teori deuterokanonika



 teori deuterokanonika

Demikian secara agak panjang lebar kami mencoba menampilkan 

ajaran tentang tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagaimana tercantum 

dalam dokumen PBC. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses 

kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika terjadi karena setidaknya dua 

faktor penting. Pertama, dengan mengambil dan menerima tulisan-tulisan 

Deuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab Sucinya, kekristenan awal 

sebenarnya hanya mengikuti kebiasaan yang sudah terjadi di dalam Yu￾daisme dan dilanjutkan oleh jemaat Kristen Perdana. Kedua, kekristenan 

dapat mengambil dan memasukkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam 

kanonnya sendiri karena pada waktu itu, kanon Ibrani masih belum ter￾tutup, paling tidak untuk bagian ketiga dari Tanak, yaitu “Tulisan.” Den￾gan kata lain, perbedaan antara kanon Ibrani dan kanon Perjanjian Lama 

Kristen sebenarnya lebih menyangkut masalah sejarah dan bukan masalah 

isi.47 Kekristenan tidak mempunyai kriteria khusus untuk memilih dan menentukan teks-teks yang akan dimasukkan dalam kanonnya.

Lepas dari isi gagasan yang ditawarkan, kehadiran ajaran tentang 

proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagaimana ditampil-kan 

JPSS perlu mendapat perhatian sekurang-kurangnya untuk hal-hal berikut 

ini.

Pertama, seperti sudah disadari oleh banyak pihak, tulisan-tulisan 

yang mau mempertanggungjawabkan kehadiran tulisan deutero-kanonika 

sehingga dapat membantu pemahaman umat beriman ternyata amat sedikit. 

Memang ada banyak tulisan tentang kanon Kitab Suci, akan tetapi keban￾yakan dari mereka, atau tidak berbicara apa-apa tentang Deuterokanonika

atau justru bertentangan dengan atau menyerang tradisi Gereja Katolik 

yang mengakui tulisan-tulisan Deuterokanonika sebagai bagian dari Kitab 

Sucinya. Sejauh jangkauan penulis, ada dua tulisan yang cukup jelas dan 

seimbang dalam menguraikan problem Deuterokanonika. Pertama, artikel 

berjudul “Canonicity” hasil karya patungan almarhum Raymond E. Brown 

dan Raymond F. Collins dalam The New Jerome Biblical Commentary (1990).48

Kedua, artikel dari Reginald C. Fuller yang berjudul “The Deuterocanonical 

Writings” yang terdapat dalam The International Bible Commentary (1998). 

Ketiganya adalah ahli kitab yang juga imam Gereja Katolik. Secara umum 

kedua artikel itu memberikan gambaran yang mirip satu sama lain. Paparan 

yang terdapat dalam dokumen PBC ini, sebenarnya juga tidak banyak 

berbeda dari tulisan yang sudah ada. Rupanya memang “hanya” demiki￾anlah gagasan tentang proses kanonisasi tulisan-tulisan Deuterokanonika. 

Kelihatan bahwa dokumen PBC ini pun cukup besar dipengaruhi 

terutama oleh artikel Brown dan Collins. Hal ini tidak amat meng-her￾ankan apalagi kalau diingat bahwa pada 1996, Brown sekali lagi dipilih 

menjadi anggota PBC. Kehadiran dokumen ini merupakan kontribusi yang 

berharga untuk jemaat beriman. Diharapkan para pembaca juga terbantu 

dalam memahami tulisan-tulisan Deuterokanonika yang merupakan salah 

satu crux dalam relasi Gereja Katolik dengan Gereja-gereja lain. Kedua, JPSS tidak hanya sekedar memberikan keterangan kepada 

jemaat beriman sehubungan dengan proses kanonisasi tulisan-tulisan 

Deuterokanonika. Bobot penjelasan ini menjadi berlipat-lipat justru karena 

disampaikan oleh Komisi Kitab Suci Kepausan, lembaga yang oleh Tahta 

Suci mendapat kepercayaan untuk menangani hal-hal yang berkaitan den￾gan Kitab Suci. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ajaran tentang 

tulisan-tulisan Deuterokanonika yang terdapat dalam JPSS meru-pakan 

ajaran resmi Gereja. 

Memang masih dapat diperdebatkan dan didiskusikan sejauh mana 

bobot pernyataan sebuah Komisi Kepausan. Apakah JPSS memang mem￾punyai kualifikasi sebagai suatu ajaran resmi yang mengikat semua orang 

Katolik? Tanpa harus berkutat lebih lanjut dengan pertanyaan yang berkaitan 

dengan otoritas seperti ini, rupanya JPSS tetap merupakan suatu sumbangan 

yang meneguhkan jemaat beriman. 

Sudah biasa dikatakan bahwa dibandingkan dengan kelompok Refor￾masi yang begitu mengandalkan sola scriptura, Gereja Katolik berpegang 

pada Kitab Suci dan Tradisi. Dengan kata lain, bagi orang beriman Katolik, 

Tradisi yang dapat berarti ajaran Gereja atau Magisterium juga harus diper￾timbangkan dalam menghadapi suatu persoalan tertentu. Berkaitan dengan 

Kitab Suci, bagi orang Katolik sebenarnya ada banyak persoalan yang 

seolah-olah masih mengambang, misalnya, bagaimana harus memahami 

kebenaran Kitab Suci; bagai-mana orang dapat menafsirkan Kitab Suci; 

bagaimana memahami hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, 

dan sebagainya. Di hadapan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, memang 

dapat diusulkan aneka macam jawaban. Akan tetapi sebenarnya kita juga 

dapat berpaling pada dokumen-dokumen Gereja dan mencari jawaban di 

situ. Dalam hal tulisan-tulisan Deuterokanonika, daripada mengajukan aneka 

macam teori, mungkin akan lebih sederhana—dan sekaligus berwibawa—

kalau kita merujuk saja pada penjelasan yang sudah disampaikan oleh 

Gereja, melalui dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, Ketiga, kendati segala hal positif yang sudah disebutkan di atas, 

catatan kritis tetap dapat dan perlu diberikan. Meskipun pernyataan 

PBC sehubungan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika cukup jelas dan 

dapat diterima, tetap harus diakui bahwa pernyataan atau ajaran yang 

disampaikan bukanlah satu-satunya ajaran yang mungkin. Terus terang, 

topik ini merupakan topik yang cukup problematik. Tidak ada unanimitas 

di antara para ahli sehubungan dengan hal ini. Ada banyak penjelasan 

lain yang mungkin dapat diajukan untuk memahami masuknya tulisan 

Deuterokanonika ke dalam Kitab Suci Kristen.49 Dengan mengambil dan 

memilih salah satu dari sekian banyak teori yang ada, berarti pandangan 

dan teori lain praktis tersingkirkan. Apa alasannya? Persoalan dapat ber￾tambah karena dengan “meningkatkan status” satu pandangan menjadi 

ajaran Gereja, pandangan tersebut menjadi terbakukan dan terbekukan. 

Dengan demikian, kalau ada kritik yang muncul, kritik tersebut tidak lagi 

melawan satu pandangan atau teori saja, tetapi akan dianggap menghadapi 

ajaran Gereja.

Dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan yang baru saja kita bahas 

sebenarnya merupakan dokumen yang diterbitkan sekitar sepuluh tahun 

yang lalu. Di satu pihak, tulisan seperti ini rupanya memang sudah amat 

terlambat; akan tetapi di lain pihak, harus diakui bahwa di dalam konteks 

Gereja Indonesia, masih amat sedikit tulisan-tulisan yang mengomentari 

suatu dokumen seperti ini. 

Dokumen JPSS ini sebenarnya amat kaya dan menantang. Meskipun 

pertama kali dialamatkan untuk mempromosikan hubungan antara Ge￾reja Katolik dan Yudaisme, dokumen ini menyiratkan beberapa implikasi 

teologis yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Hal ini jelas seperti yang dika￾takan oleh Kardinal Walter Kasper dalam sebuah simposium di Yerusalem 

pada 31 Oktober 2007: “There are a lot of open theological questions raised by 

this document that should be dealt with in theological academic circles, faculties, 

symposims and seminars.”



perbedaan kanon tampaknya sudah diterima sebagai sesuatu yang lebih menyangkut 

keyakinan pribadi. Oleh karena itu, berhadapan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika, 

mereka tidak lagi berbicara tentang mana yang benar dan mana yang salah, melainkan 

lebih memusatkan perhatian untuk mengapresiasi masing-masing tulisan tersebut. 

Dengan demikian, para ahli dari berbagai denominasi dapat duduk bersama untuk 

berdiskusi. Sebagai contoh, para sarjana Alkitab Indonesia yang tergabung dalam ISBI 

(Ikatan Sarjana Biblika Indonesia) pada 2008 mengadakan simposium nasional dengan 

mengambil tema “Literatur Intertestamental.” Di dalamnya tercakup juga tulisan-tu￾lisan Deuterokanonika. 

4 Jumlah ini sebenarnya tergantung bagaimana orang mau menghitung tulisan-tulisan 

yang ada. Penulis mengikuti pandangan umum yang mengatakan bahwa Gereja Katolik 

menerima 46 (empat puluh enam) tulisan Perjanjian Lama, yang terdiri dari 39 (tiga puluh 

sembilan) tulisan Protokanonika dan 7 (tujuh) tulisan Deuterokanonika. Tujuh tulisan yang 

dimaksud adalah Sirakh, Barukh, Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, 1 & 2 Makabe, 

serta bagian tambahan pada kitab Ester dan Daniel. Lihat Pontifical Biblical Commis￾sion, The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible (Vatican: Libreria 

Editrice Vaticana, 2002), p. 37, catatan nomor 27. 

5 Dokumen ini aslinya diterbitkan dalam bahasa Italia dan Prancis pada 24 Mei 2001. 

Terjemahan Inggris baru muncul sekitar enam bulan kemudian. Terjemahan ke dalam 

bahasa Inggris tampaknya mengandung cukup banyak kesalahan dibandingkan dengan 

bahasa aslinya. Lihat Charles H. Millar, “Translation Errors in the Pontifical Biblical Com￾mission’s The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible,”Biblical 

Theology Bulletin 35 (2005): 34-39. Karena tulisan ini terutama membahas dokumen ini, 

maka untuk memudahkan penulisan penulis menggunakan singkatan JPSS (Jewish 

People and Their Sacred Scriptures) sebagaimana diusulkan oleh John R. Donahue dalam 

kuliah umumnya tentang dokumen tersebut di Immaculate Conception Seminary 

Huntington, Long Island, Amerika Serikat, pada 16 Maret 2003.




Rupanya sudah diketahui oleh semua orang Kristen, bahwa perbedaan 

fundamental antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan1

 adalah 

keberadaan sekelompok tulisan yang biasa disebut tulisan-tulisan Deu￾terokanonika. Nama Deuterokanonika adalah sebutan khas yang digunakan 

oleh kelompok Katolik; sementara kelompok Protestan menyebutnya 

kitab-kitab Apokrifa.2

 Justru karena tulisan-tulisan tersebut menjadi garis 

pemisah antara kedua kelompok tersebut, tidak mengherankan bahwa 

diskusi, khususnya yang bersifat polemik apologetik, tentang tulisan-tu￾lisan tersebut terus berjalan, terutama di kalangan umat. Di kalangan para 

ahli, diskusi rupanya tidak lagi diarahkan pada masalah mana yang benar 

antara kanon “panjang” dan kanon “pendek,” tetapi lebih pada sumbangan 

tulisan-tulisan tersebut untuk memahami konteks sejarah pada waktu itu.3

Justru karena tidak banyak diskusi di kalangan para ahli, sangat 

sedikit keterangan yang tersedia yang berkaitan dengan tulisan-tulisan 1 Dua kategori yang dipakai di sini, yaitu Katolik dan Protestan, diambil dengan alasan 

praktis. Selain oleh Gereja Katolik, tulisan-tulisan Deuterokanonika juga dipakai oleh 

Gereja-gereja Ortodoks Timur. Hanya saja, karena kelompok Katolik dan Protestan 

merupakan dua kelompok dominan dalam kekristenan di Indonesia, maka dipakai 

penggolongan sederhana menjadi dua kategori saja.

2 Terminologi yang dipakai oleh kelompok Katolik dan Protestan untuk menyebut Per￾janjian Lama dan dokumen-dokumen di sekitarnya memang agak membingungkan. 

Secara sederhana ungkapan yang dipakai adalah sebagai berikut:

Katolik Protestan

Protokanonika Perjanjian Lama Kanonik

Deuterokanonika Apokrifa

Apokrifa Pseudepigrafa


Deuterokanonika, khususnya yang berkaitan dengan proses kanonisasi 

tulisan-tulisan tersebut. Mengapa dapat terjadi perbedaan kanon antara 

kelompok Katolik dan Protestan? Bagaimana memahami tradisi Gereja 

Katolik yang menerima tujuh4

 tulisan Deuterokanonika sebagai bagian dari 

kanon Perjanjian Lamanya? Dalam situasi seperti ini, dokumen Komisi 

Kitab Suci Kepausan, The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the 

Christian Bible yang dikeluarkan pada 24 Mei 2001 menawar-kan sesuatu 

yang menarik.5

 Mengapa? Karena dokumen tersebut secara eksplisit menu￾liskan bagaimana kanonisasi tulisan-tulisan Deutero-kanonika itu dapat dan 

harus dipahami.

Tulisan ini bermaksud membahas pernyataan dokumen kepausan 

itu, baik konteks, isi maupun implikasinya. Oleh karena itu, akan dibahas 

secara singkat instansi yang mengeluarkan dokumen tersebut. Setelah itu, 

kita akan melihat bagaimana JPSS memaparkan pandangannya tentang tulisan Deuterokanonika, dilanjutkan dengan sekelumit catatan kritis dari 

penulis.

KOMISI KITAB SUCI KEPAUSAN DAN DOKUMEN-DOKUMENNYA

Komisi Kitab Suci Kepausan (Pontifical Biblical Commission)

6

 dibentuk 

oleh Paus Leo XIII dengan surat apostoliknya Vigilantiae studiique7

 tertang￾gal 30 Oktober 1902. Meskipun bukan Kongregasi dalam arti ketat, PBC 

disusun seperti layaknya Kongregasi-kongregasi Romawi lainnya. Sebelum 

Konsili Vatikan II, anggota PBC terdiri dari beberapa kardinal, sebagian 

merupakan anggota dari Kuria Romana, dibantu oleh sejumlah consultores

yang merupakan para ahli Kitab Suci Katolik dari berbagai negara. 

Berdasarkan surat apostolik Leo XIII itu, kepada PBC dipercayakan 

dua tugas utama.8

 Di satu pihak, Komisi ini diharapkan terus mendorong 

studi ilmiah Kitab Suci sebagaimana sudah diarahkan oleh ensiklik Prov￾identissimus Deus (Leo XIII, 18 November 1893). Oleh karena itu, studi 

filologi serta ilmu-ilmu lain yang membantu harus semakin dikembang￾kan.9

 Di lain pihak, Komisi juga mendapat tugas untuk secara aktif dan 

cermat menjaga kewibawaan Kitab Suci dan melindunginya tidak hanya 

dari “every breath of error but also from all inconsiderate opinions.”10 Kendati 

ada usaha untuk memajukan studi Kitab Suci secara ilmiah, rupanya tetap 

tampak juga sikap defensif Gereja di hadapan arus perkembangan dunia 

dan ilmu pengetahuan modern. Sikap defensif ini tampak dari tangga￾pan-tanggapan (Responsa) terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan 

sehubungan dengan beberapa topik alkitabiah, khususnya yang berkaitan 

dengan kesejarahan.

Sesudah Konsili Vatikan II, situasinya agak berbeda. Dengan dijiwai oleh semangat Konsili Vatikan II yang mengharapkan Kitab Suci lebih 

dibuka kepada jemaat awam, Paus Paulus VI melalui surat apostolik 

Sedula Cura (27 Juni 1971) bermaksud merestrukturisasi PBC. Sambil tetap 

menyatakan bahwa fungsi Komisi adalah mendorong studi-studi Kitab 

Suci dan membantu Magisterium dalam hal penafsiran Kitab Suci, ada 

dua hal baru yang terjadi dalam PBC.11 Perubahan pertama menyangkut 

keberadaan PBC. Sejak saat itu PBC berada di bawah Kongregasi Suci 

Ajaran Iman. Dengan demikian, kardinal prefek Kongregasi sekaligus 

menjadi presiden PBC. Perubahan kedua menyang-kut keanggotaan 

Komisi. Anggota Komisi tidak lagi terdiri dari para kardinal, melainkan 

para pakar Kitab Suci dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Jumlahnya 

tidak melebihi dua puluh orang. 

Dalam periode sesudah Konsili Vatikan II, Komisi yang diperba￾rui sudah menerbitkan beberapa dokumen penting. Pada 1984, Komisi 

menerbitkan Bible et christologie yang membahas beberapa pertanyaan 

yang berkaitan dengan Kristologi. Kemudian pada 15 April 1993, Komisi 

menyerahkan kepada Paus Yohanes Paulus II dokumen berjudul The 

Interpretation of the Bible in the Church. Komisi berusaha memberikan 

sumbangan sehubungan dengan cara-cara yang paling tepat untuk dapat 

sampai pada penafsiran Kitab Suci yang tetap setia pada karakter teks 

yang sekaligus bersifat ilahi dan manusiawi. Dokumen PBC yang menjadi 

pokok pembicaraan kita, Le peuple juif et ses Saintes Écritures dans la Bible 

chrétienne (The Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible) 

diterbitkan pada 24 Mei 2001. Dokumen yang paling baru dari PBC adalah 

The Bible and Morality: Biblical Roots of Christian Conduct, yang diterbitkan 

pada 11 Mei 2008. 

Sejauh pengetahuan penulis, hanya satu dari dokumen-dokumen 

tersebut yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Itu pun sudah 

agak terlambat. Terjemahan Indonesia dari dokumen The Interpretation of 

the Bible in the Church baru diterbitkan pada 2003.12 Dokumen yang akan dibahas dalam tulisan ini memang berasal dari tahun 2001, akan tetapi 

permasalahan yang diangkat rupanya masih cukup relevan mengingat 

pembahasan dokumen-dokumen PBC itu sangat jarang atau hampir tidak 

pernah dilakukan di Indonesia. Tentu saja hal ini sangat disayangkan 

mengingat dokumen-dokumen tersebut sebenarnya dapat memberikan 

sumbangan pemikiran atau pun arah pastoral bagi kita.

KONTEKS JPSS

Sebelum topik utama tulisan ini yaitu ajaran Gereja, atau paling tidak 

ajaran PBC, berkaitan dengan tulisan-tulisan Deuterokanonika dibicarakan, 

rupanya baik jika konteks dan paparan umum JPSS disam-paikan terlebih 

dahulu. 

Secara umum, dokumen ini mau menyumbangkan pemikiran yang 

diharapkan dapat menumbuhkembangkan relasi antara Gereja dengan 

orang-orang Yahudi. Dalam hal ini tampak jelas bahwa PBC mengikuti arah 

yang ditunjukkan oleh Paus Paulus VI dalam homilinya pada 28 Oktober 

1965 saat deklarasi Nostra Aetate dipromulgasikan.13

Pertama-tama topik ini dikembangkan berdasarkan pengalaman 

tragis yang menimpa orang Yahudi pada sekitar Perang Dunia II. Di hada￾pan peristiwa mengenaskan itu, sebagian orang Kristen gagal melakukan 

sesuatu yang sebenarnya diharapkan dari murid-murid Kristus; meskipun 

tetap harus diakui bahwa sebagian lainnya membantu orang-orang Yahudi 

yang berada dalam bahaya kendati dengan resiko hidup mereka sendi￾ri.14 Di hadapan pengalaman seperti itu Gereja ditantang untuk meninjau 

kembali hubungannya dengan orang-orang Yahudi. 

Usaha PBC untuk menelusuri kembali relasi Kristen-Yahudi dari 

sudut pandang alkitabiah merupakan sesuatu yang penting. Tidak dapat diingkari bahwa nada Anti-Yudaisme15 yang dalam arti tertentu memicu 

kekerasan terhadap orang Yahudi juga mempunyai akarnya dalam Kitab 

Suci Kristiani, dalam hal ini Perjanjian Baru. Oleh karena itu, secara umum 

dokumen ini mau mengolah dua pertanyaan. Pertama, bagai-mana bangsa 

Yahudi digambarkan dalam Kitab Suci Kristiani, yaitu Perjanjian Lama 

dan Perjanjian Baru? Kedua, di mana tempat Kitab Suci Ibrani dalam Kitab 

Suci Kristiani?

Dokumen ini terdiri dari tiga bab besar dengan diapit oleh sebuah In￾troduksi dan Kesimpulan. Bab pertama memperlihatkan bahwa Perjanjian 

Baru mengakui dan menerima wibawa Perjanjian Lama sebagai pewahyuan 

ilahi. Diakui juga bahwa Perjanjian Baru tidak dapat dipahami secara utuh 

terlepas dari Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi yang meneruskannya. 

Dengan demikian, dicoba diatasi sebuah teologi yang memandang Perjan￾jian Lama sebagai sesuatu yang sudah kuno dan tidak berguna lagi karena 

yang baru yang merupakan pemenu-hannya sudah muncul.16

Bab kedua menelusuri hubungan antara Perjanjian Lama dan Per￾janjian Baru dengan meneliti topik-topik yang terdapat di dalam kedua 

Perjanjian itu, seperti misalnya pewahyuan Allah, pribadi manusia, perjan￾jian, hukum, dan sebagainya. Pada setiap pembahasan ditunjukkan bahwa 

relasi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di satu pihak dicirikan 

oleh kontinuitas, di lain pihak, oleh diskontinuitas. Bab ketiga secara khu￾sus meninjau bagaimana orang Yahudi dilukiskan dalam Perjanjian Baru.

Pernyataan JPSS tentang proses kanonisasi tulisan-tulisan Deute￾ro-kanonika yang menjadi topik tulisan ini, terdapat pada bab pertama 

yang terdiri dari lima sub bab.17 Berbicara tentang relasi Yahudi-Kristen 

mau tidak mau harus berbicara tentang Kitab Suci Ibrani yang dalam 

kosa Kristiani disebut Perjanjian Lama. Kitab Suci Kristiani memuat, di satu pihak, Kitab Suci Ibrani, akan tetapi di lain pihak, juga mempunyai 

kumpulan tulisan lain yang kemudian menjadi Perjanjian Baru. Meskipun 

demikian, kanon Perjanjian Lama Yahudi ternyata berbeda dari kanon 

Perjanjian Lama menurut tradisi Kristen. JPSS berusaha menjelaskan per￾bedaan kanon ini dalam bagian terakhir bab pertama: The Extension of the 

Canon of Scripture atau no. 16-18.

DEUTEROKANIKA MENURUT JPSS

Setelah memperhatikan konteks munculnya dokumen PBC ini, kita 

dapat masuk pada tema yang sesungguhnya dari tulisan ini, yaitu men￾gamati bagaimana pandangan JPSS tentang proses kanonisasi tulisan-tu￾lisan Deuterokanonika. 

Pandangan JPSS ini terdapat dalam no. 16-18 dokumen ini. Untuk 

lebih membantu pembaca, bagian dokumen yang relevan akan disajikan 

disertai dengan komentar dan analisis penulis.18

No. 16. The title “canon” (Greek kanôn, “rule”) means the list of 

books which are accepted as inspired by God and having a regu￾latory function for faith and morals. We are only concerned here 

with the formation of the canon of the Old Testament.

1. In Judaism

There are differences between the Jewish canon of Scripture and the 

Christian canon of the Old Testament. To explain these differences, 

it was generally thought that at the beginning of the Christian era, 

there existed two canons within Judaism: a Hebrew or Palestinian 

canon, and an extended Alexandrian canon in Greek— called the 

Septuagint—which was adopted by Christians.

Recent research and discoveries, however, have cast doubt on this 

opinion. It now seems more probable that at the time of Christian￾ity’s birth, closed collections of the Law and the Prophets existed 

in a textual form substantially identical with the Old Testament. 

The collection of “Writings”, on the other hand, was not as well defined either in Palestine or in the Jewish diaspora, with regard 

to the number of books and their textual form. Towards the end 

of the first century A.D., it seems that 24/22 books were generally 

accepted by Jews as sacred, but it is only much later that the list 

became exclusive. When the limits of the Hebrew canon were fixed, 

the deuterocanonical books were not included.

Many of the books belonging to the third group of religious texts, 

not yet fixed, were regularly read in Jewish communities during the 

first century A.D. They were translated into Greek and circulated 

among Hellenistic Jews, both in Palestine and in the diaspora.

JPSS mengawali uraiannya tentang Deuterokanonika dengan menunjuk 

situasi seputar kanon Perjanjian Lama yang terjadi pada dua tradisi, yaitu 

Yudaisme dan Gereja Perdana (no. 16-17). JPSS mulai dengan mengutip 

pendapat lama yang diikuti cukup banyak orang, yaitu bahwa pada awal 

periode Kekristenan, ada dua kanon di dalam Yudaisme. Yang pertama 

adalah kanon Ibrani/Palestina. Yang kedua adalah kanon Aleksandria 

yang ditulis dalam bahasa Yunani, yaitu Septuaginta (LXX)19 yang kemudian 

diambil alih oleh orang Kristen.

Pendapat tentang adanya kanon “pendek” dan kanon “panjang” 

sebenarnya merupakan pandangan yang cukup populer di kalangan orang 

banyak untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan masuknya 

tulisan Deuterokanonika ke dalam kanon Perjanjian Lama Kristen. Kanon 

pendek terdiri dari 24/22 kitab Perjanjian Lama Ibrani. Sementara kanon 

panjang yang merupakan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, mencak￾up juga tulisan-tulisan Deuterokanonika. 

Kanon “pendek,” atau kanon Palestina, biasanya dikaitkan dengan 

Konsili Yamnia. Di Yamnia inilah pada 90 M, para rabi berkumpul bersama 

dan secara resmi memutuskan tulisan-tulisan mana serta teks mana yang 

dianggap ditulis berdasarkan inspirasi ilahi sehingga dapat digolongkan 

sebagai Kitab Suci.20 Sementara kanon “panjang” dihu-bungkan dengan 

terbentuknya versi Yunani dari Perjanjian Lama atau lebih dikenal dengan 

nama Septuaginta (LXX).

Akan tetapi belakangan ini, demikian dikatakan oleh JPSS, gagasan 

tentang adanya dua kanon itu tampaknya tidak lagi dapat dipertahankan. Keberadaan Konsili Yamnia yang dianggap merupakan saat untuk memu￾tuskan kanon Perjanjian Lama Ibrani sangat diragukan oleh banyak ahli.21

Joseph Blenkinsopp menyebut peristiwa itu sebagai “a myth of Christian 

scholarship without documentary foundation.”22 Satu-satunya teks yang paling 

sering diacu dan dianggap menjadi dasar bagi gagasan ini adalah m. Ya￾dayim 3,5. Traktat ini membicarakan diskusi antara para rabi (di Yamnia?} 

sehubungan dengan kitab-kitab yang dianggap dapat “mence-markan 

tangan,” atau kudus. Akan tetapi yang dibicarakan di sana hanyalah Ki￾dung Agung dan Pengkhotbah. Tidak ada diskusi tentang tulisan-tulisan 

lain, dan juga tidak ada keterangan bahwa tulisan-tulisan apokrifa dari 

kanon Ibrani.23

Demikian juga keberadaan kanon “panjang” atau kanon Aleksandria 

yang merupakan versi Yunani dari Kitab Suci Ibrani tidak lagi dapat diper￾tahankan. Setidaknya ada dua alasan yang meragukan keberadaan kanon 

Aleksandria.24 Yang pertama, proses terjadinya LXX sebagaimana dicerita￾kan dalam Surat Aristeas sekarang ini dianggap sebagai sebuah legenda. 

Seluruh Perjanjian Lama, atau bahkan Pentateukh, tidak diterjemahkan 

ke dalam bahasa Yunani pada saat yang bersamaan (dalam waktu tujuh 

puluh dua hari pada 275 sM) oleh 72 (tujuh puluh dua) atau 70 (tujuh pu￾luh) penerjemah yang bekerja di bawah perlindungan raja Ptolomeus II 

Philadelphus. Kedua, sebelumnya pernah dipikirkan bahwa tulisan-tulisan


Deuterokanonika yang terdapat dalam LXX ditulis langsung dalam bahasa 

Yunani, dan bukan dalam bahasa Ibrani atau Aram, yaitu bahasa suci 

yang dikenal di Palestina. Akan tetapi, sekarang terbukti bahwa sejumlah 

tulisan-tulisan Deutero-kanonika aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani (Kitab 

Putra Sirakh, Yudit, 1Makabe) atau Aram (Kitab Tobit). 

Bertitik tolak dari sini, JPSS menyampaikan pendapatnya. Pada sep￾utar lahirnya kekristenan, tampaknya sudah terbentuk kumpulan tertutup 

dari bagian pertama dan kedua dari Kitab Suci Ibrani, yaitu “Hukum” 

dan “Nabi-nabi” dengan tradisi tekstual yang kurang lebih sama dengan 

Perjanjian Lama yang kita miliki. Gagasan ini bukanlah gagasan yang 

sama sekali baru. Kitab-kitab “Hukum” dan “Nabi-nabi” sudah sejak lama 

mendapatkan tempat utama di dalam jemaat. Sebagai variasi dari gagasan 

tentang kanon Yamnia, dikatakan bahwa kitab “Hukum” mendapatkan 

bentuk akhirnya pada sekitar 400 sM. Sementara bentuk definitif “Nabi-nabi” 

dicapai pada kira-kira 200 sM.25

Sementara bagian ketiga dari Kitab Suci Ibrani, yaitu “Tulisan” (Ke￾tubim) masih belum ditentukan, baik di Palestina maupun di diaspora, 

sehubungan dengan kitab mana yang termasuk serta juga teks mana yang 

diterima. Hal ini rupanya didukung juga oleh ketidakseragaman cara 

menyebut bagian ini seperti yang terdapat dalam Pengantar Penerjemah 

kitab Putra Sirakh serta Perjanjian Baru.26 Dalam Luk 24: 44 digunakan isti￾lah “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.” Sementara 

dalam Kata Pengantar kitab Putra Sirakh tiga kali digunakan ungkapan 

yang berbeda: “Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab yang kemudian dari 

itu,”27 “Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab nenek moyang kita,” dan 

“Kitab Taurat, para Nabi dan kitab-kitab lain itu.” 

Dengan demikian, pada akhir abad pertama, tampaknya secara 

umum, 22/2428 buku sudah dianggap kudus oleh orang Yahudi kendati kanonisasi dalam arti ketat masih belum tercapai. Sementara “Tulisan” atau 

bagian ketiga dari Kitab Suci Ibrani masih belum ditentukan jangkauannya.

Dokumen kemudian melanjutkan dengan menyatakan bahwa ban￾yak dari tulisan-tulisan yang termasuk bagian ketiga ini secara rutin dibaca 

di dalam komunitas Yahudi pada abad pertama ini. Tulisan-tulisan itu 

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan beredar di kalangan 

orang Yahudi helenis, baik di Palestina maupun di diaspora. 

Menanggapi pernyataan JPSS ini, harus dikatakan bahwa tidak mudah 

menunjukkan bahwa tulisan-tulisan dari bagian ketiga ini memang sung￾guh-sungguh dibaca secara reguler dalam komunitas Yahudi.29 Sebenarnya 

tidak ada kesaksian yang cukup kuat untuk mendukung hal ini. Di antara 

tulisan-tulisan rabinik, sekali Tosefta menyebut kitab Putra Sirakh (t. Yad

2,13). Akan tetapi kalau kita memperhatikan dokumen yang ditemukan 

di Qumran, kita temukan cukup banyak fragmen dari kitab Putra Sirakh, 

Yudit, Surat Yeremia, serta Tobit (dan mungkin juga kisah Daniel dan Su￾sana?). Bahkan dikatakan bahwa dua pertiga versi Ibrani dari Kitab Putra 

Sirakh telah berhasil direkonstruksi berdasarkan pada fragmen-fragmen 

yang ditemukan di Cairo Geniza, Qumran, dan Masada.30 Jika manuskrip￾manuskrip ini dapat dijadikan bahan pertim-bangan, tampaknya tulisan-tu￾lisan Deuterokanonika tersebut memang pernah mendapat tempat dalam 

tradisi Yudaisme. 

Fakta bahwa tulisan-tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa 

Yunani dan menjadi bagian dari Perjanjian Lama Yunani menunjukkan beta-pa populernya tulisan-tulisan tersebut.31 “If they used the Deuterocano-nical 

books in the Diaspora, it was because they had received them from Palestine,” 

demikian kata James C. Turro.32 Demikian juga halnya kalau kita memper￾hatikan bahwa teks-teks tersebut tersebar dari Palestina sampai ke Mesir. 

2. In the Early Church

17. Since the first Christians were for the most part Palestinian 

Jews, either “Hebrew” or “Hellenistic” (cf. Ac 6:1), their views on 

Scripture would have reflected those of their environment, but 

we are poorly informed on the subject. Nevertheless, the writings 

of the New Testament suggest that a sacred literature wider than 

the Hebrew canon circulated in Christian communities. Generally, 

the authors of the New Testament manifest a knowledge of the 

deuterocanonical books and other non-canonical ones since the 

number of books cited in the New Testament exceeds not only the 

Hebrew canon, but also the so-called Alexandrian canon. When 

Christianity spread into the Greek world, it continued to use sacred 

books received from Hellenistic Judaism. Although Hellenistic 

Christians received their Scriptures from the Jews in the form 

of the Septuagint, we do not know the precise form, because the 

Septuagint has come down to us only in Christian writings. What 

the Church seems to have received was a body of Sacred Scripture 

which, within Judaism, was in the process of becoming canonical. 

When Judaism came to close its own canon, the Christian Church 

was sufficiently independent from Judaism not to be immediately 

affected. It was only at a later period that a closed Hebrew canon 

began to exert influence on how Christians viewed it. 

Setelah berbicara tentang situasi yang terdapat dalam Yudaisme, 

kini dalam no. 17 JPSS menguraikan situasi yang terjadi di Gereja Perdana 

di Palestina. Berdasarkan informasi yang terdapat dalam Kis 6:1 jemaat 

Kristen Perdana tampaknya terdiri dari kelompok Yahudi Palestina, baik Kristen Yahudi maupun Kristen Yunani. Dapat dipahami bahwa pandan￾gan mereka tentang Kitab Suci juga dipengaruhi oleh latar belakang situasi 

ini; namun demikian, Komisi merasa kekurangan informasi. 

Yang jelas, menurut JPSS, tulisan-tulisan Perjanjian Baru sebe-narnya 

menyiratkan adanya literatur yang lebih luas daripada kanon Ibrani yang 

beredar di komunitas Kristen. Tulisan-tulisan Perjanjian Baru memberi￾kan kesan bahwa penulisnya mengenal tulisan-tulisan Deuterokanonika

dan tulisan non-kanonik yang lain. Dengan kata lain, mereka tidak hanya 

mengacu pada kanon Ibrani, tetapi juga kanon yang lebih luas, yang biasa 

disebut kanon Aleksandria.33 Meskipun demikian, Fakta ini sebenarnya 

menarik untuk diperhatikan. Saat Perjanjian Baru mengutip Perjanjian Lama, 

kita dapat menemukan kutipan langsung dari teks Perjanjian Lama atau 

adanya pengantar, misalnya, “Seperti ada tertulis.” Tidak demikian halnya 

relasi dengan teks-teks Deuterokanonika di atas. Tidak ada satu pun yang ek￾splisit atau diberi pengantar sebagai-mana layaknya. Mengapa demikian? 

Ketika kekristenan menyebar ke dunia Yunani, dan dengan demikian 

semakin banyak orang Kristen berasal dari dunia Yunani, mereka tetap 

menggunakan Kitab Suci yang mereka warisi dari Yudaisme helenis, yaitu 

LXX. Kumpulan ini tidak hanya memuat tulisan-tulisan yang aslinya ditulis 

dalam bahasa Ibrani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, 

tetapi juga tulisan-tulisan yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani. Ini tam￾pak jika kita membandingkan kutipan Perjanjian Lama yang terdapat dalam 

Perjanjian Baru. Sebagian besar kutipan tersebut (sekitar 80%) tidak diambil 

dari teks Ibrani, melainkan dari LXX. Contoh yang paling terkenal tentu saja 

adalah Mat 1:23 yang mengutip Yes 7:14 LXX. Gejala ini akan lebih mudah 

dipahami kalau rujukan yang tersedia bagi para pengarang Perjanjian Baru 

adalah LXX, atau versi Yunani dari Kitab Suci Ibrani. Hanya saja, kita tidak harus dikatakan bahwa di dalam Perjanjian Baru, tidak ditemukan satu 

pun kutipan langsung dari tulisan-tulisan Deuterokanonika. Yang ada ha￾nyalah semacam alusi atau rujukan tidak langsung. Para ahli mencatat 

kedekatan, misalnya, Yak 1:19 dengan Sir 5:11, 1Ptr 1:6 dengan Keb 3:5-7, 

lbr 11:35 dengan 2Mak 7:9,11,14,23,29,36,34 lbr 1:3 dengan Kol 1:15 dengan 

Keb 7:26, serta Rom 1:18-21 dengan Keb 13:1-9.35 Selain itu, Yud 14-15 jelas 

mengutip dari 1 Henoch 1:9. Sementara Yud 9 menurut Origenesis merujuk 

pada Assumption of Moses.36

Tentu saja kutipan-kutipan seprti ini tidak harus berarti bahwa sum￾ber-sumber itu dikutip karena mereka adalah bagian dari Kitab Suci. Paulus 

dalam Kis 17:28 mengutip penyair Yunai, Arutus, dan tidak ada seorang 

pun yang menganggap bahwa hasil karya penyair ini diterima dan diakui 

sebagai teks kanonik. Dengan kata lain, alusi atau rujukan seperti ini hanya 

dapat berarti bahwa penulis Perjanjian Baru mengenal tulisan-tulisan lain 

di luar kanon Kitab Suci Ibrani. Dari fakta ini, tidak dapat ditarik kesimpu￾lan tentang wibawa, kanonisitas atau karakter lainnya dari teks-teks yang 

dikutip itu.37 Akan tetapi sebaliknya, kita juga tidak dapat menyimpulkan 

dengan pasti bahwa teks-teks itu tidak mempunyai wibawa, tidak kanonik, 

tidak dianggap kudus, dan sebagainya.tahu bentuk persis LXX yang diwariskan kepada kekristenan Yunani itu.

Yang diwarisi oleh kekristenan Yunani itu tampaknya adalah tu￾lisan-tulisan yang di dalam Yudaisme sendiri sudah dianggap sebagai Kitab 

Suci, akan tetapi masih berada dalam proses kanonisasi, terutama berkaitan 

dengan bagian “Tulisan” atau Ketubim.

38 Dengan membawa LXX sebagai 

Kitab Suci, boleh dikatakan Gereja Perdana mulai mengarungi jalannya 

sendiri, khususnya setelah perpecahan antara kekristenan dan Yudaisme 

akhirnya memang terjadi. Dalam konteks ini, dapat dipahami usaha para 

Bapa Gereja untuk membela otoritas atau wibawa LXX sebagai tulisan 

yang juga diinspirasikan oleh Roh Kudus (misalnya Agustinus, De Doctrina 

Christiana, II, 22; Sirilus dari Yerusalem, Catechesis IV, 33-34).39

Justru karena Gereja Perdana sudah berada di jalurnya sendiri, terp￾isah dari Yudaisme, maka ketika Yudaisme akhirnya menentukan kanon 

Kitab Sucinya, Gereja sudah tidak banyak terpengaruh lagi. Dengan kata 

lain, kekristenan bebas untuk memutuskan bagi mereka sendiri tulisan 

mana yang layak dimasukkan ke dalam Kitab Suci mereka.40 Secara teo￾retis, sudah terbuka jalan bagi masuknya tulisan-tulisan Deuterokanonika

ke dalam kanon Kitab Suci Kristen. Inilah sebenarnya yang menjadi inti 

dari gagasan dokumen ini sehubungan dengan kanonisasi tulisan-tulisan 

Deuterokanonika. Bagian berikutnya dari JPSS, lebih merupakan suatu us￾aha untuk menelusuri perkembangan lebih lanjut dari kanon Kitab Suci 

Kristen setelah berpisah dari bayang-bayang Yudaisme sampai dengan 

proklamasi definitif yang dibuat oleh Konsili Trento.

3. Formation of the Christian Canon

18. The Old Testament of the early Church took different shapes in 

different regions as the diverse lists from Patristic times show. The 

majority of Christian writings from the second century, as well as 

manuscripts of the Bible from the fourth century onwards, made 

use of or contain a great number of Jewish sacred books, including 

those which were not admitted into the Hebrew canon. It was only 

after the Jews had defined their canon that the Church thought 

of closing its own Old Testament canon. But we are lacking information on the procedure adopted and the reasons given 

for the inclusion of this or that book in the canon. It is possible, 

nevertheless, to trace in a general way the evolution of the canon 

in the Church, both in the East and in the West.

In the East from Origen’s time (c. 185-253) there was an attempt 

to conform Christian usage to the Hebrew canon of 24/22 books 

using various combinations and stratagems. Origen himself knew 

of the existence of numerous textual differences, which were 

often considerable, between the Hebrew and the Greek Bible. To 

this was added the problem of different listings of books. The 

attempt to conform to the Hebrew text of the Hebrew canon did 

not prevent Christian authors in the East from utilizing in their 

writings books that were never admitted into the Hebrew canon, 

or from following the Septuagint text. The notion that the Hebrew 

canon should be preferred by Christians does not seem to have 

produced in the Eastern Church either a profound or long-lasting 

impression.

In the West, the use of a larger collection of sacred books was 

common and was defended by Augustine. When it came to 

selecting books to be included in the canon, Augustine (354-430) 

based his judgment on the constant practice of the Church. At 

the beginning of the fifth century, councils adopted his position 

in drawing up the Old Testament canon. Although these councils 

were regional, the unanimity expressed in their lists represents 

Church usage in the West.

As regards the textual differences between the Greek and the 

Hebrew Bible, Jerome based his translation on the Hebrew text. 

For the deuterocanonical books, he was generally content to correct 

the Old Latin (translation). From this time on, the Church in the 

West recognized a twofold biblical tradition: that of the Hebrew 

text for books of the Hebrew canon, and that of the Greek Bible 

for the other books, all in a Latin translation.

Based on a time-honored tradition, the Councils of Florence in 

1442 and Trent in 1546 resolved for Catholics any doubts and 

uncertainties. Their list comprises 73 books, which were accepted 

as sacred and canonical because they were inspired by the Holy 

Spirit, 46 for the Old Testament, 27 for the New. In this way the 

Catholic Church received its definitive canon. To determine this 

canon, it based itself on the Church’s constant usage. In adopting 

this canon, which is larger than the Hebrew, it has preserved an 

authentic memory of Christian origins, since, as we have seen, the more restricted Hebrew canon is later than the formation of 

the New Testament.

Dalam nomor 18 ini, Komisi melanjutkan pemaparannya dengan 

menyampaikan perkembangan kanon Kristen di dalam Gereja. Yang jelas, 

perjalanan proses ini ternyata harus melalui lorong yang berliku-liku. Se￾bagaimana dapat dilihat dari karya para Bapa Gereja, Perjanjian Lama Kristen 

ternyata mempunyai bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan daerahnya. 

Pada dasarnya, proses terbentuknya kanon Perjan-jian Lama Kristen berbeda 

di dua kubu utama Gereja, yaitu di Gereja Barat dan Gereja Timur. Inilah 

yang kemudian disampaikan oleh JPSS pada bagian berikutnya. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa Gereja sebenarnya tidak 

pernah mencapai kesepakatan utuh sehubungan dengan kanonisitas dari 

tulisan-tulisan Deuterokanonika yang tidak termasuk kanon Ibrani,41 akan 

tetapi di sini kita berhadapan dengan sebuah gejala yang menarik. Di satu 

pihak, beberapa Bapa Gereja menyadari dan mengakui bahwa kanon yang 

harus diikuti adalah kanon Kitab Suci Ibrani yang memuat 22/24 kitab 

tanpa menyertakan tulisan-tulisan Deuterokanonika. Akan tetapi di lain pi￾hak, sebagai seorang tokoh Gereja mereka tetap begitu saja menggunakan 

dan mengutip tulisan-tulisan Deuterokanonika dan memperlakukannya 

seolah-olah bagian dari Kitab Suci. Hal ini kentara khususnya di wilayah 

Timur. 

Di Timur, ada kecenderungan cukup kuat untuk mengikuti kanon 

Ibrani dan dengan demikian menolak tulisan-tulisan Deuterokanonika, khu￾susnya mulai dengan Origenes. Origenes mengakui ada perbedaan yang 

tidak kecil antara teks Ibrani dan teks Yunani. Ia juga menerima keistime￾waan teks Ibrani karena menyadari bahwa teks Ibrani menjadi bekal agar 

dapat berdiskusi dengan orang-orang Yahudi. Akan tetapi tidak berarti 

bahwa ia menolak atau melepaskan LXX. Origenes “saw no reason why the 

Church should be disposessed of them just because the Jews did not acknowledged 

them and there was no Hebrew version in existence.”42

Demikian juga Athanasius mendesak agar Gereja hanya menerima 

22/24 tulisan seperti yang diyakini orang Yahudi; akan tetapi ia sendiri 

tetap menggunakan tulisan-tulisan yang meragukan itu. Tokoh lain yangharus disebut di sini adalah Hieronimus. Di satu pihak, bertitik tolak dari 

prinsip Veritas Hebraica, Hieronimus hanya mau menerima tulisan-tulisan 

yang terdapat di dalam kanon Ibrani; akan tetapi di lain pihak, ia juga 

(karena tekanan?43) menerjemahkan dan memasukkan tulisan-tulisan 

Deuterokanonika ke dalam versi Latin, Vulgata yang dikerja-kannya. Untuk 

tulisan-tulisan Deuterokanonika, Hieronimus hanya sekedar mengoreksi 

teks Latin yang sudah ada (Vetus Latina). Hieronimus membedakan libri 

canonici (tulisan-tulisan yang terdapat dalam kanon Ibrani) dan libri ec￾clesiastici (tulisan-tulisan apokrifa). Tulisan-tulisan terakhir ini, menurut 

Hieronimus, dapat dan harus dibaca untuk pem-bangunan jemaat, tetapi 

tidak dapat digunakan untuk menetapkan suatu doktrin gerejawi.44

Di wilayah Barat, Agustinus tampil sebagai pembela kanon “panjang” 

yang diwarisi oleh Gereja. Daftar kitab yang disusun oleh Agustinus didasar￾kan pada kebiasaan menggunakan tulisan-tulisan tersebut yang sudah cukup 

lama hidup di dalam Gereja. Konsili-konsili regional yang diadakan pada 

abad 4-5—seperti misalnya Sinode Hippo (393), Konsili Kartago III (397), dan 

Konsili Kartago IV (417)—mengambil alih daftar tulisan yang merupakan 

isi Perjanjian Lama Kristen sebagaimana disusun oleh Agustinus.45 Paus 

Innosensius I menerima daftar tersebut dan dalam suratnya kepada Uskup 

Toulouse pada 405, ia menulis: “Apart from the canonical scriptures, nothing 

must be read in Church, under the title of the divine Scriptures.”46 Penegasan 

Paus ini menambah wibawa pada kanon Kristen sebagaimana dirumuskan 

kembali oleh Agustinus dengan berdasar pada praksis jemaat.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya pada 8 April 1546, dalam sesi 

ke-IV Konsili Trento, melalui dekrit De Canonicis Scripturis, dinya-takanlah 

secara definitif dan mengikat kanon Kitab Suci Katolik. Ada tujuh puluh tiga kitab yang dinyatakan kanonik, terdiri dari empat puluh enam kitab 

Perjanjian Lama dan dua puluh tujuh tulisan-tulisan Perjan-jian Baru. 

Banyak orang mengatakan bahwa Konsili Trento diadakan dalam situasi 

yang tidak ideal. Nuansa polemik dengan reformasi dapat dipastikan 

mempengaruhi dekrit-dekrit yang dihasilkan oleh Konsili Trento, akan 

tetapi dengan menerima kanon “panjang” Konsili Trento justru memeli￾hara semangat dan tradisi Gereja awal. Sementara kelompok yang ingin 

kembali ke kekristenan awal primitif dengan mengikuti kanon Ibrani, yang 

sebenarnya ditentukan pada periode yang lebih kemudian. Keputusan 

Konsili Trento ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan sejarah, akan 

tetapi juga pertimbangan teologis, yaitu bahwa sejak awal Gereja sudah 

menggunakan tulisan-tulisan tertentu.





Pada 2001 Komisi Kitab Suci Kepausan menerbitkan 

sebuah dokumen berjudul The Jewish People and their Sacred Scrip￾tures in the Christian Bible dengan maksud untuk mengembangkan 

dialog Kristen-Yudaisme. Sebagai bagian dari argumen yang 

dikemukakan, Komisi menjelaskan proses kanonisasi tulisan-tu￾lisan Deuterokanonika. Oleh Gereja Katolik dan beberapa Gereja 

Timur lainnya, tulisan itu dianggap kudus dan diinspirasikan oleh 

Roh Kudus; sementara Gereja Reformasi dan Yudaisme menolak 

tulisan-tulisan tersebut. Ajaran yang terkandung di sini tampak￾nya merupakan satu-satunya penjelasan resmi yang dikeluarkan 

oleh Gereja Katolik. Apa pun bobot dokumen yang dikeluarkan oleh sebuah Komisi Kepausan ini, dokumen ini perlu dihargai 

karena memberikan gambaran kepada umat tentang proses 

kanosisasi untuk tulisan-tulisan Deuterokanonika.