teori deuterokanonika
Demikian secara agak panjang lebar kami mencoba menampilkan
ajaran tentang tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagaimana tercantum
dalam dokumen PBC. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses
kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika terjadi karena setidaknya dua
faktor penting. Pertama, dengan mengambil dan menerima tulisan-tulisan
Deuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab Sucinya, kekristenan awal
sebenarnya hanya mengikuti kebiasaan yang sudah terjadi di dalam Yudaisme dan dilanjutkan oleh jemaat Kristen Perdana. Kedua, kekristenan
dapat mengambil dan memasukkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam
kanonnya sendiri karena pada waktu itu, kanon Ibrani masih belum tertutup, paling tidak untuk bagian ketiga dari Tanak, yaitu “Tulisan.” Dengan kata lain, perbedaan antara kanon Ibrani dan kanon Perjanjian Lama
Kristen sebenarnya lebih menyangkut masalah sejarah dan bukan masalah
isi.47 Kekristenan tidak mempunyai kriteria khusus untuk memilih dan menentukan teks-teks yang akan dimasukkan dalam kanonnya.
Lepas dari isi gagasan yang ditawarkan, kehadiran ajaran tentang
proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagaimana ditampil-kan
JPSS perlu mendapat perhatian sekurang-kurangnya untuk hal-hal berikut
ini.
Pertama, seperti sudah disadari oleh banyak pihak, tulisan-tulisan
yang mau mempertanggungjawabkan kehadiran tulisan deutero-kanonika
sehingga dapat membantu pemahaman umat beriman ternyata amat sedikit.
Memang ada banyak tulisan tentang kanon Kitab Suci, akan tetapi kebanyakan dari mereka, atau tidak berbicara apa-apa tentang Deuterokanonika
atau justru bertentangan dengan atau menyerang tradisi Gereja Katolik
yang mengakui tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagai bagian dari Kitab
Sucinya. Sejauh jangkauan penulis, ada dua tulisan yang cukup jelas dan
seimbang dalam menguraikan problem Deuterokanonika. Pertama, artikel
berjudul “Canonicity” hasil karya patungan almarhum Raymond E. Brown
dan Raymond F. Collins dalam The New Jerome Biblical Commentary (1990).48
Kedua, artikel dari Reginald C. Fuller yang berjudul “The Deuterocanonical
Writings” yang terdapat dalam The International Bible Commentary (1998).
Ketiganya adalah ahli kitab yang juga imam Gereja Katolik. Secara umum
kedua artikel itu memberikan gambaran yang mirip satu sama lain. Paparan
yang terdapat dalam dokumen PBC ini, sebenarnya juga tidak banyak
berbeda dari tulisan yang sudah ada. Rupanya memang “hanya” demikianlah gagasan tentang proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika.
Kelihatan bahwa dokumen PBC ini pun cukup besar dipengaruhi
terutama oleh artikel Brown dan Collins. Hal ini tidak amat meng-herankan apalagi kalau diingat bahwa pada 1996, Brown sekali lagi dipilih
menjadi anggota PBC. Kehadiran dokumen ini merupakan kontribusi yang
berharga untuk jemaat beriman. Diharapkan para pembaca juga terbantu
dalam memahami tulisan-tulisan Deuterokanonika yang merupakan salah
satu crux dalam relasi Gereja Katolik dengan Gereja-gereja lain. Kedua, JPSS tidak hanya sekedar memberikan keterangan kepada
jemaat beriman sehubungan dengan proses kanonisasi tulisan-tulisan
Deuterokanonika. Bobot penjelasan ini menjadi berlipat-lipat justru karena
disampaikan oleh Komisi Kitab Suci Kepausan, lembaga yang oleh Tahta
Suci mendapat kepercayaan untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ajaran tentang
tulisan-tulisan Deuterokanonika yang terdapat dalam JPSS meru-pakan
ajaran resmi Gereja.
Memang masih dapat diperdebatkan dan didiskusikan sejauh mana
bobot pernyataan sebuah Komisi Kepausan. Apakah JPSS memang mempunyai kualifikasi sebagai suatu ajaran resmi yang mengikat semua orang
Katolik? Tanpa harus berkutat lebih lanjut dengan pertanyaan yang berkaitan
dengan otoritas seperti ini, rupanya JPSS tetap merupakan suatu sumbangan
yang meneguhkan jemaat beriman.
Sudah biasa dikatakan bahwa dibandingkan dengan kelompok Reformasi yang begitu mengandalkan sola scriptura, Gereja Katolik berpegang
pada Kitab Suci dan Tradisi. Dengan kata lain, bagi orang beriman Katolik,
Tradisi yang dapat berarti ajaran Gereja atau Magisterium juga harus dipertimbangkan dalam menghadapi suatu persoalan tertentu. Berkaitan dengan
Kitab Suci, bagi orang Katolik sebenarnya ada banyak persoalan yang
seolah-olah masih mengambang, misalnya, bagaimana harus memahami
kebenaran Kitab Suci; bagai-mana orang dapat menafsirkan Kitab Suci;
bagaimana memahami hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
dan sebagainya. Di hadapan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, memang
dapat diusulkan aneka macam jawaban. Akan tetapi sebenarnya kita juga
dapat berpaling pada dokumen-dokumen Gereja dan mencari jawaban di
situ. Dalam hal tulisan-tulisan Deuterokanonika, daripada mengajukan aneka
macam teori, mungkin akan lebih sederhana—dan sekaligus berwibawa—
kalau kita merujuk saja pada penjelasan yang sudah disampaikan oleh
Gereja, melalui dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, Ketiga, kendati segala hal positif yang sudah disebutkan di atas,
catatan kritis tetap dapat dan perlu diberikan. Meskipun pernyataan
PBC sehubungan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika cukup jelas dan
dapat diterima, tetap harus diakui bahwa pernyataan atau ajaran yang
disampaikan bukanlah satu-satunya ajaran yang mungkin. Terus terang,
topik ini merupakan topik yang cukup problematik. Tidak ada unanimitas
di antara para ahli sehubungan dengan hal ini. Ada banyak penjelasan
lain yang mungkin dapat diajukan untuk memahami masuknya tulisan
Deuterokanonika ke dalam Kitab Suci Kristen.49 Dengan mengambil dan
memilih salah satu dari sekian banyak teori yang ada, berarti pandangan
dan teori lain praktis tersingkirkan. Apa alasannya? Persoalan dapat bertambah karena dengan “meningkatkan status” satu pandangan menjadi
ajaran Gereja, pandangan tersebut menjadi terbakukan dan terbekukan.
Dengan demikian, kalau ada kritik yang muncul, kritik tersebut tidak lagi
melawan satu pandangan atau teori saja, tetapi akan dianggap menghadapi
ajaran Gereja.
Dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan yang baru saja kita bahas
sebenarnya merupakan dokumen yang diterbitkan sekitar sepuluh tahun
yang lalu. Di satu pihak, tulisan seperti ini rupanya memang sudah amat
terlambat; akan tetapi di lain pihak, harus diakui bahwa di dalam konteks
Gereja Indonesia, masih amat sedikit tulisan-tulisan yang mengomentari
suatu dokumen seperti ini.
Dokumen JPSS ini sebenarnya amat kaya dan menantang. Meskipun
pertama kali dialamatkan untuk mempromosikan hubungan antara Gereja Katolik dan Yudaisme, dokumen ini menyiratkan beberapa implikasi
teologis yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Hal ini jelas seperti yang dikatakan oleh Kardinal Walter Kasper dalam sebuah simposium di Yerusalem
pada 31 Oktober 2007: “There are a lot of open theological questions raised by
this document that should be dealt with in theological academic circles, faculties,
symposims and seminars.”
perbedaan kanon tampaknya sudah diterima sebagai sesuatu yang lebih menyangkut
keyakinan pribadi. Oleh karena itu, berhadapan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika,
mereka tidak lagi berbicara tentang mana yang benar dan mana yang salah, melainkan
lebih memusatkan perhatian untuk mengapresiasi masing-masing tulisan tersebut.
Dengan demikian, para ahli dari berbagai denominasi dapat duduk bersama untuk
berdiskusi. Sebagai contoh, para sarjana Alkitab Indonesia yang tergabung dalam ISBI
(Ikatan Sarjana Biblika Indonesia) pada 2008 mengadakan simposium nasional dengan
mengambil tema “Literatur Intertestamental.” Di dalamnya tercakup juga tulisan-tulisan Deuterokanonika.
4 Jumlah ini sebenarnya tergantung bagaimana orang mau menghitung tulisan-tulisan
yang ada. Penulis mengikuti pandangan umum yang mengatakan bahwa Gereja Katolik
menerima 46 (empat puluh enam) tulisan Perjanjian Lama, yang terdiri dari 39 (tiga puluh
sembilan) tulisan Protokanonika dan 7 (tujuh) tulisan Deuterokanonika. Tujuh tulisan yang
dimaksud adalah Sirakh, Barukh, Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, 1 & 2 Makabe,
serta bagian tambahan pada kitab Ester dan Daniel. Lihat Pontifical Biblical Commission, The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible (Vatican: Libreria
Editrice Vaticana, 2002), p. 37, catatan nomor 27.
5 Dokumen ini aslinya diterbitkan dalam bahasa Italia dan Prancis pada 24 Mei 2001.
Terjemahan Inggris baru muncul sekitar enam bulan kemudian. Terjemahan ke dalam
bahasa Inggris tampaknya mengandung cukup banyak kesalahan dibandingkan dengan
bahasa aslinya. Lihat Charles H. Millar, “Translation Errors in the Pontifical Biblical Commission’s The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible,”Biblical
Theology Bulletin 35 (2005): 34-39. Karena tulisan ini terutama membahas dokumen ini,
maka untuk memudahkan penulisan penulis menggunakan singkatan JPSS (Jewish
People and Their Sacred Scriptures) sebagaimana diusulkan oleh John R. Donahue dalam
kuliah umumnya tentang dokumen tersebut di Immaculate Conception Seminary
Huntington, Long Island, Amerika Serikat, pada 16 Maret 2003.
Rupanya sudah diketahui oleh semua orang Kristen, bahwa perbedaan
fundamental antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan1
adalah
keberadaan sekelompok tulisan yang biasa disebut tulisan-tulisan Deuterokanonika. Nama Deuterokanonika adalah sebutan khas yang digunakan
oleh kelompok Katolik; sementara kelompok Protestan menyebutnya
kitab-kitab Apokrifa.2
Justru karena tulisan-tulisan tersebut menjadi garis
pemisah antara kedua kelompok tersebut, tidak mengherankan bahwa
diskusi, khususnya yang bersifat polemik apologetik, tentang tulisan-tulisan tersebut terus berjalan, terutama di kalangan umat. Di kalangan para
ahli, diskusi rupanya tidak lagi diarahkan pada masalah mana yang benar
antara kanon “panjang” dan kanon “pendek,” tetapi lebih pada sumbangan
tulisan-tulisan tersebut untuk memahami konteks sejarah pada waktu itu.3
Justru karena tidak banyak diskusi di kalangan para ahli, sangat
sedikit keterangan yang tersedia yang berkaitan dengan tulisan-tulisan 1 Dua kategori yang dipakai di sini, yaitu Katolik dan Protestan, diambil dengan alasan
praktis. Selain oleh Gereja Katolik, tulisan-tulisan Deuterokanonika juga dipakai oleh
Gereja-gereja Ortodoks Timur. Hanya saja, karena kelompok Katolik dan Protestan
merupakan dua kelompok dominan dalam kekristenan di Indonesia, maka dipakai
penggolongan sederhana menjadi dua kategori saja.
2 Terminologi yang dipakai oleh kelompok Katolik dan Protestan untuk menyebut Perjanjian Lama dan dokumen-dokumen di sekitarnya memang agak membingungkan.
Secara sederhana ungkapan yang dipakai adalah sebagai berikut:
Katolik Protestan
Protokanonika Perjanjian Lama Kanonik
Deuterokanonika Apokrifa
Apokrifa Pseudepigrafa
Deuterokanonika, khususnya yang berkaitan dengan proses kanonisasi
tulisan-tulisan tersebut. Mengapa dapat terjadi perbedaan kanon antara
kelompok Katolik dan Protestan? Bagaimana memahami tradisi Gereja
Katolik yang menerima tujuh4
tulisan Deuterokanonika sebagai bagian dari
kanon Perjanjian Lamanya? Dalam situasi seperti ini, dokumen Komisi
Kitab Suci Kepausan, The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the
Christian Bible yang dikeluarkan pada 24 Mei 2001 menawar-kan sesuatu
yang menarik.5
Mengapa? Karena dokumen tersebut secara eksplisit menuliskan bagaimana kanonisasi tulisan-tulisan Deutero-kanonika itu dapat dan
harus dipahami.
Tulisan ini bermaksud membahas pernyataan dokumen kepausan
itu, baik konteks, isi maupun implikasinya. Oleh karena itu, akan dibahas
secara singkat instansi yang mengeluarkan dokumen tersebut. Setelah itu,
kita akan melihat bagaimana JPSS memaparkan pandangannya tentang tulisan Deuterokanonika, dilanjutkan dengan sekelumit catatan kritis dari
penulis.
KOMISI KITAB SUCI KEPAUSAN DAN DOKUMEN-DOKUMENNYA
Komisi Kitab Suci Kepausan (Pontifical Biblical Commission)
6
dibentuk
oleh Paus Leo XIII dengan surat apostoliknya Vigilantiae studiique7
tertanggal 30 Oktober 1902. Meskipun bukan Kongregasi dalam arti ketat, PBC
disusun seperti layaknya Kongregasi-kongregasi Romawi lainnya. Sebelum
Konsili Vatikan II, anggota PBC terdiri dari beberapa kardinal, sebagian
merupakan anggota dari Kuria Romana, dibantu oleh sejumlah consultores
yang merupakan para ahli Kitab Suci Katolik dari berbagai negara.
Berdasarkan surat apostolik Leo XIII itu, kepada PBC dipercayakan
dua tugas utama.8
Di satu pihak, Komisi ini diharapkan terus mendorong
studi ilmiah Kitab Suci sebagaimana sudah diarahkan oleh ensiklik Providentissimus Deus (Leo XIII, 18 November 1893). Oleh karena itu, studi
filologi serta ilmu-ilmu lain yang membantu harus semakin dikembangkan.9
Di lain pihak, Komisi juga mendapat tugas untuk secara aktif dan
cermat menjaga kewibawaan Kitab Suci dan melindunginya tidak hanya
dari “every breath of error but also from all inconsiderate opinions.”10 Kendati
ada usaha untuk memajukan studi Kitab Suci secara ilmiah, rupanya tetap
tampak juga sikap defensif Gereja di hadapan arus perkembangan dunia
dan ilmu pengetahuan modern. Sikap defensif ini tampak dari tanggapan-tanggapan (Responsa) terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
sehubungan dengan beberapa topik alkitabiah, khususnya yang berkaitan
dengan kesejarahan.
Sesudah Konsili Vatikan II, situasinya agak berbeda. Dengan dijiwai oleh semangat Konsili Vatikan II yang mengharapkan Kitab Suci lebih
dibuka kepada jemaat awam, Paus Paulus VI melalui surat apostolik
Sedula Cura (27 Juni 1971) bermaksud merestrukturisasi PBC. Sambil tetap
menyatakan bahwa fungsi Komisi adalah mendorong studi-studi Kitab
Suci dan membantu Magisterium dalam hal penafsiran Kitab Suci, ada
dua hal baru yang terjadi dalam PBC.11 Perubahan pertama menyangkut
keberadaan PBC. Sejak saat itu PBC berada di bawah Kongregasi Suci
Ajaran Iman. Dengan demikian, kardinal prefek Kongregasi sekaligus
menjadi presiden PBC. Perubahan kedua menyang-kut keanggotaan
Komisi. Anggota Komisi tidak lagi terdiri dari para kardinal, melainkan
para pakar Kitab Suci dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Jumlahnya
tidak melebihi dua puluh orang.
Dalam periode sesudah Konsili Vatikan II, Komisi yang diperbarui sudah menerbitkan beberapa dokumen penting. Pada 1984, Komisi
menerbitkan Bible et christologie yang membahas beberapa pertanyaan
yang berkaitan dengan Kristologi. Kemudian pada 15 April 1993, Komisi
menyerahkan kepada Paus Yohanes Paulus II dokumen berjudul The
Interpretation of the Bible in the Church. Komisi berusaha memberikan
sumbangan sehubungan dengan cara-cara yang paling tepat untuk dapat
sampai pada penafsiran Kitab Suci yang tetap setia pada karakter teks
yang sekaligus bersifat ilahi dan manusiawi. Dokumen PBC yang menjadi
pokok pembicaraan kita, Le peuple juif et ses Saintes Écritures dans la Bible
chrétienne (The Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible)
diterbitkan pada 24 Mei 2001. Dokumen yang paling baru dari PBC adalah
The Bible and Morality: Biblical Roots of Christian Conduct, yang diterbitkan
pada 11 Mei 2008.
Sejauh pengetahuan penulis, hanya satu dari dokumen-dokumen
tersebut yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Itu pun sudah
agak terlambat. Terjemahan Indonesia dari dokumen The Interpretation of
the Bible in the Church baru diterbitkan pada 2003.12 Dokumen yang akan dibahas dalam tulisan ini memang berasal dari tahun 2001, akan tetapi
permasalahan yang diangkat rupanya masih cukup relevan mengingat
pembahasan dokumen-dokumen PBC itu sangat jarang atau hampir tidak
pernah dilakukan di Indonesia. Tentu saja hal ini sangat disayangkan
mengingat dokumen-dokumen tersebut sebenarnya dapat memberikan
sumbangan pemikiran atau pun arah pastoral bagi kita.
KONTEKS JPSS
Sebelum topik utama tulisan ini yaitu ajaran Gereja, atau paling tidak
ajaran PBC, berkaitan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika dibicarakan,
rupanya baik jika konteks dan paparan umum JPSS disam-paikan terlebih
dahulu.
Secara umum, dokumen ini mau menyumbangkan pemikiran yang
diharapkan dapat menumbuhkembangkan relasi antara Gereja dengan
orang-orang Yahudi. Dalam hal ini tampak jelas bahwa PBC mengikuti arah
yang ditunjukkan oleh Paus Paulus VI dalam homilinya pada 28 Oktober
1965 saat deklarasi Nostra Aetate dipromulgasikan.13
Pertama-tama topik ini dikembangkan berdasarkan pengalaman
tragis yang menimpa orang Yahudi pada sekitar Perang Dunia II. Di hadapan peristiwa mengenaskan itu, sebagian orang Kristen gagal melakukan
sesuatu yang sebenarnya diharapkan dari murid-murid Kristus; meskipun
tetap harus diakui bahwa sebagian lainnya membantu orang-orang Yahudi
yang berada dalam bahaya kendati dengan resiko hidup mereka sendiri.14 Di hadapan pengalaman seperti itu Gereja ditantang untuk meninjau
kembali hubungannya dengan orang-orang Yahudi.
Usaha PBC untuk menelusuri kembali relasi Kristen-Yahudi dari
sudut pandang alkitabiah merupakan sesuatu yang penting. Tidak dapat diingkari bahwa nada Anti-Yudaisme15 yang dalam arti tertentu memicu
kekerasan terhadap orang Yahudi juga mempunyai akarnya dalam Kitab
Suci Kristiani, dalam hal ini Perjanjian Baru. Oleh karena itu, secara umum
dokumen ini mau mengolah dua pertanyaan. Pertama, bagai-mana bangsa
Yahudi digambarkan dalam Kitab Suci Kristiani, yaitu Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru? Kedua, di mana tempat Kitab Suci Ibrani dalam Kitab
Suci Kristiani?
Dokumen ini terdiri dari tiga bab besar dengan diapit oleh sebuah Introduksi dan Kesimpulan. Bab pertama memperlihatkan bahwa Perjanjian
Baru mengakui dan menerima wibawa Perjanjian Lama sebagai pewahyuan
ilahi. Diakui juga bahwa Perjanjian Baru tidak dapat dipahami secara utuh
terlepas dari Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi yang meneruskannya.
Dengan demikian, dicoba diatasi sebuah teologi yang memandang Perjanjian Lama sebagai sesuatu yang sudah kuno dan tidak berguna lagi karena
yang baru yang merupakan pemenu-hannya sudah muncul.16
Bab kedua menelusuri hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan meneliti topik-topik yang terdapat di dalam kedua
Perjanjian itu, seperti misalnya pewahyuan Allah, pribadi manusia, perjanjian, hukum, dan sebagainya. Pada setiap pembahasan ditunjukkan bahwa
relasi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di satu pihak dicirikan
oleh kontinuitas, di lain pihak, oleh diskontinuitas. Bab ketiga secara khusus meninjau bagaimana orang Yahudi dilukiskan dalam Perjanjian Baru.
Pernyataan JPSS tentang proses kanonisasi tulisan-tulisan Deutero-kanonika yang menjadi topik tulisan ini, terdapat pada bab pertama
yang terdiri dari lima sub bab.17 Berbicara tentang relasi Yahudi-Kristen
mau tidak mau harus berbicara tentang Kitab Suci Ibrani yang dalam
kosa Kristiani disebut Perjanjian Lama. Kitab Suci Kristiani memuat, di satu pihak, Kitab Suci Ibrani, akan tetapi di lain pihak, juga mempunyai
kumpulan tulisan lain yang kemudian menjadi Perjanjian Baru. Meskipun
demikian, kanon Perjanjian Lama Yahudi ternyata berbeda dari kanon
Perjanjian Lama menurut tradisi Kristen. JPSS berusaha menjelaskan perbedaan kanon ini dalam bagian terakhir bab pertama: The Extension of the
Canon of Scripture atau no. 16-18.
DEUTEROKANIKA MENURUT JPSS
Setelah memperhatikan konteks munculnya dokumen PBC ini, kita
dapat masuk pada tema yang sesungguhnya dari tulisan ini, yaitu mengamati bagaimana pandangan JPSS tentang proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika.
Pandangan JPSS ini terdapat dalam no. 16-18 dokumen ini. Untuk
lebih membantu pembaca, bagian dokumen yang relevan akan disajikan
disertai dengan komentar dan analisis penulis.18
No. 16. The title “canon” (Greek kanôn, “rule”) means the list of
books which are accepted as inspired by God and having a regulatory function for faith and morals. We are only concerned here
with the formation of the canon of the Old Testament.
1. In Judaism
There are differences between the Jewish canon of Scripture and the
Christian canon of the Old Testament. To explain these differences,
it was generally thought that at the beginning of the Christian era,
there existed two canons within Judaism: a Hebrew or Palestinian
canon, and an extended Alexandrian canon in Greek— called the
Septuagint—which was adopted by Christians.
Recent research and discoveries, however, have cast doubt on this
opinion. It now seems more probable that at the time of Christianity’s birth, closed collections of the Law and the Prophets existed
in a textual form substantially identical with the Old Testament.
The collection of “Writings”, on the other hand, was not as well defined either in Palestine or in the Jewish diaspora, with regard
to the number of books and their textual form. Towards the end
of the first century A.D., it seems that 24/22 books were generally
accepted by Jews as sacred, but it is only much later that the list
became exclusive. When the limits of the Hebrew canon were fixed,
the deuterocanonical books were not included.
Many of the books belonging to the third group of religious texts,
not yet fixed, were regularly read in Jewish communities during the
first century A.D. They were translated into Greek and circulated
among Hellenistic Jews, both in Palestine and in the diaspora.
JPSS mengawali uraiannya tentang Deuterokanonika dengan menunjuk
situasi seputar kanon Perjanjian Lama yang terjadi pada dua tradisi, yaitu
Yudaisme dan Gereja Perdana (no. 16-17). JPSS mulai dengan mengutip
pendapat lama yang diikuti cukup banyak orang, yaitu bahwa pada awal
periode Kekristenan, ada dua kanon di dalam Yudaisme. Yang pertama
adalah kanon Ibrani/Palestina. Yang kedua adalah kanon Aleksandria
yang ditulis dalam bahasa Yunani, yaitu Septuaginta (LXX)19 yang kemudian
diambil alih oleh orang Kristen.
Pendapat tentang adanya kanon “pendek” dan kanon “panjang”
sebenarnya merupakan pandangan yang cukup populer di kalangan orang
banyak untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan masuknya
tulisan Deuterokanonika ke dalam kanon Perjanjian Lama Kristen. Kanon
pendek terdiri dari 24/22 kitab Perjanjian Lama Ibrani. Sementara kanon
panjang yang merupakan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, mencakup juga tulisan-tulisan Deuterokanonika.
Kanon “pendek,” atau kanon Palestina, biasanya dikaitkan dengan
Konsili Yamnia. Di Yamnia inilah pada 90 M, para rabi berkumpul bersama
dan secara resmi memutuskan tulisan-tulisan mana serta teks mana yang
dianggap ditulis berdasarkan inspirasi ilahi sehingga dapat digolongkan
sebagai Kitab Suci.20 Sementara kanon “panjang” dihu-bungkan dengan
terbentuknya versi Yunani dari Perjanjian Lama atau lebih dikenal dengan
nama Septuaginta (LXX).
Akan tetapi belakangan ini, demikian dikatakan oleh JPSS, gagasan
tentang adanya dua kanon itu tampaknya tidak lagi dapat dipertahankan. Keberadaan Konsili Yamnia yang dianggap merupakan saat untuk memutuskan kanon Perjanjian Lama Ibrani sangat diragukan oleh banyak ahli.21
Joseph Blenkinsopp menyebut peristiwa itu sebagai “a myth of Christian
scholarship without documentary foundation.”22 Satu-satunya teks yang paling
sering diacu dan dianggap menjadi dasar bagi gagasan ini adalah m. Yadayim 3,5. Traktat ini membicarakan diskusi antara para rabi (di Yamnia?}
sehubungan dengan kitab-kitab yang dianggap dapat “mence-markan
tangan,” atau kudus. Akan tetapi yang dibicarakan di sana hanyalah Kidung Agung dan Pengkhotbah. Tidak ada diskusi tentang tulisan-tulisan
lain, dan juga tidak ada keterangan bahwa tulisan-tulisan apokrifa dari
kanon Ibrani.23
Demikian juga keberadaan kanon “panjang” atau kanon Aleksandria
yang merupakan versi Yunani dari Kitab Suci Ibrani tidak lagi dapat dipertahankan. Setidaknya ada dua alasan yang meragukan keberadaan kanon
Aleksandria.24 Yang pertama, proses terjadinya LXX sebagaimana diceritakan dalam Surat Aristeas sekarang ini dianggap sebagai sebuah legenda.
Seluruh Perjanjian Lama, atau bahkan Pentateukh, tidak diterjemahkan
ke dalam bahasa Yunani pada saat yang bersamaan (dalam waktu tujuh
puluh dua hari pada 275 sM) oleh 72 (tujuh puluh dua) atau 70 (tujuh puluh) penerjemah yang bekerja di bawah perlindungan raja Ptolomeus II
Philadelphus. Kedua, sebelumnya pernah dipikirkan bahwa tulisan-tulisan
Deuterokanonika yang terdapat dalam LXX ditulis langsung dalam bahasa
Yunani, dan bukan dalam bahasa Ibrani atau Aram, yaitu bahasa suci
yang dikenal di Palestina. Akan tetapi, sekarang terbukti bahwa sejumlah
tulisan-tulisan Deutero-kanonika aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani (Kitab
Putra Sirakh, Yudit, 1Makabe) atau Aram (Kitab Tobit).
Bertitik tolak dari sini, JPSS menyampaikan pendapatnya. Pada seputar lahirnya kekristenan, tampaknya sudah terbentuk kumpulan tertutup
dari bagian pertama dan kedua dari Kitab Suci Ibrani, yaitu “Hukum”
dan “Nabi-nabi” dengan tradisi tekstual yang kurang lebih sama dengan
Perjanjian Lama yang kita miliki. Gagasan ini bukanlah gagasan yang
sama sekali baru. Kitab-kitab “Hukum” dan “Nabi-nabi” sudah sejak lama
mendapatkan tempat utama di dalam jemaat. Sebagai variasi dari gagasan
tentang kanon Yamnia, dikatakan bahwa kitab “Hukum” mendapatkan
bentuk akhirnya pada sekitar 400 sM. Sementara bentuk definitif “Nabi-nabi”
dicapai pada kira-kira 200 sM.25
Sementara bagian ketiga dari Kitab Suci Ibrani, yaitu “Tulisan” (Ketubim) masih belum ditentukan, baik di Palestina maupun di diaspora,
sehubungan dengan kitab mana yang termasuk serta juga teks mana yang
diterima. Hal ini rupanya didukung juga oleh ketidakseragaman cara
menyebut bagian ini seperti yang terdapat dalam Pengantar Penerjemah
kitab Putra Sirakh serta Perjanjian Baru.26 Dalam Luk 24: 44 digunakan istilah “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.” Sementara
dalam Kata Pengantar kitab Putra Sirakh tiga kali digunakan ungkapan
yang berbeda: “Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab yang kemudian dari
itu,”27 “Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab nenek moyang kita,” dan
“Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab lain itu.”
Dengan demikian, pada akhir abad pertama, tampaknya secara
umum, 22/2428 buku sudah dianggap kudus oleh orang Yahudi kendati kanonisasi dalam arti ketat masih belum tercapai. Sementara “Tulisan” atau
bagian ketiga dari Kitab Suci Ibrani masih belum ditentukan jangkauannya.
Dokumen kemudian melanjutkan dengan menyatakan bahwa banyak dari tulisan-tulisan yang termasuk bagian ketiga ini secara rutin dibaca
di dalam komunitas Yahudi pada abad pertama ini. Tulisan-tulisan itu
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan beredar di kalangan
orang Yahudi helenis, baik di Palestina maupun di diaspora.
Menanggapi pernyataan JPSS ini, harus dikatakan bahwa tidak mudah
menunjukkan bahwa tulisan-tulisan dari bagian ketiga ini memang sungguh-sungguh dibaca secara reguler dalam komunitas Yahudi.29 Sebenarnya
tidak ada kesaksian yang cukup kuat untuk mendukung hal ini. Di antara
tulisan-tulisan rabinik, sekali Tosefta menyebut kitab Putra Sirakh (t. Yad
2,13). Akan tetapi kalau kita memperhatikan dokumen yang ditemukan
di Qumran, kita temukan cukup banyak fragmen dari kitab Putra Sirakh,
Yudit, Surat Yeremia, serta Tobit (dan mungkin juga kisah Daniel dan Susana?). Bahkan dikatakan bahwa dua pertiga versi Ibrani dari Kitab Putra
Sirakh telah berhasil direkonstruksi berdasarkan pada fragmen-fragmen
yang ditemukan di Cairo Geniza, Qumran, dan Masada.30 Jika manuskripmanuskrip ini dapat dijadikan bahan pertim-bangan, tampaknya tulisan-tulisan Deuterokanonika tersebut memang pernah mendapat tempat dalam
tradisi Yudaisme.
Fakta bahwa tulisan-tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Yunani dan menjadi bagian dari Perjanjian Lama Yunani menunjukkan beta-pa populernya tulisan-tulisan tersebut.31 “If they used the Deuterocano-nical
books in the Diaspora, it was because they had received them from Palestine,”
demikian kata James C. Turro.32 Demikian juga halnya kalau kita memperhatikan bahwa teks-teks tersebut tersebar dari Palestina sampai ke Mesir.
2. In the Early Church
17. Since the first Christians were for the most part Palestinian
Jews, either “Hebrew” or “Hellenistic” (cf. Ac 6:1), their views on
Scripture would have reflected those of their environment, but
we are poorly informed on the subject. Nevertheless, the writings
of the New Testament suggest that a sacred literature wider than
the Hebrew canon circulated in Christian communities. Generally,
the authors of the New Testament manifest a knowledge of the
deuterocanonical books and other non-canonical ones since the
number of books cited in the New Testament exceeds not only the
Hebrew canon, but also the so-called Alexandrian canon. When
Christianity spread into the Greek world, it continued to use sacred
books received from Hellenistic Judaism. Although Hellenistic
Christians received their Scriptures from the Jews in the form
of the Septuagint, we do not know the precise form, because the
Septuagint has come down to us only in Christian writings. What
the Church seems to have received was a body of Sacred Scripture
which, within Judaism, was in the process of becoming canonical.
When Judaism came to close its own canon, the Christian Church
was sufficiently independent from Judaism not to be immediately
affected. It was only at a later period that a closed Hebrew canon
began to exert influence on how Christians viewed it.
Setelah berbicara tentang situasi yang terdapat dalam Yudaisme,
kini dalam no. 17 JPSS menguraikan situasi yang terjadi di Gereja Perdana
di Palestina. Berdasarkan informasi yang terdapat dalam Kis 6:1 jemaat
Kristen Perdana tampaknya terdiri dari kelompok Yahudi Palestina, baik Kristen Yahudi maupun Kristen Yunani. Dapat dipahami bahwa pandangan mereka tentang Kitab Suci juga dipengaruhi oleh latar belakang situasi
ini; namun demikian, Komisi merasa kekurangan informasi.
Yang jelas, menurut JPSS, tulisan-tulisan Perjanjian Baru sebe-narnya
menyiratkan adanya literatur yang lebih luas daripada kanon Ibrani yang
beredar di komunitas Kristen. Tulisan-tulisan Perjanjian Baru memberikan kesan bahwa penulisnya mengenal tulisan-tulisan Deuterokanonika
dan tulisan non-kanonik yang lain. Dengan kata lain, mereka tidak hanya
mengacu pada kanon Ibrani, tetapi juga kanon yang lebih luas, yang biasa
disebut kanon Aleksandria.33 Meskipun demikian, Fakta ini sebenarnya
menarik untuk diperhatikan. Saat Perjanjian Baru mengutip Perjanjian Lama,
kita dapat menemukan kutipan langsung dari teks Perjanjian Lama atau
adanya pengantar, misalnya, “Seperti ada tertulis.” Tidak demikian halnya
relasi dengan teks-teks Deuterokanonika di atas. Tidak ada satu pun yang eksplisit atau diberi pengantar sebagai-mana layaknya. Mengapa demikian?
Ketika kekristenan menyebar ke dunia Yunani, dan dengan demikian
semakin banyak orang Kristen berasal dari dunia Yunani, mereka tetap
menggunakan Kitab Suci yang mereka warisi dari Yudaisme helenis, yaitu
LXX. Kumpulan ini tidak hanya memuat tulisan-tulisan yang aslinya ditulis
dalam bahasa Ibrani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani,
tetapi juga tulisan-tulisan yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani. Ini tampak jika kita membandingkan kutipan Perjanjian Lama yang terdapat dalam
Perjanjian Baru. Sebagian besar kutipan tersebut (sekitar 80%) tidak diambil
dari teks Ibrani, melainkan dari LXX. Contoh yang paling terkenal tentu saja
adalah Mat 1:23 yang mengutip Yes 7:14 LXX. Gejala ini akan lebih mudah
dipahami kalau rujukan yang tersedia bagi para pengarang Perjanjian Baru
adalah LXX, atau versi Yunani dari Kitab Suci Ibrani. Hanya saja, kita tidak harus dikatakan bahwa di dalam Perjanjian Baru, tidak ditemukan satu
pun kutipan langsung dari tulisan-tulisan Deuterokanonika. Yang ada hanyalah semacam alusi atau rujukan tidak langsung. Para ahli mencatat
kedekatan, misalnya, Yak 1:19 dengan Sir 5:11, 1Ptr 1:6 dengan Keb 3:5-7,
lbr 11:35 dengan 2Mak 7:9,11,14,23,29,36,34 lbr 1:3 dengan Kol 1:15 dengan
Keb 7:26, serta Rom 1:18-21 dengan Keb 13:1-9.35 Selain itu, Yud 14-15 jelas
mengutip dari 1 Henoch 1:9. Sementara Yud 9 menurut Origenesis merujuk
pada Assumption of Moses.36
Tentu saja kutipan-kutipan seprti ini tidak harus berarti bahwa sumber-sumber itu dikutip karena mereka adalah bagian dari Kitab Suci. Paulus
dalam Kis 17:28 mengutip penyair Yunai, Arutus, dan tidak ada seorang
pun yang menganggap bahwa hasil karya penyair ini diterima dan diakui
sebagai teks kanonik. Dengan kata lain, alusi atau rujukan seperti ini hanya
dapat berarti bahwa penulis Perjanjian Baru mengenal tulisan-tulisan lain
di luar kanon Kitab Suci Ibrani. Dari fakta ini, tidak dapat ditarik kesimpulan tentang wibawa, kanonisitas atau karakter lainnya dari teks-teks yang
dikutip itu.37 Akan tetapi sebaliknya, kita juga tidak dapat menyimpulkan
dengan pasti bahwa teks-teks itu tidak mempunyai wibawa, tidak kanonik,
tidak dianggap kudus, dan sebagainya.tahu bentuk persis LXX yang diwariskan kepada kekristenan Yunani itu.
Yang diwarisi oleh kekristenan Yunani itu tampaknya adalah tulisan-tulisan yang di dalam Yudaisme sendiri sudah dianggap sebagai Kitab
Suci, akan tetapi masih berada dalam proses kanonisasi, terutama berkaitan
dengan bagian “Tulisan” atau Ketubim.
38 Dengan membawa LXX sebagai
Kitab Suci, boleh dikatakan Gereja Perdana mulai mengarungi jalannya
sendiri, khususnya setelah perpecahan antara kekristenan dan Yudaisme
akhirnya memang terjadi. Dalam konteks ini, dapat dipahami usaha para
Bapa Gereja untuk membela otoritas atau wibawa LXX sebagai tulisan
yang juga diinspirasikan oleh Roh Kudus (misalnya Agustinus, De Doctrina
Christiana, II, 22; Sirilus dari Yerusalem, Catechesis IV, 33-34).39
Justru karena Gereja Perdana sudah berada di jalurnya sendiri, terpisah dari Yudaisme, maka ketika Yudaisme akhirnya menentukan kanon
Kitab Sucinya, Gereja sudah tidak banyak terpengaruh lagi. Dengan kata
lain, kekristenan bebas untuk memutuskan bagi mereka sendiri tulisan
mana yang layak dimasukkan ke dalam Kitab Suci mereka.40 Secara teoretis, sudah terbuka jalan bagi masuknya tulisan-tulisan Deuterokanonika
ke dalam kanon Kitab Suci Kristen. Inilah sebenarnya yang menjadi inti
dari gagasan dokumen ini sehubungan dengan kanonisasi tulisan-tulisan
Deuterokanonika. Bagian berikutnya dari JPSS, lebih merupakan suatu usaha untuk menelusuri perkembangan lebih lanjut dari kanon Kitab Suci
Kristen setelah berpisah dari bayang-bayang Yudaisme sampai dengan
proklamasi definitif yang dibuat oleh Konsili Trento.
3. Formation of the Christian Canon
18. The Old Testament of the early Church took different shapes in
different regions as the diverse lists from Patristic times show. The
majority of Christian writings from the second century, as well as
manuscripts of the Bible from the fourth century onwards, made
use of or contain a great number of Jewish sacred books, including
those which were not admitted into the Hebrew canon. It was only
after the Jews had defined their canon that the Church thought
of closing its own Old Testament canon. But we are lacking information on the procedure adopted and the reasons given
for the inclusion of this or that book in the canon. It is possible,
nevertheless, to trace in a general way the evolution of the canon
in the Church, both in the East and in the West.
In the East from Origen’s time (c. 185-253) there was an attempt
to conform Christian usage to the Hebrew canon of 24/22 books
using various combinations and stratagems. Origen himself knew
of the existence of numerous textual differences, which were
often considerable, between the Hebrew and the Greek Bible. To
this was added the problem of different listings of books. The
attempt to conform to the Hebrew text of the Hebrew canon did
not prevent Christian authors in the East from utilizing in their
writings books that were never admitted into the Hebrew canon,
or from following the Septuagint text. The notion that the Hebrew
canon should be preferred by Christians does not seem to have
produced in the Eastern Church either a profound or long-lasting
impression.
In the West, the use of a larger collection of sacred books was
common and was defended by Augustine. When it came to
selecting books to be included in the canon, Augustine (354-430)
based his judgment on the constant practice of the Church. At
the beginning of the fifth century, councils adopted his position
in drawing up the Old Testament canon. Although these councils
were regional, the unanimity expressed in their lists represents
Church usage in the West.
As regards the textual differences between the Greek and the
Hebrew Bible, Jerome based his translation on the Hebrew text.
For the deuterocanonical books, he was generally content to correct
the Old Latin (translation). From this time on, the Church in the
West recognized a twofold biblical tradition: that of the Hebrew
text for books of the Hebrew canon, and that of the Greek Bible
for the other books, all in a Latin translation.
Based on a time-honored tradition, the Councils of Florence in
1442 and Trent in 1546 resolved for Catholics any doubts and
uncertainties. Their list comprises 73 books, which were accepted
as sacred and canonical because they were inspired by the Holy
Spirit, 46 for the Old Testament, 27 for the New. In this way the
Catholic Church received its definitive canon. To determine this
canon, it based itself on the Church’s constant usage. In adopting
this canon, which is larger than the Hebrew, it has preserved an
authentic memory of Christian origins, since, as we have seen, the more restricted Hebrew canon is later than the formation of
the New Testament.
Dalam nomor 18 ini, Komisi melanjutkan pemaparannya dengan
menyampaikan perkembangan kanon Kristen di dalam Gereja. Yang jelas,
perjalanan proses ini ternyata harus melalui lorong yang berliku-liku. Sebagaimana dapat dilihat dari karya para Bapa Gereja, Perjanjian Lama Kristen
ternyata mempunyai bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.
Pada dasarnya, proses terbentuknya kanon Perjan-jian Lama Kristen berbeda
di dua kubu utama Gereja, yaitu di Gereja Barat dan Gereja Timur. Inilah
yang kemudian disampaikan oleh JPSS pada bagian berikutnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Gereja sebenarnya tidak
pernah mencapai kesepakatan utuh sehubungan dengan kanonisitas dari
tulisan-tulisan Deuterokanonika yang tidak termasuk kanon Ibrani,41 akan
tetapi di sini kita berhadapan dengan sebuah gejala yang menarik. Di satu
pihak, beberapa Bapa Gereja menyadari dan mengakui bahwa kanon yang
harus diikuti adalah kanon Kitab Suci Ibrani yang memuat 22/24 kitab
tanpa menyertakan tulisan-tulisan Deuterokanonika. Akan tetapi di lain pihak, sebagai seorang tokoh Gereja mereka tetap begitu saja menggunakan
dan mengutip tulisan-tulisan Deuterokanonika dan memperlakukannya
seolah-olah bagian dari Kitab Suci. Hal ini kentara khususnya di wilayah
Timur.
Di Timur, ada kecenderungan cukup kuat untuk mengikuti kanon
Ibrani dan dengan demikian menolak tulisan-tulisan Deuterokanonika, khususnya mulai dengan Origenes. Origenes mengakui ada perbedaan yang
tidak kecil antara teks Ibrani dan teks Yunani. Ia juga menerima keistimewaan teks Ibrani karena menyadari bahwa teks Ibrani menjadi bekal agar
dapat berdiskusi dengan orang-orang Yahudi. Akan tetapi tidak berarti
bahwa ia menolak atau melepaskan LXX. Origenes “saw no reason why the
Church should be disposessed of them just because the Jews did not acknowledged
them and there was no Hebrew version in existence.”42
Demikian juga Athanasius mendesak agar Gereja hanya menerima
22/24 tulisan seperti yang diyakini orang Yahudi; akan tetapi ia sendiri
tetap menggunakan tulisan-tulisan yang meragukan itu. Tokoh lain yangharus disebut di sini adalah Hieronimus. Di satu pihak, bertitik tolak dari
prinsip Veritas Hebraica, Hieronimus hanya mau menerima tulisan-tulisan
yang terdapat di dalam kanon Ibrani; akan tetapi di lain pihak, ia juga
(karena tekanan?43) menerjemahkan dan memasukkan tulisan-tulisan
Deuterokanonika ke dalam versi Latin, Vulgata yang dikerja-kannya. Untuk
tulisan-tulisan Deuterokanonika, Hieronimus hanya sekedar mengoreksi
teks Latin yang sudah ada (Vetus Latina). Hieronimus membedakan libri
canonici (tulisan-tulisan yang terdapat dalam kanon Ibrani) dan libri ecclesiastici (tulisan-tulisan apokrifa). Tulisan-tulisan terakhir ini, menurut
Hieronimus, dapat dan harus dibaca untuk pem-bangunan jemaat, tetapi
tidak dapat digunakan untuk menetapkan suatu doktrin gerejawi.44
Di wilayah Barat, Agustinus tampil sebagai pembela kanon “panjang”
yang diwarisi oleh Gereja. Daftar kitab yang disusun oleh Agustinus didasarkan pada kebiasaan menggunakan tulisan-tulisan tersebut yang sudah cukup
lama hidup di dalam Gereja. Konsili-konsili regional yang diadakan pada
abad 4-5—seperti misalnya Sinode Hippo (393), Konsili Kartago III (397), dan
Konsili Kartago IV (417)—mengambil alih daftar tulisan yang merupakan
isi Perjanjian Lama Kristen sebagaimana disusun oleh Agustinus.45 Paus
Innosensius I menerima daftar tersebut dan dalam suratnya kepada Uskup
Toulouse pada 405, ia menulis: “Apart from the canonical scriptures, nothing
must be read in Church, under the title of the divine Scriptures.”46 Penegasan
Paus ini menambah wibawa pada kanon Kristen sebagaimana dirumuskan
kembali oleh Agustinus dengan berdasar pada praksis jemaat.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya pada 8 April 1546, dalam sesi
ke-IV Konsili Trento, melalui dekrit De Canonicis Scripturis, dinya-takanlah
secara definitif dan mengikat kanon Kitab Suci Katolik. Ada tujuh puluh tiga kitab yang dinyatakan kanonik, terdiri dari empat puluh enam kitab
Perjanjian Lama dan dua puluh tujuh tulisan-tulisan Perjan-jian Baru.
Banyak orang mengatakan bahwa Konsili Trento diadakan dalam situasi
yang tidak ideal. Nuansa polemik dengan reformasi dapat dipastikan
mempengaruhi dekrit-dekrit yang dihasilkan oleh Konsili Trento, akan
tetapi dengan menerima kanon “panjang” Konsili Trento justru memelihara semangat dan tradisi Gereja awal. Sementara kelompok yang ingin
kembali ke kekristenan awal primitif dengan mengikuti kanon Ibrani, yang
sebenarnya ditentukan pada periode yang lebih kemudian. Keputusan
Konsili Trento ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan sejarah, akan
tetapi juga pertimbangan teologis, yaitu bahwa sejak awal Gereja sudah
menggunakan tulisan-tulisan tertentu.
Pada 2001 Komisi Kitab Suci Kepausan menerbitkan
sebuah dokumen berjudul The Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible dengan maksud untuk mengembangkan
dialog Kristen-Yudaisme. Sebagai bagian dari argumen yang
dikemukakan, Komisi menjelaskan proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika. Oleh Gereja Katolik dan beberapa Gereja
Timur lainnya, tulisan itu dianggap kudus dan diinspirasikan oleh
Roh Kudus; sementara Gereja Reformasi dan Yudaisme menolak
tulisan-tulisan tersebut. Ajaran yang terkandung di sini tampaknya merupakan satu-satunya penjelasan resmi yang dikeluarkan
oleh Gereja Katolik. Apa pun bobot dokumen yang dikeluarkan oleh sebuah Komisi Kepausan ini, dokumen ini perlu dihargai
karena memberikan gambaran kepada umat tentang proses
kanosisasi untuk tulisan-tulisan Deuterokanonika.