• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 3. Tampilkan semua postingan

Satwa langka Indonesia 3

 
















utan campuran, savana rumput, serta di daerah 

budidaya termasuk kebun rakyat dan ladang di sekitar permukiman 

yang bervegetasi semak cukup rapat, seperti perkebunan karet dan 

kelapa sawit (Manshur dkk., 2015). Namun demikian, satwa ini lebih 

banyak ditemukan di hutan sekunder karena habitat ini memberikan 

kemudahan untuk menempatkan lubang tidur dan ketersediaan pakan 

utamanya berupa semut dan rayap.

Trenggiling mencari makan dan bersarang pada cekungan 

tonggak pohon, cabang kayu, lubang di kelerengan sekitar 30–60°, 

dan menghadap matahari agar memudahkan dalam menggali serta 

menjaga temperatur. Kuswanda dan Setyawati (2015) menyatakan 

bahwa seleksi penempatan lubang pakan dan sarang tidur dipengaruhi 

oleh jenis dan sedikitnya jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan 

tumbuhan bawah serta pH tanah yang mendekati normal. Jenis pohon 

yang digunakan trenggiling untuk membuat lubang di bawahnya 

adalah pohon yang berukuran cukup besar (Ø>50 cm), memiliki 

tajuk yang lebar, perakaran kuat, dan berbanir (Gambar 9.2). Jenis 

117

pohon tersebut, antara lain Ficus ribes, Castanopsis javanica, Altingia 

excelsa, Schima wallichii, dan Lithocarpus indicus.

Trenggiling tidur di dalam lubang pohon atau tanah sehingga 

tubuhnya sering dipenuhi dengan caplak (Amblyomma javanense) 

yang tersembunyi di balik sisiknya, berkisar antara 20–100 individu 

(Gambar 9.3). Caplak tersebut melukai kulit dan bekas gigitannya da-

pat menimbulkan penyakit kulit karena ektoparasit ini hidup dengan 

cara menghisap darah dan menjadi vektor bagi sejumlah penyakit 

menular.

Foto: Reny Sawitri (2015)

Gambar 9.2 Sarang Trenggiling di Bawah Akar Pohon 

Castanopsis

.118

B. Trenggiling dalam Perspektif Budaya dan Mitos

Masyarakat memiliki kearifan dan pengetahuan lokal mengenai satwa, 

seperti trenggiling yang berkaitan dengan sosial budaya yang dikenal 

dengan istilah Etnozoologi. Sosial budaya tersebut mencakup ritual 

budaya, simbol atau mitos, dan pengobatan secara tradisional. Pada 

umumnya, masyarakat tradisional menggunakan trenggiling sebagai 

bahan dalam ritual budaya atau kepercayaan. Secara tradisional, 

di India trenggiling merupakan bagian dari ritual budaya melalui 

Keterangan: a. badan trenggiling; b. caplak pada trenggiling; c. caplak yang diperbesar

Foto: Mariana Takandjandji & Anita Rianti (2016)                               

Gambar 9.3 Trenggiling di Alam yang Badannya Dipenuhi Caplak

(a)

(b)               (c)

119

 Festival Berburu Shikar dalam perayaan Budha Purnima Utsa, dengan 

menggunakan asap untuk menangkap trenggiling di lubang sarang 

(Mohapatra dkk., 2015). Kearifan lokal antara satwa dan lingkung-

annya berupa ekologi, habitat, dan perilaku dikembangkan dalam 

sebuah interaksi. Interaksi tersebut diwujudkan dalam simbol-simbol 

dalam bentuk mitos. Hal ini berarti bahwa trenggiling sarat dengan 

mitos. Suku Dayak di Kalimantan, misalnya, memercayai  trenggiling 

sebagai pertanda buruk atau  jelmaan setan sehingga satwa ini diburu 

dan dibunuh untuk menghilangkan roh jahat.

Trenggiling juga dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional. 

Menurut kepercayaan masyarakat tradisional, keseluruhan bagian 

tubuh trenggiling dapat dimanfaatkan dan berguna bagi kesehatan. 

Penangkapan trenggiling oleh masyarakat didorong oleh manfaat 

yang diperoleh dari darahnya untuk mengobati penyakit eksem basah 

dengan cara membalurkan darahnya pada bagian tubuh yang sakit. 

Selain itu, sisik trenggiling digunakan untuk mengobati penyakit kulit 

dan dagingnya diolah untuk dikonsumsi.

Trenggiling diburu secara intensif di negara Tiongkok untuk 

dinikmati kelezatan dagingnya, sedangkan kulit, sisik, dan darahnya 

dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional traditional chinese medi-

cine (TCM). Masyarakat Tiongkok bagian utara menangkap trenggiling 

saat muncul dari sarang pada musim dingin dan selanjutnya dibunuh 

dengan cara memukul kepalanya dan memotong lidahnya sehingga 

darah segar yang keluar ditampung untuk kemudian ditambahkan 

pada alkohol sebagai minuman tonik penambah vitalitas. Masyarakat 

Tiongkok percaya bahwa daging dan organ tubuh trenggiling teru-

tama sisik berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, mulai dari 

penyakit kulit, melancarkan peredaran darah, menambah vitalitas, 

memperlancar ASI, hingga menyembuhkan kanker. Masyarakat 

Tiongkok juga menyukai janin trenggiling sebagai hidangan sop, 

sedangkan trenggiling dewasa disajikan baik dalam keadaan hidup 

maupun  disembelih untuk disantap.

Di Afrika, anak dan betina dewasa trenggiling diambil bagian-

bagian tubuhnya, terutama tulang punggung, mata, lengan, kaki, dan 

.120

organ-organ reproduksi, untuk mengobati penyakit ketidaksuburan 

pada wanita, reumatik, penanganan masa nifas, fibroid, gangguan 

pencernaan (gastro-intestinal disorders), hemorrhoids, kanker rahim, 

gonorrhoe, pengatur siklus menstruasi, gangguan kelamin, rahim 

kering, perlindungan tubuh dari penangkal racun, penyakit kejiwaan, 

pheumonia, dan stroke (Soewu & Adekanola, 2011). Namun, semua 

manfaat trenggiling hanya mitos karena hasil penelitian membuktikan 

bahwa tidak ada kandungan zat spesifik pada daging dan sisik treng-

giling yang mendukung klaim sebagai obat. Daging trenggiling juga 

tidak memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dari daging ayam. 

Oleh karena itu, disarankan bagi masyarakat dan pemburu agar tidak 

lagi memburu atau menangkap trenggiling karena semuanya hanya 

mitos. Menurut Jacobs dkk. (2019), sisik trenggiling tidak memiliki 

kandungan tramadol ataupun tramadol HCL untuk mengurangi rasa 

sakit dan bengkak (swelling). Hasil penelitian tersebut membuktikan 

mitos tentang pengobatan tradisional yang terjadi di Afrika dan Asia 

serta penggunaannya untuk berbagai pengobatan terhadap penyakit 

(ailments). Di samping itu, juga belum ada penelitian mengenai daging 

dan darah trenggiling yang mendukung pemanfaatannya sebagai tonik 

ataupun TCM.

C. Perburuan dan Perdagangan Liar

Saat ini, trenggiling merupakan salah satu satwa mamalia yang pa-

ling banyak diselundupkan di dunia. Penyelundupan trenggiling di 

Indonesia paling besar terjadi di Sumatra (83%). Hal ini menunjukkan 

bahwa daerah ini merupakan penghubung dari Indonesia ke Malaysia, 

Singapura, Thailand, dan Laos untuk selanjutnya menuju ke USA, 

Mexico, Jepang, dan China (Maneesai & Chavalviwat, 2008). 

Populasi trenggiling mengalami tekanan yang makin berat 

akibat perkembangan perekonomian dan perubahan lingkungan 

yang memicu masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk melaku-

kan perburuan dan perdagangan liar di Indonesia. Kondisi ini juga 

telah merambah masyarakat tradisional, seperti Orang Rimba dan 

masyarakat Melayu, yang telah mengalami perubahan cara pandang 

atau pola pikir (paradigm) dan orientasi kearifan lokal terhadap 

121

satwa liar. Trenggiling dimanfaatkan untuk dijual guna memperoleh 

penghasilan berupa uang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari 

kehidupan etnis masyarakat.

Tingginya permintaan trenggiling di dunia memicu perdagang-

an secara ilegal. Perdagangan trenggiling secara ilegal menarik 

masyarakat untuk melakukan perburuan. Pemburu trenggiling di 

Vietnam dilakukan dengan mengenali keberadaan atau menandai 

bekas cakaran, lubang masuk, dan jejak ekor. Pemburu lebih banyak 

mengenali keberadaan trenggiling pada musim hujan karena satwa ini 

akan meninggalkan jejak saat beraktivitas. Setelah itu, pemburu lalu 

menggunakan alat jebakan, anjing pelacak, senar kabel, atau senapan.

Mamalia yang paling banyak diburu dari alam dan diperdagang-

kan antar negara terbanyak di Asia adalah trenggiling  (TRAFFIC 

Southeast Asia, 2008). Hasil sitaan populasi trenggiling jawa 

dari tahun 2002–2015 sebesar 31.946 individu. Namun, menurut 

Wihardandi (2013), hasil sitaan tersebut diperkirakan hanya sekitar 

10% dari keseluruhan perdagangan secara ilegal sehingga diperkira-

kan yang diekspor sesungguhnya adalah sejumlah 319.460 individu                 

(Takandjandji & Sawitri, 2016b). Penyitaan spesimen trenggiling 

sebagian besar dalam keadaan mati (79%) dan hanya 21% trenggiling 

yang hidup (Gambar 9.4). Namun, kondisi trenggiling yang hidup 

cukup menyedihkan karena kekurangan pakan dan minum, serta 

terluka akibat berdesak-desakan dalam kandang sempit.

Tingginya angka penyelundupan trenggiling di Sumatra 

merupakan akumulasi dari pulau-pulau di sekitarnya, yaitu Pulau 

Kalimantan dan Jawa. Trenggiling dikirim lewat laut ataupun darat 

dengan mobil ekspedisi yang disamarkan dengan ikan asin dan belut. 

Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan dan kerja sama antara para 

pihak yang terdiri atas masyarakat lokal, pengelola kawasan hutan dan 

biodiversitas, penegak hukum, petugas karantina, dan non-government 

organization (NGO) secara terstruktur horizontal dan vertikal, baik 

nasional maupun internasional.

.122

D. Nilai Ekonomi Trenggiling

Populasi trenggiling di alam diperkirakan menurun lebih dari 50% 

dalam waktu 15 tahun terakhir (IUCN, 2012). Hal ini dipicu oleh 

kebutuhan daging dan sisik trenggiling di Tiongkok yang diperkira-

kan sekitar 100.000–135.000 kg per tahun. Oleh karena itu, untuk 

memenuhi permintaan tersebut, sejak tahun 1990-an telah dilakukan 

impor dari negara Asia. Perdagangan trenggiling secara ilegal ke 

Tiongkok dimulai sejak tahun 1925. Pada tahun-tahun berikutnya, 

penyelundupan ilegal dilakukan di beberapa pelabuhan, tetapi tidak 

pernah terdeteksi. Penyelundupan trenggiling mulai melonjak sejak 

2007 (Tabel 9.1). 

(b)           (c)

(a)

Keterangan: a. Trenggiling yang mati; b. trenggiling dalam kemasan freezer; c. sisiknya  


Pasokan trenggiling ke Tiongkok berasal dari negara Asia Selatan 

dan Tenggara. Permintaan pasar yang meningkat dan nilai ekonomi 

yang tinggi mendorong meningkatnya perdagangan ilegal. Negara 

yang dituju sebagai pasar utama adalah Tiongkok, sedangkan lokasi 

transit di Asia Tenggara, di antaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, 

Thailand, Laos, Myanmar, dan Hongkong. Di Indonesia, trenggiling 

dikirim melalui Pelabuhan Belawan, Medan, Pelabuhan Tanjung Priok 

(DKI Jakarta), Bandara Juanda (Surabaya), dan Bandara Soekarno-

Hatta (Tangerang, Banten) (Gambar 9.5).

Berdasarkan wawancara dengan pemburu ilegal didapatkan infor-

masi bahwa nilai ekonomi trenggiling dibedakan menurut kondisinya, 

hidup atau mati berupa daging, sisik, dan bagian organ lainnya. Harga 

daging trenggiling di pasaran Indonesia rata-rata US$20 atau sekitar 

Rp260.000/kg dan sisik US$250–US$300/kg atau sekitar Rp3.250.000–

Rp3.900.000/kg. Apabila sampai ke tujuan di Tiongkok, harga untuk 

daging US$175–US$300 atau sekitar Rp2.275.000–Rp3.900.000/kg 

dan untuk sisik US$1,400 atau sekitar Rp18.200.000/kg.

.124

Keterangan: Frekuensi pengiriman dinyatakan dengan ketebalan 

garis; Asal pengiriman dari Sumatra (garis merah), Jawa (garis hijau), 

Kalimantan (garis oranye), dari Indonesia dengan lokasi yang tidak 

spesifik (garis biru), dan dari luar Indonesia (garis biru muda).

Sumber: The Maritime Executive (t.t)

Gambar 9.5 Jalur Perdagangan Trenggiling

E. Strategi Penyelamatan Trenggiling

Maraknya perdagangan trenggiling secara ilegal yang ditunjukkan 

dengan banyaknya hasil sitaan dari tahun 2002–2019 mengundang 

keprihatinan dan pertanyaan dari mana asal trenggiling tersebut 

ditangkap dan dikumpulkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan 

pendekatan analisis genetik yang diaplikasikan untuk identifikasi 

jenis, forensik untuk koleksi ilegal, analisis penyakit, dan identifikasi 

dinamika populasi.

Penangkaran trenggiling di Sumatra Utara merupakan satu-

satunya penangkaran yang ada di Indonesia yang dapat menampung 

trenggiling hasil sitaan dari alam, untuk direhabilitasi sehingga dapat 

dikembalikan ke alam (Sawitri & Takandjandji, 2016). Namun, sejalan 

dengan berjalannya waktu, penangkaran tersebut ditutup oleh Balai 

Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara karena diindi-

kasikan penangkaran hanya menjadi kamuflase terhadap perdagangan 

trenggiling di penangkaran. Sejauh ini belum ada penangkaran treng-

giling yang dikelola secara baik dan berhasil menambah populasi di 

125

penangkaran. Hal itu dikarenakan biaya pakan dan habitat buatan 

yang terlalu mahal sehingga tidak ekonomis untuk dikembangkan.

F. Penutup

Kenaikan permintaan trenggiling mengakibatkan nilai ekonominya 

menjadi tinggi. Fenomena ini mendorong meningkatnya perdagangan 

trenggiling secara ilegal yang berakibat populasinya di alam me-

ngalami kelangkaan. Namun, upaya penangkaran belum menunjuk-

kan keberhasilan sehingga memerlukan tanggap darurat penanganan 

khusus melalui penegakan hukum lintas sektoral. Selain itu, perlu 

diikuti dengan program konservasi trenggiling dan sosialisasi kepada 

masyarakat tentang pentingnya kehadiran trenggiling dalam suatu 

ekosistem.

Elang jawa (Nisaetus bartelsi) dikenal sebagai burung yang memiliki 

kemiripan dengan lambang negara Republik Indonesia. Burung 

dengan ciri khas adanya jambul di kepala tersebut telah ditetapkan 

sebagai satwa langka Indonesia sejak tahun 1993 dan merupakan 

spesies endemik Pulau Jawa. Kerusakan habitat alami, rendahnya 

reproduksi, dan adanya perburuan liar mengakibatkan populasinya 

terus menurun. Oleh karena kelangkaannya, jenis ini secara nasional 

telah dimasukkan sebagai jenis satwa yang dilindungi berdasarkan 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik 

Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 dan secara 

global dikategorikan sebagai spesies genting (endangered) dalam Red 

List of Threatened Species oleh International Union for Conservation of 

Nature (IUCN). Serangkaian strategi dan upaya konservasi elang jawa 

telah disusun oleh pemerintah Indonesia dengan terbitnya Peraturan 

V. 

Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor P.58/Menhut-II/2013 

tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Elang Jawa 

tahun 2013–2022. Dengan adanya SRAK, serangkaian kegiatan telah 

dirumuskan untuk melestarikan populasi elang jawa di Indonesia.

A. Mengenal Elang Jawa

Siapa yang tidak mengenal lambang Negara Republik Indonesia, 

Burung Garuda Pancasila. Burung garuda resmi digunakan sebagai 

lambang Negara Republik Indonesia sejak 11 Februari 1950, yaitu 

setelah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 

1951 tentang Lambang Negara. Perancang lambang Garuda Pancasila 

adalah Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II atau dikenal sebagai 

Sultan Hamid II, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara 

Republik Indonesia Serikat (Suciptoardi, 2008). Lambang Garuda 

Pancasila mengalami beberapa kali penyempurnaan. Rancangan 

awalnya terdapat unsur manusia di dalamnya, selanjutnya atas 

masukan dari Masyumi unsur tersebut dihilangkan karena dianggap 

sarat dengan mitologi. Pada penyempurnaan selanjutnya Presiden 

Soekarno mengusulkan menambahkan jambul di kepala agar tidak 

mirip dengan lambang Negara Amerika Serikat (Sejarah Terbentuknya 

Lambang, 2019) (Gambar 10.1).

      

Keterangan: Usulan awal dari Sultan Hamid II (kiri), penyempurnaan atas berbagai usulan 

(tengah), dan lambang Garuda Pancasila yang saat ini digunakan (kanan).

Sumber: literasipublik (2019)

Gambar 10.1 Penyempurnaan Lambang Negara Garuda Pancasila

Elang Jawa, Satwa ... 129

Burung Garuda dikatakan hewan mitos yang memiliki sepasang 

sayap, berkepala burung namun bertubuh manusia yang menjadi 

wahana atau kendaraan dari Dewa Wisnu (Eks, 2019). Garuda tampil 

di berbagai candi kuno di Indonesia dalam bentuk relief atau arca, 

seperti yang ada candi Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, 

Belahan, Sukuh, dan Cetho. Dalam banyak kisah, garuda melam-

bangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, 

dan kedisiplinan. Sebagai kendaraan Wisnu, garuda juga memiliki 

sifat Wisnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. 

Sementara dalam tradisi Bali, garuda dimuliakan dengan istilah “Tuan 

segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja agung para burung”. 

Posisi mulia garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah 

menjadikan garuda sebagai simbol nasional Indonesia (Baan, 2017).

Keberadaan burung garuda masih menjadi perdebatan apakah 

betul-betul ada atau hanya mitos, tetapi faktanya ada satu jenis 

burung yang mempunyai mirip, yaitu elang jawa. Menurut Ketua 

Perkumpulan Raptor Indonesia, Zaini Rakhman, pemerintah secara 

tidak langsung sudah mengakui bahwa garuda itu adalah burung 

elang jawa sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 

4 Tahun 1993 tentang Penetapan Satwa Langka Nasional. Hal senada 

juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Konservasi Elang Indonesia, 

Gunawan, bahwa elang jawa memang memiliki kemiripan dengan 

burung garuda misalnya pada jambul, dan warna bulu yang keemasan 

saat masih muda (Yudhi, 2018).

Elang jawa (Nisaetus bartelsi) dikenal juga sebagai the javan 

hawk-eagle merupakan spesies endemik Pulau Jawa. Elang jawa meru-

pakan jenis elang berukuran sedang yang berukuran 60–70 cm atau 

yang terkecil berukuran 56–61 cm apabila diukur dari ujung paruh 

sampai ujung ekor. Rentang sayapnya dapat mencapai 110–130 cm 

(Hermawan, 2019). Ciri-ciri yang paling khas dari elang jawa adalah 

adanya jambul di kepalanya (Riatmoko, 2013) (Gambar 10.2). Bagian 

sisi kepala dan tengkuk berwarna coklat, sedangkan tenggorokan 

putih dengan garis hitam pada bagian tengah. Bulu di punggung dan 

sayap berwarna coklat gelap; bulu ekor panjang dan berwarna coklat 

.130

dengan garis-garis hitam. Bagian bawah tubuh yang lain berwarna 

keputih-putihan, bercoretan coklat gelap pada dada, dan bergaris 

tebal coklat gelap pada perut (Burung elang jawa, 2017). Individu 

muda memiliki warna bulu pada kepala bagian bawah kuning tua 

kemerahan 

(a)    (b)

Keterangan: a. Sosok elang jawa  b. Seekor elang jawa yang telah dipasangi wing marker 

(penanda sayap), banding (cincin bernomor seri), dan microchip 

Foto: a) kibrispdr.org (t.t), b) Riatmoko (2013)

Gambar 10.2 Elang Jawa

Elang jawa dapat bereproduksi sepanjang tahun, tetapi perka-

winan biasanya terjadi antara bulan Januari hingga Juli. Elang jawa 

matang secara seksual pada usia 3–4 tahun, dan setelah perkawinan 

biasanya menghasilkan satu butir telur. Telur akan menetas setelah 

dierami selama 47–48 hari (Prawiradilaga, 2006). Pengembangbiakan 

elang jawa menjadi perhatian utama dan ditemukannya sarang dan 

anakan elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 

(TNGGP) pada hari Selasa (21/4/2019) menjadi kabar gembira bagi 

banyak pihak (BBTN Gunung Gede, 2019) (Gambar 10.3). Elang 

jawa kemungkinan dapat berkembang biak dalam interval yang lebih 

pendek karena pengaruh iklim dan/atau hilangnya ketergantungan 

anak elang jawa muda kepada induknya (Nijman dkk., 2000). 

Elang Jawa, Satwa ... 131

Foto: BBTN Gunung Gede (2019)

Gambar 10.3 Anak Elang Jawa yang Baru Lahir di Taman Nasional 

Gede Pangrango

B. Habitat Elang Jawa

Habitat elang jawa tersebar di Pulau Jawa. Sebagai jenis endemik Pulau 

Jawa, keberadaannya diketahui di seluruh Pulau Jawa mulai dari Jawa 

bagian barat sampai dengan ujung timur Pulau Jawa. Kajian Van Balen 

dkk. (1999) yang menggunakan data survei sejak tahun 1980 dan 

dilengkapi data dari spesimen herbarium mencatat terdapat 27 area 

sebaran elang jawa di Pulau Jawa, yaitu:

 • Jawa Barat: 1) Taman Nasional Ujung Kulon, 2) Gunung 

Aseupan, 3) Gunung Karang, 4) Gobang, 5) Gunung Halimun, 

6) Gunung Salak, 7) Jampang, 8) Megamendung dan Puncak, 9) 

Pegunungan Gede dan Pangrango, 10) Pegunungan Patuha dan 

Tilu, 11) Gunung Papandayan dan Kawah Kamojang, dan 12) 

Pegunungan Tangkuban perahu dan Burangrang.

 • Jawa Tengah: 13) Pegunungan Pembarisan, 14) Gunung Slamet, 

15) Pegunungan Cupu dan Simembut, 16) Pegunungan Dieng, 

17) Gunung Ungaran, 18) Gunung Merapi dan Merbabu, 19) 

Gunung Muriah.

.132

 • Jawa Timur: 20) Gunung Liman dan Wilis, 21) Gunung Arjuno, 

22) Gunung Kawi dan Kelud, 23) Bantur dan Lebakharjo, 24) 

Dataran tinggi Yang, 25) Taman Nasional Meru Betiri, 26) 

Gunung Raung dan dataran tinggi Ijen, dan 27) Taman Nasional 

Alas Purwo.

Luasan areal habitat elang jawa meningkat sejak dicanangkannya 

peraturan pemerintah untuk melindungi dan meningkatkan 10% 

populasi elang jawa selama tahun 2015–2019. Sebagai contoh, hasil 

pemodelan distribusi spasial habitat elang jawa di Jawa Barat tahun 

2014–2015 menunjukkan terdapat 17 habitat elang jawa pada total 

area sebesar 3.955 km2 yang mengalami peningkatan sebesar 741 

km2 (31,73%) dari total luas habitat elang jawa tahun 2002 (Azmi 

dkk., 2016). Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur. Hasil validasi 

melalui pengecekan lapangan (ground-truth checked) menunjukkan 

distribusi habitat elang jawa di Jawa Timur, sebanyak 28 habitat pada 

area seluas 4.766,26 km2, meningkat sebesar 2.156,14 km2 (82,61%) 

dari total sebaran elang jawa di tahun 2002 (Murad & Syartinilia, 

2021). Dari total 28 patch dengan luasan 4.766,26 km2 tersebut, tujuh 

habitat diidentifikasi sebagai habitat inti/core patch (4.217,8 km2), 13 

patch (465,87 km2) sebagai batu loncatan/stepping stone, dan 8 habiat 

(82,59 km2) merupakan habitat yang terisolasi/isolated (Ferlazafitri 

dkk., 2020). Hasil validasi dengan peta tutupan lahan dari Landsat 

8 Agustus 2014 menunjukkan 36% habitat inti ditutupi hutan alam, 

55% hutan alam di habitat batu loncatan, dan 59% hutan alam pada 

habitat terisolasi/terpencil. Habitat dikategorikan sebagai terpencil 

karena memiliki konektivitas nol dan ukuran habitat yang terlalu kecil 

untuk mendukung populasi elang jawa (Nurfatimah dkk., 2018). 

Elang jawa sangat bergantung dengan hutan primer dan hutan 

sekunder yang berdekatan dengan hutan primer karena hal ini 

memengaruhi keberhasilan pembiakannya (Pribadi, 2014). Hasil 

pemodelan spasial kesesuaian habitat elang jawa di Taman Nasional 

Gunung Halimun-Salak (TNGHS) menunjukkan bahwa elang jawa 

cenderung lebih menyukai lokasi hutan hujan perbukitan yang sejuk 

dengan tingkat gangguan atau aktivitas manusia yang relatif sedikit 

Elang Jawa, Satwa ... 133

dibandingkan lokasi lain (Cahyana dkk., 2015). Daerah terpencil yang 

dimanfaatkan sebagai ladang juga cocok karena diduga mempunyai 

habitat yang sesuai dengan lokasi berburu elang jawa (Pribadi, 2014).

Pemilihan lokasi sarang berperan penting dalam keberhasilan 

perkembangbiakan elang jawa. Studi di Gunung Gede dan Gunung 

Pangrango menunjukkan bahwa sarang elang jawa terletak pada 

ketinggian ≥1000 mdpl (1.410 mdpl untuk sarang Cibodas, 1.085 

mdpl untuk sarang Pasir Pogor, dan 1.340 mdpl untuk sarang                      

Cibulau (Nijman dkk., 2000). Hal serupa juga ditunjukkan pada 

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di mana daerah yang berpo-

tensi sebagai habitat elang jawa memiliki karakteristik, seperti elevasi 

1.000–1.500 mdpl, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) 

0,30–0,40%, dan temperatur 20–25°C (Aryanti dkk, 2021). Walau 

demikian, elang jawa tetap dapat membangun sarang di hutan hujan 

dataran rendah (500–1.000 mdpl) dengan kecuraman lereng rata-rata 

dengan sarang pohon adalah 57,50o dan membangun sarangnya di 

atas pohon spe-sies asli Indonesia, seperti Phoebe grandis, Toona 

sureni, dan Gluta renghas (Gunawan dkk., 2016). Elang jawa memilih 

pohon untuk persarangannya, yaitu menjulang dan menembus lapisan 

kanopi (emergent tree); memiliki karakteristik tajuk setengah membu-

lat tidak rapat (model arsitektur rauh); dan berlokasi tidak jauh dari 

areal burunya (Sitorus & Hernowo, 2016). 

Karakteristik areal buru elang jawa adalah hutan alam dataran 

rendah dengan potensi mangsa yang beragam dan melimpah (Sitorus 

& Hernowo, 2016). Penelitian di lereng utara Gunung Ungaran me-

nemukan 13 jenis satwa mangsa elang jawa berupa mamalia, burung, 

dan reptil yang tergolong dalam satwa arboreal (Maula & Subeno, 

2016). Lebih lanjut, Prawiradilaga (2006) menjelaskan bahwa mamalia 

yang paling sering dimangsa adalah tupai, tikus pohon, hewan kecil 

pengerat, dan kelelawar; jenis burung termasuk jarang dimangsa 

(terekam ada tujuh jenis burung yang dimangsa, seperti burung mer-

pati dan burung pelatuk); dan yang paling sedikit dimangsa adalah 

reptil, seperti ular dan kadal. Dominasi pohon yang menyediakan 

habitat bagi makanan elang jawa merupakan faktor penting dalam 

menentukan preferensi berburu, sedangkan keanekaragaman spesies 

.134

berperan penting dalam menentukan preferensi sarang (Fahmi & 

Syartinilia, 2020).

Kesesuaian habitat elang jawa di setiap areal dapat bervariasi. 

Sebagai contoh, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur 

memiliki kesesuaian habitat yang dikategorikan tinggi (30%) sebesar 

15.131,18 ha, 22% sedang (11.216,61 ha), dan 48% rendah (23.298,411 

ha) (Aryanti dkk., 2021). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa seki-

tar 17,77% (23.209 km2) wilayah Pulau Jawa diprediksi cocok untuk 

habitat elang jawa yang sebagian besar tersebar di daerah pegunungan 

dan beberapa daerah dataran rendah (Nursamsi dkk., 2018). Keting-

gian, suhu rata-rata tahunan, dan dua jenis tutupan lahan (semak 

tertutup dan kawasan hutan) dianggap sebagai variabel terpenting 

yang mempengaruhi distribusi habitat elang jawa (Nursamsi dkk., 

2018). 

C. Ancaman Kelestarian Elang Jawa

Tren populasi yang terus menurun membuat elang jawa telah dika-

tegorikan sebagai jenis langka/endangered C2a(i) ver 3.1 (EN) oleh 

IUCN Red list of Threatened Species. Saat ini diperkirakan hanya ada 

sekitar 300–500 ekor elang jawa di dunia (IUCN, 2021) dengan jumlah 

bervariasi pada setiap areal habitatnya. Sebagai contoh, di kawasan 

Gunung Salak dilaporkan terdapat 13 individu elang jawa dengan 

kepadatan, yaitu 0,183 ekor/km2 atau 1 ekor/6 km2 (Pribadi, 2014). 

Berdasarkan pemodelan spasial pada areal yang tersisa di Jawa Barat, 

teridentifikasi 17 habitat elang jawa dengan perkiraan populasi sekitar 

39–195 (median=117) pasang elang jawa (Azmi dkk., 2016). 

Ukuran populasi yang kecil, kehilangan habitat, fragmentasi 

hutan, dan perburuan liar menjadi faktor yang mempengaruhi sta-

tus konservasi elang jawa (Cahyana dkk., 2015; Azmi dkk., 2016). 

Pembalakan liar (illegal logging) dan konversi hutan menjadi lahan 

pertanian telah meningkatkan penyusutan tutupan hutan primer di 

Jawa. Sebagai contoh, berdasarkan hasil riset Pradopo (2012), 46.78% 

kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terancam mengalami keru-

sakan habitat akibat akumulasi bahaya perambahan dan kebakaran 

lahan. 

Elang Jawa, Satwa ... 135

Perburuan, perdagangan ilegal, dan berbagai aktivitas manusia 

juga dapat menjadi ancaman kepunahan elang jawa. Penelitian Pribadi 

(2014) menunjukkan pada beberapa lokasi habitat elang jawa di Jawa 

Barat, seperti Cipelang, Tugu Jaya, Tanjung Sari, dan Curug Ciputri 

tidak lagi dijumpai elang jawa. Hal tersebut disebabkan adanya 

ancaman perburuan liar, aktivitas manusia (penambangan batu dan 

mencari kayu), dan perladangan. Harga jual yang tinggi, rata-rata US$ 

40/ekor, dan indikasi adanya ekspor ilegal ke kawasan Asia lainnya 

telah meningkatkan perburuan ilegal elang jawa (Nijman dkk., 2009).

D. Upaya Konservasi Elang Jawa

Konservasi elang jawa merupakan upaya penting untuk menyelamat-

kan keberadaan elang jawa di Indonesia. Beberapa upaya konservasi 

yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Peraturan Perundang-Undangan

Upaya konservasi elang jawa telah didukung pemerintah sejak tahun 

1993 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 

1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional yang menetapkan elang jawa 

sebagai satwa langka nasional. Selain itu, melalui Peraturan Peme-

rintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan 

Jenis Tumbuhan dan Satwa yang lampirannya diperbarui melalui 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.106/

Menlhk/Setjen/Kum/1/12/2018 telah memasukkan semua jenis elang 

dari famili Accipitridae, termasuk elang jawa, dalam jenis-jenis satwa 

yang dilindungi. Selanjutnya, tingkat keterancaman populasi elang 

jawa yang tinggi dan kondisinya yang telah langka telah mendorong 

terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor 

P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi 

(SRAK) Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) tahun 2013–2022. 

2) Konservasi in situ

Direktorat Jenderal KSDAE telah menetapkan 25 satwa terancam 

punah prioritas yang perlu ditingkatkan populasinya sebesar 10% 

selama tahun 2015–2019. Hasil monitoring di site monitoring satwa 

.136

prioritas tersebut menunjukkan bahwa semua jenis elang termasuk 

elang jawa telah mengalami peningkatan populasi sebesar 66,15% 

dari tahun-tahun sebelumnya (Ditjen KSDAE, 2019). Keberhasilan 

peningkatan populasi spesies di site monitoring yang dilihat dari 

penambahan individu baru, juga didukung dengan upaya konservasi 

yang lain seperti inventarisasi pengelolaan, antara lain pembinaan 

habitat, penyadartahuan, perlindungan dan pengamanan, penang-

gulangan konflik, penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran (Ditjen 

KSDAE, 2019).

3) Pelepasliaran

Pelepasliaran elang Jawa di habitat alaminya seperti di kawasan 

lereng merapi telah beberapa kali dilakukan sebagai upaya untuk 

meningkatkan populasi elang jawa. Kegiatan terbaru (14/2/2020) 

adalah pelepasliaran sepasang elang jawa di Taman Nasional Gunung 

Merapi Jurang Jero, kecamatan Srumbung, Kabupaten Jawa Tengah 

oleh Presiden Joko Widodo (Fitriana, 2020). Sepasang elang jawa 

yang dilepas Jokowi, yang diberi nama Abu (jantan) dan Rosy (betina) 

berumur 3 tahun, merupakan pemberian warga. Hal ini merupakan 

salah satu upaya perlindungan lingkungan dalam kawasan hutan 

negara atau kawasan konservasi (Wibisono, 2020). 

4) Konservasi ex situ 

Upaya konservasi elang jawa tidak hanya di lakukan pada habitat 

alaminya, tetapi juga di pusat penyelamatan/rehabilitasi satwa atau 

BKSDA dan lembaga konservasi lainnya seperti kebun binatang. 

Upaya ini menunjukkan hasil menggembirakan, seperti di Pusat 

Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Loji, Bogor, Jawa Barat yang telah 

berhasil menetaskan seekor anak burung elang jawa secara alami 

dan selamat pada hari Jumat (17/07/2020) dan diberi nama ‘Parama’ 

yang berarti unggul oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 

(LHK), Siti Nurbaya. Kelahiran Parama ini diharapkan menjadi simbol 

keunggulan Kementerian LHK dan para konservasionis dalam upaya 

pelestarian satwa liar, khususnya elang jawa di Indonesia (Danang, 

2020).

Elang Jawa, Satwa ... 137

5) Meningkatkan peran serta stakeholder terkait dan masyarakat 

Pelatihan/lokakarya lokal untuk penyadartahuan dan partisipasi 

masyarakat telah dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa 

Timur. Contohnya, program perlindungan sarang elang jawa di Cagar 

Alam Cibulao dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, serta 

pemantauan rutin telah dilaksanakan di Cagar Alam Telaga Warna 

dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Prawiradilaga, 2006). 

Pentingnya peran masyarakat dalam kelangsungan hidup elang jawa 

juga ditunjukkan dengan adanya kerja sama antarpetugas penjaga 

kawasan (pemerintah) dengan masyarakat sekitar kawasan yang 

bersama-sama ikut menjaga dan melestarikan flora fauna untuk 

menjaga keseimbangan ekosistem di Kawasan Cagar Alam Gunung 

Picis, Ponorogo, Jawa Timur (Yuliamalia dkk., 2020).

E. Tantangan dalam Konservasi Elang Jawa

Dalam melakukan konservasi elang jawa ada beberapa faktor yang 

menjadi tantangan dalam pelaksanaannya. Terdapat tiga faktor yang 

menjadi tantangan. Pertama, kemampuan reproduksi yang rendah. 

Elang Jawa mempunyai kemampuan reproduksi yang rendah karena 

jumlah telur yang diproduksi per tahun cukup rendah, hanya satu 

butir per 2–3 tahun. Masa eram telur dapat mencapai 47–48 hari 

(Prawiradilaga, 2006). Kedua, kerusakan habitat akibat aktivitas 

manusia. Perambahan hutan, kebakaran hutan, fragmentasi hutan, 

dan juga konversi hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, pabrik, 

ataupun sarana prasarana pendukung lainnya, seperti jalan raya men-

jadi ancaman serius terhadap keberadaan elang jawa. Kondisi ini tidak 

hanya dapat membuat kerusakan tetapi juga menghilangkan habitat 

alami elang jawa. Ketiga, kegiatan perburuan liar/perdagangan ilegal. 

Sejak tahun 1993 elang jawa telah ditetapkan sebagai simbol jenis 

satwa langka nasional dan telah dilarang untuk diburu atau diperjual-

belikan. Namun, adanya pelarangan tersebut telah menjadikan nilai 

jual elang jawa meningkat dan seolah menjadi “kebanggaan” para 

pemeliharanya. Kondisi ini malah menyuburkan perburuan liar dan 

perdagangan elang jawa di Indonesia. Hasil penelitian Nijman dkk. 

.138

(2009) menunjukkan bahwa ada peningkatan perdagangan elang jawa 

setelah dideklarasikan menjadi satwa langka nasional.

F. Penutup

Populasi elang jawa, yang telah ditetapkan sebagai simbol satwa langka 

Indonesia dan juga menjadi inspirasi dari lambang negara Republik 

Indonesia, menunjukkan kecenderungan terus menurun dan telah 

dikategorikan sebagai endangered spesies oleh IUCN. Pemerintah 

telah mengeluarkan berbagai peraturan dan telah membuat strategi 

konservasi elang jawa di Indonesia sebagai upaya pelestarian elang 

jawa dari ancaman kepunahan. Upaya pemerintah tersebut menun-

jukkan hasil yang menggembirakan ditandai dengan meningkatnya 

luasan habitat dan jumlah individu elang jawa di Pulau Jawa. Meskipun 

demikian, berbagai laporan menunjukkan hasil positif, peran serta 

dan dukungan dari berbagai pihak terkait secara berkesinambungan, 

seperti lembaga pemerintah, LSM konservasi, dan masyarakat tetap 

sangat diperlukan dalam menyelamatkan sang “garuda” dari ancaman 

kepunahan. 

Ratusan kilometer sungai besar dan kecil tersebar di lanskap Pulau 

Kalimantan membentuk mozaik habitat yang unik. Dua sungai besar 

di antaranya, yaitu Sungai Kelay dan Segah yang bersatu menjadi 

Sungai Berau yang bermuara di Delta Berau. Di sanalah, terhampar 

hutan riparian yang menjadi rumah bagi ratusan bekantan, satwa 

langka khas Kalimantan yang dilindungi. Ekosistem riparian di Delta 

Berau kini sedang menghadapi tekanan beban berat yang mengancam 

masa depan kehidupan bekantan yang hidup di dalamnya. 

A. Bekantan, Primata Spectacular

Keunikan hidungnya yang masih menyimpan banyak misteri dengan 

paduan warna oranye terang dan putih-abu-abu, menghasilkan kom-

binasi yang serasi, menjadikan bekantan (Nasalis larvatus) berbeda 

dengan satwa primata lainnya. Primata yang umumnya memakan 

T. 

daun ini memiliki sistem pencernaan yang berbeda dengan keba-

nyakan monyet dan kera. Lambungnya yang kompleks beruang-ruang 

menjadi tempat bakteri mendetoksifikasi bahan kimia tanaman dan 

mencerna selulosa (Chivers, 1994). Tidak berlebihan kiranya jika 

Vince Nijman, seorang profesor antropologi dari Oxford Brookes 

University, menyebutnya sebagai primata spectacular yang dimiliki 

Borneo, selain orang utan (Nijman, 2001). 

Sebagian besar habitat bekantan berada di wilayah Kalimantan, 

Indonesia. Habitat utama bekantan adalah hutan mangrove, hutan ri-

parian, dan hutan rawa (Chivers, 1994). Keberadaannya tidak hanya di 

daerah pesisir, tetapi juga sampai ratusan kilometer ke hutan  riparian 

hulu di sungai pedalaman Borneo. Salah satu habitat bekantan di 

Kalimantan Timur adalah Delta Berau yang belum banyak diungkap 

informasinya.

B. Delta Berau, Ekosistem Penting yang Rentan

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, delta diartikan sebagai 

sebidang tanah endapan berbentuk segitiga di antara dua cabang 

sungai atau lebih yang bermuara di laut atau danau. Delta yang 

merupakan daerah muara sungai memiliki potensi sumber daya 

yang tinggi. Beragam kehidupan berkembang di sana, mulai dari 

tumbuhan, satwa, sampai manusia. Sejarah telah mencatat banyak 

peradaban yang bermula dan berada di daerah muara dan delta sungai 

besar. Sebagai contoh, peradaban bangsa Mesir Kuno yang berada 

di hilir Sungai Nil. Sebuah lembah subur di sekitar Sungai Nil yang 

bermuara di Laut Tengah tersebut menjadi pusat peradaban super 

power pada zamannya. Di Indonesia sendiri ada Kerajaan Majapahit 

yang berkembang di sekitar muara Sungai Bengawan Solo, Kerajaan 

Sriwijaya di sekitar Muara Sungai Musi, dan Kerajaan Kutai yang 

juga berpusat di daerah delta muara Sungai Mahakam, yang sekarang 

dikenal dengan daerah Kutai Lama. 

Daerah tepi sungai dan muara sungai adalah ekosistem yang 

penting (esensial) bagi kehidupan manusia, flora, dan satwa. Terdapat 

beberapa alasan mengapa pilihan untuk hidup dan berkembang ada di 

Ekosistem Riparian, Harapan ... 145

muara dan delta sungai. Material subur dari hulu sungai terbawa air 

dan terakumulasi menjadi sedimen berbentuk delta di muara sungai, 

menjadikan daerah ini subur sehingga memiliki kekayaan tumbuhan 

dan produktivitas tinggi. Selain itu, pertemuan air tawar dengan air 

asin membentuk ekosistem mangrove yang menjadi benteng di sepan-

jang garis pantai dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari delta 

muara sungai. Berbagai jenis tumbuhan mangrove mengembangkan 

sistem adaptasi yang unik untuk bertahan dalam salinitas tinggi dan 

menciptakan habitat penting bagi satwa arboreal dan perairan. 

Delta Berau adalah sebuah delta yang berada di wilayah Kabu-

paten Berau, Kalimantan Timur (Gambar 11.1). Tipe hutan ripa-

rian dan mangrove di Delta Berau yang kaya akan tumbuhan telah 

menjadikannya habitat yang ideal bagi berbagai spesies satwa liar 

terutama bekantan. Delta Berau merupakan ekosistem yang penting, 

tetapi sangat rentan mengalami kerusakan karena dikelilingi oleh 

populasi manusia yang padat dengan berbagai aktivitasnya yang dapat 

mengancam kelestarian ekosistem ini. 

Sumber: Tri Atmoko (2019)

Gambar 11.1 Peta Delta Berau

.146

C. Delta Berau, Banyak Tekanan

Tekanan dan ancaman yang dialami Delta Berau makin tinggi akibat 

lokasinya yang strategis dan tingginya potensi di daerah muara sungai 

tersebut. Beberapa tekanan yang diterima Delta Berau di antaranya 

pembukaan tambak. Konversi dan kerusakan habitat di sepanjang 

sempadan sungai, pencemaran, dan aktivitas transportasi perairan 

berkontribusi pada degradasi ekosistem di Delta Berau. Berbagai 

tekanan tersebut berpengaruh pada hidupan liar yang ada, salah 

satunya pada satwa yang dilindungi, yaitu bekantan.

1) Tambak

Potensi perikanan yang tinggi di wilayah delta, terutama pada hutan 

mangrove menyebabkan daerah ini banyak dibuka untuk pengem-

bangan tambak ikan maupun udang. Pembukaan tambak sangat 

luas terjadi di daerah pulau-pulau utama Delta Berau. Hal tersebut 

mengakibatkan kerusakan mangrove yang massive di perairan delta. 

Tingkat kerusakan makin meningkat manakala pembukaan tambak 

dilakukan menggunakan alat-alat berat. 

2) Permukiman

Hutan riparian atau hutan di tepi sungai memiliki peranan penting 

sebagai koridor habitat satwa liar. Koridor tersebut digunakan oleh 

satwa liar sebagai jalur migrasi dan pergerakan untuk mendapatkan 

sumber daya yang dibutuhkan. Seiring dengan pertumbuhan pen-

duduk yang terus meningkat maka pembukaan daerah tepi sungai 

makin luas untuk pembangunan permukiman dan infrastruktur 

lainnya. Selain itu, berbagai aktivitas penambangan, dan perkebunan 

yang dilakukan di sepanjang sempadan sungai juga menyebabkan 

putusnya koridor satwa atau bahkan menghilangkan habitat yang ada. 

3) Pencemaran

Muara sungai dan Delta Berau merupakan pintu keluar dan masuknya 

substrat dan berbagai material, baik dari aliran sungai maupun dari 

wilayah perairan laut. Berbagai macam sampah, limbah perkebunan 

sawit, air asam tambang batubara, dan polusi perairan mengumpul 

Ekosistem Riparian, Harapan ... 147

menjadi satu dan berakhir di daerah muara sungai Berau. Belum lagi 

tumpahan minyak dari kapal-kapal besar penarik ponton batu bara, 

dan kapal motor para nelayan ikut berkontribusi dalam mencemari 

perairan di daerah ini. 

4) Transportasi Sungai

Seperti halnya muara sungai lainnya, Delta Berau merupakan pintu 

masuk dan keluar transportasi perairan di Selat Makassar menuju 

Sungai Berau, demikian pula sebaliknya. Sungai Berau merupakan 

muara dari dua sungai besar, yaitu Sungai Segah dan Sungai Kelay. 

Seiring dengan banyaknya pertambangan batubara, juga berpengaruh 

terhadap kondisi hutan di tepi sungai karena pengangkutannya meng-

gunakan tongkang melalui Sungai Berau. Beberapa hutan tepi sungai 

dibuka untuk keperluan pembangunan jalan hauling dan conveyor 

untuk memuat batubara ke atas tongkang sebelum diangkut melalui 

sungai. 

D. Populasi Bekantan yang Terlupa

Meijaard dan Nijman (2000) pernah memetakan sebaran bekantan 

di Kalimantan berdasarkan survei langsung, informasi masyarakat, 

dan berbagai data sekunder. Salah satu temuannya adalah satu titik 

sebaran bekantan di sekitar Delta Berau berada di areal PT Rejosari 

Bumi. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih rinci terkait populasi 

tersebut, bahkan perusahaan tersebut sudah tidak lagi beroperasi. 

Setelah itu, tidak ada laporan ilmiah terkait dengan bekantan di Delta 

Berau. 

Penelitian terbaru terkait populasi dan sebaran bekantan dilaku-

kan oleh Atmoko dkk. (2020) di Delta Berau dan sekitarnya. Hasil 

penelitian tersebut menunjukkan populasi bekantan yang tinggi, yaitu 

lebih dari seribu ekor. Jumlah populasi tersebut menunjukkan bahwa 

Delta Berau adalah habitat yang penting bagi bekantan dan dapat 

menjadi areal prioritas untuk perlindungan bekantan di Indonesia. 

.148

E. Pulau-Pulau Habitat

Delta Berau terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau kecil. Be-

berapa pulau besar yang ada telah banyak berubah menjadi areal 

tambak. Beberapa pulau kecil yang tidak dihuni penduduk merupakan 

habitat bagi bekantan. Pulau tersebut adalah Pulau Bungkung, Pulau 

Sambuayan, Pulau Saodang Kecil, Pulau Tempurung, dan Pulau 

 Sapinang. Sampai saat ini pulau-pulau tersebut tidak menunjukkan 

adanya kerusakan dan gangguan dari aktivitas masyarakat, mengingat 

pulau tersebut sering terendam air dan luasannya hanya berkisar 

antara 0,4–10 km2. 

Gangguan pada pulau-pulau kecil sebagai habitat bekantan 

datang dari aktivitas transportasi di sekitarnya. Perairan di sekitar 

pulau-pulau tersebut merupakan jalur transportasi air yang meng-

hubungkan Ibu Kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb, dengan Pulau 

Tarakan di Kalimantan Utara dan beberapa pulau destinasi wisata 

bahari di Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Pulau Kakaban. Selain 

itu, pulau-pulau kecil di daerah tropis seperti di Delta Berau banyak 

memiliki potensi ancaman, di antaranya ancaman perubahan iklim 

karena karakteristik biofisiknya yang berelevasi rendah, luasan kecil, 

terisolasi, ekosistemnya rapuh (fragile), dan sumber daya alam yang 

terbatas (Duvat dkk., 2017).

Populasi kecil bekantan yang berhabitat pada pulau kecil di Delta 

Berau rentan mengalami kepunahan lokal. Berdasarkan konsep bio-

geografi, pulau-pulau tersebut merupakan pulau habitat sebenarnya 

(true island), di mana pulau yang menjadi habitat bekantan dikelilingi 

oleh perairan. Teori yang dicetuskan oleh Robert H. MacArthur dan 

Edward O. Wilson pada tahun 1967 dalam bukunya yang berjudul 

The Theory of Biogeography itu memprediksi jumlah spesies yang 

mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru tercipta. Dalam 

konteks ini kelestarian bekantan pada pulau habitat sangat tergantung 

pada titik kesetimbangan (equilibrium) antara laju kolonisasi dan laju 

kepunahan. Kesetimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh dua hal, 

yaitu luas pulau dan jarak pulau dengan daratan utama. Pulau kecil 

memiliki jumlah spesies lebih sedikit dan perlindungannya lebih 

Ekosistem Riparian, Harapan ... 149

rendah sehingga laju kepunahan lebih tinggi. Tambahan lagi, pulau 

yang terisolasi dan jaraknya jauh dari daratan utama akan memiliki 

spesies yang jauh lebih sedikit dan laju kolonisasinya lebih rendah 

daripada pulau yang lebih dekat.

Meskipun, bekantan merupakan satwa primata yang memiliki ke-

mampuan berenang yang baik, tetapi perairan yang mengisolasi pulau 

habitat tetap membatasi aliran genetik. Kondisi tersebut menyebabkan 

terbatasnya pasangan kawin dalam kelompok sehingga meningkatkan 

peluang terjadinya kawin kerabat (inbreeding). Inbreeding berpotensi 

memunculkan sifat-sifat negatif pada keturunannya sehingga akan 

memperlemah fitness dan mempercepat potensi terjadinya kepunahan 

lokal dalam jangka panjang (Ralls dkk., 2018).

F. Arti Penting Sonneratia spp.

Bekantan adalah satwa primata dari sub-famili Colobinae. Salah satu 

ciri utama dari Sub-famili tersebut adalah memiliki sistem pencernaan 

yang kompleks mirip dengan ruminansia. Kondisi tersebut merupakan 

adaptasi terhadap sumber pakannya yang umumnya tinggi akan serat 

dan sulit dicerna. Bekantan memiliki preferensi terhadap tumbuhan 

sumber pakan tertentu. Terkait dengan kelompok sumber pakannya, 

bekantan termasuk satwa foliovora/frugivora, yaitu sebagian besar 

pakannya berupa daun dan buah dari beberapa jenis tumbuhan 

(Yeager, 1989). Jenis pakannya tergantung pada keanekaragaman 

jenis tumbuhan yang ada di habitatnya. Bekantan yang hidup di 

hutan riparian memiliki variasi jenis tumbuhan pakan lebih tinggi 

dibandingkan yang hidup di hutan mangrove. Keberadaan bekantan di 

Delta Berau umumnya hidup di habitat dengan keberadaan Sonneratia 

spp. yang menjadi sumber pakan utama dan tempat beraktivitasnya 

(Gambar 11.2). Terdapat dua jenis Sonneratia di habitat bekantan, 

yaitu Sonneratia caseolaris yang dikenal masyarakat lokal dengan 

nama perangat dan S. alba yang dikenal dengan nama prepat. Kedua 

jenis tumbuhan tersebut memiliki habitat yang berbeda, perangat 

hidup di daerah yang jauh dari garis pantai dengan kadar salinitas 

rendah, sedangkan prepat lebih banyak dijumpai di tepi laut atau di 

daerah dengan salinitas tinggi.

.150

Foto: Ridi Haidir (2019)

Gambar 11.2 Bekantan jantan dewasa sedang beraktivitas di 

pohon Sonneratia caseolaris. 

Pucuk daun dari ke dua jenis Sonneratia tersebut sangat disukai 

oleh bekantan. Pohon Sonneratia sangat penting keberadaannya bagi 

bekantan, selain daunnya sebagai sumber pakan sering kali pohonnya 

digunakan sebagai pohon tidur dan tempat beraktivitas. Populasi 

bekantan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan Sonneratia tertekan. 

Hal itu dikarenakan bekantan selalu datang untuk memangkas pucuk-

pucuk daun mudanya untuk dimakan sehingga pohon menjadi kerdil 

seperti bonsai (Gambar 11.3). Kondisi tersebut diperparah dengan 

regenerasi tingkat pancang dan semai yang jarang dijumpai di sekitar 

tingkat pohon Sonneratia.

Ekosistem Riparian, Harapan ... 151

Foto: Tri Atmoko (2018)

Gambar 11.3 Bekantan di Feeding Site Bebanir Lama

Gangguan juga datang dari tongkang pengangkut batu bara yang 

sering parkir di tepi hutan riparian. Sering kali tongkang kapasitas 

ribuan ton tersebut ditambatkan di tepi sungai sehingga menghan-

curkan tumbuhan tepi sungai. Bahkan, terkadang tongkang diikat 

pada pohon besar perangat atau dungun (Heritiera littoralis) yang 

digunakan oleh bekantan sebagai pohon pakan dan pohon tidur. 

Selain menopang beban yang berat, tali pengikat tongkang juga 

menggerus lapisan kambium pohon sehingga mengakibatkan pohon 

tersebut tumbang atau mati.

G. Harapan Baru

1) Perlindungan Habitat

Di tingkat tapak, pemerintah daerah perlu melakukan penunjukan 

areal perlindungan bekantan di Delta Berau. Pulau-pulau kecil tidak 

berpenghuni manusia yang menjadi habitat bekantan, sebaiknya 

ditetapkan sebagai areal perlindungan bekantan. Di samping itu, 

perlu dilakukan pemantauan dinamika populasi yang terus-menerus 

oleh para peneliti di universitas atau Balai Konservasi Sumber Daya 

Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan populasi 

.152

kecil bekantan di pulau yang memiliki luasan terbatas dikhawatirkan 

mengalami masalah dalam jangka panjang ke depan, yaitu peluang 

terjadinya inbreeding. Oleh karena itu, penyegaran genetik perlu di-

lakukan dengan cara mendatangkan individu bekantan dari populasi 

lain di daratan utama, misalnya bekantan yang sudah direhabilitasi 

dari program rescue di habitat konflik maupun hasil translokasi dari 

habitat yang rusak atau terisolasi. 

Perlu adanya inisiasi untuk melindungi beberapa pulau yang saat 

ini menjadi habitat bekantan terutama oleh masyarakat adat setem-

pat. Misalnya, Pulau Saodang Kecil oleh masyarakat adat Kampung 

Pegat Batumbuk sebagai kawasan perlindungan mangrove. Selain 

itu, pemerintah Kecamatan Pulau Besing sedang melakukan inisiasi 

pengembangan desa wisata dengan memanfaatkan bekantan di Pulau 

Sambuayan, Pulau Bungkung, dan Pulau Besing sebagai objek daya 

tariknya.

Selain pulau kecil, wilayah Bebanir Lama juga memiliki potensi 

yang tinggi sebagai areal perlindungan bekantan. Pada lokasi tersebut 

terdapat feeding site bekantan seluas sekitar enam hektare yang berada 

di antara dua tipe hutan, yaitu hutan riparian dan hutan mangrove. 

Lokasi tersebut menjadi tempat berkumpulnya ratusan bekantan pada 

saat senja untuk memakan pucuk daun S.alba sebelum menuju pohon 

tidurnya. 

2) Mengamankan Sumber Daya Perairan dan Sempadan Sungai

Daerah sempadan sungai adalah daerah penyangga antara ekosistem 

perairan dan daratan. Sempadan sungai selain penting dalam me-

ngendalikan erosi dan banjir juga merupakan daerah yang penting 

bagi jalur pergerakan (koridor) satwa liar. Undang-Undang Nomor 

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa lebar zona 

penyangga sempadan sungai pada sungai besar dan kecil masing-

masing adalah selebar 100 dan 50 m dan siapapun dilarang melakukan 

penebangan pohon dalam jarak tersebut dari tepi sungai. Selain itu, 

menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Ren-

cana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, daerah sempadan sungai 

Ekosistem Riparian, Harapan ... 153

merupakan kawasan lindung nasional sebagai “kawasan perlindungan 

setempat”. Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten Berau nomor 09 

Tahun 2017 tentang RTRW Kabupaten Berau Tahun 2016–2036 juga 

telah menetapkan daerah sempadan sungai di daerah Delta Berau 

sebagai kawasan lindung. 

Daerah perairan Kampung Batu-Batu dahulu dikenal sebagai 

penghasil udang galah. Sayangnya, akibat ulah oknum tidak bertang-

gung jawab yang menggunakan cara-cara penangkapan ikan yang 

tidak ramah lingkungan menyebabkan populasi udang galah menurun 

drastis (Ridi Haidir, komunikasi pribadi, tanggal 9 Agustus 2019). Se-

bagai upaya mengembalikan potensi udang galah tersebut, Kelompok 

Swadaya Masyarakat (KSM) Perangat Timbatu di Kampung Batu-Batu 

telah membentuk tim patroli perairan dan membuat papan peringatan 

(Gambar 11.4). Tim tersebut bertugas melakukan pengawasan sumber 

daya perikanan dari penangkapan ikan ilegal menggunakan racun 

dan stroom (listrik), sekaligus memantau populasi bekantan yang ada. 

Keterangan: a) Papan nama areal perlindungan mangrove di Pulau Saodang Kecil; b) 

Papan larangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan di Sungai Telassau 

Foto: Ridi Haidir, Tri Atmoko (2018)

Gambar 11.4 Papan Peringatan di Kampung Batu-Batu

(a)    (b)

.154

3) Pengembangan Ekowisata

Beberapa habitat bekantan di Delta Berau berada di sekitar permukim-

an dan lokasi masyarakat beraktivitas. Kondisi tersebut memerlukan 

strategi dalam upaya menjaga dan melestarikan bekantan serta 

habitatnya. Salah satunya adalah dengan pengembangan ekowisata. 

Secara sederhana, pengertian ekowisata menurut The International 

Ecotourism Society adalah responsible travel to natural areas that 

conserves the environment and improves the well-being of local people. 

Dalam pelaksanaannya, ekowisata harus memenuhi beberapa hal, 

yaitu 1) menimbulkan dampak yang kecil bagi lingkungan dan sumber 

daya alam; 2) melibatkan berbagai stakeholder dalam perencanaan, 

pengembangan, pelaksanaan, dan monitoring; 3) menghormati budaya 

dan tradisi lokal; 4) memberikan pendapatan yang adil dan berkelan-

jutan bagi masyarakat lokal; 5) mendukung upaya konservasi kawasan; 

dan 6) memberikan pendidikan konservasi bagi semua stakeholder 

(Drumm & Moore, 2005).

Upaya partisipatif masyarakat lokal untuk mengembangkan 

ekowisata dengan hutan mangrove dan bekantan sebagai objek daya 

tarik wisata sudah mulai dilakukan. Lembaga Swadaya Masyarakat 

(LSM) Kanopi dan KSM Perangat Timbatu sejak tahun 2016 telah 

melakukan inisiasi dalam pengembangan ekowisata bekantan di 

Kampung Batu-Batu. Lokasi pengembangan berlokasi cukup strategis 

karena dilintasi jalur transportasi darat dan sungai yang meng-

hubungkan Kota Tanjung Redeb dengan tujuan wisata bawah laut 

yang sudah dikenal, yaitu Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Pulau 

Kakaban. Saat ini telah dibangun sarana pendukung ekowisata yaitu 

boardwalk dan shelter di areal hutan mangrove dan habitat bekantan 

di Kampung Batu-Batu. Selain itu, telah dikembangkan potensi lokal 

dengan pemberdayaan masyarakat dalam membuat makanan dan 

minuman dari bahan baku lokal. Produk dari tanaman mangrove 

dapat berupa dodol, selai, dan sirup buah mangrove. Pengenalan 

produk lokal perlu dilakukan melalui berbagai media promosi online. 

Dukungan program maupun dana diperlukan berasal dari berbagai 

LSM dan lembaga konservasi lainnya.

Ekosistem Riparian, Harapan ... 155

4) Restorasi Habitat

Beberapa habitat bekantan di Delta Berau seperti di Tanjung              

Perangat telah mengalami banyak kerusakan. Padahal, sesuai dengan 

namanya, dahulu daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon perangat 

(S.caseolaris) dan menurut masyarakat setempat menjadi habitat be-

kantan dengan populasi yang tinggi. Kerusakan habitat bekantan perlu 

diperbaiki kembali melalui upaya restorasi. Berdasarkan Permenhut 

No P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan 

Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, 

restorasi ekosistem tidak hanya terbatas pada tindakan penanaman 

dan pembinaan habitat saja, namun juga pembinaan populasi, per-

lindungan, dan pengamanan. Kegiatan restorasi habitat bekantan 

tersebut selaras dengan salah satu misi dari Strategi dan Rencana 

Aksi Konservasi (SRAK) Bekantan 2013–2022, yaitu meningkatkan 

restorasi habitat bekantan di dalam dan di luar kawasan.

Upaya restorasi habitat terutama di daerah sempadan sungai 

diharapkan dapat menyambung kembali habitat yang telah terfrag-

mentasi oleh berbagai aktivitas masyarakat. Konektivitas habitat 

penting dijaga untuk mencegah dampak buruk fragmentasi dan 

isolasi habitat pada populasi, yaitu inbreeding yang dapat menurunkan 

kualitas individu karena erosi genetik (genetik drift) (Ditjen KSDAE, 

2016). Tumbuhan untuk restorasi disarankan menggunakan jenis-

jenis asli yang ada di Delta Berau terutama jenis pohon tidur dan 

pakan bekantan, seperti Sonneratia caseolaris, S. alba, Avicennia alba, 

Rhizophora spp., Vitex pinnata, Heritiera littoralis, dan Elaeocarpus 

stipularis. 

5) Kawasan Ekosistem Esensial 

Status habitat bekantan di Delta Berau, selain kawasan hutan, seba-

gian besar merupakan areal penggunaan lain (APL). Banyaknya unit 

pengelola, hak guna usaha, dan pemilik lahan mengakibatkan perlu 

pengelolaan kolaboratif, salah satunya dalam pengelolaan kawasan 

ekosistem esensial (KEE). Pengertian KEE berdasarkan Peraturan 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya 

Nomor P.8 Tahun 2011 adalah ekosistem di luar kawasan konservasi 

.156

yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati 

yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam 

maupun di luar kawasan hutan. Delta Berau termasuk ekosistem yang 

esensial karena merupakan lahan basah sungai (riparian) dan areal 

hutan mangrove. Beberapa unit pengelolaan yang ada di Delta Berau 

di antaranya adalah hutan tanaman industri (HTI), hak guna usaha 

(HGU) perkebunan sawit dan tambang batu bara, APL, areal hak 

milik, dan areal hutan adat. Pengembangan KEE di areal Delta Berau 

dapat diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau karena 

areal sepenuhnya berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Berau.

Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan lingkungan dan 

upaya konservasi bekantan dan habitatnya perlu terus ditingkatkan. 

Melalui program corporate social responsibility (CSR), sektor swasta 

diharapkan dapat berpartisipasi mendukung upaya konservasi spesies 

langka dan dilindungi, salah satunya bekantan. Dalam rekomendasi 

hasil  Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) bekantan juga 

menekankan perlunya perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk 

melindungi hutan riparian di dalam areal konsesinya sebagai koridor 

hidupan liar, sekaligus mengurangi efek banjir di wilayah perkebunan 

kelapa sawitnya (Manansang dkk., 2005). Demikian juga, perusahaan 

izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri 

(IUPHHK-HTI) diharuskan melaksanakan pengelolaan hutan lestari 

(sustainable forest management) melalui keseimbangan tiga pilar, yaitu 

ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Berkaitan dengan aspek ekologi, 

pengelolaan dapat dilakukan melalui konservasi satwa terancam 

punah seperti bekantan.

H. Penutup

Delta Berau merupakan habitat penting bagi bekantan di Kalimantan, 

tetapi memiliki potensi konflik yang tinggi dengan manusia, terutama 

di daerah pesisir dan sempadan sungai. Fakta bahwa habitat bekantan 

berada di luar kawasan konservasi, diperlukan strategi pengelolaan 

dengan melibatkan seluruh stakeholder, terutama masyarakat lokal. 

Areal dengan populasi dan kesesuaian habitat tinggi, seperti pulau-

Ekosistem Riparian, Harapan ... 157

pulau yang tidak dihuni manusia perlu dilindungi secara lokal. Partisi-

pasi berbagai pihak sangat diperlukan untuk kelestarian bekantan dan 

habitatnya, demi harapan dan masa depan bekantan di Delta Berau.

--

Sebanyak 75% habitat orang utan di Kalimantan diperkirakan berada 

di luar kawasan konservasi. Salah satu contohnya adalah di Hutan 

Menamang. Hutan ini berdekatan dengan aktivitas manusia yang 

cukup dinamis di mana hutan dapat dikonversi setiap saat. Kelang-                                                                                                               

sungan hutan dan orang utan di Menamang makin mengkhawatirkan 

tanpa upaya konservasi nyata. Diperlukan dukungan dan kerja sama 

berbagai pihak dalam konservasi orang utan di Hutan Menamang. 

A. Pendahuluan

Orang utan merupakan satu-satunya kera besar yang penyebaran ala-

minya berada di luar benua Afrika. Jenis ini menghabiskan sebagian 

besar hidupnya di pohon dan memakan buah-buahan. Orang utan 

adalah salah satu penghuni hutan hujan tropis Malaysia dan Indonesia 


yang banyak menarik perhatian peneliti dari segala penjuru dunia 

sejak bertahun-tahun lalu. Sebarannya di Indonesia hanya terdapat 

di Sumatra dan Kalimantan yang ditempati oleh dua spesies yang 

berbeda. Orang utan di Pulau Sumatra memiliki nama latin Pongo 

abelii, dan masih di pulau yang sama, baru-baru ini ditemukan orang 

utan jenis baru Pongo tapanuliensis. Sesuai dengan nama jenisnya, 

orang utan ini berasal dari daerah Tapanuli, Sumatra Utara. Lain 

halnya dengan di Pulau Kalimantan yang memiliki tiga subspesies, 

yaitu Pongo pygmaeus di Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurmbii 

di Kalimantan Tengah, dan Pongo pygmaeus morio di Kalimantan 

Timur. Banyak yang berasumsi jika keberadaan sungai-sungai besar, 

seperti Mahakam dan Kapuas, berpengaruh besar terhadap terben-

tuknya subspesies orang utan di Kalimantan.

Jumlah orang utan di Indonesia makin menurun setiap tahunnya. 

International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahkan telah 

menggolongkan orang utan Sumatra dan Kalimantan sebagai critically 

endangered atau kritis dan terancam punah. Saat ini populasi orang 

utan di Sumatra dan Kalimantan masing-masing diperkirakan 6.000 

dan 55.000 individu. Meskipun jumlah orang utan di Kalimantan 

masih lebih banyak jika dibandingkan Sumatra, hal ini tidak men-

jamin populasinya akan terus bertahan. Pembukaan hutan untuk 

perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman monokultur, pertambangan, 

penebangan liar, dan perburuan liar adalah ancaman bagi kelangsun-

gan orang utan Kalimantan. Walaupun ditetapkan sebagai satwa yang 

dilindungi, orang utan tidak serta merta terlindungi.  

B. Hutan Menamang

Hutan Menamang adalah salah satu habitat orang utan di Kalimantan 

Timur yang terletak di tepi Sungai Menamang, sebuah sungai yang 

berhulu di Taman Nasional Kutai. Hutan Menamang termasuk dalam 

wilayah administrasi Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai 

Kartanegara, Kalimantan Timur (Gambar 12.1). Hutan ini terletak 

pada daerah bertopografi rendah sehingga acap tergenang saat musim 

penghujan tiba. Jika ditilik dari status kawasannya, Hutan Menamang 

 161

berstatus area penggunaan lain (APL), yaitu area yang tidak ditetap-

kan sebagai kawasan hutan. Status ini menyebabkan hutan dapat 

dikonversi menjadi fungsi lain yang telah disepakati. 

Keterangan: Warna kuning merupakan area konsesi milik PT Surya 

Hutani Jaya

Peta: Yaya Rayadin (2011)

Gambar 12.1 Posisi Hutan Menamang 

Hutan Menamang ibarat sebuah oase yang terletak pada lanskap 

yang didominasi oleh aktivitas manusia. Posisi hutan ini berbatasan 

dengan konsesi perusahaan PT Surya Hutani Jaya, sebuah hutan 

tanaman industri dengan jenis tanaman utama Acacia mangium dan 

Eucalyptus sp.. Letak Hutan Menamang juga bersebelahan dengan 

perkebunan kelapa sawit milik PT Hamparan Sentosa, kebun-kebun 

masyarakat, dan permukiman. Posisi hutan yang “terkepung” tersebut 

menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kelestariannya. Akankah 

hutan ini terus bertahan di masa depan? 

Hutan Menamang kaya akan flora. Setidaknya terdapat 105 

jenis pohon yang telah teridentifikasi dalam petak seluas tiga hektare 

(Sayektiningsih dkk., 2017). Jenis pohon tersebut didominansi Suku 

.162

Euphorbiaceae, disusul oleh Suku Verbenaceae, Moraceae, Lythraceae, 

dan Dilleniaceae. Jenis pohon yang tumbuh melimpah di Hutan     

Menamang adalah bungur (Lagerstroemia speciosa). Jenis ini memang 

lazim tumbuh di daerah riparian. Anatomi biji bungur cukup unik 

karena dilengkapi oleh sayap yang memungkinnya menjangkau dae-

rah yang luas jika tertiup angin. Selain bungur, jenis-jenis pohon yang 

tumbuh di Hutan Menamang adalah mahang (Macaranga gigantea), 

kenanga (Cananga odorata), sempur (Dillenia excelsa), sengkuang 

(Dracontomelon dao), dan laban (Vitex pinnata).

Hutan Menamang tersusun oleh pohon-pohon dengan diameter 

antara 10 sampai 20 cm. Meskipun demikian, terdapat beberapa 

pohon yang memiliki diameter lebih dari 70 cm, seperti bungur dan 

sengkuang. Tinggi pohon bervariasi dengan rata-rata tinggi 13,65 m. 

Jarak antar pohon tidak rapat sehingga memungkinkan sinar matahari 

masuk hingga lantai hutan. Fenomena ini memberikan keuntungan 

terutama bagi biji-biji pohon yang masih “tertidur” di dalam tanah. 

Masuknya sinar matahari yang hangat dapat merangsang biji-bijian 

berkecambah untuk selanjutnya menjadi individu baru yang siap 

mewarnai dinamika ekosistem Hutan Menamang.

C. Pertemuan dengan Sarang Orang Utan

Keberadaan orang utan di alam liar sulit dideteksi karena sering kali 

bersembunyi di antara rimbun dedaunan hutan. Oleh karena itu, 

melihat orang utan secara langsung atau menghitung kepadatannya 

merupakan hal yang sulit. Meskipun demikian, kondisi ini bukan 

menjadi kendala bagi peneliti. Jejak keberadaan orang utan dapat 

dilihat dari sarang yang dibuatnya. 

Layaknya manusia yang membutuhkan kenyamanan saat 

tidur, orang utan juga membutuhkan hal yang sama. Jika manusia 

memerlukan alas tidur, seperti kasur atau karpet, orang utan juga 

memerlukan alas tidur. Alas tidur orang utan adalah sarang yang 

dibuat dari anyaman ranting-ranting pohon dan dedaunan. Hampir 

setiap hari orang utan membangun sarang dengan cara membengkok-

kan ranting-ranting pohon dan menjalinnya satu sama lain. Apabila 

 163

dilihat dari permukaan tanah, struktur dasar sarang orang utan sangat 

rapi dan kokoh. Struktur inilah yang nantinya sangat membantu 

dalam membedakan sarang orang utan dengan satwa liar lainnya. 

Pucuk pohon, ujung dahan, dan cabang utama merupakan beberapa 

tempat dimana sarang dibuat. Selain itu, tidak jarang sarang dibuat 

pada pertemuan dua atau tiga lebih cabang pohon ataupun di atas 

permukaan tanah, terutama bagi orang utan yang sudah tidak sanggup 

untuk memanjat pohon.

Ketahanan sarang orang utan sangat bergantung dari tipe hutan, 

termasuk komposisi vegetasi penyusunnya, serta variabel lingkungan. 

Seperti di bentang alam Leuser, pada tipe hutan dataran rendah, umur 

sarang orang utan mencapai 231,3 hari, sedangkan di subpegunungan 

mencapai 192,7 hari. Lama laju pelapukan sarang orang utan, wa-

laupun pada tipe habitat yang berbeda mungkin berlangsung sama, 

terutama jika tipe hutan tersebut memiliki pH lapisan tanah atas 

(topsoil) yang sama (Wich dkk., 2004). Dalam pendugaan kepadatan 

dan populasi, penaksiran umur sarang (t) yang tepat adalah salah satu 

hal yang sangat penting. Kesalahan dalam menaksir umur sarang 

menyebabkan hasil perhitungan kepadatan maupun populasi orang 

utan menjadi tidak akurat. 

Sarang orang utan terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan 

kondisi komponen penyusunnya. Mengutip artikel dari Johnson dkk. 

yang diterbitkan tahun 2005, sarang orang utan dibagi menjadi 5 

kelas, yaitu A, B, C, D, dan E. Sarang dengan tipe kelas A merupakan 

sarang yang masih baru di mana daun-daun penyusun sarang masih 

berwarna hijau, tipe B adalah sarang yang relatif baru, dicirikan 

dengan masih adanya daun-daun berwarna hijau dengan beberapa 

daun yang sudah berwarna coklat atau mengering. Tipe C adalah 

sarang yang daun-daunnya sudah berwarna coklat akan tetapi bentuk 

sarang masih utuh. Tipe D adalah sarang yang sudah berlubang-

lubang karena daun-daun sudah mulai menghilang, sedangkan tipe 

E adalah sarang yang sudah tua, tidak ada daun yang tertinggal, dan 

hanya menyisakan batang atau ranting. 

.164

Metode yang sering digunakan untuk penghitungan sarang orang 

utan adalah garis transek (line transect). Melalui metode ini, 32 sarang 

orang utan berhasil ditemukan di hutan tepi Sungai Menamang. 

Umumnya, orang utan membangun satu sarang pada satu pohon, 

tetapi tidak jarang dalam pohon yang sama terdapat dua atau tiga 

sarang sekaligus. Setidaknya terdapat 26 jenis pohon digunakan 

sebagai tempat membangun sarang di hutan tepi Sungai Menamang, 

seperti bayur (Pterospermum javanicum), rambutan hutan (Nephelium 

cuspidatum), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis fulva), 

sempur (Dillenia reticulata), sengkuang (Dracontomelon dao), laban 

(Vitex pinnata), dan bungur (Lagerstroemia speciosa (Gambar 12.2).

Foto: Tri Sayektiningsih (2011)

Gambar 12.2 Salah Satu Sarang Orang Utan di Hutan Menamang

Menariknya, orang utan di Hutan Menamang juga membangun 

sarang pada pohon pakan sekaligus. Perilaku tersebut jarang dilaku-

kan di habitat yang masih baik untuk menghindari predator. Namun, 

orang utan Kalimantan hampir tidak memiliki predator, berbeda 

dengan kerabatnya yang hidup di hutan-hutan Sumatra sehingga 

dapat dikatakan jika perilaku orang utan membuat sarang di pohon 

pakan lebih disebabkan oleh kondisi habitat yang makin rusak.

 165

Orang utan umumnya membangun sarang di cabang utama, 

sisanya sarang dibuat pada ujung dahan dan cabang utama. Beberapa 

pustaka menyebutkan jika orang utan menyukai cabang utama sebagai 

lokasi sarang karena posisi tersebut cukup stabil untuk menopang 

tubuhnya yang berukuran besar. Selama penelitian, telah ditemukan 1 

sarang kelas A, 2 sarang kelas B, 6 sarang kelas C, 9 sarang kelas D, dan 

15 sarang kelas E. Penemuan sarang dengan tipe kelas A menunjukkan 

jika hutan tepi Sungai Menamang merupakan habitat yang masih aktif 

digunakan oleh orang utan untuk beraktivitas. 

D. Ancaman Terhadap Hutan Menamang dan Orang 

utan

Status lahan Hutan Menamang yang termasuk APL menyebabkan 

kondisinya makin mengkhawatirkan karena setiap saat dapat berubah 

menjadi perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman monokultur, mau-

pun kebun masyarakat. Hutan Menamang kian menyempit karena laju 

perubahan tutupan lahan di sekitarnya yang begitu cepat. Pada tahun 

2011 masih banyak blok-blok yang berhutan lebat. Namun, pada 

tahun 2012 blok-blok hutan tersebut sudah menjadi tanah kosong 

yang siap ditanami bibit kelapa sawit. Ekspansi perusahaan kelapa 

sawit merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian Hutan Menamang 

(Gambar 12.3). Skema kebun plasma yang dijalankan oleh perusahaan 

akan makin memperburuk situasi jika tidak diawasi. Kebun plasma 

adalah salah satu bentuk kontribusi perusahaan dalam peningkatan 

kesejahteraan hidup masyarakat sekitar. Dalam skema ini, masyarakat 

akan diberi bantuan teknik dan finansial dalam mengelola kebunnya. 

Jika sebelumnya lokasi kebun plasma harus berada di dalam area hak 

guna usaha (HGU), menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 

98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, saat ini 

kebun plasma yang disyaratkan seluas 20% dari HGU perusahaan 

dapat berada di luar konsesi perusahaan. Artinya, masyarakat bebas 

menggunakan APL sebagai areal perkebunan walaupun mungkin ja-

raknya kurang dari 50–100 m dari tepi sungai. Hal demikian tentunya 

akan menjadi ancaman baru karena masyarakat bisa membuka hutan 

sebagai areal perkebunan.

.

Ancaman terhadap Hutan Menamang juga berasal dari pola 

penggunaan lahan di tepi sungai. Hal ini penulis sadari saat menyusuri 

Sungai Menamang dengan menggunakan ketinting atau perahu kecil 

yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai alat transportasi atau 

menangkap ikan di Kalimantan. Selama menyusuri sungai, terlihat 

tutupan hutan di tepi Sungai Menamang yang sudah tidak kontinu. 

Masyarakat membuka hutan untuk berladang, berkebun, dan me-

nanaminya dengan tanaman pertanian, seperti cabai serta tanaman 

buah-buahan. Makin ke selatan mendekati Cagar Alam Muara 

Kaman Sedulang, makin banyak rumah-rumah berjejer rapi di tepi 

sungai, bahkan areal pemakaman. Namun, ada kalanya rumah-rumah 

masyarakat dipisahkan oleh hutan. Sebenarnya, jika Hutan Menamang 

terpelihara dan lestari, hutan ini dapat berfungsi sebagai koridor 

satwa yang menghubungkan kantong-kantong hutan di sekitar Desa 

Menamang dengan Taman Nasional Kutai. Dalam masa perubahan 

iklim seperti sekarang ini, keberadaan koridor satwa sangat penting 

sebagai salah satu strategi adaptasi. Koridor satwa dapat mencegah 

terjadinya efek buruk dari fragmentasi habitat, seperti inbreeding atau 

perkawinan kerabat dekat.

 167

Makin terdesak dan tergerusnya Hutan Menamang akan 

berakibat makin berkura