• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan medan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan medan. Tampilkan semua postingan

kerajaan medang







 
 Sejarah Kerajaan Medang  

     Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram 
Hindu) yaitu  nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian 
berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti 
sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta 
membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang 
akhirnya runtuh pada awal abad ke-11. 
Nama 
 
     Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa 
Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah 
dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yang lazim 
dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yaitu  Kerajaan Mataram, 
yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya 
dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa 
Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram 
Hindu. 
Pusat Kerajaan Medang 
 
Letak Mataram Kuno Periode Jawa Tengah 

 
 
Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur 
     Bhumi Mataram yaitu  sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah 
untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi 
Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti 
Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara 
keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana. 
Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan 
sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana 
Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,  
--  Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) 
--  Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) 
--  Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) 
--  Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) 
--  Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok) 
--  Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok) 
--  Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) 
     Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh 
Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan 
nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di 
daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang 
terletak di daerah Madiun. 
  
Awal berdirinya kerajaan 
     Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa 
raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) yaitu  Rakai 
Mataram Sang Ratu Sanjaya. 

 
     Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan 
jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau 
Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya 
kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan 
Sanna. 
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh 
yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh 
oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke 
Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja 
pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan 
Galuh) yaitu  sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa 
mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, 
berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa 
(mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja 
Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan 
Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 
732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan 
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi 
Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan 
Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu 
Sempakwaja. 
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis 
ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16. 
Dinasti yang berkuasa 
 
Bukti terawal sistem mata uang di Jawa.  
Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad 
ke-9. 
     Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan 
Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta 
Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. 

 
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini 
menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan 
Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut 
oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. 
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai 
Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang 
keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota 
Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan 
istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa 
Sanjaya. 
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai 
anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat 
bahwa daftar tersebut yaitu  daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar 
silsilah keturunan Sanjaya. 
Contoh yang diajukan Slamet Muljana yaitu  Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan 
putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai 
"permata wangsa Sailendra" (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak 
teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra. 
     Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai 
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung yaitu  anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan 
kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan 
Rakai Garung. 
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna 
"penguasa di". Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan "Penguasa di Panangkaran". 
Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana. 
     Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung 
dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun 
Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi 
Prasasti Mantyasih. 
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang yaitu  Wangsa Isana yang baru muncul 
pada ''periode Jawa Timur''. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana 
baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut 
dengan tegas bahwa kerajaannya yaitu  kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i 
Bhumi Mataram. 

 
 
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun 
antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung. 
Daftar raja-raja Medang 
 
     Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di 
Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut: 
01. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang 
02. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra 
03. Rakai Panunggalan alias Dharanindra 
04. Rakai Warak alias Samaragrawira 
05. Rakai Garung alias Samaratungga 
06. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya 
07. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala 
08. Rakai Watuhumalang 
09. Rakai Watukura Dyah Balitung 
10. Mpu Daksa 
11. Rakai Layang Dyah Tulodong 
12. Rakai Sumba Dyah Wawa 
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur 
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya 
15. Makuthawangsawardhana 
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir 

 
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja 
sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja. 
Struktur pemerintahan 
     Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama 
memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar 
ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. 
Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti 
dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-
rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah 
menjadi Sri Maharaja. 
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan 
meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi 
Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu. 
     Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan 
Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk 
naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa 
pemerintahan Dyah Wawa. 
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman 
Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk 
naik takhta. 
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut yaitu  Mahamantri i Halu dan 
Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya 
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi 
dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang. 
     Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana 
perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan 
Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit 
memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang. 
  
 
Keadaan penduduk 
 
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni 
budaya kerajaan Medang. 
     Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya 
bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan 
saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim. 
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya yaitu  Hindu aliran Siwa. 
Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran 
Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan 
Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi. 
Konflik takhta periode Jawa Tengah 
     Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), 
ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan 
Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai 
Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti 
Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi yaitu  Rakai Watuhumalang. 
     Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil 
mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena 
kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya. 

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang 
mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, 
bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan 
damai ataukah melalui kudeta pula. 
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat 
sebagai pegawai pengadilan. 
Teori van Bammelen 
     Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa 
Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak 
Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, 
yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan 
tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. 
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui 
dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal 
sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama 
Mpu Sindok. 
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah 
Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode 
Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama 
Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana 
Wikramadharmottungga. 
Permusuhan dengan Sriwijaya 
     Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau 
Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama 
Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya. 
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa 
Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–
an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama 
Balaputradewa putra Samaragrawira. 
     Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam 
terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan 
turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk 
menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. 
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana 
berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang 
menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) 
yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok. 
   
 
Peristiwa Mahapralaya 
     Mahapralaya yaitu  peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita 
dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas 
sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh 
pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. 
Raja terakhir Medang yaitu  Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari 
Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk 
menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan 
Sumatra semakin memanas saat itu. 
     Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta 
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang 
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa 
tewas. 
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari 
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran 
itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya yaitu  keturunan Mpu Sindok. Kerajaan 
yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan. 
 Peninggalan sejarah 
  
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 
cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi 
Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat 
(Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di 
Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem. 
     Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah 
dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak 
Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 
di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya 
kerajaan Medang. 
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi 
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal 
yaitu  Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah 
ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.