perjanjian westphalia
Perjanjian Westphalia membawa banyak sekali perubahan khusunya dalam
mengubah bentuk negara modern seperti tumbuhnya representative government,
terjadinya revolusi industry, terjadinya perkembangan hukum internasional yang
signifikan, terjadinya perkembangan metode-metode diplomasi, terjadinya saling
ketergantungan dan kolerasi antara Negara-bangsa baik di bidang; ekonomi, politik,
budaya, dan sebagainya., dan serta timbulnya prosedur untuk menyelesaikan konflik
secara damai. Yang mana perjanjian Westphalia ini telah mengubah struktur hirarki
warga yang pada awalnya mereka tunduk dan patuh terhadap segala jenis otonom
dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kerajaan dan gereja, menuju warga yang lebih
berdaulat dan memahami makna the difine right dan asas kebijakan dan hak personal
seseorang maupun negara dalam mengambil kebijakan.
Selain itu, Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar bagi susunan warga
internasional yang baru. Baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara
nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara
itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari
pengaruh gereja. Sejak saat itu mulai bermunculan negara yang berpemerintahan
demokratis. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam
Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional, karena
menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Perjanjian Westphalia yang ditandatangani pada tahun 1648 membuka sejarah
baru bagi konstelasi politik di Benua Eropa dan bahkan dunia. berdasar hasil
kesepakatan Westphalia, konsep tentang kedaulatan negara-bangsa (nation-state) dan
pelembagaan kekuatan militer dan diplomasi disepakati bersama oleh para penguasa di
Eropa melalui sebuah konsensus. Sumbangan pemikiran dan hasil kesepakatan
Westphalia bagi sistem pemerintahan modern negara-negara di dunia masih relevan dan
terus berkembang hingga saat ini, yaitu bahwa para penguasa atau kedaulatan yang sah
tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara
internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah sama yang mereka miliki.Berangkat dari terbentuknya legalitas kedaulatan Negara modern dan
institusionalisasi perangkat sistemik negara modern itu, dalam perkembangannya negara
(pemerintah) sebagai pemegang mandat dari kedaulatan rakyatnya dan satu kesatuan
entitas politik memiliki hak-hak istimewa atas kodifikasi Undang-Undang dalam
negerinya, pemakaian kekerasan untuk menegakkan hukum yang telah ditetapkannya,
dan pemakaian kekuatan militer untuk melindungi segenap tumpah darahnya, maupun
untuk tujuan menjalankan politik luar negerinya. (Diah Ayu Pratiwi, Isu Global Warming
dan Sikap Dunia Internasional, hal. 1-2)
Sejak kelahiran negara modern (modern state) pada abad keenam belas dan ketujuh belas di Eropa, kedaulatan negara terus-menerus diperteguh. Perjanjian Westphalia
pada 1648 menandai otonomi negara-negara atas “negara induk” Imperium Romawi. Saat
itulah negara-negara modern yang berdaulat mulai terbentuk. Puncak dari narasi historis
kedaulatan negara ini yaitu pada penyelenggaraan Konferensi Internasional
Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay. Dalam konferensi
internasional yang digelar pada 26 Desember 1933 itu, negara-negara peserta
merumuskan dokumen hukum yang masyhur sebagai Konvensi Montevideo (Convention
on Rights and Duties of States, 1933). Konvensi ini mengatur beberapa unsur yang
mesti dimiliki oleh negara berdaulat, yakni (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang
berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negaranegara lain. (AP Edi Atmaja, Kedaulatan Negara Di Ruang Maya: Kritik UU ITE Dalam
Pemikiran Satipto Rahardjo, hal. 49-50)
Setelah munculnya perjanjian Westphalia, susunan warga internasional yang
baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar pada kerajaankerajaan, imperium, dan gereja. Selain itu susunan warga internasional juga
didasarkan pada hakikat negara ini bersama dengan pemerintahnya, yakni
memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Pelbagai
perubahan dalam system hubungan internasional pasca-Westphalia diantaranya
tumbuhnya representative government, terjadinya revolusi industri, terjadinya
perkembangan dalam hukum internasional, berkembangnya metode-metode diplomasi di
samping strategi militer, tumbuhnya saling ketergantungan antar negara bangsa (nation
state) di bidang ekonomi, dan lahirnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai. Singkatanya, perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi bentuk dan
hakikat ini dalam susunan warga internasional yang baru.
Tulisan ini bertujuan untuk menganilisa dan mengidentifikasi bagaimana
pengaruh perjanjian Westphalia terhadap terbentuknya politik internasional saat ini dan
model bernegara pasca perjanjian Westphalia.
A. Negara
Secara Teoretis, ada beberapa hal penting yang dapat disebutkan untuk
menjelaskan batasan pengertian mengenai negara.dengan menggunakan pandangan Max
Weber sebagai titik tolaknya. Penulis ingin menekankan bahwa negara bukan hanya
sekedar pemerintah. Ia merupakan sebuah peraturan yang berkesinambungan, sistem
hukum, birokrasi, dan juga punya kewenangan untuk memaksa (coercive) yang mencoba
tidak hanya mengatur hubungan antara warga dengan otoritas publik dalam suatu
warga politik, melainkan juga untuk mengelola hubungan yang rumit di dalam
warga itu sendiri. Dengan demikian, negara harus memiliki beberapa unsur berikut:
(Alfred Stepan dalam Quo Vadis Politik Indonesia, hal. 6)
1. Negara didukung oleh adanya tertib hukum dan administrasi yang perubahannya
ditentukan oleh aturan perundangan (Legislasi), bukan kehendak pribadi sang
pemimpin dan apa lagi para “pembisiknya”
2. Sistem yang dimaksud mempunya kemampuan mengikat (binding authority)
bukan hanya terhadap anggota negara dan warga umum yang memperoleh
kewarganegaraannya atas dasar kelahiran, melainkan juga terhadap semua
tindakan yang berlangsung di dalam wilayah hukumnya
3. Negara mempunyai keabsahan untuk menggunakan kekuatan di dalam
wilayahnya. Artinya ia harus mampu melakukan dominasi dan pengawasan. Di
satu pihak, tindakan negara mencerminkan kehendak warga . Di pihak lain,
tidak menutup kemungkinan pada saat tertentu, negara memaksakan kehendaknya
terhadap warga
4. Apa yang disebut sebagai negara sebenarnya bukanlah entitas yang tunggal
(monolithic). Dalam negara terdapat berbagai macam unsur, yang terdiri dari eksekutif, pegawai pemerintah (birokrat), lembaga peradilan, dan aparat pemaksa
(coercive apparathus)
B. Kedaulatan Negara
Kedaulatan negara merupakan kekuasaan mutlak atau kekuasaan tertinggi untuk
penduduk dan wilayah negara ini . Kekuasaan penuh dan tertinggi untuk mengatur
sistem pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan negara lain. Kedaulatan ini biasanya
mempunyai ciri khusus suatu negara yang akan menjadi poin penting bagi suatu negara.
Menurut Jean Bodin (1530-1595), Kedaulatan mempunya sifat-sifat pokok antara lain
(Jean Bodin dalam Islam Moderat dan isu-isu Kontemporer. Hal. 38):
1. Original, artinya kekuasaan negara tidak berasal dari negara lain
2. Permanen, artinya kekuasaan negara tetap berjalan selama negara ini
masih berdiri
3. Tunggal, artinya kekuasaan negara menjadi satu-satunya yang tertinggi
4. Absolut, artinya kekuasaan negara tidak dibatasi oleh kekuasaan lain di negara
ini
A. Sejarah 30 Tahun Perang Eropa dan Penandatangan Perjanjian Westphalia
Eropa Pertengahan yaitu benua dimana peperangan silih berganti pecah, baik itu
di dalam maupun di luar negeri/kerajaan. Peperangan di abad ke-16 dan 17 ini diwarnai
beragam isu dan motif perang. Masing-masing kerajaan memiliki motifnya sendiri: ada
yang bermotifkan relijius, yaitu untuk memperjuangkan agamanya sembari
menghancurkan agama lainnya; Beberapa berjuang demi otonomi politik kerajaannya;
yang lain demi ekspansi teritori politik. Satu hal yang pasti, peperangan di abad ini
merupakan peperangan bersejarah yang hasilnya akan mengubah politik Eropa ke depan,
yaitu munculnya sistem internasional berbasis negara berdaulat. Setidaknya ada dua
perjanjian yang menjadi poin penting untuk diperhatikan, yaitu Perjanjian Relijius
Augsburg 1555 dan Perjanjian Westphalia 1648. Kedua perjanjian inilah yang
mengakselerasi pelemahan Gereja dan Kekaisaran Agung Romawi, dan memberi jalan
bagi gagasan negara-berdaulat modern.
Perjanjian Augsburg mengakhiri peperangan ratusan tahun antara Penguasa dari
dinasti Habsburg Austria dan dari dinasti Valois, Kerajaan Perancis. Perang ini biasa
disebut sebagai perang Habsburg-Valois. Perang ini berawal dari pernikahan Pangeran
Maximilian I dari Habsburg, yang merupakan salah satu dinasti di Kekaisaran Agung
Romawi, dengan Mary dari Burgundi, dinasti yang amat kaya dan kuat di Kerajaan
Perancis. Merasa dilangkahi teritorinya, Raja Perancis Louis XI dari dinasti Valois, geram
dan mendesak Maximilian untuk mengakui Burgundi sebagai teritorinya. Louis terus
menyerang teritori Burgundi sampai Maximilian akhirnya terpaksa mengakui bahwa
Burgundi yaitu termasuk wilayah Perancis. Pengakuan ini termaktub dalam Perjanjian
Arras (1482).
Namun demikian, perjanjian ini bukanlah akhir dari pertikaian akibat ketidakjelasan otoritas kekuasaan atas Burgundi. Malahan, pernikahan Maximilian-Mary ini
merupakan awal dari perang hebat di Eropa yang berlangsung selama kurang lebih dua
abad kemudian. Philip, putra Maximilian dan Mary, dinikahkan dengan Joanna dari
Castile, putri dari Ferdinand dan Isabela dari Spanyol. Keduanya dianugerahi anak yang dinamai Charles V. Charles menerima warisan teritori yang amat luas—Burgundi,
Austria, dan daerah kekuasaan Spanyol di Amerika Tengah dan beberapa kerajaan di
Italia. Dengan modal sebesar ini, Charles merasa mendapat panggilan untuk menyatukan
kembali kejayaan Kristendom di bawah Kekaisaran Agung Romawi.
Namun demikian hal ini tidak lantas berarti bahwa Charles akan dengan mudah
menyatukan Kekaisaran. Perpecahan di dalam Kekaisaran diperparah dengan munculnya
isu agama sebagai tema konflik, yaitu isu Protestanisme. Sebagaimana diketahui, Eropa
Abad Pertengahan akhir ditandai oleh Reformasi Gereja dan munculnya Protestanisme.
Kemunculan ini tidak mendapat sambutan di kalangan Katolik. Pandangan sama juga
ditujukan pada Calvinis; kehadirannya dianggap merusak tatanan awal yang Katolik.
Pandangan ini yaitu pandangan Charles V sang Kaisar saat ia meredam perlawanan rajaraja Jermannya yang beragama Protestan.
Serial perang saudara ini berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Augsburg
1555 yang mendeklarasikan hukum cuius regio euius religio (whose the region, his the
religion) yang mengizinkan setiap raja menentukan agama apa yang akan dianut oleh
kerajaannya, tanpa campur tangan dari Kekaisaran. Akibatnya, banyak raja-raja di bagian
Utara dan Tengah Jerman menjadi Lutheran, sementara mayoritas raja-raja di Selatan
tetap memeluk Katolik.Namun demikian, perjanjian ini tidak menjamin Kekaisaran
bebas dari konflik relijius berikutnya. Perjanjian Augsburg hanya mengakui dua agama—
Katolik dan Protestan Lutheran—sementara perkembangan Calvinis Reformed di
Kekaisaran semakin meningkat. Mulai marak Calvinis yang dengan semangat militannya
mengkonversi raja-raja di Jerman, dan dengan demikian tidak mengindahkan perjanjian
Augsburg. Menanggapi hal ini, Kaisar Romawi Agung yang baru, Rudolf II
memberlakukan kembali pembatasan kehidupan beragama. Perjanjian Augsburg
diabaikan. Sampai sekitar awal abad ke-17, telah terbentuk dua blok relijius dalam
Kekaisaran: Uni Evangelis (Evangelical Union) yang merupakan aliansi kaum Protestan
pada 1608, dan Liga Katolik (Catholic League) yang merupakan aliansi kaum Katolik
pada 1609; masing-masing memperlengkapi dirinya dengan persenjataan untuk berjagajaga akan perang yang mungkin timbul.
Persiapan kedua blok ternyata tidak sia-sia. Kali ini peperangan dipicu kembali
oleh dinasti Habsburg. Saat Charles V melepaskan jabatan Kekaisarannya, ia membagi
wilayah kekuasaanya di Spanyol dan di Eropa Tengah kepada kedua anaknya: Philip Imendapat Spanyol, dan Ferdinand I mendapat wilayah di Eropa Tengah (mencakup
Austria, Bohemia dan Hungaria). yaitu cucu dari Ferdinand I, yang juga bernama
Ferdinand (dari Styria), yang saat terpilih sebagai raja Bohemia menjalankan kebijakan
diskriminasi agama. Ferdinand bahkan menutup beberapa gereja Protestan. Hal ini tentu
membuat para bangsawan Protestan di Bohemia mengamuk. Pada 23 Mei 1618, peristiwa
bersejarah terjadi. Dua orang Protestan mendatangi istana Ferdinand, dan melempar dua
orang pegawai kerajaan ke luar jendela istana. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai
“pelemparan di Praha” (the defenestration of Prague), sekaligus menandai dimulainya
Perang Tiga Puluh Tahun.
B. Perang Tiga Puluh Tahun
Secara umum, perang ini terdiri dari empat fase. Fase pertama yaitu fase
Bohemia (1618-1625) yang ditandai dengan perang saudara di wilayah Bohemia. Perang
ini membenturkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand melawan Uni Evangelis
yang dipimpin Pangeran Frederick dari Palatine. Ferdinand diberhentikan dari jabatan
rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Frederick diangkat
menjadi Raja Bohemia pada 1618. Naiknya Ferdinand sebagai Kaisar Romawi Agung
pada 1620, menambah kekuatan Ferdinand untuk benar-benar menghapuskan
protestanisme dari Bohemia. Fase kedua yaitu fase Denmark (1625-1629), yaitu saat
Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum protestan. Sayang, jenderal
perang Katolik Albert dari Wallenstein terlalu kuat bagi Christian sehingga Bohemia
harus menyaksikan kekalahan protestan kembali. Selama dua fase ini, sekitar 10 tahun,
Bohemia berhasil sepenuhnya dikatolikkan oleh Ferdinand.
Fase-fase berikutnya, angin bertiup ke arah Protestan. Kedatangan Raja Swedia
Gustavus Adolphus di tanah Jerman menandai fase ketiga, fase Swedia. Dengan
membawa Denmark (lagi), Polandia, Finlandia dan beberapa negara kecil di Baltik, Raja
Gustavus datang untuk membantu Protestan, atau lebih khususnya saudaranya, yaitu
Duke Mecklenburg yang sedang diasingkan. Fase ini juga menyaksikan keterlibatan
Perancis, melalui perdana menteri Cardinal Richelieu, dalam membantu Swedia secara
finansial. Gustavus berhasil memukul Katolik di Breitenfield dan Lützen masing-masing
pada 1631 dan 1632. Namun Gustavus ternyata harus tewas pada pertempuran di Nördlingen pada 1634, yang akhirnya membuat Perancis tidak tahan untuk segera campur
tangan untuk membela Protestan—atau lebih tepatnya melawan Habsburg.
Masuknya Perancis ini menandai fase keempat Perang ini (1635-1648). Masuknya
Perancis ini sekaligus juga menandai “internasionalisasi” Perang Tiga Puluh Tahun, yaitu
dengan bergabungnya Belanda (sebagai balas budi saat berperang melawan Spanyol,
1622), Skotlandia, dan beberapa tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Potestan
Jerman. Perang pada fase ini berlangsung lama, bahkan bisa dibilang stalemate dimana
tidak ada pihak yang memenangkan peperangan. Keterbatasan logistik dari kedua belah
pihak yaitu penyebabnya. Situasi stalemate (imbang) membuat para raja/ratu tidak
memiliki pilihan lain selain duduk bersama dan memikirkan perjanjian damai untuk
menghentikan perang. Perang telah menghancurkan perekonomian masing-masing pihak,
sehingga perdamaian menjadi kepentingan bersama yang mendesak untuk dipenuhi
(setidaknya untuk sementara waktu). Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian
Damai Westphalia, dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan
antara Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Romawi Agung, dan Traktat
Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Romawi
Agung.
Bukan hanya sekedar mendamaikan pihak-pihak yang berperang pada perang tiga
puluh tahun, perjanjian Westphalia juga memiliki arti yang sangat penting khususnya
dalam sejarah eropa dan hingga akhirnya pada konstelasi dunia global. Arti penting nya
ialah perjanjian ini menandai berakhirnya proyek-proyek ideal kas atau bercirikan abad
pertengahan.. Dimana proyek ini dapat diakatakn sebagai suatu proyek untuk
menyatukan Eropa di bawah seorang penguasa tunggal, yaitu Kaisar Romawi Agung di
satu sisi, dan Gereja Katolik di sisi lainnya. Sejarah menyaksikan bagaimana jatuh bangun
kaisar-kaisar Romawi Agung semenjak Charlemagne, Frederick Barbarossa sampai
Ferdinand berusaha menyatukan Eropa di bawah kekuasaan tunggalnya. Bahkan Gereja
pun ingin dikuasainya. (Hiskia Yosias Simon Polimpung, Psikogeneologi Negara
Berdaulat Modern-Objek Sublim Kedaulatan, h. 135-139)
Dapat dikatakan, Reformasi Protestan yang menentang otoritas Katolik dapat
dilihat hal ini menimbulkan konflik yang sangat serius, yakni hingga pecahnya
perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) 1618-1648 yang terjadi di Eropa Tengah,
yang dikenal sebagai perang terlama dan konflik paling destruktif dalam sejarah Eropa. Secara singkatnya perang ini dipicu oleh pertentangan antara negara- negara katolik dan
protestan, namun secara bertahap berkembang menjadi konflik yang melibatkan sebagian
besar kekuatan besar di Eropa. Perang yang semula bermotif agama akhirnya meluas
menjadi persaingan kekuatan besar di eropa (khususnya Prancis dan Habsburg) untuk
menjadi hegemoni di kawasan ini . Namun yang lebih penting dari itu, thirty years
war telah mengilhami lahirnya negara modern dan system hubungan internasional
kontemporer yang masih berlangsung dan digunakan hingga saat ini.
C. Isi Perjanjian Westphalia
Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua perjanjian yang ditandatangani di
dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück (15 Mei 1648) dan di Münster (24
Oktober 1648). Kedua perjanjian ini mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang
berlangsung di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara
Spanyol dan Belanda. Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam
sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum
Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya yaitu :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan
perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa;
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi
yang suci;
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan
dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing; dan
4. Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui
dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan warga Internasional
yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas Negara-negara nasional (tidak
lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara itu dan
pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh
gereja. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam
Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena
menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional. Rumusan
perjanjian Westphalia yang terpenting yaitu pengakuan atas wilayah-wilayah yang semula dalam bentuk kerajaan menjadi negara nasional yang modern dan memiliki
kedaulatan serta garis perbatasan yang jelas. Menurut ketentuan perjanjian damai
ini , beberapa negara dikonfirmasi kedaulatan mereka atas wilayah. Mereka
diberdayakan untuk boleh membuat kontrak perjanjian dengan negra satu sama lain dan
dengan kekuatan asing. Perjanjian damai yaitu titik balik dalam saling pengakuan hakhak kedaulatan. Ini mengakhiri otoritas kekaisaran Katolik dan digantikan oleh
kedaulatan negara nasional. Konsekuensi yang muncul dikemudian hari yaitu perubahan
sistem dunia yang menciptakan tatanan global berdasar pada ”Sistem Negara” ( Ismail
Suardi Wekke dan Suyatno, Perdebatan dalam wacana Agama dan Negara:
Pemerintahan Islam di Malaysia, hal.5)
Adapun karakter dari warga Internasional yaitu :
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat;
2. Hubungan nasional didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat;
3. warga negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti
seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja;
4. Hubungan antar negara berdasar atas hukum yang banyak mengambil alih
pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi;
5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan antar negara namun menekankan peranan yang besar yang dimainkan
negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini;
6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk
memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional; dan
7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih
dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) ke arah ajaran
yang menganggap perang sebagai salah satu cara pemakaian kekerasan. (Syahrul
Salam, Adi Rio Arianto, Rizky Hikmawan, Pemikiran Bela Negara dan
Hubungan Internasional: Pergeseran Peran Negara dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Sudut Pandang Studi Ilmu Hubungan Internasional, hal 151-152)
D. Pengaruh Perjanjian Westphalia Terhadap Model warga Modern, dari
otoritas Gereja ke Negara BerdaulatMenurut Robert M. Maclver, negara yaitu asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban warga dalam suatu wilayah dengan berdasar sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud ini diberi kekuasaan
memaksa (The State is an association which, acting through law as pormulgated by a
goverment endowed to this end with ceorcive power, mantain within a community
territorially demarcated the universal external conditions of social order) (R.M. Maclver
dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 49)
Masalah utama dalam mempelajari asal-usul kedaulatan yaitu penguasa mana
pun cenderung mengklaim otoritas tunggal untuk membuat keputusan di wilayahnya,
mereka tidak mau memberikan otoritas yang sama kepada negara tetangganya di
sekitarnya. Kesulitannya bukanlah menemukan penguasa yang menganggap dirinya
berdaulat, namun sekelompok penguasa yang saling mengakui kedaulatan. Ini
diilustrasikan dengan konsep kedaulatan yang dipahami pada Abad Pertengahan.
Gagasan tentang otoritas akhir yaitu wajar untuk mengorbankan diri untuk Gereja,
sebagaimana Tuhan yaitu otoritas: statusnya diekspresikan di bumi melalui klaim Paus
dan Kaisar Romawi Suci untuk mewakilinya. Pertanyaannya ada pada masalah antara ide
awal tentang hal ini bukanlah pada apakah ada penguasa duniawi, namun siapa yang
melayani fungsi kehidupan ukhrawi. Belakangan, ketika paus dan Kaisar kehilangan
kekuasaan, otoritas raja-raja tua seperti raja-raja Inggris dan Prancis meningkat ke titik
diat, setelah kekalahan Henry VI. Tawaran untuk penguasaan, sistem multi-negara ada.
Keberadaannya tidak menantang, namun, teori bahwa otoritas mengalir dari Tuhan
melalui sebuah perwakilan duniawi tunggal; sebenarnya, paus mengemukakan yang
paling dimuliakan klaim pada abad keempat belas saat kekuatannya memudar. Jadi,
meskipun negara berdaulat ada, mereka tidak mengakui satu sama lain. (Derek Croxton,
The Peace of Westphalia of 1648 and the Origins of Sovereignty, 571)
Dengan demikian, negara-negara Eropa modern muncul dari kehancuran perang
tiga puluh tahun, dimana sekitar dua pertiga dari total penduduk telah hilang dan lima
perenam dari perkampungan telah dihancurkan. Bencana yang mengerikan ini
menegaskan bahwa komunitas Kristen abad pertengahan (khususnya di Eropa) sangat
rapuh dan sebab itu mendesak dibutuhkan system pengganti. Akhirnya lahirlah konsep
negara berdaulat (sovereign state) dari perdamaian Westphalia yang ditandatangani 1648.
Perdamaian Westphalia secara luas diakui sebagai garis pemisah antara Eropa abad pertengahan yang didominasi unit-unit politik local di bawah otoritas yang komprehesif
dari Tahta Suci Romawi (Paus) serta Eropa Modern dimana negara-negara diakui sebagai
entitas yang berdaulat. Tahta Suci Romawi dan Paus tetap eksis, namun semua kekuasaan
politik mereka telah dihancurkan. Dalam hal urusan masalah politik dan kenegaraan, para
penguasa unit-unit politik tidak lagi subordinat terhadap paus.
Sekitar 60 tahun sebelum perdamaian Westphalia, sebenarnya telah lahir
pemikiran mengenai konsep kedaulatan. Seorang sarjana hukum Prancis bernama Jean
Bodin dalm bukunya berjudul six box on the state (1586), secara sistematis mengulas
tentang konsep kedaulatan. Karya bodin ini sebenarnya merupakan pembenaran adanya
“hak ilahi” pada raja Prancis untuk memerintah secara mutlak, tapi dalam hal konsep
kedaulatan Bodin tidak secara tersirat membenarkan hak untuk memerintah secara
sewenang-wenang atau di atas hukum. Bodin juga tidak menyiratkan bahwa sebuah
negara boleh mengekalkan kewajiban superior dalam hubungan dengan negara-negara
lain dalam menjalankan kekuasaan ini .
Pasca perdamaian Westphalia, gagasan kedaulatan dari bodin ini
mendapatkan sambutan luas dari negara-negara Eropa. Meskipun perdamaian Westphalia
tidak serta merta mengubah Eropa dari sekumpulan entitas lokal kecil di bawah satu
otoritas universal (paus) menjadi beberapa negara kecil yang berdaulat secara pararel,
namun gagasan negara sebagai unit yang tak dapat diintervensi berkembang relatif cepat
setelah 1648. Memang sesaat sebelum 1648 sempat berkembang pemikiran dari para
sarjana hukum internasional bahwa suatu negara dibenarkan untuk mengintervensi
masalah negara lain dengan alasan untuk melindungi warga negara lain ini dari
penindasan. Namun 50 tahun kemudian, belajar dari pengalaman Perang Tiga Puluh
Tahun dan perdamaian Westphalia, para sarjana hukum menyimpulkan bahwa intervensi
suatu negara terhadap masalah negara lain merupakan pelanggaran kedaulatan.
Menjelang abad ke 18, konsep kedaulatan atau negara berdaulat menjadi prinsip hukum
yang dominan untuk mengatur hubungan antara negara besar di Eropa. Sistem hubungan
internasional baru model Westphalia ini, bukan hanya meruupakan hasil dari
perkembangan keagamaan, namun perubahan-perubahan ekonomi dan teknologi juga
bekerja untuk memperkuat negara berdaulat.
Selain berakhirnya perang Tiga Puluh Tahun antara kaum Katolik dan Protestan,
perjanjian Westphalia juga secara resmi mengakui kedaulatan Belanda dan Konfederasi Swiss. Perjanjian Westphalia melibatkan kaisar romawi suci Ferdinand 1 beserta kerajaan
dari spanyol, Prancis, Swedia, Belanda, dan beberapa penguasa wilayah lain di Eropa.
Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, perjajian Westphalia juga meneguhkan
perubahan dalam peta politik dunia khususnya di benua Eropa. Selain itu, perjanjian ini
juga mengakhiri upaya untuk menegakkan tahta suci Romawi yang selain beberapa abad
memiliki pengaruh kuat atas negara-negara di dunia terutama di Eropa. Hubungan antara
negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas
kepentingan nasional negara itu masing-masing. Sebelumnya gereja memiliki kekuatan
atas hubungan antar negara, dan perjanjian Westphalia mengakhiri itu semua
kemerdekaan negara Belanda, Swiss, dan negara-negara kecil di jerman juga diakui
dalam perjanjian Westphalia.
Setelah munculnya perjanjian Westphalia, sususnan warga internasional
yang baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar pada
kerajaan-kerajaan, imperium, dan gereja. Selain itu susunan warga internasional
juga didasarkan pada hakikat negara ini bersama dengan pemerintahnya, yakni
memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Pelbagai
perubahan dalam sistem hubungan internasional pasca-Westphalia diantaranya
tumbuhnya representative government, terjadinya revolusi industry, terjadinya
perkembangan dalam hukum internasional, berkembangnya metode-metode diplomasi di
samping strategi militer, tumbuhnya saling ketergantungan antar negara bangsa (nation
state) di bidang ekonomi, dan lahirnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik
secara damai. Singkatnya, perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi bentuk dan
hakikat ini dalam susunan warga internasional yang baru.
Dilain pihak, perdamaian Westphalia juga telah mendorong tumbuhnya semangat
nasionalisme dan keinginan untuk membangun sebuah negara-bangsa yang kuat.
Terjadinya revolusi Prancis 1789 merupakan salah satu contoh dari ekspresi semangat
nasionalisme dan kehendak membentuk negara bangsa yang kuat ini . Tujuan awal
dari revolusi prancis yaitu kebebaan, kesetaraan, dan persaudaraan (liberty, equality,
and fraternity). Tujuan ini menyiratkan berakhirnya aturan aristokratik di prancis, namun
yang lebih penting dari itu suatu penegasan bahwa negara yaitu milik rakyat. Raja tidak
lagi bias mengatakan “ negara yaitu saya” (l etat, c’est moi). Tindakan pemerintah harus
mencermikan tindakan warga negara. Konstitusi prancis yang telah diratifikasi pada 1793 secara eksplisit menegaskan bahwa pemerintah prancis hanya merupakan pimpinan
warga nasional yang harus selalu merepresentasikan kehendak rakyat prancis.
Legalitas dan legitimasi pemerintah bukan karena otoritas keagamaan atau karena
keturunan keluarga monarki, melainkan karena mewakili rakyat dan bangsa prancis.
Revolusi dan nasionalisme prancis ternyata berkembang menjadi semangat
ekspansionis. Bangsa prancis berkeyakinan bahwa revolusi dan nasionalisme merupakan
nilai-nilai dasar yang sangat baik dan penting, hingga perlu ditularkan ke negara-negara
lain. Akhirnya, di bawah kepemimpinan napoleon boneparte, bangsa prancis mulai
menyebarkan ide–ide revolusi dan nasionalisme ke seluruh daratan eropa. Untuk
mendukung keinginan itu, napoleon menyiapkan kekuatan militer yang besar
(diantaranya melalui program wajib militer). Ia berhasil menggelorakan semangat seluruh
tentara dan rakyat bahwa apa yang dilakukan itu yaitu untuk “kemulian” bangsa prancis.
Dalam waktu singkat Prancis hampir dapat menaklukkan seluruh daratan eropa, seperti
Belanda, Spanyol, Swedia, Autralia, Italia, dan Polandia.
beberapa negara di eropa tidak mau menyerah begitu saja terhadap
ekspansionisme prancis. Dengan berbagai upaya mereka terus memberikan perlawanan
untuk mengembalikan kedaulatannya dari penduduk tentara Prancis. Akhirnya dalam
suatu pertempuran di dekat kota waterloo (belgia) pasukan koalisi Ingris-Belanda-Jerman
dipimpin jendral wellington (dibantu juga Prusia) berhasil mengalahkan tentara prancis
sekaligus mengakhiri petualangan militer napoleon di daratan eropa. Pertempuran
waterloo terjadi pada 18 juni 1815.
Meskipun ekspansionisme Prancis akhirnya dapat dipatahkan, namun revolusi
Prancis itu sendiri mewariskan nilai-nilai dasar sistem negara yang masih abadi hingga
saat ini. Pertama, yaitu konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignty), yang pada
prinsipnya menegaskan bahwa legitimasi pemerintah berasal dari rakyat yang mereka
perintah, prinsip “hak ilahi” (the define right) yang melekat pada raja dan diterima
berabad-abad oleh hampir semua negara eropa, tidak berlaku lagi. Kedua, konsep
nasionalisme. Walaupun proses globalisasi telah membuat dunia ini menjadi satu
warga global, namun hampir semua negara di dunia hingga kini masih memelihara
semangat nasionalisme untuk mengahadapi berbagai ancaman eksternal. Konsep
nasionalisme dan kedaulatan rakyat terbukti telah mewarnai berbagai bentuk hubungan
internasional hingga saat ini.Segera setelah ekspansionisme prancis berakhir, negara-negara pemenang perang
berusaha untuk membangun kembali system hubungan internasional di eropa. Para
pemimpin negara besar bertemu dalam kongres Wina (congress of vine) dan
menandatangani kesepakatan untuk memulihkan stabilitas serta menguatkan kembali
gagasan tentang kedaulatan. Melalui kongres Wina batas-batas (Boundaries) dan ukuran
(size) negara–negara eropa juga ditata ulang, sehingga lebih mencerminkan perimbangan
kekuatan (balance of power). Dengan adanya perimbangan kekuatan di eropa, diharapkan
adanya peritiwa ekspansionisme seperti yang dilakukan prancis tidak terulang sehingga
perdamain di eropa dapat lebih terpelihara.
Pasca kongres wina 1815, stabilitas hubungan antar kekuatan besar di Eropa
relatif terjaga dan sistem politik internasional juga menjadi lebih damai dibandingkan
masa-masa sebelumnya. Sistem hubungan internasional pasca kongres wina hingga 1914
dikenal dengan istilah Congress of Europa. Dalam periode congress of Europe ini tidak
ada konflik berarti dimana lima kekuatan besar di eropa (Australia, Ingris, Prancis, Prusia,
dan Rusia) terlibat bersama. Memang sempat terjadi perang crimea 1854 dan perang
Prancis-Prusia 1870, namun negara-negara lain mengambil sikap netral sehingga perang
ini tidak berlangsung lama dan meluas.
Salah satu faktor yang membuat stabilitas di eropa dapat terjaga dalam kurun
waktu yang relatif lama yaitu karena inggris dapat memainkan perang penting secara
konsisten. Status inggris sebagai negara yang kuat, baik dari segi ekonomi maupun
militer, memungkinkanmya dapat memainkan perang sebagai penyeimbang (balance)
yang snagat baik di daratan eropa. Selain itu, karena kondisi geografisnya yang terpisah
dari daratan, juga memberi keuntungan tersendiri dari inggris dalam kontelasi hubungan
internasional dibenua eropa. (Umar Suryadi Bakry, Dasar- Dasar Hubungan
Internasional, hal. 21-26.)
Westphalia Treaty atau Perjanjian Westphalia merupakan akar dari hubungan
Internasional modern. Adapun dengan terbentuknya perjanjian Westphalia menandai
berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun di tahun 1618-1648 antara kaum katolik dan kaum
protestan di Eropa. Pada saat itu perang di Eropa lebih didasarkan pada permasalahan
mengenai keagamaan yang dalam kasus ini, aktor-aktornya termasuk dalam
nonlegitimate Nonstate Actors Movements atau gerakan religious. Pada dasarnya perjajian Westphalia membawa perubahan yang sangat besar
khusunya di Eropa pada saat itu. Keadaan Eropa yang pada saat itu dipenuhi berbagai
konflik melibatkan banyak kekuatan- kekuatan besar dari berbagai kerajaan besar di
Eropa. Adapun tiap kerajaan ini memiliki powernya masing-masing untuk melakukan
tindakan militer sehingga terdapat banyak kemungkinan untuk terlibat dalam konflik
dengan kerajaan lain. Konflik yang mengawali diputuskannya perjanjian Westphalia ini
awalnya dipicu oleh upaya pembunuhan atas raja bohemia pada tahun 1618 yang
kemudian menjadi kaisar romawi suci, Ferdiinand ll. Semenjak menjadi dan menjabat
sebagai kaisar romawi suci, Ia mulai menerapkan ajaran Katolik kepada semua rakyat
yang berada dibawah naungan kerajaannya sendiri. Tindakan ini membuat mereka yang
berbeda keyakinan, yakni kaum protestan melakukan pemberontakan. Seiring dengan
konflik dan permasalahan yang semakin lama semakin meruncing, yang kemudian
membawa hampir seluruh penjuru eropa menuju pergolakan perang yang menglobal
hingga saat ini.
Perang yang berlangsung dalam priode yang lama ini mempropogandakan hampir
seluruh wilayah Eropa, khusunya wilayah jerman. Organisasi-organisasi yang memiliki
otoritas politik di Eropa pada abad pertengahan didasarkan pada tatanan Hierarki yang
tidak jelas. Maka dari itulah Perjanjian Westphalia membentuk konsep legal tentang
kedaulatan, yang mana dalam artian fundamentalnya menandakan para penguasa atau
kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki
kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama.
Perjajian Westphalia inilah yang menjadi titik awal dari semua pengembangan system
negara modern yang kita kenal saat ini.
Setelah munculnya perjanjian Westphalia, susunan warga internasional yang
baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar pada kerajaankerajaan. Selain itu susunan warga internasional juga didasarkan pada hakekat
negara ini bersama dengan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara
dan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahannya dari
pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia yang meletakkan dasar bagi bentuk dan hakekat
ini dalam susunan warga internasional yang baru.
Sebagai konsekuensi atas kemunculan Perjajian Westphalia, Kekaisaran Romawi
Suci mengalami perpecahan. Swedia mengambil kendali wilayah Baltik, Kemerdekaan
belanda dari Spanyol di akui secara penuh, dan Prancis muncul sebagai kekuatan baru.
Perjanjian Westphalia tidak lantas membuat Eropa berhenti berperang. Prancis dan
Spanyol tetap berkonflik selama sebelas tahun berikut hingga muncull Traktak Pyrenees
pada 1659.
Perjanjian Westphalia dalam Hubungan Internasional
Sebagai pemicu perpecahan kekaisaran Romawi Suci dan hadirnya negara- negara
berdaulat yang baru di Eropa, Perjanjian Westphalia secara sarat menghadirkan konsep
negara-bangsa (nation-state). Selain itu muncul juga istilah negara modern. Perjanjian
Westphalia membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modern yang meliputi: 1)
Tumbuhnya “Representative Government, 2) Terjadinya Revolusi Industri, 3) Terjadinya
Perkembangan Hukum Internasional, 4) Terjadinya Perkembangan Metode-metode
Diplomasi, 5) Timbulnya Prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Tatanan pasca sistem Westphalia yang cenderung mengabaikan batas negara atau
de-bordering ini mendobrak pengertian ’hubungan internasional’ kovensional menjadi
’hubungan transnasional’ yang lebih kompleks, dan dalam batas-batas tertentu lebih
partisipatif, sekaligus mengandung potensi konflik. Pemaknaan istilah ’international
relations’ yang berarti hubungan ’antar bangsa’ (inter-nation), menjadi kurang mewadahi
aktor-aktor ’non-negara’ (non-nation/state). Sama halnya dengan pandangan Robert C.
Keohane, Keohane memberikan kontribusi terbesar dalam pengembangan teoritis
transnasionalisme sejak tahun 1970-an. Dia secara kreatif tidak terjebak dengan issu
dunia yang mainstream saat itu yakni Perang Dingin, namun pemikirannya merambah
dunia lain yang lebih luas dan dan lebih realistis untuk membangun sebuah fondasi
kompleks perdamaian dunia. Keohane memfokuskan karyanya pada issu-issu baru
tentang ekonomi politik dunia yang menggeser masalah keamanan internasional, issu
tentang aktor-aktor baru dalam hubungan antar bangsa yang tidak lagi ’state centric’, tapi
berbagai aktor transnasional, issu tentang bentuk-bentuk interaksi internasional baru yang
tidak lagi “interstate relations”, melainkan transnasional dan “transgovernmental
relations”, issue tentang hasil-hasil baru dari kerjasama internasional yang tidak hanya
berbicara tentang konflik antar bangsa, issu tentang struktur institusi internasional baru
yang tidak sepenuhnya anarkhis, yang dia hipothesiskan secara provokatif bahwa struktur
internasional baru itu akan kokoh setelah menurunnya hegemoni Amerika Serikat.
Pemikiran Keohane ini merupakan kritikan terhadap pendekatan realisme
politik internasional yang sangat dominan pada waktu itu, dimana hubungan internasional
digambarkan penuh dengan anarkhisme dan kecenderungan untuk ber-konflik. Keohane
menemukan celah untuk membangun fondasi teoritik tentang struktur intitusi dan
hubungan internasional yang lebih memberi peluang untuk berkembangnya hubungan
damai antar bangsa. (Takdir Ali Mukti, Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional
dan Paradiplomac, hal. 177-178.)
Jadi perjanjian Westphalia membawa banyak sekali perubahan khusunya dalam
mengubah bentuk negara modern seperti tumbuhnya representative government,
terjadinya revolusi industry, terjadinya perkembangan hukum internasional yang
signifikan, terjadinya perkembangan metode-metode diplomasi, terjadinya saling
ketergantungan dan kolerasi antara negara bangsa baik di bidang; ekonomi, politik,
budaya, dan sebagainya, dan serta timbulnya prosedur untuk menyelesaikan konflik
secara damai. Yang mana perjanjian Westphalia ini telah mengubah struktur hirarki
warga yang pada awalnya mereka tunduk dan patuh terhadap segala jenis otonom
dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kerajaan dan gereja, menuju warga yang lebih
berdaulat dan memahami makna the difine right dan asas kebijakan dan hak personal
seseorang maupun negara dalam mengambil kebijakan.
Hubungan transnasional yang mewarnai sistem interaksi warga dunia pasca
regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktor
internasional, baik pada tingkat negara, maupun lokal, institusional atau pun individual.
Spirit positive sum dan pure colaboration, yang diajukan sebagai transnational values,
akan lebih memberikan pengharapan bagi terciptanya dunia yang lebih beradab.
Perjanjian Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam
sejarah hubungan internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa hukum
internasional modern yang didasarkan atas negara- negara nasional. Hal ini
disebabkan oleh hal-hal berikut.
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan
perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di
Eropa.
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar
Romawi yang suci. 3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan
kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional masing-masing.
4. Kemerdekaan negara Nederland, Swiss, dan negara-negara kecil di Jerman
diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Selain itu, Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar bagi susunan warga
internasional yang baru. Baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara
nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara
itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari
pengaruh gereja. Sejak saat itu mulai bermunculan negara yang berpemerintahan
demokratis. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam
Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional, karena
menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Berikut ciri-ciri pokok warga internasional yang membedakan dengan
susunan warga Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan.
1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas
kemerdekaan dan persamaan derajat.
3. warga negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti
seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja.
4. Hubungan antara negara-negara berdasar atas hukum yang banyak
mengambil pengertian lembaga hukum perdata, hukum Romawi.
5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan antarnegara namun menekankan peranan yang besar yang dimainkan
negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional
untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional.
7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih
dari anggapan mengenai doktrin bellum sustum (ajaran perang suci) ke arah
ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara pemakaian
kekerasan. (Heliarta, Mengenal Hukum Internasional, hal. 4-6.)