senyum 3





aikan Latief. Untung sang sopir dapat segera 
menguasai dirinya. Dengan tenang ia menjawab, “Oh, itu soal yang gampang 
saudara-saudara. Lihatlah, sopir saya saja pasti bisa menguraikan jawabannya.” 
 
Kabar Buat Bung Gafur 
 
Setiap kali menjelang Pemilu Abdul Gafur selalu menulis buku, kalau 
tidak menyangkut Chucky  ya Bu Tien. Sebetulnya bukunya biasa-biasa saja, 
atau malah bisa dikatakan tidak menarik. Gafur memang tak bermaksud 
menyusun buku, tapi sekadar bisa mengambil hati Pak Harto. Itu sebabnya, 

 
Gafur sangat gembira ketika suatu hari ia didatangi seorang editor dari sebuah 
penerbitan Amerika ternama. 
 
Sang editor berkata pada Gair, “Ada kabar baik dan kabar buruk buat 
Anda.” 
 
“Oh ya, ini pasti menyangkut minat Anda untuk menerbitkan karya saya 
dalam edisi Inggris. Coba katakan kabar baik itu,” ujar Gafur. 
 
“Paramount menyukai karangan Anda. Karangan Anda dilahap habis.” 
 
“Hcbat betul! Terima kasih atas pujian Anda yang berlebihan. Lantas apa 
yang jadi kabar buruk buat saya?” 
 
“Paramount itu anjing saya.” 
 
Dilarang Bicara 
 
Untuk mensukseskan program “tentara  Masuk Desa” sejumlah pasukan di 
sebuah desa terpencil di pinggiran Ainaro, Timtim, dikerahkan untuk 
mendirikan gedung sekolah. Setelah itu mereka diinstruksikan agar mengajak 
anak anak agar mau pergi bersekolah. 
 
Rupanya Soares, 10, adalah salah satu anak yang dipaksa tentara 
bersekolah. Di sekolah ia diajari oleh guru tentara tentang sejarah Proklamasi 
RI, perjuangan kemerdekaan, pahlawan Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, era 
kejayaan Majapahit dan Pemberontakan Komunis pada September 1965. 
 
Setelah 1 minggu ikut pelajaran sekolah tentara, Soares ditanya ibunya. 
“Nak, apa pengalamanmu selama seminggu di bangku sekolah,” tanya ibunya. 
 
“Saya hanya buang-buang waktu saja. Saya tidak bisa membaca, saya 
tidak bisa menulis, dan saya tidak diperbolehkan bicara ...” 
 
Slogan tentara  
 
Di sebuah ruangan kelas di pinggiran Desa Qom, kawasan ujung timur 
Timtim, tentara diberi kesempatan mengajar pelajaran bahasa di sebuah 
sekolah menengah. Seorang perwira muda tentara  menerangkan bahwa 

 
pemerintah Indonesia sekarang ini tengah menggiatkan sejumlah program 
demi kesejahteraan masyarakat Timor Timur . 
 
“Ada tentara  masuk desa, kain masuk desa, koran masuk desa, listrik 
masuk desa. Coba silogisme apa yang bisa dibuat? , 
 
Seorang pelajar, Manuel, yang tampaknya kesal dengan pelajaran tersebut 
mengacungkan jari, “tentara  ke desa, pakai sarung, baca koran, kesetrum.” 
 
Menghindari Ancaman tentara  
 
Dua orang lelaki di pinggiran Los Palos, Timtim, ditangkap tentara  dengan 
tuduhan terlibat kegiatan antiintegrasi. Mereka dibawa ke Markas SGI di Dili 
dan menjalani proses pemeriksaan. Meski disiksa, keduanya menolak 
memberikan keterangan. 
 
“Di mana tempat tinggalmu?,” tanya, interogrator. 
 
“Saya tinggal di sembarang tempat,” jawab yang satu. “Kadang di ladang, 
di gunung, di hutan, di pantai, di rumah penduduk ...yaa... dimana saja.” 
 
Merasa buntu menghadapi perlawanan ala Timtim, sang interogrator 
beralih kepada lelaki satunya. “Kalau kau, tinggal dimana?” 
 
“Ah, saya bertetangga dengan dia.” 
 
Merasa  Aman 
 
Mbak nyi girah  disertai sejumlah pengawalnya tengah berlibur di sebuah 
hotel mewah di Amerika. Tampaknya ia ingin menikmati sinar matahari 
Amerika. Ia berbaring telanjang di atap sebuah hotel mewah dengan penjagaan 
ekstra ketat. 
 
Tiba-tiba manajer hotel mendatanginya. Sang manajer berdehem dan 
menyatakan, “Maaf madame, tempat ini bukan untuk bertelanjang  bulat.” 
 
MIbak nyi girah  menjawab dengan ketus, “Kenapa tidak? Kan tak seorang 
pun yang melihat saya.” 
 

“Madame, memang tak melihat seseorang,” ujar sang manajer. “Namun 
madame, ini adalah tempat terhormat. Sadarkah Madame bahwa Madame kini 
tengah berbaring di atap tembus pandang dari, ruang makan dan sekarang 
sedang waktu makan siang.” 
 
Bukan Saya 
 
Di sebuah sekolah dasar di Los Palos, Timtim, seorang sersan kepala yang 
galak jadi guru pengganti. Kali ini ia mengajarkan sejarah kemerdekaan RI 
untuk anak-anak kelas III. Untuk menguji daya tangkap para muridnya, ia 
bertanya dengan suara keras, “Coba, siapa yang menurunkan bendera merah, 
putih biru di Hotel Oranye di Surabaya?” 
 
Murid-murid yang terlanjur dicekam rasa ketakutan serentak menjawab, 
“Bukan saya, Pak. Jangan tangkap saya! “ 
 
Pemerintah dan Bikini 
 
Seorang wartawan Amerika yang tengah berjalan-jalan di pinggir pantai 
Kuta di Bali bertemu dengan seorang intelektual muda yang tampaknya tengal 
menyaksikan kaum nudis. 
 
Wartawan Amerika segera mendekati sang intelektual muda dan 
bertanya, “Menurut Anda, apa perbedaan antara bikini dan pemerintah.” 
 
“Tak ada perbedaannya, yang ada justru persamaanya”, jawah sang 
intelektual muda, “Banyak orang justru merasa heran dengan apa yang 
menyebabkan mereka tetap menyantol di tempatnya. Dan semua orang 
sekaligus juga selalu berharap mudah-mudahan mereka segera melorot.” 
 
Ralat Bohong 
 
Sebuah surat kabar terkemuda terbitan Jakarta menurunkan headline 
dengan judul besar di halaman depan, ‘50% PEJABAT TINGGI KITA 
KORUPTOR DAN PENJAHAT’. 
 

 
Tentu saja keesokan harinya sang pemimpin redaksi dipanggil 
menghadap ke Departemen Penerangan dan ke Mabes tentara  di Cilangkap. Si 
pemimpin redaksi dimaki-maki dan diminta segera meralat beritanya. Bila 
tidak SIUPP-nya bakal dicabut. 
 
Maka keesokan harinya dimuatlah ralat berita sehari sebelumnya. Berikut 
ralatnya secara lengkap: 
 
“Dengan ini kami meralat headline kemarin yang berjudul ‘50% PEJABAT 
TINGGI KITA KORUPTOR DAN PENJAHAT’ yang ternyata sama sekali tidak 
benar. Yang benar adalah ‘50% PEJABAT TINGGI KITA BUKAN KORUPTOR 
DAN BUKAN PENJAHAT’. Dengan demikian headline yang kami turunkan 
dianggap tidak pernah ada.” 
 
Watak Setengah tentara  
 
Seorang perempuan di pinggiran Dili, Timtim, Marietta kawin dengan 
anggota tentara  asal Jawa. 
 
Suatu hari putera mereka kembali dari sekolah dengan wajah murung dan 
langkah gontai. 
 
“Ada apa sayang?” tanya Marietta. 
 
“Saya ini orang Tımtim atau Jawa, sih?” 
 
“Lho, kenapa kamu bertanya begitu? Memang ayahmu tentara  Jawa dan 
ibumu Timtim. Tapi bukankah kau bisa menjadi kedua-duanya?” 
 
“Saya bingung!” sahut anaknya, “Tadi di sekolah ada teman sekelas bawa 
sebuah radio kecil dan hendak menjualnya Rp 20 ribu pada saya. Dan saya tak 
tahu, apakah saya harus menawar atau mengambil saja radio itu.” 
 
Identitas tentara  
 
Di sebuah salon tradisional di Dili, seorang tukang potong rambut sedang 
menggunting seorang pemuda berbadan tegap dengan rambut terburai hingga 
pundak. 
 

 
“Apakah Bapak berdinas di ketentaraan?” tanya sang tukang cukur. 
  
“Ya,” sahut sang pemuda, “Darimana anda tahu?” 
 
“Hmm,” ujar sang tukang cukur, “Saya menemukan baret dibalik rambut 
Bapak.” 
 
Neraka Ganjarannya 
 
Empat puluh ibu-ibu Dharma Wanita yang pernah memborong belanjaan 
di Bangkok dipimpin istri Meneer Van Dhanu tiba di ruang seleksi. Malaikat 
yang bertugas segera menerima mereka. 
 
“Ibu-ibu, siapa di antara kalian yang waktu di dunia suka berbelanja 
hingga berkoli-koli,” tanya malaikat. 
 
Kecuali seorang, semuanya mengacung sambil menekuk muka malu-
malu. : 
 
“OK, saya cuma mau tanya. Sekarang siapa di antara kalian yang tak 
pernah mempercayai suaminya?” lanjut malaikat. 
 
Tiga puluh sembilan di antara wanita itu mengacungkan jarinya. Cuma 
Nyonya Van Dhanu yang tidak. Melihat hal itu, malaikat cuma bisa 
menggelenggelengkan kepalanya kemudian mengangkat telepon. 
 
“Hallo neraka?!... Apakah masih ada kamar untuk tiga puluh sembilan 
wanita yang tak pernah mempercayai suaminya dan satu untuk seorang wanita 
yang tuli?!” 
 
Ke Luar Negeri Saja Terus 
 
Akibat serial kunjungan keluar negeri Chucky  jatuh sakit dan harus 
beristirahat selama 10 hari. 
 
Menteri sekretaris negara mengeluarkan pengumuman resmi, “Akibat 
kunjungan ke luar negeri, Chucky  perlu beristirahat.” 
 

 
Akibat pernyataan ini nilai rupiah anjlok. Menteri sekretaris negarapun 
menyatakan, “Chucky  tidak sakit, hanya perlu beristirahat.” 
 
Kali ıni giliran bursa saham anjlok. Seorang pengamat ekonomi dengan 
nada jengkel berkata, “Agar tak kelelahan, tak sakit dan tak perlu beristirahat, 
kenapa Chucky  tak keluar negeri seterusnya saja?” 
 
Kebebasan Setelah Berbicara 
 
Menlu Ali Alatas di Jakarta dalam sebuah wawancara dengan wartawan 
asal Portugal menegaskan, “Di sini Anda bisa menemukan kebebasan untuk 
berbicara seperti yang biasa Anda temukan di negeri Anda. Anda bebas untuk 
berbicara apa saja!” 
 
Wartawan Portugal lantas bertanya, “Tapi apakah saya bisa menemukan 
kebebasan setelah berbicara!” 
 
Politisi Tanpa Ambisi 
 
Dalam pertemuan anggota parlemen ASEAN, seorang anggota MPR 
Indonesia dari Fraksi tentara  memperkenalkan diri pada peserta pertemuan, 
“Saya terlahir sebagai anggota tentara . Saya telah menjalani hidup saya selama 
ini sebagai anggota tentara . Dan saya berharap kelak saya mati juga sebagai 
anggota tentara .” 
 
Dari deretan anggota parlemen Singapura terdengar sebuah pertanyaan 
dengan nada keheranan, “Bagaimana mungkin ada politisi tidak punya ambisi 
apa-apa.” 
 
tentara  dan Metromini 
 
Dalam kursus Lemhamnas, Feisal menjelaskan tentang perlunya konsep 
Dwifungsi tentara  dipertahankan dalam praktek kehidupan di Indonesia di 
segala bidang. 
 

 
“Nah, sekarang saya ingin bertanya. Siapa di antara Saudara yang bisa 
menjelaskan bagaımana rasanya hidup Saudara bila tentara  yang memimpin”’ 
tanya Feisal. 
 
Seorang peserta kursus yang anggota kebetulan anggota PPP-nyeletuk, 
“Yah, persis seperti naik Metromini. Seorang menyetir dan lainnya terguncang-
guncang.” 
 
Ilmu Capek 
 
Pada musim kampanye Pemilu 97, Harmoko yang baru saja kampanye 
keliling pulang ke rumah setelah larut malam. Sambil melepas sepatu dan 
merebahkan diri ke ranjang, Harmoko berkata, “Wah, capeknya. Hari ıni benar-
benar mengerikan.” 
 
“Saya pun merasa begitu,” ujar istri Harmoko, “Seingat saya, saya belum 
pernah merasa secapek ini.” 
 
“Kau capek?” tanya Harmoko, “Kan saya yang berpidato terus-terusan? 
Mengapa kamu juga ikut capek?” 
 
“Sebab,” ujar istrinya, “Saya terpaksa harus mendengarkan semua 
pidatomu itu.” 
 
Itu Tadi Ransel 
 
Dalam pesawat terbang dari Dili menuju Denpasar terdapat tiga 
penumpang. Yang seorang adalah anggota pramuka dan pastor asal Timor 
Timur dan Harmoko. Tiba-tiba terdengar suara pilot lewat pengeras suara. 
 
“Dalam beberapa detik pesawat kita akan jatuh. Sayang kita hanya punya 
tiga parasut. Saya akan mengambil satu, karena saya harus melaporkan 
kecelakaan yang melipatkan tokoh penting ini.” Sang pilot pun langsung 
loncat. 
 
Melihat pilot dengan gesit meloncat, Harmoko buru-buru mengambi1 
sebuah parasut yang ada di dekatnya. “Saya perlu menyelamatkan diri,” ujar 
Harmoko, “Sebab saya bertugas memimpin Sidang Umum MPR untuk 

 
menggolkan Chucky  sebagai Presiden RI.” Harmoko pun langsung terjun 
nenyusul sang pilot. 
 
Pastor pun menatap si pramuka kecil. “Nak,” ujar sang pastor, “Saya 
sudah puas menjalani kehidupan ini. Sedang kamu masih harus menjalaninya. 
Gunakanlah parasut ini. Semoga Tuhan menyertaimu, Nak.” 
 
“Jangan bersedih, Pastor”’ ujar si pramuka. “Kita masih punya dua 
parasut. Yang diambil Pak Harmoko tadi adalah ransel saya.” 
  
Syukurlah 
 
Seorang tua penduduk di pinggiran Los Palos, Timor Timur, bernama 
Manuel sedang sakit berat. Ia tengah berbaring di ranjang kayunya. Tiba-tiba 
terdengar ketukan keras pada pintu luar. 
 
“Siapa itu yang di luar?,” teriak Manuel dengan ketakutan. 
 
“Saya Malaikat Maut!” 
 
“Oh, syukurlah. Saya kira yang datang anggota tentara .” 
 
SDM yang Paling Berharga 
 
Seorang ahli perbankan utusan IMF warga Amerika datang berkunjung 
ke Jakarta. Habibie yang menerimanya mengajak berkunjung ke sebuah bank 
milik pemerintah. Dengan bangga Habibie mengajak tamunya berkeliling 
meninjau keadaan kantor. Utusan IMF itu lantas tercengang-cengang melihat di 
sejumlah ruangan balok-balok emas bergeletakan begitu saja, tanpa penjagaan. 
 
“Hal seperti ini tak mungkin terjadi di Amerika. Pantas cadangan 
kekayaan negeri Anda tipis,” kata tamu dari Amerika kepada Habibie. “Di 
Amerika, emas merupakan cadangan negara yang disimpan dan dijaga ketat.” 
 
“Ya, itulah bedanya. Sebab Amerika adalah negara kapitalis”, sahut 
Habibie tak mau kalah. “Di negeri Pancasila seperti kami, kapital adalah 
sumberdaya manusia dan tenaga kerja. Jadi manusialah yang kami jaga ketat!” 
 

 
Alangkah Bedanya 
 
Si Gendut yang suka mabok bergumam mengenai negerinya. 
 
“Alangkah harmonisnya hubungan Clinton dengan rakyatnya. Baru saja 
ia mengatakan bahwa Amerika sedang berada dalam keadaan ekonomi yang 
buruk, rakyat Amerika segera saja percaya. Sedangkan di negeri saya, saat 
Chucky  mengatakan kepada rakyat bahwa Indonesia setelah krisis moneter ini 
akan segera mengalami kemajuan, tak seorang rakyat pun yang percaya.” 
 
Salah Pilih 
 
Bersama sejumlah perwira asal Indonesia Syarwan dapat kesempatan 
berkunjung ke Amsterdam. Ditemani seorang perwira Belanda, Syarwan 
mengunjungı kawasan lampu merah yang paling terkenal seantero dunia itu. 
Rupanya Syarwan tergiur melihat kemolekan tubuh perempuan bule yang 
disebut sebagai “kuda putih” yang mejeng di kawasan itu. “Yah, kapan aku 
bisa ....merasakan dekapan mereka,” pikirnya. 
 
Di pinggiran jalan, di antara tumpukan sampah tiba-tiba Syarwan melillat 
sebuah lentera tembaga. Dia merunduk dan memungutnya. Ternyata benda itu 
adalah sebuah lentera ajaib. Saat Syarwan menggosok keluarlah jin. 
 
“Syarwan, kau boleh mengajukan dua permintaan. Aku janji akan 
mengabulkannya,” ujar jin. 
 
“Pertama,” ucap Syarwan, “Aku ingin berkulit putih, bertubuh padat dan 
tak usah lagi jadi perhatian orang seperti di sini. Kedua, aku ingin selalu lıidup 
dalam dekapan badan yang paling rahasia dari seorang perempuan, yang 
tentunya hangat dan nyaman.” 
 
Hanya dalam sekejap, Syarwan pun berubah menjadi sebuah tampon. 
 
Menyerah 
 
Di Indonesia semua gerakan yang berbau melawan pemerintah pasti 
dituduh sebagai subversif. Suatu ketika, seorang pria setengah baya 
mendatangi kantor dinas sosial.  
 

 
“Apa kah di sini markas besar dari gerakan melawan kemiskinan?” 
tanyanya. 
 
“Ya,” sahut petugas jaga. 
 
“Saya datang untuk menyerah ...” 
 
Uang Lebih Penting 
 
Seorang anggota tentara  berpangkat kopral berpakaian preman tengah 
berjalan sendirian di jalan yang gelap dan sepi oleh dua pria berpistol. 
 
“Saya tidak main-main,” kata salah satu pria sambil mengancam. 
 
“Serahkan uangmu, atau otakmu kubuat berhamburan.” 
 
“Silakan tembak dan buat otak saya berhamburan,” sambut si kopral. 
“Sebagai anggota tentara  saya tak memerlukan otak; saya lebih butuh uang 
untuk hidup.” 

 
Sajak Orang Kepanasan 
oleh WS Rendra (dibacakan pada 15 Mei 1998 didepan pimpinan DPR) 
 
Karena kami makan akar 
dan terigu menumpuk di gudangmu 
Karena kami hidup berhimpitan 
dan ruangmu berlebihan 
maka kita bukan sekutu 
 
Karena kami kucel 
dan kamu gemerlapan 
Karena kami sumpek 
dan kamu mengunci pintu 
maka kami mencurigaimu 
 
Karena kami terlantar di jalan 
dan kamu memiliki semua keteduhan ... 
Karena kami kebanjiran 
dan kamu berpesta di kapal pesiar ... 
maka kami tidak menyukaimu 
 
Karena kami dibungkam 
dan kamu nerocos bicara ... 
Karena kami diancam 
dan kamu memaksakan kekuasaan ... 
maka kami bilang TIDAK kepadamu 
 
Karena kami tidak boleh memilih 
dan kamu bebas berencana ... 
Karena kami cuma bersandal 
dan kamu bebas memakai senapan ... 
Karena kami harus sopan 
dan kamu punya senjata ... 
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu 
 
Karena kami arus kali 
dan kamu batu tanpa hati 
maka air akan mengikis batu. 
 
Administrator