tentara belanda di indonesia 2
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
tentara belanda di indonesia 2
h para pemimpin Republik. Namun, bukan berarti bahwa periode ini tidak
memperuncing hubungan. Sejak masa itu, kepentingan pemulihan ketertiban
di pihak Belanda juga dilegitimasi dengan mengacu pada kepentingan untuk
8
menghindari terulangnya kembali peristiwa Bersiap. Selain itu balas dendam atas
nama anggota keluarga dan teman dari para anggota KNIL yang disiksa dan
dibunuh menjadi motif mereka untuk kekerasan yang kemudian terjadi.
Periode Bersiap pada umumnya terjadi antara September 1945 dan awal
1946. Tentara Inggris, didukung oleh tentara Jepang, bertanggung jawab atas
ketertiban, namun mereka tidak berhasil memelihara ketertiban itu dengan baik.
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur-Jenderal Huib van Mook, kekuasaan
pemerintahan Hindia-Belanda berada lagi di Batavia/Jakarta pada Oktober
1945. Seperti juga pada sebelum masa pendudukan Jepang, pemerintah Hindia-
Belanda memiliki otonomi tertentu terhadap kebijakan politik Belanda, namun
dalam praktiknya ‘Batavia’ semakin tergantung pada pemerintah Belanda di Den
Haag. Pemerintah Hindia tidak memiliki kekuatan militer dan polisi untuk bisa
memerangi Republik negara kita dengan kuat. Pembangunan angkatan polisi
sudah pasti tidak akan berhasil.
Pembangunan kembali tentara dan angkatan laut yaitu cerita yang lain.
Sebelum Jepang menyerah, tentara KNIL sudah dihidupkan kembali, meskipun
masih berada dalam pengasingan di Australia. Pada bulan-bulan berikutnya,
pasukan tentara profesional kolonial dibangun, baik dari para militer sebelum
perang, yang kebanyakan bekas tahanan perang yang baru saja dibebaskan,
maupun dari para sukarelawan baru. Kekuatan militer itu pada akhir tahun 1946
ada 37.000 orang, dua tahun kemudian bahkan mencapai 60.000 orang; antara
tahun 1945 dan 1950, KNIL diperkirakan terdiri dari sekitar 75.000 – 80.000
orang. Peningkatan pasukan dari Belanda tertunda lebih lama, oleh sebab Inggris
menahan proses debarkasi mereka. Batalyon-batalyon lengkap pertama dari para
sukarelawan perang Belanda baru tiba pada bulan Maret 1946, pasukan pertama
dari para wajib militer, Divisi pertama ‘7 Desember’ baru tiba pada musim gugur
1946. Di Den Haag menjadi jelas bahwa pertempuran itu akan berlangsung
lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan, dan juga menjadi jelas bahwa jika
hanya KNIL bersama para sukarelawan perang saja, maka mereka tidak akan bisa
memperbaiki keadaan. Oleh sebab itu, pada musim semi 1946 undang-undang
dasar diubah agar para wajib militer juga bisa dikerahkan. Pada akhirnya akan
ada 100.000 wajib militer Belanda yang dikirim ke Hindia, di samping sekitar
30.000 sukarelawan perang dan sekitar seribu tentara profesional. Selain itu di
kepulauan Nusantara, ada puluhan ribu tentara KNIL rekrutan. Jadi jumlah
totalnya, termasuk beberapa penghitungan tumpang tindih, sekitar 220.000
orang, hampir semuanya laki-laki: 120.000 dari Koninklijke Landmacht (KL,
9
Angkatan Darat), 75-80.000 dari KNIL dan 20.000 dari Koninklijke Marine
(KM, Angkatan Laut).2
Jumlah terbesar aparat militer dicapai pada semester pertama tahun
1948, ketika berbagai bagian pasukan itu bersama-sama berjumlah sekitar
150.000 tentara, termasuk para KNIL; kemudian dimulai pemulangan angkatan
pertama, yang sementara itu telah menjadi para sukarelawan perang yang sangat
berpengalaman. Dari 220.000 orang itu, sekitar 160.000 berasal dari Belanda,
atau termasuk kelompok yang di Hindia-Belanda digolongkan sebagai masyarakat
‘Eropa’, dan 60.000 pribumi.
Sebagai bagian dari KNIL ada ‘pasukan-pasukan khusus’, komando-
komando yang jumlahnya tidak pernah lebih dari seribu, namun memiliki
arti yang sangat penting, yaitu pasukan Depot yang kemudian menjadi Depot
Speciale Troepen/Korps Speciale Troepen (DST/KST, Depot Pasukan Khusus/
Korps Pasukan Khusus), ‘Baret Hijau’ yang dihubungkan dengan nama Kapten
Raymond Westerling; dan ‘Baret Merah’ yang merupakan pasukan paramiliter.
Berbeda dengan angkatan bersenjata bagian Belanda, pasukan KNIL termasuk
DST/KST di segi etnis beragam, setidaknya mereka yang berpangkat rendah.
Pangkat tertinggi diduduki oleh orang-orang Belanda, di bawahnya terutama
militer yang direkrut secara lokal. Sebagian merupakan orang-orang yang secara
hukum yaitu ‘orang Eropa’, baik Belanda totok, yaitu orang berkulit putih yang
lahir di Hindia, maupun kaum Indo, yaitu orang dari keturunan Eropa-Asia.
Sebagian lainnya lagi terdiri dari mereka yang disebut sebagai ‘pribumi’: orang-
orang Jawa, Maluku atau Ambon, Manado, dan Madura.
Pemerintah Belanda dan Hindia-Belanda, meskipun keengganan besar
mereka terhadap orang Republik dan terutama terhadap ‘kolaborator’ Sukarno,
segera paham bahwa bagaimanapun juga mereka harus berbicara bersama
dan akhirnya berunding. Tindakan ini perlu dilakukan sebab opini publik
internasional sudah semakin kritis terhadap upaya Belanda untuk mengembalikan
status quo kolonial atau setidaknya bisa mengatur masa peralihan bertahap
menuju masa hubungan-hubungan pascakolonial. Yang memiliki arti besar
menuju upaya itu yaitu suatu perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 15
November 1946 di Linggarjati. Hanya dari perundingan-perundingan untuk
mencapai persetujuan itu saja mengimplikasikan bahwa Den Haag – yang didesak
2 Jumlah total 220.000 yaitu jauh lebih tinggi dari perkiraan yang biasanya (200.000); lihat
di situs laman untuk keterangan lebih lanjut mengenai angka-angka yang dikaitkan dengan
kekuatan perang: http://www.kitlv.nl/research-projects-dutch-militairy-operations-in-negara kita /
10
oleh Van Mook – mau tidak mau telah menerima kaum nasionalis sebagai lawan
bicara dan juga menyadari bahwa kemerdekaan itu dalam waktu dekat tidak
terelakkan lagi. Pada gilirannya orang-orang Republik, setidaknya pada saat itu,
menunjukkan kesediaan mereka, juga di masa depan, untuk memberi peran
khusus kepada Belanda mengenai hal yang berkaitan dengan negara kita .
Dalam perjanjian Linggarjati Belanda mengakui Republik negara kita ,
namun hanya di Jawa, Madura, dan Sumatra, sebagai salah satu negara bagian
dari negara federal negara kita Serikat, yang pada gilirannya juga menjadi bagian
dari Uni negara kita -Belanda, dengan Belanda sebagai kepala Uni. Di kedua pihak
para perunding telah berjalan jauh, yang kemudian ternyata terlalu jauh. Di
Den Haag serangkaian persyaratan tambahan dirumuskan oleh Majelis Rendah
Belanda. Persyaratan yang menurut para pakar tidak akan dapat diterima oleh
Republik. Penentang persetujuan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang
masih menunjukkan sedikit pengertian terhadap hubungan baru itu. Meskipun
Parlemen Republik menyetujui kesepakatan dalam sidang umum, namun di
negara kita perlawanan terhadap perjanjian asli begitu besar sehingga sangat
dipertanyakan apakah perjanjian itu akan bisa bertahan – meskipun pertanyaan
itu sudah tidak punya arti lagi dengan adanya perkembangan di Den Haag.
Di belakang hari sebenarnya sangat disayangkan bahwa Perjanjian
Linggarjati tidak sampai jadi dilaksanakan. Pilihan lainnya pada waktu yaitu
melanjutkan dan memperluas perang. Perang itu tidak hanya terbatas pada dua
‘aksi polisional’. Aksi itu dinamakan demikian untuk menekankan bahwa
aksi itu bukan merupakan perang kemerdekaan, namun suatu aksi untuk melawan
gangguan-gangguan dalam negeri yang berkaitan dengan ketertiban umum.
Aksi pertama (21 Juli sampai 5 Agustus 1947) dan yang kedua (19 Desember
1948 sampai 5 Januari 1949) kelihatannya memang memperlihatkan bahwa
tentara Belanda, setidaknya dalam jangka pendek, bisa memenangkan perang
konvensional terbatas itu secara meyakinkan. Terutama pada aksi kedua, untuk
pertama kalinya sebagian besar daerah-daerah di Jawa dan Sumatra secara resmi
diduduki. Namun, aksi itu menempatkan Belanda pada opini internasional
di kursi terdakwa. Sama sekali tidak membantu ketika selama aksi polisional
kedua para tokoh pemerintah Republik di bawah pimpinan Sukarno ditangkap
di Yogyakarta.
11
Selain itu, menjadi semakin jelas bahwa sayap militer dari pemerintahan
Republik, Tentara Nasional negara kita (TNI)3, dan juga berbagai kelompok
pejuang lainnya menjadi ancaman yang jauh lebih besar sebab mereka memilih
berperang secara gerilya. Strategi ‘pelelahan tenaga lawan’ itu memancing
Belanda untuk melakukan kontragerilya, yang bukan saja menuntut lebih banyak
korban daripada perang selama kedua aksi polisional yang singkat itu, namun
juga semakin mengurangi kemungkinan bisa menang. Sementara itu, kontrol
militer Belanda yang sesungguhnya sangat terbatas, meskipun aksi-aksi polisional
sepertinya telah memberi keberhasilan. Kekuatan militer yang besar itu masih
tetap terlalu kecil untuk daerah yang begitu luas, di mana ketertiban kolonial
harus dijaga, dan terlebih lagi mereka di sana tidak berhasil untuk menata kembali
aparat sipil masa sebelum perang. Masalah itu sudah mulai dirasakan setelah
aksi polisional yang pertama dan hanya semakin menjadi lebih parah ketika aksi
kedua wilayah yang resmi di bawah kekuasaan Belanda menjadi diperluas. Bukan
hanya para perunding, namun juga para militer dihadapkan pada tugas yang tidak
mungkin bisa dicapai – namun kesadaran itu datang terlambat, terutama bagi
komandan tentara Simon Spoor dan stafnya.
Akhirnya perang dekolonisasi juga diakhiri di meja perundingan. Pada
tanggal 17 Januari 1948, jauh sebelum aksi militer kedua, di sebuah kapal kapal
perang Amerika Renville ditandatangani perjanjian yang sebagian besar isinya
hampir sama dengan perjanjian Linggarjati yang empat belas bulan sebelumnya
ditandatangani oleh kedua belah pihak dan selama empat belas bulan itu ada
ribuan korban mati. namun Renville juga tidak bisa berhasil seperti halnya
Linggarjati. Enam belas bulan kemudian, pada tanggal 7 Mei 1949, para perunding
Mohamed Roem dan Jan Herman van Roijen menandatangani perjanjian
yang kemudian betul-betul menjadi dasar untuk penyerahan kedaulatan, yang
akhirnya terjadi pada 27 Desember 1949. Sejak Linggarjati, Belanda harus banyak
menyerahkan kekuasaannya. Sekarang tidak ada lagi pengawasan Belanda dalam
masa perubahan menuju kemerdekaan. Namun, pemerintah Republik masih
menyetujui negara federal negara kita , di mana Republik negara kita , meskipun
terbesar, namun bukan satu-satunya mitra, dan juga menyetujui Uni Belanda-
negara kita . Hanya delapan bulan setelah penyerahan kedaulatan, pada tanggal
17 Agustus 1950, Sukarno akan menggantikan federasi dengan negara kesatuan.
3 Pasukan Republik berturut-turut disebut sebagai TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI
(Tentara Republik negara kita ), dan TNI (Tentara Nasional negara kita ). Di dalam artikel ini
dipakai sebutan TNI.
12
Pada tahun 1956 Sukarno juga menghapus Uni secara sepihak. Aksi-aksi itu
tidak menguntungkan hubungan bilateral, dan sama halnya dengan penguasaan
Irian Barat oleh Den Haag, yang di bawah tekanan berat internasional, baru pada
tahun 1962 diserahkan kepada negara kita , melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan dengan persyaratan referendum yang diadakan belakangan.
Secara militer pertempuran ini sudah berakhir sebelumnya. Perjanjian
Roem-Van Roijen pada bulan Juni 1949 diikuti dengan kembalinya Sukarno dan
Hatta ke Yogyakarta dan gencatan senjata pada tanggal 3 Agustus. Perdamaian
yang sesungguhnya belum terjadi. Sampai pada penyerahan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember dan bahkan setelah itu masih ada banyak pertempuran,
beberapa juga memakan korban jiwa. Yang memang terjadi yaitu dimulainya
pemulangan pasukan Belanda, meskipun pemulangan pasukan militer yang
terakhir baru terjadi pada awal 1951 – lebih awal dari waktu itu yaitu tidak
mungkin sebab kapasitas kapal tidak memadai. KNIL dibubarkan secara
keseluruhan; sebagian kecil dari anggota KNIL Maluku dikapalkan ke Belanda
dan didemobilisasi di sana. Pada bulan Januari 1950 ada percobaan kudeta dari
pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dibentuk atas inisiatif dan
dipimpin sendiri oleh Kapten Westerling untuk menentang Sukarno. Namun
kudeta itu gagal total. Jadi semuanya sudah berlalu. Mantan kapten KNIL yang
bertindak sepenuhnya atas inisiatif sendiri, diselundupkan ke luar negeri dengan
perlindungan Belanda. Para militer lain yang terutama berasal dari Maluku dan
yang telah mendukung Kapten itu dalam aksi sia-sianya itu, ditinggalkan di
sana menanggung nasib mereka sendiri.
Jumlah korban jiwa di negara kita yang berasal dari dinas militer Belanda
(KL, KM, KNIL) pada periode 1945-1950 ditetapkan sebanyak 4.751 orang:
2.526 tewas di medan pertempuran dan 2.225 tewas dalam situasi lain; dari bulan
Desember 1949-1951 masih ditambahkan lagi dua sampai tiga ratus korban jiwa.
Angka ini jelas-jelas belum termasuk jumlah korban mati pada badan-badan bala
bantuan, Palang Merah, anggota polisi dan lain-lainnya yang sejenis itu. Pada
monumen Nasional Hindia-Belanda di Roermond jumlah korbannya tertera
6.226 jiwa. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah korban di
pihak negara kita , yang biasanya diperkirakan sekitar 100.000 jiwa, yang hampir
setengahnya tewas setelah aksi polisional kedua (Groen 1991: 262). Namun,
jumlah itu tetap merupakan perkiraan kasar saja. Perlu dicatat bahwa pada
perkiraan korban perang negara kita ada banyak sekali korban mati yang bukan
13
disebabkan oleh kekerasan Belanda, namun oleh sebab tewas dalam pertempuran
antar berbagai pihak negara kita sendiri yang saling bertikai.
Ada beberapa pola yang bisa dikenali sebagai latar belakang jumlah korban
jiwa mati di kedua pihak yang disebabkan kekerasan militer. Secara geografis,
pusat pertempuran ada di Jawa, dan oleh sebab itu jelas bahwa sebagian besar
korban jiwa terjadi di sana. Secara kronologis, korban jiwa yang paling banyak
jatuh pada periode terakhir, pada paruh pertama tahun 1949. Kenyataan itu
membuat semuanya lebih tragis sebab pada waktu itu sudah jelas bahwa Belanda
tidak akan memenangkan perang, tidak dalam perang kontragerilya dan juga
tidak di meja perundingan.
Kejahatan perang?
Perdebatan tentang perang di negara kita dan terutama andil Belanda di dalamnya
sering dipusatkan pada pertanyaan apakah pada waktu itu ada ‘kekerasan eksesif ’
yang dilakukan. Itu merupakan limitasi yang membutuhkan dua penjelasan.
Pertama, diskusi ini harus dipisahkan dari pertanyaan apakah aksi militer Belanda
itu bisa dibenarkan. Tentu saja, Republik negara kita selalu berpandangan bahwa
intervensi Belanda dahulu itu yaitu suatu refleks kolonial yang tidak dapat
diterima, dan memang benar, pemerintah Belanda pada tahun 2005 mengambil
jarak dari kebijakan yang dijalankan pada masa itu. Namun demikian, secara
analitis tidak ada gunanya untuk sebelumnya mencap semua tindakan Belanda
pada waktu itu merupakan tindakan yang melampaui batas. Tindakan Belanda
itu harus dipahami dalam konteks yang pada masa itu, setidaknya dari pihak
Belanda, diberikan: melindungi penduduk, memulihkan ketertiban dan
perdamaian.
Kedua, debat umum seringkali dilakukan dengan ceroboh dalam hal
pengertian seperti ‘melampaui batas’ atau kekerasan yang ‘eksesif ’ dan ‘kejahatan
perang’. Dalam semua perang pasti ada korban jatuh. Para korban yang jatuh
langsung di medan pertempuran antara pihak-pihak yang berperang, dianggap
sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, yang dalam konteks perang dianggap
normal. Semua bentuk-bentuk kekerasan – terhadap tawanan perang, terhadap
penduduk sipil – harus dinilai secara lebih kritis sesuai dengan hukum perang.
Yang dijadikan acuan di sini yaitu Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan
1907 serta empat Konvensi Jenewa yang ditetapkan sejak tahun 1864, dan
terutama Konvensi tahun 1949 dengan beberapa tambahan di kemudian hari,
14
yang sekarang didukung oleh semua negara di dunia. Tiga pertama dari Konvensi
Jenewa bertujuan melindungi para militer korban luka atau yang ditawan, yang
keempat bersangkutan dengan warga yang menjadi korban perang. Secara
keseluruhan konvensi itu memberi kerangka yang mendefinisikan apa
yang bisa dan yang tidak bisa diterima dalam situasi perang, serta kemungkinan
untuk bisa menuntut pelanggaran-pelanggaran kode ini sebagai kejahatan perang
di Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag.
Konvensi Keempat menetapkan bahwa konvensi-konvensi itu tidak
hanya mengacu pada konflik bersenjata antara negara-negara, namun juga di dalam
negara. Dengan demikian, tercipta kemungkinan untuk juga menguji tindakan
para tentara kolonial dan anti-kolonial. Suatu komplikasi hukum dalam kasus
perang dekolonisasi di negara kita yaitu bahwa konvensi baru ditandatangani
pada tanggal 12 Agustus 1949, dan pada waktu itu gencatan senjata sudah
diberlakukan. Akhirnya Belanda juga menandatangani Konvensi Keempat, namun
dalam perundingan, seperti juga penguasa kolonial lainnya, sangat berhati-hati,
sebab sadar akan situasi di tanah jajahan mereka sendiri.
Untuk penuntutan hukum kejahatan perang, Konvensi Keempat tidak
memberi kerangka yang kuat, lebih-lebih lagi sebab Belanda dan negara kita
pada bulan November 1949 telah menyepakati untuk saling memberi amnesti
untuk hampir semua kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Jadi, masalahnya
bukan lagi soal pengadilan. Namun, untuk menilai apakah menurut pandangan
kini bisa disebut ada kejahatan perang, Konvensi-konvensi itu memberi
kerangka analitis yang jelas.
Sampai saat ini, telah menjadi kebiasaan di Belanda untuk tidak berbicara
tentang ‘kejahatan perang’ tapi ‘kekerasan eksesif ’. Dan yang juga penting
diingat yaitu bahwa Belanda pada tahun 1945-1949 tidak menyebutkan adanya
‘perang’, namun yang ada yaitu masalah intern. Excessennota (Nota Ekses) tahun
1969 lama menjadi tolok ukur untuk menghindari istilah ‘kejahatan perang’.
Masih pada tahun 1988 L. de Jong, penulis Het Koninkrijk der Nederlanden in
de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia II), setelah protes
keras terhadap kualifikasinya tentang kasus-kasus tertentu yang disebutnya
sebagai ‘kejahatan perang’, memilih istilah yang lebih lemah, yaitu ‘ekses-ekses’
– menolak saran dari sejarawan dan ahli hukum Cees Fasseur, penulis utama
Excessennota. Keengganan menyebut hal itu dengan istilah itu , sejak saat itu
makin berkurang di dalam debat umum, namun tidak berkurang di pemerintah.
Pada waktu menyatakan permintaan maaf kepada para janda Rawagede tahun
15
2011, ditekankan oleh dan atas nama pemerintah Belanda bahwa permintaan
maaf itu hanya menyangkut kasus-kasus tertentu, yaitu kasus yang menyangkut
‘ekses’. Di dalam artikel ini dipilih untuk memakai istilah ‘kejahatan perang’ dari
pada memakai istilah ‘kekerasan eksesif ’ yang lebih bersifat menutup-tutupi
kenyataan.
Bahwa di pihak Belanda dulu ada tindakan kejahatan perang seperti yang
didefinisikan oleh pelanggaran Konvensi Jenewa yaitu sangat jelas. Excessennota
memperlihatkan ada 110 kasus, seperti penyiksaan dan penembakan sewenang-
wenang terhadap para pejuang yang tertawan dan penduduk sipil yang dicurigai.
Dua peristiwa yang paling terkenal dan mungkin juga merupakan episode yang
paling parah yang kini diakui secara umum yaitu : pertama, aksi militer yang
dipimpin oleh Westerling dkk. di Sulawesi Selatan dari Desember 1946 sampai
Februari 1947; kedua, eksekusi sewenang-wenang kaum lelaki Rawagede di Jawa
Barat pada tanggal 9 Desember 1947. Studi yang dimulai dari tahun 1969 lebih
banyak lagi memperlihatkan adanya peristiwa tindakan kejahatan perang. Hal
itu juga dibahas dalam naskah ego pasukan Belanda kepada siapa artikel ini
didedikasikan. Tindakan itu terungkapkan sebagai fakta yang berskala luas yang
mengejutkan: penyiksaan dan eksekusi sewenang-wenang terhadap para pejuang
dan warga sipil, penjarahan dan intimidasi, pemerkosaan dan penghinaan,
pemboman dan pembakaran desa-desa.
Tak diragukan lagi bahwa di sisi negara kita kejahatan keji juga dilakukan
– mungkin sekali pada skala yang lebih besar dan sebagian besar diarahkan
terhadap orang negara kita lainnya. Di negara kita , penelitian terhadap hal itu
selama beberapa dasawarsa hampir mustahil dilakukan dan kini pun masih
tetap merupakan medan yang sulit disentuh. Terutama berlaku untuk debat
umum terbuka mengenai periode ini, sebab debat itu akan dapat menguak
tirai Revolusi negara kita yang lebih disukai tetap tertutup, yaitu mengenai:
perpecahan mendalam di antara mereka sendiri, secara etnis, geografis, politik;
saling melakukan tindakan kekerasan dalam skala besar dan keji terhadap sesama;
ketidakmampuan, namun juga rasa tanggung jawab para pemimpin TNI dan
pemimpin Republik.
Kini sudah mulai ada sedikit perdebatan ilmiah tentang masa Bersiap.
Perdebatan itu bukan hanya menyangkut tentang ukuran besarnya, namun juga
tentang sifat kekerasan – genosida – dan pelaku tindakan itu . Apakah
kejadian itu merupakan kemarahan rakyat secara spontan yang diarahkan
terhadap orang-orang Eropa, Indo, Cina dan tidak sedikit juga terhadap orang-
16
orang negara kita yang dicap sebagai ‘kolaborator’, atau mungkin merupakan
suatu fenomena yang disemangati dalam kalangan Republik? Yang jelas bahwa
perdebatan semacam itu di negara kita hampir tidak pernah dilakukan, dan bahwa
pengetahuan dan minat tentang tindakan kekerasan yang melampaui batas yang
pernah dilakukan terhadap penduduk bangsa Eropa dan Cina hampir nihil.
Masa Bersiap merupakan suatu fenomena yang sama sekali tidak diketahui, dan
upaya beberapa pakar sejarah negara kita untuk menampilkan agar ada perhatian
terhadap masa itu, sejauh ini hampir tidak mendapat tanggapan.
Penggambaran perang dekolonisasi seperti yang ditampilkan di sekolah,
universitas, dan museum yaitu jelas dan pasti. Penggambaran itu berupa cerita
dari sekelompok rakyat yang bersatu dan secara heroik di bawah kepemimpinan
para pemimpin Republik dan (terutama) militer bersama mengusir keluar
musuh sampai akhirnya memenangkan kemerdekaan mereka. Kejahatan perang
yaitu hal yang hanya berkaitan dengan Belanda. Tahap refleksi belum banyak
dicapai terhadap propaganda perang dari masa itu sendiri. Misal saja di Makasar
ada monumen peringatan yang bernama ‘Korban 40.000 jiwa’ yang mengacu
kepada 40.000 korban dari Westerling dan kawan-kawannya. Hal itu tidak hanya
mengingatkan terhadap teror Belanda namun tanpa disengaja juga terhadap kaum
Republik yang mencoba menarik perhatian PBB terhadap masalah kejahatan
perang ini dengan nada yang kurang bernuansa.
Kekerasan struktural?
Menetapkan, seperti yang sekarang dilakukan oleh para pakar sejarah, hakim, dan
politikus bahwa para militer yang bertugas dalam dinas militer Belanda antara
tahun 1945 dan 1950 di negara kita dikatakan bersalah dalam melakukan kejahatan
perang belum mengatakan apa-apa tentang pertanyaan apakah perilaku itu
merupakan unsur dalam tindakan Belanda yang hanya bersifat perkecualian atau
struktural – dalam arti unsur yang sering dilakukan. Jawaban untuk pertanyaan
itu dapat dicapai melalui dua jalur yang berbeda. Jalur yang pertama yaitu
cukup sederhana dalam teori, yaitu pengumpulan lebih banyak lagi data empiris
– menurut pepatah Belanda ‘meten is weten’ (‘mengukur yaitu mengetahui’: lebih
baik memastikan daripada hanya menduga saja). Dalam praktiknya, hal itu
tidak mudah dilakukan, dan pastilah upaya untuk mendapatkan gambaran yang
lengkap bakal gagal. Namun, penelitian sistematis ke arsip-arsip yang tersedia,
baik di Belanda maupun di tempat lain, menghasilkan banyak fakta-fakta baru.
17
ini tercermin juga dalam artikel ini. Akan namun , yaitu ilusi untuk berpikir
bahwa dengan penelitian itu realitas sejarah itu akhirnya akan bisa diketahui
secara ‘tuntas’. Pertama, ada banyak bahan arsip yang sudah hancur, hilang atau –
khususnya di negara kita – masih tidak dapat diakses untuk penelitian.
Yang lebih penting lagi yaitu bahwa dalam perang ini laporan tentang
kejahatan perang secara sistematis tidak lengkap, atau sangat begitu terselubung;
seperti halnya dalam pengacuan kepada para tawanan yang ‘tertembak ketika
melarikan diri’. Meskipun tindakan itu sesudahnya mendapatkan justifikasi,
pelaku yang terkait biasanya sangat sadar bahwa tindakan itu melampaui batas
norma. Laporan sukarela tentang hal itu oleh pelaku tidaklah biasa. Para petinggi
militer sepertinya telah bertindak berbeda untuk melaporkan kejahatan perang di
mana mereka menjadi saksi atau yang mereka dengar setelahnya. Dalam beberapa
kasus mereka membuat laporan dan kemudian melakukan penyelidikan dan
mungkin melaksanakan hukuman. Namun, ada banyak indikasi bahwa para
pemimpin itu lebih suka berdiam, apakah itu sebab dalam menanggapi perilaku
bawahan mereka, mereka menutup mata, menoleransi atau menyemangati, atau
sebab mereka ingin mencegah peristiwa ini diketahui oleh para pejabat militer
yang lebih tinggi pangkatnya, oleh kalangan politik atau media. Taktik yang tepat
pada waktu itu yaitu memetieskan. Penuntutan pidana sangat sulit dilakukan,
mengingat sarana aparat pengadilan yang terbatas dan kompleksitas situasi
yang sangat rumit – namun ada banyak indikasi bahwa para petinggi militer dan
petinggi hukum berpendapat tuntutan itu tidak pada tempatnya.
Cara lain untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tentang
kemungkinan adanya kejahatan perang struktural yaitu dengan menyelidiki
bagaimana perilaku seperti itu memang sesuai atau tidak dalam logika pelaksanaan
perang dan organisasi militer. Sebagai tanggapan terhadap kesimpulan Perdana
Menteri De Jong pada tahun 1969 bahwa dulu hanya ada kasus-kasus ekses,
sementara sebagian besar militer Belanda berperilaku sesuai aturan, para sosiolog
– yang juga veteran – J.A.A. van Doorn dan W.J. Hendrix tak lama setelah itu
memberi pendapat dengan pendekatan yang sama sekali berbeda. Dalam
analisis mereka, yang ditekankan yaitu karakter istimewa perang itu ,
strategi melawan gerilya dari musuh, rangkaian perintah militer yang sering
kurang jelas dan instruksi kekerasan yang juga sama ambigunya yang mendorong
para militer itu masuk ke dalam sebuah ‘geweldsfuik’ (jaring perangkap
kekerasan) dan melakukan tindakan yang di luar jalur.
18
Kesimpulan yang ditarik dalam artikel Serdadu Belanda di negara kita yang
didasarkan pada kesaksian dari para veteran ini yaitu bahwa ternyata begitu
sering ada kasus kejahatan perang, sampai tidak dapat dianggap sebagai kejadian
insidental, sebagai ‘ekses-ekses’. Frekuensi kejadian itu menunjukkan pola
struktural. Di lain pihak, naskah -naskah ego tidak menunjukkan adanya
penerapan sistematis kejahatan sebagai strategi yang ditetapkan pemimpin
militer. Sebaliknya, ternyata pencegahan dan penghukuman yang efektif hanya
sedikit terjadi.
Perang gerilya dan Revolusi negara kita
Sebagian besar penelitian Belanda mengenai episode ini memiliki sudut pandang
terbatas. Dalam hal waktu, perhatian dibatasi sampai masa empat atau lima
tahun setelah perang dan terutama tertuju pada aksi militer Belanda. Suatu sudut
pandang yang lebih luas akan dapat memperjelas – dan dengan demikian juga
membantu Belanda agar kurang menjadi fokus dalam sejarah ini. Meskipun
artikel ini, yang didasarkan pada naskah ego para militer dalam dinas angkatan
bersenjata Belanda, pada umumnya memiliki cakupan yang terbatas, rasanya
berguna juga untuk membuat beberapa komentar tentang konteks yang lebih
luas.
Pertama-tama tentang pembatasan waktu. Tidak hanya dalam debat
umum, namun juga dalam literatur ilmiah Belanda ada kecenderungan kuat untuk
memulai sejarah episode ini pada bulan Agustus 1945, dengan masa kapitulasi
Jepang dan proklamasi Republik. Namun, dengan pembatasan itu jadi ada garis
waktu krusial yang diabaikan. Di satu sisi ada kontinuitas dengan masa kolonial;
yaitu ketika nasionalisme yang baru berkembang itu ditekan dengan segala cara
oleh pihak pemerintah kolonial dan ketika tentara KNIL menimba pengalaman
yang luas dalam perang gerilya dan juga dengan mengerahkan angkatan bersenjata
yang berasal dari beberapa suku untuk melawan perlawanan negara kita . Banyak dari
pengalaman ini kembali dimanfaatkan pada 1945-1949. Lalu, ada pendudukan
Jepang. Masa itu bagi masyarakat Eropa dan sebagian besar penduduk negara kita
merupakan masa gelap – jumlah korban sipil di kalangan penduduk Eropa yang
kecil itu diperkirakan sekitar 20.000, dan di kalangan penduduk negara kita sampai
beberapa juta jiwa. Di kemudian hari ternyata periode ini dalam banyak hal juga
merupakan lubang hitam bagi pemerintah Belanda dan petinggi militer, yang
benar-benar meremehkan bagaimana banyaknya masyarakat negara kita , akibat
19
perbuatan Jepang, pada bulan Agustus 1945 telah berubah jika dibandingkan
dengan awal tahun 1942.
Peluasan kerangka penafsiran yang terutama diarahkan kepada operasi
militer Belanda, dapat berguna untuk beberapa tujuan. Pada saat ini ada banyak
studi tentang perang dekolonisasi dan tentang perang gerilya dan kontragerilya,
studi yang seringkali menunjukkan bahwa situasi-situasi itu terlalu mudah
menyebabkan terjadinya kejahatan perang, baik secara struktural maupun
sistematis. Bagaimanapun pula studi semacam itu menawarkan banyak ruang
untuk menempatkan pengalaman militer Belanda dalam perspektif internasional
yang lebih luas. Tantangan ini hanya baru-baru ini dilaksanakan secara serius.
Yang lebih penting lagi yaitu bahwa pemahaman yang lebih baik
dari perang dekolonisasi sebagai bagian dari Revolusi negara kita akan dapat
membantu untuk menempatkan tindakan Belanda ke dalam perspektif yang
lebih jelas. Bukannya tanpa alasan di dalam studi asing yang berpengaruh tentang
revolusi itu peran tentara Belanda sering dibahas sepintas saja, dan hampir
tidak diberikan perhatian untuk episode seperti masa Bersiap. Jelas memang ada
yang lebih banyak terjadi dari ‘hanya’ perkara balas dendam dan perjuangan
antikolonial saja. Sebagian penting dari kekerasan yang terjadi di kepulauan
Nusantara memang bisa dikatakan disebabkan sebab tidak adanya kekuasaan
(kolonial) yang efektif, namun kekerasan itu juga mencerminkan konflik-konflik
lokal di mana Belanda tidak atau hampir tidak ambil bagian – dan hanya dalam
perannya sebagai penjaga ketertiban masyarakat yang benar-benar tidak dapat
dipenuhinya.
Dengan begitu, perhatian untuk aksi militer Belanda pada periode 1945-
1950, dan khususnya kejahatan perang Belanda, merupakan cara pandang
yang terlalu terbatas untuk memahami proses sejarah yang jauh lebih besar.
Mungkin hal itu memang merupakan sebagian dari penjelasan mengapa tidak
banyak minat dari pihak negara kita untuk menyelidiki tentang, atau menuntut
permintaan maaf dan ganti rugi atas, kekerasan militer Belanda. Dengan semua
itu bekas penjajah secara tidak sengaja memang mendapat tempat penting lagi
dalam sejarah nasional yang dari perspektif negara kita tidaklah pantas.
Perang yang ditutup-tutupi?
Ketika para militer dari pasukan negara kita setelah berakhirnya perang dekolonisasi
itu paling tidak mencicipi kenikmatan kemenangan perjuangan dan secara
20
kolektif mendapatkan status pahlawan, maka para militer Belanda pulang dengan
kekalahan, frustrasi atas tahun-tahun yang hilang dalam kehidupan mereka, dan
ke dalam lingkungan yang hanya sedikit memahami mereka, dan setelah bertahun-
tahun berlalu malah semakin sedikit mendapatkan penghargaan untuk pekerjaan
mereka di seberang lautan itu. Bagi para ‘repatrian’ yang pernah bertugas di
KNIL dan sama sekali tidak atau hanya sedikit mengenal Belanda, masalah yang
mereka hadapi ditambah lagi dengan kehilangan tanah air mereka dan tiba dari
Hindia-Belanda yang sangat luas ke suatu negara Eropa yang tidak mereka kenal
dan relatif kecil. Sebuah negeri induk yang sedang sibuk dengan usaha mengatasi
masalah akibat pendudukan Jerman dan terutama pembangunan kembali; negeri
yang ingin sesegera mungkin melupakan sejarah kolonial mereka, lagipula negeri
itu tidak mengharapkan kedatangan orang-orang yang sudah ‘mengakar di
Hindia-Belanda’, juga tidak meskipun mereka berjuang untuk KNIL dan dengan
itu berarti juga untuk Ratu dan kerajaannya. Tidak heran kalau banyak imigran
itu akhirnya memilih untuk tidak menetap di negeri Belanda yang dingin
namun di tempat lain.
Ada beberapa cerita tentang bagaimana para veteran itu mengatasi masalah
pengalaman perang mereka. Yang tak terhitung jumlahnya yaitu versi di mana
para veteran itu digambarkan sebagai orang yang pendiam, dengan perasaan
sakit hati atau tidak, dirasakan menyesakkan lingkungan sekitarnya atau tidak.
namun meskipun demikian, berkembang suatu tradisi di mana mereka berkumpul
untuk mengenang masa lalu, dalam kelompok kecil, tanpa diatur, dan jumlahnya
semakin bertambah juga dalam hubungannya dengan organisasi veteran. Sebagian
besar dari apa yang dibahas dalam pertemuan itu tidak dibawa keluar. Hanya
sebagian kecil dari mereka yang menulis memoar tentang pengalaman mereka
sendiri. Dan di sini juga berlaku: hanya sedikit dari naskah ego itu
diterbitkan dan didistribusikan secara luas.
Selama beberapa dasawarsa masa pascaperang para atasan tidak begitu
berniat untuk mengadakan peringatan dan bahkan lebih sedikit lagi kebutuhan
akan penelitian yang kritis. Para politikus terkemuka dari episode ini tetap lama
menjadi tokoh yang menonjol dalam politik Den Haag, partai-partai politik utama
juga tetap sama. Secara politik ada banyak pihak yang memang bertanggung jawab
atas suatu kebijakan yang semakin lama semakin kurang dapat diterima sebagai
wajar dan sesuai norma. Bukti bahwa dahulu ada ‘kejahatan perang’ – meskipun
istilah itu tidak diperbolehkan untuk dipakai – diketahui secara cepat. Lagi pula,
ada bukti-bukti bahwa tindakan kekejaman yang dilakukan oleh para perwira
21
bawahan tidak selalu dicegah atau dihukum, dan tindakan itu dalam hirarki
militer yang lebih tinggi ditoleransi, malah kadang-kadang mungkin mendapat
dorongan, dan kemudian ditutup-tutupi. Dan kalaupun tindakan semacam itu
kemudian ditoleransi atau disembunyikan oleh pertanggungjawaban politik,
maka politik Den Haag juga takut kehilangan muka apabila terlalu terbuka.
Juga selama tahun-tahun perang sedang berlangsung, kadang-kadang
muncul berita mengenai adanya kemungkinan tindakan kekejaman dalam
pers Belanda, namun berita itu tidak mendapatkan banyak tanggapan, bahkan
juga ketika permasalahan itu dipertanyakan di (majelis) parlemen. Di Hindia-
Belanda sendiri penguasa politik dan militer melakukan kontrol ketat terhadap
pemberitaan; tidak ada ruang untuk kritik atau keterbukaan tentang ‘ekses-
ekses’. Setelah penyerahan kedaulatan situasinya menjadi hening. Butuh waktu
sekitar dua puluh tahun, sampai tahun 1969, sebelum mulainya debat umum.
Veteran Joop Hueting sudah bertahun-tahun berusaha mencari publikasi dengan
memberi pernyataan-pernyataan tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh
militer Belanda. Pada awalnya dia tidak berhasil, sampai ketika ia diperbolehkan
berbicara panjang lebar di program televisi VARA Achter het Nieuws (Di Balik
Berita).
Tindakan Hueting itu mengakibatkan munculnya diskusi-diskusi
sengit, perdebatan di Majelis Rendah, dan dibuatnya sebuah laporan penelitian
secara terburu-buru dari komite resmi yang dalam sejarah akan dikenal sebagai
Excessennota, yang didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan sebelumnya
yang tidak disebarkan baik dalam kalangan politik maupun hukum. Jadi itu
merupakan penelitian terhadap kejahatan yang secara eksplisit dilaporkan.
Sementara komisi, melalui kata-kata dari Cees Fasseur, sekretaris dan peneliti
utama komisi itu, menganggap laporan itu sebagai inventarisasi awal, tanggapan
yang dominan dalam politik yaitu untuk segera mengubur sejarah itu. Perdana
Menteri Piet de Jong, seorang mantan Angkatan Laut, menulis sendiri bahwa
meskipun dahulu mungkin terjadi ‘ekses-ekses’ yang disesalkan, namun para militer
di pihak Belanda kala itu pada umumnya berperilaku menurut garis aturan:
‘Pemerintah menyesalkan bahwa telah terjadi ekses-ekses namun pemerintah
mempertahankan pandangannya bahwa seluruh angkatan perang Belanda di
negara kita telah berperilaku benar. Data-data yang dikumpulkan menegaskan
bahwa di masa itu tidak ada tindakan kekejaman sistematis.’4
4 Surat Perdana Menteri De Jong kepada TK (Tweede Kamer, Majelis Rendah), 29 Januari 1969
(Handelingen TK, 1968-1969, bijlage 10.008, nr 1).
22
Dalam debat parlemen tentang Excessennota ketua oposisi Joop den
Uyl (Partij van de Arbeid, PvdA – Partai Buruh) bersikeras antara lain untuk
dilakukan penyelidikan parlementer, tapi mayoritas di Majelis Rendah menolak
hal itu. Sebelum debat itu, kabinet kanan-tengah De Jong secara intern sudah
memutuskan bahwa kabinet akan memberi tugas penelitian sejarah secara
mendalam. Dari diskusi-diskusi berikutnya tentang penyelidikan luas yang
akan dilakukan, ‘verwerkingsgeschiedenis’ (sejarah pengatasan masalah) itu
membawa perubahan yang aneh sekali. Seorang guru besar sejarah dan seorang
mantan pegawai pemerintah S.L. van der Wal dari Utrecht, yang didukung
oleh Rijkscommissie voor Vaderlandse Geschiedenis (Komisi Pemerintah untuk
Sejarah Nasional), menolak tugas penelitian itu sebab dia pertama-pertama ingin
mengungkap dahulu semua sumber. Kabinet membiarkan saja penelitian itu
terhenti, oposisi politik, media, dan ilmuwan lain mungkin tidak tahu mengenai
keputusan itu, atau merasa itu tidak cukup penting untuk menuntut penelitian
seperti itu. Di bawah redaksi Van der Wal dan penerusnya antara tahun 1969 dan
1996, diterbitkan sebuah publikasi sumber dalam dua puluh jilid, Nederlands-
Indonesische betrekkingen (Hubungan-hubungan Belanda-negara kita ). Dengan
publikasi itu dimensi politik dan diplomatik dekolonisasi dinaskah tasikan
secara mendalam, menjadi suatu sumber data yang sangat baik untuk penelitian
ilmiah. namun perang itu sendiri tetap kurang mendapat perhatian – peluang
yang terlewatkan.
Keputusan akhir untuk membatalkan penelitian yang mendalam, tidaklah
mengejutkan. Pemerintah De Jong sudah menduga bahwa ada lebih banyak
‘ekses’ yang terkubur dalam arsip-arsip, baik di Belanda maupun di negara kita .
Mengungkit-ungkit hal itu dianggap tidak merupakan prioritas. Sebuah kotak
Pandora. Untuk politik tidak baik, untuk kepemimpinan militer juga tidak,
dan juga tidak untuk para veteran, yang sebagian besar memang bereaksi sangat
marah terhadap Hueting, dan media yang menulis tentang ekses-ekses.
Empat puluh lima tahun kemudian, hal itu juga dapat dilihat dari perspektif
yang berbeda. Dengan keputusan untuk tidak melaksanakan penelitian besar-
besaran, maka hilanglah peluang untuk mewawancarai para veteran, yang dahulu
sebagian besar masih hidup, dengan mengajukan pertanyaan secara sistematis
tentang pengalaman dan tindakan mereka di negara kita . Peluang untuk menggali
oral history secara mendalam mengenai pengalaman mereka, tidak pernah bisa
sebesar pada waktu itu, dan kini peluang itu hampir hilang. Tentu saja ada alasan
untuk percaya bahwa tidak semua veteran mau menceritakan peristiwa yang
23
mereka alami sebenarnya sampai mendetail. Namun demikian, studi seperti itu
akan menghasilkan banyak informasi, sebagaimana tercermin dalam beberapa
proyek wawancara berskala kecil antara lain dari Veteraneninstituut (Lembaga
Veteran), Stichting Mondelinge Geschiedenis Indonesië (Yayasan Sejarah Lisan
negara kita ), Moluks Historisch Museum (Museum Sejarah Maluku), dan Indisch
Herinneringscentrum (Pusat Peringatan Hindia). Kalau melihat hal itu – dengan
menyampingkan pertanggungjawaban atas kejahatan perang – maka para
veteran, dan pemerintah yang berpikir melindungi mereka dengan menentang
diadakannya penyelidikan yang luas pada waktu itu, malah melewatkan
kesempatan besar yang sebenarnya bisa mereka dapatkan. Perdebatan sejak saat
itu lebih banyak didominasi oleh emosi daripada fakta-fakta baru. Citra yang
ditampilkan pemerintah De Jong tahun 1969, sejak saat itu lebih merupakan
batu sandungan daripada suatu kesimpulan bersama.
Jadi seperti dalam pepatah ‘dipetieskan’? Tidak, sudah sejak lama tidak
begitu lagi. Sudah ada penelitian yang dilakukan, banyak dari penelitian itu malah
diarahkan kepada kejadian-kejadian yang pada tahun 1969 diklasifikasikan sebagai
‘ekses’. Berkali-kali topik perang kolonial masuk lagi dalam pemberitaan, ada
wartawan-wartawan yang menuliskan tentang penemuan-penemuan baru atau
mereka juga menampilkan fakta-fakta yang sudah dikenal sebagai berita. Baru-
baru ini malah ada tuntutan-tuntutan hukum yang diajukan tentang kejahatan
perang. Hakim memaksa negara dalam kasus-kasus spesial itu untuk
menuntut diberikannya pengakuan, permintaan maaf dan kompensasi. Para
peneliti mengaduk-aduk arsip, mewawancarai para militer dan politikus. Banyak
kaum veteran yang menulis memoar mereka. Daftar publikasi ilmiah itu
mungkin memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan perpustakaan
yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan mengenai pendudukan Jerman di Belanda
– kesejajaran dengan sedikitnya jumlah historiografi tentang pendudukan Jepang
di Hindia-Belanda yaitu mencolok. Tapi penelitian apa yang diterbitkan, pasti
tidak dalam sifat samar-samar. Meskipun cara masa lalu kolonial ini dikenang
tidak seimbang, memetieskan hal itu menjadi alasan klise.
Penelitian ilmiah pertama yang muncul setelah Excessennota memiliki
nada yang berbeda. Dalam Ontsporing van geweld (Kekerasan di luar jalur) para
sosiolog – dan veteran – Van Doorn dan Hendrix menerapkan pendekatan yang
berdasarkan penjelasan. Dalam analisis mereka, yang ditekankan yaitu karakter
istimewa perang itu , strategi melawan gerilya dari musuh, rangkaian
perintah militer yang sering kurang jelas dan instruksi kekerasan yang juga sama
24
ambigunya yang memberi pelaksana perintah tingkat rendahan terlalu banyak
otonomi dan mendorong para militer itu masuk ke dalam sebuah jaring
perangkap kekerasan dan melakukan tindakan yang keluar jalur. Mereka juga
meluaskan pandangan analitis dan pendefinisian kejahatan perang. Model
penjelasan mereka itu cocok dengan literatur-literatur mengenai perang
kontragerilya dan perang dekolonisasi yang belakangan banyak diterbitkan.
Dari sudut pandang sejarah, pendekatan Van Doorn dan Hendrix itu
bermasalah. Mereka menganonimkan dan mengabstrakkan semua ‘insiden’
yang dicatat mereka sendiri selama perang, sehingga insiden-insiden itu tidak
bisa diverifikasi. Jadi, Ontsporing van geweld memang memberi penjelasan
yang meyakinkan tentang kejahatan perang namun memberi hanya sedikit
bukti-bukti konkret tentang frekuensi terjadinya tindakan itu . Dengan kata
lain, Van Doorn dan Hendrix menjelaskan sebuah fenomena di mana mereka
menyatakan jangkauannya, namun tidak membuktikan.
Dalam hampir semua studi yang muncul kemudian, Excessennota yaitu
titik-tolak empiris dan artikel Ontsporing van geweld memainkan peran sebagai
metode penjelasan, baik secara langsung maupun hanya sebagai latar belakang,
sedangkan penelitian-penelitian yang sebenarnya lebih bersifat empiris-historis,
dan dalam banyak hal mendukung analisis Van Doorn dan Hendrix. Kini jumlah
daftar studi yang relevan makin bertambah saja. Di dalam studi-studi itu ,
penilaian kebijakan Belanda secara bertahap menjadi lebih kritis. Saat penulisan
artikel Serdadu Belanda di negara kita , kami beruntung telah mendapatkan manfaat
dari karya ilmiah itu ; Di dalam panduan baca di bagian biografi, studi-studi
yang paling penting disebutkan.
Literatur ilmiah kini menyajikan gambaran beraneka ragam tentang
perang dekolonisasi. Setidaknya tentang peran Belanda di dalam perang itu .
Namun, sampai sekarang belum ada jawaban yang koheren untuk pertanyaan
sejauh mana kejahatan perang memang mencirikan aksi militer Belanda atau
tidak. Penelitian naskah ego yang mendasari artikel ini juga belum memberi
jawaban yang memuaskan. Namun, hasil-hasil penelitian di dalam artikel ini
menyumbangkan pemahaman yang lebih baik tentang perang itu dan
khususnya konteks, sifat, dan frekuensi operasi dari tindakan-tindakan yang
sekarang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.
Korpus naskah ego
artikel Serdadu Belanda di negara kita terutama didasarkan pada pengalaman dan
kenangan para militer yang bertugas di angkatan perang Belanda di negara kita
antara tahun 1945 dan 1950. Di dalam artikel ini dipakai ‘naskah -naskah
ego’ mereka: artikel harian, surat, kesaksian, dan memoar. Dalam rangka
penelitian ini ada banyak sekali korpus yang diteliti dari naskah -naskah ego
yang sudah dikenal dan diterbitkan. Sebagian besar dari naskah itu berasal
dari lama setelah perang selesai. Koleksi itu memberi sudut pandang
yang terbatas namun sangat menarik. Terbatas, sebab hanya melihat secara
sistematis pada tentara dalam dinas militer Belanda, dan paling-paling secara
tidak langsung pada lawan mereka, dan korban-korban mereka. Para politikus
yang mengirim mereka, para pemimpin militer yang memberi perintah
kepada mereka untuk melaksanakan tindakan itu dan masyarakat Belanda
tempat mereka berasal tidak menjadi bagian penting dalam sumber-sumber ini.
Namun begitu, dengan memfokuskan pada naskah ego, maka dapat diselidiki
bagaimana perang itu dilaksanakan, dialami, dan diingat oleh sekelompok
luas orang yang terkait kejadian ini – khususnya menurut perkiraan 160.000
militer yang berbahasa Belanda di antara 220.000 militer. Penyelidikan itu
menghasilkan kesan dan wawasan yang sangat menarik, meskipun sering juga
saling bertentangan.
Korpus yang terdiri dari 659 judul5 itu sangat luas, namun belum
mewakili seluruh angkatan bersenjata. Ke-1.362 penulis atau pembicara – hampir
semuanya laki-laki, sebagian besar lahir di Belanda – yaitu sekelompok orang
luar biasa. Mereka ini yaitu sejumlah kecil sekali dari golongan itu – hanya
0,5 persen lebih dari jumlah total angkatan bersenjata, hampir 1 persen dari
militer Belanda yang menentukan pilihan mereka untuk menuliskan sendiri atau
dengan bantuan orang lain dan kemudian juga membagikan pengalaman dan/
atau kenangan mereka, atau mereka yang tulisannya diserahkan secara anumerta.
Kelompok ini tentu tidak mewakili seluruh bagian angkatan bersenjata Belanda
di negara kita . KNIL kurang terwakili dalam korpus ini.
Dalam penjelasan metodologis di bagian belakang artikel ini diuraikan lebih
mendalam tentang masalah keterwakilan itu . Pada pembicaraan masalah
itu juga ada kriteria lain yang dibahas, yaitu: apakah ada perbedaan antara
5 Tidak termasuk naskah ego Benno van Eijnt, Lieve ouders (‘Orang tua sayang’, 2013), yang
meskipun dipakai dalam teks namun tidak ditambahkan ke pangkalan data, sebab ‘artikel
korespondensi’ ini masih dalam embargo.
26
tentara profesional, sukarelawan perang, dan tentara wajib militer, dan apakah
ada perbedaan latar belakang. ‘Militer dalam dinas perang Belanda’ tidak sama
dengan ‘militer Belanda’. Pasukan tentara dari KL dan KM hampir semuanya
orang Belanda; sebaliknya, pasukan tentara KNIL yang bertugas bersama dan
terutama di bawah orang Belanda, sebagian besar merupakan tentara yang direkrut
secara lokal. Hanya sebagian kecil orang KNIL yang bisa terdaftar sebagai ‘orang
Eropa’. Kalau dilihat dari latar belakang daerah dan etnis mereka (warna kulit,
agama, bahasa), mereka membentuk kelompok yang sangat beragam. Kelompok
itu sangat sedikit terwakili di dalam korpus. Para militer yang direkrut di
Belanda juga bisa dibedakan menurut daerah asal, latar belakang agama, tingkat
pendidikan, dan mungkin juga warna pilihan politik mereka.
naskah -naskah ego menjadi semakin penting dalam penelitian
sejarah sosial dan budaya, juga jika fokusnya justru ada pada pengalaman
dan perspektif ‘orang biasa’. Istilah itu memang kurang enak, namun bisa
memperlihatkan dengan baik bahwa penelitian itu terutama berkisar pada
pencarian suara yang lain dari suara para elit yang kini sangat mendominasi
arsip tradisional. Juga dalam penulisan sejarah militer, pemakaian naskah -
naskah ego mengalami kemajuan pesat. Hal itu terutama terjadi sebab
perang-perang besar abad kedua puluh lebih banyak menghasilkan tulisan dari
medan perang berdarah yang berasal dari para militer di mana mereka secara
terbuka menulis tentang pertempuran itu sendiri, tentang hubungan-hubungan
dalam tentara mereka, tentang musuh dan juga tentang emosi yang dibangkitkan
oleh perang pada mereka. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, naskah ego
tentang peperangan telah menjadi genre tersendiri, dengan konvensi-konvensinya
sendiri dan bagi peneliti merupakan tantangan sendiri.
Hampir semua militer menulis surat, beberapa dari mereka – jumlahnya
tidak diketahui – juga menulis artikel harian. Semua itu mereka tulis, begitulah
anggapan kita, untuk merekam peristiwa, kesan, dan perasaan, agar penulis
memiliki pegangan, agar bisa merefleksikan diri, dan mungkin juga untuk
menghilangkan kebosanan. Jadi, bagaimanapun juga, kegiatan mereka itu yaitu
suatu pilihan yang disadari. Namun sayangnya, dari naskah -naskah ego yang
diterbitkan, korespondensi dan artikel harian hanya merupakan bagian yang sangat
kecil. Seringkali korespondensi dan artikel harian itu baru ‘diserahkan’ belakangan
oleh keluarga mereka, dan kadang-kadang penulis-penulis itu memakai bahan itu
pada saat menulis memoar mereka. Bagian terbesar dari korpus itu berupa
literatur yang didasarkan pada ingatan-ingatan mereka. Tentu saja kami melacaki
27
naskah -dukumen ego itu untuk mendapatkan fakta-fakta keras dan juga
petunjuk-petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. namun
sepertinya naif kalau mengartikan naskah -naskah ego itu sebagai
kesaksian langsung perang dan akibatnya. Bahkan penulis artikel harian pun
memiliki kecenderungan untuk menyaring pengamatan, pengalaman, dan
perasaan mereka, mungkin untuk menyelamatkan diri atau menguatkan hati,
mungkin juga untuk memberi makna dan arah hidup mereka di angkatan
bersenjata, atau mungkin diam-diam, namun sebenarnya juga mengharapkan
tulisannya akan memiliki banyak pembaca di masa depan. Penyaringan ini
terutama berlaku untuk penulis surat yang langsung mengarahkan tulisannya
kepada keluarga, teman atau kenalan, dan juga sengaja memilih apa yang akan
atau tidak akan mereka katakan.
Dalam ini , sensor juga memiliki peran: tidak semuanya boleh
diberitakan, tapi sampai sejauh ini, masalah itu tidak memainkan peran besar.
Yang lebih penting yaitu bagaimana tentara itu mempertimbangkan perasaan
mereka yang ditinggalkan di ‘rumah’ sana: mereka ingin membuat orang-orang
di rumah tidak khawatir dengan kabar tentang bahaya-bahaya yang dihadapi,
atau tentang perasaan dan perilaku mereka sendiri. Dan kemudian juga masih
ada pertanyaan apakah masih ada gunanya untuk menceritakan melalui surat
seluruh kebenaran yang ada: apa yang orang-orang di Belanda saat ini bisa
pahami tentang situasi dunia yang jauh sekali, di negara kita ? Akan terlihat nanti
bahwa tentara di surat-surat mereka ke rumah sering sengaja menahan diri dalam
menggambarkan situasi-situasi yang sulit, termasuk mengenai kekerasan.
naskah ego yang jumlahnya tidak seberapa yang sudah diterbitkan
selama konflik itu, terutama bertujuan memperkuat hubungan pihak keluarga
dan handai tolan di tanah air dengan para pasukan perang. Sebagaimana kepala
staf angkatan perang Belanda Jenderal Hendrik Kruls pada tahun 1947 menulis
dalam artikel nya Op inspectie (Pada pemeriksaan):
[artikel ini] hanya bertujuan sedikit memberi sumbangan untuk membangkitkan
dan meningkatkan perhatian orang Belanda terhadap pasukan kami yang hebat
di Hindia-Belanda dan dengan demikian lebih memungkinkan untuk mengikuti
panggilan siaran radio untuk ikut berprihatin dengan anak-anak kami di seberang
lautan! (Kruls 1947: 10, mem.)
28
Sebagian terbesar naskah ego yang diteliti, pada akhirnya ditulis, dicatat,
dan diterbitkan. Ditujukan untuk publik mana? Berbeda-beda. Sebagian yang
penting dari naskah ego itu ditujukan bagi masyarakat pada umumnya. Sebuah
genre tertentu, artikel kenangan, terutama ditujukan pada kawan-kawan yang kini
sudah tua, yang seperjuangan dan yang dari unit militer tertentu. artikel -artikel
itu memuat kenangan lama yang dikumpulkan untuk menyangga hubungan
persahabatan. Yang ingin didirikan yaitu juga semacam monumen peringatan
tertulis bagi semua prajurit dan terutama bagi mereka yang gugur dalam perang
itu. Sebagaimana pastor tentara Leo Goossens menulis dalam kata pengantar
sebuah publikasi dari Katholieke #uisfront:6
Dalam artikel ini kenangan-kenangan akan militer kami di Hindia akan tetap
hidup. artikel ini seperti monumen sederhana yang kecil yang memuji prestasi-
prestasi mereka. [...] Biarkan artikel ini memuji para pembawa Keadilan dan
Kebebasan. (Goossens 1948: pengantar, art.)
Sering tertulis bahwa artikel dipakai untuk menyimpan kenangan dan juga
untuk orang lain yang terlibat – militer, politikus – menggambarkan ‘bagaimana
keadaan yang sebenarnya’. Motif itu dengan berlalunya dasawarsa semakin
menonjol dan publik yang dituju semakin luas saja: keluarga, teman, kenalan.
Dan akhirnya, pada saat pemunculan artikel memoar mencapai puncaknya, di
dalam keluarga bukan hanya wanita dan anak-anak saja lagi yang terlibat dan
dituju; kakek juga menceritakan permasalahannya kepada cucu-cucunya. Yang
mengena yaitu apa yang pada tahun 1999 ditulis Anton de Graaff – pengarang
sejumlah artikel dan naskah ego tentang perang ini – dalam artikel nya, Vertel het
je kinderen, veteraan! (Ceritakan kepada anak-anakmu, veteran!):
Mantan tentara Hindia-Belanda sekarang semuanya sudah di atas 70 tahun dan
mereka semakin menyadari bahwa informasi ini perlu dibuat sekarang, jika tidak
maka sejarah itu akan terkubur bersama kami. Bahkan juga jika anak-anak
kami sekarang mungkin belum tertarik akan ini – ketertarikan itu pasti akan
datang pada mereka setelah kami tidak ada lagi, namun pada waktu itu mereka
tidak bisa bertanya apa-apa lagi kepada kami! (De Graaff 1999: 7, mem-srt.)
6 Lembaga Katolik yang berkaitan dengan urusan tentara yang pergi bertugas ke medan perang
dan keluarga yang ditinggalkannya.
29
Ini yaitu motif yang berulang:
Keinginan sederhana kami yaitu bahwa periode ini, yang tidak pernah bisa dan
tidak pernah ingin kami lupakan, akan tetap hidup untuk generasi yang akan
datang setelah kami. Kami percaya bahwa artikel peringatan ini akan merupakan
sumbangan untuk tujuan itu . (Freek de Keizer, dalam Bentschap Knook dan
De Keizer 1990: 7, mem-bk.)
Meskipun demikian, saya pernah menceritakan kepada anak-anak saya
tentang pengalaman saya. Mereka berulang kali meminta saya untuk menuliskan
cerita ini dan akhirnya permintaan itu saya penuhi. (Ed Mahler, dalam Mahler
1992: 9, mem.)
Saya telah mencoba memberi gambaran yang jujur dan terutama akurat tentang
apa yang terjadi dalam jangkauan pandangan saya, dengan harapan bahwa
mereka yang usianya jauh lebih muda, akan dapat mengerti mengenai apa yang
telah terjadi waktu itu. (Joop van der Meij, dalam Van der Meij 1997: 9, mem.)
Inisiatif untuk menulis artikel atau menuliskan kenangan-kenangan diri dengan
bantuan orang lain, tidak selalu datang dari para veteran itu sendiri. Meskipun
motif penuh frustasi seperti ‘tak akan ada orang yang tertarik dengan masa hidup
saya di Hindia-Belanda’ berkali-kali muncul, ada juga banyak veteran yang
mengakui mereka menuliskan pengalamannya atas permintaan orang-orang dari
lingkungan langsung mereka.
Rencana pertama kami yaitu untuk menuliskan ini bagi lingkungan dekat
keluarga kami, namun ketika kami mulai mengerjakannya dan niat ini menjadi
‘diketahui’ orang lain, ada permintaan dari para veteran dan kenalan-kenalan lain
apakah memungkinkan untuk menerbitkan kenangan itu dalam bentuk
artikel . (Jan Kot, dalam Kot dan Kot 2002: 10-11, mem-bk.)
Paling tidak pada beberapa dasawarsa terakhir juga tumbuh minat jurnalistik
untuk kisah-kisah dari suatu generasi yang semakin menipis jumlahnya yang tidak
mampu lagi untuk duduk di belakang komputer menuliskan kenangan-kenangan
dan refleksi mereka.
30
Penerbitan naskah ego diperlukan untuk mengabadikan kenangan itu ,
untuk ‘menceritakan kisah yang sebenarnya’. Untuk keperluan itu kadang orang
memakai catatan-catatan yang dibuat mereka semasa perang:
Apa yang dulu terjadi di Jawa Tengah harus tidak boleh saya lupakan. Pada saat
itulah saya berniat untuk menuliskan semuanya, persis seperti apa yang terjadi
waktu itu. (Hans Gerritsen, dalam Gerritsen 1987: 15, mem.)
Dengan tidak sepenuhnya ingin terikat dibuat pernyataan-pernyataan tentang
kenyataan yang sebenarnya:
Kejadian-kejadian yang sebenarnya yang tercatat di dalam artikel ini, memang
benar-benar terjadi seperti itu namun saya menambah-nambahkan cerita sedikit
dan kadang-kadang agar mudah dibaca beberapa hal ditempatkan bersama. (Ko
van Rooijen, dalam Van Rooijen 1986: pengantar, bh.)
Apakah semuanya diceritakan ‘menurut yang sebenarnya’ di dalam artikel
kenangan ini!? Saya harap saja begitu, dan memang diusahakan setulusnya.
Gunung-gunung tidak dilukiskan lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya dan
apabila Anda membaca tentang lumpur maka memang pada waktu itu betul-betul
ada lumpur. namun apabila saya ternyata ‘di sana-sini’ meleset, maka sebelumnya
saya mohon maaf. (Toon Nieskens, dalam Nieskens 1993: 5, bh-mem.)
artikel ini menggambarkan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi menurut
pengalaman saya sebagai militer pada tahun 1945 sampai 1948 seperti catatan saya
pada waktu itu yang hampir setiap hari saya buat. Saya tidak menambahkan apa-
apa, kecuali, sebab banyaknya bahan tulisan saya, saya harus memendekkannya.
[...] Semuanya merupakan kebenaran seperti yang saya saksikan pada masa itu;
jadi, itu yaitu kebenaran saya. (Wim van Hamersvelt, dalam Van Hamersvelt
1995: 3, bh.)
Seringkali tulisan itu juga tentang meluruskan gambaran yang menurut mereka
kurang mantap atau tidak benar.
Saya mengharap moga-moga artikel ini akan dapat menyumbangkan sampai [...]
pada pengertian yang tepat khususnya tentang angkatan perang Belanda dan
Hindia-Belanda, yang pada umumnya memperlihatkan baiknya nilai mereka
selama menunaikan – sebut saja – sebuah tugas yang tidak memberi kepuasan
(G. van Heek, dalam Van Heek 1952: 9-10, mem.)
31
Semua orang ramai membicarakan tentang pendudukan Jerman, kamar-
kamar gas, kamp konsentrasi Jepang untuk perempuan, namun orang mendiamkan
saja nasib ratusan ribu wanita dan anak Indo-Belanda, yang pertama-tama hidup
dalam neraka pada pendudukan Jepang dan kemudian jatuh lagi di neraka pada
masa Soekarno dan kaki tangannya. Saya mengharap moga-moga artikel saya Allen
zwijgen (Semua berdiam) bisa sedikit menguak rahasia tirai bambu. (Math Jalhay,
dalam Jalhay 1983: kata pengantar, mem.)
Juga ada pengarang yang memberi kesempatan pada orang lain untuk
menyebutkan tentang motif pengakuan dan pelurusan – mungkin veteran
‘mereka’ berbicara tentang hal itu:
Bagi semuanya yang lebih beruntung dan selamat, singkatnya bagi setiap orang
yang tertarik pada apa yang Bart [Korsten] pada waktu itu lakukan atas dasar
idealisme, dorongan untuk merasa bebas dan usaha mencapai keadilan. (H.W.
Korsten tentang kakaknya Bart Korsten yang tewas di perang, dalam Korsten
2004: 7, bio.)
Kami mengharapkan moga-moga kisah-kisah ini menjadi sumbangan
terhadap penghargaan bagi ‘veteran’ pada umumnya dan ke delapan orang ini
pada khususnya. (Hetebrij dan Beijer 2009: 3, bk-mem.)
Biasanya pengertian ‘meluruskan’ ditujukan untuk mengoreksi gambaran
yang dianggap tidak benar. namun ada pula orang yang justru butuh untuk
menerangkan langkah-langkah salah yang menurut mereka kurang mendapat
perhatian atau ditutup-tutupi, atau paling tidak memungkinkan adanya diskusi
mengenai hal itu. Sekali lagi De Graaff, berbicara tentang masalah legitimasi
perang dan ekses-ekses:
Ekses-ekses terjadi pada kedua belah pihak. Ekses-ekses yang selalu terjadi di setiap
perang. Oleh sebab itu, marilah – dengan segala kejujuran dan keterbukaan –
mencoba berbicara dengan anak-anak dan cucu-cucu kita. Marilah menceritakan
mereka tentang semua yang dulu terjadi. Mari menceritakan mereka juga tentang
apa yang dulu salah. Hanya dengan cara demikian bisa dicegah semua hal seperti
itu terjadi kembali. (De Graaff 1999: 26, mem-srt.)
naskah -naskah ego, baik secara sengaja atau tidak sengaja semakin banyak
berfungsi sebagai medium untuk merefleksikan diri terhadap perang dan terhadap
32
peran mereka sendiri di dalamnya. Penulisan mengenai hal itu termasuk bagian
dari proses cara mengatasi masalah perasaan keterlibatan mereka. Bagi beberapa
orang, seperti halnya dengan veteran Jan Dekker, mengunjungi negara kita juga
merupakan salah satu cara mengatasinya:
Keinginan untuk kembali lagi ke negara kita , selalu saya semangati dan secara tidak
sadar saya rasakan sebagai proses cara mengatasi banyaknya kenangan dan emosi-
emosi yang saya alami dulu di sana. (Dekker 1999: 4, mem.)
Motif refleksi diri sering terulang-ulang:
Oleh sebab itu saya ingin menceritakan tentang seluruh periode itu dengan
cara saya sendiri dan dengan bahasa yang tanpa ditutup-tutupi. sebab yang
berada di Hindia-Belanda bukanlah pahlawan. Itu sudah pasti dan saya sendiri
mengalaminya. [...] Itulah kami dahulu. Oleh sebab itu, jadikan cerita ini sebagai
peringatan, sebab saya lihat di mana-mana di sekitar saya ada tanda-tanda
terjadinya perulangan. (Bertus van Gils, dalam De Hoogh dan De Hoogh-Sierat
[198?]: 10-11, bio.)
Kami ingin merekonstruksi kejadian dahulu itu untuk diri kami sendiri,
merenungkan kembali, mencoba mengatasi perasaan yang mengganggu itu, di
kepala dan di hati dan ... ah, ... kalau kami suka menulis maka pada suatu hari
muncullah cerita itu di kertas. (Bé Ronner, dalam Ronner 1993: 7, mem-bh-srt.)
Juga ada ruang untuk pertanyaan-pertanyaan yang luas, juga tentang pelajaran-
pelajaran yang mungkin bisa dipelajari:
Saya ingin sejujur mungkin menceritakan tentang apa yang kami kerjakan
pada masa itu. Mungkin hal itu akan bisa menolong saya dan orang lain dalam
pemikiran dan tindakan politik kita dan juga dapat menekan bertambahnya
pemakaian kekerasan. (Jan Glissenaar, dalam Glissenaar 1992: 44, mem.)
Anda mengerti bahwa saya [...] dengan aktivitas ini saya tidak bermaksud
menghilangkan pengalaman traumatis saya, atau ingin menikmati rasa egosentris
saya. [...] Maksud saya yaitu lebih menampilkan suatu pendapat tentang
bagaimana angkatan perang seharusnya berfungsi, juga pada saat sekarang ini.
(Bert Schüssler, dalam Schüssler 1998: 239, mem.)
Hanya pemuda kami dari batalyon mana saja yang dapat menceritakan
bagaimana rasanya untuk berjalan berpatroli selama tiga hari berturut-turut
dengan kaki yang selalu basah dan pakaian seragam yang kuyup dengan keringat.
33
Hanya pasukan yang ikut ambil bagian dalam aksi yang disebut dengan aksi-
aksi polisional, bisa menceritakan apa artinya untuk dengan perasaan sangat
lelah mencari tempat berlindung dari tembakan musuh. Dan hanya tentara yang
berada di sana yang dapat menceritakan tentang malam-malam ketika harus
berjaga namun tidak dapat menduga dan melihat dan tidak tahu apa yang akan
terjadi ke depan. Pertanyaan yang timbul tentunya yaitu apakah semua ini harus
diceritakan dengan mendetil. [...] Pasti ada pelajaran penting dalam laporan-
laporan saksi dari mereka yang melihat dengan mata sendiri serta mengalaminya
pada saat itu. (Carel Tuyl, dalam Schuurmans 2012: 281, bk-kpln.)
Dengan semua tulisan di atas tentu saja bukan berarti bahwa akhirnya semua
orang mau menceritakan kisahnya – jauh dari kenyataan itu. Kisah dari para
veteran yang membungkam diri ada banyak sekali, dan semuanya dibuktikan
dengan angka-angka yang akurat: hanya sebagian kecil dari kelompok minoritas
itu yang menuliskan kenang-kenangan mereka. Tetap membungkam yaitu
yang lebih banyak terjadi. Dua orang janda tentang suami mereka:
Saya tidak bisa menceritakan apa-apa tentang masanya di Hindia-Belanda; Henny
[van Benthem] tidak pernah, yang saya maksud di sini yaitu betul-betul tidak
pernah menceritakan tentang hal itu . Kadang-kadang sekali saya membuka
pembicaraan tentang itu, namun satu-satunya yang dia katakan yaitu : ‘Het was
ginne mooie tied’ (Bukan masa yang menyenangkan). Cuma itu saja. (Mevrouw
van Benthem, dalam Morshuis dan Oude Elberink 1996: 28, bk-int-kpln.)
Saya beberapa kali mencoba agar dia [Tonnie Kamphuis] berbicara mengenai
periode itu, namun tanpa hasil. Tonnie tidak menceritakan apa-apa, sama sekali
tidak! (Mevrouw Kamphuis, dalam Morshuis dan Oude Elberink 1996: 69, bk-
int-kpln.)
Kenyataan bahwa naskah -naskah ego ini – secara individu dan kadang
juga kolektif – baru lama di belakang hari dituliskan, mengakibatkan adanya
pembatasan-pembatasan. Ketika para veteran menuliskan ingatan-ingatan
mereka, yang baru terjadi bertahun-tahun kemudian, seiring berjalannya waktu
maka memudarlah ingatan: apa yang diingat, atau setidaknya apa yang dituliskan
dari ingatan itu , tidak hanya terbatas sebab daya ingat bisa keliru, namun
juga diwarnai oleh kesadaran bahwa tidak semua kenangan dan pengamatan
dalam konteks zaman kini yang telah berubah, bisa diterima atau relevan.
Ketika orang lain di kemudian hari ‘menyerahkan’ tulisan dan kenangan dari
seorang veteran, tidak pernah bisa dipastikan apakah mereka memilih-milih
34
dan menyeleksinya lebih dahulu, sebab mungkin untuk menjaga reputasi dari
anggota keluarga atau teman yang mereka sayangi. Dalam naskah ego yang
terbit atas dasar wawancara, faktor yang sama juga bermain peran. Tambahan
pula kedinamisan antara pewawancara dan yang diwawancarai tidak netral.
Pewawancara memimpin pembicaraan, sehingga dia juga yang mengarahkan
ingatan-ingatan dan kisah mereka.
Pembatasan ini tidak mempengaruhi nilai unik naskah ego sebagai
sumber sejarah. Namun, harus disadari bahwa mereka kadang-kadang lebih sedikit
bercerita tentang peristiwa-peristiwa itu sendiri daripada tentang penghayatan dan
upaya pengatasan masalah itu , bahwa mereka mencerminkan berjalannya
waktu, dan apa yang tídak dikatakan juga bisa punya banyak arti. Bagaimanapun
juga latar belakang pribadi, motif dan juga pengalaman nyata dari orang-orang
di balik naskah ego sangat beragam. ini membuat sulit untuk menemukan
faktor kesamaan mereka. Hal yang justru sangat menyolok yaitu keberagaman
penghayatan dan ingatan.
naskah -naskah ego yang diteliti dalam artikel ini jelas belum
memberi gambaran lengkap yang mendasari terjawabnya pertanyaan-
pertanyaan tentang kekerasan perang. Tidak semuanya diungkapkan. Kadang-
kadang ada yang agak diputar-putar, dan kadang juga ada yang diutarakan
dengan tanpa tedeng aling-aling:
Sepertinya digambarkan seolah-olah kami semua di sana bertindak seperti
binatang dan penjahat dari jenis yang paling kejam. [...] Nah, semua ingatan jadi
datang lagi dan kami harus memprotes. [...] Kini, oleh sebab itu saya menulis
artikel harian ini, tanpa dibumbui, namun seperti yang terjadi dahulu. Tidak ada
yang bohong dan tidak ada yang dilebih-lebihkan. Tidak semuanya dituliskan,
sebab memang tidak mungkin untuk menuliskan semuanya. Mungkin saya akan
menyakiti perasaan yang saya tinggalkan kelak dan saya tidak mau melakukan itu.
Tapi bukan berarti saya menutup-nutupi ‘hal-hal yang kotor’, namun orang tidak
mungkin bisa menceritakan semuanya. (Gerben Deters, dalam Deters 1994: 8,
bh-mem.)
Cerita-cerita tentang ‘api dan darah’ sudah banyak dituliskan dan meskipun
betapa menariknya cerita-cerita itu, saya tidak mau ikut terkait. Juga ada cerita-
cerita yang tidak diceritakan. Kalau diceritakan bisa menyobek kembali luka
lama. Cerita-cerita seperti itu juga tidak akan ditemukan di artikel ini. (Jan Maas,
dalam Maas 1999: 5, mem.)
35
Yang memang dibicarakan dalam naskah ego tentang kejahatan perang yang
mungkin terjadi yaitu , bahwa hal itu – ini harus dikatakan – seringkali ada
dalam konteks yang tidak memberi gambaran peristiwa-peristiwa khusus.
Sumber-sumber itu menjelaskan adanya kenyataan yang kompleks di mana
gambaran-gambaran klise tentang pahlawan dan bajingan kurang tepat, tentang
budaya militer yang dalam konteks kontragerilya Belanda mewujudkan praktik-
praktik dan norma-norma sendiri. Kami melihat pengarahan dan pengontrolan
terbatas dari atas, adanya pergeseran pandangan tentang apa yang bisa dan yang
tidak diperbolehkan, dan biasanya sebagian merupakan improvisasi, namun
kadang-kadang merupakan pemakaian struktural kekerasan di luar batas
tindakan perang yang biasa. Renungan Ben Loohuis, beberapa puluh tahun
kemudian, Mencirikan upaya agar orang luar bisa memahami bahwa kini berlaku
norma yang berbeda daripada dahulu:
Sekarang, 50 tahun kemudian, tindakan-tindakan itu [mengeksekusi
tawanan] memberi kesan yang tidak baik. namun , pada masa itu orang tidak
berpikir begitu. Perang gerilya yaitu kotor dan jahat bagi kedua belah pihak. Yang
terpikirkan yaitu masalah menyelamatkan diri. Lagi pula aksi-aksi para pelopor
tak berperikemanusiaan dan mengerikan. Tidak ada banyak belas kasihan, justru
yang ada yaitu sebaliknya, bagi kedua belah pihak. (Loohuis 1999: 71, bk-mem.)
Hal itu berlawanan dengan apa yang pada tanggal 10 Agustus 1949 ditulis
Benno van Eijnt, tentara wajib militer dan calon ekonom, kepada orang tuanya
tanpa dimanis-maniskan:
Setiap bom dan setiap peluru serasa menembus jantung saya apabila saya
memikirkan korban yang mungkin kena serangan itu. Di tempat-tempat manapun
yang saya singgahi, selalu ada mata-mata tak mengerti, yang memandangi saya
dengan putus asa, yang memohon untuk tidak ditembak oleh manusia-manusia
yang buas seperti binatang dan yang mengambil alih tangan Tuhan untuk
menghabisi nyawa orang-orang naif itu . (Van Eijnt 2013: 123, srt.)
Berkaitan dengan hal itu yaitu refleksi tentang apa gunanya perang, kepercayaan
dalam misi untuk memulihkan kekuasaan dan ketertiban demi kebaikan
penduduk. Mungkin banyak orang pada awalnya mendukung kata-kata Willem
Brandt:
Politik kalangan atas, jauh dari kami. Kami hanya prajurit dan kami hanya
disuruh memperbaiki persoalan-persoalan yang sederhana saja: kami harus
menyelamatkan rakyat dari keruntuhan mereka.
Namun, berangsur-angsur banyak orang yang semakin meragukan pernyataan
itu. Dan dalam kasus Willem Brandt – nama samaran Willem Klooster – yaitu
mengenai seorang embedded journalist (wartawan yang diikutsertakan dalam
pasukan), yang dibebani tugas oleh pimpinan tentara untuk menuliskan kisah-
kisah di tempat guna mendukung misi itu . Jadi, bukan sumber-sumber
yang dapat dipercaya begitu saja. Sudah pasti tidak semua prajurit melihat misi
itu sebagai yang diperlihatkan oleh Brandt pada tahun 1947. naskah -
naskah ego penuh dengan kemarahan tentang kurangnya peralatan dan
pelatihan, tujuan yang tak terjangkau, keraguan dan sinisme tentang misi
itu , yang di tahun-tahun kemudian semakin menjadi lebih kuat saja. Sejajar
dengan hal itu timbul pengamatan tentang penduduk lokal dan tentang ruang
lingkup nasionalisme. Rasa tidak mengerti, simpati, paternalisme, dan juga
rasisme. Secara bersamaan, sinisme tentang kepemimpinan politik dan politik
internasional yang melemahkan perjuangan militer semakin lebih jelas dan justru
menjadi argumen untuk mendukung perang.
Keterasingan juga, yang bagi beberapa orang tampaknya seperti derita tidak
ada habisnya. Pertama, rasa tidak mengakar di daerah tropis, kemudian timbul
perasaan yang merayapi yang memberi pemikiran bahwa mungkin orang-
orang di rumah sana, di Belanda, tidak punya gambaran mengenai apa yang
terjadi di tempat yang jauh ini dan juga tidak berusaha untuk mengerti hal itu.
Dan akhirnya, perasaan terasing pada waktu kembali ke Belanda, perasaan adanya
jarak yang tumbuh, kesadaran bahwa banyak pengalaman di Hindia-Belanda
yang tidak memungkinkan untuk berbagi, keputusan atas dasar kesadaran, atau
mungkin kebiasaan yang secara tidak sadar tumbuh sendiri untuk toh lebih baik
tutup mulut. Gambaran yang muncul dari artikel ini yaitu tidaklah seragam.
Bagaimana bisa seragam kalau jumlahnya berkenaan dengan 1.362 individu.
Tentu saja pasti ada cukup banyak orang yang bisa meneruskan dan menikmati
kehidupan mereka lagi dan menganggap selingan hidup di negara kita yaitu
masa lalu yang sudah berada di belakang mereka. Kelompok itu, mungkin malah
merupakan kelompok mayoritas, bisa jadi tidak banyak terwakili di antara para
penulis memoar itu . Jan de Golde mengacu pada perasaan campur-aduk
itu :
Masih ada sangat banyak orang yang serasa hidup di neraka, yaitu seperti Hindia-
Belanda bagi kami dulu. Tapi meskipun begitu, kami mencintai negara dan
rakyat itu. Tidak ada barang berharga apapun yang bisa mengganti perasaan kami
terhadap negara itu. (De Golde 2001: kata pengantar, mem.)
Pernyataan yang terakhir itu merupakan suatu pengamatan, akan terbukti
nantinya, yang tidak semua orang dalam korpus naskah ego ini akan setujui.
hoogenboomi1