nal Lore Lindu (Kabupaten Sigi dan Kabupaten
Poso). Di luar kawasan konservasi, burung maleo dapat ditemukan
di pantai Tanjung Santigi Kecamatan Moutong, Tanjung Desa Rerang
Kabupaten Donggala, daerah Bungku, dan Pantai Sausu Kabupateng
Perigi Moutong (Nurudin, 2011).
C. Bertahan di Lanskap Hutan yang Terus Berubah
Irama derap laju pembangunan makin cepat sejak diimplementa-
sikannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau yang lebih dikenal de-
ngan undang-undang otonomi daerah. Hal ini karena undang-undang
tersebut kemudian menjadi dasar atau alasan pemekaran wilayah di
beberapa provinsi dan kabupaten. Jika sebelum era reformasi terdapat
27 provinsi di Indonesia, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 33
provinsi dan tambahan satu provinsi baru lagi, yaitu Kalimantan Utara
sehingga menjadi 34 provinsi (Gunawan & Sugiarti, 2014). Pemekaran
wilayah ini diiringi dengan pembangunan infrastruktur dan pemban-
gunan ekonomi wilayah yang berimplikasi pada perubahan struktur
dan pola penggunaan ruang dalam tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten.
Hingga tahun 2014, sejak Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang dikeluarkan, ada 22 provinsi yang mengajukan
perubahan atau Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Dua
Puluh Dua, 2010). Perubahan tata ruang yang melibatkan perubahan
fungsi dan peruntukan kawasan hutan, tentu saja berdampak pada
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan.
Dalam hal ini, karena ada pengurangan luasan kawasan hutan, frag-
mentasi hutan, maupun degradasi akibat eksploitasi. Pascaotonomi
daerah digulirkan, Pulau Sulawesi terbagi menjadi enam provinsi,
yaitu Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Keseluruhan provinsi terse-
but telah melakukan revisi RT RW yang semuanya meliputi perubahan
fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
279
Menurut Gunawan (2014), provinsi-provinsi yang mengusulkan
perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan umumnya untuk
memenuhi kebutuhan lahan dalam rangka pembangunan jalan,
perkantoran, pelabuhan, lapangan terbang, perkebunan besar, lahan
pertanian rakyat, pertambangan, bendungan, kawasan industri, per-
mukiman dan perkotaan, jaringan irigasi, jaringan listrik, dan lahan
transmigrasi. Selanjutnya, Gunawan (2014) menyebutkan bahwa
pembangunan berbagai infrastruktur tersebut menimbulkan dampak
permanen kepada satwa liar, antara lain berupa fragmentasi habitat
(habitat fragmentation), kehilangan habitat (habitat loss), penyusut-
an habitat (habitat shrinkage), penurunan kualitas habitat (habitat
degradation), efek tepi (edge effect), isolasi habitat, dan penurunan/
penambahan ragam habitat (habitat diversity).
Burung maleo merupakan salah satu satwa yang sangat ter-
dampak oleh fragmentasi yang disebabkan oleh perubahan fungsi dan
peruntukan kawasan hutan. Hal ini disebabkan burung maleo meru-
pakan spesialis dalam pemilihan habitat, memiliki kemampuan ter-
bang terbatas, dan membutuhkan habitat yang luas dan menyambung
untuk penjelajahan dari tempat tidur dan mencari makan menuju ke
tempat bertelur. Burung maleo biasanya tidur dan mencari makan
di hutan-hutan primer dan sekunder yang jauh dari manusia karena
satwa ini takut dengan kehadiran manusia. Burung maleo juga meng-
gunakan habitat khusus untuk mengeramkan telurnya karena burung
ini tidak mengerami sendiri telurnya melainkan menguburnya dalam
tanah di daerah yang memiliki sumber panas bumi (geothermal) atau
di pasir pantai (Gambar 20.4). Burung maleo mengubur telurnya pada
kedalaman tertentu untuk mendapatkan temperatur dan kelembaban
yang sesuai untuk menetaskannya.
Meskipun bisa terbang, burung maleo bukanlah penerbang yang
baik, kepandaian terbangnya hanya sedikit di atas kepandaian ayam
kampung. Burung maleo hanya bisa terbang dalam jarak pendek,
sekitar 30 meter sehingga memerlukan pohon-pohon sebagai lon-
catan perpindahannya. Oleh karena itu, burung maleo menyukai
hutan dengan pohon-pohon yang relatif rapat untuk pergerakannya
.280
dari tempat tidur ke tempat bertelurnya. Ketika hutan yang menjadi
lintasan terbangnya ditebang dan berubah menjadi lahan pertanian
dengan tanaman musiman maka burung maleo tidak dapat lagi
mengakses tempat bertelurnya karena tidak ada pohon-pohon yang
membantunya menjelajah dari hutan ke lokasi pengeraman telurnya.
Beberapa lapangan tempat bertelur maleo juga telah diting-
galkan atau tidak pernah didatangi karena telah berubah menjadi
permukim an, kebun, atau ladang rakyat, atau bahkan lapangan sepak
bola (Gunawan, 2000). Menurut Baker (2002) dari 142 tempat ber-
sarang yang diketahui, 48 telah ditinggalkan, 51 sangat terancam,
32 terancam, 7 berstatus tidak diketahui, dan hanya 4 yang belum
terancam. Populasi keseluruhan burung maleo diperkirakan tinggal
berkisar 4.000–7.000 pasangan yang berkembang biak, dan menurun
dengan cepat hingga 90% sejak 1950 (Butchart & Baker, 2000).
D. Fragmentasi, Degradasi, dan Kehilangan Habitat
Menurut Gunawan (2000), masalah utama yang dihadapi dalam usaha
pelestarian burung maleo adalah penurunan populasi yang sangat
tajam hampir di semua habitatnya akibat dari eksploitasi terhadap
telurnya, degradasi habitat, dan fragmentasi habitat. Eksploitasi
telur utamanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat.
Keterangan: a. Pantai dengan sumber panas matahari b. Hutan dengan sumber
panas bumi (geotermal)
Gambar 20.4 Habitat Tempat Bertelur Maleo
(a) (b)
281
Kemerosotan kualitas habitat disebabkan oleh kerusakan hutan akibat
penebangan dan perambahan hutan, sedangkan berkurangnya luasan
habitat disebabkan oleh konversi hutan dan perladangan liar yang
kemudian menjadi ladang permanen (Gambar 20.5). Konversi hutan
juga menyebabkan fragmentasi habitat yang menghilangkan koneksi
dari habitat tempat tidur ke habitat tempat bertelur. Fragmentasi yang
masif dapat mengakibatkan isolasi habitat tempat bertelur dan isolasi
habitat tempat tidur burung maleo (Gambar 20.6). Isolasi tempat
bertelur tersebut menyebabkan terhambatnya proses regenerasi.
Isolasi habitat secara umum dalam jangka panjang dapat menu-
runkan kualitas genetik populasi akibat kawin dalam (inbreeding).
Degradasi kualitas habitat burung maleo terjadi akibat perambahan
hutan dan penebangan liar yang merusak vegetasi hutan. Di sam-
ping menghilangkan atau mengurangi keamanan tempat berlindung,
perambahan hutan juga mengurangi pohon-pohon penghasil pakan
(Gambar 20.7). Kehadiran manusia di habitat burung maleo juga
menciptakan efek tepi yang mengurangi luasan habitat efektif yang
digunakan oleh burung maleo. Perambahan dan penebangan liar ba-
nyak terjadi pada masa awal tahun 2000 sebagai dampak dari euforia
reformasi yang berlebihan dan krisis ekonomi yang belum pulih.
Gambar 20.5 Contoh Konversi Hutan Menjadi
Lahan Pertanian Semusim
.282
(a) (b)
(c)
Keterangan: a. Jalan desa b. Jalan provinsi c. Saluran irigasi
Foto: Hendra Gunawan (2015)
Gambar 20.6 Contoh Fragmentasi Habitat yang Memotong Kawasan Hutan
Foto: Hendra Gunawan (2015)
Gambar 20.7 Perladangan yang Terjadi di Dalam
Kawasan Hutan
283
Jika penggarapan kawasan hutan bersifat masif dan ekstensif,
dampaknya tidak saja mengurangi kualitas habitat, tetapi juga
menghilangkan habitat secara permanen (habitat loss) (Gambar
20.8). Hilangnya sebagian habitat tersebut jelas mengurangi luasan
habitat yang ada, dan ini berarti mengurangi daya dukung habitat.
Secara alami, konsekuensinya adalah penurunan populasi burung
maleo di lokasi yang luasannya menyusut atau bahkan hilang karena
habitat menjadi tidak sesuai lagi atau tidak lagi mampu mendukung
kelangsungan hidup burung maleo sehingga ditinggalkan secara
permanen (abandoned).
E. Bagaimana Melawan Punah di Lanskap yang Terus
Berubah
Menghadapi ancaman yang terus menerus dan tak dapat dihindari
maka diperlukan langkah-langkah strategis jangka panjang untuk me-
nyelamatkan burung maleo dari kepunahan. Langkah utama adalah
melindungi tapak-tapak habitatnya, khususnya habitat tempat bertelur,
baik dengan cara menetapkannya sebagai kawasan konservasi maupun
melindunginya sebagai kawasan lindung atau kawasan ekosistem
esensial. Habitat tempat bertelur yang terbuka rawan terhadap gang-
guan predator dan pencurian sehingga proses perkembangbiakan
dapat terganggu (Gambar 20.9 a).
Gambar 20.8 Penggundulan Hutan Secara Masif
untuk Lahan Pertanian Permanen
.284
Habitat-habitat yang telah rusak atau terdegradasi perlu diresto-
rasi untuk mengembalikan fungsinya. Pada habitat tempat bertelur
yang telah terfragmentasi sehingga terputus koneksinya dengan habitat
tempat tidur, perlu dibuatkan koridor melalui restorasi atau rehabili-
tasi di jalur lintasan terbang burung maleo sebagai jalan menuju lokasi
tempat tidurnya. Bila diperlukan, untuk menjamin keamanan dan
keberhasilan penetasan telur, telur-telur burung maleo dipindahkan
ke tempat penetasan in situ berpagar dan terawasi oleh petugas agar
lebih aman dari gangguan predator dan pencurian (Gambar 20.9 b).
Untuk itu, unit-unit penyelamatan telur burung maleo secara in situ
beserta petugas atau relawan terlatih perlu diperbanyak, khususnya
di daerah rawan pencurian telur burung maleo.
(a) (b)
Keterangan: a. Habitat terbuka yang rawan gangguan predator dan pencurian b.
Bak tempat penetasan telur burung maleo yang dibuat di sekitar habitat alaminya
(in situ)
Gambar 20.9 Habitat Tempat Bertelur Burung Maleo
Tidak kalah pentingnya adalah upaya peningkatan kesadaran
masyarakat untuk ikut melestarikan burung maleo, melalui berbagai
cara, seperti penyuluhan, kampanye konservasi, pendidikan lingkung-
an, dan melibatkan mereka dalam upaya penyelamatan telur burung
maleo atau membinanya menjadi pemandu ekowisata dengan objek
utama menyaksikan burung maleo bertelur. Pengembangan ekowisata
burung maleo diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat
sekitar dan menumbuhkan kesadaran akan manfaat keberadaan bu-
285
rung maleo sehingga dapat mendorong masyarakat untuk ikut aktif
berpartisipasi dalam upaya konservasi burung maleo.
Upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah ditunjukkan
antara lain dengan menetapkan burung maleo sebagai salah satu dari
25 satwa prioritas nasional untuk ditingkatkan populasinya sebesar
10 persen, berdasarkan SK Direktur Jenderal KSDAE Nomor 180/
IV-KKH/2015. Upaya lain untuk mendukung hal tersebut yaitu pada
tahun 2016 TN Bogani Nani Wartabone menetapkan tiga lokasi
tempat bertelur burung maleo, yaitu Tambun, Muara Pusian, dan
Hungayono sebagai sanctuary yang dikelola secara intensif dengan
fasilitas hatchery, kandang-kandang habituasi, dan pemagaran untuk
pengamanan. TN Bogani Nani Wartabone juga menginisiasi penyu-
sunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Burung Maleo
pada tahun 2017.
F. Penutup
Hutan tempat hidup berbagai jenis satwa terus mengalami perubah-
an, baik dalam hal kualitas, luasan, maupun keutuhannya sebagai
suatu bentang lanskap yang kompak. Tidak semua jenis satwa
mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada habitatnya.
Banyak satwa dilindungi justru sangat terdampak oleh perubahan
bentang alam, di antaranya satwa-satwa yang memiliki jelajah luas,
kemampuan mobilitas rendah, memiliki sifat pemalu, atau takut
terhadap manusia. Selain satwa-satwa tersebut, jenis satwa interior
pun terdampak, yaitu satwa yang menyukai hidup di tengah-tengah
hutan yang jauh dari pinggiran. Burung maleo termasuk satwa yang
sangat terdampak dengan perubahan bentang lanskap hutan, terutama
fragmentasi yang memutus konektivitas antara hutan tempat tidur dan
mencari makan dengan lapangan tempat bertelurnya. Fragmentasi
hutan makin masif mengikuti laju pembangunan infrastruktur dan
pengembangan wilayah pascaotonomi daerah. Hal ini perlu disikapi
dengan upaya mitigasi untuk meminimalisir dampaknya terhadap
kelestarian burung maleo. Salah satu upaya yang patut diapresiasi
adalah revitalisasi dan pengelolaan intensif lapangan tempat bertelur
.286
burung maleo sebagai sanctuary untuk program penetasan telur
yang terkontrol dan terlindungi sehingga dapat menjamin proses
reproduksi alami dan menjaga populasi di alam tetap berkembang.
Upaya seperti ini perlu direplikasi di tempat lain dengan melibatkan
masyarakat dalam skema pemberdayaan dan pengembangan ekonomi
lokal melalui ekowisata burung maleo.
Ratusan tahun yang lalu para peneliti mengambarkan pohon
yang berubah menjadi merah karena ribuan nuri sebagai sebuah
pemandangan yang mengesankan. Nuri merah atau nuri talaud
digolongkan ke dalam anggota burung paruh bengkok (Psittacidae).
Spesies tersebut adalah salah satu satwa dilindungi di Indonesia
yang sebarannya hanya ada di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Populasi nuri talaud di habitat alaminya makin berkurang dari
tahun ke tahun akibat penangkapan untuk diperjualbelikan. Sangat
disayangkan anggota genus Eos yang terdistribusi di paling barat ini
luput dari perhatian dan statusnya dalam ancaman kepunahan. Satwa
dilindungi ini populasinya tidak lebih dari 5.000 individu. Meskipun
telah masuk dalam Apendiks I CITES, namun faktanya nuri talaud
justru menjadi satu komoditas perdagangan satwa liar bahkan hingga
ke mancanegara. Upaya melestarikan nuri talaud di Indonesia harus
terus dilakukan, baik melalui kegiatan riset, peningkatan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat, memupuk kebanggaan, dan rasa memiliki
keanekaragaman satwanya yang khas dan endemik Indonesia.
A. Burung Endemik Talaud
Nuri talaud memiliki bahasa ilmiah Eos histrio atau Red and Blue
Lory atau dalam bahasa lokal masyarakat Talaud disebut sam-
piri. Nuri talaud adalah anggota spesies dari burung paruh bengkok
(Psittacidae). Nama Talaud disematkan sebagai penanda bahwa
spesies ini adalah asli dari gugusan Kepulauan Talaud atau dikenal
dengan nama Bumi Porodisa. Uniknya, Kepulauan Talaud yang
secara administrasif menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara
memiliki perbedaan pada jenis burung paruh bengkok dengan yang
ditemukan di daratan besarnya (main island), Sulawesi. Oleh karena
itu, nuri talaud dapat menjadi magnet bagi para peneliti yang ingin
mempelajari zoogeografi.
Tidak banyak yang mengetahui identitas nuri talaud sebagai
burung endemik di Sulawesi Utara yang kini keberadaannya sudah
makin langka. Pada tahun 1760 merupakan awal nuri talaud dikenal
oleh kalangan ilmiah dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri ber-
dasarkan awetan di diorama Museum Natural History London. Nuri
talaud digolongkan sebagai spesies dalam bahaya dan terancam oleh
berbagai macam tekanan. Namun, ancaman yang paling serius adalah
penangkapan untuk diperjualbelikan. Dilihat dari nilai ekonomis, jelas
burung ini tidak kalah menarik dengan jenis burung paruh bengkok
lainnya, seperti jenis-jenis kakaktua, kasturi, maupun jenis serindit
sebab nuri talaud memiliki warna yang menarik dan juga suara yang
dapat dilatih.
Berdasarkan penelitian Snyder dkk. (2000), di dunia terdapat
sekitar 403 jenis burung paruh bengkok dengan variasi morfologi
yang cukup tinggi. Indonesia sendiri memiliki spesies burung paruh
bengkok yang tinggi, 45 spesies di antaranya tersebar di wilayah
Papua (Beehler dkk.,2001), 37 spesies di kawasan Wallacea (White
& Bruce, 1986) dan 9 spesies di Kepulauan Sunda Besar (Mac
Nuri Talaud, Sang ... 291
Kinnon dkk., 1998). Eos histrio merupakan satu dari enam genus
Eos yang penyebarannya di wilayah paling barat, sedangkan jenis Eos
lainnya, yaitu Eos reticulata merupakan endemik Pulau Kai (NTT),
Eos squamata tersebar di Maluku Utara, Eos bornea adalah endemik
Maluku (Selatan), Eos semilarvata endemik Pulau Seram, dan Eos
cyanogenia yang tersebar di pesisir Pulau Biak dan pulau-pulau di
Teluk Cendrawasih Papua.
B. Deskripsi Jenis
Sama halnya dengan spesies paruh bengkok lainnya, nuri talaud
memiliki bentuk paruh yang melengkung ke bawah, seperti catut dan
sangat kuat, kaki bersifat zygodactil yang artinya dua jari menghadap
ke depan dan dua jari menghadap ke belakang; dan lidah tebal yang
berfungsi untuk memegang atau prehensile. Ukuran tubuh Nuri
talaud berkisar antara 30–31 cm dan berat antara 150–190 gram. Bulu
dominan berwarna merah dan biru, sedangkan bagian dada dan mata
ditutupi bulu berwarna biru yang mengelilingi hampir sebagian kepala
hingga ke leher (Gambar 21.1). Sekilas, penampakan Nuri talaud
seperti burung yang mengenakan topeng. Para taksonomis membeda-
kan Eos histrio menjadi tiga anak jenis atau subspesies berdasarkan
habitat serta morfologinya yaitu E.h. histrio, E.h talautensis dan E.h
challengeri. Perbedaan morfologi ketiganya tidak terlalu jelas, namun
dapat dibedakan berdasarkan habitatnya yaitu E.h.histrio berasal dari
Kepulauan Sangihe, E.h. talautensis dari Kepulauan Talaud, dan E.h.
callengeri berasal dari Kepulauan Nenusa dan Miangas.
Nuri talaud adalah burung monomorfis yang sulit dibedakan
antara jantan dan betina, bila hanya berdasarkan perbedaan mor-
fologinya, seperti pada beberapa jenis burung pada umumnya.
Referensi mengenai Nuri talaud menjelaskan bahwa burung ini
berkembang biak diperkirakan pada bulan September sampai dengan
Oktober. Sarang yang dipilih adalah pohon kering dan tinggi dalam
sebuah lubang dengan telur yang dihasilkan 1–3 telur. Pengeraman
berlangsung sekitar 25–27 hari dengan hampir dua bulan induk akan
melakukan perawatan sampai anak dapat keluar dari sarang. Masa
hidup burung Nuri talaud masih bervariasi antara 15 hingga 20 tahun.
.292
Foto: Diah I.D.Arini (2013)
Gambar 21.1 Nuri Talaud di Konservasi Ex situ Balai Litbang LHK
Manado
C. Perilaku dan Sistem Pertahanan Koloni
Nuri talaud memiliki kebiasaan terbang dalam kelompok-kelompok
kecil berjumlah antara delapan hingga sepuluh ekor dengan menge-
luarkan suara ramai dan khas. Jenis ini dapat dijumpai di berbagai
habitat, terutama di hutan sekunder dan kebun. Seperti jenis nuri
lainnya, Nuri talaud sangat menyukai nektar bunga termasuk mayang
kelapa, bunga durian, bunga jambu-jambuan (Eugenia sp.), dadap
(Erythrina sp.), buah-buahan, biji-bijian, dan serangga termasuk
larva Sexava sp. yang merupakan hama bagi tanaman kelapa. Untuk
memperoleh nektar, Nuri talaud menggunakan fungsi ujung lidah
yang berbentuk seperti sikat yang disebut papila.
Nuri talaud termasuk burung yang hidup berkoloni besar, yaitu
terdiri dari 100–300 ekor per koloni. Burung yang hidup dalam koloni
besar memiliki perilaku unik yaitu menggunakan satu pohon tidur
secara bersama-sama. Pohon tidur merupakan titik awal dan titik
akhir dari segala aktivitas nuri talaud. Pohon ini akan digunakan
ketika senja mulai tiba hingga menjelang fajar. Penggunaan satu
pohon tidur oleh koloni nuri talaud dapat berlangsung sangat lama,
bahkan hingga puluhan tahun. Koloni akan berpindah pohon tidur
jika pohon ditebang atau roboh dengan sendirinya. Selain itu, gang-
Nuri Talaud, Sang ... 293
guan pada pohon tidur juga terjadi karena ulah manusia. Di antaranya
pemasangan jerat pada pohon tidur dapat berakibat koloni akan
segera pergi mencari lokasi pohon tidur yang baru.
Pohon tidur yang dipilih biasanya adalah pohon yang paling
tinggi di antara pohon lain di sekitarnya, tidak banyak gangguan,
dan memiliki banyak cabang. Lokasi pohon tidur justru di daerah
peralihan antara kebun dan hutan. Jenis-jenis pohon yang dipilih oleh
Nuri talaud di antaranya pohon gehe (Pometia corriaceae), pohon
binsar (Ficus variegata), pohon war’ro (Duabanga moluccana), dan
pohon lawean (Sterculia sp.)
D. Penggunaan Pohon Tidur
Pada tahun 2014, terdapat sekitar enam pohon tidur yang masih
aktif digunakan nuri talaud yang berlokasi di desa Ammat, Rae,
Binalang, Bengel, dan Bantane (Arini dkk., 2017). Pada tahun-tahun
sebelumnya Yayasan Burung Indonesia mengidentifikasi sembilan
pohon tidur pada tahun 2004 dan delapan pohon tidur pada tahun
2006. Penurunan jumlah pohon tidur terjadi seiring dengan jumlah
populasi Nuri talaud yang makin berkurang di habitat alaminya.
Terdapat satu pohon tidur di Desa Rae, tepatnya di lokasi kebun
Bowone, yang telah digunakan oleh koloni Nuri talaud sejak tahun
2006 hingga saat ini, sedangkan di Desa Binalang terdapat dua pohon
tidur yang posisinya saling berdekatan. Data jenis pohon tidur yang
telah ada sejak tahun 2004 menunjukkan adanya preferensi terhadap
spesies pohon tidur yang digunakan nuri talaud, yaitu pohon Gehe.
Pohon Gehe adalah jenis pohon dominan di Pulau Karakelang yang
memiliki morfologi batang lurus dan tinggi (Gambar 21.2). Pohon ini
juga sering digunakan oleh masyarakat di Karakelang sebagai ‘batas
sipat’ atau batas kepemilikan kebun.
Proses nuri talaud masuk ke dalam pohon tidur diawali dengan
kedatangan beberapa ekor nuri talaud yang hinggap di pohon seki-
tar pohon tidur sambil bersuara khas. Perilaku tersebut dilakukan
mungkin karena mereka adalah petugas pembawa pesan yang akan
mengarahkan koloni lainnya menuju pohon tidur. Ketika langit mulai
.294
gelap, satu persatu nuri talaud mulai bertengger pada ranting-ranting
pohon tidurnya, bersuara ribut sampai semua koloni berada pohon
tidur yang sama. Posisi tidur nuri talaud terlihat sangat unik, mereka
tampak berpasangan menempati setiap ranting dan dahan pohon tidur
hingga suara riuh itu akan berhenti dengan sendirinya saat malam
tiba. Beberapa teori mengenai penggunaan pohon tidur oleh koloni
burung adalah sebuah cara dalam pertahanan koloni. Pohon dengan
karakteristik yang lebih tinggi dibandingkan pohon di sekitarnya
akan memudahkan koloni dalam memantau kehadiran predator yang
datang. Selain itu, sistem sosial terbangun dengan membagi anggota
koloni dalam setiap posisi ranting sehingga terbentuk sebuah interaksi
sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni untuk melawan gang-
guan yang membahayakan koloni.
(a) (b)
Foto: Diah I.D.Arini (2014)
Gambar 21.2 Pohon yang Teridentifikasi sebagai Pohon Tidur (Roost Tree)
Nuri Talaud, Sang ... 295
E. Populasi Alami yang Terancam
Lee dkk. (2001), menuliskan pengalaman penelitiannya dalam se-
buah buku yang berjudul Keanakeragaman Hayati Sulawesi Utara,
dikisahkan bahwa seratus tahun lalu para peneliti di alam meng-
gambarkan pohon-pohon yang berubah warna menjadi merah sebagai
sebuah pemandangan yang mengesankan. Merahnya pohon tersebut
disebabkan karena banyaknya nuri talaud yang tidur secara berkoloni
hingga mencapai ribuan ekor. Namun sayang, dalam tahun-tahun
terakhir dijelaskan bahwa pemandangan tersebut mulai hilang dengan
makin menurunnya jumlah populasi nuri talaud di alam. Pendapat
ini diperkuat oleh International Union for Conservation of Nature
(IUCN) Species Survival Commission yang telah melakukan penilaian
terhadap status nuri talaud di Kepulauan Sangihe dan Talaud pada
tahun 1996. Hasil penilaian mereka menunjukkan adanya penurunan
jumlah populasi yang sangat signifikan dan mereka menyatakan
bahwa saat ini hanya ada satu anak jenis yang masih tersisa, yaitu
E.h.talautensis dari tiga anak jenis yang diperkirakan pernah tercatat.
Populasi terbesar nuri talaud di habitat alam saat ini dapat dijumpai
di Pulau Karakelang dengan jumlah tidak lebih dari 2.300 ekor.
F. Jejak Perdagangan
Jejak perdagangan nuri talaud dituliskan secara rinci oleh Amama
(2006). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa perdagangan nuri
talaud sudah ada sejak tahun 1885. Seorang naturalis bernama Sidney
J. Hickson berkebangsaan Inggris yang saat itu sedang melakukan
perjalanan ke Sangihe dan Talaud, menjumpai masyarakat setempat
memberikan hadiah bahkan menjual beberapa nuri talaud. Catatan
lainnya dari seorang dokter bernama Murray yang juga menceritakan
pengalamannya pada saat beliau tinggal di atas kapal Challenger, di
mana dia bertemu dengan beberapa awak kapal yang berasal dari
Pulau Miangas membawa beberapa ekor burung nuri yang terborgol
cincin dari tempurung kelapa. Burung-burung tersebut hendak ditu-
kar dengan tembakau. Perdagangan nuri talaud juga sering dilakukan
dengan sistem barter, yaitu ditukar dengan peralatan rumah tangga
atau minuman beralkohol.
.296
Pada tahun 1963 penyelundupan nuri talaud marak terjadi
de-ngan tujuan Mindanao Selatan (Filipina) dan Tawau (Malaysia).
Burung nuri menjadi salah satu komoditi favorit yang cukup tinggi
nilai jualnya, selain kopra dan cengkeh. Perdagangan secara besar-
besaran terjadi pada tahun 1980-an di mana hampir sebagian besar
tangkapan nuri talaud dijual ke Filipina dan sebagian lainnya dijual
ke daerah lain melalui Kota Manado. Posisi geografis Kepulauan
Nusa Utara, termasuk di dalamnya Sangihe, Talaud, dan pulau kecil
di sekitarnya, membuka peluang yang sangat besar bagi maraknya
perdagangan nuri talaud secara ilegal. Tidak hanya kapal-kapal dari
masyarakat Talaud dan Sangihe saja, namun juga dari Ternate dapat
berinteraksi langsung dengan kapal Filipina. Nuri talaud yang diper-
dagangkan di dalam pulau memang memiliki nilai jual yang sangat
rendah, namun jika telah sampai di luar pulau harganya bisa mencapai
ratusan ribu. Banyak pedagang burung keliling di Kota Manado yang
membawa serta nuri talaud dengan harga mencapai 700 ribu rupiah
per ekornya, hampir sama dengan harga jual kasturi ternate. Pada
umumnya, mereka tidak mengetahui spesies burungnya, yang mereka
tahu bahwa jenis ini tergolong burung langka dan mahal.
(a) (b)
Keterangan: a. Perubahan lanskap talaud b. Penangkapan
Foto: Diah I. D. Arini (2014)
Gambar 21.3 Tantangan dalam Pelestarian Nuri Talaud
Nuri Talaud, Sang ... 297
Jika kita berjalan-jalan di beberapa desa di Karakelang, tidak
sedikit dijumpai masyarakat yang memelihara nuri talaud. Masyarakat
rata-rata memelihara satu hingga tiga ekor, terkadang tidak hanya nuri
talaud, tetapi ada jenis-jenis lain yang juga dipelihara, seperti betet
kelapa (Tanygnathus megalorynchos), nuri bayan (Eclectus roratus) dan
kring-kring dada kuning (Prioniturus flavicans) yang semuanya adalah
tangkapan dari alam. Beberapa alasan masyarakat memelihara nuri
talaud, yaitu sebagai hewan peliharaan, sebagai hadiah yang diberikan
kepada saudara, atau sengaja menangkap dari alam untuk dijual
(Gambar 21.3). Penangkapan nuri talaud di habitat alam dilakukan
dengan memasang perangkap menggunakan getah dari kayu sejenis
sukun-sukunan (Artocarpus). Getah dioleskan pada sebilah bambu
atau kayu yang dipasang pada pohon yang berdekatan dengan pohon
tidur. Seekor nuri talaud digunakan sebagai pancingan suara untuk
memanggil sekawanan nuri lainnya mendekat, akibatnya banyak nuri
talaud yang ikut terperangkap dalam jebakan tersebut.
G. Perlindungan Habitat dan Spesies
Selain perdagangan, ancaman akan populasi nuri talaud juga datang
dari hilangnya habitat. Kepulauan Sangihe yang dulu menjadi habitat
Nuri talaud saat ini hanya menyisakan petak-petak hutan yang berada
di ketinggian. Pulau Karakelang memiliki beberapa kawasan hutan
yang ditetapkan menjadi hutan lindung dan kawasan konservasi, yaitu
Suaka Margasatwa Karakelang yang dikelola oleh Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Kawasan tersebut menjadi wilayah
penting bagi perlindungan nuri talaud yang diangkat sebagai maskot
Talaud. Oleh karena itu, untuk menjaga nuri talaud dari ancaman
kepunahan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan daftar jenis flora
maupun fauna sebagai jenis yang dilindungi termasuk di dalamnya
adalah nuri talaud sebagai anggota keluarga paruh bengkok atau
Psittacidae melalui Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2018.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57 Tahun 2008 tentang Arahan
Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008–2018 menjelaskan bahwa
burung nnri talaud atau sampiri tergolong satwa dengan kategori
prioritas sangat tinggi sehingga diperlukan upaya penyelamatan.
.298
Nuri talaud yang populasinya sudah sangat sedikit bahkan nyaris
punah, oleh badan konservasi dunia (IUCN), telah dimasukkan ke
dalam kategori genting (Endangered), bahkan jika dilakukan evaluasi
kembali statusnya bisa meningkat menjadi kritis (critically endangered).
Perdagangan nuri talaud merupakan bisnis yang melanggar ketentuan
internasional karena nuri talaud terdaftar dalam Apendiks I CITES
yang artinya tidak boleh diperdagangkan secara nasional maupun
internasional baik dalam kondisi hidup ataupun mati.
Kegiatan Action Sampiri yang dimulai pada tahun 1999 adalah
salah satu upaya konservasi nuri talaud yang dilakukan oleh gabungan
para peneliti dari University of York, University of Leeds, dan Univer-
sitas Sam Ratulangi, Manado. Kegiatannya meliputi pemantauan rutin
terhadap populasi nuri talaud dan edukasi kepada masyarakat untuk
menumbuhkan kesadaran akan pentingnya melestarikan habitat
dan spesies nuri talaud. Saat itu, Talaud telah memiliki Komunitas
Pencinta Alam Pulau Karakelang (KOMPAK) yang beranggotakan
masyarakat muda Pulau Karakelang. Karena kecintaannya terhadap
alam Talaud, KOMPAK bekerja menjaga nuri talaud yang menjadi
kebanggaan masyarakat Talaud. Beberapa penyelundupan berhasil
digagalkan dengan adanya kerja sama dengan berbagai pihak terkait.
Burung-burung tersebut akhirnya dilepaskan kembali di habitat
alamnya. Dukungan pemerintah Talaud terhadap pelestarian nuri
talaud antara lain dengan menjadikan satwa ini sebagai ikon dan
maskot Kabupaten Kepulauan Talaud, serta boneka souvenir dalam
acara Pekan Olahraga Kabupaten Korps Pegawai Republik Indonesia
(PORKAB KORPRI) Kabupaten Talaud tahun 2014 (Gambar 21.4).
Nuri Talaud, Sang ... 299
Foto: Roesone (2014)
Gambar 21.4 Boneka Sampiri Sebagai
Souvenir dalam Acara Pemerintah
Kabupaten Talaud Tahun 2014
Upaya untuk melestarikan nuri talaud selain dengan melindungi
habitat dan populasinya di alam liar, juga dapat ditempuh dengan
kegiatan konservasi ex situ atau di luar habitat alaminya, yaitu
melalui penangkaran. Beberapa lembaga penelitian, termasuk salah
satunya Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (BP2LHK) Manado pada tahun 2012–2014 melakukan
upaya pengembangbiakan nuri talaud, namun kegiatan ini belum
sepenuhnya membuahkan hasil yang maksimal. Namun demikian,
beberapa informasi mengenai ekologi Nuri talaud yang selama ini
belum ada dapat terjawab melalui kegiatan penelitian yang telah
dilakukan.
H. Penutup
Nuri talaud merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia
yang sangat membutuhkan perhatian, serta tindakan nyata pelesta-
rian. Dari enam spesies anggota genus Eos, nuri talaud memiliki lokasi
distribusi paling barat di antara spesies lainnya. Populasi nuri talaud
makin menurun karena perburuan ilegal yang terus terjadi. Posisi
.300
wilayah Kepulauan Talaud yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga Filipina memberikan kesempatan kegiatan perdagangan
ilegal ini terus terjadi karena lemahnya pengawasan. Dari tiga sub
anak jenis nuri talaud saat ini hanya tersisa satu sub jenis, yaitu
E.h.talautensis yang ada di Kepulauan Talaud. Dukungan terhadap
kelestarian nuri talaud tidak hanya terhadap populasinya saja namun
juga perlu dilakukan pada habitatnya. Kegiatan-kegiatan ini tentunya
membutuhkan peran dan kerja sama dari berbagai pihak termasuk
pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga
masyarakat.
Tak seriang dan seindah kisah film animasi Dora The Explorer yang
selalu mengajak para penontonnya untuk menjelajah alam liar, nasib
burung dora justru terkesan menyedihkan dan terkungkung. Anuge-
rah berupa keindahan warna, perilaku yang riang, dan cerewetnya di
alam liar justru menjadi malapetaka bagi mereka. Kisah burung dora
justru berakhir di balik jeruji sangkar burung akibat egoisme para ma-
nusia yang berlindung di balik kedok “pecinta burung”. Pemeliharaan
burung dora hanya dilakukan sekedarnya saja tanpa didasari dengan
pengetahuan tentang pemeliharaan yang baik dan benar. Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengenalkan dan mengetahui informasi
dasar tentang perilaku dan kebutuhan dasar burung dora. Informasi
tersebut dapat menjadi dasar bagi masyarakat pemelihara burung dora
agar dapat memelihara burung ini secara baik dan benar.
I.
Burung paruh bengkok? Siapa di antara kita yang tidak mengenal
kelompok burung ini. Berbagai jenis burung dari kelompok burung
paruh bengkok sangat digemari oleh masyarakat sebagai satwa peli-
haraan. Salah satu jenis yang sering dipelihara adalah perkici dora
(Trichoglossus ornatus Linnaeus, 1758). Burung perkici dora tergolong
salah satu jenis burung yang dilindungi sejak puluhan tahun lalu.
Burung dora telah dimasukkan dalam daftar jenis dilindungi
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/
Um/12/1979 tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang
Liar yang Dilindungi hingga kini. Perlindungan terhadap burung
dora kemudian diperbarui berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 301/Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa
yang Dilindungi Undang-Undang dan atau Bagian-Bagiannya yang
Dipelihara oleh Perorangan. Pada tataran peraturan yang tingkatan-
nya lebih tinggi, yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar,
yang keluar 20 tahun kemudian, burung dora tercantum sebagai jenis
burung yang dilin dungi. Selanjutnya, lampiran Peraturan Pemerintah
tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Nomor P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/ 2018, dan
tetap mempertahankan nama perkici dora sebagai salah satu jenis
dilindungi.
Konsistensi pemerintah Republik Indonesia untuk tetap men-
cantumkan burung perkici dora sebagai jenis burung yang dilindungi
tidak lepas dari makin menurunnya populasi burung ini di alam. Tidak
hanya di tingkat lokal nasional Indonesia, pada level internasional
burung dora telah masuk dalam daftar Apendiks II CITES (CITES,
2020), sedangkan berdasarkan International Union for Conservation
of Nature (IUCN), burung ini masuk kategori Least Concern (BirdLife
International, 2016).
305
B. Keindahan Warna Warni yang Memesona
Perkici dora yang berukuran tubuh sekitar 18–25 cm dengan tinggi
berkisar 5–7 cm saat sedang berdiri ini memiliki kelebihan tersendiri
dibanding paruh bengkok lainnya. Jika dibandingkan 14 jenis burung
paruh bengkok lain yang dijumpai di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya, burung dora memiliki warna warni bulu yang ter-
golong paling seronok. Betapa tidak, bulu burung ini memiliki tidak
kurang dari sembilan variasi warna, seperti merah, biru, kuning, hijau,
jingga, ungu, kehitaman, hingga variasi gradasi warna hijau muda,
dan kuning muda pada bulunya (Gambar 22.1). Warna warni cerah
yang semarak menjadi daya pikat utama dari burung ini sehingga
tidak seorangpun akan menjadi bosan saat memandang deretan warna
yang artistik tersebut. Tidak mengherankan jika burung dora menjadi
salah satu primadona di antara jenis paruh bengkok lainnya.
Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2015)
Gambar 22.1 Burung Perkici Dora (Trichoglossus ornatus)
Perkici dora yang juga dikenal dengan nama kasturi sulawesi
dan tergolong dalam kelompok Nuri (Loriidae; Psittacidae), dapat
dijumpai di areal hutan dataran rendah (Holmes & Phillips, 1999)
hingga ketinggian 1.770 mdpl (Coates dkk., 2000). Warnanya yang
.306
cerah menyebabkan keberadaan burung dora di alam dapat dikenali
dengan mudah saat sedang terbang melintas. Selain itu, dora tergolong
burung yang cerewet sehingga kehadirannya dapat diketahui lewat
suaranya. Di habitatnya, kita dapat mendengarkan suaranya yang
ramai dan berisik, baik saat sedang terbang dalam kelompok, maupun
saat sedang hinggap di pepohonan saat mencari makan.
C. Penyebaran
Perkici dora merupakan paruh bengkok endemik Pulau Sulawesi dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Burung perkici dora dapat dijumpai
di beberapa lokasi sebagai berikut.
1) Provinsi Sulawesi Utara, burung ini dijumpai di Cagar Alam
Manembonembo (Bororing dkk., 2011), kawasan hutan Tangkoko
dan Toraut, dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani Wartabone
(Gibbs, 1990).
2) Provinsi Gorontalo, burung ini dijumpai di kawasan Hutan
Adudu (Pudjihastuti dkk., 2007) dan di areal perkebunan Kakao
(Boinau dkk., 2020).
3) Provinsi Sulawesi Tengah, perjumpaan dengan burung dora
pernah dilaporkan di sepanjang tepi barat Teluk Tomini (Andrew
& Holmes, 1990), kawasan hutan Morowali (Khaeruddin, 2007),
kawasan hutan yang terletak di Kakamora dan Dongi-dongi,
(Gibbs, 1990), dan di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga
(Nurdiansyah dkk., 2019).
4) Provinsi Sulawesi Tenggara, penulis pernah menjumpai burung
dora di areal hutan dataran rendah dan areal savana di Taman
Nasional Watumohai. Di areal ini, dora dijumpai terbang dalam
kelompok berjumlah tiga hingga sepuluh ekor dengan suara ribut
melintasi padang savana menuju hutan di sekitarnya atau menuju
kebun penduduk. Jamili dan Amnawati (2014) melaporkan men-
jumpai burung ini di areal hutan mangrove TN Rawa Aopa
Watumohai. O’Connell (2018) melaporkan menjumpai burung
dora di Pulau Kabaena. Martin dan Blackburn (2010) melaporkan
307
keberadaan burung ini di Pulau Buton, sedangkan Kelly dan
Marples (2010) menjumpai burung dora di TN Wakatobi.
5) Provinsi Sulawesi Barat, penulis pernah menjumpai kelompok
burung ini sedang terbang melintasi kawasan Hutan Inhutani
(Mamuju).
6) Provinsi Sulawesi Selatan, penulis juga menjumpai burung ini di
berbagai tipe hutan yang terdapat di kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung.
D. Kondisi Terkini
Kombinasi warna yang indah, ditambah dengan tingkah laku yang
lucu dan menggemaskan, menyebabkan burung paruh bengkok ini
menjadi salah satu burung favorit yang diperdagangkan. Perkici dora
juga tergolong burung mudah jinak dan beradaptasi dengan manusia.
Dengan ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar, burung dora tidak
membutuhkan kandang besar sehingga makin menambah daya tarik
(Gambar 22.2). Namun, daya tarik yang tinggi sebagai hewan peli-
haraan ternyata memicu perburuan liar dan penangkapan burung ini
secara ilegal. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan online
mengenai penangkapan dan perburuan liar dora yang dilakukan oleh
masyarakat. Akibatnya, walaupun perkici dora telah dilindungi atau
kuota perdagangannya ditetapkan nol (0), hingga saat ini, burung
dora masih dapat kita jumpai diperdagangkan di berbagai pusat
perdagangan satwa, terutama burung muda atau belum dewasa.
Kerusakan habitat yang cukup tinggi juga menjadi kendala
bagi kelangsungan hidup burung dora. Kerusakan habitat terjadi
akibat perubahan lahan hutan menjadi peruntukan lain. Pada kasus
penebangan liar, sering kali pepohonan yang ditebang adalah sarang
burung dora. Hal ini menyebabkan terganggunya proses perkem-
bangbiakan burung dora. Dampak kerusakan habitat dan perburuan
burung dora adalah makin sulitnya menjumpai burung ini di habitat
alaminya. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah individu yang teramati
saat terbang atau makan juga makin sedikit. Jika beberapa tahun lalu
burung ini dapat dijumpai terbang berkelompok dalam jumlah cukup
banyak, saat ini dora terkadang dijumpai terbang sendiri atau dalam
kelompok kecil dengan jumlah tak lebih dari lima ekor saja. Indikasi
tidak langsung yang menunjukkan terjadinya penurunan populasi
burung dora terlihat dari hasil wawancara dengan pedagang burung.
Saat ini, pedagang memperoleh dora dari para penangkap burung dari
lokasi yang makin jauh dan terpencil. Apabila pada beberapa tahun
lalu burung dora hanya berasal dari kawasan hutan yang terletak di
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat saja (daerah Mamuju),
309
akhir-akhir ini, burung dora yang diperdagangkan berasal dari
Propinsi Sulawesi Tengah atau Sulawesi Tenggara.
E. Tantangan Masa Depan
Indikasi makin menurunnya populasi perkici dora di alam merupakan
hal yang harus dicegah agar tidak terus berlanjut. Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk menghentikan kegiatan perburuan yang dapat
menekan populasi burung ini di alam, membantu pengembangbiak-
annya, dan penegakan hukum secara kontinu. Hal ini perlu dibarengi
dengan upaya sosialisasi mengenai perlindungan terhadap burung ini
ke seluruh lapisan masyarakat, agar tidak ada lagi masyarakat yang
memelihara burung dora dari tangkapan alam.
Upaya perlindungan lain yang dapat dilakukan adalah melalui
kegiatan pendidikan, penyuluhan, dan kampanye. Kegiatan tersebut
diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat, terutama di
sekitar kawasan hutan, agar berhenti menangkap burung secara ilegal.
Bagi masyarakat perkotaan, kegiatan tersebut diharapkan mampu
menyadarkan mereka untuk tidak lagi memelihara burung dilindungi,
terutama yang berasal dari alam liar. Dampak lain yang diharapkan
muncul dari adanya kegiatan tersebut adalah terjadinya perubahan
pola pikir masyarakat untuk lebih senang melihat burung yang beter-
bangan di kawasan hutan yang menjadi habitat alaminya. Kegiatan
tersebut pada akhirnya diharapkan dapat mendorong masyarakat
untuk menjadi penggerak upaya konservasi burung.
Hal berikutnya yang juga perlu dilakukan adalah mendorong
masyarakat untuk tidak lagi membeli burung. Bagi masyarakat yang
sangat ingin membeli dan memelihara burung dora perlu diarahkan
untuk menempuh prosedur secara resmi. Pembelian dan pemeli-
haraan dora harus melalui proses yang sah dan memiliki izin resmi
yang dikeluarkan oleh otoritas manajemen (Ditjen KSDAE, KLHK).
Hal ini bertujuan agar pemelihara tidak hanya memelihara burung,
tetapi juga mengembangbiakkannya. Pemelihara yang hanya sekedar
memuaskan hobi biasanya hanya memelihara seekor burung dalam
sangkar sempit atau mengikatkan salah satu kaki burung pada rantai
.310
yang dihubungkan dengan sebatang besi tenggeran burung tersebut.
Pemeliharaan dengan pola seperti ini tidak hanya merugikan burung
yang dipelihara, juga menyebabkan burung tidak dapat berkembang
biak.
F. Berbagi Pengalaman
Prahara (2003) menyatakan bahwa penangkaran burung yang dilin-
dungi merupakan hal yang lebih bermanfaat dan berdampak positif
pada perlindungan satwa tersebut di habitat alaminya. Sebenarnya,
pemeliharaan burung perkici dora merupakan hal yang mudah
dilakukan. Meskipun dora bukan burung yang rewel dan menuntut
kebutuhan atau perlakuan khusus, terdapat beberapa hal mendasar
yang perlu diperhatikan agar dora yang dipelihara tetap sehat, me-
miliki umur panjang, dan mampu berkembang biak dengan baik.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan penangkar perkici dora
adalah pakan dan air minum. Burung dora yang hidup di alam liar
memakan berbagai jenis buah-buahan, nektar, dan polen (Kinnaird,
2002). Nektar merupakan pakan kaya energi yang dibutuhkan burung
untuk terbang dan melakukan berbagai aktivitas hidupnya (Prijono &
Handini, 1999), sedangkan polen merupakan sumber protein, asam
amino, vitamin, mineral, enzim, dan hormon (Krell, 1996). Oleh
karena itu, pakan burung dora yang ditangkarkan perlu diperhati-
kan dengan saksama agar dapat memenuhi kebutuhan gizi sehingga
kesehatan dan kelangsungan hidup burung tersebut tetap terjaga.
Sesuai dengan kebiasaan makan saat di alam bebas, burung dora
memerlukan pakan yang kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin,
mineral, dan air dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Keenam zat
makanan tersebut terkandung dalam berbagai jenis pakan sehingga
pakan yang diberikan kepada dora sebaiknya bervariasi. Pada dasarnya
burung dora yang dipelihara dalam kandang penangkaran memiliki
pergerakan terbatas maka dari itu burung tidak terlalu membutuh-
kan pakan berenergi tinggi. Pemberian pakan berenergi tinggi yang
berlebihan justru akan menyebabkan burung menjadi gemuk dan
malas bergerak. Pakan yang cocok diberikan bagi burung dora yang
311
dipelihara di kandang penangkaran adalah pakan yang kaya protein
dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan agar burung tetap berada
dalam kondisi yang prima dan sehat (Putri, 2006).
Pakan dapat dibuat sendiri menggunakan berbagai jenis buah-
buahan, seperti pepaya, pisang, semangka, tomat, jeruk, dan jambu
(Gunawan dkk., 2005). Perkici dora juga dapat diberikan pakan
berupa belimbing bersegi dan buah-buahan lunak lain yang banyak
mengandung air. Selain itu, dora juga dapat diberi pakan tambahan,
seperti bubur bayi, air gula merah, madu, vitamin, serta susu sebagai
sumber protein. Perkici dora merupakan jenis burung yang menyukai
pakan dalam bentuk yang lembut, lunak, banyak mengandung cairan,
dan manis sehingga sebaiknya hindari memberi pakan berupa biji-
bijian atau yang berbentuk padat. Pemberian pakan berupa biji-bijian
dapat dilakukan dengan cara memasak biji-bijian tersebut terlebih
dahulu, kemudian di haluskan menggunakan blender, dan ditambah
air dan gula agar diperoleh pakan dalam bentuk bubur yang lembut
dan halus.
Selain memberi pakan untuk menjaga kebutuhan protein dan
karbohidrat, pemelihara juga dapat menambahkan vitamin, seperti
growvit dan vitavit dengan cara mencampurkannya ke dalam air
minum. Pemberian vitamin tersebut bertujuan untuk menjaga ke-
sehatan burung yang sedang ditangkarkan.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah penyediaan air
minum dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini disebabkan perkici
dora tetap membutuhkan air minum walaupun telah diberi pakan
yang banyak mengandung cairan. Air minum sebaiknya ditempatkan
dalam wadah tersendiri yang berukuran kecil agar tidak dipergunakan
untuk mandi oleh perkici dora. Air minum juga harus selalu dijaga
kebersihannya dan diganti setiap hari.
Faktor lain yang perlu diperhatikan saat menangkarkan burung
perkici dora adalah kebersihan kandang penangkaran dan bagian-
bagiannya, seperti lantai kandang, tenggeran, tempat pakan, tempat
minum, tempat mandi, maupun kotak sarang. Pembersihan kandang
.312
wajib dilakukan secara teratur dengan cara membersihkan kotoran
burung dan membuang sisa pakan.
Berkaitan dengan faktor kebersihan, burung perkici dora ter-
golong burung yang bersih. Burung dora tergolong senang mandi den-
gan rutin, terutama jika matahari telah makin tinggi dan suhu makin
panas. Kebiasan mandi ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan
kotoran pada tubuh burung di samping menjaga stabilitas suhu dan
menjaga kebersihan bulu sehingga bulu terlihat lebih cerah dan ce-
merlang. Pada burung yang dipelihara secara berkelompok, biasanya
akan mandi beramai-ramai sambil mengeluarkan suara riuh. Setelah
mandi, burung dora akan menjemur badannya guna mengeringkan
bulu yang basah sehingga ketersediaan sinar matahari, terutama sinar
matahari pagi, yang secara langsung menyinari kandang merupakan
hal yang penting.
Hal penting terakhir yang perlu diperhatikan oleh pemelihara
burung adalah bagaimana memperlakukan burung dora peliharaan-
nya dengan penuh kasih sayang. Perkici dora yang dipelihara di
penangkaran sebaiknya dihindarkan dari berbagai keadaan yang dapat
membuat burung menjadi stres. Beberapa hal yang dapat dilakukan
adalah dengan mengatur jumlah individu burung yang ditempatkan
dalam sebuah kandang agar tidak terlalu sesak; mencegah gangguan
oleh hewan lain, seperti tikus dan kucing; dan melindungi burung
dari cuaca ekstrim akibat kondisi kandang penangkaran yang kurang
memadai. Kandang pemeliharaan juga harus selalu berada dalam
kondisi yang tenang, tidak berisik, dan tidak terganggu oleh suara
lalu lalang kendaraan maupun manusia.
Pemelihara burung dora sebaiknya secara teratur, rajin, tekun,
sabar, dan teliti memperhatikan kondisi peliharaannya. Apalagi
burung dora tergolong jenis yang aktif bergerak dan secara naluri
senantiasa membutuhkan perhatian dari pemeliharanya agar tidak
merasa kesepian. Perhatian dan waktu yang cukup untuk bercengkera-
ma perlu diluangkan oleh pemelihara dora agar burung ini menjadi
lebih tenang dan dapat berkembang biak dengan baik. Burung dora
yang sehat akan terlihat lincah; selalu berkicau dan bersuara ribut;
313
selalu bergerak; warna bulu terlihat cerah; bulu terlihat mengilap; dan
memiliki mata bening, bersinar, dan terang.
G. Penutup
Pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan manusia tidaklah
terlarang. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya seperti burung
dora sebagai hewan “kesayangan” memerlukan prinsip kehati-hatian
agar kelestariannya tetap terjaga. Diperlukan regulasi beserta pene-
rapannya yang tegas untuk melindungi keberadaannya di alam liar.
Selain itu, perlu diketahui hal-hal yang diperlukan dalam upaya
pemeliharaan dan pengembangbiakannya, seperti perilaku dan pakan
sehingga pemelihara/penangkar tidak salah dalam memperlakukan
burung dora. Penerapan pengetahuan cara memelihara dora yang
baik dan benar tentunya akan membuat dora yang dipelihara menjadi
sehat, panjang umur, dan dapat berkembang biak. Hal tersebut tentu
akan mendukung upaya pemanfaatan perkici dora secara lestari
sebagai satwa peliharaan.
Kepulauan Maluku merupakan bagian wilayah Wallace dan hot-
spot keanekaragaman hayati karena sejarah geologisnya. Potensi
keanekaragaman hayati Kepulauan Maluku yang tinggi terancam
oleh aktivitas antropogenik, seperti pertambangan, perburuan, dan
pertanian. Babirusa maluku (Babyrousa babyrussa) adalah mamalia
mirip babi hutan dan merupakan spesies endemik dengan penyebaran
hanya di Pulau Buru, provinsi Maluku dan Pulau Sula, provinsi
Maluku Utara. IUCN mencantumkan spesies ini dalam red list dengan
kategori vulnerable (rentan) karena populasinya yang terus menurun.
Degradasi habitat dan perburuan menjadi penyebab penurunan
populasi spesies ini.
B.
Genus babirusa terdiri atas empat spesies, yaitu Babirusa maluku
(Babyrousa babyrussa) yang merupakan spesies endemik dengan
persebaran terbatas di Pulau Buru dan Sula, Kepulauan Maluku,
B. celebensis tersebar di Pulau Sulawesi (Sulawesi mainland), B.
togeanensis terdapat di Kepulauan Togean, dan B. bolabatuensis yang
dinyatakan sudah punah (Meijaard & Groves, 2002). Berdasarkan
studi filogenetik, babirusa terpisah dari jenis babi (Suidae) lainnya
sejak zaman Miosen (10–19 juta tahun yang lalu) di mana daratan
Sulawesi terpisah dengan daratan Kalimantan sehingga terjadi proses
spesiasi akibat isolasi geografi.
Babirusa maluku secara umum memiliki karakteristik morfologi
yang hampir mirip dengan babirusa sulawesi dan babirusa togean,
yaitu warna tubuhnya putih keabu-abuan dan pada babirusa jantan
memiliki taring yang mencuat keluar menembus ke dua sisi mulutnya.
Perbedaan antara babirusa maluku dan babirusa sulawesi adalah ba-
birusa maluku memiliki tubuh yang tertutup rambut yang tebal serta
taring yang lebih kecil dan pendek dibandingkan babirusa sulawesi
(Meijaard & Groves, 2002) (Gambar 23.1). Ukuran tubuh babirusa
maluku relatif lebih kecil dibandingkan dua jenis babirusa lainnya.
Spesies ini tergolong ke dalam satwa yang pemalu, namun dapat
menjadi agresif jika terganggu. Berbeda dengan spesies dari famili
Suidae lainnya, babirusa biasa hidup soliter atau dalam kelompok
kecil dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpin-
nya. Apabila berjalan dalam kelompok, babirusa selalu mengeluarkan
suara yang teratur dan berbalasan, kecil, dan panjang, yakni “suirii....
suuuuuiiiriiii”.
Kajian terkait habitat babirusa maluku masih terbatas dibanding-
kan kerabat dekatnya babirusa sulawesi. Pada umumnya, habitat
babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa ini menyukai
kawasan hutan yang terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan
cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air
minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air
dan tempat mengasin secara teratur untuk mendapatkan garam-
garam mineral guna membantu pencernaannya. Beberapa laporan
menyebutkan bahwa B. babyrussa di Pulau Buru sering ditemukan
pada habitat berbatu di daerah perbukitan dan pegunungan. Informasi
terkait reproduksi dan pakan babirusa maluku juga masih sangat
terbatas (Meijaard dkk., 2011). Masa kebuntingan babirusa lebih lama
dibandingkan jenis Suidae lainnya, yaitu 18 bulan dengan jumlah anak
yang relatif sedikit antara 1–2 individu. Berbeda dengan anak dari
spesies lainnya yang memiliki setrip, anak babirusa tidak memiliki
setrip. Babirusa merupakan omnivor dengan makanan utama antara
lain daun, akar, buah-buahan, dan mamalia kecil.
.322
Kelestarian spesies babirusa terancam oleh aktivitas antropogenik,
seperti pertambangan, perburuan, dan perkebunan. Pemerintah
Indonesia telah memasukan spesies babirusa dalam spesies dilin-
dungi semenjak Dierenbescherming Ordonantie 1931. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menjadikan spesies
ini sebagai prioritas penting ke-2 setelah badak jawa (Rhinoceros
sondaicus). International Union for Conservation of Nature (IUCN)
mengategorikan spesies ini dengan status rentan (vulnerable) dika-
renakan populasinya yang terus menurun. Macdonald dkk. (2008)
dan CITES memasukan babirusa dalam Apendiks I sejak 1982 yang
berarti satwa ini tidak boleh diperdagangkan, kecuali berasal dari
hasil penangkaran.
B. Suaka Alam Masbait
Suaka Alam (SA) Masbait merupakan kawasan pegunungan yang
terletak di bagian timur Pulau Buru (Gambar 23.2). Kawasan kon-
servasi ini memiliki fungsi ekologis untuk melindungi habitat flora
dan fauna di Pulau Buru, serta daerah tangkapan air yang sangat
penting di bagian timur Pulau Buru (BKSDA Maluku, 2019). Kawasan
Masbait pertama kali ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam pada
tahun 1985 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 249/
Kpts-II/1985 tanggal 11 September 1985 dengan luas 6.250 ha. Status
SA Masbait kembali dipertegas dengan Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor 415/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 ten-
tang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Maluku. Pada tahun 2012,
kawasan Masbait ditetapkan sebagai Suaka Alam melalui Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor SK. 78/Menhut-II/2012 pada tanggal 3
Februari 2012 dengan luas kawasan 8.080,13 ha. Secara administratif,
SA Masbait termasuk dalam Kecamatan Teluk Kayeli dan Kecamatan
Bata Bual, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Daerah ini beriklim laut
tropis dan iklim musiman dengan curah hujan rata-rata 1400–1800
mm/tahun dengan kondisi suhu rata-rata 26oC.
Pada tahun 2019, tim dari BKSDA Maluku menemukan kerangka
babirusa yang masih lengkap pada saat melaksanakan pengecekan
Suaka ALam Masbait: ... 323
lapangan di SA Masbait, Pulau Buru, Maluku (Gambar 23.3). Pe-
nemuan ini tentu saja menjadi informasi penting dan harapan yang
besar terkait keberadaan babirusa maluku.
Penemuan tanda kehadiran babirusa di SM Masbait menjadi salah
satu titik cerah terkait keberadaan babirusa maluku. Hal ini karena
sampai saat ini penelitian babirusa di Indonesia masih sangat ter-
batas dan sebagian besar masih terfokus pada babirusa sulawesi, B.
celebensis (MacDonald & Pattikawa, 2017). Hal ini diperparah dengan
informasi keberadaan spesies babirusa di Maluku juga masih belum
jelas. Penelitian Tjiu dan MacDonald (2016) juga MacDonald dan
Pattikawa (2017) menyebutkan bahwa babirusa buru berada di
wilayah Kayeli, timur Pulau Buru. Survei pada tahun 1990 dan 1999
juga menemukan bahwa babirusa dapat ditemukan di seluruh Pulau
Buru kecuali di wilayah pesisir utara (Tjiu & Macdonald, 2016; Ver-
belen, 2003). Akan tetapi, Eaton dan Hutchinson (2015) melaporkan
bahwa babirusa tidak dapat dijumpai lagi di Pulau Buru dan Pulau
Taliabu. Inventarisasi yang dilakukan BKSDA Maluku selama tahun
2010–2013 pada kawasan konservasi di Maluku dan Maluku Utara
juga tidak memperoleh data dan informasi keberadaan babirusa
(BKSDA, 2013).
Upaya pelestarian babirusa telah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.55/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Babirusa (B. babyrussa) Tahun 2013–2022. Akan tetapi, upaya peles-
tarian tersebut terkendala oleh masih minimnya informasi ekologi,
seperti populasi, habitat, dan distribusi. Data ekologi sangat penting
untuk menentukan status konservasi dan juga untuk mengidentifikasi
tindakan konservasi yang sesuai (Margules & Pressey, 2000; Brooks
dkk., 2006). Lebih lanjut, informasi tersebut diperlukan untuk mem-
prediksi kecenderungan populasi ke depan, misalnya sebagai dampak
dari pengaruh perubahan iklim (Clark, 2007).
Selain itu, hal yang menarik dari penemuan kerangka ini adalah
ukuran dari taring yang lebih besar dan panjang dibandingkan ukuran
taring babirusa maluku yang dideskripsikan oleh Meijaard dan Groves
(2002) (Gambar 23.4). Hal ini tentu saja menjadi pertanyaan apakah
Suaka ALam Masbait: ... 325
tengkorak yang ditemukan memang spesies babirusa maluku atau
spesies babirusa sulawesi.
Kondisi SA Masbait yang dikelilingi oleh kawasan hutan produksi
dan hutan produksi terbatas menyebabkan lokasi ini berpotensi ter-
tekan oleh aktivitas pemanfaatan pada kedua kawasan hutan tersebut
(Gambar 23.5). Kondisi tersebut diperparah dengan besarnya kebu-
tuhan lahan untuk perkebunan yang menyebabkan hutan di Pulau
Buru menjadi terfragmentasi sehinga berdampak terhadap populasi
babirusa maluku. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian pengelo-
laan kawasan SA Masbait sehingga kelestarian habitat babirusa tetap
bisa terjaga. Selain itu, keberadaan hutan lindung yang terkoneksi
dengan kawasan SA Masbait juga menjadi sangat penting karena dapat
berfungsi sebagai koridor penghubung antara populasi yang ada di
kawasan SA Masbait dengan populasi yang ada di hutan lindung.
Selain ancaman hilangnya habitat, babirusa di Pulau Buru juga
terancam oleh kegiatan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat.
Dari beberapa laporan disebutkan bahwa beberapa kelompok
masyarakat di Pulau Buru sering berburu babirusa dengan meng-
gunakan anjing dan alat jerat.
D. Strategi dan Rencana aksi Konservasi
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.55/
Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
(SRAK) Babirusa (B. babyrussa) tahun 2013–2022 bertujuan untuk
memberikan arahan dan acuan pelestarian babirusa sehingga pelak-
sanaannya dapat lebih baik dan melibatkan semua stakeholder terkait.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut disebutkan bahwa
Kepulauan Sula (Maluku Utara) dan Pulau Buru (Maluku) menjadi
lokasi prioritas pengelolaan populasi dan habitat babirusa maluku.
Sejalan dengan Permenhut tersebut, BKSDA Maluku telah melaku-
kan eksplorasi untuk menemukan keberadaan babirusa maluku di
SA Masbait pada 2012 silam. Sayangnya, tim BKSDA Maluku tidak
berhasil menemukan keberadaan babirusa di alam. Tahun 2013,
Suaka ALam Masbait: ... 327
BKSDA Maluku kembali melakukan eksplorasi di lokasi berbeda, yaitu
di Cagar Alam Taliabu dan Cagar Alam Lifamatola (Kepulauan Sula).
Hasilnya tak jauh berbeda dengan eksplorasi sebelumnya. BKSDA
Maluku belum berhasil menemukan babirusa maluku. Oleh karena
itu, penemuan kerangka babirusa maluku di SA Masbait tahun lalu
menjadi angin segar dalam konservasi babirusa maluku.
Lebih lanjut, BKSDA Maluku segera menyusun rencana tindak
lanjut dengan melakukan pemasangan camera trap di SA Masbait di
tahun 2020. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang keberadaan dan mengidentifikasi karakter habitat
babirusa maluku di lokasi tersebut. Informasi keberadaan babirusa
ini sangat penting untuk menjadi dasar dalam pengelolaan habitat
dan populasi babirusa di kawasan SA Masbait. Tak hanya itu, BKSDA
Maluku pun telah melakukan evaluasi kesesuaian fungsi (EKF) SA
Masbait untuk menentukan fungsi atau status kawasan SA Masbait.
Kejelasan status kawasan menjadi dasar dalam pengelolaan kawasan
konservasi ke depan karena tiap-tiap status kawasan memiliki tujuan
pengelolaan tersendiri.
Jelas, penegakan hukum menjadi kunci utama dalam mengatasi
perburuan babirusa. Oleh karena itu, BKSDA Maluku selalu melaku-
kan patroli baik di kawasan SA Masbait maupun di simpul-simpul
perdagangan satwa, seperti pasar dan pelabuhan. Tak hanya dari pihak
pemerintah, masyarakat juga menjadi salah satu pihak yang memiliki
peran penting dalam pelestarian habitat babirusa di SA Masbait. Oleh
karena itu, BKSDA Maluku akan melakukan kegiatan pembinaan
desa penyangga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan SA Masbait.
E. Penutup
Ditemukannya tanda kehadiran babirusa di SA Masbait menjadi salah
satu harapan yang sangat besar tentang keberadaan mamalia terbesar
di kepulauan Maluku. Oleh karena itu, perlu ada upaya konservasi
yang mendukung, seperti kegiatan penelitian untuk mengetahui
keberadaan babirusa di SA Masbait, serta kondisi habitat dan popu-
.328
lasinya. Kegiatan penelitian tersebut juga perlu dilakukan di seluruh
Pulau Buru untuk mengidentifikasi habitat potensial bagi babirusa
dan merencanakan pengelolaan area tersebut ke depan. Penelitian da-
pat dilakukan secara kolaboratif yang melibatkan pengelola kawasan,
lembaga penelitian, universitas, dan lembaga masyarakat atau LSM.
Upaya konservasi tidak hanya melalui pengumpulan data saja, tetapi
juga harus mencakup penyadartahuan para pihak. Salah satu aktor
penting dalam upaya konservasi babirusa adalah masyarakat sekitar
hutan. Upaya lain yang tak kalah penting adalah mengendalikan
perburuan liar babirusa oleh pengelola bekerja sama dengan Polri,
TNI, dan Pemerintah Desa.
Burung elang flores merupakan satu-satunya elang berstatus kritis
di Indonesia, yaitu termasuk ke dalam sepuluh jenis elang paling
terancam di dunia. Tingginya ancaman dan gangguan membuat jenis
ini makin terdesak. Elang flores kehilangan habitat akibat degradasi
dan fragmentasi, serta diperburuk dengan maraknya perburuan liar
dengan ditembak, dijaring, diperjualbelikan, dan dipelihara. Kondisi
tersebut tidak boleh dibiarkan maka dari itu harus ada langkah peles-
tarian yang nyata untuk menyelamatkannya dari laju kepunahan.
A. Garuda dari Nusa Tenggara
Elang flores (Nisaetus floris) atau flores hawk-eagle merupakan salah
satu burung pemangsa (raptor) endemik Nusa Tenggara (Gambar
24.1). Persebaran alaminya berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur, meliputi Pulau Lombok, Sumbawa, Flores
hingga Alor. Selain gugus pulau-pulau besar tersebut, elang flores juga
dijumpai pada beberapa pulau kecil, seperti Pulau Satonda, Rinca,
Komodo, dan Pulau Paloe (Gjershaug dkk., 2004; Raharjaningtrah
& Rahman, 2004; Trainor dkk., 2012; Suparman, 2012; 2013). Secara
taksonomi, sebelum tahun 2004 jenis ini termasuk ke dalam anak
jenis elang brontok (N. cirrhatus floris), kemudian dideskripsikan
sebagai jenis tersendiri sebagai elang flores (N. floris) karena adanya
perbedaan morfologi dan genetik yang signifikan (Gjershaug dkk.,
2004).
Elang flores dapat ditemukan mulai dari daerah dataran rendah
(permukaan laut) hingga dataran tinggi. Beberapa populasi bahkan
ditemukan pada lahan budi daya, pemukiman masyarakat, serta
hutan yang terfragmentasi (Gjershaug dkk., 2004; Raharjaningtrah &
Rahman, 2004; Trainor dkk., 2012; Suparman, 2013). Pemilihan lokasi
sarang elang flores bervariasi, mulai dari hutan primer berkanopi rapat
hingga hutan sekunder yang berbatasan dengan lahan budi daya. Sa-
rang berupa tumpukan ranting kayu yang diletakkan pada batang dan
percabangan kanopi atas pohon. Beberapa jenis pohon yang tercatat
pernah digunakan oleh elang flores sebagai tempat bersarang, antara
lain sengon (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris),
dan kemiri (Aleurites moluccana). Selama masa perkembangbiakan
kedua induk akan merawat anak secara bergantian (Kuspriyangga
dan Hidayat, in prep.).
Dengan wilayah jelajah yang mencapai 40 km2, elang flores
memiliki kesempatan untuk mendapatkan berbagai jenis pakan.
Mangsa elang flores meliputi berbagai macam satwa mulai dari bu-
rung, reptil hingga mamalia (Gjershaug dkk., 2004). Di wilayah Ende,
bahkan elang flores pernah teramati memangsa tikus raksasa flores
(Papagomys armandvillei) atau yang dikenal oleh masyarakat lokal
dengan sebutan deke (Kuspriyangga, komunikasi pribadi, tanggal 23
April 2019).
Kepak Elang Flores ... 335
Foto: Oki Hidayat (2021)
Gambar 24.1 Elang Flores terbang di atas Hutan Adat Otoseso,
Wolojita, Ende, Flores
Populasi elang flores hingga kini belum diketahui secara pasti.
Minimnya kegiatan survei, monitoring, dan penelitian membuat be-
berapa aspek bioekologinya masih menjadi misteri. Organisasi
konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN)
memperkirakan saat ini populasi elang flores hanya tersisa 100–240
ekor, sedangkan Raharjaningtrah & Rahman (2004) memperkirakan
populasinya ada 100 pasang. Melihat kecilnya populasi, tingkat keren-
tanan, dan endemisitas, IUCN menjadikan jenis ini berstatus kritis/
critically endangered. Kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan karena
tepat berada di bawah status punah di alam (extinct in the wild). Di sisi
lain, masa perkembangbiakan elang flores terjadi hampir tiap tahun.
Namun, tidak semuanya sukses menghasilkan anakan (Gambar 24.2).
Selama 4 tahun periode pengamatan masa perkembangbiakan, hanya
tercatat satu kali elang flores berhasil berkembang biak (Kuspriyangga
dan Hidayat, in prep.). Dengan demikian, elang flores termasuk ke
dalam 10 jenis elang paling terancam di dunia serta menjadi satu-
satunya elang yang berstatus kritis di Indonesia.
.336
Foto: Oki Hidayat (2021)
Gambar 24.2 Anak Elang Flores di Wolojita
B. Ancaman di Depan Mata
Keberadaan elang flores sebagai pemangsa puncak memiliki peran
yang sangat penting bagi alam. Ketidakhadirannya akan mengganggu
keseimbangan ekosistem dan rantai makanan. Tekanan terhadap elang
flores kini makin tinggi dan memprihatinkan. Dalam kurun waktu
20 tahun terakhir sekurang-kurangnya ada 16 ekor elang flores yang
diburu oleh masyarakat, ada yang ditembak, dijadikan satwa awetan,
dipelihara, maupun diperjualbelikan. Kondisi elang flores yang di-
tangkap sangat memprihatinkan. Kesehatannya tidak terjaga karena
dipelihara dengan cara diikat pada bagian kaki atau ditempatkan pada
kandang yang terlalu kecil dan kotor. Pakan yang diberikan juga tidak
sesuai, seperti pemberian ikan laut untuk konsumsi hariannya. Selain
itu, ditemukan juga kasus elang flores yang cacat berupa patah kaki/
pincang dan mata yang buta karena peluru pemburu (Gambar 24.3).
Bahkan hampir setengah dari jumlah total yang terdata bernasib tragis
dengan mengalami kematian.
Kepak Elang Flores ... 337
Foto: Oki Hidayat (2021)
Gambar 24.3 Individu Elang Flores Hasil
Sitaan yang Mengalami Kecacatan Buta
Permanen
Di beberapa lokasi, elang flores kerap berkonflik dengan
masyarakat karena memangsa ayam peliharaan yang berada di kebun
maupun perkampungan, seperti yang terjadi di kawasan Mbeliling
tepatnya di Desa Cecer, Kabupaten Manggarai Barat (Suparman,
2012). Hal tersebut yang dijadikan alasan oleh masyarakat untuk
menembak atau menangkap elang flores.
Selain itu, atas alasan hobi atau kesenangan, penangkapan dan
penembakan liar di Flores masih marak dan massif (Jempau, 2018).
Peredaran senapan angin yang bebas juga turut menambah deretan
ancaman terhadap penguasa angkasa Nusa Tenggara ini. Bahkan,
ditemukan kasus penembakan burung yang dilakukan oleh oknum
aparat penegak hukum (Suparman, 2012).
Masalah lain yang terus membayangi kehidupan elang flores
adalah adanya perubahan habitat berupa degradasi dan fragmentasi.
Masalah yang bersifat lanskap ini telah menyisihkan elang flores
.338
yang kini populasinya hanya tersisa di beberapa kantong habitat.
Selama periode perang dunia ke-2 banyak tutupan hutan di Nusa
Tenggara yang berkurang akibat penebangan kayu dan pembukaan
lahan (Monk dkk., 1997). Beberapa faktor yang akan mengancam
keberadaan lanskap habitat elang flores di masa kini dan yang akan
datang, antara lain deforestasi; peningkatan populasi manusia yang
berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lingkungan;
pembakaran hutan dan lahan; serta pengembangan lahan pertanian
(Morrison, t.t.).
C. Harapan dari Wolojita
Meskipun ancaman dan gangguan terhadap kehidupan elang flores
terus berlangsung, masih ada harapan untuk menyelamatkannya.
Salah satu inisiatif muncul dari kelompok masyarakat yang berada
di Wolojita, Ende. Melalui inisiasi yang dilakukan oleh Taman Na-
sional Kelimutu dan LSM Raptor Indonesia, sekelompok masyarakat
Wolojita membentuk komunitas Masyarakat Peduli Elang Flores
‘Jatabara’. Nama Jatabara diambil dari bahasa Suku Lio, jata bermakna
‘elang besar’, sedangkan bara bermakna ‘putih’. Kini Jatabara menjadi
satu-satunya kelompok swadaya masyarakat lokal pelestari elang flo-
res. Dukungan yang besar dari pihak pemerintah daerah (camat dan
lurah) dan pendampingan dari Balai Taman Nasional (TN) Kelimutu
merupakan potensi yang akan menjadi kekuatan bagi masyarakat
Wolojita untuk melaksanakan program pelestarian elang flores.
Kelompok ini disahkan Camat Wolojita melalui Keputusan
Nomor 03 Tahun 2019 mengenai Penetapan Kelompok Masyarakat
Peduli Elang Flores Jatabara. Kelompok ini terbentuk karena adanya
kesamaan tujuan, fungsi, dan manfaat. Melalui wadah resmi ini,
anggota masyarakat dapat belajar, bekerja sama, mendapatkan pem-
binaan, melakukan kegiatan penyadartahuan, perlindungan, serta
memanfaatkan sumber daya secara lestari. Pada saat ini Jatabara
mendapatkan dukungan dari Balai TN Kelimutu dalam bentuk ban-
tuan dana pemberdayaan dan pendampingan secara intensif (Gambar
24.4). Melalui bantuan tersebut