penghujung usianya beliau baru
jatuh sakit. Kita bisa buktikan kesehatan Syekh Muhammad Zaini
Ghani dan aktivitas beliau yang sangat banyak, beliau setiap hari
berjam-jam mengamalkan ajaran Islam baik yang wajib maupun
amalan sunnah lainnya, dan ditambah lagi kegiatan beliau yangsetiap hari mengisi pengajian agama Islam dan aktivitas
keagamaan lainnya di Mushalla Ar-Raudhah Sekumpul
Martapura. Namun, beliau tetap segar bugar dan selalu dengan
ramah menyambut tamu yang datang ke Sekumpul, baik dalam
acara pengajian rutin maupun di luar pengajian. Bahkan setiap
tamu yang datang selalu disuguhi makanan dan minuman yang
yaitu  ciri khas kepribadian beliau yang selalu dermawan
kepada setiap orang.
2. Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam
aspek amaliah.
Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam aspek amaliah
terbagi atas :
a.Selalu Khatam Membaca al-Qur’an
Syekh Muhammad Zaini Ghani setiap dua minggu sekali
mengkhatamkan membaca Al-Qur’an. Artinya beliau setiap hari harus
membaca al-Qur’an s
ebanyak dua juz. Oleh sebab  itu, beliau sudah
mengamalkan secara menyeluruh, yaitu mulai tahap membaca,
menguasai dan menghafal isi al-Qur’an dan tafsirnya sudah beliau
realisasikan pada setiap hari.
Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an sebagai sumber pokok
ajaran Islam, mengandung ajaran yang universal. Ajaran ini  tidak
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya serta dengan
lingkungannya. Oleh sebab  itu, al-Qur’an harus dibaca, dipelajari,
dipahami dan diamalkan segala isinya.
Sebagaiman firman Allah swt di dalamal-Qur’an ;
Artinya : “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-Qur’an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (Q.S.
al-Qamar : 17).
Di samping itu, kita diperintahkan untuk menyampaikan atau
mengajarkan al Qur’an ini  kepada orang lain. ini  sesuai dengan
sabda Nabi Muhammad saw yang artinya : “Dari Usman bin Affan r.a.
berkata : Rasulullah saw : Sebaik-baik kamu yaitu orang yang
mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhari).Ayat al-Qur’an dan hadis ini  di atas, menunjukkan bahwa
mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an yaitu suatu kewajiban setiap
orang Islam. ini  sudah diamalkan Syekh Muhammad Zaini Ghani
semasa hidup beliau kurang lebih enam puluh tiga tahun beliau isi
dengan mengajarkan al-Qur’an kepada ummat Islam yang ada di
Kalimantan Selatan.
b.Shalat Tahajud
Syekh Muhammad Zaini Ghani selalu melaksanakan shalat
tahajjud dan bermunajat kepada Allah Swt di setiap penghujung malam.
saat  orang lain asyik dengan impian tidur yang pulas, namun beliau
selalu berusaha secara keras untuk melakukan shalat tahajud. Dalam
sejarah kehidupan nabi Muhammad, saw, tidak pernah meninggalkan
shalat tahajud, bahkan para sahabat menganggap semacam kewajiban
bagi Nabi Muhammad saw untuk shalat tahajjud. Namun, demikian
beliau tetap mengatakan bahwa shalat tahajud yaitu sunnat dan nabi
sendiri selalu melakukannya, bahkan suatu saat  kaki Nabi
Muhammad pernah bengkak sebab  terlalu lama melaksanakan shalat
tahajjud.
c. Zakat dan Infaq
Guru Ijai selalu berzakat dan berinfaq untuk orang miskin, bahkan
beliau sering mendatangi rumah-rumah orang miskin di Lingkungan
Sekumpul Martapura. Menurut Guru Ijai, Pemberdayaan zakat harus
diusahakan, sebab  praktik zakat yang berlaku secara tradisional di
kalangan warga  belum mampu merubah kondisi kemiskinan para
penerima zakat. Salah satu fungsi zakat yaitu mengurangi kemiskinan.
Salah satu usaha untuk menuju ke arah itu praktik zakat harus
dikembangkan dari yang bersifat konsumtif kepada modal usaha yang
produktif sehingga secara bertahap dapat merubah kondisi kemiskinan
menjadi kondisi yang berkemampuan dan seterusnya menjadi orang￾orang yang mampu membayar zakat. (Abdurrahman Jaferi, 2000 : 40).
3. Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam
aspek sufistik.
 Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam aspek sufistik
terbagi atas :
a. Taubat
Jalan pertama yang harus dilalui yaitu taubat. Taubat yaitu 
upaya reparasi dan renovasi iman yang pernah terkikis oleh beberapa
perilaku yang terlepas dari kontrol keimanan seseorang. Model taubat
yang harus ditempuh ialah taubat dari dosa baik besar ataupun kecil
dan taubat atas kelalaian yang pernah dilakukan, termasuk taubat dari
perbuatan makruh dan subhat, serta bertekad tidak akan mengulangi
dosa lama. Taubat yang demikian yaitu taubat yang sebenarnya
(taubat nasukha), taubat yang tidak membawa kepada dosa
baru.(Wahib, 1997 : 76). Dalam ajaran tasawuf konsep taubat
dikembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang
membedakan antara taubat dalam syariat dengan taubat dalam tasawuf
diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan
taubatnya orang khawas. Berkenaan dengan ini  Zu al-Nun al-Misri
mengatakan :
“Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa,
taubatnya orang khawas taubat dari gaflah (lalai mengingat
Tuhan)”.
 b. Zuhud
Zuhud berarti menahan hawa nafsu, bermurah hati dan berbuat
kebaikan, Imam al- Qusyairi mengatakan : zuhud ialah tidak merasa
bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan
tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari
tangannya. 
Fasilitas duniawi yang dimiliki harus dipakai  sebagai alat
pendukung dalam melakukan ibadah kepada Allah swt.Sebagai
ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah swt
kepadanya. Bersyukur tidak cukup hanya dengan ucapan saja,
melainkan harus diamalkan dalam bentuk perbuatan atau ibadah.
Pengertian diatas yaitu pengertian konsep zuhud dalam
kehidupan dunia menurut K.H. M. Zaini Ghani. Zuhud tidak dipahami
dengan meninggalkan fasilitas duniawi, tetapi memakai  fasilitas
duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
c. Qana’ah
. Imam Syafi’ie mengatakan :
 “Jika engkau mempunya sifat qanaah sama halnya engkau
dengan seorang raja”.
Maksudnya seseorang yang mempunyai sifat qanaah keadaannya
selalu merasa cukup, sebab  sikapnya mencukupkan apa yang ada atau
mensyukurinya. Hatinya kaya dan gembira sebab  sifat qanaah itu. Allah
swt. berfirman :
Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki
maupun perempuan, sedangkan dia beriman, niscaya Kami
hidupkan dia dengan kehidupan yang baik”. (Q.S. An-Nahl :
97).
Kebanyakan ahli tafsir mengatakan, “kehidupan yang baik di dunia
yaitu qanaah”.(al-Qusyairi, tt.: 220). Kemudian al-Qusyairi
mengatakan, “orang yang berakal sehat yaitu orang yang mengatur
urusan dunia dengan sikap qanaah dan mempercepat mengatur urusan
agama dengan ilmu dan ijtihad”. Qanaah dapat juga diartikan
meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan
menganggap cukup dengan sesuatu yang ada. “.(al-Qusyairi, tt.: 121).
Jadi, qanaah yaitu merasa cukup dan mensyukuri dengan nikmat yang
diberikan Allah kepadanya, sehingga hati selalu kaya dan tenang.
d. Tawaduk
Allah dan nabi Muhammad saw. sangat menekankan sikap tawaduk
agar orang-orang tahu bahwa penghambaan terkandung di dalam
kerendahan hati. Ekspresi Alquran ini dapat disimak pada ayat berikut
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik”(Q.S. al-Furqan : 63).
Selanjutnya Allah memuji orang bersifat tawaduk, dan firman￾Nya : “bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman”, (Q.S. 5
: 54) dan “berkasih sayang terhadap sesamanya, Engkau melihat mereka
rukuk dan sujud” (Q.S. 48 : 29) yaitu ekspresi pujian untuk orang￾orang yang mencerminkan sifat rendah hati dalam perilakunya.
Jadi, tawaduk selain sebagai gerbang menuju amal baik atau meraih
sifat-sifat Ilahi (seperti kedermawanan, kasih sayang, menolong,
memaafkan, dan sebagainya), tawaduk yaitu juga cara pertama dan
paling utama untuk menjadi dekat dengan Allah SWT.e. Tawakkal
Tawakkal ialah penyerahan diri kepada Allah, yaitu menyerahkan
nasib, penanggungan, rezeki, untung rugi, ketetapan, kesedihan dan
kegembiraan, serta akibat dari segala perkara kepada Allah). Usaha
ikhtiar wajib dilakukan sebab  ajaran pokok di dalam Islam sesudah
iman ialah amal saleh. Jadi yang ditawakalkan atau digantungkan pada
rahmat pertolongan Allah yaitu hasil usahanya sesudah segala ikhtiar
dilakukannya. Tawakkal yang demikian dilandasi oleh kerja aktif dan
keras.
Simpul kata, bahwa segala aspek jenjang sufi sudah diamalkan
Syekh Muhammad Zaini Ghani secara rutin dari taubat, zuhud,
qana’ah, tawaduk, dan tawakal. Bahkan beliau diyakini oleh
pengikutnya sebagai waliullah.
4. Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam aspek lain.
Keutamaan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam aspek lain, yaitu
: Pengajian Syekh Muhammad Zaini Ghani sangat disukai para muda
dan mudi. Salah satu daya tarik pengajian Sekumpul Martapura sangatdigandrungi remaja dan anak-anak. sebab , beliau selalu
menyampaikan materi sesuai dengan situasi dan kondisi, bahkan beliau
selalu ramah dan menyayangi anak-anak dan remaja yang
bersilaturrahim dan mengikuti pengajian beliau. Maka setiap hari sabtu
dan ahad pengajian di Sekumpul Martapura selalu dipadati oleh anak￾anak dan remaja yang masih haus dengan ilmu-ilmu ke-Islaman.
Mereka dengan sungguh-sungguh dan khusyu’ mendengarkan
paparan Syekh Muhammad Zaini Ghani dalam berbagai aspek ilmu￾ilmu ke-Islaman, seperti ilmu tauhid, fikih, tasawuf dan lain-lain.
Walaupun sebagian remaja saat  pergi dan pulang dari Pengajian
Sekumpul Martapura selalu ngebut dengan kendaraan roda duanya.
Ini yaitu  dampak negatif yang wajar. Namun masih banyak para
remaja yang sungguh-sungguh mengikuti Pengajian di Sekumpul
Martapura.