• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label tentara belanda di indonesia 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentara belanda di indonesia 2. Tampilkan semua postingan

tentara belanda di indonesia 2






h para pemimpin Republik. Namun, bukan berarti bahwa periode ini tidak 
memperuncing hubungan. Sejak masa itu, kepentingan pemulihan ketertiban 
di pihak Belanda juga dilegitimasi dengan mengacu pada kepentingan untuk 
8
menghindari terulangnya kembali peristiwa Bersiap. Selain itu balas dendam atas 
nama anggota keluarga dan teman dari para anggota KNIL yang disiksa dan 
dibunuh menjadi motif mereka untuk kekerasan yang kemudian terjadi.
Periode Bersiap pada umumnya terjadi antara September 1945 dan awal 
1946. Tentara Inggris, didukung oleh tentara Jepang, bertanggung jawab atas 
ketertiban, namun  mereka tidak berhasil memelihara ketertiban itu dengan baik. 
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur-Jenderal Huib van Mook, kekuasaan 
pemerintahan Hindia-Belanda berada lagi di Batavia/Jakarta pada Oktober 
1945. Seperti juga pada sebelum masa pendudukan Jepang, pemerintah Hindia-
Belanda memiliki otonomi tertentu terhadap kebijakan politik Belanda, namun  
dalam praktiknya ‘Batavia’ semakin tergantung pada pemerintah Belanda di Den 
Haag. Pemerintah Hindia tidak memiliki kekuatan militer dan polisi untuk bisa 
memerangi Republik negara kita  dengan kuat. Pembangunan angkatan polisi 
sudah pasti tidak akan berhasil. 
Pembangunan kembali tentara dan angkatan laut yaitu  cerita yang lain. 
Sebelum Jepang menyerah, tentara KNIL sudah dihidupkan kembali, meskipun 
masih berada dalam pengasingan di Australia. Pada bulan-bulan berikutnya, 
pasukan tentara profesional kolonial dibangun, baik dari para militer sebelum 
perang, yang kebanyakan bekas tahanan perang yang baru saja dibebaskan, 
maupun dari para sukarelawan baru. Kekuatan militer itu pada akhir tahun 1946 
ada 37.000 orang, dua tahun kemudian bahkan mencapai 60.000 orang; antara 
tahun 1945 dan 1950, KNIL diperkirakan terdiri dari sekitar 75.000 – 80.000 
orang. Peningkatan pasukan dari Belanda tertunda lebih lama, oleh sebab  Inggris 
menahan proses debarkasi mereka. Batalyon-batalyon lengkap pertama dari para 
sukarelawan perang Belanda baru tiba pada bulan Maret 1946, pasukan pertama 
dari para wajib militer, Divisi pertama ‘7 Desember’ baru tiba pada musim gugur 
1946. Di Den Haag menjadi jelas bahwa pertempuran itu akan berlangsung 
lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan, dan juga menjadi jelas bahwa jika 
hanya KNIL bersama para sukarelawan perang saja, maka mereka tidak akan bisa 
memperbaiki keadaan. Oleh sebab  itu, pada musim semi 1946 undang-undang 
dasar diubah agar para wajib militer juga bisa dikerahkan. Pada akhirnya akan 
ada 100.000 wajib militer Belanda yang dikirim ke Hindia, di samping sekitar 
30.000 sukarelawan perang dan sekitar seribu tentara profesional. Selain itu di 
kepulauan Nusantara, ada puluhan ribu tentara KNIL rekrutan. Jadi jumlah 
totalnya, termasuk beberapa penghitungan tumpang tindih, sekitar 220.000 
orang, hampir semuanya laki-laki: 120.000 dari Koninklijke Landmacht (KL, 

9
Angkatan Darat), 75-80.000 dari KNIL dan 20.000 dari Koninklijke Marine 
(KM, Angkatan Laut).2
Jumlah terbesar aparat militer dicapai pada semester pertama tahun 
1948, ketika berbagai bagian pasukan itu bersama-sama berjumlah sekitar 
150.000 tentara, termasuk para KNIL; kemudian dimulai pemulangan angkatan 
pertama, yang sementara itu telah menjadi para sukarelawan perang yang sangat 
berpengalaman. Dari 220.000 orang itu, sekitar 160.000 berasal dari Belanda, 
atau termasuk kelompok yang di Hindia-Belanda digolongkan sebagai masyarakat 
‘Eropa’, dan 60.000 pribumi.
Sebagai bagian dari KNIL ada ‘pasukan-pasukan khusus’, komando-
komando yang jumlahnya tidak pernah lebih dari seribu, namun  memiliki  
arti yang sangat penting, yaitu pasukan Depot yang kemudian menjadi Depot 
Speciale Troepen/Korps Speciale Troepen (DST/KST, Depot Pasukan Khusus/
Korps Pasukan Khusus), ‘Baret Hijau’ yang dihubungkan dengan nama Kapten 
Raymond Westerling; dan ‘Baret Merah’ yang merupakan pasukan paramiliter. 
Berbeda dengan angkatan bersenjata bagian Belanda, pasukan KNIL termasuk 
DST/KST di segi etnis beragam, setidaknya mereka yang berpangkat rendah. 
Pangkat tertinggi diduduki oleh orang-orang Belanda, di bawahnya terutama 
militer yang direkrut secara lokal. Sebagian merupakan orang-orang yang secara 
hukum yaitu  ‘orang Eropa’, baik Belanda totok, yaitu orang berkulit putih yang 
lahir di Hindia, maupun kaum Indo, yaitu orang dari keturunan Eropa-Asia. 
Sebagian lainnya lagi terdiri dari mereka yang disebut sebagai ‘pribumi’: orang-
orang Jawa, Maluku atau Ambon, Manado, dan Madura.
Pemerintah Belanda dan Hindia-Belanda, meskipun keengganan besar 
mereka terhadap orang Republik dan terutama terhadap ‘kolaborator’ Sukarno, 
segera paham bahwa bagaimanapun juga mereka harus berbicara bersama 
dan akhirnya berunding. Tindakan ini perlu dilakukan sebab  opini publik 
internasional sudah semakin kritis terhadap upaya Belanda untuk mengembalikan 
status quo kolonial atau setidaknya bisa mengatur masa peralihan bertahap 
menuju masa hubungan-hubungan pascakolonial. Yang memiliki  arti besar 
menuju upaya itu yaitu  suatu perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 15 
November 1946 di Linggarjati. Hanya dari perundingan-perundingan untuk 
mencapai persetujuan itu saja mengimplikasikan bahwa Den Haag – yang didesak 
2  Jumlah total 220.000 yaitu  jauh lebih tinggi dari perkiraan yang biasanya (200.000); lihat 
di situs laman untuk keterangan lebih lanjut mengenai angka-angka yang dikaitkan dengan 
kekuatan perang: http://www.kitlv.nl/research-projects-dutch-militairy-operations-in-negara kita /
10

oleh Van Mook – mau tidak mau telah menerima kaum nasionalis sebagai lawan 
bicara dan juga menyadari bahwa kemerdekaan itu dalam waktu dekat tidak 
terelakkan lagi. Pada gilirannya orang-orang Republik, setidaknya pada saat itu, 
menunjukkan kesediaan mereka, juga di masa depan, untuk memberi  peran 
khusus kepada Belanda mengenai hal yang berkaitan dengan negara kita .
Dalam perjanjian Linggarjati Belanda mengakui Republik negara kita , 
namun  hanya di Jawa, Madura, dan Sumatra, sebagai salah satu negara bagian 
dari negara federal negara kita  Serikat, yang pada gilirannya juga menjadi bagian 
dari Uni negara kita -Belanda, dengan Belanda sebagai kepala Uni. Di kedua pihak 
para perunding telah berjalan jauh, yang kemudian ternyata terlalu jauh. Di 
Den Haag serangkaian persyaratan tambahan dirumuskan oleh Majelis Rendah 
Belanda. Persyaratan yang menurut para pakar tidak akan dapat diterima oleh 
Republik. Penentang persetujuan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang 
masih menunjukkan sedikit pengertian terhadap hubungan baru itu. Meskipun 
Parlemen Republik menyetujui kesepakatan dalam sidang umum, namun  di 
negara kita  perlawanan terhadap perjanjian asli begitu besar sehingga sangat 
dipertanyakan apakah perjanjian itu akan bisa bertahan – meskipun pertanyaan 
itu sudah tidak punya arti lagi dengan adanya perkembangan di Den Haag.
Di belakang hari sebenarnya sangat disayangkan bahwa Perjanjian 
Linggarjati tidak sampai jadi dilaksanakan. Pilihan lainnya pada waktu yaitu  
melanjutkan dan memperluas perang. Perang itu tidak hanya terbatas pada dua 
‘aksi polisional’. Aksi itu  dinamakan demikian untuk menekankan bahwa 
aksi itu bukan merupakan perang kemerdekaan, namun  suatu aksi untuk melawan 
gangguan-gangguan dalam negeri yang berkaitan dengan ketertiban umum. 
Aksi pertama (21 Juli sampai 5 Agustus 1947) dan yang kedua (19 Desember 
1948 sampai 5 Januari 1949) kelihatannya memang memperlihatkan bahwa 
tentara Belanda, setidaknya dalam jangka pendek, bisa memenangkan perang 
konvensional terbatas itu secara meyakinkan. Terutama pada aksi kedua, untuk 
pertama kalinya sebagian besar daerah-daerah di Jawa dan Sumatra secara resmi 
diduduki. Namun, aksi itu  menempatkan Belanda pada opini internasional 
di kursi terdakwa. Sama sekali tidak membantu ketika selama aksi polisional 
kedua para tokoh pemerintah Republik di bawah pimpinan Sukarno ditangkap 
di Yogyakarta.

11
Selain itu, menjadi semakin jelas bahwa sayap militer dari pemerintahan 
Republik, Tentara Nasional negara kita  (TNI)3, dan juga berbagai kelompok 
pejuang lainnya menjadi ancaman yang jauh lebih besar sebab  mereka memilih 
berperang secara gerilya. Strategi ‘pelelahan tenaga lawan’ itu  memancing 
Belanda untuk melakukan kontragerilya, yang bukan saja menuntut lebih banyak 
korban daripada perang selama kedua aksi polisional yang singkat itu, namun  
juga semakin mengurangi kemungkinan bisa menang. Sementara itu, kontrol 
militer Belanda yang sesungguhnya sangat terbatas, meskipun aksi-aksi polisional 
sepertinya telah memberi  keberhasilan. Kekuatan militer yang besar itu masih 
tetap terlalu kecil untuk daerah yang begitu luas, di mana ketertiban kolonial 
harus dijaga, dan terlebih lagi mereka di sana tidak berhasil untuk menata kembali 
aparat sipil masa sebelum perang. Masalah itu sudah mulai dirasakan setelah 
aksi polisional yang pertama dan hanya semakin menjadi lebih parah ketika aksi 
kedua wilayah yang resmi di bawah kekuasaan Belanda menjadi diperluas. Bukan 
hanya para perunding, namun  juga para militer dihadapkan pada tugas yang tidak 
mungkin bisa dicapai – namun  kesadaran itu  datang terlambat, terutama bagi 
komandan tentara Simon Spoor dan stafnya.
Akhirnya perang dekolonisasi juga diakhiri di meja perundingan. Pada 
tanggal 17 Januari 1948, jauh sebelum aksi militer kedua, di sebuah kapal kapal 
perang Amerika Renville ditandatangani perjanjian yang sebagian besar isinya 
hampir sama dengan perjanjian Linggarjati yang empat belas bulan sebelumnya 
ditandatangani oleh kedua belah pihak dan selama empat belas bulan itu ada 
ribuan korban mati. namun  Renville juga tidak bisa berhasil seperti halnya 
Linggarjati. Enam belas bulan kemudian, pada tanggal 7 Mei 1949, para perunding 
Mohamed Roem dan Jan Herman van Roijen menandatangani perjanjian 
yang kemudian betul-betul menjadi dasar untuk penyerahan kedaulatan, yang 
akhirnya terjadi pada 27 Desember 1949. Sejak Linggarjati, Belanda harus banyak 
menyerahkan kekuasaannya. Sekarang tidak ada lagi pengawasan Belanda dalam 
masa perubahan menuju kemerdekaan. Namun, pemerintah Republik masih 
menyetujui negara federal negara kita , di mana Republik negara kita , meskipun 
terbesar, namun  bukan satu-satunya mitra, dan juga menyetujui Uni Belanda-
negara kita . Hanya delapan bulan setelah penyerahan kedaulatan, pada tanggal 
17 Agustus 1950, Sukarno akan menggantikan federasi dengan negara kesatuan. 
3  Pasukan Republik berturut-turut disebut sebagai TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI 
(Tentara Republik negara kita ), dan TNI (Tentara Nasional negara kita ). Di dalam artikel  ini 
dipakai sebutan TNI.
12

Pada tahun 1956 Sukarno juga menghapus Uni secara sepihak. Aksi-aksi itu  
tidak menguntungkan hubungan bilateral, dan sama halnya dengan penguasaan 
Irian Barat oleh Den Haag, yang di bawah tekanan berat internasional, baru pada 
tahun 1962 diserahkan kepada negara kita , melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa 
dan dengan persyaratan referendum yang diadakan belakangan.
Secara militer pertempuran ini sudah berakhir sebelumnya. Perjanjian 
Roem-Van Roijen pada bulan Juni 1949 diikuti dengan kembalinya Sukarno dan 
Hatta ke Yogyakarta dan gencatan senjata pada tanggal 3 Agustus. Perdamaian 
yang sesungguhnya belum terjadi. Sampai pada penyerahan kedaulatan pada 
tanggal 27 Desember dan bahkan setelah itu masih ada banyak pertempuran, 
beberapa juga memakan korban jiwa. Yang memang terjadi yaitu  dimulainya 
pemulangan pasukan Belanda, meskipun pemulangan pasukan militer yang 
terakhir baru terjadi pada awal 1951 – lebih awal dari waktu itu yaitu  tidak 
mungkin sebab  kapasitas kapal tidak memadai. KNIL dibubarkan secara 
keseluruhan; sebagian kecil dari anggota KNIL Maluku dikapalkan ke Belanda 
dan didemobilisasi di sana. Pada bulan Januari 1950 ada percobaan kudeta dari 
pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dibentuk atas inisiatif dan 
dipimpin sendiri oleh Kapten Westerling untuk menentang Sukarno. Namun 
kudeta itu gagal total. Jadi semuanya sudah berlalu. Mantan kapten KNIL yang 
bertindak sepenuhnya atas inisiatif sendiri, diselundupkan ke luar negeri dengan 
perlindungan Belanda. Para militer lain yang terutama berasal dari Maluku dan 
yang telah mendukung Kapten itu  dalam aksi sia-sianya itu, ditinggalkan di 
sana menanggung nasib mereka sendiri.
Jumlah korban jiwa di negara kita  yang berasal dari dinas militer Belanda 
(KL, KM, KNIL) pada periode 1945-1950 ditetapkan sebanyak 4.751 orang: 
2.526 tewas di medan pertempuran dan 2.225 tewas dalam situasi lain; dari bulan 
Desember 1949-1951 masih ditambahkan lagi dua sampai tiga ratus korban jiwa. 
Angka ini jelas-jelas belum termasuk jumlah korban mati pada badan-badan bala 
bantuan, Palang Merah, anggota polisi dan lain-lainnya yang sejenis itu. Pada 
monumen Nasional Hindia-Belanda di Roermond jumlah korbannya tertera 
6.226 jiwa. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah korban di 
pihak negara kita , yang biasanya diperkirakan sekitar 100.000 jiwa, yang hampir 
setengahnya tewas setelah aksi polisional kedua (Groen 1991: 262). Namun, 
jumlah itu  tetap merupakan perkiraan kasar saja. Perlu dicatat bahwa pada 
perkiraan korban perang negara kita  ada banyak sekali korban mati yang bukan 

13
disebabkan oleh kekerasan Belanda, namun  oleh sebab  tewas dalam pertempuran 
antar berbagai pihak negara kita  sendiri yang saling bertikai.
Ada beberapa pola yang bisa dikenali sebagai latar belakang jumlah korban 
jiwa mati di kedua pihak yang disebabkan kekerasan militer. Secara geograļ¬s, 
pusat pertempuran ada di Jawa, dan oleh sebab  itu jelas bahwa sebagian besar 
korban jiwa terjadi di sana. Secara kronologis, korban jiwa yang paling banyak 
jatuh pada periode terakhir, pada paruh pertama tahun 1949. Kenyataan itu 
membuat semuanya lebih tragis sebab  pada waktu itu sudah jelas bahwa Belanda 
tidak akan memenangkan perang, tidak dalam perang kontragerilya dan juga 
tidak di meja perundingan.
Kejahatan perang?
Perdebatan tentang perang di negara kita  dan terutama andil Belanda di dalamnya 
sering dipusatkan pada pertanyaan apakah pada waktu itu ada ‘kekerasan eksesif ’ 
yang dilakukan. Itu merupakan limitasi yang membutuhkan dua penjelasan. 
Pertama, diskusi ini harus dipisahkan dari pertanyaan apakah aksi militer Belanda 
itu bisa dibenarkan. Tentu saja, Republik negara kita  selalu berpandangan bahwa 
intervensi Belanda dahulu itu yaitu  suatu reļ¬‚eks kolonial yang tidak dapat 
diterima, dan memang benar, pemerintah Belanda pada tahun 2005 mengambil 
jarak dari kebijakan yang dijalankan pada masa itu. Namun demikian, secara 
analitis tidak ada gunanya untuk sebelumnya mencap semua tindakan Belanda 
pada waktu itu merupakan tindakan yang melampaui batas. Tindakan Belanda 
itu harus dipahami dalam konteks yang pada masa itu, setidaknya dari pihak 
Belanda, diberikan: melindungi penduduk, memulihkan ketertiban dan 
perdamaian.
Kedua, debat umum seringkali dilakukan dengan ceroboh dalam hal 
pengertian seperti ‘melampaui batas’ atau kekerasan yang ‘eksesif ’ dan ‘kejahatan 
perang’. Dalam semua perang pasti ada korban jatuh. Para korban yang jatuh 
langsung di medan pertempuran antara pihak-pihak yang berperang, dianggap 
sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, yang dalam konteks perang dianggap 
normal. Semua bentuk-bentuk kekerasan – terhadap tawanan perang, terhadap 
penduduk sipil – harus dinilai secara lebih kritis sesuai dengan hukum perang. 
Yang dijadikan acuan di sini yaitu  Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 
1907 serta empat Konvensi Jenewa yang ditetapkan sejak tahun 1864, dan 
terutama Konvensi tahun 1949 dengan beberapa tambahan di kemudian hari, 
14

yang sekarang didukung oleh semua negara di dunia. Tiga pertama dari Konvensi 
Jenewa bertujuan melindungi para militer korban luka atau yang ditawan, yang 
keempat bersangkutan dengan warga yang menjadi korban perang. Secara 
keseluruhan konvensi itu  memberi  kerangka yang mendeļ¬nisikan apa 
yang bisa dan yang tidak bisa diterima dalam situasi perang, serta kemungkinan 
untuk bisa menuntut pelanggaran-pelanggaran kode ini sebagai kejahatan perang 
di Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag.
Konvensi Keempat menetapkan bahwa konvensi-konvensi itu  tidak 
hanya mengacu pada konļ¬‚ik bersenjata antara negara-negara, namun  juga di dalam 
negara. Dengan demikian, tercipta kemungkinan untuk juga menguji tindakan 
para tentara kolonial dan anti-kolonial. Suatu komplikasi hukum dalam kasus 
perang dekolonisasi di negara kita  yaitu  bahwa konvensi baru ditandatangani 
pada tanggal 12 Agustus 1949, dan pada waktu itu gencatan senjata sudah 
diberlakukan. Akhirnya Belanda juga menandatangani Konvensi Keempat, namun  
dalam perundingan, seperti juga penguasa kolonial lainnya, sangat berhati-hati, 
sebab  sadar akan situasi di tanah jajahan mereka sendiri.
Untuk penuntutan hukum kejahatan perang, Konvensi Keempat tidak 
memberi  kerangka yang kuat, lebih-lebih lagi sebab  Belanda dan negara kita  
pada bulan November 1949 telah menyepakati untuk saling memberi  amnesti 
untuk hampir semua kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Jadi, masalahnya 
bukan lagi soal pengadilan. Namun, untuk menilai apakah menurut pandangan 
kini bisa disebut ada kejahatan perang, Konvensi-konvensi itu  memberi  
kerangka analitis yang jelas.
Sampai saat ini, telah menjadi kebiasaan di Belanda untuk tidak berbicara 
tentang ‘kejahatan perang’ tapi ‘kekerasan eksesif ’. Dan yang juga penting 
diingat yaitu  bahwa Belanda pada tahun 1945-1949 tidak menyebutkan adanya 
‘perang’, namun  yang ada yaitu  masalah intern. Excessennota (Nota Ekses) tahun 
1969 lama menjadi tolok ukur untuk menghindari istilah ‘kejahatan perang’. 
Masih pada tahun 1988 L. de Jong, penulis Het Koninkrijk der Nederlanden in 
de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia II), setelah protes 
keras terhadap kualiļ¬kasinya tentang kasus-kasus tertentu yang disebutnya 
sebagai ‘kejahatan perang’, memilih istilah yang lebih lemah, yaitu ‘ekses-ekses’ 
– menolak saran dari sejarawan dan ahli hukum Cees Fasseur, penulis utama 
Excessennota. Keengganan menyebut hal itu dengan istilah itu , sejak saat itu 
makin berkurang di dalam debat umum, namun  tidak berkurang di pemerintah. 
Pada waktu menyatakan permintaan maaf kepada para janda Rawagede tahun 

15
2011, ditekankan oleh dan atas nama pemerintah Belanda bahwa permintaan 
maaf itu hanya menyangkut kasus-kasus tertentu, yaitu kasus yang menyangkut 
‘ekses’. Di dalam artikel  ini dipilih untuk memakai istilah ‘kejahatan perang’ dari 
pada memakai istilah ‘kekerasan eksesif ’ yang lebih bersifat menutup-tutupi 
kenyataan.
Bahwa di pihak Belanda dulu ada tindakan kejahatan perang seperti yang 
dideļ¬nisikan oleh pelanggaran Konvensi Jenewa yaitu  sangat jelas. Excessennota 
memperlihatkan ada 110 kasus, seperti penyiksaan dan penembakan sewenang-
wenang terhadap para pejuang yang tertawan dan penduduk sipil yang dicurigai. 
Dua peristiwa yang paling terkenal dan mungkin juga merupakan episode yang 
paling parah yang kini diakui secara umum yaitu : pertama, aksi militer yang 
dipimpin oleh Westerling dkk. di Sulawesi Selatan dari Desember 1946 sampai 
Februari 1947; kedua, eksekusi sewenang-wenang kaum lelaki Rawagede di Jawa 
Barat pada tanggal 9 Desember 1947. Studi yang dimulai dari tahun 1969 lebih 
banyak lagi memperlihatkan adanya peristiwa tindakan kejahatan perang. Hal 
itu  juga dibahas dalam naskah  ego pasukan Belanda kepada siapa artikel  ini 
didedikasikan. Tindakan itu terungkapkan sebagai fakta yang berskala luas yang 
mengejutkan: penyiksaan dan eksekusi sewenang-wenang terhadap para pejuang 
dan warga sipil, penjarahan dan intimidasi, pemerkosaan dan penghinaan, 
pemboman dan pembakaran desa-desa.
Tak diragukan lagi bahwa di sisi negara kita  kejahatan keji juga dilakukan 
– mungkin sekali pada skala yang lebih besar dan sebagian besar diarahkan 
terhadap orang negara kita  lainnya. Di negara kita , penelitian terhadap hal itu  
selama beberapa dasawarsa hampir mustahil dilakukan dan kini pun masih 
tetap merupakan medan yang sulit disentuh. Terutama berlaku untuk debat 
umum terbuka mengenai periode ini, sebab  debat itu akan dapat menguak 
tirai Revolusi negara kita  yang lebih disukai tetap tertutup, yaitu mengenai: 
perpecahan mendalam di antara mereka sendiri, secara etnis, geograļ¬s, politik; 
saling melakukan tindakan kekerasan dalam skala besar dan keji terhadap sesama; 
ketidakmampuan, namun  juga rasa tanggung jawab para pemimpin TNI dan 
pemimpin Republik.
Kini sudah mulai ada sedikit perdebatan ilmiah tentang masa Bersiap. 
Perdebatan itu bukan hanya menyangkut tentang ukuran besarnya, namun  juga 
tentang sifat kekerasan – genosida – dan pelaku tindakan itu . Apakah 
kejadian itu merupakan kemarahan rakyat secara spontan yang diarahkan 
terhadap orang-orang Eropa, Indo, Cina dan tidak sedikit juga terhadap orang-
16

orang negara kita  yang dicap sebagai ‘kolaborator’, atau mungkin merupakan 
suatu fenomena yang disemangati dalam kalangan Republik? Yang jelas bahwa 
perdebatan semacam itu di negara kita  hampir tidak pernah dilakukan, dan bahwa 
pengetahuan dan minat tentang tindakan kekerasan yang melampaui batas yang 
pernah dilakukan terhadap penduduk bangsa Eropa dan Cina hampir nihil. 
Masa Bersiap merupakan suatu fenomena yang sama sekali tidak diketahui, dan 
upaya beberapa pakar sejarah negara kita  untuk menampilkan agar ada perhatian 
terhadap masa itu, sejauh ini hampir tidak mendapat tanggapan.
Penggambaran perang dekolonisasi seperti yang ditampilkan di sekolah, 
universitas, dan museum yaitu  jelas dan pasti. Penggambaran itu berupa cerita 
dari sekelompok rakyat yang bersatu dan secara heroik di bawah kepemimpinan 
para pemimpin Republik dan (terutama) militer bersama mengusir keluar 
musuh sampai akhirnya memenangkan kemerdekaan mereka. Kejahatan perang 
yaitu  hal yang hanya berkaitan dengan Belanda. Tahap reļ¬‚eksi belum banyak 
dicapai terhadap propaganda perang dari masa itu sendiri. Misal saja di Makasar 
ada monumen peringatan yang bernama ‘Korban 40.000 jiwa’ yang mengacu 
kepada 40.000 korban dari Westerling dan kawan-kawannya. Hal itu tidak hanya 
mengingatkan terhadap teror Belanda namun  tanpa disengaja juga terhadap kaum 
Republik yang mencoba menarik perhatian PBB terhadap masalah kejahatan 
perang ini dengan nada yang kurang bernuansa.
Kekerasan struktural?
Menetapkan, seperti yang sekarang dilakukan oleh para pakar sejarah, hakim, dan 
politikus bahwa para militer yang bertugas dalam dinas militer Belanda antara 
tahun 1945 dan 1950 di negara kita  dikatakan bersalah dalam melakukan kejahatan 
perang belum mengatakan apa-apa tentang pertanyaan apakah perilaku itu  
merupakan unsur dalam tindakan Belanda yang hanya bersifat perkecualian atau 
struktural – dalam arti unsur yang sering dilakukan. Jawaban untuk pertanyaan 
itu  dapat dicapai melalui dua jalur yang berbeda. Jalur yang pertama yaitu  
cukup sederhana dalam teori, yaitu pengumpulan lebih banyak lagi data empiris 
– menurut pepatah Belanda ‘meten is weten’ (‘mengukur yaitu  mengetahui’: lebih 
baik memastikan daripada hanya menduga saja). Dalam praktiknya, hal itu  
tidak mudah dilakukan, dan pastilah upaya untuk mendapatkan gambaran yang 
lengkap bakal gagal. Namun, penelitian sistematis ke arsip-arsip yang tersedia, 
baik di Belanda maupun di tempat lain, menghasilkan banyak fakta-fakta baru. 

17
ini  tercermin juga dalam artikel  ini. Akan namun , yaitu  ilusi untuk berpikir 
bahwa dengan penelitian itu realitas sejarah itu  akhirnya akan bisa diketahui 
secara ‘tuntas’. Pertama, ada banyak bahan arsip yang sudah hancur, hilang atau – 
khususnya di negara kita  – masih tidak dapat diakses untuk penelitian.
Yang lebih penting lagi yaitu  bahwa dalam perang ini laporan tentang 
kejahatan perang secara sistematis tidak lengkap, atau sangat begitu terselubung; 
seperti halnya dalam pengacuan kepada para tawanan yang ‘tertembak ketika 
melarikan diri’. Meskipun tindakan itu sesudahnya mendapatkan justiļ¬kasi, 
pelaku yang terkait biasanya sangat sadar bahwa tindakan itu melampaui batas 
norma. Laporan sukarela tentang hal itu oleh pelaku tidaklah biasa. Para petinggi 
militer sepertinya telah bertindak berbeda untuk melaporkan kejahatan perang di 
mana mereka menjadi saksi atau yang mereka dengar setelahnya. Dalam beberapa 
kasus mereka membuat laporan dan kemudian melakukan penyelidikan dan 
mungkin melaksanakan hukuman. Namun, ada banyak indikasi bahwa para 
pemimpin itu lebih suka berdiam, apakah itu sebab  dalam menanggapi perilaku 
bawahan mereka, mereka menutup mata, menoleransi atau menyemangati, atau 
sebab  mereka ingin mencegah peristiwa ini diketahui oleh para pejabat militer 
yang lebih tinggi pangkatnya, oleh kalangan politik atau media. Taktik yang tepat 
pada waktu itu yaitu  memetieskan. Penuntutan pidana sangat sulit dilakukan, 
mengingat sarana aparat pengadilan yang terbatas dan kompleksitas situasi 
yang sangat rumit – namun  ada banyak indikasi bahwa para petinggi militer dan 
petinggi hukum berpendapat tuntutan itu tidak pada tempatnya.
Cara lain untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tentang 
kemungkinan adanya kejahatan perang struktural yaitu  dengan menyelidiki 
bagaimana perilaku seperti itu memang sesuai atau tidak dalam logika pelaksanaan 
perang dan organisasi militer. Sebagai tanggapan terhadap kesimpulan Perdana 
Menteri De Jong pada tahun 1969 bahwa dulu hanya ada kasus-kasus ekses, 
sementara sebagian besar militer Belanda berperilaku sesuai aturan, para sosiolog 
– yang juga veteran – J.A.A. van Doorn dan W.J. Hendrix tak lama setelah itu 
memberi  pendapat dengan pendekatan yang sama sekali berbeda. Dalam 
analisis mereka, yang ditekankan yaitu  karakter istimewa perang itu , 
strategi melawan gerilya dari musuh, rangkaian perintah militer yang sering 
kurang jelas dan instruksi kekerasan yang juga sama ambigunya yang mendorong 
para militer itu  masuk ke dalam sebuah ‘geweldsfuik’ (jaring perangkap 
kekerasan) dan melakukan tindakan yang di luar jalur. 
18

Kesimpulan yang ditarik dalam artikel  Serdadu Belanda di negara kita  yang 
didasarkan pada kesaksian dari para veteran ini yaitu  bahwa ternyata begitu 
sering ada kasus kejahatan perang, sampai tidak dapat dianggap sebagai kejadian 
insidental, sebagai ‘ekses-ekses’. Frekuensi kejadian itu menunjukkan pola 
struktural. Di lain pihak, naskah -naskah  ego tidak menunjukkan adanya 
penerapan sistematis kejahatan sebagai strategi yang ditetapkan pemimpin 
militer. Sebaliknya, ternyata pencegahan dan penghukuman yang efektif hanya 
sedikit terjadi. 
Perang gerilya dan Revolusi negara kita 
Sebagian besar penelitian Belanda mengenai episode ini memiliki sudut pandang 
terbatas. Dalam hal waktu, perhatian dibatasi sampai masa empat atau lima 
tahun setelah perang dan terutama tertuju pada aksi militer Belanda. Suatu sudut 
pandang yang lebih luas akan dapat memperjelas – dan dengan demikian juga 
membantu Belanda agar kurang menjadi fokus dalam sejarah ini. Meskipun 
artikel  ini, yang didasarkan pada naskah  ego para militer dalam dinas angkatan 
bersenjata Belanda, pada umumnya memiliki cakupan yang terbatas, rasanya 
berguna juga untuk membuat beberapa komentar tentang konteks yang lebih 
luas.
Pertama-tama tentang pembatasan waktu. Tidak hanya dalam debat 
umum, namun  juga dalam literatur ilmiah Belanda ada kecenderungan kuat untuk 
memulai sejarah episode ini pada bulan Agustus 1945, dengan masa kapitulasi 
Jepang dan proklamasi Republik. Namun, dengan pembatasan itu jadi ada garis 
waktu krusial yang diabaikan. Di satu sisi ada kontinuitas dengan masa kolonial; 
yaitu ketika nasionalisme yang baru berkembang itu ditekan dengan segala cara 
oleh pihak pemerintah kolonial dan ketika tentara KNIL menimba pengalaman 
yang luas dalam perang gerilya dan juga dengan mengerahkan angkatan bersenjata 
yang berasal dari beberapa suku untuk melawan perlawanan negara kita . Banyak dari 
pengalaman ini kembali dimanfaatkan pada 1945-1949. Lalu, ada pendudukan 
Jepang. Masa itu bagi masyarakat Eropa dan sebagian besar penduduk negara kita  
merupakan masa gelap – jumlah korban sipil di kalangan penduduk Eropa yang 
kecil itu diperkirakan sekitar 20.000, dan di kalangan penduduk negara kita  sampai 
beberapa juta jiwa. Di kemudian hari ternyata periode ini dalam banyak hal juga 
merupakan lubang hitam bagi pemerintah Belanda dan petinggi militer, yang 
benar-benar meremehkan bagaimana banyaknya masyarakat negara kita , akibat 

19
perbuatan Jepang, pada bulan Agustus 1945 telah berubah jika dibandingkan 
dengan awal tahun 1942.
Peluasan kerangka penafsiran yang terutama diarahkan kepada operasi 
militer Belanda, dapat berguna untuk beberapa tujuan. Pada saat ini ada banyak 
studi tentang perang dekolonisasi dan tentang perang gerilya dan kontragerilya, 
studi yang seringkali menunjukkan bahwa situasi-situasi itu  terlalu mudah 
menyebabkan terjadinya kejahatan perang, baik secara struktural maupun 
sistematis. Bagaimanapun pula studi semacam itu menawarkan banyak ruang 
untuk menempatkan pengalaman militer Belanda dalam perspektif internasional 
yang lebih luas. Tantangan ini hanya baru-baru ini dilaksanakan secara serius.
Yang lebih penting lagi yaitu  bahwa pemahaman yang lebih baik 
dari perang dekolonisasi sebagai bagian dari Revolusi negara kita  akan dapat 
membantu untuk menempatkan tindakan Belanda ke dalam perspektif yang 
lebih jelas. Bukannya tanpa alasan di dalam studi asing yang berpengaruh tentang 
revolusi itu  peran tentara Belanda sering dibahas sepintas saja, dan hampir 
tidak diberikan perhatian untuk episode seperti masa Bersiap. Jelas memang ada 
yang lebih banyak terjadi dari ‘hanya’ perkara balas dendam dan perjuangan 
antikolonial saja. Sebagian penting dari kekerasan yang terjadi di kepulauan 
Nusantara memang bisa dikatakan disebabkan sebab  tidak adanya kekuasaan 
(kolonial) yang efektif, namun  kekerasan itu juga mencerminkan konļ¬‚ik-konļ¬‚ik 
lokal di mana Belanda tidak atau hampir tidak ambil bagian – dan hanya dalam 
perannya sebagai penjaga ketertiban masyarakat yang benar-benar tidak dapat 
dipenuhinya.
Dengan begitu, perhatian untuk aksi militer Belanda pada periode 1945-
1950, dan khususnya kejahatan perang Belanda, merupakan cara pandang 
yang terlalu terbatas untuk memahami proses sejarah yang jauh lebih besar. 
Mungkin hal itu memang merupakan sebagian dari penjelasan mengapa tidak 
banyak minat dari pihak negara kita  untuk menyelidiki tentang, atau menuntut 
permintaan maaf dan ganti rugi atas, kekerasan militer Belanda. Dengan semua 
itu bekas penjajah secara tidak sengaja memang mendapat tempat penting lagi 
dalam sejarah nasional yang dari perspektif negara kita  tidaklah pantas.
Perang yang ditutup-tutupi?
Ketika para militer dari pasukan negara kita  setelah berakhirnya perang dekolonisasi 
itu  paling tidak mencicipi kenikmatan kemenangan perjuangan dan secara 
20

kolektif mendapatkan status pahlawan, maka para militer Belanda pulang dengan 
kekalahan, frustrasi atas tahun-tahun yang hilang dalam kehidupan mereka, dan 
ke dalam lingkungan yang hanya sedikit memahami mereka, dan setelah bertahun-
tahun berlalu malah semakin sedikit mendapatkan penghargaan untuk pekerjaan 
mereka di seberang lautan itu. Bagi para ‘repatrian’ yang pernah bertugas di 
KNIL dan sama sekali tidak atau hanya sedikit mengenal Belanda, masalah yang 
mereka hadapi ditambah lagi dengan kehilangan tanah air mereka dan tiba dari 
Hindia-Belanda yang sangat luas ke suatu negara Eropa yang tidak mereka kenal 
dan relatif kecil. Sebuah negeri induk yang sedang sibuk dengan usaha mengatasi 
masalah akibat pendudukan Jerman dan terutama pembangunan kembali; negeri 
yang ingin sesegera mungkin melupakan sejarah kolonial mereka, lagipula negeri 
itu tidak mengharapkan kedatangan orang-orang yang sudah ‘mengakar di 
Hindia-Belanda’, juga tidak meskipun mereka berjuang untuk KNIL dan dengan 
itu berarti juga untuk Ratu dan kerajaannya. Tidak heran kalau banyak imigran 
itu  akhirnya memilih untuk tidak menetap di negeri Belanda yang dingin 
namun  di tempat lain.
Ada beberapa cerita tentang bagaimana para veteran itu mengatasi masalah 
pengalaman perang mereka. Yang tak terhitung jumlahnya yaitu  versi di mana 
para veteran itu  digambarkan sebagai orang yang pendiam, dengan perasaan 
sakit hati atau tidak, dirasakan menyesakkan lingkungan sekitarnya atau tidak. 
namun  meskipun demikian, berkembang suatu tradisi di mana mereka berkumpul 
untuk mengenang masa lalu, dalam kelompok kecil, tanpa diatur, dan jumlahnya 
semakin bertambah juga dalam hubungannya dengan organisasi veteran. Sebagian 
besar dari apa yang dibahas dalam pertemuan itu tidak dibawa keluar. Hanya 
sebagian kecil dari mereka yang menulis memoar tentang pengalaman mereka 
sendiri. Dan di sini juga berlaku: hanya sedikit dari naskah  ego itu  
diterbitkan dan didistribusikan secara luas.
Selama beberapa dasawarsa masa pascaperang para atasan tidak begitu 
berniat untuk mengadakan peringatan dan bahkan lebih sedikit lagi kebutuhan 
akan penelitian yang kritis. Para politikus terkemuka dari episode ini tetap lama 
menjadi tokoh yang menonjol dalam politik Den Haag, partai-partai politik utama 
juga tetap sama. Secara politik ada banyak pihak yang memang bertanggung jawab 
atas suatu kebijakan yang semakin lama semakin kurang dapat diterima sebagai 
wajar dan sesuai norma. Bukti bahwa dahulu ada ‘kejahatan perang’ – meskipun 
istilah itu tidak diperbolehkan untuk dipakai – diketahui secara cepat. Lagi pula, 
ada bukti-bukti bahwa tindakan kekejaman yang dilakukan oleh para perwira 

21
bawahan tidak selalu dicegah atau dihukum, dan tindakan itu dalam hirarki 
militer yang lebih tinggi ditoleransi, malah kadang-kadang mungkin mendapat 
dorongan, dan kemudian ditutup-tutupi. Dan kalaupun tindakan semacam itu 
kemudian ditoleransi atau disembunyikan oleh pertanggungjawaban politik, 
maka politik Den Haag juga takut kehilangan muka apabila terlalu terbuka.
Juga selama tahun-tahun perang sedang berlangsung, kadang-kadang 
muncul berita mengenai adanya kemungkinan tindakan kekejaman dalam 
pers Belanda, namun  berita itu tidak mendapatkan banyak tanggapan, bahkan 
juga ketika permasalahan itu dipertanyakan di (majelis) parlemen. Di Hindia-
Belanda sendiri penguasa politik dan militer melakukan kontrol ketat terhadap 
pemberitaan; tidak ada ruang untuk kritik atau keterbukaan tentang ‘ekses-
ekses’. Setelah penyerahan kedaulatan situasinya menjadi hening. Butuh waktu 
sekitar dua puluh tahun, sampai tahun 1969, sebelum mulainya debat umum. 
Veteran Joop Hueting sudah bertahun-tahun berusaha mencari publikasi dengan 
memberi pernyataan-pernyataan tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh 
militer Belanda. Pada awalnya dia tidak berhasil, sampai ketika ia diperbolehkan 
berbicara panjang lebar di program televisi VARA Achter het Nieuws (Di Balik 
Berita).
Tindakan Hueting itu  mengakibatkan munculnya diskusi-diskusi 
sengit, perdebatan di Majelis Rendah, dan dibuatnya sebuah laporan penelitian 
secara terburu-buru dari komite resmi yang dalam sejarah akan dikenal sebagai 
Excessennota, yang didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan sebelumnya 
yang tidak disebarkan baik dalam kalangan politik maupun hukum. Jadi itu 
merupakan penelitian terhadap kejahatan yang secara eksplisit dilaporkan. 
Sementara komisi, melalui kata-kata dari Cees Fasseur, sekretaris dan peneliti 
utama komisi itu, menganggap laporan itu sebagai inventarisasi awal, tanggapan 
yang dominan dalam politik yaitu  untuk segera mengubur sejarah itu. Perdana 
Menteri Piet de Jong, seorang mantan Angkatan Laut, menulis sendiri bahwa 
meskipun dahulu mungkin terjadi ‘ekses-ekses’ yang disesalkan, namun  para militer 
di pihak Belanda kala itu pada umumnya berperilaku menurut garis aturan: 
‘Pemerintah menyesalkan bahwa telah terjadi ekses-ekses namun  pemerintah 
mempertahankan pandangannya bahwa seluruh angkatan perang Belanda di 
negara kita  telah berperilaku benar. Data-data yang dikumpulkan menegaskan 
bahwa di masa itu tidak ada tindakan kekejaman sistematis.’4
4  Surat Perdana Menteri De Jong kepada TK (Tweede Kamer, Majelis Rendah), 29 Januari 1969 
(Handelingen TK, 1968-1969, bijlage 10.008, nr 1). 
22

Dalam debat parlemen tentang Excessennota ketua oposisi Joop den 
Uyl (Partij van de Arbeid, PvdA – Partai Buruh) bersikeras antara lain untuk 
dilakukan penyelidikan parlementer, tapi mayoritas di Majelis Rendah menolak 
hal itu. Sebelum debat itu, kabinet kanan-tengah De Jong secara intern sudah 
memutuskan bahwa kabinet akan memberi  tugas penelitian sejarah secara 
mendalam. Dari diskusi-diskusi berikutnya tentang penyelidikan luas yang 
akan dilakukan, ‘verwerkingsgeschiedenis’ (sejarah pengatasan masalah) itu  
membawa perubahan yang aneh sekali. Seorang guru besar sejarah dan seorang 
mantan pegawai pemerintah S.L. van der Wal dari Utrecht, yang didukung 
oleh Rijkscommissie voor Vaderlandse Geschiedenis (Komisi Pemerintah untuk 
Sejarah Nasional), menolak tugas penelitian itu sebab  dia pertama-pertama ingin 
mengungkap dahulu semua sumber. Kabinet membiarkan saja penelitian itu 
terhenti, oposisi politik, media, dan ilmuwan lain mungkin tidak tahu mengenai 
keputusan itu, atau merasa itu tidak cukup penting untuk menuntut penelitian 
seperti itu. Di bawah redaksi Van der Wal dan penerusnya antara tahun 1969 dan 
1996, diterbitkan sebuah publikasi sumber dalam dua puluh jilid, Nederlands-
Indonesische betrekkingen (Hubungan-hubungan Belanda-negara kita ). Dengan 
publikasi itu dimensi politik dan diplomatik dekolonisasi dinaskah tasikan 
secara mendalam, menjadi suatu sumber data yang sangat baik untuk penelitian 
ilmiah. namun  perang itu sendiri tetap kurang mendapat perhatian – peluang 
yang terlewatkan.
Keputusan akhir untuk membatalkan penelitian yang mendalam, tidaklah 
mengejutkan. Pemerintah De Jong sudah menduga bahwa ada lebih banyak 
‘ekses’ yang terkubur dalam arsip-arsip, baik di Belanda maupun di negara kita . 
Mengungkit-ungkit hal itu dianggap tidak merupakan prioritas. Sebuah kotak 
Pandora. Untuk politik tidak baik, untuk kepemimpinan militer juga tidak, 
dan juga tidak untuk para veteran, yang sebagian besar memang bereaksi sangat 
marah terhadap Hueting, dan media yang menulis tentang ekses-ekses.
Empat puluh lima tahun kemudian, hal itu juga dapat dilihat dari perspektif 
yang berbeda. Dengan keputusan untuk tidak melaksanakan penelitian besar-
besaran, maka hilanglah peluang untuk mewawancarai para veteran, yang dahulu 
sebagian besar masih hidup, dengan mengajukan pertanyaan secara sistematis 
tentang pengalaman dan tindakan mereka di negara kita . Peluang untuk menggali 
oral history secara mendalam mengenai pengalaman mereka, tidak pernah bisa 
sebesar pada waktu itu, dan kini peluang itu hampir hilang. Tentu saja ada alasan 
untuk percaya bahwa tidak semua veteran mau menceritakan peristiwa yang 

23
mereka alami sebenarnya sampai mendetail. Namun demikian, studi seperti itu 
akan menghasilkan banyak informasi, sebagaimana tercermin dalam beberapa 
proyek wawancara berskala kecil antara lain dari Veteraneninstituut (Lembaga 
Veteran), Stichting Mondelinge Geschiedenis IndonesiĆ« (Yayasan Sejarah Lisan 
negara kita ), Moluks Historisch Museum (Museum Sejarah Maluku), dan Indisch 
Herinneringscentrum (Pusat Peringatan Hindia). Kalau melihat hal itu – dengan 
menyampingkan pertanggungjawaban atas kejahatan perang – maka para 
veteran, dan pemerintah yang berpikir melindungi mereka dengan menentang 
diadakannya penyelidikan yang luas pada waktu itu, malah melewatkan 
kesempatan besar yang sebenarnya bisa mereka dapatkan. Perdebatan sejak saat 
itu lebih banyak didominasi oleh emosi daripada fakta-fakta baru. Citra yang 
ditampilkan pemerintah De Jong tahun 1969, sejak saat itu lebih merupakan 
batu sandungan daripada suatu kesimpulan bersama.
Jadi seperti dalam pepatah ‘dipetieskan’? Tidak, sudah sejak lama tidak 
begitu lagi. Sudah ada penelitian yang dilakukan, banyak dari penelitian itu malah 
diarahkan kepada kejadian-kejadian yang pada tahun 1969 diklasiļ¬kasikan sebagai 
‘ekses’. Berkali-kali topik perang kolonial masuk lagi dalam pemberitaan, ada 
wartawan-wartawan yang menuliskan tentang penemuan-penemuan baru atau 
mereka juga menampilkan fakta-fakta yang sudah dikenal sebagai berita. Baru-
baru ini malah ada tuntutan-tuntutan hukum yang diajukan tentang kejahatan 
perang. Hakim memaksa negara dalam kasus-kasus spesial itu  untuk 
menuntut diberikannya pengakuan, permintaan maaf dan kompensasi. Para 
peneliti mengaduk-aduk arsip, mewawancarai para militer dan politikus. Banyak 
kaum veteran yang menulis memoar mereka. Daftar publikasi ilmiah itu  
mungkin memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan perpustakaan 
yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan mengenai pendudukan Jerman di Belanda 
– kesejajaran dengan sedikitnya jumlah historiograļ¬ tentang pendudukan Jepang 
di Hindia-Belanda yaitu  mencolok. Tapi penelitian apa yang diterbitkan, pasti 
tidak dalam sifat samar-samar. Meskipun cara masa lalu kolonial ini dikenang 
tidak seimbang, memetieskan hal itu menjadi alasan klise.
Penelitian ilmiah pertama yang muncul setelah Excessennota memiliki  
nada yang berbeda. Dalam Ontsporing van geweld (Kekerasan di luar jalur) para 
sosiolog – dan veteran – Van Doorn dan Hendrix menerapkan pendekatan yang 
berdasarkan penjelasan. Dalam analisis mereka, yang ditekankan yaitu  karakter 
istimewa perang itu , strategi melawan gerilya dari musuh, rangkaian 
perintah militer yang sering kurang jelas dan instruksi kekerasan yang juga sama 
24

ambigunya yang memberi pelaksana perintah tingkat rendahan terlalu banyak 
otonomi dan mendorong para militer itu  masuk ke dalam sebuah jaring 
perangkap kekerasan dan melakukan tindakan yang keluar jalur. Mereka juga 
meluaskan pandangan analitis dan pendeļ¬nisian kejahatan perang. Model 
penjelasan mereka itu  cocok dengan literatur-literatur mengenai perang 
kontragerilya dan perang dekolonisasi yang belakangan banyak diterbitkan. 
Dari sudut pandang sejarah, pendekatan Van Doorn dan Hendrix itu  
bermasalah. Mereka menganonimkan dan mengabstrakkan semua ‘insiden’ 
yang dicatat mereka sendiri selama perang, sehingga insiden-insiden itu tidak 
bisa diveriļ¬kasi. Jadi, Ontsporing van geweld memang memberi  penjelasan 
yang meyakinkan tentang kejahatan perang namun  memberi  hanya sedikit 
bukti-bukti konkret tentang frekuensi terjadinya tindakan itu . Dengan kata 
lain, Van Doorn dan Hendrix menjelaskan sebuah fenomena di mana mereka 
menyatakan jangkauannya, namun  tidak membuktikan. 
Dalam hampir semua studi yang muncul kemudian, Excessennota yaitu  
titik-tolak empiris dan artikel  Ontsporing van geweld memainkan peran sebagai 
metode penjelasan, baik secara langsung maupun hanya sebagai latar belakang, 
sedangkan penelitian-penelitian yang sebenarnya lebih bersifat empiris-historis, 
dan dalam banyak hal mendukung analisis Van Doorn dan Hendrix. Kini jumlah 
daftar studi yang relevan makin bertambah saja. Di dalam studi-studi itu , 
penilaian kebijakan Belanda secara bertahap menjadi lebih kritis. Saat penulisan 
artikel  Serdadu Belanda di negara kita , kami beruntung telah mendapatkan manfaat 
dari karya ilmiah itu ; Di dalam panduan baca di bagian biograļ¬, studi-studi 
yang paling penting disebutkan.
Literatur ilmiah kini menyajikan gambaran beraneka ragam tentang 
perang dekolonisasi. Setidaknya tentang peran Belanda di dalam perang itu . 
Namun, sampai sekarang belum ada jawaban yang koheren untuk pertanyaan 
sejauh mana kejahatan perang memang mencirikan aksi militer Belanda atau 
tidak. Penelitian naskah  ego yang mendasari artikel  ini juga belum memberi  
jawaban yang memuaskan. Namun, hasil-hasil penelitian di dalam artikel  ini 
menyumbangkan pemahaman yang lebih baik tentang perang itu  dan 
khususnya konteks, sifat, dan frekuensi operasi dari tindakan-tindakan yang 
sekarang dikualiļ¬kasikan sebagai kejahatan perang.


Korpus naskah  ego
artikel  Serdadu Belanda di negara kita  terutama didasarkan pada pengalaman dan 
kenangan para militer yang bertugas di angkatan perang Belanda di negara kita  
antara tahun 1945 dan 1950. Di dalam artikel  ini dipakai  ‘naskah -naskah  
ego’ mereka: artikel  harian, surat, kesaksian, dan memoar. Dalam rangka 
penelitian ini ada banyak sekali korpus yang diteliti dari naskah -naskah  ego 
yang sudah dikenal dan diterbitkan. Sebagian besar dari naskah  itu berasal 
dari lama setelah perang selesai. Koleksi itu  memberi  sudut pandang 
yang terbatas namun  sangat menarik. Terbatas, sebab  hanya melihat secara 
sistematis pada tentara dalam dinas militer Belanda, dan paling-paling secara 
tidak langsung pada lawan mereka, dan korban-korban mereka. Para politikus 
yang mengirim mereka, para pemimpin militer yang memberi  perintah 
kepada mereka untuk melaksanakan tindakan itu  dan masyarakat Belanda 
tempat mereka berasal tidak menjadi bagian penting dalam sumber-sumber ini. 
Namun begitu, dengan memfokuskan pada naskah  ego, maka dapat diselidiki 
bagaimana perang itu  dilaksanakan, dialami, dan diingat oleh sekelompok 
luas orang yang terkait kejadian ini – khususnya menurut perkiraan 160.000 
militer yang berbahasa Belanda di antara 220.000 militer. Penyelidikan itu 
menghasilkan kesan dan wawasan yang sangat menarik, meskipun sering juga 
saling bertentangan.
Korpus yang terdiri dari 659 judul5 itu  sangat luas, namun  belum 
mewakili seluruh angkatan bersenjata. Ke-1.362 penulis atau pembicara – hampir 
semuanya laki-laki, sebagian besar lahir di Belanda – yaitu  sekelompok orang 
luar biasa. Mereka ini yaitu  sejumlah kecil sekali dari golongan itu  – hanya 
0,5 persen lebih dari jumlah total angkatan bersenjata, hampir 1 persen dari 
militer Belanda yang menentukan pilihan mereka untuk menuliskan sendiri atau 
dengan bantuan orang lain dan kemudian juga membagikan pengalaman dan/
atau kenangan mereka, atau mereka yang tulisannya diserahkan secara anumerta. 
Kelompok ini tentu tidak mewakili seluruh bagian angkatan bersenjata Belanda 
di negara kita . KNIL kurang terwakili dalam korpus ini.
Dalam penjelasan metodologis di bagian belakang artikel  ini diuraikan lebih 
mendalam tentang masalah keterwakilan itu . Pada pembicaraan masalah 
itu  juga ada kriteria lain yang dibahas, yaitu: apakah ada perbedaan antara 
5  Tidak termasuk naskah  ego Benno van Eijnt, Lieve ouders (‘Orang tua sayang’, 2013), yang 
meskipun dipakai  dalam teks namun  tidak ditambahkan ke pangkalan data, sebab  ‘artikel  
korespondensi’ ini masih dalam embargo.
26

tentara profesional, sukarelawan perang, dan tentara wajib militer, dan apakah 
ada perbedaan latar belakang. ‘Militer dalam dinas perang Belanda’ tidak sama 
dengan ‘militer Belanda’. Pasukan tentara dari KL dan KM hampir semuanya 
orang Belanda; sebaliknya, pasukan tentara KNIL yang bertugas bersama dan 
terutama di bawah orang Belanda, sebagian besar merupakan tentara yang direkrut 
secara lokal. Hanya sebagian kecil orang KNIL yang bisa terdaftar sebagai ‘orang 
Eropa’. Kalau dilihat dari latar belakang daerah dan etnis mereka (warna kulit, 
agama, bahasa), mereka membentuk kelompok yang sangat beragam. Kelompok 
itu  sangat sedikit terwakili di dalam korpus. Para militer yang direkrut di 
Belanda juga bisa dibedakan menurut daerah asal, latar belakang agama, tingkat 
pendidikan, dan mungkin juga warna pilihan politik mereka.
naskah -naskah  ego menjadi semakin penting dalam penelitian 
sejarah sosial dan budaya, juga jika fokusnya justru ada pada pengalaman 
dan perspektif ‘orang biasa’. Istilah itu  memang kurang enak, namun  bisa 
memperlihatkan dengan baik bahwa penelitian itu terutama berkisar pada 
pencarian suara yang lain dari suara para elit yang kini sangat mendominasi 
arsip tradisional. Juga dalam penulisan sejarah militer, pemakaian  naskah -
naskah  ego mengalami kemajuan pesat. Hal itu  terutama terjadi sebab  
perang-perang besar abad kedua puluh lebih banyak menghasilkan tulisan dari 
medan perang berdarah yang berasal dari para militer di mana mereka secara 
terbuka menulis tentang pertempuran itu sendiri, tentang hubungan-hubungan 
dalam tentara mereka, tentang musuh dan juga tentang emosi yang dibangkitkan 
oleh perang pada mereka. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, naskah  ego 
tentang peperangan telah menjadi genre tersendiri, dengan konvensi-konvensinya 
sendiri dan bagi peneliti merupakan tantangan sendiri.
Hampir semua militer menulis surat, beberapa dari mereka – jumlahnya 
tidak diketahui – juga menulis artikel  harian. Semua itu mereka tulis, begitulah 
anggapan kita, untuk merekam peristiwa, kesan, dan perasaan, agar penulis 
memiliki  pegangan, agar bisa mereļ¬‚eksikan diri, dan mungkin juga untuk 
menghilangkan kebosanan. Jadi, bagaimanapun juga, kegiatan mereka itu yaitu  
suatu pilihan yang disadari. Namun sayangnya, dari naskah -naskah  ego yang 
diterbitkan, korespondensi dan artikel  harian hanya merupakan bagian yang sangat 
kecil. Seringkali korespondensi dan artikel  harian itu baru ‘diserahkan’ belakangan 
oleh keluarga mereka, dan kadang-kadang penulis-penulis itu memakai bahan itu 
pada saat menulis memoar mereka. Bagian terbesar dari korpus itu  berupa 
literatur yang didasarkan pada ingatan-ingatan mereka. Tentu saja kami melacaki 

27
naskah -dukumen ego itu untuk mendapatkan fakta-fakta keras dan juga 
petunjuk-petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. namun  
sepertinya naif kalau mengartikan naskah -naskah  ego itu  sebagai 
kesaksian langsung perang dan akibatnya. Bahkan penulis artikel  harian pun 
memiliki  kecenderungan untuk menyaring pengamatan, pengalaman, dan 
perasaan mereka, mungkin untuk menyelamatkan diri atau menguatkan hati, 
mungkin juga untuk memberi  makna dan arah hidup mereka di angkatan 
bersenjata, atau mungkin diam-diam, namun sebenarnya juga mengharapkan 
tulisannya akan memiliki  banyak pembaca di masa depan. Penyaringan ini 
terutama berlaku untuk penulis surat yang langsung mengarahkan tulisannya 
kepada keluarga, teman atau kenalan, dan juga sengaja memilih apa yang akan 
atau tidak akan mereka katakan.
Dalam ini , sensor juga memiliki  peran: tidak semuanya boleh 
diberitakan, tapi sampai sejauh ini, masalah itu tidak memainkan peran besar. 
Yang lebih penting yaitu  bagaimana tentara itu mempertimbangkan perasaan 
mereka yang ditinggalkan di ‘rumah’ sana: mereka ingin membuat orang-orang 
di rumah tidak khawatir dengan kabar tentang bahaya-bahaya yang dihadapi, 
atau tentang perasaan dan perilaku mereka sendiri. Dan kemudian juga masih 
ada pertanyaan apakah masih ada gunanya untuk menceritakan melalui surat 
seluruh kebenaran yang ada: apa yang orang-orang di Belanda saat ini bisa 
pahami tentang situasi dunia yang jauh sekali, di negara kita ? Akan terlihat nanti 
bahwa tentara di surat-surat mereka ke rumah sering sengaja menahan diri dalam 
menggambarkan situasi-situasi yang sulit, termasuk mengenai kekerasan.
naskah  ego yang jumlahnya tidak seberapa yang sudah diterbitkan 
selama konļ¬‚ik itu, terutama bertujuan memperkuat hubungan pihak keluarga 
dan handai tolan di tanah air dengan para pasukan perang. Sebagaimana kepala 
staf angkatan perang Belanda Jenderal Hendrik Kruls pada tahun 1947 menulis 
dalam artikel nya Op inspectie (Pada pemeriksaan):
[artikel  ini] hanya bertujuan sedikit memberi sumbangan untuk membangkitkan 
dan meningkatkan perhatian orang Belanda terhadap pasukan kami yang hebat 
di Hindia-Belanda dan dengan demikian lebih memungkinkan untuk mengikuti 
panggilan siaran radio untuk ikut berprihatin dengan anak-anak kami di seberang 
lautan! (Kruls 1947: 10, mem.)
28

Sebagian terbesar naskah  ego yang diteliti, pada akhirnya ditulis, dicatat, 
dan diterbitkan. Ditujukan untuk publik mana? Berbeda-beda. Sebagian yang 
penting dari naskah  ego itu ditujukan bagi masyarakat pada umumnya. Sebuah 
genre tertentu, artikel  kenangan, terutama ditujukan pada kawan-kawan yang kini 
sudah tua, yang seperjuangan dan yang dari unit militer tertentu. artikel -artikel  
itu memuat kenangan lama yang dikumpulkan untuk menyangga hubungan 
persahabatan. Yang ingin didirikan yaitu  juga semacam monumen peringatan 
tertulis bagi semua prajurit dan terutama bagi mereka yang gugur dalam perang 
itu. Sebagaimana pastor tentara Leo Goossens menulis dalam kata pengantar 
sebuah publikasi dari Katholieke #uisfront:6 
Dalam artikel  ini kenangan-kenangan akan militer kami di Hindia akan tetap 
hidup. artikel  ini seperti monumen sederhana yang kecil yang memuji prestasi-
prestasi mereka. [...] Biarkan artikel  ini memuji para pembawa Keadilan dan 
Kebebasan. (Goossens 1948: pengantar, art.)
Sering tertulis bahwa artikel  dipakai untuk menyimpan kenangan dan juga 
untuk orang lain yang terlibat – militer, politikus – menggambarkan ‘bagaimana 
keadaan yang sebenarnya’. Motif itu  dengan berlalunya dasawarsa semakin 
menonjol dan publik yang dituju semakin luas saja: keluarga, teman, kenalan. 
Dan akhirnya, pada saat pemunculan artikel  memoar mencapai puncaknya, di 
dalam keluarga bukan hanya wanita dan anak-anak saja lagi yang terlibat dan 
dituju; kakek juga menceritakan permasalahannya kepada cucu-cucunya. Yang 
mengena yaitu  apa yang pada tahun 1999 ditulis Anton de Graaļ¬€ – pengarang 
sejumlah artikel  dan naskah  ego tentang perang ini – dalam artikel nya, Vertel het 
je kinderen, veteraan! (Ceritakan kepada anak-anakmu, veteran!): 
Mantan tentara Hindia-Belanda sekarang semuanya sudah di atas 70 tahun dan 
mereka semakin menyadari bahwa informasi ini perlu dibuat sekarang, jika tidak 
maka sejarah itu  akan terkubur bersama kami. Bahkan juga jika anak-anak 
kami sekarang mungkin belum tertarik akan ini  – ketertarikan itu pasti akan 
datang pada mereka setelah kami tidak ada lagi, namun  pada waktu itu mereka 
tidak bisa bertanya apa-apa lagi kepada kami! (De Graaļ¬€ 1999: 7, mem-srt.)
6  Lembaga Katolik yang berkaitan dengan urusan tentara yang pergi bertugas ke medan perang 
dan keluarga yang ditinggalkannya.

29
Ini yaitu  motif yang berulang:
Keinginan sederhana kami yaitu  bahwa periode ini, yang tidak pernah bisa dan 
tidak pernah ingin kami lupakan, akan tetap hidup untuk generasi yang akan 
datang setelah kami. Kami percaya bahwa artikel  peringatan ini akan merupakan 
sumbangan untuk tujuan itu . (Freek de Keizer, dalam Bentschap Knook dan 
De Keizer 1990: 7, mem-bk.)
Meskipun demikian, saya pernah menceritakan kepada anak-anak saya 
tentang pengalaman saya. Mereka berulang kali meminta saya untuk menuliskan 
cerita ini dan akhirnya permintaan itu saya penuhi. (Ed Mahler, dalam Mahler 
1992: 9, mem.)
Saya telah mencoba memberi gambaran yang jujur dan terutama akurat tentang 
apa yang terjadi dalam jangkauan pandangan saya, dengan harapan bahwa 
mereka yang usianya jauh lebih muda, akan dapat mengerti mengenai apa yang 
telah terjadi waktu itu. (Joop van der Meij, dalam Van der Meij 1997: 9, mem.)
Inisiatif untuk menulis artikel  atau menuliskan kenangan-kenangan diri dengan 
bantuan orang lain, tidak selalu datang dari para veteran itu sendiri. Meskipun 
motif penuh frustasi seperti ‘tak akan ada orang yang tertarik dengan masa hidup 
saya di Hindia-Belanda’ berkali-kali muncul, ada juga banyak veteran yang 
mengakui mereka menuliskan pengalamannya atas permintaan orang-orang dari 
lingkungan langsung mereka.
Rencana pertama kami yaitu  untuk menuliskan ini  bagi lingkungan dekat 
keluarga kami, namun  ketika kami mulai mengerjakannya dan niat ini menjadi 
‘diketahui’ orang lain, ada permintaan dari para veteran dan kenalan-kenalan lain 
apakah memungkinkan untuk menerbitkan kenangan itu  dalam bentuk 
artikel . (Jan Kot, dalam Kot dan Kot 2002: 10-11, mem-bk.)
Paling tidak pada beberapa dasawarsa terakhir juga tumbuh minat jurnalistik 
untuk kisah-kisah dari suatu generasi yang semakin menipis jumlahnya yang tidak 
mampu lagi untuk duduk di belakang komputer menuliskan kenangan-kenangan 
dan reļ¬‚eksi mereka. 
30

Penerbitan naskah  ego diperlukan untuk mengabadikan kenangan itu , 
untuk ‘menceritakan kisah yang sebenarnya’. Untuk keperluan itu kadang orang 
memakai catatan-catatan yang dibuat mereka semasa perang:
Apa yang dulu terjadi di Jawa Tengah harus tidak boleh saya lupakan. Pada saat 
itulah saya berniat untuk menuliskan semuanya, persis seperti apa yang terjadi 
waktu itu. (Hans Gerritsen, dalam Gerritsen 1987: 15, mem.)
Dengan tidak sepenuhnya ingin terikat dibuat pernyataan-pernyataan tentang 
kenyataan yang sebenarnya:
Kejadian-kejadian yang sebenarnya yang tercatat di dalam artikel  ini, memang 
benar-benar terjadi seperti itu namun  saya menambah-nambahkan cerita sedikit 
dan kadang-kadang agar mudah dibaca beberapa hal ditempatkan bersama. (Ko 
van Rooijen, dalam Van Rooijen 1986: pengantar, bh.)
Apakah semuanya diceritakan ‘menurut yang sebenarnya’ di dalam artikel  
kenangan ini!? Saya harap saja begitu, dan memang diusahakan setulusnya. 
Gunung-gunung tidak dilukiskan lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya dan 
apabila Anda membaca tentang lumpur maka memang pada waktu itu betul-betul 
ada lumpur. namun  apabila saya ternyata ‘di sana-sini’ meleset, maka sebelumnya 
saya mohon maaf. (Toon Nieskens, dalam Nieskens 1993: 5, bh-mem.)
artikel  ini menggambarkan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi menurut 
pengalaman saya sebagai militer pada tahun 1945 sampai 1948 seperti catatan saya 
pada waktu itu yang hampir setiap hari saya buat. Saya tidak menambahkan apa-
apa, kecuali, sebab  banyaknya bahan tulisan saya, saya harus memendekkannya. 
[...] Semuanya merupakan kebenaran seperti yang saya saksikan pada masa itu; 
jadi, itu yaitu  kebenaran saya. (Wim van Hamersvelt, dalam Van Hamersvelt 
1995: 3, bh.)
Seringkali tulisan itu juga tentang meluruskan gambaran yang menurut mereka 
kurang mantap atau tidak benar.
Saya mengharap moga-moga artikel  ini akan dapat menyumbangkan sampai [...] 
pada pengertian yang tepat khususnya tentang angkatan perang Belanda dan 
Hindia-Belanda, yang pada umumnya memperlihatkan baiknya nilai mereka 
selama menunaikan – sebut saja – sebuah tugas yang tidak memberi  kepuasan 
(G. van Heek, dalam Van Heek 1952: 9-10, mem.)

31
Semua orang ramai membicarakan tentang pendudukan Jerman, kamar-
kamar gas, kamp konsentrasi Jepang untuk perempuan, namun  orang mendiamkan 
saja nasib ratusan ribu wanita dan anak Indo-Belanda, yang pertama-tama hidup 
dalam neraka pada pendudukan Jepang dan kemudian jatuh lagi di neraka pada 
masa Soekarno dan kaki tangannya. Saya mengharap moga-moga artikel  saya Allen 
zwijgen (Semua berdiam) bisa sedikit menguak rahasia tirai bambu. (Math Jalhay, 
dalam Jalhay 1983: kata pengantar, mem.)
Juga ada pengarang yang memberi  kesempatan pada orang lain untuk 
menyebutkan tentang motif pengakuan dan pelurusan – mungkin veteran 
‘mereka’ berbicara tentang hal itu:
Bagi semuanya yang lebih beruntung dan selamat, singkatnya bagi setiap orang 
yang tertarik pada apa yang Bart [Korsten] pada waktu itu lakukan atas dasar 
idealisme, dorongan untuk merasa bebas dan usaha mencapai keadilan. (H.W. 
Korsten tentang kakaknya Bart Korsten yang tewas di perang, dalam Korsten 
2004: 7, bio.)
Kami mengharapkan moga-moga kisah-kisah ini menjadi sumbangan 
terhadap penghargaan bagi ‘veteran’ pada umumnya dan ke delapan orang ini 
pada khususnya. (Hetebrij dan Beijer 2009: 3, bk-mem.)
Biasanya pengertian ‘meluruskan’ ditujukan untuk mengoreksi gambaran 
yang dianggap tidak benar. namun  ada pula orang yang justru butuh untuk 
menerangkan langkah-langkah salah yang menurut mereka kurang mendapat 
perhatian atau ditutup-tutupi, atau paling tidak memungkinkan adanya diskusi 
mengenai hal itu. Sekali lagi De Graaļ¬€, berbicara tentang masalah legitimasi 
perang dan ekses-ekses:
Ekses-ekses terjadi pada kedua belah pihak. Ekses-ekses yang selalu terjadi di setiap 
perang. Oleh sebab itu, marilah – dengan segala kejujuran dan keterbukaan – 
mencoba berbicara dengan anak-anak dan cucu-cucu kita. Marilah menceritakan 
mereka tentang semua yang dulu terjadi. Mari menceritakan mereka juga tentang 
apa yang dulu salah. Hanya dengan cara demikian bisa dicegah semua hal seperti 
itu terjadi kembali. (De Graaļ¬€ 1999: 26, mem-srt.)
naskah -naskah  ego, baik secara sengaja atau tidak sengaja semakin banyak 
berfungsi sebagai medium untuk mereļ¬‚eksikan diri terhadap perang dan terhadap 
32

peran mereka sendiri di dalamnya. Penulisan mengenai hal itu termasuk bagian 
dari proses cara mengatasi masalah perasaan keterlibatan mereka. Bagi beberapa 
orang, seperti halnya dengan veteran Jan Dekker, mengunjungi negara kita  juga 
merupakan salah satu cara mengatasinya:
Keinginan untuk kembali lagi ke negara kita , selalu saya semangati dan secara tidak 
sadar saya rasakan sebagai proses cara mengatasi banyaknya kenangan dan emosi-
emosi yang saya alami dulu di sana. (Dekker 1999: 4, mem.)
Motif reļ¬‚eksi diri sering terulang-ulang:
Oleh sebab itu saya ingin menceritakan tentang seluruh periode itu dengan 
cara saya sendiri dan dengan bahasa yang tanpa ditutup-tutupi. sebab  yang 
berada di Hindia-Belanda bukanlah pahlawan. Itu sudah pasti dan saya sendiri 
mengalaminya. [...] Itulah kami dahulu. Oleh sebab itu, jadikan cerita ini sebagai 
peringatan, sebab  saya lihat di mana-mana di sekitar saya ada tanda-tanda 
terjadinya perulangan. (Bertus van Gils, dalam De Hoogh dan De Hoogh-Sierat 
[198?]: 10-11, bio.)
Kami ingin merekonstruksi kejadian dahulu itu untuk diri kami sendiri, 
merenungkan kembali, mencoba mengatasi perasaan yang mengganggu itu, di 
kepala dan di hati dan ... ah, ... kalau kami suka menulis maka pada suatu hari 
muncullah cerita itu di kertas. (BĆ© Ronner, dalam Ronner 1993: 7, mem-bh-srt.)
Juga ada ruang untuk pertanyaan-pertanyaan yang luas, juga tentang pelajaran-
pelajaran yang mungkin bisa dipelajari:
Saya ingin sejujur mungkin menceritakan tentang apa yang kami kerjakan 
pada masa itu. Mungkin hal itu akan bisa menolong saya dan orang lain dalam 
pemikiran dan tindakan politik kita dan juga dapat menekan bertambahnya 
pemakaian  kekerasan. (Jan Glissenaar, dalam Glissenaar 1992: 44, mem.)
Anda mengerti bahwa saya [...] dengan aktivitas ini saya tidak bermaksud 
menghilangkan pengalaman traumatis saya, atau ingin menikmati rasa egosentris 
saya. [...] Maksud saya yaitu  lebih menampilkan suatu pendapat tentang 
bagaimana angkatan perang seharusnya berfungsi, juga pada saat sekarang ini. 
(Bert SchĆ¼ssler, dalam SchĆ¼ssler 1998: 239, mem.)
Hanya pemuda kami dari batalyon mana saja yang dapat menceritakan 
bagaimana rasanya untuk berjalan berpatroli selama tiga hari berturut-turut 
dengan kaki yang selalu basah dan pakaian seragam yang kuyup dengan keringat. 

33
Hanya pasukan yang ikut ambil bagian dalam aksi yang disebut dengan aksi-
aksi polisional, bisa menceritakan apa artinya untuk dengan perasaan sangat 
lelah mencari tempat berlindung dari tembakan musuh. Dan hanya tentara yang 
berada di sana yang dapat menceritakan tentang malam-malam ketika harus 
berjaga namun  tidak dapat menduga dan melihat dan tidak tahu apa yang akan 
terjadi ke depan. Pertanyaan yang timbul tentunya yaitu  apakah semua ini harus 
diceritakan dengan mendetil. [...] Pasti ada pelajaran penting dalam laporan-
laporan saksi dari mereka yang melihat dengan mata sendiri serta mengalaminya 
pada saat itu. (Carel Tuyl, dalam Schuurmans 2012: 281, bk-kpln.)
Dengan semua tulisan di atas tentu saja bukan berarti bahwa akhirnya semua 
orang mau menceritakan kisahnya – jauh dari kenyataan itu. Kisah dari para 
veteran yang membungkam diri ada banyak sekali, dan semuanya dibuktikan 
dengan angka-angka yang akurat: hanya sebagian kecil dari kelompok minoritas 
itu  yang menuliskan kenang-kenangan mereka. Tetap membungkam yaitu  
yang lebih banyak terjadi. Dua orang janda tentang suami mereka: 
Saya tidak bisa menceritakan apa-apa tentang masanya di Hindia-Belanda; Henny 
[van Benthem] tidak pernah, yang saya maksud di sini yaitu  betul-betul tidak 
pernah menceritakan tentang hal itu . Kadang-kadang sekali saya membuka 
pembicaraan tentang itu, namun  satu-satunya yang dia katakan yaitu : ‘Het was 
ginne mooie tied’ (Bukan masa yang menyenangkan). Cuma itu saja. (Mevrouw 
van Benthem, dalam Morshuis dan Oude Elberink 1996: 28, bk-int-kpln.)
Saya beberapa kali mencoba agar dia [Tonnie Kamphuis] berbicara mengenai 
periode itu, namun  tanpa hasil. Tonnie tidak menceritakan apa-apa, sama sekali 
tidak! (Mevrouw Kamphuis, dalam Morshuis dan Oude Elberink 1996: 69, bk-
int-kpln.)
Kenyataan bahwa naskah -naskah  ego ini – secara individu dan kadang 
juga kolektif – baru lama di belakang hari dituliskan, mengakibatkan adanya 
pembatasan-pembatasan. Ketika para veteran menuliskan ingatan-ingatan 
mereka, yang baru terjadi bertahun-tahun kemudian, seiring berjalannya waktu 
maka memudarlah ingatan: apa yang diingat, atau setidaknya apa yang dituliskan 
dari ingatan itu , tidak hanya terbatas sebab  daya ingat bisa keliru, namun  
juga diwarnai oleh kesadaran bahwa tidak semua kenangan dan pengamatan 
dalam konteks zaman kini yang telah berubah, bisa diterima atau relevan. 
Ketika orang lain di kemudian hari ‘menyerahkan’ tulisan dan kenangan dari 
seorang veteran, tidak pernah bisa dipastikan apakah mereka memilih-milih 
34

dan menyeleksinya lebih dahulu, sebab  mungkin untuk menjaga reputasi dari 
anggota keluarga atau teman yang mereka sayangi. Dalam naskah  ego yang 
terbit atas dasar wawancara, faktor yang sama juga bermain peran. Tambahan 
pula kedinamisan antara pewawancara dan yang diwawancarai tidak netral. 
Pewawancara memimpin pembicaraan, sehingga dia juga yang mengarahkan 
ingatan-ingatan dan kisah mereka.
Pembatasan ini tidak mempengaruhi nilai unik naskah  ego sebagai 
sumber sejarah. Namun, harus disadari bahwa mereka kadang-kadang lebih sedikit 
bercerita tentang peristiwa-peristiwa itu sendiri daripada tentang penghayatan dan 
upaya pengatasan masalah itu , bahwa mereka mencerminkan berjalannya 
waktu, dan apa yang tĆ­dak dikatakan juga bisa punya banyak arti. Bagaimanapun 
juga latar belakang pribadi, motif dan juga pengalaman nyata dari orang-orang 
di balik naskah  ego sangat beragam. ini  membuat sulit untuk menemukan 
faktor kesamaan mereka. Hal yang justru sangat menyolok yaitu  keberagaman 
penghayatan dan ingatan.
naskah -naskah  ego yang diteliti dalam artikel  ini jelas belum 
memberi  gambaran lengkap yang mendasari terjawabnya pertanyaan-
pertanyaan tentang kekerasan perang. Tidak semuanya diungkapkan. Kadang-
kadang ada yang agak diputar-putar, dan kadang juga ada yang diutarakan 
dengan tanpa tedeng aling-aling: 
Sepertinya digambarkan seolah-olah kami semua di sana bertindak seperti 
binatang dan penjahat dari jenis yang paling kejam. [...] Nah, semua ingatan jadi 
datang lagi dan kami harus memprotes. [...] Kini, oleh sebab  itu saya menulis 
artikel  harian ini, tanpa dibumbui, namun  seperti yang terjadi dahulu. Tidak ada 
yang bohong dan tidak ada yang dilebih-lebihkan. Tidak semuanya dituliskan, 
sebab  memang tidak mungkin untuk menuliskan semuanya. Mungkin saya akan 
menyakiti perasaan yang saya tinggalkan kelak dan saya tidak mau melakukan itu. 
Tapi bukan berarti saya menutup-nutupi ‘hal-hal yang kotor’, namun  orang tidak 
mungkin bisa menceritakan semuanya. (Gerben Deters, dalam Deters 1994: 8, 
bh-mem.)
Cerita-cerita tentang ‘api dan darah’ sudah banyak dituliskan dan meskipun 
betapa menariknya cerita-cerita itu, saya tidak mau ikut terkait. Juga ada cerita-
cerita yang tidak diceritakan. Kalau diceritakan bisa menyobek kembali luka 
lama. Cerita-cerita seperti itu juga tidak akan ditemukan di artikel  ini. (Jan Maas, 
dalam Maas 1999: 5, mem.)

35
Yang memang dibicarakan dalam naskah  ego tentang kejahatan perang yang 
mungkin terjadi yaitu , bahwa hal itu – ini harus dikatakan – seringkali ada 
dalam konteks yang tidak memberi  gambaran peristiwa-peristiwa khusus. 
Sumber-sumber itu  menjelaskan adanya kenyataan yang kompleks di mana 
gambaran-gambaran klise tentang pahlawan dan bajingan kurang tepat, tentang 
budaya militer yang dalam konteks kontragerilya Belanda mewujudkan praktik-
praktik dan norma-norma sendiri. Kami melihat pengarahan dan pengontrolan 
terbatas dari atas, adanya pergeseran pandangan tentang apa yang bisa dan yang 
tidak diperbolehkan, dan biasanya sebagian merupakan improvisasi, namun  
kadang-kadang merupakan pemakaian  struktural kekerasan di luar batas 
tindakan perang yang biasa. Renungan Ben Loohuis, beberapa puluh tahun 
kemudian, Mencirikan upaya agar orang luar bisa memahami bahwa kini berlaku 
norma yang berbeda daripada dahulu:
Sekarang, 50 tahun kemudian, tindakan-tindakan itu  [mengeksekusi 
tawanan] memberi  kesan yang tidak baik. namun , pada masa itu orang tidak 
berpikir begitu. Perang gerilya yaitu  kotor dan jahat bagi kedua belah pihak. Yang 
terpikirkan yaitu  masalah menyelamatkan diri. Lagi pula aksi-aksi para pelopor 
tak berperikemanusiaan dan mengerikan. Tidak ada banyak belas kasihan, justru 
yang ada yaitu  sebaliknya, bagi kedua belah pihak. (Loohuis 1999: 71, bk-mem.)
Hal itu  berlawanan dengan apa yang pada tanggal 10 Agustus 1949 ditulis 
Benno van Eijnt, tentara wajib militer dan calon ekonom, kepada orang tuanya 
tanpa dimanis-maniskan:
Setiap bom dan setiap peluru serasa menembus jantung saya apabila saya 
memikirkan korban yang mungkin kena serangan itu. Di tempat-tempat manapun 
yang saya singgahi, selalu ada mata-mata tak mengerti, yang memandangi saya 
dengan putus asa, yang memohon untuk tidak ditembak oleh manusia-manusia 
yang buas seperti binatang dan yang mengambil alih tangan Tuhan untuk 
menghabisi nyawa orang-orang naif itu . (Van Eijnt 2013: 123, srt.)
Berkaitan dengan hal itu yaitu  reļ¬‚eksi tentang apa gunanya perang, kepercayaan 
dalam misi untuk memulihkan kekuasaan dan ketertiban demi kebaikan 
penduduk. Mungkin banyak orang pada awalnya mendukung kata-kata Willem 
Brandt:
Politik kalangan atas, jauh dari kami. Kami hanya prajurit dan kami hanya 
disuruh memperbaiki persoalan-persoalan yang sederhana saja: kami harus 
menyelamatkan rakyat dari keruntuhan mereka. 
Namun, berangsur-angsur banyak orang yang semakin meragukan pernyataan 
itu. Dan dalam kasus Willem Brandt – nama samaran Willem Klooster – yaitu  
mengenai seorang embedded journalist (wartawan yang diikutsertakan dalam 
pasukan), yang dibebani tugas oleh pimpinan tentara untuk menuliskan kisah-
kisah di tempat guna mendukung misi itu . Jadi, bukan sumber-sumber 
yang dapat dipercaya begitu saja. Sudah pasti tidak semua prajurit melihat misi 
itu  sebagai yang diperlihatkan oleh Brandt pada tahun 1947. naskah -
naskah  ego penuh dengan kemarahan tentang kurangnya peralatan dan 
pelatihan, tujuan yang tak terjangkau, keraguan dan sinisme tentang misi 
itu , yang di tahun-tahun kemudian semakin menjadi lebih kuat saja. Sejajar 
dengan hal itu timbul pengamatan tentang penduduk lokal dan tentang ruang 
lingkup nasionalisme. Rasa tidak mengerti, simpati, paternalisme, dan juga 
rasisme. Secara bersamaan, sinisme tentang kepemimpinan politik dan politik 
internasional yang melemahkan perjuangan militer semakin lebih jelas dan justru 
menjadi argumen untuk mendukung perang.
Keterasingan juga, yang bagi beberapa orang tampaknya seperti derita tidak 
ada habisnya. Pertama, rasa tidak mengakar di daerah tropis, kemudian timbul 
perasaan yang merayapi yang memberi  pemikiran bahwa mungkin orang-
orang di rumah sana, di Belanda, tidak punya gambaran mengenai apa yang 
terjadi di tempat yang jauh ini dan juga tidak berusaha untuk mengerti hal itu. 
Dan akhirnya, perasaan terasing pada waktu kembali ke Belanda, perasaan adanya 
jarak yang tumbuh, kesadaran bahwa banyak pengalaman di Hindia-Belanda 
yang tidak memungkinkan untuk berbagi, keputusan atas dasar kesadaran, atau 
mungkin kebiasaan yang secara tidak sadar tumbuh sendiri untuk toh lebih baik 
tutup mulut. Gambaran yang muncul dari artikel  ini yaitu  tidaklah seragam. 
Bagaimana bisa seragam kalau jumlahnya berkenaan dengan 1.362 individu. 
Tentu saja pasti ada cukup banyak orang yang bisa meneruskan dan menikmati 
kehidupan mereka lagi dan menganggap selingan hidup di negara kita  yaitu  
masa lalu yang sudah berada di belakang mereka. Kelompok itu, mungkin malah 
merupakan kelompok mayoritas, bisa jadi tidak banyak terwakili di antara para 
penulis memoar itu . Jan de Golde mengacu pada perasaan campur-aduk 
itu :
Masih ada sangat banyak orang yang serasa hidup di neraka, yaitu seperti Hindia-
Belanda bagi kami dulu. Tapi meskipun begitu, kami mencintai negara dan 
rakyat itu. Tidak ada barang berharga apapun yang bisa mengganti perasaan kami 
terhadap negara itu. (De Golde 2001: kata pengantar, mem.)
Pernyataan yang terakhir itu merupakan suatu pengamatan, akan terbukti 
nantinya, yang tidak semua orang dalam korpus naskah  ego ini akan setujui.
hoogenboomi1