utan campuran, savana rumput, serta di daerah
budidaya termasuk kebun rakyat dan ladang di sekitar permukiman
yang bervegetasi semak cukup rapat, seperti perkebunan karet dan
kelapa sawit (Manshur dkk., 2015). Namun demikian, satwa ini lebih
banyak ditemukan di hutan sekunder karena habitat ini memberikan
kemudahan untuk menempatkan lubang tidur dan ketersediaan pakan
utamanya berupa semut dan rayap.
Trenggiling mencari makan dan bersarang pada cekungan
tonggak pohon, cabang kayu, lubang di kelerengan sekitar 30–60°,
dan menghadap matahari agar memudahkan dalam menggali serta
menjaga temperatur. Kuswanda dan Setyawati (2015) menyatakan
bahwa seleksi penempatan lubang pakan dan sarang tidur dipengaruhi
oleh jenis dan sedikitnya jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan
tumbuhan bawah serta pH tanah yang mendekati normal. Jenis pohon
yang digunakan trenggiling untuk membuat lubang di bawahnya
adalah pohon yang berukuran cukup besar (Ø>50 cm), memiliki
tajuk yang lebar, perakaran kuat, dan berbanir (Gambar 9.2). Jenis
117
pohon tersebut, antara lain Ficus ribes, Castanopsis javanica, Altingia
excelsa, Schima wallichii, dan Lithocarpus indicus.
Trenggiling tidur di dalam lubang pohon atau tanah sehingga
tubuhnya sering dipenuhi dengan caplak (Amblyomma javanense)
yang tersembunyi di balik sisiknya, berkisar antara 20–100 individu
(Gambar 9.3). Caplak tersebut melukai kulit dan bekas gigitannya da-
pat menimbulkan penyakit kulit karena ektoparasit ini hidup dengan
cara menghisap darah dan menjadi vektor bagi sejumlah penyakit
menular.
Foto: Reny Sawitri (2015)
Gambar 9.2 Sarang Trenggiling di Bawah Akar Pohon
Castanopsis
.118
B. Trenggiling dalam Perspektif Budaya dan Mitos
Masyarakat memiliki kearifan dan pengetahuan lokal mengenai satwa,
seperti trenggiling yang berkaitan dengan sosial budaya yang dikenal
dengan istilah Etnozoologi. Sosial budaya tersebut mencakup ritual
budaya, simbol atau mitos, dan pengobatan secara tradisional. Pada
umumnya, masyarakat tradisional menggunakan trenggiling sebagai
bahan dalam ritual budaya atau kepercayaan. Secara tradisional,
di India trenggiling merupakan bagian dari ritual budaya melalui
Keterangan: a. badan trenggiling; b. caplak pada trenggiling; c. caplak yang diperbesar
Foto: Mariana Takandjandji & Anita Rianti (2016)
Gambar 9.3 Trenggiling di Alam yang Badannya Dipenuhi Caplak
(a)
(b) (c)
119
Festival Berburu Shikar dalam perayaan Budha Purnima Utsa, dengan
menggunakan asap untuk menangkap trenggiling di lubang sarang
(Mohapatra dkk., 2015). Kearifan lokal antara satwa dan lingkung-
annya berupa ekologi, habitat, dan perilaku dikembangkan dalam
sebuah interaksi. Interaksi tersebut diwujudkan dalam simbol-simbol
dalam bentuk mitos. Hal ini berarti bahwa trenggiling sarat dengan
mitos. Suku Dayak di Kalimantan, misalnya, memercayai trenggiling
sebagai pertanda buruk atau jelmaan setan sehingga satwa ini diburu
dan dibunuh untuk menghilangkan roh jahat.
Trenggiling juga dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional.
Menurut kepercayaan masyarakat tradisional, keseluruhan bagian
tubuh trenggiling dapat dimanfaatkan dan berguna bagi kesehatan.
Penangkapan trenggiling oleh masyarakat didorong oleh manfaat
yang diperoleh dari darahnya untuk mengobati penyakit eksem basah
dengan cara membalurkan darahnya pada bagian tubuh yang sakit.
Selain itu, sisik trenggiling digunakan untuk mengobati penyakit kulit
dan dagingnya diolah untuk dikonsumsi.
Trenggiling diburu secara intensif di negara Tiongkok untuk
dinikmati kelezatan dagingnya, sedangkan kulit, sisik, dan darahnya
dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional traditional chinese medi-
cine (TCM). Masyarakat Tiongkok bagian utara menangkap trenggiling
saat muncul dari sarang pada musim dingin dan selanjutnya dibunuh
dengan cara memukul kepalanya dan memotong lidahnya sehingga
darah segar yang keluar ditampung untuk kemudian ditambahkan
pada alkohol sebagai minuman tonik penambah vitalitas. Masyarakat
Tiongkok percaya bahwa daging dan organ tubuh trenggiling teru-
tama sisik berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, mulai dari
penyakit kulit, melancarkan peredaran darah, menambah vitalitas,
memperlancar ASI, hingga menyembuhkan kanker. Masyarakat
Tiongkok juga menyukai janin trenggiling sebagai hidangan sop,
sedangkan trenggiling dewasa disajikan baik dalam keadaan hidup
maupun disembelih untuk disantap.
Di Afrika, anak dan betina dewasa trenggiling diambil bagian-
bagian tubuhnya, terutama tulang punggung, mata, lengan, kaki, dan
.120
organ-organ reproduksi, untuk mengobati penyakit ketidaksuburan
pada wanita, reumatik, penanganan masa nifas, fibroid, gangguan
pencernaan (gastro-intestinal disorders), hemorrhoids, kanker rahim,
gonorrhoe, pengatur siklus menstruasi, gangguan kelamin, rahim
kering, perlindungan tubuh dari penangkal racun, penyakit kejiwaan,
pheumonia, dan stroke (Soewu & Adekanola, 2011). Namun, semua
manfaat trenggiling hanya mitos karena hasil penelitian membuktikan
bahwa tidak ada kandungan zat spesifik pada daging dan sisik treng-
giling yang mendukung klaim sebagai obat. Daging trenggiling juga
tidak memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dari daging ayam.
Oleh karena itu, disarankan bagi masyarakat dan pemburu agar tidak
lagi memburu atau menangkap trenggiling karena semuanya hanya
mitos. Menurut Jacobs dkk. (2019), sisik trenggiling tidak memiliki
kandungan tramadol ataupun tramadol HCL untuk mengurangi rasa
sakit dan bengkak (swelling). Hasil penelitian tersebut membuktikan
mitos tentang pengobatan tradisional yang terjadi di Afrika dan Asia
serta penggunaannya untuk berbagai pengobatan terhadap penyakit
(ailments). Di samping itu, juga belum ada penelitian mengenai daging
dan darah trenggiling yang mendukung pemanfaatannya sebagai tonik
ataupun TCM.
C. Perburuan dan Perdagangan Liar
Saat ini, trenggiling merupakan salah satu satwa mamalia yang pa-
ling banyak diselundupkan di dunia. Penyelundupan trenggiling di
Indonesia paling besar terjadi di Sumatra (83%). Hal ini menunjukkan
bahwa daerah ini merupakan penghubung dari Indonesia ke Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Laos untuk selanjutnya menuju ke USA,
Mexico, Jepang, dan China (Maneesai & Chavalviwat, 2008).
Populasi trenggiling mengalami tekanan yang makin berat
akibat perkembangan perekonomian dan perubahan lingkungan
yang memicu masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk melaku-
kan perburuan dan perdagangan liar di Indonesia. Kondisi ini juga
telah merambah masyarakat tradisional, seperti Orang Rimba dan
masyarakat Melayu, yang telah mengalami perubahan cara pandang
atau pola pikir (paradigm) dan orientasi kearifan lokal terhadap
121
satwa liar. Trenggiling dimanfaatkan untuk dijual guna memperoleh
penghasilan berupa uang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan etnis masyarakat.
Tingginya permintaan trenggiling di dunia memicu perdagang-
an secara ilegal. Perdagangan trenggiling secara ilegal menarik
masyarakat untuk melakukan perburuan. Pemburu trenggiling di
Vietnam dilakukan dengan mengenali keberadaan atau menandai
bekas cakaran, lubang masuk, dan jejak ekor. Pemburu lebih banyak
mengenali keberadaan trenggiling pada musim hujan karena satwa ini
akan meninggalkan jejak saat beraktivitas. Setelah itu, pemburu lalu
menggunakan alat jebakan, anjing pelacak, senar kabel, atau senapan.
Mamalia yang paling banyak diburu dari alam dan diperdagang-
kan antar negara terbanyak di Asia adalah trenggiling (TRAFFIC
Southeast Asia, 2008). Hasil sitaan populasi trenggiling jawa
dari tahun 2002–2015 sebesar 31.946 individu. Namun, menurut
Wihardandi (2013), hasil sitaan tersebut diperkirakan hanya sekitar
10% dari keseluruhan perdagangan secara ilegal sehingga diperkira-
kan yang diekspor sesungguhnya adalah sejumlah 319.460 individu
(Takandjandji & Sawitri, 2016b). Penyitaan spesimen trenggiling
sebagian besar dalam keadaan mati (79%) dan hanya 21% trenggiling
yang hidup (Gambar 9.4). Namun, kondisi trenggiling yang hidup
cukup menyedihkan karena kekurangan pakan dan minum, serta
terluka akibat berdesak-desakan dalam kandang sempit.
Tingginya angka penyelundupan trenggiling di Sumatra
merupakan akumulasi dari pulau-pulau di sekitarnya, yaitu Pulau
Kalimantan dan Jawa. Trenggiling dikirim lewat laut ataupun darat
dengan mobil ekspedisi yang disamarkan dengan ikan asin dan belut.
Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan dan kerja sama antara para
pihak yang terdiri atas masyarakat lokal, pengelola kawasan hutan dan
biodiversitas, penegak hukum, petugas karantina, dan non-government
organization (NGO) secara terstruktur horizontal dan vertikal, baik
nasional maupun internasional.
.122
D. Nilai Ekonomi Trenggiling
Populasi trenggiling di alam diperkirakan menurun lebih dari 50%
dalam waktu 15 tahun terakhir (IUCN, 2012). Hal ini dipicu oleh
kebutuhan daging dan sisik trenggiling di Tiongkok yang diperkira-
kan sekitar 100.000–135.000 kg per tahun. Oleh karena itu, untuk
memenuhi permintaan tersebut, sejak tahun 1990-an telah dilakukan
impor dari negara Asia. Perdagangan trenggiling secara ilegal ke
Tiongkok dimulai sejak tahun 1925. Pada tahun-tahun berikutnya,
penyelundupan ilegal dilakukan di beberapa pelabuhan, tetapi tidak
pernah terdeteksi. Penyelundupan trenggiling mulai melonjak sejak
2007 (Tabel 9.1).
(b) (c)
(a)
Keterangan: a. Trenggiling yang mati; b. trenggiling dalam kemasan freezer; c. sisiknya
Pasokan trenggiling ke Tiongkok berasal dari negara Asia Selatan
dan Tenggara. Permintaan pasar yang meningkat dan nilai ekonomi
yang tinggi mendorong meningkatnya perdagangan ilegal. Negara
yang dituju sebagai pasar utama adalah Tiongkok, sedangkan lokasi
transit di Asia Tenggara, di antaranya Malaysia, Singapura, Vietnam,
Thailand, Laos, Myanmar, dan Hongkong. Di Indonesia, trenggiling
dikirim melalui Pelabuhan Belawan, Medan, Pelabuhan Tanjung Priok
(DKI Jakarta), Bandara Juanda (Surabaya), dan Bandara Soekarno-
Hatta (Tangerang, Banten) (Gambar 9.5).
Berdasarkan wawancara dengan pemburu ilegal didapatkan infor-
masi bahwa nilai ekonomi trenggiling dibedakan menurut kondisinya,
hidup atau mati berupa daging, sisik, dan bagian organ lainnya. Harga
daging trenggiling di pasaran Indonesia rata-rata US$20 atau sekitar
Rp260.000/kg dan sisik US$250–US$300/kg atau sekitar Rp3.250.000–
Rp3.900.000/kg. Apabila sampai ke tujuan di Tiongkok, harga untuk
daging US$175–US$300 atau sekitar Rp2.275.000–Rp3.900.000/kg
dan untuk sisik US$1,400 atau sekitar Rp18.200.000/kg.
.124
Keterangan: Frekuensi pengiriman dinyatakan dengan ketebalan
garis; Asal pengiriman dari Sumatra (garis merah), Jawa (garis hijau),
Kalimantan (garis oranye), dari Indonesia dengan lokasi yang tidak
spesifik (garis biru), dan dari luar Indonesia (garis biru muda).
Sumber: The Maritime Executive (t.t)
Gambar 9.5 Jalur Perdagangan Trenggiling
E. Strategi Penyelamatan Trenggiling
Maraknya perdagangan trenggiling secara ilegal yang ditunjukkan
dengan banyaknya hasil sitaan dari tahun 2002–2019 mengundang
keprihatinan dan pertanyaan dari mana asal trenggiling tersebut
ditangkap dan dikumpulkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pendekatan analisis genetik yang diaplikasikan untuk identifikasi
jenis, forensik untuk koleksi ilegal, analisis penyakit, dan identifikasi
dinamika populasi.
Penangkaran trenggiling di Sumatra Utara merupakan satu-
satunya penangkaran yang ada di Indonesia yang dapat menampung
trenggiling hasil sitaan dari alam, untuk direhabilitasi sehingga dapat
dikembalikan ke alam (Sawitri & Takandjandji, 2016). Namun, sejalan
dengan berjalannya waktu, penangkaran tersebut ditutup oleh Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara karena diindi-
kasikan penangkaran hanya menjadi kamuflase terhadap perdagangan
trenggiling di penangkaran. Sejauh ini belum ada penangkaran treng-
giling yang dikelola secara baik dan berhasil menambah populasi di
125
penangkaran. Hal itu dikarenakan biaya pakan dan habitat buatan
yang terlalu mahal sehingga tidak ekonomis untuk dikembangkan.
F. Penutup
Kenaikan permintaan trenggiling mengakibatkan nilai ekonominya
menjadi tinggi. Fenomena ini mendorong meningkatnya perdagangan
trenggiling secara ilegal yang berakibat populasinya di alam me-
ngalami kelangkaan. Namun, upaya penangkaran belum menunjuk-
kan keberhasilan sehingga memerlukan tanggap darurat penanganan
khusus melalui penegakan hukum lintas sektoral. Selain itu, perlu
diikuti dengan program konservasi trenggiling dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pentingnya kehadiran trenggiling dalam suatu
ekosistem.
Elang jawa (Nisaetus bartelsi) dikenal sebagai burung yang memiliki
kemiripan dengan lambang negara Republik Indonesia. Burung
dengan ciri khas adanya jambul di kepala tersebut telah ditetapkan
sebagai satwa langka Indonesia sejak tahun 1993 dan merupakan
spesies endemik Pulau Jawa. Kerusakan habitat alami, rendahnya
reproduksi, dan adanya perburuan liar mengakibatkan populasinya
terus menurun. Oleh karena kelangkaannya, jenis ini secara nasional
telah dimasukkan sebagai jenis satwa yang dilindungi berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 dan secara
global dikategorikan sebagai spesies genting (endangered) dalam Red
List of Threatened Species oleh International Union for Conservation of
Nature (IUCN). Serangkaian strategi dan upaya konservasi elang jawa
telah disusun oleh pemerintah Indonesia dengan terbitnya Peraturan
V.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor P.58/Menhut-II/2013
tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Elang Jawa
tahun 2013–2022. Dengan adanya SRAK, serangkaian kegiatan telah
dirumuskan untuk melestarikan populasi elang jawa di Indonesia.
A. Mengenal Elang Jawa
Siapa yang tidak mengenal lambang Negara Republik Indonesia,
Burung Garuda Pancasila. Burung garuda resmi digunakan sebagai
lambang Negara Republik Indonesia sejak 11 Februari 1950, yaitu
setelah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun
1951 tentang Lambang Negara. Perancang lambang Garuda Pancasila
adalah Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II atau dikenal sebagai
Sultan Hamid II, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara
Republik Indonesia Serikat (Suciptoardi, 2008). Lambang Garuda
Pancasila mengalami beberapa kali penyempurnaan. Rancangan
awalnya terdapat unsur manusia di dalamnya, selanjutnya atas
masukan dari Masyumi unsur tersebut dihilangkan karena dianggap
sarat dengan mitologi. Pada penyempurnaan selanjutnya Presiden
Soekarno mengusulkan menambahkan jambul di kepala agar tidak
mirip dengan lambang Negara Amerika Serikat (Sejarah Terbentuknya
Lambang, 2019) (Gambar 10.1).
Keterangan: Usulan awal dari Sultan Hamid II (kiri), penyempurnaan atas berbagai usulan
(tengah), dan lambang Garuda Pancasila yang saat ini digunakan (kanan).
Sumber: literasipublik (2019)
Gambar 10.1 Penyempurnaan Lambang Negara Garuda Pancasila
Elang Jawa, Satwa ... 129
Burung Garuda dikatakan hewan mitos yang memiliki sepasang
sayap, berkepala burung namun bertubuh manusia yang menjadi
wahana atau kendaraan dari Dewa Wisnu (Eks, 2019). Garuda tampil
di berbagai candi kuno di Indonesia dalam bentuk relief atau arca,
seperti yang ada candi Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran,
Belahan, Sukuh, dan Cetho. Dalam banyak kisah, garuda melam-
bangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan,
dan kedisiplinan. Sebagai kendaraan Wisnu, garuda juga memiliki
sifat Wisnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta.
Sementara dalam tradisi Bali, garuda dimuliakan dengan istilah “Tuan
segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja agung para burung”.
Posisi mulia garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah
menjadikan garuda sebagai simbol nasional Indonesia (Baan, 2017).
Keberadaan burung garuda masih menjadi perdebatan apakah
betul-betul ada atau hanya mitos, tetapi faktanya ada satu jenis
burung yang mempunyai mirip, yaitu elang jawa. Menurut Ketua
Perkumpulan Raptor Indonesia, Zaini Rakhman, pemerintah secara
tidak langsung sudah mengakui bahwa garuda itu adalah burung
elang jawa sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor
4 Tahun 1993 tentang Penetapan Satwa Langka Nasional. Hal senada
juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Konservasi Elang Indonesia,
Gunawan, bahwa elang jawa memang memiliki kemiripan dengan
burung garuda misalnya pada jambul, dan warna bulu yang keemasan
saat masih muda (Yudhi, 2018).
Elang jawa (Nisaetus bartelsi) dikenal juga sebagai the javan
hawk-eagle merupakan spesies endemik Pulau Jawa. Elang jawa meru-
pakan jenis elang berukuran sedang yang berukuran 60–70 cm atau
yang terkecil berukuran 56–61 cm apabila diukur dari ujung paruh
sampai ujung ekor. Rentang sayapnya dapat mencapai 110–130 cm
(Hermawan, 2019). Ciri-ciri yang paling khas dari elang jawa adalah
adanya jambul di kepalanya (Riatmoko, 2013) (Gambar 10.2). Bagian
sisi kepala dan tengkuk berwarna coklat, sedangkan tenggorokan
putih dengan garis hitam pada bagian tengah. Bulu di punggung dan
sayap berwarna coklat gelap; bulu ekor panjang dan berwarna coklat
.130
dengan garis-garis hitam. Bagian bawah tubuh yang lain berwarna
keputih-putihan, bercoretan coklat gelap pada dada, dan bergaris
tebal coklat gelap pada perut (Burung elang jawa, 2017). Individu
muda memiliki warna bulu pada kepala bagian bawah kuning tua
kemerahan
(a) (b)
Keterangan: a. Sosok elang jawa b. Seekor elang jawa yang telah dipasangi wing marker
(penanda sayap), banding (cincin bernomor seri), dan microchip
Foto: a) kibrispdr.org (t.t), b) Riatmoko (2013)
Gambar 10.2 Elang Jawa
Elang jawa dapat bereproduksi sepanjang tahun, tetapi perka-
winan biasanya terjadi antara bulan Januari hingga Juli. Elang jawa
matang secara seksual pada usia 3–4 tahun, dan setelah perkawinan
biasanya menghasilkan satu butir telur. Telur akan menetas setelah
dierami selama 47–48 hari (Prawiradilaga, 2006). Pengembangbiakan
elang jawa menjadi perhatian utama dan ditemukannya sarang dan
anakan elang jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) pada hari Selasa (21/4/2019) menjadi kabar gembira bagi
banyak pihak (BBTN Gunung Gede, 2019) (Gambar 10.3). Elang
jawa kemungkinan dapat berkembang biak dalam interval yang lebih
pendek karena pengaruh iklim dan/atau hilangnya ketergantungan
anak elang jawa muda kepada induknya (Nijman dkk., 2000).
Elang Jawa, Satwa ... 131
Foto: BBTN Gunung Gede (2019)
Gambar 10.3 Anak Elang Jawa yang Baru Lahir di Taman Nasional
Gede Pangrango
B. Habitat Elang Jawa
Habitat elang jawa tersebar di Pulau Jawa. Sebagai jenis endemik Pulau
Jawa, keberadaannya diketahui di seluruh Pulau Jawa mulai dari Jawa
bagian barat sampai dengan ujung timur Pulau Jawa. Kajian Van Balen
dkk. (1999) yang menggunakan data survei sejak tahun 1980 dan
dilengkapi data dari spesimen herbarium mencatat terdapat 27 area
sebaran elang jawa di Pulau Jawa, yaitu:
• Jawa Barat: 1) Taman Nasional Ujung Kulon, 2) Gunung
Aseupan, 3) Gunung Karang, 4) Gobang, 5) Gunung Halimun,
6) Gunung Salak, 7) Jampang, 8) Megamendung dan Puncak, 9)
Pegunungan Gede dan Pangrango, 10) Pegunungan Patuha dan
Tilu, 11) Gunung Papandayan dan Kawah Kamojang, dan 12)
Pegunungan Tangkuban perahu dan Burangrang.
• Jawa Tengah: 13) Pegunungan Pembarisan, 14) Gunung Slamet,
15) Pegunungan Cupu dan Simembut, 16) Pegunungan Dieng,
17) Gunung Ungaran, 18) Gunung Merapi dan Merbabu, 19)
Gunung Muriah.
.132
• Jawa Timur: 20) Gunung Liman dan Wilis, 21) Gunung Arjuno,
22) Gunung Kawi dan Kelud, 23) Bantur dan Lebakharjo, 24)
Dataran tinggi Yang, 25) Taman Nasional Meru Betiri, 26)
Gunung Raung dan dataran tinggi Ijen, dan 27) Taman Nasional
Alas Purwo.
Luasan areal habitat elang jawa meningkat sejak dicanangkannya
peraturan pemerintah untuk melindungi dan meningkatkan 10%
populasi elang jawa selama tahun 2015–2019. Sebagai contoh, hasil
pemodelan distribusi spasial habitat elang jawa di Jawa Barat tahun
2014–2015 menunjukkan terdapat 17 habitat elang jawa pada total
area sebesar 3.955 km2 yang mengalami peningkatan sebesar 741
km2 (31,73%) dari total luas habitat elang jawa tahun 2002 (Azmi
dkk., 2016). Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur. Hasil validasi
melalui pengecekan lapangan (ground-truth checked) menunjukkan
distribusi habitat elang jawa di Jawa Timur, sebanyak 28 habitat pada
area seluas 4.766,26 km2, meningkat sebesar 2.156,14 km2 (82,61%)
dari total sebaran elang jawa di tahun 2002 (Murad & Syartinilia,
2021). Dari total 28 patch dengan luasan 4.766,26 km2 tersebut, tujuh
habitat diidentifikasi sebagai habitat inti/core patch (4.217,8 km2), 13
patch (465,87 km2) sebagai batu loncatan/stepping stone, dan 8 habiat
(82,59 km2) merupakan habitat yang terisolasi/isolated (Ferlazafitri
dkk., 2020). Hasil validasi dengan peta tutupan lahan dari Landsat
8 Agustus 2014 menunjukkan 36% habitat inti ditutupi hutan alam,
55% hutan alam di habitat batu loncatan, dan 59% hutan alam pada
habitat terisolasi/terpencil. Habitat dikategorikan sebagai terpencil
karena memiliki konektivitas nol dan ukuran habitat yang terlalu kecil
untuk mendukung populasi elang jawa (Nurfatimah dkk., 2018).
Elang jawa sangat bergantung dengan hutan primer dan hutan
sekunder yang berdekatan dengan hutan primer karena hal ini
memengaruhi keberhasilan pembiakannya (Pribadi, 2014). Hasil
pemodelan spasial kesesuaian habitat elang jawa di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS) menunjukkan bahwa elang jawa
cenderung lebih menyukai lokasi hutan hujan perbukitan yang sejuk
dengan tingkat gangguan atau aktivitas manusia yang relatif sedikit
Elang Jawa, Satwa ... 133
dibandingkan lokasi lain (Cahyana dkk., 2015). Daerah terpencil yang
dimanfaatkan sebagai ladang juga cocok karena diduga mempunyai
habitat yang sesuai dengan lokasi berburu elang jawa (Pribadi, 2014).
Pemilihan lokasi sarang berperan penting dalam keberhasilan
perkembangbiakan elang jawa. Studi di Gunung Gede dan Gunung
Pangrango menunjukkan bahwa sarang elang jawa terletak pada
ketinggian ≥1000 mdpl (1.410 mdpl untuk sarang Cibodas, 1.085
mdpl untuk sarang Pasir Pogor, dan 1.340 mdpl untuk sarang
Cibulau (Nijman dkk., 2000). Hal serupa juga ditunjukkan pada
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di mana daerah yang berpo-
tensi sebagai habitat elang jawa memiliki karakteristik, seperti elevasi
1.000–1.500 mdpl, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
0,30–0,40%, dan temperatur 20–25°C (Aryanti dkk, 2021). Walau
demikian, elang jawa tetap dapat membangun sarang di hutan hujan
dataran rendah (500–1.000 mdpl) dengan kecuraman lereng rata-rata
dengan sarang pohon adalah 57,50o dan membangun sarangnya di
atas pohon spe-sies asli Indonesia, seperti Phoebe grandis, Toona
sureni, dan Gluta renghas (Gunawan dkk., 2016). Elang jawa memilih
pohon untuk persarangannya, yaitu menjulang dan menembus lapisan
kanopi (emergent tree); memiliki karakteristik tajuk setengah membu-
lat tidak rapat (model arsitektur rauh); dan berlokasi tidak jauh dari
areal burunya (Sitorus & Hernowo, 2016).
Karakteristik areal buru elang jawa adalah hutan alam dataran
rendah dengan potensi mangsa yang beragam dan melimpah (Sitorus
& Hernowo, 2016). Penelitian di lereng utara Gunung Ungaran me-
nemukan 13 jenis satwa mangsa elang jawa berupa mamalia, burung,
dan reptil yang tergolong dalam satwa arboreal (Maula & Subeno,
2016). Lebih lanjut, Prawiradilaga (2006) menjelaskan bahwa mamalia
yang paling sering dimangsa adalah tupai, tikus pohon, hewan kecil
pengerat, dan kelelawar; jenis burung termasuk jarang dimangsa
(terekam ada tujuh jenis burung yang dimangsa, seperti burung mer-
pati dan burung pelatuk); dan yang paling sedikit dimangsa adalah
reptil, seperti ular dan kadal. Dominasi pohon yang menyediakan
habitat bagi makanan elang jawa merupakan faktor penting dalam
menentukan preferensi berburu, sedangkan keanekaragaman spesies
.134
berperan penting dalam menentukan preferensi sarang (Fahmi &
Syartinilia, 2020).
Kesesuaian habitat elang jawa di setiap areal dapat bervariasi.
Sebagai contoh, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur
memiliki kesesuaian habitat yang dikategorikan tinggi (30%) sebesar
15.131,18 ha, 22% sedang (11.216,61 ha), dan 48% rendah (23.298,411
ha) (Aryanti dkk., 2021). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa seki-
tar 17,77% (23.209 km2) wilayah Pulau Jawa diprediksi cocok untuk
habitat elang jawa yang sebagian besar tersebar di daerah pegunungan
dan beberapa daerah dataran rendah (Nursamsi dkk., 2018). Keting-
gian, suhu rata-rata tahunan, dan dua jenis tutupan lahan (semak
tertutup dan kawasan hutan) dianggap sebagai variabel terpenting
yang mempengaruhi distribusi habitat elang jawa (Nursamsi dkk.,
2018).
C. Ancaman Kelestarian Elang Jawa
Tren populasi yang terus menurun membuat elang jawa telah dika-
tegorikan sebagai jenis langka/endangered C2a(i) ver 3.1 (EN) oleh
IUCN Red list of Threatened Species. Saat ini diperkirakan hanya ada
sekitar 300–500 ekor elang jawa di dunia (IUCN, 2021) dengan jumlah
bervariasi pada setiap areal habitatnya. Sebagai contoh, di kawasan
Gunung Salak dilaporkan terdapat 13 individu elang jawa dengan
kepadatan, yaitu 0,183 ekor/km2 atau 1 ekor/6 km2 (Pribadi, 2014).
Berdasarkan pemodelan spasial pada areal yang tersisa di Jawa Barat,
teridentifikasi 17 habitat elang jawa dengan perkiraan populasi sekitar
39–195 (median=117) pasang elang jawa (Azmi dkk., 2016).
Ukuran populasi yang kecil, kehilangan habitat, fragmentasi
hutan, dan perburuan liar menjadi faktor yang mempengaruhi sta-
tus konservasi elang jawa (Cahyana dkk., 2015; Azmi dkk., 2016).
Pembalakan liar (illegal logging) dan konversi hutan menjadi lahan
pertanian telah meningkatkan penyusutan tutupan hutan primer di
Jawa. Sebagai contoh, berdasarkan hasil riset Pradopo (2012), 46.78%
kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terancam mengalami keru-
sakan habitat akibat akumulasi bahaya perambahan dan kebakaran
lahan.
Elang Jawa, Satwa ... 135
Perburuan, perdagangan ilegal, dan berbagai aktivitas manusia
juga dapat menjadi ancaman kepunahan elang jawa. Penelitian Pribadi
(2014) menunjukkan pada beberapa lokasi habitat elang jawa di Jawa
Barat, seperti Cipelang, Tugu Jaya, Tanjung Sari, dan Curug Ciputri
tidak lagi dijumpai elang jawa. Hal tersebut disebabkan adanya
ancaman perburuan liar, aktivitas manusia (penambangan batu dan
mencari kayu), dan perladangan. Harga jual yang tinggi, rata-rata US$
40/ekor, dan indikasi adanya ekspor ilegal ke kawasan Asia lainnya
telah meningkatkan perburuan ilegal elang jawa (Nijman dkk., 2009).
D. Upaya Konservasi Elang Jawa
Konservasi elang jawa merupakan upaya penting untuk menyelamat-
kan keberadaan elang jawa di Indonesia. Beberapa upaya konservasi
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Peraturan Perundang-Undangan
Upaya konservasi elang jawa telah didukung pemerintah sejak tahun
1993 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional yang menetapkan elang jawa
sebagai satwa langka nasional. Selain itu, melalui Peraturan Peme-
rintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang lampirannya diperbarui melalui
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.106/
Menlhk/Setjen/Kum/1/12/2018 telah memasukkan semua jenis elang
dari famili Accipitridae, termasuk elang jawa, dalam jenis-jenis satwa
yang dilindungi. Selanjutnya, tingkat keterancaman populasi elang
jawa yang tinggi dan kondisinya yang telah langka telah mendorong
terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor
P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) tahun 2013–2022.
2) Konservasi in situ
Direktorat Jenderal KSDAE telah menetapkan 25 satwa terancam
punah prioritas yang perlu ditingkatkan populasinya sebesar 10%
selama tahun 2015–2019. Hasil monitoring di site monitoring satwa
.136
prioritas tersebut menunjukkan bahwa semua jenis elang termasuk
elang jawa telah mengalami peningkatan populasi sebesar 66,15%
dari tahun-tahun sebelumnya (Ditjen KSDAE, 2019). Keberhasilan
peningkatan populasi spesies di site monitoring yang dilihat dari
penambahan individu baru, juga didukung dengan upaya konservasi
yang lain seperti inventarisasi pengelolaan, antara lain pembinaan
habitat, penyadartahuan, perlindungan dan pengamanan, penang-
gulangan konflik, penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran (Ditjen
KSDAE, 2019).
3) Pelepasliaran
Pelepasliaran elang Jawa di habitat alaminya seperti di kawasan
lereng merapi telah beberapa kali dilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan populasi elang jawa. Kegiatan terbaru (14/2/2020)
adalah pelepasliaran sepasang elang jawa di Taman Nasional Gunung
Merapi Jurang Jero, kecamatan Srumbung, Kabupaten Jawa Tengah
oleh Presiden Joko Widodo (Fitriana, 2020). Sepasang elang jawa
yang dilepas Jokowi, yang diberi nama Abu (jantan) dan Rosy (betina)
berumur 3 tahun, merupakan pemberian warga. Hal ini merupakan
salah satu upaya perlindungan lingkungan dalam kawasan hutan
negara atau kawasan konservasi (Wibisono, 2020).
4) Konservasi ex situ
Upaya konservasi elang jawa tidak hanya di lakukan pada habitat
alaminya, tetapi juga di pusat penyelamatan/rehabilitasi satwa atau
BKSDA dan lembaga konservasi lainnya seperti kebun binatang.
Upaya ini menunjukkan hasil menggembirakan, seperti di Pusat
Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Loji, Bogor, Jawa Barat yang telah
berhasil menetaskan seekor anak burung elang jawa secara alami
dan selamat pada hari Jumat (17/07/2020) dan diberi nama ‘Parama’
yang berarti unggul oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(LHK), Siti Nurbaya. Kelahiran Parama ini diharapkan menjadi simbol
keunggulan Kementerian LHK dan para konservasionis dalam upaya
pelestarian satwa liar, khususnya elang jawa di Indonesia (Danang,
2020).
Elang Jawa, Satwa ... 137
5) Meningkatkan peran serta stakeholder terkait dan masyarakat
Pelatihan/lokakarya lokal untuk penyadartahuan dan partisipasi
masyarakat telah dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Contohnya, program perlindungan sarang elang jawa di Cagar
Alam Cibulao dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, serta
pemantauan rutin telah dilaksanakan di Cagar Alam Telaga Warna
dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Prawiradilaga, 2006).
Pentingnya peran masyarakat dalam kelangsungan hidup elang jawa
juga ditunjukkan dengan adanya kerja sama antarpetugas penjaga
kawasan (pemerintah) dengan masyarakat sekitar kawasan yang
bersama-sama ikut menjaga dan melestarikan flora fauna untuk
menjaga keseimbangan ekosistem di Kawasan Cagar Alam Gunung
Picis, Ponorogo, Jawa Timur (Yuliamalia dkk., 2020).
E. Tantangan dalam Konservasi Elang Jawa
Dalam melakukan konservasi elang jawa ada beberapa faktor yang
menjadi tantangan dalam pelaksanaannya. Terdapat tiga faktor yang
menjadi tantangan. Pertama, kemampuan reproduksi yang rendah.
Elang Jawa mempunyai kemampuan reproduksi yang rendah karena
jumlah telur yang diproduksi per tahun cukup rendah, hanya satu
butir per 2–3 tahun. Masa eram telur dapat mencapai 47–48 hari
(Prawiradilaga, 2006). Kedua, kerusakan habitat akibat aktivitas
manusia. Perambahan hutan, kebakaran hutan, fragmentasi hutan,
dan juga konversi hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, pabrik,
ataupun sarana prasarana pendukung lainnya, seperti jalan raya men-
jadi ancaman serius terhadap keberadaan elang jawa. Kondisi ini tidak
hanya dapat membuat kerusakan tetapi juga menghilangkan habitat
alami elang jawa. Ketiga, kegiatan perburuan liar/perdagangan ilegal.
Sejak tahun 1993 elang jawa telah ditetapkan sebagai simbol jenis
satwa langka nasional dan telah dilarang untuk diburu atau diperjual-
belikan. Namun, adanya pelarangan tersebut telah menjadikan nilai
jual elang jawa meningkat dan seolah menjadi “kebanggaan” para
pemeliharanya. Kondisi ini malah menyuburkan perburuan liar dan
perdagangan elang jawa di Indonesia. Hasil penelitian Nijman dkk.
.138
(2009) menunjukkan bahwa ada peningkatan perdagangan elang jawa
setelah dideklarasikan menjadi satwa langka nasional.
F. Penutup
Populasi elang jawa, yang telah ditetapkan sebagai simbol satwa langka
Indonesia dan juga menjadi inspirasi dari lambang negara Republik
Indonesia, menunjukkan kecenderungan terus menurun dan telah
dikategorikan sebagai endangered spesies oleh IUCN. Pemerintah
telah mengeluarkan berbagai peraturan dan telah membuat strategi
konservasi elang jawa di Indonesia sebagai upaya pelestarian elang
jawa dari ancaman kepunahan. Upaya pemerintah tersebut menun-
jukkan hasil yang menggembirakan ditandai dengan meningkatnya
luasan habitat dan jumlah individu elang jawa di Pulau Jawa. Meskipun
demikian, berbagai laporan menunjukkan hasil positif, peran serta
dan dukungan dari berbagai pihak terkait secara berkesinambungan,
seperti lembaga pemerintah, LSM konservasi, dan masyarakat tetap
sangat diperlukan dalam menyelamatkan sang “garuda” dari ancaman
kepunahan.
Ratusan kilometer sungai besar dan kecil tersebar di lanskap Pulau
Kalimantan membentuk mozaik habitat yang unik. Dua sungai besar
di antaranya, yaitu Sungai Kelay dan Segah yang bersatu menjadi
Sungai Berau yang bermuara di Delta Berau. Di sanalah, terhampar
hutan riparian yang menjadi rumah bagi ratusan bekantan, satwa
langka khas Kalimantan yang dilindungi. Ekosistem riparian di Delta
Berau kini sedang menghadapi tekanan beban berat yang mengancam
masa depan kehidupan bekantan yang hidup di dalamnya.
A. Bekantan, Primata Spectacular
Keunikan hidungnya yang masih menyimpan banyak misteri dengan
paduan warna oranye terang dan putih-abu-abu, menghasilkan kom-
binasi yang serasi, menjadikan bekantan (Nasalis larvatus) berbeda
dengan satwa primata lainnya. Primata yang umumnya memakan
T.
daun ini memiliki sistem pencernaan yang berbeda dengan keba-
nyakan monyet dan kera. Lambungnya yang kompleks beruang-ruang
menjadi tempat bakteri mendetoksifikasi bahan kimia tanaman dan
mencerna selulosa (Chivers, 1994). Tidak berlebihan kiranya jika
Vince Nijman, seorang profesor antropologi dari Oxford Brookes
University, menyebutnya sebagai primata spectacular yang dimiliki
Borneo, selain orang utan (Nijman, 2001).
Sebagian besar habitat bekantan berada di wilayah Kalimantan,
Indonesia. Habitat utama bekantan adalah hutan mangrove, hutan ri-
parian, dan hutan rawa (Chivers, 1994). Keberadaannya tidak hanya di
daerah pesisir, tetapi juga sampai ratusan kilometer ke hutan riparian
hulu di sungai pedalaman Borneo. Salah satu habitat bekantan di
Kalimantan Timur adalah Delta Berau yang belum banyak diungkap
informasinya.
B. Delta Berau, Ekosistem Penting yang Rentan
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, delta diartikan sebagai
sebidang tanah endapan berbentuk segitiga di antara dua cabang
sungai atau lebih yang bermuara di laut atau danau. Delta yang
merupakan daerah muara sungai memiliki potensi sumber daya
yang tinggi. Beragam kehidupan berkembang di sana, mulai dari
tumbuhan, satwa, sampai manusia. Sejarah telah mencatat banyak
peradaban yang bermula dan berada di daerah muara dan delta sungai
besar. Sebagai contoh, peradaban bangsa Mesir Kuno yang berada
di hilir Sungai Nil. Sebuah lembah subur di sekitar Sungai Nil yang
bermuara di Laut Tengah tersebut menjadi pusat peradaban super
power pada zamannya. Di Indonesia sendiri ada Kerajaan Majapahit
yang berkembang di sekitar muara Sungai Bengawan Solo, Kerajaan
Sriwijaya di sekitar Muara Sungai Musi, dan Kerajaan Kutai yang
juga berpusat di daerah delta muara Sungai Mahakam, yang sekarang
dikenal dengan daerah Kutai Lama.
Daerah tepi sungai dan muara sungai adalah ekosistem yang
penting (esensial) bagi kehidupan manusia, flora, dan satwa. Terdapat
beberapa alasan mengapa pilihan untuk hidup dan berkembang ada di
Ekosistem Riparian, Harapan ... 145
muara dan delta sungai. Material subur dari hulu sungai terbawa air
dan terakumulasi menjadi sedimen berbentuk delta di muara sungai,
menjadikan daerah ini subur sehingga memiliki kekayaan tumbuhan
dan produktivitas tinggi. Selain itu, pertemuan air tawar dengan air
asin membentuk ekosistem mangrove yang menjadi benteng di sepan-
jang garis pantai dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari delta
muara sungai. Berbagai jenis tumbuhan mangrove mengembangkan
sistem adaptasi yang unik untuk bertahan dalam salinitas tinggi dan
menciptakan habitat penting bagi satwa arboreal dan perairan.
Delta Berau adalah sebuah delta yang berada di wilayah Kabu-
paten Berau, Kalimantan Timur (Gambar 11.1). Tipe hutan ripa-
rian dan mangrove di Delta Berau yang kaya akan tumbuhan telah
menjadikannya habitat yang ideal bagi berbagai spesies satwa liar
terutama bekantan. Delta Berau merupakan ekosistem yang penting,
tetapi sangat rentan mengalami kerusakan karena dikelilingi oleh
populasi manusia yang padat dengan berbagai aktivitasnya yang dapat
mengancam kelestarian ekosistem ini.
Sumber: Tri Atmoko (2019)
Gambar 11.1 Peta Delta Berau
.146
C. Delta Berau, Banyak Tekanan
Tekanan dan ancaman yang dialami Delta Berau makin tinggi akibat
lokasinya yang strategis dan tingginya potensi di daerah muara sungai
tersebut. Beberapa tekanan yang diterima Delta Berau di antaranya
pembukaan tambak. Konversi dan kerusakan habitat di sepanjang
sempadan sungai, pencemaran, dan aktivitas transportasi perairan
berkontribusi pada degradasi ekosistem di Delta Berau. Berbagai
tekanan tersebut berpengaruh pada hidupan liar yang ada, salah
satunya pada satwa yang dilindungi, yaitu bekantan.
1) Tambak
Potensi perikanan yang tinggi di wilayah delta, terutama pada hutan
mangrove menyebabkan daerah ini banyak dibuka untuk pengem-
bangan tambak ikan maupun udang. Pembukaan tambak sangat
luas terjadi di daerah pulau-pulau utama Delta Berau. Hal tersebut
mengakibatkan kerusakan mangrove yang massive di perairan delta.
Tingkat kerusakan makin meningkat manakala pembukaan tambak
dilakukan menggunakan alat-alat berat.
2) Permukiman
Hutan riparian atau hutan di tepi sungai memiliki peranan penting
sebagai koridor habitat satwa liar. Koridor tersebut digunakan oleh
satwa liar sebagai jalur migrasi dan pergerakan untuk mendapatkan
sumber daya yang dibutuhkan. Seiring dengan pertumbuhan pen-
duduk yang terus meningkat maka pembukaan daerah tepi sungai
makin luas untuk pembangunan permukiman dan infrastruktur
lainnya. Selain itu, berbagai aktivitas penambangan, dan perkebunan
yang dilakukan di sepanjang sempadan sungai juga menyebabkan
putusnya koridor satwa atau bahkan menghilangkan habitat yang ada.
3) Pencemaran
Muara sungai dan Delta Berau merupakan pintu keluar dan masuknya
substrat dan berbagai material, baik dari aliran sungai maupun dari
wilayah perairan laut. Berbagai macam sampah, limbah perkebunan
sawit, air asam tambang batubara, dan polusi perairan mengumpul
Ekosistem Riparian, Harapan ... 147
menjadi satu dan berakhir di daerah muara sungai Berau. Belum lagi
tumpahan minyak dari kapal-kapal besar penarik ponton batu bara,
dan kapal motor para nelayan ikut berkontribusi dalam mencemari
perairan di daerah ini.
4) Transportasi Sungai
Seperti halnya muara sungai lainnya, Delta Berau merupakan pintu
masuk dan keluar transportasi perairan di Selat Makassar menuju
Sungai Berau, demikian pula sebaliknya. Sungai Berau merupakan
muara dari dua sungai besar, yaitu Sungai Segah dan Sungai Kelay.
Seiring dengan banyaknya pertambangan batubara, juga berpengaruh
terhadap kondisi hutan di tepi sungai karena pengangkutannya meng-
gunakan tongkang melalui Sungai Berau. Beberapa hutan tepi sungai
dibuka untuk keperluan pembangunan jalan hauling dan conveyor
untuk memuat batubara ke atas tongkang sebelum diangkut melalui
sungai.
D. Populasi Bekantan yang Terlupa
Meijaard dan Nijman (2000) pernah memetakan sebaran bekantan
di Kalimantan berdasarkan survei langsung, informasi masyarakat,
dan berbagai data sekunder. Salah satu temuannya adalah satu titik
sebaran bekantan di sekitar Delta Berau berada di areal PT Rejosari
Bumi. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih rinci terkait populasi
tersebut, bahkan perusahaan tersebut sudah tidak lagi beroperasi.
Setelah itu, tidak ada laporan ilmiah terkait dengan bekantan di Delta
Berau.
Penelitian terbaru terkait populasi dan sebaran bekantan dilaku-
kan oleh Atmoko dkk. (2020) di Delta Berau dan sekitarnya. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan populasi bekantan yang tinggi, yaitu
lebih dari seribu ekor. Jumlah populasi tersebut menunjukkan bahwa
Delta Berau adalah habitat yang penting bagi bekantan dan dapat
menjadi areal prioritas untuk perlindungan bekantan di Indonesia.
.148
E. Pulau-Pulau Habitat
Delta Berau terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau kecil. Be-
berapa pulau besar yang ada telah banyak berubah menjadi areal
tambak. Beberapa pulau kecil yang tidak dihuni penduduk merupakan
habitat bagi bekantan. Pulau tersebut adalah Pulau Bungkung, Pulau
Sambuayan, Pulau Saodang Kecil, Pulau Tempurung, dan Pulau
Sapinang. Sampai saat ini pulau-pulau tersebut tidak menunjukkan
adanya kerusakan dan gangguan dari aktivitas masyarakat, mengingat
pulau tersebut sering terendam air dan luasannya hanya berkisar
antara 0,4–10 km2.
Gangguan pada pulau-pulau kecil sebagai habitat bekantan
datang dari aktivitas transportasi di sekitarnya. Perairan di sekitar
pulau-pulau tersebut merupakan jalur transportasi air yang meng-
hubungkan Ibu Kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb, dengan Pulau
Tarakan di Kalimantan Utara dan beberapa pulau destinasi wisata
bahari di Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Pulau Kakaban. Selain
itu, pulau-pulau kecil di daerah tropis seperti di Delta Berau banyak
memiliki potensi ancaman, di antaranya ancaman perubahan iklim
karena karakteristik biofisiknya yang berelevasi rendah, luasan kecil,
terisolasi, ekosistemnya rapuh (fragile), dan sumber daya alam yang
terbatas (Duvat dkk., 2017).
Populasi kecil bekantan yang berhabitat pada pulau kecil di Delta
Berau rentan mengalami kepunahan lokal. Berdasarkan konsep bio-
geografi, pulau-pulau tersebut merupakan pulau habitat sebenarnya
(true island), di mana pulau yang menjadi habitat bekantan dikelilingi
oleh perairan. Teori yang dicetuskan oleh Robert H. MacArthur dan
Edward O. Wilson pada tahun 1967 dalam bukunya yang berjudul
The Theory of Biogeography itu memprediksi jumlah spesies yang
mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru tercipta. Dalam
konteks ini kelestarian bekantan pada pulau habitat sangat tergantung
pada titik kesetimbangan (equilibrium) antara laju kolonisasi dan laju
kepunahan. Kesetimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu luas pulau dan jarak pulau dengan daratan utama. Pulau kecil
memiliki jumlah spesies lebih sedikit dan perlindungannya lebih
Ekosistem Riparian, Harapan ... 149
rendah sehingga laju kepunahan lebih tinggi. Tambahan lagi, pulau
yang terisolasi dan jaraknya jauh dari daratan utama akan memiliki
spesies yang jauh lebih sedikit dan laju kolonisasinya lebih rendah
daripada pulau yang lebih dekat.
Meskipun, bekantan merupakan satwa primata yang memiliki ke-
mampuan berenang yang baik, tetapi perairan yang mengisolasi pulau
habitat tetap membatasi aliran genetik. Kondisi tersebut menyebabkan
terbatasnya pasangan kawin dalam kelompok sehingga meningkatkan
peluang terjadinya kawin kerabat (inbreeding). Inbreeding berpotensi
memunculkan sifat-sifat negatif pada keturunannya sehingga akan
memperlemah fitness dan mempercepat potensi terjadinya kepunahan
lokal dalam jangka panjang (Ralls dkk., 2018).
F. Arti Penting Sonneratia spp.
Bekantan adalah satwa primata dari sub-famili Colobinae. Salah satu
ciri utama dari Sub-famili tersebut adalah memiliki sistem pencernaan
yang kompleks mirip dengan ruminansia. Kondisi tersebut merupakan
adaptasi terhadap sumber pakannya yang umumnya tinggi akan serat
dan sulit dicerna. Bekantan memiliki preferensi terhadap tumbuhan
sumber pakan tertentu. Terkait dengan kelompok sumber pakannya,
bekantan termasuk satwa foliovora/frugivora, yaitu sebagian besar
pakannya berupa daun dan buah dari beberapa jenis tumbuhan
(Yeager, 1989). Jenis pakannya tergantung pada keanekaragaman
jenis tumbuhan yang ada di habitatnya. Bekantan yang hidup di
hutan riparian memiliki variasi jenis tumbuhan pakan lebih tinggi
dibandingkan yang hidup di hutan mangrove. Keberadaan bekantan di
Delta Berau umumnya hidup di habitat dengan keberadaan Sonneratia
spp. yang menjadi sumber pakan utama dan tempat beraktivitasnya
(Gambar 11.2). Terdapat dua jenis Sonneratia di habitat bekantan,
yaitu Sonneratia caseolaris yang dikenal masyarakat lokal dengan
nama perangat dan S. alba yang dikenal dengan nama prepat. Kedua
jenis tumbuhan tersebut memiliki habitat yang berbeda, perangat
hidup di daerah yang jauh dari garis pantai dengan kadar salinitas
rendah, sedangkan prepat lebih banyak dijumpai di tepi laut atau di
daerah dengan salinitas tinggi.
.150
Foto: Ridi Haidir (2019)
Gambar 11.2 Bekantan jantan dewasa sedang beraktivitas di
pohon Sonneratia caseolaris.
Pucuk daun dari ke dua jenis Sonneratia tersebut sangat disukai
oleh bekantan. Pohon Sonneratia sangat penting keberadaannya bagi
bekantan, selain daunnya sebagai sumber pakan sering kali pohonnya
digunakan sebagai pohon tidur dan tempat beraktivitas. Populasi
bekantan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan Sonneratia tertekan.
Hal itu dikarenakan bekantan selalu datang untuk memangkas pucuk-
pucuk daun mudanya untuk dimakan sehingga pohon menjadi kerdil
seperti bonsai (Gambar 11.3). Kondisi tersebut diperparah dengan
regenerasi tingkat pancang dan semai yang jarang dijumpai di sekitar
tingkat pohon Sonneratia.
Ekosistem Riparian, Harapan ... 151
Foto: Tri Atmoko (2018)
Gambar 11.3 Bekantan di Feeding Site Bebanir Lama
Gangguan juga datang dari tongkang pengangkut batu bara yang
sering parkir di tepi hutan riparian. Sering kali tongkang kapasitas
ribuan ton tersebut ditambatkan di tepi sungai sehingga menghan-
curkan tumbuhan tepi sungai. Bahkan, terkadang tongkang diikat
pada pohon besar perangat atau dungun (Heritiera littoralis) yang
digunakan oleh bekantan sebagai pohon pakan dan pohon tidur.
Selain menopang beban yang berat, tali pengikat tongkang juga
menggerus lapisan kambium pohon sehingga mengakibatkan pohon
tersebut tumbang atau mati.
G. Harapan Baru
1) Perlindungan Habitat
Di tingkat tapak, pemerintah daerah perlu melakukan penunjukan
areal perlindungan bekantan di Delta Berau. Pulau-pulau kecil tidak
berpenghuni manusia yang menjadi habitat bekantan, sebaiknya
ditetapkan sebagai areal perlindungan bekantan. Di samping itu,
perlu dilakukan pemantauan dinamika populasi yang terus-menerus
oleh para peneliti di universitas atau Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan populasi
.152
kecil bekantan di pulau yang memiliki luasan terbatas dikhawatirkan
mengalami masalah dalam jangka panjang ke depan, yaitu peluang
terjadinya inbreeding. Oleh karena itu, penyegaran genetik perlu di-
lakukan dengan cara mendatangkan individu bekantan dari populasi
lain di daratan utama, misalnya bekantan yang sudah direhabilitasi
dari program rescue di habitat konflik maupun hasil translokasi dari
habitat yang rusak atau terisolasi.
Perlu adanya inisiasi untuk melindungi beberapa pulau yang saat
ini menjadi habitat bekantan terutama oleh masyarakat adat setem-
pat. Misalnya, Pulau Saodang Kecil oleh masyarakat adat Kampung
Pegat Batumbuk sebagai kawasan perlindungan mangrove. Selain
itu, pemerintah Kecamatan Pulau Besing sedang melakukan inisiasi
pengembangan desa wisata dengan memanfaatkan bekantan di Pulau
Sambuayan, Pulau Bungkung, dan Pulau Besing sebagai objek daya
tariknya.
Selain pulau kecil, wilayah Bebanir Lama juga memiliki potensi
yang tinggi sebagai areal perlindungan bekantan. Pada lokasi tersebut
terdapat feeding site bekantan seluas sekitar enam hektare yang berada
di antara dua tipe hutan, yaitu hutan riparian dan hutan mangrove.
Lokasi tersebut menjadi tempat berkumpulnya ratusan bekantan pada
saat senja untuk memakan pucuk daun S.alba sebelum menuju pohon
tidurnya.
2) Mengamankan Sumber Daya Perairan dan Sempadan Sungai
Daerah sempadan sungai adalah daerah penyangga antara ekosistem
perairan dan daratan. Sempadan sungai selain penting dalam me-
ngendalikan erosi dan banjir juga merupakan daerah yang penting
bagi jalur pergerakan (koridor) satwa liar. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa lebar zona
penyangga sempadan sungai pada sungai besar dan kecil masing-
masing adalah selebar 100 dan 50 m dan siapapun dilarang melakukan
penebangan pohon dalam jarak tersebut dari tepi sungai. Selain itu,
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Ren-
cana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, daerah sempadan sungai
Ekosistem Riparian, Harapan ... 153
merupakan kawasan lindung nasional sebagai “kawasan perlindungan
setempat”. Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten Berau nomor 09
Tahun 2017 tentang RTRW Kabupaten Berau Tahun 2016–2036 juga
telah menetapkan daerah sempadan sungai di daerah Delta Berau
sebagai kawasan lindung.
Daerah perairan Kampung Batu-Batu dahulu dikenal sebagai
penghasil udang galah. Sayangnya, akibat ulah oknum tidak bertang-
gung jawab yang menggunakan cara-cara penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan menyebabkan populasi udang galah menurun
drastis (Ridi Haidir, komunikasi pribadi, tanggal 9 Agustus 2019). Se-
bagai upaya mengembalikan potensi udang galah tersebut, Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) Perangat Timbatu di Kampung Batu-Batu
telah membentuk tim patroli perairan dan membuat papan peringatan
(Gambar 11.4). Tim tersebut bertugas melakukan pengawasan sumber
daya perikanan dari penangkapan ikan ilegal menggunakan racun
dan stroom (listrik), sekaligus memantau populasi bekantan yang ada.
Keterangan: a) Papan nama areal perlindungan mangrove di Pulau Saodang Kecil; b)
Papan larangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan di Sungai Telassau
Foto: Ridi Haidir, Tri Atmoko (2018)
Gambar 11.4 Papan Peringatan di Kampung Batu-Batu
(a) (b)
.154
3) Pengembangan Ekowisata
Beberapa habitat bekantan di Delta Berau berada di sekitar permukim-
an dan lokasi masyarakat beraktivitas. Kondisi tersebut memerlukan
strategi dalam upaya menjaga dan melestarikan bekantan serta
habitatnya. Salah satunya adalah dengan pengembangan ekowisata.
Secara sederhana, pengertian ekowisata menurut The International
Ecotourism Society adalah responsible travel to natural areas that
conserves the environment and improves the well-being of local people.
Dalam pelaksanaannya, ekowisata harus memenuhi beberapa hal,
yaitu 1) menimbulkan dampak yang kecil bagi lingkungan dan sumber
daya alam; 2) melibatkan berbagai stakeholder dalam perencanaan,
pengembangan, pelaksanaan, dan monitoring; 3) menghormati budaya
dan tradisi lokal; 4) memberikan pendapatan yang adil dan berkelan-
jutan bagi masyarakat lokal; 5) mendukung upaya konservasi kawasan;
dan 6) memberikan pendidikan konservasi bagi semua stakeholder
(Drumm & Moore, 2005).
Upaya partisipatif masyarakat lokal untuk mengembangkan
ekowisata dengan hutan mangrove dan bekantan sebagai objek daya
tarik wisata sudah mulai dilakukan. Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Kanopi dan KSM Perangat Timbatu sejak tahun 2016 telah
melakukan inisiasi dalam pengembangan ekowisata bekantan di
Kampung Batu-Batu. Lokasi pengembangan berlokasi cukup strategis
karena dilintasi jalur transportasi darat dan sungai yang meng-
hubungkan Kota Tanjung Redeb dengan tujuan wisata bawah laut
yang sudah dikenal, yaitu Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Pulau
Kakaban. Saat ini telah dibangun sarana pendukung ekowisata yaitu
boardwalk dan shelter di areal hutan mangrove dan habitat bekantan
di Kampung Batu-Batu. Selain itu, telah dikembangkan potensi lokal
dengan pemberdayaan masyarakat dalam membuat makanan dan
minuman dari bahan baku lokal. Produk dari tanaman mangrove
dapat berupa dodol, selai, dan sirup buah mangrove. Pengenalan
produk lokal perlu dilakukan melalui berbagai media promosi online.
Dukungan program maupun dana diperlukan berasal dari berbagai
LSM dan lembaga konservasi lainnya.
Ekosistem Riparian, Harapan ... 155
4) Restorasi Habitat
Beberapa habitat bekantan di Delta Berau seperti di Tanjung
Perangat telah mengalami banyak kerusakan. Padahal, sesuai dengan
namanya, dahulu daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon perangat
(S.caseolaris) dan menurut masyarakat setempat menjadi habitat be-
kantan dengan populasi yang tinggi. Kerusakan habitat bekantan perlu
diperbaiki kembali melalui upaya restorasi. Berdasarkan Permenhut
No P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan
Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
restorasi ekosistem tidak hanya terbatas pada tindakan penanaman
dan pembinaan habitat saja, namun juga pembinaan populasi, per-
lindungan, dan pengamanan. Kegiatan restorasi habitat bekantan
tersebut selaras dengan salah satu misi dari Strategi dan Rencana
Aksi Konservasi (SRAK) Bekantan 2013–2022, yaitu meningkatkan
restorasi habitat bekantan di dalam dan di luar kawasan.
Upaya restorasi habitat terutama di daerah sempadan sungai
diharapkan dapat menyambung kembali habitat yang telah terfrag-
mentasi oleh berbagai aktivitas masyarakat. Konektivitas habitat
penting dijaga untuk mencegah dampak buruk fragmentasi dan
isolasi habitat pada populasi, yaitu inbreeding yang dapat menurunkan
kualitas individu karena erosi genetik (genetik drift) (Ditjen KSDAE,
2016). Tumbuhan untuk restorasi disarankan menggunakan jenis-
jenis asli yang ada di Delta Berau terutama jenis pohon tidur dan
pakan bekantan, seperti Sonneratia caseolaris, S. alba, Avicennia alba,
Rhizophora spp., Vitex pinnata, Heritiera littoralis, dan Elaeocarpus
stipularis.
5) Kawasan Ekosistem Esensial
Status habitat bekantan di Delta Berau, selain kawasan hutan, seba-
gian besar merupakan areal penggunaan lain (APL). Banyaknya unit
pengelola, hak guna usaha, dan pemilik lahan mengakibatkan perlu
pengelolaan kolaboratif, salah satunya dalam pengelolaan kawasan
ekosistem esensial (KEE). Pengertian KEE berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya
Nomor P.8 Tahun 2011 adalah ekosistem di luar kawasan konservasi
.156
yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati
yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Delta Berau termasuk ekosistem yang
esensial karena merupakan lahan basah sungai (riparian) dan areal
hutan mangrove. Beberapa unit pengelolaan yang ada di Delta Berau
di antaranya adalah hutan tanaman industri (HTI), hak guna usaha
(HGU) perkebunan sawit dan tambang batu bara, APL, areal hak
milik, dan areal hutan adat. Pengembangan KEE di areal Delta Berau
dapat diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau karena
areal sepenuhnya berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Berau.
Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan lingkungan dan
upaya konservasi bekantan dan habitatnya perlu terus ditingkatkan.
Melalui program corporate social responsibility (CSR), sektor swasta
diharapkan dapat berpartisipasi mendukung upaya konservasi spesies
langka dan dilindungi, salah satunya bekantan. Dalam rekomendasi
hasil Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) bekantan juga
menekankan perlunya perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk
melindungi hutan riparian di dalam areal konsesinya sebagai koridor
hidupan liar, sekaligus mengurangi efek banjir di wilayah perkebunan
kelapa sawitnya (Manansang dkk., 2005). Demikian juga, perusahaan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri
(IUPHHK-HTI) diharuskan melaksanakan pengelolaan hutan lestari
(sustainable forest management) melalui keseimbangan tiga pilar, yaitu
ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Berkaitan dengan aspek ekologi,
pengelolaan dapat dilakukan melalui konservasi satwa terancam
punah seperti bekantan.
H. Penutup
Delta Berau merupakan habitat penting bagi bekantan di Kalimantan,
tetapi memiliki potensi konflik yang tinggi dengan manusia, terutama
di daerah pesisir dan sempadan sungai. Fakta bahwa habitat bekantan
berada di luar kawasan konservasi, diperlukan strategi pengelolaan
dengan melibatkan seluruh stakeholder, terutama masyarakat lokal.
Areal dengan populasi dan kesesuaian habitat tinggi, seperti pulau-
Ekosistem Riparian, Harapan ... 157
pulau yang tidak dihuni manusia perlu dilindungi secara lokal. Partisi-
pasi berbagai pihak sangat diperlukan untuk kelestarian bekantan dan
habitatnya, demi harapan dan masa depan bekantan di Delta Berau.
--
Sebanyak 75% habitat orang utan di Kalimantan diperkirakan berada
di luar kawasan konservasi. Salah satu contohnya adalah di Hutan
Menamang. Hutan ini berdekatan dengan aktivitas manusia yang
cukup dinamis di mana hutan dapat dikonversi setiap saat. Kelang-
sungan hutan dan orang utan di Menamang makin mengkhawatirkan
tanpa upaya konservasi nyata. Diperlukan dukungan dan kerja sama
berbagai pihak dalam konservasi orang utan di Hutan Menamang.
A. Pendahuluan
Orang utan merupakan satu-satunya kera besar yang penyebaran ala-
minya berada di luar benua Afrika. Jenis ini menghabiskan sebagian
besar hidupnya di pohon dan memakan buah-buahan. Orang utan
adalah salah satu penghuni hutan hujan tropis Malaysia dan Indonesia
yang banyak menarik perhatian peneliti dari segala penjuru dunia
sejak bertahun-tahun lalu. Sebarannya di Indonesia hanya terdapat
di Sumatra dan Kalimantan yang ditempati oleh dua spesies yang
berbeda. Orang utan di Pulau Sumatra memiliki nama latin Pongo
abelii, dan masih di pulau yang sama, baru-baru ini ditemukan orang
utan jenis baru Pongo tapanuliensis. Sesuai dengan nama jenisnya,
orang utan ini berasal dari daerah Tapanuli, Sumatra Utara. Lain
halnya dengan di Pulau Kalimantan yang memiliki tiga subspesies,
yaitu Pongo pygmaeus di Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurmbii
di Kalimantan Tengah, dan Pongo pygmaeus morio di Kalimantan
Timur. Banyak yang berasumsi jika keberadaan sungai-sungai besar,
seperti Mahakam dan Kapuas, berpengaruh besar terhadap terben-
tuknya subspesies orang utan di Kalimantan.
Jumlah orang utan di Indonesia makin menurun setiap tahunnya.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahkan telah
menggolongkan orang utan Sumatra dan Kalimantan sebagai critically
endangered atau kritis dan terancam punah. Saat ini populasi orang
utan di Sumatra dan Kalimantan masing-masing diperkirakan 6.000
dan 55.000 individu. Meskipun jumlah orang utan di Kalimantan
masih lebih banyak jika dibandingkan Sumatra, hal ini tidak men-
jamin populasinya akan terus bertahan. Pembukaan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman monokultur, pertambangan,
penebangan liar, dan perburuan liar adalah ancaman bagi kelangsun-
gan orang utan Kalimantan. Walaupun ditetapkan sebagai satwa yang
dilindungi, orang utan tidak serta merta terlindungi.
B. Hutan Menamang
Hutan Menamang adalah salah satu habitat orang utan di Kalimantan
Timur yang terletak di tepi Sungai Menamang, sebuah sungai yang
berhulu di Taman Nasional Kutai. Hutan Menamang termasuk dalam
wilayah administrasi Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur (Gambar 12.1). Hutan ini terletak
pada daerah bertopografi rendah sehingga acap tergenang saat musim
penghujan tiba. Jika ditilik dari status kawasannya, Hutan Menamang
161
berstatus area penggunaan lain (APL), yaitu area yang tidak ditetap-
kan sebagai kawasan hutan. Status ini menyebabkan hutan dapat
dikonversi menjadi fungsi lain yang telah disepakati.
Keterangan: Warna kuning merupakan area konsesi milik PT Surya
Hutani Jaya
Peta: Yaya Rayadin (2011)
Gambar 12.1 Posisi Hutan Menamang
Hutan Menamang ibarat sebuah oase yang terletak pada lanskap
yang didominasi oleh aktivitas manusia. Posisi hutan ini berbatasan
dengan konsesi perusahaan PT Surya Hutani Jaya, sebuah hutan
tanaman industri dengan jenis tanaman utama Acacia mangium dan
Eucalyptus sp.. Letak Hutan Menamang juga bersebelahan dengan
perkebunan kelapa sawit milik PT Hamparan Sentosa, kebun-kebun
masyarakat, dan permukiman. Posisi hutan yang “terkepung” tersebut
menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi kelestariannya. Akankah
hutan ini terus bertahan di masa depan?
Hutan Menamang kaya akan flora. Setidaknya terdapat 105
jenis pohon yang telah teridentifikasi dalam petak seluas tiga hektare
(Sayektiningsih dkk., 2017). Jenis pohon tersebut didominansi Suku
.162
Euphorbiaceae, disusul oleh Suku Verbenaceae, Moraceae, Lythraceae,
dan Dilleniaceae. Jenis pohon yang tumbuh melimpah di Hutan
Menamang adalah bungur (Lagerstroemia speciosa). Jenis ini memang
lazim tumbuh di daerah riparian. Anatomi biji bungur cukup unik
karena dilengkapi oleh sayap yang memungkinnya menjangkau dae-
rah yang luas jika tertiup angin. Selain bungur, jenis-jenis pohon yang
tumbuh di Hutan Menamang adalah mahang (Macaranga gigantea),
kenanga (Cananga odorata), sempur (Dillenia excelsa), sengkuang
(Dracontomelon dao), dan laban (Vitex pinnata).
Hutan Menamang tersusun oleh pohon-pohon dengan diameter
antara 10 sampai 20 cm. Meskipun demikian, terdapat beberapa
pohon yang memiliki diameter lebih dari 70 cm, seperti bungur dan
sengkuang. Tinggi pohon bervariasi dengan rata-rata tinggi 13,65 m.
Jarak antar pohon tidak rapat sehingga memungkinkan sinar matahari
masuk hingga lantai hutan. Fenomena ini memberikan keuntungan
terutama bagi biji-biji pohon yang masih “tertidur” di dalam tanah.
Masuknya sinar matahari yang hangat dapat merangsang biji-bijian
berkecambah untuk selanjutnya menjadi individu baru yang siap
mewarnai dinamika ekosistem Hutan Menamang.
C. Pertemuan dengan Sarang Orang Utan
Keberadaan orang utan di alam liar sulit dideteksi karena sering kali
bersembunyi di antara rimbun dedaunan hutan. Oleh karena itu,
melihat orang utan secara langsung atau menghitung kepadatannya
merupakan hal yang sulit. Meskipun demikian, kondisi ini bukan
menjadi kendala bagi peneliti. Jejak keberadaan orang utan dapat
dilihat dari sarang yang dibuatnya.
Layaknya manusia yang membutuhkan kenyamanan saat
tidur, orang utan juga membutuhkan hal yang sama. Jika manusia
memerlukan alas tidur, seperti kasur atau karpet, orang utan juga
memerlukan alas tidur. Alas tidur orang utan adalah sarang yang
dibuat dari anyaman ranting-ranting pohon dan dedaunan. Hampir
setiap hari orang utan membangun sarang dengan cara membengkok-
kan ranting-ranting pohon dan menjalinnya satu sama lain. Apabila
163
dilihat dari permukaan tanah, struktur dasar sarang orang utan sangat
rapi dan kokoh. Struktur inilah yang nantinya sangat membantu
dalam membedakan sarang orang utan dengan satwa liar lainnya.
Pucuk pohon, ujung dahan, dan cabang utama merupakan beberapa
tempat dimana sarang dibuat. Selain itu, tidak jarang sarang dibuat
pada pertemuan dua atau tiga lebih cabang pohon ataupun di atas
permukaan tanah, terutama bagi orang utan yang sudah tidak sanggup
untuk memanjat pohon.
Ketahanan sarang orang utan sangat bergantung dari tipe hutan,
termasuk komposisi vegetasi penyusunnya, serta variabel lingkungan.
Seperti di bentang alam Leuser, pada tipe hutan dataran rendah, umur
sarang orang utan mencapai 231,3 hari, sedangkan di subpegunungan
mencapai 192,7 hari. Lama laju pelapukan sarang orang utan, wa-
laupun pada tipe habitat yang berbeda mungkin berlangsung sama,
terutama jika tipe hutan tersebut memiliki pH lapisan tanah atas
(topsoil) yang sama (Wich dkk., 2004). Dalam pendugaan kepadatan
dan populasi, penaksiran umur sarang (t) yang tepat adalah salah satu
hal yang sangat penting. Kesalahan dalam menaksir umur sarang
menyebabkan hasil perhitungan kepadatan maupun populasi orang
utan menjadi tidak akurat.
Sarang orang utan terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan
kondisi komponen penyusunnya. Mengutip artikel dari Johnson dkk.
yang diterbitkan tahun 2005, sarang orang utan dibagi menjadi 5
kelas, yaitu A, B, C, D, dan E. Sarang dengan tipe kelas A merupakan
sarang yang masih baru di mana daun-daun penyusun sarang masih
berwarna hijau, tipe B adalah sarang yang relatif baru, dicirikan
dengan masih adanya daun-daun berwarna hijau dengan beberapa
daun yang sudah berwarna coklat atau mengering. Tipe C adalah
sarang yang daun-daunnya sudah berwarna coklat akan tetapi bentuk
sarang masih utuh. Tipe D adalah sarang yang sudah berlubang-
lubang karena daun-daun sudah mulai menghilang, sedangkan tipe
E adalah sarang yang sudah tua, tidak ada daun yang tertinggal, dan
hanya menyisakan batang atau ranting.
.164
Metode yang sering digunakan untuk penghitungan sarang orang
utan adalah garis transek (line transect). Melalui metode ini, 32 sarang
orang utan berhasil ditemukan di hutan tepi Sungai Menamang.
Umumnya, orang utan membangun satu sarang pada satu pohon,
tetapi tidak jarang dalam pohon yang sama terdapat dua atau tiga
sarang sekaligus. Setidaknya terdapat 26 jenis pohon digunakan
sebagai tempat membangun sarang di hutan tepi Sungai Menamang,
seperti bayur (Pterospermum javanicum), rambutan hutan (Nephelium
cuspidatum), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis fulva),
sempur (Dillenia reticulata), sengkuang (Dracontomelon dao), laban
(Vitex pinnata), dan bungur (Lagerstroemia speciosa (Gambar 12.2).
Foto: Tri Sayektiningsih (2011)
Gambar 12.2 Salah Satu Sarang Orang Utan di Hutan Menamang
Menariknya, orang utan di Hutan Menamang juga membangun
sarang pada pohon pakan sekaligus. Perilaku tersebut jarang dilaku-
kan di habitat yang masih baik untuk menghindari predator. Namun,
orang utan Kalimantan hampir tidak memiliki predator, berbeda
dengan kerabatnya yang hidup di hutan-hutan Sumatra sehingga
dapat dikatakan jika perilaku orang utan membuat sarang di pohon
pakan lebih disebabkan oleh kondisi habitat yang makin rusak.
165
Orang utan umumnya membangun sarang di cabang utama,
sisanya sarang dibuat pada ujung dahan dan cabang utama. Beberapa
pustaka menyebutkan jika orang utan menyukai cabang utama sebagai
lokasi sarang karena posisi tersebut cukup stabil untuk menopang
tubuhnya yang berukuran besar. Selama penelitian, telah ditemukan 1
sarang kelas A, 2 sarang kelas B, 6 sarang kelas C, 9 sarang kelas D, dan
15 sarang kelas E. Penemuan sarang dengan tipe kelas A menunjukkan
jika hutan tepi Sungai Menamang merupakan habitat yang masih aktif
digunakan oleh orang utan untuk beraktivitas.
D. Ancaman Terhadap Hutan Menamang dan Orang
utan
Status lahan Hutan Menamang yang termasuk APL menyebabkan
kondisinya makin mengkhawatirkan karena setiap saat dapat berubah
menjadi perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman monokultur, mau-
pun kebun masyarakat. Hutan Menamang kian menyempit karena laju
perubahan tutupan lahan di sekitarnya yang begitu cepat. Pada tahun
2011 masih banyak blok-blok yang berhutan lebat. Namun, pada
tahun 2012 blok-blok hutan tersebut sudah menjadi tanah kosong
yang siap ditanami bibit kelapa sawit. Ekspansi perusahaan kelapa
sawit merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian Hutan Menamang
(Gambar 12.3). Skema kebun plasma yang dijalankan oleh perusahaan
akan makin memperburuk situasi jika tidak diawasi. Kebun plasma
adalah salah satu bentuk kontribusi perusahaan dalam peningkatan
kesejahteraan hidup masyarakat sekitar. Dalam skema ini, masyarakat
akan diberi bantuan teknik dan finansial dalam mengelola kebunnya.
Jika sebelumnya lokasi kebun plasma harus berada di dalam area hak
guna usaha (HGU), menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor
98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, saat ini
kebun plasma yang disyaratkan seluas 20% dari HGU perusahaan
dapat berada di luar konsesi perusahaan. Artinya, masyarakat bebas
menggunakan APL sebagai areal perkebunan walaupun mungkin ja-
raknya kurang dari 50–100 m dari tepi sungai. Hal demikian tentunya
akan menjadi ancaman baru karena masyarakat bisa membuka hutan
sebagai areal perkebunan.
.
Ancaman terhadap Hutan Menamang juga berasal dari pola
penggunaan lahan di tepi sungai. Hal ini penulis sadari saat menyusuri
Sungai Menamang dengan menggunakan ketinting atau perahu kecil
yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai alat transportasi atau
menangkap ikan di Kalimantan. Selama menyusuri sungai, terlihat
tutupan hutan di tepi Sungai Menamang yang sudah tidak kontinu.
Masyarakat membuka hutan untuk berladang, berkebun, dan me-
nanaminya dengan tanaman pertanian, seperti cabai serta tanaman
buah-buahan. Makin ke selatan mendekati Cagar Alam Muara
Kaman Sedulang, makin banyak rumah-rumah berjejer rapi di tepi
sungai, bahkan areal pemakaman. Namun, ada kalanya rumah-rumah
masyarakat dipisahkan oleh hutan. Sebenarnya, jika Hutan Menamang
terpelihara dan lestari, hutan ini dapat berfungsi sebagai koridor
satwa yang menghubungkan kantong-kantong hutan di sekitar Desa
Menamang dengan Taman Nasional Kutai. Dalam masa perubahan
iklim seperti sekarang ini, keberadaan koridor satwa sangat penting
sebagai salah satu strategi adaptasi. Koridor satwa dapat mencegah
terjadinya efek buruk dari fragmentasi habitat, seperti inbreeding atau
perkawinan kerabat dekat.
167
Makin terdesak dan tergerusnya Hutan Menamang akan
berakibat makin berkura